proyeksi ekonomi indonesia 2013 - indef.or.idindef.or.id/source/research/buku pei 2013.pdfkarena...
TRANSCRIPT
Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013
Pembangunan Di Atas Pijakan Rapuh
Penulis: Ahmad Erani Yustika
Enny Sri Hartati
Didik J. Rachbini
Bustanul Arifin
Rina Oktaviani
Eko Listiyanto
Abdul Manap Pulungan
Ahmad Heri Firdaus
Dzulfian Syafrian
Abra Puspa Ghani Talattov
Tauhid Ahmad
Eka Puspitawati
Muhamad Habibilah
Desain Cover dan Tata Latak: Sarwo Edy
ISBN: 979-97810-23
Desember, 2012
i
Kata PengantarKata PengantarKata PengantarKata Pengantar
Di tengah melambatnya kinerja perekonomian global
akibat lambannya pemulihan krisis Amerika Serikat dan Uni
Eropa, pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga Triwulan III-
2012 mencatatkan diri sebagai nomor dua di Asia, yaitu sebesar
6,29 persen. Capaian pertumbuhan ekonomi ini diikuti oleh
tingkat inflasi yang cukup terjaga, di angka 4,32 persen yoy (year
on year) per November 2012; nilai tukar yang relatif stabil,
sebesar Rp9.613 per dollar Amerika Serikat pada 6 Desember
2012; serta cadangan devisa yang mencapai US$110.297 juta
per Oktober 2012.
Namun, jauh panggang dari api, relatif stabilnya kinerja
makro ekonomi Indonesia sepanjang 2012 tersebut terasa rapuh,
karena tidak segera tertransmisikan pada perbaikan tingkat
kesejahteraan masyarakat secara nyata. Produk Domestik
Bruto/PDB yang hingga Triwulan III-2012 mencapai Rp6.151,6
triliun (atas dasar harga berlaku) ternyata diikuti dengan jumlah
pengangguran dan kemiskinan yang masih tinggi, serta
diperparah dengan tingkat ketimpangan yang melebar. Hingga
Agustus 2012 jumlah pengangguran masih 7,24 juta orang;
jumlah penduduk miskin masih sebanyak 29,13 juta orang; serta
indeks Rasio Gini -yang merupakan salah satu indikator umum
untuk mengukur tingkat ketimpangan ekonomi- naik dari 0,33
ii
pada 2004 menjadi 0,41 pada 2011. Ini merupakan nilai
ketimpangan paling parah sejak Indonesia merdeka.
Masih tingginya angka pengangguran dan kemiskinan,
serta melebarnya ketimpangan disebabkan pertumbuhan
ekonomi Indonesia yang tidak berkualitas. Pertumbuhan
ekonomi masih bertumpu pada sektor-sektor yang kedap
terhadap penyerapan tenaga kerja, sehingga meminimkan daya
fungsinya dalam mengurangi jumlah pengangguran. Data
pertumbuhan ekonomi Triwulan III-2012 menunjukkan, sebesar
63,4 persen pertumbuhan didonasikan oleh sektor non-tradable,
sementara hanya 36,6 persen yang berasal dari sektor tradable.
Kinerja makro ekonomi yang relatif stabil namun tidak
diikuti dengan penurunan jumlah pengangguran, kemiskinan,
dan ketimpangan secara signifikan mengundang urgensi
perlunya menyusun ulang pembangunan ekonomi Indonesia.
Berbagai lencana yang disematkan oleh beberapa lembaga
internasional untuk kinerja makro ekonomi Indonesia saat ini
tidak boleh membuat pemerintah terlena, karena masih banyak
persoalan mendasar ekonomi bangsa yang harus segera
diselesaikan.
Upaya untuk menahan penurunan peranan sektor
tradable dalam perekonomian dapat ditempuh melalui: (i) pada
sektor pertanian mempercepat reformasi agraria yang telah
digadang-gadangkan pemerintah sejak 2005; (ii) sektor
pertambangan dan penggalian diupayakan meninjau kembali
kontrak-kontrak yang berdurasi panjang dan merugikan negara
serta meningkatkan peranan pemain lokal; dan (iii) sektor
industri diupaya pemenuhan ketersediaan input seperti energi
dan perbaikan iklim investasi.
iii
Di sektor fiskal, diperlukan reformulasi kebijakan
anggaran agar penggunaannya dapat meningkatkan
kesejahteraan bagi seluruh rakyat. APBN harus mampu
menstimulasi perekonomian melalui rekomposisi belanja
pemerintah yang sejauh ini lebih banyak dihabiskan untuk pos-
pos yang kurang produktif. Pengeluaran terbesar Pemerintah
Pusat sejauh ini lebih digunakan untuk belanja subsidi, belanja
pegawai, dan pembayaran bunga utang. Ketiga pos belanja ini
sudah menghabiskan anggaran Pemerintah Pusat rata-rata sekitar
63 persen dari total belanja selama 2005-2011. Akibatnya,
postur APBN yang sebagian besar sudah tersandera oleh
anggaran-anggaran rutin tersebut membuat ruang gerak fiskal
tidak maksimal. Oleh karena itu, diperlukan perubahan
fundamental pada struktur APBN agar ruang fiskal (fiscal space)
dapat diperbesar.
Pemerintah juga perlu memasukkan target penurunan
jumlah pengangguran, kemiskinan, serta tingkat ketimpangan
(Rasio Gini) secara eksplisit dalam asumsi makro APBN, agar
dampak dari pemanfaatan APBN terhadap peningkatan
kesejahteraan rakyat lebih terukur. Indikator penurunan jumlah
pengangguran dan kemiskinan digunakan untuk melihat
efektivitas penggunaan APBN dalam mengurangi kemiskinan
dan pengangguran di Indonesia. Sementara itu, indikator Indeks
Gini atau Rasio Gini digunakan untuk memastikan bahwa
pertumbuhan yang terjadi di Indonesia berjalan secara adil.
Di sektor perdagangan, belum cukup siapnya
perekonomian Indonesia berkompetisi secara terbuka di kancah
global terkonfirmasi dari tergerusnya kinerja sektor perdagangan
pada tahun ini. Hingga Oktober 2012 neraca perdagangan
sudah mengalami defisit lima kali, yaitu bulan April, Mei, Juni,
Juli dan Oktober. Bahkan defisit Oktober merupakan yang
iv
terbesar dalam lima tahun terakhir. Secara umum hal ini
diakibatkan oleh basis ekspor Indonesia yang masih bertumpu
pada komoditas primer, sehingga kinerjanya sangat rentan
terhadap risiko fluktuasi harga di pasar internasional.
Namun, jika dicermati lebih jauh, tergerusnya kinerja
sektor perdagangan sesungguhnya tidak lepas dari akumulasi
salah arah pembangunan berbagai sektor ekonomi strategis
selama ini. Kuatnya sektor konsumsi dalam perekonomian
Indonesia yang tidak diimbangi dengan pertumbuhan industri
dasar yang memadai membuat porsi impor barang modal serta
bahan baku dan bahan penolong masih sangat besar. Berbagai
target swasembada produk-produk utama pertanian yang minim
capaian membuat meningkatnya impor barang konsumsi
menjadi tidak terelakkan. Lebih dari itu, kredit perbankan juga
cenderung mengucur deras untuk membiayai sektor non-
tradable, dan hanya menetes untuk sektor tradable. Hingga
Oktober 2012 proporsi kredit ke sektor non-tradable sebesar
70,17 persen, sementara sektor tradable hanya 29,83 persen.
Di sektor investasi, pertumbuhan penanaman modal
yang cenderung meningkat saat ini diharapkan dapat menjadi
kompensasi atas tergerusnya kontribusi ekspor, sehingga secara
agregat perekonomian nasional tetap dapat tumbuh sesuai target.
Namun, jika muara dari pertumbuhan ekonomi adalah
terciptanya kesejahteraan rakyat secara merata, maka kebijakan
sektor investasi juga harus didisain dengan mengedepankan
kepentingan nasional. Sehingga, potensi ekonomi yang sangat
besar di Indonesia tidak hanya menjadi surga bagi pemodal
asing. Dalam soal investasi, pemerintah harus berupaya
mendorong pembesaran investasi domestik (Penanaman Modal
Dalam Negeri/PMDN) sebagai penyangga utama ekonomi
nasional. Penanaman Modal Asing/PMA memang sebuah
v
keniscayaan, namun jangan sampai kehadirannya malah
meminggirkan investasi domestik.
Daya dukung sektor investasi terhadap kinerja ekonomi
akan semakin terakselerasi jika percepatan pembangunan
infrastruktur dapat segera terealisasi. Sebaliknya, kelambanan
pemerintah dalam merealisasikan proyek-proyek infrastruktur
pada akhirnya dapat melanggengkan ketimpangan ekonomi dan
disparitas pertumbuhan antarwilayah. Kue pembangunan yang
masih terkonsentrasi di Jawa dan Sumatera perlu digeser ke
Pulau Kalimantan, Sulawesi, Papua, Bali, Nusa Tenggara dan
wilayah-wilayah lainnya yang selama ini mengalami
ketertinggalan dalam pembangunan.
Melihat perkembangan perekonomian yang terjadi
sepanjang tahun ini dan berbagai kemungkinan situasi ekonomi
ke depan, INDEF memperkirakan pertumbuhan ekonomi
Indonesia pada 2013 berada pada kisaran 6,3 — 6,5 persen.
Konfigurasi pertumbuhan ekonomi 2013 masih akan dicirikan
oleh dominasi kontribusi sektor konsumsi dari sisi penggunaan.
Sementara dari sisi lapangan usaha, pertumbuhan sektor non-
tradable tetap akan lebih menonjol dibandingkan dengan sektor
tradable.
Kontribusi investasi-Pembentukan Modal Tetap
Bruto/PMTB terhadap pertumbuhan ekonomi diperkirakan akan
meningkat. Hal ini terutama didorong oleh terus mengalirnya
investasi langsung dari luar negeri seiring belum pulihnya
kawasan UE dan moderatnya kinerja ekonomi AS. Kinerja ekspor
meskipun diperkirakan akan lebih baik dari tahun ini tetapi
belum dapat pulih sepenuhnya pada 2013 setelah mengalami
defisit neraca perdagangan hingga lima kali sepanjang 2012.
Sementara perkembangan impor barang ke Indonesia pada 2013
vi
diperkirakan akan tetap tinggi. Desakan barang-barang impor
terutama dari China masih akan gencar sebagai akibat terjadinya
pengalihan pasar dari Eropa dan Amerika ke Asia Tenggara,
termasuk Indonesia.
Tingkat inflasi diperkirakan akan cenderung stabil pada
kisaran 4,5 — 5,5 persen pada 2013 (dengan asumsi tidak ada
kenaikan harga BBM). Demikian pula dengan kinerja nilai tukar
rupiah, pada 2013 INDEF memperkirakan rupiah akan berada
pada kisaran Rp9.300 — 9.500 per US$. Beberapa faktor
pendukung stabilitas rupiah, seperti masih cukup stabilnya
indikator makro ekonomi dan masih berlanjutnya aliran arus
modal ke dalam negeri. Cadangan devisa Bank Indonesia yang
lebih dari US$110 miliar juga akan berkontribusi mendorong
stabilnya rupiah tahun depan. Namun, untuk indikator tingkat
pengangguran dan kemiskinan pada 2013 diperkirakan hanya
akan sedikit mengalami penurunan, yakni masing-masing menjadi
sekitar 5,8 persen dan 11,5 persen. Hal ini diakibatkan oleh masih
berlanjutnya pertumbuhan ekonomi yang berkualitas rendah di
tahun depan.
vii
DDDDaftar Isiaftar Isiaftar Isiaftar Isi
Kata PengantarKata PengantarKata PengantarKata Pengantar iiii
Daftar Daftar Daftar Daftar IsiIsiIsiIsi viviviviiiii
Daftar TabelDaftar TabelDaftar TabelDaftar Tabel xxxx
Daftar GambarDaftar GambarDaftar GambarDaftar Gambar xixixixi
BAB IBAB IBAB IBAB I Evaluasi Makro Ekonomi Indonesia 2012Evaluasi Makro Ekonomi Indonesia 2012Evaluasi Makro Ekonomi Indonesia 2012Evaluasi Makro Ekonomi Indonesia 2012 1111
1.1. Pendahuluan 1
1.2. Pertumbuhan EKonomi 3
1.3. Sektor Moneter 5
1.3.1. Inflasi 5
1.3.2. Suku Bunga 7
1.3.3. Nilai Tukar Rupiah 8
1.4. Kinerja Perbankan 10
1.5. Sektor Fiskal 12
1.6. Kinerja Investasi 14
1.7. Sektor Luar Negeri 16
1.8. Pengangguran dan Kemiskinan 21
BAB IIBAB IIBAB IIBAB II Perkembangan Ekonomi GlobaPerkembangan Ekonomi GlobaPerkembangan Ekonomi GlobaPerkembangan Ekonomi GlobaLLLL 23232323
2.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi Global 23
2.2. Perkembangan Sektor Keuangan Internasional 33
2.3. Perkembangan Komoditas Internasional 36
viii
BAB IIIBAB IIIBAB IIIBAB III Reformulasi Kebijakan Anggaran dan Desentralisasi Reformulasi Kebijakan Anggaran dan Desentralisasi Reformulasi Kebijakan Anggaran dan Desentralisasi Reformulasi Kebijakan Anggaran dan Desentralisasi
FiskalFiskalFiskalFiskal
41414141
3.1. Postur APBN 42
3.1.1. Penerimaan Negara 43
3.1.2. Belanja Tidak Produktif 47
3.1.3. Tersandera Subsidi 48
3.1.4. Kecanduan Utang 52
3.1.5. Rendahnya Ruang Fiskal 54
3.1.6. Mandulnya Dana Transfer Daerah 55
3.2. Desentralisasi Fiskal dan Ketimpangan Antar
Wilayah
58
3.2.1. Ketimpangan Antar Wilayah 59
3.2.2. Titik Kritis Desentralisasi 62
BAB IVBAB IVBAB IVBAB IV Kebijakan Investasi dan Kebijakan Investasi dan Kebijakan Investasi dan Kebijakan Investasi dan Agenda InfrastrukturAgenda InfrastrukturAgenda InfrastrukturAgenda Infrastruktur 66665555
4.1. Menata Ulang Kebijakan Investasi 67
4.2. Mengukur Daya Saing Ekonomi 70
4.3. Potret Infrastruktur Nasional 76
4.5. Agenda Mendesak Infrastruktur 84
BBBBBBBBAAAAAAAABBBBBBBB VVVVVVVV PerdaganganPerdaganganPerdaganganPerdagangan BebasBebasBebasBebas dandandandan Lemahnya Lemahnya Lemahnya Lemahnya Daya SaingDaya SaingDaya SaingDaya Saing IndustriIndustriIndustriIndustri 8888888899999999
5.1. Kelemahan Struktural Produk Industri Manufaktur 96
5.2. Urgensi Revitalisasi dan Hilirisasi Industri 101
5.3. Melawan Deindustrialisasi 104
5.4. Strategi Utama Akselerasi Industrialisasi 106
5.4. Solusi Permasalahan Behind the Border Barries 107
BBBBBBBBAAAAAAAABBBBBBBB VVVVVVVVIIIIIIII Strategi Kebijakan PanganStrategi Kebijakan PanganStrategi Kebijakan PanganStrategi Kebijakan Pangan 111111111111111111111111
6.1. Kedaulatan Pangan 112
6.2. Reorientasi Kebijakan Pangan 116
6.3. Prospek dan Tantangan Industri Agribisnis 120
6.3.1. Klasifikasi Industri Agribisnis 121
ix
6.3.2. Industri Primer 121
6.3.3. Industri Pangan Pokok 124
6.3.4. Industri Hortikultura 128
6.3.5. Industri Basis Peternakan 131
6.3.6. Antisipasi Pelaku dan Respons Kebijakan 133
6.4. Rekomendasi Kebijakan 134
BAB VIIBAB VIIBAB VIIBAB VII Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013 111139393939
7.1. Proyeksi Ekonomi Indonesia oleh Lembaga Lain 140
7.2. Pertumbuhan Ekonomi 2013 141
7.3. Inflasi 144
7.4. Nilai tukar 145
7.5. Pengangguran dan Kemiskinan 145
Daftar PustakaDaftar PustakaDaftar PustakaDaftar Pustaka 111147474747
x
DDDDaftar Tabelaftar Tabelaftar Tabelaftar Tabel
Tabel 1.1. Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (persen) 4
Tabel 1.2. Perkembangan Realisasi PMA dan PMDN Menurut Sektor Triwulan III-2012
15
Tabel 1.3. Neraca Perdagangan Indonesia (Juta US$) 17
Tabel 1.4. Nilai Ekspor Indonesia Menurut Sektor (Juta US$) 19
Tabel 1.5. Impor Indonesia Menurut Kelompok Penggunaan Barang Nilai Impor, CIF (Juta US$)
20
Tabel 2.1. Perkembangan PDB Riil, Inflasi, dan Tingkat Pengangguran Terbuka
27
Tabel 3.1. Rencana dan Realisasi Belanja Negara 1990-2011 (triliun Rp)
46
Tabel 3.2. Proporsi Belanja Pemerintah Pusat terhadap Total Belanja 2005-2011
48
Tabel 3.3. Peranan Wilayah/Pulau Dalam Pembentukan PDB Nasional (persen)
58
Tabel 4.1. Penyerapan Tenaga Kerja Indonesia Triwulan III-2012 67
Tabel 4.2. Peringkat Daya Saing Global 72
Tabel 4.3. Peringkat Melakukan Usaha di Indonesia dalam Doing Business 2012-2013
73
Tabel 4.4. Perbandingan Indikator Infrastruktur Beberapa Negara, Tahun 2009
78
Tabel 4.5. Peringkat Kualitas Infrastruktur Indonesia 79
Tabel 5.1. Skema Preferential Trade Agreement Indonesia per 2012 91
Tabel 5.2. Perkembangan Ekspor dan Impor Nonmigas Indonesia dengan Negara Mitra FTA Periode 2011-2012
94
Tabel 5.3. Rekapitulasi Indeks Keterkaitan ke Belakang Industri Manufaktur Indonesia pada Periode 1995-2008
99
Tabel 6.1. Impor Beras Indonesia 115
Tabel 7.1. Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013 INDEF 146
xi
DDDDaftar Gambaraftar Gambaraftar Gambaraftar Gambar
Gambar 1.1. Perkembangan Inflasi Januari — September 2012
(persen) 6
Gambar 1.2. Perkembangan Suku Bunga, Januari-September
2012 (persen) 8
Gambar 1.3. Perkembangan Nilai Tukar, Januari-Oktober 2012 10
Gambar 1.4. Proporsi Kredit Menurut Lapangan Usaha (persen) 12
Gambar 2.1. Perkembangan Harga Komoditas Emas, CPO,
Beras, Kedelai, dan Baja 37
Gambar 3.1. inamika Proporsi Pendapatan Pajak, PNBP dan
Dividen BUMN terhadap Total Pendapatan Negara
2000-2011 (persen) 43
Gambar 3.2. Tax Ratio 1990-2011 (persen) 44
Gambar 3.3. Surplus/Defisit Fiskal 1990-2011 (triliun Rp) 47
Gambar 3.4. Proporsi Subsidi terhadap Total Subsidi 2005-2011
(persen) 48
Gambar 3.5. Belanja Pemerintah Pusat 2005-2011 (triliun Rp) 51
Gambar 3.6. Perkembangan Utang Pemerintah Indonesia
terhadap PDB 2007-2012 52
Gambar 3.7. Cicilan Utang Pemerintah Indonesia 2000-2011 54
Gambar 3.8. Rasio Belanja Pemerintah Pusat dan Transfer
Daerah terhadap Total Belanja Negara 1990-2011
(persen) 56
Gambar 3.9. Komposisi Belanja Transfer Daerah 2003-2011
(persen) 57
Gambar 3.10 Indeks Williamson Untuk PDRB, 2007-2011 59
Gambar 4.1. Realisasi Investasi Langsung (Rp triliun) 66
Gambar 4.2. Rasio Anggaran Infrastruktur terhadap PDB 80
xii
Gambar 4.3. Subsidi Energi Vs Anggaran Infrastruktur (Rp triliun) 81
Gambar 4.4. Perbandingan Luas Wilayah, Penduduk, dan
Infrastruktur, 2011 (persen) 83
Gambar 5.1. Perkembangan Historis Sektor Industri Manufaktur
Indonesia Periode 1984-2010 103
Gambar 6.1. Kinerja Ekonomi Beras 114
1
BAB 1
Evaluasi Makro Ekonomi Indonesia 2012Evaluasi Makro Ekonomi Indonesia 2012Evaluasi Makro Ekonomi Indonesia 2012Evaluasi Makro Ekonomi Indonesia 2012
1.1.1.1.1.1.1.1. PendahuluanPendahuluanPendahuluanPendahuluan
Kinerja makro ekonomi Indonesia sepanjang 2012 relatif
masih menggembirakan, utamanya pertumbuhan ekonomi masih
di atas 6 persen diikuti stabilitas sisi moneter. Di tengah situasi
masih lesunya perekonomian global, pertumbuhan ekonomi
selama Triwulan I sampai Triwulan III 2012 masih mencapai
6,29 persen (yoy). Sayangnya, pencapaian laju pertumbuhan
ekonomi, yang diklaim pemerintah sebagai angka pertumbuhan
tertinggi pada urutan kedua di dunia, tetap belum diikuti oleh
perbaikan kualitas pertumbuhan sektoral.
Laju pertumbuhan sektoral masih didominasi oleh sektor
non-tradable dibanding sektor tradable. Pangsa sektor tradable
terhadap PDB tersalip oleh sektor non-tradable. Sektor
pengangkutan dan komunikasi merupakan sektor dengan laju
pertumbuhan tertinggi, disusul sektor perdagangan, hotel dan
restoran, sektor konstruksi, serta sektor keuangan, real estat dan
jasa perusahaan. Sementara sektor pertanian dan industri
pengolahan relatif stagnan, dengan pertumbuhan yang relatif
rendah. Padahal sektor tradable merupakan sektor padat karya
2
karena menyerap lebih dari separuh tenaga kerja nasional (dari
110,8 juta pekerja). Selain minimnya keberpihakan pemerintah
terhadap sektor ini, juga diakibatkan oleh kecilnya peranan
sektor pembiayaan. Secara nasional maupun regional kredit
perbankan ke sektor tradable tidak lebih dari 25 persen.
Hasilnya, di tengah pertumbuhan ekonomi yang tinggi
namun perekonomian menyimpan problem fundamental yang
cukup gawat, utamanya kemiskinan, ketimpangan pendapatan,
dan pengangguran. Pertama, penurunan jumlah orang miskin
tidak menunjukkan data yang impresif, secara absolut jumlah
orang miskin justru meningkat. Pada 1990, persentase
kemiskinan sebesar 15,1 persen atau setara 27,2 juta jiwa. Pada
2010, menjadi 13,33 persen atau 31,02 juta jiwa dan 2011
hanya turun menjadi 12,49 persen. Kedua, pertumbuhan
ekonomi yang stabil dalam beberapa tahun terakhir justru
menjadi lahan yang subur bagi peningkatan ketimpangan
pendapatan (Rasio Gini). Pada 2002 Rasio Gini baru 0,32; tapi
pada 2010 telah melesat menjadi 0,38 (makin tinggi berarti kian
timpang). Bahkan, pada 2011, rasio Gini Indonesia mencetak
rekor baru menjadi 0,41 (BPS, 2012). Dalam catatan statistik,
semenjak Indonesia melakukan pembangunan secara sistematis
pada 1966 tidak pernah angka Gini Rasio menembus 0,41.
Ketiga, pengangguran terbuka secara sistematis menunjukkan
penurunan (meskipun amat pelan), namun jumlah pekerja yang
tergolong setengah menganggur (bekerja kurang dari 35 jam per
minggu) masih sangat besar, diperkirakan mencapai 30 juta jiwa.
Lebih mengecewakan lagi, jumlah pekerja yang masuk ke sektor
informal terus tumbuh sehingga saat ini mencapai hampir 65,76
persen dari total tenaga kerja (BPS, 2011). Keempat,
ketimpangan daerah. Distribusi PDB masih terpusat di Jawa (57
persen) dan Sumatera (23 persen). Artinya, kemampuan
3
pemerintah untuk mendorong pemerataan pendapatan untuk
seluruh masyarakat di seluruh negeri masih jauh. Upaya
pemerintah untuk meningkatkan peranan wilayah di luar Jawa
masih terhenti oleh berbagai kendala, terutama ketersediaan
infrastruktur dasar maupun infrastruktur energi. Rasio elektrifikasi
nasional baru 75 persen, sedangkan upaya peningkatan
infrastruktur jalan terkendala pada pembebasan lahan.
1.2.1.2.1.2.1.2. Pertumbuhan EkonomiPertumbuhan EkonomiPertumbuhan EkonomiPertumbuhan Ekonomi
Pertumbuhan ekonomi hingga triwulan III 2012 sebesar
6,3 persen (yoy) ditopang oleh sektor non-tradable dengan
sektor pengangkutan dan komunikasi sebagai lokomotifnya. Laju
pertumbuhan sektor pengangkutan dan komunikasi sejak 2007
hinga triwulan III 2012 selalu mengalami pertumbuhan tertinggi,
yaitu sebesar 14,0 persen (2007), 16,6 persen (2008), 15,5
persen (2009), 13,5 persen (2010), 10,7 persen (2011) dan 10,4
persen (Triwulan III 2012). Sementara sektor pertanian dan
industri pengolahan selama triwulan I sampai triwulan III 2012,
masing-masing hanya tumbuh 4,27 persen dan 5,81 persen.
Dari sisi pengeluaran, kontribusi konsumsi rumah tangga
masih mendominasi dalam struktur PDB Indonesia. Di satu sisi
kondisi ini menunjukkan masih kuatnya permintaan domestik.
Namun, jika sektor konsumsi yang terus meningkat tanpa diiringi
oleh produksi yang meningkat secara proporsional, maka yang
terjadi adalah gelembung. Ekonomi tumbuh namun keropos di
dalamnya. Optimisme hadir, ketika sejak awal tahun 2012
pertumbuhan investasi cukup menggembirakan. Selama
Triwulan I sampai Triwulan III 2012, invetasi rata-rata tumbuh
10,77 persen, dan meningkatkan kontribusinya terhadap PDB
lebih dari 30 persen. Sayangnya membaiknya kinerja Investasi
4
tidak diikuti oleh kinerja ekspor yang hanya tumbuh 2,3 persen.
Di tengah lesunya ekspor, pasar dalam negeri justru dibanjiri
oleh barang-barang impor, di mana impor rata-rata meningkat
6,92 persen.
Dengan bertumpunya perekonomian pada sektor
konsumsi dan sektor non-tradable membuat harapan untuk
mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih berkualitas akan
sulit direalisasikan. Pertumbuhan ekonomi yang dicapai tidak
akan menjadi solusi persoalan pengangguran dan kemiskinan.
Oleh karena itu, tantangan terberat pertumbuhan ekonomi ke
depan adalah menggeser proporsi kontribusi sektor konsumsi
dengan investasi, serta mengimbangi pertumbuhan sektor non-
tradable dengan tradable.
Tabel 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (persen)Tabel 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (persen)Tabel 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (persen)Tabel 1.1 Pertumbuhan Ekonomi Indonesia (persen)
Menurut Lapangan UsahaMenurut Lapangan UsahaMenurut Lapangan UsahaMenurut Lapangan Usaha
2012201220122012 RataRataRataRata----
Q1Q1Q1Q1 Q2Q2Q2Q2 Q3Q3Q3Q3 RataRataRataRata
1 Pertanian, Peternakan, dll 4.32 3.68 4.8 4.27 2 Pertambangan dan penggalian 2.82 3.08 -0.09 1.94 3 Industri pengolahan 5.71 5.37 6.36 5.81 4 Listrik, gas dan air bersih 5.24 5.87 5.56 5.56 5 Konstruksi 7.21 7.26 7.98 7.48 6 Perdagangan, hotel & restoran 8.29 8.92 6.91 8.04 7 Pengangkutan dan komunikasi 10.31 10.07 10.48 10.29 8 Keuangan, real estat dan jasa
perusahaan 6.32 7.04 7.41
6.92 9 Jasa-jasa 5.47 5.72 4.44 5.21
Menurut PengeluaranMenurut PengeluaranMenurut PengeluaranMenurut Pengeluaran
1 Konsumsi Rumah Tangga 4.94 4.99 5.68 5.20 2 Konsumsi Pemerintah 5.94 6.96 -3.22 3.23 3 PMTB 9.97 12.31 10.02 10.77 4 Ekspor 7.85 1.88 -2.78 2.32 5 Impor 8.05 10.87 -0.54 6.13
Produk Domestik BrutoProduk Domestik BrutoProduk Domestik BrutoProduk Domestik Bruto 6.326.326.326.32 6.376.376.376.37 6.176.176.176.17 6.296.296.296.29
Sumber: Biro Pusat Statistik, 2012
5
1.3.1.3.1.3.1.3. Sektor Moneter Sektor Moneter Sektor Moneter Sektor Moneter
Secara umum stabilitas moneter selama 2012 masih
cukup terjaga, baik dari sisi inflasi, suku bunga, nilai tukar rupiah
serta perkembangan sektor keungan. Sampai Oktober 2012,
akumulasi inflasi bulanan masih berada di level 3,67 persen
(mtm). Nilai tukar Rupiah sepanjang Januari-September bergerak
pada level Rp 9.000 hingga Rp 9.588 per dollar AS. Level terkuat
terjadi pada Januari Rp 9.000 per dollar AS sedangkan terlemah
pada September Rp9.588 per dollar AS. Tingkat inflasi bergerak
relatif terjaga pada level 4,32 persen per November 2012. BI
Rate stabil pada 5,75 persen sejak Februari hingga November
sedangkan suku bunga Surat Perbendaharaan Negara/SPN untuk
12 November 2012 sekitar 3,725 persen (target pemerintah
APBN-P 2012 sebesar 5 persen).
1.3.1.1.3.1.1.3.1.1.3.1. InflasiInflasiInflasiInflasi
Secara umum tekanan inflasi selama 2012 relatif masih
terjaga, karena selama Januari - November 2012 tingkat inflasi
hanya sebesar 3,67 (mtm). Namun, fluktuasi kenaikan harga
selama 2012 yang cukup tajam membuat kepanikan dan
menggerogoti daya beli masyarakat, terutama yang
berpenghasilan menengah kebawah. Tekanan kenaikan harga
terjadi sejak awal 2012, sebagai dampak ekspektasi inflasi dari
masyarakat akibat kegaduhan wacana kenaikan harga BBM.
Walaupun harga BBM tidak jadi dinaikkan namun hampir
seluruh harga barang telah mengalami kenaikan, dan inflasi
pada bulan Januari mencapai 0,76 persen (mtm). Selanjutnya
selama Februari - Mei 2012 tekanan inflasi mulai mereda.
Namun sejak menjelang bulan Ramadhan Juni 2012, tekanan
inflasi kembali menggerogoti perekonomian.
6
Puncak kenaikan harga terjadi pada Juli dan Agustus,
yaitu pada saat bulan Ramadhan dan Perayaan Hari Raya Idhul
Fitri, di mana kenaikan harga mencapai 0,95 persen (mtm) atau
4,58 persen (yoy). Kelompok bahan makanan mengalami
kenaikan harga terbesar. Selama Juni - Agustus bahan makanan
naik sebesar 1,13 persen. Bahkan kenaikan harga bahan
makanan sudah terjadi jauh sebelum bulan Ramadhan datang.
Penyebabnya, di samping karena meningkatnya permintaan,
juga bersamaan dengan berlangsungnya tahun ajaran baru
sekolah. Kenaikan ini merupakan kenaikan harga tertinggi
dibandingkan dengan musim lebaran tahun-tahun sebelumnya.
Kenaikan harga musiman yang berlebihan menunjukkan
rendahnya antisipasi pemerintah menghadapi pola musiman
yang berlangsung setiap tahun.
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012
Gambar 1.1. Perkembangan Inflasi Januari Gambar 1.1. Perkembangan Inflasi Januari Gambar 1.1. Perkembangan Inflasi Januari Gambar 1.1. Perkembangan Inflasi Januari ———— September 2012 September 2012 September 2012 September 2012
((((persenpersenpersenpersen))))
7
1.3.2.1.3.2.1.3.2.1.3.2. Suku BungaSuku BungaSuku BungaSuku Bunga
Inflasi yang rendah semestinya memberikan stimulus
untuk menurunkan suku bunga. Namun di tengah ketidakpastian
global, otoritas moneter cenderung menahan diri untuk
mempertahankan tingkat suku bunga BI Rate. Pada Januari 2012
BI rate ditetapkan sebesar 6,00 persen. Pada bulan Februari BI
rate diturunkan menjadi 5,75 persen dan bertahan sampai
sekarang. Langkah ini ditempuh BI agar industri perbankan
secara keseluruhan menurunkan suku bunga simpanan maupun
kredit.
Tetapi kebijakan BI tersebut tidak diikuti oleh penurunan
suku bunga perbankan secara signifikan. Suku bunga perbankan
relatif mengalami rigiditas, baik suku bunga simpanan maupun
suku bunga pinjaman. Suku bunga pinjaman tetap berada di
level dua digid. Rigidnya penurunan suku bunga pinjaman ini
utamanya disebabkan oleh tetap tingginya suku bunga
simpanan. Suku bunga deposito 12 bulan per September sekitar
6,97 persen, hanya turun tipis dari 6,17 persen pada bulan yang
sama tahun sebelumnya. Akibatnya, perbaikan suku bunga
simpanan tidak optimal tertransmisikan ke suku bunga pinjaman.
Per September suku bunga kredit modal kerja mencapai 11,71
persen (turun 0,68 persen, yoy), suku bunga kredit investasi
11,36 persen (turun 0,7 persen, yoy) dan suku bunga kredit
konsumsi 13,67 persen (turun 0,59 persen, yoy). Sementara suku
bunga deposito 3 bulan pada September 2012 tetap berada di
level 5,72 persen.
Relatif masih lebarnya spread antara suku bunga
pinjaman dan suku bunga simpanan menunjukkan pasar
keuangan yang belum efisien, sekaligus menunjukkan tingginya
biaya operasional perbankan. Kondisi ini berdampak kurang
8
optimalnya fungsi intermediasi perbankan. Karena beban biaya
bunga masih membebani dunia usaha, akibatnya akses
masyarakat terhadap pembiayan perbankan menjadi terbatas.
Sumber: Bank Indonesia, 2012
Gambar 1.Gambar 1.Gambar 1.Gambar 1.2.2.2.2. Perkembangan Suku BungaPerkembangan Suku BungaPerkembangan Suku BungaPerkembangan Suku Bunga,,,, JanuariJanuariJanuariJanuari----September September September September
2012201220122012 ((((persenpersenpersenpersen))))
1.3.3.1.3.3.1.3.3.1.3.3. Nilai Tukar Rupiah Nilai Tukar Rupiah Nilai Tukar Rupiah Nilai Tukar Rupiah
Selama Triwulan I 2012 nilai tukar rupiah mengalami
pelemahan. Rupiah secara point-to-point melemah sebesar 0,87
persen (qtq) ke level Rp 9.139/US$, secara rata-rata melemah
1,03 persen (qtq) menjadi Rp 9.066/US$. Sedangkan pada
Triwulan II 2012 masih mengalami tekanan depresiasi, namun
dengan volatilitas yang terjaga didukung oleh kebijakan
stabilisasi yang ditempuh Bank Indonesia. Rupiah secara point-
to-point melemah sebesar 2,65 persen (qtq) ke level Rp9.393 per
dolar AS atau secara rata-rata melemah 2,27 persen (qtq)
menjadi Rp9.277 per dolar AS. Pergerakan rupiah yang
cenderung melemah tersebut secara umum masih sejalan
9
dengan pelemahan nilai tukar di kawasan Asia lainnya. Selama
bulan Oktober 2012, nilai tukar Rupiah terhadap Dollar berada
pada kisaran Rp 9.630 — Rp 9680 per dolar AS.
Secara fundamental penyebab pelemahan rupiah tidak
terlepas dari melemahnya kinerja ekspor. Pada Juli - Agustus
Ekspor Indonesia sangat anjlok, bahkan neraca perdagangan
mengalami defisit. Akibatnya, nilai tukar rupiah juga mengalami
depresiasi. Dengan menggunakan sistem nilai tukar yang
fleksibel, konsekuensinya stabilitas nilai tukar tentunya sangat
tergantung pada kinerja neraca perdagangan. Karena besarnya
pasokan devisa yang masuk akan menentukan kecukupan
besarnya kebutuhan valas (valuta asing) untuk impor dan
membayar utang luar negeri.
Di samping neraca perdagangan, faktor yang signifikan
memengaruhi pergerakan nilai tukar adalah Indeks Harga
Saham. IHSG dan rupiah mempunyai hubungan yang positif.
Pada saat IHSG meningkat hal ini menunjukkan peningkatan
antusiasme masyarakat melakukan transaksi di pasar modal.
Karenanya akan mendorong peningkatan permintaan rupiah
untuk membeli saham dalam negeri. Akibatnya, akan
berdampak positif terhadap apresiasi rupiah. Kondisi sebaliknya
terjadi ketika IHSG relatif melemah, maka juga akan diikuti oleh
pelemahan rupiah (Gambar 1.3)
10
Sumber: Bank Indonesia, 2012
Gambar 1.Gambar 1.Gambar 1.Gambar 1.3333. Perkembangan . Perkembangan . Perkembangan . Perkembangan Nilai Tukar, JanuariNilai Tukar, JanuariNilai Tukar, JanuariNilai Tukar, Januari----Oktober 2012Oktober 2012Oktober 2012Oktober 2012
1.4.1.4.1.4.1.4. Kinerja PerbankanKinerja PerbankanKinerja PerbankanKinerja Perbankan
Performa sektor perbankan cukup solid dengan
penghimpunan Dana Pihak Ketiga/DPK mencapai Rp3.049
triliun atau naik 19,85 persen (yoy) dan penyaluran kredit
Rp2.573 triliun atau naik 25,87 persen (yoy). Sayangnya,
peningkatan penyaluran kredit diikuti dengan lonjakan pinjaman
yang belum ditarik debitur (undisbursed loans) mencapai
Rp778,165 triliun per September atau naik 24,48 persen (yoy).
Pertumbuhan undisbursed loans ini hampir setara dengan
kenaikan realisasi kredit.
