preskas omsk
DESCRIPTION
prTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Disfagia berasal dari kata Yunani yang berarti gangguan makan. Disfagia
biasanya mengacu pada kesulitan dalam makan sebagai akibat dari gangguan
dalam proses menelan. Disfagia dapat didefinisikan sebagai rasa nyeri, tidak
nyaman, dan atau kesulitan dalam memulai atau menyelesaikan proses penelanan.
Disfagia diartikan sebagai “perasaan melekat” atau obstruksi pada tempat
lewatnya makanan melalui mulut, faring, atau esophagus. Disfagia dapat menjadi
ancaman serius bagi kesehatan seseorang karena risiko pneumonia aspirasi,
malnutrisi, dehidrasi, penurunan berat badan, dan obstruksi jalan napas. Sejumlah
etiologi telah dikaitkan dengan disfagia pada populasi dengan kondisi neurologis
dan nonneurologis. 1
Disfagia telah dilaporkan dalam beberapa jenis gangguan, dan dapat
digolongkan sebagai neurologis dan non neurologis. meskipun disfagia mencakup
banyak variabel, juga sangat berpengaruh terhadap hasil pengobatan.2
Gangguan menelan neurologis ditemui lebih sering pada unit rehabilitasi
medis daripada spesialisasi kedokteran lainnya. Stroke adalah penyebab utama
dari disfagia neurologis. Sekitar 51-73% pasien dengan stroke mengalami
disfagia, yang merupakan faktor resiko bermakna berkembangnya pneumonia; hal
ini dapat juga menunda pemulihan fungsional pasien.2
Pneumonia terjadi pada sekitar 34% dari seluruh kematian terkait stroke
dan merupakan penyebab kematian ketiga terbanyak pada bulan pertama setelah
mengalami stroke, meskipun tidak seluruh kasus pneumonia berkaitan dengan
aspirasi makanan. Oleh karenanya, deteksi dini dan pengobatan disfagia pada
pasien yang telah mengalami strokes adalah sangat penting.2
Disfagia orofaring timbul dari kelainan di rongga mulut, faring, dan
esofagus, dapat disebabkan oleh stroke, penyakit Parkinson, kelainan neurologis,
oculopharyngeal muscular dystrophy, menurunnya aliran air liur, xerostomia,
masalah gigi, kelainan mukosa oral, obstruksi mekanik (keganasan, osteofi,
1
2
meningkatnya tonus sfingter esophagus bagian atas, radioterapi, infeksi, dan obat-
obatan (sedatif, antikejang, antihistamin).1
Gangguan yang dapat menyebabkan disfagia dapat mempengaruhi proses
menelan pada fase oral, faring, atau esofagus. Anamnesis secara menyeluruh dan
pemeriksaan fisik dengan teliti sangat penting dalam diagnosis dan pengobatan
disfagia. Pemeriksaan fisik harus mencakup pemeriksaan leher, mulut, orofaring,
dan laring. Pemeriksaan neurologis juga harus dilakukan.1
Pemeriksaan endoskopi serat optik pada proses menelan mungkin
diperlukan. Gangguan menelan mulut dan faring biasanya memerlukan
rehabilitasi, termasuk modifikasi diet dan pelatihan teknik dan manuver menelan.
Pembedahan jarang diindikasikan untuk pasien dengan gangguan menelan. Pada
pasien dengan gangguan berat, makanan sulit melewati rongga mulut dan faring
secara keseluruhan dan pemberian nutrisi enteral mungkin diperlukan. Pilihan
meliputi gastrostomy endoskopi perkutan dan kateterisasi intermiten
oroesophageal.1
Pasien yang memiliki disfagia dapat datang dengan berbagai tanda dan
gejala. Mereka biasanya mengeluhkan batuk atau tersedak atau sensasi abnormal
menempel makanan di belakang tenggorokan atau dada bagian atas ketika mereka
mencoba menelan, namun, beberapa kasus bisa dengan keluhan yang sangat
minimal atau bahkan tidak ada keluhan (misalnya, pada mereka dengan aspirasi
diam). disfagia menyebabkan dua masalah yang berbeda yaitu: pertama, seringkali
ada penyebab dasar yang serius. Dan kedua, menyebabkan konsekuensi berbahaya
(misal, aspirasi atau malnutrisi). 1
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Saluran Makanan
2.1.1 Mulut dan Gigi
Rongga mulut yang disebut juga rongga bukal, dibentuk secara anatomis
oleh pipi, palatum keras, palatum lunak, dan lidah. Pipi membentuk dinding
bagian lateral masing-masing sisi dari rongga mulut. Pada bagian eksternal dari
pipi, pipi dilapisi oleh kulit. Sedangkan pada bagian internalnya, pipi dilapisi oleh
membran mukosa, yang terdiri dari epitel pipih berlapis yang tidak terkeratinasi.
Otot-otot businator (otot yang menyusun dinding pipi) dan jaringan ikat tersusun
di antara kulit dan membran mukosa dari pipi. Bagian anterior dari pipi berakhir
pada bagian bibir.2
4
Manusia memiliki dua buah perangkat gigi, yang akan tampak pada
periode kehidupan yang berbeda. Perangkat gigi yang tampak pertama pada anak-
anak disebut gigi susu atau deciduous teeth. Perangkat kedua yang muncul setelah
perangkat pertama tanggal dan akan terus digunakan sepanjang hidup, disebut
sebagai gigi permanen. Gigi susu berjumlah dua puluh empat buah yaitu : empat
buah gigi seri (insisivus), dua buah gigi taring (caninum) dan empat buah geraham
(molar) pada setiap rahang. Gigi permanen berjumlah tiga puluh dua buah yaitu :
empat buah gigi seri, dua buah gigi taring, empat buah gigi premolar, dan enam
buah gigi geraham pada setiap rahang. 2
2.1.2 Anatomi Orofaring
Batas-batas orofaring adalah ujung bawah dari palatum mole dan superior
tulang hyoid inferior. Batas anterior dibentuk oleh inlet orofaringeal dan pangkal
lidah, dan perbatasan posterior dibentuk oleh otot-otot konstriktor superior dan
media dan mukosa faring.2
Orofaring berhubungan dengan rongga mulut melalui saluran masuk
orofaringeal, yang menerima bolus makanan. Inlet orofaringeal terbuat dari
5
lipatan palatoglossal lateral, tepat di anterior tonsil palatina. Lipatan itu sendiri
terbuat dari otot palatoglossus, yang berasal dari palatum mole itu sendiri dan
mukosa diatasnya. 2
Di inferior, terdapat sepertiga posterior lidah, atau pangkal lidah,
meneruskan perbatasan anterior orofaring. Valekula, yang merupakan ruang
antara pangkal lidah dan epiglotis, membentuk perbatasan inferior dari orofaring.
