refarat sle 2013

44
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Lupus (yang berarti “serigala” dalam bahasa latin) adalah nama keluarga Romawi, dan di sana ada St.Lupus yang tinggal di tengah Perancis sekitar tahun 600. Bagaimana nama ini menjadi terhubung dengan penyakit, itu tidak diketahui. Namun demikian beberapa laporan kasus apakah mungkin kondisi medis yang sekarang disebut lupus muncul secara sporadis dalam tulisan- tulisan dari abad ke-10. Bentuk cutaneous tubercolosis juga disebut lupus pada awal 1800-an. Beberapa risalah dermatology di tahun 1830-an dan 1840-an terutama oleh Pierre de Cazenave, tersedia ilustrasi dan kasus presentasi dari apa yang dipastikan sekarang yang dikenal sebagai Lupus. Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun yang melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari yang ringan sampai berat. Pada keadaan awal, sering sulit dikenal sebagai SLE, karena manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan. Sampai saat ini penyebab SLE belum jelas diketahui. Terdapat dugaan faktor genetik, infeksi dan lingkungan ikut berperan pada patofisiologi SLE. 1

Upload: sianturi-sabar

Post on 28-Dec-2015

81 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

sle

TRANSCRIPT

Page 1: Refarat SLE 2013

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Lupus (yang berarti “serigala” dalam bahasa latin) adalah nama keluarga

Romawi, dan di sana ada St.Lupus yang tinggal di tengah Perancis sekitar tahun

600. Bagaimana nama ini menjadi terhubung dengan penyakit, itu tidak diketahui.

Namun demikian beberapa laporan kasus apakah mungkin kondisi medis yang

sekarang disebut lupus muncul secara sporadis dalam tulisan-tulisan dari abad ke-

10. Bentuk cutaneous tubercolosis juga disebut lupus pada awal 1800-an. Beberapa

risalah dermatology di tahun 1830-an dan 1840-an terutama oleh Pierre de

Cazenave, tersedia ilustrasi dan kasus presentasi dari apa yang dipastikan sekarang

yang dikenal sebagai Lupus.

Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun yang

melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari yang

ringan sampai berat. Pada keadaan awal, sering sulit dikenal sebagai SLE, karena

manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan. Sampai saat ini penyebab SLE

belum jelas diketahui. Terdapat dugaan faktor genetik, infeksi dan lingkungan ikut

berperan pada patofisiologi SLE.

Prevalensi SLE bervariasi di tiap negara. Klinik pertama di USA dimulai

oleh Marian Ropes di Boston pada tahun 1922; treatment armamentariumnya

termasuk aspirin dan dermatologicals. Di Indonesia sampai saat ini belum pernah

dilaporkan. Pada dekade terakhir, terlihat adanya kenaikan kasus yang berobat di

Jakarta. Salah satu faktor adalah kewaspadaan dokter yang meningkat. Untuk itu

perlu upaya penyebarluasan gambaran klinis kasus SLE yang perlu diketahui

sehingga diagnosis lebih dini dan pengobatan lebih akurat. Baron dkk melaporkan

ketelibatan ginjal lebih sering ditemukan pada SLE dengan usia kurang dari 18

tahun. Sedangkan pada penelitian Font dkk, lesi diskoid dan serositis lebih sering

ditemukan sebagai manifestasi awal pasien SLE laki-laki, sedangkan artritis lebih

jarang.1

1

Page 2: Refarat SLE 2013

Prevalensi SLE sangat bervariasi, semua suku bangsa dapat terkena tetap

lebih sering pada ras kulit hitam dan ada tendensi familiar. Insidensi tidak

diketahui, dapat ditemukan pada semua usia. 20% kasus SLE mulai pada masa

anak-anak, biasanya anak yang telah berusia lebih dari 8 tahun. Samanta dkk pada

penelitian populasi Asia dan kulit putih di Inggris melaporkan kelainan ginjal lebih

sering ditemukan di populasi Asia. Wanita lebih sering terkena dibanding laki-laki,

dengan perbandingan perempuan dan laki-laki 8:1, dan umumnya pada kelompok

usia produktif (Sukmana,2004; Kadang,1995).

Mengingat pentingnya manfaat pengetahuan mengenai penyakit SLE maka

pada makalah ini akan dipaparkan semua hal yang berkenaan dengan SLE, dengan

tujuan untuk memudahkan memahami patofisiologi penyakit, diagnosis, dan

tatalaksana yang tepat.

1.2 Tujuan

Penulisan makalah tinjauan kepustakaan ini bertujuan memberikan informasi

mengenai penyakit lupus eritematosus sistemik, yang merupakan salah satu

penyakit yang sukar didiagnosis secara dini.

2

Page 3: Refarat SLE 2013

BAB II

ISI

2.1 Pengertian dan Klasifikasi 1,4,7,8

Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah sebuah multisistem, penyakit

pleomorfik dimana peradangan, produksi antibodi dan hasil deposisi komplemen

imun perbaikan dalam kerusakan jaringan. Beberapa menganggapnya sebagai

sindrom dalam banyak pasien hanya beberapa aspek dari proses (contoh : nephritis,

thrombocytopenia) dan lainnya adalah normal dan sehat. Pada tahun 1971, the

American Rheumatism Association (ACR) memperkenalkan kriteria awal dalam

klasifikasi dari SLE untuk uji klinis dan studi masyarakat daripada untuk tujuan

diagnostik. Sejak diperbaharui 2 kali dan saat ini dalam revisi ke-3, definisi ini

telah berkembang sebagai wawasan baru dan autoantibodi telah tersedia.

Penjabaran dari perbedaan tipe dari lupus dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut.

Cutaneous lupus, 15%

Chronic cutaneous lupus erythematosus sebanyak 90% dalam grup ini

Systemic lupus erythematosus (SLE), 70%

- Penyakit yang mengancam organ, 35%

- Penyakit yang mengancam bukan organ, 35%

Overlap syndrome/mixed connective tissue disease (MCTD), 10% (mencakup

pemenuhan kriteria untuk SLE dan penyakit rematik lainnya)

Drug-induced lupus erythematosus, 5%

Tabel 2.1. Perbedaan Tipe Lupus

Revisi terakhir dari kriteria ACR (Tabel 2.2) menjabarkan SLE dari 4 cutaneous, 4

sistemik dan 3 komponen laboratorium. 4 dari 11 telah didiagnosis.