Indikator kesehatan bank juga masih terjaga dan
cenderung membaik. Sampai September 2012, Capital
Adequacy Ratio/CAR sekitar 17,41 persen (naik dari 0,78 persen,
11
yoy); Loan to Deposit Ratio/LDR 83,33 persen (naik 1,97 persen,
yoy); Biaya Operasional terhadap Pendapatan Operasional/
BOPO 74,26 persen atau turun 12,88 persen (yoy); Net Interest
Margin/NIM 5,45 persen atau turun 0,5 persen (yoy).
Namun demikian, meskipun dari sisi indikator kinerja
keuangan perbankan relatif membaik, masih terdapat sejumlah
tantangan ke depan yang tidak ringan. Salah satu tantangan
tersebut adalah persoalan aksesibilitas masyarakat terhadap
layanan perbankan. Hingga saat ini hanya sekitar 17 persen
penduduk Indonesia yang memeroleh pinjaman dari bank, atau
sekitar 20 persen yang menggunakan akses dari lembaga
keuangan formal. Sekitar 40 persen penduduk masih
menggunakan jasa keuangan informal. Dari sisi simpanan, baru
sekitar 47 persen penduduk menyimpan uangnya di bank (World
Bank, 2010; dalam Bank Indonesia, 2012).
Tantangan lain yang belum terselesaikan oleh sektor
perbankan pada 2012 ini adalah upaya untuk membuat harga
kredit bagi UMKM menjadi lebih kompetitif. Hingga saat ini
pelaku UMKM harus menanggung suku bunga kredit yang relatif
lebih tinggi dari pada usaha besar, yaitu sekitar 30 persen (Bank
Indonesia, 2012). Akibat kurang lenturnya suku bunga kredit ini
membuat daya dukung UMKM terhadap perekonomian menjadi
kurang optimal, padahal sekitar 99 persen kegiatan usaha
masyarakat tergolong kategori UMKM.
Dari sisi proporsionalitas penyaluran kredit perbankan ke
lapangan usaha juga masih harus ditingkatkan, di mana sektor
padat karya/sektor tradable perlu mendapat perhatian lebih dari
perbankan. Hingga Oktober 2012 porsi kredit perbankan
cenderung mengalir ke sektor non-tradable, dengan rincian:
Sektor perdagangan, hotel dan restoran sekitar 33 persen; sektor
12
industri pengolahan 19 persen; sektor keuangan, real estat dan
jasa perusahaan 12 persen; sektor pertanian 9 persen; sektor
pengangkutan, pergudangan dan komunikasi menyerap 6
persen; sektor kontruksi 6 persen; listrik, gas dan air bersih 3
persen; pertambangan 2 persen; dan sektor jasa-jasa 10 persen.
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia-BI, 2012
Gambar 1.4. Proporsi Kredit Menurut Lapangan Usaha (persen)Gambar 1.4. Proporsi Kredit Menurut Lapangan Usaha (persen)Gambar 1.4. Proporsi Kredit Menurut Lapangan Usaha (persen)Gambar 1.4. Proporsi Kredit Menurut Lapangan Usaha (persen)
1.5.1.5.1.5.1.5. Sektor FiskalSektor FiskalSektor FiskalSektor Fiskal
Sektor fiskal masih diwarnai oleh permasalahan klasik,
yaitu postur anggaran yang tidak proporsional. Bahkan pada
2012, APBN terlihat semakin rapuh. Hal ini disebabkan
meningkatnya defisit anggaran yang dibiayai utang serta
disandera membengkaknya anggaran untuk subsidi. Akibatnya,
alokasi anggaran untuk belanja modal (infrastruktur) tetap
memiliki porsi yang rendah. Kondisi ini menyebabkan peran
stimulus fiskal dalam perekonomian sangat terbatas. Hasilnya
peran pemerintah terhadap perekonomian masih sangat rendah,
tidak lebih 10 persen dari PDB. Padahal total anggaran
pemerintah hampir mencapai seperempat dari PDB.
13
Akibat tetap mempertahan kebijakan defisit, Juni 2012
jumlah utang pemerintah mencapai Rp1.950 triliun. Meski rasio
utang terhadap PDB menurun, namun utang per kapita
cenderung meningkat. Dengan jumlah penduduk sekitar 240
juta maka utang per individu mencapai Rp 8 juta. Belanja
pemerintah pusat masih tersandera pada belanja birokrasi.
Belanja pegawai mengambil porsi 21,17 persen; subsidi energi
27,75 persen; sedangkan belanja modal hanya 17,02 persen.
Subsidi nonenergi hanya mengambil porsi di bawah 5 persen
(RAPBN, 2013).
Di samping permasalahan anggaran yang tidak
proporsional, hal itu masih diperparah dengan buruknya pola
penyerapan anggaran. Sampai 31 Oktober 2012 realisasi belanja
negara baru 69,3 persen (Rp1.072,6 triliun dari target Rp1.548,3
triliun). Belanja pemerintah pusat terealisasi 63,7 persen
(Rp681,5 triliun dari target Rp1.069,3 triliun), sedangkan belanja
pegawai dan belanja barang terealisasi 79,4 persen (Rp168,6
triliun dari target Rp212,3 triliun) dan 46,2 persen (Rp86,2 triliun
dari target Rp186,6 triliun). Belanja modal, subsidi BBM dan
subsidi listrik masing-masing terealisasi 43,7 persen (Rp73,7
triliun dari target Rp168,7 triliun); 87,3 persen (Rp120 triliun dari
target Rp137,4 triliun); 98,4 persen (Rp63,9 triliun dari target
Rp65 triliun).
Dalam periode yang sama, realiasasi pendapatan dalam
negeri juga baru mencapai 73,3 persen (Rp995,4 triliun dari
target Rp1.357,4 triliun). Penerimaan perpajakan dan
penerimaan negara bukan pajak terealisasi sekitar 75,6 persen
(Rp767,8 triliun dari target Rp1.016,2 triliun) dan 66,7 persen
(Rp227,6 triliun dari target Rp341,1 triliun). Satu bagian penting
dari sektor fiskal adalah penyerapan anggaran yang rendah.
14
1.6.1.6.1.6.1.6. Kinerja Investasi Kinerja Investasi Kinerja Investasi Kinerja Investasi
Data dari Badan Koordinasi dan Penanaman Modal
(BKPM) selama Januari - September 2012 menunjukkan realisasi
Investasi mencapai Rp 229,9 triliun. Pencapaian ini diklaim
mencatat rekor tertinggi dalam sejarah perekonomian Indonesia.
Apalagi prestasi ini dicapai di saat kondisi perekonomian dunia
sedang mengalami krisis. Sayangnya pertumbuhan investasi
masih didominasi oleh investasi asing. Realisasi investasi asing
(PMA) di luar investasi Migas, Perbankan, Lembaga Keuangan
Non Bank, Asuransi, Sewa Guna Usaha dan Industri Rumah
Tangga mencapai Rp 164,2 triliun. Total PMA yang ditergetkan
sampai akhir 2012 sebesar Rp 206,8 triliun, jadi tinggal tersisa
Rp 42,6 triliun untuk mencapai target tersebut. Target tersebut
sangat mungkin bisa dicapai, mengingat sampai saat ini sudah
79 persen dana yang ditargetkan telah didapatkan. Sementara
investasi dalam negeri (PMDN) hanya mencapai Rp 65,7 triliun.
Pada Triwulan III 2012, Penanaman Modal Asing (PMA)
mencapai USD 6,3 miliar, naik 21,73 persen (yoy). Menurut
besaran proyek, sektor primer menciptakan 259 proyek (21
persen); sektor sekunder dan tersier masing-masing 419 proyek
(33,98 persen); dan 555 proyek (45 persen). Pertumbuhan nilai
PMA pada sektor sekunder selama Triwulan III 2012 mencapai
62,29 persen, sedangkan pertumbuhan proyek mengalami
kontraksi sebesar 11,04 persen (yoy). Pertumbuhan nilai PMA
pada sektor primer sebesar 14,32 persen (yoy), sedangkan untuk
sektor tersier mengalami pertumbuhan negatif sebesar 12,13
persen (yoy). Sementara itu, pertumbuhan proyek pada sektor
primer dan sektor tersier masing-masing adalah 7,92 persen
(yoy) dan 5,71 persen (yoy).
15
Kondisi yang berbeda terjadi pada PMDN. Realisasi
PMDN sebesar 69,43 persen berada pada sektor sekunder dan
17,39 persen lainnya pada sektor tersier. Sektor primer
menyerap 13,17 persen. Sebanyak 48,18 persen proyek PMDN
berada pada sektor sekunder sedangkan sektor primer dan tersier
masing-masing 32 persen dan 19,80 persen. Penyebaran proyek
PMDN pada sektor primer terutama pada subsektor tanaman
pangan dan perkebunan mengambil porsi 7,69 persen dari total
PMDN, sedangkan pada sektor sekunder adalah industri mineral
non logam sebesar 23,48 persen dan industri makanan sebesar
18,23 persen. Dua subsektor penyerap investasi PMDN pada
sektor tersier adalah konstruksi 7,56 persen dan listrik, gas dan
air 5,38 persen.
TabelTabelTabelTabel 1.21.21.21.2. . . . Perkembangan Realisasi PMA dan PMDN Menurut Perkembangan Realisasi PMA dan PMDN Menurut Perkembangan Realisasi PMA dan PMDN Menurut Perkembangan Realisasi PMA dan PMDN Menurut
Sektor Triwulan IIISektor Triwulan IIISektor Triwulan IIISektor Triwulan III----2012201220122012
2012 : Q32012 : Q32012 : Q32012 : Q3 PangsaPangsaPangsaPangsa Pertumbuhan (yoy)Pertumbuhan (yoy)Pertumbuhan (yoy)Pertumbuhan (yoy)
PPPP NNNN PPPP NNNN PPPP NNNN
PMA (USD Juta)PMA (USD Juta)PMA (USD Juta)PMA (USD Juta)
Sektor Primer 259 1.350 21,01 21,48 7,92 14,318
Sektor Sekunder 419 3.134 33,98 49,85 -11,04 62,29
Sektor Tersier 555 1.802 45,01 28,67 5,71 -12,13
Jumlah 1.233 6.286 - - -0,24 21,73
PMDN (Rp Miliar)PMDN (Rp Miliar)PMDN (Rp Miliar)PMDN (Rp Miliar)
Sektor Primer 97 3.321 32,01 13,17 5,43 -37,61
Sektor Sekunder 146 17.503 48,18 69,43 -10,43 104,52
Sektor Tersier 60 4.385 19,80 17,39 -4,76 -13,73
Jumlah 303 25.208 - - -4,72 32,93
Sumber: Diolah dari Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2012
Keterangan: P = banyak proyek ; N = nilai proyek
16
Selanjutnya berdasarkan distribusi wilayah, nilai PMA
dan proyek masih mengikuti pola yang serupa dari periode-
periode sebelumnya, dengan dominasi Jawa. Pada Triwulan III
2012 Jawa menyerap 46,96 persen dari total proyek, sedikit
menurun dibandingkan triwulan yang sama tahun sebelumnya
66,65 persen. Sumatera menyerap nilai proyek sekitar 18,66
persen; Bali dan Nusa Tenggara 6,11 persen; Kalimantan 16,97
persen; Maluku dan Papua masing-masing 0,8 persen dan 0,15
persen. Dari sisi distribusi proyek dijelaskan sebagai berikut:
Jawa menyerap 52,88 persen dari total proyek; Sumatera 13,63
persen; Bali dan Nusa Tenggara 12,17 persen; Kalimantan 11,44
persen; Sulawesi, Maluku dan Papua masing-masing 7,54
persen; 0,97 persen dan 1,38 persen.
1.7.1.7.1.7.1.7. Sektor Luar Negeri Sektor Luar Negeri Sektor Luar Negeri Sektor Luar Negeri
Neraca Perdagangan Indonesia pada 2012 mencetak
prestasi terburuk. Sejak 2007 — 2011 neraca perdagangan
Indonesia mengalami surplus. Bahkan pada saat krisis ekonomi
sedang melanda dunia 2008, neraca perdagangan Indonesia
masih surplus US$7.832 juta. Namun, Oktober 2012, kondisi
neraca perdagangan Indonesia telah mencapai titik terparah
dengan mencapai defisit sebesar US$516,1 juta (BPS, 2012).
Defisit neraca perdagangan pada periode Januari-
Oktober 2012 lebih disebabkan oleh hantaman pada sektor
migas yang mengalami defisit sebesar US$3.159,2 juta atau
turun sebesar 465.1 persen dibanding periode yang sama pada
2011. Selain itu, defisit neraca perdagangan juga disebabkan
oleh penurunan ekspor nonmigas sebesar 3,42 persen
dibanding September 2012 atau turun 5,7 persen dibanding
periode Januari-Oktober 2011. Di saat yang bersamaan nilai
17
impor justru meningkat signifikan, yaitu sebesar 12,35 persen
dibanding September 2012 atau meningkat 11,10 persen
dibanding periode yang sama pada 2011. Walaupun selama
periode Januari - Oktober 2012 neraca perdagangan sektor
nonmigas tercatat masih surplus sebesar US$2.643,1 juta,
namun tidak cukup untuk menutupi besarnya defisit pada sektor
migas, sehingga penurunan neraca perdagangan sebesar 102,2
persen (yoy) yang menyebabkan defisit sebesar US$516,1 juta
tidak dapat dihindari.
Tabel 1.Tabel 1.Tabel 1.Tabel 1.3. 3. 3. 3. Neraca Perdagangan Indonesia (Juta US$)Neraca Perdagangan Indonesia (Juta US$)Neraca Perdagangan Indonesia (Juta US$)Neraca Perdagangan Indonesia (Juta US$)
DeskrDeskrDeskrDeskripsiipsiipsiipsi 2007200720072007 2008200820082008 2009200920092009 2010201020102010 2011201120112011 JanuariJanuariJanuariJanuari----OktoberOktoberOktoberOktober Perubahan Perubahan Perubahan Perubahan
2011201120112011----2012 (%)2012 (%)2012 (%)2012 (%)
2011201120112011 2012201220122012
EksporEksporEksporEkspor 114.100,9 137.020,4 116.510,0 157.779,1 203.496,6 169.183,5 158.664,3 -6,22
Migas 22.088,6 29.126,3 19.018,3 28.039,6 41.477,0 34.469,3 31 631,3 -8,23
Nonmigas 92.012,3 107.894,2 97.491,7 129.739,5 162.019,6 134.714,2 127.033,0 -5,70
ImporImporImporImpor 74.473,4 129.197,3 96.829,2 135.663,3 177.435,6 145.566,0 159.180,4 9,35 Migas 21.932,8 30.552,9 18.980,7 27.412,7 40.701,5 33.604,0 34.790,5 3,53
Nonmigas 52.540,6 98.644,4 77.848,5 108.250,6 136.734,0 111.962,0 124.389,9 11,10
NeracaNeracaNeracaNeraca 39.627,5 7.823,1 19.680,8 22.115,8 26.061,1 23.617,5 -516.1 -102,2
Migas 155,7 -1.426,6 37,5 626,9 775,5 865,3 -3.159,2 -465,1
Nonmigas 39.471,7 9.249,7 19.643,2 21.488,9 25.285,5 22.752,2 2.643,1 -88,4
Sumber: Badan Pusat Statistik, diolah (2012)
Secara keseluruhan, pada 2012 tercatat Indonesia telah
mengalami lima kali defisit neraca perdagangan, yaitu pada
April (US$0,76 miliar), Mei (US$0,21 miliar), Juni (US$1,28
miliar), Juli (US$0,26 miliar) dan yang terbesar adalah Oktober
(US$1,54 miliar). Kinerja perdagangan pada 2012 ini merupakan
yang terburuk sejak krisis ekonomi 1998. Pukulan defisit neraca
perdagangan pada Oktober 2012 membuat nilai neraca
keseluruhan 2012 mengalami defisit. Ancaman defisit akan terus
berlanjut apabila Indonesia tidak segera melakukan evaluasi dan
mengambil langkah-langkah untuk meng-counter dampak dari
krisis Uni Eropa dan belum pulihnya perekonomian AS.
18
Semakin terpuruknya kinerja perdagangan Indonesia, di
samping dipengaruhi lemahnya permintaan dunia juga akibat
menurunnya daya saing Indonesia. Hal ini terlihat dari
pertumbuhan ekspor sektor industri pada periode Januari-
Oktober 2012 menurun sebesar 5,3 persen dibanding periode
yang sama tahun 2011. Padahal sektor industri selama ini
menyumbang lebih dari 60 persen terhadap total ekspor
Indonesia. Jadi apabila terjadi guncangan pada performa ekspor
sektor industri maka besar kemungkinan akan menggangu
kinerja ekspor secara keseluruhan.
Penurunan ekspor juga terjadi pada sektor pertambangan
dan migas, yaitu masing-masing sebesar 9,53 persen dan 8,23
persen dibanding periode yang sama 2011. Kontribusi kedua
sektor tersebut terhadap total ekspor mencapai 36,2 persen.
Peningkatan ekspor pada sektor pertanian sebesar 10,54 persen
(Jan-Okt 2012) seakan tidak bermakna apa-apa mengingat
kecilnya nilai kontribusi ekspor sektor ini yang tidak lebih dari 3
persen terhadap total ekspor.
Dalam perspektif sektoral, realisasi perkembangan ekspor
Indonesia selama periode 2011-2012 mengilustrasikan bahwa
ekspor produk pertanian merupakan klasifikasi produk ekspor
yang masih prospektif dikarenakan tingkat pertumbuhan yang
positif, namun perlu diingat bahwa sektor pertanian merupakan
kumpulan dari berbagai komoditas primer yang memiliki nilai
tambah (value added) rendah. Oleh sebab itu, sangat rentan
apabila terlalu mengandalkan sektor pertanian sebagai tulang
punggung ekspor.
19
Tabel Tabel Tabel Tabel 1.4. 1.4. 1.4. 1.4. Nilai Ekspor Indonesia Menurut Sektor (Juta US$)Nilai Ekspor Indonesia Menurut Sektor (Juta US$)Nilai Ekspor Indonesia Menurut Sektor (Juta US$)Nilai Ekspor Indonesia Menurut Sektor (Juta US$)
UraianUraianUraianUraian Nilai FOB (Juta US$)Nilai FOB (Juta US$)Nilai FOB (Juta US$)Nilai FOB (Juta US$) % Perubahan % Perubahan % Perubahan % Perubahan
JaJaJaJannnn----Okt 2012 Okt 2012 Okt 2012 Okt 2012
thd 2011thd 2011thd 2011thd 2011
% Peran % Peran % Peran % Peran
thd Totalthd Totalthd Totalthd Total
JanJanJanJan----Okt Okt Okt Okt
2012201220122012
JanJanJanJan----Okt Okt Okt Okt
2011201120112011
JanJanJanJan----Okt Okt Okt Okt
2012201220122012
Total EksporTotal EksporTotal EksporTotal Ekspor 169.183,5 158.664,3 -6,22 100
MigasMigasMigasMigas 34.469,3 31.631,3 -8,23 19,94
NonmigasNonmigasNonmigasNonmigas 134.714,2 127.033,0 -5,70 80,06
- Pertanian 4.219,5 4.664,3 10,54 2,94
- Industri 101.973 96.565,1 -5,30 60,86
- Pertambangan dan Lainnya 28.521,7 25.803,6 -9,53 16,26
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012
Selain karena penurunan kinerja ekspor, defisit neraca
perdagangan Indonesia juga disebabkan karena lonjakan impor.
Nilai impor Indonesia pada Oktober 2012 mencapai
US$17.214,3 juta atau naik US$1.865,7 juta (12,16 persen)
dibanding impor September 2012. Hal tersebut dipicu oleh
kenaikan impor nonmigas sebesar US$1.470,6 juta (12,35
persen) dan juga kenaikan impor migas sebesar US$395,1 juta
(11,48 persen). Lebih lanjut peningkatan impor migas
disebabkan oleh naiknya impor minyak mentah dan hasil
minyak masing-masing sebesar US$294,9 juta (37,86 persen)
dan US$79,7 juta (3,24 persen). Sementara itu, impor migas dari
golongan gas juga mengalami peningkatan 10,01 persen atau
US$20,5 juta.
Selama Januari - Oktober 2012, nilai impor Indonesia
mencapai US$159.180,4 juta. Hal ini berarti impor Indonesia
mengalami peningkatan sebesar US$13.614,4 juta atau 9,35
persen jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun
sebelumnya. Peningkatan terjadi pada impor migas sebesar
US$1.186,5 juta atau 3,53 persen. Sementara itu, impor non
migas juga meningkat sebesar US$12.427,9 juta atau 11,10
20
persen. Secara lebih rinci peningkatan impor migas lebih
disebabkan oleh peningkatan impor minyak mentah dan gas
masing-masing sebesar US$144,0 juta (1,62 persen) dan
US$1.278,3 juta (109,51 persen). Sebaliknya, impor hasil
minyak turun US$235,8 juta atau 1,00 persen.
Struktur impor selama 2012 tidak banyak mengalami
perubahan dibandingkan dengan periode-periode sebelumnya.
Impor bahan baku dan penolong untuk industri memberikan
peranan terbesar, yaitu 73,04 persen atau dengan nilai
US$116.270,8 juta. Diikuti oleh impor barang modal sebesar
20,02 persen (US$31.862,4 Juta) dan impor barang konsumsi
sebesar 6,94 persen (US$ 11.047,2 juta).
Tabel Tabel Tabel Tabel 1111....5.5.5.5. Impor Indonesia Menurut Kelompok Penggunaan Impor Indonesia Menurut Kelompok Penggunaan Impor Indonesia Menurut Kelompok Penggunaan Impor Indonesia Menurut Kelompok Penggunaan
BarangBarangBarangBarangNilai Impor, CIF (Juta US$)Nilai Impor, CIF (Juta US$)Nilai Impor, CIF (Juta US$)Nilai Impor, CIF (Juta US$)
Penggunaan Penggunaan Penggunaan Penggunaan Kelompok Kelompok Kelompok Kelompok BarangBarangBarangBarang
Nilai Impor, CIF (Juta US$)Nilai Impor, CIF (Juta US$)Nilai Impor, CIF (Juta US$)Nilai Impor, CIF (Juta US$) Perubahan (%)Perubahan (%)Perubahan (%)Perubahan (%) Peran Peran Peran Peran thd thd thd thd
Impor Impor Impor Impor JanJanJanJan————Okt Okt Okt Okt 2012201220122012 (%)(%)(%)(%)
SeptSeptSeptSept....
2012201220122012
OktOktOktOkt....
2012201220122012
JanJanJanJan----Okt Okt Okt Okt
2011201120112011
JanJanJanJan----Okt Okt Okt Okt
2012201220122012
Okt Okt Okt Okt thd thd thd thd Sep Sep Sep Sep
(2012)(2012)(2012)(2012)
JanJanJanJan----Okt Okt Okt Okt ’12 thd 12 thd 12 thd 12 thd JanJanJanJan----Okt Okt Okt Okt
’11111111
Total Impor 15.348,6 17.214,3 145.566,1 159.180,4 12,16 9,35 100,0
Barang
Konsumsi 1.082,6 1.058,0 11.195,7 11.047,2 -2,27 -1,33 6,94
Bahan baku
dan
penolong
11.466,9 12.848,1 108.225,3 116.270,8 12,05 7,43 73,04
Barang
Modal 2.799,1 3.308,2 26.145,1 31.862,4 18,19 21,87 20,02
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012
Jika dibandingkan periode sebelumnya, maka selama
Januari - Oktober nilai impor untuk kelompok bahan baku dan
penolong dan barang modal mengalami peningkatan. Impor
bahan baku dan penolong untuk industri meningkat 7,43 persen
dan impor barang modal meningkat sebesar 21,87 persen. Di
21
lain hal impor barang konsumsi mengalami penurunan sebesar
1,33 persen.
Ironisnya, walaupun terjadi peningkatan pada impor
bahan baku dan penolong untuk industri, namun tidak diikuti
dengan peningkatan ekspor sektor industri. Ekspor sektor industri
justru menurun di saat impor bahan baku dan penolong
meningkat dengan pangsa yang semakin besar, khususnya pada
September - Oktober 2012. Hal ini menunjukkan bahwa sektor
industri dalam negeri tidak mampu mengembalikan produk yang
telah diimpor -sebagai input industri- dalam bentuk ekspor
barang jadi.
1.8.1.8.1.8.1.8. Pengangguran dan KePengangguran dan KePengangguran dan KePengangguran dan Kemiskinanmiskinanmiskinanmiskinan
Tingginya pertumbuhan ekonomi ternyata tidak diikuti
oleh tingkat kesejahteraan masyarakat secara signifikan.
Terbukti, hingga Agustus 2012 jumlah pengangguran masih 7,24
juta orang; jumlah penduduk miskin masih sebanyak 29,13 juta
orang; serta indeks Rasio Gini naik dari 0,33 pada 2004
menjadi 0,41 pada 2011, yang menggambarkan pertumbuhan
ekonomi yang dicapai masih bersifat eksklusif, yang didorong
dan dinikmati golongan tertentu saja.
Tingkat Pengangguran Terbuka/TPT per Agustus 2012
menjadi 6,14 persen turun dari dari 6,32 persen per Februari
2012. Hanya saja porsi tenaga kerja informal masih sangat
dominan sekitar 62,7 persen. Perhitungan orang bekerja pun
masih memunculkan perdebatan yang mengkalkulasi
berdasarkan lama kerja satu jam dalam seminggu terakhir
(negara lain minimal 15 jam dalam seminggu). Belum lagi
masalah maraknya tenaga kerja outsourcing yang seringkali
mengesampingkan hak-hak karyawan.
22
Sampai Maret 2012, jumlah penduduk miskin turun
menjadi 29,13 juta (turun dari 30,02 juta per Maret 2011). Dari
segi persentase, tingkat kemiskinan per Maret menjadi 11,96
persen membaik dari 12,49 persen. Persentase penduduk miskin
menurut wilayah adalah sebagai berikut: Jawa (11,56 persen);
Sumatera (12,07 persen); Kalimantan (6,69 persen); Sulawesi
(11,78 persen); Bali dan Nusa Tenggara (15,11 persen); serta
Maluku dan Papua (24,77 persen).
23
BAB 2
Perkembangan Ekonomi GlobalPerkembangan Ekonomi GlobalPerkembangan Ekonomi GlobalPerkembangan Ekonomi Global
2.1. 2.1. 2.1. 2.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi GlobalPerkembangan Pertumbuhan Ekonomi GlobalPerkembangan Pertumbuhan Ekonomi GlobalPerkembangan Pertumbuhan Ekonomi Global
Perkembangan ekonomi global sepanjang 2012 masih
dihadapkan pada perlambatan pemulihan krisis negara-negara
utama dunia. Kondisi di negara maju digambarkan masih terbelit
tingginya beban utang pemerintah, proses penyesuaian neraca
perusahaan, serta lambannya pemulihan fungsi sektor keuangan.
Peranan stimulus fiskal juga semakin menipis sehingga
pemulihan ekonomi lamban dan mendorong lonjakan angka
pengangguran.
Dari sisi kebijakan moneter, sebagian besar negara-
negara maju masih melanjutkan kebijakan yang bersifat
akomodatif. Dua kebijakan yang popular sepanjang 2012 adalah
kebijakan memertahankan suku bunga kebijakan rendah serta
kebijakan penggelontoran dana ke perekonomian melalui
quantitative easing. Kebijakan suku bunga rendah dapat
dilanjutkan karena meredanya inflasi dari sektor energi. Harga
minyak mentah masih bergerak di bawah asumsi negara-negara
di dunia sehingga mengurangi potensi lonjakan inflasi. Selain itu
tekanan dari harga komoditas pangan juga cenderung kecil
meski dalam beberapa bulan mengalami tekanan berarti.
24
Fed Fund rate hingga Triwulan III-2012 stabil pada level
0,25 persen. Angka tersebut tidak bergerak sejak 2008.
Sementara Selic rate (Brazil) menurun menjadi 7,5 persen dari
posisi 8,5 persen pada Triwulan II-2012. Refinancing rate
(kawasan Eropa) pada Triwulan III-2012 menyusut sekitar 0,25
persen dari periode sebelumnya, menjadi 0,75 persen sedangkan
bank rate (Inggris) sebesar 0,5 persen. Persis dengan AS, suku
bunga acuan di Inggris tidak bergerak sejak 2009. Fenomena
yang serupa juga terjadi pada negara-negara Asia. China
mengoreksi lending rate menjadi 6 persen pada Triwulan III-
2012 dari posisi 6,31 persen. Reserve repo rate India stabil pada
angka 8 persen untuk mengakomodasi tekanan inflasi yang
masih tinggi. Jepang (O/N call target) dan Korea (call rate)
memiliki suku bunga acuan 0,1 persen dan 3 persen. Suku
bunga acuan Jepang stabil sejak 2009. BI rate (Indonesia) pada
akhir Triwulan III-2012 mencapai 5,75 persen sedangkan
Malaysia (O/N rate), Filipina (O/N rate) dan Thailand (Repo rate)
masing-masing 3 persen; 3,75 persen; dan 3 persen.
Pada bagian lain eksekusi kebijakan quantitative easing
dilakukan oleh beberapa negara di Uni Eropa/UE, Amerika
Serikat/AS, dan Jepang. Bank Indonesia (2012) mewartakan pada
6 September 2012 European Central Bank/ECB
mengimplementasikan program sejenis quantitative easing
bernama Outright Monetary Transactions/OMTs sedangkan AS
melanjutkan program sejenis untuk jilid III pada 13 September
2012. Program kali ini berupa pembelian aset pasar keuangan
berdurasi panjang. Pada 19 September 2012, bank sentral
Jepang (BOJ) meningkatkan program Asset Purchase Program
sebesar 10 Triliun Yen. Dana tersebut terutama diarahkan untuk
pembelian surat utang pemerintah.
25
Negara-negara pasar berkembang (emerging markets)
yang selama ini menjadi penopang pemulihan ekonomi global
turut tertarik dalam perlambatan pertumbuhan ekonomi.
Tekanan tersebut terutama muncul dari perlambatan ekspor dan
impor serta kecenderungan penurunan aliran dana asing.
Pertumbuhan ekonomi yang rendah dan ketidakpastian negara-
negara maju berpengaruh signifikan terhadap kinerja ekonomi
negara emerging markets dan negara berkembang melalui jalur
perdagangan dan keuangan.
Data neraca transaksi berjalan beberapa negara telah
menunjukan defisit. Angka defisit yang terbentuk pada 2012
diproyeksi telah menembus ambang batas aman 3 persen. Dua
negara yang mengalami kondisi demikian adalah Australia (4,6
persen menjadi 5,1 persen pada 2013) dan India (3,9 persen
menjadi 3,5 persen pada 2013). Selain Australia dan India yang
mencetak defisit neraca transaksi berjalan pada 2012, Indonesia
dan Vietnam diperkirakan mengalami kondisi serupa dengan
angka masing-masing 0,4 persen dan 0,6 persen. Pada 2013,
defisit neraca transaksi berjalan Indonesia dan Vietnam
diprognosa menembus 1 persen dan 2,6 persen.
Penguatan peranan perekonomian internal menjadi salah
satu upaya negara-negara emerging markets untuk menahan
perlambatan pertumbuhan ekonomi. Dari empat negara dengan
jumlah penduduk terbesar, tiga di antaranya merupakan negara
emerging markets sehingga memungkinkan untuk memacu
sektor konsumsi domestik. China berpenduduk 1,354 miliar;
India 1,214 miliar; Amerika Serikat 317,6 juta; dan Indonesia
233 juta (World Economic Forum, 2012). Sayangnya, upaya
tersebut tidak sepenuhnya berhasil karena besarnya integrasi
ekspor dalam struktur PDB negara-negara emerging market.
Sejak krisis keuangan global, yang diikuti dengan krisis utang di
26
Eropa permintaan ekspor dari negara-negara emerging market
menurun signifikan. Kinerja ekspor tertekan semakin dalam
karena penurunan harga komoditas internasional.
Defisit fiskal dunia negara maju diproyeksi sekitar 5,9
persen dari Produk Domestik Bruto/PDB hingga akhir 2012,
sedangkan pada 2013 sekitar 4,9 persen. Proyeksi fiskal negara-
negara maju pada 2012 adalah sebagai berikut: Amerika Serikat
(-8,7 persen); Uni Eropa (-3,3 persen); Perancis (-4,7 persen);
Jerman (-0,4 persen); Mesir (-7,5 persen); Irlandia (-8,3 persen);
Portugal (-5,0 persen); Jepang (-10 persen); Inggris (-8,2 persen)
dan Kanada (-3 persen). Sementara kondisi fiskal emerging
market relatif lebih aman. Defisit fiskal emerging market
diperkirakan 1,9 persen; Asia 2,9 persen; China 1,3 persen; dan
India lebih buruk pada level 9,5 persen (International Monetary
Fund/IMF, 2012).
Indikator pertumbuhan PDB riil 2012 diproyeksi
cenderung memburuk pada beberapa negara utama dunia, tetapi
cenderung membaik pada 2013. IMF (2012) memerkirakan PDB
riil AS pada akhir 2012 mencapai 2,2 persen, sedangkan UE
masih berkontraksi hingga -0,4 persen. Survei keyakinan
konsumen AS sempat membaik (dari 68,4 persen Oktober
menjadi 72,2 per November) sejalan dengan pesta demokrasi
yang memenangkan incumbent. Ekonomi Jepang pada 2012
diprognosa naik 2,2 persen dengan tingkat pengangguran 4,5
persen. Perbaikan kinerja ekonomi Jepang sejalan dengan
pemulihan pascagempa pada beberapa provinsi utama di Jepang
seperti Kanto Region di sekitar Tokyo. Provinsi ini menyumbang
40 persen terhadap PDB Jepang.
27
Tabel Tabel Tabel Tabel 2.1. 2.1. 2.1. 2.1. Perkembangan PDB Riil, Inflasi, dan Tingkat Perkembangan PDB Riil, Inflasi, dan Tingkat Perkembangan PDB Riil, Inflasi, dan Tingkat Perkembangan PDB Riil, Inflasi, dan Tingkat
Pengangguran TerbukaPengangguran TerbukaPengangguran TerbukaPengangguran Terbuka
PDB Riil (%)PDB Riil (%)PDB Riil (%)PDB Riil (%) Inflasi (%) Inflasi (%) Inflasi (%) Inflasi (%) %TPT%TPT%TPT%TPT
2011201120112011 2012201220122012 2013201320132013 2011201120112011 2012201220122012 2013201320132013 2011201120112011 2012201220122012 2013201320132013
Amerika Serikat 1,8 2,2 2,1 3,1 2 1,8 9 8,2 8,1
Uni Eropa 1,4 -0,4 0,2 2,7 2,3 1,6 10,2 11,2 11,15
Jerman 3,1 0,9 0,9 2,5 2,2 1,9 6 5,2 5,3
Perancis 1,7 0,1 0,4 2,1 1,9 1 9,6 10,1 10,5
Italia 0,4 -2,3 -0,7 2,9 3 1,8 8,4 10,6 11,1
Spanyol 0,4 -1,5 -1,3 3,1 2,4 2,4 21,7 24,9 25,1
Belanda 1,1 -0,5 0,4 2,5 2,2 1,8 4,4 5,2 5,7
Portugal -1,7 -3 -1 3,6 2,8 0,7 12,7 15,5 16
Inggris 0,8 -0,4 1,1 4,5 2,7 1,9 8 8,1 8,1
Jepang -0,8 2,2 1,2 -0,3 0 -0,2 4,6 4,5 4,4
China 9,2 7,8 8,2 5,4 3 3 4,1 4,1 4,1
Singapura 4,9 2,1 2,9 5,2 4,5 4,3 2 2,1 2,1
Indonesia 6,5 6 6,3 5,4 4,4 5,1 6,6 6,2 6,1
Thailand 0,1 5,6 6 3,8 3,2 3,3 0,7 0,7 0,7
Malaysia 5,1 4,4 4,7 3,2 2 2,4 3,1 3,1 3
Filipina 3,9 4,8 4,8 4,7 3,5 4,5 7 7 7
Sumber: Diolah dari International Monetary Fund, 2012
2012 dan 2013 adalah proyeksi
Kawasan Uni Eropa/UE berkutat pada pemburukan
sovereign debt crisis (risiko yang menunjukkan persepsi pelaku
pasar terhadap perekonomian domestik), terutama di Spanyol
dan Italia. Masalah tersebut bermuara pada kinerja sektor
keuangan di UE secara menyeluruh melalui ketersediaan
likuiditas dan ketidakmampuan membayar utang (insolvency).
Upaya mengangkat UE dari kubangan krisis telah banyak
dilakukan oleh pemimpin di negara pengguna Euro tersebut.
Pada pertemuan European Council di Brussels per 29 Juni 2012
28
dirumuskan berbagai langkah untuk mengatasi krisis dan
meningkatkan tata kelola di UE.
Secara rinci beberapa persoalan yang dibahas dalam
pertemuan tersebut adalah krisis utang, kelemahan sektor
keuangan, pertumbuhan yang rendah, ketidakseimbangan
makroekonomi, memperlambat pemulihan ekonomi dan
menciptakan risiko stabilitas. Kesemua hal tersebut diarahkan
untuk menekan tingkat pengangguran di kawasan tersebut. Data
ECB Calculation Eurostat Data menunjukkan tingka
pengangguran di UE mencapai 11,6 persen pada September
2012 naik dari 11,2 persen per April 2012. IMF memroyeksi
PDB riil UE masih terkoreksi 0,4 persen dengan tingkat inflasi
2,3 persen. Tingkat Pengangguran Terbuka per 2012 masih di
atas 10 persen.
Pemulihan ekonomi EU diperkirakan masih jauh dari
kenyataan. Jerman dan Perancis sebagai dua negara penopang
ekonomi kawasan tersebut mengalami perlambatan performa.
Data publikasi Biro Statistik Jerman (2012) menunjukkan
pertumbuhan ekonomi Jerman hingga Triwulan III-2012 yang
hanya naik 0,2 persen (yoy). Pertumbuhan ekspor Jerman
semakin melambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan
impornya. Sementara kontribusi perekonomian domestik relatif
solid dengan dukungan sektor konsumsi.