Ini biasanya setara dengan tulang hyoid. 2
Pada dinding-dinding lateral orofaring terdapat sepasang tonsil palatina di
fosa anterior yang dipisahkan oleh lipatan palatoglossal dan posterior oleh lipatan
palatopharyngeal. Tonsil adalah massa jaringan limfoid yang terlibat dalam
respon imun lokal untuk patogen oral. 2
Otot-otot yang membentuk dinding posterior orofaring adalah otot
konstriktor faring superior dan menengah dan membran mukosa diatasnya yang
saling tumpang tindih. Saraf glossopharingeus dan otot faring stylopharyngeus
memasuki faring pada perbatasan antara konstriktor superior dan tengah.2
2.1.3 Anatomi Hipofaring
6
Perbatasan hipofaring adalah di bagian superior terdapat tulang hyoid dan
sfingter esofagus atas (Upper Esophagus Sphincter/UES), dan otot krikofaringeus
di bagian inferior. 2
Batas anterior hipofaring sebagian besar terdiri dari inlet laring, yang
meliputi epiglotis dan kedua lipatan aryepiglottic dan tulang rawan arytenoid.
Permukaan posterior dari kartilago arytenoid dan pelat posterior kartilago krikoid
merupakan perbatasan anteroinferior dari hipofaring. Lateral kartilago arytenoid,
hipofaring terdiri dari kedua sinus Piriformis, yang dibatasi oleh tulang rawan
lateral tiroid. 2
Dinding posterior faring terdiri dari otot konstriktor tengah dan inferior
dan selaput lendir diatasnya. Di bawahnya, sejajar dengan kartilago krikoid, otot
cricopharyngeus membentuk UES. Otot ini kontraksi tonik selama istirahat dan
relaksasi saat menelan untuk memungkinkan bolus makanan masuk ke esofagus. 2
2.1.4 Anatomi Esofagus
Esofagus adalah tabung muskular yang menghubungkan faring dengan
lambung. Esophagus berukuran panjang sekitar 8 inci dan dilapisi oleh jaringan
merah muda yang lembab disebut mukosa. Esophagus berjalan di belakang trakea
dan jantung, dan di depan tulang belakang. Tepat sebelum memasuki lambung,
esofagus melewati diafragma. 3
7
Sfingter esofagus bagian atas (UES) adalah sekumpulan muskulus di bagian atas
esofagus. Otot-otot UES berada di bawah kendali sadar (involunter),digunakan
ketika bernapas, makan, bersendawa, dan muntah. 3
Sfingter esophagus bagian bawah (Lower esophageal sphincter/LES)
adalah sekumpulan otot pada akhir bawah dari esofagus, yang mana berbatasan
langsung dengan gaster. Ketika LES ditutup, dapat mencegah asam dan isi gaster
naik kembali ke esofagus. Otot-otot LES tidak berada di bawah kontrol volunter. 3
2.1.5 Persarafan Faring dan Esofagus
a Faring
Pleksus saraf faring memberi pasokan saraf eferen dan aferen faring dan
dibentuk oleh cabang dari nervus glossopharingeus (saraf kranial IX), nervus
vagus (saraf kranial X), dan serat simpatis dari rantai servikal. Selain muskulus
stylopharyngeus, yang dipersarafi oleh saraf glossopharingeus, semua otot-otot
faring dipersarafi oleh nervus vagus.2
Semua otot-otot intrinsik laring dipersarafi oleh nervus laringeus, cabang
nervus vagus, kecuali untuk otot krikotiroid, yang menerima persarafan dari
cabang eksternal dari nervus laringeus superior, juga dari cabang nervus vagus.2
Pleksus faring menerima cabang-cabang nervus vagus dan
glossopharingeus untuk persarafan sensorik faring. Sepertiga lidah posterior, di
8
orofaring, menerima baik sensasi rasa dan sensasi somatik dari nervus
glossopharingeus. Otot krikofaringeus (UES) menerima persarafan parasimpatis
untuk relaksasi dari nervus vagus dan persarafan simpatis untuk kontraksi dari
serabut post ganglionik dari ganglion servikalis superior.2
b Esofagus
Persarafan motor esophagus didominasi melalui nervus vagus. Esophagus
menerima persarafan parasimpatis dari nucleus ambiguus dan inti motorik dorsal
nervus vagus dan memberikan persarafan motor ke mantel otot esofagus dan
persarafan secretomotor ke kelenjar. Persarafan simpatis berasal dari servikal dan
rantai simpatis torakalis yang mengatur penyempitan pembuluh darah, kontraksi
sfingter esofagus, relaksasi dinding otot, dan meningkatkan aktivitas kelenjar dan
peristaltik.4
Pleksus Auerbach, yaitu ganglia yang terletak antara lapisan longitudinal
dan melingkar dari tunika muskularis myenteric bekerja mengatur kontraksi
lapisan otot luar. Pleksus Meissner, yaitu ganglia yang terletak dalam submukosa
bekerja mengatur sekresi dan kontraksi peristaltik dari mukosa muskularis.4
2.2 Fisiologi Menelan
Proses menelan dapat dibagi dalam 3 fase, yaitu fase oral, fase faringeal
dan fase esofagal.5
a Fase oral
Fase oral terjadi secara sadar. Makanan yang telah dikunyah dan
bercampur dengan liur akan membentuk bolus makanan. Bolus ini bergerak dari
rongga mulut melalui dorsum lidah, terletak di tengah lidah akibat kontraksi otot
intrinsik lidah.5
Kontraksi m. levator veli palatini mengakibatkan rongga pada lekukan
dorsum lidah diperluas, palatum mole terangkat dan bagian atas dinding posterior
faring akan terangkat pula. Bolus terdorong ke posterior karena lidah terangkat ke
atas. Bersamaan dengan ini terjadi penutupan nasofaring sebagai akibat kontaksi
m. levator veli palatini. Selanjutnya terjadi kontraksi m. palatoglosus yang
9
menyebabkan ismus fausium tertutup, diikuti oleh kontraksi m. palatofaring,
sehingga bolus makanan tidak akan berbalik ke rongga mulut.5
b Fase faringeal
Fase faringeal terjadi secara refleks pada akhir fase oral, yaitu perpindahan
bolus makanan dari faring ke esofagus. Faring dan laring bergerak keatas oleh
kontraksi m. stilofaring, m. salpingofaring, m. tirohioid dan m. palatofaring.
