qbd 4_pb17_erni_1306377354.doc

Upload: erni-destiarini

Post on 10-Jan-2016

240 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Nama : Erni Destiarini

NPM : 1306377354

Fakultas Farmasi Universitas Indonesia

1. Jelaskan prinsip kode etis selama bencana:

Pada dasarnya sebagai seorang dokter ataupun penolong, seluruh korban pada bencana harus ditolong tanpa memandang bulu. Pertolongan yang diberikan juga harus sebanding satu sama lain dengan berprinsip pada keadilan, beneficence, autonomy, dan nonmaleficence. Tetapi adil disini juga masih dipertanyakan karena tidak semua korban memerlukan bantuan yang sama rata, pada pasien dengan keadaan kritis atau kecelakaan berat yang membutuhkan pertolongan lebih banyak tentunya akan ditangani terlebih dahulu sesuai dengan triase.

Pada suatu keadaan bencana terkadang bantuan yang ada tidak sebanding dengan banyaknya korban yang berjatuhan, pertolongan diberikan lebih besar kepada kelompok orang yang lebih banyak yang masih dapat terselamatkan sesuai dengan utilitarianism yaitu dengan memberikan manfaat/bantuan terbesar bagi jumlah terbesar untuk memaksimalkan kebahagiaan manusia.

Tetapi utilitarianism sendiri memiliki keterbatasan. Sebagai contoh, meskipun pemberian manfaat/bantuan secara maksimal bagi kelompok mayoritas lebih terdengar sesuai demokrasi dan keadilan, kelompok minoritas sangatlah memprihatinkan dalam skema utilitarian. Status sosial dan VIP seseorang menjadi bahan pertimbangan dalam bencana, apabila orang penting berada dalam kelompok minoritas dan harus diperlakuan istimewa maka hal ini tidak etis pada kelompok orang non VIP. Bila mengikuti aturan utilitarian maka kepentingan VIP harus dikesampingkan.

Masalah lain yang tidak dapat dikontrol didalam prinsip utilitarianisme adalah perlakuan untuk orang cacat dan sakit kronik. Ketika dua orang atau lebih dapat diselamatkan dengan sumber daya yang sama yang diperlukan untuk menyelamatkan orang cacat berat yang akan menggunakan bantuan barang dan jasa yang tidak proposional/lebih banyak dari yg lainnya, prinsip utilitas dapat membuat penolong mengabaikan untuk menolong orang-orang cacat.

Optimalisasi tindakan moral dalam bencana membutuhkan pemahaman lebih dari utilitas, penjatahan, dan triase. Selain prinsip-prinsip bioetika standar, kode etik dapat membantu memberikan kerangka moral yang membahas setidaknya beberapa dari banyak nya tingkatan bencana. Oleh karena itu dibuatlah kode etik oleh organisasi bencana untuk paling tidak menyeragamkan prinsip kode etis selama bencana.

ICRC 10 Principles of Conduct Pertolongan diberikan tanpa melihat ras, kepercayaan, atau warga negara korban dan tidak memberikan perlakuan yang berbeda. Prioritas pemberian pertolongan berdasar pada kebutuhannya masing-masing

Pertolongan tidak akan disalahgunakan untuk kepentingan politik atau agama

Penolong bekerja keras bukan bertindak sebagai alat/ instrument

Menghargai adat istiadat

Membangun respons terhadap bencana sesuai dengan kapasitas lokal

Berusaha untuk mengikutsertakan penerima bantuan dalam mengatur pertolongan

Pertolongan harus diusahakan sedapat mungkin untuk menurunkan kerentanan di masa yang akan datang terhadap bencana, termasuk pemenuhan kebutuhan primer

Penolong bersikap tanggung jawab terhadap orang-orang yang membantu dan kepada orang-orang yang memberikan sumber pertolongan

Penolong harus menganggap korban bencana sebagai manusia seutuhnya, bukan suatu objek

American Medical Association Code of Ethics: mengalami beberapa perubahan, sehingga menjadi merawat pasien sebagai tanggung jawab utamanya dan merespons secara tepat kepada siapapun yang membutuhkan pertolongan mendesak.

