pneumonia.docx
DESCRIPTION
pneumonia.docxTRANSCRIPT
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Pneumonia
A.Definisi Pneumonia
Pneumonia adalah penyakit saluran napas bawah (lower respiratory tract (LRT))
akut, biasanya disebabkan oleh infeksi. Sebenarnya pneumonia bukan penyakit tunggal.
Penyebabnya bisa bermacam-macam dan diketahui ada sumber infeksi, dengan sumber
utama bakteri, virus, mikroplasma, jamur, berbagai senyawa kimia maupun partikel.
Penyakit ini dapat terjadi pada semua umur, walaupun manifestasi klinik terparah
muncul pada anak, orang tua dan penderita penyakit kronis.
B. Etiologi
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme yaitu bakteri,
virus, jamur, dan protozoa.
Infeksi Bakteri Infeksi Atipikal Infeksi JamurStreptococcus Mycoplasma pneumoniae Aspergillus pneumoniaHaemophillus influenza Legionella pneumophillia HistoplasmosisKlebsiella pneumoniae Coxiella burnetii CandidaPseudomonas aeruginosa Chlamydia psittaci NocardiaGram-negatif (E. Coli)
Infeksi Virus Infeksi Protozoa Penyebab LainInfluenza Pneumocytis carinii AspirasiCoxsackie Toksoplasmosis Pneumonia lipoidAdenovirus Amebiasis BronkiektasisSinsitial respiratori Fibrosis kistik
C.Patogenesis
Dalam keadaan sehat, pada pru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme,
keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di
paru merupakan akibat ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh, mikroorganisme dan
lingkungan, sehingga mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya
sakit.
Masuknya mikroorganisme ke saluran napas dan paru dapat memlalui berbagai
cara:
a. Inhalasi langsung dari udara
b. Aspirasi dari bahan-bahan yang ada di nasofaring dan orofaring
c. Perluasan langsung dari tempat-tempat lain
d. Penyebaran secara hematogen
D.Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya Pneumonia
Diketahui beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya pneumonia yaitu:
1. Mekanisme pertahanan paru
Paru berusaha untuk mengeluarkan berbagai mikroorganisme yang terhirup
seperti partikel debu dan bahan-bahan lainnya yang terkumpul di dalam paru. Beberapa
bentuk mekanisme ini antara lain bentuk anatomis saluran napas, reflex batuk, sistem
mukosilier, juga sistem fagositosis yang dilakukan oleh sel-sel tertentu dengan
memakan partikel-partikel yag mencapai permukaan alveoli. Bila fungsi ini berjalan
baik, maka bahan infeksi yang bersifat infeksius dapat dikeluarkan dari saluran
pernapasan, sehingga pada orang sehat tidak akan terjadi infeksi serius.. Infeksi saluran
napas berulang terjadi akibat berbagai komponen sistem pertahanan paru yang tidak
bekerja dengan baik.
2. Kolonisasi bakteri di saluran pernapasan
Di dalam saluran napas atau cukup banyak bakteri yang bersifat komnesal. Bila
jumlah mereka semakin meningkat dan mencapai suatu konsentrasi yang cukup, kuman
ini kemudian masuk ke saluran napas bawah dan paru, dan akibat kegagalan
mekanisme pembersihan saluran napas, keadaan ini bermanifestasi sebagai penyakit.
Mikroorganisme yang tidak menempel pada permukaan mukosa saluran anaps akan ikut
dengan sekresi saluran napas dan terbawa bersama mekanisme pembersihan, sehingga
tidak terjadi kolonisasi.
