punten, jogja! final
TRANSCRIPT
STUDI LAPANGAN YOGYAKARTA
LAPORAN KELOMPOK
PERBANDINGAN KETIGA ASPEK DALAM BANGUNAN
TRANSPLANTATIF, DUPLIKATIF, ADAPTIF DAN INSPIRATIF
Disusun oleh:
Andriany Eka Yovita / 052.10.005
Fathia Anindya Wulansasri / 052.10.020
Fakhri Muhammad / 052.10.018
Dosen :
Ir. Djoko Santoso, M.T
Ir. Indartoyo, MSA
JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
2013
STUDI LAPANGAN YOGYAKARTA
LAPORAN INDIVIDU
PERBANDINGAN LIMA ASPEK DALAM BANGUNAN
TRANSPLANTATIF, DUPLIKATIF, ADAPTIF DAN INSPIRATIF
Disusun oleh:
Andriany Eka Yovita / 052.10.005
Fathia Anindya Wulansasri / 052.10.020
Fakhri Muhammad / 052.10.018
Dosen :
Ir. Djoko Santoso, M.T
Ir. Indartoyo, MSA
JURUSAN ARSITEKTUR
FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN
UNIVERSITAS TRISAKTI
2013
KATA PENGANTAR
Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
dengan rahmat dan karunia-Nya penulis masih diberi kesempatan untuk
menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa penulis ucapkan kepada dosen pembimbing
dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah
ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak
kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang
membangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman.
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ….…………………………………………..................................... 2
Daftar Isi ………………………………………………………………................... 3
BAB I Pendahuluan ………………………………………….................... 4
1.1 Topik Penelitian
1.2 Latar Belakang
1.3 Tujuan Penelitian
1.4 Tinjuan Pustaka
1.5 Metode Penelitian
BAB II Pembahasan..........…………………… ………………………… 16
2.1 SPATIAL KONDISI MERUANG
2.1.1 Spatial kondisi meruang pada pendopo Keraton
2.1.2 Spatial kondisi meruang pada Omah UGM
2.1.3 Spatial kondisi meruang pada Masjid Soko Tunggal
2.1.4 Spatial kondisi meruang pada Museum Tembi
2.2 STRUKTURAL DAN KONSTRUKSI
2.2.1 Struktural dan konstruksi pada Between Two Gates
2.2.2 Struktural dan konstruksi pada Omah UGM
2.2.3 Struktural dan konstruksi pada Masjid Soko Tunggal
2.2.4 Struktural dan konstruksi pada Museum Tembi
2.3 KOMPONEN ARSITEKTURAL
2.3.1 Komponen arsitektural pada Between Two Gates
2.3.2 Komponen arsitektural pada Omah UGM
2.3.3 Komponen arsitektural pada Masjid Soko Tunggal
2.3.4 Komponen arsitektural pada Museum Tembi
Perbandingan Ketiga Aspek dalam Bangunan Transplantatif, Duplikatif, Adaptif, dan
Inspiratif.........….…………………………………………..................................... 2
Daftar Pustaka …………………………………………………………………….. 19
Lampiran
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Topik Penelitian
Kaitan antara aspek dan kesenyawaan yang membentuk arsitektur
1.2 Tujuan Penelitian
Tujuan utama penulis untuk melakukan penelitian di Yogyakarta adalah untuk
mengetahui aspek-aspek arsitektural pada bangunan regionalism. Aspek-aspek
tersebut akan menunjukkan adanya kesenyawaan antara yang lama dan yang baru.
Ketiga aspek tersebut adalah komponen arsitektural, struktural dan konstruksi serta
spasial kondisi meruang.
1.3 Latar Belakang
Telah diketahui bersama bahwa Yogyakarta dan sekitarnya merupakan
wilayah yang mempunyai keanekaragaman peninggalan arsitektur tradisional yang
dibangun sesuai budaya setempat, kepercayaan yang dianut masyarakatnya pada
zamannya dalam kaitan relegi dan ritual agama Hindhu, Budha dan Islam.
