punten, jogja! final

36
STUDI LAPANGAN YOGYAKARTA LAPORAN KELOMPOK PERBANDINGAN KETIGA ASPEK DALAM BANGUNAN TRANSPLANTATIF, DUPLIKATIF, ADAPTIF DAN INSPIRATIF Disusun oleh: Andriany Eka Yovita / 052.10.005 Fathia Anindya Wulansasri / 052.10.020 Fakhri Muhammad / 052.10.018 Dosen : Ir. Djoko Santoso, M.T Ir. Indartoyo, MSA JURUSAN ARSITEKTUR FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

Upload: sonia-radix-patria

Post on 02-Jan-2016

111 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Punten, Jogja! Final

STUDI LAPANGAN YOGYAKARTA

LAPORAN KELOMPOK

PERBANDINGAN KETIGA ASPEK DALAM BANGUNAN

TRANSPLANTATIF, DUPLIKATIF, ADAPTIF DAN INSPIRATIF

Disusun oleh:

Andriany Eka Yovita / 052.10.005

Fathia Anindya Wulansasri / 052.10.020

Fakhri Muhammad / 052.10.018

Dosen :

Ir. Djoko Santoso, M.T

Ir. Indartoyo, MSA

JURUSAN ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

Page 2: Punten, Jogja! Final

STUDI LAPANGAN YOGYAKARTA

LAPORAN INDIVIDU

PERBANDINGAN LIMA ASPEK DALAM BANGUNAN

TRANSPLANTATIF, DUPLIKATIF, ADAPTIF DAN INSPIRATIF

Disusun oleh:

Andriany Eka Yovita / 052.10.005

Fathia Anindya Wulansasri / 052.10.020

Fakhri Muhammad / 052.10.018

Dosen :

Ir. Djoko Santoso, M.T

Ir. Indartoyo, MSA

JURUSAN ARSITEKTUR

FAKULTAS TEKNIK SIPIL DAN PERENCANAAN

UNIVERSITAS TRISAKTI

2013

Page 3: Punten, Jogja! Final

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena

dengan rahmat dan karunia-Nya penulis masih diberi kesempatan untuk

menyelesaikan makalah ini. Tidak lupa penulis ucapkan kepada dosen pembimbing

dan teman-teman yang telah memberikan dukungan dalam menyelesaikan makalah

ini.

Penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih banyak

kekurangan, oleh sebab itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang

membangun. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan teman-teman.

Penulis

Page 4: Punten, Jogja! Final

DAFTAR ISI

Kata Pengantar ….…………………………………………..................................... 2

Daftar Isi ………………………………………………………………................... 3

BAB I Pendahuluan ………………………………………….................... 4

1.1 Topik Penelitian

1.2 Latar Belakang

1.3 Tujuan Penelitian

1.4 Tinjuan Pustaka

1.5 Metode Penelitian

BAB II Pembahasan..........…………………… ………………………… 16

2.1 SPATIAL KONDISI MERUANG

2.1.1 Spatial kondisi meruang pada pendopo Keraton

2.1.2 Spatial kondisi meruang pada Omah UGM

2.1.3 Spatial kondisi meruang pada Masjid Soko Tunggal

2.1.4 Spatial kondisi meruang pada Museum Tembi

2.2 STRUKTURAL DAN KONSTRUKSI

2.2.1 Struktural dan konstruksi pada Between Two Gates

2.2.2 Struktural dan konstruksi pada Omah UGM

2.2.3 Struktural dan konstruksi pada Masjid Soko Tunggal

2.2.4 Struktural dan konstruksi pada Museum Tembi

2.3 KOMPONEN ARSITEKTURAL

2.3.1 Komponen arsitektural pada Between Two Gates

2.3.2 Komponen arsitektural pada Omah UGM

2.3.3 Komponen arsitektural pada Masjid Soko Tunggal

2.3.4 Komponen arsitektural pada Museum Tembi

Perbandingan Ketiga Aspek dalam Bangunan Transplantatif, Duplikatif, Adaptif, dan

Inspiratif.........….…………………………………………..................................... 2

Daftar Pustaka …………………………………………………………………….. 19

Lampiran

Page 5: Punten, Jogja! Final

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Topik Penelitian

Kaitan antara aspek dan kesenyawaan yang membentuk arsitektur

1.2 Tujuan Penelitian

Tujuan utama penulis untuk melakukan penelitian di Yogyakarta adalah untuk

mengetahui aspek-aspek arsitektural pada bangunan regionalism. Aspek-aspek

tersebut akan menunjukkan adanya kesenyawaan antara yang lama dan yang baru.