3. Pembersihan saluran napas terhadap bahan infeksius
Saluran napas bawah dan paru berulangkali dimasuki oleh berbagai
mikroorganisme dari saluran napas atas, akan tetapi tidak menimbulkan sakit, ini
menunjukkan adanya suatu mekanisme pertahanan paru yang efisien sehingga dapat
menyapu bersih mikroorganisme sebelum mereka bermultiplikasi dan menimbulkan
penyakit. Pertahanan paru terhadap bahan- bahan berbahaya dan infeksius berupa reflex
batuk, penyempitan saluran napas, juga dibantu oleh respon imunitas humoral
E. Epidemiologi
Insidensi tahunan: 5-11 kasus per 1.000 orang dewasa; 15-45% perlu di rawat
dirumah sakit (1-4 kasus), dan 5-10% diobati di ICU. Insidensi paling tinggi pada pasien
yang sangat muda dan usia lanjut. Mortalitas: 5-12% pada pasien yang dirawat di
rumah sakit; 25-50% pada pasien ICU. Di United States, insidensi untuk penyakit ini
mencapai 12 kasus tiap 1.000 orang dewasa. Kematian untuk pasien rawat jalan kurang
dari 1%, tetapi kematian pada pasien yang dirawat di rumah sakit cukup tinggi yaitu
sekitar 14%). Di negara berkembang sekitar 10-20% pasien yangemerlukan
perawatan di rumah sakit dan angka kematian diantara pasien tersebut lebih tinggi,
yaitu sekitar 30-40% (Sajinadiyasa, 2011). Di Indonesia sendiri, insidensi penyakit ini
cukup tinggi sekitar 5-35% dengan kematian mencapai 20-50%
F. Klasifikasi Pneumonia
a. Pneumonia yang didapat dari komunitas (community acquired pneumonia,
CAP): pneumonia yang didapatkan di masyarakat yaitu terjadinya infeksi di luar
lingkungan rumah sakit. Infeksi LRT yang terjadi dalam 48 jam setelah dirawat di
rumah sakit pada pasien yang belum pernah dirawat di rumah sakit selama > 14 hari
b. Pneumonia yang didapat dari rumah sakit (nosokomial): pneumonia yang
terjadi selama atau lebih dari 48 jam setelah masuk rumah sakit. jenis ini didapat
selama penderita dirawat di rumah sakit (Farmacia, 2006). Hampir 1% dari penderita
yang dirawat di rumah sakit mendapatkan pneumonia selama dalam perawatannya.
Demikian pula halnya dengan penderita yang dirawat di ICU, lebih dari 60% akan
menderita pneumonia
c. Pneumonia aspirasi/anaerob: infeksi oleh bakteroid dan organisme anaerob
lain setelah aspirasi orofaringeal dan cairan lambung. Pneumonia jenis ini biasa
didapat pada pasien dengan status mental terdepresi, maupun pasien dengan gangguan
refleks menelan
d. Pneumonia oportunistik: pasien dengan penekanan sistem imun (misalnya
steroid, kemoterapi, HIV) mudah mengalami infeksi oleh virus, jamur, dan
mikobakteri, selain organisme bakteria lain Pneumonia rekuren: disebabkan organisme
aerob dan aneorob yang terjadi pada fibrosis kistik dan bronkietaksis
G. Faktor Risiko
Faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan peningkatan risiko pneumonia
antara lain usia > 65 tahun; dan usia < 5 tahun, penyakit kronik (misalnya ginjal, dan
paru), diabetes mellitus, imunosupresi (misalnya obat-obatan, HIV), ketergantungan
alkohol, aspirasi (misalnya epilepsi), penyakit virus yang baru terjadi (misalnya
influenza), malnutrisi, ventilasi mekanik, pascaoperasi, lingkungan, pekerjaan,
H. Gambaran Klinis
Gambaran klinis biasanya didahului oleh infeksi saluran napas akut bagian atas
selama beberapa hari, kemudian diikuti dengan demam, menggigil, suhu tubuh kadang-
kadang melebihi 40oC, sakit tenggorok, nyeri otot, dan sendi. Juga disertai batuk, dengan
sputum purulen, kadang-kadang berdarah. Pada pasien muda atau tua dan pneumonia
atipikal (misalnya Mycoplasma), gambaran nonrespirasi (misalnya konfusi, ruam, diare)
dapat menonjol
I. Diagnosis
Tujuannya adalah untuk menegakkan diagnosis, mengidentifikasi komplikasi,
menilai keparahan, dan menentukan klasifikasi untuk membantu memilih antibiotika .