Aditus laring tertutup oleh epiglotis, sedangakan ketiga sfingter laring, yaitu plika
ariepiglotika, plika ventrikularis dan plika vokalis tertutup oleh kontraksi m.
ariepiglotika dan m. aritenoid obligus.5
Bersamaan dengan ini terjadi juga penghentin udara ke laring karena
refleks yang menghambat menghambat pernapasan, sehingga bolus makanan tidak
akan masuk ke dalam saluran nafas. Selanjutnya bolus makanan akan meluncur
kearah esofagus, karena valekula dan sinus piriformis sudah dalam keadaan lurus.5
c Fase esofagal
Fase esofagal ialah fase perpindahan bolus makanan dari esofagus ke
lambung. Dalam keadaan istirahat introitus esofagus selalu tertututp. Dengan
adanya rangsangan bolus makanan pada akhir fase faringeal, maka terjadi
relaksasi m. krikofaring, sehingga introitus esofagus terbuka dan bolus makanan
masuk ke dalam esofagus. Setelah bolus makanan lewat, maka sfingter akan
berkontraksi lebih kuat, melebihi tonus introitus esofagus pada waktu istirahat
sehingga makanan tidak akan kembali ke faring dengan demikian refluks dapat
dihindari.5
Gerak bolus makanan di esofagus bagian atas masih dipengaruhi oleh
kontraksi m. konstriktor faring inferior pada akhir fase faringeal. Selanjutnya
bolus makanan akan didorong ke distal oleh gerakan peristaltik esofagus.5
Dalam keadaan istirahat, sfingter esofagus bagian bawah selalu tertutup
dengan tekanan rata-rata 8 mmHg lebih dari tekanan di dalam lambung, sehingga
tidak akan terjadi regurgitasi isi lambung.5
Pada akhir fase esofagal, sfingter ini akan terbuka secara refleks ketika
dimulainya peristaltik esofagus servikal untuk mendorong bolus makanan ke
distal. Selanjutnya setelah bolus makanan lewat, maka sfingter ini akan menutup
kembali.5
10
2.3 Disfagia
2.3.1 Definisi
Disfagia adalah perasaan dimana makanan trasa terhambat pada jalan yang
normal dari mulut menuju lambung. Disfagia ini dapat disebabkan akibat adanya
abnormalitas dari faring dan sfingter esofagus atas dan kelainan pada esofagus
tersebut.5
2.3.2 Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi atas:
a Disfagia mekanik
Disfagia mekanik timbul bila terjadi penyempitan lumen esophagus.
Penyebab utama disfagia mekanik adalah sumbatan lumen esophagus oleh massa
tumor dan benda asing. Penyebab lain adalah akibar peradangan mukosa
esophagus, striktur lumen esophagus, serta akibat penekanan lumen esophagus
dari luar, misalnya pembesaran kelenjar timus, kelenjar tiroid, kelemjar getah
bening di mediastinum, pembesaran jantung, dan elongasi aorta.5
b Disfagia motorik
Keluhan disfagia motorik disebabkan oleh kelainan neuromuscular yang
berperan dalam proses menelan. Lesi di pusat menelan di batang otak, kelainan
saraf otak n. V, n. VII, n. IX, n. X dan n. XII, kelumpuhan otot faring dan lidah
serta gangguan peristaltic esophagus dapat menyebabkan disfagia. Penyebab
utama dari disfagia motorik adalah akalasia, spasme difus esophagus, kelumpuhan
otot faring dan skleroderma esophagus.5
c Disfagia oleh gangguan emosi
Keluhan disfagia dapat juga timbul bila terdapat gangguan emosi atau
tekanan jiwa yang berat. Kelainan ini dikenal sebagai globus histerikus.5
Berdasarkan lokasinya, disfagia dibagi atas:
a Disfagia orofaringeal
Disfagia orofaringeal adalah kesulitan mengosongkan bahan dari orofaring
ke dalam kerongkongan, hal ini diakibatkan oleh fungsi abnormal dari proksimal
ke kerongkongan. Pasien mengeluh kesulitan memulai menelan, regurgitasi nasal,
dan aspirasi trakea diikuti oleh batuk.6
11
b Disfagia esophageal
Disfagia esophagus adalah kesulitan transportasi makanan ke
kerongkongan. Hal ini diakibatkan oleh gangguan motilitas baik atau obstruksi
mekanis.6
2.3.3 Patogenesis
Proses menelan merupakan proses yang kompleks. Setiap unsur yang
berperan dalam proses menelan harus bekerja secara terintegrasi dan
berkesinambungan. Keberhasilan mekanisme menelan ini tergantung dari
beberapa faktor, yaitu: 5
1. Ukuran bolus makanan
2. Diameter lumen esophagus yang dilalui bolus
3. Kontraksi peristaltik esophagus
4. Fungsi sfingter esophagus bagian atas dan bagian bawah
5. Kerja otot-otot rongga mulut dan lidah
Integrasi fungsional yang sempurna akan terjadi bila system
neuromuscular mulai dari susunan saraf pusat, batang otak, persarafan sensorik
dinding faring dan uvula, persarafan ekstrinsik esophagus serta persarafan
intrinsic otot-otot esophagus bekerja dengan baik, sehingga aktivitas motorik
berjalan lancar. Kerusakan pusat menelan dapat menyebabkan kegagalan aktivitas
komponen orofaring, otot lurik esophagus dan sfingter esophagus bagian atas.
