referat anemia
TRANSCRIPT
REFERAT ANEMIA PADA ANAK
Disusun oleh:
Selly Gloria Lengkong
11.2014.264
Pembimbing :
Dr. Riza , SpA
KEPANITERAAN KLINIK FAKULTAS KEDOKTERAN UKRIDA
ILMU KESEHATAN ANAK RSUD KOJA
PERIODE 27 JULI 2015 - 3 OKTOBER 2015
Pendahuluan
Anemia adalah kondisi di mana jumlah sel darah merah (dan kapasitas pembawa
oksigen) tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh. Kebutuhan
fisiologis secara spesifik berbeda-beda tergantung dari umur, jenis kelamin,
ketinggian tempat tinggal di atas permukaan laut, kebiasaan merokok, dan perbedaan
tingkat kehamilan. Defisiensi besi merupakan penyebab tersering anemia secara
global. Konsentrasi hemoglobin saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis
defisiensi besi. Namun, konsentrasi hemoglobin harus dihitung. Prevalensi anemia
merupakan indikator kesehatan yang penting.1
Isi
Pembentukan dan Asal Darah
Perkembangan sistem vaskuler dan hematopoisis dimulai pada awal kehidupan
embrio dan berlangsung secara paralel/bersamaan sampai masa dewasa mempunyai
hubungan dengan lokasi anatomi yang menyokong hematopoisis tersebut.2
Secara garis besar perkembangan hepatopoiesis dibagi dalam 3 periode:
1. Hematopoisis yolk sac (mesoblastik atau primitif)
Sel darah dibuat dari jaringan mesenkim 2-3 minggu setelah fertilisasi. Mula-
mula terbentuk dalam blood island yang merupakan pelopor dari sistem
vaskuler dan hematopoisis. Selanjutnya sel eritrosit dan megakariosit dapat
diidentifikasi dalam yolk sac pada masa gestasi 16 hari.2
Sel induk primitif hematopoisis berasal dari mesoderm mempunyai
respons terhadap faktor pertumbuhan antara lain eritropoietin, IL-3, IL-6, dan
faktor stem. Sel induk hematopoisis mulai berkelompok dalam hati janin pada
masa gestasi 5-6 minggu dan pada masa gestasi 9 minggu blood island
mengalami regresi.2
2. Hematopoisis hati
Hematopoisis hati berasal dari sel stem pluripoten yang berpindah dari
yolk sac. Perubahan tempat hematopoisis dari yolk sac ke hati dan
kemudian ke sumsum tulang mempunyai hubungan dengan regulasi
perkembangan oleh lingkungan mikro, produksi sitokin dan komponen
merangsang adhesi dari matrik ekstraseluler dan ekspresi pada
2
reseptor.2
Pada masa gestasi 9 minggu, hematopoisis sudah terbentuk dalam
hati. Hematopoisis dalam hati yang terutama adalah eritropoisis,
walaupun masih ditemukan sirkulasi granulosit dan trombosit.
Hematopoisis hati mencapai puncaknya pada masa gestasi 4-5 bulan
kemudian mengalami regresi perlahan-lahan. Pada masa pertengahan
kehamilan, tampak pelopor hematopoitik terdapat di limpa, thimus, dan
kelenjar limfe dan ginjal.2
3. Hematopoisis medular
Merupakan periode terakhir pembentukan sistem hematopoisis dan dimulai
sejak masa gestasi 4 bulan. Ruang medular terbentuk dalam tulang rawan dan
tulang panjang dengan proses reabsorpsi.2
Pada masa gestasi 32 minggu sampai lahir, semua rongga sumsum tulang
diisi jaringan hematopoitik yang aktif dan sumsum tulang penuh berisi darah.
Dalam perkembangan selanjutnya fungsi pembuatan sel darah diambil alih
oleh sumsum tulang, sedangkan hepar tidak berfungsi membuat sel darah lagi.2
Sel mesenkim yang mempunyai kemampuan untuk membentuk sel darah
menjadi kurang, tetapi tetap ada dalam sumsum tulang, hati, limpa, kelenjar
getah bening dan dinding usus, dikenal sebagai sistem retikuloendotelial.2
Pada bayi dan anak, hematopoisis yang aktif terutama pada sumsum
tulang termasuk bagian distal tulang panjang. Hal ini berbeda dengan dewasa
normal di mana hematopoisis terbatas pada vertebra, tulang iga, sternum,
pelvis, skapula, tengkorak kepala, dan jarang yang berlokasi pada humerus
dan femur.2
Selama masa intrauterin, hematopoisis terdapat pada tulang skeletal dan
ekstra skeletal dan pada waktu lahir hematopoisis terutama pada skeletal.
