refarat sle 2013
DESCRIPTION
sleTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Lupus (yang berarti “serigala” dalam bahasa latin) adalah nama keluarga
Romawi, dan di sana ada St.Lupus yang tinggal di tengah Perancis sekitar tahun
600. Bagaimana nama ini menjadi terhubung dengan penyakit, itu tidak diketahui.
Namun demikian beberapa laporan kasus apakah mungkin kondisi medis yang
sekarang disebut lupus muncul secara sporadis dalam tulisan-tulisan dari abad ke-
10. Bentuk cutaneous tubercolosis juga disebut lupus pada awal 1800-an. Beberapa
risalah dermatology di tahun 1830-an dan 1840-an terutama oleh Pierre de
Cazenave, tersedia ilustrasi dan kasus presentasi dari apa yang dipastikan sekarang
yang dikenal sebagai Lupus.
Lupus eritematosus sistemik (SLE) adalah penyakit autoimun yang
melibatkan berbagai organ dengan manifestasi klinis yang bervariasi dari yang
ringan sampai berat. Pada keadaan awal, sering sulit dikenal sebagai SLE, karena
manifestasinya sering tidak terjadi bersamaan. Sampai saat ini penyebab SLE
belum jelas diketahui. Terdapat dugaan faktor genetik, infeksi dan lingkungan ikut
berperan pada patofisiologi SLE.
Prevalensi SLE bervariasi di tiap negara. Klinik pertama di USA dimulai
oleh Marian Ropes di Boston pada tahun 1922; treatment armamentariumnya
termasuk aspirin dan dermatologicals. Di Indonesia sampai saat ini belum pernah
dilaporkan. Pada dekade terakhir, terlihat adanya kenaikan kasus yang berobat di
Jakarta. Salah satu faktor adalah kewaspadaan dokter yang meningkat. Untuk itu
perlu upaya penyebarluasan gambaran klinis kasus SLE yang perlu diketahui
sehingga diagnosis lebih dini dan pengobatan lebih akurat. Baron dkk melaporkan
ketelibatan ginjal lebih sering ditemukan pada SLE dengan usia kurang dari 18
tahun. Sedangkan pada penelitian Font dkk, lesi diskoid dan serositis lebih sering
ditemukan sebagai manifestasi awal pasien SLE laki-laki, sedangkan artritis lebih
jarang.1
1
Prevalensi SLE sangat bervariasi, semua suku bangsa dapat terkena tetap
lebih sering pada ras kulit hitam dan ada tendensi familiar. Insidensi tidak
diketahui, dapat ditemukan pada semua usia. 20% kasus SLE mulai pada masa
anak-anak, biasanya anak yang telah berusia lebih dari 8 tahun. Samanta dkk pada
penelitian populasi Asia dan kulit putih di Inggris melaporkan kelainan ginjal lebih
sering ditemukan di populasi Asia. Wanita lebih sering terkena dibanding laki-laki,
dengan perbandingan perempuan dan laki-laki 8:1, dan umumnya pada kelompok
usia produktif (Sukmana,2004; Kadang,1995).
Mengingat pentingnya manfaat pengetahuan mengenai penyakit SLE maka
pada makalah ini akan dipaparkan semua hal yang berkenaan dengan SLE, dengan
tujuan untuk memudahkan memahami patofisiologi penyakit, diagnosis, dan
tatalaksana yang tepat.
1.2 Tujuan
Penulisan makalah tinjauan kepustakaan ini bertujuan memberikan informasi
mengenai penyakit lupus eritematosus sistemik, yang merupakan salah satu
penyakit yang sukar didiagnosis secara dini.
2
BAB II
ISI
2.1 Pengertian dan Klasifikasi 1,4,7,8
Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah sebuah multisistem, penyakit
pleomorfik dimana peradangan, produksi antibodi dan hasil deposisi komplemen
imun perbaikan dalam kerusakan jaringan. Beberapa menganggapnya sebagai
sindrom dalam banyak pasien hanya beberapa aspek dari proses (contoh : nephritis,
thrombocytopenia) dan lainnya adalah normal dan sehat. Pada tahun 1971, the
American Rheumatism Association (ACR) memperkenalkan kriteria awal dalam
klasifikasi dari SLE untuk uji klinis dan studi masyarakat daripada untuk tujuan
diagnostik. Sejak diperbaharui 2 kali dan saat ini dalam revisi ke-3, definisi ini
telah berkembang sebagai wawasan baru dan autoantibodi telah tersedia.
Penjabaran dari perbedaan tipe dari lupus dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut.
Cutaneous lupus, 15%
Chronic cutaneous lupus erythematosus sebanyak 90% dalam grup ini
Systemic lupus erythematosus (SLE), 70%
- Penyakit yang mengancam organ, 35%
- Penyakit yang mengancam bukan organ, 35%
Overlap syndrome/mixed connective tissue disease (MCTD), 10% (mencakup
pemenuhan kriteria untuk SLE dan penyakit rematik lainnya)
Drug-induced lupus erythematosus, 5%
Tabel 2.1. Perbedaan Tipe Lupus
Revisi terakhir dari kriteria ACR (Tabel 2.2) menjabarkan SLE dari 4 cutaneous, 4
sistemik dan 3 komponen laboratorium. 4 dari 11 telah didiagnosis.
