pph badan pdf
DESCRIPTION
Materi kuliah pph badanTRANSCRIPT
-
1
BAB I
SUBJEK PPh BADAN
PENGANTAR
Modul Pajak Penghasilan Badan, pada dasarnya merupakan kelanjutan dari modul Pajak
Penghasilan Orang Pribadi. Pembaca modul ini diharapkan telah mempelajari modul PPh Orang
Pribadi untuk mempermudah pemahaman PPh secara umum
Agar kita Iebih mudah dan urut dalam memahami PPh Badan, terlebih dahulu kita akan
membahas siapa saja badan-badan yang dikenakan PPh dan penghasilan apa saja yang dikenakan
ataupun tidak dikenakan PPh. Setelah itu kita akan belajar bagaimana menghitung PPh Badan.
SUBJEK PAJAK
Subjek PPh Badan bukan hanya perusahaan. Yang dimaksud dengan badan adalah sekumpulan
orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang melakukan usaha maupun yang tidak
melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN,
BUMD dengan nama dan bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik atau organisasi yang sejenis,
lembaga, Bentuk Usaha Tetap (BUT), dan bentuk badan Iainnya.
Subjek Pajak Badan dibedakan menjadi dua yaitu :
1. Subjek Pajak Badan Dalam Negeri
Subjek Pajak Badan dalam negeri adalah badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di
Indonesia. Kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia dan berakhir pada saat badan tersebut dibubarkan atau tidak
lagi bertempat kedudukan di Indonesia.
2. Subjek Pajak Badan Luar Negeri.
Subjek Pajak Badan Luar Negeri adalah badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang memperoleh atau menerima penghasilan di Indonesia baik melalui BUT maupun tidak melalui BUT. Kewajiban pajak subjektifnya dimulai pada saat
menjalankan usaha melalui BUT ataupun pada saat menerima dan memperoleh penghasilan.
Sedangkan berakhirnya adalah pada saat tidak lagi menjalankan usaha di Indonesia dengan
melalui BUT atau tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia.
A. Subjek Pajak BUT
Bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus
delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di
Indonesia (Pasal 2 ayat (5) UU PPh No 36 Tahun 2008). Walaupun BUT adalah Wajib Pajak Luar
Negeri tetapi pengenaan pajaknya disamakan dengan Wajib Pajak Badan Dalam Negeri dengan
modifikasi dalam metode penentuan laba serta penambahan tarif PPh Pasal 26 ayat (4).
Contoh :
Misalnya BundesGesselshaft Gmbh Jerman mempunyai kantor cabang di Indonesia berarti BundesGesselshaft Gmbh merupakan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
-
Pajak Penghasilan Badan
2
Indonesia tetapi menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui suatu BUT di Indonesia.
BundesGesselshaft Gmbh dikenakan PPh di Indonesia melalui BUT tersebut. BUT dapat juga berupa bentuk usaha yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak Iebih dari 183 hari dalam jangka waktu
12 bulan, untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Contoh :
Misalnya Mr. Xie tinggal di Hongkong tetapi membuka jasa konsultan di Indonesia berupa
kantor cabang maka Mr. Xie dapat diartikan sebagai BUT Orang Pribadi yang menjalankan usaha di
Indonesia tetapi tidak bertempat tinggal di Indonesia.
B. Pengecualian Subjek Pajak Badan
1) Beberapa Badan yang dikecualikan sebagai Subjek PPh adalah :
a. kantor perwakilan negara asing;
b. pejabat-pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara
asing dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat
tinggal bersama-sama mereka dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan di Indonesia
tidak menerima atau memperoleh penghasilan di luar jabatan atau pekerjaannya tersebut
serta negara bersangkutan memberikan perlakuan timbal balik;
c. organisasi-organisasi internasional dengan syarat:
1. Indonesia menjadi anggota organisasi tersebut;dan
2. tidak menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain memberikan pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari
iuran para anggota;
d. pejabat-pejabat perwakilan organisasi internasional sebagaimana dimaksud pada huruf c,
dengan syarat bukan warga negara Indonesia dan tidak menjalankan usaha, kegiatan, atau
pekerjaan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia.
2) Organisasi internasional yang tidak termasuk subjek pajak sebagaimana dimaksud pada angka
(1) huruf c ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan.
Pengecualian subjek pajak diatur dalam Pasal 3 dan penjelasan pasal 2 ayat 1 UU PPh jo. PMK No
215/PMK.03/2008 jo PMK 15/PMK.03/2010.
C. Hubungan Istimewa antara Subjek Pajak
Pasal 18 ayat (4) UU PPh telah mendefinisikan Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa satu
sama lain. Hubungan istimewa di antara Wajib Pajak dapat terjadi karena ketergantungan atau
keterikatan satu dengan yang lain yang disebabkan karena:
1. kepemilikan atau penyertaan modal;
2. adanya penguasaan melalui manajemen atau penggunaan teknologi.
3. terdapat hubungan keluarga baik sedarah maupun semenda dalam garis keturunan lurus
dan/atau kesamping satu derajat
Hubungan istimewa tersebut secara lengkap berbentuk sebagai berikut :
1. Hubungan Modal
Wajib Pajak mempunyai penyertaan modal Iangsung atau tidak langsung paling rendah 25%
(dua puluh lima persen) pada Wajib Pajak lain, atau hubungan antara Wajib Pajak dengan
penyertaan paling rendah 25 % (dua puluh lima persen) pada dua Wajib Pajak atau lebih,
demikian pula hubungan antara dua Wajib Pajak atau lebih yang disebut terakhir.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila terdapat hubungan kepemilikan yang berupa
penyertaan modal sebesar 25% (dua puluh lima persen) atau lebih secara langsung ataupun
tidak langsung. Misalnya, PT A mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT B. Pemilikan
saham oleh PT A merupakan penyertaan langsung.
-
3
Selanjutnya apabila PT B tersebut mempunyai 50% (lima puluh persen) saham PT C, maka PT
A sebagai pemegang saham PT B secara tidak langsung mempunyai penyertaan pada PT C
sebesar 25% (dua puluh lima persen). Dalam hal demikian antara PT A, PT B, dan PT C
dianggap terdapat hubungan istimewa. Apabila PT A juga memiliki 25% (dua puluh lima
persen) saham PT D, maka antara PT B, PT C, dan PT D dianggap terdapat hubungan istimewa.
Hubungan kepemilikan seperti tersebut di atas dapat juga terjadi antara orang pribadi dan
badan.
2. Hubungan Penguasaan
Hubungan istimewa karena pengusaan timbul jika Wajib Pajak menguasai Wajib Pajak lainnya,
atau dua atau lebih Wajib Pajak berada di bawah penguasaan yang sama baik langsung maupun
tidak langsung. Hubungan istimewa antara Wajib Pajak dapat juga terjadi karena penguasaan
melalui manajemen atau penggunaan teknologi, kendati pun tidak terdapat hubungan
kepemilikan.
Hubungan istimewa dianggap ada apabila satu atau lebih perusahaan berada di bawah
penguasaan yang sama. Demikian juga hubungan antara beberapa perusahaan yang berada
dalam penguasaan yang sama tersebut.
3. Hubungan Keluarga
Hubungan istimewa dapat timbul diantara orang pribadi-orang pribadi pemegang saham
perusahaan yang memiliki hubungan keluarga baik sedarah ataupun semenda dalam garis
keturunan lurus dan atau ke samping satu derajat (Pasal 18 ayat (4) UU PPh). Yang dimaksud
dengan orang-orang yang memiliki hubungan keluarga baik sedarah dalam garis keturunan
lurus dan atau ke samping satu derajat yaitu :
Hubungan sedarah
ayah, ibu, dan anak (garis keturunan lurus satu derajat), saudara kandung atau saudara
tiri (garis keturunan ke samping satu derajat).
Keluarga semenda
Mertua dan anak tiri (garis keturunan lurus satu derajat), ipar (garis keturunan ke
samping satu derajat).
Status hubungan istimewa diatas akan berpengaruh pada 4 hal yaitu :
1. Keuntungan atas jual beli aktiva tetap diantara subjek pajak yang memiliki hubungan istimewa
dihitung dengan cara mengurangkan harga pasar wajar aktiva tersebut dengan nilai bukunya.
Harga Pasar disini adalah nilai yang seharusnya diterima dalam transaksi normal (arm-length transaction) (Pasal 10 ayat (1)) UU PPh; Ketentuan ini bertujuan untuk menghin dari jual beli secara tidak wajar.
2. Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan
Kena Pajak sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh
hubungan istimewa (Pasal 18 ayat (3)) UU PPh;
3. Direktur Jenderal Pajak berwenang melakukan perjanjian dengan Wajib Pajak dan bekerja
sama dengan pihak otoritas pajak negara lain untuk menentukan harga transaksi antar pihak-
pihak yang mempunyai hubungan istimewa (Pasal 18 ayat (3a) UU PPh);
4. Jumlah yang melebihi kewajaran yang dibayarkan kepada pemegang saham (orang pribadi atau
badan) atau kepada pihak yang mempunyai hubungan istimewa sebagai imbalan sehubungan dengan pekerjaan yang dilakukan tidak boleh menjadi biaya (Pasal 9 ayat (1) huruf f UU PPh).
-
Pajak Penghasilan Badan
4
D. Kasus Subjek Pajak Badan
Contoh Kasus :
Won Han Construction Ltd. adalah perusahaan yang berdomisili di suatu negara asing. Pada bulan Juni 2007 memenangkan tender membangun gedung di Jakarta. Untuk melaksanakan proyek tersebut
Won Han Construction Ltd. memiliki tiga pilihan bentuk usaha yaitu : 1. Membuka Won Han Construction Ltd. cabang Jakarta; 2. Membentuk PT Won Han Construction Indonesia yang berstatus Penanaman Modal Asing
(PMA);
3. Tidak membentuk badan apapun di Indonesia. Semua persiapan pekerjaan konstruksi dilakukan
di negara domisilinya. Begitu datang ke Indonesia langsung melaksanakan proyek seefisien
mungkin. Begitu selesai dan dibayar langsung balik lagi ke negara domisilinya.
Kasus :
Bentuk usaha seperti apa yang dipilih dan apa konsekuensi pajaknya?
Pembahasan :
Bentuk usaha no.3 yaitu tidak membuat badan apapun di Indonesia adalah bentuk paling
ideal karena resiko pajaknya paling kecil. Tetapi UU PPh pasal 2 ayat (5) huruf i menyatakan
bahwa bentuk usaha tetap jasa konstruksi langsung muncul pada hari pertama proyek
dilaksanakan. Apabila proyek konstruksi adalah 1 tahun berarti Won Han Construction Ltd langsung menjadi subjek pajak luar negeri dengan BUT pada hari pertama. Jadi, pengenaan
pajak sama dengan WP DN.
Bentuk usaha cabang berdasarkan pasal 2 ayat (5) huruf b adalah bentuk usaha tetap
sehingga konsekuensi pajaknya sama seperti pilihan no. 3
Pilihan no.2, yaitu menjadi PMA berarti langsung menjadi subjek pajak dalam negeri,
karena PMA berdomisili / berkedudukan di Indonesia.