Perubahan lokasi anatomi hematopoisis disertai perpindahan populasi sel
sampai saat ini belum diketahui mekanismenya.2
3
Gambar 1. Hematopoiesis prenatal dan postnatal9
Hemoglobin
Hemoglobin (Hb) merupakan kompleks protein yang terdiri dari heme yang
mengandung besi dan globin dengan interaksi di antara heme dan globin
menyebabkan perangkat yang ireversibel untuk mengangkut oksigen. Sesuai dengan
rangkaian hematopoisis yang dimulai dari yolk sac, limpa, hati, dan sumsum tulang
diikuti juga dengan perubahan variasi sintesis hemoglobin. Sejak masa embrio, janin,
anak, dan dewasa sel darah merah mempunyai 6 hemoglobin antara lain:2
- Hemoglobin embrional : Gower-1, Gower-2, Portland
- Hemoglobin fetal : Hb-F
4
- Hemoglobin dewasa : Hb-A dan Hb-A2
Hemoglobin embrional
Selama masa gestasi 2 minggu pertama, eritroblas primitif dalam yolk sac membentuk
rantai globin epsilon (Ɛ) serta zeta (Z) yang akan membentuk hemoglobin primitif
Gower-1 (Z2Ɛ2). Selanjutnya mulai sintesis rantai ɑ mengganti rantai zeta; rantai γ
mengganti rantai Ɛ di yolk sac, yang akan membentuk Hb-Portland (Z2γ2) dan
Gower-2 (ɑ2Ɛ2).2
Hemoglobin yang terutama ditemukan pada masa gestasi 4-8 minggu adalah Hb
Gower-1 dan Gower-2 yaitu kira-kira 75% dan merupakan hemoglobin yang disintesis
di yolk sac, tetapi akan menghilang pada masa gestasi 3 bulan.2
Hemoglobin fetal
Migrasi puripoten sel stem dari yolk sac ke hati diikuti dengan sintesis
hemoglobin fetal dan awal dari sintesis rantai β. Setelah masa gestasi 8 minggu HbF
paling dominan dan setelah janin berusia 6 bulan merupakan 90% dari keseluruhan
hemoglobin, kemudian berkurang bertahap dan pada saat lahir ditemukan kira-kira
70% HbF. Sintesis HbF menurun secara cepat setelah bayi lahir dan setelah usia 6-12
bulan hanya sedikit ditemukan.2
Hemoglobin dewasa
Pada masa embrio telah dapat dideteksi HbA (ɑ2β2), karena telah terjadi perubahan
sintesis rantai γ menjadi β dan selanjutnya globin β meningkat dan pada masa gestasi
6 bulan ditemukan 5-10% HbA, pada waktu lahir mencapai 30% dan pada usia 6-12
bulan sudah memperlihatkan gambaran hemoglobin dewasa.2
Hemoglobin dewasa minor ditemukan kira-kira 1% pada saat lahir dan pada usia
12 bulan mencapai 2-3,4% degnan rasio normal antar HbA dan HbA2 adalah 30:1.
Perubahan hemoglobin janin ke dewasa merupakan proses biologi berupa diferensiasi
sel induk eritroid, sel stem pluripoten, gen dan reseptor yang mempengaruhi eritroid
dan dikontrol oleh faktor humoral.2
5
Tabel 1. Nilai normal hemoglobin1
Klasifikasi Anemia
1. Anemia mikrositik/hipokromik
Anemia mikrositik/hipokromik berarti ukuran eritrosit lebih kecil dari normal
(mikrositik) dengan kadar hemoglobin lebih rendah dari normal (hipokromik).
Penyebab tersering adalah anemia defisiensi besi dan talasemia.3
2. Anemia makrositik
Anemia makrositik berarti ukuran eritrosit lebih besar dari normal. Penyebab
tersering di antaranya:3
- Defisiensi vitamin B12 atau folat
- Pemberian obat sitotoksik seperti azatioprin atau siklofosfamid
- Miklodisplasia
- Anemia hemolitik
3. Anemia normokromik dan normositik
Anemia jenis ini kadang disebut anemia penyakit kronis. Ukuran eritrosit normal
atau hanya sedikit mengecil dan konsentrasi hemoglobin normal. Penyebab
tersering di antaranya:3
- Infeksi kronis, seperti tuberkulosis (TB) dan osteomielitis
- Penyakit radang seperti artritis reumatoid dan penyakit
jaringan ikat.
- Keganasan
6
- Gagal ginjal.
Anemia karena penyakit kronis terjadi sebagian karena efek inhibitor dari
interleukin 1 pada eritropoiesis dan defisiensi eritropoietin.3
Berdasarkan klasifikasi anemia di atas, berikut ini akan dibahas macam-macam
anemia yang sering menyebabkan anemia mikrositik hipokrom, anemia normositik,
maupun anemia makrositik.
1. Anemia Defisiensi Besi
Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya besi yang
diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Anemia ini merupakan bentuk anemia yang
paling sering ditemukan di dunia, terutama di negara yang sedang berkembang,
sehubungan dengan kemampuan ekonomi yang terbatas, masukan protein hewani
yang rendah dan infestasi parasit yang merupakan masalah endemik.2
Selain dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin yang berperan dalam
penyimpanan dan pengangkutan oksigen, zat besi juga terdapat dalam beberapa enzim
yang berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA, neurotransmiter dan
proses katabolisme yang dalam bekerjanya membutuhkan ion besi. Dengan demikian,
kekurangan besi mempunyai dampak yang merugikan bagi pertumbuhan dan
perkembangan anak, menurunkan daya tahan tubuh, menurunkan konsentrasi belajar,
dan mengurangi aktivitas kerja.2
Rekomendasi terbaru menyatakan suplementasi besi sebaiknya diberikan mulai
usia 4-8 minggu dan dilanjutkan sampai usia 12-15 bulan, dengan dosis tunggal 2-4
mg/kgBB/hari tanpa melihat usia gestasi dan berat lahir. Remaja perempuan perlu
mendapat perhatian khusus karena mengalami menstruasi. Ibu hamil dengan anemia
mempunyai risiko 3 kali lipat melahirkan bayi anemia, 2 kali lipat melahirkan bayi
prematur, dan 3 kali lipat melahirkan bayi berat lahir rendah sehingga suplementasi
besi harus diberikan pada remaja perempuan sejak sebelum hamil.4
7
Tabel 2. Dosis dan lama pemberian suplementasi besi4
Metabolisme zat besi
Zat besi bersama dengan protein (globin) dan protoporfirin mempunyai peranan yang
