radikalisme muslim di surakarta 1850-1920/radikalisme-muslim-di... · perpustakaan.uns.ac.id...
TRANSCRIPT
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920
SKRIPSI
Oleh :
FREDYASTUTI ANDRYANA
K4407019
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-1920
Oleh :
FREDYASTUTI ANDRYANA
K4407019
Skripsi
Ditulis dan diajukan untuk memenuhi syarat mendapatkan gelar Sarjana
Pendidikan Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Pendidikan
Ilmu Pengetahuan Sosial
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRAK
Fredyastuti Andryana. RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA 1850-
1920. Skripsi, Surakarta: Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan,
Universitas Sebelas Maret Surakarta, Maret. 2011.
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: (1) Latar belakang
radikalisme Muslim di Surakarta tahun 1850-1920, (2) Bahwa ideologi Islam dijadikan pendorong gerakan politik Islam di Surakarta, (3) Peran para pemimpin Islam dalam gerakan politik Islam.
Penelitian ini menggunakan metode historis. Langkah- langkah yang ditempuh dalam metode historis meliputi heuristik, kritik, interpretasi dan
historiografi. Sumber data yang digunakan oleh penulis terutama adalah sumber primer dan sumber sekunder. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik studi pustaka. Teknik analisis yang digunakan adalah teknik analisis historis yaitu
analisis yang mengutamakan ketajaman dalam menginterpretasikan fakta sejarah. Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan: (1) Latar belakang
terjadinya radikalisme Muslim di Surakarta tahun 1850-1920, yaitu sebagai akibat adanya dominasi Barat beserta perubahan sosial dan ekonomi yang mengikutinya, serta reorganisasi Administrasi dan Agraria yang menciptakan kondisi-kondisi
yang cenderung bagi rakyat untuk mengadakan pergerakan sosial. Dominasi Barat memasuki kekuasaan politik kerajaan yang menimbulkan kemunduran kekuasaan
raja-raja Surakarta. Dengan adanya berbagai faktor yang ada, muncullah ketidakpuasan dari golongan besar masyarakat di abad XIX dan awal abad XX, maka banyak menimbulkan radikalisme masyarakat Muslim dengan ideologi
Islam sebagai pengobar semangat rakyat untuk melawan kolonialisme. (2) Ideologi Islam dijadikan pendorong gerakan politik Islam di Surakarta, karena
agama secara garis besar berfungsi sebagai alat legitimasi. Setelah suatu otoritas dimiliki oleh sekelompok kaum elite, maka kemudian kaum elite ini menggunakan sistem simbol agama untuk mempertahankan kekuasaannya.
Gerakan sosial keagamaan menggunakan ideologi Islam sebagai faktor penggeraknya, dan sebagai aktivitas kolektif, gerakan tersebut memerlukan
ideologi Islam untuk pembenaran tujuannya yang akan memperkuat inspirasi dan motivasi kelompoknya dalam menghadapi kekuatan Belanda. Karena berbagai tekanan dari pemerintah kolonial, maka menciptakan ideologi Islam yang
memperkuat semangat perjuangan jihad melawan penjajah sebagai orang “kafir”, sehingga mendorong munculnya gerakan sosial keagamaan terhadap
pemerintahan kolonial. (3) Pemimpin Islam terdiri dari para ulama dan kaum intelektual dalam menghadapi hegemoni Belanda. Para ulama mempunyai peran yang dapat merangsang timbulnya gerakan-gerakan keagamaan, sehingga mudah
dalam membangkitkan loyalitas pengikutnya untuk memobilisasikan massa demi tujuan tertentu. Dengan adanya Politik Etis, maka semakin bertambahnya jumlah
kaum intelektual yang berpendidikan barat, yang kemudian memunculkan organisasi politik yang dipimpin kaum intelektual. Elite modern ini merupakan unsur kepemimpinan dari pergerakan nasional di awal abad XX, yang
menegakkan cita-cita nasionalisme, dengan Islam sebagai ajaran yang dianggap dasar, dan yang berperan dalam politik kebangsaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
ABSTRACT
Fredyastuti Andryana. MUSLIM RADICALISM IN SURAKARTA 1850-
1920. Thesis, Surakarta: Teacher Training and Education Faculty, Sebelas
Maret University Surakarta, March. 2011.
The objective of research is to know: (1) the background of Muslim radicalism in Surakarta 1850-1920, (2) the ideology is became promoter of
Islamic political in Surakarta, (3) the role of Islamic leaders in Muslim radicalism power in Surakarta 1850-1920.
This research uses historis method. The steps of historis method such as:
heuristics, critics, interpretation, and historiography. The source of data is primary and secondary sources. The technique of collecting data was library study. The
technique of analyzis data used was historical analysis. That gave priority to sharpness interpretation of the historical fact.
Based on the result of research, it can be concluded that: (1) the
background of Muslim radicalism in Surakarta 1850-1920 is namely as a result of western domination and its social and economic changes that followed, and the
reorganization of Administration and Agrarian which creates conditions that tend to the people for social movements. The western domination of political power to enter the kingdom which cause deterioration of power of the kings of Surakarta.
With a variety of factors that exist, came the dissatisfaction of a large class of rural society in the nineteenth century and early twentieth century, it causes a lot
of ideological radicalism of the Muslim community with Islam as spirit of the people to fight colonialism. (2) Islam ideology is became Islam political promoter in Surakarta because religion has important function as legitimitation device.
After the elite community has authority, they use religion symbol system to defend authority. The social religion community uses Islam ideology as activator
and collective activity, the action need Islam ideology for correction‟s purpose. It uses to give inspiration and motivation for their community in Dutch power. Because of many pressures from colonial government, Islam ideology is able to
give spirit for jihad‟s fight to face kafir, so that it causes social religion action to colonial government. (3) The leader Islam leader‟s consists of leaders and
intellectual community to face hegemony Dutch. The leader institution have influences lead to religion action. The leader institution have a role to stimulate the emergence of religious movements, making it easy by encouraging the loyalty
of his followers to mobilize them for a particular purpose. The Ethical Policy is increasingly growing number of western-educated intellectuals, who then bring
the political organization lead by the intelligentsia. This is an element of modern elite leadership of the national movement in the early twentieth century, who uphold the ideals of nationalism, with Islam as a doctrine which is considered
fundamental, and which play a role in national politics.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
MOTTO
Segala perkara dapat kutanggung di dalam Dia
yang memberi kekuatan kepadaku.
(Filipi 4:13)
Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita
adalah untuk mencoba, karena di dalam mencoba
itulah kita menemukan dan belajar membangun
kesempatan untuk berhasil.
(Mario Teguh)
Kita mengalami kegagalan supaya kita belajar
bangkit.
(Penulis)
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
PERSEMBAHAN
Karya ini dipersembahkan kepada :
Bapak dan Ibuku tercinta yang selalu memberikan
doa dan dukungannya kepadaku
Adikku Nia dan Dio, serta eyang putri terkasih
Saudara-saudariku KPA(Mz Qq, Nia, Uut, Nesia,
Mz Endra), yang selalu mendoakanku
Teman-teman Seperjuanganku Hiscom „07 (Wulan,
Lele, Puji, Joko, Margi) Prodi Pendidikan Sejarah
Angkatan 2007 dan teman-teman yang lain, yang
sudah berbagi banyak hal denganku
Teman-temanku DEBRAIN (Kak Dindin, Irul, Bety,
Andre, Nora, Eri), yang senantiasa menyemangatiku
dan menemaniku
Almamater
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan YME, karena
atas berkat dan pertolongan-Nya, skripsi ini dapat penulis selesaikan untuk
memenuhi sebagian persyaratan mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan.
Banyak hambatan yang penulis temui dalam penyelesaian penulisan
skripsi ini, namun berkat bantuan dari berbagai pihak akhirnya kesulitan-
kesulitan yang timbul dapat teratasi. Untuk segala bentuk bantuannya, penulis
mengucapkan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta, yang telah memberikan ijin penulisan skripsi ini.
2. Ketua Jurusan Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial, yang telah menyetujui
permohonan penyusunan skripsi ini.
3. Ketua Program Studi Pendidikan Sejarah dan Pembimbing Akademik yang
telah memberikan pengarahan dan rekomendasi atas penyusunan skripsi ini.
4. Dr. Hermanu Jubagyo, selaku pembimbing I yang telah memberikan masukan
dan pengarahan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.
5. Drs. Saiful Bachri, M.Pd, selaku pembimbing II yang telah pula memberikan
masukan dan pengarahan sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.
6. Bapak dan Ibu Dosen Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan Ilmu
Pengetahuan Sosial yang telah memberikan ilmu kepada penulis selama ini,
mohon maaf atas segala tindakan dan perkataan yang tidak berkenan di hati.
7. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dan pengarahan kepada penulis
yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, semoga semua mendapat
balasan dari Tuhan YME.
Penulis menyadari akan adanya kekurangan dalam penulisan skripsi ini. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.
Semoga penulisan skripsi ini dapat bermanfaat bagi peneliti dan pembaca.
Surakarta, 31 Maret 2011
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................ i
HALAMAN PENGAJUAN .................................................................. ii
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN ............................................................... iv
ABSTRAK ......….. ............................................................................. v
ABSTRACT ............................................................................................ vi
HALAMAN MOTTO .......................................................................... vii
HALAMAN PERSEMBAHAN ........................................................... viii
KATA PENGANTAR .......................................................................... ix
DAFTAR ISI .............. ........................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ...................................................... 1
B. Perumusan Masalah ............................................................. 7
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 8
D. Manfaat Penelitian ............................................................... 8
BAB II LANDASAN TEORI
A. Tinjauan Pustaka ................................................................. 9
1. Gerakan Islam ................................................................. 9
2. Radikalisme .................................................................. 12
3. Marginalisasi Masyarakat Islam...................................... 16
4. Konflik ............................................................................ 21
B. Kerangka Berfikir ................................................................. 22
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian .............................................. 26
B. Metode Penelitian.................................................................. 26
C. Sumber Data ................................................................ ......... 28
D. Teknik Pengumpulan Data .................................................. 30
E. Teknik Analisis Data ............................................................ 31
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
F. Prosedur Penelitian ................................................................ 32
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. Latar Belakang Terjadinya Radikalisme Muslim di Surakarta
Tahun 1850-1920 ................................................................ 38
1. Perubahan Sosial Dan Ekonomi Di Surakarta................. 38
2. Penetrasi Politik, Ekonomi, dan Sosial Pemerintah
Hindia Belanda ............................................................... 42
3. Reorganisasi Administrasi Dan Agraria.......................... 51
B. Ideologi Islam Dijadikan Pendorong Gerakan Politik Islam
di Surakarta ........................................................................... 56
1. Gerakan Politik Islam Di Surakarta................................... 57
C. Peran Pemimpin Islam Dalam Gerakan Politik Islam........... 61
1. Peran Ulama Dalam Gerakan Sosial Keagamaan ........... 61
2. Peran Kaum Intelektual Dalam Gerakan Sosial
Keagamaan ................................................................... 66
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................ 73
B. Implikasi ................................................................................ 74
C. Saran ...................................................................................... 76
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 78
LAMPIRAN .......................................................................................... 82
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran Halaman
Lampiran 1. Peta Vorstenlanden .................................................................. 82
Lampiran 2. Rapport Omtrent het gebeurde te ”Srikaton” op den 11den
en 12den October 1888 ............................................................ 83
lampiran 3. Memori van Overgave, Opgemaakt door den Aftredenden
Residen van Surakarta ............................................................. 89
Lampiran 4. Surat Permohonan Ijin Menyusun Skripsi ............................... 110
Lampiran 5. Surat Keputusan Dekan Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan ................................................................................ 111
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Ketidakpuasan masyarakat diutamakan pada pemikiran sektaris yang
sering mempunyai sifat mistik, atau dalam gerakan messianis atau millenaris,
yang bisa ditafsirkan sebagai suatu usaha untuk melarikan diri dari kenyataan
yang menekan. Namun, sebagai anggota dari gerakan-gerakan ini, para pengikut
umumnya tunduk tanpa syarat pada keinginan pemimpin-pemimpin spiritual dari
para pengikut tersebut.
Agama, dalam hal pergerakan-pergerakan messianis atau millenaris,
boleh dikatakan merupakan lambang dari protes sosial. Menurut Clifford Geertz
(1992:5), agama dipahami sebagai sebuah simbol yang berlaku untuk
memunculkan motivasi yang kuat dan realistis bagi para pengikutnya. Agama
dengan simbol-simbol yang dilahirkannya seringkali diambil oleh para pemegang
kekuasaan sebagai sumber legitimasi. Inilah yang mendorong elit penguasa untuk
mengambil berbagai simbol dalam agama, bukan untuk diimplementasikan da lam
kehidupannya bermasyarakat, melainkan untuk memberi legitimasi dalam
menjalankan dan melanggengkan kekuasaannya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa perlawanan yang dilakukan oleh para raja
Jawa merupakan gerakan yang utama dalam melawan pemerintah kolonial dengan
menggunakan para santri dan ulama sebagai kekuatan politik utama, dan aristokrat
yang disantrikan sebagai mediatornya. Sartono Kartodirdjo (1983:vii), membagi
aristokrat dalam dua orientasi politik yang berbeda, yakni aristokrat protagonis,
yaitu aristokrat yang memegang kepemimpinan serta melancarkan pembaharuan
dan mendukung pergerakan kebangsaan, dan aristokrat status quo, yaitu aristokrat
yang memandang setiap perubahan sebagai ancaman bagi mereka dan lebih
memihak pemerintah Belanda.
Anthony Giddens menjelaskan bahwa pelaku (the actor) direduksi menjadi
produk kekuatan-kekuatan sosial yang impersonal. Seorang pelaku memerankan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
sebagai agen pembawa perubahan yang rela berkorban untuk masyarakat luas
(Daniel Ross, 2005: 192). Dalam gerakan Islam, yang menjadi aktor atau pelaku
adalah aristokrat protagonis dan para ulama, yang berjuang demi kepentingan
rakyat pribumi dalam menghadapi pemerintah kolonial.
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, dengan
demikian memiliki ciri penting, yaitu santri, kyai, masjid, dan pondok. Hubungan
keempat unsur tersebut sangat erat, lebih- lebih hubungan antara kyai dan santri
yang menggambarkan hubungan “guru-murid”, sangat khas dalam dunia
kehidupan pesantren, yang juga mencakup komunitas orang Muslim atau kaum
Muslimin yang memiliki identitas, simbol, dan tradisi budaya sebagai sebuah
subkultur Islam di Jawa (Djoko Suryo, 2005: 1169). Dalam membangun sebuah
kekuatan seorang pemimpin, perlu dibangun jejaring dan komunikasi politik.
Pesantren digunakan sebagai wadah legitimasi politik para aristokrat Jawa, karena
dianggap memiliki basis massa yang cukup kuat. Pesantren dilihat sebagai
institusi pelindung, karena pesantren dapat mencetak intelektual Islam yang
dipandang mampu membangun dan memperkuat ajaran dan daya tahan Islam
dalam tekanan pemerintah Belanda.
Clifford Geertz memandang kehadiran Islam di Jawa telah menyebabkan
terbentuknya golongan sosio-kultural lainnya, yaitu abangan dan priyayi (Djoko
Suryo, 2005: 1167). Tradisi santri ditandai dengan wujud perilaku ketaatan para
pendukungnya dalam menjalankan ibadah agama Islam yang sesuai dengan ajaran
syariat agama, sementara tradisi abangan ditandai dengan orientasi kehidupan
sosio-kultural yang berakar pada tradisi mistisisme pra-Hindu, dan tradisi priyayi
lebih ditandai dengan orientasi kehidupan yang berakar pada tradisi aristokrasi
Hindu-Jawa. Tradisi santri dan kepemimpinan kyai atau ulama merupakan unsur
kebudayaan Islam-Jawa yang memiliki pengaruh besar terhadap dinamika
kehidupan agama, sosial, dan politik dalam masyarakat Jawa. Kecenderungan ini
berlangsung secara berkelanjutan dari masa tradisional sampai dengan masa
kolonial dan masa Indonesia merdeka. Tidak lain, karena tradisi santri dan kyai,
bukan hanya menjadi segmen sosial-kultural, melainkan juga menjadi basis
kekuatan sosial dan politik (Djoko Suryo, 2005: 1167- 1168).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pada abad ke-19, yaitu setelah kerajaan-kerajaan Islam runtuh, tradisi
santri menjadi basis kekuatan sosial politik masyarakat pedesaan dalam melawan
kekuasaan kolonial Belanda. Santri memiliki peran dan kedudukan dalam proses
pembaharuan atau perubahan dalam kehidupan keagamaan, kemasyarakatan,
kebudayaan, dan politik di masyarakat Jawa, dan kyai ditempatkan sebagai
pemegang peran sentral dalam proses perubahan dan pembaharuan. Dalam
gerakan sosial dan keagamaan pada masa kolonial menempatkan kepemimpinan
kyai dari tradisi pesantren sebagai pemegang peran dalam menggerakkan
pemberontakan dan protes-protes sosial rakyat pedesaan terhadap pemerintah
kolonial (Djoko Suryo, 2005: 1167).
Di Jawa, bangkitnya pemberontakan lokal secara periodik, di bawah
pimpinan seseorang yang fanatik yang memakai simbol keagamaan dengan
sebutan Ratu Adil dan yang menjadikan kekebalan pada pengikut-pengikutnya,
merupakan kesamaan umum dari gerakan millenaries, yang mengambil simbol
keagamaan untuk melegitimasi kekuatan pemimpin dan gerakannya (Taufik
Abdullah, 1974: 59 ).
Pergerakan rakyat itu lazimnya dianggap arkais sifatnya, oleh karena
organisasi, program, strategi, dan taktiknya yang masih terlalu sederhana apabila
dibandingkan dengan pergerakan sosial modern. Terbukti juga dari orientasi
tujuan yang kabur, partisipan yang tidak mempunyai gambaran bagaimana tata
masyarakat dan tata pemerintahan yang akan direalisasikan apabila perjuangannya
mencapai kemenangan. Oleh sebab itu, gerakan yang terjadi dengan mudah
ditindas oleh kekuatan militer kolonial. Pergerakan semacam itu pada umumnya
abortif atau sangat pendek umurnya (Sartono Kartodirdjo, 1975: 241).
Selama abad XIX, gerakan-gerakan bertambah kuat, mengikuti makin
dalamnya pengaruh Islam pada penduduk pedesaan Jawa. Gerakan Ratu Adil ini
pada umumnya, merupakan pernyataan ketidakpuasannya pada pemerintahan
kolonial Belanda. Sebagai gerakan rakyat yang merupakan penjelmaan dari suatu
protes sosial, mereka umumnya kurang emosional, karena mereka menganjurkan
suatu perubahan masyarakat dengan tiba-tiba secara tidak rasional dan ajaib.
Pergerakan yang arkais ini akan hilang dengan cepat karena tidak ada arah
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
struktur yang baik. Protes sosial lahir bukan semata-mata karena spontanitas,
tetapi kemunculannya dibangun berdasarkan proses yang panjang.
Situasi keterpurukan pribumi dengan hadirnya sistem eksploitasi
kolonialisme nampak dengan dibukanya Surakarta menjadi salah satu sumber
kebutuhan pasar Eropa terhadap hasil-hasil perkebunan. Pada akhir kekuasaan
Hindia Belanda di Surakarta, terutama di kabupaten-kabupaten Sragen dan Klaten,
terdapat lebih dari seratus perusahaan perkebunan. Hasil ekploitasi itu berhasil
sukses menghantarkan keuntungan yang besar bagi perusahaan-perusahaan Eropa,
namun di satu sisi juga menjadi akar dari konflik antara penguasa kerajaan dan
penduduk pribumi di Surakarta.
Dengan kemunculan para pengusaha perkebunan Eropa maka terjadi
perubahan-perubahan mendasar pada hubungan-hubungan produksi terutama
menyangkut sistem tanah lungguh. Sistem tanah lungguh biasanya diberikan
kepada para pejabat-pejabat kerajaan atau pemerintahan dengan menghasilkan
kontribusi dalam bentuk pajak in natura dari kelompok-kelompok tani yang
menggarap lahan pertanian tersebut. Sedangkan proses pengumpulan hasil pajak
itu dilakukan oleh bekel yang mendapat hasil dalam bentuk komisi. Sistem tanah
lungguh yang semula menghasilkan pajak yang dibayarkan melalui pajak in
natura telah diganti dengan pajak dalam bentuk uang. Karena perubahan itu pula
maka hubungan sewa tanah langsung dilakukan antara pengusaha perkebunan dan
pihak pejabat kelurahan. Sistem ini juga membawa perubahan pada sistem kerja,
terhapuskannya sistem kerja rodi dan dimulainya sistem kontrak kerja dengan
buruh tani (www.pdfchaser.com/pdf/gerakan-sosial-keagamaan.html).
Sistem ini mendorong banyak munculnya petani-petani melarat yang
biasa disebut dengan ploletariat desa. Kondisi terpuruknya mayoritas rakyat
Surakarta tersebut banyak membawa konsekuensi pada memudar dan merosotnya
pamor kekuasaan kerajaan. Ditambah lagi konflik-konflik internal keraton yang
terus menerus membawa ketidakpercayaan rakyat terhadap kepemimpinan
keraton.
Kesenjangan struktur sosial masyarakat yang ada kerap kali melahirkan
berbagai ketegangan dalam masyarakat, ketegangan-ketegangan ini akan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mempengaruhi derajat kepercayaan masyarakat terhadap suatu kondisi yang ada,
maka besar kemungkinan ideologi yang digunakan oleh masyarakat adalah
radikalisasi. Perkembangan radikalisasi dimotori oleh kaum tertindas.
Radikalisme kaum tertindas lahir dari akumulasi kebencian sosial dan rasa frustasi
terhadap kondisi yang ada.
Selama abad XIX-XX di Indonesia terus menerus terjadi pemberontakan,
kerusuhan, brandal, yang semuanya itu mengoncangkan masyarakat dan
pemerintah. Gerakan-gerakan tersebut hampir setiap tahun terjadi di daerah-
daerah pedesaan diwujudkan sebagai tindakan yang bersifat agresif dan radikal.
Radikalisme muncul karena berbagai faktor, salah satunya justru karena tidak
dijalankannya prinsip-prinsip pemerintahan dan politik yang demokratis. Gerakan
dan pemberontakan pada dasarnya adalah reaksi spontan terhadap perubahan
sosial yang cepat, yang menimbulkan frustasi dalam kehidupan masyarakat.
Muncul gerakan periferal dan semiperiferal, di mana gerakan periferal
merupakan perlawanan yang muncul di luar lingkungan keraton, gerakan-gerakan
ini bersifat lokal dan berlangsung singkat karena gerakan-gerakan itu muncul dari
protes-protes sosial-ekonomi yang konkret, sedangkan gerakan semiperiferal
adalah perlawanan yang berada di daerah-daerah perbatasan dan memiliki kaitan
dengan keraton. Gerakan-gerakan tersebut dipimpin orang yang kharismatis dan
memiliki pengikut-pengikut yang setia, dan menggunakan tulisan-tulisan yang
sifatnya menghasut untuk mengajak rakyat memberontak. Dalam gerakan
periferal, para pejabat lokal dan elit-elit agama memainkan peranan utama,
sedangkan para pemimpin gerakan semiperiferal yaitu para anggota elit istana
sendiri yang menjadi simbol-simbol perlawanan di pusat kerajaan (Houben,
2002:491).
Munculnya gerakan Islam dipandang berbahaya oleh pemerintah Belanda
dan harus dihadapi dengan kewaspadaan. Pemerintah Belanda yakin bahwa
gerakan Islam akan bisa dipergunakan oleh pemimpin-pemimpin fanatik sebagai
basis kekuatan untuk memberontak. Oleh karena itu, pemerintah Belanda selalu
waspada terhadap segala kemungkinan yang dapat membahayakan kekuasaannya
(Aqib Suminto, 1986: 64).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Terjadinya masalah wabah penyakit pes telah mempengaruhi polemik
politik di Surakarta, bahkan telah digunakan oleh para musuh keraton dalam
melakukan kritiknya terhadap pemerintah Belanda. Wabah pes baik di Surakarta
maupun di daerah lain sangat erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah Hindia
Belanda dalam penanganan pangan di Jawa. Untuk memberantas wabah tersebut,
pemerintah Belanda bekerja sama dengan raja-raja pribumi, dengan memperbaiki
rumah penduduk yang terkena wabah pes, yang ternyata menimbulkan rasa tidak
senang bagi penduduk. Gubernur Idenburg menentukan supaya seluruh Kota
Surakarta secara sistematis diperbaiki blok demi blok (Restu Gunawan, 2005:
987). Kebanyakan orang tidak bisa membiayai perbaikan rumah, sehingga
gubernemen memberi uang muka dalam bentuk bahan bangunan dan tenaga kerja,
dan masyarakat harus membayarkan kembali dalam angsuran bulan berikutnya
kepada raja-raja setempat, kemudian raja mengembalikan ke pemerintah Belanda.