3

Page 4: Refarat SLE 2013

No Gejala Penjelasan

Cutaneous

1 Malar Rash Adanya eriteme berbatas tegas, datar, atau

berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung

(wilayah malar)

2 Discoid rash Bercak eritematous berelevasi sirkuler disertai

dengan sisik keratotik adherent. Jaringan parut

atropi dapat terjadi

3 Fotosensitivitas Paparan terhadap sinar UV yang dapat

menimbulkan bercak-bercak

4 Ulkus oral Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat

ditemukan

Sistemik

5 Arthritis Arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer

disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi

6 Serositis Pleurits atau perikarditis yang ditemukan melalui

ECG atau bukti adanya efusi pleura

7 Gangguan Ginjal Proteinuria >0,5 g/hari atau 3+, atas serpihan seluler

dari berbagai tipe

8 Gangguan

Neurologik

Psikosis atau kejang tanpa penyebab yang jelas

Laboratorium

9 Gangguan

Hematologik

Anemia atau leukopenia hemolotik (<4000 dalam 2

kejadian), lymphopenia (<1500 dalam 2 kejadian),

atau thrombocytopenia (<100.000 dalam ketiadaan

gangguan obat)

10 Gangguan Anti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau antibodi-

4

Page 5: Refarat SLE 2013

No Gejala Penjelasan

Imunologis phospholipid

11 Antibodi Antinuklear Jumlah ANA yang abnormal ditemukan jika

diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat

memicu ANA sebelumnya

Tabel 2.2. Revisi Kriteria ACR untuk klasifikasi dari SLE

Cutaneous lupus

Chronis cutaneous lupus erythematosus (CCLE) merupakan bagian

mayoritas dari kasus cutaneous lupus. Meskipun banyak pasien CCLE memiliki

SLE, CCLE murni didefinisikan oleh biopsi yang menunjukkan perubahan

patologis konsisten dengan gangguan pada seseorang yang tidak memenuhi kriteria

ACR untuk SLE. Sekitar 15% dari semua lupus adalah murni cutaneous, kejadian

yang sebenarnya adalah permasalahan karena banyak pasien yang tidak bertemu

rheumatologist dan dermatologist, mereka jarang dirawat di rumah sakit.1

Neonatal lupus

Ini kondisi yang jarang terjadi ketika anak dari seorang ibu yang anti-Ro

(SSA) positif lahir dengan lupus meruam sementara, yang berlangsung beberapa

minggu sebelum menghilang (bayi tidak dapat membuat anti-Ro) atau memiliki

proteksi bawaan. 1 ibu anti-Ro positif dari 14 ibu memiliki anak yang meruam

(berbintik merah); 2% dari anak yang lahir pada ibu ini memiliki komplikasi

jantung. Ini bukan lupus yang sebenarnya.1

Mixed connective tissue disease (MCTD)

1 pasien dalam 20 yang termasuk kriteria SLE memiliki fenomena Raynaud,

sebuah antibodi untuk RNP (ribonucleoprotein), dan juga terkait dengan kriteria

ACR untuk scleroderma, rheumatoid arthritis atau inflammatory myositis. Satu kali

diperkirakan dalam kondisi jinak, pasien MCTD memiliki kejadian yang tinggi

dalam pulmonary hypertension dan prediksi yang buruk.1

Crossover dan Overlap syndromes

5

Page 6: Refarat SLE 2013

Individu yang tidak memiliki antibodi untuk anti-RNP tetapi memiliki SLE

dan termasuk kriteria untuk gangguan inflamasi rematik lain yang crossover atau

overlap syndromes.1

Undifferentiated connective tissue disease (UCTD)

Untuk setiap pasien SLE, ada 6 atau 7 yang memperlihatkan lupus seperti

gejala tanpa kriteria SLE. Kehadiran dari sebuah antibodi antinuclear atau faktor

rheumatoid dengan inflamasi atau vasculopathy tertentu adalah sebuah UCTD. 1

pasien dalam 3 dengan UCTD beresolusi spontan dalam proses, 1 pasien berlanjut

memiliki UCTD dan1 pasien akan berkembang menjadi rheumatoid arthritis atau

SLE. Palindromic rheumatism juga termasuk dalam kategori ini. Ada beberapa

bukti bahwa hydroxychloroquine dapat mencegah progress dari UCTD.

Antiphospholipid syndrome

1 dari 3 orang dengan SLE memiliki antibodi antiphospholipid; 1 dari 3 ini

(sekitar 11% orang dengan SLE) mengalami kejadian thromboembolic sebagai

konsekuensi. Ini berhubungan dengan catastrophic antiphospholipid syndrome

(CAPS).

2.2 Epidemiologi dari SLE1,4,6,8

Berdasarkan definisi dari lupus di atas, 70% dari seluruh kasus SLE dibagi ke

dalam kategori yang mengancam organ atau bukan organ. Cutaneous lupus (15%),

MCTD (5%), overlap syndromes (5%) dan drug-induced lupus (5%). Juga terdapat

7 pasien UCTD dalam setiap pasien lupus. Insiden yang benar dan prevalensi

systemic lupus di USA sulit untuk dipastikan. Survei menunjukkan bahwa hanya 1

dari 3 pasien menurut dokter yang mengidap SLE sesuai dengan kriteria ACR.

Terdapat berbagai variasi hubungannya dengan rasial, etnik dan faktor geografi.

Secara keseluruhan, prevalensi rata-rata lupus di dunia terdapat 14 sampai dengan

172 kasus per 100.000 orang dan insiden setiap tahunnya yaitu 1,8 sampai dengan

7,6 kasus per 100.000. Telah diestimasi sedikitnya 300.000 dari 2 juta individu di

USA mengidap SLE. Lupus merupakan ke-2 atau ke-3 terbanyak dari gangguan

autoimun reumatik.

Ras

6

Page 7: Refarat SLE 2013

Rata-rata 1 pria kulit putih dari 10.000, 1 wanita kulit putih dari 1.000 dan 1

wanita campuran Afrika Amerika dari 250 di USA mengidap SLE. Orang kulit

berwarna didiagnosa mengidap lupus lebih sering daripada dengan Kaukasian,

tetapi statistik ini akan menjadi lebih rumit. Sebagai contoh, orang Filipina dan

China didiagnosa mengidap lupus lebih sering daripada orang Jepang atau Malay.

Rata-rata tertinggi dari SLE dilaporkan di sekitar Afro-Caribbeans dan Sioux

Native Americans, namun kualitas studi kurang baik di kedua kelompok ini. Lupus

jarang terjadi pada bagian Afrika.

Jenis Kelamin

Hampir 90% orang dengan SLE adalah wanita, sebagai perbandingan 80%

dengan chronic cutaneous lupus dan 50% drug-induced lupus. Kebanyakan

gangguan berkembang pada masa reproduksi tahunan. Rasio wanita-pria adalah 2:1

sebelum pubertas, meningkat 8:1 selama masa menstruasi dan 2,3:1 untuk pasien

berumur lebih dari 60 tahun.

Umur

Anak-anak masih berusia beberapa bulan telah didiagnosa mengidap SLE,

namun lebih sedikit 5% dari pasien lupus adalah sebelum pubertas. Anak-anak

cenderung memiliki penyakit yang mengancam organ tetapi tingkat kematian

masih rendah. Lupus yang berkembang pada pasien berusia lebih dari 50

cenderung lebih kecil mengancam organ secara alami dan dicirikan sebagai

komplain prominent musculoskeletal dan berjalan seperti blander.