Ketiga aspek tersebut adalah komponen arsitektural, struktural dan konstruksi serta

spasial kondisi meruang.

1.3 Latar Belakang

Telah diketahui bersama bahwa Yogyakarta dan sekitarnya merupakan

wilayah yang mempunyai keanekaragaman peninggalan arsitektur tradisional yang

dibangun sesuai budaya setempat, kepercayaan yang dianut masyarakatnya pada

zamannya dalam kaitan relegi dan ritual agama Hindhu, Budha dan Islam.

Dalam berjalannya waktu tumbuh fungsi-fungsi baru/bangunan baru yang

dirancang untuk mendapatkan indentitas/ciri kedaerahan, mengungkap budaya

setempat, iklim melalui teknologi dan material modern. Arsitek berusaha

mengembangkan ciri-ciri arsitektur tradisional yang disatukan dengan arsitektur

modern. Oleh karenanya Regionalisme sebagai salah satu perkembangan arsitektur

modern, bagaimana menyatukan yang lama (arsitektur tradisional) dengan yang baru

(arsitektur modern) sangat menarik dipelajari untuk mendapatkan keterkaitan antara

arsitektur masa lampau dan masa kini.

1.4 Tinjauan Pustaka

1.4.1 Pengertian Regionalisme

Regionalisme dalam arsitektur tidak begitu tepat apabila diartikan dengan arti kata itu

sendiri . Region yang berarti yang berartu daerah, dan isme yang berarti paham.

Page 6: Punten, Jogja! Final

Sesungguhnya, regionalism hadir akibat berkembangnya international style. Style ini

membuat semua Negara memiliki bangunan seragam sehingga tidak dapat menjadi

identitas masing-masing bangsa. Kita tidak dapat membedakan mana budaya asli

bangsa dan mana yang bukan. Tata ruang, bahan bangunan, dan desain semua dilator

belakangi oleh efisiensi. Regionalisme dalam arsitektur berusaha menemukan kembali

makna dari ruang-ruang dan bentuk serta senyawa kedaerahan pada bangunan.

Regionalisme memiliki misi untuk memperbaiki kerusakan budaya yang diakibatkan

oleh birokrasi, rasionalisme dan juga perkembangan international style.

Sebuah bangunan regionalis harus memiliki tampilan yang memiliki senyawa budaya

daerah setempat, namun dibangun oleh teknologi masa kini. Oleh karena itu, menurut

kritis Kenneth Frampton dari universitas Yale, arsitektur regionalism umumnya

membutuhkan biaya yang tinggi karena harus menampilkan tampilan bangunan

kedaerahan namun dengan teknologi terbaru. Regionalisme diharapan dapat

meleburkan antara yang lama dengan yang baru, yang bersifat kedaerahan, dan yang

bersifat universal.

Ciri-ciri umum bangunan regionalism adalah :

- Menggunakan bahan bangunan local dengan teknologi modern

- Tanggap dalam mengatasi pada kondisi iklim setempat

- Mengacu pada tradisi, warisan sejarah serta makna ruang dan tempat

- Mencari makna dan substansi cultural, bukan gaya/ style sebagai produk akhir.