Dalam berjalannya waktu tumbuh fungsi-fungsi baru/bangunan baru yang
dirancang untuk mendapatkan indentitas/ciri kedaerahan, mengungkap budaya
setempat, iklim melalui teknologi dan material modern. Arsitek berusaha
mengembangkan ciri-ciri arsitektur tradisional yang disatukan dengan arsitektur
modern. Oleh karenanya Regionalisme sebagai salah satu perkembangan arsitektur
modern, bagaimana menyatukan yang lama (arsitektur tradisional) dengan yang baru
(arsitektur modern) sangat menarik dipelajari untuk mendapatkan keterkaitan antara
arsitektur masa lampau dan masa kini.
1.4 Tinjauan Pustaka
1.4.1 Pengertian Regionalisme
Regionalisme dalam arsitektur tidak begitu tepat apabila diartikan dengan arti kata itu
sendiri . Region yang berarti yang berartu daerah, dan isme yang berarti paham.
Sesungguhnya, regionalism hadir akibat berkembangnya international style. Style ini
membuat semua Negara memiliki bangunan seragam sehingga tidak dapat menjadi
identitas masing-masing bangsa. Kita tidak dapat membedakan mana budaya asli
bangsa dan mana yang bukan. Tata ruang, bahan bangunan, dan desain semua dilator
belakangi oleh efisiensi. Regionalisme dalam arsitektur berusaha menemukan kembali
makna dari ruang-ruang dan bentuk serta senyawa kedaerahan pada bangunan.
Regionalisme memiliki misi untuk memperbaiki kerusakan budaya yang diakibatkan
oleh birokrasi, rasionalisme dan juga perkembangan international style.
Sebuah bangunan regionalis harus memiliki tampilan yang memiliki senyawa budaya
daerah setempat, namun dibangun oleh teknologi masa kini. Oleh karena itu, menurut
kritis Kenneth Frampton dari universitas Yale, arsitektur regionalism umumnya
membutuhkan biaya yang tinggi karena harus menampilkan tampilan bangunan
kedaerahan namun dengan teknologi terbaru. Regionalisme diharapan dapat
meleburkan antara yang lama dengan yang baru, yang bersifat kedaerahan, dan yang
bersifat universal.
Ciri-ciri umum bangunan regionalism adalah :
- Menggunakan bahan bangunan local dengan teknologi modern
- Tanggap dalam mengatasi pada kondisi iklim setempat
- Mengacu pada tradisi, warisan sejarah serta makna ruang dan tempat
- Mencari makna dan substansi cultural, bukan gaya/ style sebagai produk akhir.
1.4.2 Kesenyawaan Regionalisme
Berikut adalah penjabaran tentang kesenyawaan bangunan regionalism :
a. Transplantatif
Transplantatif yaitu dimana adanya pencakokan satu atau beberapa
elemen/unsure yang mewakili citra arsitektur tradisional ke dalam arsitektur
modern. Contohnya : Sebuah bangunan menggunakan atap joglo dengan
material dan teknologi tradisional, namun elemen interiornya sudah
menggunalan komponen modern
b. Duplikatif
Meniru segala aspek fisik arsitektur tradisional secara persis / tepat, hanya tata
ruang dan utilitasnya disesuaikan dengan tuntutan kegunaan dan kebutuhan
masa kini.
Pada gambar eksterior bangunan menggunakan elemen tradisional, namun
fungsinya diubah menjadi fungsi modern, yaitu museum.
c. Adaptif
Bangunan/arsitektur modern yang direncanakan dengan beberapa/seluruhnya
merupakan olahan penyesuaian dengan citra-Arsitektur Tradisional, seperti
bentuk masa, bentuk atap (kontur), pemakaian konsole pada emperan,
emperan – emperan yang lebar dengan sistem “tritisan” (tanpa talang), namun
tidak melakukan duplikasi sebagian atau keseluruhan sistem, teknologi,
maupun bentuk (dan idiom) tradisional.
d. Inspiratif Bangunan/arsitektur modern dengan konsep citra bentuknya
secara “asosiatip” mengingatkan kita kepada ungkapan bentuk-bentuk
tradisional, bisa bangunan tidak bertingkat, bertingkat 2, 3 atau bahkan
bertingkat banyak. Tata-ruang, bentuk-ruang serta elemen-elemen fisik, sistem
struktur, bahan yang digunakan, seluruhnya modern.