-
5
BAB II
OBJEK PPh BADAN
PENGANTAR
Pada prinsipnya Objek PPh Badan adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan
ekonomis yang diterima oleh Wajib Pajak. Objek PPh bagi Wajib Pajak Badan dapat dibedakan
menjadi dua yaitu :
1. Penghasilan Badan Dalam Negeri
Objek Pajak Badan dalam negeri adalah semua penghasilan yang diterima atau diperoleh oleh
Badan tersebut dengan prinsip WWI (World Wide Income), yang diterima baik dari dalam maupun luar negeri. Hal ini diatur dalam Pasal 4 ayat (1) UU No. 36 Tahun 2008 tentang Pajak
PenghasiIan.
2. Penghasilan Badan Luar Negeri (BUT maupun WP LN bukan BUT). Penghasilan WP Badan
Luar Negeri ada 2 macam yaitu :
a. Penghasilan WP Badan Luar Negeri BUT
Dalam pasal 5 UU PPh diatur tentang Objek Pajak BUT yaitu :
1) penghasilan dari usaha atau kegiatan BUT dan dari harta yang dimiliki atau
dikuasai;
2) penghasilan kantor pusat dari usaha atau kegiatan, penjualan barang atau
pemberian jasa di Indonesia yang sejenis dengan yang dilakukan atau dijalankan
oleh BUT di Indonesia;
3) penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 26 UU PPh, yang diterima atau
diperoleh kantor pusat, sepanjang terdapat hubungan efektif antara BUT dengan
harta atau kegiatan yang memberikan penghasilan tersebut.
b. Penghasilan WP Badan Luar Negeri Bukan BUT
Penghasilan WP Badan Luar Negeri Bukan BUT adalah penghasilan-penghasilan yang
diterima atau diperoleh Badan Luar Negeri yang bukan berasal dari usaha atau kegiatan
di Indonesia tetapi berupa penghasilan modal (passive income). Contohnya adalah penghasilan dividen, bunga, royalti, sewa, hadiah, maupun capital gain.
A. KLASIFIKASI OBJEK PAJAK BADAN
Objek Pajak Badan diatur dalam Pasal 4 UU PPh. Dalam Pasal 4 ayat (1) UU PPh diatur
penghasilan-penghasilan yang menjadi objek pajak. Dalam Pasal 4 ayat (2) ditentukan bahwa
jenis-jenis penghasilan tertentu pajaknya ditetapkan secara final. Selain itu dalam Pasal 4 ayat
(3) ditetapkan jenis-jenis penghasilan tertentu yang bukan merupakan objek pajak. Dari semua
jenis penghasilan di Indonesia dapat digolongkan menjadi 3 macam yaitu :
A. Penghasilan yang merupakan Objek Pajak yang dipotong PPh tidak bersifat Final (Pasal 4 ayat (1));
B. Penghasilan yang bukan merupakan Objek Pajak (Pasal 4 ayat (3)). C. Penghasilan yang merupakan Objek Pajak PPh Final (Pasal 4 ayat (2));
Penjelasan mengenai penggolongan penghasilan:
-
Pajak Penghasilan Badan
6
A. Pasal 4 ayat (1) UU PPh pada dasarnya menyatakan bahwa objek pajak badan adalah
tambahan kemampuan ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis tersebut dapat
dikelompokkan manjadi 3 macam yaitu : 1. Penghasilan dari usaha atau kegiatan
a. laba usaha;
b. premi asuransi (yang diterima perusahaan asuransi);
c. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari
Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
d. hadiah dari pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan (yang diterima badan);
2. Penghasilan dari modal (investasi)
a. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :
1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan
lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;
2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota
yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya;
3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan,
pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun;
4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan,
kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu
derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan,
koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang
ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang
tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di
antara pihak-pihak yang bersangkutan; dan
5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak
penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam
perusahaan pertambangan;
b. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
c. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan
asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;
d. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;
e. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
3. Penghasilan lain-lain
a. hadiah dari undian;
b. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
c. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
d. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang
ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
e. keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
f. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
g. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak
h. penghasilan dari usaha berbasis syariah;
i. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur
mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan
j. surplus Bank Indonesia.
B. Klasifikasi Penghasilan Bukan Objek Pajak (Pasal 4 ayat (3))
Jenis-jenis penghasilan yang bukan merupakan objek pajak berdasarkan Pasal 4 ayat (3) jo.
PMK.-245/PMK.03/2008 dapat dikelompokkan menjadi beberapa kriterita/alasan yaitu :
1. Alasan Pengalihan Titik Pemajakan
-
7
Penghasilan yang tidak menjadi objek pajak karena alasan pengalihan titik
pemajakan adalah:
a. 1) bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil
zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh Pemerintah
dan para penerima zakat yang berhak;
2) harta hibahan yang diterima oleh badan keagamaan atau badan pendidikan
atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan
oleh Menteri Keuangan;
sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau
penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
b. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima
atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau
Pemerintah;
Penghasilan-penghasilan diatas bukan merupakan objek pajak karena titik pemajakan
atas penghasilan tersebut bukan pada pihak yang menerima tetapi pada pihak yang
memberikan penghasilan. Pihak yang menyerahkan penghasilan dikenakan pajak dengan
cara tidak dapat membiayakan pengeluaran tersebut. Dengan demikian pajak atas
sumbangan, bantuan dan penggantian dalam bentuk natura dikenakan bukan pada pihak
yang menerima sumbangan, bantuan atau natura tetapi pada pihak yang memberikan
penghasilan tersebut.
2. Alasan Pengalihan Saat Pemajakan
Penghasilan yang tidak menjadi objek pajak karena alasan pengalihan saat pemajakan
adalah iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun
pegawai.
Pajak atas pembayaran pensiun dialihkan saat pengenaannya, yaitu pada saat menerima
pensiun sedangkan pada saat membayar iuran pensiun dibebaskan dari pengenaan pajak
(bagi dana pensiun yang menerima bukan penghasilan dan bagi peserta yang iuran
pensiunnya dibayar perusahaan bukan penghasilan).
3. Alasan Insentif Investasi
Penghasilan yang tidak menjadi objek pajak karena alasan insentif investasi adalah:
a. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai
Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, Badan Usaha Milik Negara, atau Badan Usaha
Milik Daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan
bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat : 1) dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan
2) bagi perseroan terbatas, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah
yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan
dividen paling rendah 25 % (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang
disetor dan harus mempunyai usaha aktif di luar kepemilikan saham tersebut.
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah
disahkan Menteri Keuangan dari penanaman modal, dalam bidang-bidang tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Menteri Keuangan; PMK-234/PMK.03/2009.
c. bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksadana selama 5 (lima)
tahun pertama sejak pendirian perusahaan atau pemberian ijin usaha;
d. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian
laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau
kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut : 1) merupakan perusahaan kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam
sektor-sektor usaha yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Keuangan; dan
-
Pajak Penghasilan Badan
8
2) sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia.
e. Keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu
yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;
Selanjutnya PP yang dimaksud adalah PP No. 130 Tahun 2000 tanggal 15
Desember 2000 yang mengatur bahwa yang dapat dibebaskan dari PPh adalah
utang debitur kecil, yaitu utang usaha yang jumlahnya tidak lebih dari 350 juta,
termasuk :
- Kukesra (Kredit Usaha Keluarga Prasejahtera);
- KUT (Kredit Usaha Tani);
- KPRSS (Kredit Pemilikan Rumah Sangat Sederhana);
- KUK (Kredit Usaha Kecil);
- Kredit lainnya dalam rangka kebijakan perkreditan BI dalam rangka
mengembangkan usaha kecil dan koperasi (yang merupakan jumlah
kumulatif dari satu atau beberapa bank kreditur).
Pembebasan utang terhadap Wajib Pajak Badan yang melakukan restrukturisasi
perusahaan dengan melaksanakan program Pemerintah mengikuti ketentuan yang
ditetapkan BPPN diatur dalam KEP-237/PJ./2001 tanggal 28 Maret 2001 jo. KEP-
563/Pj./2001 tanggal 8 Agustus 2001 yang menetapkan bahwa Wajib Pajak tersebut
dapat memilih pengakuan penghasilan :
- sekaligus dalam tahun diperolehnya pembebasan utang;
- dialokasikan dalam jangka waktu 5 tahun dalam jumlah yang sama besar
(20% per tahun);
- Wajib Pajak memberitahukan ke KPP dengan formulir yang sudah
disediakan, selambat-Iambatnya pada saat SPT Tahunan PPh disampaikan ke
KPP, tidak memberitahukan berarti diakui sekaligus;
- Sedangkan pengakuan penghapusan piutang dapat diakui oleh kreditur
secara sekaligus pada tahun penghapusan piutang.
4. Alasan Penegasan Standar Akuntansi
Penghasilan yang tidak menjadi objek pajak karena alasan penegasan standar akuntasi
adalah :
a. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham
atau sebagai pengganti penyertaan modal;
b. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang
modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan
kongsi;
C. Objek Pajak Yang Dikenakan PPh Final
Dibawah ini adalah Daftar Objek Pajak Badan yang dikenakan pajak bersifat final
NO OBJEK PAJAK TARIF DASAR HUKUM
1. Penghasilan transaksi penjualan saham di
bursa efek:
- untuk semua transaksi semua saham
- untuk transaksi penjualan saham
sendiri
0,1% x Ph Bruto
(0,1% x PPh Bruto) +
(0,5% x nilai saham
pada saat IPO)
PP No. 41/1994 jo.
PP No. 14/1997 jo.
KMK-
282/KMK.04/1997 jo
SE-06/Pj.04/1997
2. Penghasilan berupa hadiah undian 25% X Ph Bruto PP No. 132/2000
3. Penghasilan bunga deposito, termasuk
simpanan pada bank DN yang memiliki
cabang di LN
20% x Ph Bruto PP No. 131/2000
-
9
4. Penghasilan bunga tabungan, jasa, giro,
dan diskonto
20% x Ph Bruto
5. Penghasilan dari sewa tanah dan/atau
bangunan
10 % x Ph Bruto PP No. 5/2002
6. Penghasilan perusahaan ventura dari
transaksi penjualan saham atau pengalihan
penyertaan modal pada perusahaan
pasangan usaha (syarat :merupakan
pengusaha kecil dan sahamnya tidak
diperdagangkan di bursa efek di
Indonesia)
0,1 % x Ph bruto
PP No.4/1995
7. Penghasilan yang diterima WP
perusahaan pelayaran DN
1,2 % X Ph bruto
KMK-
416/KMK.04/1996 jo.
SE-29/PJ.04/1996
8. Penghasilan yang diterima WP
perusahaan pelayaran LN dan/atau
penerbangan LN
2,64 % x Ph bruto KMK-417/KMK.04/
1996
9.