Page 7: Punten, Jogja! Final

1.4.2 Kesenyawaan Regionalisme

Berikut adalah penjabaran tentang kesenyawaan bangunan regionalism :

a. Transplantatif

Transplantatif yaitu dimana adanya pencakokan satu atau beberapa

elemen/unsure yang mewakili citra arsitektur tradisional ke dalam arsitektur

modern. Contohnya : Sebuah bangunan menggunakan atap joglo dengan

material dan teknologi tradisional, namun elemen interiornya sudah

menggunalan komponen modern

b. Duplikatif

Meniru segala aspek fisik arsitektur tradisional secara persis / tepat, hanya tata

ruang dan utilitasnya disesuaikan dengan tuntutan kegunaan dan kebutuhan

masa kini.

Page 8: Punten, Jogja! Final

Pada gambar eksterior bangunan menggunakan elemen tradisional, namun

fungsinya diubah menjadi fungsi modern, yaitu museum.

c. Adaptif

Bangunan/arsitektur modern yang direncanakan dengan beberapa/seluruhnya

merupakan olahan penyesuaian dengan citra-Arsitektur Tradisional, seperti

bentuk masa, bentuk atap (kontur), pemakaian konsole pada emperan,

emperan – emperan yang lebar dengan sistem “tritisan” (tanpa talang), namun

tidak melakukan duplikasi sebagian atau keseluruhan sistem, teknologi,

maupun bentuk (dan idiom) tradisional.

d. Inspiratif Bangunan/arsitektur modern dengan konsep citra bentuknya

secara “asosiatip” mengingatkan kita kepada ungkapan bentuk-bentuk

tradisional, bisa bangunan tidak bertingkat, bertingkat 2, 3 atau bahkan

bertingkat banyak. Tata-ruang, bentuk-ruang serta elemen-elemen fisik, sistem

struktur, bahan yang digunakan, seluruhnya modern.

Page 9: Punten, Jogja! Final

Figur bangunan modern dengan penyelesaian emperan/tritisan genteng

sehingga menimbulkan asosiasi tradisional

1.5 Metode Penelitian

Berikut ini adalah daftar metode yang penulis lakukan dalam pelaksanaan studi

lapangan :

1. Data Kepustakaan : Mengumpulkan berbagai sumber pustaka yang

bersangkutan terhadap regionalism untuk menyempurnakan laporan studi

lapangan ini

2. Data lapangan : Pengamatan langsung terhadap obyek-obyek arsitektur

regionalism

3. Wawancara : Wawancara secara langsung terhadap beberapa nara sumber

seperti Pak Eugenius Pradipto dan Pak Dave.

Page 10: Punten, Jogja! Final

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 SPATIAL KONDISI MERUANG

2.1.1 Spatial kondisi meruang pada pendopo Keraton

Secara konseptual, bentuk pendopo ini memiliki arti dari sgi denah ruang yaitu menyeratkan suatu bentuk geometri yang sebenarnyamerupakan ungkapan dari makrokosmos ( dunia ).Sedangkan dari fungsinya dari bentuk yang persegi 4 tanpa tembok melambangkan bahwa tuan rumah selalu welcome terhadap tamunya, memberikan kesan ramah.

2.1.2 Spatial kondisi meruang pada Omah UGM

Omah UGM dibangun oleh arsitektur UGM yaitu Bapak Ikaputera. Omah UGM merupakan renovasi dari rumah yang telah hancur sebagian oleh gempa. Tata letak masa bangunan masih menerapkan konsep ruang rumah tradisional Jawa. Namun

Seperti pada biasanya pendopo Jawa, pendopo beratap jogloberbentuk limasan dan tidak ada tembok di setiap sisinya, hanya kolom-kolom atau soko

Pada pendopo ini terdapat pusat dari ruang ini melambagkan ungkapan dari makro kosmos atau alam semesta.

Pintu masuk utama area omah ugm terlihat pondopo yang terletak di depan bangunan utama

Page 11: Punten, Jogja! Final

sudah diminimalisir dengan menggabungkan ruang-ruang service di fungsi utama rumah.

