pityriasis rosea

22
Telaah Buku CHAPTER 42: PITYRIASIS ROSEA (Diambil dari Fitzpatrick’s General Medicine halaman 458-463) Oleh: Alfina Ayyu Rachmah Annisa Sarindah Pembimbing: Sulamsih Sri Budini DERMATO-VENEOROLOGY DEPARTMENT SCHOOL OF MEDICINE SYIAH KUALA UNIVERSITY Dr. ZAINOEL ABIDIN GENERAL HOSPITAL 1

Upload: annisa-sarindah

Post on 28-Dec-2015

72 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Telaah Buku

CHAPTER 42: PITYRIASIS ROSEA(Diambil dari Fitzpatrick’s General Medicine halaman 458-463)

Oleh:

Alfina Ayyu RachmahAnnisa Sarindah

Pembimbing:Sulamsih Sri Budini

DERMATO-VENEOROLOGY DEPARTMENTSCHOOL OF MEDICINE SYIAH KUALA UNIVERSITY

Dr. ZAINOEL ABIDIN GENERAL HOSPITALBANDA ACEH

JULY 2013

1

PITIRIASIS ROSEA

Andrew Blauvelt

Istilah Pityriasis Rosea (PR) pertama kali digunakan oleh Gibert pada

tahun 1860 yang berarti merah muda (rosea) dan berskuama (pityriasis). PR

biasanya bersifat akut, dapat sembuh sendiri dan khas muncul sebagai plak

berskuama oval kecil tunggal pada batang tubuh (“herald patch”) dan

biasanya asimptomatik. Lesi primer pada beberapa hari dan beberapa minggu

kemudian akan diikuti oleh pertumbuhan beberapa lesi lain (lesi sekunder)

yang mirip dengan lesi primer sepanjang garis lipatan batang tubuh (disebut

juga pola pohon natal/cemara). PR biasanya terjadi pada remaja dan dewasa

muda dan hampir sama dengan eksantema virus akibat reaktivasi human

2

Pitiriasis Rosea

Erupsi papuloskuamos akut yang secara normal berlangsung selama 4-

10 minggu.

Lesi diawali dengan plak oval berukuran kecil 2-4 cm dengan skuama

kolaret yang melekat di bagian perifer plak (“herald patch”).

Akan timbul lesi yang sama dengan ukuran yang lebih kecil pada

beberapa hari sampai beberapa minggu kemudian dengan distribusi di

sepanjang garis/lipatan tubuh (“ membentuk pola pohon

natal/cemara”).

Bersifat asimptomatik, terkadang disertai gatal dan dengan gejala

mirip dengan flu ringan.

Terjadi paling sering pada remaja dan dewasa muda.

Berhubungan dengan reaktivasi human herpes virus (HHV-7) dan

terkadang HHV-6.

Pengobatan umumnya bersifat suportif walaupun kortikosteroid topical

berpotensi sedang digunakan untuk mengatasi keluhan gatal.

Pemberian asiklovir dosis tinggi selama 1 minggu dapat mempercepat

herpes virus 7 (HHV-7) dan terkadang HHV-6, virus ini juga bertanggung

jawab sebagai penyebab Rubeola. Terapi dapat difokuskan terhadap keluhan

gatal. Suatu penelitian menunjukkan bahwa pemberian asiklovir dosis tinggi

selama 1 minggu jika diberikan pada awal penyakit dapat mempercepat

penyembuhan PR.

EPIDEMIOLOGI

PR dilaporkan dapat terjadi pada semua ras di seluruh dunia dan tidak

dipengaruhi oleh iklim. Rata-rata insiden tahunan pada satu pusat kesehatan

dilaporkan 0,16% (158,9 kasus per 100.000 orang/tahun). Meskipun PR biasanya

diperkirakan lebih sering terjadi pada musim semi dan gugur pada daerah

beriklim sedang namun variasi musim tidak diterima dengan baik pada

penelitian-penelitian di belahan dunia. Beragam kasus dapat terjadi dan telah

digunakan dalam mendukung etiologi infeksi PR, meskipun ini bukan suatu

gambaran pasti pada semua komunitas. Banyak penelitian menunjukkan bahwa

wanita lebih banyak menderita penyakit ini dibandingkan dengan pria sekitar

1,5:1. PR sering terjadi pada usia 10 dan 35 tahun. Ini jarang terjadi pada usia < 2

tahun dan orang tua (>65 tahun), kekambuhan PR jarang terjadi yang mana

diduga imunitas akan kebal setelah episode awal PR.