Keraton dilihat oleh masyarakat sebagai tempat yang potensial untuk berlindung,
tetapi pada saat itu ternyata telah dimanfaatkankan oleh pemerintah Belanda untuk
menancapkan kekuasaannya di wilayah Vorstenlanden (Restu Gunawan, 2005:
986).
Gerakan perlawanan di abad ke-19, merupakan pendorong pergerakan
kebangsaan di abad ke-20. Kemudian, di abad ke-20 muncul tokoh-tokoh radikal
yang berjuang melawan tekanan pemerintah kolonial. Di garis depan perlawanan
terhadap pemerintah Belanda adalah dua anggota Insulinde cabang Solo, Haji
Miscbah, aktifis utama dan Dr. Tjipto Mangunkusumo yang umumnya dianggap
sebagai otak di balik gerakan yang sedang timbul di Surakarta (Restu Gunawan,
2005: 987). Cipto adalah orang pertama yang mengajukan kritik terhadap tindakan
gubernemen untuk memberantas wabah pes. Dalam pidatonya, Cipto mengecam
pemerintah dalam kebijakan pertaniannya dan kurangnya tinjauan masa depan dan
karena perasaan senang sendiri dalam mengurus pajak orang pribumi.
Perlawanan terhadap kolonialisme, dipimpin oleh orang-orang dari
golongan tertentu dalam masyarakat. Golongan agama yaitu para ulama, yang
memegang pimpinan ini bertindak sebagai penasihat, pemberi landasan keyakinan
untuk mempertebal semangat dan tekad berperang. Pengaruh pemimpin menjadi
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
lebih kuat apabila di samping ia berasal dari golongan bangsawan, juga tergolong
orang yang saleh dan mahir dalam soal keagamaan. Dalam keadaan demikian
loyalitas pengikut pada pemimpin juga bertambah kuat (William H. Frederick dan
Soeri Soeroto, 1982: 218). Gerakan terjadi di Surakarta, karena Surakarta
merupakan tempat keraton-keraton Jawa, selain Yoyakara, dan dianggap sebagai
tempat pusatnya tradisi Jawa. Surakarta sebagai arena pusat pergerakan karena
semua kekuatan sosial bergabung dalam pergerakan atau bahkan anti pergerakan
(Takashi Shiraishi, 1997: 16). Gerakan-gerakan ini memiliki pengaruh lokal dan
berlangsung singkat karena gerakan-gerakan itu muncul dari protes-protes sosial-
ekonomi yang konkret.
Dominasi politik kolonial Barat yang menimbulkan perubahan sosial telah
menciptakan kondisi yang memungkinkan lahirnya pergolakan sosial. Perlawanan
terhadap penguasa asing dilancarkan, terutama dengan menggunakan istilah-
istilah keagamaan, yang didorong dengan bangkitnya semangat Islam di Jawa.
Tahun 1850 dipakai sebagai titik awal penelitian ini karena sekitar tahun tersebut
terdapat buku-buku dan selebaran-selebaran yang membangkitkan semangat pan-
Islam, yang mendorong terjadinya gerakan-gerakan melawan pemerintah kolonial.
Sedangkan tahun 1920 dijadikan batasan dari judul karena merupakan tahun
berakhirnya gerakan radikal sebagai reaksi yang kuat terhadap perubahan yang
dilakukan oleh pemerintah kolonial dan munculnya gerakan-gerakan yang
terorganisir melalui organisasi-organisasi yang berorientasi barat, sehingga dasar
motivasi gerakan telah berubah (Houben, 2002:486).
Berdasarkan latar belakang di atas, maka perlu dilakukan kajian tentang
gerakan politik Islam di Surakarta. Kajian tentang gerakan politik Islam tersebut
di bawah judul “RADIKALISME MUSLIM DI SURAKARTA TAHUN 1850-
1920”.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana latar belakang terjadinya radikalisme Muslim di Surakarta
tahun 1850-1920 ?
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Mengapa ideologi Islam dijadikan pendorong gerakan politik Islam di
Surakarta ?
3. Bagaimanakah peran pemimpin Islam dalam gerakan politik Islam ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui apa yang mendorong radikalisme Muslim di Surakarta
tahun 1850-1920
2. Untuk mengetahui bahwa ideologi Islam dijadikan pendorong gerakan
politik Islam di Surakarta
3. Untuk mengetahui peran para pemimpin Islam dalam gerakan politik Islam
D. Manfaat
Penelitian ini meskipun sederhana, diharapkan dapat memberikan manfaat,
baik secara pribadi maupun bagi masyarakat pada umumnya. Manfaat yang
diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Manfaat teoritis
a) Menambah wawasan pemikiran dan pengetahuan bagi peneliti
b) Memberikan pengetahuan lebih luas Ilmu Pengetahuan Sosial dan Sejarah
Indonesia Madya bagi peneliti dan pembaca
2. Manfaat Praktis
a) Dapat menarik minat peneliti lain untuk ikut serta berpartisipasi dalam
mengkaji gerakan-gerakan Islam di Surakarta untuk mengetahui mana
yang benar dan yang belum terjangkau dalam penelitian ini
b) Dapat menambah koleksi penelitian di perpustakaan khususnya, mengenai
Radikalisme Muslim Di Surakarta Tahun 1850-1920
c) Untuk memenuhi salah satu syarat guna meraih gelar sarjana pendidikan
pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Kependidikan Jurusan IPS Program
Studi Sejarah Universitas Sebelas Maret Surakarta
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Kajian Teori
1. Gerakan Islam
Usaha yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang untuk mengubah
suatu kondisi tertentu tanpa disadari merupakan suatu rangkaian aktivitas yang
bisa disebut sebagai suatu gerakan. Suatu gerakan selalu mendapat citra yang
buruk atau negatif di bawah seorang penguasa yang lalim dan despostis. Menurut
Robert Hill, gerakan selalu berasosiasi dengan berbagai tindakan yang dilakukan
untuk memberikan reaksi atau respon terhadap kondisi tertentu yang terjadi da lam
masyarakat. Respon atau reaksi yang dimaksud adalah respon oleh pihak-pihak
tertentu dalam masyarakat yang ingin mendorong suatu perubahan (Robert Hill,
1998: 1-3). Henry A. Landsberger (1981:24) mendefinisikan gerakan sebagai
suatu reaksi kolektif terhadap kedudukan yang rendah atau reaksi terhadap
keadaan tidak adil.
Terjadinya suatu gerakan dapat bermakna sebagai bentuk perlawanan
terhadap penguasa yang menindas. Gerakan merupakan suatu kumpulan dari
keinginan dan kepentingan untuk mengubah keadaan. Reaksi yang muncul pada
dasarnya menginginkan suatu perubahan pada keadaan yang baru yang lebih baik
dan lebih bermakna. Pada intinya, gerakan dapat dipahami sebagai usaha untuk
mengubah suatu kondisi pada kondisi yang baru. Dalam kerangka kehidupan
masyarakat, maka gerakan dapat diartikan berbagai upaya yang dimaksudkan
untuk mengubah tatanan yang tidak adil, menuju sebuah tatanan baru yang lebih
member jaminan pada realisasi keadilan, kemakmuran, dan kesejahteraan umat
manusia (Robert Hill, 1998:5).
Suatu kelompok yang simpati terhadap pandangan sosial atau doktrin
tertentu yang menampakkan dirinya dalam perdebatan politik dan siap berperan
dalam kegiatan seperti demonstrasi atau pemberontakan dan lain- lain termasuk ke
dalam suatu gerakan, sehingga gerakan seperti ini sering kali disamakan dengan
gerakan protes karena gerakan ini merupakan suatu tindakan protes dari
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
masyarakat terhadap penguasa. Gerakan yang timbul berusaha untuk melepaskan
diri dari kekuasaan dan keadaan yang tidak menyenangkan dari penguasa terhadap
pihak yang tertindas menyebabkan munculnya gerakan atau perlawanan terbuka
(Peter Burke, 2003:132).
Eric Hoffer (1988:ix) menyatakan bahwa gerakan lebih banyak digerakkan
oleh kaum frustasi yang fanatik. Anggota gerakan diidentifikasikan sebagai orang
yang tidak puas dan kecewa, yaitu mereka yang tersingkir dalam masyarakat
sampai kelompok minoritas yang tertekan. Berhasil tidaknya suatu gerakan sangat
tergantung pada kualitas dari kekuatan yang menghendaki perubahan. Kekuatan
yang menghendaki perubahan pada gilirannya harus mampu mengatasi mereka
yang tidak menghendaki perubahan (Robert Hill, 1998:14). Hal ini sejalan dengan
pendapat Eric Hoffer (1988:3) bahwa tujuan utama gerakan adalah suatu
perubahan. Kekuatan gerakan yang paling utama berasal dari kecenderungan para
pengikutnya untuk melakukaan aksi bersama dan mengorbankan dirinya. Dalam
membentuk kekuatan ini, gerakan dipersatukan oleh kesamaan keyakinan,
fanatisme, doktrin, kepemimpinan, dan bahkan kekejamannya. Gerakan
mempunyai sifat sebagai berikut :
1) Arkais oleh karena orangnya, programnya, strategi dan taktiknya masih
sangat sederhana. Hal ini disebabkan gerakan tersebut tidak dapat
mengorganisasikan diri dengan baik dan tidak dapat merencanakan
program, strategi dan bentuknya.
2) Waktunya sangat pendek, hal ini sangat berhubungan dengan sifat yang
pertama yang menyebabkan gerakan ini mudah ditumpas oleh penguasa
yang ada
3) Scope atau wilayah terjadinya sangat sempit (lokal) dan erat kaitannya
dengan religiomagis (Sartono Kartodirdjo, 1973:5)
Robert Hill (1998:55) melakukan pembagian gerakan dilihat dari sifat dan
tujuannya menjadi dua, yaitu:
1) Gerakan sebagai suatu reaksi spontan, penyebabnya tidak betul jelas, dan
menggunakan jaringan informasi yang tidak tertata terhadap keadaan
tertentu.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2) Gerakan sebagai langkah- langkah terorganisir dengan tujuan, strategi dan
cara-cara yang dirumuskan secara jelas, sadar, dan didasarkan pada
analisis sosial yang kuat.
Menurut Awani Irewati, dkk (2001: 30-31) gerakan sosial-massa
ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu:
1) Daya dukung struktural di mana suatu gerakan sosial-massa akan mudah
terjadi dalam suatu lingkungan atau masyarakat tertentu yang berpotensi
untuk melakukan suatu gerakan massa secara spontan dan
berkesinambungan.
2) Adanya tekanan-tekanan struktural akan mempercepat orang untuk
melakukan gerakan massa secara spontan karena keinginan mereka untuk
melepaskan diri dari situasi yang menyengsarakan
3) Menyebarkan informasi yang dipercayai oleh masyarakat luas. Informasi
tersebut akan menguatkan dan memperluas gerakan sosial-massa
4) Karena emosi yang tidak terkendali
5) Upaya mobilisasi orang-orang untuk melakukan tindakan-tindakan yang
telah direncanakan. Faktor persuasi dan komunikasi bisa mempengaruhi
tindakan sosial secara drastis juga faktor kepemimpinan sangat
berpengaruh dalam mengambil inisiatif para anggotanya untuk melakukan
tindakan.
Kesimpulan dari beberapa konsep gerakan di atas yaitu pada dasarnya
gerakan adalah suatu reaksi atau protes terhadap keadaan yang tidak adil. Keadaan
seperti ini diciptakan oleh seorang penguasa terhadap lapisan masyarakat di
bawahnya.
Gerakan rakyat yang tampil dalam surat kabar dan jurnal, rapat dan
pertemuan, serikat buruh dan pemogokan, organisasi dan partai, novel, nyanyian
dan teater, serta pemberontakan, merupakan fenomena kebangkitan bumiputera.
Pada awal abad ke-20, kesadaran baru dan bahasa yang digunakan menjadi arti
penting utama dari pergerakan. Surakarta sebagai arena yang strategis bagi tujuan
pergerakan, karena merupakan satu-satunya pusat pergerakan dan semua kekuatan
sosial bergabung dalam gerakan. Para bangsawan kerajaan, kaum intelektual,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
orang-orang Islam dengan pendidikan pesantren, para petani ikut bergabung
dalam pergerakan melawan kolonial. Seperti ketika PB IX yang melakukan
jejaring politik dengan ulama-ulama di pesantren untuk membangun kekuatan
massa dalam menghadapi hegemoni politik Belanda, serta dengan adanya
pendidikan memberikan pintu masuk bagi kaum intelektual dalam mencapai
kesetaraan dengan orang-orang Eropa, baik secara sosial, ekonomi, dan politik.
Pada abad 20, muncul SI yang memiliki tujuan untuk membuat anggota
perkumpulan sebagai saudara satu sama lain, memperkuat solidaritas dan tolong-
menolong di antara umat Islam, dan mencoba mengangkat rakyat untuk mencapai
kemakmuran dan kesejahteraan. Organisasi itu ditetapkan sebagai perkumpulan
kaum Muslim yang bekerja demi kemajuan, Islam menjadi tanda atau identitas
bagi bumiputera (Takashi Shiraishi, 1997: 57).
2. Radikalisme
Menurut Komaruddin (2002:212) bahwa radikalisme berasal dari bahasa
Latin radix, yang berarti akar, kaki, atau dasar. Jadi, radikalisme berarti suatu
paham yang menginginkan pembaharuan atau perubahan sosial dan politik dengan
ekstrim dan drastik hingga ke akarnya.
Radikalisme merupakan gerakan-gerakan dari kaum pinggiran, karena
sebab-sebab tertentu. Mereka menggunakan cara-cara yang radikal, keras dan
secara tiba-tiba, baik itu mengenai strategi, taktik, tujuan maupun sasaran dari
gerakan itu.
Gerakan radikal menurut Sartono Kartodirdjo (1975:241) adalah gerakan-
gerakan rakyat yang bersifat tradisional, sehingga strategi dan taktiknya masih
terlalu sederhana, berumur sangat pendek, berada dalam lingkup lokal atau
regional dan umumnya dilakukan untuk melawan keadaan yang dianggap tidak
adil.
Sebuah gerakan dapat terjadi apabila terdapat sejumlah faktor penentu,
yaitu sebagai berikut (http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_sosial) :
1) Structural Conduciveness (Kondisi Struktural), yaitu suatu struktur sosial
yang mendukung terjadinya suatu gerakan. Terdiri dari under conditions of
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
economic pressure (tekanan ekonomi) dan the structure of the social and
politic situation (struktur keadaan sosial dan politik).
2) Structural Strain (Ketegangan Struktural), yaitu adanya ketegangan
struktural yang timbul. Terdiri dari extreme religious movement (gerakan
keagamaan yang ekstrem), race riots (rasisme), dan economic deprivation
(depresi ekonomi).
3) The Precipitating Factor (Faktor Pemercepat), yaitu faktor pencetus yang
berupa suatu dramatik, suatu peristiwa empirik.
4) Mobilization into action (Mobilisasi Untuk Mengadakan Aksi), yaitu suatu
mobilisasi untuk bertindak, dalam hal ini peranan seseorang amat
menentukan. Situasi dapat berkembang dari kepanikan, timbulnya
kerusuhan dan kemudian diteruskan dengan agitasi untuk reform atau
revolusi.
5) The Operation of Social Control (Kontrol Sosial), yaitu pengoperasian
kontrol sosial atau faktor penentu yang berbalik mencegah, mengganggu,
membelokkan, atau merintangi gerakan itu.
Definisi kekerasan dari New Oxford Dictionary adalah perilaku yang
melibatkan kekuatan fisik dan dimaksudkan untuk menyakiti, merusakan, atau
membunuh seseorang atau sesuatu. Menurut Colombijn (I Ngurah Suryawan,
2010: 20), mengkategorikan kekerasan menjadi 4 bagian :
1) Kekerasan oleh negara atau lembaga negara
2) Kekerasan oleh kelompok masyarakat
3) Kekerasan oleh kelompok jagoan dan milisi
4) Kekerasan oleh perorangan yang berkumpul untuk sementara dalam
kerumunan
Secara etimologis, kekerasan merupakan terjemahan dari kata “violence”,
berasal dari bahasa Latin “violentia”, yang berarti force, kekerasan. Dalam kamus
besar bahasa Indonesia, kata kekerasan digunakan sebagai padanan “violence”,
yaitu perbuatan seseorang atau kelompok orang yang menyebabkan cedera atau
matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Menurut Dom Helder Camara yang mengemukakan mengenai teori spiral
kekerasan, di mana ada tiga bentuk kekerasan, yaitu: kekerasan yang bersifat
personal, institusional, dan struktural. Kekerasan yang bersifat personal
merupakan sebagai gejala yang menimpa baik perseorangan, kelompok, maupun
negara, yang diakibatkan oleh bekerjanya ketidakadilan sosial dan ketimpangan
ekonomi. Ketidakadilan ini juga terjadi sebagai akibat dari upaya sekelompok elit,
yang mempertahankan kepentingan mereka, sehingga membuat kondisi kelompok
bawah hidup di bawah standar yang layak sebagai manusia. Kondisi tersebut yang
mendorong munculnya kekerasan institusional, yaitu pemberontakan dan protes di
kalangan masyarakat sipil. Ketika kondisi tersebut telah terjadi, maka kemudian
penguasa memandang dirinya berkewajiban memelihara ketertiban, meski harus
menggunakan cara-cara kekerasan. Hal tersebut memunculkan kekerasan
struktural yaitu represi penguasa, di mana digunakan cara-cara kekerasan oleh
lembaga negara untuk menekan pemberontakan sipil. Represi negara yang
dilakukan akan memperparah kondisi ketidakadilan (I Ngurah Suryawan,
2010:92-93).
Teori Hegemoni dari Antonio Gramsci, yaitu agar yang dikuasai mematuhi
penguasa, yang dikuasai tidak hanya harus merasa mempunyai dan
menginternalisasi nilai-nilai serta norma penguasa, melainkan juga harus
menyetujui dominasi kekuasaan mereka. Pengertian hegemoni menurut Gramsci
yaitu penguasaan oleh satu atau beberapa kelompok atas yang lainnya, dengan
menggunakan kepemimpinan politik dan ideologis dan bukan hubungan dominasi
dengan menggunakan kekuasaan. Untuk mendapatkan kekuatan sosial yaitu
dengan cara melalui perjuangan politik dan ideologi. Hegemoni tidak pernah
diperoleh begitu saja, tetapi harus selalu diperjuangkan. Hal ini jelas menuntut
kegigihan yang tinggi dari kelas penguasa untuk mempertahankan dan
memperkuat otoritas sosial dalam berbagai kekuatan sosial (Roger Simon,
2000:19-20).
Menurut Habermas yang dikutip oleh Zainuddin Maliki (2004: 25-26),
penguasa diberi hak oleh publik dalam menjalankan kekuasaan dan bahkan
dominasi, baik melalui kekerasan maupun legitimasi. Namun, dominasi bisa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
terjadi ketika seorang penguasa memaksakan kehendaknya pada pihak lain dengan
memberi pandangan bahwa tindakan itu benar. Penguasa membungkus kekerasan
dengan memanipulasi sentimen masyarakat dan memberikan justifikasi politik
dengan menggunakan ideologi tertentu.
Dalam kekerasan masyarakat terdapat juga faktor politik yang kemudian
mengakibatkan terjadinya kekerasan masyarakat berlatar politik. Pada dasarnya,
kekerasan masyarakat adalah kekerasan yang dilakukan kelompok masyarakat
akibat ketidakadilan, penindasan, represi yang dialami oleh kelompok masyarakat.
Kekerasan politik terjadi karena diterapkannya sistem politik kekerasan di
masyarakat yang dipelopori oleh negara atau pemerintah ke dalam sistem
pelaksanaan pemerintahan. Ada kaitan yang erat antara kekerasan politik dan
sistem pemerintahan yang diterapkan atau dianut oleh suatu negara. Di situ
sebenarnya terdapat kaitan langsung antara partisipasi, stabilitas, dan kekerasan (I
Ngurah Suryawan, 2010: 18).
Kekerasan politik sering dilakukan oleh pemerintah dalam bentuk
psikologis. Kekerasan politik ini berbentuk indoktrinasi, ancaman, tekanan, dan
pembatasan informasi. Kekerasan oleh negara dan aparaturnya terjadi untuk
kepentingan mempertahankan kekuasaan atau kepentingan ideologis negara.
Pemerintah menganggap dirinya mempunyai hak untuk menempuh cara kekerasan
apabila ada yang mengganggu integrasi dan ideologi bangsa. Ketika bermunculan
dokumen-dokumen yang didasari semangat keagamaan, yang kebanyakan dibuat
oleh para ulama di Surakarta, dokumen-dokumen tersebut berisi mengenai ajakan
untuk menggulingkan dan mengusir “orang-orang kafir” yang dipimpin oleh
pemimpin yang berkharisma. Di Jawa, bangkit pemberontakan lokal yang
periodik, di bawah pimpinan seseorang yang fanatik yang memakai simbol Ratu
Adil. Selama abad ke-19, gerakan-gerakan bertambah kuat, mengikuti makin
mendalamnya pengaruh Islam pada penduduk pedesaan Jawa. Pemberontakan-
pemberontakan dengan menggunakan simbol keagamaan ini, pada umumnya
merupakan pernyataan dari ketidakpuasannya pada pemerintah ko lonial Belanda
(Taufik Abdullah, 1987: 59).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Gasasan politik sepenuhnya berpusat pada hubungan kekuasaan dan
kepentingan. Politik Islam merupakan Islam digunakan sebagai alat politik untuk
memperoleh legitimasi kekuasaan, karena Islam dianggap dapat mengatasi
berbagai persoalan sosial, politik, ekonomi, dan budaya, serta dapat digunakan
untuk mendapatkan basis massa yang banyak (Hermanu, 2010: 81). Penggunaan
Islam sebagai alat politik adalah untuk menumbuhkan harapan dan semangat
masyarakat yang tertindas secara politis maupun ekonomi.
Menurut Snouck Hurgronje bahwa agama Islam mempunyai potensi
menguasai seluruh kehidupan umatnya, baik dalam segi sosial maupun politik.
Pemikirannya berdasarkan pengetahuan dan pengalamannya yang menjadi
landasan dasar doktrin bahwa “musuh kolonialisme bukanlah Islam sebagai
agama, melainkan Islam sebagai doktrin politik”.
Islam bukanlah semata agama (a religion), namun juga merupakan sebuah
sistem politik (a political system). Meskipun pada dekade-dekade terakhir ada
beberapa kalangan dari umat Islam, yang mengklaim diri mereka sebagai
kalangan „modernis‟, yang berusaha memisahkan kedua sisi itu, namun seluruh
gugusan pemikiran Islam dibangun di atas fundamental bahwa kedua sisi itu
saling bergandengan dengan selaras, yang tidak dapat dapat dipisahkan satu sama
lain” (Aqib Suminto, 1986:11-12).
Gerakan politik Islam dapat dilakukan dengan kerja sama antara ulama,
kaum intelektual, dan pengusaha Muslim untuk menciptakan perubahan sosial,
ekonomi, dan politik. Selain itu, juga melalui tumbuhnya organisasi sosial dan
organisasi politik di Surakarta.
3. Marginalisasi Masyarakat Islam
a. Pengertian Marginalisasi
Marginalisasi disebut juga keterasingan. Masyarakat dengan peradaban
buatannya mengasingkan manusia dari hakikatnya yang alamiah. Untuk
mengakhiri keterasingan itu merupakan proses emansipasi: manusia harus
membebaskan diri dari masyarakat dan pemerintahan yang menekan. Menurut
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Marx yang dikutip oleh Franz Magnis (1988:261) manusia mencari suatu realitas
khayalan dalam agama untuk mendapat pengakuan dan penghargaan, karena
keadaan masyarakat tidak mengizinkan individu untuk merealisasikan
kepercayaannya secara sungguh-sungguh.
Alienisasi atau dalam Bahasa Indonesia bisa diartikan menjadi proses
menuju keterasingan, adalah teori yang dikeluarkan oleh Karl Marx tentang
munculnya sebuah keadaan dimana buruh atau proletar mendapatkan sebuah
keadaan yang terasing dari kehidupannya. Ia percaya bahwa Alienisasi adalah
hasil dari eksploitasi Kapitalisme terhadap buruh dengan mengartikannya sebagai
modal. Konsep Keterasingan buatan Marx berasal dari fakta ekonomi yang ada di
masanya. Hal ini tertulis dalam karyanya Das Kapital dan terbesit dalam karya-
karyanya yang lain. Sebenarnya Marx sendiri mengurangi penggunaan kata
alienisasi atau keterasingan dalam karya-karya di fase kedua hidupnya. Hal ini
dikarenakan Marx tidak mau kata ini berkurang nilainya, sebagai akibat dari
banyaknya para filsuf sejaman Marx yang menggunakan kata tersebut sebagai
konsep mereka yang sebenarnya jauh dari yang dimaksud o leh Marx (Anthony
Giddens, 1986:12).