Diagnosis pneumonia utamanya didasarkan klinis, sedangkan pemeriksaaan foto polos
dada perlu dilakukan untuk menunjang diagnosis, diamping untuk melihat luasnya
kelainan patologi secara lebih akurat
1. Anamnesis
Keluhan utama yang sering terjadi pada pasien pneumonia adalah sesak napas,
peningkatan suhu tubuh, dan batuk. Pada pasien dengan pneumonia, keluhan batuk
biasanya timbul mendadak dan tidak berkurang setelah meminum obat batuk yang
biasanya tersedia di pasaran. Pada awalnya keluhan batuk yang tidak produktif,
tapi selanjutnya akan berkembang menjadi batuk produktif dengan mucus purulen
kekuning-kuningan, kehijau-hijauan, dan seringkali berbau busuk. Pasien biasanya
mengeluh mengalami demam tinggi dan menggigil. Adanya keluhan nyeri dada,
sesak napas, peningkatan frekuensi pernapasan, lemas, dan kepala nyeri
2. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan laboratorium tes darah rutin terdapat peningkatan sel darah
putih (White blood Cells, WBC) biasanya didapatkan jumlah WBC 15.000-
40.000/mm3, jika disebabkan oleh virus atau mikoplasme jumlah WBC dapat
normal atau menurun (Supandi, 1992; Jeremy, 2007). Dalam keadaan leukopenia
laju endap darah (LED) biasanya meningkat hingga 100/mm3, dan protein reaktif C
mengkonfirmasi infeksi bakteri. Gas darah mengidentifikasi gagal napas. Kultur
darah dapat positif pada 20-25% penderita yang tidak diobati. Kadang-kadang
didapatkan peningkatan kadar ureum darah, akan tetapi kreatinin masih dalam
batas normal.
Gambaran radiologis pada pneumonia tidak dapat menunjukkan perbedaan
nyata antara infeksi virus dengan bakteri. Pneumonia virus umumnya
menunjukkan gambaran infiltrat intertisial dan hiperinflasi. Pneumonia yang
disebabkan oleh kuman Pseudomonas sering memperlihatkan adanya infiltrate
bilateral atau bronkopneumonia.
J. Diagnosis Banding
1. Bronkopneumonia
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis adalah peradangan pada
parenkim paru yang melibatkan bronkus/bronkiolus yang berupa distribusi berbentuk
bercak-bercak (patchy distribution). Konsolidasi bercak berpusat disekitar bronkus yang
mengalami peradangan multifokal dan biasanya bilateral. Konsolidasi
pneumonia yang tersebar (patchy) ini biasanya mengikuti suatu bronkitis atau
bronkiolitis.
Morfologi Bronkopneumonia
Bronkopneumonia ditandai dengan lokus konsolidasi radang yang menyebar
menyeluruh pada satu atau beberapa lobus. Seringkali bilateral di basal sebab ada
kecenderungan sekret untuk turun karena gravitasi ke lobus bawah. lesi yang telah
berkembang penuh agak meninggi, kering granuler, abu-abu merah, sampai kuning, dan
memiliki batas yang tidak jelas. Ukuran diameter bervariasi antara 3 sampai 4 cm.
pengelompokan fokus ini terjadi pada keadaan yang lebih lanjut (florid) yang terlihat
sebagai konsolidasi lobular total. Daerah fokus nekrosis (abses) dapat terlihat di antara
daerah yang terkena. Substansi paru di sekelilingi daerah konsolidasi biasanya agak
hipermi dan edematosa, tetapi daerah yang luas diantaranya pada umumnya normal.
Pleuritis fibrinosa atau supuratif terjadi bila fokus peradangan berhubungan dengan
pleura, tetapi ini tidak biasa. Dengan meredanya penyakit, konsolidasi dapat larut bila
tidak ada pembentukan abses, atau dapat menjadi terorganisasi meninggalkan sisa fokus
fibrosis. Secara histologis, reaksi itu terdiri dari eksudat supuratif yang memenuhi
bronki, bronkioli dan rongga alveolar yang berdekatan. Netrofil dominan dalam eksudasi
ini dan biasanya hanya didapatkan sejumlah kecil fibrin. Seperti yang diharapkan, abses
ditandai oleh nekrosis dari arsitektur dasar
Etiologi Bronkopneumonia
Bronkopneumonia dapat juga dikatakan suatu peradangan pada parenkim paru
yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur. Bakteri seperti Diplococus pneumonia,
Pneumococcus sp, Streptococcus sp, Hemoliticus aureus, Haemophilus influenza, Basilus
friendlander (Klebsial pneumonia), dan Mycobacterium tuberculosis. Virus seperti
Respiratory syntical virus, Virus influenza, dan Virus sitomegalik. Jamur seperti
Citoplasma capsulatum, Criptococcus nepromas, Blastomices dermatides, Cocedirides
immitis, Aspergillus sp, Candinda albicans, dan Mycoplasma pneumonia.
Meskipun hampir semua organisme dapat menyebabkan bronkopneumonia, penyebab
yang sering adalah stafilokokus, streptokokus, H. influenza, Proteus sp dan Pseudomonas
aeruginosa. Keadaan ini dapat disebabkan oleh sejumlah besar organisme yang berbeda
dengan patogenitas yang bervariasi. Virus, tuberkolosis dan organisme dengan
patogenisitas yang rendah dapat juga menyebabkan bronkopneumonia, namun
gambarannya bervariasi sesuai agen etiologinya.