ETIOLOGI DAN PATOGENESIS

Awalnya PR diperkirakan disebabkan oleh agen infeksi hal ini

dikarenakan (1) adanya kesamaan ruam dengan yang timbul pada exanthema

virus. (2) kekambuhan PR yang jarang terjadi diperkirakan karena kekebalan

imunitas setelah satu episode penyakit. (3) terjadi pada variasi musim yang

dilaporkan di dalam beberapa penelitian. (4) terjadi pada sekelompok orang di

beberapa komunitas. (5) adanya gejala sepert flu pada beberapa jenis pasien.

Beberapa penelitian sepanjang 50 tahun belakangan ini menemukan variasi

patogen yang mungkin sebagai penyebab PR. Patogen ini termasuk beberapa

bakteri, jamur, dan khususnya virus. Bermula dari penelitian oleh Drago dkk

pada tahun 1997, penelitian mengenai etiologi dan patogenesis PR yang terbaru

difokuskan pada dua HHV virus: (1) HHV-7 dan (2) HHV-6. Evaluasi kritikal

3

dari literatur medikal dan sains pada PR menunjukkan ada atau tidak adanya

bukti bahwa PR berhubungan dengan patogen lain selain HHV-7 dan HHV-6.

Fakta-fakta ilmiah terbaik menduga bahwa PR adalah suatu eksantema

virus yang berhubungan reaktivasi baik HHV-7 maupun HHV-6 (dan kadang-

kadang keduanya) adalah kuat. Penelitian yang paling definitif dan terpercaya

mengenai herpes virus dan PR telah dilakukan oleh Broccolo dkk pada tahun

2005. Dengan menggunakan teknik sensitif dan kuantitatif, peneliti

menunjukkan secara kolektif bahwa (1) DNA HHV-7 dan DNA HHV-6 (jarang)

dapat dideteksi langsung dalam plasma bebas sel dan sampel serum dari beberapa

pasien dengan PR tapi tidak ditemukan di dalam serum atau plasma dari individu

yang sehat atau pasien dengan penyakit kulit inflamasi lainnya. (2) mRNA dan

protein HHV-7 dan HHV-6 RNA (jarang) dapat dideteksi pada leukosit lisis yang

ditemukan pada area perivaskular dan perifolikular yang disertai lesi PR, tapi

tidak ditemukan pada kulit normal atau dari kulit pasien dengan penyakit kulit

inflamasi lainnya. (3) peningkatan antibodi IgM HHV-7 dan HHV-6 spesifik

pada ketiadaan antibodi IgG virus spesifik tidak terjadi pada pasien PR,

peningkatan antibodi IgM khas terjadi pada infeksi virus awal. (4) DNA HHV-7

dan HHV-6 terdapat pada air liur pasien dengan PR yang tidak diobservasi pada

infeksi virus awal. Diambil secara bersamaan, data ini menunjukkan bahwa PR

adalah eksantema virus yang berhubungan dengan reaktivasi sistemik dari HHV-

7 dan perluasan sedikit dari HHV-6. Pasien yang terinfeksi virus dapat

mengeluhkan gejala seperti flu pada beberapa pasien, dan mereka pada umumnya

tidak mempunyai sel epitel terinfeksi atau virus dengan lesi kulit yang

menjelaskan kesulitan dalam mendeteksi virus-virus ini dibawah mikroskop

elektron dan non-nested PCR.

Disamping penemuan ini, masih ada kontroversi mengenai HHV-7 dan

HHV-6 dalam hal etiologi, karena sejumlah penelitian dengan hasil negatif telah

gagal mendukung penyebab HHV-7 dan HHV-6 pada penyakit ini. Penelitian

dengan hasil positif menggunakan teknik yang lebih sensitif, spesifik, dan

kalibratif untuk penelitian virologi dan laporan telah dipublikasikan dalam jurnal

berkualitas tinggi. Penelitian dengan hasil negatif menggunakan metode

4

laboratorium yang tidak sensitif, kalibratif atau kuantitatif atau terfokus pada sel

mononuklear darah perifer daripada plasma atau serum.