Keterasingan terjadi jika semakin banyaknya modal terkumpul untuk
Kapitalis, dan semakin miskin pula buruh akibat dari hasil eksploitasi kapitalis.
Artinya kapitalis menimbun banyak harta yang sebenarnya merupakan Nilai Lebih
barang yang telah diciptakan buruh. Karena buruh tidak memiliki kekuasaan
untuk menjual barang tersebut seperti layaknya yang dilakukan kapitalis, maka
kapitalis yang memiliki hak untuk menjual barang tersebut yang akan mendapat
nilai lebih tersebut. Jika nilai lebih ini diakumulasikan dengan apa yang di dapat
buruh (gaji), akan memunculkan variabel yang berbalik. Buruh akan menjadi
lebih murah atau tak berharga saat nilai lebih dari barang-barang yang dia buat
jauh lebih tinggi dan tidak sepadan dengan nilai yang ia dapat. Hal tersebut akan
memunculkan keadaan yang disebut Karl Marx sebagai obyektivikasi atau bisa
dibilang buruh dijadikan obyek dalam satuan modal di mata kapitalis, bukan
sebagai subyek atau pencipta benda. Pengendalian kapitalis terhadap apa yang
diciptakan buruh dan keadaan sistem kemasyarakatan yang tidak mendukungnya
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
akan memunculkan sebuah kekuatan eksternal yang memaksanya. Kekuatan
tersebut seakan-akan (bagi buruh) memusuhinya. Artinya, sebagai barang modal
milik kapitalis, buruh tak lain dianggap sebagai budak dan bisa dipakai oleh
kapitalis asal dalam batas-batas perjanjian atas buruh dan majikan yang pro-
keuntungan majikan dan bukan perjanjian yang seimbang, sering ini menjadi
sebagai perangkap kerja buat buruh karena buruh yang tak punya pilihan lain
selain menerima perjanjian tersebut. Dengan kata lain, produk kerja dari kaum
buruh tidak menjadi kepunyaannya dan bersifat eksternal.
Pandangan tentang alienisasi tak lepas dari kritik Karl Marx terhadap
Ludwig Feuerbach, seorang filsuf di eranya. Namun Marx berfikir justru lebih
konkrit dari pada Feuerbach. Ada beberapa dimensi utama dari pembaharuan
Marx tentang keterasingan (Anthony Giddens, 1986:14-15).
1. Buruh tidak mempunyai kuasa untuk memasarkan produk-produknya,
dikarenakan itu akan menjadi hak kapitalis, sehingga dia tidak akan menarik
keuntungan dari produk tersebut. Dalam prinsip ekonomi pasar bahwa produk
yang dipertukarkan akan diawasi oleh pasar. Bahkan buruh juga menjadi sebuah
komoditi yang diperjualkan di pasaran dan tidak bisa mengatur sendir i nasib
benda yang ia produksi.
2. Buruh terasing dengan pekerjaannya sendiri. Tugas kerja tidak memberi
kepuasan hati yang hakiki, yang mana buruh tidak diberi kesempatan untuk
mengatur keadaan fisik atau batin dirinya sendiri sebab dikuasai oleh kekuatan
eksternalnya.
3. Pola hubungan sosial membawa buruh menjadi terasing secara langsung
dari percabangan-percabangan sosial. Dalam hal ini hubungan masyarakat
cenderung disederhanakan menjadi kegiatan-kegiatan pasar. Uang meningkatkan
rasionalisasi pola hubungan sosial, karena ia menjadi standar abstrak dalam
pengertian bahwa sifat-sifat yang paling heterogen dapat dibandingkan dan
ditukarkan.
4. Manusia hidup dalam hubungan aktif dengan alam yang merupakan
ekspresi dan hasil hubunganya dan menjadi pembeda antara manusia dengan
hewan. Pekerjaan yang terasing lebih menurunkan kegiatan produktif manusia ke
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tingkat adaptasi pada alam, layaknya hewan. Padahal yang membedakan antara
keduanya adalah sikap kecakapan mereka dalam mengarungi hidup.
Dalam keagamaan, Marx menganggap bahwa keterasingan bisa diciptakan
dalam fase kepercayaan manusia atas fantasi ketuhanan mereka. Marx
menganggap bahwa agama adalah sebuah candu yang akan memberi pengaruh
fantasi akan hari depan sebagai sebuah harapan subsitusi kehidupannya saat ini.
Agama juga kadang-kadang sebagai alasan suatu gerakan eksploitasi masyarakat
yang menyudutkan gerakan buruh memihak hak-hak kerjanya. Memang beberapa
pemuka agama melakukan hal-hal tersebut, inilah yang membuat orang-orang
kepercayaan dan mengkhianati kepercayaan para buruh ini menjadi ular berkepala
dua guna mendapatkan keuntungan pribadinya. Namun, gerakan kaum agama
yang mendukung buruhpun juga terhitung. Merekalah yang mencoba untuk
mengembalikan pemikiran masyarakat dan dengan ajaran mereka, buruh atau
siapapun yang terbilang proletar tidak perlu mengkhawatirkan agama hanya akan
menjadi fantasi subsitusi mereka melainkan sebagai sebuah gerakan yang akan
membuat mereka lebih baik dan punya nilai lebih perundingan di hadapan
majikan (Anthony Giddens, 1986:12-16).
b. Pengertian Masyarakat Islam
Masyarakat adalah alat manusia yang sengaja diciptakan guna
mengimbangi kelemahan manusia dan memperbesar peluang-peluangnya untuk
mempertahankan hidup. Ada tiga alasan utama mengapa manusia bersatu untuk
hidup bersama dalam sebuah kelompok yang disebut masyarakat, antara lain (1)
alasan ekonomi, yaitu alasan untuk saling menolong secara ekonomis yang hasil-
hasilnya dibentengi oleh konsekuensi-konsekuensi yang ditimbulkan oleh
pembagian kerja, (2) alasan keamanan, oleh karena manusia berkumpul atau
berkelompok di kota-kota untuk mempertahankan diri dari serangan musuh, (3)
alasan otoritas, karena kebutuhan otoritas manusia yang mampu mempertahankan
daerah-daerah perbatasannya (Zainal Abidin, 2002:33).
Masyarakat tidak lebih dari sekumpulan individu dan keluarga. Upaya
memperbaiki masyarakat harus dilakukan dengan mengadakan perubahan pada
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
individu dengan harapan banyak orang yang mulai bergabung dengan kegiatan
mereka, kemudian situasi akan menjadi lebih baik. Menurut Salim Frederick
(2001:3) masyarakat terdiri atas individu yang di dalamnya terdapat tiga
komponen berikutnya, yang menentukan hubungan antar masing-masing individu
tersebut, yaitu :
1. Pemikiran-pemikiran yang paling berpengaruh yang diemban masyarakat
2. Perasaan-perasaan yang paling berpengaruh yang diemban oleh
masyarakat
3. Sistem pemerintahan yang berkuasa
Ketiga hal inilah yang membentuk ikatan umum antarindividu dalam
masyarakat. Masyarakat Islam adalah kelompok manusia yang mempunyai
kebiasaan, tradisi, sikap dan perasaan persatuan yang diikat oleh kesamaan agama,
yakni agama Islam. Menurut Faisal Ismail yang dikutip oleh M. Dawam Rahardjo
(1985: 23) bahwa Islam adalah wahyu yang diturunkan Tuhan dengan cara
mewahyukannya kepada Nabi.
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang taat dalam menerapkan ajaran
Islam, baik keyakinan dan ibadahnya, syariat dan sistemnya, akhlak dan
prilakunya, atau dengan kata lain masyrakat rabbani (berketuhanan), Insani
(berperikemanusiaan), berakhlak dan seimbang. Karena itu masyarakat Islam
adalah masyarakat yang taat, yang memiliki karakteristik dan sifat tersendiri dari
yang lainnya, masyarakat yang istimewa dari segi ideologinya, nilai-nilainya,
akhlaknya, undang-undangnya, sistem hidupnya, perilakunya dan adat istiadatnya
(http://www.al- ikhwan.net/karakteristik-masyarakat- islam-dalam-surat-al-ahzab-
kajian-tematik-257/).
Dalam kajian sosiologi, masyarakat Islam dibedakan dari segi identitas
keagamaan masyarakat serta tradisi agama Islam yang hidup dan berkembang
dalam masyarakat (Zainal Abidin, 2002:47). Marginalisasi masyarakat disebabkan
oleh kepemilikan hak milik penguasa atas tanah dan tenaga kerja. Namun, pemilik
modallah yang menguasai perekonomian.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Diskriminasi masyarakat Muslim terlihat dalam, keterbelakangan dan
kebodohan umat Muslim di hamper semua segi kehidupan, kondisi politik yang
dihadapi masyarakat Islam memaksa mereka berada dalam keterbelakangan,
sistem pendidikan yang diperoleh anaak-anak Muslim hanya mengandalkan pada
pendidikan non-formal (pesantren). Hal tersebut dikarenakan oleh :
1. Pemerintah kolonial memberikan monopoli penyelenggaraan pendidikan
formal kepada Zending dan Missi
2. Sekolah-sekolah umum yang dikelola Zending dan Missi lebih
mengutamakan anak-anak pangreh praja
3. Ketakutan pemerintah kolonial menganggap ideologi Islam berseberangan
dengan kepentingan kapitalisme Belanda
Akibat adanya tekanan-tekanan sosial, ekonomi, dan politik yang
dilakukan oleh pemerintah kolonial, maka terjadilah diskriminasi, yang
memunculkan gerakan perlawanan, yang menggunakan Islam sebagai landasan
dalam menghadapi pemerintah kolonial.
4. Konflik
a. Pengertian Konflik
Konflik merupakan suatu kondisi pertentangan dari dua kepentingan, yang
antara keduanya saling memperebutkan, bahkan saling bertabrakan dan
berlawanan. Konflik sebagai suatu proses sosial di mana dua orang atau kelompok
berusaha menyingkirkan pihak lain dengan jalan menghancurkannya atau
membuatnya tidak berdaya. Istilah konflik sering diartikan “suatu proses
pencapaian tujuan dengan cara melemahkan pihak lawan tanpa memperhatikan
norma dan nilai yang berlaku. Clinton F dalam Kartini Kartono (2005: 246)
mendefinisikan konflik sebagai interaksi yang antagonistis mencakup tingkah laku
lahiriah yang tampak jelas, mulai dari bentuk-bentuk perlawanan halus terkontrol,
tersembunyi, sampai pada bentuk perlawanan terbuka, kekerasan perjuangan tidak
terkontrol, benturan laten, pemogokan, huru hara, gerilya, dan perang.
Konflik pada dasarnya adalah usaha yang disengaja untuk menentang,
melawan atau memaksa kehendak terhadap orang lain. Bentuk-bentuk konflik
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yaitu, pertama, bentuk konflik teringan yaitu perbedaan pendapat dan jika dikelola
dengan baik akan memberikan manfaat pada masyarakat. Kedua, unjuk rasa
demonstrasi yang non-kekerasan, yang muncul apabila tidak dapat diselesaikan
dengan proses negosiasi. Ketiga, serangan bersenjata, merupakan bentuk konflik
yang tertinggi (Abu Ahmadi, 1975:93).
b. Faktor penyebab terjadinya konflik
1) Komunikasi, bahasa yang sulit dimengerti atau informasi yang tidak
lengkap
2) Manusia dan pelakunya, gaya kepemimpinan, sistem nilai, ambisi
3) Adanya kepentingan yang bertentangan, terutama kepentingan ekonomi
dan sering juga karena perebutan kekuasaan dan kedudukan (Abu Ahmadi,
1975:93).
Melihat faktor penyebab tersebut, konflik dalam gerakan radikalisme di
Surakarta 1850-1920 ini disebabkan oleh adanya kepentingan yang bertentangan,
terutama kepentingan ekonomi dan sosial. Pemerintah Belanda menerapkan
kebijakan-kebijakannya yang merugikan masyarakat pribumi baik bagi
masyarakat pedesaan maupun elit istana, sedangkan kehidupan masyarakat sangat
memprihatinkan dengan adanya eksploitasi oleh pemerintah kolonial.
c. Penyelesaian konflik
1) Konsolidasi, dengan mempertemukan pihak-pihak yang berselisih guna
mencapai persetujuan bersama untuk berdamai
2) Mediasi, dengan menggunakan mediator
3) Arbitrasi, melalui pengadilan dengan seorang hakim sebagai pengambil
keputusan
4) Paksaan, dengan menggunakan paksaan fisik atau psikologis (Awani
Irewati, 2001:25)
Dalam penanganan gerakan radikal, ada beberapa penyelesaian yang
dilakukan secara paksaan, antara lain sebagai berikut (Suhartono, 1991: 92-93) :
1. Perlawanan terhadap para penguasa, kebanyakan para pemimpin dan
pengikut gerakan akan mendapat hukuman yaitu dibuang ke luar Jawa,
meskipun itu masih anggota di kerajaan sendiri.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Residen membentuk sebuah asisten residen di beberapa wilayah kekuasaan
residen, hal ini dilakukan untuk mempermudah pengawasan.
3. Pemerintah kolonial ataupun kerajaan selalu menggunakan cara kekerasan
dalam penyelesaian gerakan protes, dengan menumpas gerakan yang
radikal menggunakan pasukan bersenjata.
Pada tanggal 25 Desember 1868 di Solo, ada artikel yang menyebutkan
bahwa seorang anak yang buta, yang ayahnya seorang mantri mengaku dirinya
sebagai Imam Mahdi, kemudian J.P. Zoetelief menahan anak itu dan ayahnya.
Para ulama yang dirasa berpotensi melakukan suatu gerakan, dilakukan
penangkapan oleh polisi (Houben, 2002:457). Bentuk represi politik pun
diwujudkan dengan diberlakukannya sistem politik Beamtenstaat, yaitu struktur
birokrasi pemerintah kolonial diurusi oleh pegawai pemerintah, dan didukung
oleh dinas polisi rahasia untuk memapankan birokrasi itu sendiri, serta
mengisolasi gerakan perlawanan berlandaskan pada ideologi Islam (Hermanu,
2010:XIV). Sehingga aktivitas-aktivitas organisasi dan perkumpulan yang
dimotori oleh kaum intelektual dibatasi, bahkan diilegalkan untuk membuat suatu
organisasi, karena untuk membatasi aktivitas politik pribumi yang mengarah pada
nasionalisme.
A. Kerangka Berpikir
×
×
Periferal
Intelektual Gerakan
Radikal
Semi
Periferal
Politik
Ekonomi
Marginalisasi
Masyarakat
Muslim
Sosial
Ulama
Elit Istana
Pemerintah
Kolonial
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Keterangan :
Di wilayah Surakarta diterapkan sistem penyewaan tanah. Para pengusaha
swasta menyewa tanah dari para abdi dalem dan raja sendiri, untuk ditanami
berbagai tanaman komersial yang sama dengan yang diperintahkan oleh
pemerintah Hindia Belanda dalam Tanam Paksa. Keadaan tersebut telah
mengubah cara pemanfaatan faktor-faktor produksi tanah dan tenaga kerja, serta
stratifikasi sosial di masyarakat Surakarta. Sementara itu, jumlah petani yang
tidak memiliki tanah menjadi semakin besar, dan monetisasi menjadi ciri penting
dalam ekonomi desa. Para penyewa juga memanfaatkan birokrasi lokal untuk
memudahkan mendapatkan tenaga kerja yang cukup dan murah (Houben,
2002:ix).
Keberadaan para pengusaha swasta itu ternyata tidak hanya berdampak
terhadap kehidupan sosial dan ekonomi, tetapi juga pada kehidupan politik. Para
pengusaha perkebunan itu menjadi kelompok pendukung utama kebijakan politik
ekspansif kolonial, karena sebagian dari para pengusaha perkebunan adalah para
bekas pejabat pemerintah kolonial beserta keluarganya, dan memungkinkan
mereka memanfaatkan birokrasi kolonial untuk menentukan kebijakan penguasa
lokal yang dapat terus menguntungkan mereka. Kondisi tersebut semakin
diperburuk dengan semakin banyaknya para elite politik lokal di Surakarta yang
terjebak dalam hutang, sehingga semakin tergantung pada penyewa tanah.
Eksploitasi tanah dan tenaga kerja untuk pasar Eropa telah membuat masyarakat
di Surakarta menderita, dan penetrasi ekonomi, sosial, dan politik mengakibatkan
runtuhnya tata kehidupan tradisional dan kemiskinan struktural.
Muncul gerakan periferal dan semiperiferal, gerakan periferal merupakan
perlawanan yang muncul di luar lingkungan keraton, gerakan-gerakan ini bersifat
lokal dan berlangsung singkat karena gerakan-gerakan itu muncul dari protes-
protes sosial-ekonomi yang konkret, sedangkan gerakan semiperiferal adalah
perlawanan yang berada di daerah-daerah perbatasan dan memiliki kaitan dengan
keraton. Gerakan-gerakan tersebut dipimpin orang yang kharismatis dan memiliki
pengikut-pengikut yang setia, dan menggunakan tulisan-tulisan yang sifatnya
menghasut untuk mengajak rakyat memberontak. Dalam gerakan periferal, para
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pejabat lokal dan elit-elit agama memainkan peranan utama, sedangkan para
pemimpin gerakan semiperiferal yaitu para anggota elit istana sendiri yang
menjadi simbol-simbol perlawanan di pusat kerajaan (Houben, 2002:491).
Di abad 19, gerakan-gerakan perlawanan terhadap kolonialisme bersifat
messianis, di mana para pemimpin gerakan berperan besar dalam memprovokatori
pemberontakan, yang mengumandangkan untuk melawan kekafiran. Sedangkan di
awal abad 20, lebih bersifat politis, di mana muncul kaum inte lektual dan
organisasi politik, seperti SI dan Insulinde yang merupakan organisasi politik
kebangsaan yang berpengaruh besar.
Kaum intelektual merupakan semua orang yang mempunyai fungsi
sebagai organisator dalam semua lapisan masyarakat, dalam wilayah produksi
sebagaimana dalam wilayah politik dan kebudayaan (Roger Simon, 2000:141).
Salah satunya adalah sekelompok aktivis politik yang selama beberapa tahun telah
merencanakan sebuah gerakan nasionalis baru yang didasarkan pada Islam.
Tujuan mereka adalah menciptakan suatu gerakan massa yang sadar politik, dan
kemudian bersama gerakan ini mengadakan konfrontasi dengan pemerintah
Hindia Belanda dari suatu posisi yang kuat, dan dengan demikian akan dapat
memaksakan konsesi-konsesi. Diharapkan melalui organisasi dan kebijakan yang
dibuat akan dapat menjadi pendorong rasa kebangsaan bagi rakyat pribumi. Di
Surakarta- lah muncul gerakan-gerakan radikal yang dipimpin baik ulama atau
bangsawan yang berseberangan dengan pemerintah, baik dari segi politik maupun
ekonomi-sosial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu Penelitian
1. Tempat Penelitian
Dalam penelitian yang berjudul "Radikalisme Muslim Di Surakarta, 1850-
1920", dilaksanakan penelitian dengan teknik pengumpulan data melalui berbagai
sumber, baik sumber primer maupun sekunder. Sumber yang digunakan untuk
melaksanakan penelitian ini terdapat di perpustakaan :
a. Program Studi Pendidikan Sejarah Jurusan PIPS FKIP Universitas Sebelas
Maret Surakarta.
b. Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
c. Pusat Universitas Sebelas Maret Surakarta.
d. Rekso Pustaka Mangkunegaran.
e. Monumen Pers Surakarta.
Selain itu, juga menggunakan situs internet untuk menambah sumber guna
penelitian ini.
2. Waktu Penelitian
Waktu yang digunakan untuk penelitian ini adalah sejak pengajuan judul
skripsi yaitu bulan Juli 2010 sampai dengan bulan Maret 2011. Adapun kegiatan
yang dilakukan dalam jangka waktu penelitian tersebut adalah mengumpulkan
sumber, melakukan kritik untuk menyelidiki keabsahan sumber, menetapkan
makna yang saling berhubungan dari fakta-fakta yang diperoleh dan terakhir
menyusun laporan hasil penelitian.
B. Metode Penelitian
Kata metode berasal dari bahasa Yunani, yaitu methodos yang berarti cara
atau jalan. Sehubungan dengan karya ilmiah, maka metode menyangkut masalah
26
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
cara kerja, yaitu cara kerja untuk memahami obyek yang menjadi sasaran ilmu
yang bersangkutan (Koentjaraningrat, 1977: 16). Gilbert J. Garraghan yang
dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 43) mengemukakan bahwa metode
penelitian sejarah adalah seperangkat aturan dan prinsip sistematis untuk
mengumpulkan sumber-sumber sejarah secara efektif, menilai secara kritis, dan
mengajukan sintesis dari hasil-hasil yang dicapai dalam bentuk tertulis.
Metode dapat didefinisikan sebagai cara, jalan, dan teknik yang ditempuh
sehubungan dengan penelitian yang dilakukan, yang memiliki langkah- langkah
sistematis. Berdasarkan permasalahan yang hendak dikaji serta tujuan yang akan
dicapai, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis.
Pemilihan metode historis didasarkan pada pokok permasalahan yang dikaji yaitu
peristiwa masa lampau, untuk direkonstruksikan menjadi cerita sejarah melalui
langkah atau metode historis. Dengan demikian metode historis merupakan
langkah (cara) ilmiah yang tepat untuk digunakan dalam penelitian ini. Tujuan
penelitian historis adalah untuk membuat rekonstruksi masa lampau secara
sistematis dan objektif (Sumadi S, 1992: 16).
Penyelidikan yang mempergunakan metode historis adalah penyelidikan
yang mengaplikasikan metode pemecahan yang ilmiah dari perspektif historis.
Metode historis merupakan sebuah proses yang meliputi pengumpulan dan
penafsiran gejala, peristiwa ataupun gagasan yang timbul di masa lampau, untuk
menemukan generalisasi yang berguna dalam usaha untuk memahami kenyataan-
kenyataan sejarah, malahan yang juga dapat berguna untuk memahami situasi
sekarang dan meramalkan perkembangan yang akan datang (Winarno S,
1982:132).
Pada umumnya metode historis berlangsung menurut pola sebagai berikut:
1) pengumpulan data, 2) penilaian data, 3) penafsiran data, 4) penyimpulan
(Winarno S, 1982:133). Penelitian dengan metode historis merupakan metode
kritis terhadap keadaan-keadaan dan perkembangan, serta pengalaman masa
lampau dan menimbang secara teliti dan hati-hati terhadap validitas sumber-
sumber sejarah agar fakta yang diperoleh bersifat obyektif.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Berbagai uraian di atas dapat disimpulkan bahwa metode historis adalah
suatu kegiatan mengumpulkan, mengkaji, menganalisis, dan menafsirkan gejala-
gejala atau peristiwa masa lampau yang secara imajinasi didasarkan dari data yang
diperoleh serta menyertakan suatu sintesa hasil yang dicapai dalam penulisan
sejarah sehingga membentuk suatu historiografi.
Penelitian ini menggunakan metode historis karena substansi tema
penelitian ini tentang peristiwa masa lampau, maka metode historis dipergunakan
dengan alasan penelitian ini bertujuan untuk merekonstruksi radikalisme Muslim
di Surakarta tahun 1850-1920, dan tahun tersebut tersebut menjadi dasar
penelitian historis. Kegelisahan masyarakat bawah yang terjadi di abad XIX dan
awal abad XX, yaitu antara tahun 1850-1920, yang dimanifestasikan dari
munculnya gerakan-gerakan keagamaan. Walaupun di setiap daerah berbeda
macam gerakannya, namun selama bagian pertama abad XIX dari tahun ke tahun
mengalami kerusuhan dan setiap tiga tahun pemberontakan yang luas.
C. Sumber Data
Sumber data sering disebut juga data sejarah. Menurut Kuntowijoyo
(1995: 94) perkataan ”data” merupakan bentuk jamak dari kata tunggal datum
(bahasa latin) yang berarti pemberitaan. Menurut Dudung Abdurrachman (1999:
30) data sejarah merupakan bahan sejarah yang memerlukan pengolahan,
penyeleksian, dan pengkategorian. Menurut Helius Syamsuddin dan Ismaun
(1996: 61) sumber sejarah ialah bahan-bahan yang dapat digunakan untuk
mengumpulkan informasi tentang peristiwa yang terjadi pada masa lampau.
