presus anestesi cedera kepala
DESCRIPTION
cedera kepalaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
I. Latar Belakang
Trauma pada susunan saraf pusat merupakan problematika yang
komplek, bila tidak mendapat penanganan dengan baik akan mempengaruhi
kualitas hidup seseorang, baik terhadap fungsi motorik, fungsi sosial maupun
mental. Trauma susunan saraf pusat merupakan penyebab kematian tersering
pada populasi penduduk dibawah usia 45 tahun di negara-negara
berkembang. Kematian akibat trauma tersebut, sebagian besar disebabkan
oleh cedera kepala. Selain menyebabkan kematian, cedera kepala juga sering
mengakibatkan kecacatan permanen (Selladurai et al., 2007).
Berdasarkan data demografi, angka kematian penduduk Amerika
yang disebabkan oleh cedera kepala sebesar 20/100.000 penduduk. Insidensi
cedera kepala berat 100/100.000 penduduk sedangkan prevalensi mencapai
2,5- 5,6 juta penduduk. Frekuensi cedera kepala semakin meningkat seiring
meningkatnya jumlah dan padatnya kendaraan bermotor yang mengakibatkan
semakin tingginya angka kecelakaan lalu lintas (Marshall, 2000). Data dari
kepolisian RI tahun 2009 menyebutkan bahwa terjadi 57.726 kasus
kecelakaan lalu lintas dan sekitar 70% dari angka tersebut mengalami cedera
kepala dalam berbagai derajat keparahan. Penelitian Suparnadi (2002),
menunjukkan bahwa 60% penderita cedera kepala berusia 20-39 tahun,
dengan komposisi laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan perempuan
3:1. Penelitian Wijanarka (2005), menunjukkan dari 100 penderita cedera
kepala, 76% cedera kepala ringan, 15% cedera kepala sedang dan 9% cedera
kepala berat.
Cedera kepala merupakan kegawatdaruratan yang harus ditangani
secara tepat dan cermat. Penatalaksanaan awal penderita cedera kepala pada
dasarnya memiliki tujuan untuk sedini mungkin memperbaiki keadaan umum
serta mencegah cedera kepala sekunder. Penanganan yang dilakukan saat
terjadi cedera kepala adalah menjaga jalan nafas penderita, mengontrol
pendarahan dan mencegah syok, imobilisasi penderita, mencegah terjadinya
komplikasi dan cedera sekunder. Setiap keadaan yang tidak normal dan
membahayakan harus segera diberikan tindakan resusitasi pada saat itu juga
(Hardi, 2008).
Cedera kepala merupakan masalah kesehatan yang utama sebagai
penyebab kematian dan kecacatan di seluruh dunia. Tingkat keparahan cedera
primer sangat menentukan hasil, sedangkan cedera sekunder yang disebabkan
faktor fisiologi hipotensi, hipoksemia, hiperkarbi, hiperglikemi, hipoglikemia,
dan lainnya yang berkembang selanjutnya akan menyebabkan kerusakan otak
lanjutan dan memperburuk trauma SSP. Manajemen anestesi perioperatif
yang tepat dan dimulai sejak periode preoperatif, terutama saat pasien berada
di Unit Gawat Darurat, sangat menentukan keluaran dari pasien.
Cedera kepala membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat.
Mengingat pentingnya hal itu, dibutuhkan pengetahuan yang menyeluruh
dalam penanganan kegawatdaruratan cedera kepala. Berdasarkan latar
belakang di atas, akan dibahas tentang cedera kepala, penanganan
kegawatdaruratan cedera kepala, serta peran bagian anestesiologi dalam
menangani kasus cedera kepala.
II. Tujuan
1. Tujuan Umum
Meninjau manajemen tindakan anestesi pada cedera kepala berat
2. Tujuan Khusus
a. Menjelaskan tentang cedera kepala
b. Menjelaskan tentang penanganan kegawatdaruratan cedera kepala
berat
c. Menjelaskan tentang tindakan anestesi pada cedera kepala berat
( preoperatif, durante op, dan post operatif)
III. Manfaat
Menambah khasanah pengetahuan kedokteran tentang anestesiologi
khususnya yang berkaitan dengan anestesi pada tindakan penanganan cedera
kepala berat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. EPIDURAL HEMATOMA
1. Definisi
Epidural hematoma merupakan pengumpulan darah diantara
tengkorak dengan duramater (dikenal dengan istilah hematom ekstradural).
Hematom jenis ini biasanya berasal dari perdarahan arteriel akibat adanya
fraktur linier yang menimbulkan laserasi langsung atau robekan arteri-arteri
meningens (a. Meningea media). Hematom epidural yang berasal dari
perdarahan vena lebih jarang terjadi (Sjamsuhidajat, 2003).
Gambar 1. CT Scan Epidural Hematom
2. Etiologi
Kausa yang menyebabkan terjadinya hematom epidural meliputi:
1) Trauma kepala
2) Sobekan arteri/vena meningea mediana
3) Ruptur sinus sagitalis/sinus tranversum
4) Ruptur vena diplorica
3. Klasifikasi
Berdasarkan kronologisnya hematom epidural diklasifikasikan
menjadi:
1) Akut : ditentukan diagnosisnya waktu 24 jam pertama setelah trauma.
2) Subakut: ditentukan diagnosisnya antara 24 jam–7 hari.
3) Kronis: ditentukan diagnosisnya hari ke 7.
4. Patofisiologi
Epidural hematoma sering terjadi di daerah temporal bila salah satu
cabang arteria meningea media robek. Robekan ini sering terjadi bila ada
benturan keras pada tulang tengkorak. Hematom dapat pula terjadi di daerah
frontal atau oksipital (Hafid, 2004).
Arteri meningea media masuk di dalam tengkorak melalui foramen
spinosum dan jalan antara durameter dan tulang di permukaan dan os
temporale. Perdarahan yang terjadi menimbulkan hematom epidural,
desakan oleh hematoma akan melepaskan durameter lebih lanjut dari tulang
kepala sehingga hematom bertambah besar (Hafid, 2004).
Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan
pada lobus temporalis otak kearah bawah dan dalam. Tekanan ini
menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran
tentorium (Hafid, 2004).
Tekanan dari herniasi unkus pada sirkulasi arteria di medulla
oblongata dapat menyebabkan hilangnya kesadaran. Di tempat ini terdapat
nuclei saraf cranial ketiga (okulomotorius). Tekanan pada saraf ini
mengakibatkan dilatasi pupil dan ptosis kelopak mata. Tekanan pada
lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan
kelemahan respons motorik kontralateral, refleks hiperaktif atau sangat
cepat, dan tanda babinski positif (Hafid, 2004).
Semakin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan
terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang
besar. Karena perdarahan ini berasal dari arteri, maka darah akan terpompa
terus keluar hingga makin lama makin besar. Ketika kepala terbanting atau
Brief contact force
Cedera kepala berat atau fraktur kranium
Ruptur arteri meningea media
Perdarahan semakin cepat
Ruptur permukaan luar duramater
Darah merembes diantara duramater dan kranium
Darah terkumpul
Bekuan darah membentuk massa
Menekan otak
Peningkatan tekanan intrakranial
Cedera otak sekunder
Kerusakan otak permanen
Koma Pembesaran pupil
Nyeri kepala Kematian
terbentur mungkin penderita pingsan sebentar dan segera sadar kembali.
Dalam waktu beberapa jam , penderita akan merasakan nyeri kepala yang
progersif memberat, kemudian kesadaran berangsur menurun (Hafid, 2004).