Figur bangunan modern dengan penyelesaian emperan/tritisan genteng
sehingga menimbulkan asosiasi tradisional
1.5 Metode Penelitian
Berikut ini adalah daftar metode yang penulis lakukan dalam pelaksanaan studi
lapangan :
1. Data Kepustakaan : Mengumpulkan berbagai sumber pustaka yang
bersangkutan terhadap regionalism untuk menyempurnakan laporan studi
lapangan ini
2. Data lapangan : Pengamatan langsung terhadap obyek-obyek arsitektur
regionalism
3. Wawancara : Wawancara secara langsung terhadap beberapa nara sumber
seperti Pak Eugenius Pradipto dan Pak Dave.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 SPATIAL KONDISI MERUANG
2.1.1 Spatial kondisi meruang pada pendopo Keraton
Secara konseptual, bentuk pendopo ini memiliki arti dari sgi denah ruang yaitu menyeratkan suatu bentuk geometri yang sebenarnyamerupakan ungkapan dari makrokosmos ( dunia ).Sedangkan dari fungsinya dari bentuk yang persegi 4 tanpa tembok melambangkan bahwa tuan rumah selalu welcome terhadap tamunya, memberikan kesan ramah.
2.1.2 Spatial kondisi meruang pada Omah UGM
Omah UGM dibangun oleh arsitektur UGM yaitu Bapak Ikaputera. Omah UGM merupakan renovasi dari rumah yang telah hancur sebagian oleh gempa. Tata letak masa bangunan masih menerapkan konsep ruang rumah tradisional Jawa. Namun
Seperti pada biasanya pendopo Jawa, pendopo beratap jogloberbentuk limasan dan tidak ada tembok di setiap sisinya, hanya kolom-kolom atau soko
Pada pendopo ini terdapat pusat dari ruang ini melambagkan ungkapan dari makro kosmos atau alam semesta.
Pintu masuk utama area omah ugm terlihat pondopo yang terletak di depan bangunan utama
sudah diminimalisir dengan menggabungkan ruang-ruang service di fungsi utama rumah.
2.1.3 Spatial kondisi meruang pada Masjid Soko Tunggal
Setelah pendopo, terdapat ruang transisi yaitu pringgitan.Biasanya untuk pertunjukkan wayang
Pintu masuk menuju tempat terpenting yaitu dalem agung, dimana terdapat kamar tidur laki-laki disebelah kiri dan
Area pribadi atau sering disebutkan gandhok atau pawon terdiri dari kamar mandi dll. Tidak seperti rumah tradisional Jawa yang memisahkan gandhok dengan dalem agung, omah UGM menyatukannya.
Arsitektur bangunan masjid ini sarat dengan makna. Jika para jama'ah duduk di ruangan masjid, akan terlihat 4 buah Saka Bentung dan 1 buah Saka Guru. Semuanya berjumlah 5 buah. Merupakan lambang negara kita Pancasila. Sedangkan SOKOGURU merupakan lambang sila yang pertama, ialah : KETUHANAN YANG MAHA ESA. Usuk sorot (memusat seperti jari-jari payung), disebut juga peniung merupakan lambang Kewibawaan negara yang melindungi rakyatnya.
Masjid soko tunggal pertama kali dibangun oleh sri sultan hamengkubuwono 9 pada tanggal 28 februari 1973. Keistimewaan dari masjid ini terletak pada soko guru (tiang penyangga utama) nya yang hanya satu buah dan ditopang oleh batu penyangga yang biasa disebut Umpak, yang berasal dari zaman pemerintahan Sultan Agung Hanyokro Kusumo dari Kerajaan Mataram Islam dengan disain berbentuk Joglo Jawa.
2.1.4 Spatial kondisi meruang pada Museum Tembi
museum budaya tembi mulai diresmikan pada bulan November 1999 di bawah naungan Yayasan Rumah Budaya Tembi. Museum tembi merupakan sebuah museum yang mengkhususkan pada kebudayaan jawa, khususnya kebudayaan jawa yang berada di desa Tembi.