Sehubungan dengan hal tersebut maka sumber sejarah dapat berupa lisan,
tertulis ataupun benda-benda sejarah. Sumber sejarah dapat dibedakan menjadi
sumber primer dan sumber sekunder. Sumber primer dalam penelitian sejarah
adalah sumber asli atau sumber tangan pertama dari pelaku sejarah. Sedangkan
sumber sekunder berisi data dari tangan kedua atau dari tangan kesekian (Winarno
S, 1982: 163). Louis Gottschalk (1975: 17) berpendapat bahwa penelitian historis
tergantung kepada dua macam data, yaitu data primer dan sekunder. Data primer
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
diperoleh dari sumber primer, yaitu peneliti secara langsung melakukan observasi
atau penyaksian yang dituliskan pada waktu peristiwa terjadi. Data sekunder
diperoleh dari sumber sekunder, yaitu penulis melaporkan hasil observasi orang
lain yang satu kali atau lebih lepas dari aslinya. Di antara kedua sumber tersebut,
sumber primer dipandang memiliki otentisitas sebagai bukti tangan pertama dan
diberi prioritas dalam pengumpulan data. Karena terhadap data yang berasal dari
sumber-sumber sekunder senantiasa perlu lebih dahulu diadakan penelitian
mengenai isi dan keasliannya dapat dijamin untuk dipergunakan sebagai data,
misalnya dengan menerapkan cara kritik intern dan kritik ekstern.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah sumber data
primer dan sumber data sekunder. Sumber data primer tersebut di antaranya :
Rapport Omtrent het gebeurde te “Srikaton” op den 11den en 12den October
1888, yaitu laporan mengenai peristiwa pendudukan Pasanggrahan Srikaton oleh
beberapa puluh pemberontak, yang berakhir dengan tewasnya 7 orang dari
mereka. Selanjutnya, Memori van Overgave, Opgemaakt door den Aftredenden
Residen van Surakarta, tahun 1914, merupakan sebuah catatan di Solo tahun
1909-1914, mengenai catatan pada serah terima jabatan yang d ibuat oleh Residen
Surakarta G. F. Van Wijk.
Adapun sumber sekunder yang digunakan di dalam penelitian ini berupa
buku-buku literatur, maupun jurnal-jurnal ilmiah yang relevan dengan penelitian.
Sumber data sekunder yang digunakan seperti buku karangan Vincent J. H.
Houben, 1994 yang berjudul Keraton dan Kompeni Surakarta dan Yogyakarta
1830-1870, Takashi Shiraisi, 1997 yang berjudul Zaman Bergerak: Radikalisme
Rakyat Di Jawa 1912-1926, Gerakan Moderen Islam Di Indonesia 1900-1942,
1980 penulis Deliar Noer, penulis Djoko Suryo, 2005 Tradisi Santri Dalam
Historiografi Jawa: Pengaruh Islam Di Pesisir Utara Jawa.
Berdasarkan uraian di atas, pengumpulan data dalam penelitian ini
digunakan teknik kepustakaan atau studi pustaka, yaitu melakukan pengumpulan
data tertulis dengan menggali data dari buku-buku,surat kabar dan bentuk pustaka
lainnya. Sumber-sumber ini diperoleh melalui kunjungan pustaka, analisis dan
lain- lain.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
D. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian historis, pengumpulan data dinamakan heuristik.
Berdasarkan data yang digunakan dalam penelitian ini, maka dalam pengumpulan
data dilakukan melalui studi pustaka. Menurut Koenjaraningrat (1986: 36), bahwa
keuntungan dari studi pustaka ada empat hal, yaitu: (1) memperdalam kerangka
teoritis yang digunakan sebagai landasan pemikiran, (2) memperdalam
pengetahuan akan masalah yang diteliti, (3) mempertajam konsep yang digunakan
sehingga memperdalam dalam perumusan, (4) menghindari terjadinya
pengulangan suatu penelitian.
Menurut Hermawan Wasito (1993:100-101), mengemukakan bahwa
catatan-catatan dalam pengumpulan data ada dua bentuk, yaitu kutipan langsung
dan kutipan tidak langsung. Kutipan langsung ditulis persis sama dengan aslinya
(baik kata, ejaan, maupun tanda bacanya). Kutipan semacam ini biasanya
diperlukan untuk mengutip: surat keputusan, rumus, peraturan hukum, definisi,
dsb. Sedangkan kutipan tidak langsung merupakan uraian penulis (dengan kata-
kata sendiri) berdasarkan pendapat atau hasil karya penulis lain.
Kutipan bermaksud menekankan, mempertentangkan, membandingkan,
menjelaskan, ataupun membuktikan suatu aspek. Untuk setiap kutipan itu, perlu
dijelaskan sumbernya dengan teliti, dan penjelasan ini dengan sendirinya menjadi
catatan. Dalam penulisan ini, digunakan kedua kutipan di atas untuk menunjang
penulisan tersebut dan pertanggungjawaban terhadap kebenaran isi tulisan.
Kutipan langsung, seperti digunakan untuk mengutip surat dari PB VI yang
menuntut konsesi terhadap pemerintah Belanda. Sedangkan kutipan tidak
langsung, seperti digunakan untuk mengutip tulisan dari sumber-sumber sekunder,
misalnya buku ”Gerakan Moderen Islam Di Indonesia 1900-1942”, 1980 penulis
Deliar Noer.
Dalam penelitian ini, teknik pengumpulan data melalui studi pustaka yang
dilakukan terhadap arsip, buku, majalah, surat kabar yang terbit pada masa itu
atau yang terbit kemudian. Bahan ini dapat digunakan untuk menjelaskan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
peristiwa yang diteliti. Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini
dilaksanakan sebagai berikut:
a. Mengumpulkan sumber primer dan sekunder yang berupa buku-buku
literatur dengan tema Radikalisme Muslim Di Surakarta 1850-1920 yang
tersimpan di beberapa perpustakaan.
b. Membaca, mencatat, meminjam dan memfotokopi buku-buku literatur
karangan sejarawan yang dianggap penting dan relevan dengan tema
penelitian yang tersimpan di perpustakaan berdasarkan periodisasi waktu
atau secara kronologis.
c. Mengumpulkan data yang telah diperoleh dari perpustakaan untuk
digunakan dalam menyusun karya ilmiah.
E. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini, teknik analisis data yang dipergunakan adalah teknik
analisis historis. Tujuan analisis data adalah untuk menyederhanakan, sehingga
mudah ditafsirkan. Menurut Kuntowijoyo yang dikutip oleh Dudung
Abdurrahman (1999: 64), interpretasi atau penafsiran sejarah seringkali disebut
dengan analisis sejarah. Analisis sendiri berarti menguraikan, dan secara
terminologis berbeda dengan sintesis yang berarti menyatukan. Analisis dan
sintesis, dipandang sebagai metode-metode utama dalam interpretasi. Menurut
Helius Syamsuddin (1996: 89) teknik analisis data historis adalah analisis data
sejarah yang menggunakan kritik sumber sebagai metode untuk menilai sumber-
sumber yang digunakan dalam penulisan sejarah.
Menurut Berkhofer yang dikutip oleh Dudung Abdurrahman (1999: 64),
analisis sejarah bertujuan melakukan sintesis atas sejumlah fakta yang diperoleh
dari sumber-sumber sejarah dan bersama-sama dilakukan analisis teori melalui
suatu interpretasi sehingga menghasilkan fakta sejarah. Menurut Sartono
Kartodirdjo (1992: 2) analisis sejarah ialah menyediakan suatu kerangka
pemikiran atau kerangka referensi yang mencakup berbagai konsep dan teori yang
akan dipakai dalam membuat analisis itu. Data yang telah diperoleh
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
diinterpretasikan, dianalisis isinya dan analisis data harus berpijak pada kerangka
teori yang dipakai sehingga menghasilkan fakta-fakta yang relevan dengan
penelitian.
Setelah data selesai dianalisis, kegiatan yang harus dilakukan adalah
menafsirkan hasil analisis tersebut. Penafsiran hasil analisis ini bertujuan untuk
menarik kesimpulan penelitian yang telah dilaksanakan. Penarikan kesimpulan ini
dilakukan dengan cara membandingkan hipotesis yang telah dirumuskan dengan
hasil analisis yang didapat. Dengan demikian, akhirnya memperoleh kesimpulan
pokok, yaitu menerima atau menolak hipotesis yang telah dirumuskan. Dalam
melaksanakan penafsiran ini, perlu diperiksa kembali langkah- langkah yang telah
dilaksanakan dalam penelitian. Langkah ini berguna untuk melihat kesahihan hasil
penafsiran. Apabila semua langkah penelitian telah dilakukan dengan tepat,
kesahihan hasil penafsiran dapat dijamin dan hasil penelitian dapat digunakan
untuk keperluan pemecahan masalah praktis yang berhubungan dengan penelitian
tersebut (Hermawan W, 1993: 89).
Analisis data merupakan langkah yang penting dimulai dari melakukan
kegiatan mengumpulkan data kemudian melakukan kritik ekstern dan intern untuk
mencari otensitas dan kredibilitas sumber yang didapatkan. Dari langkah ini dapat
diketahui sumber yang benar-benar dibutuhkan dan relevan dengan materi
penelitian. Selain itu, membandingkan data dari sumber sejarah tersebut dengan
bantuan seperangkat kerangka teori dan metode penelitian sejarah, kemudian
menjadi fakta sejarah. Agar memiliki makna yang jelas dan dapat dipahami, fakta
tersebut ditafsirkan dengan cara merangkaikan fakta menjadi karya yang
menyeluruh dan masuk akal.
F. Prosedur Penelitian
Prosedur penelitian adalah langkah- langkah penelitian awal yaitu
persiapan pembuatan proposal sampai pada penulisan hasil penelitian. Adapun
prosedur penelitian ini adalah melalui empat tahap yang merupakan proses
metode sejarah. Empat langkah itu terdiri dari heuristik, kritik, interpretasi, dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Historiogra
fi Interpretasi Kritik
Sumber Heuristik
Fakta Sejarah
historiografi. Adapun prosedur yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Gambar 2. Bagan Metode Penelitian Historis
Keterangan:
1. Heuristik
Menurut Dudung Abdurrahman (1999: 55) heuristik berasal dari kata
Yunani, Heuriskein yang artinya memperoleh. Menurut Helius Syamsuddin
(1996: 99) heuristik adalah pengumpulan sumber-sumber sejarah. Heuristik
adalah kegiatan mencari dan mengumpulkan data dan peninggalan masa lampau
baik berupa bahan-bahan tertulis dan tercetak.
Pada tahap ini, dikumpulkan sumber atau data yang relevan dengan
permasalahan yang akan dikaji, yaitu mengenai Radikalisme Muslim Di Surakarta
1850-1920 melalui teknik studi pustaka. Dalam hal ini dilakukan pengumpulan
data dan sumber. Sumber - sumber sejarah dalam penelitian ini adalah berupa
Arsip-Arsip dan Dokumen. Kegiatan heuristik yang dilakukan dalam penelitian
ini, antara lain :
a. Mengumpulkan sumber primer dan sekunder yang berupa buku-buku
literatur dengan tema Radikalisme Muslim Di Surakarta 1850-1920 yang
tersimpan di beberapa perpustakaan.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
b. Membaca, mencatat, meminjam dan memfotokopi buku-buku literatur
yang dianggap penting dan relevan dengan tema penelitian berdasarkan
periodisasi waktu atau secara kronologis.
2. Kritik
Kritik yaitu kegiatan untuk menyelidiki apakah sumber-sumber sejarah itu
sejati atau otentik dan dapat dipercaya atau tidak. Pada tahap ini kritik sumber
dilakukan dengan dua cara yaitu kritik ekstern dan kritik intern. Menurut Winarno
S (1982: 135) kritik ekstern meneliti keaslian (authenticity) data, yakni dengan
bertanya apakah sumber data itu adalah sumber yang asli ataukah sumber palsu
atau tiruan, kapan waktu pembuatannya, tempat pembuatannya, dan segala
sesuatu yang berkaitan dengan penelitian mengenai asli tidaknya sumber tersebut.
kritik intern adalah kelnajutan dari kritik ekstern, bertujuan untuk meneliti
kebenaran isi sumber itu. Apabila telah diketahui bahwa sumber itu benar adalah
sumber asli (melalui pengujian kritik ekstern), maka penelitian perlu dilanjutkan
dengan bertanya apakah isi sumber itu dapat dipercayai kebenaran dan
ketelitiannya.
Kritik ekstern dilakukan pada sumber tertulis dengan menyeleksi segi-segi
fisik dari sumber yang ditemukan dilihat dari jenis kertasnya, gaya penulisannya,
bahasa yang digunakan, tahun pembuatan, siapa yang membuat, dan dimana buku,
arsip atau surat kabar tersebut dibuat. Kritik ekstern dalam penelitian ini
dilakukan dengan pengujian fisik misalnya pada sumber primer dari tulisan
Rapport Omtrent het gebeurde te “Srikaton” op den 11den en 12den October
1888, yaitu laporan mengenai peristiwa pendudukan Pasanggrahan Srikaton oleh
beberapa puluh pemberontak. Kritik ekstern dapat dilihat dari tahun laporan
tersebut, yaitu pada tanggal 11 dan 12 Oktober 1888 pada masa pemerintahan Sri
Mangkunegara V, bahasa yang digunakan pun adalah bahasa Belanda, karena saat
itu pemerintah Belanda melalui residennya masih berkuasa di Surakarta. Begitu
juga dalam Memori van Overgave, Opgemaakt door den Aftredenden Residen van
Surakarta, tahun 1914, merupakan sebuah catatan di Solo tahun 1909-1914, yang
ditulis dalam bahasa Belanda, saat pemerintah Belanda telah melakukan
penetrasinya di wilayah Vorstenlanden.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Kritik intern dilakukan dengan membandingkan antara isi sumber yang
satu dengan isi sumber yang lain sehingga data yang diperoleh dapat dipercaya
dan dapat memberikan sumber yang dibutuhkan. Hal tersebut dilaksanakan agar
dapat mengetahui bagaimana isi sumber sejarah dan relevansinya dengan masalah
yang dikaji. Sebuah tulisan dapat diuji kebenaran isinya dengan menghubungkan
berbagai faktor seperti bahasa yang dipakai saat tulisan itu dibuat, integritas
pribadi penulisnya, situasi ditulisnya dokumen itu, dan tujuan tulisan itu. Kritik ini
bertujuan untuk menguji apakah isi, fakta dan cerita dari suatu sumber sejarah
dapat dipercaya dan dapat memberikan informasi yang diperlukan. Misalnya
dengan membaca buku karangan Deliar Noer yang berjudul “Gerakan Moderen
Islam Di Indonesia 1900-1942”, mengenai masuknya semangat pan- islamisme
yang dibawa oleh para pemimpin yang naik haji di Mekkah, yang didengungkan
oleh pemimpin agama kepada masyarakat untuk melawan kolonialsme barat,
sehingga memudahkan untuk memobilisasi massa dalam melawan Belanda, dan
dengan membaca buku karangan Vincent J. H. Houben yang berjudul “Keraton
dan Kompeni Surakarta dan Yogyakarta 1830-1870”, yang mengungkapkan
sebab-sebab terjadinya gerakan-gerakan di wilayah periferal dan semiperiferal,
yang dimotori oleh ulama dan elit istana yang menentang penetrasi Belanda di
Jawa.
3. Interpretasi
Dalam penelitian ini, interpretasi dilakukan dengan cara menghubungkan
atau mengaitkan sumber sejarah yang satu dengan sumber sejarah lain, sehingga
dapat diketahui hubungan sebab akibat dari suatu peristiwa masa lampau yang
menjadi obyek penelitian. Kemudian sumber tersebut ditafsirkan, diberi makna
dan ditemukan arti yang sebenarnya sehingga dapat dipahami makna tersebut
sesuai dengan pemikiran yang logis berdasarkan obyek penelitian yang dikaji.
Dengan demikian dari kegiatan kritik sumber dan interpretasi tersebut dihasilkan
fakta sejarah atau sintesis sejarah. Langkah interpretasi data dalam penelitian ini
menyangkut kegiatan menyeleksi dan membuat periodisasi sejarah. Langkah –
langkah operasional dalam interpretasi penelitian ini adalah :
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
a. Membaca buku – buku, majalah, surat kabar yang berisi tentang peristiwa
yang berkaitan dengan penelitian. Membandingkan dengan sumber lain
sehingga penulis dapat memilih fakta – fakta yang relevan dan
menyingkirkan fakta – fakta yang tidak relevan.
b. Langkah selanjutnya, penulis menghubungkan fakta yang satu dengan
fakta yang lain sehingga dapat diketahui hubungan sebab – akibat antara
peristiwa satu dengan yang lain.
c. Yang terakhir penulis melakukan penafsiran semua hasil data yang telah
dibuat untuk di hubungkan antara data yang satu dengan yang lain.
Sehingga menjadi satu kesatuan yang utuh dan menyeluruh kemudian
menjadi suatu fakta sejarah.
Untuk merekonstruksikan peristiwa sejarah berdasar hasil interpretasi dari
data sejarah yang ada, juga diperlukan eksplanasi. Eksplanasi dalam ilmu sejarah
adalah menjelaskan atau menerangkan data sejarah yang ada sehingga didapat
hubungan antara data yang satu dengan yang lain. Eksplanasi didasarkan atas
pendapat bahwa setiap peristiwa mempunya keunikan dan individualitas. Setiap
peristiwa perlu dilacak kembali ke peristiwa yang mendahuluinya. Dengan
demikian, peristiwa merupakan mata rantai dari rentetan sebab akibat dengan
pengertian bahwa setiap akibat menjadi sebab peristiwa berikutnya, dan
seterusnya (Sartono Kartodirdjo, 1992: 233).
4. Historiografi
Historiografi adalah merangkai fakta yang kemudian menghasilkan fakta
sejarah dengan menggunakan bahasa ilmiah yang logis dan mudah dipahami.
Historiografi merupakan kegiatan menyusun fakta sejarah menjadi suatu kisah
sejarah yang menarik dan dapat dipercaya kebenarannya. Kegiatan historiografi
dalam penelitian ini dilakukan dengan memaparkan hasil interpretasi terhadap
sumber-sumber sejarah yang telah dikumpulkan pada tahap heuristik dan telah
diverifikasi pada tahap kritik. Dalam penulisan penelitian ini dipaparkan hasil
penelitian yang obyektif berdasarkan data sumber sejarah yang telah melalui tahap
heuristik, kritik, interpretasi, sehingga apa yang dituliskan merupakan fakta yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dapat dipertanggungjawabkan validitasnya sesuai dengan permasalahan yang
dikaji.
Langkah- langkah yang dilakukan yaitu dengan menulis jejak-jejak sejarah
yang telah dikumpulkan kemudian dianalisa dan ditafsirkan. Dalam hal ini
imajinasi penulis sangat diperlukan untuk merangkai fakta satu dengan yang lain
sehingga menjadi suatu kisah sejarah yang menarik dan juga diperlukan
kemahiran dalam memilih dan merangkai kalimat serta penggunaan bahasa yang
baik dan benar. Peneliti juga tidak lupa memperlihatkan unsur keindahan bahasa
sehingga didapatkan cerita sejarah yang diharapkan mampu menarik minat
pembaca. Dari langkah- langkah tersebut dapat tersusun sebuah hasil karya
penelitian yang berwujud skripsi dengan judul “Radikalisme Muslim Di
Surakarta Tahun 1850-1920”.
Gerakan-gerakan keagamaan dalam sejarah Indonesia mencakup
fenomena historis, semuanya itu merupakan manifestasi dari usaha kolektif untuk
mengadakan atau menolak perubahan kehidupan masyarakat. Selama abad XIX
dan XX, muncul banyak gerakan-gerakan protes, baik di wilayah periferal
maupun semiperiferal. Penetrasi barat dalam masyarakat tradisional Jawa
menimbulkan keretakan sosial berdasarkan sistem nilai dan akhirnya menciptakan
konflik. Reaksi kolektif terhadap penetrasi barat digerakkan melalui saluran
kepemimpinan tradisional menjadi organisasi perlawanan terhadap kolonialisme.
Kepemimpinan elite religius diperkuat dengan ikatan institusional yaitu hubungan
guru dan murid, pemakaian simbol-simbol religio-magis dan ideologi. Pada awal
abad XX, muncul organisasi-organisasi politik yang dimobilisasi oleh kaum
intelektual berpendidikan barat, yang memperkuat rasa nasionalisme dalam
mengahadapi kolonialisme barat.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan, yaitu gambaran historiografi
kolonial, yang pada umumnya memandang masyarakat bawah bersikap pasif dan
apatis, ternyata mereka dapat melakukan aktifitas politik sebagai partisipan dalam
gerakan-gerakan protes, dan masuk dalam organisasi yang dimotori oleh kaum
intelektual.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Latar Belakang Terjadinya Radikalisme Muslim di Surakarta
Tahun 1850-1920
Setelah berakhirnya perang Jawa (1825-1830) di Vorstenlanden muncul
suatu struktur sosial baru dalam masyarakat akibat dari perubahan kedudukan
tanah lungguh, yang dimonopoli oleh swasta. Munculnya gerakan radikalisme
merupakan akibat dari represi ekonomi, sosial, dan politik yang dilakukan oleh
pemerintah kolonial, yang berpengaruh dalam kehidupan sosial masyarakat.
Represi ekonomi, sosial, dan politik memicu tumbuhnya diskriminasi dan
marginalisasi masyarakat oleh pemerintah kolonial, yang berpengaruh pada
perubahan struktur sosial dalam masyarakat dan kerugian bagi elite istana yang
memiliki tanah lungguh. Sehingga membuat elite-elite istana atau pihak-pihak
yang merasa dirugikan oleh kebijakan pemerintah kolonial melibatkan diri dalam
gerakan perlawanan.
1. Perubahan Sosial dan Ekonomi di Surakarta
Surakarta lahir pada tahun 1755 akibat dari dibelahnya kerajaan Mataram
menjadi dua, yaitu Kasultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta. Surakarta
merupakan bagian dari wilayah Vorstenlanden, yaitu wilayah yang dikuasai oleh
raja-raja pewaris kerajaan Mataram. Setelah berakhirnya perang Jawa tahun 1830
dan diambilalihnya mancanegara oleh Belanda, para penguasa Jawa dipaksa
untuk menyerahkan wilayah kekuasaannya yang belakangan diduduki oleh
karesidenan-karesidenan Kedu, Banyumas, Bagelen, Madiun, dan Kediri, hanya
jantung kerajaan Mataram yang tetap berada di tangan para penguasa Jawa.
Letak karesidenan Surakarta sangat strategis dan mudah dijangkau dari
berbagai penjuru. Sepanjang jalan besar dari Semarang dan Yogyakarta banyak
didirikan pos dan benteng untuk memudahkan pengawasan dan komunikasi.
Demikian pula jalan kereta api Semarang-Vorstenlanden yang dipasang sejak
tahun 1864 dan jalan trem yang menghubungkan pusat-pusat perkebunan di
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
pedalaman sudah membentuk jaringan transportasi yang efektif dengan kota-kota
pada akhir abad ke-19 (Suhartono, 1991:24).
Karesidenan Surakarta terdiri atas wilayah Kasunanan dan
Mangkunegaran. Batas wilayahnya sebagian dibentuk oleh Gunung Lawu di
sebelah timur dan Gunung Merapi serta Merbabu di sebelah barat. Di bagian
tengah karesidenan itu membentang dataran Solo yang subur, dikelilingi oleh kaki
Gunung Merapi dan Merbabu di sebelah barat serta kaki Gunung Lawu di sebelah
timur. Di sebelah selatan berjajar deretan bukit kapur dan Gunung Sewu,
sementara di sebelah utara wilayah ini bertemu dengan rangkaian gunung.
Bengawan Solo mengalir melalui dataran Solo dari selatan ke utara, dalam
perjalanannya ke Jawa Timur dan Laut Jawa, sungai Bengawan Solo melintasi
kota Surakarta dan memberikan kesuburan bagi tanah di dataran Solo (Takashi
Shiraishi, 1997:2).
Kota Surakarta menjadi tempat kedudukan bagi keraton Kasunanan dan
Mangkunegaran serta kantor Residen Belanda. Kota Surakarta berada di pinggir
kiri Bengawan Solo, dan Kali Pepe mengalir melintasinya. Bagian terbesar kota
Surakarta menjadi milik Kasunanan, sedangkan seperlimanya milik
Mangkunegaran. Wilayah Vorstenlanden merupakan daerah yang otonom, karena
kekuasaan raja sebagai penguasa tradisional diakui oleh pemerintah kolonial.
Meskipun tidak berlaku sistem tanam paksa, namun saat itu telah berkembang
usaha perkebunan swasta dengan jalan menyewa tanah dari para patuh (pemegang
lungguh).
