presentasi kasus (repaired) (repaired)
DESCRIPTION
MedicalTRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan penyebab kematian tertinggi pada
kelompok umur di bawah 45 tahun (produktif) dan penyebab kematian pada
lebih dari 70 % kasus. Keadaan cacat menetap setelah trauma sebagian besar
disebabkan oleh cidera kepala dengan kerusakan susunan saraf pusat. Pada
kasus-kasus cedera kepala yang datang ke rumah sakit, sebagian berlanjut
menjadi hematom (perdarahan). Frekuensi perdarahan ini terdapat pada 75
% kasus yang datang sadar dan berakhir dengan kematian (Asep, 2004).
Subdural hematom adalah salah satu perdarahan intrakranial yang
sering terjadi karena fraktur cranium. Otak ditutupi oleh tulang cranium
yang kaku dan keras. Otak sendiri memiliki pembungkus yang disebut dura.
Pembungkus tersebut terdiri atas tiga lapisan yaitu duramater, arakhnoid,
dan piamater. Selaput tersebut berfungsi untuk melindungi otak, menutupi
sinus-sinus vena, dan membentuk periosteum tabula interna.. Ketika
seorang mendapat benturan yang hebat di kepala kemungkinan akan
terbentuk suatu lubang, pergerakan dari otak mungkin akan menyebabkan
pengikisan atau robekan dari pembuluh darah (Heller et al., 2012).
Subdural hematoma adalah perdarahan di ruang duramater dan
arakhnoid yang dikarenakan oleh robeknya vena di ruang arakhnoid.
Trauma pada kepala merupakan keadaan gawat darurat sehingga perlu
segera ditangani. Trauma ini disebabkan gaya mekanik yang langsung
menghantam kepala dan dapat berakibat menjadi fraktur tulang tengkorak,
kontusio serebri, laserasi serebri, dan perdarahan intrakranial seperti
subdural hematom, epidural hematom, atau intraserebral hematoma (De
Jong et al., 2010).
1
II. LAPORAN KASUS
A. Identitas Pasien
1. Nama : Tn. Herli
2. Usia : 42 tahun
3. No. CM : 00100733
4. Jenis Kelamin : Laki-laki
5. Pekerjaan : Buruh Petani
6. Alamat : Binangun 12/11 Pataruman
7. Tanggal Masuk : Sabtu, 12 Maret 2016
B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Penurunan kesadaran
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS Margono Soekarjo dengan
penurunan kesadaran satu jam setelah kecelakaan sepeda motor. Pasien
pasca kecelakaan sepeda motor dengan sepeda motor jam 01.00 (12
Maret 2016) di daerah Binangun, tanpa menggunakan helm, dan ditubruk
dari belakang hingga jatuh ke samping kanan. Pasien mual (+) dan
muntah (+) pasca kecelakaan, pusing (+), keluar cairan dari telinga kanan
(+). Pasien tidak memiliki riwayat kejang, mulut pelo, kelumpuhan,
maupun pengeluaran cairan dari hidung sebelum dan setelah kecelakaan.
Alloanamnesis pada keluarga pasien didapatkan bahwa pasien
tidak memiliki riwayat jatuh ataupun kecelakaan sebelumnya. Riwayat
penyakit jantung, tumor, asma, darah tinggi, diabetes, dan alergi juga
disangkal. Keluarga pasien juga tidak memiliki riwayat penyakit jantung,
tumor, asma, darah tinggi, diabetes, dan alergi.
3. Riwayat Penyakit Dahulu
1. Penyakit Jantung : disangkal
2. Penyakit Diabetes Melitus : disangkal
3. Penyakit Hipertensi : disangkal
2
4. Riwayat Trauma kepala : disangkal
5. Riwayat Tumor : disangkal
6. Riwayat Asma dan Alergi : disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Penyakit Jantung : disangkal
b. Penyakit Diabetes Melitus : disangkal
c. Penyakit Hipertensi : disangkal
d. Riwayat Trauma kepala : disangkal
e. Riwayat Tumor : disangkal
f. Riwayat Asma dan Alergi : disangkal
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien sehari – hari bekerja sebagai seorang buruh tani. Pasien
dirujuk ke Rumah Sakit Margono Soekarjo dengan tidak menggunakan
jaminan kesehatan (umum).
C. Pemeriksaan Fisik
1. Keadaan Umum : Apatis
2. Kesadaran : GCS E2M4V2 (8)
3. Vital Sign
Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 70 x/menit
Pernapasan : 23 x/menit
Suhu : 37,3o C
4. Status Antropometri
Berat Badan : 55 kg
Tinggi Badan : 160 cm
5. Pemeriksaan kepala
Kepala : mesocephal, simetris, jejas (-)
Mata : konjungtiva anemis -/-, sklera ikterik -/-, reflek cahaya +/+, pupil
isokor Ø 3mm/3mm, strabismus -/-
6. Pemeriksaan Leher : dalam batas normal, krepitasi (-), edem (-)
3
7. Pemeriksaan Thoraks
Paru
Inspeksi :Dada simetris, ketertinggalan gerak (-), retraksi intercostals
(-), jejas (-)
Palpasi :Nyeri tekan (-), krepitasi intercostae (-), lokal fremitus paru
kanan = paru kiri, ketertinggalan gerak (-)
Perkusi : Sonor pada seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler +/+,Ronkhi basah halus di basal -/-,
Ronkhi basah kasar di parahiler -/-, Wheezing -/-
Jantung
Inspeksi : tampak pulsasi ictus cordis di SIC VI 2 jari medial LMCS
Palpasi : ictus cordis teraba SIC VI 2 jari medial LMCS
ictus cordis kuat angkat
Perkusi: batas jantung kanan atas SIC II LPSD
batas jantung kiri atas SIC II LPSS