Masa antara dua penurunan kesadaran ini selama penderita sadar
setelah terjadi kecelakaan disebut interval lucid. Fenomena lucid interval
terjadi karena cedera primer yang ringan pada Epidural hematom. Pada
subdural hematoma yang cedera primernya hampir selalu berat atau epidural
hematoma dengan trauma primer berat tidak terjadi lucid interval karena
pasien langsung tidak sadarkan diri dan tidak pernah mengalami fase sadar
(Hafid, 2004).
5. Penegakkan Diagnosis
a. Anamnesis
1) Riwayat trauma
2) Gangguan kesadaran (bisa dalam keadaan tidak sadar, hilang
kesadaran singkat atau tidak mengalami kehilangan kesadaran).
3) Adanya interval lucid, Interval lucid klasik muncul pada 20-50%
pasien dengan perdarahan epidural. Pada awalnya, tekanan mudah-
lepas yang menyebabkan cedera kepala mengakibatkan perubahan
kesadaran. Setelah kesadaran pulih, perdarahan epidural terus meluas
sampai efek massa perdarahan itu sendiri menyebabkan peningkatan
tekanan intrakranial, menurunnya tingkat kesadaran, dan
kemungkinan sindroma herniasi. Interval lucid yang bergantung pada
luasnya cedera, merupakan kunci untuk menegakkan diagnosa
perdarahan epidural.
b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik (Mardjono, 2000; Sjamsir, 2006; Syamsuhidayat,
2004)
1) Pasien mungkin cedera kepala seperti laserasi kulit
kepala, cephalohematoma, atau kontusio.
2) Cedera sistemik juga dapat muncul sebagai tanda adanya trauma
3) Trias Cushing klasik mungkin terjadi melibatkan hipertensi sistemik,
bradikardia, dan depresi pernafasan. Respon ini biasanya muncul
ketika perfusi serebral.
4) Penilaian neurologis
1) tingkat kesadaran
GCS penting dalam menilai kondisi klinis terkini. GCS positif
berhubungan dengan hasil akhir
2) aktivitas motorik
3) Pada pasien yang sadar dengan lesi massa, fenomena drift
pronator mungkin membantu dalam menilai arti klinis. Arah
ekstremitas ketika pasien diminta menahan kedua lengan teregang
keluar dengan kedua telapak tangan menghadap keatas
mengindikasikan efek massa yang sulit dipisahkan namun penting.
tanda-tanda lateralisasi seperti hemiparesis atau hemiplegia.
4) pembukaan mata
5) respon verbal
6) reaktivitas dan ukuran pupil
c. Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium (Mardjono, 2000; Sjamsir, 2006;
Syamsuhidayat, 2004)
Level hematokrit, kimia, dan profil koagulasi (termasuk hitung
trombosit) penting dalam penilaian pasien dengan perdarahan
epidural, baik spontan maupun trauma.
b. Pencitraan (Mardjono, 2000; Sjamsir, 2006; Syamsuhidayat, 2004)
1) CT-scan
a) CT-scan merupakan metode yang paling akurat dan sensitif
dalam mendiagnosa perdarahan epidural akut. Temuan ini khas.
Ruang yang ditempati perdarahan epidural dibatasi oleh
perlekatan dura ke skema bagian dalam kranium, khususnya
pada garis sutura, memberi tampilan lentikular atau bikonveks.
Hidrosefalus mungkin muncul pada pasien dengan perdarahan
epidural fossa posterior yang besar mendesak efek massa dan
menghambat ventrikel keempat (Mardjono, 2000; Sjamsir,
2006; Syamsuhidayat, 2004).
b) Tanda densitas hematom dibandingkan dengan perubahan
parenkim otak dari waktu ke waktu setelah cedera. Fase akut
memperlihatkan hiperdensitas (yaitu tanda terang pada CT-
scan). Hematom kemudian menjadi isodensitas dalam 2-4
minggu, lalu menjadi hipodensitas (yaitu tanda gelap)
setelahnya. Darah hiperakut mungkin diamati sebagai
isodensitas atau area densitas-rendah, yang mungkin
mengindikasikan perdarahan yang sedang berlangsung atau
level hemoglobin serum yang rendah (Mardjono, 2000; Sjamsir,
2006; Syamsuhidayat, 2004)
3) MRI
Perdarahan akut pada MRI terlihat isointense, menjadikan cara ini
kurang tepat untuk mendeteksi perdarahan pada trauma akut. Efek
massa, bagaimanapun, dapat diamati ketika meluas (Mardjono,
2000; Sjamsir, 2006; Syamsuhidayat, 2004).
6. Penatalaksanaan
a. Penatalaksanaan Awal
1) Jalan nafas (airway) dengan stabilisasi servikal
Jalan napas diinspeksi segera untuk memastikan patensi dan
segera identifikasi segala penyebab obstruksi (benda asing,
serpihan fraktur, gangguan trakea-laring, cedera tulang servikal).
Jika terdapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas yang umumnya
sering terjadi pada penderita yang tidak sadar yang dapat terjadi
karena adanya benda asing, lendir atau darah, jatuhnya pangkal
lidah, atau akibat fraktur tulang wajah, maka jalan nafas harus
segera dibersihkan. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus
hati-hati, bila ada riwayat/dugaan trauma sevikal harus melindungi
vertebra servikalis (cervical spine control), yaitu tidak boleh
melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher.
Kontrol servikal harus dipertahankan karena pasien dengan
multitrauma harus dianggap juga mendapat cedera leher hingga
pemeriksaan radiologi menyatakan sebaliknya. Chin lift dan jaw
thrust adalah metode awal menyokong patensi jalan napas yang
secara otomatis melindungi vertebra servikal (Feliciano et al.,
2004).
2) Pernapasan (breathing) dan ventilasi
Ketika patensi jalan napas telah terjaga, kemampuan pasien
bernapas segera dinilai. Dilakukan ventilasi dengan oksigen 100%
sampai diperoleh hasil analisis gas darah dan dapat dilakukan
penyesuaian yang tepat terhadap FiO2. Tindakan hiperventilasi
dilakukan pada penderita cedera kepala berat yang menunjukkan
perburukan neurologis akut (GCS menurun secara progresif atau
terjadi dilatasi pupil). PCO2 harus dipertahankan antara 25-35
mmHg (Feliciano et al., 2004).
3) Nadi dan tekanan darah (circulation) dan kontrol perdarahan
Adanya hipotensi merupakan petunjuk bahwa telah terjadi
kehilangan darah yang cukup berat, walaupun tidak selalu tampak
jelas. Hipotensi memiliki efek berbahaya bagi pasien cedera kepala
karena membahayakan tekanan perfusi otak dan berperan dalam
timbulnya edema dan iskemia otak. Jarang hipotensi disebabkan
oleh kelainan intrakranial, kebanyakan oleh faktor ekstrakranial
yakni berupa hipovolemi akibat perdarahan luar atau ruptur alat
dalam, trauma dada disertai tamponade jantung atau peumotoraks
dan syok septik. Tindakannya adalah menghentikan sumber
perdarahan, perbaikan fungsi jantung dan mengganti darah yang
hilang dengan plasma, hydroxyethyl starch atau darah (Feliciano et
al., 2004).
b. Konservatif
1) Manitol 20%
Cairan ini menurunkan TIK dengan menarik air dari jaringan
otak normal melalui sawar otak yang masih utuh kedalam ruang
intravaskuler. Bila tidak terjadi diuresis pemberiannya harus
dihentikan. Cara pemberiannya : Bolus 0,5-1 gram/kgBB dalam 20
menit dilanjutkan 0,25-0,5 gram/kgBB, setiap 6 jam selama 24-48
jam. Monitor osmolalitas tidak melebihi 310 mOSm (Japardi,
2002).
