rabu, 2 november 2011 da sejarah di kota medan fileprovinsi sumatra utara pada 1984, juga tak luput...

1
23 RABU, 2 NOVEMBER 2011 USANTARA ‘’Kami tidak bisa hanya melibatkan arkeolog untuk merehabilitasi. Kini dalam pengajuan proposal untuk re- habilitasi, BPPI mengedepankan mul- tidisiplin dengan melibatkan arsitek, sipil, ahli sejarah, dan masyarakat.’’ Catrini menyebutkan BPPI sudah berhasil merehabilitasi bangunan pu- saka seperti Kapel St Leo di Padang, Masjid Lubuk Bareh di Padang Paria- man, Masjid Rao-Rao di Tanah Datar, dan Jam Gadang di Bukittinggi. Penyelamatan warisan budaya me- mang bukan hanya urusan pemerin- tah. Masyarakat pun harus dilibatkan untuk ikut memiliki warisan budaya tersebut. Mantan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata I Gede Ardika mendukung adanya gerakan masyarakat yang sangat peduli terhadap pelestarian bangunan bersejarah. Menurut dia, suatu bangsa bisa besar bila mampu menjaga nilai-nilai luhur yang tidak semata-mata ra- gawi. Ardika mengungkapkan, saat ia menghadiri peresmian kapel Santo Leo di Padang, ada tokoh masyarakat lintas agama. ‘’Saya merasakan sesuatu yang hangat saat peresmian kapel tersebut. Ini adalah semangat dan spirit yang luar biasa karena kita bisa hidup berdampingan dengan damai,’’ ung- kap Ardika, yang juga ketua Dewan BPPI. Dukungan masyarakat BPPI belakangan ini memberikan banyak peluang kepada masyarakat untuk menjadi mitra dalam upaya melestarikan warisan budaya. Ke- terlibatan masyarakat akan dijadikan sumber informasi dan data bagi BPPI untuk mengetahui kondisi bangunan tua di setiap daerah. Selain dukungan masyarakat, perlu dukungan penuh dari pemerintah baik pusat maupun daerah. Apa- lagi memasuki era otonomi daerah, pemerintah daerah harus peka pada masalah bangunan bersejarah. Sayangnya dukungan pemerin- tah terhadap revitalisasi bangunan bersejarah sangat minim. Seperti dikemukakan pengusaha Hashim Djojohadikusumo, anggaran pemer- intah untuk revitalisasi bangunan tua sangat minim. Sebaliknya, bangunan modern seperti mal lebih banyak. ‘’Dukungan pemerintah sangat minim. Mereka lebih fokus pada nilai komersial atau nilai bangunan, tanpa memandang sisi sejarah dan keindah- annya,’’ kata Hashim. Masalah lain ialah dana yang tidak mencukupi untuk perawatan sebuah gedung bersejarah. Penggalangan dana swasta lokal juga minim. ‘’Ba- nyak yang tidak peduli. Banyak pengusaha kaya, tetapi mereka mem- punyai prioritas lain,’’ jelasnya. Hingga saat ini, BPPI masih bergan- tung pada pendanaan internasional dan pemerintah dalam upaya me- revitalisasi bangunan bersejarah di berbagai daerah. Sumber pendanaan berasal dari Prince Cluas Fund, Erfgoed Neder- land, Center for Heritage Activities, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. BPPI juga bekerja sama dengan World Monument Fund Amerika, UNESCO, National Trust di Australia, dan Kahlil Gibran Institute Libanon khusus untuk pelestarian karya-karya Kahlil Gibran dalam pustaka kesusas- traan Indonesia. (N-3) [email protected] da Sejarah di Kota Medan sa banyak gedung tua siap digusur. akan saksi lahirnya sebuah peradaban. BAGI peneliti sejarah seperti Erond Damanik, menyelamat- kan warisan sejarah bukan perkara mudah. Ada ancaman kehancuran, penelantaran, pembiaran, juga penyerobotan lahan. Kehancuran heritage tidak hanya diakibatkan tangan masyarakat, tapi juga oleh pe- merintah. Masyarakat menjadi penghancur karena kekurang- tahuan mereka soal pentingnya warisan sejarah. Dalam kasus ini, situs dihancurkan atau ditelantarkan. “Perilaku masyarakat seperti itu terjadi seperti pada situs percandian di Padang Lawas, situs Barus, situs Benteng Putri Hijau, maupun situs Kota Ren- tang,” tandas Erond. Di sisi lain, di kalangan pe- merintah kerap kali muncul asumsi yang hampir sama dengan masyarakat. Hanya, mereka selalu berdalih bahwa para peneliti sejarah tidak per- nah menyampaikan hasil kajian mereka kepada pemerintah. Pemerintah pun mengang- gapnya warisan sejarah sebagai sesuatu yang tidak bernilai. Contoh perlakuan itu ialah situs Kota Cina di Medan Marelan dan situs Benteng Putri Hijau di Namorambe, Kabupaten