Interior museum tembi, terletak di belakang pendopo.perletakan masa bangunan pada Museum budaya tembi mirip dengan penataan rumah tradisional Jawa,hanya fungsinya berbeda dengan rumah tradisional Jawa
Interior pendopo,terletak di depan museum
Denah rumah tradisional jawa dengan nama-nama tiap masa bangunannya. Museum budaya tembi telah menerapkan peletakkan masa-masa bangunan pada rumah tradisional Jawa dimana nomor 1 adalah pendopo dan nomor 3 adalah museumnya
Lokasi penginapan tergambar pada nomor 4 pada denah rumah tradisional Jawa. Pada penginapan ini terdapat ruang terbuka hijau sebagai ruang transisi antara cottage ke cottage lainnya
2.2 STRUKTURAL DAN KONSTRUKSI
2.2.1 Struktural dan konstruksi pada pendopo Keraton
Bentuk fisik bangunan yang terdapat dalam komplek Keraton Yogyakarta sebagian
besar menggambarkan bentuk rumah tradisional Jawa dan sebagian diantaranya
menggunakan konstruksi kayu.
Detail tumpang sari
Proses konstruksi balok:
Pendopo menggunakan atap limasan trajumas lambang gantung.
Bentuk limasan dua ruang, emper keliling melekat pada saka bentung
Detail kolom
2.2.2 Struktural dan konstruksi pada Omah UGM
Omah UGM merupakan rumah joglo. Bentuk bangunan Joglo lebih besar bila
dibandingkan dengan bangunan Panggangpe, Kampung, atau Limasan. Bangunan ini
juga menggunakan jumlah kayu yang lebih banyak sehingga memunggkinkan adanya
pembuatan ruang tambahan.
Keterangan :
1.Pendopo
2.Pringgitan
3.Dalem
a.senthong kiwa
b. senthong tengah
c.senthong kanan
4.Gandhok
2.2.3 Struktural dan konstruksi pada Masjid Soko Tunggal
Konstruksi masjid Soko Tunggal sangat unik, dan tentunya berbeda dengan masjid-
masjid lain yang ada di Yogyakarta. Masjid ini diberi nama Soko Tunggal karena atap
masjid ini disangga oleh satu tiang penyangga utama. Padahal, biasanya bagunan-
bangunan tradisional Jawa memiliki setidaknya empat buah penyangga utama. Jadi,
masjid ini merupakan sebuah bangunan dengan desain tajug, yang mempunyai satu
tiang penyangga utama di tengah-tengah, yang berukuran sekitar 50cm x 50cm.
Penyaluran beban pada atap tajug
Masjid memiliki 1 saka dari kayu. Untuk menggantikan 3 soko lainnya maka soko tersebut menggunakan 4 konsol yang disebut dengan usuk sorot/peniung.
Struktur tajug dipakai untuk mendapatkan sirkulasi udara dan cahaya dari bidang yang tergantung.
Kaca untuk cahaya
Agar tidak tampias dan sebagai tempat masuknya udara.
Beban
Penyaluran gayaReaksi gaya
Masjid dibangun tanpa menggunakan kayu. Terlihat detail sunduk gili pada sambung
antara kolom dan balok pada soko guru.
2.2.4 Struktural dan konstruksi pada Museum Tembi
Tembi Rumah Budaya menerapkan konstruksi bangunan tahan gempa. Konstruksi
bangunan tahan gempa ini diterapkan di kompleks bangunan Tembi Rumah Budaya
dengan satu alasan karena Tembi Rumah Budaya memang berdiri di atas tanah rawan
gempa. Konstruksi bangunan tahan gempa itu bukan saja semata-mata memenuhi
sistem atau standar bangunan tahan gempa, namun juga dipadukan atau diselaraskan
dengan gaya bangunannya yang berakar pada gaya arsitektur lokal (omah kampung,
pendapa, atau limasan).
Hubungan antara Soko Guru - Sunduk -Sunduk Gili menggunakan sistem Purus. Sedangkan antara Soko Guru - Pengeret & Blandar menggunakan sistem Cathokan. Sistem Purus & Canthokan yang bersifat jepit terbatas menjadikan atap berlaku sebagai bandul yang menstabilkan bangunan saat menerima gaya gempa (berlaku seperti pendulum).
Konstruksi modern
Figur bangunan museum yang didominasi oleh beton (baik dari struktur atap maupun
kolom) ini menggunakan penyelesaian atap kampung sehingga menimbulkan ‘citra’
tradisional. Museum Tembi Rumah Budaya mengadaptasi atap kampung tradisional,
namun struktur kuda-kudanya sudah modern.