Oleh karna otot lurik esophagus dan sfingter esophagus bagian atas juga mendapat
persarafan dari inti motor n. vagus, maka aktivitas peristaltic esophagus masih
tampak pada kelainan di otak. Relaksasi sfingter esophagus bagian bawah terjadi
akibat perenggangan langsung dinding esophagus.5
2.3.4 Diagnosis
Pasien yang memiliki disfagia dapat datang dengan berbagai tanda dan
gejala. Mereka biasanya mengeluhkan batuk atau tersedak atau sensasi abnormal
menempel makanan di belakang tenggorokan atau dada bagian atas ketika mereka
mencoba menelan, namun, beberapa kasus bisa dengan keluhan yang sangat
12
minimal atau bahkan tidak ada keluhan (misalnya, pada mereka dengan aspirasi
diam).7
Pemeriksaan fisik untuk disfagia meliputi:7
1. Selama pemeriksaan fisik, mencari mekanisme oral-motor dan laring.
Pengujian n.V tengkorak dan n.VII-XII sangat penting untuk menentukan
apakah bukti fisik disfagia orofaringeal ada
2. Pengamatan langsung penutupan bibir, penutupan rahang, mengunyah dan
pengunyahan, mobilitas lidah dan kekuatan, elevasi palatal dan laring, air liur,
dan kepekaan oral diperlukan.
3. Periksa tingkat kewaspadaan dan status kognitif pasien, karena dapat
berdampak pada keselamatan menelan dan kemampuan untuk belajar
langkah-langkah kompensasi.
4. Disfonia dan disartria adalah tanda-tanda disfungsi motor struktur yang
terlibat dalam mulut dan faring menelan.
5. Periksa rongga mulut dan faring untuk integritas mukosa dan gigi.
6. Periksa langit-langit lunak untuk posisi dan kesimetrisan selama fonasi dan
beristirahat.
7. Evaluasi elevasi faring dengan menempatkan 2 jari di laring dan menilai
gerakan selama menelan volunter. Teknik ini membantu untuk
mengidentifikasi ada atau tidak adanya hambatan mekanisme pelindung
laring.
8. Refleks muntah yang ditimbulkan oleh menyentuh mukosa faring dengan
spatula lidah. Pengujian untuk refleks muntah sangat membantu, tetapi tidak
adanya refleks muntah tidak selalu menunjukkan bahwa pasien tidak mampu
menelan dengan aman. Memang, banyak orang dengan tidak ada refleks
muntah memiliki kemampuan menelan yang normal, dan beberapa pasien
dengan disfagia memiliki refleks muntah yang normal.
9. Auskultasi servikal menjadi bagian dari evaluasi klinis pasien disfagia.
Menilai kekuatan dan kejelasan suara, waktu episode apneic, dan kecepatan
menelan.
10. Menilai fungsi pernafasan juga sangat penting. Jika kekuatan pernapasan
batuk atau kliring tenggorokan tidak memadai, risiko aspirasi meningkat.
13
11. Langkah terakhir dalam pemeriksaan fisik adalah pengamatan langsung dari
tindakan menelan. Minimal, menonton pasien sementara dia minum air. Jika
memungkinkan, menilai makan pasien berbagai tekstur makanan. Sialorrhea,
inisiasi menelan tertunda, batuk, atau kualitas suara serak basah atau mungkin
menunjukkan masalah. Setelah menelan, mengamati pasien selama 1 menit
atau lebih untuk melihat apakah respon batuk tertunda hadir.
Berbagai tes dapat digunakan untuk disfagia:8
1. Endoskopi atau esophagoscopy, tabung dimasukkan ke kerongkongan untuk
membantu mengevaluasi kondisi kerongkongan, dan mencoba untuk
membuka bagian-bagian yang mungkin tertutup.
2. Manometry esofagus, tabung dimasukkan ke dalam perut untuk mengukur
perbedaan tekanan di berbagai daerah.
3. X-ray leher, dada, atau perut dapat diambil.
4. Barium x-ray, gambar bergerak atau video x-ray diambil dari kerongkongan
saat menelan barium, yang terlihat pada x-ray.
2.3.5 Disfagia Orofaringeal
Disfagia orofaringeal (Oropharyngeal dysphagia/OPD) terjadi ketika
mekanisme orofaringeal dalam proses menelan yang, dalam keadaan normal
menjamin perjalanan lengkap bolus dari mulut ke kerongkongan dan secara
bersamaan melindungi jalan napas, menjadi terganggu. Aspirasi pneumonia,
malnutrisi, dan kualitas hidup berkurang dapat terjadi akibat OPD. Walaupun
terdapat banyak penyebab OPD, kecelakaan serebrovaskular merupakan penyebab
kasus terbanyak, dan pneumonia aspirasi merupakan penyebab umum kematian
pada pasien ini. Kondisi neurologis lain seperti penyakit Parkinson bertanggung
jawab atas sejumlah kasus OPD, dengan gangguan miopati dan lesi struktural
yang menjadi sebagian besar penyebab lainnya. Meskipun segudang penyebab
OPD, hasil akhir patofisiologis jatuh ke salah satu dari dua kategori yang saling
terkait: 1) kelainan transfer bolus, dan 2) kelainan perlindungan jalan napas.
Kelainan transfer bolus dapat dikelompokkan lagi ke dalam yang disebabkan oleh:
14
1) Kegagalan pompa orofaringeal, 2) gangguan koordinasi oral/faring, dan 3)
obstruksi aliran keluar faring.9
Gangguan menelan dapat terjadi pada ketidaknormalan setiap organ yang
berperan dalam proses menelan. Dampak yang timbul akibat ketidaknormalan
fase oral antara lain: 5
1. Keluar air liur (drooling = sialorrhea) yang disebabkan gangguan sensori dan
motorik pada lidah, bibir dan wajah.
2. Ketidaksanggupan membersihkan residu makanan di mulut dapat disebabkan
oleh defisiensi sensori pada rongga mulut dan/atau gangguan motorik lidah.
3. Karies gigi yang mengakibatkan gangguan distribusi saliva dan meningkatkan
sensitivitas gigi terhadap panas, dingin dan rasa manis.
4. Hilangnya rasa pengecapan dan penciuman akibat keterlibatan langsung dari
saraf kranial.
5. Gangguan proses mengunyah dan ketidaksanggupan memanipulasi bolus.
6. Gangguan mendorong bolus ke faring.
7. Aspirasi cairan sebelum proses menelan dimulai yang terjadi karena
gangguan motorik dari fungsi lidah sehingga cairan akan masuk ke faring
sebelum refleks menelan muncul.