Prinsip kode etik tersebut tetap harus dijalankan dengan dasar-dasar kebajikan, yaitu: Kebijaksanaan, Keberanian, Keadilan, Kepengurusan, Kewaspadaan, Ketahanan, Rendah hati, dan Komunikasi.

2. Jelaskan efek bencana terhadap korban

Korban bencana mengalami berbagai kejadian traumatik, termasuk ancaman terhadap nyawa, kehilangan harta benda, dan kesulitan ekonomi. Bencana ini mengakibatkan korbannya untuk pulih dalam kurun waktu bulanan hingga tahunan.

Bencana ini dapat berakibat pada fisik, psikologis, sosial, sikap, emosi, kognitif, dan spiritual korban. Secara umum, biasanya korban mengalami ansietas (post traumatic stress), depresi, gejala medis yang meliputi berbagai organ. Dampak bencana menurut IOM (Institute of Medicine) committee adalah respons sress akut dan jangka pendek, perubahan perilaku, kelainan psikiatrik yang signifikan. Dampak langsung adalah cidera berat, kejadian traumatic (kehilangan pasangan, anak, atau orang tua), kehilangan tempat tinggal, menjadi saksi kematian atau kesengsaraan orang lain, melihat nyawa orang lain dalam bahaya, dan mengalami ketidakpastian terhadap bahaya-bahaya sekitar terhadap kesehatan, keselamatan, dan keberadaannya.

Dampak bencana pada korban dewasa:

Dampak bencana pada korban anak-anak:

Pada dasarnya, prinsip pertolongan diberikan dengan persiapan terlebih dahulu, pemeriksaan, kolaborasi dengan sistem lain, integrasi dengan pelayanan primer, memberikan pelayanan kepada semua orang, melakukan pelatihan, melakukan pertolongan jangka panjang, dan memonitor indikasi.

3. Jelaskan kesehatan mental dan psikososial berdasarkan aspek bencana

Bencana alam senantiasa menimbulkan beban psikologis yang berat pada masyarakat. Pada kelompok yang tinggal di daerah dengan risiko tinggi mengalami bencana memiliki pengalaman mencekam seperti menyelamatkan diri dari bangunan runtuh, mengurus korban meninggal maupun selamat dengan luka parah, sentar berhadapan dengan kerusakan fisik yang berat pada lingkungannya. Hal ini dapat memicu timbulnya gangguan stres. Keadaan bencana membuat masyarakat korban menjadi resah akan timbulnya bencana dikemudian hari. Kurangnya pemenuhan kebutuhan pokok membuat situasi kehidupan semakin berat bagi korban yang selamat. Semua hal tersebut menimbulkan masalah kesehatan mental yang berat bagi mereka yang selamat. Bila tidak tertangani dengan baik pada fase tanggap darurat dan fase pemulihan, masalah kesehatan mental tersebut dapat berkembang ke arah gangguan-gangguan psikologis yang lebih serius seperti gangguan stress pasca trauma. Penggunaan obat tidur dan obat penenang yang tidak sesuai selama fase tanggap darurat sangat tidak dianjurkan. Di daerah industri atau metropolitan di negara berkembang, masalah kesehatan mental dilaporkan menjadi hal yang signifikan selama fase rehabilitasi dan pemulihan jangka panjang sehingga perlu penanganan yang serius selama fase itu.

Dari aspek psikososial, bencana seringkali merusak sendi-sendi hubungan sosial pada masyarakat yang terkena. Aktifitas sosial bersama yang rutin dilakukan seperti kegiatan olahraga bersama, permainan oleh anak-anak, pertemuan keagamaan dan sebagainya tidak dapat dilakukan untuk sementara. Selain itu walaupun dampak bencana dirasakan oleh seluruh anggota masyarakat tanpa pandang bulu, umumnya kelompok sosial ekonomi lebih tinggi akan mampu pulih sendiri lebih cepat. Hal tersebut dapat memacu kecemburuan antar kelompok masyarakat. Secara keseluruhan kerusakan pada struktur dan fungsi kemasyarakatan akan menimbulkan masalah psikososial pada masyarakat dengan bentuk seperti kekecewaan, kemarahan, keputusasaan, kebosana, kecemburuan, dan lain-lain. 4. Jelaskan arti relawan