penting dalam pembentukan hemoglobin. Selain itu, besi juga terdapat dalam
beberapa enzim yang berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA,
neurotransmiter, dan proses katabolisme. Kekurangan besi akan memberikan dampak
yang merugikan pada sistem saluran pencernaan, susunan saraf pusat, kardiovaskular,
dan imunitas.2
Ada 2 cara penyerapan besi dalam usus, yang pertama adalah penyerapan dalam
bentuk non heme (sekitar 90% berasal dari makanan), yaitu besinya harus diubah dulu
menjadi bentuk yang diserap, sedangkan bentuk yang kedua adalah benutk heme
(sekitar 10% berasal dari makanan) besinya dapat langsung diserap tanpa
memperhatikan cadangan besi dalam tubuh, asam lambung ataupun zat makanan yang
dikonsumsi.2
Besi non heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin membentuk
kompleks transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel mukosa. Di dalam
sel mukosa, besi akan dilepasakan dan apotransferinnya kembali ke dalam lumen
usus. Selanjutnya sebagian besi dengan apoferitin membentuk feritin, sedangkan besi
yang tidak diikat oleh apoferitin akan masuk ke peredaran darah membentuk
transferin serum. Penyerapan besi oleh tubuh berlangsung melalui mukosa usus halus,
terutama di duodenum sampai pertengahan jejenum, makin ke arah distal usus
penyerapannya semakin berkurang. Besi dalam makanan terbanyak ditemukan dalam
bentuk senyawa besi non heme berupa kompleks senyawa besi inorganik (feri/Fe3+)
yang oleh pengaruh asam lambung, vitamin C, dan asam amino mengalami reduksi
menjadi bentuk fero (Fe2+). Fero akan diabsorbsi oleh sel mukosa usus dan di dalam
8
sel usus mengalami oksidasi menjadi bentuk feri yang selanjutnya berikatan dengan
apoferitin menjadi feritin. Selanjutnya besi feritin dilepaskan ke dalam peredaran
darah setelah melalui reduksi menjadi bentuk fero dan di dalam plasma ion fero
direoksidasi kembali menjadi bentuk feri, yang kemudian berikatan dengan 1 globulin
membentuk transferin. Absorbsi besi non heme akan meningkat pada penderita ADB.
Transferin berfungsi untuk mengangkut besi dan selanjutnya didistribusikan ke dalam
jaringan hati, limpa, dan sumsum tulang serta jaringan lain utnuk disimpan sebagai
cadangan besi tubuh.2
Di dalam sumsum tulang sebagian besi dilepaskan ke dalam eritrosit yang
selanjutnya bersenyawa dengan porfirin membentuk heme dan persenyawaan globulin
dengan heme membentuk hemoglobin. Setelah eritrosit berumur ± 120 hari fungsinya
kemudian menurun dan selanjutnya dihancurkan di dalam sel retikuloendotelial
hemoglobin mengalami proses degradasi menjadi biliverdin dan besi. Selanjutnya
biliverdin akan direduksi menjadi bilirubin, sedangkan besi akan masuk ke dalam
plasma mengikuti skiklus seperti di atas atau akan tetap disimpan sebagai cadangan
tergantung aktivitas eritropoisis.2
Bioavailabilitas besi dipengaruhi oleh komposisi zat gizi dalam makanan. Asam
askorbat, daging, ikan dan unggas akan meningkatkan penyerapan besi non heme.
Jenis makanan yang mengandung asam tanat (terdapat dalam teh dan kopo), kalsium,
fitat, beras, kuning telur, polifenol, oksalat, fosfat, dan obat-obatan (antasid,
tetrasiklin, dan kolestiramin) akan mengurangi penyerapan zat besi.2
Besi heme di dalam lambung dipisahkan proteinnya oleh asam lambung dan
enzim proteosa. Kemudian besi heme mengalami oksidasi menjadi hemin yang akan
masuk ke dalam sel mukosa secara utuh, kemudian akan dipecah oleh enzim
hemeoksigenase menjadi ion feri bebas dan porfirin. Selanjutnya ion feri bebas ini
akan mengalami siklus seperti di atas.2
Di dalam tubuh cadangan besi ada 2 bentuk, yang pertama feritin yang bersifat
mudah larut, tersebar di sel parenkim dan makrofag, terbanyak di hati. Bentuk kedua
adalah hemosiderin yang tidak mudah larut, lebih stabil tetapi lebih sedikit
dibandingkan feritin. Hemosiderin ditemukan terutama dalam sel Kupfer hati dan
makrofag di limpa dan sumsum tulang. Cadangan besi ini akan berfungsi untuk
mempertahankan homeostasis besi dalam tubuh. Apabila pemasukan besi dari
makanan tidak mencukupi, maka terjadi mobilisasi besi dan cadangan besi untuk
mempertahankan kadar Hb.2
9
Etiologi dan Gejala Klinis
Fungsi zat besi paling penting adalah dalam perkembangan sistem saraf, yaitu
dalam proses mielinisasi, neurotransmiter, dendritogenesis, dan metabolisme saraf.
Kekurangan zat besi sangat mempengaruhi fungsi kognitif, tingkat laku dan
pertumbuhan seorang bayi. Besi juga merupakan sumber energi bagi otot sehingga
mempengaruhi ketahanan fisik dan kemampuan bekerja terutama pada remaja. Bila
kekurangan zat besi terjadi pada masa kehamilan maka akan meningkatkan risiko
perinatal serta mortalitas bayi.5
Gejala yang paling sering ditemukan adalah pucat yang berlangsung lama
(kronis) dan dapat ditemukan gejala komplikasi, antara lain lemas, mudah lelah,
mudah infeksi, gangguan prestasi belajar, menurunnya daya tahan tubuh terhadap
infeksi dan gangguan perilaku.5
Penyebab defisiensi besi menurut umur:5
Bayi kurang dari 1 tahun:
1. Cadangan besi kurang, antara lain karena bayi berat lahir rendah, prematuritas, lahir
kembar, ASI eksklusif tanpa suplementasi besi, susu formula rendah besi,
pertumbuhan cepat dan anemia selama kehamilan.
2. Alergi protein susu sapi
Anak umur 1-2 tahun
1. Asupan besi kurang akibat tidak mendapat makanan tambahan atau minum
susu murni berlebih.