Interpreasi yang tepat dari literatur virus terbaru pada PR juga

membutuhkan pemahaman biologi yang tepat dari HHV-7 dan HHV-6. HHV-7

dan HHV-6 sangat dekat hubungannya dengan β herpes virus, penyakit klinis dan

biologi kelompok virus herpes tidak sebaik α herper virus (virus herpes simpleks

1 dan 2, virus varisela zoster) dan γ herpes virus (virus Eipstein Barr dan sarkoma

Kaposi yang berhubungan dengan virus herpes). HHV-7 dan HHV-6 ada dimana-

mana, 90% populasi di Amerika Serikat terinfeksi HHV-6 pada usia 3 tahun dan

90% populasi Amerika Serikat terinfeksi HHV-7 pada usia 5 tahun. Tidak seperti

α herpes virus, HHV-7 dan HHV-6 tidak menginfeksi keratinosit tetapi

menginfeksi sel T CD4+ dalam darah dan dipertahankan dalam sel ini dalam

bentuk laten pada kebanyakan individu. Sel ini mirip dengan sumber virus DNA

yang ditemukan dalam plasama atau sampel serum pasien dengan PR. Sel ini

merupakan sumber yang baik bagi sel perivaskular yang pecah dan sel

perifolikular virus positif yang diobservasi pada beberapa lesi PR.

Penting untuk dicatat bahwa konsep mengenai PR memperlihatkan

sebuah reaktivasi eksantema virus yang mengandung beberapa sel yang terinfeksi

disertai lesi kulit dan reaktivasi virus disertai sel T CD4+ di sirkulasi darah yang

merupakan analog terhadap penyakit Roseola, yang mana dapat disebabkan oleh

infeksi primer dengan HHV-6 atau HHV-7. Pada roseola anak dengan lesi

viremik dan kulit umumnya tidak mengandung sel yang terinfeksi. Pemahaman

yang benar terhadap peranan HHV-7 dan HHV-6 dalam patogenesis PR masih

kurang saat ini. Sebagai contoh, mekanisme reaktivasi HHV-7 dan HHV-6 masih

belum diketahui. Sama seperti karakteristik distribusi lesi dan perbedaan lesi dan

non lesi pada kulit masih belum dapat dijelaskan.

TEMUAN KLINIS

Riwayat

Pada PR klasik, pasien biasanya menggambarkan onset lesi kulit tunggal

pada batang tubuh yang diikuti oleh onset sejumlah lesi yang lebih kecil beberapa

hari hingga beberapa minggu kemudian. Pruritus terjadi pada 25% pasien dengan

5

PR tanpa komplikasi berat, ringan sampai sedang 50%, dan 25% tanpa pruritus.

Pada sebagian kecil pasien mengalami gejala seperti flu, termasuk malaise

generalisata, nyeri kepala, mual, kurangnya nafsu makan, dan atralgia.

Lesi Kulit

Plak primer PR atau herald patch terlihat 50%-90% pada kasus (Gambar

1,2,3). Lesi ini secara normal memiliki batas waktu tertentu, diameter 2-4 cm,

berbentuk oval atau bulat, berwarna seperti salmon, eritema atau hiperpigmentasi

(khususnya pada individu dengan kulit yang lebih gelap), dan terdapat skuama

kolaret ditepi /perifer plak. Ketika plak mengalami iritasi, lesi dapat membentuk

gambaran eksematosa papulovesikular. Plak primer ini biasanya terdapat pada

tubuh yang ditutupi oleh pakaian, tetapi terkadang terdapat di leher atau

ekstremitas proksimal. Lesi pada wajah atau penis sangat jarang ditemukan.

Tidak ada perbedaan lesi antara pria dan wanita.

6

Gambar 1. Plak primer (herald patch) pada pitiriasis rosea, berbentuk oval, dan terdapat skuama halus di

tepi lesi.

Interval antara gambaran plak primer dan erupsi sekunder terjadi antara 2

hari sampai 2 bulan, tapi erupsi sekunder secara khusus terjadi dalam 2 minggu

setelah plak primer. Terkadang lesi primer dan sekunder dapat timbul secara

bersamaan. Erupsi sekunder timbul secara masif dalam beberapa hari dan

7

Gambar 2. Plak primer kemerahan (herald patch)

tanpa skuama pada pitiriasis rosea.