Dalam publikasi Nielsen Global Survey of Consumer
Confidence and Spending Intentions (2012) per Triwulan I-2012
tingkat kepercayaan konsumen Jerman relatif membaik pada
level 90 persen masih berada di bawah level optimis. Angka
tersebut setara dengan Israel (89), Selandia Baru (91), Argentina
(91), dan Pakistan (91). Dalam publikasi Nielsen ditampikan juga
beberapa negara dengan tingkat kepercayaan konsumen terbaik
29
yaitu India (123); Saudia Arabia (119); Indonesia (118); Hong
Kong (103); United Arab Emirates (105); Malaysia (107);
Thailand (107) dan Peru (101).
Spanyol sebagai salah satu biang krisis EU semakin
tertekan sejalan dengan penurunan peringkat utang jangka
panjang oleh Moody Investor Service per 25 Juni 2012. The
Economist (2012) menjelaskan bahwa pada 20 Mei imbal hasil
obligasi Pemerintah Spanyol di atas 6,6 persen, di mana level
tersebut telah setara dengan Yunani, Irlandia dan Portugal.
Rating obligasi Pemerintah Spanyol turun dari A3 menjadi Baa3.
Bersamaan dengan itu Moody juga menurunkan peringkat
deposit 28 bank Spanyol. Kondisi tersebut semakin buruk sebab
sebagian besar perusahaan Spanyol dan semua bank di negara
tersebut telah terputus dengan dukungan dana asing. Indeks
kepercayaan konsumen Spanyol turun memburuk menjadi 53
per Triwulan I-2012. Level tersebut setara dengan Hungaria (32);
Mesir (37); Portugal (39); Kroasia (45); Italia (45); Korea Selatan
(49); Perancis (50); Jepang (58); Rumania (60); Polandia (64) dan
Irlandia (64).
Data Bureau of Economic Analysis US Department of
Commerse (2012) mewartakan Triwulan III-2012 pertumbuhan
PDB Riil AS mencapai 2 persen membaik dari 1,3 persen dari
triwulan sebelumnya. Pertumbuhan dari sisi konsumsi didukung
oleh peningkatan pada barang-barang tahan lama seperti sepeda
motor dan spare part. Pengeluaran pertahanan pemerintah juga
meningkat selama periode berjalan terutama anggaran
pertahanan. Sektor ekspor masih mengalami penurunan berarti
sehingga memperlebar defisit transaksi berjalan AS.
Program quantitative easing pada Triwulan III sebesar
US$40 miliar diarahkan stimulus penciptaan lapangan kerja.
30
Angka quantitative easing paruh ketiga ini relatif lebih rendah
dari fase pertama dan kedua. Pada bagian lain, AS berencana
mengambil kebijakan jurang fiskal (fiscal cliff) yang merupakan
kombinasi kebijakan penghematan anggaran dan peningkatan
pajak. Jika rencana tersebut dieskekusi maka secara nyata akan
terjadi pemangkasan anggaran. Implikasinya bukan hanya
mempelambat pemulihan ekonomi AS tetapi ekonomi global.
Walaupun kondisi ekonomi AS, baik sedang berjalan maupun
proyeksi, semakin menurun tetapi peranannya sebagai motor
ekonomi dunia masih sangat dominan. Pada 2011 misalnya, AS
menghimpun US$15.094 miliar PDB atau mengisi 19,13 dari
PDB dunia.
Sampai Oktober 2012 tingkat pengangguran di AS
mencapai 7,9 persen membaik dari bulan yang sama pada tahun
sebelumnya sekitar 8,9 persen. Angka pengangguran tersebut
berpotensi melonjak sejalan dengan badai Shandy yang
memukul salah satu negara bagian di AS. New York menjadi
bisnis utama AS yang menjadi pusat-pusat keuangan AS dan
bank-bank ternama dunia. IMF memprognosa pertumbuhan
ekonomi AS per 2012 mencapai 2,2 persen dan 2,1 persen pada
2013.
Tingkat inflasi AS hingga akhir Oktober cenderung
menurun mengikuti pola yang serupa dengan negara lain.
Kestabilan harga energi, terutama harga minyak, dapat menekan
inflasi AS di bawah target jangka panjang 2 persen. Sampai
Oktober inflasi AS sekitar 2,2 persen. Meski optimisme
perekonomian AS muncul sejak pemilihan umum tetapi
beberapa faktor turut mengancam akselerasi yang terjadi. Selain
bersumber dari kerentanan sektor tenaga kerja dan properti,
dampak penyebaran krisis Eropa yang menjadi salah satu mitra
31
dagang AS diperkirakan masih menekan ekonomi negara
adidaya tersebut.
Ekspektasi yang begitu besar terhadap perekonomian
China sebagai salah satu penopang pemulihan ekonomi dunia
semakin redup. Pada Triwulan III-2012 ekonomi berpenduduk
terbesar di dunia ini ‘hanya’ tumbuh 7,4 persen jauh dari
proyeksi ekonom dunia pada kisaran 8 persen. Angka tersebut
terendah dalam tiga tahun terakhir. Perlambatan ini bukan hanya
disebabkan oleh lambannya pemulihan krisis di AS dan UE,
tetapi penurunan kinerja ekonomi kelompok BIRC lainnya
(Brasil, Rusia, dan India). Sektor ekspor sebagai kekuatan utama
China belum bergerak leluasa sedangkan sektor impor tertekan
karena penurunan permintaan domestik.
Indeks manufaktur China per Oktober 2012 naik
melambat menjadi 50,2 dari posisi 49,2 pada bulan sebelumnya.
Sepanjang 2011 indeks manufaktur tertinggi pada April 53,3.
Perbaikan indeks manufaktur tersebut salah satunya didukung
oleh perbaikan indeks produksi menjadi 52,1 dari 50,9 per
September. Perbaikan juga terjadi pada new orders index (50,4
naik dari 48,7) meski dalam level moderat; main raw materials
inventory index (47,3 naik dari 45,1); employed person index
(49,2 naik dari 49,1) dan supplier delivery time index (50,1 naik
dari 50).
Indeks ekpektasi konsumen (customer expectation
index); indeks kepuasan konsumen (consumer satisfaction index)
dan indeks kepercayaan konsumen (consumer confidence index)
cenderung membaik. Pada September 2012 indeks ekspektasi
konsumen berada pada level optimis 104, naik dari 103,7 pada
bulan sebelumnya, sedangkan indeks kepercayaan konsumen
pada level 100,8. Sementara itu, indeks kepuasan konsumen 4
32
level di bawah level optimis (National Bureau of Statistics of
China, 2012).
Sektor investasi turut melambat terutama dari investasi
asing sejalan dengan pengetatan regulasi pada sektor properti.
Regulasi tersebut secara nyata berdampak pada lonjakan harga
dan penurunan supply lahan (Bank Indonesia, 2012). Penyaluran
kredit yang begitu massif sejak beberapa tahun terakhir mulai
memberikan pengaruh nyata bagi China karena besarnya tingkat
kredit macet. China Banking Regulatory Commission
menjelaskan kredit macet, terutama lembaga pemberi pinjaman,
bank perkreditan rakyat, dan bank swasta asing.
Deloitte China Financial Services Industry Center of
Excellence (2012) telah memprediksi lonjakan kredit macet
dengan memfokuskan pada penyebab dari kegagalan (default)
pembiayaan pemerintah lokal. Lembaga ini menjelaskan dua
penyebab utama kegagalan pembiayaan tersebut, yaitu (i)
macetnya pembiayaan pada pemerintah lokal dalam jumlah
besar yang disebabkan kesalahan proyeksi penerimaan dan
pengeluaran selama 2010, dan (ii) dari sekitar 10 ribu jenis
pembiayaan sekitar 70 persen terdistribusi pada pemerintah
lokal yang relatif memiliki sumber pendapatan terbatas sehingga
mengancam pengembalian pinjaman. Perbaikan inflasi China
sejalan dengan kondisi negara lain karena penurunan harga
komoditi dan meredanya inflasi makanan. Tingkat pengangguran
China masih terjaga pada level 4,1 persen. Level tersebut masih
jauh dari ambang batas 4,6 persen sebagai target pemerintah
China.
Penurunan performa perekonomian juga dialami India.
Perlambatan perekonomaian negara dengan penduduk terbesar
kedua di dunia ini turut dipengaruhi pemburukan krisis UE.
33
Secara fundamental, dua masalah utama yang memengaruhi
kinerja India adalah tingginya angka inflasi serta defisit neraca
dan transaksi berjalan. Penurunan ekspor ke UE yang diikuti
dengan lonjakan impor menyebabkan defisit perdagangan India
menembus US$16,4 miliar per Triwulan III-2012 dari level
US$13,7 miliar pada triwulan sebelumnya. Inflasi India
(tergambar dari perubahan indeks harga perdagangan besar)
menembus 7,8 persen sebagai dampak dari penyesuaian harga
bahan bakar pada September.
2.2. 2.2. 2.2. 2.2. Perkembangan Sektor Keuangan InternasionalPerkembangan Sektor Keuangan InternasionalPerkembangan Sektor Keuangan InternasionalPerkembangan Sektor Keuangan Internasional
Perkembangan pasar keuangan global masih diwarnai
ketidakpastian karena tingginya volatilitas dan risiko di negara
maju. Sistem keuangan yang belum berfungsi secara baik dan
efisien berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi secara
menyeluruh. Dalam laporan Global Financial Stability IMF per
Oktober 2012 dijelaskan bahwa masalah sektor keuangan
Spayol (bank, asuransi, hingga perusahaan) telah menghabiskan
cadangan likuiditas dari negara-negara periferal UE. Kondisi
tersebut diperburuk dengan peningkatan soverign risk di Spanyol
dan Italia. Menanggapi hal tersebut konferensi tingkat tinggi di
UE mempertimbangkan €100 miliar untuk restrukturisasi sektor
perbankan dan pembiayaan Spanyol.
Beberapa indikator perbankan negara-negara maju
belum membaik. Rasio modal (tier 1) Mesir per Triwulan I-2012
hanya 1,5 persen; Irlandia 16,2 persen; Italia 9,5 persen;
Portugal 9,1 persen; dan Spanyol 10,5 persen. Indikator tersebut
di Asia relatif lebih baik seperti Korea 10,2 persen; Singapura
13,6 persen; dan Jepang 12,3 persen. Rasio modal ini di AS
mencapai 13,4 persen per Triwulan II-2012. Sementara itu gross
34
non performing loan di Mesir mencapai 20,2 persen; Irlandia
19,1 persen; Italia 10,7 persen; Spanyol 5,6 persen; Amerika
Serikat 4,8 persen; Korea 1,7 persen; Singapura 1,4 persen; dan
Jepang 2,2 persen.
Aliran dana ke obligasi global semakin melonjak sejak
bergeraknya investor ke instrument safe haven (aman) dan
obligasi perusahaan berlevel tinggi. Hal tersebut dipengaruhi
oleh kombinasi dari rendahnya penyerapan risiko (risk appetite),
pelemahan pertumbuhan ekonomi (berjalan dan proyeksi), risiko
kredit yang tinggi, kerentanan sisi internal dan eksternal, dan
peningkatan risiko makroekonomi di negara-negara UE. Selain
obligasi global, investor juga mulai memupuk emas yang
menyebabkan lonjakan harga sejak Agustus 2012.
Sementara itu, kinerja bursa global masih digambarkan
dengan kemurungan karena publikasi data ekonomi negara-
negara maju belum menunjukkan perbaikan berarti. Dari
perspektif politis, secara umum masyarakat global belum
sepenuhnya meyakini langkah-langkah pemulihan ekonomi
yang diretas oleh pemerintah negara-negara UE, terutama
Yunani. Muncul potensi terdeportasinya negara seribu dewa
tersebut dari kelompok penggunan Euro sehingga investor
mengurangi koleksi saham negara-negara di UE.
Perlambatan kinerja pasar keuangan, terutama saham,
juga didorong oleh sentimen negatif akibat pemotongan credit
rating Jepang Fitch akhir Mei 2012. Keputusan tersebut dimotori
oleh peningkatkan profil risiko kredit Jepang sebab pemburukan
rasio utang publik negara sakura tersebut. Kondisi fiskal Jepang
juga mengalami penurunan sehingga berpengaruh besar
terhadap kepercayaan investor. Meski secara umum tertekan,
perkembangan pasar saham global sempat rebound karena dua
35
hal: (i) kosensus pemimpin Eropa dan bank sentral di dunia
untuk mendukung penyelesaian krisis di Eropa; dan (ii) stimulus
fiskal dan penurunan suku bunga acuan China untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi yang melambat.
Sentimen negatif terhadap kondisi UE memengaruhi
saham di emerging market Asia, seperti China, Korea, India, dan
Indonesia dalam beberapa transaksi. Kontras dengan itu
performa saham beberapa negara ASEAN, seperti Filipina dan
Thailand, relatif baik selama paruh kedua 2012. Optimisme
terhadap penanganan banjir Thailand memberikan sinyal positif
bagi kinerja sahamnya. Perbaikan kinerja saham Filipina sejalan
dengan perbaikan rating kredit oleh Moody per 29 Oktober
2012 menjadi outlook stabil.
Dalam publikasinya Moody menaikkan peringkat Filipina
untuk rating foreign dan local currency long-term bond ratings
of the Government of the Philippines dari Ba2 menjadi Ba1.
Moody merinci tiga faktor yang mendorong perbaikan tersebut
yaitu: (i) perbaikan kinerja ekonomi dan penerimaan fiskal di
tengah-tengah pemburukan permintaan global; (ii) perbaikan
prospek pertumbuhan ekonomi Filipina jangka menengah; dan
(iii) relatif stabilnya sistem keuangan stabil Filipina sehigga dapat
meminimalisasi risiko dan relatif tersedianya sumber
pembiayaan pemerintah.
Kondisi pasar obligasi tidak jauh berbeda dengan pasar
saham yang dipengaruhi oleh pemburukan kinerja ekonomi
negara-negara maju. Aksi flight to quality tidak dapat dihindari
sehingga memerburuk pasar keuangan negara-negara periferal
UE, terutama Yunani, Spanyol, dan Italia. Penurunan peringkat
perbankan terutama di Spanyol berdampak negatif terhadap
pergerakan pasar keuangan negara tersebut.
36
2.32.32.32.3. . . . Perkembangan Komoditas InternasionalPerkembangan Komoditas InternasionalPerkembangan Komoditas InternasionalPerkembangan Komoditas Internasional
Penurunan permintaan global terhadap sejumlah
komoditas dunia -di tengah-tengah kelebihan penawaran dari
negara-negara produsen utama- berdampak pada penurunan
harga sejak awal bulan hingga pertengahan 2012. Pemburukan
produksi manufaktur China secara signifikan menyusutkan
permintaannya terhadap batubara sebagai salah satu input
produksi. Selain industri manufaktur, konsumen utama batubara
lainnya di China adalah perusahaan semen. Harga batubara
dunia per Januari 2012 sekitar US$124,78 per metric ton (proksi
Australian Thermal Coal) turun menjadi US$88,29. Level
tersebut setara dengan harga batubara 2009 saat titik puncak
krisis global. Pada Mei 2012 harga batubara masih berada pada
level US$102,69 per metric ton menyusut menjadi US$93,42
pada Juni dan US$94,54 pada Juni. Harga batubara per Oktober
2012 mencapai US$88,29 per metric ton turun dari US$127,92
per metric ton atau merosot hingga 30,98 persen (yoy).
Penurunan harga minyak lebih disebabkan ekses
produksi dan relatif meredanya spekulasi di pasar komoditas
yang bergerak ke pasar keuangan. Sampai akhir Oktober 2012,
harga minyak mentah jenis West Texas Intermediate/WTI
US$89,52 per barrel turun dari US$106,15 per barrel sebagai
harga tertinggi selama Januari-Oktober 2012. Jika
dikomparasikan dengan harga minyak per Oktober 2011, harga
yang terbentuk pada Oktober 2012 meningkat 3,6 persen (yoy).
Perbaikan harga minyak memberikan stimulus terhadap
inflasi dunia. Dari prognosa IMF tergambar akan terjadinya
penurunan inflasi sejak 2012 hingga 2013. Inflasi AS
diperkirakan 2 persen pada 2012 sedangkan 2013 sekitar 1,8
persen. Kondisi serupa terjadi di UE di mana inflasi 2012
diperkirakan 2,3 persen menurun dari 2,7 persen pada 2011
37
sedangkan pada 2013 diproyeksi menyentuh 1,6 persen.
Perbaikan inflasi juga terjadi pada negara-negara Asia tetapi
dalam level yang masih tinggi dibandingkan dengan negara-
negara maju. Inflasi di China pada 2012 diperkirakan sekitar 3
persen pada 2012 dan 2013 sedangkan Singapura, Indonesia,
Thailand, dan Filipina bergerak pada level 3 persen hingga 5
persen. Pelemahan inflasi ini diharapkan berstimulus terhadap
penurunan suku bunga sehingga memberikan pengaruh baik
terhadap pemulihan ekonomi pada sejumlah negara.
Penurunan harga metal juga disulut oleh penurunan
konsumsi AS dan China sebagai konsumen utama metal dunia.
Indeks harga metal (copper, aluminum, iron ore, tin, nickel,
zinc, lead, dan uranium) per Januari 2012 sekitar 202,04 turun
menjadi 183,4 per Oktober. Secara tahunan harga metal turun
8,71 persen (yoy). Indeks harga metal sempat menyentuh level
207,1 per Februari dan setelahnya cenderung menurun.
Sumber: Diolah dari indexmundi, 2012
GGGGambar 2ambar 2ambar 2ambar 2....1.1.1.1. Perkembangan Harga Komoditas Emas, CPO, Perkembangan Harga Komoditas Emas, CPO, Perkembangan Harga Komoditas Emas, CPO, Perkembangan Harga Komoditas Emas, CPO,
Beras, Kedelai, dan BajaBeras, Kedelai, dan BajaBeras, Kedelai, dan BajaBeras, Kedelai, dan Baja
38
Penurunan harga emas sempat terjadi sejak Mei 2012
hingga Juli menjadi US$1.591,19 per troy ounce; US$1.598,76
dan US$1.589,90. Pada Januari 2012 harga emas mencapai
US$1.652,21 troy ounce naik menjadi US$1.742,14;
US$1.673,77; US$1.649,69 pada Februari hingga April. Namun
koreksi harga emas pada periode Mei hingga Juli bersifat
sementara dan masih dalam level yang cukup tipis. Dapat
dikatakan harga emas yang terbentu selama periode Mei hingga
Juli masih dalam level tinggi. Secara umum dapat dikatakan
penurunan harga emas bermula dari pelemahan permintaan
sebagai alat investasi untuk seluruh jenis emas.
Faktor yang sempat menurunkan harga emas adalah
depresiasi mata uang global terhadap US$. Hal itu menyebabkan
naiknya harga emas sehingga berdampak pada penurunan
permintaan. Penurunan harga emas mulai terhenti pada akhir
Agustus 2012 dan mulai melonjak pada dua bulan berikutnya.
Harga emas per Agustus menembus US$1.630,31 per troy ounce
naik dari US$1.589,90 dari bulan sebelumnya. Penyesuaian
harga emas ke atas terus berlangsung hingga September dan
Oktober 2012 masing-masing US$1.744,81 per troy ounce dan
US$1.746,58. Secara tahunan, harga emas per Oktober 2012
naik sekitar 4,89 persen dari bulan yang sama tahun
sebelumnya. Dampak dari ketidakpastian ekonomi global dan
pilihan instrumen investasi, emas masih menjadi pilihan jenis
investasi yang paling menguntungkan. Karakteristiknya sebagai
instrumen safe haven asset terus diburu investor menggantikan
instumen keuangan yang belum akan pulih hingga akhir 2012.
Harga komoditas kelompok pertanian mengalami
fluktuasi, tetapi cenderung terkoreksi sejak pertengahan tahun.
Harga kedelai hingga Oktober mencapai US$565,53 per metric
ton. Jika dibandingkan dengan harga per Oktober 2011, maka
terjadi kenaikan hingga 26,79 persen (yoy). Pada Januari 2012
39
harga kedelai baru US$441,73 metric ton, naik secara bertahap
hingga menembus di atas US$500 per metric ton pada April
2012. Kecenderungan lonjakan harga kedelai disebabkan
penurunan produksi di negara-negara produsen utama karena
faktor cuaca seperti di AS, Brazil, dan Argentina.
Perkembangan harga beras selama periode Juni-Agustus
cenderung melonjak karena peningkatan konsumsi dari negara-
negara muslim sejalan dengan pemenuhan pasokan untuk bulan
Suci Ramadhan dan Idul Fitri. Pada Januari 2012 harga beras
dunia baru US$541,06 per metric ton menjadi US$612,43 per
metric ton pada Mei. Pada akhir Oktober harga beras cenderung
menurun dan menjadi US$584,74 per metric ton. Angka tersebut
turun sekitar 2,89 persen (yoy).
Penurunan harga CPO telah melampaui harga terendah
dalam dua tahun terakhir. Penurunan harga tersebut selain
pengaruh spekulasi juga over supply CPO pada dua negara
produsen utama, yaitu Indonesia dan Malaysia. Excess supply
yang terjadi pada kedua negara tersebut berkenaan masuknya
musim panen sejak Agustus hingga Oktober. Stock CPO
Malaysia mendekati level 2,5 juta ton per Oktober, sedangkan
Indonesia sekitar 3 juta ton hingga 4 juta ton.
Potensi peningkatan harga CPO masih akan terjadi
karena munculnya faktor musiman seperti masuknya musim
dingin di AS dan Eropa, perayaan natal dan tahun baru. Secara
tahunan, harga CPO sampai Oktober menurun sekitar 16 persen
(yoy) dari posisi US$914,44 per metric ton menjadi US$768,09
per metric ton. Pada awal tahun hingga Mei 2012, harga CPO
masih berada di atas US$1.000 per metric ton. Level tersebut
merosot tajam pada Juni menjadi US$927,63 per metric ton dari
posisi US$1.031,12 per metric ton.
41
BAB 3
Reformulasi Kebijakan Anggaran dan Reformulasi Kebijakan Anggaran dan Reformulasi Kebijakan Anggaran dan Reformulasi Kebijakan Anggaran dan
Desentralisasi FiskalDesentralisasi FiskalDesentralisasi FiskalDesentralisasi Fiskal
Salah satu pertanyaan fundamental dari masyarakat luas
dalam pembahasan kebijakan anggaran atau kebijakan fiskal
akhir-akhir ini adalah hubungan peningkatan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dengan kesejahteraan
rakyat. Banyak kalangan, termasuk INDEF mengusulkan adanya
indikator-indikator kesejahteraan rakyat masuk dalam
penyusunan APBN. Hal ini dimaksudkan agar dampak dari
APBN atau peran dari stimulus fiskal terhadap peningkatan
kesejahteraan rakyat lebih memberikan dampak yang terukur.
INDEF mengusulkan beberapa indikator yang disarankan
untuk dimasukkan dalam penyusunan APBN ke depan seperti
tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran dan masalah
ketimpangan distribusi pendapatan yang dilihat dari indeks gini.
Pertama, tingkat kemiskinan dan pengangguran. Indikator ini
digunakan untuk melihat efektifitas penggunaan APBN dalam
mengurangi kemiskinan dan pengangguran di Indonesia.
Seharusnya, semakin meningkat dana APBN, semakin rendah
tingkat kemiskinan dan pengangguran (berbanding terbalik) atau
dengan kata lain kesejahteraan rakyat secara nasional
meningkat. Kedua, indeks gini. Indikator ini digunakan untuk
42
memastikan bahwa pertumbuhan yang terjadi di Indonesia tetap
adil. Semakin besar indeks gini, menggambarkan bahwa
semakin timpang kemakmuran antara si Kaya dan si Miskin. Jika
hal ini terjadi, berarti pertanda buruk bagi perekonomian
Indonesia karena menunjukkan bahwa yang merasakan
pertumbuhan ekonomi adalah kelompok kaya saja, sedangkan
kelompok miskin kurang merasakan manfaatnya.
3.1.3.1.3.1.3.1. Postur Postur Postur Postur APBN APBN APBN APBN
Secara umum permasalahan serius dalam APBN
Indonesia adalah tidak idealnya postur anggaran baik dari sisi
pendapatan dan belanja. Dari sisi pendapatan masih rendahnya
tax ratio adalah cerminan ketidakmampuan pemerintah dalam
menggenjot pendapatan negara dari sektor pajak. Di sisi
belanja, permasalahannya lebih fundamental yaitu postur APBN
sangat tidak proporsional. Postur APBN dari tahun ke tahun
sekitar 70 persen hanya untuk membiayai birokrasi. Ditambah
lagi pada APBN 2013 tersandera oleh besarnya subsidi BBM dan
kewajiban pembayaran bunga utang. Disamping masalah postur
anggaran, peran stimulus fiskal yang menjadi fungsi utama
APBN tidak pernah optimal. Hampir tiap tahun problem klasik
pola penyerapan anggaran selalu terus berulang. Alih-alih
berbicara masalah kualitas dan efektifitas stimulus fiskal, untuk
melakukan penyerapan anggaran sesuai schedule dan target saja
tidak mampu direalisasikan dengan baik. Belum lagi masalah
masih banyaknya pos-pos belanja yang tidak produktif dalam
penggunaannya.
43
3.1.1. 3.1.1. 3.1.1. 3.1.1. Penerimaan NegaraPenerimaan NegaraPenerimaan NegaraPenerimaan Negara
Pascakrisis 1998, sebenarnya pendapatan negara melalui
penerimaan pajak terus meningkat, sedangkan Penerimaan
Negara Bukan Pajak (PNBP) relatif menurun (Gambar 3.1). Tren
ini umum terjadi di negara-negara berkembang seperti
Indonesia. Pola ini selaras dengan penemuan Chenery dan
Syrquin (1975) yang menarik kesimpulan bahwa semakin maju
suatu negara maka proses akumulasi atau kemampuan negara
untuk membiayai pembangunan melalui pajak juga semakin
meningkat.1 Pada 2000, penerimaan negara yang berasal dari
pajak hanya menyumbang sekitar 56 persen dari total
pendapatan negara. Angka ini wajar mengingat perekonomian
Indonesia mengalami krisis yang sangat parah pada 1998/1999.
Persentase ini kemudian terus mengalami kenaikan hingga 2002,
sebelum stagnan di level 70-71 persen selama 2003-2005.
Sumber: SEKI BI, diolah
Gambar 3.1. Dinamika Proporsi Pendapatan Pajak, PNBP dan Gambar 3.1. Dinamika Proporsi Pendapatan Pajak, PNBP dan Gambar 3.1. Dinamika Proporsi Pendapatan Pajak, PNBP dan Gambar 3.1. Dinamika Proporsi Pendapatan Pajak, PNBP dan
Dividen BUMN terhadap Total PendapatDividen BUMN terhadap Total PendapatDividen BUMN terhadap Total PendapatDividen BUMN terhadap Total Pendapatan Negara 2000an Negara 2000an Negara 2000an Negara 2000----2011 2011 2011 2011
(persen)(persen)(persen)(persen)
1 Chenery dan Syrquin (1975). The Pattern of Development.
44
Secara total penerimaan perpajakan terus mengalami
kenaikan, namun persentase penerimaan pajak terhadap total
pendapatan negara pada 2006 hingga 2008 mengalami
fluktuasi. Hal ini disebabkan karena fluktuasi dari sisi PNBP.
PNBP meningkat cukup tajam pada 2008 yang disebabkan
peningkatan penerimaan dari sisi migas, khususnya minyak bumi
karena harga minyak yang naik cukup drastis. Kemudian pada
2009, penerimaan pajak kembali menurun akibat kebijakan
stimulus fiskal Pemerintah yang bertujuan untuk meredam
dampak krisis finansial global.
Demikian juga, walaupun tren penerimaan pajak terus
membaik, rasio penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) di
Indonesia masih tergolong rendah. Pada 2011, tax ratio
Indonesia hanya sebesar 11,8 persen, sedikit mengalami
peningkatan pada tahun sebelumnya yaitu 11,3 persen. Tax ratio
Indonesia sempat mencatat angka tertinggi yaitu pada 2008
sebesar 13,3 persen. Sebelum jatuh menjadi 11,1 persen pada
2009 akibat krisis finansial global.
Sumber: SEKI BI, diolah
Gambar 3.2. Tax Ratio 1990Gambar 3.2. Tax Ratio 1990Gambar 3.2. Tax Ratio 1990Gambar 3.2. Tax Ratio 1990----2011 (persen)2011 (persen)2011 (persen)2011 (persen)
45
Tidak ada perubahan tax ratio yang signifikan selama
kurang lebih dua puluh tahun terakhir. Angkanya hanya berkisar
10 hingga 11 persen saja. Jika dibandingkan dengan negara-
negara tetangga, tax ratio Indonesia masih tergolong rendah.
Pada APBN-P 2012 tax ratio Indonesia dipatok sebesar 11,8
persen, sedangkan Filipina berada di kisaran 14,4 persen,
Singapura 14,2 persen, Malaysia 15,5 persen, Thailand 17,0
persen, dan Jepang 28,3 persen (Kemenkeu, 2012).
Hampir semua negara, apalagi negara maju, menjadikan
pajak sebagai primadona pendapatannya. Pada APBN-P 2012
pajak berkontribusi sebesar 74,87 persen terhadap penerimaan
dalam negeri, terdiri dari pajak dalam negeri 95,28 persen dan
pajak perdagangan internasional 4,72 persen. Pajak dalam
negeri berasal dari Pajak Penghasilan (50,54 persen), PPN (33,07
persen), Cukai (8,19 persen), Pajak Bumi dan Bangunan, dan
pajak lainnya (0,55 persen). Sementara pajak yang berasal dari
perdagangan internasional masih sangat terbatas, yaitu pajak
dari bea masuk 2,43 persen dan bea keluar 2,28 persen
(Kemenkeu, 2012).
Untuk memacu penerimaan pajak pemerintah harus
melakukan kebijakan baik ekstensifikasi ataupun intensifikasi
pajak, terutama terhadap tiga kontributor potensial terbesar
penerimaan pajak. Untuk meningkatkan PPh, dengan cara
memperluas basis pembayar pajak utamanya terhadap golongan
pendapatan menengah keatas. Diantaranya dengan
meningkatkan sistem data pembayar pajak dan juga
mempermudah akses membayar pajak, khususnya bagi para
wajib pajak besar.
Di sisi lain, intensifikasi dapat dilakukan dengan
optimalisasi penerimaan PPN dan Cukai. Intensifikasi terhadap
PPN dapat dilakukan dengan meningkatkan sistem pemantau
46
pergerakan transaksi bisnis, diantaranya seperti penerapan e-
faktur, memperkuat profil dari basis data perusahaan, dan sistem
pengumpulan pembayaran. Sementara intensifikasi dari cukai
dengan melanjutkan dan mempercepat proses penyederhanakan
sistem cukai. Sebagai contoh cukai untuk produk hasil
tembakau, saat ini sistemnya masih cukup kompleks yaitu terdiri
dari 13 lapisan tarif cukai yang justru menambah beban
administrasi pengawasan. Kompleksitas system ini juga
berpeluang menciptakan celah untuk dimanfaatkan oleh
perusahaan besar dengan membentuk anak perusahaan agar
dapat membayar pajak lebih rendah.
Permasalahan lain APBN pascareformasi adalah masalah
penyerapan anggaran. Sebelum reformasi, hampir setiap tahun
APBN Indonesia terserap dengan cukup baik, bahkan melebihi
dari rencana belanja. Hal ini kemudian berbalik sejak 2000
dimana realisasi belanja negara mengalami masalah dalam hal
penyerapan. Tercatat hanya pada 2007 saja realisasi belanja
negara melebihi apa yang dianggarkan pada APBN, sedangkan
sisanya selalu terdapat sisa anggaran (Tabel 3.1).
Tabel 3.1. RencaTabel 3.1. RencaTabel 3.1. RencaTabel 3.1. Rencana dan Realisasi Belanja Negara na dan Realisasi Belanja Negara na dan Realisasi Belanja Negara na dan Realisasi Belanja Negara 1990199019901990----2011 2011 2011 2011
(triliun Rp)(triliun Rp)(triliun Rp)(triliun Rp)
TahunTahunTahunTahun APBNAPBNAPBNAPBN RealisasiRealisasiRealisasiRealisasi SelisihSelisihSelisihSelisih
TahunTahunTahunTahun APBN Realisasi Selisi
h
1990 36,1 39,8 -3,6 2001 354,6 341,6 13,0 1991 43,1 44,6 -1,5 2002 345,6 322,2 23,4 1992 50,3 52,0 -1,8 2003 377,2 376,5 0,7 1993 52,0 57,8 -5,8 2004 427,2 427,2 0,0 1994 59,2 62,6 -3,4 2005 565,1 509,6 55,4 1995 67,3 65,3 2,0 2006 699,1 667,1 32,0 1996 78,5 82,2 -3,7 2007 752,4 757,7 -5,3 1997 89,4 109,3 -19,9 2008 989,5 985,7 3,8 1998 230,6 172,7 58,0 2009 1.000,8 937,4 63,5 1999 43,1 44,6 -1,5 2010 1.126,1 1.042,1 84,0 2000 223,9 221,5 2,4 2011 1.320,8 1.295,0 25,8
Sumber : SEKI BI, diolah
47
Fenomena ini menjadi lebih aneh lagi ketika kebijakan
yang dilakukan oleh Pemerintah belakangan ini adalah
kebijakan defisit fiskal (fiscal deficit), yaitu belanja lebih besar
daripada pendapatannya (Gambar 3.3). Selain itu, tidak
terserapnya anggaran ini juga menimbulkan pertanyaan
mendasar untuk apa negara harus berhutang untuk anggaran
yang pada akhirnya berlebih?
Sumber: SEKI BI, diolah
Gambar 3.3 Surplus/Defisit Fiskal 1990Gambar 3.3 Surplus/Defisit Fiskal 1990Gambar 3.3 Surplus/Defisit Fiskal 1990Gambar 3.3 Surplus/Defisit Fiskal 1990----2011 (triliun Rp)2011 (triliun Rp)2011 (triliun Rp)2011 (triliun Rp)
3.1.2.3.1.2.3.1.2.3.1.2. Belanja Belanja Belanja Belanja Tidak ProduktifTidak ProduktifTidak ProduktifTidak Produktif
Ironi lainnya adalah komposisi belanja Pemerintah Pusat
sebagian besar dihabiskan untuk pos-pos yang kurang produktif.
Pengeluaran terbesar Pemerintah Pusat digunakan untuk belanja
subsidi, belanja pegawai, dan pembayaran bunga utang. Ketiga
pos belanja ini menghabiskan anggaran Pemerintah Pusat rata-
rata sekitar 63 persen dari total belanja selama 2005-2011. Tren
belanja subsidi secara umum cenderung fluktuatif (tergantung
fluktuasi harga minyak dunia), menghabiskan sekitar 22-40
persen dari total belanja Pemerintah Pusat, sedangkan belanja
pegawai trennya terus meningkat sekitar 15-21 persen, dan
pembayaran bunga utang terus menurun (Tabel 3.2).
48
Tabel 3.2. Proporsi Belanja PemerintahTabel 3.2. Proporsi Belanja PemerintahTabel 3.2. Proporsi Belanja PemerintahTabel 3.2. Proporsi Belanja Pemerintah Pusat terhadap Pusat terhadap Pusat terhadap Pusat terhadap TotalTotalTotalTotal
Belanja 2005Belanja 2005Belanja 2005Belanja 2005----2011201120112011
Tahun
Total Belanja Pemerintah Pusat (triliun Rp)
Belanja Pegawai
Belanja Barang
Belanja Modal
Pemba-yaran Bunga Utang
Subsidi Bantuan Sosial
Penge-luaran Rutin Lainnya
2005 361 15% 8% 9% 18% 33% 9% 7%
2006 440 17% 11% 12% 18% 24% 9% 9%
2007 505 18% 11% 13% 16% 30% 3% 10%
2008 693 16% 8% 10% 13% 40% 4% 8%
2009 629 20% 13% 12% 15% 22% 6% 12%
2010 697 21% 14% 12% 13% 28% 3% 10% 2011 884 20% 14% 13% 11% 33% 6% 8%
Sumber: SEKI BI, diolah
3.1.3.3.1.3.3.1.3.3.1.3. Tersandera Tersandera Tersandera Tersandera SubsidiSubsidiSubsidiSubsidi
Selama 2005-2011, subsidi menghabiskan belanja
Pemerintah Pusat sekitar 22-40 persen. Belanja subsidi ini
didominasi oleh subsidi untuk energi. Subsidi energi selama
2005-2011 menghabiskan sekitar 71-88 persen dari total subsidi,
dengan rata-rata sekitar 80 persen (Gambar 3.4).
Sumber : Nota Keuangan RI 2005-2013, diolah
Gambar 3.4. Proporsi Subsidi terhadap Total Subsidi 2005Gambar 3.4. Proporsi Subsidi terhadap Total Subsidi 2005Gambar 3.4. Proporsi Subsidi terhadap Total Subsidi 2005Gambar 3.4. Proporsi Subsidi terhadap Total Subsidi 2005----2011 2011 2011 2011
(persen)(persen)(persen)(persen)
49
Anggaran subsidi energi habis tersedot untuk subsidi
BBM, yaitu rata-rata sekitar 54 persen dari total belanja subsidi,
bahkan pada 2005 sempat mencapai 79 persen dikarenakan
harga minyak dunia meroket dari US$ 25 per barrel menjadi
sekitar US$ 60 per barrel dan beban subsidi BBM melonjak dari
Rp21 triliun menjadi Rp120 triliun (Abimanyu, 2012). Subsidi
BBM kembali mengalami peningkatan pada 2008, menembus
Rp139 triliun, naik sekitar Rp55 triliun dibanding tahun
sebelumnya. Hal ini juga dikarenakan melonjaknya harga
minyak dunia dari US$ 72 per barrel pada 2007 menjadi hampir
US$ 100 per barrel pada 2008.
Pada 2009, krisis finansial global menyebabkan harga
minyak dunia anjlok. Alhasil, subsidi BBM di Indonesia juga
mengalami penurunan sangat signifikan dari sekitar Rp139
triliun menjadi hanya sepertiganya Rp45 triliun dikarenakan
harga minyak dunia yang juga terjun bebas menjadi US$ 62 per
barrel sehingga mendorong presiden SBY melakukan kebijakan
populis dengan menurunkan harga BBM dari Rp6000 per liter
menjadi Rp4500 per liter.