Tabel 2.3. Rasio jenis kelamin pada usia sejak timbulnya atau pada diagnosis

pertama SLE

Tren

7

Page 8: Refarat SLE 2013

Survei terakhir menyimpulkan bahwa prevalensi SLE perlahan-lahan

meningkat. Apakah ini merupakan tren yang benar atau hanya hasil dari metode

kepastian dan ketersediaan autoantibodi tambahan yang mengarah ke diagnosis

kasus yang lebih sulit dan belum diselesaikan.

2.3 Patogenesis1,4,6,7,8

Lupus dibawa ketika faktor-faktor predisposing genetik diaktifkan oleh

faktor lingkungan, obat-obatan atau penularan akibat respon abnormal dalam imun.

Hal ini terjadi ketika sel-sel penekan T gagal untuk menekan, ada cacat dalam

penanda sel, cacat dalam toleransi kekebalan tubuh, sel apoptosis mendorong

terciptanya autoantibodi dan/atau hilangnya sel regulasi yang mengendalikan

autoreactivity. Hasil terakhir dalam perkembangbiakan sel B, yang mengarah pada

pembentukan autoantibodi dan kompleks imun yang menyebabkan peradangan dan

kerusakan jaringan. Patogenesis mengalami proses bertahap yang terdiri dari

beberapa fase : predisposition, benign autoimmunity, prodome dan clinical SLE. 1,4,6,78

Fase 1 : Predisposition

Faktor-faktor predisposing genetik

Tidak seperti cystic fibrosis, sebagai contoh, terdapat bukan gen lupus

tunggal. Ini adalah sebuah polygenic disorder. Kurang dari 30 gen susceptibility

dari SLE telah diidentifikasi dan menampilkan variasi tergantung pada ras, ke-

etnikan dan geografi.

Pengaruh dari jenis kelamin

Memberikan porsi 90% pasien lupus adalah wanita, hormon yang

menentukan. Estrogen dianggap permisif untuk autoimunitas, dan pelindung

androgen (meskipun laki-laki dengan lupus biasanya memiliki penyakit yang lebih

ganas). Estradiol memperpanjang hidup autoreaktif B-dan T-limfosit. Setelah

melahirkan, perempuan dapat terkena reaksi graft-versus-host dari janin mereka

(microchimerism), dan kromosom X aktif mereka diperkaya dengan gen

hypomethylated (yang dapat meningkatkan autoimunitas). Seorang wanita dengan

8

Page 9: Refarat SLE 2013

lupus memiliki risiko 2% dari putranya dan risiko 10% dari putrinya yang memiliki

lupus.

Pengaruh dari lingkungan

Sinar ultraviolet dari matahari mengubah struktur dermis, yang

menjadikannya lebih imunogenik, dan membunuh sel-sel kulit yang menginduksi

apoptosis dalam keratinosit (Gambar 2.1). Karena hanya 28% dari kembar

monozigot keduanya memiliki SLE, faktor lingkungan jelas berperan.

Noninfeksius yang terkait dengan lupus mencakup silica exposure, asap rokok, dan

pewarna rambut tertentu, pestisida, alergen, makanan, logam berat dan pelarut.

Stress yang emosional tentu dapat mengubah sistem kekebalan tubuh dan lupus

telah jarang dikaitkan dengan vaksinasi rutin.

Gambar 2.1 Proses pengaruh sinar ultraviolet pada Lupus

Peran dari Infeksi

Lupus sering dilaporkan setelah pasien terkena proses infeksi. DNA bakter

berfungsi sebagai adjuvant yang dapat menginduksi reaktivitas imun dan pasien

lupus telah meningkatkan antibodi terhadap retrovirus dan virus Epstein-Barr.

Molecular mimicry akan berperan dalam prosesnya. Ada kasus lupus yang

9

Page 10: Refarat SLE 2013

“dihidupkan” setelah infeksi Parvovirus B19 serta mikroba lainnya. Infeksi juga

dapat menghidupkan lupus yang sudah ada sebelumnya.

Peran dari obat-obatan

Farmasi memiliki pengaruh yang beragam mulai dari memperburuk proses

kekebalan untuk menginduksi lupus. Contohnya, obat dapat mengubah DNA atau

membuat imunogenik dan menyebabkan produksi autoantibodi (contoh :

procainamide). Zat lain mempengaruhi autoreaktif T- atau B-lymphocytes

(contoh : phnytoin). Hypomethylation hasil DNA dalam perbaikan DNA yang

telah berubah dan pembentukan autoantibody (contoh : fludarabine). Metabolit

teroksidasi zat tertentu dalam asetilator yang lambat, misalnya, dapat menyebabkan

reaksi kekebalan (contoh : hydralazine, isonaizid). Obat-obatan tertentu yang peka

terhadap matahari (contoh : nonarylamine sulfa antibiotics, phenothiazines) dan

mengarah ke respon inflamasi fototoksik. Hali ini terangkum dalam gambar 2.2.

Gambar 2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan SLE

10

Page 11: Refarat SLE 2013

Fase 2 : Autoimunitas yang jinak (Benign autoimmunity)

Sebuah studi rekrutan Angkatan Darat USA menunjukkan bahwa

autoantibodi lupus selalu ada sampai 9 tahun sebanyak 85 sebelum klinis lupus

terbukti. Antibodi antinuklear muncul pertama, diikuti oleh anti-DNA dan antibodi

antifosfolipid dan, akhirnya, anti-Sm dan anti-RNP. Beberapa subset autoantibodi

ini bersifat patogen, seperti anti-DNA.

Fase 3 : Prodrome (sistem kekebalan tubuh bawaan dan hilangnya toleransi

adaptasi sistem kekebalan tubuh)

Pada titik tertentu sistem pengaturan dan toleransi tubuh akan kewalahan dan

pasien mulai merasa tidak enak badan serta kelelahan. Dua jaringan kekebalan

utama berkontribusi pada generasi sel T autoreaktif dan autoantibodi pada SLE :

sistem kekebalan tubuh bawaan dan jaringan kekebalan adaptif. Infeksi, self-

antigen, dan tanda bahaya lainnya mengaktifkan sistemn kekebalan tubuh melalui

sel dendritik yang terletak pada jaringan yang sampelnya lingkungan. Reseptor

dalam sel dendritik mengenali pola molekuler dalam bakteri dan virus. Rangkaian

DNA CpG, yang umum dalam DNA bakteri namun jarang di DNA mamalia,

terikat oleh TLR7 dan TLR9 dalam sel dendritik dan limfosit B. Sel dendritik

Lupus dapat diaktifkan, karena banyak autoantigens memiliki pola molekul yang

mirip dengan DNA mikroba. Ikatan TLR7 dan TLR9 di sel plasmacytic dendritik

menghasilkan pelepasan α-interferon dan sitokin lain. Hal ini menunjukkan bahwa

sel lupus dan jaringan telah meningkatkan α-interferon.