2.1.3 Spatial kondisi meruang pada Masjid Soko Tunggal

Setelah pendopo, terdapat ruang transisi yaitu pringgitan.Biasanya untuk pertunjukkan wayang

Pintu masuk menuju tempat terpenting yaitu dalem agung, dimana terdapat kamar tidur laki-laki disebelah kiri dan

Area pribadi atau sering disebutkan gandhok atau pawon terdiri dari kamar mandi dll. Tidak seperti rumah tradisional Jawa yang memisahkan gandhok dengan dalem agung, omah UGM menyatukannya.

Arsitektur bangunan masjid ini sarat dengan makna. Jika para jama'ah duduk di ruangan masjid, akan terlihat 4 buah Saka Bentung dan 1 buah Saka Guru. Semuanya berjumlah 5 buah. Merupakan lambang negara kita Pancasila. Sedangkan SOKOGURU merupakan lambang sila yang pertama, ialah : KETUHANAN YANG MAHA ESA. Usuk sorot (memusat seperti jari-jari payung), disebut juga peniung merupakan lambang Kewibawaan negara yang melindungi rakyatnya.

Page 12: Punten, Jogja! Final

Masjid soko tunggal pertama kali dibangun oleh sri sultan hamengkubuwono 9 pada tanggal 28 februari 1973. Keistimewaan dari masjid ini terletak pada soko guru (tiang penyangga utama) nya yang hanya satu buah dan ditopang oleh batu penyangga yang biasa disebut Umpak, yang berasal dari zaman pemerintahan Sultan Agung Hanyokro Kusumo dari Kerajaan Mataram Islam dengan disain berbentuk Joglo Jawa.

2.1.4 Spatial kondisi meruang pada Museum Tembi

museum budaya tembi mulai diresmikan pada bulan November 1999 di bawah naungan Yayasan Rumah Budaya Tembi. Museum tembi merupakan sebuah museum yang mengkhususkan pada kebudayaan jawa, khususnya kebudayaan jawa yang berada di desa Tembi.

Interior museum tembi, terletak di belakang pendopo.perletakan masa bangunan pada Museum budaya tembi mirip dengan penataan rumah tradisional Jawa,hanya fungsinya berbeda dengan rumah tradisional Jawa

Interior pendopo,terletak di depan museum

Page 13: Punten, Jogja! Final

Denah rumah tradisional jawa dengan nama-nama tiap masa bangunannya. Museum budaya tembi telah menerapkan peletakkan masa-masa bangunan pada rumah tradisional Jawa dimana nomor 1 adalah pendopo dan nomor 3 adalah museumnya

Lokasi penginapan tergambar pada nomor 4 pada denah rumah tradisional Jawa. Pada penginapan ini terdapat ruang terbuka hijau sebagai ruang transisi antara cottage ke cottage lainnya

Page 14: Punten, Jogja! Final

2.2 STRUKTURAL DAN KONSTRUKSI

2.2.1 Struktural dan konstruksi pada pendopo Keraton

Bentuk fisik bangunan yang terdapat dalam komplek Keraton Yogyakarta sebagian

besar menggambarkan bentuk rumah tradisional Jawa dan sebagian diantaranya

menggunakan konstruksi kayu.

Detail tumpang sari

Proses konstruksi balok:

Pendopo menggunakan atap limasan trajumas lambang gantung.

Bentuk limasan dua ruang, emper keliling melekat pada saka bentung

Detail kolom

Page 15: Punten, Jogja! Final

2.2.2 Struktural dan konstruksi pada Omah UGM

Omah UGM merupakan rumah joglo. Bentuk bangunan Joglo lebih besar bila

dibandingkan dengan bangunan Panggangpe, Kampung, atau Limasan. Bangunan ini

juga menggunakan jumlah kayu yang lebih banyak sehingga memunggkinkan adanya

pembuatan ruang tambahan.