Kini, tren harga minyak dunia kembali naik seiring
perekonomian dunia yang kembali membaik dari krisis finansial
global. Walaupun dunia sedang menghadapi krisis Eropa dan
turunnya pertumbuhan ekonomi Cina, tren harga minyak dunia
tetap meningkat sejak 2009. Pada 2009 subsidi BBM tercatat
hanya sebesar Rp45 triliun, kemudian pada 2010 meningkat
hampir 2 kali lipat menjadi Rp89 triliun dan pada 2011
melonjak menjadi Rp165 triliun. Ke depan bisa dipastikan
subsidi BBM akan terus membengkak seiring terus meningkatnya
harga minyak dunia. Terlebih jika tidak ada upaya yang serius
dan nyata dari pemerintah untuk mengurangi ketergantungan
terhadap konsumsi BBM.
50
Dari sisi ekonomi, kebijakan populis subsidi BBM ini
memiliki lebih banyak kerugian dibandingkan manfaatnya.
Pertama, kebijakan subsidi BBM tidak produktif. Subsidi BBM
yang diberikan membuat harga BBM di pasaran menjadi sangat
murah, bahkan terlalu murah. Hal ini mendorong masyarakat
menjadi konsumtif atau boros energi. Selain itu, BBM yang
murah juga memberikan insentif bagi masyarakat untuk memilih
menggunakan kendaraan pribadi dibandingkan kendaraan
umum sehingga kemacetan di kota-kota besar, khususnya Jakarta
semakin parah.
Kedua, besarnya subsidi BBM sudah terlalu besar. Pada
APBN 2013, anggaran subsidi BBM sudah mencapai Rp193
triliun atau meningkat sekitar 40 persen dibandingkan APBN-P
2012. Jika Pemerintah tidak berani mengambil langkah untuk
mengurangi pos subdisi BBM ini, maka bisa dipastikan APBN
akan tersandera dan tidak mampu membiayai program-program
stimulus fiskal yang produktif. Belum lagi kemungkinan resiko
jika nanti terjadi kenaikan harga minyak yang cukup signifikan
seperti tahun 2005 dan 2008 yang membuat subsidi BBM akan
melonjak tajam.
Ketiga, pembiayan sektor prioritas menjadi terbengkalai.
Kebutuhan untuk memperbaiki dan meningkatkan infrastruktur
baik dari sisi kualitas maupun kuantitas saat ini di Indonesia
sangat mendesak. Peningkatan permintaan agregat yang terus-
menerus membutuhkan dukungan dari sisi penawaran. Oleh
karena itu, peningkatan kapasitas produksi atau perekonomian
menjadi salah satu agenda mendesak bagi Indonesia sehingga
momentum pertumbuhan yang ditopang dari pasar domestik
yang kuat ini dapat dimanfaatkan dengan lebih maksimal.
Memastikan ketersedian energi (khususnya listrik), infrastruktur
jalan/transportasi, pelabuhan, bandara, adalah beberapa
51
infrastruktur yang harus segera dilakukan perbaikan atau bahkan
penambahan.
Selain subsidi BBM, dua pos lain yang sangat tidak
produktif adalah belanja pegawai dan pembayaran bunga utang.
Kedua pos tidak produktif ini maing-masing menghabiskan
sekitar 18 persen (belanja pegawai) dan 15 persen (pembayaran
bunga utang) selama 2005-2011. Selain itu, anggaran untuk
kedua pos ini juga tiap tahunnya terus meningkat secara nominal
(Gambar 3.5). Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan
Pemerintah untuk dapat menekan belanja pegawai dan
pembayaran bunga utang. Pertama, optimalisasi aparatur negara.
Sumber : SEKI BI, diolah
Gambar 3.5. Belanja Pemerintah Pusat 2005Gambar 3.5. Belanja Pemerintah Pusat 2005Gambar 3.5. Belanja Pemerintah Pusat 2005Gambar 3.5. Belanja Pemerintah Pusat 2005----2011 2011 2011 2011
(triliun Rp)(triliun Rp)(triliun Rp)(triliun Rp)
Peningkatan produktivitas para aparatur negara, perampingan
struktur organisasi kepemerintahan, dan meningkatkan
efektivitas dan efisiensi penggunaan anggaran adalah tiga hal
yang perlu segera didorong. Kedua, mendorong penyerapan
anggaran agar lebih efektif dan efisien. Pascareformasi,
Indonesia menerapkan kebijakan defisit anggaran sehingga
52
konsekuensinya adalah utang pemerintah ikut bertambah. Hal
ini menjadi ironi ketika dana yang diperoleh dari berhutang
kemudian tidak terserap.
3.1.4.3.1.4.3.1.4.3.1.4. Kecanduan Kecanduan Kecanduan Kecanduan Utang Utang Utang Utang
Fenomena menarik lainnya pascareformasi adalah utang
dalam negeri pemerintah yang meningkat tajam. Sebelum
reformasi, Pemerintah hanya menggunakan utang luar negeri
sebagai tambahan pembiayaan pembangunan. Kemudian
pascareformasi, instrumen utang luar negeri mulai digunakan
untuk membiayai kekurangan pembiayaan pembangunan.
Sumber : DJPU Kemenkeu RI, diolah
Gambar 3.6. Perkembangan Utang Pemerintah Indonesia Gambar 3.6. Perkembangan Utang Pemerintah Indonesia Gambar 3.6. Perkembangan Utang Pemerintah Indonesia Gambar 3.6. Perkembangan Utang Pemerintah Indonesia
terhadap PDB 2007terhadap PDB 2007terhadap PDB 2007terhadap PDB 2007----2012201220122012
53
Posisi total utang pemerintah pada 2011 sudah mencapai
Rp1.803 triliun, Rp616 triliun berasal dari utang luar negeri
pemerintah (ULNP) dan Rp1.188 triliun utang dalam negeri
pemerintah (UDNP). Angka ini mengalami kenaikan sekitar 46
persen dibandingkan angka pada 2000 yaitu Rp 1.234 triliun
(Gambar 3.6). Menariknya UDNP mengalami kenaikan yang jauh
lebih tinggi dibandingkan ULNP. Pada 2011, ULNP tumbuh hanya
sekitar 6 persen dibandingkan tahun 2000, sedangkan UDNP 82
persen. UDNP meningkat tajam dari posisi Rp 652 triliun pada
2000 menjadi Rp 1.188 triliun pada 2011, sedangkan ULNP hanya
naik dari Rp 583 triliun pada 2000 menjadi Rp 616 triliun pada
2011 (Gambar 3.6).
Tren positif dari utang pemerintah adalah rasio utang
pemerintah terhadap PDB (debt ratio) terus menurun sejak 2000.
Pada 2000 debt ratio sebesar 89 persen, kemudian terus turun
hingga pada 2011 hanya sebesar 24 persen. Walaupun hampir
setiap tahunnya utang pemerintah terus bertambah, debt ratio
memiliki tren negatif karena pertumbuhan PDB yang meningkat
tajam sejak 2000. Pada 2000, PDB nominal Indonesia baru
mencapai Rp 1.390 triliun, kemudian meningkat hampir enam kali
lipat pada 2011 menjadi Rp 7.427 triliun sehingga wajar jika debt
ratio Indonesia terus menurun (Gambar 3.6). Kondisi inilah yang
selalu menjadi basis argumen pemerintah untuk kecanduan
melakukan utang. Padahal faktanya kontributor terbesar PDB
Indonesia adalah konsumsi rumah tangga dan Investasi swasta.
Sebagai akibat perilaku pemerintah yang kecanduan utang
menyebabkan beban bunga dan cicilan utang terus bertambah.
Pada 2000, cicilan bunga utang pemerintah hanya sekitar Rp50
triliun. Kemudian trennya secara umum cenderung terus meningkat
hingga pada tahun 2011 menjadi Rp. 93 triliun, walaupun
rasionya terhadap belanja negara terus menurun (Gambar 3.7).
Andai penyerapan anggaran tidak bermasalah dan dilakukan
54
dengan efektif dan efisien, sebenarnya berutang adalah suatu hal
yang wajar dalam perekonomian. Permasalahannya ketika
berutang namun digunakan untuk pembiayaan program yang tidak
produktif, lebih parah lagi komitmen utang yang tidak terserap.
Sumber : SEKI BI, diolah
Gambar 3.7. Gambar 3.7. Gambar 3.7. Gambar 3.7. Cicilan Utang Pemerintah Indonesia 2000Cicilan Utang Pemerintah Indonesia 2000Cicilan Utang Pemerintah Indonesia 2000Cicilan Utang Pemerintah Indonesia 2000----2011201120112011
3.1.5.3.1.5.3.1.5.3.1.5. Rendahnya Rendahnya Rendahnya Rendahnya Ruang Fiskal Ruang Fiskal Ruang Fiskal Ruang Fiskal
Isu krusial lainnya terkait postur APBN Indonesia adalah
rendahnya ruang fiskal (fiscal space). Postur APBN sebagian
besar tersandera oleh anggaran-anggaran rutin sehingga ruang
gerak fiskal yang notabene sebagai stimulus fiskal menjadi
kurang efektif. Beberapa penyebab minimnya ruang gerak fiskal,
Pertama, anggaran habis untuk pengeluaran rutin. Pos-pos
seperti belanja pegawai, subsidi energi (khususnya BBM dan
listrik), serta pembayaran utang adalah beberapa pos yang sulit
untuk dirubah-rubah mengingat ketiga pos tersebut adalah pos
yang “seksi” (populis) bagi pemerintah. Kedua, adanya
pengeluaran yang dimandatkan (mandatory spending). Minimal
20 persen anggaran untuk pendidikan. Selain itu,rigiditas
perhitungan alokasi DAU dan DBH, serta otsus adalah
55
mandatory spending yang harus dipenuhi terlebih dahulu karena
telah diatur oleh konstitusi.2
3.1.6.3.1.6.3.1.6.3.1.6. Mandulnya Dana Mandulnya Dana Mandulnya Dana Mandulnya Dana Transfer DaerahTransfer DaerahTransfer DaerahTransfer Daerah
Secara proporsi dana transfer ke daerah setiap tahun
mengalami peningkatan yang signifikan. Pasca diterapkannya
UU No.22 tahun 1999 yang kemudian direvisi menjadi UU
No.32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pembangunan
di Indonesia berubah cukup signifikan dari yang awalnya bersifat
terpusat (sentralisasi) menjadi desentralisasi (otonomi daerah).
Persoalannya, peningkatan dana transfer daerah tidak mampu
mendorong pertumbuhan ekonomi daerah secara signifikan.
Secara khusus masalah ini akan dijabarkan pada bab 3.2.
Pascareformasi, daerah-daerah diberikan wewenang
yang cukup besar untuk mengelola pemerintahannya sendiri.
Hampir semua wewenang yang tadinya terpusat di Pemerintah
Pusat, sejak 1999 menjadi wewenang Pemerintah Daerah.
Pemerintah Pusat kini hanya menjalankan enam sektor, yaitu
pertahanan, keamanan, agama, fiskal-moneter, politik luar
negeri, dan yustisi (hukum-peradilan), sedangkan sisanya adalah
kewenangan Pemerintah Daerah.
Seiring dengan terjadinya otonomi daerah tersebut,
anggaran transfer daerah tiap tahun pun memiliki tren yang terus
meningkat. Peningkatan dana transfer daerah diikuti oleh
penurunan belanja untuk Pemerintah Pusat. Pada 1990, dana
transfer daerah hanya sebesar 17 persen dan terus naik sebelum
terjadi krisis pada 1998/1999. Pascareformasi, pertumbuhan
dana yang ditransfer ke daerah cukup signifikan. Pada 2000
hanya sebesar 15 persen kemudian meningkat tajam menjadi 24
2 DBH lihat UU No.33 tahun 2004, Otsus lihat UU No. 18 tahun 2001 (untuk NAD), dan UU No. 21 tahun 2001 (untuk Papua dan Papua Barat).
56
persen pada tahun berikutnya dan kemudian stabil di atas 30
persen terhadap total belanja APBN (Gambar 3.8).
Sumber : SEKI BI, diolah
Gambar 3.8. Rasio BeGambar 3.8. Rasio BeGambar 3.8. Rasio BeGambar 3.8. Rasio Belanja Pemerintah Pusat dan Transfer lanja Pemerintah Pusat dan Transfer lanja Pemerintah Pusat dan Transfer lanja Pemerintah Pusat dan Transfer
Daerah terhadap Total Belanja Negara 1990Daerah terhadap Total Belanja Negara 1990Daerah terhadap Total Belanja Negara 1990Daerah terhadap Total Belanja Negara 1990----2011201120112011
(persen)(persen)(persen)(persen)
Dana transfer daerah sebagian besar disalurkan melalui
dana alokasi umum (DAU), dana bagi hasil (DBH), dana alokasi
khusus (DAK), dan dana otonomi khusus (otsus) dan dana
penyeimbangan (Gambar 3.9). Dari keempat dana tersebut
hanya DAK yang sifatnya fleksibel, sedangkan DAU, DBH, dan
Otsus sifatnya kaku (rigid) karena telah memiliki formula
tersendiri. Pembagian jatah anggaran ini didasarkan atas asas
keadilan yang terdiri dari kontribusinya terhadap pendapatan
nasional, karakteristik, serta kebutuhan daerah tersebut.3
3 Aturan tersebut diatur dalam UU No. 33 tahun 2004 (DBH), UU No. 18 tahun 2001 (Otsus NAD), dan UU No. 21 tahun 2001 (Otsus Papua).
57
Sumber : SEKI BI, diolah
Gambar 3.9. Komposisi Belanja Transfer Daerah 2003Gambar 3.9. Komposisi Belanja Transfer Daerah 2003Gambar 3.9. Komposisi Belanja Transfer Daerah 2003Gambar 3.9. Komposisi Belanja Transfer Daerah 2003----2011 2011 2011 2011
(persen)(persen)(persen)(persen)
Masing-masing dana perimbangan memiliki tujuan yang
berbeda. DAU bertujuan untuk meminimumkan ketimpangan
fiskal antar daerah dalam mendanai urusan pemerintahan yang
menjadi kewenangan daerah. Sementara DBH dialokasikan
kepada daerah berdasarkan pendapatan APBN guna mendanai
kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi.
DAK sendiri bertujuan mendanai program/kegiatan yang menjadi
kewenangan daerah dan menjadi prioritas nasional. Sedangkan
Dana Otsus dimaksudkan pendanaan dalam rangka otonomi
khusus Provinsi Papua dan Aceh. Kemudian, dana penyesuaian
dialokasikan dalam rangka mendukung pelaksanaan sistem
pendidikan nasional dan percepatan pengadaan infrastruktur
sarana dan prasarana di daerah.
58
3.2.3.2.3.2.3.2. Desentralisasi Fiskal dan Ketimpangan Antar WilayahDesentralisasi Fiskal dan Ketimpangan Antar WilayahDesentralisasi Fiskal dan Ketimpangan Antar WilayahDesentralisasi Fiskal dan Ketimpangan Antar Wilayah
Prestasi pertumbuhan ekonomi Indonesia yang stabil dan
relatif tergolong salah satu yang tertinggi di dunia tidak
selamanya mencerminkan kondisi pembangunan wilayah/daerah
di Indonesia. Tidak banyak pergeseran yang berarti antara
pembangunan ekonomi Pulau Jawa dan Sumatera dengan pulau-
pulau lainnya . Pulau Jawa dan Sumatera tetap mendominasi
lebih dari 80 persen perekonomian nasional (Tabel 3.3).
Padahal sejak era desentralisasi fiskal berjalan, upaya
pemerintah melakukan pemerataan fiskal telah dilakukan. Awal
1999 ketika desentralisasi fiskal dijalankan transfer fiskal hanya
sebesar 13,7 persen namun di 2012 telah mencapai 32,8 persen
dalam bentuk transfer daerah. Total anggaran Pemerintah Pusat
2012 yang disalurkan dalam bentuk program nasional di daerah,
subsidi, maupun melalui anggaran kementrian/lembaga yang
disalurkan ke daerah sebesar 61,88 persen. Dengan kata lain
sekitar 2/3 anggaran negara dihabiskan di daerah, namun belum
dapat memecahkan disparitas ekonomi antar daerah.
Tabel 3.3Tabel 3.3Tabel 3.3Tabel 3.3. Peranan Wilayah/Pulau Dalam Pembentukan PDB . Peranan Wilayah/Pulau Dalam Pembentukan PDB . Peranan Wilayah/Pulau Dalam Pembentukan PDB . Peranan Wilayah/Pulau Dalam Pembentukan PDB
NNNNasional (asional (asional (asional (persenpersenpersenpersen))))
Wilayah/Pulau 2010 2011 2012 Tw II Tw III
(1) (2) (3) (4) (5)
Sumatera 23,11 23,53 23,57 23,83
Jawa 58,07 57,63 57,62 57,52
Bali dan Nusa Tenggara 2,72 2,55 2,49 2,51
Kalimantan 9,16 9,55 9,49 9,26
Sulawesi 4,52 4,61 4,72 4,75
Maluku dan Papua 2,42 2,13 2,11 2,13
Total 100 100 100 100
Sumber : BPS, 2012 (diolah)
59
3.2.1.3.2.1.3.2.1.3.2.1. Ketimpangan Antar WilayahKetimpangan Antar WilayahKetimpangan Antar WilayahKetimpangan Antar Wilayah
Fenomena perkembangan antar wilayah pada dasarnya
sangat berkaitan dengan ketimpangan antar wilayah. Jika
menggunakan data Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)
dengan penghitungan Indeks Williamsons, ketimpangan
pembangunan ekonomi secara agregat menurun dalam 5 tahun
terakhir. Meskipun menurun, ketimpangan antara Kalimantan
dengan Sulawesi maupun Jawa jauh sekali perbedaannya. Pada
2011, Indeks Williamson untuk wilayah Kalimantan mencapai
0,73 sementara Jawa 0,2. Data tersebut menunjukkan bahwa
ketimpangan antar wilayah di Pulau Kalimantan jauh lebih
buruk di bandingkan Pulau Jawa (Gambar 3.10).
Keterangan: tidak termasuk DKI
Sumber: RAPBN 2013 (diolah)
Gambar 3.10 Indeks Williamson Untuk PDRB, 2007Gambar 3.10 Indeks Williamson Untuk PDRB, 2007Gambar 3.10 Indeks Williamson Untuk PDRB, 2007Gambar 3.10 Indeks Williamson Untuk PDRB, 2007----2011201120112011
Ketimpangan ini menurut Safrizal (2008) disebabkan
oleh beberapa hal. Pertama perbedaan kandungan sumberdaya
alam dimana daerah yang memiliki sumberdaya alam akan lebih
murah mendapatkan untuk kegiatan produksi sehingga lebih
cepat pertumbuhan ekonominya. Kedua, perbedaan kondisi
demografis yang terdiri atas pertumbuhan tingkat pertumbuhan
60
dan struktur penduduk, tingkat pendidikan dan kesehatan,
kondisi ketenagakerjaan, tingkat laku dan etos kerja
masyarakatnya. Ketiga, ketersediaan sarana dan prasarana untuk
mobilitas barang dan jasa. Jika terhambat maka kelebihan
produksi tidak dapat diperdagangkan sehingga daerah yang
transportasinya tidak memadai maka pertumbuhannya lebih
lambat.
Selain itu, pemasalahan terkait perencanaan
pembangunan Indonesia juga bermasalah dan cenderung tidak
sinkron. Dalam buku III RPJMN 2010-2014 terdapat prioritas
kebijakan yang diikuti dengan pengembangan lokus masing-
masing wilayah. Misalnya saja perindustrian akan banyak
diorientasikan pada wilayah Pulau Jawa, khususnys Jawa Barat
dan Jawa Timur. Sementara wilayah pertanian akan difokuskan
pada basis wilayah Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku,
Papua, serta Nusa Tenggara. Model ini telah terbukti membawa
perekonomian akan berpusat di Pulau Jawa karena faktor-faktor
produksi, termasuk modal juga berpusat di Pulau Jawa.
Kelemahan perencanaan lain tertuang dalam dokumen
MP3EI. Jika dilihat dari produk yang ditetapkan maka akan
terlihat basis industri tetap di Jawa sementara luar Jawa tetap
wilayah basis pertanian. Andai kebijakan ini dianggap cocok,
tetap perlu diingat bahwa Indonesia adalah negara kepulauan
sehingga konektivitas yang dibangun adalah transportasi antar
pulau melalui jalur laut (air), bukan seperti yang tertuang pada
MP3EI yaitu hanya berorientasi pada daratan. Apalagi MP3EI
tidak memiliki status hukum, maupun sumber pendanaan yang
jelas.
Pendukung lainnya adalah tidak sinkronnya antara
perencanaan dan penganggaran. Misalnya saja dalam buku II
61
Rencana Kerja Pemerintah (RKP) Tahun 2012, disebutkan bahwa
sasaran umum pembangunan infrastruktur berfokus pada
wilayah Indonesia Bagian Timur (IBT). Kenyataannya alokasi
DAK di wilayah IBT untuk infrasruktur jalan hanya sebesar
38,78 persen dan air minum hanya sebesar 32,36 persen
sementara sisanya untuk Indonesia Bagian Barat. Oleh karena
itu, wajar jika faktanya kesenjangan fiskal tetap saja terjadi.
Temuan Bank Dunia (2007) menunjukkan bahwa Pada 1999
kabupaten/kota paling kaya memiliki pendapatan fiskal per
kapita sebesar 30 kali daripada daerah miskin. Sebelum
pelaksanaan sistem desentralisasi, provinsi paling kaya memiliki
tingkat pendapatan 13 kali lebih besar daripada provinsi paling
miskin. Data ini semakin memburuk pada 2004 ketika
koefisiennya mencapai 15 kali.
Pemerintah pada dasarnya mencoba mengatasi
kesenjangan antar wilayah melalui kebijakan pemberian Dana
Alokasi Khusus (DAK) untuk sarana dan prasarana daerah
tertinggal serta sarana dan prasarana kawasan perbatasan. DAK
masih bermasalah baik dari sisi kualitas dan kuantitasnya. Studi
yang dilakukan Nugroho, et al (2010) menekankan bahwa
pengaruh belanja pemerintah daerah (APBD) tidak signifikan
mempengaruhi PDRB. Dengan kata lain, dengan segala skema
yang ada saat ini ternyata pengeluaran daerah belum mampu
untuk mengurangi ketimpangan yang ada.
Terdapat beberapa hal penyebab kenapa belanja
pemerintah daerah kurang signifikan memengaruhi
perekonomian setempat. Pertama, dari sisi alokasi anggaran
APBD yang ada mayoritas dibelanjakan untuk belanja pegawai
ketimbang belanja modal. Pada 2011 saja rata-rata belanja
modal untuk Pemerintah Kabupaten/Kota sebesar 18,8 persen,
sementara Pemerintah Provinsi sebesar 22,4 persen. Bandingkan
62
dengan belanja pegawai yang sebesar 52 persen untuk Pemda
dan 25,9 persen untuk Pemprov.
Kedua, meskipun telah ada DAK tetapi jumlahnya
terlampau kecil untuk membuat suatu perubahan. Jika
dibandingkan dengan total pendapatan daerah, rata-rata DAK
untuk Kabupaten/Kota sebesar 6,1 persen sementara untuk
Provinsi sebesar 0,9 persen. Dengan anggaran yang terlalu kecil
tersebut tentu tidak akan efektif merubah kondisi daerah dalam
waktu relatif cepat.
Ketiga, sasaran yang ditetapkan oleh pemerintah daerah
melalui APBDnya tidak fokus pada investasi sumberdaya
manusia. Kualitas dan kuantitas di daerah-daerah adalah salah
satu faktor utama yang menghambat berkembangnya
perekonomian di daerah setempat. Oleh karena itu, investasi
pada SDM (human capital) juga harus diprioritaskan oleh
daerah.
3.2.2.3.2.2.3.2.2.3.2.2. Titik Kritis DesentralisasiTitik Kritis DesentralisasiTitik Kritis DesentralisasiTitik Kritis Desentralisasi
Gambaran diatas menegaskan bahwa terdapat masalah
yang sangat prinsip terhadap akumulasi transfer daerah yang ada
serta tentunya terkait dengan pilihan kebijakan perencanaan dan
penganggaran itu sendiri. Transfer daerah dengan formula DAU
yang saat ini ada tampaknya perlu direposisikan kembali.
Pertama, kenaikan DAU sebagai implikasi kenaikan jumlah
pegawai justru menjadi beban daerah. Hal ini dikarenakan
daerah juga perlu menyiapkan tunjangan, fasilitas kantor,
maupun lainnya sebagai konsekuensi dari tambahan jumlah
pegawai. Secara agregat hal ini mengurangi kemampuan daerah
dalam menciptakan fiscal space yang cukup untuk
pembangunan. Sebagai catatan dalam periode 2007-2012 untuk
63
kabupaten/kota, belanja pegawai tumbuh sebesar 17,5 persen
per tahun, sementara belanja modal hanya tumbuh sebesar 8,93
persen per tahun.
Kedua, ukuran pemerintah daerah cenderung dianggap
sama. Misalnya menyetarakan antara Pemerintah Kabupaten dan
Pemerintah Kota, padahal jelas bahwa pusat pertumbuhan
ekonomi umumnya berada di perkotaan sehingga terjadi
pemusatan pertumbuhan. Implikasinya pada PAD adalah
wilayah perkotaan akan lebih cepat dibanding kabupaten.
Berikut beberapa langkah yang harus ditempuh untuk
memperbaiki sistem desentralisasi fiskal. Pertama, merubah
perilaku dan struktur belanja pemerintah daerah agar kualitas
belanjanya semakin membaik. Pertumbuhan belanja modal per
tahun sebaiknya harus lebih cepat ketimbang belanja pegawai,
khususnya di tingkat pemerintah kabupaten/kota. Kedua,
reformulasi pembiayaan pemerintah pusat ke daerah agar lebih
atraktif sebagai insentif pembangunan ekonomi daerah.
Ketiga, mulai melaksanakan strategi industrialisasi di
luar Pulau Jawa. Dalam 10 tahun terakhir tidak banyak
perkembangan berarti di luar Pulau Jawa. Jumlah industri
menengah dan sedang 2001 di Pulau Jawa sebanyak 17.413
sementara luar Pulau Jawa sebanyak 3.983. Kemudian pada
2010, Industri di Pulau Jawa meningkat menjadi 19.529
sementara luar Pulau Jawa justru turun mencapai 3.816. Untuk
wilayah IBT misalnya, dapat dimulai dari di Wilayah Sulawesi
Selatan guna mendorong kebutuhan penduduk (pasar) di
wilayah tersebut, misalnya industri makanan minuman dan
bahkan tekstil. Pilihan industri juga sepatutnya yang berbasiskan
pada bahan baku utama yang berasal dari sumberdaya alam,
baik pertanian, migas dan pertambangan. Perencanaan
pembangunan Ini perlu didukung oleh konektivitas infrastruktur
64
antar pulau yang memadai serta kualitas pelabuhan yang setara
dengan Pelabuhan Tanjung Priok. Strategi ini akan jelas
memunculkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi baru dengan
serapan tenaga kerja yang jauh lebih besar. Oleh karena itu,
dukungan pemerintah diperlukan untuk membangun
konektivitas tersebut. Sudah sepatutnya dokumen-dokumen
perencanaan pembangunan seperti RPJMN perlu direvisi agar
selara dengan dokumen-dokumen lainnya (misal MP3EI) agar
terjadi keselarasan dalam pembangunan nasional yang lebih
tertata, baik bagi Pemerintah Pusat dan Pemda.
Keempat, reformulasi desentralisasi pembagian
kewenangan secara bertahap. Strategi ini didasari bahwa di
dalam kepulauan besar juga terjadi ketimpangan yang cukup
besar. Di Pulau Sumatera, antara Bengkulu dan Sumatera Utara
sangat timpang. Begitu pula antara Kalimantan Timur dan
Kalimantan Tengah atau antara Selatan Pulau Jawa dengan
Wilayah Utaranya yang jelas sekali perbedaan kemajuannya.
Dengan demikian, perlakukan antara daerah yang satu dengan
daerah yang lain berbeda-beda. Implikasinya adalah sebagian
urusan di wilayah tertinggal, masih ditangani oleh Pemerintah
Pusat, sementara untuk Propinsi lainnya dapat otonomi secara
penuh.
Keempat agenda desentralisasi tersebut sepatutnya
menjadi bahan perenungan kembali dalam tiga Undang-Undang
yang saat ini tengah direvisi yakni UU No. 32 tahun 2004
tentang Pemerintah Daerah, UU N0. 33 tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Pemerintah Pusat dan Daerah, serta UU
No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Melihat
ketiganya tidak berdiri sendiri maka sepatutnya UU No. 25
tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan juga
perlu direvisi.
65
BAB 4
Kebijakan Kebijakan Kebijakan Kebijakan Investasi Investasi Investasi Investasi dandandandan Agenda Agenda Agenda Agenda InfrastrukturInfrastrukturInfrastrukturInfrastruktur
Di tengah krisis ekonomi dunia, pada 2012 kinerja
investasi Indonesia justru meningkat cukup pesat. Berdasarkan
laporan Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), realisasi
investasi sepanjang Januari-September 2012 mencapai Rp229,9
triliun atau meningkat 27 persen dibanding periode yang sama
tahun lalu. Sebagai catatan, investasi masih didominasi oleh
Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar Rp164,2 triliun atau
71,4 persen. Sementara realisasi Penanaman Modal Dalam
Negeri (PMDN) hanya mengambil porsi sebesar 28,6 persen atau
Rp65,7 triliun. Artinya, target realisasi investasi pemerintah pada
2012 sebesar Rp283,5 triliun, yang terdiri dari PMA sebesar
206,8 triliun dan PMDN sebesar Rp76,7 triliun sudah hampir
tercapai (81,1 persen).
Tak pelak pencapaian ini mengundang sanjungan
ekonom-ekonom dunia, seperti Nouriel Roubini (peraih nobel
ekonomi) dan George Soros. Bahkan pada Oktober 2012
Indonesia mendapat kado berharga berupa predikat investment
grade dari beberapa lembaga pemeringkat seperti Fitch, dari
semula BB+ menjadi BBB-, juga Moody’s, dari Ba1 menjadi
Baa3. Salah satu alasan peningkatan rating tersebut karena
66
Indonesia dianggap berhasil menjaga stabilitas makroekonomi
dan mengelola fiskal.
Peningkatan peringkat layak investasi di tengah lesunya
perekonomian dunia tentu membawa angin segar bagi ekonomi
Indonesia. Posisi investment grade akan menjadi panduan bagi
investor bahwa Indonesia mempunyai prospek bagus untuk
berinvestasi. Bahkan Roubini menyatakan bahwa mulai saat ini
bukan lagi BRIC (Brazil, Rusia, India, dan China) yang menjadi
lokomotif dunia, tapi MIST (Meksiko, Indonesia, Korsel, dan
Turki). Daya tarik lainnya bagi investor adalah komitmen
pemerintah untuk melakukan pendanaan proyek-proyek
infrastruktur yang telah didaftar dalam MP3EI.
Sumber: Diolah dari Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2012
Gambar 4.1. Realisasi Investasi Langsung (Rp triliun)Gambar 4.1. Realisasi Investasi Langsung (Rp triliun)Gambar 4.1. Realisasi Investasi Langsung (Rp triliun)Gambar 4.1. Realisasi Investasi Langsung (Rp triliun)
Sayangnya, besarnya arus investasi yang masuk ke
Indonesia belum berdampak signifikan terhadap penyerapan
tenaga kerja. Pada Triwulan III-2012 Investasi mencapai Rp81,8
triliun, namun jumlah tenaga kerja yang terserap hanya
mencapai 271.648 orang. Ironisnya, tingkat penyerapan tenaga
kerja pada Triwulan III-2012 justru mengalami penurunan dari
67
triwulan sebelumnya sebesar 22,72 persen (qoq) serta
mengalami pertumbuhan negatif dari periode yang sama tahun
sebelumnya yakni 18,46 persen (yoy).
Tabel 4.1. Penyerapan Tenaga Kerja Indonesia Triwulan IIITabel 4.1. Penyerapan Tenaga Kerja Indonesia Triwulan IIITabel 4.1. Penyerapan Tenaga Kerja Indonesia Triwulan IIITabel 4.1. Penyerapan Tenaga Kerja Indonesia Triwulan III----2012201220122012
2011201120112011 2012201220122012 PangsaPangsaPangsaPangsa PertumbuhanPertumbuhanPertumbuhanPertumbuhan
Q3Q3Q3Q3 Q2Q2Q2Q2 Q3Q3Q3Q3 2222012 : 012 : 012 : 012 :
Q3Q3Q3Q3 qoqqoqqoqqoq yoyyoyyoyyoy
PMDN 100.991 141.625 144.784 53,30 2,23 43,36
PMA 232.165 209.888 126.864 46,70 -39,56 -45,36
TotalTotalTotalTotal 333.156333.156333.156333.156 351.513351.513351.513351.513 271.648271.648271.648271.648 - -22,72 -18,46
Sumber: Diolah dari Badan Koordinasi Penanaman Modal, 2012
Dari total tenaga kerja yang terserap, kontribusi paling
besar justru berasal dari Penanaman Modal Dalam Negeri
(PMDN), yakni mencapai 144.784 orang (53,30 persen) atau
meningkat 43,36 persen dibandingkan periode yang sama 2011,
yakni sebesar 100.991 tenaga kerja. Sementara untuk
penyerapan tenaga kerja dari Penanaman Modal Asing (PMA)
mencapai 126.864 tenaga kerja (46,70 persen). Sayangnya
penyerapan tenaga kerja dari PMA tersebut mengalami
penurunan 45,36 persen dibandingkan periode yang sama 2011,
yaitu sebesar 232.165 tenaga kerja.
4.14.14.14.1.... Menata Ulang Kebijakan Investasi Menata Ulang Kebijakan Investasi Menata Ulang Kebijakan Investasi Menata Ulang Kebijakan Investasi
Negara berkembang, seperti Indonesia, tidak bisa
dipungkiri sangat membutuhkan masuknya Investasi asing. Di
samping untuk mengatasi kelangkaan dana domestik juga untuk
memberikan transfer teknologi. Investasi asing juga diharapkan
dapat mendorong lahirnya pengusaha domestik kelas dunia
dengan adanya persaingan langsung yang ketat, sehingga akan
mendorong kemajuan ekonomi di dalam negeri.
68
Indonesia memfasilitasi investasi asing sejak 1967
melalui UU No. 1/ 1967, yang kemudian disempurnakan lewat
PP No. 20/1994 dan UU Penanaman Modal No. 25/2007.
Hasilnya cukup luar biasa, sejak 2000-2010 terdapat
peningkatan peran PMA (penanaman modal asing) terhadap total
investasi nasional. Pada 2000, peran PMA masih sekitar 63
persen terhadap total investasi. Tetapi, hingga Triwulan III-2012
peran PMA melonjak menjadi sekitar 71,4 persen. Dengan kata
lain, sumbangan investasi domestik (PMDN) kurang dari 30
persen. Dengan begitu, konsep PMA sebagai pelengkap
(komplementer) beralih menjadi mendominasi.
Dominasi PMA tersebut dikhawatirkan akan mengancam
perekonomian nasional. Pemerintah mesti berhati-hati dengan
dominasi PMA, karena ketergantungan terhadap PMA akan
berbahaya karena apabila jumlah PMA menurun secara drastis,
maka akan memengaruhi kinerja ekonomi secara keseluruhan.
Mestinya, pemerintah memprioritaskan mendorong peningkatan
investasi domestik sebagai penyangga ekonomi nasional. PMA
memang sebuah keniscayaan, namun jangan sampai
kehadirannya malah meminggirkan investasi domestik. Apalagi
pada umumnya PMA tidak berorientasi ekspor, hanya
memanfaatkan pasar domestik. Tak pelak, pertumbuhan PMA
yang tinggi tidak lantas meningkatkan ekspor secara linier.
Sampai kini sebagian ekspor Indonesia masih tergantung dari
komoditas primer (seperti perkebunan) yang didominasi PMDN
(meskipun asing juga masuk ke sini). Hal ini diperkuat dengan
data BKPM bahwa pada Triwulan III-2012 investasi PMA
mayoritasnya berada di sektor sekunder sebesar 49,85 persen,
tersier 28,67 persen, dan 21,48 persen di sektor primer. Ini
artinya kegiatan investasi di Indonesia hanya menyantuni kaum
pedagang dan bukannya menyokong aktivitas produsen dalam
proses produksi di sektor industri pengolahan atau jasa.
69
Di samping masalah dominasi PMA, penyebaran
investasi yang terkonsentrasi hanya di wilayah Jawa juga patut
dianggap bahwa investasi turut menjadi sumber ketimpangan
pembangunan antardaerah. BKPM mencatat sampai Triwulan III-
2012 sekitar 53,5 persen Investasi berada di Jawa, berikutnya
Sumatera (15,9 persen), Kalimantan (15,1 persen), dan pulau-
pulau lain mendapatkan porsi yang sangat kecil. Artinya, sekitar
70 persen Investasi hanya menyasar di Jawa dan Sumatera saja.
Dengan pola semacam itu menjadi tidak aneh apabila
pembangunan ekonomi di Indonesia menjadi semakin timpang.
Namun kondisi ini tidak sepenuhnya kesalahan Investor.
Pembangunan infrastruktur (jalan tol, jembatan, listrik,
pelabuhan, dan lain-lain) terkonsentrasi di Pulau Jawa sehingga
para investor memilih Jawa sebagai lokasi investasi.
Implikasinya, kegiatan ekonomi terpusat di Jawa.
Penyebaran investasi yang tidak merata tersebut, maka
menjadi salah satu sumber ketimpangan pendapatan yang makin
menganga. Data BPS menunjukkan adanya peningkatan indeks
Gini Rasio (yang mengukur ketimpangan pendapatan). Di mana
pada 2004 Gini Rasio masih berada di level 0,32-0,33, namun
pada 2011 sudah melesat menjadi 0,41 (makin timpang). Salah
satun sumber ketimpangan tersebut adalah dari PMA karena
karakteristik PMA hanya sedikit menciptakan lapangan kerja
atau relatif padat modal/teknologi. PMA hanya menyerap tenaga
kerja yang berpendidikan. Sementara sebagian besar (70 persen)
tenaga kerja di Indonesia hanya tamatan SMP ke bawah.