Sistem kekebalan tubuh adaptif terhadap toleransi hilang melalui

penghapusan limfosit reaktif antigen yang gagal dalam limpa, kelenjar getah

bening, dan sumsum tulang melalui inappropriate clonal deletion, receptor editing,

atau passive transfer. Mekanisme ini menghambat, menghapus, menekan, atau

mengabaikan, yang menghasilkan sel-sel autoreaktif bahwa, bila tidak diobati, bisa

"menerobos." Bertahannya puing-puing dari sel yang rusak (apoptosis) lebih

mengarah pada pembentukan autoantibodi. Pengendapan kompleks imun dan

kegagalan membersihkannya menghasilkan kerusakan aktivasi komplemen dan

mediator peradangan lainnya (contoh : chemotaxis untuk lymphocytes dan

phagocytic cells, cytokines, chemokines, proteolytic enzymes).

11

Page 12: Refarat SLE 2013

Gambar 2.3 Respon imun bawaan pada SLE

Fase 4 : Sustaining Clinical Lupus (Sistem kekebalan adaptif dan hilangnya

pengaturan kkebalan tubuh)

Kelainan dalam sel B (produksi imunoglobulin dan autoantibodi) dan sel T

(peningkatan fungsi pembantu, penurunan fungsi penekan, kelainan dalam sel B

(produksi imunoglobulin dan autoantibodi) dan sel T (peningkatan fungsi

pembantu, penurunan fungsi penekan, kelainan sel-sel pembunuh alami dan

penekan yang bertindak paradoks untuk meningkatkan peradangan) meningkatkan

produksi sel B dan cacat pada sel signaling (T - dan reseptor permukaan sel-B yang

diubah secara struktural atau fungsional, mekanisme pelindung costimulatory

terganggu), yang mengarah ke respon imunoglobulin. Pengaturan sel CD4+CD25+

T (yang menghilangkan respon imun) dan normalnya penekan sel CD8+ T yang

rusak pada pasien lupus ketika sistem kekebalan tubuh diaktifkan. Paradigma

Th1/Th2 dilengkapi dengan Treg dan Th17 fenotipe. Sel Treg menunjukkan faktor

turunan seperti FoxP3, dimana mereka memberikan sinyal penghambatan.

Peradangan terjadi kemudian, yang akhirnya diungkapkan sebagai aktivitas

penyakit. Kronisitas proses ini menghasilkan kerusakan jaringan dan organ.

12

Page 13: Refarat SLE 2013

Gambar 2.4 Kekebalan adaptif pada SLE

2.4 Gejala Klinis dan Tanda-Tanda1,7

Manifestasi Klinik

Berbagai organ dapat terkena yang akan menimbulkan berbagai macam

manifestasi klinik, namun dapat pula mengenai hanya satu organ saja. Pada kasus

yang dilaporkan terdapat artritis, kelainan kulit, efusi perikard, limfadenopati dan

hepatomegali tanpa ikterus. Menurut kepustakaan lainnya, manifestasi klinik yang

paling sering ialah gejala muskuloskeletal berupa artritis atau atralgia 92%, demam

84%, kelainan kulit, rambut, atau selaput lendir 72%, kelainan neuropsikiatri 60%,

renal 50%, saluran pernapasan 45%, dan kardiovaskular 40%.1,7

Manifestasi klinis SLE pada sistem saraf lebih sering terjadi di serebral

dibanding medula spinalis. Serebral lupus dengan gejala neuropsikiatrik psikosis

50–67 %, kejang 15–20%, stroke 3–5%, serta paresis saraf kranial dan gangguan

pergerakan. Mielopati yang terjadi pada medula spinalis sehingga menimbulkan

defisit neurologis dapat berlangsung dalam beberapa jam, hari, atau beberapa

13

Page 14: Refarat SLE 2013

minggu. Sebagian besar gejala klinik yang muncul berupa paraparesis atau

paraplegia pada sekitar 85% kasus, sedangkan quadriparesis atau quadriplegia yang

terjadi pada lesi daerah medula spinalis servikalis sebanyak 15%. Refleks fisiologis

dapat menurun atau menghilang karena terjadi syok spinal. Gangguan sensibilitas

bisa komplit atau tidak komplit yang dapat terjadi secara ascending, daerah yang

terlibat sering pada torakal III- XI, serta inkontinensia urin dan alvi1. Lokasi

kelainan di torakal 5-8 lebih sering karena pembuluh darah dan kolateral lebih

terbatas, sehingga lebih mudah mengalami gangguan (Tonam,2004).

Manifestasi Muskuloskeletal1,7

Kebanyakan pasien SLE memiliki poliarthritis intermitten, berderajat mulai

ringan hingga kecacatan, ditandai dengan pembengkakan jaringan lunak dan nyeri

pada sendi, paling sering pada tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Deformitas

sendi (tangan dan kaki) terjadi hanya pada 10% pasien. Erosi pada gambaran x-ray

sendi jarang ditemukan. Keberadaannya menandakan peradangan arthropati non

lupus seperti rheumatoid arthritis. Beberapa ahli memperkirakan bahwa erosi dapat

juga terjadi pada SLE. Jika nyeri bertahan pada satu sendi, seperti lutut, bahu, atau

pinggang, diagnosis nekrosis iskemik tulang perlu dipertimbangkan, terutama jika

tidak ada manifestasi SLE aktif lainnya (Hahn et al,2005).

Prevalensi nekrosis iskemik tulang meningkat pada SLE, terutama pada

pasien yang ditangani dengan glukokortikoid sistemik. Myositis dengan kelemahan

otot klinis, peningkatan kadar kreatinin kinase, MRI Scan positif, dan nekrosis otot

dan peradangan pada biopsi dapat terjadi, walaupun kebanyakan pasien mengalami

myalgia tanpa myositis yang jelas. Terapi glukokortikoid dan antimalaria dapat

juga menyebabkan kelemahan otot. Efek samping ini mesti dibedakan dari

penyakit aktif.

Manifestasi Penyakit Kulit 1,7

Lupus dermatitis dapat diklasifikasikan sebagai discoid lupus erythematosus

(DLE), bercak sistemik, subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), atau

lainnya. Lesi diskoid merupakan lesi kasar sirkuler disertai dengan sedikit

peninggian, lingkaran eritematosa hiperpigmentasi bersisik, dan pusat

14

Page 15: Refarat SLE 2013

depigmentasi dengan atropi dimana semua bagian demal secara permanen rusak.

Lesi dapat memperburuk estetik, terutama pada wajah dan kulit kepala. Pengobatan

utamanya merupakan kortikosteroid topikal atau injeksi lokal dan antimalaria

sistemik. Hanya 5% individu dengan DLE memiliki SLE (walaupun setengahnya

memiliki ANA yang positif); namun, di antara individu dengan SLE, sebanyak

20% memiliki DLE. Kebanyakan bercak SLE yang umum bersifat fotosensitif,

eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah (utamanya pada pipi dan sekitar

hidung –the ”buterfly rash”), telinga, dagu, daerah V pada leher, punggung atas,

dan bagian ekstensor dari lengan. Memberatnya bercak ini kadang disertai dengan

serangan penyakit sistemik. SCLE mengandung bercak merah bersisik mirip

dengan psoriasis atau lesi sirkuler datar kemerahan. Pasien dengan manifestasi ini

sangat fotosensitif; kebanyakan memiliki antibodi terhadap Ro (SS-A). Bercak

SLE lainnya termasuk urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-like, bullar, dan

pannikulitis (“lupus profundus”). Bercak dapat ringan atau berat, dan dapat

menjadi manifestasi utama penyakit ini. Ulkus kecil dan nyeri pada mukosa oral

dan nasal umum pada SLE, lesinya mirip dengan ulkus pada sariawan.