3
No Gejala Penjelasan
Cutaneous
1 Malar Rash Adanya eriteme berbatas tegas, datar, atau
berelevasi pada wilayah pipi sekitar hidung
(wilayah malar)
2 Discoid rash Bercak eritematous berelevasi sirkuler disertai
dengan sisik keratotik adherent. Jaringan parut
atropi dapat terjadi
3 Fotosensitivitas Paparan terhadap sinar UV yang dapat
menimbulkan bercak-bercak
4 Ulkus oral Termasuk ulkus oral dan nasofaring yang dapat
ditemukan
Sistemik
5 Arthritis Arthritis nonerosif pada dua atau lebih sendi perifer
disertai rasa nyeri, bengkak, atau efusi
6 Serositis Pleurits atau perikarditis yang ditemukan melalui
ECG atau bukti adanya efusi pleura
7 Gangguan Ginjal Proteinuria >0,5 g/hari atau 3+, atas serpihan seluler
dari berbagai tipe
8 Gangguan
Neurologik
Psikosis atau kejang tanpa penyebab yang jelas
Laboratorium
9 Gangguan
Hematologik
Anemia atau leukopenia hemolotik (<4000 dalam 2
kejadian), lymphopenia (<1500 dalam 2 kejadian),
atau thrombocytopenia (<100.000 dalam ketiadaan
gangguan obat)
10 Gangguan Anti-dsDNA, anti-Sm, dan/atau antibodi-
4
No Gejala Penjelasan
Imunologis phospholipid
11 Antibodi Antinuklear Jumlah ANA yang abnormal ditemukan jika
diketahui tidak ada pemberian obat yang dapat
memicu ANA sebelumnya
Tabel 2.2. Revisi Kriteria ACR untuk klasifikasi dari SLE
Cutaneous lupus
Chronis cutaneous lupus erythematosus (CCLE) merupakan bagian
mayoritas dari kasus cutaneous lupus. Meskipun banyak pasien CCLE memiliki
SLE, CCLE murni didefinisikan oleh biopsi yang menunjukkan perubahan
patologis konsisten dengan gangguan pada seseorang yang tidak memenuhi kriteria
ACR untuk SLE. Sekitar 15% dari semua lupus adalah murni cutaneous, kejadian
yang sebenarnya adalah permasalahan karena banyak pasien yang tidak bertemu
rheumatologist dan dermatologist, mereka jarang dirawat di rumah sakit.1
Neonatal lupus
Ini kondisi yang jarang terjadi ketika anak dari seorang ibu yang anti-Ro
(SSA) positif lahir dengan lupus meruam sementara, yang berlangsung beberapa
minggu sebelum menghilang (bayi tidak dapat membuat anti-Ro) atau memiliki
proteksi bawaan. 1 ibu anti-Ro positif dari 14 ibu memiliki anak yang meruam
(berbintik merah); 2% dari anak yang lahir pada ibu ini memiliki komplikasi
jantung. Ini bukan lupus yang sebenarnya.1
Mixed connective tissue disease (MCTD)
1 pasien dalam 20 yang termasuk kriteria SLE memiliki fenomena Raynaud,
sebuah antibodi untuk RNP (ribonucleoprotein), dan juga terkait dengan kriteria
ACR untuk scleroderma, rheumatoid arthritis atau inflammatory myositis. Satu kali
diperkirakan dalam kondisi jinak, pasien MCTD memiliki kejadian yang tinggi
dalam pulmonary hypertension dan prediksi yang buruk.1
Crossover dan Overlap syndromes
5
Individu yang tidak memiliki antibodi untuk anti-RNP tetapi memiliki SLE
dan termasuk kriteria untuk gangguan inflamasi rematik lain yang crossover atau
overlap syndromes.1
Undifferentiated connective tissue disease (UCTD)
Untuk setiap pasien SLE, ada 6 atau 7 yang memperlihatkan lupus seperti
gejala tanpa kriteria SLE. Kehadiran dari sebuah antibodi antinuclear atau faktor
rheumatoid dengan inflamasi atau vasculopathy tertentu adalah sebuah UCTD. 1
pasien dalam 3 dengan UCTD beresolusi spontan dalam proses, 1 pasien berlanjut
memiliki UCTD dan1 pasien akan berkembang menjadi rheumatoid arthritis atau
SLE. Palindromic rheumatism juga termasuk dalam kategori ini. Ada beberapa
bukti bahwa hydroxychloroquine dapat mencegah progress dari UCTD.
Antiphospholipid syndrome
1 dari 3 orang dengan SLE memiliki antibodi antiphospholipid; 1 dari 3 ini
(sekitar 11% orang dengan SLE) mengalami kejadian thromboembolic sebagai
konsekuensi. Ini berhubungan dengan catastrophic antiphospholipid syndrome
(CAPS).
2.2 Epidemiologi dari SLE1,4,6,8
Berdasarkan definisi dari lupus di atas, 70% dari seluruh kasus SLE dibagi ke
dalam kategori yang mengancam organ atau bukan organ. Cutaneous lupus (15%),
MCTD (5%), overlap syndromes (5%) dan drug-induced lupus (5%). Juga terdapat
7 pasien UCTD dalam setiap pasien lupus. Insiden yang benar dan prevalensi
systemic lupus di USA sulit untuk dipastikan. Survei menunjukkan bahwa hanya 1
dari 3 pasien menurut dokter yang mengidap SLE sesuai dengan kriteria ACR.
Terdapat berbagai variasi hubungannya dengan rasial, etnik dan faktor geografi.
Secara keseluruhan, prevalensi rata-rata lupus di dunia terdapat 14 sampai dengan
172 kasus per 100.000 orang dan insiden setiap tahunnya yaitu 1,8 sampai dengan
7,6 kasus per 100.000. Telah diestimasi sedikitnya 300.000 dari 2 juta individu di
USA mengidap SLE. Lupus merupakan ke-2 atau ke-3 terbanyak dari gangguan
autoimun reumatik.
Ras
6
Rata-rata 1 pria kulit putih dari 10.000, 1 wanita kulit putih dari 1.000 dan 1
wanita campuran Afrika Amerika dari 250 di USA mengidap SLE. Orang kulit
berwarna didiagnosa mengidap lupus lebih sering daripada dengan Kaukasian,
tetapi statistik ini akan menjadi lebih rumit. Sebagai contoh, orang Filipina dan
China didiagnosa mengidap lupus lebih sering daripada orang Jepang atau Malay.
Rata-rata tertinggi dari SLE dilaporkan di sekitar Afro-Caribbeans dan Sioux
Native Americans, namun kualitas studi kurang baik di kedua kelompok ini. Lupus
jarang terjadi pada bagian Afrika.
Jenis Kelamin
Hampir 90% orang dengan SLE adalah wanita, sebagai perbandingan 80%
dengan chronic cutaneous lupus dan 50% drug-induced lupus. Kebanyakan
gangguan berkembang pada masa reproduksi tahunan. Rasio wanita-pria adalah 2:1
sebelum pubertas, meningkat 8:1 selama masa menstruasi dan 2,3:1 untuk pasien
berumur lebih dari 60 tahun.
Umur
Anak-anak masih berusia beberapa bulan telah didiagnosa mengidap SLE,
namun lebih sedikit 5% dari pasien lupus adalah sebelum pubertas. Anak-anak
cenderung memiliki penyakit yang mengancam organ tetapi tingkat kematian
masih rendah. Lupus yang berkembang pada pasien berusia lebih dari 50
cenderung lebih kecil mengancam organ secara alami dan dicirikan sebagai
komplain prominent musculoskeletal dan berjalan seperti blander.
Tabel 2.3. Rasio jenis kelamin pada usia sejak timbulnya atau pada diagnosis
pertama SLE
Tren
7
Survei terakhir menyimpulkan bahwa prevalensi SLE perlahan-lahan
meningkat. Apakah ini merupakan tren yang benar atau hanya hasil dari metode
kepastian dan ketersediaan autoantibodi tambahan yang mengarah ke diagnosis
kasus yang lebih sulit dan belum diselesaikan.
2.3 Patogenesis1,4,6,7,8
Lupus dibawa ketika faktor-faktor predisposing genetik diaktifkan oleh
faktor lingkungan, obat-obatan atau penularan akibat respon abnormal dalam imun.