Konstruksi tradisional
Detail sambungan atap
Detail konsol Konsol beton
Kolom beton pada museum diberi plesteran semen lalu di cat yang menunjukan museum tergolong pada kesenyawaan inspiratif.
Site plan Rumah Budaya Tembi
Bentang kolom lebih dari 4 meter karena menggunakan beton, struktur menjadi kuda-kuda, dan sudah tidak menggunakan umpak.
2.3 KOMPONEN ARSITEKTURAL
2.3.1 Komponen arsitektural pada pendopo Keraton
Enam Soko Guru
Atap joglo mempergunakan bentuk aslinya dengan material tradisional
Kolom-kolom pendopo menggunakan pondasi umpak yang diberikan ornamen jawa
Pendopo Keraton adalah salah satu bangunan regionalism yang mengalami pembangunan ulang setelah gempa yang melanda Jogja pada 27 Mei 2007. Pendopo dibangun kembali tanpa merubah desain maupun struktur. Struktur yang digunakan menggunakan portal dengan material kayu. Pendopo keraton memili 6 saka guru yang melambangkan 6 elemen pada bumi, yaitu kayu, tanah, air, api, logam dan udara. Hal ini berbeda dengan kebanyakan soko guru yang umumnya hanya berjumlah 4 tiang, dan juga menunjukkan adanya pengaruh ilmu modern kepada komponen-komponen bangunan.
2.3.2 Komponen arsitektural pada Omah UGM
Omah UGM merupakan suatu rumah joglo yang dibangun oleh dosen arsitektur UGM
Pak Ikaputera. Rumah joglo dengan kesenyawaan regionalisme duplikatif ini
dibangun dengan tujuan mempertahankan jumlah rumah joglo yang semakin
berkurang akibat banyak dibeli oleh warga negara asing. HIngga sekarang rumah
yang berlokasi di Kotagede, Yogyakarta ini difungsikan untuk menggelar berbagai
acara bagi warga UGM maupun warga sekitar. Komponen-komponen Omah UGM ini
sarat dengan arsitektur tradisional jawa, walaupun sudah dibangun teknologi modern
yaitu dengan struktur beton. Namun, beberapa komponen terlihat jelas masih
merupakan bentuk asli komponen arsitektur jawa, contohnya yaitu kolom-kolom
pendopo, pintu, jendela serta tata ruang yang masih menganut tata ruang asli joglo.
Hanya saja kini penggunaan ruang tersebut sudah dipergunakan untuk fungsi baru.
Pada ujung-ujung tritisan atap diberikan ornamen tradisional jawa
Pondasi Umpak pada kolom Omah UGM masih menggunakan bentuk tradisional jawa
Pintu pada Omah UGM menggunakan jenis pintu kupu-tarung dengan warna hijau yang melambangkan budaya jawa.
Jendela Omah UGM juga jenis jendela kupu tarung. Kesan tradisional didapat dari kisi-kisi vertikal khas Jawa dan juga warna hijau. Pintu-pintu dan jendela pada Omah UGM ini merupakan pintu-pintu khas Kotagede.
2.3.3 Komponen arsitektural pada Masjid Soko Tunggal
Bentuk atap Omah UGM, baik itu pendopo maupun bangunan sentong ( utama ) menggunakan bentuk atap joglo tradisional, dengan ornamen ujung tritisan yang merupakan pengaruh budaya cina
Seperti rumah jawa pada umumnya, konsol penyangga overstek berupa Bahu Donggol, dengan ornament ukiran jawa dan system sambungan cathokan
Ciri khas rumah joglo yang masih diterapkan pada Omah UGM juga terdapat tadhah lasm berupa tempat duduk di depan jendela
Masjid Soko Tunggal merupakan masjid yang berada pada area Taman Sari. Masjid
ini disebut masjid Soko Tunggal karena tidak seperti bangunan joglo pada umumnya
yang memiliki 4 tiang utama, masjid ini memiliki satu tiang utama berukuran massive
yang berada di tengah ruangan.
Contoh ukiran-ukiran Jawa
2.3.4 Komponen arsitektural pada Museum Tembi
Tiang tunggal utama pada masjid disangga oleh 4 penahan tiang yang tersambung pada tumpang sari yang mengelilinginya. Baik kolom maupun penahan memiliki ornament ukiran khas Jawa.