Manifestasi Renal

Nephritis biasanya manifestasi SLE yang paling berat, terutama karena

nephritis dan infeksi merupakan penyebab utama mortalitas pada dekade pertama

penyakit ini. Karena nephritis asimptomatik pada kebanyakan pasien SLE,

urinalisis sebaiknya dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami SLE.

Klasifikasi dari lupus nephritis berdasar dari gambaran histologis (table 1). Biopsi

renal berguna untuk merencanakan terapi terkini atau di masa akan datang. Pasien

dengan bentuk kerusakan glomerulus proliferatif berbahaya (ISN III dan IV)

biasanya memiliki hematuria dan proteinuria mikroskopik (>500 mg per 24 jam).

Sekitar setengah pasien mengalami sindrom nephrotik, dan kebanyakan terjadi

hipertensi. Jika glomerulonephritis proliferatif difus (DPGN) tidak ditangani,

kebanyakan pasien akan mengalami ESRD dalam 2 tahun diagnosis. Sehingga,

imunosupresi agresif diindikasikan (kebanyakan kortikosteroid sistemik disertai

dengan obat sitotoksik), kecuali kerusakan irrversibel. Etnis Afrika-Amerika lebih

15

Page 16: Refarat SLE 2013

cenderung mengidap ESRD dibandingkan dengan ras Kaukasia, bahkan dengan

kebanyakan terapi terkini.1,7,8

Di Amerika Serikat, sekitar 20% individu dengan lupus DPGN meninggal

atau mengalami ESRD setelah 10 tahun diagnosis ditegakkan. Individu tersebut

membutuhkan pengendalian SLE yang agresif dan dari komplikasi penyakit ginjal.

Segelintir pasien SLE dengan proteinuria (biasanya nephrotik) memiliki perubahan

glomerulus membranous tanpa proliferasi pada pemeriksaan biopsi ginjal.

Prognosisnya lebih baik daripada mereka dengan DPGN, namun proteinuria

cenderung merupakan keadaan yang berkelanjutan, disertai dengan serangan yang

membutuhkan penanganan ulang selama beberapa tahun. Untuk kebanyakan orang

dengan lupus nephritis, percepatan aterosklerosis menjadi penting setelah beberapa

tahun, perhatian berlebih diberikan untuk mengendalikan tekanan darah,

hiperlipidemia, dan hiperglikemia.

Manifestasi Sistem Saraf

Ada banyak manifestasi sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer pada SLE,

pada beberapa pasien tertentu hal ini merupakan penyebab morbiditas dan

mortalitas. Penting untuk melakukan pendekatan diagnostik dengan menanyakan

apakah gejalanya akibat SLE atau penyakit lain (seperti infeksi pada individu

immunocompromised). Jika gejala berhubungan dengan SLE, sebaiknya

ditentukan apakah mereka disebabkan oleh proses difus atau penyakit oklusif

vaskuler. Manifestasi klinis SSP paling umum adalah disfungsi kognitif, termasuk

kesulitan dalam mengingat dan memberikan alasan. Sakit kepala juga umum

terjadi. Jika terjadi mendadak berat, maka ini menandakan serangan SLE, jika lebih

ringan, sulit dibedakan dengan migrain atau sakit kepala tipe tegang.7

Kejang dari beberapa tipe dapat disebabkan oleh lupus, penanganan

seringkali membutuhkan antiseizure dan immunosupresif. Psikosis dapat menjadi

manifestasi dominan pada SLE. Hal ini mesti dibedakan dengan psikosis akibat

glukokortikoid. Yang terakhir biasanya terjadi pada minggu pertama pemberian

glukokortikoid, pada dosis prednisone 40 mg harian atau sederajat. Psikosis

sembuh beberapa hari setelah pemberian kortikosteroid diturunkan atau dihentikan.

16

Page 17: Refarat SLE 2013

Myelopati tidak jarang dan seringkali menimbulkan kecacatan, terapi

immunosupresif segera dimulai dengan glukokortikoid merupakan standar terapi.

Oklusi Vaskuler

Prevalensi dari transient ischemic attacks, stroke, dan infark myokard

meningkat pada pasien SLE. Kejadian vaskuler ini meningkat, namun tidak

ekslusif, pada pasien SLE dengan antibodi terhadap fosfolipid (aPL). Sepertinya

antibodi antifosfolipid ini berkaitan dengan hiperkoagulabilitas dan kejadian

thrombotik akut, dimana penyakit kronis berkaitan dengan percepatan

atherosclerosis. Iskemia pada otak dapat disebabkan oleh oklusi fokal (baik

noninflamasi atau berkaitan dengan vaskulitis) atau dengan embolisasi dari plak

arteri karotid atau dari vegetasi fibrinous dari Libman-Sack endokarditis.

Pemeriksaan yang tepat untuk aPL dan untuk sumber emboli sebaiknya dilakukan

pada pasien seperti ini untuk memperkirakan kebutuhan, intensitas, durasi dari

terapi antiinflamasi dan/atau antikoagulasi. Pada SLE, infark myokard merupakan

manifestasi utama pada atherosclerosis. Peningkatan risiko kejadian vaskuler dapat

mencapai 7 hingga sepuluh kali lipat secara keseluruhan, dan lebih tinggi pada

wanita. Peran dari terapi statin pada SLE masih dalam penelitian.7

Manifestasi Pulmoner

Manifestasi pulmoner yang paling sering terjadi pada SLE adalah pleuritis

dengan atau tanpa efusi pleural. Gejala ini, jika ringan, dapat berespons dengan

pemberian terapi NSAID (nonsteroidal antiinflammatory drugs). Jika lebih berat,

pasien membutuhkan terapi glukokortikoid. Infiltrat pulmoner dapat juga terjadi

sebagai manifestasi SLE aktif dan sulit dibedakan dari infeksi pada gambaran

radiologi. Manifestasi pulmoner yang membahayakan nyawa termasuk peradangan

interstitial yang menyebabkan fibrosis, sindrom paru menyusut, dan perdarahan

intraalveolar. Semua kemungkinan ini membutuhkan terapi immuno suppresif

yang agresif secara dini, begitu pula dengan perawatan suportif.7

Manifestasi Penyakit Jantung

Pericarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling umum terjadi;

biasanya ini berespon dari terapi antiinflamasi dan jarang mengakibatkan 17

Page 18: Refarat SLE 2013

tamponade jantung. Manifestasi kardiak yang lebih berat adalah miokarditis dan

endocarditis Libman-Sacks fibrinous. Keterlibatan endokardial dapat menyebabkan

insufisiensi valvular, kebanyakan katup mitral atau aorta, atau kejadian embolik.