Hal ini terjadi ketika sel-sel penekan T gagal untuk menekan, ada cacat dalam
penanda sel, cacat dalam toleransi kekebalan tubuh, sel apoptosis mendorong
terciptanya autoantibodi dan/atau hilangnya sel regulasi yang mengendalikan
autoreactivity. Hasil terakhir dalam perkembangbiakan sel B, yang mengarah pada
pembentukan autoantibodi dan kompleks imun yang menyebabkan peradangan dan
kerusakan jaringan. Patogenesis mengalami proses bertahap yang terdiri dari
beberapa fase : predisposition, benign autoimmunity, prodome dan clinical SLE. 1,4,6,78
Fase 1 : Predisposition
Faktor-faktor predisposing genetik
Tidak seperti cystic fibrosis, sebagai contoh, terdapat bukan gen lupus
tunggal. Ini adalah sebuah polygenic disorder. Kurang dari 30 gen susceptibility
dari SLE telah diidentifikasi dan menampilkan variasi tergantung pada ras, ke-
etnikan dan geografi.
Pengaruh dari jenis kelamin
Memberikan porsi 90% pasien lupus adalah wanita, hormon yang
menentukan. Estrogen dianggap permisif untuk autoimunitas, dan pelindung
androgen (meskipun laki-laki dengan lupus biasanya memiliki penyakit yang lebih
ganas). Estradiol memperpanjang hidup autoreaktif B-dan T-limfosit. Setelah
melahirkan, perempuan dapat terkena reaksi graft-versus-host dari janin mereka
(microchimerism), dan kromosom X aktif mereka diperkaya dengan gen
hypomethylated (yang dapat meningkatkan autoimunitas). Seorang wanita dengan
8
lupus memiliki risiko 2% dari putranya dan risiko 10% dari putrinya yang memiliki
lupus.
Pengaruh dari lingkungan
Sinar ultraviolet dari matahari mengubah struktur dermis, yang
menjadikannya lebih imunogenik, dan membunuh sel-sel kulit yang menginduksi
apoptosis dalam keratinosit (Gambar 2.1). Karena hanya 28% dari kembar
monozigot keduanya memiliki SLE, faktor lingkungan jelas berperan.
Noninfeksius yang terkait dengan lupus mencakup silica exposure, asap rokok, dan
pewarna rambut tertentu, pestisida, alergen, makanan, logam berat dan pelarut.
Stress yang emosional tentu dapat mengubah sistem kekebalan tubuh dan lupus
telah jarang dikaitkan dengan vaksinasi rutin.
Gambar 2.1 Proses pengaruh sinar ultraviolet pada Lupus
Peran dari Infeksi
Lupus sering dilaporkan setelah pasien terkena proses infeksi. DNA bakter
berfungsi sebagai adjuvant yang dapat menginduksi reaktivitas imun dan pasien
lupus telah meningkatkan antibodi terhadap retrovirus dan virus Epstein-Barr.
Molecular mimicry akan berperan dalam prosesnya. Ada kasus lupus yang
9
“dihidupkan” setelah infeksi Parvovirus B19 serta mikroba lainnya. Infeksi juga
dapat menghidupkan lupus yang sudah ada sebelumnya.
Peran dari obat-obatan
Farmasi memiliki pengaruh yang beragam mulai dari memperburuk proses
kekebalan untuk menginduksi lupus. Contohnya, obat dapat mengubah DNA atau
membuat imunogenik dan menyebabkan produksi autoantibodi (contoh :
procainamide). Zat lain mempengaruhi autoreaktif T- atau B-lymphocytes
(contoh : phnytoin). Hypomethylation hasil DNA dalam perbaikan DNA yang
telah berubah dan pembentukan autoantibody (contoh : fludarabine). Metabolit
teroksidasi zat tertentu dalam asetilator yang lambat, misalnya, dapat menyebabkan
reaksi kekebalan (contoh : hydralazine, isonaizid). Obat-obatan tertentu yang peka
terhadap matahari (contoh : nonarylamine sulfa antibiotics, phenothiazines) dan
mengarah ke respon inflamasi fototoksik. Hali ini terangkum dalam gambar 2.2.
Gambar 2.2. Faktor-faktor yang mempengaruhi perkembangan SLE
10
Fase 2 : Autoimunitas yang jinak (Benign autoimmunity)
Sebuah studi rekrutan Angkatan Darat USA menunjukkan bahwa
autoantibodi lupus selalu ada sampai 9 tahun sebanyak 85 sebelum klinis lupus
terbukti. Antibodi antinuklear muncul pertama, diikuti oleh anti-DNA dan antibodi
antifosfolipid dan, akhirnya, anti-Sm dan anti-RNP. Beberapa subset autoantibodi
ini bersifat patogen, seperti anti-DNA.
Fase 3 : Prodrome (sistem kekebalan tubuh bawaan dan hilangnya toleransi
adaptasi sistem kekebalan tubuh)
Pada titik tertentu sistem pengaturan dan toleransi tubuh akan kewalahan dan
pasien mulai merasa tidak enak badan serta kelelahan. Dua jaringan kekebalan
utama berkontribusi pada generasi sel T autoreaktif dan autoantibodi pada SLE :
sistem kekebalan tubuh bawaan dan jaringan kekebalan adaptif. Infeksi, self-
antigen, dan tanda bahaya lainnya mengaktifkan sistemn kekebalan tubuh melalui
sel dendritik yang terletak pada jaringan yang sampelnya lingkungan. Reseptor
dalam sel dendritik mengenali pola molekuler dalam bakteri dan virus. Rangkaian
DNA CpG, yang umum dalam DNA bakteri namun jarang di DNA mamalia,
terikat oleh TLR7 dan TLR9 dalam sel dendritik dan limfosit B. Sel dendritik
Lupus dapat diaktifkan, karena banyak autoantigens memiliki pola molekul yang
mirip dengan DNA mikroba. Ikatan TLR7 dan TLR9 di sel plasmacytic dendritik
menghasilkan pelepasan α-interferon dan sitokin lain. Hal ini menunjukkan bahwa
sel lupus dan jaringan telah meningkatkan α-interferon.
Sistem kekebalan tubuh adaptif terhadap toleransi hilang melalui
penghapusan limfosit reaktif antigen yang gagal dalam limpa, kelenjar getah
bening, dan sumsum tulang melalui inappropriate clonal deletion, receptor editing,
atau passive transfer. Mekanisme ini menghambat, menghapus, menekan, atau
mengabaikan, yang menghasilkan sel-sel autoreaktif bahwa, bila tidak diobati, bisa
"menerobos." Bertahannya puing-puing dari sel yang rusak (apoptosis) lebih
mengarah pada pembentukan autoantibodi. Pengendapan kompleks imun dan
kegagalan membersihkannya menghasilkan kerusakan aktivasi komplemen dan
mediator peradangan lainnya (contoh : chemotaxis untuk lymphocytes dan
phagocytic cells, cytokines, chemokines, proteolytic enzymes).