2. Obesitas
3. Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/kronis baik bakteri, virus
maupun parasit
4. Kehilangan berlebihan akibat perdarahan.
Anak umur 2-5 tahun
1. Asupan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe jenis
heme atau minum susu berlebihan
2. Obesitas
3. Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/kronis baik bakteri, virus
maupun parasit
4. Kehilangan berlebihan akibat perdarahan.
Anak umur 5 tahun-remaja
10
1. Kehilangan berlebihan akibat perdarahan.
2. Menstruasi berlebihan pada remaja puteri.
Status Besi dan Diagnosis
Menurut organisasi kesehatan dunia bagi anak berusia 6 bulan – 6 tahun
dikatakan anemia apabila kadar hemoglobin <11 gr/dl. Diagnosis ADB ditegakkan
berdasarkan kriteria WHO, yaitu:6
1. Kadar Hb yang rendah sesuai usia,
2. Rata – rata konsentrasi Hb eritrosit (MCHC) <31%,
3. Kadar Fe serum <50 Ug/dl, dan
4. Saturasi transfirin (ST) <15 %.
Kriteria yang harus dipenuhi paling sedikit kriteria nomor 1, 3, dan 4.
Pemeriksaan laboratorium meliputi darah lengkap (DL), kadar besi (SI), total iron
bending capacity (TIBC), dan serum feritin. Status besi dinilai berdasarkan kadar SI,
saturasi transferin (ST), dan ferritin serum. Feritin serum menunjukkan cadangan besi
tubuh, status besi yang sangat kurang pada keadaan terinfeksi (feritin serum
<30ug/L,kurang (feritin serum < 273ug/L), dan status besi normal (feritin serum
>273ug/L).6
Kadar besi dipakai untuk menilai 3 tahapan defisiensi besi yaitu tahapan I
(deplesi besi) ditandai dengan berkurangnya cadangan besi, namun besi serum masih
normal (SI : >60 Ug/dl). Tahap kedua / iron deficient erythropoietin didapatkan suplai
besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoisis (SI : 40 - <60 Ug/dl) dan tahap
ketiga bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang sudah tidak cukup (SI <40 Ug/
dl).2 Saturasi transferin (ST) dihitung dengan membagi SI dengan TIBC dikalikan
100%. Status besi yang sangat kurang (ST<7 %), kurang (ST 7 – <16 %) dan status
besi normal (ST > 16 %).6
Terapi
Prinsip tata laksana anemia defisiensi besi adalah mengetahui faktor penyebab
dan mengatasinya serta memberikan terapi penggantian dengan preparat besi.7
Preparat besi dapat diberikan melalui oral atau parenteral. Pemberian per oral
lebih aman, murah, dan sama khasiatnya dengan pemberian secara parenteral. Garam
ferro di dalam tubuh diabsorbsi oleh usus sekitar tiga kali lebih baik dibandingkan
garam ferri, maka preparat yang tersedia berupa ferro sulfat, ferro glukonat, ferro
11
fumarat. Untuk mendapatkan respon pengobatan dosis besi yang dianjurkan 3-6 mg
besi elemental/kgBB/hari diberikan dalam 2-3 dosis sehari.7
Absorbsi besi yang terbaik adalah pada saat lambung kosong, diantara dua waktu
makan, namun preparat besi dapat menimbulkan efek samping pada saluran cerna.
Untuk mengatasi hal tersebut pembe-rian besi dapat dilakukan pada saat makan atau
segera setelah makan meskipun akan mengurangi absorbsi obat sekitar 40%-50%.7
Preparat besi dapat mengendap sehingga menyebabkan gigi hitam, tetapi
perubahan warna ini tidak permanen. Pengendapan zat besi dapat dicegah atau
dikurangi apabila setelah makan preparat besi, pasien dianjurkan berkumur atau
minum air putih ataupun dengan meneteskan larutan preparat besi di bagian belakang
lidah. Pasien juga harus diberitakan bahwa warna tinja juga berubah menjadi hitam,
hal ini tidak perlu dikhawatirkan.7
Respon terapi terhadap pemberian preparat besi dapat diamati secara klinis atau
dari pemeriksaan laboratorium. Evaluasi respon terhadap terapi besi dengan melihat
peningkatan retikulosit dan peningkatan hemoglobin atau hematokrit. Terjadi
kenaikan retikulosit maksimal 8%-10% pada hari kelima sampai kesepuluh terapi
sesuai dengan derajat anemia, diikuti dengan peningkatan hemoglobin (rata-rata 0,25-
0,4 mg/dL/hari) dan kenaikan hematokrit (rata-rata 1% per hari) selama 7-10 hari
pertama. Kadar hemoglobin kemudian akan meningkat 0,1 mg/dL/hari sampai
mencapai 11 mg/dL dalam 3-4 minggu.2,3,4 Bila setelah 3-4 minggu tidak ada hasil
seperti yang diharapkan, tidak dianjurkan melanjutkan pengobatan. Namun apabila
didapatkan hasil seperti yang diharapkan, pengobatan dilanjutkan sampai 2-3 bulan
setelah kadar hemoglobin kembali normal.7
2. Anemia Megaloblastik
Anemia megaloblastik adalah anemia makrositik yang ditandai dengan adanya
peningkatan ukuran sel darah merah yang disebabkan oleh abnormalitas hematopoisis
dengan karakter dismaturasi nukleus dan sitoplasma sel mieloid dan eritroid sebagai
akibat gangguan sintesis DNA.2
Sel-sel yang terserang adalah sel yang relatif mempunyai pergantian yang cepat
seperti prekursor hematopoitik daslam sumsum tulang dan epitel mukosa saluran
cerna. Walaupun pembelahan sel berjalan lamban, perkembangan sitoplasma berjalan
normal sehingga sel cenderung menjadi besar. Pertumbuhan inti dan sitoplasma yang
tidak sejajar merupakan salah satu kelainan morfologi utama yang terlihat di sumsum
12
tulang.2
Etiologi
Hampir seluruh kasus anemia megaloblastik pada anak (95%) disebabkan oleh
defisiensi asam folat atau B12, yang disebabkan oleh gangguan metabolisme sangat
jarang. Keduanya merupakan kofaktor yang dibutuhkan dalam sintesis nukleoprotein,
keadaan defisiensi tersebut akan menyebabkan gangguan sintesis DNA dan
selanjutnya akan mempengaruhi RNA dan protein.2
Penyebab anemia megaloblastik:
A. Defisiensi asam folat:2
– Asupan yang kurang: kemiskinan, ketidaktahuan, faddism, cara
pemasakan, pemakaian susu kambing, malnutrisi, diet khusus
fenilketonuria, prematuria, pasca cangkok sumsum tulang.