Setelah daerah-daerah pesisir utara Jawa beralih ke tangan Belanda,
penyerahan hasil bumi oleh raja kepada pemerintah kolonial diganti dengan
penyerahan wajib oleh para bupati. Penyerahan tersebut tidak lama sesudah tahun
1800 diganti dengan pajak tanah (D. H. Burger, 1983:12)
Periode setelah berakhirnya perang Jawa (1825-1830) sampai dengan
akhir abad XIX, di Vorstenlanden muncul suatu struktur sosial baru dalam
masyarakat. Selain itu, juga muncul perpaduan dua modal ekonomi yang berbeda,
yaitu sistem perekonomian agraris yang feodalistis dan kapitalistis. Meluasnya
pengaruh ekonomi dari barat selama masa ekonomi liberal menyebabkan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
terjadinya penetrasi ekonomi uang yang lebih mendalam pada masyarakat
Indonesia, terutama masyarakat Jawa. Munculnya para pemilik modal asing yang
bebas menyewa tanah-tanah di Jawa tidak dapat dihindarkan lagi. Hal ini terjadi
karena pada awal abad XIX pemerintah kolonial menerapkan kebijakan liberal
dengan tujuan membuka kesempatan yang seluas- luasnya bagi para pemilik modal
asing masuk ke Vorstenlanden untuk menyewa tanah, sehingga muncul
kepentingan swasta dan pemerintah kolonial di tanah Jawa.
Sistem kolonial Belanda dengan pemerintahan yang tak langsung selama
abad XIX membawa akibat bahwa sejenis feodalisme dengan otoritas membiarkan
para penguasa daerah atau bupati menjalankan kekuasannya berdasarkan otoritas
tradisional dengan sifat-sifat tradisionalisme (Sartono Kartodirdjo, 1982:231).
Sistem kapitalis dan perkebunan besar milik swasta yang berkembang di
Surakarta telah berakar antara tahun 1830 dan 1870. Maka dibangunlah jalan
kereta api dari daerah pelabuhan Semarang sejak tahun 1860-an yang
dihubungkan dengan pusat-pusat perkebunan swasta di Surakarta dan Yogyakarta.
Surakarta menjadi tempat berlangsungnya sistem sewa, yang masih dikuasai para
penguasa keraton pewaris dinasti Mataram. Para pengusaha swasta menyewa
tanah dari para abdi dalem dan raja sendiri untuk ditanami berbagai tanaman
komersial yang diperintahkan oleh pemerintah Belanda. Para penyewa tanah telah
menggantikan posisi pemilik lungguh yang menerima uang sewa dan para bekel
sebagai patron para sikep yang jumlahnya secara sengaja dikurangi.
Telah terjadi tiga perubahan sosial ekonomi yang disebabkan oleh praktik
penyewaan tanah di Surakarta, yaitu penggunaan tanah yang intensif, eksploitasi
petani yang sistematis, dan perubahan drastis pada struktur sosial. Perubahan
sosial ekonomi yang ditimbulkan oleh sistem sewa tanah di Surakarta
mengganggu hubungan sosial antara pemilik apanase beserta bekel dan sikep,
yang dibuat saling bermusuhan (Houben, 2002:xiii).
Perkembangan ekonomi liberal berdampak pada perubahan sistem
ekonomi dan munculnya kelas-kelas baru dalam pelapisan masyarakat. Masuknya
paham barat dan budaya barat merupakan akibat dari paham liberal. Para penyewa
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tanah yang pada umumnya orang Eropa membawa budaya dari Eropa yang tidak
sesuai dengan budaya Jawa.
Keberadaan para pengusaha perkebunan swasta tidak hanya berdampak
terhadap kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat di Surakarta, melainkan juga
pada kehidupan politik. Houben (2002:xiv) menjelaskan bahwa para penyewa
tanah dihubungkan oleh ikatan- ikatan keluarga dan bisnis, ikatan tersebut
memungkinkan mereka memanfaatkan birokrasi kolonial untuk menentukan
kebijakan penguasa lokal yang dapat terus menguntungkan mereka.
Houben (2002:xv) melihat proses kekacauan politik dalam rangka suksesi
kekuasaan yang terjadi di Surakarta tahun 1854-1858, merupakan bagian yang
tidak terpisahkan dari permainan politik yang dihasilkan oleh hubungan yang
dibangun antara penyewa tanah yang berorientasi ekonomis dengan para birokrat
yang memiliki kepentingan ekonomis-politis. Semakin banyak elit politik lokal di
Surakarta yang terjebak dalam hutang dan kesulitan keuangan, sehingga
ketergantungannya kepada para penyewa tanah semakin besar. Jika sebelumnya
para elit lokal di Surakarta telah kehilangan otoritas politisnya yang diambil alih
oleh para birokrat kolonial, lalu kemudian juga kehilangan sumber ekonomi utama
mereka yang diambil alih oleh para investor swasta.
Sejak perluasan perkebunan pada abad XIX, keadaan di pedesaan
Surakarta mulai terjadi gangguan pencuri dan kecu. Keadaan semacam ini
menggelisahkan perusahaan perkebunan dan residen, sebagai pejabat kolonial
tertinggi di Surakarta. Dalam menghadapi gangguan keamanan ini terjadi
perbedaan pendapat antara perusahaan perkebunan dengan residen. Residen
menganggap bahwa perusahaan hanya mengejar keuntungan dan menuntut hak-
hak istimewa, dan sebaliknya, perusahaan perkebunan menuduh bahwa
pemerintah tinggal menikmati retribusi. Perluasan perkebunan tampaknya
mengundang meningkatnya kerusuhan sehingga penjagaan keamanan yang sudah
ada telah tidak memadai lagi. Perbaikan keamanan yang dilakukan oleh residen
Zoutelief dengan menggiatkan ronda malam pada tahun 1860-an dan yang
dilakukan oleh residen Burnaby Lautier dengan perbaikan gaji penjaga keamanan
pada tahun 1890-an tidak membawa hasil (Suhartono, 1991:91-92).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Keamanan di pedesaan belum berhasil diperbaiki, yang kemudian
memunculkan gerakan protes masyarakat terhadap perusahaan perkebunan. Tahun
1906, para petani perkebunan melakukan protes karena tekanan beban kerja wajib
dan perlakuan yang sewenang-wenangnya dari para pemimpin perkebunan
terhadap para petani. Tentu saja protes tersebut merupakan masalah penting yang
harus segera diselesaikan oleh pemerintah. Dalam keadaan seperti ini, pemerintah
berada dalam posisi yang sulit sebab harus bertanggung jawab kepada Sunan di
satu pihak dan kepada perusahaan perkebunan di pihak lain. Kepada perusahaan
perkebunan, pemerintah harus memberikan layanan sebaik-baiknya karena
keuntungan yang diperoleh perusahaan perkebunan juga memberikan keuntungan
bagi pemerintah. Terhadap Sunan, pemerintah harus bersikap hati-hati karena
Sunan telah menyewakan tanah-tanah apanage-nya (Suhartono, 1991: 93).
Para pemimpin gerakan protes yang mengganggu pemerintah dalam
melaksanakan rust en orde, ditangkap dan dijatuhi hukuman. Kemudian Residen
Schneider membuat peraturan pada tanggal 1 Juni 1906 No. 4811/ 29, yang
diajukan kepada Pangeran Adipati Ario Mangkunegara VI, yaitu semua bawahan
di bawah Mangkunegaran, yang sudah terbukti menjadi penjahat, yang telah
disepakati oleh Wedono Gunung dengan Asisten Residen untuk menentukan
sebuah rumah bagi para penjahat tersebut, yang dibuat di kota Kawedanan
Gunung atau di tempat lain yang sudah ditentukan. Tempat itu dinamakan
Hinoloko, lamanya tinggal ditentukan menurut Wedono Gunung yang dengan
Asisten Residen. Tempat tersebut dijaga oleh Reksohangkoro, yang digaji oleh
pemerintah. Tempat penampungan tersebut diperuntukkan bagi para penjahat atau
pemimpin gerakan yang mengganggu jalannya politik pemerintah, supaya mereka
jera dan tidak berani melakukan protes lagi.
2. Penetrasi Politik, Ekonomi, dan Sosial Pemerintah Hindia Belanda
Sistem kolonial yang diterapkan pemerintah Belanda pada daerah
jajahannya telah menciptakan sistem hubungan antara pihak penguasa kolonial
dan penduduk pribumi yang dikuasai, dan antara pihak penjajah dengan negara
induknya. Pola hubungan berpangkal pada prinsip dominasi, eksploitasi,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
diskriminasi, dan dependensi, karena pola-pola tersebut dipakai oleh pemerintah
kolonial untuk mencapai tujuannya. Perwujudan dominasi kolonial yakni berpusat
pada dominasi golongan minoritas yang memerintah terhadap mayoritas golongan
yang diperintah.
Penetrasi kekuasaan kolonial menciptakan transformasi politik, khususnya
sistem kekuasaan di pedesaan yang menyangkut perubahan peranan bekel. Dalam
sistem apanage, selain fungsi tanah, bekel memegang peranan penting dalam
struktur kelembagaannya. Pola kelembagaan tidak bercorak wewenang tradisional
maupun kharismatik, tetapi sudah bergeser dan menerima pola dan norma politik
kolonial. Diterapkannya administrasi kolonial berarti diperlemahnya struk tur dan
hubungan pola kerajaan, walaupun kekuasaan kerajaan dan kolonial berjalan
sendiri-sendiri, pada hakekatnya merupakan dua kekuasaan yang berbeda, dalam
perkembangannya dominasi kolonial lebih nyata daripada kekuasaan kerajaan.
Kekuasaan raja berangsur-angsur dikurangi oleh pemerintah Belanda, namun
keuasaan raja tetap diakui dengan maksud agar pemerintah kolonial dapat
mengambil keuntungan dari hubungan ikatan politik yang berlaku (Suhartono,
1991:77).
Dalam bidang politik banyak ketegangan dan ketidakstabilan timbul
karena dominasi yang semakin meluas dari administrasi yang bersifat legal-
rasional, sedangkan lembaga- lembaga politik tradisional semakin terdesak. Proses
birokratisasi menurut nilai-nilai atau standart barat itu menggantikan penguasa
tradisional menjadi aparat birokratis yang ditempatkan sepenuhnya di bawah
pengawasan kekuasaan kolonial.
Dominasi tersebut tidak hanya diwujudkan dalam sentralisasi kekuasaan
politik, tetapi dalam eksploitasi dan akumulasi sumber kekayaan tanah jajahan
untuk kepentingan negara penjajah. Penduduk pribumi diperas tenaga dan hasil
produksinya untuk diserahkan kepada pihak penjajah. Pendiskriminasian ras atau
etnis juga menjadi ciri dari sistem kolonial. Golongan penjajah dianggap sebagai
bangsa yang superior, sedangkan penduduk pribumi dipandang hina dan rendah.
Dengan perbedaan tersebut menimbulkan jurang pemisah, negara penjajah
semakin besar dan kuat dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kekuasaan,
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
sehingga menimbulkan pola dependensi atau timbul ketergantungan dari
masyarakat jajahan (Noer Fauzi, 1999:20).
Sistem ekonomi liberal berakibat munculnya peredaran uang serta
dominasi ekonomi uang ke dalam masyarakat Jawa, terutama daerah
Vorstenlanden. Hal ini disebabkan oleh penyewaan tanah penduduk yang
dilakukan oleh para pengusaha swasta asing untuk dijadikan daerah perkebunan,
sehingga membawa perubahan terhadap pola pemilikan tanah rakyat di
Vorstenlanden.
Dengan diterimanya upah kerja oleh petani dari perusahaan perkebunan
dan pabrik, terjadilah proses monetisasi di pedesaan. Sejak tahun 1830 penyewaan
tanah apanage untuk perluasan areal perkebunan makin bertambah. Tanaman-
tanaman ekspor sudah ditanam sejak abad ke-18 dan terus diperluas setelah tahun
1830, dari tanaman ekspor tersebut pemerintah kolonial memperoleh keuntungan
yang besar, namun menimbulkan kesengsaraan bagi petani. Pengaruh monetisasi
yang terjadi pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 meresap ke masyarakat
pedesaan. Akan tetapi, meresapnya pengaruh itu tidak menyejahterakan petani
karena sumber daya pedesaan yang diekspolitasi itu tidak menyalurkan hasilnya
sehingga petani tetap terbelakang dan tingkat hidupnya ada dalam subsistensi.
(Suhartono, 1991:117).
Tidak dapat disangsikan lagi, bahwa dominasi barat beserta perubahan
sosial yang mengikutinya menciptakan kondisi-kondisi yang cenderung bagi
rakyat untuk mengadakan pergerakan sosial. Dalam situasi kolonial dominasi
ekonomi, politik, dan kultural mengakibatkan disorganisasi masyarakat tradisional
beserta lembaga- lembaganya. Dengan masuknya ekonomi keuangan faktor- faktor
produksi, seperti tanah, tenaga buruh, dan hasil bumi diperdagangkan, sistem
pajak dijalankan sehingga menambah beban rakyat. Dengan subordinasi ekonomis
itu pengerahan tenaga dan kondisi kerja tergantung dari penguasa kolonial.
Dengan perkembangan perdagangan dan industri pertanian, muncullah
diferensiasi struktural dalam masyarakat Indonesia sehingga ada peranan sosial
baru yang dapat diperoleh dengan jalan lain dari pada peranan tradisional.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Ikatan susunan tradisional semakin diperlemah oleh ide baru tentang
kehidupan sosial. Perubahan-perubahan itu menempatkan golongan-golongan
sosial di luar kerangka sosial dari masyarakat tradisional, sehingga mereka
mengalami disorientasi. Pengaruh budaya asing menerobos lingkungan tradisional
dan merongrong kekuatan norma-norma tradisional sebagai pedoman hidup
(Sartono Kartodirjo, 1971: 40).
Tekanan politik dan ekonomi pemerintah kolonial Belanda sangat
merugikan kekuasaan para penguasa Jawa, di mana pemerintah Belanda berniat
untuk menjadikan para bupati Jawa menjadi aristokrat herediter (turunan) yang
bergantung kepada pemerintah, sehingga para bupati tersebut bisa dijauhkan dari
raja-raja pribumi. Hal tersebut menyebabkan putusnya ikatan antara bupati dan
para penguasa Jawa. Namun, para penguasa Jawa itu tetap perlu dilindungi untuk
memberikan kesan kepada rakyat bahwa, melalui perantaraan para bupati, mereka
masih tetap diperintah oleh raja-raja mereka sendiri. PB VI pun menyadari bahwa
hilangnya hubungan patron-klien antara keraton dan para bupati, akan hilang juga
kekuasaan teritorial atas distrik-distrik di sekitar keraton (Houben, 2002:60).
Reaksi yang timbul terhadap tekanan lembaga tradisional menyebabkan
kelompok-kelompok sosial beraliansi dengan kelompok sosial lain untuk
memperkuat gerakan antipemerintah kolonial. Reaksi dan gerakan antipemerintah
kolonial dimanifestasikan dan dihimpun dalam gerakan radikal. Reaksi politik di
kalangan istana dilakukan oleh PB VI karena daerah mancanegara dianeksasikan
oleh gubernemen.
Komisaris pemerintah Belanda yang diutus untuk menangani
pengambilalihan wilayah mancanagara dari kekuasaan para raja-raja Jawa. PB VI
mendesak supaya para bupati yang berada di distrik-distrik yang akan diambil alih
harus diijinkan untuk mengunjungi Solo setahun sekali untuk memberikan
penghormatan kepada Sunan. Namun, komisaris yang diutus tersebut menolak
keinginan Sunan. Hal tersebut menunjukkan hilangnya wilayah pinggiran kerajaan
berarti lebih dari sekedar kehilangan pendapatan. Karena hal itu akan mengarah
pada kehancuran parsial pada jaringan hubungan-hubungan personal yang
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
sesungguhnya melandasi kekuasaan dan kekuatan para pangeran serta warga
istana Jawa lainnya. PB VI menuntut konsesi, sebagai berikut (Houben, 2002:60):
“Saya menuntut kepada pemerintah agar martabat saya sekarang ini
diwariskan secara turun-temurun tanpa ada perubahan kepada keturunan-keturunan saya, sehingga martabat ini akan terus berlanjut meskipun
Keraton Soerakarta dipindahkan, yaitu bahwa bupati-bupati dari tanah-tanah Mancanagara, Bagelen, dan Banyumas selamanya akan selalu menghadap anak-cucuku, yang akan menjadi pengganti-penggantiku di
atas takhta ini, dan para bupati itu akan memenuhi kewajiban-kewajiban mereka kepada para penggantiku itu dan membayarkan piutang-piutang
mereka, seperti yang selama ini sudah menjadi adat kebiasaan.” PB VI tidak senang terhadap tindakan gubernemen tersebut, maka PB VI
mengasingkan diri dan mencari ketenangan dengan berziarah ke makam
leluhurnya dan ke Laut Selatan. Takut akan terjadinya perang besar, Sunan
ditangkap dan dibuang oleh gubernemen ke Ambon kemudian pengganti-
penggantinya dipaksa menjadi bawahan gubernemen, di dalam kontrak tahun
1862 Sunan PB IX dianggap sebagai path daerah Surakarta. Hubungan antara
pusat kerajaan dengan daerah-daerah pinggiran tidak selalu berjalan baik sebab
Sunan harus tunduk pada kontrak, sedangkan kepala-kepala rendahan di pedesaan
masih mempunyai kebebasan, tetapi mereka dipaksa loyal pada patuh dan Sunan
(Suhartono, 1991:66).
Setelah daerah mancanegara diambil oleh gubernemen, daerah kerajaan
Surakarta semakin sempit, daerah yang diambil ini akan diatur kembali dan
dieksploitasi. Oleh karena itu, langkah pertama yang ditempuh oleh gubernemen
ialah perbaikan sistem administrasi agar terwujud kesejahteraan kolonial. Dengan
demikian diharapkan pemerintah dapat menarik keuntungan yang sebesar-
besarnya. Langkah- langkah yang diambil oleh pemerintah kolonial untuk
mengatasi perbaikan keuangan tidak cukup hanya dari segi ekonomi, tetapi
diperlukan jalur-jalur politik yang lebih luas. Jalur politik ini memberi jalan setiap
usaha pihak swasta mauun pemerintah sendiri dalam melakukan eksploitasinya.
Untuk memperkuat kedudukannya sebagai pengausa kolonial yang lebih tinggi
daripada raja-raja, dibuatlah kontrak yang mengikat raja-raja itu sehingga dengan
sah raja-raja itu adalah vasal pemerintah kolonial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Kontrak yang mengikat raja tersebut menimbulkan dampak yang berbeda-
beda, di satu pihak memberikan keleluasaan pemerintah kolonial untuk bergerak
dan mengubah strategi sesuai dengan kepentingan eksploitasinya, sedangkan di
pihak lain kekuasaan raja dibatasi dengan adanya kontrak-kontrak. Di dalam
kontrak itu disebutkan bahwa Sunan tidak lebih dari seorang leenman, yaitu
Sunan adalah patuh dari pemerintah kolonial (Suhartono, 1991:75-76).
Kekuasaan raja tetap diakui dengan maksud supaya pemerintah kolonial
dapat mengambil keuntungan dari hubungan dan ikatan politik yang berlaku.
Dalam salah satu ketentuan sewa-menyewa tanah disebutkan bahwa penyewa
tanah harus mendalami dan menguasai kebudayaan Jawa. Ini dimaksudkan agar
eksploitasi kolonial tidak terganggu dan tidak muncul ketegangan sosio-kultural.
Nampaknya, tidak ada jaminan bahwa pendalaman kebudayaan Jawa berarti tidak
timbul kerusuhan. Untuk menghilangkannya, pemerintah kolonial melakukan
reorganisasi di bidang peradilan dan polisi.
Masyarakat Surakarta terbagi dalam dua golongan sosial yang besar yaitu
golongan atas yang terdiri dari para bangsawan dan priyayi, dan golongan bawah
yang terdiri dari petani, buruh tani, pedagang, tukang perajin, dll. Bangsawan
adalah golongan sosial atas yang mempunyai hubungan genealogi dengan raja.
Mereka merupakan sentana atau keluarga raja, priyayi juga termasuk golongan
sosial atas dan mereka merupakan pejabat dalam pemerintahan kerajaan atau
narapraja. Dua golongan sosial yaitu priyayi dan golongan bawah menempati
wadah budaya yang berbeda. Di satu pihak, priyayi dengan gaya hidupnya,
kebiasaan, pakaian, dan makanan, serta simbol-simbolnya menunjukkan gaya
aristokrat. Keadaan semacam ini menjadi pola ideal bagi priyayi. Di lain pihak,
bagi golongan bawah lingkungan pedesaan banyak mempengaruhi tingkah laku
mereka, kebiasaan polos, terbuka, dan kasar merupakan bentuk budaya pedesaan
(Suhartono, 1991:32-33).
Adanya kesenjangan struktur sosial masyarakat kerapkali melahirkan
berbagai ketegangan dalam masyarakat. Ketegangan-ketegangan ini akan
mempengaruhi derajat kepercayaan masyarakat karena suatu kondisi yang represif
dari para penguasa. Jika ditambah dengan faktor- faktor pemicu, maka besar
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kemungkinan ideologi yang digunakan oleh masyarakat adalah radikalisasi.
Perkembangan radikalisasi dimotori oleh kaum frustasi. Ideologi kaum tertindas
lahir dari akumulasi kebencian sosial dan rasa frustasi terhadap kondisi yang ada.
Terhadap kekuatan disintegratif dari pengaruh penetrasi kebudayaan barat
masyarakat Indonesia mempunyai cara-cara untuk membuat reaksi. Oleh karena
dalam sistem kolonial tidak terdapat lembaga- lembaga untuk menyalurka
perasaan ketidakpuasan mereka, maka jalan yang dapat ditempuh ialah gerakan-
gerakan protes keagamaan yang menjadi gerakan sosial-politik. Timbullah
kekuatan-kekuatan dari kepercayaan religius yang berakar dalam tradisi rakyat
melawan bahaya ekspansi kolonial (Sartono Kartodirdjo, 1971: 41).
Oliver Roy yang dikutip oleh Riza Sihbudi (2005: 385) menafsirkan Islam
politik sebagai aktivitas kelompok-kelompok yang meyakini Islam sebagai agama
dan sekaligus sebagai ideologi politik. Istilah radikalisme umumnya dipakai untuk
merujuk pada gerakan-gerakan Islam yang berkonotasi negatif seperti ekstrim,
militan, dan non-toleran, serta anti Barat. Radikalisme muncul karena berbagai
faktor, salah satunya justru karena tidak dijalankannya prinsip-prinsip
pemerintahan dan politik yang demokratis. Gerakan dan pemberontakan pada
dasarnya adalah reaksi spontan terhadap perubahan sosial yang cepat, yang
menimbulkan frustasi dalam kehidupan masyarakat.
Abad XIX dan awal abad XX terjadi rentetan peristiwa berupa
pemberontakan, kerusuhan, dan pergolakan sosial. Tidak jarang pergolakan atau
kerusuhan yang terjadi itu diwujudkan dalam tindakan yang bersifat agresif dan
radikal, yang mencerminkan ledakan ketegangan, pertentangan, dan permusuhan
yang terjadi di masyarakat. Hal ini terbukti dari peristiwa-peristiwa yang
melibatkan masyarakat bawah yang dimotori oleh kaum elit untuk menentang
penindasan pemerintah kolonial (Sartono Kartodirdjo, 1971: 39).
Keresahan-keresahan yang mengarah kepada gerakan atau pemberontakan
tidak lepas dari kondisi sosial ekonomi, yaitu tekanan pajak, beban ikatan feudal,
persewaan tanah, dll. Dengan demikian keresahan itu didukung oleh konflik-
konflik yang lebih luas yang tidak lepas dari keanekaragaman yang muncul
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
bersamaan dengan timbulnya hubungan sosial ekonomi, patron-klien, dan
kelompok-kelompok politik di pedesaan.
Gerakan radikalisme di Jawa sangat ditakuti oleh pemerintah kolonial
karena gerakan itu didasari dengan pemikiran Islam yaitu nilai-nilai jihad dalam
melawan kolonialisme. Orang-orang Belanda digambarkan sebagai bangsa “kafir”
yang merampok lahan dan pangan rakyat. Oleh karena itu, gerakan radikal sebagai
reaksi yang diwujudkan dalam bentuk kekerasan oleh massa dipandang sebagai
aspirasi politik untuk memaksa pemerintah kolonial agar memperhatikan
kesejahteraan rakyat.
Surakarta merupakan salah satu daerah di Jawa yang kehidupan
masyarakatnya diwarnai dengan gerakan protes terhadap pemerintah kolonial.
Keresahan dan gerakan yang terjadi di pedesaan Surakarta sebagai akibat dari
adanya tekanan dan pengaruh Barat yang dikembangkan secara intensif oleh
pemerintah kolonial, tekanan ekonomi dan politik memunculkan ketidakadilan
yang terjadi pada masyarakat. Masyarakat Muslim pun berani menghadapi
pemerintah kolonial karena tidak tersedianya lembaga yang menyalurkan aspirasi
mereka mengenai situasi ekonomi dan politik yang mereka hadapi. Kondisi
tersebut mendorong gerakan protes masyarakat yang berpegang pada ideologi
keagamaan. Gerakan protes menjadi kekuatan politik untuk menentang kekuasaan
kolonial.