11
Gambar 2.3 Respon imun bawaan pada SLE
Fase 4 : Sustaining Clinical Lupus (Sistem kekebalan adaptif dan hilangnya
pengaturan kkebalan tubuh)
Kelainan dalam sel B (produksi imunoglobulin dan autoantibodi) dan sel T
(peningkatan fungsi pembantu, penurunan fungsi penekan, kelainan dalam sel B
(produksi imunoglobulin dan autoantibodi) dan sel T (peningkatan fungsi
pembantu, penurunan fungsi penekan, kelainan sel-sel pembunuh alami dan
penekan yang bertindak paradoks untuk meningkatkan peradangan) meningkatkan
produksi sel B dan cacat pada sel signaling (T - dan reseptor permukaan sel-B yang
diubah secara struktural atau fungsional, mekanisme pelindung costimulatory
terganggu), yang mengarah ke respon imunoglobulin. Pengaturan sel CD4+CD25+
T (yang menghilangkan respon imun) dan normalnya penekan sel CD8+ T yang
rusak pada pasien lupus ketika sistem kekebalan tubuh diaktifkan. Paradigma
Th1/Th2 dilengkapi dengan Treg dan Th17 fenotipe. Sel Treg menunjukkan faktor
turunan seperti FoxP3, dimana mereka memberikan sinyal penghambatan.
Peradangan terjadi kemudian, yang akhirnya diungkapkan sebagai aktivitas
penyakit. Kronisitas proses ini menghasilkan kerusakan jaringan dan organ.
12
Gambar 2.4 Kekebalan adaptif pada SLE
2.4 Gejala Klinis dan Tanda-Tanda1,7
Manifestasi Klinik
Berbagai organ dapat terkena yang akan menimbulkan berbagai macam
manifestasi klinik, namun dapat pula mengenai hanya satu organ saja. Pada kasus
yang dilaporkan terdapat artritis, kelainan kulit, efusi perikard, limfadenopati dan
hepatomegali tanpa ikterus. Menurut kepustakaan lainnya, manifestasi klinik yang
paling sering ialah gejala muskuloskeletal berupa artritis atau atralgia 92%, demam
84%, kelainan kulit, rambut, atau selaput lendir 72%, kelainan neuropsikiatri 60%,
renal 50%, saluran pernapasan 45%, dan kardiovaskular 40%.1,7
Manifestasi klinis SLE pada sistem saraf lebih sering terjadi di serebral
dibanding medula spinalis. Serebral lupus dengan gejala neuropsikiatrik psikosis
50–67 %, kejang 15–20%, stroke 3–5%, serta paresis saraf kranial dan gangguan
pergerakan. Mielopati yang terjadi pada medula spinalis sehingga menimbulkan
defisit neurologis dapat berlangsung dalam beberapa jam, hari, atau beberapa
13
minggu. Sebagian besar gejala klinik yang muncul berupa paraparesis atau
paraplegia pada sekitar 85% kasus, sedangkan quadriparesis atau quadriplegia yang
terjadi pada lesi daerah medula spinalis servikalis sebanyak 15%. Refleks fisiologis
dapat menurun atau menghilang karena terjadi syok spinal. Gangguan sensibilitas
bisa komplit atau tidak komplit yang dapat terjadi secara ascending, daerah yang
terlibat sering pada torakal III- XI, serta inkontinensia urin dan alvi1. Lokasi
kelainan di torakal 5-8 lebih sering karena pembuluh darah dan kolateral lebih
terbatas, sehingga lebih mudah mengalami gangguan (Tonam,2004).
Manifestasi Muskuloskeletal1,7
Kebanyakan pasien SLE memiliki poliarthritis intermitten, berderajat mulai
ringan hingga kecacatan, ditandai dengan pembengkakan jaringan lunak dan nyeri
pada sendi, paling sering pada tangan, pergelangan tangan, dan lutut. Deformitas
sendi (tangan dan kaki) terjadi hanya pada 10% pasien. Erosi pada gambaran x-ray
sendi jarang ditemukan. Keberadaannya menandakan peradangan arthropati non
lupus seperti rheumatoid arthritis. Beberapa ahli memperkirakan bahwa erosi dapat
juga terjadi pada SLE. Jika nyeri bertahan pada satu sendi, seperti lutut, bahu, atau
pinggang, diagnosis nekrosis iskemik tulang perlu dipertimbangkan, terutama jika
tidak ada manifestasi SLE aktif lainnya (Hahn et al,2005).
Prevalensi nekrosis iskemik tulang meningkat pada SLE, terutama pada
pasien yang ditangani dengan glukokortikoid sistemik. Myositis dengan kelemahan
otot klinis, peningkatan kadar kreatinin kinase, MRI Scan positif, dan nekrosis otot
dan peradangan pada biopsi dapat terjadi, walaupun kebanyakan pasien mengalami
myalgia tanpa myositis yang jelas. Terapi glukokortikoid dan antimalaria dapat
juga menyebabkan kelemahan otot. Efek samping ini mesti dibedakan dari
penyakit aktif.
Manifestasi Penyakit Kulit 1,7
Lupus dermatitis dapat diklasifikasikan sebagai discoid lupus erythematosus
(DLE), bercak sistemik, subacute cutaneous lupus erythematosus (SCLE), atau
lainnya. Lesi diskoid merupakan lesi kasar sirkuler disertai dengan sedikit
peninggian, lingkaran eritematosa hiperpigmentasi bersisik, dan pusat
14
depigmentasi dengan atropi dimana semua bagian demal secara permanen rusak.
Lesi dapat memperburuk estetik, terutama pada wajah dan kulit kepala. Pengobatan
utamanya merupakan kortikosteroid topikal atau injeksi lokal dan antimalaria
sistemik. Hanya 5% individu dengan DLE memiliki SLE (walaupun setengahnya
memiliki ANA yang positif); namun, di antara individu dengan SLE, sebanyak
20% memiliki DLE. Kebanyakan bercak SLE yang umum bersifat fotosensitif,
eritema sedikit meninggi, bersisik, pada wajah (utamanya pada pipi dan sekitar
hidung –the ”buterfly rash”), telinga, dagu, daerah V pada leher, punggung atas,
dan bagian ekstensor dari lengan. Memberatnya bercak ini kadang disertai dengan
serangan penyakit sistemik. SCLE mengandung bercak merah bersisik mirip
dengan psoriasis atau lesi sirkuler datar kemerahan. Pasien dengan manifestasi ini
sangat fotosensitif; kebanyakan memiliki antibodi terhadap Ro (SS-A). Bercak
SLE lainnya termasuk urtikaria rekuren, dermatitis lichen planus-like, bullar, dan
pannikulitis (“lupus profundus”). Bercak dapat ringan atau berat, dan dapat
menjadi manifestasi utama penyakit ini. Ulkus kecil dan nyeri pada mukosa oral
dan nasal umum pada SLE, lesinya mirip dengan ulkus pada sariawan.
Manifestasi Renal
Nephritis biasanya manifestasi SLE yang paling berat, terutama karena
nephritis dan infeksi merupakan penyebab utama mortalitas pada dekade pertama
penyakit ini. Karena nephritis asimptomatik pada kebanyakan pasien SLE,
urinalisis sebaiknya dilakukan pada pasien yang dicurigai mengalami SLE.