Belum terbukti bahwa terapi glukokortikoid atau imunosuppressif dapat

menyebabkan perbaikan lupus miokarditis atau endocarditis, namun umum

dilakukan pemberian dosis tinggi steroid bersamaan dengan terapi suportif yang

tepat untuk gagal jantung, aritmia, atau kejadian embolik. Pasien dengan SLE

mengalami peningkatan risiko infark miokard, biasanya akibat percepatan

terjadinya atherosclerosis, dimana kemungkinan diakibatkan oleh peradangan

kronis dan/atau kerusakan oksidatif pada lipid dan pada organ. 7

Manifestasi Hematologik

Manifestasi hematologik yang paling sering pada SLE adalah anemia,

biasanya normokromik normositik, menandakan adanya penyakit kronis.

Hemolisis dapat cepat dalam onset dan beratnya, sehingga membutuhkan terapi

glukokortikoid dosis tinggi, dan ini efektif pada kebanyakan pasien. Leukopenia

juga sering dan hampir selalu mengandung limfopenia, bukan granulositopenia.

Keadaan ini jarang memudahkan terjadinya infeksi dan biasanya tidak

membutuhkan terapi. Trombositopenia merupakan masalah yang berulang. Jika

hitung platelet >40.000/L dan perdarahan abnormal tidak terjadi. Terapi

glukokortikoid dosis tinggi (misal, 1 mg/kg per hari dengan prednison atau yang

seimbang) biasanya efektif untuk beberapa episode pertama trombositopenia berat.

Anemia hemolitik dan trombositopenia rekuren atau berkepanjangan, atau penyakit

yang membutuhkan dosis yang sangat tinggi dari glukokortikoid harian, sebaiknya

ditangani dengan strategi tambahan. 7

Manifestasi Gastrointestenal

Mual, seringkali dengan muntah, dan diare dapat menjadi manifestasi dari

suatu serangan SLE, seperti nyeri abdominal difus yang disebabkan oleh peritonitis

autoimun. Peningkatan serum aspartate aminotransferase (AST) dan alanine

aminotranferase (ALT) umum jika SLE sedang aktif. Manifestasi ini biasanya

membaik secara perlahan selama pemberian terapi glukokortikoid sistemik.

18

Page 19: Refarat SLE 2013

Vaskulitis yang melibatkan usus dapat mengancam nyawa. Perforasi, iskemia,

perdarahan, dan sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi. Terapi

immunosuppressif dengan glukokortikoid dosis tinggi disarankan untuk

pengendalian jangka pendek, terjadinya rekurensi merupakan indikasi dari terapi

tambahan 7

Manifestasi Okuler

Sindrom Sicca (Sindrom Sjögren) dan konjungtivitis nonspesifik umum

terjadi pada SLE namun jarang membahayakan penglihatan. Berbeda dengan

vaskulitis retinal dan neuritis optik yang merupakan manifestasi berat. Kebutaan

dapat terjadi dalam beberapa hari atau minggu. Immunosuppresif agresif

dianjurkan, walaupun tidak ada penelitian untuk membuktikan efektivitasnya.

Komplikasi dari terapi glukokortikoid termasuk katarak dan glaucoma.

Pemeriksaan penunjang antibodi anti nuclear (ANA) merupakan uji

penyaring yang terbaik untuk menegakkan diagnosis LES. ANA hampir selalu

positif pada lebih dari 95% pasien SLE dan pemeriksaan ANA harus selalu

dilakukan pada kasus yang dicurigai sebagai LES. ANA tidak selalu spesifik untuk

SLE karena ANA dapat juga dijumpai pada penyakit lain seperti skeloderma,

artritis rematoid, atau drugs induced LE seperti isoniazid. Antibodi yang lebih

spesifik untuk SLE adalah antibodi anti ds-DNA dan anti SM, walaupun

sensitivitasnya pada SLE masingmasing adalah 75% (anti ds-DNA) dan 25% (anti

SM). Pemeriksaan ANA pada pasien menunjukkan positif 1/40, titer yang tinggi

anti dsDNA ( positif 949 iu/ml ), C3 adan C4a yang menurun, serta LED

meningkat menandakan proses penyakit pada pasien ini sedang aktif dan berat.

Pemeriksaan lain yang cukup bermanfaat untuk melihat proses penyakit yang

sedang aktif adalah nilai C Reactive Protein yang tinggi.

Analisa cairan otak pada mielopati SLE harus dilakukan dalam 24 jam sejak

gejala timbul. Pada 70–85% kasus yang melibatkan sistem saraf, ditemukan

peningkatan protein sampai 639 mg/dl, jumlah sel lebih dari 20. Selain itu, juga

bermanfaat untuk menyingkirkan proses infeksi yang terjadi. Pada kasus ini,

didapatkan likuor sel 16/3, protein 244mg/dl, dan perbandingan glukosa likuor –

darah 36/93 mg/dl adalah 0,38. Nilai perubahan likuor dapat terjadi pada SLE dan

19

Page 20: Refarat SLE 2013

disertai gejala klinis seperti sakit kepala dan kaku kuduk yang diagnosis sebagai

meningitis aseptik.

Pemeriksan imaging mielografi dan CT mielografi sensitif, tapi tidak spesifik

untuk mendiagnosis mielopati yang berhubungan dengan LES. Sebagian besar

kasus yang dilaporkan, hasil mielogramnya normal. Magnetic resonance imaging

(MRI) merupakan pilihan yang terbaik karena pemeriksaan tidak invasif dan

sensitif dalam mengevaluasi kelainan pada medula spinalis. Pembesaran medula

spinalis selalu terlihat pada fase akut, sedangkan fase remisi akan kembali normal

atau atrofi. Pada pasien ini, imaging seharusnya dilakukan untuk melihat proses

kelainan anatomi seberapa luas dan berat serta untuk menyingkirkan kemungkinan

proses lain yang dapat menyebabkan mielopati. CT scan otak dapat dilakukan atas

pertimbangan terjadinya perburukan dalam perawatan yang diduga akibat stroke.

Hasil yang didapatkan merupakan gambaran hiperdensitas berupa garis multipel

kecil-kecil di lobus parietal kanan (vaskulitis). Vaskulitis dapat terjadi pada

serebral lupus meskipun sangat jarang. Infark luas, atrofi kortikal, lesi multifokal

pada substansia alba, dan grisea sering terlihat pada imaging serebral SLE.7

2.4 Penatalaksanaan1,2,4,6

Tidak ada terapi untuk menyembuhkan SLE, dan remisi sempurna jarang

terjadi. Sehingga dokter sebaiknya merencanakan untuk mengendalikan serangan

akut yang berat dan kemudian mengembangkan strategi untuk menekan gejala

pada kadar yang dapat diterima dan mencegah kerusakan organ. Penatalaksanaan

mencakup penatalaksanaan umum dan terapi konservatif.