Dengan deskripsi permasalahan tersebut, maka
peningkatan investasi yang masuk ke Indonesia masih diikuti
oleh kondisi yang mengkhawatirkan. Untuk itu, tidak ada pilihan
lain bagi pemerintah untuk segera menata ulang kebijakan
investasi nasional. Paling tidak terdapat tiga langkah
70
penyelamatan yang perlu pemerintah lakukan segera. Pertama,
investasi sebagian besar harus diarahkan ke sektor primer
(pertanian) dan sekunder (industri pengolahan). Dua sektor
tersebut dijadikan satu paket sehingga pertumbuhan satu sektor
akan memicu perkembangan sektor lainnya. Jika ini dilakukan,
bukan hanya target penyerapan tenaga kerja, tetapi juga
peningkatan nilai tambah. Tentu saja aspek lingkungan harus
dipertimbangkan agar pembangunan tetap dapat
berkesinambungan. Kedua, investasi harus dijadikan instrumen
pemerataan pembangunan (wilayah), bukan sebaliknya.
Konsekuensinya, lokasi investasi harus disebar ke seluruh
wilayah secara proporsional. Ketiga, penguatan investor
domestik harus mulai dirintis. PMA harus ditempatkan sebagai
pelengkap dan bukan sebagai sumber investasi utama.
Pemerintah perlu mendesain program kongkret guna
meningkatkan porsi PMDN dalam konfigurasi investasi nasional.
Dengan bergesernya dominasi PMA menjadi PMDN diharapkan
akan memperbesar partisipasi pelaku ekonomi domestik dalam
melakukan investasi. Pandangan ini bukan berarti sikap
antiasing, tetapi sekadar memastikan bahwa keberadaannya
harus betul-betul berada dalam porsi yang tepat dan memberi
manfaat bagi ekonomi nasional. Jika kebijakan tersebut konsisten
dilakukan, niscaya banyak masalah ekonomi nasional dapat
diselesaikan secara serentak, di samping target pertumbuhan
tercapai sekaligus masalah kemiskinan, pengangguran, dan
ketimpangan pendapatan juga akan teratasi.
4.2.4.2.4.2.4.2. Mengukur Daya Saing EkonomiMengukur Daya Saing EkonomiMengukur Daya Saing EkonomiMengukur Daya Saing Ekonomi
Indonesia masih saja menampakkan berbagai anomali.
Arus investasi langsung sepanjang Januari-September 2012
meningkat 27 persen (yoy), namun tidak dibarengi dengan
71
pencapaian sektor perdagangan. Pada Triwulan II-2012,
Indonesia justru terseok-seok menghadapi defisit perdagangan.
Bahkan kondisi defisit perdagangan 2012 merupakan kondisi
terburuk yang pernah dialami Indonesia. Penyebab utama defisit
perdagangan adalah terpuruknya kinerja ekspor Indonesia dan
membanjirnya barang impor. Kondisi tersebut tentunya akibat
rendahnya daya saing produk buatan Indonesia. Di samping
tidak mampu bersaing di pasar global, juga tidak mampu
menjadi tuan di negeri sendiri.
Hasil survei Forum Ekonomi Dunia (WEF) mengenai
indeks daya saing global (global competitiveness index) secara
mengejutkan mewartakan bahwa Indonesia mengalami
penurunan daya saing, turun peringkat dari posisi ke-46 (2011-
2012) menjadi ke-50 (2012-2013) dari 144 negara. Penyebab
utamanya adalah memburuknya variabel pokok daya saing
seperti korupsi dan penyogokan, perilaku tidak etis dunia usaha,
serta biaya yang muncul akibat kejahatan dan kekerasan. Posisi
Indonesia jauh tertinggal dari beberapa negara di kawasan
ASEAN, seperti Singapura (peringkat 2), Malaysia (peringkat 25),
Brunei (peringkat 28), dan Thailand (peringkat 38). Indonesia
hanya unggul dari Filipina, Vietnam, dan Kamboja yang masing-
masing berada di posisi ke-65, ke-75, dan ke-85. Kondisi ini
tentu memunculkan keprihatinan betapa Indonesia yang
notabene memiliki kekayaan sumber daya yang melimpah jauh
melebihi negara kecil, seperti Singapura, harus menerima
kenyataan pahit terpuruk dalam persaingan global.
72
Tabel 4.2. Peringkat Daya Saing GlobalTabel 4.2. Peringkat Daya Saing GlobalTabel 4.2. Peringkat Daya Saing GlobalTabel 4.2. Peringkat Daya Saing Global
Negara Negara Negara Negara PeringkatPeringkatPeringkatPeringkat
KeteranganKeteranganKeteranganKeterangan 2011/20122011/20122011/20122011/2012 2012/20132012/20132012/20132012/2013
Swiss 1 1 tetap Singapura 2 2 tetap AS 5 7 turunturunturunturun Jepang 9 10 turunturunturunturun
Korsel 24 19 naiknaiknaiknaik Malaysia 21 25 turunturunturunturun Brunei 28 28 tetap China 26 29 turunturunturunturun
Thailand 39 38 naiknaiknaiknaik Indonesia 46 50 turunturunturunturun Filipina 75 65 naiknaiknaiknaik Vietnam 65 75 turunturunturunturun
Kamboja 97 85 naiknaiknaiknaik
Sumber: The Global Competitiveness Index 2012-2013, WEF, Desember 2012
Persoalan daya saing tersebut dikhawatirkan akan
membebani iklim investasi di Indonesia, terutama PMDN. Bila
kondisi ini dibiarkan berlarut-larut akan menjadi disinsentif bagi
para pengusaha domestik dalam upaya memerkuat investasi.
Studi yang dilakukan oleh IFC (International Finance
Corporation) bekerja sama dengan World Bank, misalnya,
menunjukkan prestasi yang kurang menggembirakan soal iklim
investasi ini. Terdapat beberapa variabel yang dinilai oleh IFC
masih bermasalah dan menjadi kendala investasi, seperti:
memulai bisnis, perizinan, ketenagakerjaan, pengajuan kredit,
perlindungan investor, dan pembayaran pajak.
Sekadar ilustrasi, indikator memulai usaha pada 2013
berada di peringkat 166, menurun ketimbang 2012 (peringkat
161). Pola itu juga terjadi pada indikator perizinan konstruksi,
pengurusan kredit, perlindungan terhadap investor, dan
pembayaran pajak, di mana pada 2013 peringkatnya justru lebih
73
rendah daripada 2012. Sedangkan untuk indikator pendaftaran
properti, perdagangan lintas negara, menjalankan usaha, dan
penutupan usaha sedikit mengalami perbaikan. Perbaikan itu
boleh dikatakan kurang memiliki makna karena apabila
dibandingkan negara-negara tetangga iklim usaha di Indonesia
masih jauh tertinggal. Misalnya, dalam prosedur memulai usaha
posisi Indonesia berada di belakang Singapura (peringkat 4),
Hongkong (peringkat 6), Malaysia (peringkat 54), Thailand
(peringkat 85), dan Vietnam (peringkat 108). Padahal, dalam
konteks kompetisi penanaman modal asing, negara-negara itu
merupakan pesaing Indonesia. Posisi yang sama juga terjadi
pada aspek lain, seperti biaya memulai bisnis, waktu memulai
usaha, dan kerumitan pembayaran pajak.
Tabel 4.3. Peringkat Melakukan Usaha di Indonesia dalam Tabel 4.3. Peringkat Melakukan Usaha di Indonesia dalam Tabel 4.3. Peringkat Melakukan Usaha di Indonesia dalam Tabel 4.3. Peringkat Melakukan Usaha di Indonesia dalam
Doing BusinessDoing BusinessDoing BusinessDoing Business 2012201220122012----2013201320132013
NoNoNoNo Kemudahan dalam..Kemudahan dalam..Kemudahan dalam..Kemudahan dalam.. Peringkat Peringkat Peringkat Peringkat DoingDoingDoingDoing BusinessBusinessBusinessBusiness 2012201220122012
Peringkat Peringkat Peringkat Peringkat DoingDoingDoingDoing BusinesBusinesBusinesBusinesssss 2013201320132013
PerubahanPerubahanPerubahanPerubahan peringkatperingkatperingkatperingkat
Melakukan UsahaMelakukan UsahaMelakukan UsahaMelakukan Usaha 130130130130 128128128128 2222
1 Memulai Usaha 161 166 -5
2 Mengurus Ijin Konstruksi 72 75 -3
3 Mendaftarkan Properti 99 98 1
4 Memperoleh Kredit 127 129 -2
5 Melindungi Investor 46 49 -3
6 Membayar Pajak 129 131 -2
7 Perdagangan melalui Perbatasan 40 37 3
8 Menjalankan Kontrak 145 144 1
9 Menutup Usaha 149 148 1
Sumber: Doing Business 2012, World Bank dan IFC,dalam Kompas, Oktober
2012
74
Salah satu masalah utama dalam berinvestasi di daerah
ialah ekonomi biaya tinggi yang disebabkan oleh praktik
pungutan liar (pungli). Jika pada masa Orde Baru korupsi hanya
berpusat di pusat, kini di era desentralisasi praktik korupsi
tersebut justru tersebar secara masif ke seluruh daerah. Tidak
aneh jika Presiden SBY baru-baru ini menginstruksikan langsung
kepada seluruh jajaran pemerintah pusat, pemerintah daerah,
dan TNI/Polri untuk menghentikan pungli. Di samping itu,
investor juga seringkali terganjal dengan peraturan-peraturan
daerah yang membingungkan atau mempersulit kelancaran
usaha, termasuk kerumitan dalam pengurusan izin ditataran
birokrasi.
Korupsi di daerah menjadi salah satu penyebab
Indonesia menempati ranking 100 dari 183 negara pada
Corruption Perception Index (CPI). Studi yang dilakukan LPEM
FEUI (2008) menemukan bahwa pada pertengahan 2005,
persentase pembayaran ilegal (informal payment) kepada
pegawai pemerintah mencapai 1,7 persen dari total ongkos
produksi. Persentase itu telah menurun menjadi 1,3 persen pada
pertengahan 2007. Jika data itu disandingkan dengan temuan
riset lainnya, harapan cerah itu mungkin harus ditahan terlebih
dulu. Sebagai contoh, sebuah truk harus melewati 14 pos
pungutan apabila melakukan pengiriman barang dari Makassar
ke Kendari. Dari pos sebanyak itu, 64 persen biaya yang
dikeluarkan merupakan pungutan tidak resmi dan hanya 36
persen yang berupa pungutan resmi (LPEM FEUI, 2008). Jadi,
upaya pemerintah melakukan perbaikan iklim usaha, tidak
cukup hanya pada level kebijakan, yang terpenting justru dalam
implementasinya.
Deskripsi tersebut menyimpulkan realitas bahwa
ekonomi biaya tinggi masih menjadi karakter bisnis di Indonesia.
75
Beberapa hal mesti dilakukan untuk mendobrak kebuntuan ini.
Pertama, pemerintah pusat bertanggung jawab untuk
menyederhanakan regulasi yang menjadi ruang lingkupnya,
seperti perpajakan, jaminan kepada investor, ketenagakerjaan,
dan penutupan usaha. Pada level ini, kinerja yang sudah dicapai
oleh negara-negara tetangga, seperti Thailand dan Malaysia
(tidak perlu Singapura) bisa menjadi benchmark. Biaya-biaya
siluman yang dikeluarkan untuk variabel-variabel tersebut bisa
ditekan dengan pemanfaatan teknologi sehingga setiap proses
pembayaran tidak harus ada tatap muka antara pegawai
pemerintah dan (calon) investor. Pengurangan prosedur juga
merupakan keniscayaan.
Kedua, bagi pemerintah daerah diperlukan langkah
serius untuk menekan munculnya perda-perda yang anti
investasi. Pengalaman Kemenkeu dan Kemendagri yang
mencabut ribuan perda bermasalah membuktikan bahwa
banyaknya regulasi pemerintah daerah yang tidak sesuai dengan
semangat perbaikan iklim usaha. Oleh karena itu, pemerintah
pusat sebaiknya secara tegas memberikan penalti terhadap
daerah-daerah yang tidak mendukung ke arah perbaikan iklim
usaha/investasi. Sedangkan bagi daerah yang secara nyata
memberikan kontribusi terhadap perbaikan iklim investasi (dan
secara langsung mengurangi ekonomi biaya tinggi) perlu
diberikan insentif, baik dengan skema fiskal maupun nonfiskal.
Model inilah yang harus ditempuh oleh pemerintah, baik pusat
maupun daerah, sehingga perbaikan iklim investasi benar-benar
nyata di hari depan. Tanpa langkah sistematis semacam ini,
pengurangan ekonomi biaya tinggi hanya menjadi harapan
kosong.
76
4.3 4.3 4.3 4.3 Potret Infrastruktur NasionalPotret Infrastruktur NasionalPotret Infrastruktur NasionalPotret Infrastruktur Nasional
Dalam era persaingan global, Indonesia masih saja
dihadapkan pada berbagai masalah mendasar, salah satunya
adalah permasalahan infrastruktur. Padahal, tidak ada yang
memungkiri betapa pentingnya peran infrastruktur dalam
menentukan daya saing perekonomian bangsa. Dalam laporan
Bank Dunia (Curbing Fraud, Corruption and Collusion in the
Roads Sector, Mei 2011) ditunjukkan beberapa studi yang secara
jelas memaparkan kaitan di antara keduanya. Di pedesaan India,
misalnya, pembangunan jalan telah meningkatkan pertumbuhan
dan produktivitas pertanian (Fan, Hazell, dan Thorat, 1999).
Demikian pula, pembangunan jalan di China dan Thailand
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan
output, baik dalam kegiatan pertanian maupun non-pertanian
(Fan, et. al., 2000, 2002, 2004). Hal yang sama juga terjadi di
Meksiko, di mana pembangunan jalan memberikan donasi yang
kuat terhadap peningkatan produktivitas tenaga kerja
(Deichman, et. al., 2002). Oleh karena itu, semua negara
berkembang selama satu dekade terakhir berlomba-lomba
memperbaiki infrastruktur untuk mendongkrak pembangunan
ekonominya.
Dalam konteks Indonesia, proyek-proyek besar
pembangunan infrastruktur (jalan, jembatan, pelabuhan, listrik,
dan lain-lain) menggantungkan anggaran dari pemerintah pusat.
Namun, proyek-proyek infrastruktur dalam skala yang lebih kecil
merupakan domain pemerintah daerah sepenuhnya. Pemda
diberi kewenangan mutlak melakukan pembangunan
infrastruktur sesuai dengan kebutuhan masing-masing, baik
dikerjakan dengan anggaran sendiri maupun bekerjasama
dengan swasta. Namun, jika dilihat kondisi dan kualitas
infrastruktur daerah yang kian hancur pasca-pelaksanaan
77
otonomi daerah, maka temuan Bank Dunia itu mendapatkan
konfirmasi yang meyakinkan. Slogan pemerintah pusat dan
daerah bergemuruh melakukan pembangunan infrastruktur,
tetapi realitasnya kondisi infrastruktur malah banyak yang makin
hancur.
Setidaknya terdapat empat infrastruktur vital yang saat ini
dalam kondisi mencemaskan. Pertama, jalan raya strategis. Jalan
di Indonesia sampai 2009 memiliki panjang sekitar 476.337 km,
di mana tak jarang masih merupakan warisan Pemerintah
Kolonial Belanda. Padahal dengan luas daratan yang sangat
besar, panjang jalan yang kini tersedia belum optimal dalam
mendukung aktivitas ekonomi domestik. Hasil studi Bank Dunia
mengungkapkan bahwa untuk menempuh 100 kilometer
perjalanan darat di Indonesia dibutuhkan waktu selama 2,7 jam.
Sedangkan China dan Thailand saja masing-masing hanya
membutuhkan waktu rata-rata 1,2 jam dan 1,3 jam untuk
menempuh jarak 100 kilometer (Media Indonesia, September
2012).
Demikian pula dengan kondisi rel kereta api di Indonesia
yang pada 2009 baru sepanjang 5.042 km. Jumlah ini sangat
jauh tertinggal dibandingkan dengan China dan India yang
masing-masing memiliki panjang rel kereta api sebesar 65.491
km dan 63.273 km. Sementara itu, konsumsi listrik per kapita
juga masih relatif kecil hanya 590 kwh per kapita. Bandingkan
dengan penduduk di China yang mengkonsumsi listrik sebanyak
2.631 kwh per kapita. Rendahnya konsumsi listrik di Indonesia
ditenggarai karena terbatasnya pasokan listrik dari PLN yang
disebabkan kekurangan bahan bakar bagi pembangkit listrik
milik PLN, baik dari batubara maupun gas. Ironisny lagi, dua
jenis bahan bakar utama tersebut justru di ekspor ke China.
78
Tabel 4.4. Perbandingan Indikator Infrastruktur Beberapa Tabel 4.4. Perbandingan Indikator Infrastruktur Beberapa Tabel 4.4. Perbandingan Indikator Infrastruktur Beberapa Tabel 4.4. Perbandingan Indikator Infrastruktur Beberapa
Negara, TahuNegara, TahuNegara, TahuNegara, Tahun 2009n 2009n 2009n 2009
IndikatorIndikatorIndikatorIndikator IndonesiaIndonesiaIndonesiaIndonesia MalaysiaMalaysiaMalaysiaMalaysia ChinaChinaChinaChina IndiaIndiaIndiaIndia
Jalan Raya (km) 476.337 - 3.860.823 4.109.592 Rel Kereta Api (km) 5.042 1.849 86.000 63.273 Bandara (unit) 689 58 502 125 Telepon seluler per kapita (per 100 orang) 68,94 107,9 55,8 61,42 Konsumsi listrik per kapita (kwh per kapita)
590 3.613 2.631 570
Rasio belanja Infrastruktur terhadap GDP (%)
2,43 2 9 8
Sumber: The World Bank dan Index mundi, 2012
Persoalan lain yang juga perlu diperhatikan adalah
rendahnya rasio belanja infrastruktur terhadap PDB. Alokasi
infrastruktur di Indonesia tidak pernah melebihi 5 persen
terhadap PDB. Bandingkan dengan keseriusan pemerintah China
dan India dalam mengalokasikan anggaran infrastruktur, dengan
rasio belanja infrastruktur terhadap PDB masing-masing sebesar
9 persen dan 8 persen. Hasilnya, dari hasil survei World
Economic Forum (WEF) terhadap 144 negara, peringkat daya
saing Indonesia dalam hal infrastruktur melorot dua peringkat
dari posisi ke 76 pada 2011 menjadi peringkat ke 78. Hal ini
disebabkan dari sembilan aspek daya saing infrastruktur, lima di
antaranya menurun drastis. Kualitas infrastruktur secara
keseluruhan jatuh dari peringkat 82 menjadi 92. Sementara
kualitas jalan merosot dari peringkat 83 ke 90, lalu kualitas
infrastruktur pelabuhan melemah dari 103 ke 104. Begitupun
pada kualitas infrastruktur transportasi udara yang memburuk
dari posisi ke 80 menjadi 89 dan juga tingkat langganan ponsel
per 100 orang anjlok dari peringkat 79 ke 90.
79
Tabel 4.5. Peringkat Kualitas Infrastruktur IndonesiaTabel 4.5. Peringkat Kualitas Infrastruktur IndonesiaTabel 4.5. Peringkat Kualitas Infrastruktur IndonesiaTabel 4.5. Peringkat Kualitas Infrastruktur Indonesia
Aspek Aspek Aspek Aspek PPPPeringkateringkateringkateringkat Perubahan Perubahan Perubahan Perubahan
PeringkatPeringkatPeringkatPeringkat 2011/20122011/20122011/20122011/2012 2012/20132012/20132012/20132012/2013 Kualitas infrastruktur secara keseluruhan 82 92 ----10101010
Kualitas jalan 83 90 ----7777
Kualitas rel kereta api 52 51 1
Kualitas infrastruktur pelabuhan 103 104 ----1111 Kualitas infrastruktur tranportasi udara 80 89 ----9999
Ketersediaan kursi penerbangan 20 20 0
Kualitas pasokan listrik 98 93 5 Tingkat langganan ponsel per 100 orang 79 90 ----11111111 Saluran telepon tetap per 100 orang 82 78 4
Sumber: The Global Competitiveness Report 2012-2013, World Economic
Forum, 2012
Kondisi infrastruktur yang kian memprihatinkan tersebut
sangat berhubungan dengan rendahnya kepedulian pemerintah
dalam pembangunan dan perbaikan infrasturktur. Alokasi
anggaran belanja negara untuk infrastruktur di dalam APBN
sangat minim, tidak pernah mencapai porsi idealnya, yaitu
minimal 5 persen dari produk domestik bruto (PDB). Setelah
mendapat tekanan publik yang masif, belanja infrastruktur tahun
2013 mencapai sebesar Rp188,4 triliun atau mengalami
kenaikan terbesar selama paska reformasi. Namun angka
tersebut masih berada sekitar 2,43 persen dari PDB.
Permasalahan rendahnya alokasi anggaran infrastruktur
belum berhenti di sini. Menurut Adam (2012), koefisien
infrastruktur di Indonesia sangat kecil dibandingkan beberapa
negara lain. Setiap kenaikan 1 persen belanja infrastruktur
berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi di China sebesar
80
0,33 persen, di India sebesar 0,21 persen, sedangkan di
Indonesia hanya sebesar 0,17 persen. Rendahnya koefisien
infrastruktur tersebut mencerminkan rendahnya efektivitas
belanja infrastruktur untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.
Hasil kajian INDEF juga menunjukkan hal yang sama,
peningkatan belanja modal pemerintah, hanya berdampak pada
peningkatan investasi pemerintah sebesar 30 persen. Artinya
efektivitas belanja modal yang berujung terbangunnya
infrastruktur hanya sebesar 30 persen.
Sumber: Nota Keuangan APBN 2013, Kementerian Keuangan
Keterangan: PDB 2012 berdasarkan asumsi APBN 2012, PDB 2013
diasumsikan tumbuh 6,1 persen
Gambar 4.2. Rasio AGambar 4.2. Rasio AGambar 4.2. Rasio AGambar 4.2. Rasio Anggaran Infrastruktur terhadap PDBnggaran Infrastruktur terhadap PDBnggaran Infrastruktur terhadap PDBnggaran Infrastruktur terhadap PDB
Beberapa faktor penyebab kondisi tersebut antara lain
adalah rendahnya kualitas penyerapan anggaran dan pola
penyerapan anggaran di bidang infrastruktur. Hingga akhir
November 2012 ini saja, Kementerian Pekerjaan Umum (PU)
yang menjadi ujung tombak pembangunan infrastruktur baru
bisa merealisasikan belanja sekitar 68 persen dari total anggaran
kementerian (Investor Daily, 4/12/2012). Ditambah lagi,
81
mencuatnya berbagai kasus korupsi yang terkait proyek
infrastruktur yang semakin menggeroti anggaran infrastruktur
yang notabene sudah sangat kecil.
Di sisi lain, dibandingkan dengan anggaran yang
dikucurkan untuk subsidi energi (BBM dan listrik), anggaran
infrastruktur sangat jauh sekali tertinggal. Gambar 4.3
menunjukkan dari 2009 hingga 2013, anggaran infrastruktur
selalu lebih rendah dari subsidi energi. Pada APBN 2013, subsidi
energi menyedot dana sebesar Rp274,7 triliun, selisih Rp86
triliun dari anggaran infrastruktur yang hanya diberi jatah
Rp188,4 triliun. Besaran subsidi energi tersebut masih sangat
mungkin jika pemerintah tetap mempertahankan kebijakan
populis.
Sumber: Investor Daily, Oktober 2012
Gambar 4.3. Subsidi Energi Vs Anggaran Infrastruktur (Rp triliun)Gambar 4.3. Subsidi Energi Vs Anggaran Infrastruktur (Rp triliun)Gambar 4.3. Subsidi Energi Vs Anggaran Infrastruktur (Rp triliun)Gambar 4.3. Subsidi Energi Vs Anggaran Infrastruktur (Rp triliun)
Di samping masalah minimnya pendanaan infrastruktur,
pembangunan infrastruktur juga terkendala masalah lahan atau
perizinan di daerah. Pembebasan lahan dan pendanaan menjadi
kendala utama dalam merealisasikan proyek-proyek infrastruktur
82
yang sudah dianggarkan pada tahun 2012. Sedikitnya ada lima
proyek infrastruktur transportasi yang tertunda realisasinya pada
tahun 2012i (Bappenas dan KP3EI dalam Kompas, Oktober
2012), antara lain:
i) Elektrifikasi jalur Padalarang-Bandung-Cicalengka (45km)
dan Kiaracondong-Cicalengka (22km), dengan nilai
proyek Rp304 miliar
ii) Pembangunan pengarah arus Bakauheni sisi timur dan
barat, dengan nilai proyek Rp1.000 miliar
iii) Pengembangan Pelabuhan Panjang dan pengembangan
Pelabuhan Sebalang, dengan nilai proyek Rp282 miliar
iv) Pembangunan Dermaga Kuala Tanjung di Kabupaten
Batu Bara Sumatera Barat, nilai proyek Rp567,5 miliar
v) Pengembangan Bandar Udara Mbai di Kabupaten
Nagekeo (NTT).
Kegagalan pemerintah dalam merealisasikan proyek-
proyek infrastruktur tersebut akhirnya menjadi cermin
ketidakseriusan pemerintah dan menjadi sumber ketimpangan
ekonomi antarwilayah dan ketimpangan antarsektor ekonomi.
Sampai 2011 kue pembangunan masih terkonsentrasi di Jawa
dan Sumatera. PDRB Jawa menyumbang sekitar 57,6 persen dari
total PDB dan Pulau Sumatera mengambil porsi sebesar 23,3
persen. Kedua pulau tersebut menguasai sekitar 82 persen dari
PDB Indonesia. Pulau Kalimantan, Sulawesi, Papua, Bali dan
Nusa Tenggara hanya mendapat bagian sekitar 18 persen.
Disparitas pertumbuhan ekonomi antarwilayah tersebut
semakin tak terbantahkan disebabkan oleh persoalan
infrastruktur. Lebih dari 55 persen infrastruktur terdapat di pulau
Sumatera dan Jawa yang luasnya hanya mencakup sekitar 32
persen dari seluruh wilayah Indonesia. Sisanya sekitar 45 persen
83
sebaran infrastruktur berada di Kalimantan, Sulawesi, Maluku
dan Papua yang luasnya lebih dari 68 persen dari luas wilayah.
Wilayah yang secara relatif cukup seimbang antara luas, sebaran
penduduk dan infrastruktur adalah pulau Sumatera serta Bali dan
Nusa Tenggara. Sedangkan wilayah lainnya cenderung timpang,
baik kelebihan penduduk seperti pulau Jawa maupun yang
kepadatan penduduknya relatif rendah seperti di Kalimantan,
Maluku, dan Papua.
Sumber: Statistik Indonesia, 2012
Gambar 4.4. Perbandingan Luas Wilayah, Penduduk, dan Gambar 4.4. Perbandingan Luas Wilayah, Penduduk, dan Gambar 4.4. Perbandingan Luas Wilayah, Penduduk, dan Gambar 4.4. Perbandingan Luas Wilayah, Penduduk, dan
InfrastrukturInfrastrukturInfrastrukturInfrastruktur, , , , 2011 (persen)2011 (persen)2011 (persen)2011 (persen)
Selanjutnya, ketimpangan antarsektor ekonomi ditunjuk-
kan oleh semakin tergerusnya kontribusi sektor pertanian dan
industri dalam pembangunan. Pada 2011 sektor pertanian hanya
tumbuh 3 persen, bahkan pada 2010 tumbuh 2,86 persen,
padahal pertumbuhan ekonomi nasional di atas 6 persen.
Kondisi yang sama juga terjadi di sektor industri, yang
pertumbuhannya kerap di bawah 4 persen pada 2008 dan 2009.
Menginjak 2011 sektor industri baru membaik dan tumbuh
sebesar 6,2 persen. Namun demikian, kontribusi sektor industri
84
terhadap PDB melorot menjadi 24 persen, padahal pada 2005
mencapai 28 persen. Sebaliknya, sektor nontradeable tumbuh
kencang dan menyumbang besar bagi pertumbuhan ekonomi
nasional.
Jika Indonesia tidak ingin tertinggal dari negara-negara
lain, pembangunan infrastruktur harus segera digencarkan.
Apalagi, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan segera
diberlakukan pada 2015 nanti. Jika kondisi infrastruktur masih
mengenaskan, bukan tidak mungkin Indonesia hanya akan
menjadi penonton dan pasar bagi komoditas impor negara-
negara lain karena rendahnya daya saing atau tingginya biaya
logistik.
4.5 4.5 4.5 4.5 Agenda Mendesak Infrastruktur Agenda Mendesak Infrastruktur Agenda Mendesak Infrastruktur Agenda Mendesak Infrastruktur
Pada September 2012 lalu McKinsey Global Institute
(MGI) menyatakan bahwa Indonesia berpeluang menjadi negara
dengan kekuatan ekonomi ketujuh terbesar di dunia pada 2030.
Alasannya karena pertumbuhan ekonomi yang terus meningkat
dibandingkan dengan negara-negara berkembang lainnya seperti
Brasil, Rusia, India, dan China. Selain itu, pertumbuhan
masyarakat kelas menengah juga cukup signifikan sehingga
sangat dapat diandalkan menjadi kekuatan pasar domestik.
Sungguh pun begitu, pemerintah tidak boleh terburu-
buru membusungkan dada setelah mendengar ramalan MGI
tersebut. Masih terlalu banyak pekerjaan rumah yang harus
segera dibenahi pemerintah, salah satunya yakni persoalan
infrastruktur. Apalagi, perilaku korupsi yang masih merajalela di
negeri ini dikhawatirkan akan menjadi batu sandungan terbesar
bagi upaya pembangunan infrastruktur di Indonesia. Jika
pemerintah tidak serius membenahi problem korupsi dan
85
infrastruktur, momentum untuk menjadi negara terbesar ketujuh
dunia tersebut akan lewat begitu saja dan bahkan menjadi
kebalikannya, Indonesia justru akan terpuruk menjadi bangsa
tertinggal karena seluruh sumber daya yang ada terkuras habis
digerogoti pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab.
Mendekati pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN
(MEA) pada 2015 nanti, semakin besar kekhawatiran akan
terperosok dan babak belurnya Indonesia dalam menghadapi
babak baru persaingan global di kawasan ASEAN. Bagaimana
tidak, pada pertemuan ASEAN Senior Transport Official 26
November 2012 lalu di Bali, telah disepakati pelaksanakan tiga
proyek vital yang akan menghubungkan Indonesia dengan
negara-negara di kawasan. Proyek tersebut antara lain jaringan
jalan tol ASEAN (ASEAN Highway Network), jalur rel Kunming
Singapura (Singapore Kunming Rail Link), dan studi kelayakan
jaringan kapal penyeberangan (ro-ro) maupun angkutan laut.
Adanya rencana ketiga proyek tersebut membawa konsekuensi
bahwa arus barang dan jasa dari luar negeri akan semakin deras.
Ini artinya pasar Indonesia akan semakin mudah diserbu oleh
produk-produk luar. Padahal, ketersediaan infrastruktur atau
konektivitas dalam negeri masih sangat minim. Jika Indonesia
belum siap dalam memperkuat daya saing produk domestik,
artinya Indonesia akan menghadapi gempuran produk-produk
dari luar negeri.
Sementara itu, proyek percepatan dan perluasan
pembangunan ekonomi Indonesia (MP3EI) yang notabene
menitikberatkan pada infrastruktur di semua provinsi justru
terganjal oleh birokrasi sendiri. Tarik ulur kepentingan
antarkementerian maupun pusat-daerah masih sangat menonjol.
Misalnya pada kasus pemberian izin lokasi industri di areal
kehutanan oleh pemerintah daerah, ternyata areal kehutanan
86
tersebut belum dikonversi terlebih dahulu untuk dijadikan areal
industri. Contoh persoalan lain adalah masih belum jelasnya
Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di sebagian provinsi.
Berbagai kendala tersebut pada akhirnya justru akan menjadi
penghambat proyek MP3EI yang telah pemerintah dengung-
dengungkan selama ini.
Menyikapi berbagai persoalan yang mendera
infrastruktur tersebut, tidak ada pilihan lain bagi pemerintah
selain merealisasikan secara konsisten pembangunan
infrastruktur dengan target yang lebih terukur. Beberapa langkah
dan solusi atas permasalahan tersebut antara lain, Pertama,
persoalan keterbatasan dana untuk membiayai proyek-proyek
infrastruktur dapat dipecahkan antara lain dengan cara
membentuk lembaga pembiayaan khusus infrastruktur; melalui
pembiayaan perbankan, terutama bank BUMN; pemanfaatan
sumber pendanaan dari dana pensiun dan asuransi; serta IPO
BUMN yang terkait infrastruktur. Adapun opsi mengeluarkan
surat utang/obligasi sebagai modal pembiayaan dan instrumen
pembiayaan bilateral, multilateral, dan internasional harusnya
menjadi opsi terakhir jika sumber-sumber pembiayaan utama
sudah tidak dapat dilakukan.
Kedua, menjalin kerja sama dengan sektor privat
domestik untuk mengerjakan infrastruktur jalan tol dan
pelabuhan. Pemerintah dapat memberi aneka insentif agar
sektor swasta tertarik masuk ke bidang infrastruktur, seperti
jaminan terhadap risiko proyek yang diperjanjikan dengan
pemerintah guna meningkatkan kelayakan credit
(creditworthiness) proyek, kepastian lahan, fleksibilitas negosiasi
variasi transfer tingkat risiko dari pemerintah ke sektor swasta,
dan lain-lain. Lebih penting lagi, dibutuhkan komitmen politik
untuk memprioritaskan pembangunan infrastruktur.
87
Ketiga, terkait penyelesaian masalah ketimpangan
antarsektoral harus dimulai dengan prioritas pembangunan
infrastruktur di sektor pertanian dan masyarakat perdesaan.
Selama ini proyek infrastruktur yang dibangun pemerintah lebih
berorientasi pada pembangunan jalan (tol), listrik (di perkotaan
dan sektor industri), dan lain-lain. Padahal sektor pertanian
merupakan sektor terbesar yang menjadi tumpuan mata
pancaharian penduduk Indonesia. Untuk itu pembangunan
infrastruktur pertanian dan perdesaan seperti bendungan, irigasi,
jalan perdesaan, dan air bersih harus menjadi prioritas. Apalagi
pemerintah telah mencanangkan target ambisius di sektor
pertanian yakni swasembada pangan.
Keempat, terkait penyelesaian masalah ketimpangan
antarwilayah dapat dipecahkan dengan pembangunan di sektor
maritim/kelautan, tujuan antaranya ialah konektivitas antarpulau.
Sektor kelautan sangat perlu diperhatikan karena dua per tiga
luas wilayah Indonesia merupakan lautan. Apabila sektor
kelautan dikembangkan, maka pembangunan Indonesia bagian
timur akan lebih mudah dicapai sebab sumber daya kelautan
sebagian besar berada di wilayah tersebut.
Pembangunan infrastruktur di sektor kelautan pada 2013
sedikit terbantu dengan adanya pinjaman dari Bank
Pembangunan Asia (ADB) sebesar Rp2,88 triliun untuk
perbaikan konektivitas domestik dan internasional, khususnya
dalam hal perbaikan pelabuhan. Kabar baik juga datang dari
Agen Pembangunan Perancis (AFD) yang menawarkan pinjaman
secara langsung (direct loan) kepada perusahaan-perusahaan
BUMN tanpa melalui perantara dan jaminan pemerintah.
Pinjaman senilai US$400 juta (Rp3,85 triliun) tersebut
diperuntukkan bagi pengerjaan proyek-proyek infrastruktur.
88
Masih banyak persoalan dalam pembangunan
infrastruktur di Indonesia, misalnya kapasitas birokrasi dan
koordinasi pemerintah/kementerian. Kasus korupsi perlu benar-
benar disikapi pemerintah secara serius karena hal itu membuat
kualitas infrastruktur menjadi sangat rendah. Sementara itu,
ketimpangan pembangunan antarwilayah, pelibatan sektor
swasta, dan pemihakan terhadap sektor pertanian/pedesaan
harus diupayakan menjadi pertimbangan utama dalam
pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur tidak
hanya memiliki manfaat ekonomi, namun juga berkontribusi
dalam menciptakan tatanan sosial yang berkeadilan.
89
BAB 5
PerdaganganPerdaganganPerdaganganPerdagangan BebasBebasBebasBebas dandandandan
Lemahnya Lemahnya Lemahnya Lemahnya Daya SaingDaya SaingDaya SaingDaya Saing IndustriIndustriIndustriIndustri
Instrumen perdagangan internasional merupakan salah
satu komponen penting dalam mencapai pertumbuhan ekonomi
suatu negara. Sebagai negara berkembang, Indonesia juga
memanfaatkan komponen ini untuk mengejar pertumbuhan
ekonominya. Hingga 2011, sebesar 11,3 persen sumbangan
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) berasal dari hasil surplus
neraca perdagangan (BPS, 2012). Namun, nampaknya tradisi
surplus neraca perdagangan Indonesia mulai terganggu
dikarenakan faktor buruknya kinerja perdagangan pada 2012.
Memburuknya kinerja perdagangan Indonesia
disebabkan salah satunya karena rendahnya daya saing dalam
percaturan liberalisasi perdagangan. Indonesia tidak cukup
mempersiapkan diri dalam menghadapi berbagai kesepakatan
kerjasama perdagangan bebas dalam berbagai skema. Padahal
perjanjian perdagangan bebas telah menjadi agenda jangka
panjang bagi setiap negara di dunia.
Perdagangan bebas yang ditandai dengan perjanjian
perdagangan preferensial (Preferential Trade Agreement)
antarnegara telah berevolusi dan berkembang secara signifikan.
Perkembangan PTA dalam rentang 1950 sampai dengan 2012
90
yang dilansir oleh WTO mencatat bahwa terdapat 511 notifikasi
skema PTA yang telah diterima oleh GATT/WTO yang mana
370 di antaranya telah memenuhi ketentuan GATT/WTO
berdasarkan Pasal XXIV. Selain itu ESCAP (2011) juga mencatat
setidaknya setengah dari jumlah PTA yang telah ditandatangani
secara resmi secara aktif melibatkan negara di wilaya Asia
dengan ruang lingkup perjanjian yang bervariasi. Terlepas dari
tingginya variasi dari PTA tersebut, dapat ditarik sebuah benang
merah bahwa tren ekspansi PTA ditandai dengan meningkatnya
partisipasi negara berkembang dalam perdagangan bebas dan
ruang lingkup perjanjian yang ekstra atau dikenal dengan istilah
“komprehensif”. Perdagangan bebas tidak hanya dalam
perdagangan barang, tetapi juga aspek perdagangan jasa,
investasi, kekayaan intelektual, hambatan teknis perdagangan
dan penyelesaian sengketa (dispute settlements).