2) Loop diuretik (Furosemid)
Furosemid dapat menurunkan TIK melalui efek menghambat
pembentukan cairan serebrospinal dan menarik cairan interstitial
pada edema sebri. Pemberiannya bersamaan manitol mempunyai
efek sinergik dan memperpanjang efek osmotik serum oleh
manitol. Dosis 40 mg/hari/IV (Japardi, 2002).
3) Terapi barbiturat (Fenobarbital)
Terapi ini diberikan pada kasus-kasus yang tidak responsif
terhadap semua jenis terapi yang tersebut diatas. Terapi ini
bermanfaat untuk untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap
obat-obatan lain. Fenobarbital bekerja dengan cara menekan
metabolisme otak sehingga kebutuhan oksigen juga akan menurun;
karena kebutuhan yang rendah, otak relatif lebih terlindung dari
kemungkinan kerusakan akibat hipoksi, walaupun suplai oksigen
berkurang. Cara pemberiannya: bolus 10 mg/kgBB/IV selama 0,5
jam dilanjutkan 2-3 mg/kgBB/jam selama 3 jam, lalu pertahankan
pada kadar serum 3-4 mg%, dengan dosis sekitar 1 mg/KgBB/jam.
Setelah TIK terkontrol, 20 mmHg selama 24-48 jam, dosis
diturunkan bertahap selama 3 hari (Japardi, 2002).
4) Cairan Intravena
Prinsip manajemen trauma kapitis adalah mempertahankan
perfusi serebral yang adekuat dengan menjaga tekanan atau bahkan
menaikkan tekanan darah. Cairan intravena diberikan secukupnya
untuk resusitasi agar penderita tetap dalam keadaan normovolemia,
jangan beri cairan hipotonik. Penggunaan cairan yang mengandung
glukosa dapat menyebabkan hipoglikemia yang berakibat buruk
pada otak yang cedera. Cairan yang dianjurkan untuk resusitasi
adalah larutan garam fisiologis atau ringer laktat. Kadar natrium
serum juga harus dipertahankan untuk mencegah terjadinya edema
otak (De Jong, 2004). Strategi terbaik adalah mempertahankan
volume intravaskular normal dan hindari hipoosmolalitas, dengan
cairan isotonik. Saline hipertonik bisa digunakan untuk mengatasi
hiponatremia yang bisa menyebabkan edema otak (Seth & Morris,
2004).
5) Antikonvulsan
Kejang pasca trauma terjadi pada sekitar 12% pasien trauma
kepala tumpul dan 50% trauma kepala penetrasi. Kejang pasca
trauma bukan prediksi epilepsi tetapi kejang dini bisa
memperburuk secondary brain injury dengan menyebabkan
hipoksia, hiperkarbia, pelepasan neurotransmitter, dan peningkatan
ICP (Feliciano et al., 2004).
Pengobatan (Japardi, 2002):
a. Kejang pertama: Fenitoin 200 mg, dilanjutkan 3-4 x 100 mg/hari
b. Status epilepsi: diazepam 10 mg/iv dapat diulang dalam 15
menit. Bila cenderung berulang 50-100 mg/ 500 ml NaCl 0,9%
dengan tetesan <40 mg/jam. Setiap 6 jam dibuat larutan baru
oleh karena tidak stabil. Bila setelah 400 mg tidak berhasil, ganti
obat lain misalnya Fenitoin. Cara pemberian Fenitoin, bolus 18
mg/KgB/iv pelan-pelan paling cepat 50 mg/menit. Dilanjutkan
dengan 200-500 mg/hari/iv atau oral
c. Profilaksis: diberikan pada pasien cedera kepala berat dengan
resiko kejang tinggi, seperti pada fraktur impresi, hematom
intrakranial dan penderita dengan amnesia post traumatik
panjang.
c. Operatif
Operasi di lakukan bila terdapat (American Collage Surgeon,
2004):
1) Volume hematoma > 25 ml
2) Keadaan pasien memburuk
3) Pendorongan garis tengah > 5 mm
Penanganan darurat dengan dekompresi dengan trepanasi
sederhana (burr hole). Dilakukan kraniotomi untuk mengevakuasi
hematoma. Indikasi operasi di bidang bedah saraf adalah untuk life
saving dan untuk fungsional saving. Jika untuk keduanya tujuan
tersebut maka operasinya menjadi operasi emergensi. Biasanya
keadaan emergensi ini disebabkan oleh lesi desak ruang. Indikasi untuk
life saving adalah jika lesi desak ruang bervolume (American Collage
Surgeon, 2004):
1) > 25 cc desak ruang supra tentorial
2) > 10 cc desak ruang infratentorial
3) > 5 cc desak ruang thalamus
Indikasi evakuasi life saving adalah efek masa yang signifikan
(American Collage Surgeon, 2004):
1) Penurunan klinis.
2) Efek massa dengan volume > 20 cc dengan midline shift > 5 mm
dengan penurunan klinis yang progresif.
3) Tebal hematoma epidural > 1 cm dengan midline shift > 5 mm
dengan penurunan klinis yang progresif.
d. Nonmedikamentosa
1) Posisi Tidur
Penderita cedera kepala berat dimana TIK tinggi posisi tidurnya
ditinggikan bagian kepala sekitar 20-30, dengan kepala dan dada
pada satu bidang, jangan posisi fleksi atau leterofleksi, supaya
pembuluh vena daerah leher tidak terjepit sehingga drainase vena
otak menjadi lancar (Japardi, 2002).
2) Nutrisi Adekuat
Pada cedera kepala berat terjadi hipermetabolisme sebanyak 2-
2,5 kali normal dan akan mengakibatkan katabolisme protein. Proses
ini terjadi antara lain oleh karena meningkatnya kadar epinefrin dan
norepinefrin dalam darah danakan bertambah bila ada demam.
Setelah 3-4 hari dengan cairan perenterai pemberian cairan nutrisi
peroral melalui pipa nasograstrik bisa dimulai, sebanyak 2000-3000
kalori/hari (Japardi, 2002).
7. Prognosis
Prognosis tergantung pada (Heegaard & Biros, 2007):
a. Lokasinya ( infratentorial lebih jelek )
b. Besarnya
c. Kesadaran saat masuk kamar operasi.
Jika ditangani dengan cepat, prognosis hematoma epidural biasanya
baik, karena kerusakan otak secara menyeluruh dapat dibatasi. Angka
kematian berkisar antara 7-15% dan kecacatan pada 5-10% kasus.
Prognosis sangat buruk pada pasien yang mengalami koma sebelum
operasi (Heegaard & Biros, 2007).
8. Komplikasi
Komplikasi cedera kepala yang mungkin terjadi diantaranya adalah
sebagai berikut (Price & Wilson, 2006):
a. Cedera otak sekunder akibat hipoksia dan hipotensi
b. Edema serebral
c. Hernia jaringan otak
d. Infeksi
e. Emboli lemak
f. Hidrosefalus
g. Fistula cairan serebrospinalis
B. MANAJEMEN ANESTESI PADA CEDERA KEPALA BERAT
1. Preoperatif
a. Penilaian awal kondisi pasien
1) Penilaian neurologi (Dunn, 2000).
a) Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan metode yang sederhana
dan diterima secara universal untuk menilai tingkat kesadaran dan
status neurologis pasien dengan trauma kepala.