Deli Serdang. Dari delapan situs utama yang terdapat di Sumatra Utara, semuanya hampir terabaikan. Ironisnya, situs percandian di Padang Lawas dan Situs Barus, yang sudah pernah dipugar dan dipagari oleh Pemerintah Provinsi Sumatra Utara pada 1984, juga tak luput dari pem- biaran. Padahal, di kedua situs terse- but, peneliti arkeologi kaliber internasional dari Ecole Fran- caise d’Extreme Orient (EFEO), Prancis, pernah melakukan penelitian. Hasilnya, mereka telah menerbitkan empat judul buku. Persoalan terhadap situs Ben- teng Putri Hijau juga berbeda. Hasil penelitian pada 2008 dan 2009 merekomendasikan lokasi itu segera ditetapkan sebagai cagar budaya. Situs tersebut perlu pembebasan lahan, pendirian museum, serta restorasi beberapa bidang ben- teng. Namun, ternyata hal itu juga tidak direalisasikan oleh Pemerintah Kabupaten Deli Serdang. Ada lagi soal lain di situs Kota Cina. Masyarakat di lokasi situs itu justru mengetahui adanya perdagangan warisan sejarah. Mereka sering menjual benda-benda bersejarah seperti keramik, tembikar, ataupun guci yang utuh kepada pena- dah barang antik yang sering datang. Erond menambahkan, per- lakuan serupa juga terjadi pada unit sejarah, seperti ba- ngunan bersejarah di lima kota warisan perkebunan, yakni di Medan, Binjai, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan Kisaran. Hampir 70% bangunan berse- jarah di sana tidak luput dari pembiaran, perobohan, dan penelantaran. “Bangunan tradisional yang mengandung nilai historis tinggi, seperti rumah tradi- sional Karo di Desa Lingga dan Dokan, ataupun Rumah Bolon Simalungun di Pema- tang Purba, juga tidak luput dari penelantaran,” tegasnya. (YN/Ant/N-2) dilakukan secara mandiri oleh para karyawan yang bekerja di PT Lonsum tanpa melibatkan pihak luar. ‘’Kalau dikelola karyawan sendiri, ada rasa memiliki yang cukup tinggi. Mereka tidak sekadar membersihkan terus pergi, secara periodik berganti orang. Bahkan untuk mengoperasikan lift sudah dilakoni orang turun-temurun sampai ke anak cucu. Cuma dia yang mengetahui seluk beluk perawatan,’’ kata Manager of Training PT Lonsum, Riyanto. Selain lift, sejumlah meja kerja peninggalan zaman kolonial sampai sekarang masih dijumpai. Bahkan ada meja rapat besar yang terbuat dari kayu dan terkadang beralih fungsi sebagai meja biliar. Untuk menghargai kayu, dahulu seluruh karyawan perkebunan yang bekerja di PT Lonsum dilarang membakar kayu. Apabila ada karyawan yang melakukan hal itu, akan dikenai hukuman. Untuk perawatan gedung yang sudah berusia 105 tahun itu perlu anggaran sebesar Rp25 juta setiap bulannya. Letak Gedung London Sumatra berada di kawasan pusat kota. Di sekitar gedung terdapat beberapa bangunan tua peninggalan Belanda dengan gaya arsitektur transisi, seperti Kantor Pos Medan, Gedung Jakarta Lloyd yang pada saat didirikan adalah kantor perusahaan pelayaran The Netherlands Shipping Company. Selain itu ada dua bangunan milik bank swasta yang dulu merupakan gedung The Netherlands Trading Company atau Nederlandsche Handel Maatschappij dan pernah menjadi Kantor Rotterdam`s Lloyd. Ada pula gedung Bank Indonesia yang dulu merupakan kantor Javasche Bank. (Retno Hemawati/N-3) Perlakuan Masyarakat dan Pemerintah Sama Saja LIFT KUNO: Gedung London Sumatra Indonesia dengan tinggi 26 meter memiliki lift yang masih dipertahankan hingga sekarang. Lift mirip sangkar besi tersebut dijalankan secara manual. DARI KAYU: Tangga, kursi, pagar di lantai atas Gedung London Sumatra Indonesia masih dipertahankan seperti aslinya dengan menggunakan bahan dari kayu. FOTO-FOTO: MI/RETNO HEMAWATI Seperti rumah tradisional Karo di Desa Lingga dan Dokan, ataupun Rumah Bolon Simalungun di Pematang Purba, juga tidak luput dari penelantaran.” Erond Damanik Peneliti sejarah

Upload: lamthuy

Post on 08-Apr-2019

212 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

23RABU, 2 NOVEMBER 2011USANTARA

‘’Kami tidak bisa hanya melibatkan arkeolog untuk merehabilitasi. Kini dalam pengajuan proposal untuk re-habilitasi, BPPI mengedepankan mul-tidisiplin dengan melibatkan arsitek, sipil, ahli sejarah, dan masyarakat.’’