Patogenesis Bronkopneumonia
Dalam keadaan sehat pada paru tidak akan terjadi pertumbuhan mikroorganisme,
keadaan ini disebabkan oleh adanya mekanisme pertahanan paru. Terdapatnya bakteri di
dalam paru merupakan ketidakseimbangan antara daya tahan tubuh sehingga
mikroorganisme dapat berkembang biak dan berakibat timbulnya infeksi
Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas
sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan sekitarnya.
2. BronkiolitisBronkiolitis akut adalah penyakit saluran pernapasan bayi yang lazim, akibat dari
obstruksi radang saluran pernapasan kecil yang biasanya diakibatkan oleh virus. Bronkiolitis
ditandai oleh batuk, pilek, panas, muntah, sulit makan, irritabilitas, wheezing pada saat
ekspirasi, krepitasi, takipnea, cyanosis, dada hiperinflasi, retraksi, dan air
trapping/hiperaerasi paru pada foto dada Penyakit ini terjadi selama umur 2 tahun
pertama, dengan insidens puncak pada sekitar umur 6 bulan, dan pada banyak tempat,
penyakit ini sering menyebabkan rawat inap bayi di rumah sakit. Insidensnya tertinggi
selama musim dingin dan awal musim semi. Penyakit ini terjadi secara sporadik dan
epidemik.
Etiologi
Bronkiolitis terutama disebabkan oleh Respiratory Syncitial Virus (RSV), 60–90% dari
kasus, dan sisanya disebabkan oleh virus Parainfluenzae tipe 1,2, dan 3, Influenzae B,
Adenovirus tipe 1,2, dan 5, Mycoplasma pneumonia, Bordetella pertussis, Chlamydia
pneumonia dan Ureaplasma urealyticum. RSV adalah penyebab utama bronkiolitis dan
merupakan satu- satunya penyebab yang dapat menimbulkan epidemi. mendapatkan bahwa
infeksi RSV menyebabkan bronkiolitis sebanyak 45%-90% dan menyebabkan pneumonia
sebanyak 40%. Penekanan masalah di sini tidak hanya berkaitan dengan dampak akut dari
bronkiolitis namun juga kemungkinan perkembangan menjadi asthma. Bronkiolitis sering
mengenai anak usia dibawah 2 tahun dengan insiden tertinggi pada bayi usia 6 bulan. Pada
daerah yang penduduknya padat insiden bronkiolitis oleh karena RSV terbanyak pada usia
2 bulan. Makin muda umur bayi menderita bronkiolitis biasanya akan makin berat
penyakitnya. Bayi yang menderita bronkiolitis berat mungkin oleh karena kadar antibodi
maternal (maternal neutralizing antibody) yang rendah. Selain usia, bayi dan anak dengan
penyakit jantung bawaan, bronchopulmonary dysplasia, prematuritas, kelainan neurologis
dan immunocompromized mempunyai resiko yang lebih besar untuk terjadinya penyakit
yang lebih berat. Insiden infeksi RSV sama pada laki-Iaki dan wanita, namun bronkiolitis
berat lebih sering terjadi pada laki-Iaki. Faktor resiko terjadinya bronkiolitis adalah jenis
kelamin laki-laki, status sosial ekonomi rendah, jumlah anggota keluarga yang besar,
perokok pasif, berada pada tempat penitipan anak atau ke tempat-tempat umum yang
ramai, rendahnya antibodi maternal terhadap RSV, dan bayi yang tidak mendapatkan air
susu ibu RSV menyebar melalui droplet dan inokulasi/kontak langsung, seseorang biasanya
aman apabila berjarak lebih 6 kaki dari seseorang yang menderita infeksi RSV. Droplet
yang besar dapat bertahan di udara bebas selama 6 jam, dan seorang penderita dapat
menularkan virus tersebut selama 10 hari.Di negara dengan 4 musim, bronkiolitis banyak
terdapat pada musim dingin sampai awal musim semi, di negara tropis pada musim hujan.
Anak yang lebih tua dan orang dewasa mentoleransi edema bronkiolus lebih baik
daripada bayi, dan tidak akan berkembang menjadi bronkiolitis kronis walaupun jalan napas
saluran pernapasannya yang lebih kecil terinfeksi oleh virus.