Relawan adalah seseorang atau sekelompok orang yang secara sukarela dari panggilan nuraninya memberikan apa yang dimilikinya, dapat berupa pikiran, tenaga, waktu, harta, dan sebagainya kepada masyarakat sebagai perwujudan tanggung jawab sosialnya tanpa mengharapkan pamrih baik berupa imbalan/upah, kedudukan, kekuasaan, kepentingan maupun karier.

5. Jelaskan dilema etis sukarelawan dalam pengelolaan bencana

Dari pengertian diatas relawan seharusnya bekerja sebagai individual yang tidak terpengaruh dengan kelompok atau populasi tertentu. Tetapi dalam kenyataannya sebagai relawan memiliki dilema etis yang berkaitan dengan 10 pihak yang terlibat dalam penanganan bencana lainnya, seperti:

1. Pasien : Kemungkinan menyaksikan kemarahan dan menurunnya rasa syukur dalam masyarakat korban, perasaan sakit karena tidak bisa memenuhi tuntutan yang ada, perasaan bersalah melihat korban bencana tidak memiliki makanan, tempat bernaung dan kebutuhan hidup lain.

2. Provider lain : Kurangnya sumber-sumber yang tepat (adequate resources) baik secara personil, waktu, bantuan logistik atau skill (ketrampilan) untuk melakukan tugas yang dibebankan.

3. Provider groups/peers : Terdapat konflik interpersonal di antara anggota kelompok relawan yang di lapangan mengharuskan mereka untuk dekat dan saling bergantung pada waktu cukup lama.

4. Provider organizations/Local volunteer healthcare providers : Beban birokratis yang berlebih atau kurangnya dukungan dan pengertian pimpinan organisasi.

5. Public health : Adanya bahaya mengancam (penyakit, terkena gempa susulan, dan sebagainya), perasaan takut dan tidak pasti yang berlebihan.

6. Policymakers/Politicians : Harus mampu menjaga netralitas (sikap netral) jika berada dalam situasi politik yang terpolarisasi.

7. Payers/Insurers : Tuntuan fisik yang berat dan kondisi tugas (kerja) yang tidak menyenangkan, beban kerja yang berlebihan dalam jangka waktu lama dan kelelahan kronis (chronic fatigue) tanpa menerima bayaran/imbalan.

8. Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) : Petugas kesehatan mungkin menghadapi dilema etis ketika bekerja sebagai relawan, apakah perannya sebagai anggota tim tanggap medis, penyedia layanan kesehatan publik, atau sebagai pekerja sosial suatu LSM.9. Press/Mass media : Perasaan tidak berdaya dikala menghadapi tuntutan yang melewati batas (overwhwelming need) tetapi selalu disorot oleh media massa sehingga harus selalu memberikan yang terbaik.

10. Populace/General public: adanya kecenderungan masyarakat menolak atau mengingkari dampak psikososial dari pekerjaan kemanusiaan yang penuh tekanan.

Referensi

Sphere Board. Humanitarian Charter and Minimum Standards in Humanitarian Response. United Kingdom: The Sphere Project; 2011. P. 368-376

Koenig KL, Schultz CH. Koenig and Schultzs Disaster Medicine Comprehensive Principles and Practices. Cambridge: Cambridge University Press; 2010.

WHO. Mental Health in Emergencies. Geneva: Department of Mental Health and Substance Dependence World Health Organization Geneva; 2003.

PAHO. Natural disaster: protecting the publics health. Washington DC: Pan American Sanitary Bureau. Washington DC; 2000. P17

PNPM mandiri. Pemberdayaan dan kerelawanan. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum. Jakarta; 2007.

Ehrenreich JH, Elliot TL. Managing stress in humanitarian aid workers: a survey of humanitarian aid agencies' psychosocial training and support of staff. Journal of Peace Psychology. 2004; 10(1):5-6.