Penghasilan yang diterima/diperoleh
berupa bunga atau diskonto obligasi yang
dijual di bursa efek :
- Diterima WP DN
- Diterima WP LN
15 % x Ph Bruto
20 % x Ph Bruto
PP No. 139/2000
KMK-
558/KMK.04/2000
PP No. 6/2002
PMK-
256/PMK.03/2008
10. Penghasilan berupa selisih lebih karena
revaluasi aktiva tetap
10% x selisih dari nilai
appraisal dan NSBF
KMK-
486/KMK.03/2002
11. Pungutan PPh atas penyerahan premium,
solar, premix kepada :
- SPBU Pertamina
- SPBU Swasta
0,25 % x penjualan
0,30 % x penjualan
12. Pungutan PPh oleh Pertamina dan Badan
Usaha selain Pertamina atas penyerahan
minyak tanah, gas LPG, dan pelumas
0,30 % x penjualan
13. Penghasilan dari penjualan harta di
Indonesia yang diterima WP LN selain
BUT di Indonesia
14. Dan premi asuransi yang dibayarkan
kepada perusahaan asuransi di LN
20 % x perkiraan Ph
bruto atau sesuai tarif
Tax Treaty Pasal 26 UU PPh
15. Penghasilan Kena Pajak sesudah dikurangi
pajak dari suatu BUT di Indonesia (kecuali
penghasilan tersebut ditanamkan kembali
di Indonesia)
20 % x perkiraan Ph
bruto atau sesuai tarif
Tax Treaty
Pasal 26 UU PPh
16. Penghasilan yang diterima /diperoleh WP
LN atas penghasilan yang bersumber dari
Indonesia berupa :
- dividen
- bunga, termasuk premium,
diskonto, dan imbalan
sehubungan dengan jaminan
pengembalian utang
- royalti, sewa, dan penghasilan
lain sehubungan dengan
penggunaan harta
- hadiah dan penghargaan
- banyaknya
20 % x perkiraan Ph
bruto atau sesuai tarif
Tax Treaty
Pasal 26 UU PPh
-
Pajak Penghasilan Badan
10
CARA MENGHITUNG PPh TERUTANG
Penghitungan PPh terutang dapat dilihat dalam Pasal 16 UU PPh. Penghasilan Kena Pajak bagi
Wajib Pajak dalam suatu tahun pajak dihitung dengan cara mengurangkan penghasilan dengan biaya
yang berkaitan dengan mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek
Pajak. Pengurangan tersebut akan menghasilkan penghasilan neto. Untuk mencari PPh yang
terutang, penghasilan neto yang merupakan Penghasilan Kena Pajak (PKP) dikalikan tarif pasal 17
UU PPh.
TARIF PAJAK
Sebelum Tahun 2009 (Berdasarkan UU PPh No 17 Tahun 2000)
Wajib Pajak Badan dikenakan pajak penghasilan dengan tarif sesuai pasal 17 UU PPh sebagai berikut :
Contoh : Penghasilan Kena Pajak Rp 70.000.000,00
PPh terutang
- 10% x 50.000.000 Rp. 5.000.000,00
- 15% x 20.000.000 Rp. 3.000.000,00
Jumlah PPh terutang Rp 8.000.000,00
Per 1 Januari Tahun 2009 (Berdasarkan UU PPh No 36 Tahun 2008)
Wajib Pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah sebesar 28% (dua puluh delapan
persen) Pasal 17.
Wajib Pajak badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima
puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen)
dari tarif sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17 dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian
peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) Pasal
31E.
Contoh : Peredaran bruto PT Y dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp4.500.000.000,00 (empat miliar lima ratus juta
rupiah) dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
Penghitungan pajak yang terutang:
Seluruh Penghasilan Kena Pajak yang diperoleh dari peredaran bruto tersebut dikenai tarif sebesar 50%
(lima puluh persen) dari tarif Pajak Penghasilan badan yang berlaku karena jumlah peredaran bruto PT
Y tidak melebihi Rp4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah).
Pajak Penghasilan yang terutang:
(50% x 28%) x Rp500.000.000,00 = Rp70.000.000,00
Contoh: Peredaran bruto PT X dalam tahun pajak 2009 sebesar Rp30.000.000.000,00 (tiga puluh miliar rupiah)
dengan Penghasilan Kena Pajak sebesar Rp3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah).
Penghitungan Pajak Penghasilan yang terutang:
1. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang memperoleh fasilitas:
(Rp4.800.000.000,00:Rp30.000.000.000,00)xRp3.000.000.000,00= Rp480.000.000,00
2. Jumlah Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto yang tidak memperoleh fasilitas:
Lapisan Penghasilan Kena Pajak Tarif Pajak
Sampai dengan Rp 50.000.000,00 10 % (sepuluh persen)
di atas Rp 50.000.000,00 s.d Rp 100.000.000 15 % (lima belas persen)
di atas Rp 100.000.000,00 30 % (tiga puluh persen)
-
11
Rp 3.000.000.000,00 Rp480.000.000,00 = Rp2.520.000.000,00
Pajak Penghasilan yang terutang:
- (50% x 28%) x Rp480.000.000,00 = Rp 67.200.000,00
- 28% x Rp2.520.000.000,00 = Rp705.600.000,00(+)
- Jumlah Pajak Penghasilan yang terutang = Rp 772.800.000,00
Contoh Kasus Objek Penghasilan Badan:
KASUS 1
PT Indo Wood adalah sebuah perusahaan plywood. Dengan terjadinya krisis ekonomi maka omzet
plywood menurun drastis karena selama ini tidak mengekspor dan hanya menjual produknya dalam
negeri. PT IndoWood mengalami kerugian untuk tahun pajak 2005 dan 2006. Karena PT IndoWood
banyak mendapat kredit dari bank maka dengan adanya krisis, kredit tersebut macet dan PT
IndoWood masuk program BPPN. BPPN merestrukturisasi hutang PT IndoWood dengan skema
pembebasan sebagian hutang dan penjadwalan kembali pembayaran hutang. Mulai tahun 2007 PT
IndoWood melakukan ekspor plywood. Untuk memperkuat permodalan, maka PT Indo Wood
berniat menjual sahamnya di bursa efek. Agar nilai saham meningkat pada saat penawaran saham
perdana, aktiva tetap PT IndoWood di-revaluasi dan kemudian PT IndoWood dimerger dengan PT
Woodindo, suatu perusahaan yang masih satu group. Untuk menambah modal kerja dan karena ingin
berkonsentrasi ke usaha inti, PT IndoWood telah menjual investasi-investasi saham di bursa efek
segera setelah saham-saham tersebut memberikan dividen.
Pertanyaan:
Selain pendapatan penjualan plywood, penghasilan-penghasilan apa saja yang menjadi objek pajak PT
IndoWood dalam kasus diatas?
Pembahasan:
Pendapatan PT Indowood yang menjadi objek pajak sebagai berikut :
Objek Pajak Final ( Pasal 4 ayat (1) ) Objek Pajak Final ( Pasal 4 ayat (2) )
1. pendapatan berupa pembebasan hutang sebesar
jumlah hutang yang dibebaskan
2. selisih lebih antara harga pasar dengan nilai
sisa buku pada ssat penggabungan (merger)
3. keuntungan selisih kurs karena PT Indowwod
sudah bertransaksi ekspor
4. pendapatan dividen saham. Diasumsikan PT
Indowood berinvestasi saham untuk
memanfaatkan dana menganggur saja sehingga
kepemilikan kurang dari 25 %
1. selisih lebih revaluasi aktiva tetap sebesar
selisih, antara nilai pasar dan nilai buku
aktiva yang direvaluasi. Selisih lebih
revaluasi ini dikenakan PPh Final 10 % dari
nilai selisih lebih revaluasi.
2. hasil penjualan saham dibursaefek (tidak
memandang untung atau rugi), dikenakan
PPh Final sebesar 0,1 % dari nilai penjualan.
Contoh Kasus Bukan Objek PPh Badan
KASUS 2
PT Indo Garment telah mengubah divisi distribusinya menjadi perusahaan tersendiri karena ada
pemodal baru, PT Investor, yang mau bergabung. Kepemilikan modal di perusahaan tersebut 76%
oleh PT Indo Garment dan 24% oleh PT Investor. Kedua pihak sepakat menyetorkan modal berupa
uang tunai maupun Aktiva Tetap senilai @ 1 miliar. PT baru tersebut diberi nama PT Distributindo.
PT Indo Garment juga menghibahkan 2 buah mobil box bekas dengan nilai pasar 100 juta. RUPS PT
Distributindo memutuskan untuk tahun 2007 membagikan dividen senilai Rp 100 juta (Rp 24 juta
untuk PT Investor dan Rp 76 juta untuk PT Indo Garment). Selain itu RUPS juga memutuskan untuk
membeli garment dari PT Indo Garment dengan harga yang lebih rendah dari harga pasar agar laba
PT Indo Garment menurun sehingga jumlah pajak PT Indo Garment lebih kecil.
-
Pajak Penghasilan Badan
12
Pertanyaan:
1. Berdasarkan kasus diatas, identifikasikan penghasilan-penghasilan PT Indo Garment yang
menjadi objek Pajak, selain hasil penjualan garmen !
2. Identifikasi juga penghasilan PT Distributindo dan PT Investor yang menjadi objek pajak
Pembahasan :
Objek Pajak Tidak Final ( Pasal 4 ayat (1) Bukan Objek Pajak Tidak ( Pasal 4
ayat (3)
PT Indo Garment :
Selisih antara harga pasar garmen dengan harga jual garmen ke
PT Distributindo merupakan objek pajak. Seharusnya (anak
perusahaan) sesuai dengan harga wajar dan tidak melakukan
transfer pricing. Transfer pricing pada saat PT Distributindo
masih merupakan divisi distribusi PT Indogarment tidak
menimbulkan efek pajak, tetapi bila transfer pricing terjadi antar
perusahaan yang memiliki hubungan istimewa maka ada
konsekuensi pajaknya
Penghasilan dividen dari PT
Distributindo sebesar Rp. 76 jt
karena kepemilikan saham lebih
dari 25 %
PT Distributindo
Pendapatan dari hibah 2 mobil box dengan nilai pasar Rp. 100 jt Penyetoran modal sebesar Rp. 1 M
PT Investor
Penghasilan dividen dari PT Distributindo sebesar Rp. 24 jt
karena kepemilikan saham kurang dari 25 %
PPh Final Berdasarkan PP 46 Tahun 2013
Di pertengahan tahun 2013, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 46 tahun
2013 (PP 46 2013), selanjutnya terbit pula peraturan pelaksananya PMK-107/PMK.011/2013, SE-
42/PJ/2013. Peraturan ini mengatur pengenaan tarif pajak 1% sebagai berikut:
Atas penghasilan dari usaha yang diterima atau diperoleh WP yang memiliki peredaran bruto
tertentu dikenai PPh bersifat Final. WP dimaksud memiliki kriteria sebagai berikut:
a. WP Orang Pribadi atau Badan, tidak termasuk BUT; dan
b. Menerima penghasilan dari usaha, tidak termasuk dari jasa sehubungan dengan pekerjaa
bebas (bagi WP Orang Pribadi), dengan peredaran bruto tidak melebih 4.800.000.000,-
dalam 1 (satu) tahun pajak.
Peredaran bruto yang tidak melebihi 4.800.000.000 pada huruf b diatas ditentukan berdasarkan
peredaran bruto dari usaha seluruhnya, termasuk dari usaha cabang, tidak termasuk peredaran
bruto dari:
a. Jasa sehubungan dengan pekerjaan bebas (WP OP)
b. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari luar negeri
c. Usaha yang atas penghsilannya telah dikenai PPh Final
d. Penghasilan yang dikecualikan sebagai Objek Pajak
-
13
Tidak termasuk WP Badan (dalam pengenaan PP 46) adalah:
a. WP badan yang belum beroperasi secara komersial; atau
b. WP Badan yang dalam jangka waktu 1 (satu) tahun setelah beroperasi secara komersial
memperoleh peredaran bruto melebihi 4,8 milyar
PPh terutang dihitung berdasarkan tarif 1% (satu persen) dikalikan dengan Dasar Pengenaan
Pajak (DPP) berupa jumlah peredaran bruto setiap bulan, untuk setiap tempat kegiatan usaha.