– Gangguan absorbsi (kongenital dan didapat)
– Kebutuhan yang meningkat: percepatan pertumbuhan, anemia hemolitik
kronis, penyakit keganasan, keadaan hipermetabolisme, penyakit kulit
ekstensif, sirosis hepatis pasca cangkok sumsum tulang.
– Gangguan metabolisme asam folat (kongenital dan didapat)
B. Defisiensi vitamin B122
– Asupan kurang: diet kurang mengandung vitamin B12, defisiensi pada ibu
yang menyebabkan defisiensi vitamin B12, defisiensi pada ibu yang
menyebabkan defisiensi B12 pada ASI.
– Gangguan absorbsi: kegagalan sekresi faktor intrinsik, kegagalan
absorbsi di usus kecil
– Gangguan transport vitamin B12 (kongenital dan didapat)
– Gangguan metabolisme vitamin B12
Asam Folat
Folat banyak didapatkan pada berbagai jenis makanan, seperti sayuran hijau,
buah-buahan, jeroan. Tubuh kita tak dapat membuat asam folat sehingga harus
didapatkan dari diet. Asupan folat yang dianjurkan untuk balita dan anak anak adalah
100-150 mcg/hari, untuk remaja dan dewasa membutuhkan 150-350 mcg/hari. Fungsi
utama folat adalah mengangkut unit 1 karbon seperti gugus metil dan formil ke
berbagai senyawa organik seperti pada pembentukan timidin dan deoksiuridin.2
13
Secara alamiah folat ada dalam bentuk poliglutamat dan diabsorbsi kurang efisien
dibandingkan bila dalam bentuk monoglutamat (asam folat). Aktivitas konjugasi folat
di brush border usus membantu konversi poliglutamat ke bentuk monoglutamat
sehingga meningkatkan absorbsi. Asam folat diabsorbsi di usus kecil dan terdapat
dalam sirkulasi enterohepatik. Sebagian besar folat dalam plasma terikat secara
longgar dengan albumin.2
Cadangan folat dalam tubuh terbatas dan anemia megaloblastik dapat terjadi
setelah 2-3 bulan diet bebas folat.2
Vitamin B12
Vitamin B12 didapatkan dari kobalamin dalam makanan, terutama bersumber dari
hewani, sekunder dari yang diproduksi mikroorganisme. Tubuh tidak mampu
mensintesis vitamin B12. Vitamin B12 dilepaskan dalam suasana keasaman lambung
yang bergabung dengan protein R dan faktor intrinsik (FI) melewati duodenum,
kemudian protease pankreas akan memecah protein R, dan diabsorpsi di ileum distal
melalui reseptor spesifik untuk FI-kobalamin. Vitamin B12 dosis tinggi dapat berdifusi
melalui mukosa usus dan mulut. Di dalam plasma, kobalamin berikatan dngan protein
transport (transcobalamin II/TC-II) yang akan membawa vitamin B12 ke hati, sumsum
tulang dan jaringan tempat penyimpanan lainnya. TC-II memasuki sel melalui
reseptor dengan cara endositosis, dan kobalamin dikonversi ke dalam bentuk aktif
(metilkobalamin dan adenosilkobalamin) yang penting untuk transfer kelompok metil
dan sintesis DNA. Plasma juga mengandung 2 protein yang terikat vitamin B12, yaitu
TC-I dan TC-III, keduanya tidak memiliki peranan transport spesifik tetapi diketahui
dapat menggambarkan penyimpanan vitamin B12 dalam tubuh. Pada kenyataanya
hampir semua vitamin B12 dalam plasma terikat ke TC-I dan TC-III dan pengukuran
konsentrasi vitamin B12 menggambarkan persediaan vitamin ini.2
Berbeda dengan persediaan asam folat, anak besar dan remaja memiliki
persediaan vitamin B12 untuk selama 3-5 tahun. Meskipun demikian, pada bayi yang
lahir dari ibu yang persediaan vitamin B12 nya rendah, manifestasi defisiensi
kobalamin dapat timbul pada usia 4-5 bulan pertama kehidupan.2
Patofisiologi
Timbulnya megaloblast adalah akibat gangguan maturasi inti sel karena terjadi
gangguan sintesis DNA sel-sel eritroblast akibat defisiensi asam folat dan vitamin B12
14
di mana vitamin B12 dan asam folat berfungsi dalam pembentukan DNA inti sel dan
secara khusus untuk vitamin B12 penting dalam pembentukan mielin. Akibat gangguan
sintesis DNA pada inti eritroblast ini, maka maturasi inti lebih lambat, sehingga
kromatin lebih longgar dan sel menjadi lebih besar karena pembelahan sel yang
lambat. Sel eritroblast dengan ukuran yang lebih besar serta susunan kromatin yang
lebih longgar disebut sebagai sel megaloblast. Sel megaloblast ini fungsinya tidak
normal, dihancurkan saat masih dalam sumsum tulang sehingga terjadi eritropoiesis
inefektif dan masa hidup eritrosit lebih pendek yang berujung pada anemia.8
Manifestasi Klinis
Gejala pada bayi yang menderita defisiensi asam folat adalah iritabel, gagal
mencapai berat badan yang cukup, dan diare kronis. Perdarahan karena
trombositopenia terjadi pada kasus yang berat. Pada anak yang lebih besar gejala dan
tanda yang muncul berhubungan dengan anemianya dan proses patologis penyebab