batas jantung kanan bawah SIC IV LPSD
batas jantung kiri bawah SIC VI 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1>S2, regular, murmur (-), gallop (-)
8. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : jejas (-), datar, supel
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : timpani (+)
Palpasi : nyeri tekan (-)
9. Pemeriksaan ekstermitas
Superior : edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+), kekuatan
motorik (5/5)
Inferior : edema (-/-), sianosis (-/-), akral hangat (+/+), kekuatan
motorik (5/5)
10. Pemeriksaan neurologis
Sistem Motorik
Trofi : eutrofi Reflek Fisiologi : Superior +/+, inferior +/+
Tonus: normotonus Reflek Patologi : Superior -/-, inferior -/-
4
D. Diagnosis
Subdural hematoma akut os frontotemporoparietal sinistra
E. Pemeriksaan Tambahan
CT Scan Kepala
Gambar 1. CT Scan Tn Herli (9,40 cc)
Gambar 2. Foto Cervical AP Lateral Tn. Herli
5
Laboratorium tanggal 12 Maret 2016 Pukul 06.57
Hb : 12,9 g/dL
Leukosit : 16590 U/L (H)
Ht : 38 % (L)
Trombosit: 179.000/uL
Eritrosit : 4,4 x 106/uL
Ureum : 22,7 mg/dL
Kreatinin : 0.73 mg/dL (L)
Na : 140 mmol/L
K : 3,6 mmol/L
PT : 13,3 detik (H)
APTT : 43,2 detik (H)
F. Terapi
Terapi di IGD tanggal 12 Maret 2106 pukul 01.40
IVFD RL 20 tpm
O2 8 lpm NRM
DC-UT, Naso Gastric Tube
Collar Neck, Head Up 30o
Inj Ceftriaxon 2x1 gr
Inj Ranitidine 2x50 mg
Inj Ketorolac 3x30 mg
Inj As Tranexamat 3x500 mg
Konsul dokter Spesialis Bedah Saraf tanggal 12 Maret 2016 pukul 08.50 :
a. IVFD NaCl 2000 cc/hari
b. Loading Manitol 250 cc lanjut maintenance 6x150 cc
c. Inj Ceftriaxon 2x1 gr
d. Inj Ranitidine 2x50 mg
e. Inj Ketorolac 3x30 mg
f. Inj Fenitoin 3x100 mg
g. Rawat konservatif HCU
6
G. Follow up Pasien
Waktu Keluhan dan Pemeriksaan Fisik
13 Maret 2016
14 Maret 2016
Pasien berada di ruang HCU
S: Penurunan kesadaran
O: GCS E3M5V2 (10)
TD: 120/90, N: 84 x/m RR: 22x/m S: 36,4 C
Mata: reflex cahaya +/+, pupil bulat isokor
diameter 3mm/3mm, parese -
Mulut : parese -
Ekstrimitas: 5/5/5/5
A : SDH Akut os frontotemporoparietal sin
P: IVFD NaCl 2000 cc/hari
Manitol 6x150 cc
Inj Ceftriaxon 2x1 gr
Inj Ranitidine 2x50 mg
Inj Ketorolac 3x30 mg
Inj Fenitoin 3x100 mg
Pasien berada di ruang HCU
S: Penurunan kesadaran
O: GCS E4M5V2 (11)
TD: 109/73, N: 75 x/m RR: 20x/m S: 37,7 C
Mata: reflex cahaya +/+, pupil bulat isokor
diameter 3mm/3mm, parese –
Mulut : parese –
Ektrimitas 5/5/5/5
A : SDH Akut os frontotemporoparietal sin
P: IVFD NaCl 2000 cc/hari
Manitol 6x150 cc, Inj Ceftriaxon 2x1 gr
Inj Ranitidine 2x50 mg
Inj Ketorolac 3x30 mg Tramadol drip 2x1 amp
Inj Fenitoin 3x100 mg
7
15 Maret 2016
16 Maret 2016
Pasien berada di ruang HCU
S: Penurunan kesadaran
O: GCS E4M5V2 (11)
TD: 120/90, N: 81 x/m RR: 22x/m S: 36,6 C
Mata: reflex cahaya +/+, pupil bulat isokor
diameter 3mm/3mm, parese –
Mulut : parese –
Ektrimitas 5/5/5/5
A : SDH Akut os frontotemporoparietal sin
P: IVFD NaCl 2000 cc/hari
O2 3 lpm
Manitol 6x100 cc
Inj Ceftriaxon 2x1 gr
Inj Ranitidine 2x50 mg
Inj Tramadol drip 2x1 amp
Inj Fenitoin 3x100 mg
Diit cair 6 x 300 cc/NGT
Rawat Cempaka
Pasien berada di ruang Cempaka
S: Pusing
O: GCS E4M5V2 (11)
TD: 120/80, N: 84 x/m RR: 20x/m S: 36,3 C
Mata: reflex cahaya +/+, pupil isokor diameter
3mm/3mm, parese (-)
Mulut : parese n. VII sinistra
Ektrimitas 5/5/5/5
A : SDH Akut os frontotemporoparietal sin
P: IVFD NaCl 2000 cc/hari
O2 3 lpm
Manitol 5x100 cc
Inj Ceftriaxon 2x1 gr
8
17 Maret 2016
18 Maret 2016
Inj Ranitidine 2x50 mg
Inj Tramadol drip 2x1 amp
Inj Fenitoin 3x100 mg
Diit cair 6 x 300 cc/NGT
Pasien berada di ruang Cempaka
S: Pasien tidak dapat berbicara
O: GCS E4M5Vafasia
TD: 120/90, N: 88 x/m RR: 20x/m S: 36,5 C
Mata: reflex cahaya +/+, pupil isokor bulat
diameter 3mm/3mm, parese (-)
Mulut : parese n. VII sinistra
Ektrimitas 5/5/5/5
A : SDH Akut os frontotemporoparietal sin
P: Aff DC
Manitol 2x100 cc
Diit Lunak
(Terapi oral) Phenitoin 3x100 mg
As Mefenamat 3x500 mg
Vit B Complex 2x1 tab
Pasien rencana pulang besok
Pasien berada di ruang Cempaka
S: Pasien tidak dapat berbicara
O: GCS E4M5Vafasia
TD: 120/80, N: 80 x/m RR: 20x/m S: 36C
Mata: reflex cahaya +/+, pupil isokor bulat
diameter 3mm/3mm, parese (-)
Mulut : parese n. VII sinistra
Ektrimitas 5/5/5/5
A : SDH Akut os frontotemporoparietal sin
P: Aff DC
9
Aff Infus
Diit Lunak
(Terapi oral) Phenitoin 3x100 mg
As Mefenamat 3x500 mg
Vit B Complex 2x1 tab
Pasien rencana pulang hari ini
10
III. TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Otak
Sistem saraf pusat meliputi otak (ensefalon) dan sumsum tulang belakang
(Medula spinalis). Keduanya merupakan organ yang sangat lunak, dengan
fungsi yang sangat penting maka perlu perlindungan. Selain tengkorak dan
ruas-ruas tulang belakang, otak juga dilindungi 3 lapisan selaput meninges.