Klasifikasi dari lupus nephritis berdasar dari gambaran histologis (table 1). Biopsi
renal berguna untuk merencanakan terapi terkini atau di masa akan datang. Pasien
dengan bentuk kerusakan glomerulus proliferatif berbahaya (ISN III dan IV)
biasanya memiliki hematuria dan proteinuria mikroskopik (>500 mg per 24 jam).
Sekitar setengah pasien mengalami sindrom nephrotik, dan kebanyakan terjadi
hipertensi. Jika glomerulonephritis proliferatif difus (DPGN) tidak ditangani,
kebanyakan pasien akan mengalami ESRD dalam 2 tahun diagnosis. Sehingga,
imunosupresi agresif diindikasikan (kebanyakan kortikosteroid sistemik disertai
dengan obat sitotoksik), kecuali kerusakan irrversibel. Etnis Afrika-Amerika lebih
15
cenderung mengidap ESRD dibandingkan dengan ras Kaukasia, bahkan dengan
kebanyakan terapi terkini.1,7,8
Di Amerika Serikat, sekitar 20% individu dengan lupus DPGN meninggal
atau mengalami ESRD setelah 10 tahun diagnosis ditegakkan. Individu tersebut
membutuhkan pengendalian SLE yang agresif dan dari komplikasi penyakit ginjal.
Segelintir pasien SLE dengan proteinuria (biasanya nephrotik) memiliki perubahan
glomerulus membranous tanpa proliferasi pada pemeriksaan biopsi ginjal.
Prognosisnya lebih baik daripada mereka dengan DPGN, namun proteinuria
cenderung merupakan keadaan yang berkelanjutan, disertai dengan serangan yang
membutuhkan penanganan ulang selama beberapa tahun. Untuk kebanyakan orang
dengan lupus nephritis, percepatan aterosklerosis menjadi penting setelah beberapa
tahun, perhatian berlebih diberikan untuk mengendalikan tekanan darah,
hiperlipidemia, dan hiperglikemia.
Manifestasi Sistem Saraf
Ada banyak manifestasi sistem saraf pusat dan sistem saraf perifer pada SLE,
pada beberapa pasien tertentu hal ini merupakan penyebab morbiditas dan
mortalitas. Penting untuk melakukan pendekatan diagnostik dengan menanyakan
apakah gejalanya akibat SLE atau penyakit lain (seperti infeksi pada individu
immunocompromised). Jika gejala berhubungan dengan SLE, sebaiknya
ditentukan apakah mereka disebabkan oleh proses difus atau penyakit oklusif
vaskuler. Manifestasi klinis SSP paling umum adalah disfungsi kognitif, termasuk
kesulitan dalam mengingat dan memberikan alasan. Sakit kepala juga umum
terjadi. Jika terjadi mendadak berat, maka ini menandakan serangan SLE, jika lebih
ringan, sulit dibedakan dengan migrain atau sakit kepala tipe tegang.7
Kejang dari beberapa tipe dapat disebabkan oleh lupus, penanganan
seringkali membutuhkan antiseizure dan immunosupresif. Psikosis dapat menjadi
manifestasi dominan pada SLE. Hal ini mesti dibedakan dengan psikosis akibat
glukokortikoid. Yang terakhir biasanya terjadi pada minggu pertama pemberian
glukokortikoid, pada dosis prednisone 40 mg harian atau sederajat. Psikosis
sembuh beberapa hari setelah pemberian kortikosteroid diturunkan atau dihentikan.
16
Myelopati tidak jarang dan seringkali menimbulkan kecacatan, terapi
immunosupresif segera dimulai dengan glukokortikoid merupakan standar terapi.
Oklusi Vaskuler
Prevalensi dari transient ischemic attacks, stroke, dan infark myokard
meningkat pada pasien SLE. Kejadian vaskuler ini meningkat, namun tidak
ekslusif, pada pasien SLE dengan antibodi terhadap fosfolipid (aPL). Sepertinya
antibodi antifosfolipid ini berkaitan dengan hiperkoagulabilitas dan kejadian
thrombotik akut, dimana penyakit kronis berkaitan dengan percepatan
atherosclerosis. Iskemia pada otak dapat disebabkan oleh oklusi fokal (baik
noninflamasi atau berkaitan dengan vaskulitis) atau dengan embolisasi dari plak
arteri karotid atau dari vegetasi fibrinous dari Libman-Sack endokarditis.
Pemeriksaan yang tepat untuk aPL dan untuk sumber emboli sebaiknya dilakukan
pada pasien seperti ini untuk memperkirakan kebutuhan, intensitas, durasi dari
terapi antiinflamasi dan/atau antikoagulasi. Pada SLE, infark myokard merupakan
manifestasi utama pada atherosclerosis. Peningkatan risiko kejadian vaskuler dapat
mencapai 7 hingga sepuluh kali lipat secara keseluruhan, dan lebih tinggi pada
wanita. Peran dari terapi statin pada SLE masih dalam penelitian.7
Manifestasi Pulmoner
Manifestasi pulmoner yang paling sering terjadi pada SLE adalah pleuritis
dengan atau tanpa efusi pleural. Gejala ini, jika ringan, dapat berespons dengan
pemberian terapi NSAID (nonsteroidal antiinflammatory drugs). Jika lebih berat,
pasien membutuhkan terapi glukokortikoid. Infiltrat pulmoner dapat juga terjadi
sebagai manifestasi SLE aktif dan sulit dibedakan dari infeksi pada gambaran
radiologi. Manifestasi pulmoner yang membahayakan nyawa termasuk peradangan
interstitial yang menyebabkan fibrosis, sindrom paru menyusut, dan perdarahan
intraalveolar. Semua kemungkinan ini membutuhkan terapi immuno suppresif
yang agresif secara dini, begitu pula dengan perawatan suportif.7
Manifestasi Penyakit Jantung
Pericarditis merupakan manifestasi kardiak yang paling umum terjadi;
biasanya ini berespon dari terapi antiinflamasi dan jarang mengakibatkan 17
tamponade jantung. Manifestasi kardiak yang lebih berat adalah miokarditis dan
endocarditis Libman-Sacks fibrinous. Keterlibatan endokardial dapat menyebabkan
insufisiensi valvular, kebanyakan katup mitral atau aorta, atau kejadian embolik.
Belum terbukti bahwa terapi glukokortikoid atau imunosuppressif dapat
menyebabkan perbaikan lupus miokarditis atau endocarditis, namun umum
dilakukan pemberian dosis tinggi steroid bersamaan dengan terapi suportif yang
tepat untuk gagal jantung, aritmia, atau kejadian embolik. Pasien dengan SLE
mengalami peningkatan risiko infark miokard, biasanya akibat percepatan
terjadinya atherosclerosis, dimana kemungkinan diakibatkan oleh peradangan
kronis dan/atau kerusakan oksidatif pada lipid dan pada organ. 7
Manifestasi Hematologik
Manifestasi hematologik yang paling sering pada SLE adalah anemia,
biasanya normokromik normositik, menandakan adanya penyakit kronis.