defisiensi asam folat tersebut.2
Anemia megaloblastik ringan dilaporkan terjadi pada bayi lahir sangat rendah
sehingga dianjurkan untuk diberikan suplementasi asam folat secara rutin. Puncak
insiden anemia megaloblastik terjadi pada umur 4-7 bulan, kadang-kadang muncul
lebih dulu dari anemia defisiensi besi, pada keadaan malnutrisi keduanya dapat timbul
bersamaan.2
Pada anemia megaloblastik karena defisiensi vitamin B12 disamping gejala yang
tak spesifik seperti lemah, lelah, gagal tumbuh atau iritabel juga ditemukan gejala
pucat, glositis, muntah, diare, dan ikterus. Kadang-kadang timbul gejala neurologis
seperti parestesia, defisit sensori, hipotonia, kejang, keterlambatan perkembangan
regresi perkembangan dan perubahan neuropsikiatrik. Masalah neurologis karena
defisiensi vitamin B12 dapat terjadi pada keadaan yang tidak disertai kelainan
hematologis.2
Pemeriksaan laboratorium
Pada pemeriksaan laboratorium anemia megaloblastik karena defisiensi asam
folat didapatkan anemia makrositik (MCV >100fL), anisositosis, poikilositosis,
retikulopenia, dan sel darah merah berinti dengan morfologi megaloblastik. Pada
defisiensi yang lama dapat disertai trombositopenia dan neutropenia. Neutrofil besar-
besar dengan nukleus hipersegmentasi. Kadar asam folat serum menurun. Pada
15
defisiensi kronis kadar folat dalam sel darah merah merupakan indikator yang paling
baik. Kadar besi dan vitamin B12 serum normal atau meningkat. Kadar LDH
meningkat jelas. Sumsum tulang hiperselular karena terdapat hiperplasia eritroid.
Perubahan megaloblastik jelas meski ditemukan prekursor sel darah merah yang
normal.2
Pada anemia megaloblastik defisiensi vitamin B12 kadar vitamin 12 <100 pg/ml
(menurun). Kadar besi dan asam folat serum normal atau meningkat. Kadar LDH
meningkat menggambarkan eritropoisis yang tidak efektif. Dapat disertai peningkatan
kadar bilirubin sampai 2-3 mg/dl. Masa hidup eritrosit berkurang. Terdapat
peningkatan ekskresi asam metilmalonik dalam urin dan ini merupakan indeks
defisiensi vitamin B12 yang sensitif. Pada pemeriksaan tes Schilling dengan cara
radiolabeled B12 akan menunjukkan absorbsi kobalamin yang rendah yang menjadi
normal setelah pemberian faktor intrinsik lambung.2
Terapi
Anemia megalblastik karena defisiensi asam folat
Terapi awal dimulai dengan pemberian asam folat dengan dosis 0,5-1 mg/hari,
diberikan peroral atau parenteral. Respons klinis dan hematologis dapat timbul segera,
dalam 1-2 hari terlihat perbaikan nafsu makan dan keadaan membaik. Dalam 24-48
jam terjadi penurunan kadar besi serum dan dalam 2-4 hari terjadi peningkatan
retikulosit yang mencapai puncaknya pada hari ke 4-7, diikuti kenaikan kadar Hb
menjadi normal dalam waktu 2-6 minggu. Lamanya pemberian asam folat tidak
diketahui secara pasti, namun biasanya terapi diberikan selama beberapa bulan sampai
terbentuk populasi eritrosit yang normal. Pendapat lain menyatakan bahwa pemberian
asam folat dilanjutkan 3-4 minggu sampai sudah terjadi perbaikan hematologis yang
menetap, dilanjutkan pemeliharaan dengan multivitamin yang mengandung 0,2 mg
asam folat.2
Pada keadaan diagnosis pasti masih diragukan dapat dilakukan tes diagnostik
dengan pemberian preparat asam folat dosis kecil 0,1 mg/hari selama 1 minggu karena
respons hematologis dapat diharapkan sudah terjadi selama 1 minggu karena respon
hematologis dapat diharapkan sudah terjadi dalam waktu 72 jam. Dosis yang (>0,1
mg) dapat memperbaiki anemia karena defisiensi vitamin B12 tetapi dapat
memperburuk kelainan neurologisnya.2
16
Anemia megaloblastik karena defisiensi vitamin B12
Kebutuhan fisiologis vitamin B12 adalah 1-5 μg/hari dan respons hematologis
telah terjadi pada pemberian vitamin B12 dosis rendah, hal ini menunjukkan bahwa
pemberian dosis rendah dapat dilakukan sebagaites terapeutik pada keadaan diagnosis
defisiensi vitamin B12 masih diragukan. Jika terjadi perbaikan neurologis, terjadi
perbaikan neurologis, harus diberikan injeksi vitamin B12 1 mg intramuskular selama 2
minggu. Kemudian dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan seumur hidup dengan cara
pemberian injeksi 1 mg vitamin B12/bulan. Pemberian peroral mungkin berhasil pada
pemberian dosis tinggi, tapi tidak dianjurkan sehubungan dengan ketidakpastian
absorbsinya.2
3. Anemia Hemolitik
Anemia hemolitik didefinisikan sebagai suatu kerusakan sel eritrosit yang lebih awal.