Bila membran ini terkena infeksi maka akan terjadi radang yang disebut
meningitis. Ketiga lapisan membran meninges dari luar ke dalam adalah
sebagai berikut (Scalon, 2007):
1. Durameter; terdiri dari dua lapisan, yang terluar bersatu dengan tengkorak
sebagai endostium, dan lapisan lain sebagai duramater yang mudah
dilepaskan dari tulang kepala. Di antara tulang kepala dengan duramater
terdapat rongga epidural. Lapisan endosteal merupakan periosteum yang
menutupi permukaan dalam tulang tengkorak. Pada foramen magnum,
lapisan ini tidak bersambung dengan dura mater medulla spinalis. Lapisan
meningeal merupakan lapisan duramater yang sebenarnya, merupakan
lapisan fibrosa kuat dan padat yang meliputi otak serta bersambung
dengan dura mater medulla spinalis melalui foramen magnum. Lapisan
meningeal ini membentuk selubung tubular untuk saraf kranial saat saraf
kranial tersebut melintasi foramina di tengkorak. Di luar kranium,
selubung ini menyatu dengan epineurium saraf. Lapisan meningeal
membentuk empat septa ke arah dalam yang membagi rongga kranium
menjadi ruang-ruang yang dapat berhubungan secara bebas dan
merupakan tempat bagian-bagian otak. Fungsi-fungsi septa ini adalah
untuk membatasi pergeseran otak akibat akselerasi dan deselerasi saat
kepala digerakkan (Snell, 2006).
a) Falx cerebri, merupakan lipatan duramater yang berbentuk bulan
sabit, terletak di garis tengah di antara kedua hemispherium cerebri.
b) Tentorium cerebella, merupakan lipatan dura mater yang berbentuk
bulan sabit, yang membentuk atap di atas fossa cranii superior,
memisahkan cerebrum dengan cerebellum.
11
c) Falx cerebella, merupakan lipatan dura mater kecil berbentuk sabit,
melekat pada crista occipitalis interna dan menonjol ke depan di
antara kedua hemispherium cerebellii.
Sinus venosus dura mater terdiri atas (Snell, 2006):
a) Sinus sagitalis superior
b) Sinus sagitalis inferior
c) Sinus transverses
d) Sinus sigmoideus
e) Sinus occipitalis sinus cavernosus
f) Sinus petrosus superior
g) Sinus petrosus inferior
Gambar 3. Sinus Duramater
2. Arachnoidea mater; disebut demikian karena bentuknya seperti sarang
labah-labah. Di dalamnya terdapat cairan yang disebut liquor
cerebrospinalis; semacam cairan limfa yang mengisi sela sela membran
araknoid. Fungsi selaput arachnoidea adalah sebagai bantalan untuk
melindungi otak dari bahaya kerusakan mekanik. Di daerah tertentu,
arakhnoid menonjol ke dalam sinus venosus membentuk villi
arachnoidea. Villi arachnoidea paling banyak terdapat di sepanjang sinus
sagitalis superior. Kumpulan villi arachnoidea disebut granulationes
12
arachnoideas. Villi arachnoidea berfungsi sebagai tempat difusi cairan
serebrospinal ke dalam aliran darah (Snell, 2006). 3.Piameter. Lapisan
terdalam yang mempunyai bentuk disesuaikan dengan lipatan-lipatan
permukaan otak. Struktur ini melekat erat pada otak, menutupi gyrus-
gyrus, dan turun mencapai bagian sulcus yang paling dalam. Lapisan ini
meluas keluar hingga mencapai saraf kranial dan menyatu dengan
epineuriumnya (Snell, 2006).
Otak dan sumsum tulang belakang mempunyai 3 materi esensial yaitu
badan sel yang membentuk bagian materi kelabu (substansi grissea), serabut
saraf yang membentuk bagian materi putih (substansi alba), sel-sel neuroglia,
yaitu jaringan ikat yang terletak di antara sel-sel saraf di dalam sistem saraf
pusat. Walaupun otak dan sumsum tulang belakang mempunyai materi sama
tetapi susunannya berbeda. Pada otak, materi kelabu terletak di bagian luar
atau kulitnya (korteks) dan bagian putih terletak di tengah. Pada sumsum
tulang belakang bagian tengah berupa materi kelabu berbentuk kupu-kupu,
sedangkan bagian korteks berupa materi putih (Scalon, 2007).
1. Otak
Otak terdiri dari dua belahan, belahan kiri mengendalikan tubuh
bagian kanan, belahan kanan mengendalikan belahan kiri. Mempunyai
permukaan yang berlipat-lipat untuk memperluas permukaan sehingga
dapat ditempati oleh banyak saraf. Otak juga sebagai pusat penglihatan,
pendengaran, kecerdasan, ingatan, kesadaran, dan kemauan. Bagian
dalamnya berwarna putih berisi serabut saraf, bagian luarnya berwarna
kelabu berisi banyak badan sel saraf. Otak besar mempunyai fungsi dalam
pengaturan semua aktivitas mental, yaitu yang berkaitan dengan
kepandaian (intelegensi), ingatan (memori), kesadaran, dan pertimbangan
(Scalon, 2007).
Otak besar merupakan sumber dari semua kegiatan/gerakan sadar
atau sesuai dengan kehendak, walaupun ada juga beberapa gerakan refleks
otak. Pada bagian korteks otak besar yang berwarna kelabu terdapat bagian
penerima rangsang (area sensor) yang terletak di sebelah belakang area
motor yang berfungsi mengatur gerakan sadar atau merespon rangsangan.
13
Selain itu terdapat area asosiasi yang menghubungkan area motor dan
sensorik. Area ini berperan dalam proses belajar, menyimpan ingatan,
membuat kesimpulan, dan belajar berbagai bahasa. Di sekitar kedua area
tersebut dalah bagian yang mengatur kegiatan psikologi yang lebih tinggi.
Misalnya bagian depan merupakan pusat proses berfikir (yaitu mengingat,
analisis, berbicara, kreativitas) dan emosi. Pusat penglihatan terdapat di
bagian belakang (Scalon, 2007).
a. Otak Depan (Prosoncephalon)
Otak depan berkembang menjadi telencephalon dan diencephalon.
Telencephalon berkembang menjadi otak besar (Cerebrum).
Diencephalon berkembang menjadi thalamus, hipotamus.
Gambar 4. Otak Depan (Prosoncephalon)
b. Otak Besar (Cerebrum)
Otak besar mempunyai fungsi dalam pengaturan semua aktivitas
mental, yaitu yang berkaitan dengan kepandaian (intelegensi), ingatan
(memori), kesadaran, dan pertimbangan. Otak besar merupakan sumber
dari semua kegiatan/gerakan sadar atau sesuai dengan kehendak,
walaupun ada juga beberapa gerakan reflex otak. Pada bagian korteks
otak besar yang berwarna kelabu terdapat bagian penerima rangsang
(area sensor) yang terletak di sebelah belakang area motor yang
berfungsi mengatur gerakan sadar atau merespon rangsangan. Selain itu
terdapat area asosiasi yang menghubungkan area motor dan sensorik.