Keterangan :

1.Pendopo

2.Pringgitan

3.Dalem

a.senthong kiwa

b. senthong tengah

c.senthong kanan

4.Gandhok

Page 16: Punten, Jogja! Final

2.2.3 Struktural dan konstruksi pada Masjid Soko Tunggal

Konstruksi masjid Soko Tunggal sangat unik, dan tentunya berbeda dengan masjid-

masjid lain yang ada di Yogyakarta. Masjid ini diberi nama Soko Tunggal karena atap

masjid ini disangga oleh satu tiang penyangga utama. Padahal, biasanya bagunan-

bangunan tradisional Jawa memiliki setidaknya empat buah penyangga utama. Jadi,

masjid ini merupakan sebuah bangunan dengan desain tajug, yang mempunyai satu

tiang penyangga utama di tengah-tengah, yang berukuran sekitar 50cm x 50cm.

Penyaluran beban pada atap tajug

Masjid memiliki 1 saka dari kayu. Untuk menggantikan 3 soko lainnya maka soko tersebut menggunakan 4 konsol yang disebut dengan usuk sorot/peniung.

Struktur tajug dipakai untuk mendapatkan sirkulasi udara dan cahaya dari bidang yang tergantung.

Kaca untuk cahaya

Agar tidak tampias dan sebagai tempat masuknya udara.

Beban

Penyaluran gayaReaksi gaya

Page 17: Punten, Jogja! Final

Masjid dibangun tanpa menggunakan kayu. Terlihat detail sunduk gili pada sambung

antara kolom dan balok pada soko guru.

2.2.4 Struktural dan konstruksi pada Museum Tembi

Tembi Rumah Budaya menerapkan konstruksi bangunan tahan gempa. Konstruksi

bangunan tahan gempa ini diterapkan di kompleks bangunan Tembi Rumah Budaya

dengan satu alasan karena Tembi Rumah Budaya memang berdiri di atas tanah rawan

gempa. Konstruksi bangunan tahan gempa itu bukan saja semata-mata memenuhi

sistem atau standar bangunan tahan gempa, namun juga dipadukan atau diselaraskan

dengan gaya bangunannya yang berakar pada gaya arsitektur lokal (omah kampung,

pendapa, atau limasan).

Hubungan antara Soko Guru - Sunduk -Sunduk Gili menggunakan sistem Purus. Sedangkan antara Soko Guru - Pengeret & Blandar menggunakan sistem Cathokan. Sistem Purus & Canthokan yang bersifat jepit terbatas menjadikan atap berlaku sebagai bandul yang menstabilkan  bangunan saat menerima gaya gempa (berlaku seperti pendulum).

Konstruksi modern

Page 18: Punten, Jogja! Final

Figur bangunan museum yang didominasi oleh beton (baik dari struktur atap maupun

kolom) ini menggunakan penyelesaian atap kampung sehingga menimbulkan ‘citra’

tradisional. Museum Tembi Rumah Budaya mengadaptasi atap kampung tradisional,

namun struktur kuda-kudanya sudah modern.

Konstruksi tradisional

Detail sambungan atap

Detail konsol Konsol beton

Kolom beton pada museum diberi plesteran semen lalu di cat yang menunjukan museum tergolong pada kesenyawaan inspiratif.

Site plan Rumah Budaya Tembi

Bentang kolom lebih dari 4 meter karena menggunakan beton, struktur menjadi kuda-kuda, dan sudah tidak menggunakan umpak.

Page 19: Punten, Jogja! Final

2.3 KOMPONEN ARSITEKTURAL

2.3.1 Komponen arsitektural pada pendopo Keraton

Enam Soko Guru

Atap joglo mempergunakan bentuk aslinya dengan material tradisional

Kolom-kolom pendopo menggunakan pondasi umpak yang diberikan ornamen jawa

Pendopo Keraton adalah salah satu bangunan regionalism yang mengalami pembangunan ulang setelah gempa yang melanda Jogja pada 27 Mei 2007. Pendopo dibangun kembali tanpa merubah desain maupun struktur. Struktur yang digunakan menggunakan portal dengan material kayu. Pendopo keraton memili 6 saka guru yang melambangkan 6 elemen pada bumi, yaitu kayu, tanah, air, api, logam dan udara. Hal ini berbeda dengan kebanyakan soko guru yang umumnya hanya berjumlah 4 tiang, dan juga menunjukkan adanya pengaruh ilmu modern kepada komponen-komponen bangunan.