Ada tiga tipe dalam gerakan perlawanan, antara lain (Hermanu, 2010:27):
1. Munculnya perbedaan sosial sebagai akibat perubahan sistem sosial yang
memacu munculnya kaum intelektual dan pengusaha Muslim.
2. Munculnya gerakan massa yang sadar terhadap tujuan, dan didukung oleh
ideologi agama dan organisasi massa yang dengan sengaja ingin
menggulingkan tatanan politik atau tatanan sosial yang sedang berlaku.
Gerakan massa yang terdiri dari masyarakat bawah, yang dimotori oleh
kaum intelektual dan pengusaha Muslim yang menggerakkan organisasi
massa untuk menghadapi pemerintah kolonial.
3. Gerakan-gerakan perlawanan yang dilakukan bersifat radikal dan
bertarung menentang kelas penguasa. Radikalisme merupakan gerakan-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
gerakan dari kaum pinggiran, karena sebab-sebab tertentu. Mereka
menggunakan cara-cara yang radikal dan secara tiba-tiba, baik itu
mengenai strategi, taktik, tujuan maupun sasaran dari gerakan itu, yang
bersifat tradisional, sehingga strategi dan taktiknya masih terlalu
sederhana, berumur sangat pendek, berada dalam lingkup lokal atau
regional dan umumnya dilakukan untuk melawan keadaan yang dianggap
tidak adil.
Gerakan-gerakan yang terjadi pada abad XIX dan awal XX di pulau Jawa
hampir semuanya mencerminkan ketiga tipe tersebut, yang selalu diwarnai dengan
gerakan protes dari masyarakat yang tidak senang akan kondisi yang ada.
Pengaruh perkembangan waktu menjadi salah satu faktor pendukung terhadap
perubahan dalam setiap gerakan sosial keagamaan.
Gerakan radikal yang terjadi di Girilayu, Matesih, tahun 1888 dapat
disebut sebagai gerakan periferal merupakan perlawanan yang muncul di luar
lingkungan keraton, gerakan-gerakan ini bersifat lokal dan berlangsung singkat
karena gerakan-gerakan itu terjadi oleh karena kekecewaan masyarakat yang
disebabkan penerapan kerja rodi bagi petani untuk pelunasan hutang
Mangkunegaran karena krisis keuangan yang terjadi. Keadaan rakyat semakin
menderita karena tidak mampu mencukupi kebutuhannya sendiri. Muncul gerakan
protes, yang ditulis dalam Rapport Omtrent het gebeurde te “Srikaton” op den
11den en 12den October 1888, yaitu laporan mengenai peristiwa pendudukan
Pasanggrahan Srikaton, yang dianggap sebagai tempat suci yang tidak boleh
didatangi oleh orang lain tanpa ijin khusus dari raja, sehingga segala bentuk
pendudukan di tempat tersebut dipandang sebagai bentuk kejahatan atau
pemberontakan dari kacamata penguasa kerajaan maupun pemerintah kolonial
Belanda. Oleh karena itu, pendudukan beberapa puluh pemberontak di
pesanggrahan Srikaton dianggap sebagai bentuk kejahatan yang melawan
penguasa. Kemudian prajurit infantri bergerak melalui jalan utama yang langsung
menuju bagian depan bangunan pesanggrahan, prajurit kavaleri menyebar di
sekeliling jalan keluar yang lain. Terjadilah perlawanan yang menegangkan
dengan menggunakan senjata, saat itu juga Imam Rejo tertembak, yang berakhir
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dengan tewasnya 7 orang dari mereka. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 11 dan 12
Oktober 1888 pada masa pemerintahan Sri Mangkunegara V. Terbunuhnya Imam
Rejo menandakan berakhirnya gerakan Srikaton, yang berumur singkat.
Gerakan Srikaton dipimpin Imam Rejo, ia mengajarkan ajaran Islam
kepada para pengikutnya, dan menekankan bahwa orang-orang Belanda harus
dilenyapkan dari tanah Jawa. Gerakan-gerakan yang terjadi bertujuan untuk
meruntuhkan pemerintahan kolonial dan mendirikan kerajaan Islam. Di dalam
gerakan itu, Imam Rejo mendapat dukungan dari para bekel, solidaritas antar
bekel yang paternalistik menunjukkan usaha bersama dalam menghadapi tekanan
dari kebijakan kolonial (Suhartono, 1991:146).
Gerakan-gerakan itu oleh pemerintah kolonial disebut dengan istilah
seperti geestdrijverij (gerakan rohani), rustverstoring (gangguan ketentraman),
woelingen (huru-hara), fanatisme, onlusten (kerusuhan). Gerakan-gerakan tersebut
dipandang berbahaya karena bertujuan melawan bangsa Belanda dan
pemerintahannya. Gangguan keamanan di pedesaan berupa kriminalitas dan
gerakan protes, yang penanganannya tidak cukup dilakukan oleh po lisi kerajaan,
maka pemerintah kolonial harus langsung mengawasi pedesaan. Kemudian pada
tahun 1873 diangkat empat asisten residen yang berkedudukan di Klaten,
Boyolali, Sragen, dan Karangpandan (Sartono Kartodirdjo, 1971:22).
3. Reorganisasi Administrasi dan Agraria
Reorganisasi adalah salah satu cara untuk memperbaiki keadaan di
pedesaan. Di awal 1900-an terjadi reorganisasi atau reformasi administrasi dan
agraria oleh pemerintah Belanda di Vorstenlanden. Reorganisasi merupakan usaha
menempatkan mesin administrasi di bawah perintah langsung residen Belanda
serta meluaskan kekuasaan dan kewibawaan negara Hindia ke wilayah yang
selama ini diserahkan kepada sistem lungguh yang sudah terkikis.
Reorganisasi tersebut dianggap sebagai usaha negara Hindia yang utama di
daerah itu dan dapat untuk memperbaiki kondisi pertanian dan menjamin rust en
orde di Vorstenlanden oleh para pegawai Belanda dan para residen Belanda,
walaupun pada kenyataannya menyimpang dari kebijakan yang ada. Karena usaha
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tersebut sama sekali tidak memperbaiki kondisi yang ada, termasuk konflik yang
terjadi antara petani dan perkebunan mengenai jumlah sewa, pelonggaran kerja
paksa yang tidak dibayar, yang diubah menjadi kerja paksa yang dibayar, dan
jumlah upah yang dibayar kepada para pekerja paksa itu. Selama pertumbuhan
kepentingan ekonomi petani lebih rendah dibandingkan pendapatan yang mungkin
mereka peroleh jika menanam padi tanpa tanaman perkebunan, konflik akan
selalu muncul, dan makin tajam karena perlakuan pegawai Belanda yang
sewenang-wenangnya dan arogan terhadap petani (Takashi Shiraishi, 1997: 28-
29).
Tujuan reorganisasi tanah apanage adalah untuk mengintegrasikan tanah-
tanah yang terpencar dan terpotong-potong menjadi sebuah areal perkebunan yang
luas. Terbentuknya satu blok areal perkebunan memudahkan pengaturannya jika
dilihat dari segi manajemennya, letak tanahnya, kebutuhan tenaga kerja,
transportasinya, dll. Dalam melaksanakan reorganisasi muncul reaksi dari para
bekas patuh yang tanahnya dihapus. Hal itu dilakukan karena ketika perusahaan
perkebunan menyewa tanah-tanah apanage dari patuh, tanah-tanah tersebut
letaknya terpencar, sehingga menghambat pengelolaannya. Mereka tidak senang
kalau batas tanah apanage-nya dihapus karena akan mengaburkan ikatan loyalitas
petani dengan mereka yang sudah terjalin lama (Suhartono, 1991:96).
Reorganisasi agraria tidak lepas dari kerangka Politik Etis, sebab
pemerintah kolonial memerlukan kepastian hukum, hak-hak, dan kewajiban
petani. Karena Politik Etis yang sedang dijalankan pada awal abad XX, mencakup
tiga unsur pokok, yaitu: pertama, konsolidasi kekuasaan di bawah naungan Pax
Neerlandica, kedua, perlindungan perusahaan swasta, dan ketiga, peningkatan
kehidupan sosial ekonomi penduduk. Khususnya mengenai peningkatan
kehidupan sosial ekonomi penduduk hubungannya erat dengan pemanfaatan
faktor- faktor produksi biaya rendah yang dapat dijalankan di Surakarta. Hal ini
berarti kedudukan tanah apanage sebagai penghambat harus diubah untuk
peningkatan efisiensi eksploitasi (Suhartono, 1991: 94).
Reorganisasi tersebut dimaksudkan untuk menghilangkan keluhan-keluhan
petani karena beban wajib yang berat dan untuk mencegah terjadinya kerusuhan-
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
kerusuhan yang muncul di pedesaan. Dengan demikian hanya Sunanlah yang
berhak menyewakan tanahnya kepada perusahaan perkebunan, sedangkan tenaga
kerja untuk perusahaan perkebunan itu dilakukan dengan kerja bebas. Dengan
cara ini kerja wajib yang berat dapat dikurangi. Sehubungan dengan sangat
diperlukannya penjagaan keamanan di pedesaan, tugas kepolisian dibebankan juga
kepada para kepala desa.
Reorganisasi tidak hanya didasarkan atas kesatuan organisasi politik dan
pemerintahan, tetapi atas kesatuan pajak desa. Desa-desa ada di bawah kekuasaan
lurah, dan lurah tidak dipilih oleh rakyat, tetapi diangkat oleh bupati dengan
persetujuan asisten residen (Suhartono, 1991:95).
Ada empat tindakan yang dilakukan untuk melaksanakan reorganisasi
tersebut, antara lain : (1) Penghapusan tanah lungguh, (2) Pembentukan desa
sebagai unit administrasi, (3) Pemberian hak-hak penggunaan tanah yang jelas
kepada petani, (4) Perbaikan aturan sewa tanah.
Dimulainya reorganisasi, khususnya terhadap tanah-tanah apanage, maka
secara struktural terjadi perubahan kedudukan tanah. Penguasaan tanah oleh patuh
dengan hak anggadhuh (pinjam sementara) telah dihapuskan dan hak tanah itu
diberikan kepada petani dengan hak andarbe (milik) secara individual. Dengan
berubahnya kedudukan tanah berarti petani memiliki kebebasan terhadap
tanahnya. Tanah tidak hanya ditanami bahan pangan tetapi juga disewakan pada
perusahaan perkebunan untuk tanaman ekspor. Cara ini dimaksudkan agar
perusahaan perkebunan mudah mendapat tanah-tanah dari petani. Terjadinya
perubahan kedudukan tanah dari kedudukan statis ke dinamis menyebabkan
terjadinya komersialisasi tanah. Ekstraksi tanah ditingkatkan sesuai dengan
kemajuan komersialisasi komoditas ekspor (Suhartono, 1991:97).
Tujuan yang tersurat dari reorganisasi adalah memajukan ekonomi petani,
namun kenyataannya kehidupan petani tidak menjadi lebih baik. Sawah petani
semakin terdesak karena perusahaan perkebunan menggunakan sekitar 40 %
sawah petani. Perubahan kedudukan tanah apanage tetap menguntungkan elite
desa. Mereka bekerja sama dan membantu kepentingan pabrik dan perusahaan
perkebunan, terlebih mereka mendapat rangsangan berupa uang tunai jika mereka
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
berhasil menyediakan tanah, sehingga tidak mustahil mereka mengorbankan
kepentingan lapisan bawah dari masyarakat pedesaan. Kekuasaan perusahaan
perkebunan ternyata besar sekali terhadap petani dan buruh tani. Ketergantungan
petani tidak dapat dihindari lagi selama perusahaan perkebunan dianggap sebagai
penyelamat. Sebaliknya, perusahaan itu tidak lebih dari sebuah kekuatan
pendorong ke arah pemelaratan petani (Suhartono, 1991:103).
Perubahan administrasi kolonial yang bersifat legal- rasional tidak
selamanya dijalankan, sebab selalu terjadi pertentangan antara kepentingan
jabatan dengan kepentingan pribadi. Seringkali kepentingan pribadi lebih dominan
daripada kepentingan jabatan sehingga para birokrat melakukan penyimpangan.
Pemerintah kolonial menganggap tindakan seperti itu sebagai pemerasan dan
penyalahgunaan wewenang. Seperti R.T. Gondosaputro, seorang patih
Mangkunegaran, yang dituduh menyelewengkan doewit gantoengan, padahal
uang itu digunakan untuk membayar para narapraja, namun tindakan itu oleh
pemerintah dianggap sebagai penyelewengan, yang kemudian dia ikut dalam
gerakan Srikaton. Hal itu menunjukkan bahwa kebijakan pemerintah kolonial
membuat tekanan bagi elite istana, sehingga dapat dipastikan mereka mencari
kelompok sosial yang tidak puas terhadap kebijakan pemerintah kolonial, agar
mendapat pendukung untuk melawan represi kolonial (Suhartono,1991:72).
Sebagai kelompok yang dimarginalkan oleh pemerintah kolonial, mereka
mengisolasi diri dan membentuk kelompok untuk mempertahankan hidupnya.
Oleh karena tidak tersedia jalan untuk mengadukan nasibnya, mereka bergerak
melalui kekerasan dan kekuatan untuk mendapatkan haknya yang telah diambil
oleh pemerintah kolonial. Karena inilah pemerintah kolonial cenderung untuk
menganggap kerusuhan itu sebagai tindakan kriminal tanpa melihat sebab-
sebabnya yang lebih mendalam.
Dominasi barat menciptakan desintegrasi yang meliputi: dominasi
ekonomi, politik, dan kultural. Dominasi ekonomi yang berupa perluasan
monetisasi faktor-faktor produksi, seperti tanah, tenaga kerja, komoditas ekspor,
dan pengenalan pajak baru jelas memperberat beban. Kehidupan petani menjadi
sangat tergantung pada perusahaan perkebunan maupun penguasa kolonial.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Sehubungan dengan perluasan agro- industri dan birokrasi timbullah diferensiasi
struktural yang menciptakan peranan baru dalam masyarakat. Dominasi politik
membuahkan hubungan yang tidak wajar sehingga terjadi ketegangan dan
ketidakserasian. Perluasan administrasi kolonial yang legal-rasional menempatkan
penguasa kerajaan di bawah kekuasaannya, dan mendesak lembaga- lembaga
tradisional. Dominasi kultural barat mendesak norma-norma yang ada sehingga
masyarakat kehilangan orientasi. Dalam keadaan seperti ini diperlukan pegangan
hidup yang menuntun ke arah orientasi baru yang menentramkan. Jadi, protes
sosial dan kerusuhan merupakan jalan keluar yang ditempuh oleh pimpinan
gerakan untuk mengembalikan situasi lama yang aman (Suhartono, 1991:153).
Di awal abad XX, muncul organisasi seperti SI (Sarekat Islam) yang hidup
subur dan mendapat tempat di pedesaan Surakarta. Ini merupakan bukti bahwa
gerakan politik di Surakarta mendapat dukungan dari semua lapisan atas yang
terdiri dari para bangsawan dan priyayi, tetapi juga lapisan bawah. Dalam dua
dasawarsa, situasi politik di Surakarta berkembang cepat karena di daerah ini
tumbuh beberapa jenis organisasi modern yang dijadikan dasar perkembangan
organisasi politik selanjutnya. SI muncul sebagai reaksi terhadap pemerintah
kolonial yang melindungi kepentingan ekonominya sendiri. Karena melalui
diskriminasi dan eksploitasi usaha-usaha, perbaikan ekonomi pribumi selalu
ditekan (Suhartono, 1991:80).
Perlawanan terhadap para penguasa, kebanyakan dari para pemimpin dan
pengikut gerakan akan mendapat hukuman yaitu dibuang ke luar Jawa, meskipun
itu masih anggota di kerajaan sendiri. Seperti ketika Residen Surakarta, G.F. Van
Wijk bertugas, ditangkaplah para pemimpin yang membuat kerusuhan di
Surakarta. Seorang dari pemimpin kerusuhan itu, dimotori oleh elite istana, yaitu
seorang kemenakan Sunan sendiri. Kemudian berdasarkan Keputusan Pemerintah
tgl. 9 Nopember 1910 No. 6, para pemimpin kerusuhan tersebut dibuang ke luar
Jawa, supaya tidak mengganggu jalannya pemerintahan kolonial.
Dapat dilihat bahwa gerakan-gerakan yang terjadi mendapat dukungan dari
kalangan bangsawan yang tidak puas terhadap pemerintahan yang sedang
berjalan. Munculnya gerakan ini tidak dapat dipisahkan dari besarnya kekuasaan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
asing sehingga menciptakan reaksi kuat untuk melenyapkannya. Meluasnya
kekuasaan asing berarti merosotnya ketertiban di berbagai bidang kehidupan, dan
pengusiran bangsa barat termasuk sekutunya menjadi tujuan utama gerakan itu
karena mereka membentuk kelompok penguasa.
Gerakan-gerakan itu merupakan indikator dan reaksi masyarakat yang
sudah merata di pedesaan. Hal ini merupakan bukti bahwa dominasi kekuasaan
kolonial yang disertai perubahan sosial sudah mengganggu ketertiban dan
menggoncangkan masyarakat. Walaupun terjadi secara mikro, reaksi terhadap
penetrasi ini menjangkau daerah pedesaan yang luas, dan rupanya reaksi ini tidak
dapat dikendalikan lagi. Gerakan radikalisme merupakan kekuatan laten yang
diwujudkan secara agresif. Harapan tentang kesejahteraan dan ketentraman
diperkuat oleh simbol-simbol keagamaan menjadi penggerak massa sehingga
gerakan itu menjadi militan dan radikal.
B. Ideologi Islam Dijadikan Pendorong Gerakan Politik Islam
di Surakarta
Menurut Weber yang dikutip oleh A. S. Maarif (1992:23), mengemukakan
fungsi agama, yang secara garis besar berfungsi sebagai alat legitimasi. Setelah
suatu otoritas dimiliki oleh sekelompok kaum elite, maka kemudian kaum elite ini
menggunakan sistem simbol yang ada, misalnya agama untuk mempertahankan
kekuasaannya. Agama juga digunakan sebagai penjelas terhadap situasi kritis.
Situasi kritis itu terjadi apabila realitas di masyarakat berada pada kondisi yang
jauh dari tatanan yang harmonis, dan tidak dapat dijelaskan oleh pengetahuan lain.
Situasi kritis ini disebut sebagai situasi marginal, yang bisa saja berupa
pengalaman individu, kelompok sosial atau bahkan suatu masyarakat yang dalam
waktu kritis menghadapi situasi ini secara bersama-sama. Seperti PB X yang
memanfaatkan Islam sebagai kekuatan politik atau alat politik untuk menghadapi
hegemoni politik kolonial yang menekan rakyat bawah.
Ideologi Islam digunakan untuk memobilisasi massa, dan Islam sebagai
suatu kriteria pengukur loyalitas dan dasar persatuan di Indonesia merupakan hal
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
yang penting karena berhubungan dengan berkembangnya kekuasaan Belanda ke
seluruh tanah air. Dapat dimengerti bahwa Belanda memandang Islam sebagai
suatu kemungkinan ancaman terhadap mereka dan bahwa sebaliknya, datangnya
Belanda dalam pandangan pribumi merupakan penyerangan terhadap Islam
(Deliar Noer, 1980: 30).
Menurut Clifford Geertz yang dikutip oleh Hermanu (2010:20), bahwa
ideologi Islam berperan dalam membentuk solidaritas sosial yang berguna bagi
kepentingan pergerakan kebangsaan, dan saluran-saluran untuk melampiaskan
gerakan politik massa, dengan cara menampilkan simbol perlawanan secara
kekerasan dan membangun jejaring politik maupun jejaring sosial yang
berideologi sama, sehingga aksi-aksi perlawanan yang dilakukan dapat tepat
sasaran. PB IX menempatkan pesantren sebagai jejaring politik, yang kemudian
diperluas dengan kelompok-kelompok agama yang melakukan gerakan
perlawanan terhadap hegemoni politik Belanda.
Islam sebagai suatu kriteria pengukur loyalitas dan dasar persatuan di
Indonesia, merupakan hal yang penting karena berhubungan dengan
berkembangnya kekuasaan Belanda ke seluruh tanah air, dan dapat dimengerti
bahwa Belanda memandang Islam sebagai suatu kemungkinan ancaman terhadap
kedudukan mereka (Deliar Noer, 1980:30). Pemerintah kolonial Belanda
melakukan tekanan-tekanan terhadap masyarakat secara politik, ekonomi, dan
kultural, karena secara konseptual Islam akan berusaha sekuat tenaga untuk
melakukan pemberdayaan diri.
1. Gerakan Politik Islam Di Surakarta
Saat Paku Buwono X memerintah di Kasunanan, ia berusaha membangun
jejaring politik dan sosial antar elit politik untuk menghadapi pemerintah kolonial.
PB X membangun sinergi dengan kaum intelektual, ulama, dan pengusaha batik
Laweyan untuk menciptakan perubahan dalam masyarakat. PB X memanfaatkan
kaum intelektual dan pengusaha Muslim sebagai jejaring politik dan komunikasi
politik untuk menggerakkan organisasi politik massa. Hal tersebut juga
memberikan dorongan bagi elit istana lainnya untuk berpartisipasi dalam
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
membangun kekuatan masyarakat Muslim yang berdampak pada tumbuhnya rasa
nasionalisme (Hermanu, 2010:20).
Sebuah kedaulatan yang dimiliki oleh suatu bangsa membutuhkan agen
pembaharu yang memiliki kekuatan dan kewibawaan, serta dapat menyatukan
solidaritas sosial masyarakat dengan menggunakan simbol-simbol Islam ke dalam
kehidupan masyarakat untuk menggugah kesadaran nasionalisme. Kaum
intelektual dan pengusaha Muslim berpandangan bahwa ideologi Islam
merupakan ideologi yang ideal dalam menghadapi kolonialisme, karena melalui
ideologi tersebut dapat menarik kekuatan massa sebanyak-banyaknya. Ideologi
Islam pun dipahami sebagai ideologi yang anti kolonialisme.
Menurut Niccolo Machiavelli yang dikutip oleh Hermanu (2010: 29),
penggunaan ideologi agama dalam menghadapi dominasi kolonial identik dengan
penggunaan ideologi sebagai alat politik, yaitu untuk menumbuhkan harapan dan
semangat masyarakat yang tertindas secara politis maupun ekonomi. Ideologi
islam sangat berkepentingan dalam membangun moral dan sikap para penguasa,
karena kekuasaan tanpa landasan agama tidak akan bertahan lama. Karena saat
kekuasaan berhasil didapat, dan politisi meninggalkan etika dan moral, maka
kekuasaan menjadi tidak berarti, oleh karena kekuasaan itu diperuntukkan untuk
kesejahteraan rakyat bukannya kepentingan individu atau golongan.
Ideologi yang menambah kharisma pemimpin agama dan memperkuat
semangat perjuangan melawan penjajah sebagai orang kafir ialah jihad. Elite
birokrasi pribumi yang berkerja sama dengan penjajah juga dipandang hina di
mata masyarakat. Dalam pergolakan sosial, ideologi perang sabilillah yang
megobarkan semangat pemberontakan. Semangat perang tersebut dikobarkan
dengan munculnya selebaran-selebaran yang mengajak untuk menggulingkan
kekuasaan Belanda, dan muncul sebuah kesadaran akan realitas yang ada, yaitu
pemerintah Belanda merampok kekuasaan Sunan, dan mengeruk sumber-sumber
alam Jawa untuk kepentingan mereka sendiri (Houben, 2002:483).
Pertahanan Islam terhadap penetrasi barat melalui sikap kolonialnya, tidak
lepas dari perhatian orang-orang Indonesia Muslim. Jumlah orang-orang yang
dapat membaca dan menulis memang kecil, dan jumlah persuratkabaran pun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
sedikit jumlahnya, tetapi hal-hal tersebut tidak menyebabkan terisolasinya orang-
orang Indonesia dari kejadian-kejadian penting di dunia. Orang-orang Islam di
Indonesia dapat mengikuti perkembangan di luar negeri itu melalui surat kabar
yang dimasukkan dari Timur Tengah atau dari berita-berita yang dibawa oleh
orang-orang yang pulang haji. Berita-berita ini disebarkan melalui cerita-cerita
dari mulut ke mulut dalam percakapan-percakapan yang dilakukan di warung-
warung ataupun di langgar-langgar dan masjid terutama setelah sembahyang
maghrib (Deliar Noer, 1980: 35).