Skor GCS <8 menandakan trauma kepala berat
Skor GCS 9-12 menandakan trauma kepala sedang
Skor GCS 13-15 menandakan trauma ringan
b) Respon pupil (ukuran, refleks cahaya) dan penilaian simetris
ekstremitas harus secepatnya dinilai.
c) Penilaian cedera organ lain. Pasien trauma sering menderita yang
berasal dari cedera pada sistem organ multipel. Perhatian terutama
ditujukan untuk menentukan ada tidaknya perdarahan intratoraks
atau intraperitoneal. Jika perdarahan dicurigai, eksplorasi toraks
maupun abdomen harus dilakukan segera.
2) Jalan nafas dan ventilasi (Bendo et al., 2001)
a) Intubasi
Langkah pertama dalam terapi darurat adalah mengamankan jalan
nafas dan memastikan bahwa ventilasi sudah adekuat. Karena
semua pasien trauma dipertimbangkan memiliki lambung yang
penuh dan sering juga mendapat trauma servikal, tekanan pada
krikoid dan stabilisasi in-line terhadap tulang servikal dilakukan
selama digunakan laringoskop dan intubasi.
b) Obat-obatan untuk memfasilitasi laringoskopi dan intubasi
c) Ventilasi mekanik
Segera setelah trakea terintubasi, pelumpuh otot non depolarisasi
diberikan dan ventilasi mekanik PaCO2 sebesar 35 mm.
Hiperventilasi agresif (PaCO2 <30 mmHg) sebaiknya dihindarkan
kecuali herniasi transtentorial dicurigai. Jika terdapat hipoksemia,
harus diperbaiki secepatnya. Jika terdapat aspirasi masif, suction
bronkus dapat dilakukan.
3) Stabilisasi kardiovaskular (Bendo et al., 2001)
a) Resusitasi cairan.
Larutan kristaloid dan koloid. Kristaloid isotonik dan hipertonik
dan larutan koloid dapat diberikan untuk menjaga volume
intravaskular yang adekuat.
Produk darah dan darah. Pasien yang mempunyai nilai
hematokrit yang rendah membutuhkan tranfusi untuk
mengoptimalkan oxygen delivery. Hematokrit idealnya
dipertahankan diatas 30%.
Efek samping larutan yang mengandung glukosa. Larutan yang
mengandung glukosa sebaiknya dihindarkan karena
hiperglikemia dihubungkan dengan perburukan neurologis.
Glukosa sebaiknya digunakan hanya untuk menangani
hipoglikemia. Kadar plasma sebesar 80-150 mg/dL sebaiknya
dicapai. Kadar plasma diatas 200 mg/dL
b) Inotropik dan vasopresor.
Jika tekanan darah dan cardiac output tidak dapat diperbaiki
melalui resusitasi cairan, pemberian inotropik dan vasopresor
secara intravena mungkin diperlukan. Infus fenilefrin atau dopamin
direkomendasikan untuk menjaga Cerebral Perfusion Pressure
diatas 60 mmHg.
4) Penanganan peningkatan TIK (Bendo et al., 2001; Kirkness et al.,
2005).
a) Hiperventilasi.
Jika terdapat bukti terjadinya herniasi transtentorial pada pasien
dengan trauma kepala berat, hiperventilasi sampai kadar PaCO2
sebesar 30 mmHg karena hiperventilasi dapat dengan cepat dan
efektif menurunkan TIK.
b) Terapi diuretik.
Manitol, 0,25-1 g/kgBB secara intravena diberikan dalam 10 menit
pada pasien dengan sangkaan herniasi transtentorial. Osmolaritas
serum dijaga dan tidak boleh melebihi 320 mOsm/L.
c) Posisi.
Menaikkan posisi kepala 10-30o memfasilitasi drainase CSF dan
menurunkan TIK. Efek penurunan TIK ini ditiadakan pada kaadaan
dimana tekanan darah sistemik menurun.
d) Kortikosteroid
Sebelumnya kortikosteroid diperkirakan mempunyai manfaat
dalam mengurangi edema otak yang juga menurunkan TIK pada
pasien dengan trauma kepala. Namun, beberapa laporan terakhir
menunjukkan perburukan pada pasien yang diberikan terapi
kortikosteroid. Karena itu, kortikosteroid tidak berperan dalam
penanganan trauma kepala meskipun bermanfaat pada trauma
spinal.
2. Peri dan Intraopertif
Anestesi general di rekomendasikan untuk memfasilitasi kontrol fungsi
respirasi dan sirkulasi. Induksi cepat dapat diambil pada pasien dengan
hemodinamik sabil, walaupun prosedur ini dapat menghasilkan peningkatan
tekanan darah dan peningkatan tekanan intra kranial.
Penanganan sirkulasi dan respirasi intraoperatif (Bendo et al., 2001;
Ezekiel, 2004; Ezekiel et al., 2005).
a) Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik diatur untuk menjaga nilai PaCO2 sekitar 35 mmHg.
Fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) diatur untuk menjaga nilai PaO2 >
100 mmHg. Pasien dengan kontusio pulmoner, aspirasi, atau edema paru
neurogenik, membutuhkan Positive End-Expiratory Pressure (PEEP)
untuk menjaga oksigenasi yang adekuat. PEEP yang berlebihan sebiknya
dihindari, karena peningkatan peningkatan tekanan intratoraks dapat
menekan drainase vena sentral dan meningkatkan TIK.
b) Penanganan sirkulasi
CPP harus dijaga antara 60-110 mmHg. Ketika hipotensi bertahan
meskipun dengan oksigenasi yang adekuat, ventilasi, dan pengganti
cairan, peningkatan tekanan darah dengan menggunakan inotropic atau
vasopresor.
c) Hipertensi ditangani secara hati-hati karena peningkatan tekanan darah
dapat merupakan gambaran dari hiperaktivitas simpatis sebagai respon
dari peningkatan TIK dan penekanan batang otak (refleks Cushing).
Penanganan peningkatan TIK intraoperatif (Pattersen et al., 2007).
a) Posisi pasien
Menaikkan kepala 10-30o biasanya sudah cukup. CPP mungkin tidak
menjadi lebih baik, jika tekanan darah sistemik menurun secara
substansial. Ketika ahli beadh ingin merotasi atau fleksi dari kepala dan
leher, ahli anestesi harus memastikan adekuasi venous return.
b) Ventilasi
Nilai PaCO2 dipertahankan pada nilai 35 mmHg. Hiperventilasi
dihindarkan kecuali monitoring memastikan oksigenasi otak adekuat.
c) Sirkulasi
Baik hipotensi (tekanan sistolik <90 mmHg) dan hipertensi (tekanan
sistolik >160 mmHg) harus dikoreksi jika diindikasikan.
d) Diuretik
Manitol menurunkan volume serebral dan menurunkan TIK. Furosemide
juga dapat bersamaan diberikan pada kasus yang lebih berat juga pada
pasien dengan penurunan fungsi jantung.
e) Drainase CSF
Jika terdapat katetr intraventrikular, drainase CSF merupakan cara yang
efektif dalam menurunkan TIK.
3. Postoperatif
a) Posisi pasien headup 30 derajat dengan posisi netral yaitu tidak miring ke
kiri atau ke kanan, tidak hiperekstensi atau hiperfleksi.
b) Bila perlu diventilasi, pertahankan normokapni. Harus dihindari PaCO2
< 35 mmHg selama 24 jam pertama setelah cedera kepala.
c) Kendalikan tekanan darah dalam batas autoregulasi. Sistolik tidak boleh
kurang dari 90 mmHg. Pasca cedera kepala terapi bila tekanan arteri
rerata > 130 mmHg.
d) Infus dengan NaCl 0.9%, batasi pemberian RL, bias diberikan koloid.