Area ini berperan dalam proses belajar, menyimpan ingatan, membuat
kesimpulan, dan belajar berbagai bahasa. Di sekitar kedua area tersebut
dalah bagian yang mengatur kegiatan psikologi yang lebih tinggi.
Misalnya bagian depan merupakan pusat proses berfikir (yaitu
14
Otak Depan (Prosoncephal
mengingat, analisis, berbicara, kreativitas) dan emosi. Pusat penglihatan
terdapat di bagian belakang (Scalon, 2007).
Merupakan bagian terluas dan terbesar dari otak ,bentuk telur dan
mengisi penuh bagian atas rongga tengkorak. Adapun fungsi serebrum
yaitu : untuk pusat pengaturan semua aktivitas mental yaitu berkenaan
dengan kepandaian (Intelegensi), ingatan(memori), kesadaran, pusat
menangis, keinginan buang air besar maupun kecil. Terdiri atas :
1) Lobus frontalis (depan), sebagai area motorik yg membangkitkan
impuls untuk pergerakan volunteer. Area motorik kiri mengatur
pergeakan sisi kanan tubuh dan sebalikya.
2) Lobus oksipital (belakang), untuk pusat penglihatan
3) Lobus temporal (samping), untuk pusat pendengaran
4) Lobus parietal (tengah), untuk pusat pengatur kulit dan otot
terhadap panas, dingin, sentuhan,tekanan.
Antara bagian tengah dan belakang merupakan pusat
perkembangan kecerdasan,ingatan,kemauan dan sikap.
Gambar 5 Otak Besar (Cerebrum)
Gambar 6. Otak Besar (Cerebrum), terdiri atas :
Lobus frontalis (depan), Lobus oksipital (belakang),
Lobus temporal (samping), dan Lobus parietal (tengah).
15
c. Thalamus
Thalamus terdiri dari sejumlah pusat syaraf dan berfungsi sebagai
“tempat penerimaan untuk sementara” sensor data dan sinyal-sinyal
motorik, contohnya untuk pengiriman data dari mata dan telinga
menuju bagian yang tepat dalam korteks (Scalon, 2007).
Gambar 7. Thalamus
d. Hipotalamus
Hypothalamus berfungsi untuk mengatur nafsu makan dan syahwat
dan mengatur kepentingan biologis lainnya. Adapun fungsi lain dari
hypothalamus adalah (Scalon, 2007).:
1) Berperan penting dalam pengendalian aktivitas SSO yg
melakukan fungsi vegetative penting untuk kehidupan seperti
pengaturan frekuensi jantung, TD, Suhu tubuh, keseimbangan air,
selera makan, saluran pencernaan dan aktivitas seksual
2) Sebagai pusat otak untuk emosi seperti kesenangan, nyeri,
kegembiraan dan kemarahan.
3) Memproduksi hormone yang mengatur pelepasan atau inhibisi
hormion kelenjar hipofisis, sehingga mempengaruhi keseluruhan
system endokrin.
Gambar 8. Hipothalamus
16
e. Otak Tengah (Mesencephalon)
Otak tengah terletak di depan otak kecil dan jembatan varol. Di
depan otak tengah terdapat talamus dan kelenjar hipofisis yang
mengatur kerja kelenjar-kelenjar endokrin. Bagian atas (dorsal) otak
tengah merupakan lobus optikus yang mengatur refleks mata seperti
penyempitan pupil mata, dan juga merupakan pusat pendengaran.
Otak tengah tidak berkembang dan tetap menjadi otak tengah (Scalon,
2007).
Gambar 9. Otak Tengah (Mesencephalon)
f. Otak Belakang (Rhombencephalon)
Otak belakang berkembang menjadi metencephalon dan
mielencephalon. Metencephalon berkembang menjadi cerebellum dan
pons varolli. Sedangkan mielencephalon berkembang menjadi
medulla oblongata (Scalon, 2007).
Gambar 10. Otak Belakang (Rhombencephalon)
17
g. Otak Kecil (Serebelum)
Serebelum mempunyai fungsi utama dalam koordinasi gerakan
otot yang terjadi secara sadar, keseimbangan, dan posisi tubuh. Bila
ada rangsangan yang merugikan atau berbahaya maka gerakan sadar
yang normal tidak mungkin dilaksanakan. Terletak di bagian bawah
dan belakang tengkorak dipisahkan dengan cerebrum, diatas medula
oblangata, Adapun fungsinya yaitu (Scalon, 2007):
1) Pusat keseimbangan
2) Mengkoordinasi dan mengendalikan ketepatan gerakan otot dengan
baik
3) Menghantarkan impuls dari otot-otot bagian kiri dan kanan tubuh.
Gambar 11. Otak Kecil (Serebelum)
h. Sumsum Sambung (Medulla Oblongata)
Sumsum sambung berfungsi menghantar impuls yang datang dari
medula spinalis menuju ke otak. Sumsum sambung juga memengaruhi
jembatan, refleks fisiologi seperti detak jantung, tekanan darah,
volume dan kecepatan respirasi, gerak alat pencernaan, dan sekresi
kelenjar pencernaan. Selain itu, sumsum sambung juga mengatur
gerak refleks yang lain seperti bersin, batuk, dan berkedip (Scalon,
2007).
18
Gambar 12. Sumsum Sambung (Medulla Oblongata)
j. Jembatan Varol (Pons Varoli)
Jembatan varol berisi serabut saraf yang menghubungkan otak
kecil bagian kiri dan kanan, juga menghubungkan otak besar dan
sumsum tulang belakang (Scalon, 2007).
Gambar 13. Jembatan Varol (Pons Varoli)
B. Definisi Subdural Hematom
Subdural hematoma (SDH) terjadi akibat robeknya vena-vena jembatan
(bridging vein), sinus venosus dura mater atau robeknya araknoidea.
Perdarahan terletak di antara duramater dan araknoidea. SDH ada yang akut
dan kronik Gejala klinis berupa nyeri kepala yang makin berat dan muntah
proyektil. Jika SDH makin besar, bisa menekan jaringan otak, mengganggu
ARAS, dan terjadi penurunan kesadaran (Soertidewi, 2012).