Dalam menyikapi berbagai kesepakatan perdagangan,
Indonesia telah berkomitmen untuk melakukan strategi
kerjasama perdagangan internasional “triple track strategy”
sebagai pilar strategi diplomasi perundingan perdagangan
internasional. Ketiga pilar startegi tersebut adalah: Pertama,
melalui negosiasi multilateral di bawah naungan WTO. Kedua,
secara regional terutama sebagai anggota dari ASEAN (ASEAN
Trade in Goods Agreement (ATIGA) dan dalam rangka ASEAN
ditambah mitra dagang (ASEAN+3). Bersama ASEAN, Indonesia
telah menyelesaikan kerjasama Free Trade Agreement (FTA)
ASEAN—China Free Area Agreement (AC-FTA), ASEAN-Korea
FTA (AK-FTA), ASEAN-India FTA (AI-FTA), ASEAN-Australia-
New Zealand FTA (AANZ-FTA), dan ASEAN-Japan
Comprehensive Economic Partnership (AJ-CEP). Ketiga,
kerjasama perdagangan secara bilateral, di mana Indonesia baru
menyelesaikan satu perjanjian FTA, yaitu Indonesia-Japan
Economic Partnership Agreement (IJ-EPA).
91
Tabel 5.1. Skema Tabel 5.1. Skema Tabel 5.1. Skema Tabel 5.1. Skema Preferential Trade AgreementPreferential Trade AgreementPreferential Trade AgreementPreferential Trade Agreement Indonesia per Indonesia per Indonesia per Indonesia per
2012201220122012
Jenis PTAJenis PTAJenis PTAJenis PTA Periode Periode Periode Periode
pemberlakuanpemberlakuanpemberlakuanpemberlakuan Ruang LingkupRuang LingkupRuang LingkupRuang Lingkup Skema Liberalisasi PerdaganganSkema Liberalisasi PerdaganganSkema Liberalisasi PerdaganganSkema Liberalisasi Perdagangan
ASEAN ASEAN ASEAN ASEAN Economic Economic Economic Economic
CommunityCommunityCommunityCommunity
AEC 2015 Komprehensif ASEAN-CEPT: ± 98% dari total tariff line
ASEAN ASEAN ASEAN ASEAN ———— ChinaChinaChinaChina
1 Juli 2005 Komprehensif Early Harvest Early Harvest Early Harvest Early Harvest Chapter 01-08 pada tahun 2006
Normal TrackNormal TrackNormal TrackNormal Track: 40% menjadi 0-5% di tahun 2010
Sensitive Track Sensitive Track Sensitive Track Sensitive Track
Sensitive List (SL) : Tahun 2012 = 20%
Highly Sensitive List (HSL) tahun 2015=50%
ASEAN ASEAN ASEAN ASEAN ———— KoreaKoreaKoreaKorea
1 Juli 2007 Komprehensif KoreaKoreaKoreaKorea: Eliminasi Tariff Normal Track sampai dengan 1 Januari 2010.
ASEANASEANASEANASEAN----6666
Normal Track : penurunan tariff saampai tenggat waktu 1 januari 2011 (terdapat fleksibilitas < 5% darif tariff line dalam skema normal track dapat diturunkan pada periodel 1 Januari 2012
Sensitive TrackSensitive TrackSensitive TrackSensitive Track 10% dari total tariff line.
ASEAN ASEAN ASEAN ASEAN ———— Jepang Jepang Jepang Jepang
1 Desember 2008
Komprehensif Normal Track (NT)Normal Track (NT)Normal Track (NT)Normal Track (NT) —90% of total tariff line ASEAN dan 92% total tariff line Jepang Sensitive Track (ST) Sensitive Track (ST) Sensitive Track (ST) Sensitive Track (ST) ---- 8% dari total tariff line HS 6 digit dan nilai perdagangan
ASEAN ASEAN ASEAN ASEAN ———— Australia Australia Australia Australia ———— New Zealand New Zealand New Zealand New Zealand
1 Januari 2012 Komprehensif 90 persen dari NZ tariff line dan 91.77% tariff line Australia akan dihapuskan pada tahun 2010.
90.23% tariff line Indonesia akan dihapuskan pada tahun 2015.
ASEAN ASEAN ASEAN ASEAN ———— India India India India
Indonesia telah meratifikasi perjanjian perdagangan barang
perjanjian perdagangan jasa dan investasi sedang berlangsung
42.56% dari total tariff line Indonesia dan 79.35% tariff line India akan diturunkan sampai dengan tenggat waktu tahun 2016
Sumber: Kementerian Perdagangan, 2012
92
Konsekuensi dari berbagai skema FTA tersebut adalah
bermuara pada penghapusan hambatan (tarif) pada setiap
komoditas yang diperdagangkan. Dengan adanya penghapusan
hambatan khususnya tarif, maka setiap komoditi perdagangan
dapat semakin mudah diperdagangkan antarnegara yang terlibat
dalam perjanjian perdagangan bebas. Ketika tarif tidak dapat lagi
menjadi sebuah proteksi bagi suatu produk, maka daya saing
produk menjadi sangat menentukan dalam mempengaruhi
kinerja perdagangan setiap negara.
Potensi untuk memaksimumkan manfaat atas skema FTA
secara faktual menunjukkan ”under utilized” performance untuk
kasus Indonesia. Meskipun secara umum tren total perdagangan
dengan mitra dagang dalam periode 2011-2012 menunjukkan
besaran positif baik dari sisi ekspor maupun impor dengan
negara mitra PTA, tetapi derajat keterbukaan perdagangan
terutama dengan dengan China dan Jepang mengakibatkan
negative trade balance yang kian mengkhawatirkan. Hal ini
sebagai konsekuensi yang harus diterima Indonesia dalam
menghadapi persaingan di berbagai skema perdagangan bebas.
Dibukanya perdagangan antara ASEAN 6 dan China dan
Economic Partnership dengan Jepang mempunyai konsekuensi
yang luas terhadap perekonomian salah satunya terhadap
konsumsi (consumption effect) sehingga pendapatan riil
masyarakat, meningkat dengan adanya perdagangan. Resultan
dari dampak kenaikan atau penurunan ekspor dan impor secara
total masing-masing komoditas di Indonesia maupun negara
mitra dagang mengakibatkan neraca perdagangan surplus atau
defisit (trade balance). Secara keseluruhan, apakah anggota yang
terlibat dalam skema PTA mendapatkan keuntungan atau tidak
dari pemberlakuan kerja sama tergantung pada tingkat tarif MFN
awal dan karakteristik serta magnitude elastisitas permintaan dan
93
penawaran yang merepresentasikan sejauh mana permintaan
dan pasokan produk sensitif terhadap perubahan harga.
Meskipun terdapat kinerja neraca perdagangan Indonesia
yang prospektif di beberapa pasar tujuan (ASEAN, Korea Selatan,
dan India), namun kecenderungan yang perlu dicermati adalah
tren pertumbuhan ekspor yang relatif lebih rendah apabila
dibandingkan dengan pertumbuhan impor. Jika hal ini terus
terjadi maka dikhawatirkan neraca perdagangan Indonesia akan
mengalami defisit. Kekhawatiran tersebut akhirnya menjadi
kenyataan khususnya pada 2012. Sepanjang 2012 hingga
Oktober, tercatat sedikitnya Indonesia telah mengalami 5 kali
defisit neraca perdagangan. Puncaknya adalah Oktober 2012
yang dapat dikatakan sebagai titik terparah dari tren neraca
perdagangan Indonesia. Pada Oktober 2012 Indonesia
mengalami defisit terbesar dan membawa nilai neraca
keseluruhan tahun 2012 menjadi defisit.
Dalam sebuah sintesa yang dapat diambil berdasarkan
skenario bilateral dan regional FTA menunjukkan bahwa
walaupun sebagian peubah ekonomi makro Indonesia bernilai
positif, tetapi neraca perdagangan Indonesia menjadi negatif.
Indonesia akan dibanjiri banyak barang impor.
Pada hakikatnya, beragamnya skema PTA telah
menciptakan tantangan serius bagi banyak negara berkembang
karena permasalahan keterbatasan sumber daya dari mereka.
Situasi ini menjadi kian kompleks manakala merujuk pada fakta
bahwa mayoritas negara berkembang juga merupakan anggota
WTO. Dengan demikian, problem trade off dalam pemanfaatan
sumber daya mereka untuk negosiasi PTA maupun WTO sulit
untuk dihindarkan.
94
TabelTabelTabelTabel 5.25.25.25.2. Perkembangan Ekspor dan Impor . Perkembangan Ekspor dan Impor . Perkembangan Ekspor dan Impor . Perkembangan Ekspor dan Impor Nonmigas Indonesia Nonmigas Indonesia Nonmigas Indonesia Nonmigas Indonesia
dengan Negara Mitra FTA Periode 2011dengan Negara Mitra FTA Periode 2011dengan Negara Mitra FTA Periode 2011dengan Negara Mitra FTA Periode 2011----2012201220122012
Negara Negara Negara Negara Tujuan/ AsalTujuan/ AsalTujuan/ AsalTujuan/ Asal
Nilai FOB dan CIF(Juta US$)Nilai FOB dan CIF(Juta US$)Nilai FOB dan CIF(Juta US$)Nilai FOB dan CIF(Juta US$) % Perubahan % Perubahan % Perubahan % Perubahan
JanuariJanuariJanuariJanuari----Oktober Oktober Oktober Oktober 2012 thd 20112012 thd 20112012 thd 20112012 thd 2011
Januari Januari Januari Januari ---- Oktober 2011Oktober 2011Oktober 2011Oktober 2011 JanJanJanJanuariuariuariuari————Oktober 2012Oktober 2012Oktober 2012Oktober 2012
EksporEksporEksporEkspor ImporImporImporImpor SelisihSelisihSelisihSelisih EksporEksporEksporEkspor ImporImporImporImpor SelisihSelisihSelisihSelisih EksporEksporEksporEkspor ImporImporImporImpor
ASEANASEANASEANASEAN 27.241,727.241,727.241,727.241,7 24841,424841,424841,424841,4 2.400,32.400,32.400,32.400,3 25777,425777,425777,425777,4 26262626....555,555,555,555,9999 ----777,6777,6777,6777,6 ----5,385,385,385,38 6,906,906,906,90
UNI EROPAUNI EROPAUNI EROPAUNI EROPA 17.137.417.137.417.137.417.137.4 10012,610012,610012,610012,6 7.124,87.124,87.124,87.124,8 14954,714954,714954,714954,7 11111111....453,0453,0453,0453,0 3.501,73.501,73.501,73.501,7 ----12,7412,7412,7412,74 14,3914,3914,3914,39
NEG. NEG. NEG. NEG. UTAMA UTAMA UTAMA UTAMA LAINNYALAINNYALAINNYALAINNYA
69.127,969.127,969.127,969.127,9 61900,861900,861900,861900,8 7.227,17.227,17.227,17.227,1 65656565....582,5582,5582,5582,5 70707070....966,8966,8966,8966,8 ----5.384,35.384,35.384,35.384,3 ----5,135,135,135,13 14,6514,6514,6514,65
7 Cina 17.136,1 20708,7 -3.572.6 16.821,8 23.916,6 -7.094,8 -1,83 15,49
8 Jepang 15.168,0 15601,2 -433.2 14.399,9 19.334,2 -4.934,3 -5,06 23,93
9 Amerika Serikat
13.222,8 8784,7 4.438,1 12.232,3 9.652,3 2.580,0 -7,49 9,88
10 India 11.153,9 3355,2 7.798,7 10.232,9 3.493,3 6.739,6 -8,26 4,12
11 Australia 2.621,3 4256,9 -1.635,6 2.874,8 4.197,6 -1.322,8 9,67 -1,39
12 Korea Selatan
6.389,1 6090,3 298,8 5.583,6 6.898,1 -1.314,5 -12,61 13,26
13 Taiwan 3.436,7 3103,8 332,9 3.437,2 3.474,7 -37,5 0,01 11,95
Total 13 Total 13 Total 13 Total 13 NegaraNegaraNegaraNegara
96969696....103,1103,1103,1103,1 89 371,289 371,289 371,289 371,2 6.731,96.731,96.731,96.731,9 90909090....791,0791,0791,0791,0 100100100100....682,8682,8682,8682,8 ----9,891.89,891.89,891.89,891.8 ----5,535,535,535,53 12,6612,6612,6612,66
LainnyaLainnyaLainnyaLainnya 38383838....611,1611,1611,1611,1 22 590,822 590,822 590,822 590,8 16.020,316.020,316.020,316.020,3 36363636....242,0242,0242,0242,0 23232323....707,1707,1707,1707,1 12,534.912,534.912,534.912,534.9 ----6,146,146,146,14 4,944,944,944,94
Total Total Total Total NonmigasNonmigasNonmigasNonmigas
134134134134....714,2714,2714,2714,2 111 962,0111 962,0111 962,0111 962,0 22.752,222.752,222.752,222.752,2 127127127127....033,0033,0033,0033,0 124124124124....389,9389,9389,9389,9 2,643.12,643.12,643.12,643.1 ----5,705,705,705,70 11,1011,1011,1011,10
Sumber: Badan Pusat Statistik, 2012
Bagi stakeholders PTA di tatanan mikro seperti produsen,
eksportir, dan importir, fenomena ”noodle bowl” dalam
pelaksanaan skema PTA akan membuat lingkungan perdagangan
yang lebih kompleks, karena biaya transaksi akan semakin
meningkat seiring dengan bervariasinya rules of origin dari
setiap PTA. Tingginya cost of compliance kerapkali membuat
skema preferensial menjadi kurang menarik dibandingkan aturan
Most Favoured Nations, mengingat bahwa dalam banyak kasus
margin MFN dan preferential tariff tidak begitu besar.
95
Alasan lain adalah terkait dengan kemampuan pedagang
untuk memanfaatkan skema preferensi PTA. Di banyak kasus,
produsen dan pedagang tidak memiliki informasi yang cukup
dan pengetahuan tentang peluang akses pasar yang dibuka
melalui PTA. Beberapa eksportir tidak menyadari keberadaan
trade concession dan tidak tahu bagaimana menggunakannya.
Dengan demikian, pemerintah harus memfokuskan perhatian
kepada perusahaan mempersiapkan untuk memanfaatkan
konsesi perdagangan yang telah dinegosiasikan. Sebagai
ilustrasi, pemanfaatan fasilitas surat keterangan asal (SKA) oleh
eksportir tidak meningkat dengan cepat sejak implementasi
liberalisasi tarif dalam kerangka kerjasama perdagangan bebas
untuk mendapatkan penurunan bea masuk ke pasar ASEAN,
China, Jepang, Korea Selatan, dan India. Seiring berjalannya
waktu, realisasi pemanfaatan Surat Keterangan Asal (SKA)
dengan kesepakatan perdagangan bebas yang telah
ditandatangani Indonesia secara rata-rata dapat dikatakan
rendah (42,1 persen). Sebagai contoh, kerangka FTA IJ-EPA
merupakan kerangka kerja sama yang menunjukkan nilai
realisasi SKA terendah. Berdasarkan data Direktorat Fasilitasi
Ekspor dan Impor, Kementerian Perdagangan, pada 2011
pemanfaatan SKA form IJEPA hanya sekitar 34 persen terhadap
ekspor nonmigas. Hal tersebut menimbulkan pertanyaan
mengapa para pelaku usaha di Indonesia tidak memanfaatkan
secara maksimal kesepakatan perdagangan bebas Indonesia
dengan skema FTA tersebut.
Alasan lebih lanjut mengapa volume perdagangan tidak
selalu tumbuh secara ekuivalen dengan intensitas dan jumlah
PTA yang dilaksanakan lebih dikarenakan aspek teknis diluar
ketentuan liberalisasi perdagangan atau dalam hal ini besaran
tarif dan total tariff line semata. Pada industri manufaktur, sangat
96
sulit untuk membuka potensi maksimum hanya dengan
menghapus hambatan perdagangan melalui PTA, karena
terdapat banyak hambatan struktural produksi terkait efisiensi
serta behind the borders barriers.
Satu pesan yang dapat dilihat berdasarkan realisasi
adalah urgensi untuk mengakselerasi industri manufaktur
Indonesia mengingat sektor ini berkontribusi dominan terhadap
total pembentukan nilai ekspor Indonesia dalam aspek nominal
value. Oleh karena itu, paparan selanjutnya akan berfokus pada
hambatan struktural industri manufaktur, melawan
deindustrialisasi dini dan strategi akselerasi produk ekspor
produk manufaktur Indonesia.
5.5.5.5.1111. . . . Kelemahan Struktural Produk Industri MaKelemahan Struktural Produk Industri MaKelemahan Struktural Produk Industri MaKelemahan Struktural Produk Industri Manufaktur nufaktur nufaktur nufaktur
Pengembangan sektor industri yang didasarkan atas
argumentasi keterkaitan industrial (industrial linkage)
mengutamakan pengembangan bidang-bidang industri yang
memiliki kaitan paling luas dengan bidang-bidang kegiatan atau
sektor-sektor ekonomi lainnya, baik kaitan ke belakang
(backward linkage) maupun kaitan ke depan (forward linkage).
Melalui strategi ini sektor industri diharapkan dapat memainkan
perannya sebagai motor yang menggerakkan sektor-sektor
lainnya sehingga dapat dijadikan sebagai basis pertumbuhan
ekonomi suatu negara atau daerah tertentu. Landasan pemikiran
di atas memperlihatkan bahwa pengembangan industri
manufaktur dapat memberikan sumbangan yang besar terhadap
aktivitas ekonomi secara keseluruhan bila dibandingkan dengan
sektor lainnya. Proses peningkatan nilai tambah yang terjadi
pada berbagai jenis industri manufaktur tidak hanya berdampak
terhadap perkembangan internal perusahaan atau industri itu
97
sendiri, tetapi juga berdampak terhadap berbagai aktivitas
ekonomi lain yang terkait seperti aktivitas ekonomi pemasok
bahan baku, barang setengah jadi, dan sektor jasa-jasa atau
aktivitas ekonomi yang memanfaatkan produk-produk yang
dihasilkannya. Semakin besar tingkat keterkaitan aktivitas suatu
industri terhadap aktivitas ekonomi lain di belakang atau di
depannya akan semakin besar dampak yang ditimbulkannya
terhadap aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Oleh karena itu,
sektor industri manufaktur diyakini dapat berperan sebagai
sektor pemimpin (leading sector) bagi sektor-sektor lainnya
dalam proses pembangunan ekonomi suatu negara atau daerah
menuju tingkat kemajuan ekonomi yang lebih tinggi.
Keterkaitan yang kuat antara sektor industri dengan
berbagai sektor lainnya merupakan salah satu kunci keberhasilan
industrialisasi. Sebagian besar developing countries merupakan
penghasil produk primer terutama produk pertanian. Oleh
karena itu, industrialisasi di Negara Sedang Berkembang (NSB)
tidak dapat dilakukan secara parsial, melainkan harus dilakukan
secara simultan melalui proses pembangunan yang sejajar
dengan sektor pendukungnya khususnya sektor pertanian.
Kelancaran program industrialisasi di developing countries
sangat tergantung pada perbaikan-perbaikan yang dilakukan
pada sektor lain dan seberapa besar perbaikan-perbaikan
tersebut mampu mengarahkan dan mendorong pertumbuhan
industri-industri baru. Oleh karena itu, kebijakan yang ditempuh
harus diarahkan pada upaya mewujudkan mekanisme saling
dukung antar sektor.
Di samping itu, trade competitiveness Indonesia masih
terletak pada komoditas primer dengan nilai tambah (value
added) yang rendah. Oktaviani et al (2009) dan Oktaviani et al
(2011) menggunakan model dan data Input Output dengan
98
beberapa indikator seperti keterkaitan ke belakang dan
keterkaitan ke depan untuk mengetahui inter industry
connectivity selama periode 1995-2008. Initial condition pola
industri pada 1995 menunjukkan bahwa indeks keterkaitan ke
belakang industri dengan fokus industri manufaktur Indonesia
berkisar antara 1,00 sampai dengan 1,17. Jika dilihat
berdasarkan perubahan nilai indeks keterkaitan ke belakangnya
pada kurun waktu 1995 sampai dengan 2008, sebagian besar
agro based industries mengalami penurunan indeks keterkaitan
ke belakang (IKKB). Penurunan keterkaitan ke belakang
menunjukkan ketidakmampuan agro based industries untuk
menarik pertumbuhan sektor pertanian on farm. Sehingga,
menguatkan justifikasi bahwa skema perdagangan bebas akan
hadir sebagai tantangan yang berat karena kondisi eksisting daya
saing internal dari agro based industries Indonesia yang lemah
dari sisi nilai tambah. FTA hanya mengandalkan komoditas
primer pertanian yang mempunyai nilai tambah yang rendah
dan komoditas bersifat homogen sehingga sangat rentan
terhadap fluktuasi harga internasional. Sementara itu, non agro
based industries berbasis komoditas pertambangan dan minyak
serta gas bumi juga memiliki tendensi untuk menurun semenjak
periode 2000-2005 meskipun dengan magnitude yang relatif
“moderat” apabila dibandingkan dengan agro based industrie.
Pada akhirnya, baik agro-based maupun non agro-based
industry Indonesia ternyata masih bertumpu pada sumber daya
alam. Keunggulan komparatif yang hanya berdasarkan sumber
daya alam sangat rentan karena daya dukung sumber daya alam
akan sulit dipertahankan. Kenggulan komparatif seharusnya
berdasarkan kemampuan teknologi untuk menciptakan produk
yang terdiferensiasi (differentiated product) sehingga bisa
menentukan harga di tengah pasar persaingan sempurna
(monopolistic competition).
99
Tabel 5.3. Rekapitulasi Indeks Keterkaitan ke BeTabel 5.3. Rekapitulasi Indeks Keterkaitan ke BeTabel 5.3. Rekapitulasi Indeks Keterkaitan ke BeTabel 5.3. Rekapitulasi Indeks Keterkaitan ke Belakanglakanglakanglakang Industri Industri Industri Industri
ManufakturManufakturManufakturManufaktur Indonesia pada Periode 1995Indonesia pada Periode 1995Indonesia pada Periode 1995Indonesia pada Periode 1995----2008200820082008
SektorSektorSektorSektor 1995199519951995
PerubahanPerubahanPerubahanPerubahan 1995199519951995----2000200020002000
2000200020002000----2003200320032003
2003200320032003----2005200520052005
2005200520052005----2008200820082008
Industri pengolahan dan pengawetan makanan
1,17 0,06 -0,03 -0,03 -0,48
Industri minyak dan lemak 1,16 0,01 -0,05 0,11 -0,58
Industri penggilingan padi 1,34 -0,19 -0,02 0,05 -0,41
Industri tepung, segala jenis 1,19 0,01 0,05 0,00 -0,55
Industri gula 1,03 0,12 0,02 0,01 -0,45
Industri makanan lainnya 1,17 0,00 -0,02 0,05 -0,53
Industri minuman 1,18 -0,09 -0,04 0,15 -0,58
Industri rokok 1,00 -0,06 0,00 0,00 -0,56
Industri pemintalan 1,27 0,02 0,03 -0,02 -0,61
Industri tekstil, pakaian dan kulit 1,41 -0,12 0,05 -0,06 -0,67
Industri bambu, kayu dan rotan 1,20 -0,03 -0,08 0,03 -0,54
Industri kertas, barang dari kertas karton
1,26 0,04 -0,07 0,05 -0,64
Industri pupuk dan pestisida 1,38 -0,30 0,25 -0,28 -0,38
Industri kimia 1,35 -0,21 0,27 -0,21 -0,49
Pengilangan minyak 0,96 -0,10 -0,01 -0,04 -0,39
Industri barang karet dan plastik 1,39 -0,12 0,11 -0,06 -0,59
Industri barang-barang dari mineral bukan logam
1,11 -0,03 -0,05 0,02 -0,54
Industri semen 1,12 -0,02 -0,20 0,17 -0,48
Industri dasar besi dan baja 1,16 0,16 -0,07 0,07 -0,58
Industri logam dasar bukan besi 1,24 -0,05 -0,12 0,17 -0,49
Industri barang dari logam 1,28 0,02 0,23 -0,28 -0,73
Industri mesin, alat-alat dan perlengkapan listrik
1,47 -0,11 0,00 0,01 -0,66
Industri alat pengangkutan dan perbaikannya
1,30 -0,11 0,02 0,04 -0,66
Industri barang lain yang belum digolongkan di manapun
1,27 -0,01 0,00 0,05 -0,63
Sumber: Tabel Input Output 1995, 2000, 2003, 2005 dan 2008 (Diolah)
100
Struktur industri manufaktur di Indonesia tidak memiliki
linkage improvement yang berarti selama lebih dari sepuluh
tahun (1995-2008). Terdapat dua kemungkinan yang
menyebabkan kondisi yang demikian. Kemungkinan pertama
adalah lambatnya perbaikan atau pengembangan teknologi pada
industri manufaktur di Indonesia, dan kemungkinan kedua
adalah sumber data yang kurang baik. Apapun yang benar-benar
terjadi di antara kedua kemungkinan tersebut, maka
implikasinya sangatlah tidak baik bagi perkembangan daya saing
industri manufaktur Indonesia. Jika ternyata penyebab tidak
adanya perubahan pada industri manufaktur di Indonesia selama
periode 1995-2008 adalah lambatnya perbaikan atau
pengembangan teknologi, maka hal ini menjadi ”warning” bagi
pemerintah dan pelaku industri akan resistansi dan daya saing
industri. Saat ini, semua negara memperbaiki struktur industri di
negara mereka masing-masing mengingat semakin
terintegrasinya perekonomian dunia. Bagaimana Indonesia
mampu bersaing atau paling tidak mampu bertahan dari ”shock”
yang berasal dari negara-negara lain jika dalam jangka waktu
lebih dari 10 tahun tidak ada perbaikan teknologi yang cukup
berarti. Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi Solow,
perbaikan teknologi merupakan hal yang harus dilakukan jika
suatu negara ingin terus tumbuh dalam jangka panjang dan
memberikan peluang untuk meraih benefit yang positif dan
berkesinambungan dari skema perdagangan. Idealnya,
liberalisasi perdagangan akan mendorong peningkatan daya
saing yang bertumpu pada perkembangan teknologi.
Bentuk-bentuk baru perdagangan internasional
mensyaratkan peninjauan ulang dan rekonseptualisasi dari
skema perdagangan yang telah dilakukan. Dominasi ekspor
bahan baku masih terlihat jelas dari keragaan ekspor Indonesia.
101
Meskipun demikian, terdapat kemajuan yang menunjukkan
bahwa Indonesia berhasil meningkatkan derajat integritas
terhadap global supply chain karena berhasil mengekspor
barang modal meskipun dengan proporsi yang minim.
Perkembangan International Production Network
diekspektasikan untuk meningkatkan komprehensivitas PTA dari
sisi investasi. Meskipun demikian, literatur teoritis dan empiris
menyoroti FDI dan offshoring bahwa terdapat biaya tambahan
manajerial dan logistik terkait dengan pemantauan dan
koordinasi produksi internasional untuk mensinkronisasi hukum
dan peraturan yang diperlukan untuk melakukan bisnis di negara
lain yang kemungkinan bernilai cukup tinggi untuk negara-
negara berkembang. Dalam konteks ini, perluasan jaringan
produksi dan khususnya negara di belahan dan Utara-Selatan
dalam hal sharing produksi mutlak terfokus pada perjanjian
yang bertujuan untuk mengisi kesenjangan antara regulasi teknis
terkait persaingan, kerangka kelembagaan, pasar tenaga kerja,
infrastruktur sehingga daya tarik kegiatan-kegiatan production
sharing akan menjadi lebih tinggi (Yeats, 2001).
5.2.5.2.5.2.5.2. Urgensi Revitalisasi dan Hilirisasi Industri Urgensi Revitalisasi dan Hilirisasi Industri Urgensi Revitalisasi dan Hilirisasi Industri Urgensi Revitalisasi dan Hilirisasi Industri
Peningkatan nilai tambah yang dihasilkan oleh industri
manufaktur dan aktivitas ekonomi lainnya yang saling berkaitan,
secara keseluruhan akan dapat meningkatkan produksi total
dalam suatu negara atau daerah sehingga dapat mendorong
peningkatan laju pertumbuhan ekonomi. Kelangsungan proses
produksi dan aktivitas perdagangan yang ditimbulkan oleh
industri manufaktur juga akan memperluas lapangan pekerjaan
sehingga dapat meningkatkan penyerapan tenaga kerja di sektor
industri terutama pada kelompok industri yang bersifat padat
102
karya. Selain itu, jika proses produksi sektor industri berlangsung
secara efisien akan dapat mendorong peningkatan produktivitas
dan daya saing produk di pasar domestik dan internasional. Hal
ini pada gilirannya akan mendorong peningkatan ekspor
berbagai produk industri manufaktur.
Beberapa justifikasi perlunya pencapaian akselerasi
industri manufaktur dapat dikemukakan sebagai berikut:
Pertama, pertumbuhan sektor industri manufaktur menunjukkan
tren cenderung melambat. Setelah krisis 1997/98 sektor industri
tumbuh lebih lambat dari pada sebelumnya. Pada 2005-2010
bahkan tumbuh lebih rendah dari pertumbuhan Produk
Domestik Bruto (PDB). Oktaviani et. al. (2007) menganalisis
dampak krisis ekonomi yang membawa pengaruh negatif
terhadap indeks keterkaitan dan koefisien penyebaran industri
industri berbasis sumber daya lokal dan penurunan output
terbesar terjadi pada industri-industri manufaktur yang semula
dianggap sebagai primadona, seperti alas kaki dan tekstil.
Terlepas dari tendensi penurunan output dan ekspor sektoral.
Meskipun demikian, selama 2011 pertumbuhan sektor industri
manufaktur menunjukkan adanya akselerasi keragaan output
manufaktur dari kuartal ke kuartal, sehingga pada Kuartal III-
2011 pertumbuhan sektor industri mencapai 6,98 persen,
melampaui pertumbuhan PDB yang sebesar 6,54 persen.
Kedua, struktur ekspor masih didominasi bahan mentah
yang mengilustrasikan bahwa porsi ekspor produk manufaktur
(SITC 5—8) makin kecil, turun dari 76 persen pada 2000 menjadi
50 persen pada 2010. Impor produk manufaktur naik pesat
sehingga pada 2008 necara perdagangan produk manufaktur
mengalami defisit.
103
Sumber: Kementerian Perindustrian, 2011
Gambar 5.1. Perkembangan Historis Sektor Industri Gambar 5.1. Perkembangan Historis Sektor Industri Gambar 5.1. Perkembangan Historis Sektor Industri Gambar 5.1. Perkembangan Historis Sektor Industri Manufaktur Manufaktur Manufaktur Manufaktur
Indonesia Periode 1984Indonesia Periode 1984Indonesia Periode 1984Indonesia Periode 1984----2010201020102010
Ketiga, struktur industri manufaktur perlu lebih diperkuat
di mana terjadi ketergantungan tinggi pada bahan baku impor.
Sebesar 30 persen dari dari total bahan baku industri besar dan
sedang berasal dari impor dan pada 2010 impor bahan baku
mendominasi sebesar 73 persen dari impor nasional. Keterkaitan
ke sektor hilir masih rendah, di mana produksi bahan mentah
sebagian besar di ekspor dalam bentuk barang setengah jadi.
Keempat, tuntutan hilirisasi yang semakin kuat. Lebih jauh,
semangat hilirisasi untuk mengolah bahan mentah sebelum
diekspor semakin berkembang, tuntutan memperluas rantai nilai
komoditas ekspor unggulan seperti CPO, karet alam dan kedua
biji kakao semakin mengemuka, di samping produk
pertambangan mineral dan batubara (Minerba) yang telah
diwajibkan oleh UU No. 4 tahun 2009. Kelima, kegiatan industri
masih terkonsentrasi di pulau Jawa: Semua provinsi di Jawa
mempunyai tingkat industrialisasi tinggi (rata-rata di atas 25
persen). Sementara itu, di 14 provinsi (Aceh, Kalimantan Selatan,
104
Bali, Sulawesi Utara, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah,
Barat dan Tenggara, Gorontalo, Maluku, Bengkulu, NTB, NTT
dan Papua) peran Industri di bawah 10 persen dari PDB.
5.3.5.3.5.3.5.3. Melawan DeindustrialisasiMelawan DeindustrialisasiMelawan DeindustrialisasiMelawan Deindustrialisasi
Istilah “deindustrialisasi” kerap kali dimaknai sebagai
penurunan kontribusi sektor industri manufaktur dalam
perekonomian secara keseluruhan. Fase deindustrialisasi
ditandai taktala perkembangan kontribusi sektor industri
manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto mengalami
penurunan dibandingkan sektor ekonomi yang lain. Di saat
industri suatu negara memasuki titik balik ini, setelah
sebelumnya sempat menjadi kontributor utama ekonomi
nasional, perekonomian negara tersebut sedang memasuki fase
deindustrialisasi.
Indonesia sudah mengandalkan sektor industri sebagai
tulang punggung ekonomi sejak 1980-an hingga saat ini. Sektor
ini menjadi aktor utama dalam akselerasi pertumbuhan
ekonomi. Sejak memasuki era 1990-an hingga kini, sektor ini
selalu menyumbang 20 hingga 29 persen ekonomi nasional.
Besarnya kontribusi sektor industri nasional mengakibat-
kan dinamika sektor ini akan secara umum bergerak sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi. Ketika krisis Asia melanda
Indonesia tahun 1997-1998, PDB tahun 1998 tumbuh negatif
sebesar 13,3 persen yang juga diikuti oleh penurunan
pertumbuhan sektor manufaktur sebesar 15,4 persen. Apabila
sektor industri memiliki kontribusi yang besar terhadap
perekonomian, maka siklus ekonomi suatu negara tidak terlepas
dari dinamika sektor industri. Dalam hal ini, deindustrialisasi
merupakan pelanggaran dari aturan tersebut yaitu apabila siklus
105
ekonomi tidak lagi mengikuti dinamika sektor industri dalam
jangka panjang.
Pertumbuhan industri manufaktur Indonesia dalam tiga
tahun terakhir menunjukkan tren positif. Data BPS menunjukkan
bahwa rata-rata pertumbuhan industri per triwulan dari awal
2010 hingga Triwulan III-2012 sebesar 4,4 persen. Pertumbuhan
tersebut lebih rendah dari rata-rata pertumbuhan PDB pada
periode yang sama, yaitu 5,8 persen. Dinamika industri
manufaktur tidak melenceng jauh dari siklus PDB. Lebih
rendahnya pertumbuhan industri dibandingkan PDB
menunjukkan industri saat ini cenderung mengalami kelesuan
dibandingkan sektor ekonomi lain. Namun, dalam beberapa
periode terakhir sektor manufaktur sedang menunjukkan sedikit
perbaikan performa.
Berkaitan dengan perbaikan performa tersebut,
pemerintah mengeluarkan sejak Kebijakan Industri Nasional
sejak 2008 melalui klasterisasi industri dan restrukturisasi
permesinan industri yang telah dimulai sejak 2006. Pada 2009
sektor industri manufaktur mengalami pertumbuhan sebesar 2,2
persen. Pertumbuhan ini mengalami peningkatan pada tahun
selanjutnya menjadi 4,7 persen dan pada 2011 sebesar 6,2
persen. Berdasarkan data publikasi BPS terkini, sektor industri
mengalami pertumbuhan tahunan 6,4 persen pada Triwulan III-
2012.
Beberapa problematika perlu segera dicarikan jalan
keluar oleh pemerintah. Hal ini kembali terkait dengan ancaman
gejala deindustrialisasi yang mengancam beberapa sektor
industri padat karya. Pentingnya sektor industri, baik industri
padat karya maupun industri padat modal membuat sektor ini
tidak serta merta dapat dibiarkan melesu begitu saja. Sektor
106
industri manufaktur masih merupakan sektor utama yang
memegang peranan penting dalam tatanan perekonomian.
Setiap sektor industri manufaktur merupakan sektor
penting karena berperan dalam transformasi sektor primer ke
dalam proses lebih lanjut dalam kerangka industri manufaktur
sehingga menghasilkan nilai tambah yang lebih besar.
Bagaimanapun, sektor industri masih perlu banyak campur
tangan pemerintah untuk benar-benar keluar dari ancaman
deindustrialisasi. Visi pembangunan industri dalam Kebijakan
Industri Nasional yaitu, “Menjadikan Indonesia sebagai negara
industri tangguh di dunia pada tahun 2025” tampaknya tidak
akan mudah dilakukan. Target pertumbuhan industri manufaktur
6,75 persen pada tahun ini memang masih mungkin terkejar
dengan capaian sementara pertumbuhan 6,4 persen di triwulan
ketiga. Namun, tantangan lebih berat akan dihadapi pada 2013
saat ancaman deindustrialisasi akan lebih terasa akibat tingginya
potensi pengangguran dan gulung tikar di sektor industri
terutama industri kecil dan menengah.
5.4.5.4.5.4.5.4. SSSStrategi Utama Akselerasi Industrialisasi trategi Utama Akselerasi Industrialisasi trategi Utama Akselerasi Industrialisasi trategi Utama Akselerasi Industrialisasi
Strategi prioritas pengembangan akselerasi industri
manufaktur secara keseluruhan akan bertumpu pada beberapa
determinan, meliputi partisipasi dunia usaha dalam membangun
infrastruktur dan upaya perbaikan daya saing logistik, percepatan
proses pengambilan keputusan pemerintah untuk menyelesaikan
hambatan birokrasi (debottlenecking) mengingat hal tersebut
merupakan aspek krusial bagi kemajuan iklim usaha dan
investasi, reorientasi kebijakan ekspor bahan mentah dan
sumber energi untuk meningkatkan nilai tambah produk industri,
mendorong peningkatan produktivitas dan daya saing, serta
107
meningkatkan integrasi pasar domestik dan meningkatkan
promosi kegiatan perdagangan dalam negeri sebagai upaya
untuk mengutilisasi potensi permintaan domestik yang besar,
sekaligus menjadi solusi atas kerentanan guncangan permintaan
ekspor dari Negara mitra dagang utama.