Bila tingkat kerusakan lebih cepat dari kapasitas susmsum tulang untuk memproduksi
sel eritrosit makan akan menimbulkan anemia. Umur eritrosit normal rata-rata 110-
120 hari, setiap hari terjadi kerusakan sel eritrosit 1% dari jumlah eritrosit yang ada
dan diikuti oleh pembentukan oleh sumsum tulang. Selama terjadi proses hemolisis
umur eritrosit lebih pendek dan diikuti oleh aktivitas yang meningkat dari sumsum
tulang ditandai dengan meningkatnya jumlah sel retikulosit tanpa disertai adanya
perdarahan yang nyata.2
Anemia hemolitik dibagi menurut penyebabnya:
Anemia hemolitik defek imun:2
Anemia hemolitik "warm antibody"
Anemia hemolitik "cold antibody
Anemia heolitik defek membran:
Sferositosis heriditer
Elipsitosisheriditer
Stomatosis heriditer
Paroksismal nokturnal hemoglobinuria
A. Anemia hemolitik defek imun
Kerusakan sel eritrosit pada anak maupun dewasa sering disebabkan oleh adanya
mediator imun baik akibat masuknya antibodi (IgG) secara transplasental dari darah
ibu ke fetus intra uterin atau secara aktif pada kondisi ketidakcocokan darah pada
17
transfusi tukar.
Kelainan imunologi yang terjadi merupakan gambaran suatu penyakit yang
heterogen yang dapat dikelompokkan dalam penyakit sistemik misalnya pada artritis
reumatoid atau organ spesifik pada anemis hemolitik autoimun. Berbagai faktor yang
berperan terjadinya proses kerusakan eritrosit ini di antaranya adalah:2
- Antigen sel eritrosit
- Antibodi-anti sel eritrosit
- Komponen non imunoglobulin, misalnya protein komplemen serum
- Sistem fagosit mononuklear, khususnya reseptor Fc pada makrofag limpa.
Gambaran klinik dan laboratorium
Anemia hemolitik autoimun seringkali menunjukkan gejala berupa mudah lelah,
malaise, dan demam, ikterus, dan perubahan warna urin. Seringkali disertai dengan
nyeri abdomen, gangguan pernapasan. Tanda-tanda lain yang ditemukan ialah
hepatomegali dan splenomegali. Gejala dan tanda yang timbul tidak saja tergantung
dari beratnya anemia tetapi juga proses hemolitik yang terjadi. Kadang-kadang proses
hemolitik yang terjadi merupakan akibat dari proses penyakit lain misalnya lupus atau
glomerulonefritis kronik.2
Darah tepi
Gambaran darah tepi menunjukkan adanya proses hemolitik berupa sferositosis,
polikromasi maupun poikilositosis, sel eritrosit berinti, retikulopeni pada awal
anemia. Kadar hemoglobin 3 g/dl - 9 g/dl, jumlah leukosit bervariasi disertai
gambaran sel muda (metamielosit, mielosit, dan promielosit), kadang disertai
trombositopeni. Kadar bilirubin indirek meningkat. Gambaran sumsum tulang
menunjukkan hiperplasi eritropoitik normoblastik.2
Tes Coombs
Pemeriksaan Direct antiglobulin test (DAT) positif yang menunjukkan adanya
antibodi permukaan/komplemen permukaan sel eritrosit. Pada pemeriksaan ini terjadi
reaksi aglutinasi sel eritrosit pasien dengan reagen antiglobulin yang dicampurkan
adanya tes aglutinasi oleh anti IgG menunjukkan permukaan sel eritrosit mengandung
IgG (tes DAT positif).2
18
Pengobatan
Tujuan pengobatan adalah untuk mengembalikan nilai-nilai hematologis norma,
mengurangi proses hemolitik dan menghilangkan gejala dengan efek samping normal.
Pengobatan yang dapat diberikan adalah pemberian kortikosteroid, gamaglobulin
secara intravena, transfusi darah maupun transfusi tukar serta splenektomi.2
1. Kortikosteroid
Pasien dengan anemia hemolitik autoimun oleh karena IgG mempunyai respons
yang baik terhadap pemberian kortikosteroid dengan dosis 2-10 mg/kgbb/hari.
Bila proses hemolitik menurun dengan disertai peningkatan kadar hemoglobin
maka dosis kortikosteroid diturunkan secara bertahap.2
Pemberian kortikosteroid dalam jangka lama perlu mendapat pengawasan
terhadap efek samping, dengan monitor kadar elektrolit, pningkatan nafsu makan
dan kenaikkan berat badan, gangguan tumbuh kembang, serta adanya eksaserbasi
diabetes serta risiko terhadap infeksi.
2. Gammaglobulin intravena
Pemberian gammaglobulin intravena pada pasien anemia hemolitik autoimun
dapat diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid dengan dosis 2 g/kgbb.2
3. Transfusi darah
Pada umumnya hemolitik autoimun tidak membutuhkan transfusi darah.
Transfusi sel eritrosit diberikan pada kadar hemoglobin yang rendah yang disertai
dengan tanda-tanda klinis gagal jantung, dengan dosis 5 ml/kgbb selama 3-4 jam.2
4. Plasmafaresis / Transfusi tukar
Plasmafaresis untuk pengobatan anemia hemolitik autoimun yang disebabkan
oleh IgG kurang efektif bila dibandingkan dengan hemolitik yang disebabkan
oleh IgM meskipun sifatnya hanya sementara.2
5. Splenektomi
Pasien yang tidak responsif terhadap pemberian kortikosteroid dianjurkan untuik
dilakukan splenektomi. Tetapi mengingat komplikasi splenektomi (sepsis), maka
tindakan ini perlu dipertimbangkan.2
B. Anemia Hemolitik Defek Membran
1. Sferositosis herediter
Sferositosis herediter biasanya diturunkan secara autosom dominan dan sebagian
kecil diturunkan secara resesif autosom. Lebih dari 25% pasien tidak
19
menunjukkan adanya mutasi spontan.2
Herediter sferositosis pada bayi baru lahir sering kali menunjukkan gejala
anemia dan hiperbilirubinemia. Derajat beratnya penyakit secara klinis ini sangat
bervariasi. Gejala pada anak berupa pucat, ikterik, mudah lelah, tetapi gejala ini
mungkin tidak nampak sampai anak usia remaja. Pembesaran limpa,
hiperpigmentasi kulit, dan batu empedu seringdidapatkan pada anak yang lebih
besar.2
Kadar hemoglgobin kadang masih normal atau turun mencapai 6-10 g/dL.