Kolom Tunggal ini merupakan simbol dari “Ketuhanan Yang Maha Esa”
Museum tembi merupakan salah satu bangunan pada area rumah budaya tembi yang digunakan untuk memajang benda-benda budaya jawa. Bangunan Museum Tembi merupakan banguan reguionalisme dengan senyawa inspiratif karena dibangun menggunakan teknologi terkini namun beberapa komponen terinsipirasi dari arsitektur tradisional. Komponen-komponen tersebut tidak seutuhnya persis dengan komponen tradisional, namun menganut atau menerapkan sebagian unsur seperti material, bentuk dasar dan elemen-elemen dekorasi.
Komponen-komponen yang dipengaruhi oleh arsitektur tradisional antara lain jendela, bentuk kuda-kuda dan konsol. Ketiganya memiliki kesamaan terhadap komponen-komponen tradisional hanya saja tidak persis seutuhnya.
tidak persis seutuhnya.
Kuda-kuda pada museum bermaterial beton namun bentuknya terinspirasi dari kuda-kuda kayu tradisional yang terekspos tanpa plafon.
Museum tembi menggunakan konsol beton untuk menopang overstek atap. Dibandingkan dengan konsol tradisional, konsol pada rumah tembi bentuk modern yang lebih fungsional
Konsol tradisional menggunakan kayu, namun menggunakan unsur ukiran elemen jawa
Disini terlihat bahwa yang menjadi inspirasi museum tembi adalah bentuk dasar, kisi-kisi dan arah bukaan daun jendela. Namun apabila pada jendela tradisional masih terdapat ukiran-ukiran khas jawa, maka pada jendela museum tembi tidak terdapat ukiran. Jendela pada museum tembi terinspirasi dari bentuk jendela tradisional joglo yang tiap jendela berupa dua daun jendela yang dapat terbuka keluar.
BAB III
Kisi-kisi pada jendela tembi terinspirasi jendela Joglo.
KESIMPULAN
Perbandingan Ketiga Aspek dalam Bangunan Transplantatif, Duplikatif, Adaptif, dan
Inspiratif
A. SPATIAL KONDISI MERUANG
TRANSPLANTATIF DUPLIKATIF ADAPTIF INSPIRATIF
Hubungan langsung:
Terdapat antara
ruang utama saka
guru dengan ruang
emper pendopo.
Tidak ada barrier
pembatas antara
kedua ruang, hanya
dibatasi susunan
kolom
Hubungan
langsung:
Antara ruang
tengah dengan
pewayangan,
dihubungkan
dengan pintu
masuk
Hubungan
langsung:
Terdapat antara
ruang
sembahyang
dan serambi.
Pembatas ruang
ditandai oleh
lantai ruang
sembahyang
yang
ditinggikan dan
pintu.
Hubungan
langsung:
Terdapat antar
ruang yang
dapat dilihat
pada pola tata
letak ruangnya.
Penghubung
ruang
ditunjukkan
oleh partisi.
Hubungan tidak
langsung: Antara
ruang utama saka
guru dan ruang luar.
Dihubungkan oleh
ruang emper pendopo
Hubungan tidak
langsung:
Ruamg tengah
dengan sentong
kiwo,
dihubungkan
oleh koridor
penghubung
dengan
perbedaan
ketinggian
antara ruangs
Hubungan tidak
langsung:
Terdapat pada
ruang luar
dengan dengan
ruang
sembahyang.
Ruang
dihubungkan
oleh ruang
bersama, yaitu
Hubungan tidak
langsung:
Terdapat pada
ruang luar
dengan ruang
museum. Ruang
dihubungkan
oleh gapura.
serambi.
Hubungan ruang pada keempat kesenyawaan ‘sama’, yaitu terdapat hubungan
langsung dan hubungan tidak langsung. Hubungan langsung terdapat pada
ruang perantara dan ruang utama, sedangkan hubungan tidak langsung
terdapat pada ruang luar dan ruang utama. Penghubung ruang untuk ruang
yang berhubungan langsung adalah lantai yang ditinggikan, pintu, dan gapura.
Sedangkan penghubung untuk ruang yang tidak berhubungan langsung berupa
serambi/teras.