Gambar 3. Herald patch ganda pada Pitiriasis Rosea.

mencapai maksimal kira-kira dalam 10 hari. Biasanya lesi baru berkembang

dalam beberapa minggu. Erupsi simetris berlokalisasi terutama di badan pada

regio perbatasan leher dan ekstremitas proksimal (Gambar 4). Lesi yang tersebar

meluas melebihi abdomen dan permukaan anterior dada, sama seperti punggung

(Gambar 5,6,7). Lesi dapat tersebar distal pada siku dan lutut tetapi jarang. Dua

tipe utama dari lesi sekunder adalah: (1) plak kecil yang menyerupai plak primer

yang tumbuh dengan miniatur lurus sepanjang garis aksis lipatan kulit dan

berdistribusi dalam pola pohon cemara/natal dan (2) kecil, merah, biasanya papul

tidak berskuama yang secara meningkat jumlahnya dan menyebar ke perifer.

Kedua tipe lesi ini dapat terjadi bersamaan.

Sekitar 20% pasien, gambaran klinis berbeda dengan gejala klasik yang

dijelaskan sebelumnya. Plak primer dapat hilang atau timbul sebagai lesi ganda

atau lesi multiple dan sering berdekatan. Plak primer dapat menjadi satu-satunya

manifestasi penyakit ini atau hanya satu dari dua lesi. Distribusi dari erupsi

sekunder dapat hanya di perifer saja. Lesi pada wajah dan kulit kepala biasanya

lebih sering terjadi pada anak berkulit hitam. Lokalisasi lesi dapat melibatkan

regio tubuh tertentu seperti telapak tangan, telapak kaki, aksila, vulva, paha, dan

mungkin juga terlokalisasi pada satu sisi tubuh saja.

8

Morfologi lesi sekunder juga dapat tidak khas dan dalam kasus ini,

diagnosis PR dapat menjadi sulit. Makula tanpa skuama dapat terbentuk, papula-

papula dapat berbentuk folikular, dan plak tertentu dapat hilang atau menyerupai

psoriasis. Lesi dapat timbul pada telapak tangan dan telapak kaki secara

bersamaan dan gambaran klinis pada pasien ini dapat menyerupai erupsi eksema

yang meluas. Tipe PR vesikular jarang terjadi dan biasanya terjadi pada anak-

anak dan dewasa muda. Urtikaria, pustul, purpura, dan variasi seperti eritema

multiformis PR juga dapat terjadi. Banyak pasien memiliki plak klasik campuran

dengan variasi lesi tidak khas seperti vesikel, papul folikular, dan purpura.

9

Gambar 4. Diagram skematik plak primer (herald patch) dan distribusi plak

sekunder sepanjang garis lipatan tubuh yang membentuk pohon natal.

PENEMUAN KLASIK YANG BERHUBUNGAN

Pada kasus eksantema yang jarang, dapat timbul makula hemoragik dan

plak, bula pada lidah dan kedua pipi, atau lesi yang menyerupai ulkus. Distrofi

kuku pasca PR juga dilaporkan. Limfadenopati dapat terjadi pada pasien PR

khususnya pada permulaan penyakit dan hubungannya dengan gejala yang

menyerupai flu.

10

Gambar 5. Distribusi dari plak sekunder sepanjang garis lipatan

punggung membentuk pola pohon natal.

Gambar 6. Distribusi plak sekunder sepanjang garis lipatan

dada pada orang kulit hitam.

Gambar 7. Pitiriasi Rosea vesikular, yang menunjukkan plak primer

dan papulovesikel sekunder dengan distribusi pohon natal.

Pada kasus klasik PR, banyak pasien yang tidak memerlukan biopsi kulit

karena diagnosis sudah ditegakkan dari temuan klinis dan gambaran

histopatologis tidak spesifik. Gambaran histopatologis yang khas yaitu

parakeratosis fokal, berkurang atau tidak adanya lapisan sel granular, akantosis

ringan, spongiosis ringan, edema papilar dermal, infiltrate interstisial dermal

superfisial limfosit dan histiosit dan ekstravasasi fokal eritrosit. Penemuan

histologi yang sama ditemukan pada plak primer dan sekunder. Gambaran

histologi ini dapat membedakan dengan eritema superficial. Pada lesi-lesi awal,

infiltrat perivaskular sering superfisial dan dalam, dengan sedikit spongiosis dan

akantosis berat. Lesi ini mungkin akan sulit dibedakan dengan psoriasis dan liken

planus.

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Pemeriksaan darah rutin biasanya memberikan hasil normal dan tidak

disarankan. Akan tetapi, leukositosis, neutrofilia, basofilia, limfositosis,

peningkatan sedikit laju endap darah (LED), dan level protein total, α1 dan α2

globulin, dan albumin telah dilaporkan.