Hematokrit pertahankan 33%.
e) Bila Hb < 10 gr% beri darah. Biasanya pada pasien sehat ( bukan
kelainan serebral) transfuse diberikan bila Hb < 8 gr%.
f) Untuk mengendalikan kejang bias diberikan phenytoin 10-15 mg/kg bb
dengan kecepatan 50 mg/menit. Bila sedang memberikan phenytoin
terjadi kejang berikan diazepam 5-10 mg intravena (0,3 mg/kg bb)
perlahan –lahan selama 1-2 menit.
BAB III
LAPORAN KASUS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Nn. Umi Alfiah
Umur : 45 tahun
Berat badan : 55 Kg
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Kasegeran RT 05/02 Cilongok, Banyumas
Agama : Islam
Tanggal masuk RSMS : 17 September 2013
No. CM : 293572
B. PRIMARY SURVEY
1. A: tidak clear, gigi ompong (-), gigi palsu (-), Malapati sulit dinilai
2. B: Spontan, RR : 24x/menit, suara dasar vesikuler +/+, Wh (-), Rh (-),
stridor (+/+)
3. C: TD 160/90 mmHg, Nadi 120 kali/menit, reguler, tegangan dan isi
cukup, S1>S2, G (-), M (-)
4. D: GCS E1M3V1, BB 55 kg, TB 160 cm, BMI 21.4, Suhu 37,9°C
C. SECONDARY SURVEY
1. ANAMNESIS
a. Keluhan utama : Penurunan kesadaran
b. Keluhan tambahan: Muntah, keluar darah dari telinga kiri dan hidung
c. Riwayat penyakit sekarang
Pasien dibawa keluarga ke IGD RS Margono Soekarjo atas
rujukan Puskesmas 1 Cilongok dengan Cedera Kepala Sedang setelah
mengalami kecelakaan lalu lintas yakni tertabrak mobil dari arah
belakang saat pasien berjalan kaki. Kecelakaan terjadi 1 jam sebelum
pasien datang ke IGD RSMS. Menurut keterangan saksi yang ada di
tempat kejadian, pasien langsung tidak sadarkan diri dan muntah
sebanyak 2x berisi darah. Pasien tetap tidak sadarkan diri sampai tiba
di IGD. Selain itu ditemukan pula darah yang keluar dari telinga kiri
dan hidung pasien.
d. Riwayat penyakit dahulu
1) Riwayat hipertensi : disangkal
2) Riwayat kencing manis: disangkal
3) Riwayat asma : disangkal
4) Riwayat jantung : disangkal
5) Riwayat alergi : disangkal
6) Riwayat operasi sebelumnya : disangkal
e. Riwayat penyakit keluarga
1) Riwayat hipertensi : disangkal
2) Riwayat kencing manis: disangkal
3) Riwayat asma : disangkal
4) Riwayat jantung : disangkal
5) Riwayat alergi : disangkal
2. PEMERIKSAAN FISIK
Dilakukan di IGD RSMS, 17 September 2013
a. Keadaan umum : Lemah
b. Kesadaran : GCS E1M3V1
c. Tanda vital :
Tekanan darah : 160/90 mmHg
Nadi : 120x/ menit
Respirasi : 24x/ menit
Suhu : 37.9ºC
d. BB : 55 kg
e. TB : 160 cm
f. Status Generalis
1) Kepala
Bentuk dan ukuran :normocephal
Rambut dan kulit kepala :hitam terdistribusi merata, tidak
mudah dicabut
2) Mata :palpebra superior edema (-), mata cekung (-),
konjungtiva anemis (-), sklera ikterik (-) RC +/+
PB anisokor 5mm/3mm
3) Telinga :otorrhoae (-)/(+), sekret (-)
4) Hidung :septum deviasi (-), sekret (-), napas cuping hidung
(-) darah (+)
5) Mulut :bibir kering (-), sianosis (-), darah (-)
6) Tenggorokan :faring sdn, tonsil sdn, malapati sdn
7) Leher :simetris, trakhea di tengah, kelenjar tiroid,
submandibula, supra-infra clavicula tidak teraba
8) Ekstremitas :akral dingin, sianosis (-), edema (-), deformitas (-)
9) Kulit :turgor baik, petechiae (-)
10) Genitalia :tidak dilakukan
11) Anus Rektum :tidak dilakukan
g. Status Lokalis
1) Paru
Inspeksi :Dinding dada tampak simetris, tidak tampak
ketertinggalan gerak, kelainan bentuk dada (-),
eksperium diperpanjang(-), retraksi interkostalis (-),
jejas (-)
Palpasi : Vokal fremitus apeks kanan = kiri
Vokal fremitus basal kanan = kiri
Perkusi : Perkusi orientasi lapang paru sonor, Batas paru-hepar
SIC V LMCD
Auskultasi: Apeks : Suara dasar vesikuler +/+
Basal : Suara dasar vesikuler +/+
Ronki basah halus -/-
Ronki basah kasar -/-
Wheezing -/-
Stridor +/+
2) Jantung
Auskultasi: S1>S2 Tidak ada suara tambahan
3) Abdomen
Inspeksi : datar, tidak terdapat massa, tidak terdapat jejas
Auskultasi : bising usus (+) N
Palpasi : supel, test undulasi (-)
Perkusi :timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-)
Hepar : tak teraba
Lien : tak teraba
h. Ekstremitas:
Ekstremitas
superior
Ekstremitas
inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral dingin + + + +
Reflek fisiologis + + + +
Reflek patologis - - - -
3. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Pemeriksaan Darah Lengkap tanggal 17 April 2013 jam 08.30
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
Hemoglobin 12.6 Gr/dl 12.0-16.0
Leukosit H 26.740 /µL 4800- 10800
Hematokrit 39 % 37-47
Eritrosit 4.6 106 /µL 4,2 – 5,4
Trombosit H 537.000 /µL 150.000 – 450.000
MCV 85,5 fL 79,0 – 99,0
MCH 27,3 pg 27,0 – 31,0
MCHC L 32,0 % 33 – 37
RDW 14,2 11,5 – 14,5
MPV 9,1 fL 7,2 – 11,1
Hitung Jenis
Basofil 0,3 0 - 1
Eosinofil L 0,7 2 – 4
Batang L 0,8 2 – 5
Segmen H 78,9 40 – 70
Limfosit L 16,8 25 – 40
Monosit 2,5 2 – 8
Kimia Klinik
Ureum 19,7 mg/dl 14,98- 38,52
Kreatinin 0.78 mg/dl 0,80-1,30
Glukosa sewaktu 159 mg/dl < = 200
Natrium 142 mmol/L 136-145
Kalium 4,5 mmol/L 3,5-5,1
Klorida L 96 mmol/L 35-107
b. CT-scan Tanpa Kontras
Hematom ekstracranial regio parietoocipital sinistra, fraktur temporal
sinistra, occipital sinistra, dan frontalis sinistra, EDH, ICH,
Penumatocell, Hematom sinus ethmoid, Perdarahan 49,5 cc
D. DIAGNOSIS KLINIS
Diagnosis prabedah : EDH parietooccipal sinistra, ICH parietotemporal
dextra, Ekstracranial hematom, dan Fraktur basis
cranii fossa posterior
Diagnosis pasca bedah : EDH parietooccipal sinistra, ICH parietotemporal
dextra, Ekstracranial hematom, dan Fraktur basis
cranii fossa posterior
Jenis pembedahan : Craaniotomi evakuasi EDH
E. KESIMPULAN PEMERIKSAAN FISIK
Status ASA IV
F. TINDAKAN
Dilakukan : Craaniotomi evakuasi EDH
Tanggal : 17 September 2013
G. LAPORAN ANESTESI
Status Anestesi
1. Persiapan Anestesi
a. Informed concent + Death on Table
b. Pasang IV line 2 jalur NaCl tetes cepat
c. Challange Test untuk mengetahui status pasien
hipovolemik/euvolemik dengan pemberian kristaloid 10-20 cc per
KgBB yakni 1000 cc selama 15-30 menit kemudian lihat
hemodinamik pasien.