Pengenaan PPh berdasarkan pada peredaran bruto dari usaha dalam setahun dari tahun Pajak
sebelumnya.
Contoh:
PT.Jon Bersaudara, diketahui melalui SPT PPh Badan tahun 2012 memiliki peredaran Bruto
sebesar 3.500.000.000. dan pada bulan Juli, Agustus 2013 peredaran bruto sebesar 200.000.000
dan 300.000.000. maka sejak masa Juli 2013 (mulai berlaku ketentuan PP 46) PT.Jon Bersaudara
dikenai PPh Final 1% sebagai berikut:
Masa Juli 2013 : 1% x 200.000.000 = 2.000.000
Masa Agustus 2013 : 1% x 300.000.000 = 3.000.000
-
Pajak Penghasilan Badan
14
BAB III
REKONSILIASI FISKAL
PENGANTAR
Dari pembahasan pada modul PPh Orang Pribadi, kita dapat memahami bahwa PPh terutang
dapat dihitung dengan 2 cara yaitu menggunakan norma serta dengan pembukuan. Penghitungan
dengan norma relatif sederhana tetapi hanya usaha berskala kecil milik Orang Pribadi saja yang
diperbolehkan menggunakannya. Pengetahuan tentang perpajakan serta kebutuhan akan tenaga
perpajakan lebih banyak dibutuhkan oleh perusahaan-perusahaan yang harus menggunakan
pembukuan dalam penghitungan pajak.
Dalam menghitung PPh terutang, Orang Pribadi yang mengadakan pembukuan atau
perusahaan tetap mendasarkan diri dari laporan keuangan yang dibuat oleh Orang
Pribadi/perusahaan secara komersial. Dari laporan keuangan komersial tersebut selanjutnya
dilakukan Rekonsiliasi Fiskal yaitu suatu mekanisme penyesuaian pelaporan penghasilan WP secara
komersial menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan yang akhirnya dihasilkan
laba/rugi fiskal.
A. Rekonsiliasi Fiskal
Rekonsiliasi Fiskal dilakukan baik untuk pos-pos pendapatan maupun pos-pos biaya. Secara
ringkas dilakukan rekonsiliasi fiskal dalam hal :
a. WP memiliki penghasilan yang dikenakan PPh Final (Pasal 4 ayat (2))
Apabila WP memiliki penghasilan yang dikenakan PPh Final maka penghasilan tersebut
harus direkonsiliasi (dikeluarkan dari perhitungan PPh terutang pada akhir tahun)
karena atas penghasilan tersebut telah dikenakan PPh Final sehingga kewajiban
pembayaran pajaknya sudah selesai. Selanjutnya PPh Final yang sudah dibayar/dipotong
atas penghasilan tersebut tidak boleh lagi menjadi kredit pajak.
Contoh : Perusahaan mendapatkan bunga dan Jasa giro dari bank. Penghasilan tersebut
harus dikeluarkan dari perhitungan PPh terutang pada akhir tahun (direkonsiliasi)
karena sudah dipotong PPh final oleh bank.
b. WP memiliki penghasilan yang bukan merupakan objek pajak (Pasal 4 ayat (3))
Apabila WP memiliki penghasilan yang bukan merupakan objek pajak maka penghasilan
tersebut harus juga direkonsiliasi karena WP tidak perlu membayar PPh atas penghasilan
tersebut.
Contoh : PT Senior memperoleh dividen dari PT Junior yang merupakan anak
perusahaan sebesar Rp 100 juta. Penyertaan PT Senior pada PT Junior sebesar 45 %.
Penerimaan dividen tersebut tidak perlu diperhitungkan sebagai penghasilan dalam
menghitung PPh terutang perusahaan tersebut pada akhir tahun karena bukan
merupakan obyek pajak.
c. WP mengeluarkan biaya-biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan / Non
Deductible Expense (Pasal 9)
Apabila WP mengeluarkan biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan maka
biaya tersebut tidak bisa diperhitungkan dalam menghitung PPh terhutang pada akhir
-
15
tahun (direkonsiliasi). Perlakuan yang berbeda atas biaya jenis ini menimbulkan adanya
Beda Tetap yaitu perbedaan yang benar-benar riil serta bersifat pasti dan tetap karena
antara SAK dan UU PPh terjadi pengaturan yang berbeda. Atas beda tetap ini Wajib
Pajak harus mengoreksi perbedaan yang timbul.
Contoh beda tetap :
- Penggantian imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan menurut PSAK adalah
biaya sedangkan menurut pajak bukan biaya
- Kerugian usaha di luar negeri menurut PSAK boleh dikurangkan sedangkan
menurut pajak tidak boleh
- Sanksi administrasi perpajakan menurut PSAK boleh menjadi biaya sedangkan
menurut pajak tidak boleh.
d. WP mengeluarkan biaya yang boleh menjadi pengurang tetapi metode pengakuan biaya
tersebut diatur tersendiri oleh ketentuan fiskal.
Apabila WP mengeluarkan biaya yang metode pengakuannya diatur tersendiri oleh
ketentuan pajak maka besarnya biaya yang boleh menjadi pengurang juga harus
disesuaikan dengan ketentuan pajak.
Contoh :
Truk seharga 100 juta secara akuntansi dapat saja disusutkan selama 5 tahun. Tetapi menurut
pajak truk tersebut harus disusutkan selama 8 tahun. Akibatnya akan terjadi selisih biaya
penyusutan setiap tahunnya.
Selisih yang timbul akibat perbedaan metode pengakuan biaya antara SAK dan PPh disebut
beda waktu. Pada prinsipnya jumlah pembebanan antara laporan komersial dan fiskal akan
menemui jumlah kumulatif yang sama. Jadi yang membedakan hanyalah alokasi pada periode
berjalan.
e. WP mengeluarkan biaya-biaya yang dikeluarkan bersama-sama untuk mendapatkan
pendapatan yang telah dikenakan PPh Final atau pendapatan yang bukan objek pajak
serta pendapatan yang yang dikenakan PPh Non Final (Joint Cost)
Apabila WP mengeluarkan biaya yang semata-mata digunakan untuk mendapatkan
penghasilan yang telah dikenakan PPh Final atau pendapatan yang bukan objek pajak,
maka biaya tersebut harus direkonsiliasi seluruhnya. Adalah hal yang logis bila suatu
penghasilan direkonsiliasi maka biaya yang benar-benar terkait untuk mendapatkan
penghasilan tersebut juga ikut direkonsiliasi. Tetapi jika biaya tersebut digunakan untuk
mendapatkan semua jenis penghasilan, misalnya biaya penyusutan gedung, maka biaya
yang boleh menjadi pengurang penghasilan harus dihitung secara proporsional.
Contoh :
Dana Pensiun XYZ memiliki penghasilan sebagai berikut :
penghasilan yang bukan obyek pajak (Pasal 4 ayat (3h) Rp. 100.000.000,00
penghasilan bruto lainnya (Objek Pajak) Rp. 300.000.000,00
Jumlah penghasilan bruto Rp. 400.000.000,00
Apabila seluruh biaya adalah sebesar Rp 200.000.000,00, maka biaya yang boleh dikurangkan
untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan adalah sebesar x Rp
200.000.000,00 = Rp 150.000.000,00.
B. Contoh format Rekonsiliasi fiskal sebagai berikut :
Akun Komersial Rekonsiliasi Fiskal
-
Pajak Penghasilan Badan
16
Peredaran usaha (tidak final) Rp. 1.000.000.000,- - Rp. 1.000.000.000,-
Biaya usaha (deductible
expense) Rp. 800.000.000,- - Rp. 800.000.000,-
Biaya piknik (non deductible) Rp. 50.000.000,- Rp. 50.000.000,- Rp. 0,-
Laba operasi Rp. 150.000.000,- Rp. 50.000.000,- Rp. 200.000.000,-
Penghasilan bunga, jasa giro
(final) Rp. 10.000.000,- Rp. 10.000.000,- Rp. 0,-
Laba bersih Rp. 160.000.000,- Rp. 40.000.000,- Rp. 200.000.000,-
C. Kompensasi Kerugian
Jika Wajib Pajak orang pribadi yang menggunakan pembukuan mengalami kerugian
dalam tahun-tahun sebelumnya maka kerugian fiskalnya dapat dikompensasi selama 5 (lima)
tahun sejak dialaminya kerugian (Pasal 6 ayat (2) UU PPh).
Kompensasi kerugian hanya diperbolehkan diisi oleh Wajib Pajak yang
menyelenggarakan pembukuan. Kompensasi yang boleh diisikan adalah jumlah kerugian fiskal
yang telah terjadi untuk tahun pajak 5 (lima) tahun.
Jika pengeluaran-pengeluaran yang diperbolehkan secara fiskal terdapat kerugian fiskal
maka kerugian tersebut dapat dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama
5 (lima) tahun berturut-turut di mulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatkannya
kerugian tersebut.
Contoh : PT ABC dalam tahun 2008 menderita kerugian fiskal sebesar Rp.1.200.000.000,00. Periode 5 tahun
berikutnya rugi laba fiskal PT ABC sebagai berikut :
Tahun 2009, laba fiskal = Rp. 200.000.000,00
Tahun 2010, rugi fiskal = (Rp. 300.000.000,00)
Tahun 2011, laba fiskal = NIHIL
Tahun 2012, laba fiskal = Rp. 100.000.000,00
Tahun 2013, laba fiskal = Rp. 800.000.000,00
Kompensasi kerugian sebagai berikut :
Rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 1.200.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2009 = Rp. 200.000.000,00 (-)
Sisa rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 1.000.000.000,00)
Rugi fiskal tahun 2010 = Rp. 300.000.000,00
Sisa rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2011 = NIHIL
Sisa rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 1.000.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2012 = Rp. 100.000.000,00 (-)
Sisa rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 900.000.000,00)
Laba fiskal tahun 2013 = Rp. 800.000.000,00 (-)
Sisa rugi fiskal tahun 2008 = (Rp. 100.000.000,00)
Sisa rugi fiskal tahun 2008 sebesar Rp. 100 juta tersebut sudah tidak bisa lagi dikompensasikan
karena jangka waktu kompensasi selama lima tahun sudah kadaluwarsa.
Contoh Kasus Rekonsiliasi Fiskal I
KASUS 1 Dana Pensiun XYZ adalah dana pensiun yang didirikan oleh PT BUMN untuk mengelola iuran pensiun para karyawannya. Hasil iuran pensiun yang terkumpul setiap bulannya
diinvestasikan dalam bentuk deposito. Karena suku bunga deposito yang cenderung menurun maka
manager investasi Dana Pensiun XYZ ingin berinvestasi di saham-saham serta obligasi di bursa efek
yang memberikan hasil yang lebih besar. Penghasilan dari investasi saham di bursa ada 2 macam
-
17
yaitu laba jual beli saham (capital gain) dan penghasilan berupa dividen sedangkan penghasilan
investasi di obligasi berupa bunga / diskonto obligasi.
Mulai tahun 2008 direksi PT BUMN mengusulkan agar iuran pensiun yang terkumpul
diinvestasikan dalam bentuk penyertaan modal dengan prosentase kepemilikan sebesar 20% serta
pinjaman kepada PT PUTRA BUMN, anak perusahaan PT BUMN, karena PT PUTRA BUMN
sedang membutuhkan dana untuk pengembangan usahanya.