Kesadaran politik masyarakat Muslim di pedesaan yang dibangkitkan oleh
ulama dan pesantren memacu mereka untuk melakukan gerakan protes menentang
diskriminasi dan ketidakadilan dalam pengelolaan tanah lungguh di
Vorstenlanden. Gerakan protes yang dilakukan menggunakan ideologi Islam,
karena dinamika perluasan pendidikan makin kokoh seiring dengan banyaknya
masyarakat Muslim yang menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Mereka melakukan
komunikasi politik dengan haji-haji di seluruh dunia, sehingga membuka
pemikiran politik mereka. Pendirian organisasi-organisasi Muslim merupakan
pencerminan dari keengganan para pendirinya untuk tetap tertinggal dari
kemajuan yang dicapai oleh orang-orang barat, serta prestasi yang dicapai oleh
orang-orang Cina yang telah dapat berhasil menegakkan sebuah organisasi sosial.
Islam politik adalah sebuah paradigma, pandangan, sikap mendasar dan
tingkah laku politik baku organisasi-organisasi dan para politisi Islam yang
tersesuaikan di dalam struktur hubungan tak seimbang dengan wajah kekuatan
barat. Sebab hanya dengan poltiiklah jalan bagi artikulasi diri terbuka bagi
kalangan Islam. Di bawah pengaruh kekuatan barat yang hegemonic secara
politik, militer, dan ekonomi, serta budaya, kekuatan Islam yang laten dan tidak
pernah mau terdudukkan dalam posisi tersudut, lebih mentransformasikan ke
dalam bentuk ideologi politik dengan menggunakan simbol-simbol kegamaan
(Fachry Ali, 2004:320).
Munculnya gerakan politik Islam merupakan gejala bahwa kekuatan Islam
dapat dibangkitkan untuk menghadapi kolonialisme Belanda. Seperti yang
dilakukan oleh PB X dalam menghadapi tekanan ekonomi, polit ik, dan sosial. PB
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
X memasukkan simbol-simbol Islam melalui pendirian madrasah atau pesantren.
Berdirinya madrasah membangkitkan kemandirian masyarakat Muslim, dan
merupakan simbol perlawanan untuk meraih keseimbangan sosial, ekonomi, dan
politik (Hermanu, 2010: 13).
Pendirian organisasi-organisasi Muslim merupakan pencerminan dari
kengganan para pendirinya untuk tetap tertinggal dari kemajuan yang dicapai oleh
orang-orang barat, serta prestasi yang dicapai oleh orang-orang Cina yang telah
dapat berhasil meneggakkan sebuah organisasi sosial di kalangan mereka, seperti
pendirian SDI yang kemudian menjadi SI di Surakarta. SI telah mencerminkan
suatu usaha sadar dari pemimpin-pemimpinnya untuk menyebarkan dan
menegakkan cita-cita nasionalisme, dengan Islam sebagai ajaran yang dianggap
dasar dalam pemikiran tersebut. Sifat politik dari organisasi ini dirumuskan dalam
keterangan pokok (Asas), yang mengemukakan kepercayaan SI, bahwa agama
Islam itu membuka rasa pikiran perihal persamaan derajat manusia sambil
menjunjung tinggi kepada kuasa negeri dan Islam untuk mendidik budi pekertinya
rakyat (Deliar Noer, 1980: 36).
Kekuatan SI terletak pada basis kekuatan ulama, karena dalam Islam ada
sebuah amanat bahwa umat Islam harus berdagang, maka dari situ kekuatan Islam
terbentuk. Dengan meningkatnya pendidikan dan ekonomi para pedagang
Muslim, maka secara ekonomi, orang Muslim termasuk golongan yang
berpengaruh atau sejajar dengan pedagang Cina, walaupun dalam struktur social
Eropa masih termasuk golongan bawah.
Gerakan politik Islam mengokohkan akar-akar keagamaan yang tersurat
dalam pendirian lembaga pendidikan Islam. Secara simbolik madrasah menjadi
tempat perlawanan Muslim terhadap kebijakan publik yang tidak berdasarkan
pada etika dan moral politik. Gerakan politik Islam di keraton Surakarta lebih
menonjolkan identitas Islam, karena dipandang berkaitan dengan martabat dan
harga diri Muslim.
Sikap Belanda dalam menghadapi munculnya Pan-Islamisme, sehingga
merasa khawatir akan timbulnya pemberontakan orang-orang Islam yang fanatik.
Dalam rangka menghadapi Islam di Indonesia, pemerintah kolonial bekerja sama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
dengan para kepala adat, dan menggunakan lembaga adat untuk membendung
pengaruh Islam. Politik Islam yang dilakukan pemerintah kolonial yaitu
menerapkan kebijaksanaan pemerintah kolonial dalam mengelola masalah-
masalah Islam di Indonesia (Aqib Suminto, 1986: 9-10).
Tarekat yang menjadi katalisator untuk mempersatukan umat Muslim,
dianggap sebagai aliran yang keras oleh pemerintah Belanda, sehingga banyak
orang-orang tarekat dibuang dan dilakukan pengawasan yang ketat sekali, dengan
pelarangan tarekat oleh kepala pribumi (K. A. Steenbrink, 1984: 59).
C. Peran Pemimpin Islam Dalam Gerakan Politik Islam
Radikalisasi yang terjadi dalam masyarakat tidak terlepas dari sosok
pemimpin kharismatik, didahului oleh suatu kondisi yang kondusif untuk
munculnya gerakan, hal ini ditandai dengan rusaknya nilai tradisional, di sisi lain
masyarakat menolak keberadaan penguasa kolonial dengan aturan-aturannya
waktu itu. Kondisi ini mampu menghilangkan norma yang sudah jelas dalam
masyarakat, sehingga munculnya pemimpin kharismatik dapat diterima oleh
masyarakat sebagai legitimasi kekuasaan dan semua bentuk perubahan yang
menyertainya. Keresahan yang terjadi dalam masyarakat menciptakan suatu
keadaan yang dirasa perlu adanya figur pemimpin yang dapat menjembatani
antara aturan kolonial yang menekan masyarakat dan keinginan untuk
menciptakan masa depan yang lebih baik. Ulama yang merupakan elemen paling
esensial dari suatu pesantren, yang dilihat sebagai orang yang dapat memahami
keagungan Tuhan, sehingga dianggap memiliki kedudukan yang tinggi dan
symbol dari kealiman (Zamakhsyari Dhofier, 1982: 56).
1. Peran Ulama Dalam Gerakan Sosial Keagamaan
Munculnya gerakan sosial keagamaan tidak lepas dari peranan pemimpin
yang mampu memobilisir massa sehingga menjadi sebuah kekuatan yang besar,
pemimpin yang kharismatik, yang dapat berasal baik dari elite kota maupun dari
elite desa sendiri. Pemimpin kharismatik mampu menjadi daya tarik untuk
mencari pengikut dalam suatu gerakan radikal keagamaan. Konsep mengenai
kepemimpinan erat hubungannya dengan masyarakat tradisional, modern, maupun
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
masyarakat yang sedang mengalami transisi ke arah modern. Kepemimpinan
terdapat dalam komunitas kecil maupun dalam suatu nation, baik oleh masyarakat
tradisional maupun yang sudah bersifat modern (Suhartono, 1991: 165). Ada
banyak kasus yang menunjukkan pemberontakan yang dipimpin oleh para
bangsawan, dan lebih banyak lagi kasus pemberontakan yang dipimpin oleh
ulama pedesaan.
Mobilisasi massa kebanyakan memakai ideologi ratu adil atau jihad fi-
sabilillah sebagaimana tampak dalam gerakan messianisme dan millenarianisme
pada abad ke-19. Bahkan gerakan-gerakan modern seperti SI tidak jarang
memakai ideologi ratu adil di tingkat pengikut bawahan. SI lokal banyak terlibat
dalam radikalisasi dengan sasaran kultural, ekonomis, maupun sosial. Sasaran
kultural biasanya ditujukan kepada pembasmian simbol-simbol adat yang
bertentangan dengan agama, sasaran ekonomis ditujukan pada dominasi ekonomi
pedagang Cina, dan sasaran sosial ditujukan kepada kaum ambenaar atau priyayi
yang melambangkan kekuasaan kolonial (Kuntowijoyo, 2002:6-7).
Perlawanan terhadap kolonialisme, dipimpin oleh orang-orang dari
golongan tertentu dalam masyarakat. Golongan agama yaitu para ulama, yang
memegang pimpinan ini bertindak sebagai penasihat, pemberi landasan keyakinan
untuk mempertebal semangat dan tekad berperang. Pengaruh pemimpin menjadi
lebih kuat apabila di samping ia berasal dari golongan bangsawan, juga tergolong
orang yang saleh dan mahir dalam soal keagamaan. Dalam keadaan demikian
loyalitas pengikut pada pemimpin juga bertambah kuat (William H. Frederick dan
Soeri Soeroto, 1982: 218).
Berdasarkan nilai agama, para pemuka agama, yaitu kyai, haji, ulama
semacam elite religius mempunyai kewibawaan sosial yang tinggi di kalangan
rakyat di pedesaan. Para kyai mempunyai identitas yang sama dengan petani
sehingga mempunyai lebih banyak alat komunikasi dengan rakyat pedesaan.
Dalam menggerakkan pengikutnya, para ulama memegang peranan utama.
Perasaan tidak puas terhadap peraturan-peraturan pemerintah menciptakan kondisi
yang baik untuk menghimpun pendukung pergerakan. Melalui pesantren dan
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
tarekatnya, kyai dapat mengadakan kontrol pada masyarakat desa dan dengan
demikin secara mudah dapat mengerahkan massa secara massive.
Menurut tradisi Islam, para ulama sangat terpandang, karena memiliki
pengetahuan agama yang luas, dan memiliki moralitas yang tinggi, serta memiliki
otoritas kharismatis, yang tidak hanya dilihat di lingkungan murid-muridnya tetapi
juga di kalangan rakyat luas. Otoritas seorang ulama sebagai guru tarekat sangat
tinggi karena hubungan yang erat antara guru dan murid, bahkan tidak sedikit
yang menganggapnya sebagai wali Tuhan. Otoritas kharismatis dari elite religious
sebagai counter-elite secara potensial merupakan ancaman terhadap establishment
kolonial. Dikarenakan bahwa sebagian besar dari kerusuhan atau pergerakan di
daerah pedesaan dipimpin oleh elite religius itu (Sartono Kartodirdjo, 1982:233).
Para kyai bertindak sebagai cultural broker bagi masyarakat bawah,
terutama bagi para santri yang merupakan massa yang diberikan gagasan-gagasan
abstrak mengenai perlawanan terhadap kolonial. Pada abad XIX, masyarakat
Islam di pedesaan telah memiliki kesadaran politik yang dibangkitkan oleh
pemimpin agama. Pemimpin agama merupakan elit politik sekaligus elit sosial
dalam struktur masyarakat pedesaan. Ulama dan pesantren merupakan sumber
kekuatan dalam menghadapi kekuatan kolonial.
Pesantren ialah tempat pendidikan para santri. Santri ialah orang dewasa
yang belajar tentang dasar dan inti kepercayaan Islam, di bawah pimpinan seorang
guru agama atau kyai. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional,
dengan demikian memiliki ciri penting, yaitu santri, kyai, masjid, dan pondok.
Hubungan keempat unsur tersebut sangat erat, lebih- lebih hubungan antara kyai
dan santri yang menggambarkan hubungan “guru-murid”, sangat khas dalam
dunia kehidupan pesantren, yang juga mencakup komunitas orang Muslim atau
kaum Muslimin yang memiliki identitas, simbol, dan tradisi budaya sebagai
sebuah subkultur Islam di Jawa (Djoko Suryo, 2005: 1169). Pesantren kemudian
menjadi alat penghubung yang penting antara umat Islam Indonesia dengan pusat
asal agama dan kebudayaan Islam di Arab.
Faktor yang menyebabkan seseorang menjadi kyai besar, antara lain : 1)
pengetahuannya, 2) kesalehannya, 3) keturunannya, 4) jumlah muridnya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Pengabdiannya pada masyarakat dan kewibawaannya, serta perantara wahyu
menempatkan kyai pada kedudukan yang khas dalam kalangan umat Islam (K. A.
Steenbrink, 1974:109-110).
Kyai mempunyai kewibawaan yang didasarkan atas kedalaman
pengetahuannya tentang ilmu agama Islam. Dalam abad ke-18 dan 19,
kewibawaan para kyai itu menjadi lebih tinggi, karena kyai sudah melakukan
ibadah haji ke Mekkah sebagai salah satu rukun Islam. Sebagai haji, kyai lebih
dihormati dan disegani oleh para santri dan masyarakat sekelilingnya. Kyai
sebagai pemimpin pesantren sangat besar pengaruhnya terhadap para santri, umat
Islam yang ada di sekeliling pesantren bahkan di luarnya. Besar pengaruh seorang
kyai terutama bergantung dari (S.Soebardi,1978:69-70):
1) keluasan ilmu pengetahuannya tentang agama Islam yang dimilikinya,
2) integritas spiritual dan moral daripada kyai,
3) kebijaksanaan pimpinannya,
4) hubungannya dengan umat Islam di luar pesantrennya,
5) telah menjalankan rukun Islam yang kelima, yaitu pergi naik haji dan atau
bermukim di kota suci Mekkah, dan
6) bergantung dari kekayaannya
Pengaruh kyai tidaklah terbatas hingga di lingkungan pesantren saja,
melainkan juga terasa ke seluruh desa. Kyai yang bersangkutan sangat dihormati
oleh seluruh penduduk desa. Dalam masalah sehari-hari pun pendapat dan
nasihatnya sering dimintai oleh orang-orang kampungnya. Perkataan seorang kyai
sangat ditaati, fatwanya dianggap benar (Deliar Noer, 1982:18).
Hancurnya relasi antara raja dan ulama merupakan salah satu penyebab
merosotnya kekuasaan politik kerajaan tradisional di Jawa. Oleh karena, ulama
memiliki peranan sebagai kelompok penekan dalam menyalurkan aspirasi
masyarakat, dan sebagai kelompok kepentingan yang memperjuangkan
kepentingan dan mempengaruhi lembaga-lembaga politik kerajaan untuk
memperoleh keputusan yang menguntungkan dan menghindari keputusan yang
merugikan. Namun, ketika perannya sebagai kedua kelompok tersebut hilang,
maka para ulama dapat berperan sebagai kelompok oposisi (Hermanu, 2010:4).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Ulama yang mempertahankan kemurnian agama menolak pengaruh Barat
yang makin meluas. Pengembaraan para haji dan pesatnya kemajuan pesantren
menimbulkan kekhwatiran pemerintah kolonial. Para residen di Jawa mencegah
pengaruh ulama dan pengaruh yang masuk ke Jawa. Mereka saling mengingatkan
kemungkinan terjadinya gerakan-gerakan agama. Ulama di pedesaan berpengaruh
di kalangan lapisan bawah, tetapi ulama atau penghulu yang ada di kalangan
birokrat tidak memiliki pengaruh. Salah satu sebabnya ialah karena pengaruh
barat lebih cepat diterima oleh lapisan atas, sedangkan lapisan bawah masih dalam
proses pengenalan ke dalam lembaga- lembaga kolonial. Oleh karena itu, dapat
dimengerti bahwa lapisan bawah jauh lebih kuat menganut ajaran agama Islam
sebagai pegangan dalam menghadapi pengaruh barat (Suhartono, 1991:75).
Sejak tahun 1860-an di dalam Aglemeen Verslag der Residentie
Soerakarta dimuat banyaknya jemaah haji yang datang dan pergi setiap tahun.
Jumlah jemaah yang pergi tercatat tidak banyak, tetapi yang pulang pada tahun-
tahun tertentu jumlahnya meningkat. Hal ini disebabkan jemaah tinggal beberapa
tahun di Mekkah untuk mempelajari ilmu agama dan mereka pulang dalam
rombongan besar. Pada tahun 1887, di Surakarta tercatat 834 orang haji, di antara
merekalah bangkit semangat revivalisme agama (Suhartono, 1991:74).
Dalam masyarakat, para ulama mempunyai kedudukan mantap karena
mereka memiliki otoritas tradisional dan kebebasan baik ekonomi maupun politik.
Antara ulama dengan masyarakat terjalin hubungan timbal balik, artinya di satu
pihak mereka memberikan perlindungan, dan di pihak lain masyarakat
memberikan penghormatan dan pelayanan sosial. Hubungan dua golongan sosial
ini membentuk jalinan kehidupan di pedesaan yang harmonis. Oleh karena itu,
wajar jika mereka mampu memobilisasi massa untuk berpartisipasi penuh untuk
menghadapi tekanan dari pemerintah kolonial dan memiliki loyalitas tinggi.
Dalam hal imbangan kekuatan, ulama yang tidak kuat menghadapi
penguasa kerajaan maupun kolonial bersekutu dengan kelompok lain yang
dianggapnya dapat membantu tujuan politiknya, terutama kelompok yang kecewa
dan tidak puas terhadap pemerintah kolonial. Dalam keadaan seperti ini yang
ditemukan adalah sebagian dari elite istana.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
2. Peran Kaum Intelektual Dalam Gerakan Sosial Keagamaan
Memasuki abad XX, seiring dengan berkembangnya organisasi sosial dan
politik, serta bertambahnya jumlah kaum intelektual yang berpendidikan barat,
membuat peran ulama beserta pesantren digantikan oleh organisasi politik yang
dipimpin kaum intelektual. Dengan perkembangan diferensiasi dalam sistem
sosial-ekonomis baru dan sistem pendidikan baru muncullah sistem stratifikasi
sosial baru serta struktur-struktur organisasi dan lembaga- lembaga baru. Sistem
pendidikan baru menghasilkan golongan intelektual yang mulai memegang
peranan dalam fungsi- fungsi baru diciptakan oleh perkembangan proses
birokratisasi, komersialisasi, dan urbanisasi. Kaum intelektual memperoleh
pengetahuan baru dan mengenal nilai-nilai baru yang berasal dari masyarakat
industrial, seperti mempertinggi taraf kehidupan rakyat, partisipasi rakyat dalam
pemerintahan, persamaan, keadilan sosial, pengetahuan dan teknologi modern.
Kesadaran akan perbedaan ide- ide itu dengan kenyataan di negerinya sendiri
membangkitkan pergerakan nasional yang merupakan kelompok-kelompok
solidaritas baru. Organisasi-organisasi nasional dan partai-partai politik tidak
hanya menjadi pelaku pokok dari solidaritas politik elite modern tetapi juga
berfungsi sebagai institusionalisasi otoritas golongan-golongan baru tersebut.
sebagai pemimpin pergerakan nasional, kaum intelektual memperoleh kharisma,
terutama karena sebagai pendukung utama ide- ide baru memainkan peranan pusat
dalam memperjuangkan perwujudannya (Sartono Kartodirdjo, 1982:235).
Kaum intelektual yang mencita-citakan suatu orde baru dan yang lebih
baik bertindak sebagai pemimpin dari masyarakat yang mendatang, maka
modernisasi yang diperjuangkan itu merongrong kedudukan dan kepemimpinan
aristokrasi lama. Pada hakikatnya elite modern bersikap idealistis dan sangat
menyadari peranannya yang simbolis sebagai pendukung ideologi- ideologi
modern, seperti antikolonialisme, demokrasi, humanitarianisme, sosialisme, dan
sebagainya. Elite modern ini merupakan unsur kepemimpinan dari pergerakan
nasional dan negara merdeka yang dihasilkan oleh perjuangannya.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Di Surakarta muncul borjuasi bumiputera yang kuat, yaitu pengusaha dan
pedagang batik, dimana industri batik di Surakarta yang mengontrol pasar
nasional. Gerakan terjadi di Surakarta, karena Surakarta merupakan tempat
keraton-keraton Jawa, selain Yogyakarta, dan dianggap sebagai tempat pusatnya
tradisi Jawa. Surakarta sebagai arena pusat pergerakan di mana semua kekuatan
sosial bergabung dalam pergerakan atau bahkan anti pergerakan. Semua insiden,
oleh residen Surakarta dianggap mengganggu keamanan dan ketertiban (rust en
orde) (Takashi Shiraishi, 1997: 16).
Menurut Suhartono (1991: 91), secara defacto, residen yang bertanggung
jawab terhadap keamanan di wilayahnya, tetapi residen merasa canggung untuk
bertindak karena ada dua kerajaan yang masing-masing mempunyai otonomi dan
kekuasaan walaupun terbatas. Walaupun demikian pengaruh kolonial telah
mendominasi struktur birokrasi kerajaan di Jawa, sehingga segala sesuatu yang
terjadi pada kerajaan harus sepengetahuan residen yang merupakan wakil
pemerintah Belanda.
Struktur birokrasi kolonial, wewenang merupakan bagian yang
diperhatikan. Walaupun kerajaan di daerah Vorstenlanden mempunyai otonom
dan juga hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri, keamanan, dan juga
ketertiban merupakan bagian dari tugas daerah Vorstenlanden yang selalu diawasi
oleh residen masing-masing daerah. Dalam penyelasaian konflik, sangat tidak
mungkin kerajaan sebagai pemerintah otonom berjalan sendiri tanpa adanya
pelaporan terhadap pemerintah kolonial saat itu. Setiap kali terjadi konflik baik
pihak pemerintah kerajaan dan juga pemerintah kolonial selalu menjadi satu
kesatuan.
Gerakan radikal menurut Sartono Kartodirdjo (1975:241) adalah gerakan-
gerakan rakyat yang bersifat tradisional, sehingga strategi dan taktiknya masih
terlalu sederhana, berumur sangat pendek, berada dalam lingkup lokal atau
regional dan umumnya dilakukan untuk melawan keadaan yang dianggap tidak
adil. Dua pimpinan Insulinde cabang Solo yaitu Haji Miscbah dan Dr. Tjipto
Mangunkusumo yang umumnya dianggap sebagai otak di balik gerakan yang
sedang timbul di Surakarta. Dr. Tjipto Mangunkusumo dan H. Misbach memilih
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
perlawanan propaganda dengan memobilisasi massa petani, padahal jika dilihat
kekuatan petani sangat tidak sebanding dengan kekuatan Belanda. Sikap
perlawanan Dr. Tjipto Mangunkusumo dilakukan dengan mengendarai kereta
kuda mengelilingi alun-alun utara Keraton Surakarta.
Gerakan radikal menentang kekuasaan feodal dan kolonial, serta
eksploitasi oleh perusahaan perkebunan yang dianggap sebagai penyebab semakin
menurunnya kesejahteraan rakyat. Tampilnya Tjipto Mangunkusumo dan H.
Misbach dalam gerakan radikal dapat dianggap sebagai perwujudan perasaan
tidak puas terhadap dampak peraturan baru, khususnya mengenai reorganisasi.
Selain itu, syarat perburuhan yang tidak layak merupakan penyebab timbulnya
gerakan protes.
Di kelurahan Nglungge, semua kuli kenceng diberi ½ bau tanah sawah dari
tanah komunal desa dan diharuskan membayar pajak tanah untuk tanah
pekarangan rumah dan lahan sawah mereka serta melakukan kerja wajib bagi desa
dan negara. Kemudian muncul gerakan protes menuntut penguasa supaya
pekerjaan mereka diperingan. Namun, penguasa menciduk pemimpin gerakan
tersebut karena aksi tersebut dikatakan illegal. Oleh karena itu, Tipto
Mangunkusumo dan H. Misbach menyerang penguasa yang menangkapi
pemimpin gerakan tersebut, dan mendorong para petani untuk terus melakukan
protes. Akan tetapi, pemimpin gerakan tersebut tetap dijatuhi hukuman, dan para
petani dibubarkan secara paksa. Setelah itu gerakan radikal yang tradisional
tersebut lenyap dan berhenti (Takashi Shiraishi, 1997: 213-214).
Dalam pemogokan di perkebunan Tegalgondo, Misbach selalu menentang
polisi dalam menghadiri pertemuan Insulinde dan menolak member daftar
kepemimpinan kelompok Insulinde yang mereka minta. Ketika menghadapi
polisi, Misbach menekan rasa takutnya dengan mengutip dan menyerukan ayat-
ayat Alquran. Jadi, pertemuan Insulinde yang dipimpin Misbach membuat
kekuasaan negara menjadi telanjang, sama sekali tidak memiliki legitimasi dan
kewibawaan. Hal tersebut yang dianggap residen mengganggu rust en orde.
Terjadi aksi mogok di Polanharjo, yang menolak kerja wajib bagi
perkebunan. Sekitar 1.500 petani pergi ke kota berjalan kaki membawa kartu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
anggota Insulinde, untuk menyatakan ketidakpuasan mereka dan menuntut
penyelesaian. Di bawah komando asisten residen, polisi segera membuat barikade
di pintu barat kota, jalan raya Solo, dan memblokade petani, serta para pemimpin
pemogokan ditangkap dan diintimidasi oleh polisi (Takashi Shiraishi, 1997: 230).