Hemolisis dapat cepat dalam onset dan beratnya, sehingga membutuhkan terapi
glukokortikoid dosis tinggi, dan ini efektif pada kebanyakan pasien. Leukopenia
juga sering dan hampir selalu mengandung limfopenia, bukan granulositopenia.
Keadaan ini jarang memudahkan terjadinya infeksi dan biasanya tidak
membutuhkan terapi. Trombositopenia merupakan masalah yang berulang. Jika
hitung platelet >40.000/L dan perdarahan abnormal tidak terjadi. Terapi
glukokortikoid dosis tinggi (misal, 1 mg/kg per hari dengan prednison atau yang
seimbang) biasanya efektif untuk beberapa episode pertama trombositopenia berat.
Anemia hemolitik dan trombositopenia rekuren atau berkepanjangan, atau penyakit
yang membutuhkan dosis yang sangat tinggi dari glukokortikoid harian, sebaiknya
ditangani dengan strategi tambahan. 7
Manifestasi Gastrointestenal
Mual, seringkali dengan muntah, dan diare dapat menjadi manifestasi dari
suatu serangan SLE, seperti nyeri abdominal difus yang disebabkan oleh peritonitis
autoimun. Peningkatan serum aspartate aminotransferase (AST) dan alanine
aminotranferase (ALT) umum jika SLE sedang aktif. Manifestasi ini biasanya
membaik secara perlahan selama pemberian terapi glukokortikoid sistemik.
18
Vaskulitis yang melibatkan usus dapat mengancam nyawa. Perforasi, iskemia,
perdarahan, dan sepsis adalah komplikasi yang sering terjadi. Terapi
immunosuppressif dengan glukokortikoid dosis tinggi disarankan untuk
pengendalian jangka pendek, terjadinya rekurensi merupakan indikasi dari terapi
tambahan 7
Manifestasi Okuler
Sindrom Sicca (Sindrom Sjögren) dan konjungtivitis nonspesifik umum
terjadi pada SLE namun jarang membahayakan penglihatan. Berbeda dengan
vaskulitis retinal dan neuritis optik yang merupakan manifestasi berat. Kebutaan
dapat terjadi dalam beberapa hari atau minggu. Immunosuppresif agresif
dianjurkan, walaupun tidak ada penelitian untuk membuktikan efektivitasnya.
Komplikasi dari terapi glukokortikoid termasuk katarak dan glaucoma.
Pemeriksaan penunjang antibodi anti nuclear (ANA) merupakan uji
penyaring yang terbaik untuk menegakkan diagnosis LES. ANA hampir selalu
positif pada lebih dari 95% pasien SLE dan pemeriksaan ANA harus selalu
dilakukan pada kasus yang dicurigai sebagai LES. ANA tidak selalu spesifik untuk
SLE karena ANA dapat juga dijumpai pada penyakit lain seperti skeloderma,
artritis rematoid, atau drugs induced LE seperti isoniazid. Antibodi yang lebih
spesifik untuk SLE adalah antibodi anti ds-DNA dan anti SM, walaupun
sensitivitasnya pada SLE masingmasing adalah 75% (anti ds-DNA) dan 25% (anti
SM). Pemeriksaan ANA pada pasien menunjukkan positif 1/40, titer yang tinggi
anti dsDNA ( positif 949 iu/ml ), C3 adan C4a yang menurun, serta LED
meningkat menandakan proses penyakit pada pasien ini sedang aktif dan berat.
Pemeriksaan lain yang cukup bermanfaat untuk melihat proses penyakit yang
sedang aktif adalah nilai C Reactive Protein yang tinggi.
Analisa cairan otak pada mielopati SLE harus dilakukan dalam 24 jam sejak
gejala timbul. Pada 70–85% kasus yang melibatkan sistem saraf, ditemukan
peningkatan protein sampai 639 mg/dl, jumlah sel lebih dari 20. Selain itu, juga
bermanfaat untuk menyingkirkan proses infeksi yang terjadi. Pada kasus ini,
didapatkan likuor sel 16/3, protein 244mg/dl, dan perbandingan glukosa likuor –
darah 36/93 mg/dl adalah 0,38. Nilai perubahan likuor dapat terjadi pada SLE dan
19
disertai gejala klinis seperti sakit kepala dan kaku kuduk yang diagnosis sebagai
meningitis aseptik.
Pemeriksan imaging mielografi dan CT mielografi sensitif, tapi tidak spesifik
untuk mendiagnosis mielopati yang berhubungan dengan LES. Sebagian besar
kasus yang dilaporkan, hasil mielogramnya normal. Magnetic resonance imaging
(MRI) merupakan pilihan yang terbaik karena pemeriksaan tidak invasif dan
sensitif dalam mengevaluasi kelainan pada medula spinalis. Pembesaran medula
spinalis selalu terlihat pada fase akut, sedangkan fase remisi akan kembali normal
atau atrofi. Pada pasien ini, imaging seharusnya dilakukan untuk melihat proses
kelainan anatomi seberapa luas dan berat serta untuk menyingkirkan kemungkinan
proses lain yang dapat menyebabkan mielopati. CT scan otak dapat dilakukan atas
pertimbangan terjadinya perburukan dalam perawatan yang diduga akibat stroke.
Hasil yang didapatkan merupakan gambaran hiperdensitas berupa garis multipel
kecil-kecil di lobus parietal kanan (vaskulitis). Vaskulitis dapat terjadi pada
serebral lupus meskipun sangat jarang. Infark luas, atrofi kortikal, lesi multifokal
pada substansia alba, dan grisea sering terlihat pada imaging serebral SLE.7
2.4 Penatalaksanaan1,2,4,6
Tidak ada terapi untuk menyembuhkan SLE, dan remisi sempurna jarang
terjadi. Sehingga dokter sebaiknya merencanakan untuk mengendalikan serangan
akut yang berat dan kemudian mengembangkan strategi untuk menekan gejala
pada kadar yang dapat diterima dan mencegah kerusakan organ. Penatalaksanaan
mencakup penatalaksanaan umum dan terapi konservatif.
Bentuk penanganan umum pasien dengan SLE antara lain :
1. Kelelahan
Hampir setengah penderita SLE mengeluh kelelahan. Sebelumnya kita harus
mengklarifikasi apakah kelelahan ini bagian dari derajat sakitnya atau karena
penyakit lain yaitu: anemia, demam, infeksi, gangguan hormonal atau
komplikasi pengobatan dan emotional stress. Gejala ini merupakan manifestasi
yang berhubungan dengan disfungsi sitokin dalam proses inflamasi sehingga
peningkatan keluhan dapat sebagai parameter aktivitas inflamasi. Upaya
20
mengurangi kelelahan di samping pemberian obat ialah: cukup istirahat, batasi
aktivitas, dan mampu mengubah gaya hidup.