Perincian penghasilan dan biaya tahun 2008 sebagai berikut :
Penghasilan :
- Bunga deposito Rp. 1.000.000.000
- Bunga obligasi di bursa Rp. 1.500.000.000
- Dividen saham di bursa Rp. 200.000.000
- Capital gain jual beli saham di bursa Rp. 2.000.000.000
- Bunga pinjaman ke PT Putra BUMN Rp. 500.000.000
- Dividen dari PT Putra BUMN Rp. 100.000.000
Jumlah Total Penghasilan Rp. 5.300.000.000
Biaya :
- Biaya transaksi saham di bursa saham efek Rp. 150.000.000
Biaya transaksi obligasi di bursa saham efek Rp. 200.000.000
- Biaya operasional kantor (joint cost) Rp. 2.000.000.000 Pertanyaan:
Manajer investasi Dana Pensiun XYZ bertanya kepada anda penghasilan apa saja yang menjadi
objek pajak Dana Pensiun tersebut dan biaya-biaya apa saja yang dapat menjadi pengurang
penghasilan. Lebih jauh lagi ia bertanya bagaimana cara menghitung pajak dana pensiun.
Penghasilan Komersial
Fiskal
Objek pajak tidak
final (pasal 4 ayat
(1) UU PPh)
Objek pajak final
(pasal 4 ayat (2) UU
PPh)
Bukan objek pajak
(pasal 4 ayat (3) UU
PPh)
Bunga deposito diterima
Dana Pensiun Rp.1.000.000.000 Rp. 1.000.000.000
Bunga obligasi di bursa
diterima Dana Pensiun Rp.1.500.000.000 Rp. 1.500.000.000
Dividen saham di bursa
diterima Dana Pensiun Rp. 200.000.000 Rp. 200.000.000
Capital gain jual beli saham di bursa
Rp.2.000.000.000 Rp. 2.000.000.000
Bunga pinjaman dari PT
Putra BUMN Rp. 500.000.000 Rp. 500.000.000
Dividen dari PT Putra
BUMN Rp. 100.000.000 Rp. 100.000.000
Jumlah Pemasukan Rp.5.300.000.000 Rp. 600.000.000 Rp. 2.000.000.000 Rp. 2.700.000.000
Biaya :
Non Deductible Expense:
Biaya transaksi saham di
bursa saham efek
Rp. 150.000.000 Rp. 150.000.000
Biaya transaksi obligasi di
bursa saham efek
Rp. 200.000.000 Rp. 200.000.000
Non Deductible
Expense :
1. biaya transaksi saham di
bursa saham efek
Rp. 150.000.000 Rp. 150.000.000
2. biaya transaksi obligasi di
bursa saham efek Rp. 200.000.000 Rp. 200.000.000
Deductible Expense :
-
Pajak Penghasilan Badan
18
1. bagian dari join cost
secara proporsional
menurut perbandingan
penghasilan objek pajak
tidak final dengan total
penghasilan
600.000 x Rp. 2M
5.300.000
Rp.2.000.000.000 Rp. 226.415.000 Rp. 754.716.981 Rp. 1.018.867.925
Laba secara komersial Rp.2.950.000.000 Rp. 373.585.000 Rp. 1.095. 283.019 Rp. 1.679.132.075
Penjelasan:
Berdasarkan Pasal 4 ayat (3) huruf g UU PPh, iuran yang diterima Dana Pensiun bukan
merupakan objek pajak. Sedangkan berdasarkan pasal 4 ayat (3) huruf h UU PPh jo KMK-
651/KMK.04/1994 jo SE-16/PJ.4/1995 jo. PMK 252/MK.03/2008 hasil investasi Dana Pensiun
dalam bentuk bunga deposito, bunga obligasi dan pasar modal serta dividen saham, bukan objek
pajak. Penghasilan berupa capital gain / biaya berupa capital loss direkonsiliasi karena transaksi
di bursa dikenakan PPh final 0,1%.
Penghasilan bunga dividen dan bunga dari PT PUTRA BUMN tidak terdapat dalam daftar
penghasilan yang bukan objek pajak dan tidak pula tercantum dalam daftar penghasilan yang
dikenakan dari PPh final sehingga merupakan objek pajak.
Biaya yang terkait Iangsung dengan penghasilan bukan objek pajak dan penghasilan final
tidak boleh menjadi pengurang. Yang diperbolehkan adalah biaya yang terkait langsung dengan
penghasilan yang termasuk objek pajak. Jika terdapat biaya yang digunakan secara bersama-
sama untuk mendapatkan semua jenis penghasilan diatas maka biaya yang diakui sebagai
pengurang penghasilan dihitung secara proporsional.
-
19
BAB IV
BIAYA FISKAL
PENGANTAR
Kita sudah pernah belajar bahwa untuk mendapatkan laba fiskal kita harus melakukan
rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal ini dilakukan atas semua pendapatan dan biaya perusahaan.
Rekonsiliasi atas pendapatan dilakukan terhadap pendapatan-pendapatan yang bukan merupakan
objek pajak (Pasal 4 ayat (3)) serta penghasilan-penghasilan yang telah dikenakan PPh Final pasal 4
ayat (2).
Sedangkan biaya yang tidak diakui secara fiskal adalah :
a. biaya-biaya sebagaimana diatur dalam Pasal 9 ayat (1) UU PPh.
b. biaya yang dikeluarkan untuk 3M (mendapatkan, menagih, dan memelihara) penghasilan yang
bukan Objek Pajak yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (3) UU PPh.
c. biaya yang dikeluarkan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang
bersifat final yang tercantum dalam Pasal 4 ayat (2) UU PPh dan aturan pelaksanaannya.
d. biaya yang biasa diterapkan di luar praktik akuntansi yang sehat (kondisi tidak wajar)
e. biaya yang tidak dapat dibuktikan pengeluarannya (antara lain tidak menggunakan bukti,
daftar nominatif, dan tanpa dokumen)
f. Pajak Masukan yang memenuhi kriteria :
a) Faktur Pajak atas perolehan BKP/JKP termasuk Faktur Pajak cacat, kecuali dapat dibuktikan
bahwa atas Pajak Masukan tersebut benar-benar telah dibayar oleh PKP.
b) Faktur Pajak yang dibuat atas perolehan BKP/JKP yang berkaitan dengan pasal 9 ayat (1)
UU PPh.
g. Biaya untuk 3M (mendapatkan, menagih, dan memelihara) penghasilan yang dikenakan pajak
berdasarkan Norma Penghitungan Penghasilan Neto dan Norma Penghitungan Khusus
sebagaimana yang tercantum dalam pasal 15 UU PPh dan aturan pelaksanaannya.
Apabila terdapat biaya-biaya yang digunakan secara bersama-sama baik untuk mendapatkan
penghasilan yang merupakan objek pajak, penghasilan yang dikenakan PPh Final maupun
penghasilan yang bukan merupakan objek pajak (Joint Cost), maka besarnya biaya yang dapat dikurangkan dihitung berdasarkan proporsi jumlah pendapatan yang merupakan objek pajak dengan
jumlah pendapatan yang dikenakan PPh final dan penghasilan yang bukan objek pajak (penjelasan
Pasal 6 UU PPh)
PENGGOLONGAN BIAYA FISKAL
Biaya-biaya yang telah dikeluarkan oleh perusahaan untuk menjalankan usaha/kegiatannya tidak
seluruhnya diakui oleh pajak sebagai pengurang. Pada prinsipnya biaya tersebut dibedakan menjadi 3
(tiga) yaitu :
1. BIAYA YANG MERUPAKAN PENGURANG PENGHASILAN TANPA SYARAT APAPUN YAITU:
a. Beban atau biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang
memiliki masa manfaat tidak lebih dari 1 tahun (Pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh).
Contohnya : biaya pembelian bahan, biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa
termasuk upah gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam
bentuk
-
Pajak Penghasilan Badan
20
uang, bunga, sewa, royalti, biaya perjalanan, biaya pengolahan limbah, premi asuransi,
biaya administrasi, dan pajak kecuali Pajak Penghasilan;
b. Kerugian dan selisih kurs mata uang asing (Pasal 6 ayat (1) huruf e UU PPh)
2. BIAYA YANG MERUPAKAN PENGURANG PENGHASILAN DENGAN SYARAT-SYARAT
TERTENTU YAITU : a. Beban penyusutan atas pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud dan amortisasi
atas pengeluaran untuk memperoleh hak dan atas biaya lain yang mempunyi manfaat
lebih dari 1 tahun (pasal 6 ayat (2)).
Syarat : Harta berwujud yang penyusutannya dapat dibiayakan atau harta tidak berwujud
yang dapat amortisasinya dapat dibiayakan adalah harta yang dimiliki dan digunakan
(syarat kumulatif) untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan (pasal 11 ayat (1) dan Pasal 11 A ayat (1));
b. Iuran kepada dana pensiun (Pasal 6 ayat (1) huruf c UU PPh).
Syarat : Dana Pensiun yang menerima iuran pensiun tersebut pendiriannya telah
disahkan oleh Menteri Keuangan;
c. Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta (Pasal 6 ayat (1) huruf d UU PPh).
Syarat : Harta yang dijual atau dialihkan dimiliki dan digunakan (syarat kumulatif) dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara
penghasilan;
d. Biaya penelitian dan pengembangan perusahaan (Pasal 6 ayat (1) huruf f UU PPh).
Syarat : Penelitian tersebut dilakukan di Indonesia;
e. Biaya bea siswa, magang, dan pelatihan (Pasal 6 ayat (1) huruf g UU PPh);
Syarat : Berkaitan dengan kepentingan perusahaan;
f. Piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih (Pasal 6 ayat (1) huruf h UU PPh)
Syarat : memenuhi 4 syarat kumulatif sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) jo PMK-57/PMK.03/2010yaitu :
1. telah dibebankan sebagai biaya dalam laporan laba rugi komersial;
2. Wajib Pajak harus menyerahkan daftar piutang yang tidak dapat ditagih kepada
Direktorat Jenderal Pajak; dan
3. telah diserahkan perkara penagihannya kepada Pengadilan Negeri atau instansi
pemerintah yang menangani piutang negara; atau adanya perjanjian tertulis
mengenai penghapusan piutang/pembebasan utang antara kreditur dan debitur yang
bersangkutan; atau telah dipublikasikan dalam penerbitan umum atau khusus; atau
adanya pengakuan dari debitur bahwa utangnya telah dihapuskan untuk jumlah
utang tertentu;
4. syarat sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku untuk penghapusan piutang
tak tertagih debitur kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) huruf k UU
PPh
g. Sumbangan dalam rangka penanganan bencana nasional
h. Sumbangan dalam rangka penelitian dan pengembangan yang dilakukan di Indonesia
i. Biaya pembangunan infrastruktur sosial
j. Sumbangan fasilitas pendidikan
k. Sumbangan dalam rangka pembinaan olahraga
Syarat untuk point g, h, i, j, k berdasarkan PP 93 tahun 2010
1. Wajib Pajak mempunyai penghasilan neto fiskal berdasarkan SPT Tahunan Pajak
Penghasilan Tahun Pajak Sebelumnya
2. Pemberian subangan dan/atau tidak menyebabkan kerugian pada tahun pajak Sumbangan
dan/atau biaya diberikan.