8. Rasa tersedak oleh batuk pada saat fase faring.
15
Sedangkan dampak ketidaknormalan pada fase faringeal adalah chocking,
coughing dan aspirasi.5
Gejala disfagia orofaringeal adalah ketidakmampuan untuk menjaga bolus
dalam rongga mulut, kesulitan mengumpulkan bolus di belakang lidah, ragu-ragu
atau ketidakmampuan untuk memulai menelan, makanan menempel di
tenggorokan, regurgitasi nasal, ketidakmampuan untuk mendorong bolus
makanan ke dalam faring, kesulitan menelan makanan padat, sering menelan
berulang-ulang, sering membersihkan tenggorokan, suara berkumur (gargly voice)
setelah makan, suara serak, suara bindeng (nasal speech) dan disartria, batuk saat
menelan: sebelum, selama, atau setelah menelan, menghindari makan bersama
orang lain, berat badan menurun dan pneumonia berulang.9
Untuk diagnosis selain anamnesis dan pemeriksaan fisik yang dapat
dilakukan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis kelainan disfagia fase oral dan
fase faring adalah: 5
a Videofluoroskopi Swallow Assesment (VFSS)
Pemeriksaan ini dikenal sebagai Modified Barium Swallow (MBS) adalah
pemeriksaan yang sering dilakukan dalam mengevaluasi disfagia dan aspirasi.
Pemeriksaan ini menggambarkan struktur dan fisiologi menelan rongga mulut,
faring, laring dan esofagus bagian atas. Pemeriksaan dilakukan dengan
menggunakan bolus kecil dengan berbagai konsistensi yang dicampur dengan
barium. VFSS dapat untuk panduan dalam terapi menelan dengan memberikan
bermacam bentuk makanan pada berbagai posisi kepala dan melakukan beberapa
manuver untuk mencegah aspirasi untuk memperoleh kondisi optimal dalam
proses menelan.5
b Flexible Endoscopy Evaluation of Swallowing ( FEES)
Pemeriksaan evaluasi fungsi menelan dengan menggunakan
nasofaringoskop serat optik lentur. Pasien diberikan berbagai jenis konsistensi
makanan dari jenis makanan cair sampai padat dan dinilai kemampuan pasien
dalam proses menelan.5
2.3.6 Disfagia Esofageal
16
Disfagia esofagus mengacu pada sensasi makanan menempel atau
mendapatkan digantung di pangkal tenggorokan atau dada. Penyebab umum dari
disfagia esofagus meliputi:10
1. Akalasia. Hal ini terjadi ketika otot esophagus bawah (sfingter) tidak benar-
benar rileks untuk membiarkan makanan masuk ke lambung. Otot-otot di
dinding esofagus sering lemah juga. Hal ini dapat menyebabkan regurgitasi
makanan belum tercampur dengan isi perut, kadang-kadang menyebabkan
untuk membawa makanan kembali ke dalam tenggorokan.
2. Proses penuaan. Dengan usia, kerongkongan cenderung kehilangan beberapa
kekuatan otot dan koordinasi yang diperlukan untuk mendorong makanan ke
dalam perut.
3. Spasme difus. Kondisi ini menghasilkan beberapa, tekanan tinggi, kontraksi
kurang terkoordinasi kerongkongan biasanya setelah menelan. Spasme difus
pada esofagus adalah gangguan langka yang mempengaruhi otot polos di
dinding esofagus bawah secara involunter. Kontraksi sering terjadi sesekali,
dan mungkin menjadi lebih parah selama periode tahun.
4. Striktur esofagus. Penyempitan kerongkongan (striktur) menyebabkan
potongan besar makanan tidak dapat lewat. Persempitan lumen ini mungkin
akibat dari pembentukan jaringan parut, sering disebabkan oleh penyakit
gastroesophageal reflux (GERD), atau dari tumor.
5. Tumor. Kesulitan menelan cenderung untuk mendapatkan semakin buruk
ketika terdapat tumor esofagus.
6. Benda asing. Terkadang, makanan, seperti sepotong besar daging, atau objek
lain dapat menjadi tersangkut di tenggorokan atau kerongkongan. Orang
dewasa dengan gigi palsu dan orang-orang yang mengalami kesulitan
mengunyah makanan mereka dengan baik mungkin lebih cenderung memiliki
gangguan pada tenggorokan atau kerongkongan. Anak-anak mungkin akan
menelan benda-benda kecil, seperti peniti, koin atau potongan mainan, yang
dapat menjadi terjebak.
7. Cincin esofagus. Pada daerah ini terdapat penyempitan di esofagus bagian
bawah yang dapat menyebabkan kesulitan menelan makanan padat.
17
8. Gastroesophageal reflux disease (GERD). Kerusakan jaringan esofagus dari
asam lambung yang naik (refluks) ke dalam kerongkongan dapat
menyebabkan spasme atau jaringan parut dan penyempitan kerongkongan
bawah membuat sulit menelan.
9. Eosinofilik esofagitis. Kondisi ini, disebabkan oleh kelebihan populasi sel
yang disebut eosinofil di kerongkongan, dapat menyebabkan kesulitan
menelan. Ini mungkin terkait dengan alergi makanan, tetapi sering tidak ada
penyebab yang ditemukan.
10. Scleroderma. Penyakit ini ditandai oleh perkembangan bekas luka-seperti
jaringan, menyebabkan kekakuan dan pengerasan jaringan. Hal ini dapat
melemahkan lower esophageal sphincter, sehingga asam lambung dapat
refluks ke kerongkongan dan menyebabkan gejala dan komplikasi mirip
dengan GERD.
11. Terapi radiasi. Hal ini pengobatan kanker dapat menyebabkan peradangan
dan jaringan parut pada kerongkongan, yang dapat menyebabkan kesulitan
menelan.
PENATALAKSANAAN
1. Medikamentosa
Terapi terbaik untuk disfagia adalah terapi langsung pada penyebab
disfagia itu sendiri, dapat diberikan obat seperti pada gangguan disfagia
akibat radang esophagus.
Setelah penyebab disfagia ditemukan, pembedahan atau obat-obatan dapat
diberikan. Jika dengan mengobati penyebab disfagia tidak membantu,
pasien dapat dikirim kepada ahli patologi holigist yang terlatih dalam
mengobati masalah gangguan menelan.
Pengobatan dapat melibatkan latihan otot-otot untuk memperkuat otot-otot
facial atau untuk meningkatkan koordinasi.