2. Merokok
Walaupun prevalensi SLE lebih banyak pada wanita, cukup banyak wanita
perokok. Kebiasaan merokok akan mengurangi oksigenisasi, memperberat
fenomena Raynaud yang disebabkan penyempitan pembuluh darah akibat
bahan yang terkandung pada rokok.
3. Cuaca
Sebagian penderita SLE khususnya dengan keluhan artritis sebaiknya
menghindari perubahan cuaca karena akan mempengaruhi proses inflamasi.
4. Stres dan trauma fisik
Beberapa penelitian mengemukakan bahwa perubahan emosi dan trauma fisik
dapat mempengaruhi sistem imun melalui: penurunan respons mitogen
limfosit, menurunkan fungsi sitotoksik limfosit dan menaikkan aktivitas sel NK
(Natural Killer). Keadan stress tidak selalu mempengaruhi aktivasi penyakit,
sedangkan trauma fisik dilaporkan tidak berhubungan dengan aktivasi SLE-
nya. Umumnya beberapa peneliti sependapat bahwa stress dan trauma fisik
sebaiknya dikurangi atau dihindari karena keadaan yang prima akan
memperbaiki penyakitnya.
5. Diet
Tidak ada diet khusus yang diperlukan pasien LES, makanan yang berimbang
dapat memperbaiki kondisi tubuh. Beberapa penelitian melaporkan bahwa
minyak ikan (fish oil) yang mengandung eicosapentanoic acid dan
docosahexanoic acid dapat menghambat agregasi trombosit, leukotrien dan 5-
lipoxygenase di sel monosit dan polimorfonuklear. Sedangkan pada penderita
dengan hiperkolesterol perlu pembatasan makanan agar kadar lipid kembali
normal.
6. Sinar matahari (sinar ultra violet)
21
Seperti diketahui bahwa sinar ultra violet mempunyai tiga gelombang, dua dari
tiga gelombang tersebut (320 dan 400 nm) berperan dalam proses fototoksik.
Gelombang ini terpapar terutama pada pukul 10 pagi s/d pukul 3 sore, sehingga
semua pasien SLE dianjurkan untuk menghindari paparan sinar matahari pada
waktu-waktu tersebut.
7. Kontrasepsi oral
Secara teoritis semua obat yang mengandung estrogen tinggi akan
memperberat LES, akan tetapi bila kadarnya rendah tidak akan membahayakan
penyakitnya. Pada penderita SLE yang mengeluh sakit kepala atau
tromboflebitis jangan menggunakan obat yang mengandung estrogen.
Pengobatan farmakologis untuk SLE, antara lain :
1. Steroid sistemik
Yang paling penting pada pengobatan SLE adalah pertimbangan untuk memilih
regimen pengobatan karena pengobatan akan berlangsung lama, dengan
berbagai efek samping yang akan terjadi. SLE dibagi dua kelompok besar
(Dubois), yaitu :
Kelompok ringan
Termasuk pada kelompok ini ialah: demam, artritis, perikarditis ringan,
efusi pleura/perikard ringan, kelelahan dan sakit kepala.
Kelompok berat
Termasuk pada kelompok ini ialah: efusi pleura dan perikard masif,
penyakit ginjal, anemia hemolitik, trombositopenia, lupus serebral,
vaskulitis akut, miokarditis, lupus pneumonitis dan perdarahan paru.
Keuntungan pembagian ini ialah untuk menentukan dosis steroid atau obat
lainnya.
2. Panduan umum derajat SLE ringan
- Aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid merupakan pilihan utama.
- Dosis disesuaikan dengan derajat penyakitnya.
22
- Penambahan obat anti malaria hanya dikhususkan bila ada skin rash dan lesi di
mukosa membran.
- Bila pengobatan tersebut gagal, dapat ditambah prednison 2,5 mg - 5 mg/hari,
dapat dinaikkan secara bertahap 20% tiap 1-2 minggu, sesuai kebutuhan.
3. Panduan umum derajat SLE berat
- Pemberian steroid sistemik merupakan pilihan pertama.
- Obat anti inflamasi nonsteroid dan anti malaria tidak diberikan.
- Pemberian prednison dan lama pemberian disesuaikan dengan kelainan organ
sasaran yang terkena
4. Pengobatan pada kasus-kasus khusus
a. Anemia hemolitik autoimun.
Prednison: 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/KgBB/hari). Bila dalam beberapa hari
sampai 1 minggu belum ada perbaikan maka dosis dapat ditingkatkan sampai
100 mg-120 mg/hari. Umumnya respons penuh akan dicapai dalam 8-12
minggu.
b. Trombositopenia autoimun.
Prednison : 60-80 mg/hari (1-1,5 mg/KgBB./hari). Bila tidak ada respons
dalam 4 minggu ditambahkan Imunoglobulin intravena (IVIG) 0,4
mg/KgBB./hari selama 5 hari berturut-turut.
c. Vaskulis sistemik akut.
Prednison : 60-100 mg/hari, umumnya respons akan terlihat dalam beberapa
hari; kecuali pada kasus dengan komplikasi gangren di tungkai, respons
terlihat dalam beberapa minggu. Pada keadaan akut diberikan steroid
parenteral.
d. Perikarditis
- Ringan : obat anti inflamasi non steroid atau anti malaria. Bila dengan obat
ini tidak efektif dapat diberi prednison 20-40 mg/hari.
- Berat : prednison 1 mg /KgBB./hari.
e. Miokarditis
23
Prednison 1 mg/KgBB/hari, bila tidak efektif dapat dikombinasi dengan
siklofosfamid.
f. Efusi pleura
Prednison 15-40 mg/hari. Bila efusi masif, lakukan pungsi pleura/drainage.
g. Lupus pneumonitis
Prednison 1-1,5 mg/KgBB./hari selama 4-6 minggu.
h. Lupus serebral
Metil prednisolon 2 mg/KgBB./hari untuk 3-5 hari, bila berhasil dilanjutkan
pemberian oral 5-7 hari lalu diturunkan perlahan. Metil prednisolon pulse
dosis selama 3 hari berturut-turut.
i. Lupus Nefritis
Penatalaksanaan umum1,2,4,6
Bila tidak ada kontraindikasi semua pasien dengan SLE sebaiknya dibiopsi.
Biopsi dapat diulang jika dalam perjalanan pengobatan, gejalanya menetapn
atau memburuk.
Diet rendah garam jika ditemukan hipertensi, rendah lemak jika ada
hiperlipidemia atau sindrom nefritis, begitu juga diet rendah protein
disesuaikan dengan derajat penyakitnya. Kalsium dapat diberikan untuk
mengurangi efek samping osteoporosis karena steroid.
Diuretika dapat diberikan sesuai dengan kebutuhan.