d. Pemasangan kateter
e. Mulai puasa sebelum operasi
2. Penatalaksanaan Anestesi
a. Jenis anestesi : General Anestesi (GA)
b. Premedikasi : -
c. Co-induksi : Fentanyl 100 µgram, Lidokain 80 mg
d. Induksi : Propofol 100 mg
e. Fasilitas intubasi : Rocuronium 40 mg
f. Pemeliharaan : O2 50, N2O 50, dan Isofluran 1 MAC
3. Teknik anestesi
a. Pasien dalam posisi telentang
b. Dilakukan intubasi dengan pemasangan ET ukuran 7,5
c. Respirasi : Ventilasi kendali
d. Jumlah cairan yang masuk selama operasi: kristaloid 2000 cc (RL
500 cc dan NaCl 1500 cc), koloid 500cc, Manitol 250 cc, dan
PRC 1 Kolf
4. Pemantauan selama anestesi :
a. Mulai anestesi : 16.50 WIB
b. Mulai pembedahan : 17.05 WIB
c. Selesai operasi : 18.50 WIB
d. Selesai anestesi : 19.00 WIB
5. Cairan yang masuk durante operasi:
RL 500 cc
NaCl 1500 cc
HES 500 cc
Manitol 250 cc
PRC 1 Kolf
Terapi cairan
Berat badan = 55 kg
Maintenence = 2xKgBB/jam 110 cc/jam
Pengganti Puasa = Lama puasa x kebutuhan per jam 1100 cc
Stress operasi (operasi besar) 8cc x 55 = 440 cc
a. Kebutuhan jam pertama
50% puasa + stress operasi + kebutuhan per jam
550 cc + 440cc + 110 cc = 1100 cc
b. Kebutuhan jam kedua
25% puasa + stress operasi + kebutuhan per jam
275 cc + 440cc + 110 cc = 825 cc
Kebutuhan cairan selama 120 menit operasi
1100 cc + 825 cc =1925 cc/ 2 jam 1925 x 15 240 tpm
2 x 60
Cairan yang masuk selama operasi RL 500 ml, NaCl 1500 cc,
HES 500 cc, Manitol 250 cc, PRC 1 Kolf
6. Pemantauan tekanan darah dan frekuensi nadi selama operasi.
Jam
(WIB)
Tindakan Tekanan
Darah
(mmHg)
Nadi
(x/menit)
Saturasi
O2 (%)
16.50 a. Pasien masuk ke kamar operasi, dan
dipindahkan ke meja operasi
b. Pemasangan monitoring tekanan darah,
nadi, saturasi O2
c. Dua jalur Infus NaCl masing-masing 500cc
terpasang pada tangan kanan dan tangan
kiri
160/90 140 100
d. Pemberian premedikasi –
e. Pemberian Co-induksi Fentanyl 100 µgram,
f. Pemberian Lidokain 80 mg
g. Pemberian Induksi Propofol 100 mg
h. Fasilitas intubasi Rocuronium 40 mg
i. Pemasangan ET
17.05 Operasi dimulai 160/85 110 100
17.20 HES 500 cc 150/100 108 100
17.35 Kondisi terkontrol 145/95 110 100
17.50 Efedrin HCL 1 cc
RL 500 cc
110/80 130 100
18.05 Manitol 125 cc 100/85 115 100
18.20 Kondisi terkontrol 130/90 98 100
18.35 Kondisi terkontrol 120/82 104 100
18.50 a. Operasi selesai
b. Diberikan Ketorolac 30 mg
c. Pelepasan ET
d. Pemasangan sunngkup oksigen pada pasien
e. Pelepasan alat monitoring
f. Persiapan ke ruangan ICU
120/80 75 100
7. Pemantauan post operasi
a. Pengawasan ketat tanda vital dalam ruang ICU dengan
menggunakan ventilator.
b. Pemantauan tanda vital setiap 1 jam selama selama 24 jam.
c. Lanjutkan infus RL
d. Pemasangan NGT
Pemeriksaan Darah Lengkap Post operasi tanggal 17 April 2013 jam
22.00
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
Hemoglobin L 7.1 Gr/dl 12.0-16.0
Leukosit H 21.730 /µL 4800- 10800
Hematokrit L 21 % 37-47
Eritrosit L 2,5 106 /µL 4,2 – 5,4
Trombosit 272.000 /µL 150.000 – 450.000
MCV 83,3 fL 79,0 – 99,0
MCH 28,2 pg 27,0 – 31,0
MCHC 33,8 % 33 – 37
RDW 13,9 11,5 – 14,5
MPV 9,2 fL 7,2 – 11,1
Hitung Jenis
Basofil 0,1 0 - 1
Eosinofil L 0,0 2 – 4
Batang L 0,7 2 – 5
Segmen H 84.5 40 – 70
Limfosit L 9.8 25 – 40
Monosit 4,9 2 – 8
Kimia Klinik
Ureum 15,8 mg/dl 14,98- 38,52
Kreatinin 0.72 mg/dl 0,80-1,30
Glukosa sewaktu 165 mg/dl < = 200
Natrium 142 mmol/L 136-145
Kalium 4,1 mmol/L 3,5-5,1
Klorida 104 mmol/L 35-107
Kalsium L 5,5 Mg/dL 8,4-10,2
Pemeriksaan Darah Lengkap tanggal 18 April 2013 jam 15.00
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
Hemoglobin L 7.7 Gr/dl 12.0-16.0
Leukosit H 21.470 /µL 4800- 10800
Hematokrit L 23 % 37-47
Eritrosit L 2,7 106 /µL 4,2 – 5,4
Trombosit 239.000 /µL 150.000 – 450.000
MCV 83,7 fL 79,0 – 99,0
MCH 28,3 pg 27,0 – 31,0
MCHC 34,2 % 33 – 37
RDW 13,8 11,5 – 14,5
MPV 9,5 fL 7,2 – 11,1
Hitung Jenis
Basofil 0,2 0 - 1
Eosinofil L 0,0 2 – 4
Batang L 0,5 2 – 5
Segmen H 87,8 40 – 70
Limfosit L 8,1 25 – 40
Monosit 3,4 2 – 8
Kimia Klinik
Ureum 19,7 mg/dl 14,98- 38,52
Kreatinin L 0,59 mg/dl 0,80-1,30
Glukosa sewaktu 120 mg/dl < = 200
Natrium 143 mmol/L 136-145
Kalium 3,9 mmol/L 3,5-5,1
Klorida 102 mmol/L 35-107
Kalsium L 8,1 Mg/dL 8,4-10,2
Pemeriksaan Darah Lengkap tanggal 19 April 2013 jam 19.50
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI RUJUKAN
HEMATOLOGI
Darah Lengkap
Hemoglobin L 9,9 Gr/dl 12.0-16.0
Leukosit H 14.670 /µL 4800- 10800
Hematokrit L 29 % 37-47
Eritrosit L 3,5 106 /µL 4,2 – 5,4
Trombosit 237.000 /µL 150.000 – 450.000
MCV 83,6 fL 79,0 – 99,0
MCH 28,5 pg 27,0 – 31,0
MCHC 34,1 % 33 – 37
RDW 14,1 11,5 – 14,5
MPV 9,6 fL 7,2 – 11,1
Hitung Jenis
Basofil 0,2 0 - 1
Eosinofil L 0,1 2 – 4
Batang L 0,5 2 – 5
Segmen H 83,6 40 – 70
Limfosit L 11,2 25 – 40
Monosit 4,4 2 – 8
H. PROGNOSA
Ad Vitam : Dubia ad malam
Ad Functionam : Dubia ad malam
Ad Sanationam : Dubia ad malam
BAB IV
PEMBAHASAN
Cedera kepala adalah salah satu dari trauma yang paling serius dan
mengancam jiwa. Terapi yang tepat dan cepat diperlukan untuk mendapatkan
outcome yang baik. Sasaran utama pengelolaan anestesi untuk pasien dengan
cedera otak adalah optimalisasi tekanan perfusi otak dan oksigenasi otak,
menghindari cedera sekunder dan memberikan fasilitas pembedahan untuk dokter
bedah saraf. Anestesi umum dianjurkan untuk memfasilitasi fungsi respirasi dan
sirkulasi.