Pada satu laporan, pemeriksaan fungsi paru yang canggihdilakukan terhadap populasi
besar bayi-bayi normal. Analisis tindak lanjut menunjukkan bahwa penyakit paru mengi secara
bermakna lebih lazim dijumpai pada bayi yang hantaran pernapasan total awalnya ada pada
sepertiga terendah dari mereka yang diuji. Penurunan fungsi paru dapat memainkan peran
penting dalam menentukan bayi mana yang dengan infeksi virus yang akan berkembang
menjadi bronkiolitis.
Patofisiologi
RSV adalah single stranded RNA virus yang berukuran sedang (80-350nm), termasuk
paramyxovirus. Terdapat dua glikoprotein permukaan yang merupakan bagian penting dari
RSV untuk menginfeksi sel, yaitu protein G (attachment protein )yang mengikat sel dan protein
F (fusion protein) yang menghubungkan partikel virus dengan sel target dan sel tetangganya.
Kedua protein ini merangsang antibodi neutralisasi protektif pada host. Terdapat dua macam
strain antigen RSV yaitu A dan B. RSV strain A menyebabkan gejala yang pernapasan yang
lebih berat dan menimbulkan sekuele. Masa inkubasi RSV 2 - 5 hari. Virus bereplikasi di dalam
nasofaring kemudian menyebar dari saluran nafas atas ke saluran nafas bawah melalui
penyebaran langsung pada epitel saluran nafas dan melalui aspirasi sekresi nasofaring. RSV
mempengaruhi sistem saluran napas melalui kolonisasi dan replikasi virus pada mukosa
bronkus dan bronkiolus yang memberi gambaran patologi awal berupa nekrosis sel epitel silia.
Nekrosis sel epitel saluran napas menyebabkan terjadi edema submukosa dan pelepasan debris
dan fibrin kedalam lumen bronkiolus .
Virus yang merusak epitel bersilia juga mengganggu gerakan mukosilier, mukus
tertimbun di dalam bronkiolus . Kerusakan sel epitel saluran napas juga mengakibatkan saraf
aferen lebih terpapar terhadap alergen/iritan, sehingga dilepaskan beberapa neuropeptida
(neurokinin, substance P) yang menyebabkan kontraksi otot polos saluran napas. Pada akhirnya
kerusakan epitel saluran napas juga meningkatkan ekpresi Intercellular Adhesion Molecule-1
(ICAM-1) dan produksi sitokin yang akan menarik eosinofil dan sel-sel inflamasi. Jadi,
bronkiolus menjadi sempit karena kombinasi dari proses inflamasi, edema saluran nafas,
akumulasi sel- sel debris dan mukus serta spasme otot polos saluran napas. Adapun respon paru
ialah dengan meningkatkan kapasitas fungsi residu, menurunkan compliance, meningkatkan
tahanan saluran napas, dead space serta meningkatkan shunt. Semua faktor-faktor tersebut
menyebabkan peningkatan kerja sistem pernapasan, batuk, wheezing, obstruksi saluran napas,
hiperaerasi, atelektasis, hipoksia, hiperkapnea, asidosis metabolik sampai gagal napas. Karena
resistensi aliran udara saluran nafas berbanding terbalik dengan diameter saluran napas pangkat
4, maka penebalan dinding bronkiolus sedikit saja sudah memberikan akibat cukup besar pada
aliran udara. Apalagi diameter saluran napas bayi dan anak kecil lebih
sempit. Resistensi aliran udara saluran nafas meningkat pada fase inspirasi
maupun pada fase ekspirasi.
Selama fase ekspirasi terdapat mekanisme klep hingga udara akan
terperangkap dan menimbulkan overinflasi dada. Volume dada pada akhir
ekspirasi meningkat hampir 2 kali di atas normal. Atelektasis dapat terjadi bila
obstruksi total. Anak besar dan orang dewasa jarang mengalami bronkiolitis bila
terserang infeksi virus. Perbedaan anatomi antara paru- paru bayi muda dan anak
yang lebih besar mungkin merupakan kontribusi terhadap hal ini. Respon
proteksi imunologi terhadap RSV bersifat transien dan tidak lengkap. Infeksi
yang berulang pada saluran napas bawah akan meningkatkan resistensi terhadap
penyakit. Akibat infeksi yang berulang-ulang, terjadi „cumulatif immunity‟
sehingga pada anak yang lebih besar dan orang dewasa cenderung lebih tahan
terhadap infeksi bronkiolitis dan pneumonia karena RSV.