Pemeriksaan rutin periodik meliputi pemeriksaan : Sedimen urin, Urin 24 jam
(protein), Kreatinin dan CCT, Albumin serum, anti DNA
Pemeriksaan diulang sesuai dengan perkembangan penyakit: pantau efek
samping steroid dan komplikasi yang terjadi selama pengobatan (infeksi dll),
hindari pemberian salisilat dan obat antiinflamasi non steroid karena akan
memperberat kerja ginjal, Penanganan hipertensi yang baik, hindari kehamilan
24
bila LN masih aktif. Aspirin hanya diberikan selektif bila ada anti fosfolipid
(Sukmana,2004).
Pengobatan LN secara umum (memenuhi kriteria ARA), yaitu Prednison: 1
mg/KgBB/hari untuk 6-12 minggu. Setelah itu dapat diturunkan secara bertahap.
Pengelolaan LN sampai sekarang masih kontroversial. Tujuan utamanya adalah
mencegah pemburukan penyakit.
Panduan pengobatan sesuai kelas WHO
Kelas I : Tidak ada pengobatan khusus.
Kelas II : Mesangial (IIA) tidak memerlukan pengobatan. Pada pasien kelas
II B; dengan protein lebih 1 g, titer DNA tinggi, dan C3 rendah
dapat diberi prednison 20mg/hari selama 6 minggu sampai 3 bulan,
setelah itu diturunkan bertahap.
Kelas III : Umumnya pemberian steroid digabung dengan siklofosfamid
Kelas IV : Prednison : 1 mg/KgBB/ hari selama 6-12 minggu
Kelas V : Umumnya tidak diberi siklofosfamid. Protokol pemberian
siklofosfamid Dosis 0,5-1 g/m2 luas permukaan badan diberikan
secara bolus (per infus) tiap bulan selama 6 bulan, selanjutnya tiap
3 bulan sampai 1-2 tahun kemudian, atau total dosis mencapai 10
g. Protokol pemberian pulse metil prednisolon Dosis 1 g IV
(bolus) selama 3 hari berturut-turut. Diindikasikan pada oliguria
akut (renal failure), lupus serebral dengan koma, dan lupus krisis
(acute serious SLE) (Sukmana,2004).
2.4 Pencegahan secara umum1,2,4,6
Diet khusus perlu diperhatikan dengan melihat keadaan ginjal, jantung, atau
komplikasi SLE lainnya. Pembatasan aktivitas umum (berkendaraan,
mengoperasikan mesin, berenang), terutama bila pada pasien dijumpai kejang.
Pembatasan aktivitas juga dilakukan pada pasien dengan kelainan otak, mielopati,
gangguan visual, dan sindrom neuromuskular (Grisolia,2005). Komplikasi yang
25
paling sering terjadi pada pasien SLE adalah infeksi oportunistik akibat terapi
imunosupresan jangka panjang, osteonekrosis, dan penyakit aterosklerosis dan
infark miokard prematur. Prognosis penyakit sangat bervariasi. Prognosis lebih
buruk bila terdapat kerusakan renal dan susunan saraf pusat (Bartels,2008).
Edukasi yang penting bagi pasien adalah dengan menghindari pancaran sinar
matahari bila terdapat fotosensitivitas, meminimalkan penggunakan NSAIDs dan
salisilat, dan selalu rutin berkunjung ke dokter (Bartels,2008).
26
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari penulisan makalah tinjauan kepustakaan ini antara lain :
1. Systemic lupus erythematosus (SLE) adalah sebuah multisistem, penyakit
pleomorfik dimana peradangan, produksi antibodi dan hasil deposisi
komplemen imun perbaikan dalam kerusakan jaringan. Beberapa
menganggapnya sebagai sindrom dalam banyak pasien hanya beberapa aspek
dari proses dan lainnya adalah normal dan sehat.
2. Dasar mekanisme patogenik dari SLE adalah adanya interaksi antara faktor gen
predisposisi dan lingkungan yang menghasilkan respons imun yang abnormal.
3. Perjalanan alamiah penyakit SLE sangat bervariasi dari penyakit dengan gejala
ringan hingga penyakit yang progresif cepat dan fatal.
4. American College of Rheumatology (ACR) 1982/1997 telah direvisi dan
mengklasifikasikan SLE terdiri dari 4 cutaneous, 4 sistemik dan 3 komponen
laboratorium. 4 dari 11 kriteria telah didiagnosis.
5. Pemeriksaan fisik dan penunjang lainnya dilakukan untuk mengetahui ada
tidaknya keterlibatan organ-organ vital, sehingga penanganan dan pencegahan
komplikasi dapat dilakukan secepat-cepatnya.
6. Belum ada terapi untuk menyembuhkan SLE, dan remisi sempurna jarang
terjadi, sehingga dokter perlu merencanakan untuk mengendalikan serangan
akut yang berat dan kemudian mengembangkan strategi untuk menekan gejala
penyakit.
27
3.2 Saran
Penatalaksanaan SLE masih terus berkembang, berbagai sentra melakukan
penelitian dalam upaya meningkatkan kualitas hidup pasien SLE. Tersedianya
sarana laboratorium dan diagnostik yang memadai memudahkan diagnosis dini.
Tingkat ekonomi pasien perlu dipertimbangkan dengan bijak agar pembiayaan
dapat ditekan sekecil-kecilnya dengan memilih pemeriksaan yang sangat
diperlukan sesuai dengan skala prioritas.
28
DAFTAR PUSTAKA
1. Wallace, Daniel.J. Lupus, The Essential Clinician’s Guide, Oxford American
Rheumatology Library (OARL), 2008.
2. Sukmana, Nanang. Penatalaksanaan SLE pada Berbagai Target Organ. Cermin
Dunia Kedokteran 2004;142:27-30.
3. Kadang, J.K.; Andilolo,J.K. Lupus Eritematosus Sistemik: Laporan Kasus. Cermin
Dunia Kedokteran ;86: 40-2.
4. Hahn, Bevra Hannahs. Systemic Lupus Erytematosus. Dalam Harrison’s Principles
of Internal Medicine, edisi ke-16. Editor: Kasper, D.L.; Braunwauld, E.; Fauci, A.;
Hauser,S.; Longo, D.; Jameson, L..; et al. McGraw-Hill Professional, 2010.
5. Riyanto, Harun. Peniru Ulung Lupus Eritematosus Sistemik. Gemari 2009;85(9):1
6. Bartels, C.M.; Hildebrand, J. Systemic Lupus Erytematosus. Emergency Medicine
Textbook. Editor: Lozada, C.J. et al. WebMD, 2008.
7. Tonam; Turana, Yuda; Moeliono F.L. Manifestasi Neurologi pada Lupus
Eritematosus Sistemik. Cermin Dunia Kedokteran 2004;142:33-5
8. Grisolia, J.S.; Systemic Lupus Erytematosus. Emergency Medicine Textbook.
Editor: Kent, Thomas A.; et al. WebMD, 2005.
29