19
C. Etiologi Subdural Hematom
Subdural hematoma dapat terjadi karena (Price, 2006, Sjamsuhidajat, 2004) :
1) Trauma
a) Trauma kapitis
Subdural hematoma disebabkan oleh trauma otak yang menyebabkan
robeknya vena di dalam ruang arakhnoid. Pembesaran hematom
karena robeknya vena memerlukan waktu yang lama, sehari sampai
beberapa minggu
b. Trauma di tempat lain pada badan yang berakibat terjadinya
pergeseran atau putaran otak terhadap duramater, misalnya pada
orang yang jatuh terduduk
c. Trauma pada leher karena guncangan pada badan. Hal ini lebih
mudah terjadi bila ruangan subdural lebar akibat atrofi otak,
misalnya pada orang lanjut usia dan anak – anak.
3) Non Trauma
a. Pecahnya aneurisma atau malformasi pembuluh darah di dalam
ruangan subdural
b. Gangguan pembekuan darah biasanya berhubungan dengan
perdarahan subdural yang spontan dan keganasan ataupun
perdarahan dari tumor intrakranial
c. Usia lanjut, alkoholik, gangguan hati dan penggunaan antikoagulan
D. Klasifikasi Subdural Hematom
Subdural hematoma dibagi menjadi berbagai tipe menurut onset terjadinya,
yaitu :
1. Subdural hematoma akut
Hematoma subdural akut secara klinis sukar dibedakan dengan
hematoma epidural yang berkembang lambat. Hematom subdural akut
dan kronik memberikan gambaran klinis suatu proses desak ruang yang
progresif sehingga tidak jarang dianggap sebagai neoplasma atau
demensi (Sjamsuhidajat, 2004).
20
Subdural hematoma akut menimbulkan gejala neurologis yang
penting dan serius dalam waktu 24 – 48 jam setelah cedera. Hematoma
ini sering berkaitan dengan trauma otak berat dan juga mempunya angka
mortalitas yang tinggi. Defisit neurologik progresif disebabkan oleh
tekanan pada jaringan otak dan herniasi batang otak ke dalam foramen
magnum yang selanjutnya menimbulkan tekanan pada batang otak.
Keadaan ini cepat menimbulkan henti napas dan hilangnya kontrol atas
denyut nadi dan tekanan darah (Price, 2006).
2. Subdural hematoma subakut
Subdural hematoma subakut menyebabkan defisit neurologik
bermakna dalam waktu lebih dari 48 jam tetapi kurang dari dua minggu
setelah cedera. Seperti pada subdural hematoma akut, hematoma ini juga
disebabkan oleh perdarahan vena ke dalam ruang subdural (Price, 2006).
Riwayat klinis yang khas dari penderita subdural hematoma
subakut adalah adanya trauma kepala yang menyebabkan ketidaksadaran,
selanjutnya diikuti perbaikan status neurologik yang bertahap. Namun,
setelah jangka waktu tertentu penderita memperlihatkan tanda 0 tanda
status neurologik yang memburuk. Tingkat kesadaran menurun secara
bertahap dalam beberapa jam. Sejalan dengan meningkatnya TIK akibat
timbunan hematoma, pasien menjadi sulit dibangunkan dan tidak
berespons terhadap rangsangan verbal maupun nyeri (Price, 2006).
3. Subdural hematoma kronis
Pada subdural hematoma kronis awitan gejala pada umumnya
tertunda beberapa minggu, bulan bahkan tahun setelah cedera awal.
Trauma pertama merobek salah satu vena yang melewati ruang subdural
sehingga terjadi perdarahan lambat ke dalam ruang subdural. Dalam 7 –
10 hari setelah perdarahan, darah dikelilingi oleh membran fibrosa.
Terjadi kerusakan sel – sel darah dalam hematoma sehingga terbentuk
tekanan osmotik yang menyebabkan tertariknya cairan ke dalam
hematoma (Price, 2006).
Gejala subdural hematoma kronis tidak spesifik dan tidak
terlokalisasi. Beberapa penderita mengeluh sakit kepala. Gejala dan tanda
21
yang paling khas adalah perubahan progresif dalam tingkat kesadaran
termasuk apatis, letargi, berkurangnya perhatian, dan menurunnya
kemampuan untuk mempergunakan kecakapan kognitif yang lebih tinggi.
Hemianopsia, hemiparesis dan kelainan pupil ditemukan pada kurang
dari 50% kasus (Price, 2006).
E. Patofisiologi Subdural Hematom
Perdarahan terjadi antara duramater dan arakhnoidea. Perdarahan
dapat terjadi akibat robeknya vena jembatan (bridging veins) yang
menghubungkan vena di permukaan otak dan sinus venosus di dalam
duramater atau karena robeknya araknoidea. Karena otak yang bermandikan
cairan cerebrospinal dapat bergerak, sedangkan sinus venosus dalam keadaan
terfiksir, berpindahnya posisi otak yang terjadi pada trauma, dapat merobek
beberapa vena halus pada tempat di mana mereka menembus duramater
Perdarahan yang besar akan menimbulkan gejala-gejala akut menyerupai
hematoma epidural (Price, 2006).
Perdarahan yang tidak terlalu besar akan membeku dan di sekitarnya
akan tumbuh jaringan ikat yang membentuk kapsula. Gumpalan darah lambat
laun mencair dan menarik cairan dari sekitarnya dan mengembung
memberikan gejala seperti tumor serebri karena tekanan intracranial yang
berangsur meningkat. Perdarahan sub dural kronik umumnya berasosiasi
dengan atrofi cerebral. Vena jembatan dianggap dalam tekanan yang lebih
besar, bila volume otak mengecil sehingga walaupun hanya trauma yang kecil
saja dapat menyebabkan robekan pada vena tersebut. Perdarahan terjadi
secara perlahan karena tekanan sistem vena yang rendah, sering
menyebabkan terbentuknya hematoma yang besar sebelum gejala klinis
muncul. Pada perdarahan subdural yang kecil sering terjadi perdarahan yang
spontan. Pada hematoma yang besar biasanya menyebabkan terjadinya
membran vaskular yang membungkus hematoma subdural tersebut.
Perdarahan berulang dari pembuluh darah di dalam membran ini memegang
peranan penting, karena pembuluh darah pada membran ini jauh lebih rapuh
sehingga dapat berperan dalam penambahan volume dari perdarahan subdural
22
lkronik. Akibat dari perdarahan subdural, dapat meningkatkan tekanan
intrakranial dan perubahan dari bentuk otak. Naiknya tekanan intra kranial
dikompensasi oleh efluks dari cairan likuor ke axis spinal dan dikompresi
oleh sistem vena. Pada fase ini peningkatan tekanan intra kranial terjadi
relatif perlahan karena komplains tekanan intra kranial yang cukup tinggi.