DIAGNOSIS BANDING

Sifilis sekunder dapat timbul dengan lesi berskuama tipis dan menyerupai

PR papular tanpa plak primer. Lesi mukosa dan limfadenopati dapat terjadi baik

11

Gambar 8. Gambaran histologi non spesifik dari Pitiriasis Rosea

termasuk parakeratosis, tidak adanya lapisan sel granular, akantosis

ringan, spongiosis, dan infiltrat limfohistiositik di superfisial dermis.

pada PR maupun sifilis, tapi melibatkan telapak tangan dan kaki hal ini sering

ditemukan diakhir. Tes serologi pada sifilis dapat membedakan keduanya.

Tinea korporis dapat menyerupai PR khususnya jika PR hanya timbul

plak primer atau hanya jika terlokalisasi dalam area paha. Skuama pada tepi plak

tinea korporis berbeda dengan

skuama pada tepi dalam plak

PR. Penelusuran mikologi

sering dibutuhkan untuk

menegakkan infeksi

dermatofit.

Lesi-lesi pada

dermatitis numular biasanya

bundar, tidak oval, dan

berbentuk bintik-bintik papul

dan vesikel yang lebih

menonjol daripada PR.

Psoriasis gutata

mungkin sulit dibedakan

dengan PR jika hanya saru lesi

yang muncul, ketika lesi mengikuti garis lipatan dan ketika perjalanan penyakit

kronik. Pemeriksaan histologi berguna dalam kasus ini.

Pityriasis lichenoides chronica dapat muncul dengan pola pohon

cemara/natal pada badan, tapi kaidahnya lesi khas akan dijumpai pada

ekstremitas.

Banyak obat yang telah dilaporkan dapat menyebabkan ruam seperti PR.

Jadi merupakan hal yang penting untuk mengetahui riwayat pengobatan untuk

menginvestigasi kemungkinan kasus ini. Obat yang termasuk adalah arsenik,

barbiturat, bismut, kaptopril, klonidin, emas, interferon α, isotretinoin, ketotifen,

labetalol, merkuri organik, metoksipromazine, metronidazol, omeprazol, D-

penisilamin, salvarsan, sulfasalazine, terbinafine, litium, dan tripelene amina

hidroklorida. Sebagai catatan, tambahan obat terbaru adalah imatinib, obat yang

digunakan dalam pengobatan leukemia myeloid kronik dan tumor necrosis factor

12

KDiagnosis Banding Pityriasis Rosea (PR)

Sifilis sekunder: riwayat chancre primer, tidak ada herald patch, lesi khusus melibatkan telapak tangan dan telapak kaki, dapat ditemukan kondiloma lata, biasanya keluhan bersifat sistemik dan limfadenopati, adanya sel plasma pada pemeriksaan histologi. Uji serologi positif untuk sifilis (misalnya pemeriksaan VDRL (venereal disease research laboratory).

Tine korporis: skuama terdapat pada tepi lesi , plak biasanya tidak berbentuk oval dan berdistibusi di sepanjang garis lipatan. Pemeriksaan KOH positif.

Dermatitis numular: plak biasanya berbentuk sirkular, tidak oval, tidak ada skuama kolaret, umumnya terdapat vesikel kecil. Jika ragu dapat dilakukan biopsi.

Psoriasis gutata: plak biasanya lebih kecil dari plak PR dan tidak mengikuti lipatan kulit, skuama tebal dan tidak rata. Bila ragu, dapat dilakukan biopsy.

Pityriasis lichenoides kronik: penyakit jangka panjang, lesi lebih kecil, skuama lebih tebal, dan tidak ada herald patch, sering ditemukan pada ekstremitas. Jika ragu dapat dilakukan biopsi.

Erupsi akibat obat seperti PR: baca daftar obat-obatan yang menyebabkan erupsi pada pembahasan. Bila

(TNF) α blocker yang digunakan dalam mengobati psoriasis. Obat yang

menginduksi PR dapat menyerupai PR klasik, tapi ini sering menunjukkan sifat

khas, lesi yang luas, selanjutnya terbatas hiperpigmentasi hingga berubah menjadi

dermatitis likenoid.