B. STRUKTURAL DAN KONSTRUKSI
Adapun perbedaan dan persamaan struktur dan konstruksi dalam kesenyawaan
Transpantatif, Duplikatif, Adaptif, dan Inspiratif adalah sebagai berikut:
Persamaan:
Struktur dan konstruksi yang paling banyak diadaptasi oleh bangunan
regionalisme adalah struktur atap, kolom, dan pondasi. Beberapa dinding
sudah menggunakan bata, namun masih banyak yang menggunakan anyaman
bambu ataupun kayu.
Perbedaan:
TRANSPLANTATIF DUPLIKATIF ADAPTIF INSPIRATIF
Dalam senyawa
Transplantatif,
struktur brunjung
pada pendopo
Keraton
menggunakan saka
guru yang
berjumlah 6. Saka
pada pendopo
masih
Dalam
senyawa
Duplikatif,
struktur pada
bangunan
Omah UGM
masih
menggunakan
pakem-pakem
tradisional
Dalam senyawa
Adaptif, struktur
pada bangunan
Masjid Soko
Tunggal sudah
dimodifikasi. Saka
guru pada bangunan
tradisional
umumnya berjumlah
4 buah, namun pada
Dalam senyawa
Inspiratif,
struktur atap
pada museum
Tembi
menggunakan
struktur atap
kampung yang
sudah modern.
Materialnya
menggunakan
material kayu.
Hanya lantai saja
yang sudah
dipugar menjadi
modern.
baik dari
struktur
material dan
struktur ruang.
Baik dari
konsol,
tumpang sari,
saka, maupun
atap joglonya.
ruangan
sembahyang
berjumlah 1 dengan
tambahan konsol
yang berjumlah 4
agar kuat
menyangga
brunjung atap.
Sedangkan pada
teras masjid, saka
guru berjumlah 8
untuk
melambangkan
keadilan.
menggunakan
beton, dan
strukturnya
sudah berubah
menjadi
struktur atap
kuda-kuda.
Kolom pun
terbuat dari
beton dengan
bentang lebih
dari 4 m.
C. KOMPONEN ARSITEKTURAL
Adapun perbedaan dan persamaan komponen arsitektural dalam kesenyawaan
Transplantatif, Duplikatif, Adaptif, dan Inspiratif adalah sebagai berikut:
Persamaan:
Komponen-komponen arsitektural pada bangunan regionalisme umumnya masih
mengadaptasi bentuk ataupun ornamen khas bangunan tradisional. Adapun tingkat
pengadaptasian tersebut berbeda-beda baik secara material atau teknologi.
Komponen yang paling banyak diadaptasi oleh keempat senyawa adalah bentuk
atap, pengeksposan struktur atap ( tanpa plafon ) dan pengunaan pintu kupu
tarung dan jendela Jalusi.
Perbedaan:
TRANSPLANTATIF DUPLIKATIF ADAPTIF INSPIRATIF
Komponen pada
bangunan
transplantatif
umunya masih
menggunakan
bentuk dan
material
tradisional,
walaupun tidak di
gunakan pada
keseluruhan
bangunan.
Contohnya adalah
penggunaan atap
joglo pada
pendopo keraton
namun ubin
pendopo sudah
menggunakan
ubin dari Belanda.
Komponen pada
bangunan
duplikatif masih
menerapkan
bentuk dan
material
tradisional yang
diterapkan pada
keseluruhan
bangunan.
Seperti
bangunan Omah
UGM yang
membangun
rumah joglo
dengan semua
komponen-
komponennya
hanya saja yang
baru adalah
fungsi ruangnya.
Komponen pada
bangunan adaptif
merupakan
komponen
tradisional yang
sudah disesuaikan
dengan kondisi
zaman sekarang.
Contohnya pada
bangunan Masjid
Saka Tunggal
yang masih
menerapkan
elemen ukiran
jawa pada kolom
tunggal yang
merupakan
struktur adaptif.
Komponen pada
bangunan
bersenyawa inspiratif
umumnya memiliki
bentuk yang
terinspirasi dari
bentuk-bentuk
komponen
tradisional. Bentuk –
bentuk komponen
tersebut membuat
bangunan modern
seolah memiliki citra
bangunan tradisional
dengan mengambil
inspirasi beberapa
komponen rumah
tradisional. Namun
secara teknologi,
susunan ruang dan
keseluruhan material
bangunan sudah
modern.
DAFTAR PUSTAKA
www.architecturobory.blogspot.com
www.scribd.com