Meskipun demikian pembesaran hematoma sampai pada suatu titik tertentu
akan melampaui mekanisme kompensasi tersebut. Komplains intrakranial
mulai berkurang yang menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan intra
kranial yang cukup besar. Akibatnya perfusi serebral berkurang dan terjadi
iskemi serebral. Lebih lanjut dapat terjadi herniasi transtentorial atau
subfalksin. Herniasi tonsilar melalui foramen magnum dapat terjadi jika
seluruh batang otak terdorong ke bawah melalui incisura tentorial oleh
meningkatnya tekanan supra tentorial. (Price, 2006).
F. Penegakan Diagnosis Subdural Hematom
Gejala klinis (Satyanegara dkk, 2014) :
1. Anamnesis
Dari anamnesis ditanyakan adanya riwayat trauma kepala baik
dengan jejas di kepala atau tidak, jika terdapat jejas perlu ditanyakan ada
atau tidaknya kehilangan kesadaran atau pingsan. Untuk tambahan
ditanyakan apakah disertai muntah dan kejang setelah terjadinya trauma
kepala.. ada kelemahan anggota gerak atau tidak. Ditanyakan juga
penyakit lain yang sedang diderita dan obat – obatan yang sedang
dikonsumsi saat ini dan apakah dalam pengaruh alkohol.
2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan klinis meliputi pemeriksaan primer (primary survey)
yang mencakup jalan napas (airway), pernafasan (breathing), dan tekanan
darah atau nadi (circulation) yang dilanjutkan dengan resusitasi.
Pemeriksaan neurologik yang meliputi kesadaran penderita dengan
menggunakan Skala Koma Glasgow, pemeriksaan diameter kedua ouoil
dan tanda – tanda defisit neurologis fokal. Pada pemeriksaan sekunder
dilakukan pemeriksaan neurologi serial meliputi GCS, lateralisasi dan
23
refleks pupil. Tanda awal dari herniasi lobus temporal adalah dilatasi pupil
dan hilangnya refleks pupil terhadap cahaya.
3. Pemeriksaan Penunjang (Satyanegara, 2014)
a. Laboratorium
Pemeriksaan darah rutin, elektrolit, profil hemostasis/koagulasi
b. Foto Rontgen
c. MRI
Umumnya konfigurasi SDH pada MRI adalah bentuk kresentis (‘bulan
sabit’), namun perlu diingat bahwa SDH yang kronik dapat memberi
gambaran berbentuk bikonveks yang serupa dengan gambaran EDH.
SDH hiperakut (yang terdiri dari campuran oksi Hb dan deoksi Hb)
akan menampilkan gambaran hipo/isointens pada T1 dan hipeintens
T2. SDH akut (terdiri dari deoksi Hb dalam sel darah merah yang
intak) memberi gambaran hipo/isointens pada T1 dan hipointens T2.
SDH subakut dini (dimana deoksi Hb intraseluler telah dioksidasi
menjadi metHb) akan memberi sinyal hiperintens T1 dan hipointens
T2. Pada SDH subakut lambat (telah terjadi lisis sel darah merah dan
menghasilkan metHb bebas) akan memberi sinyal hiperintens T1 dan
T2. Sedangakan pada SDH kronis dimana sudah terbentuk
hemosiderin, akan memberi sinyal hipointens pada T1 maupun T2.
d. CT Scan : bulan sabit (kresentik)
d. Akut (1-3 hari) : hiperdens
e. Subakut (4-21 hari) : isodens
f. Kronis (>21 hari) : hipodens menyelimuti permukaan otak
Dapat menyeberang sutura
Gambar 12. CT Scan Subdural Hematoma
24
G. Penatalaksanaan Subdural Hematom
1. Penatalaksanaan Ruang Gawat Darurat
a. Jalan napas (Airway)
Jalan napas dibebaskan dari lidah yang turun ke belakang dengan
posisi kepala ekstensi. Jika perlu dipasang pipa orofaring atau pipa
endotrakheal. Bersihkan sisa muntahan, darah, lendir atau gigi palsu.
Jika muntah, pasien dibaringkan miring. Isi lambung dikosongkan
melalui pipa nasogastrik untuk menghindari aspirasi muntahan
(Soertidewi, 2012).
b. Pernapasan (Breathing)
Gangguan pernapasan dapat disebabkan oleh kelainan sentral atau
perifer. Kelainan sentral disebabkan oleh depresi pernapasan yang
ditandai dengan pola pernapasan Cheyne Stokes, hiperventilasi
neurogenik sentral. Kelainan perifer disebabkan oleh aspirasi, trauma
dada, edema paru, emboli paru, atau infeksi. Tata laksana (Soertidewi,
2012):
1) Oksigen dosis tinggi, 10-15 liter/menit, intermiten
2) Cari dan atasi faktor penyebab
3) Kalau perlu pakai ventilator
c. Sirkulasi (Circulation)
Hipotensi dapat terjadi akibat cedera otak. Hipotensi dengan tekanan
darah sistolik <90 mm Hg yang terjadi hanya satu kali saja sudah
dapat meningkatkan risiko kematian dan kecacatan. Hipotensi
kebanyakan terjadi akibat faktor ekstrakranial, berupa hipovolemia
karena perdarahan luar atau ruptur alat dalam, trauma dada disertai
tamponade jantung/ pneumotoraks, atau syok septik. Tata laksananya
dengan cara menghentikan sumber perdarahan, perbaikan fungsi
jantung, mengganti darah yang hilang, atau sementara dengan cairan
isotonik NaCl 0,9% (Soertidewi, 2012).
25
d. Manajemen Tekanan Intra Kranial (TIK) Meningkat
Peninggian tekanan intrakranial terjadi akibat edema serebri dan/atau
hematoma intrakranial. Bila ada fasilitas, sebaiknya dipasang monitor
TIK. TIK normal adalah 0-15 mm Hg. Di atas 20 mm Hg sudah harus
diturunkan dengan cara (Soertidewi, 2012) :
1) Posisi tidur: Bagian kepala ditinggikan 30 derajat dengan kepala
dan dada pada satu bidang.
2) Terapi diuretik
a) Diuretik osmotik (manitol 20%) dengan dosis 0,5-1 g/kgBB
(1gr = 5cc), diberikan dalam 30 menit. Untuk mencegah
rebound, pemberian diulang setelah 6 jam dengan dosis 0,25-
0,5/kgBB dalam 30 menit (TIK fluktuatif setiap 4-6 jam).
Pemantauan: osmolalitas tidak melebihi 310 mOsm. Syarat
pemberian manitol adalah TD > 90 mmHg, Hmt <40%, Na
serum >125 mmol/L. Pemberisn hingga hari 5 – 6, tappering
off hingga dosis 75 cc, lalu stop karena pemberian harus
pelan-pelan menghindari rebound tenderness.
b) Loop diuretic (furosemid), pemberiannya bersama manitol,
karena mempunyai efek sinergis dan memperpanjang efek
osmotik serum manitol. Dosis: 40 mg/hari IV.
e. Nutrisi
Pada cedera kranioserebral berat, terjadi hipermetabolisme sebesar 2-
2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein.