Bentuk penanganan umum pasien dengan SLE antara lain :

1. Kelelahan

Hampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Sebelumnya kita harus

mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena

penyakit lain yaitu: anemia, demam, infeksi, gangguan hormonal atau

komplikasi pengobatan dan emotional stress. Gejala ini merupakan manifestasi

yang berhubungan dengan disfungsi sitokin dalam proses inflamasi sehingga

peningkatan keluhan dapat sebagai parameter aktivitas inflamasi. Upaya

20

Page 21: Refarat SLE 2013

mengurangi kelelahan di samping pemberian obat ialah: cukup istirahat, batasi

aktivitas, dan mampu mengubah gaya hidup.

2. Merokok

Walaupun prevalensi SLE lebih banyak pada wanita, cukup banyak wanita

perokok. Kebiasaan merokok akan mengurangi oksigenisasi, memperberat

fenomena Raynaud yang disebabkan penyempitan pembuluh darah akibat

bahan yang terkandung pada rokok.

3. Cuaca

Sebagian penderita SLE khususnya dengan keluhan artritis sebaiknya

menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses inflamasi.

4. Stres dan trauma fisik

Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan emosi dan trauma fisik

dapat mempengaruhi sistem imun melalui: penurunan respons mitogen

limfosit, menurunkan fungsi sitotoksik limfosit dan menaikkan aktivitas sel NK

(Natural Killer). Keadan stress tidak selalu mempengaruhi aktivasi penyakit,

sedangkan trauma fisik dilaporkan tidak berhubungan dengan aktivasi SLE-

nya. Umumnya beberapa peneliti sependapat bahwa stress dan trauma fisik

sebaiknya dikurangi atau dihindari karena keadaan yang prima akan

memperbaiki penyakitnya.

5. Diet

Tidak ada diet khusus yang diperlukan pasien LES, makanan yang berimbang

dapat memperbaiki kondisi tubuh. Beberapa penelitian melaporkan bahwa

minyak ikan (fish oil) yang mengandung eicosapentanoic acid dan

docosahexanoic acid dapat menghambat agregasi trombosit, leukotrien dan 5-

lipoxygenase di sel monosit dan polimorfonuklear. Sedangkan pada penderita

dengan hiperkolesterol perlu pembatasan makanan agar kadar lipid kembali

normal.

6. Sinar matahari (sinar ultra violet)

21

Page 22: Refarat SLE 2013

Seperti diketahui bahwa sinar ultra violet mempunyai tiga gelombang, dua dari

tiga gelombang tersebut (320 dan 400 nm) berperan dalam proses fototoksik.

Gelombang ini terpapar terutama pada pukul 10 pagi s/d pukul 3 sore, sehingga

semua pasien SLE dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari pada

waktu-waktu tersebut.

7. Kontrasepsi oral

Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan

memperberat LES, akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan membahayakan

penyakitnya. Pada penderita SLE yang mengeluh sakit kepala atau

tromboflebitis jangan menggunakan obat yang mengandung estrogen.

Pengobatan farmakologis untuk SLE, antara lain :

1. Steroid sistemik

Yang paling penting pada pengobatan SLE adalah pertimbangan untuk memilih

regimen pengobatan karena pengobatan akan berlangsung lama, dengan

berbagai efek samping yang akan terjadi. SLE dibagi dua kelompok besar

(Dubois), yaitu :

Kelompok ringan

Termasuk pada kelompok ini ialah: demam, artritis, perikarditis ringan,

efusi pleura/perikard ringan, kelelahan dan sakit kepala.

Kelompok berat

Termasuk pada kelompok ini ialah: efusi pleura dan perikard masif,

penyakit ginjal, anemia hemolitik, trombositopenia, lupus serebral,

vaskulitis akut, miokarditis, lupus pneumonitis dan perdarahan paru.

Keuntungan pembagian ini ialah untuk menentukan dosis steroid atau obat

lainnya.

2. Panduan umum derajat SLE ringan

- Aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid merupakan pilihan utama.

- Dosis disesuaikan dengan derajat penyakitnya.

22

Page 23: Refarat SLE 2013

- Penambahan obat anti malaria hanya dikhususkan bila ada skin rash dan lesi di

mukosa membran.

- Bila pengobatan tersebut gagal, dapat ditambah prednison 2,5 mg - 5 mg/hari,

dapat dinaikkan secara bertahap 20% tiap 1-2 minggu, sesuai kebutuhan.

3. Panduan umum derajat SLE berat

- Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama.

- Obat anti inflamasi nonsteroid dan anti malaria tidak diberikan.

- Pemberian prednison dan lama pemberian disesuaikan dengan kelainan organ

sasaran yang terkena

4. Pengobatan pada kasus-kasus khusus

a. Anemia hemolitik autoimun.

Prednison: 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/KgBB/hari). Bila dalam beberapa hari

sampai 1 minggu belum ada perbaikan maka dosis dapat ditingkatkan sampai

100 mg-120 mg/hari. Umumnya respons penuh akan dicapai dalam 8-12

minggu.

b. Trombositopenia autoimun.

Prednison : 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/KgBB./hari). Bila tidak ada respons

dalam 4 minggu ditambahkan Imunoglobulin intravena (IVIG) 0,4

mg/KgBB./hari selama 5 hari berturut-turut.

c. Vaskulis sistemik akut.

Prednison : 60-100 mg/hari, umumnya respons akan terlihat dalam beberapa

hari; kecuali pada kasus dengan komplikasi gangren di tungkai, respons

terlihat dalam beberapa minggu. Pada keadaan akut diberikan steroid

parenteral.

d. Perikarditis

- Ringan : obat anti inflamasi non steroid atau anti malaria. Bila dengan obat

ini tidak efektif dapat diberi prednison 20-40 mg/hari.

- Berat : prednison 1 mg /KgBB./hari.

e. Miokarditis

23

Page 24: Refarat SLE 2013

Prednison 1 mg/KgBB/hari, bila tidak efektif dapat dikombinasi dengan

siklofosfamid.

f. Efusi pleura

Prednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, lakukan pungsi pleura/drainage.

g. Lupus pneumonitis

Prednison 1-1,5 mg/KgBB./hari selama 4-6 minggu.

h. Lupus serebral

Metil prednisolon 2 mg/KgBB./hari untuk 3-5 hari, bila berhasil dilanjutkan

pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan perlahan. Metil prednisolon pulse

dosis selama 3 hari berturut-turut.

i. Lupus Nefritis

Penatalaksanaan umum1,2,4,6

Bila tidak ada kontraindikasi semua pasien dengan SLE sebaiknya dibiopsi.

Biopsi dapat diulang jika dalam perjalanan pengobatan, gejalanya menetapn

atau memburuk.

Diet rendah garam jika ditemukan hipertensi, rendah lemak jika ada

hiperlipidemia atau sindrom nefritis, begitu juga diet rendah protein

disesuaikan dengan derajat penyakitnya. Kalsium dapat diberikan untuk

mengurangi efek samping osteoporosis karena steroid.

Diuretika dapat diberikan sesuai dengan kebutuhan.