Page 20: Punten, Jogja! Final

2.3.2 Komponen arsitektural pada Omah UGM

Omah UGM merupakan suatu rumah joglo yang dibangun oleh dosen arsitektur UGM

Pak Ikaputera. Rumah joglo dengan kesenyawaan regionalisme duplikatif ini

dibangun dengan tujuan mempertahankan jumlah rumah joglo yang semakin

berkurang akibat banyak dibeli oleh warga negara asing. HIngga sekarang rumah

yang berlokasi di Kotagede, Yogyakarta ini difungsikan untuk menggelar berbagai

acara bagi warga UGM maupun warga sekitar. Komponen-komponen Omah UGM ini

sarat dengan arsitektur tradisional jawa, walaupun sudah dibangun teknologi modern

yaitu dengan struktur beton. Namun, beberapa komponen terlihat jelas masih

merupakan bentuk asli komponen arsitektur jawa, contohnya yaitu kolom-kolom

pendopo, pintu, jendela serta tata ruang yang masih menganut tata ruang asli joglo.

Hanya saja kini penggunaan ruang tersebut sudah dipergunakan untuk fungsi baru.

Pada ujung-ujung tritisan atap diberikan ornamen tradisional jawa

Pondasi Umpak pada kolom Omah UGM masih menggunakan bentuk tradisional jawa

Pintu pada Omah UGM menggunakan jenis pintu kupu-tarung dengan warna hijau yang melambangkan budaya jawa.

Jendela Omah UGM juga jenis jendela kupu tarung. Kesan tradisional didapat dari kisi-kisi vertikal khas Jawa dan juga warna hijau. Pintu-pintu dan jendela pada Omah UGM ini merupakan pintu-pintu khas Kotagede.

Page 21: Punten, Jogja! Final

2.3.3 Komponen arsitektural pada Masjid Soko Tunggal

Bentuk atap Omah UGM, baik itu pendopo maupun bangunan sentong ( utama ) menggunakan bentuk atap joglo tradisional, dengan ornamen ujung tritisan yang merupakan pengaruh budaya cina

Seperti rumah jawa pada umumnya, konsol penyangga overstek berupa Bahu Donggol, dengan ornament ukiran jawa dan system sambungan cathokan

Ciri khas rumah joglo yang masih diterapkan pada Omah UGM juga terdapat tadhah lasm berupa tempat duduk di depan jendela

Page 22: Punten, Jogja! Final

Masjid Soko Tunggal merupakan masjid yang berada pada area Taman Sari. Masjid

ini disebut masjid Soko Tunggal karena tidak seperti bangunan joglo pada umumnya

yang memiliki 4 tiang utama, masjid ini memiliki satu tiang utama berukuran massive

yang berada di tengah ruangan.

Contoh ukiran-ukiran Jawa

2.3.4 Komponen arsitektural pada Museum Tembi

Tiang tunggal utama pada masjid disangga oleh 4 penahan tiang yang tersambung pada tumpang sari yang mengelilinginya. Baik kolom maupun penahan memiliki ornament ukiran khas Jawa.

Kolom Tunggal ini merupakan simbol dari “Ketuhanan Yang Maha Esa”

Page 23: Punten, Jogja! Final

Museum tembi merupakan salah satu bangunan pada area rumah budaya tembi yang digunakan untuk memajang benda-benda budaya jawa. Bangunan Museum Tembi merupakan banguan reguionalisme dengan senyawa inspiratif karena dibangun menggunakan teknologi terkini namun beberapa komponen terinsipirasi dari arsitektur tradisional. Komponen-komponen tersebut tidak seutuhnya persis dengan komponen tradisional, namun menganut atau menerapkan sebagian unsur seperti material, bentuk dasar dan elemen-elemen dekorasi.

Komponen-komponen yang dipengaruhi oleh arsitektur tradisional antara lain jendela, bentuk kuda-kuda dan konsol. Ketiganya memiliki kesamaan terhadap komponen-komponen tradisional hanya saja tidak persis seutuhnya.

tidak persis seutuhnya.