Kebutuhan energi rata-rata pada cedera kranioserebral berat
meningkat rata-rata 40%. Total kalori yang dibutuhkan 25-30
kkal/kgBB/ hari. Kebutuhan protein 1,5-2g/kgBB/hari, minimum
karbohidrat sekitar 7,2 g/kgBB/ hari, lipid 10-40% dari kebutuhan
kalori/hari, dan rekomendasi tambahan mineral: zinc 10- 30 mg/hari,
cuprum 1-3 mg, selenium 50-80 mikrogram, kromium 50-150
mikrogram, dan mangan 25-50 mg. Beberapa vitamin juga
direkomendasikan, antara lain vitamin A, E, C, ribofl avin, dan
vitamin K yang diberikan berdasarkan indikasi. (Soertidewi, 2012).
26
Pada pasien dengan kesadaran menurun, pipa nasogastrik dipasang
setelah terdengar bising usus. Mula-mula isi perut dihisap keluar
untuk mencegah regurgitasi sekaligus untuk melihat apakah ada
perdarahan lambung. Bila pemberian nutrisi peroral sudah baik dan
cukup, infus dapat dilepas untuk mengurangi risiko flebitis
(Soertidewi, 2012).
f. Neurorestorasi
Posisi baring diubah setiap 8 jam, dilakukan tapotase toraks, dan
ekstremitas digerakkan pasif untuk mencegah dekubitus dan
pneumonia ortostatik (Soertidewi, 2012).
g. Penanganan Komplikasi
1) Kejang, kejang yang terjadi dalam minggu pertama setelah
trauma disebut early seizure, dan yang terjadi setelahnya disebut
late seizure. Early seizure terjadi pada kondisi risiko tinggi, yaitu
ada fraktur impresi, hematoma intrakranial, lesi didaerah
temporal, kontusio di daerah korteks; diberi profi laksis fenitoin
dengan dosis 3x100 mg/hari selama 7-10 hari (Soertidewi, 2012).
2) Infeksi, profi laksis antibiotik diberikan bila ada risiko tinggi
infeksi, seperti pada fraktur tulang terbuka, luka luar, fraktur basis
kranii. Pemberian profilaksis antibiotik ini masih kontroversial.
Bila ada kecurigaan infeksi meningeal, diberikan antibiotik
dengan dosis meningitis (Soertidewi, 2012).
3) Demam, setiap kenaikan suhu harus dicari dan diatasi
penyebabnya. Boleh diberikan tambahan antipiretik dengan dosis
sesuai berat badan (Soertidewi, 2012).
4) Gastrointestinal, pada pasien cedera kranio-serebral terutama
yang berat sering ditemukan gastritis erosi dan lesi
gastroduodenal lain, 10-14% di antaranya akan berdarah.
Kelainan tukak stres ini merupakan kelainan mukosa akut saluran
cerna bagian atas karena berbagai kelainan patologik atau stresor
yang dapat disebabkan oleh cedera kranioserebal. Umumnya
tukak stres terjadi karena hiperasiditas. Keadaan ini dicegah
27
dengan pemberian antasida 3x1 tablet peroral atau H2 receptor
blockers (simetidin, ranitidin, atau famotidin) dengan dosis 3x1
ampul IV selama 5 hari (Soertidewi, 2012).
2. Tindakan non operatif
Pada kasus perdarahan yang kecil (volume kurang dari 30cc) dilakukan
tindakan konservatif. Terapi non-operatif ditujukan untuk (Soertidewi,
2012):
a. Mengontrol fisiologi dan substrat sel otak serta mencegah
kemungkinan terjadinya tekanan tinggi intracranial
b. Mencegah dan mengobati edema otak (cara hiperosmolar, diuretik)
c. Minimalisasi kerusakan sekunder
d. Mengobati simptom akibat trauma otak Mencegah dan mengobati
komplikasi trauma otak, misal kejang, infeksi (antikonvulsan dan
antibiotik)
3. Tindakan operatif
Apabila ditemukan gejala – gejala progresif, maka diperlukan tindakan
operasi untuk melakukan pengeluaran hematoma. Tujuannya untuk :
a. Evakuasi seluruh hematoma
b. Merawat sumber perdarahan
c. Reseksi parenkim otak yang nonviable
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah burrhole craniotomy, twist
drill craniotomy, dan subdural drain. Pada subdural hematoma kronik sering
dilakukan burrhole craiotomy karena sudah terbntuk membran yang
membatasi hematoma dan teknik ini menunjukkan komplikasi yang minimal.
Indikasi operasi (Satyanegara, 2014) :
a. Tebal > 1cm atau midline shift>0,5 cm tanpa mempertimbangkan GCS
b. Tebal <1 cm dan MLS <0,5 cm dengan :
Penurunan GCS≥ 2 poin dan/atau
Pupil anisokor atau dilatasi atau
c. TIK > 20 mmHg
28
IV. PEMBAHASAN
Penegakkan diagnosis pasien atas nama Tn. Herli usia 42 tahun dengan
penurunan kesadaran diperoleh dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang. Diagnosis akhir diperoleh setelah melalui tahapan
lengkap anamnesis (alloanamnesis), pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan
tambahan seperti pemeriksaan CT ( gold standar) menunjukkan bahwa pasien
mengalami penurunan kesadaran dikarenakan Subdural Hematoma (perdarahan di
ruang subdura) oleh karena cidera kepala sedang.
Hasil pemeriksaan menunjukkan pasien mengalami penurunan kesadaran
setelah kecelakaan dengan GCS E2M4V2 (8) menunjukkan adanya cidera kepala
dengan tingkat sedang sesuai dengan kriteria cedera berdasarkan hasil
pemeriksaan GCS. Gejala mual dan muntah ditemukan postif menunjukkan
adanya iritasi pada trigger zone ataupun disebabkan peningkatan TIK karena
edem otak, namun belum dapat disimpulkan peningkatan tekanan intrakranial
yang masif karena gejala lain seperi kejang, nistagmus, dan penurunan GCS
drastis tidak muncul. Pengeluaran cairan dari telinga perlu dicurigai adanya tanda
kerusakan pada basis cranium. Gejala dan tanda defisit neurologis seperti pelo,
kelumpuhan atau kelemahan ekstrimitas, kejang, dan pupil anisokor belum
ditemukan, namun disini perlu diwaspadai adanya kejang karena lokasi jatuh yang
berada di samping (temporal). Usia pasien yang masih produktif dan tidak adanya
riwayat jatuh sebelumnya dapat menyingkirkan diagnosis Subdural hematoma
kronis (pada pemeriksaan penunjang akan ditunjukkan dengan hasil CT-Scan).