KOMPLIKASI

Pasien dapat merasakan gejala seperti flu, tetapi hal ini relatif ringan

terjadi. Sekitar 1/3 pasien dengan riwayat PR mengalami anxietas dan depresi,

kebanyakan pada disekitar pusat yang belum dapat ditentukan, menjadi penyebab

penyakit dan panjangnya penyembuhan penyakit. Penjelasan mengenai penyakit

kepada individu sangat penting. Tidak ada komplikasi yang serius pada pasien

PR. Akan tetapi, PR yang terjadi selama kehamilan memerlukan perhatian

khusus, dalam suatu penelitian yang melibatkan 36 wanita hamil dengan PR,

Drago dkk melaporkan sebanyak 9 bayi dilahirkan prematur, walaupun semua

bayi tersebut lahir dari wanita yang mengalami PR selama hamil yang tidak

menunjukkan adanya defek kelahiran. 5 wanita mengalami keguguran dan lebih

sering terjadi pada trimester pertama. Selanjutnyam wanita hamil yang

mengalami PR sebaiknya dilakukan evaluasi dan follow up.

PROGNOSIS DAN LATIHAN KLINIS

Semua pasien PR dapat sembuh dengan spontan. Durasi penyakit

normalnya bervariasi antara 4 dan 10 minggu, dengan beberapa minggu pertama

timbul lesi kulit inflamasi baru terbanyak Dan gejala yang sangat mirip dengan

flu. Hipopigmentasi dan hiperpigmentasi pasca inflamasi dapat menyertai PR.

Sama seperti penyakit kulit lainnya, hal ini lebih sering terjadi pada individu

dengan kulit yang lebih gelap dengan hiperpigmentasi yang dominan. Pengobatan

dengan fototerapi sinar UV dapat memperburuk hiperpigmentasi pasca inflamasi

dan sebaiknya digunakan perhatian khusus. Selain itu, pasien juga tidak

mengalami efek residual sekunder terhadap terjadinya PR. Kekambuhan penyakit

mungkin saja terjadi, tetapi jarang ditemui.

13

PENGOBATAN

Karena PR dapat sembuh sendiri, tidak ada pengobatan aktif pada kasus

yang tidak disertai dengan komplikasi. Edukasi dan menenangkan pasien

merupakan hal yang perlu dilakukan pada semua kasus. Kortikosteroid topical

berpotensi sedang dapat digunakan untuk mengurangi gejala pruritus.

Menariknya, Drago dkk melaporkan bahwa pasien yang diberikan asiklovir dosis

tinggi (seperti dosis 800 mg 5 kali sehari selama 1 minggu) mengalami

penyembuhan yang lebih cepat dibandingkan pasien yang diobati dengan plasebo

selama 1 minggu. Bila ditinjau lebih spesifik, sebanyak 79% dari 42 pasien

mengalami penyembuhan total PR dalam 2 minggu mendapat terapi asiklovir,

disamping itu 4% dari 45 pasien yang diobati dengan plasebo mengalami

kesembuhan dalam 2 minggu. Meskipun pasien tidak mengetahui pengobatan

yang mereka terima, percobaan dibatasi yang mana peneliti mengetahui obat

yang diterima pasien dan pasien yang diberikan secara random satu dari dua

kelompok pengobatan. Pemberian asiklovir dan deriavatnya relatif tidak mahal

dan obat yang aman. Bentuk terapi ini harus dipertimbangkan pada pasien PR

dengan gejala seperti flu dan/atau penyakit kulit yang luas. Eritromisin pernah

dilaporkan memberi manfaat terapi pada pasien PR, namun menurut pengalaman

klinis dan beberapa laporan kasus terkini tidak mendukung hasil awal ini.

Beberapa pasien PR mendapat manfaat dari fototerapi, meskipun ini seharusnya

digunakan secara berhati-hati karena dapat meningkatkan resiko hiperpigmentasi

pasca inflamasi setelah penyembuhan

penyakit.

PENCEGAHAN

Tidak ada data yang

menjelaskan bagaimana PR dapat

dicegah.

14

Pengobatan Pitiriasis Rosea Untuk semua pasien, edukasi tentang

proses penyakit dan menenangkan pasien.

Untuk pasien dengan pruritus, diberikan kortikosteroid topical.

Untuk pasien dengan gejala seperti flu dan/atau penyakit kulit yang luas: asiklovir per oral 800 mg 5 kali sehari selama 1 minggu (atau derivative asiklovir) dapat mempercepat penyembuhan penyakit.

Untuk pasien tertentu, fototerapi

15