Terjadinya masalah wabah penyakit pes telah mempengaruhi polemik
politik di Surakarta, bahkan telah digunakan oleh para musuh keraton dalam
melakukan kritiknya terhadap pemerintah Belanda. Pada tahun 1915, penyakit pes
sudah sampai di Surakarta (Restu Gunawan, 2005: 976-977). Untuk memberantas
wabah tersebut, pemerintah Belanda bekerja sama dengan raja-raja pribumi,
dengan memperbaiki rumah penduduk yang terkena wabah pes, yang ternyata
menimbulkan rasa tidak senang bagi penduduk. Gubernur Idenburg menentukan
kebijakan supaya seluruh Kota Surakarta secara sistematis diperbaiki blok demi
blok. Kebanyakan orang tidak bisa membiayai perbaikan rumah, sehingga
gubernemen memberi uang muka dalam bentuk bahan bangunan dan tenaga kerja,
dan masyarakat harus membayarkan kembali dalam angsuran bulan berikutnya
kepada raja-raja setempat, kemudian raja mengembalikan ke pemerintah Belanda.
Pemerintah menetapkan setiap rumah tiangnya diganti dengan kayu, atapnya
diganti dengan genting, dan gentingnya dicat putih. Bahan-bahan tersebut diberi
oleh pemrintah dengan cara mencicilnya setiap bulannya. Ketika pembayaran
tidak berjalan lancar, maka diganti dengan menngunakan sistem pajak yang sangat
memberatkan rakyat (Restu Gunawan, 2005: 982).
Di garis depan perlawanan terhadap pemerintah Belanda adalah Haji
Miscbah dan Dr. Tjipto Mangunkusumo. Dr. Tjipto Mangunkusumo adalah orang
pertama yang mengajukan kritik terhadap tindakan gubernemen untuk
memberantas wabah pes, yang dimanfaatkan untuk mencari keuntungan
pemerintah kolonial. Dalam pidatonya, Cipto mengecam pemerintah dalam
kebijakan pertaniannya dan kurangnya tinjauan masa depan serta karena perasaan
senang sendiri dalam mengurus pajak orang pribumi. Wabah pes baik di Surakarta
maupun di daerah lain sangat erat kaitannya dengan kebijakan pemerintah Hindia
Belanda. Khusus di daerah Surakarta akibat adanya wabah pes telah berkembang
menjadi masalah politik di Surakarta. Oleh karena meningkatnya persebaran
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
wabah di berbagai daerah, pemerintah kolonial mengambil kebijakan untuk
perbaikan rumah penduduk baik yang terkena wabah maupun yang tidak dan
dilakukan kampanye anti wabah yang menyeluruh di negeri Belanda yang
dibiayai oleh penduduk Hindia Belanda (Restu Gunawan, 2005: 986-987).
Dr. Tjipto Mangunkusumo dipandang sebagai sumber inspirasi intelektual
penting oleh aktivis SI yang radikal. Insulinde Surakarta membentuk satu komite
untuk menyelidiki kegelisahan penduduk akibat program perbaikan rumah secara
paksa untuk mencegah wabah penyakit dan berbagai tindakan administratif dari
pemerintah yang berlebihan.
Dr. Tjipto Mangunkusumo terus memperjuangkan nasib rakyat terhadap
tekanan pemerintah kolonial dan pemerintah kerajaan. Di Voksraad, ia melakukan
kampanye yang berapi-api, yang mengkritik pemerintah kolonial. Sehubungan
dengan banyaknya agitasi dan pemogokan, pada bulan Mei 1920, Misbach ditahan
oleh polisi kolonial, dan setiap kegiatan yang berupa rapat-rapat dilarang oleh
pemerintah. Kemudian waktu itu tidak diperkenankan adanya politik massa dan
pemerintahan Belanda adalah politik yang diwujudkan dalam sistem politik
Beamtenstaat, yaitu sistem negara yang mendasarkan kekuatannya pada pegawai
atau negara birokrasi, ditujukan untuk mengabdi pada negara dan mengawasi
dinamika masyarakat sehingga kekuatan intelejen harus muncul. Hal tersebut
membuat aktivitas politik secara otomatis dibatasi oleh kebijakan tersebut. Sistem
dominasi itulah yang melumpuhkan inisiatif dan kreativitas bumiputra (Hermanu,
2010: xxi).
Pada tanggal 20 April 1919, Misbach menggambar kartun di Islam
Bergerak yang isinya menyinggung kapitalis Belanda dan Pakubuwono X, yang
menghisap para petani dan mempekerja-paksakan mereka. Akibatnya ia ditangkap
pada tanggal 7 Mei 1919, kemudian ia dibebaskan pada 22 Oktober 1919.
Misbach merupakan tokoh pergerakan Insulinde, Misbach selalu mengutip ayat-
ayat Alquran sebagai basis propagandanya selama berada di Insulinde. Hal ini
menjadi ciri khas Misbach, sehingga ia tidak hanya dikenal sebagai aktivis
pergerakan, tetapi juga seorang mubaligh. Insulinde afdeling sepanjang
pergerakan tahun 1918-1920 berhasil memobilisir petani, yang memicu
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
radikalisasi petani yang ternyata diluar kendali sehingga Insulinde mendapat
tekanan dari pemerintah (http://kampoengkauman.blogspot.com/kh-misbah-yang-
terlupakan.html).
Misbach aktif dalam gerakan-gerakan mobilisir rakyat, terutama petani
dan buruh. Keterlibatannya memberikan nuansa tersendiri, karena ia dikenal
sebagai orang yang tetap teguh menyampaikan dalil-dalil Alquran dalam ranah
perjuangannya. Misbach lebih memilih organisasi tempat ia berjuang, berdasar
pada pola geraknya. Itulah sebabnya ia tidak lagi aktif di Muhammadiyah serta SI
yang dipandangnya terlalu kooperatif dan lunak terhadap pemerintah, dan
memilih untuk bergabung dengan PKI yang lebih revolusioner dalam
memperjuangkan hak rakyat. Bahkan Misbach mengidentikkan perjuangan
muslim progresif sebagai “Islam Sejati”. Karena di dalam Islam terdapat anjuran
untuk menegakkan keadilan, kebenaran, kemanusiaan dan sebagainya, yang harus
diterapkan melalui politik dan sosial. Misbach memperjuangkan semangat religius
untuk membebaskan rakyat dari ketertindasan. Perlawanan yang mereka lakukan
dapat disebut sebagai gerakan semiperiferal, yaitu perlawanan yang berada di
daerah-daerah perbatasan dan memiliki kaitan dengan keraton.
Menurut Suhartono (1991: 92-93) dalam penanganan gerakan radikal, ada
beberapa solusi yang dilakukan, yaitu kebanyakan para pemimpin dan pengikut
gerakan akan mendapat hukuman yaitu dibuang ke luar Jawa, meskipun itu masih
anggota kerajaan sendiri. Pada bulan Oktober 1920, Misbach dijatuhi hukuman
dua tahun oleh pengadilan kolonial dan pada bulan Desember 1920, Dr. Tjipto
Mangunkusumo dijatuhi hukuman yaitu dibuang keluar Vorstenlanden. Dengan
ditindaknya dua orang tokoh tersebut berakhirlah gerakan radikal di Surakarta
tahun 1920 (Suhartono, 1991:87-88). Selain itu, juga digunakannya cara ronda
malam untuk mengatasi kerusuhan yang terjadi, tetapi juga tidak berhasil.
Kemudian residen membentuk sebuah asisten residen di beberapa wilayah
kekuasaan residen, hal ini dilakukan untuk mempermudah pengawasan oleh
residen melalui kepanjangan tangan asisten residen, dan pemerintah kolonial
ataupun kerajaan selalu menggunakan cara kekerasan dalam penyelesaian gerakan
protes.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Sebuah gerakan dapat terjadi apabila terdapat faktor penentu, yaitu suatu
struktur sosial yang mendukung terjadinya suatu gerakan, yang terdiri dari
tekanan ekonomi dan struktur keadaan sosial dan politik. Pemerintah Belanda
yang pelan tapi pasti melakukan represi politik terhadap raja-raja pribumi untuk
melancarkan hegemoninya di Vorstenlanden. Paku Buwono X, yang
menggunakan simbol publik yaitu pemeliharaan tradisi budaya Jawa dan Islam
sebagai identitas, pendirian madrasah dan sekolah umum, membangun sarana dan
prasarana, mendorong berdirinya organisasi sosial dan politik di Surakarta. Hal
tersebut secara simbolik dapat dijadikan tempat perlawanan masyarakat Muslim
terhadap pemerintah kolonial. Politik simbol tersebut disebut sebagai gerakan
politik Islam, karena inti gerakan politik adalah mengokohkan nilai-nilai
keagamaan melalui pendidikan Islam. PB X memberi dorongan kepada kaum
intelektual untuk melakukan gerakan perlawanan terhadap kolonialisme melalui
pendirian organisasi sosial dan politik, dan mendanai terbitnya surat kabar, seperti
Bromartani dan Timboel. Surat kabar menjadi alat untuk mengekspresikan
pemikiran kebangsaan, membentuk opini masyarakat, dan sarana untuk
menyampaikan kritik tajam terhadap pemerintah kolonial (Hermanu, 2010: 75).
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
BAB V
KESIMPULAN, IMPLIKASI, SARAN
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Latar belakang terjadinya radikalisme Muslim di Surakarta tahun 1850-1920,
yaitu sebagai akibat adanya dominasi barat beserta perubahan sosial dan
ekonomi yang mengikutinya, serta reorganisasi Administrasi dan Agraria yang
menciptakan kondisi-kondisi yang cenderung bagi rakyat untuk mengadakan
pergerakan sosial. Dominasi barat memasuki kekuasaan politik kerajaan yang
menimbulkan kemunduran kekuasaan raja-raja Surakarta, sehingga Sunan
dianggap vasal oleh pemerintah kolonial. Muncullah ketidakpuasan dari
golongan besar masyarakat pedesaan di abad XIX dan awal abad XX, dengan
adanya berbagai faktor yang ada, maka banyak menimbulkan radikalisme
masyarakat Muslim dengan ideologi Islam sebagai pengobar semangat rakyat
untuk melawan kolonialisme.
2. Ideologi Islam dijadikan pendorong gerakan politik Islam di Surakarta, karena
agama secara garis besar berfungsi sebagai alat legitimasi. Setelah suatu
otoritas dimiliki oleh sekelompok kaum elite, maka kemudian kaum elite ini
menggunakan sistem simbol agama untuk mempertahankan kekuasaannya.
Gerakan sosial keagamaan menggunakan ideologi Islam sebagai faktor
penggeraknya, dan sebagai aktivitas kolektif, gerakan tersebut memerlukan
ideologi Islam untuk pembenaran tujuannya yang akan memperkuat inspirasi
dan motivasi kelompoknya dalam menghadapi kekuatan Belanda. Karena
berbagai tekanan dari pemerintah kolonial, maka menciptakan ideologi Islam
yang memperkuat semangat perjuangan jihad melawan penjajah sebagai orang
“kafir”, sehingga mendorong munculnya gerakan sosial keagamaan terhadap
pemerintahan kolonial.
3. Peran pemimpin Islam dalam gerakan politik Islam, yang terdiri dari para
ulama dan kaum intelektual dalam menghadapi hegemoni Belanda. Para ulama
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
mempunyai peran yang dapat merangsang timbulnya gerakan-gerakan
keagamaan, sehingga mudah dalam membangkitkan loyalitas pengikutnya
untuk memobilisasikan mereka demi tujuan tertentu. Dengan adanya Politik
Etis, maka semakin bertambahnya jumlah kaum intelektual yang berpendidikan
barat, yang kemudian memunculkan organisasi politik yang dipimpin kaum
intelektual. Kaum intelektual ini bersikap idealistis dan sangat menyadari
peranannya yang simbolis sebagai pendukung ideologi- ideologi modern,
seperti antikolonialisme, demokrasi, humanitarianisme, sosialisme, dan
sebagainya. Elite modern ini merupakan unsur kepemimpinan dari pergerakan
nasional di awal abad XX, yang menegakkan cita-cita nasionalisme, dengan
Islam sebagai ajaran yang dianggap dasar, dan yang berperan dalam politik
kebangsaan. Jadi, otoritas kharismatik para pemimpin Islam dalam
memobilisasi massa merupakan ancaman, baik terhadap raja-raja maupun
terhadap penguasa kolonial.
B. IMPLIKASI
1. Teoritis
Adanya dominasi barat menyebabkan munculnya gerakan-gerakan
keagamaan yang radikal. Gerakan sosial keagamaan mempunyai kaitan erat
dengan poses perubahan sosial di satu pihak dan proses adaptasi di lain pihak.
Tidak dapat ditolak bahwa gerakan-gerakan itu sebagai gejala historis merupakan
reaksi terhadap situasi kolonial dan dominasi asing. Gerakan lebih banyak
digerakkan oleh kaum frustasi yang fanatik, anggota gerakan diidentifikasikan
sebagai orang yang tidak puas dan kecewa, yaitu mereka yang tersingkir dalam
masyarakat sampai kelompok minoritas yang tertekan yang disebut golongan
marginal. Gerakan radikal merupakan gerakan-gerakan rakyat yang bersifat
tradisional, sehingga strategi dan taktiknya masih terlalu sederhana, berumur
sangat pendek, berada dalam lingkup lokal atau regional dan umumnya dilakukan
untuk melawan keadaan yang dianggap tidak adil. Timbulnya gerakan sosial
keagamaan tidak lepas dari faktor kepemimpinan yang kharismatik, orientasi
gerakan, dan situasi kultural yang mendukungnya. Jadi, para pemimpin
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
membutuhkan alat politik untuk melegitimasi kekuasaan mereka, dalam
mempertahankan kekuasaannya maupun melaksanakan kebijakan politiknya.
Maka digunakanlah simbol keagamaan untuk melegitimasi kekuasaannya.
2. Praktis
Implikasi praktis yang dapat diambil dari penelitian ini adalah arah
kebijakan para penguasa yang kiranya selalu mengutamakan kesejahteraan rakyat,
bukannya menggunakan rakyat bawah sebagai alat kekuasaannya. Penelitian ini
berupaya menggali suatu wacana baru dalam penulisan sejarah. Wacana baru yang
dimaksud adalah tulisan-tulisan mengenai sejarah lokal di Surakarta, mengenai
gerakan radikal Muslim dalam menghadapi kekuatan Belanda dan aristokrasi
status quo yang merongrong kehidupan rakyat, sehingga melalui tulisan ini
mampu menilai dan memaknai perjuangan para patriotis yang berjuang untuk
kepentingan rakyat bawah serta mampu mendorong pembuat kebijakan di
pemerintahan untuk bersikap secara adil, bijaksana dalam setiap pengambilan
keputusan dan lebih mementingkan kepentingan rakyat agar diperoleh suatu
kesejahteraan yang adil dan makmur.
3. Metodologis
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode historis.
Pemilihan metode ini didasarkan pada kegiatan pemecahan masalah dengan
mengumpulkan sumber-sumber sejarah yang relevan dengan permasalahan yang
akan dikaji, untuk memahami kejadian pada masa lalu. Kemudian menguji dan
menganalisa secara kritis dan mengajukan sintesis dari hasil yang dicapai dalam
bentuk tertulis. Keterbatasan dalam penelitian ini adalah dalam pencarian sumber
arsip atau dokumen tertulis tidak secara lengkap. Hal ini dikarenakan sumber arsip
dan dokumen yang memuat tentang radikalisme Muslim di Surakarta sebagian ada
yang hilang. Oleh karena itu, tidak ditemukan sumber primer secara lengkap dan
menyeluruh. Keterbatasan lain yaitu sumber-sumber yang ditemukan berupa arsip
dengan menggunakan naskah tulisan Jawa maupun bahasa Belanda, sehingga di
dalam penulisan tidak dapat dikaji secara mendalam sesuai dengan sumber primer
yang diperoleh.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
C. SARAN
Dari hasil penelitian tersebut di atas, maka saran yang dapat diberikan
adalah sebagai berikut :
1. Bagi Guru
Kiranya para guru Sejarah dapat membaca hasil penelitian ini apabila ada
kegiatan seminar atau pelatihan di FKIP, dan melalui buku apabila penelitian ini
dibukukan oleh penulis. Bagi para guru Sejarah sekolah menengah pertama
maupun atas, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan kesejarahan
mengenai gerakan Islam di Surakarta pada abad XIX, yang dapat digunakan
dalam Kompetensi Dasar dalam mendeskripsikan sejarah gerakan Islam lokal
abad ke-19 dan 20, yang dapat diterapkan dalam pembuatan Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran (RPP). Selain itu, dalam perkembangan Pendidikan Sejarah, belum
banyak materi yang membahas tentang gerakan Islam di Surakarta pada abad
XIX, sehingga dari penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu alternatif
materi pelajaran yang disampaikan oleh para guru kepada siswa.
2. Bagi Mahasiswa Prodi Pendidikan Sejarah
Bagi para mahasiswa Pendidikan Sejarah, hendaknya penelitian ini dapat
dijadikan referensi dalam penelitian yang memiliki permasalahan yang sama
sebagai sumber referensi penelitian selanjutnya. Selain itu, untuk menambah
pemahaman tentang Sejarah Indonesia Madya dan Sejarah Sosial di kota
Surakarta, terutama mengenai gerakan radikal Islam pada abad ke XIX. Referensi
dapat digali dari berbagai sumber yang ada, dan kekurangan sumber yang
menggunakan bahasa yang sulit dimengerti dapat dilakukan dengan belajar bahasa
Belanda dan tulisan Jawa seperti misalnya di perpustakaan Rekso Pustoko
maupun Kasunanan, serta sumber dapat dilakukan dengan mengunduh dari
internet berbagai sumber asing dari universitas luar mengenai pembahasan
tersebut, seperti dari KITLV.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
3. Bagi Polisi
Hendaknya seorang polisi itu dapat berdialog dengan masyarakat apabila
masyarakat memiliki masalah yang sulit diselesaikan atau menjadi mediator
dalam konflik yang terjadi di masyarakat, sehingga dapat melindungi dan
memberi rasa aman bagi masyarakat. Menjadi seorang pelindung masyarakat
harus mempunyai sikap yang bijaksana, tegas, arif, peduli dan tidak terpengaruh
oleh orang lain, tetapi melakukan apa yang diyakininya walaupun tidak dapat
memuaskan semua pihak.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
DAFTAR PUSTAKA
A. Sumber Buku
Abu Ahmadi. 1975. Pengantar Sosiologi. Solo: Romadoni.
Aqib Suminto. 1986. Politik Islam Hindia Belanda. Jakarta: LP3ES.
Awani Irewati, dkk. 2001. Kerusuhan Sosial di Indonesia. Jakarta: PT
Grasindo.
Burger, D. H., 1983. Perubahan-perubahan Struktur Dalam Masyarakat Jawa.
Jakarta: Bhratara Karya Aksara.
Burke, Peter. 2003. Sejarah dan Teori Sosial. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Craib, Ian.1986. Teori-teori Sosial Modern. Jakarta: CV. Rajawali.
Deliar Noer. 1980. Gerakan Moderen Islam Di Indonesia 1900-1942. Jakarta:
Pustaka LP3ES.
Djoko Suryo. 2005. Tradisi Santri Dalam Historiografi Jawa: Pengaruh Islam Di
Pesisir Utara Jawa. Jakarta: LIPI Press.
Dudung Abdurrahman. 1999. Metode Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Logos
Wacana.
Fachry Ali. 2004. Keharusan Demokrasi Dalam Islam Indonesia. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada.
Frederick, William H. dan Soeri Soeroto (peny). 1982. Pemahaman Sejarah
Indonesia: Sebelum Dan Sesudah Revolusi. Jakarta: LP3ES.
Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori Sosial Modern. Jakarta: UI
PRESS.
Gottschalk, Louis. 1975. Mengerti Sejarah. Jakarta: Universitas Indonesia Press
Helius Syamsuddin & Ismaun.1996. Pengantar Ilmu Sejarah. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Hermanu Joebagio. 2010. Merajut Nusantara: Paku Buwono X dalam Gerakan
Islam dan Kebangsaan. Surakarta: CakraBooks.
Hermawan Wasito. 1993. Pengantar Metodologi Penelitian. Jakarta: Gramedia.
78
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Hill, Robert. 1998. Gerakan Massa. Jakarta: Lapera.
Hoffer, Eric. 1988. Gerakan Massa. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Houben, Vincent J.H. 2002. Keraton Dan Kompeni: Surakarta Dan Yogyakarta
1830-1870. Jogyakarta: Bentang Budaya.
I Ngurah Suryawan. 2010. Genealogi Kekerasan dan Pergolakan Subaltern: Bara
di Bali Utara. Jakarta: PRENADA.
Kartini Kartono. 2005. Pemimpin Dan Kepemimpinan. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.
Koentjaraningrat. 1977. Metode Penelitian-Penelitian Masyarakat. Jakarta: PT
Gramedia.
______________. 1986. Metode-metode Penelitian Masyarakat. Jakarta:
Gramedia.
Komaruddin. 2002. Analisis Putusan Hakim Dalam Memutus Pidana Bersyarat .
Surakarta: UNS.
Kuntowijoyo. 1995. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana.
___________. 2002. Radikalisasi Petani. Yogyakarta: Bentang Budaya.
Landsberger, Henry A. 1981. Pergolakan Petani dan Perubahan Sosial. Jakarta:
Rajawali.
Maarif, A. S. 1992. “Peranan Islam Dalam Menangani Krisis Abad Ke-21”.
PROSPEKTIF, No. 1, Vol 4, 23.
Magnis, Franz-Suseno. 1988. Etika Politik: Prinsip-prinsip Moral Dasar
Kenegaraan Modern. Jakarta: Gramedia.
Dawam Rahardjo, M.1985. Persepsi Gerakan Islam Terhadap Kebudayaan.
Jakarta: Gramedia.
Noer Fauzi. 1999. Petani dan Penguasa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Restu Gunawan. 2005. Wabah Pes Di Jawa1915-1925. Jakarta: LIPI Press.
Riza Sihbudi. 2005. Islam, Radikalisme, Dan Demokrasi. Jakarta: LIPI Press.
Ross, Daniel. 2005. Teori-teori Sosial. Yogyakarta: PUSTAKA PELAJAR.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Salim Frederick dan Muhammad al-Khazhath. 2001. Menuju Masyarakat Islam
Kaffah. Bogor: PSKII.
Sartono Kartodirjo. 1971. Juni. “Messianisme dan Millenarisme dalam Sedjarah
Indonesia”. Lembaran Sedjarah, No. 7. Jogjakarta: UGM Press, 39-41.
________________. 1973. Protest Movement In Rural Java. Kuala Lumpur:
Oxford University Press.
________________. 1975. Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI. Jakarta:
Depdikbud.
________________. 1982. Pemikiran Dan Perkembangan Historiografi
Indonesia. Jakarta: PT Gramedia.
________________. 1983. Elite dalam Perspektif Sejarah. Jakarta: LP3ES.
________________. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Shiraisi, Takashi. 1997. Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat Di Jawa 1912-
1926. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti.
Simon, Roger. 2000. Gagasan-gagasan Politik Gramsci. Yogyakarta: PUSTAKA
PELAJAR.
Soebardi. S. 1978. “Islam di Indonesia”. PRISMA, No Ekstra. Jakarta: LP3ES, 69-
70.
Steenbrink, Karel A. 1974. Pesantren, Madrasah, Sekolah. Jakarta: LP3ES.
________________. 1984. Beberapa Aspek Tentang Islam Di Indonesia Abad
ke-19. Jakarta: Bulan Bintang.
Suhartono. 1991. Apanage dan Bekel. Yogyakarta: TIARA WACANA
Sumadi Suryabrata. 1992. Metodologi Penelitian. Jakarta: CV Rajawali
Taufik Abdullah (ed). 1974. Islam di Indonesia. Jakarta: Tintamas Indonesia.
_________________. 1987. Sejarah dan Masyarakat: Lintasan Historis Islam di
Indonesia. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Winarno Surakhmad. 1982. Pengantar Penelitian Ilmiah: Dasar Metoda Teknik .
Bandung: Tarsito
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
Zainal Abidin. 2002. Sosiologi Islam Berbasis Hikmah. Bandung: CV PUSTAKA
SETIA.
Zainuddin Maliki .2004. Agama Priyayi. Yogyakarta: Pustaka Marwa.
Zamakhsyari Dhofier, 1982. Tradisi Pesantren (Studi Tentang Pandangan Hidup
Kyai). Jakarta: LP3ES.
B. Sumber Internet
http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_sosial, diakses Kamis 10 Februari 2011.
http://kampoengkauman.blogspot.com/kh-misbah-yang-terlupakan.html, diakses
Kamis 15 Juli 2010.
http://www.al- ikhwan.net/karakteristik-masyarakat- islam-dalam-surat-al-ahzab-
kajian-tematik-257, diakses kamis 15 Juli 2010.
http://www.pdfchaser.com/pdf/gerakan-sosial-keagamaan.html,diakses Kamis,10
Februari 2011.
perpustakaan.uns.ac.id digilib.uns.ac.id
commit to user
i