Catrini menyebutkan BPPI sudah berhasil merehabilitasi bangunan pu-saka seperti Kapel St Leo di Padang, Masjid Lubuk Bareh di Padang Paria-man, Masjid Rao-Rao di Tanah Datar, dan Jam Gadang di Bukittinggi.

Penyelamatan warisan budaya me-mang bukan hanya urusan pemerin-tah. Masyarakat pun harus dilibatkan untuk ikut memiliki warisan budaya tersebut.

Mantan Menteri Kebudayaan dan

Pariwisata I Gede Ardika mendukung adanya gerakan masyarakat yang sangat peduli terhadap pelestarian bangunan bersejarah.

Menurut dia, suatu bangsa bisa besar bila mampu menjaga nilai-nilai luhur yang tidak semata-mata ra-gawi. Ardika mengungkapkan, saat ia menghadiri peresmian kapel Santo Leo di Padang, ada tokoh masyarakat lintas agama.

‘’Saya merasakan sesuatu yang hangat saat peresmian kapel tersebut. Ini adalah semangat dan spirit yang luar biasa karena kita bisa hidup berdampingan dengan damai,’’ ung-kap Ardika, yang juga ketua Dewan BPPI.

Dukungan masyarakatBPPI belakangan ini memberikan

banyak peluang kepada masyarakat untuk menjadi mitra dalam upaya melestarikan warisan budaya. Ke-terlibatan masyarakat akan dijadikan sumber informasi dan data bagi BPPI untuk mengetahui kondisi bangunan tua di setiap daerah.

Selain dukungan masyarakat, perlu dukungan penuh dari pemerintah baik pusat maupun daerah. Apa-lagi memasuki era otonomi daerah, peme rintah daerah harus peka pada masalah bangunan bersejarah.

Sayangnya dukungan pemerin-tah terhadap revitalisasi bangunan bersejarah sangat minim. Seperti

dikemukakan pengusaha Hashim Djojohadikusumo, anggaran pemer-intah untuk revitalisasi bangunan tua sangat minim. Sebaliknya, bangunan modern seperti mal lebih banyak.

‘’Dukungan pemerintah sangat minim. Mereka lebih fokus pada nilai komersial atau nilai bangunan, tanpa memandang sisi sejarah dan keindah-annya,’’ kata Hashim.

Masalah lain ialah dana yang tidak mencukupi untuk perawatan sebuah gedung bersejarah. Penggalangan dana swasta lokal juga minim. ‘’Ba-nyak yang tidak peduli. Banyak pengusaha kaya, tetapi mereka mem-punyai prioritas lain,’’ jelasnya.

Hingga saat ini, BPPI masih bergan-

tung pada pendanaan internasional dan pemerintah dalam upaya me-revitalisasi bangunan bersejarah di berbagai daerah.

Sumber pendanaan berasal dari Prince Cluas Fund, Erfgoed Neder-land, Center for Heritage Activities, dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

BPPI juga bekerja sama dengan World Monument Fund Amerika, UNESCO, National Trust di Australia, dan Kahlil Gibran Institute Libanon khusus untuk pelestarian karya-karya Kahlil Gibran dalam pustaka kesusas-traan Indonesia. (N-3)

[email protected]

da Sejarah di Kota Medansa banyak gedung tua siap digusur. akan saksi lahirnya sebuah peradaban.

BAGI peneliti sejarah seperti Erond Damanik, menyelamat-kan warisan sejarah bukan perkara mudah. Ada ancaman kehancuran, penelantaran, pembiaran, juga penyerobotan lahan.

Kehancuran heritage tidak hanya diakibatkan tangan masyarakat, tapi juga oleh pe-merintah. Masyarakat menjadi penghancur karena kekurang-tahuan mereka soal pentingnya warisan sejarah. Dalam kasus ini, situs dihancurkan atau ditelantarkan.

“Perilaku masyarakat seperti itu terjadi seperti pada situs percandian di Padang Lawas, situs Barus, situs Benteng Putri Hijau, maupun situs Kota Ren-tang,” tandas Erond.

Di sisi lain, di kalangan pe-merintah kerap kali muncul asumsi yang hampir sama de ngan masyarakat. Hanya, me reka selalu berdalih bahwa para peneliti sejarah tidak per-nah menyampaikan hasil kajian mereka kepada pemerintah.