Pada pemeriksaan fisik didapatkan hemodinamika dalam keadaan stabil,
hanya saja suhu sub ferbris. Pemeriksaan kepala , mata, hidung, mulut didapatkan
tidak terdapat kelainan, pupil isokor, tidak ada strabismus, dan reflek cahaya
masih positif menunjukkan tidak ada defisit neurologis di batang otak, ataupun
yang berkaitan dengan N II, III, IV, VI. Pada pemeriksaan leher juga tidak
didapatkan krepitasi namun tetep perlu dipasang collar neck sampai benar-benar
terbukti dengan pemeriksaan foto servikal tidak didapatkan cedera servikal.
Pemeriksaan thorax dan abdomen dalam batas normal, tidak ditemukannya jejas,
nyeri tekan ataupun krepitasi yang menandakan cedera pada bagian tersebut.
29
Begitupula dengan ekstrimitas, tidak didapatkan kelemahan gerak motorik atauun
keterbatasan gerak yang bisa disebabkan defisit neurologis ataupun fraktur pada
ekstrimitas.
Pemeriksaan penunjang yang diajukan adalah pemeriksaan laboratorium,
foto rontgen servical, dan CT Scan. Pemeriksaan laboratorium meliputi
pemeriksaan darah lengkap, PT APTT, kimia darah,dan elektrolit. Pemeriksaan
darah lengkap untuk memantau jumlah darah serta faktor pembekuan darah
karena terdapat perdarahan pada pasien ini. Pemeriksaan kimia darah dan
elektrolit untuk memantau fungsi biokimia tubuh yang dapat mengakibatkan
kelainan sistemik lainnya apabila abnormal dalam jumlah tertentu, seperti edema
(kekurangan protein), hiperglikemi (GDS meningkat), dan kejang (karena
kekurangan elektrolit). Pada pasien ini leukosit, PT, APTT meningkat yang
menunjukkan adanya suatu peradangan dan perdarahan yang mungkin berasal sari
bagian kepala. Penelitian di RSCM menunjukkan bahwa leukositosis dapat
dipakai sebagai salah satu indikator pembeda antara kontusio (CKS) dan komosio
(CKR). Leukosit >17.000 merujuk pada CT scan otak abnormal, sedangkan angka
leukositosis >14.000 menunjukkan kontusio (Andrews, 2000).
Pemeriksaan CT-Scan digunakan sebagai Gold Diagnosis perdarahan
pada cedera kepala dimana pada pasien ini terdapat gambaran hiperdens
mengikuti arah duramater di cranium (gambaran bulan sabit) sebanyak 9,40 cc
( kurang dari 20 cc perdarahan). Program terapi craniotomi evakuasi SDH tidak
dilakukan karena perdarahan dapat diserap sendiri karena memenuhi kriteria
penatalaksanaan konservatif yaitu kriteria perdarahan < 20 cc, pada pasien ini
tidak terdapat midline shift, tidak terdapat perdarahan intraventrikel, pupil isokor,
reflek cahaya positif, ventrikel masih terlihat walaupun terdapat edem cerebri
sehingga menyebabkan lesi desak ruang namun tidak terdapat tanda peningkatan
TIK yang progresif dan bermakna untuk dilakukan operasi, penurunan GCS >2
tidak terjadi sehingga pasien hanya dilakukan dengan tindakan konservatif dan
pemantauan intensif di HCU. Pada Foto cervical tidak didapatkan kelainan untuk
menyingkirkan adanya trauma cervical.
Terapi medikamentosa yang diberikan yaitu infus Nacl 0,9 % sebagai
pengganti cairan tubuh terutama elektrolit Na, manitol untuk mengurangi edem
30
cerebri secara hiperosmolar, ceftriaxon dan ranitidin untuk mengurangi resiko
infeksi dan gastrointestinal, ketorolac sebagai antinyeri, fenitoin sebagai anti
kejang profilaksis karena lesi berada di temporal dan pada pasien SDH sebanyak
20 % pasien terjadi late epilepsi (Satyanegara, 2014) .Terapi non-medika mentosa
yaitu berupa ABCD. Pemasangan goedel dan suction perlu dilakukan untuk
membersihkan jalan nafas. Oksigen 10 lpm dengan NRM untuk perfusi adekuat
di otak, pemasangan collar neck untuk mencegah adanya trauma servikal lebih
parah, namun pada pasien ini collar neck sudah dapat dilepas karena hasil Ro
servical baik tidak terdapat fraktur atau stenosis canal servikal. Head up 30 untuk
menurunkan TIK. Pasang NGT supaya diit cair lebih mudah dan tidak terjadi
aspirasi pada paien. Pasang kateter untuk memantau cairan tubuh pasien dengan
urin output. Prognosis pasien mengalami perbaikan dari hari ke hari ditunjukkan
dengan GCS dan juga vital sign serta pemeriksaan fisik. Pasien datang dengan
GCS 8 dan pulang dengan GCS 15.
31
DAFTAR PUSTAKA
Andrews PJD. 2000. Traumatic brain injury. In: Neurological Emergencies. Hughes R (ed.). 3rd ed. New York: BMJ books.
Asep, Usmanto. 2004. Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Prognosis SDH. Skripsi. Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Dipenogoro
Davey, Patrick. 2003. At a Glance Medicine. Jakarta : Erlangga.
Liu, W., Nicolaas A.B., Rob J.M. 2014. Chronic subdural hematoma: a systematic review and meta-analysis of surgical procedures.Groningen : Journal of Neurosurgery. Volume 121 : 665-673.
Plaha, P., Malhotra., Heuer., Peter, W. 2008. Management of Chronic Subdural Haematoma. Plymouth : ACNR. Volume 8 Number 5.
Satyanegara, dkk. 2014. Ilmu Bedah Saraf Edisi V. Jakarta : Gramedia.
Soertidewi, L. 2012. Penatalaksanaan Kedaruratan Cedera Kranioserebral. Cermin Dunia Kedokteran: 39 (2) : 327 – 331
Sjamsuhidajat, R. 2004. Subdural Hematoma dalam Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi Kedua. Jakarta : EGC.
Snell, R. S., 2006. Anatomi Klinik. Edisi 6. Jakarta:EGC.
Scalon, Valerie C. 2007.Essential of Anatomy and Physiology 5th edition. Philadelphia : F.A. Davis Company
32