Sebelum dilakukan tindakan operasi sangat penting untuk dilakukan
persiapan pre operasi terlebih dahulu untuk mengurangi terjadinya kecelakaan
anastesi. Kunjungan terhadap pasien sebelum pasien dibedah harus dilakukan
sehingga dapat mengetahui adanya kelainan diluar kelainan yang akan di operasi,
menentukan jenis operasi yang akan di gunakan serta melihat kelainan yang
berhubungan dengan anestesi. Selain itu, dengan mengetahui keadaan pasien
secara keseluruhan, dokter anestesi bisa menentukan cara anestesi dan pilihan obat
yang tepat bagi pasien.
Pemeriksaan pre operatif pada cedera kepala sama seperti pemeriksaan
rutin untuk tindakan anestesi lain, hanya ditambah dengan evaluasi tekanan
intrakranial, efek samping kelainan serebral, terapi dan pemeriksaan sebelumnya
serta hasil CT-scan. Peningkatan tekanan intrakranial pada CT-scan ditunjukkan
dengan adanya midline shift, obliterasi sisterna basalis, hilangnya sulkus,
hilangnya ventrikel (atau pembesaran, dalam kasus hidrosefalus), dan edema
(adanya daerah hipodensitas). Tindakan pre operatif yang dilakukan pada pasien
adalah sebagai berikut :
1. Melakukan visit pre operatif meliputi anamnesis, pemeriksaan fisik,
pemeriksaan penunjang yang diperlukan. Hal ini berguna untuk
menentukan masalah yang ada pada pasien, meramalkan kemungkinan
penyulit, melakukan persiapan untuk mencegah penyulit yang akan terjadi,
menentukan status fisik pasien serta menentukan tindakan anestesi yang
sesuai.
2. Memberikan informasi pada keluarga pasien mengenai keadaan pasien,
tindakan operatif yang akan dilakukan, keuntungan dan kerugian tindakan
operatif serta resiko yang dapat terjadi.
3. Melakukan fluid challenge test
Fluid challenge test merupakan prosedur diagnostik yang
digunakan untuk mengidentifikasi suatu keadaan hipovolemik. Prosedur
ini bertujuan untuk mengetahui keadaan sistem kardiosirkulasi pasien dan
sebagai panduan dalam melakukan resusitasi cairan. Terdapat empat
komponen penting dalam fluid challenge test diantaranya adalah jenis
cairan yang akan diberikan (kristaloid), kecepatan pemberian cairan ( 500-
1000 ml atau 10-20 ml/kgBB dalam 10-30 menit), target hemodinamik
( MAP > 70 mmHg, HR < 110x/m, produksi urin 0,5-1 ml/jam), serta
pemantauan terhadap kemungkinan terjadinya oedem pulmo.
Terapi cairan kristaloid ataupun koloid menjadi masalah apabila
diberikan dalam jumlah yang tidak tepat. Apabila kehilangan cairan tidak
dikoreksi, maka pasien akan mengalami keadaan hipovolemia yang
selanjutnya menimbulkan kerusakan ginjal dan komplikasi lainnya,
sebaliknya kelebihan pemberian cairan akan menyebabkan oedem pulmo.
Oleh karena itu fluid challenge test dilakukan agar terapi cairan diberikan
secara tepat.
4. Puasa sebelum operasi
Pasien terakhir makan dan minum 10 jam sebelum operasi. Puasa sebelum
operasi dilakukan untuk mencegah terjadinya muntah dan aspirasi saat
operasi.
Pasien mengalami cedera kepala berat dan dilakukan tindakan operatif
yaitu craniotomi. Tindakan craniotomi menggunakan anestesi umum (anestesi
general) karena tindakan ini memerlukan insuflasi CO2 dan relaksasi otot yang
tidak memungkinkan pasien untuk bernapas spontan. Oleh karena itu, untuk
menjamin adekuatnya difusi CO2 ke luar tubuh, respiratory rate harus diatur
menggunakan mechanical ventilator dengan RR yang cepat (hiperventilasi) dan
volume tidal yang tidak terlalu besar.
Obat-obatan yang diberikan pada pasien selama operasi berlangsung
diantaranya adalah :
1. Co-induksi (Fentanyl 100 µgram dan Lidokain 80 mg)
- Fentanyl 2-150 mcg/kg iv, diberikan untuk menumpulkan respon
hemodinamik saat dilakukan laringoskopi dan intubasi. Fentanyl
adalah suatu opioid agonis derifat phenylpiperidine sintetik yang
secara struktur berkaitan dengan meperidine, sebagai suatu analgesic,
fentanyl lebih kuat 75 sampai 125 kali dibandingkan morfin. Dosis
intraoperatif sebesar 2-150 µg/kgBB dengan onset 2-3 menit dan
durasi sekitar 15- 20 menit.
- Lidokain 1,5mg/kg iv, diberikan 90 detik sebelum laringoskopi, dapat
membantu untuk mencegah peningkatan tekanan intra kranial. Sebagai
obat anestesi lokal lidokain dapat diberikan dosis 3-4 mg/kgBB, bila
ditambahkan adrenalin dosis maksimal mencapai 6 mg/kgBB.
Lidokain menyebabkan penurunan tekanan intrakranial (tergantung
dosis) yang disebabkan oleh efek sekunder peningkatan resistensi
vaskuler otak dan penurunan aliran darah otak.
2. Induksi (Propofol 100 mg)
Propofol merupakan obat sedative-hipnotik yang digunakan dalam induksi
dan pemeliharaan anestesi maupun sedasi. Dosis yang digunakan sebesar
2,5-3 mg/kgBB dengan onset 30-40 detik dan durasi 5-10 menit.
3. Fasilitas intubasi (Rocuronium 40 mg)
Rocuronium diindikasikan sebagai tambahan pada anestesia umum untuk
mempermudah intubasi endotrakeal serta memberikan relaksasi otot
rangka selama pembedahan. Dosis yang digunakan dalam intubasi
endotrakeal: 0,6-1,2 mg/kgBB, sedangkan dosis pemeliharaan: 0,1- 0,2
mg/kgBB.
4. Pemeliharaan (O2 50, N2O 50, dan Isofluran 1 MAC)
Isofluran merupakan depresan metabolik yang potent, isofluran memiliki
sedikit efek pada aliran darah otak dan tekanan intrakranial daripada
halotan. Karena isofluran menekan metabolisme serebral, obat ini mungkin
memiliki efek melindungi saat iskemi tidak berat. Isofluran dengan
konsenterasi >1 dari minimum alveolar konsentrasi harus dihindari karena
dapat menimbulkan peningkatan substansial pada ICP.