3. Didikung oleh bbukti yang sah; dan
-
21
4. Lembaga yang menerima sumbangan dan/atau biaya memiliki Nomor Pokok Wajib
Pajak, kecuali badan yang dikecualikan sebagai subjek pajak sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang Pajak Penghasilan.
Khusus untuk biaya pembangunan infrastuktur soisla atau CSR (Corporate Social Responsibility) ada syarat tambahan yaitu:
1. Besarnya biaya yang dapat dikurangkan untuk 1 (satu) tahun tidak melebihi 5% (lima persen) dari
penghasilan neto Fiskal tahun pajak sebelumnya,
2. Diberikan hanya dalam bentuk sarana dan/atau prasarana.
3. BIAYA-BIAYA YANG TIDAK DAPAT DIJADIKAN PENGURANG (PASAL 9 UU PPH)
Jenis-jenis biaya yang tidak bisa dikurangkan berdasarkan Pasal 9 UU PPh dapat
dikelompokkan menjadi beberapa kriteria/alasan yaitu :
a. Alasan Pengalihan titik pemajakan
Titik pemajakan atas pengeluaran-pengeluaran dibawah ini bukan pada pihak yang
menerima tetapi pada pihak yang melakukan pengeluaran. Pihak yang melakukan
pengeluaran dikenakan pajak dengan cara tidak dapat membiayakan pengeluaran
tersebut. Pengalihan titik pemajakan dilakukan karena Iebih mudah mengenakan pajak
kepada WP Badan yang mengeluarkan biaya daripada mengenakan pajak kepada pihak
yang menerima penghasilan. Biaya-biaya yang masuk kategori non deductable karena
alasan pengalihan titik pemajakan adalah:
a. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi pemegang
saham, sekutu atau anggota. (Pasal 9 ayat (1) huruf b); dan
b. Biaya yang dibebankan atau dikeluarkan untuk kepentingan pribadi Wajib Pajak
atau orang yang menjadi tanggungannya. (Pasal 9 ayat (1) huruf i) Pengeluaran semacam ini dapat juga berbentuk pengeluaran dalam jumlah yang
melebihi kewajaran untuk kepentingan pihak yang memiliki hubungan istimewa
dan keluarganya yang Iebih merupakan dividen terselubung.
Contoh : Pengeluaran untuk biaya sekolah anak direksi/pemegang saham, biaya
perbaikan rumah direksi/pemegang saham, biaya perawatan mobil pribadi
direksi/pemegang saham dan lain-lain. WP Badan yang melakukan pengeluaran
kepada pemegang saham atau pihak yang memiliki hubungan istimewa atau orang
yang menjadi tanggungannya dikenakan pajak dengan cara tidak dapat
membiayakan pengeluaran tersebut.
c. harta yang dihibahkan, bantuan atau sumbangan, dan warisan, kecuali zakat atas
penghasilan yang nyata-nyata dibayarkan oleh Wajib Pajak orang pribadi pemeluk agama Islam dan atau Wajib Pajak badan dalam negeri yang dimiliki oleh pemeluk
agama Islam kepada badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau
disahkan oleh Pemerintah ((pasal 9 ayat (1) huruf g).
Contoh : Induk Perusahaan menghibahkan sebagian assetnya untuk anak
perusahaan. Induk perusahaan dikenakan pajak dengan cara harta yang dihibahkan
tersebut tidak boleh menjadi pengurang penghasilan.
d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan kenikmatan, kecuali penyediaan makanan dan minuman bagi seluruh pegawai secara bersama-sama di tempat usaha atau pekerjaan, serta
penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu
dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan
Keputusan Menteri Keuangan. (pasal 9 ayat (1) huruf e).
-
Pajak Penghasilan Badan
22
Contoh : Pemberian pakaian seragam yang tidak berhubungan dengan keselamatan
kerja pegawai, pemberian parcel untuk pegawai dan biaya catering yang hanya
diberikan kepada direksi tidak dapat dijadikan biaya menurut pajak. Perusahaan
yang memberikan natura/fasilitas dikenakan pajak dengan cara tidak boleh
membebankan natura/fasilitas sebagai pengurang.
b. Alasan Pengalihan saat pemajakan
Saat pemajakan atas biaya-biaya berupa premi asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan,
asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi beasiswa, yang dibayar oleh Wajib Pajak
orang pribadi tidak bisa dijadikan biaya, kecuali jika dibayar oleh pemberi kerja dan premi tersebut dihitung sebagai penghasilan bagi Wajib Pajak yang bersangkutan (pasal 9
ayat (1) huruf d)
Contoh :
Pegawai mengikuti program Jamsostek, dimana sebagian dibayar oleh perusahaan dan
sebagian lagi dibayar sendiri oleh pegawai. Pembayaran iuran Jamsostek yang dibayar
sendiri oleh pegawai tidak boleh menjadi biaya perusahaan (dikenakan pajak saat diawal
karena pada saat menerima klaim tidak dikenakan pajak)
c. Alasan Insentive Investasi dan Prinsip Realisasi
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan tidak bisa dijadikan biaya kecuali cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan sewa guna usaha dengan hak opsi, cadangan untuk usaha asuransi, dan cadangan biaya reklamasi untuk usaha
pertambangan, yang ketentuan dan syarat-syaratnya ditetapkan dengan Keputusan
Menteri Keuangan (Pasal 9 ayat (1) huruf c). Ketentuan ini merupakan insentive investasi bagi usaha bank dan sewa guna usaha
dengan hak opsi, untuk usaha asuransi, dan usaha pertambangan. Alasan lain adalah
prinsip realisasi yang dianut pajak dalam pembebanan piutang tidak tertagih dimana
piutang tak tertagih tersebut harus benar-benar tidak tertagih dengan memenuhi 4 syarat
sebagaimana tercantum dalam UU PPh No 36 Tahun 2008.
d. Alasan Membina Kepatuhan Wajib Pajak
Sanksi administrasi berupa bunga, denda, dan kenaikan serta sanksi pidana berupa denda yang berkenaan dengan pelaksanaan perundang-undangan di bidang perpajakan tidak
bisa dijadikan biaya untuk membina kepatuhan Wajib Pajak . (pasal 9 ayat (1) huruf k)
Contoh : Sanksi berupa denda STP, bunga penagihan, bunga terlambat bayar dan sanksi
perpajakan lain tidak boleh menjadi biaya perusahaan agar WP berusaha menghindari
sanksi adininistrasi.
e. Menghindari Perhitungan Berganda (Multiple Counting) Pajak Penghasilan; Yang dimaksudkan dengan Pajak Penghasilan dalam ketentuan ini adalah Pajak Penghasilan yang terutang oleh Wajib Pajak yang bersangkutan (pasal 9 ayat
(1) huruf h)
Contoh : Pembayaran angsuran PPh pasal 25 serta pembayaran PPh pasal 29 akhir tahun
tidak boleh mengurangi penghasilan. Apabila PPh dijadikan pengurang maka
perhitungan pajaknya menjadi berulang sampai ke titik nihil.
f. Penegasan Standar Akuntansi
Gaji yang dibayarkan kepada anggota persekutuan, firma, atau perseroan komanditer
yang modalnya tidak terbagi atas saham (pasal 9 ayat (1) huruf j)
Contoh : Gaji bagi anggota firma dan CV bukanlah biaya karena firma dan CV bukan
merupakan entitas harta yang terpisah dari pemiliknya. Pembayaran gaji tersebut juga
bukan merupakan dividen karena bukan merupakan pembagian laba Firma atau CV. Jadi
anggota Firma atau CV membayar pajak melalui Firma atau CV tersebut. Apabila
-
23
penghasilan anggota firma atau CV semata-mata berasal dari gaji yang dibayar oleh Firma
atau CV, maka ia tidak lagi berkewajiban membayar PPh atas nama pribadinya.
4. PERLAKUAN KHUSUS BIAYA-BIAYA FISKAL
Terdapat beberapa biaya yang harus memenuhi syarat-syarat khusus agar dapat dibebankan sebagai
biaya secara fiskal. Biaya-biaya tersebut dibahas secara mendetail dibawah ini.
1. Pembentukan atau pemupukan dana cadangan Pembentukan cadangan yang diperbolehkan adalah yang berdasarkan PMK 81/PMK.03/2009.
Pembentukan atau pemupukan dana cadangan yang boleh dikurangkan sebagai biaya yaitu :
A. cadangan piutang tak tertagih untuk usaha bank dan badan usaha lain yang menyalurkan
kredit, sewa guna usaha dengan hak opsi, perusahaan pembiayaan konsumen, dan
perusahaan anjak piutang, yang meliputi :
5. cadangan piutang tak tertagih untuk:
a) bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional;
b) bank umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah;
c) bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional;
d) bank perkreditan rakyat yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah;
6. cadangan khusus penyisihan pembiayaan untuk badan usaha lain yang menyalurkan
kredit, yaitu cadangan khusus penyisihan pembiayaan untuk badan usaha selain bank
umum dan bank perkreditan rakyat yang menyalurkan kredit kepada masyarakat, yang
meliputi :
a. Koperasi simpan pinjam; dan
b. PT Permodalan Nasional Madani (Persero);
7. cadangan piutang tak tertagih untuk sewa guna usaha dengan hak opsi yaitu cadangan
piutang tak tertagih untuk kegiatan pembiayaan dengan menyediakan barang modal
untuk digunakan oleh penyewa guna usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan
pembayaran secara angsuran dengan hak opsi (Finance Lease);
8. cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan pembiayaan konsumen yaitu cadangan
piutang tak tertagih untuk perusahaan yang melakukan kegiatan pembiayaan untuk
pengadaan barang berdasarkan kebutuhan konsumen dengan pembayaran secara
angsuran;
9. cadangan piutang tak tertagih untuk perusahaan anjak piutang yaitu cadangan piutang tak
tertagih untuk perusahaan yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk
pembelian piutang dagang jangka pendek suatu perusahaan berikut pengurusan atas
piutang tersebut;
B. cadangan untuk usaha asuransi, yang meliputi :
1. cadangan premi tanggungan sendiri dan klaim tanggungan sendiri untuk perusahaan
asuransi kerugian;
2. cadangan premi untuk perusahaan asuransi jiwa;
C. cadangan penjaminan untuk Lembaga Penjamin Simpanan, yaitu cadangan penjaminan untuk
lembaga yang berfungsi menjamin simpanan nasabah penyimpan dan turut aktif dalam
memelihara stabilitas sistem perbankan sesuai dengan kewenangannya;
D. cadangan biaya reklamasi untuk usaha pertambangan, yaitu cadangan biaya untuk kegiatan
yang bertujuan memperbaiki atau menata kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat
kegiatan usaha pertambangan agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai
peruntukannya;
E. cadangan biaya penanaman kembali untuk usaha kehutanan, yaitu cadangan biaya
penanaman kembali bagi perusahaan yang diwajibkan melakukan penanaman kembali atas
-
Pajak Penghasilan Badan
24
hutan yang telah dieksploitasi untuk usaha yang terkait dengan sistem pengurusan yang
bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara
terpadu; dan
F. cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan tempat pembuangan limbah industri untuk
usaha pengolahan limbah industri, yaitu cadangan biaya penutupan dan pemeliharaan bagi
perusahaan yang mengolah limbah industri yang mencakup kegiatan penyimpanan,
pengumpulan, pengangkutan, pemanfaatan, pengolahan limbah industri dan penimbunan
hasil pengolahan limbah industri.