Pemerintah pun mengang-gapnya warisan sejarah sebagai sesuatu yang tidak bernilai. Contoh perlakuan itu ialah situs Kota Cina di Medan Marelan dan situs Benteng Putri Hijau di Namorambe, Kabupaten Deli Serdang.

Dari delapan situs utama yang terdapat di Sumatra Utara, semuanya hampir terabaikan. Ironisnya, situs percandian di Padang Lawas dan Situs Barus, yang sudah pernah dipugar dan dipagari oleh Pemerintah Provinsi Sumatra Utara pada 1984, juga tak luput dari pem-biaran.

Padahal, di kedua situs terse-but, peneliti arkeologi kaliber internasional dari Ecole Fran-caise d’Extreme Orient (EFEO), Prancis, pernah melakukan penelitian. Hasilnya, mereka telah menerbitkan empat judul buku.

Persoalan terhadap situs Ben-teng Putri Hijau juga berbeda. Hasil penelitian pada 2008 dan 2009 merekomendasikan lokasi itu segera ditetapkan

sebagai cagar budaya. Situs tersebut perlu pembebasan lahan, pendirian museum, serta restorasi beberapa bidang ben-teng. Namun, ternyata hal itu juga tidak direalisasikan oleh Pemerintah Kabupaten Deli Serdang.

Ada lagi soal lain di situs Kota Cina. Masyarakat di lokasi situs itu justru mengetahui adanya perdagangan warisan sejarah. Mereka sering menjual benda-benda bersejarah se perti keramik, tembikar, ataupun guci yang utuh kepada pena-dah barang antik yang sering datang.

Erond menambahkan, per-lakuan serupa juga terjadi pada unit sejarah, seperti ba-ngunan bersejarah di lima kota warisan perkebunan, yakni di Medan, Binjai, Tebing Tinggi, Pematang Siantar, dan Kisaran. Hampir 70% bangunan berse-jarah di sana tidak luput dari pembiaran, perobohan, dan penelantaran.

“Bangunan tradisional yang mengandung nilai historis tinggi, seperti rumah tradi-sional Karo di Desa Lingga dan Dokan, ataupun Rumah Bolon Simalungun di Pema-tang Purba, juga tidak luput dari penelantaran,” tegasnya. (YN/Ant/N-2)

dilakukan secara mandiri oleh para karyawan yang bekerja di PT Lonsum tanpa melibatkan pihak luar.

‘’Kalau dikelola karyawan sendiri, ada rasa memiliki yang cukup tinggi. Mereka tidak sekadar membersihkan terus pergi, secara periodik berganti orang. Bahkan untuk meng operasikan lift sudah dilakoni orang turun-temurun sampai ke anak cucu. Cuma dia yang mengetahui seluk beluk perawatan,’’ kata Manager of Training PT Lonsum, Riyanto.

Selain lift, sejumlah meja kerja peninggalan zaman kolonial sampai sekarang

masih dijumpai. Bahkan ada meja rapat besar yang terbuat dari kayu dan terkadang beralih fungsi sebagai meja biliar.

Untuk menghargai kayu, dahulu seluruh karyawan perkebunan yang bekerja di PT Lonsum dilarang membakar kayu. Apabila ada karyawan yang melakukan hal itu, akan dikenai hukuman.

Untuk perawatan gedung yang sudah berusia 105 tahun itu perlu anggaran sebesar Rp25 juta setiap bulannya.

Letak Gedung London Sumatra berada di kawasan pusat kota. Di sekitar gedung terdapat beberapa bangunan

tua peninggalan Belanda dengan gaya arsitektur transisi, seperti Kantor Pos Medan, Gedung Jakarta Lloyd yang pada saat didirikan adalah kantor per usahaan pelayaran The Netherlands Shipping Company.

Selain itu ada dua bangunan milik bank swasta yang dulu merupakan gedung The Netherlands Trading Company atau Nederlandsche Handel Maatschappij dan pernah menjadi Kantor Rotterdam`s Lloyd.

Ada pula gedung Bank Indonesia yang dulu merupakan kantor Javasche Bank. (Retno Hemawati/N-3)

Perlakuan Masyarakat dan Pemerintah Sama Saja

LIFT KUNO: Gedung London Sumatra Indonesia dengan tinggi 26 meter memiliki lift yang masih dipertahankan hingga sekarang. Lift mirip sangkar besi tersebut dijalankan secara manual.

DARI KAYU: Tangga, kursi, pagar di lantai atas Gedung London Sumatra Indonesia masih dipertahankan seperti aslinya dengan menggunakan bahan dari kayu.

FOTO-FOTO: MI/RETNO HEMAWATI

Seperti rumah tradisional Karo di

Desa Lingga dan Dokan, ataupun Rumah Bolon Simalungun di Pematang Purba, juga tidak luput dari penelantaran.”

Erond DamanikPeneliti sejarah