Pada gangguan menelan akibat massa yang menekan biasanya digunakan
terapi bedah :
Pembedahan gastrostomy
18
Pemasangan secara operasi suatu selang gastrostomy memerlukan
laparotomy dengan anestesi umum ataupun lokal.
Cricofaringeal myotomy
Cricofaringeal myotomy (CPM) adalah prosedur yang dilakukan unutk
mengurangi tekanan pada sphicter faringoesophageal (PES) dengan
mengincisi komponen otot utama dari PES.
Injeksi botulinum toxin kedalam PES telah diperkenalkan sebagai ganti
dari CPM.
2. Gizi
Modifikasi diet
19
Merupakan komponen kunci dalam program pengobatan umum disfagia. Suatu
diet makanan yang berupa bubur direkomendasikan pada pasien dengan kesulitan
pada fase oral, atau bagi mereka yang memiliki retensi faringeal untuk
mengunyah makanan padat.
Jka fungsi menelan sudah membaik, diet dapat diubah menjadi makanan lunak
atau semi-padat sampai konsistensi normal.
Suplai Nutrisi
Efek disfagia pada status gizi pasien adalah buruk. Disfagia dapat menyebabkan
malnutrisi
Banyak produk komersial yang tersedia untuk memberikan bantuan nutrisi.
Bahan-bahan pengental, minuman yang diperkuat, bubur instan yang diperkuat,
suplemen cair oral. Jika asupan nutrisi oral tidak adekuat, pikirkan pemberian
parenteral.
Hidrasi
Disfagia dapat menyebabkan dehidrasi. Pemeriksaan berkala keadaan hidrasi
pasien sangat penting dan cairan intravena diberikan jika terapat dehidrasi
PROGNOSIS
Dengan semakin meningkatnya kejadian disfagia persisten yang
berarti semakin meningkatnya perburukan keadan klinis pasien
disfagia (pneumonia aspirasi, kematian, lamanya perawatan di rumah
sakit) dan banyaknya jenis rehabilitasi yang dapat diberikan kepada
pasien disfagia
20
BAB III
KESIMPULAN
Keluhan kesulitan menelan (disfagia) merupakan salah satu gejala kelainan
atau penyakit di orofaring dan esophagus. Keluhan ini timbul bila terdapat
gangguan gerakan otot-otot menelan dan gangguan transportasi makanan dari
rongga mulut ke lambung. Berdasarkan penyebabnya, disfagia dibagi atas:
disfagia mekanik, disfagia motorik dan disfagia oleh gangguan emosi.
Disfagia mekanik timbul bila terjadi penyempitan lumen esophagus.
Disfagia motorik disebabkan oleh kelainan neuromuscular yang berperan dalam
proses menelan. Keluhan disfagia dapat juga timbul bila terdapat gangguan emosi
atau tekanan jiwa yang berat yang dikenal sebagai globus histerikus.
Berdasarkan lokasinya, disfagia dibagi atas: disfagia orofaringeal dan
disfagia esophageal. Disfagia orofaringeal adalah kesulitan mengosongkan bahan
dari orofaring ke dalam kerongkongan, hal ini diakibatkan oleh fungsi abnormal
dari proksimal ke kerongkongan. Disfagia esophagus adalah kesulitan transportasi
makanan ke kerongkongan. Hal ini diakibatkan oleh gangguan motilitas baik atau
obstruksi mekanis. Untuk diagnosis selain anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
dapat dilakukan pemeriksaan penunjang untuk diagnosis kelainan disfagia fase
oral dan fase faring adalah Videofluoroskopi Swallow Assesment (VFSS) dan
Flexible Endoscopy Evaluation of Swallowing ( FEES).
21
BAB IV
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
Nama : Ny. K
Umur : 33 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Alamat : Sigli
Tanggal Pemeriksaan : 16 Juli 2014
Pekerjaan : IRT
Status : Menikah
CM : 1-01-07-75
3.2 Anamnesis
a) Keluhan Utama:
Kurang pendengaran
b) Keluhan Tambahan
Keluar cairan dari telinga kanan dan kiri hilang timbul
c) Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang dengan keluhan kurang pendengaran yang dirasakan sejak
pasien berusia 10 tahun.Sebelumnya pasien pernah ditampar oleh
abangnya saat berusia 10 tahun sehingga kepala pasien terbentur ke
lantai.. Kemudian telinga pasien mengeluarkan cairan kekuningan dan
lama kelamaan pendengaran pasien semakin berkurang. Saat ini pasien
mengeluh kepala terasa pusing dan terasa seperti melayang, sulit
menelan, batuk saat tidur, batuk berdahak, sesak, rasa gatal di
tenggorokan. Pasien saat ini sulit memahami pembicaraan dan suara
kurang jelas.
d) Riwayat Penyakit Dahulu:
Riwayat batuk lama tidak ada
Riwayat kesulitan menelan sebelumnya tidak ada
Riwayat keluar cairan di telinga (+)
22
Riwayat trauma (+)
e) Riwayat Penyakit Keluarga:
Disangkal
f) Riwayat Kebiasaan Sosial:
Pasien suka makan makanan pedas
g) Riwayat Pemakaian Obat:
(-)
Vital sign
TD : 90/50 mmHg
N : 96 x/menit
RR : 35 x/menit
T : 37,1ᴼ C
3.3 Status Lokalis (THT)
Pemeriksaan Dextra Sinistra
Preaurikuler Abses negatif Abses negatif
Auris DS
CAE Lapang Lapang
Serumen (+) (+)
Sekret (-) (-)
Membran timpani Intak Intak
Refleks cahaya Arah jam 5 Arah jam 7
Retroaurikuler Abses negatif Abses negative
Rhinoskopi anterior
Mukosa Tidak hiperemis Tidak hiperemis
Sekret Serosa Serosa
Massa Negatif Negatif
Konka Inf. Dalam batas normal Dalam batas normal
Septum nasi Tidak deviasi Tidak deviasi
Pasase udara Lancar Lancar
Orofaring
Tonsil T3, tenang T3, tenang
23
Kripta melebar Melebar
Detritus Negatif Negatif
Perlengketan Negatif Negatif
Sikatrik Negatif Negatif
Faring
Mukosa Tidak hiperemis Tidak hiperemis
Granul Negatif Negatif
Bulging Negatif Negatif
Reflek muntah (+) (+)
Arkus faring dbn Dbn
Maksilofasial
Simetri (+) (+)
Parese n. Kranialis Negatif Negatif
Massa Negatif Negatif
Hematom Negatif Negatif
KGB colli
Upper juguler ada pembesaran, 0,5cm ada pembesaran, 0,5cm
Mid juguler ada pembesaran, 0,5cm ada pembesaran, 0,5cm
Lower juguler ada pembesaran, 0,5cm ada pembesaran, 0,5cm
Sub mandibula Tidak ada pembesaran Tidak ada pembesaran
Sub mental Tidak ada pembesaran Tidak ada pembesaran
Supra Klavikula Tidak ada pembesaran Tidak ada pembesaran
Dorsum nasi : Tidak ada deviasi
Tidak hiperemis
Palatum : Tidak hiperemis
Gigi-geligi : Tidak terdapat caries dentis
3.4 Pemeriksaan Penunjang
3.4.1 Foto Thoraks
Pada pasien ini juga dilakukan foto thoraks, dimana hasil yang di
dapatkan, tak tampak adanya infiltrat pada lapangan paru pasien, yang dicurigai
24
sebagai tb paru, dengan hasil foto tersebut dilakukan inisiasi pemeriksaan sputum
BTA.