Pemeriksaan rutin periodik meliputi pemeriksaan : Sedimen urin, Urin 24 jam

(protein), Kreatinin dan CCT, Albumin serum, anti DNA

Pemeriksaan diulang sesuai dengan perkembangan penyakit: pantau efek

samping steroid dan komplikasi yang terjadi selama pengobatan (infeksi dll),

hindari pemberian salisilat dan obat antiinflamasi non steroid karena akan

memperberat kerja ginjal, Penanganan hipertensi yang baik, hindari kehamilan

24

Page 25: Refarat SLE 2013

bila LN masih aktif. Aspirin hanya diberikan selektif bila ada anti fosfolipid

(Sukmana,2004).

Pengobatan LN secara umum (memenuhi kriteria ARA), yaitu Prednison: 1

mg/KgBB/hari untuk 6-12 minggu. Setelah itu dapat diturunkan secara bertahap.

Pengelolaan LN sampai sekarang masih kontroversial. Tujuan utamanya adalah

mencegah pemburukan penyakit.

Panduan pengobatan sesuai kelas WHO

Kelas I : Tidak ada pengobatan khusus.

Kelas II : Mesangial (IIA) tidak memerlukan pengobatan. Pada pasien kelas

II B; dengan protein lebih 1 g, titer DNA tinggi, dan C3 rendah

dapat diberi prednison 20mg/hari selama 6 minggu sampai 3 bulan,

setelah itu diturunkan bertahap.

Kelas III : Umumnya pemberian steroid digabung dengan siklofosfamid

Kelas IV : Prednison : 1 mg/KgBB/ hari selama 6-12 minggu

Kelas V : Umumnya tidak diberi siklofosfamid. Protokol pemberian

siklofosfamid Dosis 0,5-1 g/m2 luas permukaan badan diberikan

secara bolus (per infus) tiap bulan selama 6 bulan, selanjutnya tiap

3 bulan sampai 1-2 tahun kemudian, atau total dosis mencapai 10

g. Protokol pemberian pulse metil prednisolon Dosis 1 g IV

(bolus) selama 3 hari berturut-turut. Diindikasikan pada oliguria

akut (renal failure), lupus serebral dengan koma, dan lupus krisis

(acute serious SLE) (Sukmana,2004).

2.4 Pencegahan secara umum1,2,4,6

Diet khusus perlu diperhatikan dengan melihat keadaan ginjal, jantung, atau

komplikasi SLE lainnya. Pembatasan aktivitas umum (berkendaraan,

mengoperasikan mesin, berenang), terutama bila pada pasien dijumpai kejang.

Pembatasan aktivitas juga dilakukan pada pasien dengan kelainan otak, mielopati,

gangguan visual, dan sindrom neuromuskular (Grisolia,2005). Komplikasi yang

25

Page 26: Refarat SLE 2013

paling sering terjadi pada pasien SLE adalah infeksi oportunistik akibat terapi

imunosupresan jangka panjang, osteonekrosis, dan penyakit aterosklerosis dan

infark miokard prematur. Prognosis penyakit sangat bervariasi. Prognosis lebih

buruk bila terdapat kerusakan renal dan susunan saraf pusat (Bartels,2008).

Edukasi yang penting bagi pasien adalah dengan menghindari pancaran sinar

matahari bila terdapat fotosensitivitas, meminimalkan penggunakan NSAIDs dan

salisilat, dan selalu rutin berkunjung ke dokter (Bartels,2008).

26

Page 27: Refarat SLE 2013

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Kesimpulan dari penulisan makalah tinjauan kepustakaan ini antara lain :

1. Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah sebuah multisistem, penyakit

pleomorfik dimana peradangan, produksi antibodi dan hasil deposisi

komplemen imun perbaikan dalam kerusakan jaringan. Beberapa

menganggapnya sebagai sindrom dalam banyak pasien hanya beberapa aspek

dari proses dan lainnya adalah normal dan sehat.

2. Dasar mekanisme patogenik dari SLE adalah adanya interaksi antara faktor gen

predisposisi dan lingkungan yang menghasilkan respons imun yang abnormal.

3. Perjalanan alamiah penyakit SLE sangat bervariasi dari penyakit dengan gejala

ringan hingga penyakit yang progresif cepat dan fatal.

4. American College of Rheumatology (ACR) 1982/1997 telah direvisi dan

mengklasifikasikan SLE terdiri dari 4 cutaneous, 4 sistemik dan 3 komponen

laboratorium. 4 dari 11 kriteria telah didiagnosis.

5. Pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya dilakukan untuk mengetahui ada

tidaknya keterlibatan organ-organ vital, sehingga penanganan dan pencegahan

komplikasi dapat dilakukan secepat-cepatnya.

6. Belum ada terapi untuk menyembuhkan SLE, dan remisi sempurna jarang

terjadi, sehingga dokter perlu merencanakan untuk mengendalikan serangan

akut yang berat dan kemudian mengembangkan strategi untuk menekan gejala

penyakit.

27

Page 28: Refarat SLE 2013

3.2 Saran

Penatalaksanaan SLE masih terus berkembang, berbagai sentra melakukan

penelitian dalam upaya meningkatkan kualitas hidup pasien SLE. Tersedianya

sarana laboratorium dan diagnostik yang memadai memudahkan diagnosis dini.

Tingkat ekonomi pasien perlu dipertimbangkan dengan bijak agar pembiayaan

dapat ditekan sekecil-kecilnya dengan memilih pemeriksaan yang sangat

diperlukan sesuai dengan skala prioritas.

28

Page 29: Refarat SLE 2013

DAFTAR PUSTAKA

1. Wallace, Daniel.J. Lupus, The Essential Clinician’s Guide, Oxford American

Rheumatology Library (OARL), 2008.

2. Sukmana, Nanang. Penatalaksanaan SLE pada Berbagai Target Organ. Cermin

Dunia Kedokteran 2004;142:27-30.

3. Kadang, J.K.; Andilolo,J.K. Lupus Eritematosus Sistemik: Laporan Kasus. Cermin

Dunia Kedokteran ;86: 40-2.

4. Hahn, Bevra Hannahs. Systemic Lupus Erytematosus. Dalam Harrison’s Principles

of Internal Medicine, edisi ke-16. Editor: Kasper, D.L.; Braunwauld, E.; Fauci, A.;

Hauser,S.; Longo, D.; Jameson, L..; et al. McGraw-Hill Professional, 2010.

5. Riyanto, Harun. Peniru Ulung Lupus Eritematosus Sistemik. Gemari 2009;85(9):1

6. Bartels, C.M.; Hildebrand, J. Systemic Lupus Erytematosus. Emergency Medicine

Textbook. Editor: Lozada, C.J. et al. WebMD, 2008.

7. Tonam; Turana, Yuda; Moeliono F.L. Manifestasi Neurologi pada Lupus

Eritematosus Sistemik. Cermin Dunia Kedokteran 2004;142:33-5

8. Grisolia, J.S.; Systemic Lupus Erytematosus. Emergency Medicine Textbook.

Editor: Kent, Thomas A.; et al. WebMD, 2005.

29