Penyembuhan bronkiolitis akut diawali dengan regenerasi epitel bronkus
dalam 3-4 hari, sedangkan regenerasi dari silia berlangsung lebih lama dapat
sampai 15 hari . Ada 2 macam fenomena yang mendasari hubungan antara
infeksi virus saluran napas dan asma: (1) Infeksi akut virus saluran napas pada
bayi atau anak keci lseringkali disertai wheezing. (2) Penderita wheezing
berulang yang disertai dengan penurunan tes faal paru, ternyata seringkali
mengalami infeksi virus saluran napas pada saat bayi/usia muda. Infeksi RSV
dapat menstimulasi respon imun humoral dan selular. Respon antibodi sistemik
terjadi bersamaan dengan respon imun lokal. Bayi usia muda mempunyai respon
imun yang lebih buruk.
Tujuh puluh sampai delapan puluh persen anak dengan infeksi RSV
memproduksi IgE dalam 6 hari perjalanan penyakit dan dapat bertahan sampai 34
hari. IgE-RSV ditemukan dalam sekret nasofaring 45% anak yang terinfeksi RSV
dengan mengi, tapi tidak pada anak tanpa mengi. Bronkiolitis yang disebabkan
RSV pada usia dini akan berkembang menjadi asma bila ditemukan IgE spesifik
Manifestasi klinis
Sebagian besar bayi yang terkena bronkiolitis mempunyai riwayat terpajan
dengan anak yang lebih tua atau orang dewasa yang menderita penyakit
pernapasan ringan pada minggu sebelum mulainya penyakit. Bayi mula-mula
menderita infeksi ringan pada saluran pernapasan atas disertai dengan ingus yang
serous dan bersin. Gejala-gejala ini biasanya berakhir beberapa hari dan dapat
disertai dengan penurunan nafsu makan dan demam 38,5- 39°C, walaupun
demikian suhu dapat berkisar dari subnormal sampai meningkat dengan jelas.
Perkembangan kegawatan pernapasan secara bertahap ditandai dengan batuk
mengi paroksismal, dispnea, dan irritabilitas. Bayi akan mengalami kesulitan
untuk menyusu-ibu ataupun botol, karena frekuensi pernapasan yang cepat
tersebut tidak memberikan kesempatan untuk mengisap dan menelan. Pada
kasus ringan, gejala-gejala menghilang dalam 1-3 hari. Pada penderita yang
terkena lebih berat, gejala-gejala dapat berkembang dalam berberapa jam dan
perjalanan penyakit berlarut-larut. Manisfestasi sistemik lainnya, seperti muntah
dan diare biasanya tidak ada.
Suatu pemeriksaan mengungkapkan bahwa bayi takipnea sering dalam
keadaan sangat distress. Pernapasan berkisar dari 60-80/menit; haus-udara berat
dan sianosis dapat terjadi. Cuping hidung melebar, dan penggunaan otot-otot
asesoris pernapasan menimbulkan retraksi interkostal dan subkostalyang dangkal
karena paru terus-menerus terdistensi oleh udara yang terperangkap. Depresi hati
dan limpa akibat overinflasi paru dapat mengakibatkannya teraba di bawah tepi
kosta. Krepitasi halus yang tersebar dapat didengar pada akhir inspirasi dan awal
ekspirasi. Fase ekspirasi pernapasan diperpanjang, dan mengi biasanya dapat
didengar. Pada sebagian besar kasus yang berat, suara pernapasan hampir tidak
dapat didengar bila obstruksi bronkiolus hampir total. Pada beberapa pasien
dengan bronkiolitis didapatkan konjungtivitis ringan, otitis media serta
faringitis.Ada bentuk kronis bronkiolitis, biasanya disebabkan oleh karena
adenovirus atau inhalasi zat toksis (hydrochloric, nitric acids ,sulfur dioxide).
K. Penatalaksanaan Pneumonia
a. Terapi antibiotika awal: menggambarkan tebakan terbaik berdasarkan
pada klasifikasi pneumonia dan kemungkinan organisme, karena hasil
mikrobiologis tidak tersedia selama 12-72 jam. Tetapi disesuaikan
bila ada hasil dan sensitivitas antibiotika
b. Tindakan suportif: meliputi oksigen untuk mempertahankan PaO2 > 8
kpA hemodinamik
Bantuan ventilasi: ventilasi non invasif (misalnya tekanan jalan napas
positif kontinu (continous positive airway pressure), atau ventilasi
mekanis mungkin diperlukan pada gagal napas. Fisioterapi dan
bronkoskopi membantu bersihan sputum
Antibiotika
Setelah dokter menetapkan perlu diberikannya antibiotika kepada pasien,
cara berikutnya adalah memilih antibiotika, serta menentukan dosis dan cara
pemberian. Dalam memilih antibiotika yang tepat harus dipertimbangkan
sensitivitas bakterinya terhadap antibiotika, keadaan tubuh hospes, dan
faktor biaya pengobatan.