Besarnya cadangan untuk masing-masing item dapat Anda lihat di PMK 81/PMK.03/2009 jo PMK-219/PMK.011/2012
2. Penyediaan Makanan Dan minuman Oleh Pemberi Kerja Bagi Sebagian Pegawai Di Tempat Kerja Tetap Deductible Berdasarkan SE-14/PJ.31/2003 Tanggal 5 Agustus 2003 ketentuan penyediaan makanan dan
minuman bagi para pegawai perusahaan di tempat kerja tidak mutlak harus seluruh pegawai
perusahaan termasuk dewan direksi dan dewan komisaris. Apabila terdapat sejumlah pegawai yang
tidak dapat memanfaatkan atau tidak memperoleh fasilitas in-natura tersebut di tempat kerja karena sifat pekerjaannya tidak memungkinkan (seperti para pegawai bagian pemasaran, bagian transportasi,
dan dinas luar lainnya), maka hal tersebut tidak membatalkan pemenuhan persyaratan sesuai prinsip
tersebut di atas.
3. Perlakuan Zakat Atas Penghasilan Dalam Penghitungan Penghasilan Kena Pajak Berdasarkan KEP-163/PJ./2003 tanggal 10 Juni 2003 Wajib Pajak yang melakukan pengurangan zakat
atas penghasilan, wajib melampirkan lembar ke-1 Surat Setoran Zakat atau fotokopinya yang telah
dilegalisir oleh Badan Amil Zakat atau Lembaga Amil Zakat penerima setoran zakat yang
bersangkutan pada SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun pajak dilakukannya pengurangan zakat
atas penghasilan tersebut.
Surat Setoran Zakat yang dapat diakui sebagal bukti sekurang-kurangnya harus memuat:
a. Nama Iengkap Wajib Pajak;
b. Alamat jelas Wajib Pajak;
c. Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP);
d. Jenis Penghasilan yang dibayar zakatnya;
e. Sumber/jenis penghasilan dan bulan/tah polehnya;
f. Besarnya penghasilan;
g. Besarnya zakat atas penghasilan.
4. Pembayaran Pajak Dan Retribusi Daerah (PDRD) Menjadi Biaya Tahun Pajak Yang Bersangkutan Berdasarkan SE-02/PJ.42/2002 tanggal 18 Februari 2002, semua pengeluaran untuk PDRD harus
langsung dibiayakan di tahun berjalan kecuali sanksi Bunga, Denda atau Kenaikan yang harus
dikapitalisasi.
5. Kenikmatan Dan Fasilitas Yang Diberikan Untuk Pegawai Sudah Dapat Dibiayakan 50% Berdasarkan KEP-220/PJ./2002 tanggal 18 April 2002 tentang Perlakuan PPh atas Biaya Pemakaian
Telepon Seluler dan Kendaraan Perusahaan jo SE-09/PJ.42/2002 tanggal 17 Mei 2002 diatur hal-hal
sbb :
a. Pembelian HP bagi pegawai untuk keperluan pekerjaan sebesar 50%nya dicatat sebagai
pembelian aktiva tetap kelompok I dan dijadikan biaya melalui penyusutan;
b. Biaya pulsa dan servis HP 50%-nya dapat menjadi biaya perusahaan;
c. Pembelian maupun perbaikan besar (capital expenditure) atas bus atau minibus yang dimiliki & digunakan untuk antar jemput pegawai dicatat seluruhnya sebagai pembelian aktiva tetap
golongan II dan dapat dibebankan sebagai biaya melalui penyusutan;
-
25
d. Biaya servis rutin atas bus atau minibus yang dimiliki & digunakan untuk antar jemput pegawai
dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya;
e. Pembelian maupun perbaikan besar (capital expenditure) atas sedan atau sejenis yang dimiliki
& digunakan pegawai tertentu karena jabatannya dicatat 50 %-nya sebagai pembelian aktiva
tetap golongan II dan dapat dibebankan sebagai biaya melalui penyusutan;
f. Biaya servis rutin atas sedan atau sejenis yang dimiliki & digunakan pegawai tertentu karena
jabatannya dicatat 50%-nya sebagai biaya;
g. Kenikmatan bagi pegawai berupa HP & antar jemput diatas bukan penghasilan pegawai;
h. Termasuk kategori ponsel adalah pager;
i. Termasuk kategori sedan adalah minibus ( Kijang dan sejenisnya);
j. Termasuk kategori biaya pemeliharaan adalah biaya bahan bakar.
6. Pembelian Software Umum Langsung Menjadi Biaya Sedangkan Pembelian Software Khusus Harus Melalui Amortisasi Berdasarkan KEP-316/PJ./2002 tanggal 17 Juni 2002 tentang Perlakuan PPh atas biaya perolehan dan
upgrade software diatur hal-hal sebagai berikut
a. Perlakuan PPh atas software umum
- Software umum adalah software yang digunakan oleh users umum;
- Biaya perolehan dan upgrade software umum merupakan revenue expenditure dan diakui pada
saat pengeluaran;
- Bila software umum dibeli bersama dengan hardware maka biaya perolehannya dikapitalisasi
bersama nilai hardware dan masuk aktiva berwujud kelompok 1;
b. Perlakuan PPh atas software khusus
- Software khusus adalah program yang dirancang untuk keperluan otomatisasi kegiatan
tertentu;
- Biaya perolehan software khusus dikapitalisasi sebagai intangible asset kelompok 1 dan
diamortisasi selama 4 tahun;
Bila software khusus di-upgrade maka pengeluarannya ditambahkan pada NSBF software yang
bersangkutan dan diamortisasi dengan masa manfaat baru/penuh mulai bulan yang bersangkutan.
7. Pembayaran PBB Langsung Menjadi Biaya Sedangkan Pembayaran BPHTB Harus Melalui Amortisasi Berdasarkan SE-01/PJ.42/2002 tanggal 18 Februari 2002 tentang perlakuan PPh untuk PBB dan
BPHTB maka :
c. Biaya PBB harus langsung dibiayakan pada tahun berjalan;
d. Biaya BPHTB untuk pembelian tanah dicatat sebagai aktiva tidak berwujud dan diamortisasi
sesuai pasal 11 A sesuai masa hak atas tanah;
e. Biaya BPHTB untuk pembelian bangunan dikapitalisasi ke nilai bangunan dan didepresiasi sesuai
pasal 11;
Kasus :
PT Aneka adalah perusahaan milik keluarga Tn. Hernowo. Kantornya menempati sebagian
ruangan rumahnya. PT Aneka adalah supplier alat-alat bagi kantor-kantor seperti ATK, meja,
kursi, filling cabinet, AC,Komputer dll. Karena perusahaan keluarga maka dana untuk keperluan
keluarga Tn. Hernowo juga diambil dari kas perusahaan, misalnya untuk keperluan berobat Tn.
Hernowo biaya sekolah anak-anak Tn Hernowo, pembayaran cicilan rumah dll. Bila Tn.
Hernowo sedang membutuhkan dana untuk keperluan proyek, ia sering menggunakan uang
tabungan pendidikan anaknya & tabungan pribadi juga tabungan hajinya. Setelah proyek selesai,
tabungan tersebut diisi lagi ditambah sejumlah komisi. Tn. Hernowo merasa bahwa manajemen
keuangannya seperti diatas sudah cukup baik selama ini, terbukti ia tidak perlu berhutang ke bank
untuk melaksanakan proyek-proyeknya dan membayar gaji keponakannya yang membantu
administrasi setiap bulannya.
-
Pajak Penghasilan Badan
26
Pertanyaan :
Akhir bulan lalu PT Aneka diperiksa oleh Kantor Pajak dan terkena SKPKB yang cukup besar
karena dianggap pembukuannya selama ini salah. Kira-kira dimana kesalahannya ? Tn Hernowo
merasa yakin sudah dipotong pajak terutama saat menjual barang ke kantor-kantor pemerintah. Ia
meminta anda menjelaskan kesalahannya !
Pembahasan :
Kesalahan utama pembukuan PT Aneka adalah tidak memisahkan biaya-biaya perusahaan dengan
biaya untuk keperluan pribadi pemegang saham sehingga banyak biaya-biaya perusahaan yang
tidak diakui secara fiskal. Selain itu banyak biaya-biaya yang seharusnya dibebankan melalui
pembebanan penyusutan ternyata dibebankan sekaligus pada tahun berjalan.
-
27
BAB V
PENILAIAN HARTA PERUSAHAAN
PENGANTAR
Pada waktu kita belajar tentang penghasilan yang menjadi obyek pajak disebutkan bahwa salah
satu obyek pajak adalah keuntungan atas pengalihan harta yaitu selisih harga pasar wajar harta
tersebut dengan nilai bukunya. Tetapi kadang-kadang harga pasar wajar suatu harta susah ditentukan
karena jual beli dilakukan dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa. Akibatnya timbul
masalah dalam penentuan berapa laba atau rugi pengalihan harta.
Disamping itu timbul juga masalah pada harga berapa seharusnya pembeli mencatat harga
perolehan harta tersebut. Bagi pembeli masalah penilaian harta menentukan biaya penyusutan atas
harta tersebut. Agar tidak terjadi perdebatan antara petugas pajak dengan Wajib Pajak tentang
masalah ini maka Fiskus menetapkan ketentuan tentang penilaian harta.
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai tata cara penilaian harta milik Wajib Pajak seperti
aktiva tetap dan persediaan. Selain itu diuraikan juga cara menghitung penghasilan sehubungan
dengan penggunaan harta dalam perusahaan, cara menghitung keuntungan atau kerugian apabila
terjadi penjualan atau pengalihan harta, dan cara penghitungan penghasilan dan penjualan barang
dagangan. (pasal 10 UU PPh)
PENILAIAN HARTA
Penilaian harta ditentukan oleh harga perolehan suatu aktiva. Dibawah ini dijelaskan penilaian harta-
harta menurut ketentuan pajak :
1. Persediaan Barang Dagangan
Untuk menilai persediaan barang dagangan metode yang diperkenankan adalah FIFO dan
rata-rata dengan mendasarkan diri pada historical cost (harga perolehan) persediaan tersebut.
Metode yang lain seperti LIFO tidak diperkenankan. (Berdasarkan pasal 10 ayat (6))
2. Aktiva Tetap (Bangunan, Mesin dan Kendaraan)
Yang termasuk harga perolehan aktiva tetap adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan
dalam rangka memperoleh harta tersebut seperti bea masuk, biaya angkut, dan biaya
pemasangan. ( Berdasarkan pasal 10 ayat (1)).
Contoh :
Mesin diimpor dengan harga (Nilai Impor) Rp. 100 juta. Biaya pengangkutan dari pelabuhan ke pabrik, biaya pemasangan, pengetesan dan lain-lain sampai mesin tersebut siap digunakan sebesar
Rp. 20 juta. Maka sebesar Rp. 20 juta tersebut dikapitalisasikan ke harga mesin sehingga nilai
perolehan mesin menjadi Rp. 120 juta.
3. Tanah
Pengeluaran-pengeluaran untuk memperoleh tanah termasuk pengurusan hak-hak atas tanah
dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya dikapitalisasikan dalam harga tanah.
(Berdasarkan pasal 10 Ayat (1) dan (2)).