5.5. 5.5. 5.5. 5.5. Solusi PermasalahanSolusi PermasalahanSolusi PermasalahanSolusi Permasalahan Behind the Borders BarriersBehind the Borders BarriersBehind the Borders BarriersBehind the Borders Barriers
Di samping outcome kinerja perdagangan yang kurang
maksimal di sisi struktural, Hernandez dan Taningco (2010)
menggunakan pendekatan model gravitasi untuk perdagangan
dan menganalisis bahwa perdagangan bilateral di region Asia
Timur sangat dipengaruhi oleh penundaan waktu dalam
perdagangan, kualitas infrastruktur pelabuhan, layanan
telekomunikasi, dan informasi mengenai kredit. Secara khusus,
perdagangan bilateral dalam industri makanan dan minuman
dan alat transportasi sangat sensitif terhadap penundaan waktu
karena isu perishability, sementara industri peralatan transportasi
terpengaruh barrier tersebut karena sangat ditentukan oleh
prinsip just-in-time. Selain itu, kualitas infrastruktur fisik
pelabuhan ditemukan menjadi penentu utama perdagangan
pasokan industri migas, barang modal, dan barang-barang
konsumsi sehingga menunjukkan bahwa produk ini relatif
tergantung pada transportasi laut. Akses untuk membiayai oleh
eksportir dan importir (yang diwakili oleh informasi kredit)
secara signifikan dan positif terkait dengan perdagangan bilateral
dalam mayoritas sektor sehingga juga menyiratkan bahwa
eksportir dan importir di sektor ini lebih tergantung pada modal
keuangan dibandingkan dengan sektor lainnya. Selain itu,
layanan telekomunikasi berpengaruh cukup signifikan secara
umum dan upaya penegakan kontrak tidak berpengaruh
signifikan untuk perdagangan di semua kategori produk.
108
Lebih jauh mengenai behind the borders barriers,
permasalahan Export Quality Infrastructure (EQI) pada
agrobased product merupakan constraint spesifik yang
berpengaruh secara signfikan terhadap pemasaran produk
tersebut di pasar tujuan ekspor. Kinerja EQI agro-based product
tersebut pada intinya sangat terkait dengan prosedur pengujian,
akreditasi, jaminan kualitas, kalibrasi dan metode verifikasi yang
perlu perbaikan. Kurangnya kompetensi laboratorium pengujian
adalah permasalahan utama bagi agro-based product utama.
Laboratorium sering tidak memiliki fasilitas untuk melakukan tes
yang sesuai diperlukan untuk memenuhi persyaratan mitra
dagang. Akibatnya, laboratorium di Indonesia sering tidak
mampu untuk melakukan semua pengujian dan analisis.
Lord, Oktaviani, dan Ruehe (2010) melakukan kajian
komprehensif mengenai hambatan EQI bagi produk agroindustri
Indonesia, antara lain agro food industries, produk perikanan
dan furniture di Pasar Uni Eropa. Untuk produk makanan
Indonesia, hambatan utama yang sangat penting untuk ditangani
adalah sanitary dan phytosanitary (SPS). Keterbatasan ini telah
mengakibatkan ekspor agro food menjadi terkonsentrasi pasar
ASEAN. Di samping standar dan concern mengenai keamanan
pangan, supply chain supermarket di Uni Eropa telah
menerapkan standar yang sangat tinggi sehinga membuat
produsen Indonesia sulit untuk memasarkan produk mereka.
Pada studi kasus produk perikanan, Indonesia telah
menunjukkan perbaikan kualitas dalam hal keamanan makanan,
serta infrastruktur pelabuhan perikanan dan pendaratan (Good
Aquaculture Practices (GAP) dan Good Handling Practices
(GHP)). Sementara itu, permasalahan krusial budidaya ikan pada
level hulu adalah penggunaan antibiotik dalam produk
perikanan yang akan di ekspor ke pasar Uni Eropa. Hal lainnya
109
yang perlu diperhatikan secara serius adalah pemeriksaan kapal
nelayan yang beroperasi oleh pihak berwenang yang mana
sangat sulit dilakukan di daerah terpencil.
Isu EQI yang berkaitan dengan industri furniture meliputi
kadar air dari kayu, pengerjaan dan standarisasi produk, kualitas
produk jadi, dan uji keamanan. Dikarenakan industri ini
didominasi oleh para pengrajin skala UMKM, maka tantangan
besar yang perlu diperhatikan adalah pemberian manfaat yang
adil antara produsen skala mikro dan para pembuat furniture
dalam skala besar.
111
BAB 6
Strategi Kebijakan PanganStrategi Kebijakan PanganStrategi Kebijakan PanganStrategi Kebijakan Pangan
Sudah lebih dari dua dekade ini dapat dikatakan
eksistensi sektor pertanian di Indonesia terasa kian terpinggirkan.
Pada level makro, realitas tersebut bisa dilihat dari donasinya
terhadap pendapatan nasional (PDB) yang semakin mengecil.
Sedangkan pada level mikro, hubungan antarpelaku ekonomi di
sektor pertanian lebih banyak meninggalkan luka bagi pelaku
ekonomi di sektor hulu karena pembagian nisbah ekonomi yang
timpang. Dalam situasi seperti ini, bisa dibayangkan apabila
kantung-kantung kemiskinan di Indonesia lebih banyak berada
di wilayah perdesaan, terutama yang selama ini bergelut di
sektor pertanian. Kenyataan pahit ini tidak bisa dihindari lagi,
sehingga penyikapan terhadapnya merupakan amanat genting
yang harus dilakukan saat ini. Sampai di sini, yang diperlukan
bukan saja komitmen utuh dari pemerintah untuk
menanganinya, tetapi juga menyusuri persoalan yang terjadi
secara mendalam sehingga bisa diformulasikan konsep/
kebijakan yang tepat untuk membawa sektor pertanian ke arah
pembangunan yang mensejahterakan semua pelakunya.
112
6.1. 6.1. 6.1. 6.1. Kedaulatan Pangan Kedaulatan Pangan Kedaulatan Pangan Kedaulatan Pangan
Kedaulatan pangan merupakan konsep yang lebih luas
daripada ketahanan dan kemandirian pangan. Oleh karena itu,
kedaulatan pangan selalu menjadi isu strategis dalam setiap
konsep pembangunan pertanian. Ini tidak mengherankan karena
pangan merupakan bagian tidak terpisahkan dari sektor
pertanian. Ketersediaan (food availability) dan aksesibilitas
pangan (food accesibility) berkelanjutan akan memengaruhi
tingkat kesejahteraan suatu negara. Bahkan bagi sebuah negara
yang tidak berbasis pada sektor pertanian sekalipun, kedaulatan
pangan tetap diperlukan untuk memastikan tujuan ketahanan
dan kemandirian pangan lebih mudah diupayakan.
Sebagai negara yang berada di daerah tropis, alam
Indonesia menghasilkan berbagai jenis tanaman pangan yang
sangat diperlukan dalam mendukung kedaulatan pangan.
Hampir di setiap daerah di Indonesia mempunyai makanan khas
dengan bahan baku lokal yang beragam. Fenomena diversifikasi
alamiah ini sesungguhnya merupakan modal dalam
pembangunan kedaulatan pangan sehingga opsi membangun
kedaulatan pangan adalah sebuah keniscayaan bagi Indonesia
ke depan. Pemerintah cukup menjaga ketersediaan dan
mengembangkan berbagai jenis tanaman pangan yang akrab
dengan masyarakat lokal agar dapat tercapai kedaulatan pangan
yang berkelanjutan.
Upaya diversifikasi bahan baku pangan di Indonesia
merupakan salah satu bagian penting dari upaya mewujudkan
kedaulatan pangan. Tantangan utamanya adalah bagaimana
upaya diversifikasi tidak mengarah pada ketergantungan sumber
bahan pangan dari impor. Tentu saja peran dan kreativitas ahli
teknologi hasil pertanian agar dapat membuat bahan pangan
113
berbasis lokal yang menarik untuk dikonsumsi sebagai alternatif
dari beras dan tepung terigu sangat diharapkan untuk
mendukung kedaulatan pangan.
Satu lagi tantangan yang juga tidak kalah serius adalah
wacana biofuel sebagai sumber energi alternatif yang kembali
mencuat seiring dengan melonjaknya harga minyak dunia.
Berbagai tanaman pangan yang bisa dijadikan Bahan Bakar
Nabati (BBN) mulai ditingkatkan produksinya, dari mulai sawit,
tebu, hingga singkong. Tujuan utamanya adalah sebagai
substitusi atas kelangkaan energi minyak yang harganya kian
melambung. Ini merupakan bentuk tantangan yang tidak ringan.
Alih-alih ingin mengganti sumber energi minyak bumi yang
mulai langka dan harganya meroket di pasar internasional
dengan sumber energi terbarui, yang terjadi justru harga
kebutuhan pangan dunia ikut melambung.
Gejolak harga ini terjadi karena basis dari BBN tersebut
juga menjadi bahan konsumsi bagi masyarakat. Terdongkraknya
harga pangan dunia akibat dari meningkatnya permintaan
produk tanaman pangan sebagai biofuel pengganti BBM. Efek
lanjutannya, supply bahan pangan untuk kebutuhan konsumsi
berkurang karena terjadi perebutan fungsi tanaman pangan,
yakni sebagai konsumsi orang dan konsumsi mesin. Oleh karena
itu, aspek pemilahan pangan sebagai bahan makanan dan bahan
bakar juga penting diperhatikan dalam strategi membangun
kebijakan kedaulatan pangan ke depan.
Agar dapat terealisasikan, pembangunan kedaulatan
pangan harus menjadi fokus utama kebijakan sektor pertanian.
Urgensi ini mengingat jika diamati dalam rentang waktu yang
cukup panjang, produksi beras dalam negeri cenderung terus
menurun. Pada periode 1970-1979, laju pertumbuhan produksi
114
rata-rata 1,1 persen per tahun, kemudian periode 1980-1989
meningkat menjadi 5,32 persen per tahun. Namun, pada periode
1990-1999 produksi terus menurun hingga rata-rata 1,29 persen
per tahun, dan menjadi 0,71 persen per tahun pada 2000-2011
(Abdullah, 2012).
Sementara itu, dari sisi luas areal panen terjadi fluktuasi,
pada periode 2004 hingga 2006 luas panen beras yang awalnya
mencapai 11,92 juta hektar turun menjadi 11,79 juta hektar.
Selanjutnya hingga tahun 2010 luas panen beras meningkat
hingga mencapai 13,25 juta hektar. Pada tahun 2011 luas panen
beras kembali turun sebesar 50.000 hektar. Selanjutnya, pada
akhir 2012 diperkirakan naik lagi hingga mencapai 13,47 juta
hektar.
*angka ramalan produksi 2, tgl 1 November 2012
Sumber : BPS, berbagai tahun
Gambar 6.1. Kinerja Ekonomi BerasGambar 6.1. Kinerja Ekonomi BerasGambar 6.1. Kinerja Ekonomi BerasGambar 6.1. Kinerja Ekonomi Beras
Fluktuasi luas panen sepanjang 2004-2012 membuat
kinerja pertanian pangan beras cenderung ikut bergejolak.
Akibatnya, meskipun luas panen beras meningkat namun
115
pemerintah masih tetap mengimpor beras sebesar 720 ribu ton
pada Desember 2012. Impor beras dimaksudkan untuk
mencukupi stok beras nasional sebesar 2 juta ton hingga akhir
tahun ini. Impor juga dimaksudkan untuk menjaga stok guna
mengantisipasi kemungkinan ketidakpastian, seperti cuaca yang
tidak menentu.
Tabel 6.1. Impor Beras IndonesiaTabel 6.1. Impor Beras IndonesiaTabel 6.1. Impor Beras IndonesiaTabel 6.1. Impor Beras Indonesia
TahunTahunTahunTahun Jumlah (kg)Jumlah (kg)Jumlah (kg)Jumlah (kg) Nominal (US$)Nominal (US$)Nominal (US$)Nominal (US$)
2008 289.689.411 124 juta
2009 250.473.149 108 juta
2010 687.581.501 360 juta
2011 2.750.620.017 1,5 miliar
2012* 996.232.937 562 juta
* Juli 2012
Sumber : BPS, 2012
Dalam membangun kedaulatan pangan ke depan tentu
saja opsi impor merupakan pilihan yang harus dihindari. Jika
impor pangan masih menjadi solusi instan bagi tercukupinya
konsumsi pangan, maka pembangunan kedaulatan pangan
hanya akan berhenti pada tataran konsep perencanaan. Seluruh
komponen bangsa harus mempunyai political will yang kuat
untuk beranjak dari era importasi pangan yang sudah cukup akut
saat ini, menuju ke kedaulatan pangan yang seutuhnya. Upaya
ini dapat dimulai dengan menyusun ulang arah kebijakan
pembangunan yang lebih berorientasi pada kedaulatan pangan.
116
6.2. 6.2. 6.2. 6.2. Reorientasi Kebijakan PanganReorientasi Kebijakan PanganReorientasi Kebijakan PanganReorientasi Kebijakan Pangan
Isu kedaulatan pangan sangat serius di Indonesia karena
proporsi pendapatan rumah tangga yang dibelanjakan untuk
pangan pada dekade 1980-an mencapai 70 persen dan sekarang
sudah menurun menjadi 50 persen. Walaupun penurunan ini
berarti, tetapi secara umum masih cukup besar karena separuh
pendapatan habis digunakan untuk konsumsi pangan. Sekadar
perbandingan, kondisi ini tentu berbeda dengan, misalnya,
Amerika Serikat/AS yang warga negaranya pada tahun 2003
hanya membelanjakan sekitar 10 persen pendapatan riilnya
(disposable income) untuk konsumsi pangan (food)1. Secara
keseluruhan sejak 1933 sampai kini persentase pendapatan yang
dibelanjakan untuk konsumsi pangan di AS terus merosot. Jadi,
mestinya antara Indonesia dan AS disain kebijakan pangannya
berbeda sebab karakteristik pola pengeluaran pendapatan
penduduknya sangat berlainan.
Menariknya, Pemerintah AS tetap memberlakukan
kebijakan pangan murah (cheap food) meskipun proporsi
pendapatan warganya yang dibelanjakan untuk pangan tidak
besar.2 Kebijakan tersebut memproduksi banyak perdebatan
karena dianggap menimbulkan efek negatif, di antaranya
meningkatkan penderita obesitas. Pada 1971 jumlah penderita
obesitas mencapai 14,61 persen dan pada 2002 telah melonjak
menjadi 31,3 persen (Miller dan Coble, 2007). Hasil studi yang
sama juga menunjukkan kebijakan subsidi langsung di AS
terhadap pangan (sehingga menjadi murah) tidak lantas
memerbaiki keterjangkauan warganya terhadap pangan tersebut,
1 Angka ini merupakan yang terendah di AS sejak 1929, apalagi jika dibandingkan
dengan puncaknya pada 1933 yang mencapai 25,2 persen. 2 Di sini, yang dimaksud dengan kebijakan pangan murah adalah upaya menurunkan
harga pangan di bawah harga keseimbangan kompetitif.
117
baik pada kelompok pangan secara keseluruhan maupun
komoditas pangan yang spesifik. Walaupun begitu, hingga kini
secara umum pemerintah AS masih memberikan proteksi
terhadap pangan.
Jadi, mengacu pengalaman AS, kebijakan pangan murah
an sich, tanpa diimbangi dengan kebijakan lainnya (seperti
penguatan daya beli masyarakat dan distribusi yang bagus) tidak
menjamin setiap warga negara dapat mengakses pangan. Lebih
dari itu, kebijakan pangan murah di negara berkembang, seperti
di Indonesia, selalu bertendensi subsidi kepada kelompok kaya
yang tinggal di perkotaan (urban bias) sehingga menindih petani
(orang desa) dalam dua hentakan sekaligus. Pertama, petani
dirugikan karena insentif laba menjadi sangat kecil akibat
kebijakan pangan murah. Kedua, petani harus membayar harga
yang mahal untuk membeli komoditas nonpertanian karena
pemerintah menyerahkan mekanisme penentuan harga
berdasarkan mekanisme pasar. Sungguh tidak sulit untuk
memahami perkara sederhana ini, namun dalam sejarahnya
sukar untuk mengimplementasikan pondasi kebijakan ini karena
kuatnya aspek politik yang bermain dalam arena pengambilan
keputusan.
Pertanyaannya, bagaimana sikap yang harus diambil
Indonesia untuk menciptakan kedaulatan pangan? Apakah
Indonesia harus mengambil pola kebijakan yang sama dengan
AS (seperti diuraikan di depan), ataukah mendisain kebijakan
yang sama sekali lain? Tampaknya, kebijakan harga pangan
murah juga bukan solusi yang baik bagi Indonesia karena
menjadikan petani sebagai korban (victim of development).
Namun, meniadakan sama sekali kebijakan tersebut juga
bermasalah karena proporsi pengeluaran rumah tangga terhadap
118
pangan masih cukup besar (50 persen) dan pendapatan per
kapita penduduk rendah pula.
Di sinilah diperlukan kebijakan ganda (dual policies)
sebagai jalan kompromi untuk menyatukan dua kepentingan
tersebut. Pertama, subsidi harga produk dihilangkan (khususnya
dalam jangka menengah/panjang) untuk diganti subsidi input
(bibit, pupuk, penyuluhan, irigasi, dan lain-lain). Kedua,
stabilitas pasar harus dibangun untuk menjamin kepastian bagi
konsumen komoditas pangan.
Khusus untuk kebijakan stabilitas pasar dapat dicapai
melalui perubahan struktural sehingga mampu memerbaiki
sektor pertanian dengan cara: (i) peningkatan diversifikasi
konsumsi pangan sehingga tidak terkonsentrasi pada komoditas
tertentu (misalnya beras); (ii) penyebaran surplus komoditas
pangan ke tempat lain yang mengalami defisit; dan (iii) interaksi
strategis antara sektor publik dan swasta untuk mencegah
instabilitas pasar dan krisis pangan. Secara spesifik, soal
diversifikasi konsumsi pangan memang penting karena
mempermudah proses penguatan kedaulatan pangan.
Pengalaman di Afrika Timur dan Selatan juga menunjukkan hal
itu, di mana ketergantungan konsumsi yang sangat besar
terhadap jagung (dan beras) membuat kedaulatan pangan di
sana menjadi rapuh (Jayne, et. al, 2006). Jadi, pemerintah harus
merintis program diversifikasi pangan mulai sekarang juga.
Dengan jalan inilah kedaulatan pangan bisa terwujud dan bukan
sebatas sebagai retorika politik.
Sesungguhnya banyak jalan keluar yang bisa dilakukan
oleh pemerintah dalam membangun kedaulatan pangan, namun
salah satu yang dapat diupayakan saat ini adalah dengan
melakukan proses transformasi sektor pertanian secara utuh.
119
Proses transformasi itu sendiri bisa diletakkan dalam tiga level.
Pertama, pemerintah menyediakan dan memperbaiki
infrastruktur dasar yang diperlukan bagi pembangunan
pertanian, misalnya pengadaan jalan, jembatan, sistem irigasi,
penelitian dan pengembangan, penyuluhan, dan (tentu saja)
reformasi tanah. Kedua, memperkuat pasar sebagai media yang
akan mempertemukan transaksi antara sektor hulu dan hilir di
sektor pertanian. Pada level ini setidaknya terdapat tiga
pekerjaan yang harus dilakukan oleh pemerintah, yakni
mendisain sistem keuangan yang sesuai dengan kebutuhan
pelaku di sektor pertanian (musiman), sistem pasokan input, dan
pasar output lokal. Ketiga, menggandeng pelaku ekonomi swasta
(private sector) untuk mengeksekusi kegiatan lanjutan di sektor
pertanian, khususnya pemasaran dan pengolahan komoditas
pertanian sehingga memiliki keterkaitan dengan sektor non-
pertanian.
Terkait rekomendasi ketiga, integrasi sektor pertanian dan
industri melalui upaya menggandeng pelaku ekonomi swasta
diharapkan akan berimplikasi besar bagi terwujudnya
kemakmuran bersama. Hal ini mengingat sektor pertanian dan
industri merupakan dua pilar strategis perekonomian Indonesia
yang bersentuhan langsung dengan aspek penyerapan tenaga
kerja. Sektor pertanian merupakan sektor yang bertanggung
jawab menyediakan kebutuhan pangan masyarakat sehingga
eksistensinya mutlak diperlukan. Sektor ini menyediakan bahan
baku (raw material) bagi sektor industri (agroindustri) sehingga
aktivitas proses produksi industri dapat terus berlangsung. Sektor
pertanian juga merupakan sektor yang menyediakan kesempatan
kerja terbesar bagi tenaga kerja, saat ini sekitar 40 persen dari
seluruh angkatan kerja Indonesia bekerja di sektor pertanian.
Sementara itu, sektor industri merupakan sektor yang berperan
120
penting dalam meningkatkan nilai tambah suatu produk,
termasuk produk sektor pertanian.
Keterpaduan sektor pertanian sebagai basis dan sektor
industri sebagai pencipta nilai tambah akan meningkatkan
kesejahteraan para pelaku ekonomi di sektor ini. Salah satu
wujud nyata integrasi sektor pertanian dan sektor industri adalah
lahirnya istilah agribisnis atau usaha berbasis sektor pertanian.
Oleh karena itu, sebelum masuk pada rekomendasi kebijakan
tentang kedaulatan pangan, pada subbab selanjutnya sektor
agribisnis akan dibahas lebih mendalam, baik terkait dengan
prospek maupun tantangan industri ini ke depan terutama pada
2013.
6.3. 6.3. 6.3. 6.3. Prospek dan Tantangan Industri Agribisnis Prospek dan Tantangan Industri Agribisnis Prospek dan Tantangan Industri Agribisnis Prospek dan Tantangan Industri Agribisnis
Prospek industri agribisnis Indonesia pada 2013 relatif
lebih baik dibandingkan dengan kondisi pada 2012 yang penuh
drama karena dampak kekeringan di negara-negara besar
produsen pangan, seperti Amerika Serikat, Rusia, dan Australia.
Di belahan bumi lain, Brazil sebagai salah produsen gula dan
kedelai terbesar di dunia juga sedang mengalami anomali cuaca
yang relatif basah yang sempat membuat harga-harga cukup
liar. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah, apakah dampak
keliaran dan fluktuasi harga-harga komoditas agribisnis pada
2012 masih akan berlanjut pada tahun 2013? Jika pemulihan sisi
suplai dan stabilitas harga tidak kunjung tercapai pada kuartal
pertama 2013, apa saja yang harus dilakukan industri agribisnis
di Indonesia?
121
6.3.1. 6.3.1. 6.3.1. 6.3.1. Klasifikasi Industri AgribisnisKlasifikasi Industri AgribisnisKlasifikasi Industri AgribisnisKlasifikasi Industri Agribisnis
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, pertama perlu
diuraikan kondisi industri agribisnis selama ini serta
kecenderungannya dalam beberapa tahun terakhir. Industri
agribisnis Indonesia terbagi menjadi empat kelompok besar,
yaitu:
(1) Kelompok industri primer yang sangat mengandalkan pasar
ekspor karena pasar domestik tidak terlalu berkembang dan
industri sekunder hilir di dalam negeri tumbuh masih sangat
lambat
(2) Kelompok industri pangan pokok, yang umumnya didomi-
nasi oleh pangan sumber karbohidrat dan sedikit protein
(3) Kelompok industri hortikultura, dengan andalan bunga dan
buah-buahan plus sedikit tanaman hias dan tanaman obat
(4) Kelompok industri basis peternakan, terutama unggas dan
produk unggas, dengan karakter yang sedikit berbeda.
Tanpa bermaksud mengesampingkan industri berbasis
perikanan-kelautan dan kehutanan, potret masing-masing
kelompok industri agribisnis di atas dapat diuraikan berikut ini:
6.3.2. 6.3.2. 6.3.2. 6.3.2. Industri PrimerIndustri PrimerIndustri PrimerIndustri Primer
Kelompok industri primer didominasi oleh komoditas
perkebunan, seperti kelapa sawit, karet, kopi, kakao, lada, teh,
dan lain-lain. Produk primer perkebunan selama ini lebih
banyak untuk mengisi pasar-pasar ekspor dan pengumpul
devisa. Kecuali teh dan lada, secara umum kinerja produksi
kelompok ini cukup baik dan sangat baik, dengan performa
ekspor cukup spektakuler. Ekspor minyak sawit mentah (CPO)
122
yang mencapai 18 juta ton dengan nilai devisa melebihi US$16
juta tentu menjadi salah satu andalan ekspor yang mampu
menggoyang pasar global, walau harganya amat fluktuatif,
terutama pada paruh kedua 2012. Harga CPO pada 2013
diperkirakan akan kembali stabil dan mampu dijadikan acuan
bagi keputusan investasi baru, terutama di sektor industri hilir.
Keputusan pemerintah untuk menggenjot produk hilir
sawit dengan mengenakan pungutan ekspor (PE) hingga 25
persen — tergantung harga jual — sempat membuat marah pelaku
industri sawit di Malaysia. Mereka khawatir tidak memperoleh
pasokan CPO yang memadai dari Indonesia dan mengancam
eksistensi industri atau kilang pengolahan produk turunannya.
Pada 2013, industri primer kelapa sawit tetap akan menjadi
andalan penerimaan devisa negara dengan tantangan yang juga
tidak kalah berat, karena tekanan politik, persaingan bisnis dan
spekulasi pasar pada tingkat bursa global masih akan mewarnai
dinamika CPO.
Masih segar dalam ingatan masyarakat, CPO Indonesia
tidak berhasil diterima sebagai salah satu dari 54 produk ramah
lingkungan pada Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) APEC di
Vladivostok September 2012. Amerika Serikat (AS) dan Eropa
selama ini terkenal sangat kritis — dan cenderung nyinyir —
terhadap CPO Indonesia. Walaupun Indonesia telah berjuang
untuk memiliki skema standarisasi dan sertifikasi sendiri atas
produk kelapa sawit yang dikenal dengan ISPO (Indonesia
Sustainable Palm Oil), AS dan Eropa masih akan mencari
kelemahan CPO Indonesia. Posisi negara-negara besar yang
sangat berpengaruh pada Forum Ekonomi Regional APEC
tersebut seharusnya telah diantisipasi dari awal. Sikap
antisipatif, tegar, dan deterministik dari para pemimpin
Indonesia tentu sangat dihargai oleh masyarakat, dibandingkan
dengan sikap membantah-menyangkal (denial) bahwa KTT
123
APEC bukan arena negosiasi dagang. Setiap pertemuan dua
negara atau lebih seharusnya diperlakukan sebagai sebagai
ajang diplomasi ekonomi dan arena negosiasi untuk
memperjuangkan kepentingan nasional di kancah global.
Komoditas perkebunan lain yang diperkirakan akan
rebound pada 2013 adalah karet, kopi, dan kakao karena
fenomena penuruan harga produk primer ini tidak berlanjut
terus menerus. Berbeda dengan CPO, peningkatan produksi
dari komoditas ekspor ini tidak terlalu cepat, karena lebih dari
85 persen pelakunya adalah petani kecil dengan skala ekonomi
tidak terlalu menguntungkan. Produksi karet 2013 dapat saja
menembus 3 juta ton, produksi kakao mampu di atas 700 ribu
ton dengan sedikit usaha dari Pemerintah dan Pemerintah
Daerah, dan kopi masih berkisar 600 ribu ton karena
keterbatasan lahan untuk ekspansi, kecuali ke daerah
penyangga hutan lindung dan Taman Nasional.
Upaya hilirisasi produk primer dari karet masih akan
lambat karena persoalan mendasar iklim investasi di Indonesia
dan kompatibilitas bisnis plus kinerja sebagian besar
Pemerintah Daerah tidak terlalu baik. Industri hilir berbasis
kakao mungkin akan berkembang, bergantung pada konsistensi
dan dukungan pemerintah untuk mewujudkan strategi
peningkatan nilai tambah kakao di dalam negeri. Pungutan
ekspor yang dikenakan pada biji kakao akan menjadi bahan
pemantauan masyarakat luas, terutama jika strategi hilirisasi
terjebak pada struktur pasar yang tidak sehat. Prospek industri
hilir berbasis kopi pada 2013, terutama industri makanan,
industri kuliner akan berkembang sangat pesat, terutama karena
perubahan hidup kaum urban yang semakin terbiasa dan
bahkan mencandu untuk menyelesaikan urusan-urusan
bisnisnya di kedai-kedai kopi.
124
Catatan penting lain untuk industri primer perkebunan
ini fluktuasi harga, yang dapat saja terjadi di luar keseimbangan
penawaran dan permintaan, karena spekulasi pemain-pemain
besar komoditas di tingkat global. Diskusi publik tentang
gagasan Bursa Regional Komoditas Asia juga akan menjadi
agenda publik pada 2013, terutama karena Indonesia menjadi
Ketua Organisasi Kerjasama Ekonomi Asia-Pasifik (APEC). Di
pasar spot komoditas, struktur pasar komoditas primer masih
cenderung oligopsoni dan arah pergerakan transmisi harga yang
cenderung searah pasti akan merugikan petani sebagai
pengampu kepentingan yang paling besar jumlah dan
magnitude-nya. Konsekuensinya adalah bahwa kenaikan harga
di tingkat global sangat lambat ditransmisikan kepada harga jual
produk petani, tetapi penurunan harga di tingkat global cepat
sekali sampai ke tingkat petani. Apabila Bursa Regional itu
mampu menjadi insentif besar bagi seluruh pelaku industri
untuk meningkatkan mutu komoditas primer di hulu, menjadi
referensi pada pembentukan harga di tingkat domestik, maka
diskusi publik yang berkembang akan cenderung positif.
Demikian pula sebaliknya.
6.3.3. 6.3.3. 6.3.3. 6.3.3. Industri Pangan PokokIndustri Pangan PokokIndustri Pangan PokokIndustri Pangan Pokok
Kelompok industri pangan pokok pada 2013 akan terus
berkembang, walau tidak sedahsyat perkembangan pada
kelompok industri primer. Tantangan serius dari faktor eksternal
masih akan mewarnai kinerjanya, seperti perubahan iklim,
eskalasi harga pangan strategis, semakin berdampak pada kinerja
produksi dan ketersediaan pangan di dalam negeri. Struktur
perdagangan komoditas pangan pokok, terutama beras, semakin
sulit dipercaya setelah negara-negara produsen beras lebih
125
terfokus mengatasi persoalan di dalam negerinya. Mereka tidak
jarang melakukan kejutan-kejutan perdagangan (trade shocks),
seperti restriksi ekspor dan proteksi berlebihan, sehingga
Indonesia tidak pantas menggantungkan urusan ketahanan
pangannya hanya kepada beras impor.
Produksi pangan akan menjadi cerah atau suram
sebenarnya banyak ditentukan oleh kesungguhan pemerintah
sebagai pemilik kewenangan eksekusi, beserta seluruh
pengampu kepentingan sektor pertanian dalam membangun dan
melaksanakan rencana pembangunan pertanian yang telah
dirumuskan. Kinerja produksi pangan domestik masih tertatih-
tatih, apalagi berambisi mencapai target besar mencapai
swasembada untuk lima komoditas strategis: beras, jagung,
kedelai, gula dan daging sapi nanti pada 2014. Kenaikan
produksi beras sampai 4,9 persen pada akhir 2012 mungkin
akan berlanjut pada 2013, walaupun masih tergantung pada
sistem insentif yang diberikan pada petani padi, plus upaya besar
perbaikan infrasturktur irigasi, drainase, dan strategi adaptasi
perubahan iklim. Tetapi, target swasembada beras mungkin
relatif paling aman, walaupun untuk memenuhi surplus
sebenarnya sampai 10 juta ton pada 2014 masih sulit tercapai.
Terlalu sulit untuk menghentikan laju konversi lahan sawah
subur menjadi kegunaan lain, serta untuk mengejar perbaikan
sistem infrastruktur irigasi yang telah rusak cukup parah, jika
tidak ada perubahan radikal dalam kebijakan Pemerintah dari
tingkat pusat sampai daerah.
Kenaikan produksi jagung juga akan berlanjut, walau
pun masih cukup sulit untuk mencapai target 24 juta ton yang
dicanangkan pemerintah. Target swasembada jagung mungkin
masih dapat tercapai, asalkan semua kebijakan insentif
peningkatan produksi dan produktivitas benar-benar
126
dilaksanakan secara konsisten, mulai dari ketersediaan benih
unggul (hibrida), pupuk yang tepat dan penanganan hama-
penyakit yang terpadu. Petani jagung tidak boleh dikecewakan
oleh sistem usahatani dan kelembagaan pemasaran dan
penanganan pasca panen yang umumnya berhubungan dengan
industri pakan ternak.
Target swasembada gula 4,2 juta ton hampir pasti tidak
akan tercapai pada 2014 karena persoalan kelembagaan yang
melingkupinya terlalu kusut, mulai dari tingkat usahatani di
hulu, perdagangan dan distribusi di tengah, sampai pada struktur
pasar dan pemasaran yang penuh misteri. Industri gula rafinasi
akan menjadi tantangan tersendiri bagi pengembangan industri
gula berbasis kebun tebu di dalam negeri.
Target swasembada kedelai 2,5 juta ton pada 2014 juga
sulit tercapai karena fenomena ”dekadelisasi” di Indonesia telah
demikian parah, terutama selama 20 tahun terakhir. Pada tahun
2012, areal panen kedelai menurun secara drastis sampai pada
laju 6 persen per tahun dan kini hanya tinggal 567 ribu hektar.
Sekadar perbandingan, lahan kedelai pernah mencapai 1,4 juta
hektar dan produksi kedelai pernah mencapai 1,8 juta ton pada
awal 1990-an. Sudah terlalu lama sistem insentif dan kebijakan
pada agribisnis kedelai rusak (atau sengaja dirusak?) karena
inkonsistensi para pemimpin di negeri ini. Siapa pun harus
mampu bersikap realistis karena akan sangat sulit untuk
membalikkan keadaan menjadi seperti negeri dongeng.
Uraian di atas seharusnya telah memadai untuk
menjelaskan bahwa kinerja produksi pangan dalam negeri yang
buruk akan sangat rentan terhadap gejolak produksi pangan di
luar negeri. Sebagian besar (89 persen) impor kedelai Indonesia
yang mencapai hampir 2 juta ton tersebut berasal dari Amerika
127
Serikat, sehingga fenomena kekeringan di AS langsung
melonjakkan harga kedelai di dalam negeri. Solusi kebijakan
instan Pemerintah dengan menghapus tarif impor bea masuk
kedelai sampai nol persen mungkin menjadi kosmetik sesaat.
Tetapi langkah kebijakan instan tersebut bukanlah opsi yang
tepat, jika target Pemerintah memang ingin mencapai
swasembada kedelai. Kebijakan pangan yang mampu
meningkatkan ketahanan pangan dan kedaulatan bangsa tidak
akan pernah dicapai dengan cara potong kompas. Pencapaian
tujuan mulia tersebut memerlukan keteguhan hati pemimpin,
konsistensi kebijakan, dan integritas perumus dan pelaksana
kebijakan di negeri ini.
Produksi daging sapi 2012 diperkirakan mencapai 320
ribu ton, dan masih cukup jauh dari angka konsumsi yang
mencapai 400 ribu ton setiap tahun. Akibatnya, Indonesia harus
melakukan impor sapi dari Australia sebanyak 300-500 ribu ekor
sapi hidup (30-40 persen dari total). Sesuatu yang menarik dari
statistik sapi adalah bahwa Hasil Sensus Sapi Tahun 2011
menunjukkan bahwa jumlah populasi sapi (dan kerbau) adalah
15 juta ekor. Jumlah ini sebenarnya lebih tinggi dari estimasi
selama ini 13,5 juta ekor. Jika data BPS ini benar, maka
Indonesia seharusnya sudah mencapai swasembada daging,
sehingga tidak harus menunggu sampai 2015. Fakta yang terjadi
adalah bahwa tidak semua populasi sapi ini berupa stok aktif
daging karena sebagian besar peternak hanya punya 2-3 sapi,
untuk investasi.
Indonesia sampai saat ini masih mengimpor sapi hidup
dan bahkan daging sapi, yang sering menimbulkan pertanyaan
kritis dari masyarakat. Pada 2013, ekonomi daging sapi
diperkirakan akan mengalami perubahan radikal karena
perbedaan data dan kebijakan yang demikian tajam. Ekonomi
128
daging sapi mirip dengan ekonomi beras, bahwa persoalan ada
di basis estimasi kebutuhan daging dan rente ekonomi (politik)
impor sapi (+daging sapi). Langkah awal untuk membenahinya
adalah memperjelas berbagai ketidakpastian tentang data
produksi dan konsumsi daging sapi, sehingga target-target
swasembada daging dapat diprediksi dengan akurat.
6.3.4. 6.3.4. 6.3.4. 6.3.4. Industri HortikulturaIndustri HortikulturaIndustri HortikulturaIndustri Hortikultura
Industri agribisnis hortikultura masih sporadis, walaupun
berpotensi sangat besar. Kinerja produksi tidak kunjung
membaik, jika tidak dikatakan hampir semua mengalami
penurunan. Demikian juga, kinerja perdagangan hortikultura
setali tiga uang. Alih-alih menghasilkan devisa negara yang
dapat dibanggakan, ternyata impor sektor hortikultura semakin
besar. Sebaliknya, upaya menembus pasar ekspor komoditas
hortikultura tropis nan eksotis seperti markisa, manggis, paprika,
anggrek ungu, mawar hitam dan lain-lain seakan menghadapi
tembok besar. Persyaratan karantina yang super ketat di negara
tujuan masih sangat sulit untuk ditembus oleh pelaku
hortikultura domestik, kecuali hanya beberapa eksportir saja.
Pemerintah yang seharusnya mampu menjadi fasilitator dan
dinamisator kegiatan agribisnis dan perdagangan hortikultura
masih belum menunjukkan kinerja yang dapat dibanggakan.
Salah satu kekhasan dari agribisnis hortikultura di
Indonesia adalah karakter variasi yang sangat besar, baik dalam
kapasitas pelaku, skala usaha dan akses terhadap informasi,
jaringan pasar, teknologi, pembiayaan, perbankan dan
sebagainya. Subsektor sayuran umumnya melibatkan petani
kecil dengan tingkat pendidikan tidak terlalu tinggi, dengan skala
usaha ekonomi tidak terlalu efisien dan sering terombang-
129
ambing oleh struktur pasar yang tidak bersahabat. Subsektor
buah-buahan masih sering mengandalkan musim, tanpa
sentuhan teknik budidaya yang memadai, sehingga juga cukup
sulit untuk menghadapi keganasan administrasi bisnis
supermarket dan retail modern. Kedua subsektor ini seakan
mewakili sebagian besar dari agribisnis hortikultura Indonesia,
yang sampai saat ini masih sangat rentan terhadap kejutan-
kejutan perdagangan internasional, seperti impor pada kasus
banjir impor kentang dan bawang merah selama ini.