Penanganan sirkulasi dan respirasi intraoperatif yang diberikan pada
pasien diantaranya adalah:
d) Ventilasi mekanik
Ventilasi mekanik diatur untuk menjaga nilai PaCO2 sekitar 35 mmHg.
Fraksi oksigen yang diinspirasi (FiO2) diatur untuk menjaga nilai PaO2 >
100 mmHg. Positive End-Expiratory Pressure (PEEP) yang berlebihan
sebaiknya dihindari, karena peningkatan peningkatan tekanan intratoraks
dapat menekan drainase vena sentral dan meningkatkan TIK.
e) Penanganan sirkulasi.
CPP harus dijaga antara 60-110 mmHg. Ketika hipotensi bertahan
meskipun dengan oksigenasi yang adekuat, ventilasi, dan pengganti cairan,
peningkatan tekanan darah dengan menggunakan inotropic atau
vasopresor.
f) Hipertensi ditangani secara hati-hati karena peningkatan tekanan darah
dapat merupakan gambaran dari hiperaktivitas simpatis sebagai respon
dari peningkatan TIK dan penekanan batang otak (refleks Cushing).
Persiapan membangunkan pasien dengan tujuan untuk mencegah depresi
nafas pascabedah adalah menghentikan pemberian opioid yang bersifat middle
atau long acting 60 menit sebelum opersi selesai, obat anastesi dihentikan saat
menjahit kulit. Kadar PaCO2 dianaikkan ke arah normoventilasi. Hindari
rangsangan nyeri yang tidak perlu, misalnya : lepas head pin sesegera mungkin,
ambil pak di mulut/faring, pengisapan faring dilakukan sebelum pasien betul-betul
bangun. Saat transfer ke PACU atau ICU berikan O2 dan monitoring EKG,
tekanan darah, SpO2 terus dilakukan.
Penanganan post operatif yang diberikan pada pasien diantaranya adalah:
posisi pasien headup 30 derajat dengan posisi netral yaitu tidak miring ke kiri atau
ke kanan, tidak hiperekstensi atau hiperfleksi, bila perlu diventilasi, pertahankan
normokapni. Harus dihindari PaCO2 < 35 mmHg selama 24 jam pertama setelah
cedera kepala. Kendalikan tekanan darah dalam batas autoregulasi. Sistolik tidak
boleh kurang dari 90 mmHg. Pasca cedera kepala terapi bila tekanan arteri rerata
> 130 mmHg. Infus dengan NaCl 0.9%, batasi pemberian RL, bisa diberikan
koloid. Hematokrit pertahankan 33%. Bila Hb < 10 gr% beri darah. Biasanya pada
pasien sehat ( bukan kelainan serebral) transfuse diberikan bila Hb < 8 gr%. Untuk
mengendalikan kejang bias diberikan phenytoin 10-15 mg/kg bb dengan
kecepatan 50 mg/menit. Bila sedang memberikan phenytoin terjadi kejang berikan
diazepam 5-10 mg intravena (0,3 mg/kg bb) perlahan –lahan selama 1-2 menit.
BAB V
KESIMPULAN
1. Tanggal 17 September 2013 telah dilakukan tindakan cranotomi evakuasi
EDH dengan menggunakan teknik anastesi yang dipakai adalah anastesi
general dengan menggunakan lidokain, fentanyl, dan propofol.
2. Tahapan preoperative diantaranya adalah memeriksa pasien untuk
memastikan kelayakan pasien apakah dapat dilakukan operasi atau tidak,
puasa, dan dapat dilakukan premedikasi. Pada kasus ini, pasien tidak dapat
direncanakan puasa secara pasti, akan tetapi pasien tidak makan dan minum
selama tidak sadarkan diri yakni selama 10 jam.
3. Tahapan intraopratif diantaranya adalah pemberian induksi dan juga
pemasangan ET. Pada pasien ini pemasangan ET dilakukan karena waktu
operasi yang lma (2 jam) dan pasien dalam posisi supine.
4. Tahapan postoperative dilakukan dengan melakukan menajemen nyeri, dan
keseimbangan cairan. Diantaranya dengan pemberian obat analgesik,
kristaloid, koloid, dan obat antibiotik.
DAFTAR PUSTAKA
American College Surgeon. 2004. Advanced Trauma Life Support Edisi Ketujuh.
United States of America.
Bendo AA, Kass IS, Hartung J, Cottrell JE. Anesthesia for Neurosurgery. In:
Barash PG, Cullen BF, Stoelting RK, eds. Clinical Anesthesia. 4th ed.
Lippincott Williams & Wilkins Publishers. 2001.
Bisri, T,. Dasar-dasar Neuro Anestesi. Saga Olahcitra. Bandung. 2008
De Jong, Wim. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Dunn LT, Teasdale GM. Head Injury. In: Morris PJ, Wood WC, eds. Oxford
Textbook of Surgery. 2nd Ed. Oxford Press. 2000
Ezekiel MR. Neuroanesthesia. In: Ezekiel MR, eds. Current Clinical Strategies:
Handbook of Anesthesiology. 2004-2005 ed. Current Clinical Strategies
Publishing, USA. 2004.
Feliciano, David, Kenneth Mattox, Ernest Moore. 2004. Trauma. 5th Ed. New
York: McGraw-Hill.
Gilroy, J. 2000. Basic Neurology. USA: McGraw-Hill.
Hafid, A. 2004. Epidural Hematoma, Buku Ajar Ilmu Bedah, edisi kedua, Jong
W.D. Jakarta: EGC, hal. 818-819
Heegaard, William dan Michelle Biros. 2007. Traumatic Brain Injury. Emerg Med
Clin N Am. 25: 655–678.
Kirkness CJ, Burr RL, Cain KC, Newell DW, Mitchell PH. Relationship of
Cerebral Perfusion Pressure Level to Outcome in Traumatic Brain Injury.
Acta Neurochir, 2005; 95: 13-16.
Japardi, Iskandar. 2002. Penatalaksanaan Cedera Kepala Akut. (online). Available
at: library.usu.ac.id/download/fk/bedah-iskandar%20japardi37%20.pdf.
Diakses tanggal 26 Desember 2012.
Patterson JT, Hanbali F, Franklin RL, Nauta HJW. Neurosurgery. In: Townsend
CM, Beauchamp RD, Evers BM, Mattox K, eds. Sabiston Textbook of
Surgery. 18th ed. Saunders Elsevier. 2007.
Price, Sylvia A., Wilson M. Lorraine. 2007. Patofisiologi Konsep Klinis dan
Proses Penyakit. Jakarta: EGC.
Seth J. Karp, MD. James P. G. Morris, MD. David I. Soybel. 2004. Blueprints
Surgery. Third Edition. UK: Blackwell Publishing.
Sjamsuhidajat R, Jong WD. 2003. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. Jakarta: EGC.
Snell R.S. 1996. Neurologi Klinik, Edisi ke dua. Jakarta: EGC.
Mardjono M., Sidarta P., 2000. Neurologi Klinis Dasar, cetakan kedelapan,
Penerbit Dian Rakyat, Jakarta hal 255-256.
R. Syamsuhidayat.2004. Buku Ajar Ilmu Bedah edisi ke2; EGC; Jakarta
LAMPIRAN
Lampiran 1.
Kondisi pasien saat berada di ruang ICU (H+1 Operasi)
Hasil CT Scan