Kuda-kuda pada museum bermaterial beton namun bentuknya terinspirasi dari kuda-kuda kayu tradisional yang terekspos tanpa plafon.

Museum tembi menggunakan konsol beton untuk menopang overstek atap. Dibandingkan dengan konsol tradisional, konsol pada rumah tembi bentuk modern yang lebih fungsional

Konsol tradisional menggunakan kayu, namun menggunakan unsur ukiran elemen jawa

Page 24: Punten, Jogja! Final

Disini terlihat bahwa yang menjadi inspirasi museum tembi adalah bentuk dasar, kisi-kisi dan arah bukaan daun jendela. Namun apabila pada jendela tradisional masih terdapat ukiran-ukiran khas jawa, maka pada jendela museum tembi tidak terdapat ukiran. Jendela pada museum tembi terinspirasi dari bentuk jendela tradisional joglo yang tiap jendela berupa dua daun jendela yang dapat terbuka keluar.

BAB III

Kisi-kisi pada jendela tembi terinspirasi jendela Joglo.

Page 25: Punten, Jogja! Final

KESIMPULAN

Perbandingan Ketiga Aspek dalam Bangunan Transplantatif, Duplikatif, Adaptif, dan

Inspiratif

A. SPATIAL KONDISI MERUANG

TRANSPLANTATIF DUPLIKATIF ADAPTIF INSPIRATIF

Hubungan langsung:

Terdapat antara

ruang utama saka

guru dengan ruang

emper pendopo.

Tidak ada barrier

pembatas antara

kedua ruang, hanya

dibatasi susunan

kolom

Hubungan

langsung:

Antara ruang

tengah dengan

pewayangan,

dihubungkan

dengan pintu

masuk

Hubungan

langsung:

Terdapat antara

ruang

sembahyang

dan serambi.

Pembatas ruang

ditandai oleh

lantai ruang

sembahyang

yang

ditinggikan dan

pintu.

Hubungan

langsung:

Terdapat antar

ruang yang

dapat dilihat

pada pola tata

letak ruangnya.

Penghubung

ruang

ditunjukkan

oleh partisi.

Hubungan tidak

langsung: Antara

ruang utama saka

guru dan ruang luar.

Dihubungkan oleh

ruang emper pendopo

Hubungan tidak

langsung:

Ruamg tengah

dengan sentong

kiwo,

dihubungkan

oleh koridor

penghubung

dengan

perbedaan

ketinggian

antara ruangs

Hubungan tidak

langsung:

Terdapat pada

ruang luar

dengan dengan

ruang

sembahyang.

Ruang

dihubungkan

oleh ruang

bersama, yaitu

Hubungan tidak

langsung:

Terdapat pada

ruang luar

dengan ruang

museum. Ruang

dihubungkan

oleh gapura.

Page 26: Punten, Jogja! Final

serambi.

Hubungan ruang pada keempat kesenyawaan ‘sama’, yaitu terdapat hubungan

langsung dan hubungan tidak langsung. Hubungan langsung terdapat pada

ruang perantara dan ruang utama, sedangkan hubungan tidak langsung

terdapat pada ruang luar dan ruang utama. Penghubung ruang untuk ruang

yang berhubungan langsung adalah lantai yang ditinggikan, pintu, dan gapura.

Sedangkan penghubung untuk ruang yang tidak berhubungan langsung berupa

serambi/teras.

B. STRUKTURAL DAN KONSTRUKSI

Adapun perbedaan dan persamaan struktur dan konstruksi dalam kesenyawaan

Transpantatif, Duplikatif, Adaptif, dan Inspiratif adalah sebagai berikut:

Persamaan:

Struktur dan konstruksi yang paling banyak diadaptasi oleh bangunan

regionalisme adalah struktur atap, kolom, dan pondasi. Beberapa dinding

sudah menggunakan bata, namun masih banyak yang menggunakan anyaman

bambu ataupun kayu.