Subsektor tanaman hias dan bunga atau florikultura
sedikit lebih unggul, setidaknya lebih elit, karena para pelakunya
memiliki omzet ratusan juta, bahkan miliaran rupiah, masih
harus bekerja keras menembus pasar-pasar luar negeri dengan
karakter persaingan yang juga ketat. Sebagaimana khasnya
sektor lain yang berisiko tinggi kesalahan perhitungan sedikit
saja pada ekonomi hortikultura, dapat mengakibatkan kerugian
yang juga tidak kecil. Tidak terlalu mengherankan apabila
inisiatif investasi di sektor hortikultura, yang sebenarnya
berpenghasilan sangat tinggi itu, juga cukup rendah. Pemerintah
seakan tidak mampu bekerja keras untuk memfasilitasi aktivitas
investasi sektor hortikultura yang amat dibutuhkan saat ini.
Seorang sahabat yang menekuni bisnis buah-buahan
sejak mahasiswa di era 1980-an ternyata harus mengalami jatuh-
bangun yang amat dahsyat, karena agribisnis buah-buahan
memang penuh tantangan dan risiko. Risiko usaha seperti
gangguan cuaca, serangan hama dan penyakit tumbuhan,
sebenarnya tidak terlalu berat dan masih dalam batas toleransi
manajemen agribisnis yang diyakini pelaku. Beban menjadi
demikian besar ketika pelaku di sektor hulu ini harus
menanggung risiko pemasaran, potongan harga, kontribusi
promosi dan lain-lain yang diterapkan oleh supermarket dan
130
hypermarket yang menjadi outlet dari pelaku agribisnis buah-
buahan. Sistem pembayaran yang umumnya tertunda 2-3 bulan
kepada petani buah, sedangkan supermarket dan hypermarket
lebih sering menerima pembayaran cash dari konsumen.
Sahabat itu akhirnya terjun pada bisnis hortikultura di hilir
dengan mengembangkan usaha retail aneka-rupa jus buah,
parsel dan paket buah-buahan, sehingga agribisnisnya
berkembang hingga kini.
Teman lain yang berprofesi sebagai eksportir bunga hias,
yang bermitra dengan petani di Kawasan Puncak, Bogor sedang
mengalami stagnasi karena negara tujuan ekspornya sedang
bermasalah secara ekonomi. Sebagai pelaku, ia sering sekali
merasa harus berjuang sendirian, berjibaku menembus kerasnya
persaingan global, bahkan dari sesama negara anggota ASEAN.
Pameran dagang dan ekspo internasional holtikultura yang
seharusnya menjadi arena promosi komoditas florikultura dan
bunga eksotis yang nyaris tidak ditemukan di belahan bumi lain,
terkadang hanya berfungsi sebagai kegiatan rutin administratif
semata, tanpa rumusan langkah-langkah konkrit yang harus
ditindaklanjuti.
Prospek industri hortikultura akan kembali menggeliat
jika Pemerintah segera mengambil langkah-langkah seperti
berikut. Pertama, izin impor produk hortikultura lebih diperketat,
terutama yang berpotensi mencederai ekonomi petani kecil yang
jumlahnya sangat besar. Kementerian Pertanian perlu lebih
selektif memberikan rekomendasi impor sambil memanfaatkan
kaidah-kaidah perlindungan teknis dan ekonomis sebagaimana
yang menjadi kewenangan Badan Karantina Pertanian.
Kemudian, pembenahan struktur pasar hortikultura
dalam negeri, termasuk peningkatan kapasitas pelaku tentang
131
peningkatan mutu, persyaratan kesehatan sesuai tuntutan
konsumen modern yang lebih beragam. Terakhir adalah
pembenahan fungsi intelijen pasar dan perbaikan diplomasi
ekonomi oleh semua kantor perwakilan Indonesia di luar negeri.
Langkah ini selain bermanfaat untuk promosi negara Indonesia,
juga akan berkontribusi pada peningkatan daya saing agribisnis
Indonesia secara umum.
6.3.5. 6.3.5. 6.3.5. 6.3.5. Industri Basis PeternakanIndustri Basis PeternakanIndustri Basis PeternakanIndustri Basis Peternakan
Berbeda dengan subsektor ruminansia yang sedang
bermasalah, subsektor perunggasan mengalami kinerja dan masa
depan yang cerah, produksi tahun 2012 diperkirakan mencapai
1,5 juta ton dan surplus lebih dari 300 ribu ton. Tahun 2013,
subsektor perunggasan juga akan mengalami surplus, walaupun
permintaan daging ayam masih akan cenderung meningkat.
Namun, produksi dan konsumsi daging ayam ini masih sangat
sensitif terhadap isu biosafety seperti kasus flu burung serta
dampak sosial-ekonomi yang ditimbulkannya. Sifat konsumsi
daging ayam yang sangat elastis terhadap perubahan harga dan
perubahan selera konsumen adalah beberapa faktor yang perlu
diperhatikan dalam pencapaian kinerja stabilisasi harga daging
sapi, daging ayam dan produk peternakan ini. Pada hari-hari
besar keagamaan, seperti Idul Fitri dan Idul Adha, permintaan
daging ayam dan telur di Indonesia meningkat secara signifikan,
suatu pola rutin yang terkadang paradoksal apabila dikaitkan
dengan upaya pengendalian konsumsi.
Dalam ekonomi pertanian, karakter perubahan
permintaan tinggi seperti inilah yang menjadi ciri khas Revolusi
Peternakan, sesuatu yang sangat berkontribusi pada pencapaian
ketahanan pangan, kualitas sumber daya manusia, dan
132
pembangunan ekonomi secara umum. Sektor peternakan
memang mewarnai perubahan konsumsi masyarakat dari sumber
kalori berbasis karbohidrat menjadi berbasis kandungan protein
tinggi. Sekitar 56 persen dari konsumsi daging di Indonesia
memang berasal dari unggas; cukup jauh dibandingkan dengan
angka konsumsi daging sapi yang hanya 23 persen. Walaupun
demikian, angka konsumsi daging unggas yang hanya setara 5
kilogram per kapita per tahun itu jelas sangat rendah atau
seperlima dibandingkan dengan konsumsi daging negara-negara
maju.
Industri peternakan sangat berkait erat dengan sistem
produksi jagung di dalam negeri, sebagai kontributor utama
penyediaan pakan ternak, baik langsung maupun tidak langsung.
Sebagaimana disebutkan sebelumnya, produksi jagung juga naik
cukup signifikan, terutama di beberapa sentra produksi jagung di
Sumatera, Jawa, dan Sulawesi. Hal yang agak positif adalah
bahwa penggunaan benih unggul jagung hibrida, terutama hasil
bioteknologi pertanian. Bersamaan dengan itu, peningkatan
produksi jagung hibrida juga sekaligus mampu mendukung
sektor peternakan karena industri pakan ternak ikut tumbuh
pasca-stagnansi yang cukup serius pada puncak krisis ekonomi.
Membaiknya produksi jagung domestik agak membantu
mengurangi ketergantungan sektor peternakan kecil terhadap
pakan impor dan sempat memberikan ekspektasi pertumbuhan
yang lebih tinggi. Tetapi, karena laju konsumsi jagung yang
tumbuh lebih cepat, Indonesia masih harus mengandalkan
jagung impor dalam jumlah yang cukup besar.
Para pejuang sektor peternakan masih harus berusaha
keras meningkatkan produksi dan produktivitas daging ayam, itik
dan unggas lain (plus daging sapi, tentu saja), karena sektor ini
menjadi salah satu ciri khas indikator ketahanan pangan. Di
133
samping itu, pada sisi konsumsi, para stakeholders ini
(pemerintah, swasta dan masyarakat) perlu berjuang keras untuk
meningkatkan laju konsumsi daging ini untuk menunjukkan
peran nyata terhadap kualitas gizi dan protein masyarakat dan
tentunya kecerdasan bangsa Indonesia secara umum.
Pemerintah perlu terus membangun dan menciptakan
iklim usaha kondusif bagi sektor peternakan. Investasi asing dan
domestik tidak akan begitu saja berspekulasi untuk menanamkan
modal di Indonesia apabila peluang keuntungan usaha dalam
jangka panjang tidak begitu besar atau tidak dapat diperkirakan.
Tingkatkan keamanan dan rasa aman, kepastian usaha,
kenyamanan berusaha dan jika mampu, kepastian hukum untuk
“mengawal” langkah pembangunan ekonomi sektor peternakan.
Di sinilah hakikatnya bahwa tingkat kemajuan usaha sektor
peternakan dapat diukur atau didekati dari seberapa besar
dampak berganda dari aktivitas usaha tersebut pada ekonomi
lokal di tingkat daerah dan di tingkat provinsi.
6.3.6. 6.3.6. 6.3.6. 6.3.6. Antisipasi PeAntisipasi PeAntisipasi PeAntisipasi Pelaku dan Respons Kebijakanlaku dan Respons Kebijakanlaku dan Respons Kebijakanlaku dan Respons Kebijakan
Antisipasi pelaku agribisnis dan respons kebijakan yang
tepat akan dapat menjawab tantangan ekonomi pangan secara
umum berupa ancaman defisit suplai pada pangan, bahkan
mampu berkontribusi pada perbaikan ekonomi nasional dan
kesejahteraan rakyat nanti pada 2013. Sekian macam masalah
dan tantangan yang diuraikan sebelumnya akan dapat dicegah
dan ditanggulangi jika pemerintah, swasta, dan petani mampu
bekerja sama lebih setara dan seimbang. Tantangan agribinis
pada 2013 akan dapat dihadapi dengan baik dengan
pengembangan sistem insentif baru yang berbasis inovasi. Masa
depan agribisnis, utamanya pada sektor pangan, akan lebih
134
bertumpu pada basis penguasaan, penerapan dan efisiensi
teknologi inovasi baru untuk menjawab tantangan yang lebih
dinamis.
Pengembangan bioteknologi bidang pertanian akan
menjawab tantangan ekonomi agribisnis yang lebih beragam,
kompleks, dan strategis. Teknologi rekayasa genetika menjadi
harapan baru untuk melakukan strategi antisipasi, adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim, pengembangan varietas pangan baru,
yang lebih tahan musim kering dan tahan gangguan hama-
penyakit tanaman, bahkan sampai pada upaya spesifik
peningkatan protein dan asam amino tertentu, pengurangan
kadar gula dan lemak yang amat dibutuhkan oleh kelompok
konsumen tertentu.
6.4. 6.4. 6.4. 6.4. Rekomendasi KebijakanRekomendasi KebijakanRekomendasi KebijakanRekomendasi Kebijakan
Upaya mewujudkan kedaulatan pangan ke depan perlu
lebih membumi dan harus fokus untuk membangun keempat
dimensi ketahanan pangan; ketersediaan, aksesibilitas, stabilitas
dan utilisasi pangan secara lebih komprehensif. Hanya dengan
langkah-langkah yang komprehensif itulah, keberdaulatan
pangan dan kemandirian suatu bangsa dapat diraih oleh
Indonesia.
Pertama, di bidang produksi, sebagai salah satu ujung
tombak ketersediaan pangan, perbaikan manajemen usahatani
padi, peningkatan produktivitas dan inovasi kelembagaan wajib
diteruskan dan diperbaiki sesuai dengan tuntutan zaman,
termasuk mengakomodasi dan memanfaatkan kearifan lokal,
yang umumnya kompatibel dengan strategi keberlanjutan
pembangunan ekonomi secara umum. Pemanfaatan anggaran
negara untuk meningkatkan kapasitas petani dan SDM pertanian,
135
bahkan jika harus memanfaatkan pinjaman luar negeri untuk
memperbaiki infrastruktur produksi pertanian (jaringan irigasi
dan drainase) dan pencetakan sawah-sawah baru di luar Jawa,
apalagi jika harus menuju food estate, sebagaimana
dicanangkan dalam Master Plan Percepatan dan Peningkatan
Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) 2025.
Kedua, sistem insentif baru yang berbasis inovasi wajib
dikembangkan karena masa depan ketahanan pangan akan lebih
bertumpu pada basis pengusaan, penerapan dan efisiensi
teknologi inovasi baru untuk menjawab tantangan kedaulatan
pangan yang lebih dinamis. Dalam hal ini, penguatan strategi
penelitian dan pengembangan (R and D) dan penelitian untuk
pengembangan (R for D) diharapkan mampu meningkatkan
produktivitas dan efisiensi yang dimaksud di atas. Dunia usaha
dan sektor swasta Indonesia secara umum perlu secara nyata
melaksanakan kemitraaan strategis dengan perguruan tinggi dan
pusat-pusat penelitian pangan, yang sebenarnya tersebar di
segenap pelosok Indonesia. Hanya dengan R-and-D dan R-for-D
inilah, inovasi baru akan tercipta, sehingga daya saing Indonesia
akan meningkat berlipat-lipat. Misalnya, untuk melakukan
antisipasi, adaptasi dan mitigasi perubahan iklim,
pengembangan varietas pangan baru, yang lebih tahan musim
kering dan tahan gangguan hama-penyakit tanaman, dapat
memanfaatkan teknologi baru, termasuk melakukan rekayasa
genetika yang mampu menjawab tantangan baru ke depan yang
lebih dinamis.
Ketiga, ketahanan pangan dan bahkan kedaulatan
pangan dapat dirintis dan ditegakkan dari upaya-upaya aksi di
lapangan yang mengarah pada pembangunan cadangan pangan
(pokok) setiap pemerintahan daerah. Cadangan pangan ini dapat
menjadi alternatif terbaik untuk stabilisasi apabila terjadi
136
bencana alam atau musim paceklik yang berkepanjangan.
Secara legal-formal, aransemen kelembagaan dan kebijakan
pangan mengamanatkan bahwa masyarakat dan pemerintah
memelihara cadangan pangan yang bersifat pokok. Dalam
konteks otonomi daerah, klausul yang sangat jelas adalah bahwa
ketahanan pangan merupakan “urusan wajib” bagi
pemerintahan daerah sebagaimana diamanatkan dalam
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota. Upaya pengelolaan cadangan pangan oleh
pemerintah daerah dapat menjadi komplemen dari cadangan
beras pemerintah (CBP) di tingka pusat (yang umumnya dikelola
Perum Bulog). Prasyarat, kriteria, dan indikator untuk
mewujudkan cadangan pangan regional ini memang perlu
secara rinci dirumuskan, agar meminimalisir upaya perburuan
rente dari para petualang.
Keempat, ketegasan stabilisasi harga pangan dan skema
perlindungan harga produk pertanian kepada petani. Ketegasan
kebijakan ini amat diperlukan mengingat ancaman eskalasi
harga pada masa paceklik dan fluktuasi harga pada masa panen
dapat terjadi sewaktu-waktu, sehingga menjadi signal
ketidakpasian perlindungan pada petani pangan di daerah
perdesaan dan konsumen miskin di perkotaan. Misalnya, untuk
membantu meningkatkan stabilisasi harga pangan di daerah,
para gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah, perlu
secara aktif memberdayakan Tim Pengendali Inflasi Daerah
(TPID). Kelembagaan ini perlu lebih membumi, tidak hanya
beranggotakan para pejabat sibuk di tingkat moneter dan fiskal
di daerah, tetapi perlu melibatkan para akademisi di daerah,
yang lebih sering bergelut dengan analisis teknis ekonomis, dan
lebih sering berhubungan dengan masyarakat sebenarnya.
137
Kelima, perwujudan upaya penganekaragaman atau
diversifikasi pangan, terutama yang berbasis pemanfaatan
teknologi dan industri pangan, sebagai langkah sentral dan
strategis dalam utilisasi pangan. Diversifikasi pangan yang
berbasis kearifan dan budaya lokal akan sangat kompatibel
dengan strategi pemenuhan kebutuhan gizi yang seimbang
sesuai dengan kondisi demografi Indonesia yang plural
heterogen. Dalam hal ini, langkah pengembangan teknologi dan
industri pangan disesuaikan dengan kandungan sumber daya,
kelembagaan dan budaya lokal. Pengembangan diversifikasi
pangan akan berjalan lambat jika masih mengandalkan cara-
cara lama, yang terkadang berharap terlalu banyak pada
pemerintah yang sering terlalu birokratis. Tantangan diversifikasi
pangan perlu dijawab dengan pengindustrian pangan, yang
melipatkan sektor swasta dan basis ekonomi petani di
perdesaan, agar nilai tambah dan dampak multiplikasinya
dinikmati secara langsung oleh masyarakat.
139
BAB 7
Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013
Sudah 67 tahun Indonesia merdeka, namun rupanya
bangsa ini belum juga dapat mencapai salah satu cita-cita
bersama, yaitu kesejahteraan ekonomi yang adil dan merata.
Hingga Agustus 2012 jumlah pengangguran masih 7,24 juta
orang, sementara jumlah penduduk miskin juga masih cukup
tinggi, sebanyak 29,13 juta orang. Kondisi ini disertai dengan
tingkat ketimpangan yang semakin melebar antara si kaya dan si
papa. Indeks Rasio Gini meningkat dari 0,33 pada 2004 menjadi
0,41 pada 2011. Ini merupakan nilai rasio paling parah sejak
bangsa ini lahir. Jika muara pembangunan adalah kesejahteraan
rakyat seluruh dan seutuhnya, maka tiga indikator ini saja sudah
cukup untuk menggambarkan adanya salah arah dalam
kebijakan pembangunan ekonomi Indonesia saat ini.
Sekadar contoh, dalam ranah makro pertumbuhan
ekonomi Indonesia justru bertumpu pada sektor-sektor yang
kedap terhadap penyerapan tenaga kerja, sehingga meminimkan
daya fungsinya dalam mengurangi jumlah pengangguran.
Produk Domestik Bruto (PDB) yang hingga triwulan III-2012
mencapai Rp6.151,6 triliun (atas dasar harga berlaku) ternyata
diikuti dengan jumlah pengangguran dan penduduk miskin yang
140
masih tinggi, dan diperparah dengan tingkat ketimpangan yang
melebar.
Berbagai lencana yang disematkan oleh beberapa
lembaga internasional untuk kinerja makro ekonomi Indonesia
yang mengagumkan, nyatanya masih banyak menyisakan
persoalan fundamental ekonomi yang harus segera diselesaikan.
Dua per tiga angkatan kerja mencari nafkah di sektor informal;
sepertiga angkatan kerja menganggur; serta separoh masyarakat
Indonesia hidup di bawah US$2 per hari. Fakta-fakta ini menjadi
bukti urgensi penyusunan ulang pembangunan ekonomi
Indonesia. Agar ke depan bangsa ini dapat sejahtera, merdeka
seutuhnya!
7777.1. .1. .1. .1. Proyeksi Ekonomi Indonesia oleh Lembaga LainProyeksi Ekonomi Indonesia oleh Lembaga LainProyeksi Ekonomi Indonesia oleh Lembaga LainProyeksi Ekonomi Indonesia oleh Lembaga Lain
Penyusunan PEI 2013 oleh INDEF dilakukan untuk
memberikan alternatif pandangan tentang outlook ekonomi
tahun depan, di luar yang sudah dipublikasikan oleh beberapa
lembaga, seperti International Monetary Fund (IMF), Asian
Development Bank (ADB), Bank Indonesia, dan Pemerintah.
Indikator yang menjadi fokus beberapa lembaga ini terutama
pertumbuhan ekonomi. IMF memproyeksikan pertumbuhan
ekonomi Indonesia pada 2013 sebesar 6,3 persen. ADB dalam
Asian Development Outlook 2012 update bulan Oktober
memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2013 sebesar
6,6 persen. Bank Indonesia pada acara Pertemuan Tahunan
Perbankan 23 November lalu memproyeksikan pertumbuhan
ekonomi Indonesia 2013 antara 6,3 — 6,7 persen. Sementara
Pemerintah pada asumsi makro APBN 2013 mentargetkan
pertumbuhan ekonomi sebesar 6,8 persen.
141
7777.2. .2. .2. .2. Pertumbuhan Ekonomi 201Pertumbuhan Ekonomi 201Pertumbuhan Ekonomi 201Pertumbuhan Ekonomi 2013333
Indikator pertumbuhan ekonomi sering dijadikan acuan
utama dalam melihat kinerja makro ekonomi suatu negara
secara keseluruhan. Meskipun harus disadari bahwa
pertumbuhan ekonomi bukanlah satu-satunya tolok ukur
keberhasilan pembangunan ekonomi suatu negara. Melihat
perkembangan perekonomian yang terjadi sepanjang tahun ini
dan berbagai kemungkinan situasi ekonomi ke depan, pada
2013 INDEF memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia
berada pada kisaran 6,3 — 6,5 persen.
Diperkirakan konfigurasi pertumbuhan ekonomi 2013
masih akan dicirikan oleh dominasi kontribusi sektor konsumsi
dari sisi penggunaan. Sementara dari sisi lapangan usaha,
pertumbuhan sektor non-tradable1 tetap akan lebih menonjol
dibandingkan dengan sektor tradable.2 Dominasi sektor
konsumsi jelas bukan kondisi ideal bagi upaya mewujudkan
pertumbuhan ekonomi yang berkualitas. Besarnya konsumsi
yang tidak diimbangi dengan akselerasi pertumbuhan produksi
dalam negeri akan membuat permintaan harus dicukupi dari
impor. Implikasi selanjutnya sektor luar negeri (ekspor-impor)
akan mengalami pelemahan karena meningkatnya impor.
Bahkan, pada permintaan konsumsi yang masih bisa dipenuhi
dari produksi dalam negeri pun dapat turut berkontribusi
1 Sektor non-tradable adalah sektor yang tidak dapat menghasilkan devisa. Maksudnya,
sektor non-tradable ini adalah sektor yang pasar usahanya hanya domestik saja. Sektor non-tradable dibagi enam, yaitu sektor 1) Listrik, Gas, dan Air Bersih, 2) Kostruksi, 3) Perdagangan, Hotel, dan Restoran, 4) Pengangkutan dan Komunikasi, 5) Keuangan, Real Estate, dan Jasa Perusahaan, serta 6) Jasa-Jasa.
2 Sektor tradable adalah sektor yang dapat menghasilkan devisa (baik dari jasa maupun barang) dan dapat meningkatkan standar hidup (living standard) masyarakat. Sektor tradable dibagi menjadi tiga, yaitu sektor 1) Pertanian, Peternakan, Kehutanan dan Perikanan, 2) Pertambangan dan Penggalian, serta 3) Industri Pengolahan.
142
mendorong impor, mengingat masih tingginya import content
(barang modal, bahan baku dan bahan penolong) pada produk-
produk industri di Indonesia.
Dilihat dari struktur lapangan usahanya, pertumbuhan
sektor non-tradable tetap akan melaju lebih kencang dibanding
sektor tradable pada 2013, dengan pertumbuhan tertinggi
kemungkinan besar tetap pada sektor pengangkutan dan
komunikasi. Sektor pengangkutan dan komunikasi dalam lima
tahun ini selalu mengalami pertumbuhan tertinggi, yaitu sebesar
16,6 persen (2008), 15,5 persen (2009), 13,5 persen (2010), dan
10,7 persen (2011), dan 10,3 pada triwulan III 2012. Seiring
dengan laju pertumbuhan sektor non-tradable yang lebih
kencang, kontribusi sektor ini terhadap pertumbuhan ekonomi
pun meningkat. Dari capaian tingkat pertumbuhan sebesar 6,17
persen (yoy) pada triwulan III 2012, sebesar 63,4 persen sumber
pertumbuhan berasal dari sektor non-tradable, sedangkan
sisanya (36,6 persen) berasal dari sektor tradable. Sayangnya,
pertumbuhan kencang sektor non-tradable tidak akan banyak
berimplikasi pada penyerapan tenaga kerja. Padahal tingkat
pengangguran saat ini masih cukup tinggi dan memerlukan
kebijakan ekonomi yang pro terhadap penyerapan tenaga kerja.
Sektor pengeluaran pemerintah pada 2013 sebenarnya
memiliki potensi untuk mendorong laju pertumbuhan ekonomi.
Alokasi belanja modal sebesar Rp216 triliun pada APBN 2013 jika
mampu dimanfaatkan secara tepat akan memberikan multiplier
effect yang cukup positif bagi perekonomian. Apabila penyerapan
belanja modal dapat dioptimalkan diperkirakan ekonomi Indonesia
pada 2013 dapat tumbuh sebesar 6,5 persen. Namun, peran
pengeluaran pemerintah bisa saja tidak terlalu signifikan bagi
pertumbuhan ekonomi jika persoalan distribusi realisasi anggaran
khususnya belanja modal masih terkonsentrasi di akhir tahun.
143
Di sisi investasi (Pembentukan Modal Tetap
Bruto/PMTB), diperkirakan kontribusi investasi-PMTB dalam
pertumbuhan ekonomi akan meningkat. Hal ini terutama
didorong oleh terus mengalirnya Foreign Direct Investment/FDI
atau investasi langsung dari luar negeri seiring belum pulihnya
kawasan UE dan moderatnya kinerja ekonomi AS. Kinerja
meningkatnya investasi langsung ini sudah terasa setidaknya
dalam dua tahun terakhir. Meskipun FDI meningkat tajam —yang
akhirnya bermuara pada meningkatnya peranan sektor investasi
secara agregatif dalam pertumbuhan ekonomi- harus dicermati
sektor-sektor mana yang mengalami peningkatan. Jika sektor
non-tradable maka kemungkinan besar daya dukung
pertumbuhan ekonomi bagi penyerapan tenaga kerja tidak akan
maksimal. Demikian pula jika dari sisi regional, wilayah Jawa
masih mendominasi masuknya FDI, maka tingkat ketimpangan
akan semakin sulit berkurang.
Selanjutnya kinerja ekspor diperkirakan belum dapat
pulih sepenuhnya pada 2013 setelah mengalami defisit neraca
perdagangan beberapa kali sepanjang 2012. Hingga Oktober
2012 neraca perdagangan sudah mengalami defisit lima kali,
yaitu bulan April —US$764,7 juta; Mei —US$207,2 juta; Juni —
US$1.286,1 juta; Juli —US$263,9 juta; dan Oktober —US$1.547,0
juta. Defisit Oktober merupakan yang terbesar dalam lima tahun
terakhir. Akibat dari basis ekspor yang masih bertumpu pada
komoditas primer, perkembangan ekspor pada 2013
diperkirakan masih akan menghadapi tantangan serius dari pasar
global. Hal ini terjadi karena relatif lambannya pemulihan krisis
Uni Eropa dan Amerika Serikat, serta tren penurunan harga
komoditas di pasar internasional yang belum kunjung membaik
setidaknya hingga akhir tahun ini.
144
Kontras dengan kinerja ekspor, perkembangan impor
barang ke Indonesia pada 2013 diperkirakan akan tetap tinggi
dengan kecenderungan pertumbuhan impor meningkat.
Desakan barang-barang impor terutama dari China masih akan
gencar sebagai akibat terjadinya pengalihan pasar dari Eropa dan
Amerika ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Jumlah
penduduk Indonesia yang besar merupakan pangsa pasar yang
cukup menjanjikan bagi negara-negara industri yang ingin
menjaga momentum pertumbuhan ekonominya.
Secara spasial, wilayah Pulau Jawa dan Sumatera masih
akan mendominasi kontribusi pertumbuhan ekonomi pada 2013.
Indikasinya terlihat dari konfigurasi pertumbuhan ekonomi
regional, di mana hingga triwulan III 2012 kelompok provinsi di
Pulau Jawa memberikan kontribusi terhadap Produk Domestik
Bruto sebesar 57,52 persen, kemudian diikuti oleh Pulau
Sumatera sebesar 23,83 persen, Pulau Kalimantan 9,26 persen,
Pulau Sulawesi 4,75 persen, dan sisanya 4,64 persen di pulau-
pulau lainnya (BPS, 2012).
7777.3. .3. .3. .3. InflInflInflInflasi asi asi asi
Secara umum tekanan inflasi sepanjang 2012 relatif
menurun. Inflasi sempat meningkat seiring tingginya harga
kebutuhan pokok pada saat bulan puasa dan lebaran. Namun
pada akhir triwulan III 2012 harga kebutuhan pokok sudah mulai
menurun, dikarenakan cukup stabilnya pasokan dan permintaan
yang cenderung menurun dibanding saat puasa dan hari raya.
Kondisi ini diperkirakan akan terus berlanjut pada 2013,
sehingga INDEF memproyeksikan inflasi pada 2013 pada kisaran
4,5 — 5,5 persen.
145
7777....4444. . . . Nilai tukarNilai tukarNilai tukarNilai tukar
Volatilitas pergerakan nilai tukar rupiah selama 2012
mengalami peningkatan setidaknya hingga November. Namun
secara keseluruhan volatilitas rupiah masih bersifat moderat,
artinya dalam rentang kendali Bank Indonesia. Pada 2013 INDEF
memperkirakan rupiah akan berada pada kisaran Rp9.300 —
9.500 per US$. Beberapa faktor pendukung stabilitas rupiah,
seperti cukup stabilnya kondisi makro ekonomi Indonesia
membuat aliran arus modal masih terus berlanjut. Cadangan
devisa Bank Indonesia yang lebih dari US$110 miliar juga turut
berkontribusi mendorong stabilnya rupiah tahun depan.
7777....5555. . . . Pengangguran dan KemiskinanPengangguran dan KemiskinanPengangguran dan KemiskinanPengangguran dan Kemiskinan
Pada 2013 tingkat pengangguran diperkirakan akan sedikit
menurun, yakni berada di kisaran 5,8 persen. Data rata-rata tingkat
pengangguran dalam tiga tahun terakhir menunjukkan adanya tren
penurunan, dari 7,3 persen (2010), 6,7 persen (2011), 6,1 persen
(2012). Namun, penurunan ini belum cukup sepadan dengan
capaian pertumbuhan ekonomi yang berada di atas 6 persen pada
periode-periode tersebut.
Tingkat kemiskinan diperkirakan masih sebesar 11,5
persen. Kedua masalah klasik pembangunan (pengangguran dan
kemiskinan) ini meskipun diprediksi menurun namun belum
signifikan, mengingat kurang berkualitasnya pertumbuhan
ekonomi hingga saat ini. Data tingkat kemiskinan tiga tahun
terakhir menunjukkan tren penurunan, dari 13,3 persen (2010),
12,5 persen (2011), dan 12,0 persen (2012). Berikut Tabel 8.1
yang merangkum Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013.
146
Tabel Tabel Tabel Tabel 7777.1. Proyeksi Ekonomi Indonesia 201.1. Proyeksi Ekonomi Indonesia 201.1. Proyeksi Ekonomi Indonesia 201.1. Proyeksi Ekonomi Indonesia 2013333 INDEFINDEFINDEFINDEF
Indikator EkonomiIndikator EkonomiIndikator EkonomiIndikator Ekonomi PrPrPrProyeksioyeksioyeksioyeksi 2012012012013333
Pertumbuhan Ekonomi (%) 6,3 — 6,5%
Inflasi (%) 4,5 — 5,5
Kurs (Rp/US$) 9.300 — 9.500
Pengangguran (%) 5,8%
Kemiskinan (%) 11,5%
Sumber: Proyeksi INDEF, 2012
147
Daftar PustakaDaftar PustakaDaftar PustakaDaftar Pustaka
Abdullah, Said. 2012. Pemerintah Tetap Impor Beras 720 ribu
Ton. Investor Daily. 29 November 2012
Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). 2012.
Perkembangan Realisasi Investasi PMA dan PMDN
Triwulan III 2012 Menurut Lokasi, Negara, dan Sektor
Berdasarkan Laporan Kegiatan Penanaman Modal
(LKPM)
_______________. 2011, Perkembangan Realisasi Investasi PMA
dan PMDN Berdasarkan Laporan Kegiatan Penanaman
Modal (LKPM) Menurut Lokasi Lokasi, Negara, dan
Sektor Triwulan III 2011
Badan Pusat Statistik (BPS). Beberapa periode penerbitan.
Bank Dunia. 2007. Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007.
Bank Indonesia. 2012. Perkembangan Ekonomi Keuangan dan
Kerjasama Internasional Triwulan II-2012: Upaya Asia
Menjaga Momentum Pertumbuhan. Departemen
Internasional Bank Indonesia, Jakarta
148
Bank Indonesia. 2012. Menuju Pertumbuhan Berkesinambungan
& Inklusif. Pertemuan Tahunan Perbankan 23 November
2012
Bureau of Economic Analysis. 2012. National Economic
Accounts. Dalam http://www.bea.gov/national/
index.htm#gdp, diakses 17 November 2012
Delis, Arman, Rosmeli, Novita Sari. 2010. Analisis Ketimpangan
Pendapatan Antar Wilayah di Indonesia Periode 1990-
2008. Diambil dari bappeda.jambiprov.go.id, diakses 17
November 2012
Hernandez, J. and A.B. Taningco. 2010. Behind-the-Border
Determinants of Bilateral Trade Flows in East Asia. By
Joel Hernandez and Angelo B. Taningco, ARTNeT
Working Paper Series, UNESCAP, Bangkok
International Monetary Fund. 2012. Fiscal Monitory: Taking
Stock a Progress Report on Fiscal Adjustment October
2012. International Monetary Fund
International Monetary Fund. 2012. Global Financial Stability
Report: Restoring Confidence and Progressing on
Reforms. October 2012
International Monetary Fund. 2012. World Economic and
Financial Surveys: World Economic Outlook. October
2012
Kementerian Keuangan. 2012. Nota Keuangan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara 2013
___________________. 2011. Penyusunan Model Efisiensi
Belanja Negara Terhadap Pertumbuhan Ekonomi,
Tingkat Kemiskinan dan Pengangguran. Kajian Ekonomi
149
dan Keuangan. http://www.fiskal.depkeu.go.id/2010/
edef-konten-view.asp?id =20111227110010163208138
___________________. 2012. Nota Keuangan dan Rencana
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun 2013
Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. 2011.
Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan
Ekonomi Indonesia 2011-2025
Lin, J. Y. 2000. Fiscal Decentralization and Economic Growth in
China. Economic Development and Cultural Change.
Vol. 49 (1) p. 1-21
Lord, M., R. Oktaviani, and E. Ruehe. 2010. Indonesia Trade
Access to The European Union: Opportunity and
Challenges. European Union
Miller, J. Corey and Keith H. Coble. 2007. Cheap Food Policy:
Fact or Rhetoric?. Food Policy. Vol. 32. 2007: 98-111
Moodys, 2012, Moody's upgrades Philippines to Ba1; Outlook
Stable. Dalam http://www.moodys.com/research/
Moodys-upgrades-Philippines-to-Ba1-outlook-stable--
PR_258742, diakses 17 November 2012
Oates, Wallace. 1972. Fiscal Federalism. New York : Harcoury
Brace Javanovic
Oktaviani, R, S. Hartoyo, E.I. K. Putri, Widyastutik. E.
Puspitawat., 2007. Perhitungan Penerimaan Bea Masuk
Berdasarkan Kebijakan Tarif dalam Skema Umum dan
Skema Free Area Arrangement dan Evaluasi Dampak
Kebijakan Tarif Bea Masuk dalam Skema ASEAN-China
dan ASEAN-Korea Free Area Arrangement terhadap
150
Pendapatan Negara. Badan Kebijakan Fiskal
Kementerian Keuangan. Jakarta
Oktaviani, R. 2011. FTA dan Daya Saing Industri Pertanian
Indonesia dalam Menghadapi Krisis Ekonomi Global.
Orasi Imiah Guru Besar Institut Pertanian Bogor, Grha
Widya Wisuda IPB 2011
Tambunan, Mangara. 2009. Ketahanan Pangan vs Ketahanan
Energi. IPB Press
T. Irawan, R. K. Sitepu, M.R. Taufikurahman, L. Anggraeni.
2009. Kajian Pola dan Struktur Industri, Kementerian
Perindustrian, Indonesia.
Pogue, T. F. and L. G. Sgontz. 1978. Government and
Economic Choice: An Introduction to Public Finance.
Houghton Mifflin Company. Boston
Reuters. 2012. China Q2 GDP Growth 7.6 percent, Slowest in 3
years. Dalam http://www.reuters.com/article/2012/07/13/
us-china-economy-gdp-idUSBRE86C04220120713,
diakses 17 November 2012
Rosalina. 2012. Impor Beras 2012 Dipangkas. Koran Tempo, 20
Oktober 2012
Shah, Anwar. 2011. Pilihan Pembiayaan Pemda di Indonesia.
Makalah dalam Seminar Desentralisasi Fiskal di
Indonesia Satu Dekade Setelah Ledakan Besar.
Direktorat Jendral Perimbangan Keuangan Kementrian
Keuangan Republik Indonesia. September 2011
Sitepu, Rasidin. K. 2010. Dampak Investasi Sumberdaya
Manusia dan Bantuan Langsung Tunai Terhadap
Distribusi Pendapatan Indonesia. Jurnal Keuangan dan
151
Moneter, Volume 13, No. 2 Tahun 2010. Kementerian
Keuangan RI
Sjafrizal. 1997. Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan
Regional Wilayah Indonesia Bagian Barat. Prisma. No 3,
p. 27-38
Stigler, George. 1957. The Tenable Range of Functions of Local
Government. In Federal Expenditure Policy for Economic
Growth and Stability. ed. Joint Economic Committee,
Subcommittee on Fiscal Policy, US Congress, 213-19.
Washington, DC: US. Goverment Printing Office
The Economist, 2012, How to Save Spain, dalam
http://www.economist.com/ node/21556238, diakses 17
November 2012
The Nielsen Company, 2012, Consumer Confidence, Concerns
and Spending Intentions around the World: 2012-I, the
Nielsen Company
Tonko, Andrea, Gabor Balazs. 2003. Intergovermental Fiscal
Relations and Local Financial Management. Distance
Learning Module. Central Europian University Summer
Program in association with World Bank Institute and
Local Government and Public Service Reform Initiative
of the Open Society Institute
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah
Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah
Daerah
152
World Economic Forum. 2011. The Global Competitiveness
Report 2011-2012, Geneva, Swizerland, dalam
http://www.weforum.org/issues/global-competitiveness,
diakses 18 April 2012
World Economic Forum. 2011. The Global Competitiveness
Report 2012-2013
www.indexmundi.com/g/g.aspx?c=id&v=113(diakses Tanggal 30
November 2012)
Yeats, A. 2011. Just How Big is Global Production Sharing? In S.
Arndt and H. Kierkowski Eds. Fragmention: New
Production Pattern in the World Economy. New York:
Oxford University Press. PP.108-143.