Contoh :
-
Pajak Penghasilan Badan
28
Tanah dibeli seharga Rp. 1 miliar. Untuk pengurusan status dan pengurusan hak-hak tersebut dari instansi yang berwenang untuk pertama kalinya dikeluarkan biaya sebesar Rp. 200 juta. Maka
sebesar Rp. 200 juta dikapitalisasikan ke harga perolehan tanah sehingga harga tanah tercatat
sebesar Rp. 1.200 juta.
4. Biaya Pra Operasi
Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial yang mempunyai masa manfaat lebih
dari 1 (satu) tahun, dikapitalisasi dan kemudian diamortisasi. (Berdasarkan pasal 11 ayat
(6)).
Contoh :
Biaya studi kelayakan, biaya produksi percobaan, biaya untuk mendapatkan izin usaha dari instansi
berwenang dan biaya pendirian perusahaan dicatat sebagai Biaya Pra Operasi dan dikapitalisasikan.
Pembebanan biaya tersebut dilakukan dengan cara amortisasi
Biaya-biaya operasional yang sifatnya rutin, seperti gaji pegawai, biaya rekening listrik dan telepon,
dan biaya kantor Iainnya tidak boleh dikapitalisasi tetapi dibebankan sekaligus pada tahun
pengeluaran.
TRANSAKSI YANG BERKAITAN DENGAN PENILAIAN HARTA
Beberapa transaksi akan mempengaruhi harga perolehan suatu aktiva, diantaranya :
1. Jual Beli
Suatu transaksi jual beli mungkin dipengaruhi oleh hubungan istimewa dan mungkin juga
tidak. Dalam hal jual beli dipengaruhi hubungan istimewa (kepemilikan maupun hubungan.
darah) maka penentuan harga bagi penjual dan pembeli adalah :
- bagi pembeli : harga perolehan harta adalah harga yang seharusnya dibayar
- bagi penjual : harga penjualan harta adalah harga yang seharusnya diterima
Sedangkan bila tidak dipengaruhi hubungan istimewa, maka harga jual beli :
- bagi pembeli : harga perolehan harta adalah harga yang sesungguhnya dibayar
- bagi penjual : harga penjualan harta adalah harga yang sesungguhnya diterima
Contoh :
Tuan A adalah pemegang saham utama PT X. Tuan A memasok bahan baku produksi PT X. PT X
membeli bahan baku dari Tuan A seharga Rp. 1.500.000,- per unit padahal harga bahan baku yang
sama di pasar bebas hanya sebesar Rp. 1.000.000,- Karena transaksi tersebut adalah transaksi yang
dipengaruhi hubungan istimewa maka PT X harus mencatat nilai perolehan bahan baku sebesar
Rp.1.000.000,-, bukan Rp. 1.500.000,-
Adanya hubungan istimewa menyebabkan harga perolehan menjadi Iebih besar/Iebih kecil dari
harga pasar wajar. OIeh karena itu perlu dikoreksi untuk mendekatkan pada kondisi riil pasar.
2. Tukar Menukar
Harta yang diperoleh berdasarkan transaksi tukar-menukar dengan harta lain, nilai perolehan
atau nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan
harga pasar. (Berdasarkan pasal 10 ayat (2) UU PPh )
Contoh
Tuan A ingin menukarkan mesin yang dimilikinya dengan mobil yang dimiliki Tuan B. Harga pasar
mesin tersebut adalah Rp 5.000.000 dengan NiIai Sisa Buku Fiskal (NSBF) sebesar Rp 1.000.000.
Mobil Tuan B sendiri memiliki harga pasar Rp 6.000.000 dengan NSBF sebesar Rp 3.000.000. Berapa
keuntungan yang didapat dan transaksi tersebut?
Jawaban
-
29
Selisih Iebih harga pasar dan NSBF adalah keuntungan yang dikenakan pajak. Keuntungan Tuan A
sebesar selisih Harga Pasar mobil yang diterima (Rp.6.000.000,00)dengan NSBF mesin yang
diserahkan (Rp.1.000.000)= 5.000.000 dan keuntungan Tuan B adalah sebesar selisih Harga Pasar
mesin yang diterima (Rp. 5.000.000,-) dengan NSBF mobil yang diserahkan (Rp. 3.000.000) =
2.000.000,-
3. Penarikan Harta
Apabila suatu harta dijual maka penerimaan dibukukan sebagai penghasilan pada tahun
terjadinya penjualan dan Nilai Sisa Buku Fiskal (NSBF) dari harta tersebut dibebankan sebagai
kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan. Keuntungan atau kerugian karena pengalihan
harta dikenakan pajak dalam tahun dilakukannya pengalihan harta tersebut.
Apabila suatu harta terbakar, maka penggantian asuransinya ( kalau ada) dibukukan sebagai
penghasilan pada tahun diterimanya penggantian asuransi, dan nilai sisa buku dari harta
tersebut dibebankan sebagai kerugian dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Contoh
Sebuah mesin semi konduktor milik PT Electron terbakar karena terjadi konslet pada tanggal 10
Januari 2009. Mesin tersebut dibeli tahun 2006 seharga Rp. 1 miliar. Nilai Sisa Buku Fiskal ( NSBF )
pada saat terjadi kebakaran sebesar Rp. 625 juta. Penggantian asuransi yang didapat sebesar Rp. 500
juta.
NSBF sebesar Rp. 625 juta dibebankan sebagai kerugian tahun 2006 sedangkan penggantian asuransi
sebesar Rp. 500 juta dicatat sebagai penghasilan.
Apabila hasil penggantian asuransi yang akan diterima jumlahnya baru dapat diketahui dengan pasti
di masa kemudian, maka dengan persetujuan Direktur Jenderal Pajak jumlah sebesar kerugian
dibukukan sebagai beban masa kemudian tersebut.
4. Pengalihan harta untuk Setoran Modal.
Pada prinsipnya pengalihan harta dalam bentuk apapun (jual beli, setoran modal, tukar
menukar, dan lain- lain), penilaian hartanya didasarkan pada harga pasar.
Contoh
Tuan A ingin menambah modalnya di PT X dengan menyerahkan sebuah gudang. Nilai sisa buku
Fiskal gudang sebelum penyerahan adalah Rp. 500 juta sedangkan harga pasarnya Rp. 1 miliar.
Maka PT X mencatat setoran modal berupa gudang dari Tuan A sebesar Rp. 1 miliar sedangkan
Tuan A harus mengakui keuntungan pengalihan harta sebesar harga pasar gudang ( Rp. 1 miliar)
dikurangi NSBF-nya ( Rp. 500 juta) = Rp. 500 juta.
5. Pengalihan harta dalam rangka likuidasi, merger, konsolidasi, pemekaran atau pengambilalihan
PMK 43/PMK.03/2008.
(1) Wajib Pajak yang melakukan merger dapat menggunakan nilai buku.
(2) Merger meliputi penggabungan usaha atau peleburan usaha.
(3) Penggabungan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih Wajib Pajak Badan yang
modalnya terbagi atas saham dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu
badan usaha yang tidak mempunyai sisa kerugian atau mempunyai sisa kerugian yang
lebih kecil.
(4) Peleburan usaha adalah penggabungan dari dua atau lebih Wajib Pajak Badan yang
modalnya terbagi atas saham dengan cara mendirikan badan usaha baru.
(5) Wajib Pajak yang melakukan pemekaran usaha yang dapat menggunakan nilai buku
adalah:
-
Pajak Penghasilan Badan
30
a. Wajib Pajak yang belum Go Public yang akan melakukan penawaran umum perdana
(Initial Public Offering); atau
b. Wajib Pajak yang telah Go Public sepanjang seluruh badan usaha hasil pemekaran
melakukan penawaran umum perdana (Initial Public Offering).
(6) Pemekaran usaha adalah pemisahan satu Wajib Pajak Badan yang modalnya terbagi atas
saham menjadi dua Wajib Pajak Badan atau lebih dengan cara mendirikan badan usaha
baru dan mengalihkan sebagian harta dan kewajiban kepada badan usaha baru tersebut
yang dilakukan tanpa melakukan likuidasi badan usaha yang lama.
6. Hibah, Sumbangan dan Warisan
Pengalihan harta dengan alasan hibah, sumbangan atau warisan yang memenuhi pasal 4 ayat 3
huruf a dan b ( yang menyerahkan adalah orang pribadi dan yang menerima adalah anggota
keluarga sedarah lurus satu derajat atau badan sosial ) dicatat sebesar nilai buku harta yang
dihibahkan oleh penerima. Sedangkan pemberi hibah dan sumbangan tidak boleh mencatat
kerugian atas penyerahan harta tersebut.
Contoh
Tuan A berniat menghibahkan 2 buah gedung masing-masing kepada PT X dan kepada sebuah
badan sosial yang ditetapkan Menteri Keuangan. Atas penyerahan gedung ke badan sosial, Tuan A
mencatat hibah tersebut sebesar nilai sisa buku fiskal (NSBF) dan tidak mengakui laba/rugi. Tetapi
atas hibah gedung kepada PT X, Tuan A harus mencatat hibah tersebut sebesar harga pasar dan
harus laba/rugi.
7. Revaluasi aktiva tetap
Revaluasi adalah penilaian kembali harta yang tercatat sebesar Nilai Buku Fiskal menjadi
sebesar harga pasar. Nilai harta setelah dilakukan revaluasi adalah sebesar nilai yang disetujui
oleh Ditjen Pajak. Untuk dapat disetujui oleh Ditjen Pajak, atas selisih antara nilai buku
sebelum revaluasi dan nilai buku setelah revaluasi WP dikenakan PPh Final sebesar 10 %.
Setelah revaluasi disetujui, WP dapat menyusutkan harta dengan dasar penyusutan yang baru
(sebesar nilai harta yang disetujui Ditjen PaJak). Berdasarkan PMK 79/PMK.03/2008.
Contoh
NSBF suatu mesin sebelum revaluasi adalah Rp. 100 juta. Harga pasar wajar tersebut adalah Rp. 500
juta. Dengan persetujuan Ditjen Pajak, NSBF mesin tersebut dapat diubah menjadi sebesar harga
pasarnya ( Rp. 500 juta). Setelah itu WP dapat menyusutkan mesin dengan dasar penyusutan yang
baru
-
31
BAB VI
PENYUSUTAN DAN AMORTISASI
PENGANTAR
Setelah kita belajar tentang nilai perolehan harta perusahaan, sekarang kita belajar tentang
penyusutan atas harta tersebut. Biaya penyusutan suatu harta sangat dipengaruhi oleh nilai harta
tersebut pada saat perolehannya. Hal lain yang berpengaruh adalah umur ekonomis, metode
penyusutan serta nilai sisa harta tersebut setelah berakhirnya umur ekonomis.
Dalam akuntansi komersial pengusaha bebas menentukan metode penyusutan, umur ekonomis
serta nilai sisa suatu harta. Tetapi hal tersebut akan menimbulkan biaya penyusutan serta beban pajak
yang tidak seragam diantara wajib pajak. Selain itu dalam audit pajak juga akan timbul perdebatan
antara wajib pajak dan pemeriksa tentang masalah diatas. Agar tidak terjadi perdebatan antara
pemeriksa pajak dengan Wajib Pajak maka pemerintah menganggap perlu adanya keseragaman
metode penyusutan atas suatu harta. Bab ini akan membahas masalah metode penyusutan atas suatu
harta menurut ketentuan pajak.