Untuk mengetahui kepekaan mikroba terhadap antibiotika secara pasti
perlu dilakukan pembiakan kuman penyebab infeksi, yang diikuti dengan uji
kepekaan. Bahan biologik dari hospes untuk pembiakan, diambil sebelum
pemberian antibiotika. Setelah pengambilan bahan tersebut, terutama dalam
keadaan penyakit infeksi yang berat, terapi dengan antibiotika dapat dimulai
dengan memilih antibiotika yang tepat berdasarkan gambaran klinik pasien.
Dalam praktek sehari-hari tidak mungkin melakukan pemeriksaan biakan
pada setiap terapi penyakit infeksi. Bila dapat diperkirakan kuman
penyebab dan pola kepekaannya, dapat dipilih antibiotika yang tepat. Bila
dari hasil uji kepekaan ternyata pilihan antibiotika semula tadi tepat serta
gejala klinik jelas membaik dapat dilanjutkan terus dengan menggunakan
antibiotika tersebut. Dalam hal hasil uji sensitivitas menunjukkan ada
antibiotika yang lebih efektif, sedangkan dengan antibiotika semula gejala
klinik penyakit menunjukkan perbaikan-perbaikan yang meyakinkan,
antibiotika semula tersebut sebaiknya dilanjutkan. Tetapi bila hasil
perbaikan klinik kurang memuaskan, antibiotika yang diberikan semula dapat
diganti dengan yang lebih tepat, sesuai dengan hasil uji sensitivitas.
Pada infeksi berat seringkali harus segera diberikan antibiotika
sementara sebelum diperoleh hasil pemeriksaan mikrobiologik. Pemilihan ini
harus didasarkan pada pengalaman empiris yang rasional berdasarkan
perkiraan etiologi yang paling mungkin serta antibiotika terbaik untuk
infeksi tersebut. Memilih antibiotika yang didasarkan pada luas spektrum
kerjanya, tidak dibenarkan karena hasil terapi tidak lebih unggul daripada
hasil terapi dengan antibiotika berspektrum sempit, sedangkan superinfeksi
lebih sering terjadi dengan antibiotika berspektrum luas
Daftar nama kuman penyebab pneumonia dan terapi empiris antibiotika yang digunakan
Agen Penyebab
Antibiotika Yang
Digunakan
Pilihan
Antibiotika Lain
Tanggapan
Legionella Eritromisin dengan atau tanparifampin siprofloksasin
Klaritromisin atau azitromisin,
rifampin, doksisiklin dengan rifampin, ofloksasin
Mycoplasma pneumoniae
Doksisiklin, eritromisin
Klaritromisin atau azitromisin, rifampin, siprofloksasin atau ofloksasin
Selama1-2 minggu
Chlamydia pneumoniae
Doksisiklin, eritromisin
Klaritromisin atau azitromisin, Siprofloksasin atau ofloksasin
Selama1-2 minggu
Chlamydia psittaci
Doksisiklin Eritromisin, kloramfenikol
S. pneumonia Sensitif terhadap penisilin(MIC < 0,1 ug/ml)
Penisilin G atau V
Sefalosporin: sefazolin,
sefuroksim,
sefotaksim,
seftizoksim,
seftriakson,
sefalosporin oral
Dosis untuk penyakit berat: Penisilin IV:0,5 juta unit/4 jamSefuroksim:750 mg/8 jam IV Seftriakson:2 g/hari IV Sefotaksim: 2 g/6 jam IV Vankomisin:1 g/12 jam IV
Resistensi sedang terhadap penisilin
(MIC 0,1-1 ug/ml)
Penisilin G:2-3 juta unit/4 jamseftriakson, sefotaksim. Agen oral: makrolida, sefuroksim, sefodoksim
Vankomisin Tingkat resistensi sedang:
0,1-1 ug/ml; 80% biasanya sensitif terhadap sefalosporin
Resistensi tinggi terhadap Penisilin (MIC > 1 ug/ml)
Vankomisin Imipenem Resistensi tingkat tinggi:> 1 ug/ml;20% perlu vankomisin
H. influenzae Sefalosporin generasi kedua atau ketiga, klaritromisin, azitromisin, trimetoprin- sulfametoksazol
Tetrasiklin;
betalaktam- betalaktamase, fluorokuinolon, kloramfenikol
S. aureus Nafsilin/oxasillin dengan atau tanparimfapisin atau gentamisin
Sefazolin atau sefuroksim,
vankomisin, klindamisin, trimetoprin- sulfametoksazol,
FluorokuinolonEnterobakteriaceae (E. coli,Klebsiella, Proteus, Enterobacter)
Sefalosporin generasi kedua atau ketiga dengan/tanpa aminoglikosida
Aztreonam, imipenem, betalaktam- betalaktamase
L. Pencegahan Pneumonia
Pencegahan Primer
Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko
terhadap kejadian pneumonia. Upaya yang dapat dilakukan antara lain:2
a. Memberikan imunisasi campak pada usia 9 bulan dan imunisasi DPT
(Diphteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali yaitu pada usia 2, 3, dan 4
bulan.
b. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberikan ASI pada
bayi neonatal sampai berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada
balita.Di samping itu, zat-zat gizi yang dikonsumsi bayi dan anak-anak
juga perlu mendapat perhatian.
c. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan
polusi di luar ruangan.
d. Mengurangi kepadatan hunian rumah.
Pencegahan Sekunder
Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah
orang yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit,
menghindari komplikasi, dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan
sekunder meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat sehingga dapat
mencegah meluasnya penyakit dan terjadinya komplikasi. Upaya yang dapat
dilakukan antara lain:
a. Pneumonia berat : dirawat di rumah sakit, diberikan antibiotik
parenteral dan penambahan oksigen.
b. Pneumonia : diberikan antibiotik kotrimoksasol oral, ampisilin atau
amoksilin
c. Bukan Pneumonia : perawatan di rumah saja. Tidak diberikan terapi
antibiotik. Bila demam tinggi diberikan parasetamol. Bersihkan
hidung pada anak yang mengalami pilek dengan menggunakan
lintingan kapas yang diolesi air garam. Jika anak mengalami nyeri
tenggorokan, beri penisilin dan dipantau selama 10 hari ke depan.
Pencegahan Tertier
Tujuan utama dari pencegahan tertier adalah mencegah agar tidak
munculnya penyakit lain atau kondisi lain yang akan memperburuk kondisi
balita, mengurangi kematian serta usaha rehabilitasinya. Pada pencegahan
tingkat ini dilakukan upaya untuk mencegah proses penyakit lebih lanjut
seperti perawatan dan pengobatan.
Upaya yang dilakukan dapat berupa:
a. Melakukan perawatan yang ekstra pada balita di rumah, beri
antibiotik selama 5 hari, anjurkan ibu untuk tetap kontrol bila keadaan anak
memburuk.
b. Bila anak bertambah parah, maka segera bawa ke sarana
kesehatan terdekat agar penyakit tidak bertambah berat dan tidak menimbulkan
kematian.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan gejala dan tanda pada pasien di skenario, seorang anak
berumur 13 bulan tersebut megalami Penuomoni. Pneumonia adalah penyakit
saluran napas bawah (lower respiratory tract (LRT)) akut, biasanya
disebabkan oleh infeksi. Penderita pneumonia memiliki gejala khas berupa sesak
nafas dan tanda khas berupa retraksi dinding dada. Diagnosis ditegakan melalui
pemeriksaan penunjang yaitu
Pada pemeriksaan laboratorium tes darah rutin terdapat peningkatan sel
darah putih (White blood Cells, WBC) biasanya didapatkan jumlah WBC
15.000- 40.000/mm3. Gambaran radiologis pada pneumonia menunjukkan
gambaran infiltrat intertisial dan hiperinflasi. Pneumonia yang disebabkan
oleh kuman
DAFTAR PUSTAKA
Guyton, Arthur Clifton & John E.Hall.2006. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran,
Edisi 11. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sherwood, Lauralee. 1996. Fisiologi Manusia Dari Sel Ke Sistem, Edisi 2.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Adams. George L. Boies: Buku Ajar Penyakit THT, Edisi 6. 1997. EGC – Jakarta.
Soepardi EA, Iskandar N, Bashir.uddin J, Restuti RD, Buku Ajar Ilmu Kesehatan
THT-KL. Edisi 7. FK UI 2012 – Jakarta.