3.4.2 Laboratorium
Hasil lab darah tanggal 5 Juli 2014.
Hb : 12 mg/dl
Ht : 39%
Eritrosit : 4.9x103/mm3
Leukosit : 8,2x103/mm3
Thrombosit : 195x103U/L
Hitung jenis leukosit
- Eosinofil : 1%
- Basofil : 0%
- Netrofil segmen : 70%
- Limfosit : 22%
- Monosit : 7%
CT : 9 menit
BT : 3 menit
Ureum : 3.7 mg/dL
Kreatinin : 0.49 mg/dL
3.5 Diagnosa
1. Disfagia e.c. dd. : 1. mekanik (tonsilitis kronik
hipertrofi & susp. Corpus alienum esofagus)
2. Motorik
2. Limfadenopati coli e.c. dd.: Susp limfodenitis TB
3. Syndrome Down
3.6 Penatalaksanaan
1. Medikamentosa : injeksi cefotaxime 500mg/12jam
Injeksi ketorolak ½ ampul /8jam
Clinimix 1 fls/12jam
2. Operatif : tonsilidektomy
25
3.7 Follow up
a. Bagian THT-KL
Tanggal 05/07/2014 06/07/2014 07/07/2014
S tidak bisa menelan ± 4
hari
sudah bisa menelan,
makan dan minum
lewat mulut
-
O kesadaran: compos
mentis
N : 68 x/menit
RR : 24 x/menit
T : 36,50C
Pf/ mata : anemis
(-/-),Ikterik (-/-)
Telinga: dalam batas
normal
Hidung: masih
menggunakan tampon
posterior, kassa depan
terisi darah (+)
Mulut : pucat (-),
tidak ada bibir merot
Tonsil : T3-T3,
tenang
Wajah : tidak terdapat
tanda parese nervus
VII
Leher: terdapat
pembesaran KGB
(+/+) multipel level
II,III,IV dengan
ukuran 0,5 cm
Abdomen: dalam batas
kesadaran: compos
mentis
N : 76 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,50C
Status lokalis
a. Orofaring
- Mukosa
dalam batas
normal
- Tonsil
T3/T3, kripta
melebar
(+/+),
hiperemis
(-/-)
- Glossus
dalam batas
normal
b. Hidung
- Mukosa
hiperemis
(-/-), pucat
(-/-), sianosis
(+/+)
- Sekret
kesadaran: compos
mentis
N : 76 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,50C
Status lokalis
a. Orofaring
- Mukosa
dalam batas
normal
- Tonsil
T3/T3, kripta
melebar
(+/+),
hiperemis
(-/-)
- Glossus
dalam batas
normal
b. Hidung
- Mukosa
hiperemis
(-/-), pucat
(-/-), sianosis
(+/+)
- Sekret
26
normal
Extrimitas: pucat (-/-),
udem (-/-)
(-/-)
- Chonca
dalam batas
normal
- Massa
abnormal:
c. Telinga
- Sekret
(-/-)
- Serumen
prop
(-/-)
- MT
(intak/intak)
(-/-)
- Chonca
dalam batas
normal
- Massa
abnormal:
c. Telinga
- Sekret
(-/-)
- Serumen
prop
(-/-)
- MT
(intak/intak)
d. Leher
- Benjolan di
regio coli
(+/+) level
II/III/IV
A 1. Disfagia dd/1.
Mekanik; 2.
Motorik
2. Tonsilitis kronik
hipertrofi
3. Limfadenopati
colli dd/
Limfadenitis Tb
4. Pneumonia dd/
susp. TB paru
1. Susp corpus
alienum esofagus
2. Limfadenitis
multiple
3. Susp TB paru
4. Down Syndrome
1. Disfagia dd/1.
Mekanik; 2.