Perbedaan:

TRANSPLANTATIF DUPLIKATIF ADAPTIF INSPIRATIF

Dalam senyawa

Transplantatif,

struktur brunjung

pada pendopo

Keraton

menggunakan saka

guru yang

berjumlah 6. Saka

pada pendopo

masih

Dalam

senyawa

Duplikatif,

struktur pada

bangunan

Omah UGM

masih

menggunakan

pakem-pakem

tradisional

Dalam senyawa

Adaptif, struktur

pada bangunan

Masjid Soko

Tunggal sudah

dimodifikasi. Saka

guru pada bangunan

tradisional

umumnya berjumlah

4 buah, namun pada

Dalam senyawa

Inspiratif,

struktur atap

pada museum

Tembi

menggunakan

struktur atap

kampung yang

sudah modern.

Materialnya

Page 27: Punten, Jogja! Final

menggunakan

material kayu.

Hanya lantai saja

yang sudah

dipugar menjadi

modern.

baik dari

struktur

material dan

struktur ruang.

Baik dari

konsol,

tumpang sari,

saka, maupun

atap joglonya.

ruangan

sembahyang

berjumlah 1 dengan

tambahan konsol

yang berjumlah 4

agar kuat

menyangga

brunjung atap.

Sedangkan pada

teras masjid, saka

guru berjumlah 8

untuk

melambangkan

keadilan.

menggunakan

beton, dan

strukturnya

sudah berubah

menjadi

struktur atap

kuda-kuda.

Kolom pun

terbuat dari

beton dengan

bentang lebih

dari 4 m.

C. KOMPONEN ARSITEKTURAL

Adapun perbedaan dan persamaan komponen arsitektural dalam kesenyawaan

Transplantatif, Duplikatif, Adaptif, dan Inspiratif adalah sebagai berikut:

Persamaan:

Komponen-komponen arsitektural pada bangunan regionalisme umumnya masih

mengadaptasi bentuk ataupun ornamen khas bangunan tradisional. Adapun tingkat

pengadaptasian tersebut berbeda-beda baik secara material atau teknologi.

Komponen yang paling banyak diadaptasi oleh keempat senyawa adalah bentuk

atap, pengeksposan struktur atap ( tanpa plafon ) dan pengunaan pintu kupu

tarung dan jendela Jalusi.

Perbedaan:

Page 28: Punten, Jogja! Final

TRANSPLANTATIF DUPLIKATIF ADAPTIF INSPIRATIF

Komponen pada

bangunan

transplantatif

umunya masih

menggunakan

bentuk dan

material

tradisional,

walaupun tidak di

gunakan pada

keseluruhan

bangunan.

Contohnya adalah

penggunaan atap

joglo pada

pendopo keraton

namun ubin

pendopo sudah

menggunakan

ubin dari Belanda.

Komponen pada

bangunan

duplikatif masih

menerapkan

bentuk dan

material

tradisional yang

diterapkan pada

keseluruhan

bangunan.

Seperti

bangunan Omah

UGM yang

membangun

rumah joglo

dengan semua

komponen-

komponennya

hanya saja yang

baru adalah

fungsi ruangnya.

Komponen pada

bangunan adaptif

merupakan

komponen

tradisional yang

sudah disesuaikan

dengan kondisi

zaman sekarang.

Contohnya pada

bangunan Masjid

Saka Tunggal

yang masih

menerapkan

elemen ukiran

jawa pada kolom

tunggal yang

merupakan

struktur adaptif.

Komponen pada

bangunan

bersenyawa inspiratif

umumnya memiliki

bentuk yang

terinspirasi dari

bentuk-bentuk

komponen

tradisional. Bentuk –

bentuk komponen

tersebut membuat

bangunan modern

seolah memiliki citra

bangunan tradisional

dengan mengambil

inspirasi beberapa

komponen rumah

tradisional. Namun

secara teknologi,

susunan ruang dan

keseluruhan material

bangunan sudah

modern.

Page 29: Punten, Jogja! Final

DAFTAR PUSTAKA

www.architecturobory.blogspot.com

www.scribd.com

GOOGLE