Motorik
2. Pneumonia
dd/Susp TB paru
3. Limfadenopati
regio coli ec susp
limfadenitis TB
4. Retardasi mental
P 1. Rawat ruang
Seurunee 2
2. Foto X-ray
Thoraks
3. Pemeriksaan
1. Susul hasil Foto
X-ray Thoraks
2. Injeksi cefotaxim
500 mg/12 jam
3. Injeksi ketorolac
6. Injeksi cefotaxim
500 mg/12 jam
7. Injeksi ketorolac
3% ½ amp/8 jam
8. Flumucyl syr
27
laboratorium darah
lengkap
4. IVFD RL 16
gtt/menit
5. Injeksi cefotaxime
500 mg/12 jam
6. Injeksi ketorolac
3% ½ amp/8 jam
7. Diet parenteral
clenimix 1 Fls/12
jam
3% ½ amp/8 jam
4. Konsul bagian
paru
5. Tes sputum BTA
3 SPS
3xCII
9. PCT 4x500 mg
10. Clinimix 16
gtt/menit
11. Pasien rawat
alih ke bagian
paru
b. Bagian Paru
Tanggal 06/07/2014 07/07/2014
S batuk (-), demam (-), keringat
malam (-), nafsu makan baik,
BAB (-) sejak 6 hari yang lalu
BAB (-) sejak 6 hari yang lalu
O kesadaran: CM
HR: 72 x/menit
RR: 20 x/menit
T: 36,80 C
Pf/
Mata : konjungtiva palpebra
inferior pucat (-/-), Sklera
ikterik (-/-)
T/H/M: dalam batas normal
Leher : pembesaran KGB (+)
multiple level II-Iv,
kenyal, nyeri (-)
Thoraks: inspeksi simetris,
Palpasi stem fremitus
kanan sama dengan stem
fremitus kiri, Perkusi
sonor, Auskultasi
vesikuler (+/+), rhonki
kesadaran: CM
HR: 80 x/menit
RR: 20 x/menit
T: 36,70 C
Pf/
Mata : konjungtiva palpebra
inferior pucat (-/-), Sklera
ikterik (-/-)
T/H/M: dalam batas normal
Leher : pembesaran KGB (+)
multiple level II-Iv, kenyal,
nyeri (-)
Thoraks: inspeksi simetris, Palpasi
stem fremitus kanan sama
dengan stem fremitus kiri,
Perkusi sonor, Auskultasi
vesikuler (+/+), rhonki (+/-),
28
(+/-), wheezing (-/-)
Cor : BJI>BJII, bising (-)
Abdomen:
inspeksi/palpasi/perkusi/auskultas
i dalam batas normal
wheezing (-/-)
Cor : BJI>BJII, bising (-)
Abdomen:
inspeksi/palpasi/perkusi/auskultasi
dalam batas normal
A 1. Pneumonia dd/ susp TB paru
2. Limfadenopati regio coli ec
susp limfadenitis TB
3. Disfagia
4. Retardasi mental
1. Akalasia
2. Pneumonia dd/ susp TB paru
3. Limfadenopati regio coli ec susp
limfadenitis TB
4. Disfagia
5. Retardasi mental
P 1. Injeksi cefotaxim 500mg/12 jam
2. Flumucyl syr 3xCII
3. PCT 4x500 mg
4. Clinimix 16 gtt/menit
1. Injeksi cefotaxim 500 mg/12 jam
2. Flumucyl syr 3xCII
3. PCT 4x500 mg
4. Clinimix 16 gtt/menit
29
BAB V
ANALISIS KASUS
Keluhan sulit menelan (disfagia) merupakan salah satu gejala kelainan
atau penyakit di orofaring dan esofagus. Keluhan ini akan timbul bila terdapat
gangguan gerakan otot-otot menelan dan gangguan transportasi makanan dari
rongga mulut ke lambung. Disfagia dapat disertai dengan keluhan lainnya, seperti
odinofagia (rasa nyeri waktu menelan), rasa panas di dada, rasa mual, muntah,
regurgitasi, hematemesis, melena, anoreksia, hipersalivasi, batuk dan brat badan
yang cepat berkurang. Pada pasien ini, pasien mengeluhkan adanya nyeri menelan
dan batuk. Selain itu pasien juga pernah mengalami makanan atau minuman yang
masuk ke mulut langsung termuntahkan. Pasien juga memiliki riwayat tersedak
bakso sebelumnya. Berdasarkan itu, pasien kemungkinan mengalami disfagia tipe
mekanik.
Proses menelan merupakan proses yang kompleks. Setiap unsur yang
berperan dalam proses menelan harus bekerja secara integrasi dan
berkesinambungan. Keberhasilan mekanisme menelan ini tergantung dari
beberapa faktor, yaitu ukuran bolus makanan, diameter lumen esofagus yang
30
dilalui bolus, kontraksi peristaltik esofagus, fungsi sfingter esofagus bagian atas
dan bagian bawah dan kerja otot-otot rongga mulut dan lidah.
Pada pasien ini ditemukan adanya limfadenopati duplex multiple seperti
untaian tasbih dan memiliki riwayat batuk berdahak dan demam selama 4 hari
menurut keluarga pasien, sehingga dicuragai adanya TB paru. Kemudian pasien
dikonsultasikan ke bagian Paru untuk tindakan dan tatalaksana lanjutan terhadap
pasien tersebut. Dari hasil pemeriksaan didapatkan suara ronki di paru kanan
pasien dan pembesaran kelenjar getah bening di level II-IV dengan konsistensi
kenyal dan tanpa nyeri tekan sehingga dicurigai mengidap pneumonia dengan
diagnosis banding TB paru dan limfadenopati dengan kecurigaan limfadenitis TB.
Kemudian pasien direncanakan untuk pemeriksaan sputum BTA dan mantoux
test.
DAFTAR PUSTAKA
Bailey J Byron. Esophageal disorders. Head and neck surgery-Otolaringology.Vol.1.2.1998;56:781-801
1. Throat anatomy. Diunduh dari
http://emedicine.medscape.com/article/1899345-overview#showall. Pada
tanggal 4 juli 2014, pukul 20.30 WIB
31
2. SS Bambang. Disfagia.Bronko-esofagologi.2005:40-49
3. Alper MC, Myers EN, Eibling DE. Dysphagia. Decision making in ENT
Disorders.2004;52:136-37
4. Soepardi EA. Disfagia. Dalam Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung
Tenggorok Kepala dan Leher. Editor: Soepardi EA, Iskandar N,
Bashiruddin J, Restuti RD. Edisi ke 6. Jakarta: FKUI. 2007. h. 276-302.
5. Thaller SR, Granick MS, Myers EN. Disfagia. Diagram diagnostik
penyekit THT.EGC 2007;13:105-11
6. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi A, Simadibrata M, Setiati S. Disfagia.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 2010 ; 2 : 529-33
7. Friedman SL, McQuaid KR, Grendell JH. Suggested approach to the
evaluation of dysphagia. Current Diagnosis & Treatment in
Gastroenterology 2003 ; 2 : 345-46
8. McPhee SJ., Papadakis MA, Tierney LM. Esophageal Tumour. Lange
2008 Current Medical Diagnosis & Treatment 2008 ; 47 : 473
9. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi A, Simadibrata M, Setiati S. Disfagia.
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam 2010 ; 2 : 529-33
Lampiran 1. Foto X-ray Thoraks
32
Ekspertise:
Cor : bentuk dan ukuran normal
Pulmo : tak tampak kelainan
Sinus phrenicocostalis kanan dan kiri tajam
Kesimpulan: foto thorak normal
Lampiran 2 Jawaban Konsul dari Bagian Paru
33