Bukti adanya hemolisis diketahui adanya jumlah retikulosit yang meningkat
mencapai 6-20% dan hiperbilirubinemia, MCV normal, MCHC meningkat, tes
Coomb's negatif. Gambaran darah tepi menunjukkan adanya polikromasi, sel
eritrosit sferosit lebih kecil dengan hiperkromasi, retikulosit yang meningkat.2
Pada kondisi dengan kadar Hb >10 g/dL dan retikulosit <10% tidak
diperlukan pengobatan. Bila kadar Hb <10 g/dL, pasien berumur kurang dari 2
tahun, dan terdapat gambaran hemolisis yang nyata maka dilakukan transfusi
darah. Kadar Hb yang selalu rendah dengan retikulositosis, kardiomegali, dengan
gangguan pertumbuhan dianjurkan untuk melakukan splenektomi. Dengan
splenektomi diharapkan bahwa proses kerusakan eritrosit akan berkurang,
anemia, retikulosit, dan hiperbilirubinemia akan mengalami perbaikan. Pemberian
asam folat 1 mg dianjurkan untuk mencegah timbulnya anemia defisiensi asam
filat sekunder.2
2. Eliptositosis herediter
Eliptositosis herediter merupakan kelainan yang jarang ditemukan dan
mempunyai gambaran klinis yang sangat bervariasi. Pada eliptositosis herediter
yang ringan tidak menunjukkan gejala klinis yang khas. Sedangkan pada
eliptositosis herediter yang berat dapat memberikan gambaran poikilositosis,
hemolisis, serta anemia hemolitik sporadik. Di daerah endemis malaria, pasien
eliptositosis terbukti resisten terhadap serangan malaria.2
Eliptositosis mungkin ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan darah
tepi secara rutin dan bahkan tidak ada hubungan dengan kelainan klinik
hemolisis. Diagnosis eliptositosis ditegakkan dengan gambaran sel eliptositosis
dan adanya autosomal dominan inheritance.2
Proses hemolitik yang terjadi pada bayi baru lahir memberikan gambaran
20
klinik ikterik dengan gambaran darah tepi poikilositosis dan piknositosis, kadang
disertai anemia ringan dan splenomegali. Kolelitiasis mungkin didapatkan pada
anak yang lebih besar.2
Pemeriksaan gambaran darah tepi sangat penting untuk menegakkan
diagnosis eliptositosis. Gambaran ovalositosis yang sangat menonjol
menunjukkan adanya mutasi pada protein 3 yang merupakan gambaran khas dari
South East Asian Ovalocytosis (SAO) yang tidak menyebabkan terjadinya
hemolisis. Gambaran darah tepi yang terjadi menunjukkan derajat beratnya
hemolisis yang terjadi, pada umumnya memberikan gambaran mikrositik,
sferositosis, dan poikilositosis, mungkin didapatkan gambaran retikulosit, dan
eritrosit hiperplasi. Pada pemeriksaan bilirubin mungkin didapatkan kadar
bilirubin indirek yang meningkat.2
Eliptositosis yang tidak menunjukkan tanda-tanda hemolitik tidak
memerlukan pengobatan. Pasien dengan hemolitik kronik memerlukan tambahan
asam folat 1 mg/hari untuk mencegah terjadinya defisiensi asam folat sekunder.
Splenektomi dianjurkan bila terdapat hemolitik yang nyata dan anemia yang berat
disertai jumlah retikulosit >110%, dengan kadar harapan kadar hemoglobin
meningkat dan retikulosit menurun.2
3. Paroksismal Nokturnal Hemoglobinuria (PNH)
PNH merupakan penyakit yang didapat yang mencerminkan adanya
abnormalitasa dari sistem sel yang berakibat terhadap berbagai kelainan darah.
Kelainan ini ditandai dengan adanya defek pada membran sel eritrosit dan
beberapa komplemen akibat defisiensi beberapa protein penting diantaranya C8
binding protein.2
Penyakit ini jarang dijumpai pada anak-anak. Keluhan yang paling sering
dirasakan pada anak-anak adalah nyeri pinggan, abdomen, dan kepala. Trombosis
dan tromboembolik merupakan komplikasi yang serius yang terjadi akibat
aktivitas glikoprotein permukaan yang meningkat.
Diagnosis PNH ditegakkan berdarsarkan tes positif dari asam serum (Ham)
atau adanya tes lisis sukrose yang positif. Hemosiderinuria merupakan refleksi
adanya hemolisis intravaskuler.2
Prednison dengan dosis 2 mg/kgbb/hari dapat diberikan pada fase hemolitik,
bila telah terjadi perbaikan dilakukan pengurangan dosis. Penggunaan obat
21
proagulan dapat diberikan oleh karena terjadi hemosiderinuria. Cangkok sumsum
tulang merupakan pilihan yang terbaik. Tidak ada indikasi untuk melakukan
splenektomi pada kelainan ini.2
4. Anemia Pada Penyakit Menahun
Penyebab anemia pada penyakit menahun adalah inflamasi kronik dan penyakit
keganasan. Inflamasi kronik dapat disebabkan oleh infeksi (misalnya abses paru,
pneumonia, TBC paru) dan penyakit bukan infeksi (misalnya reumatoid artritis,
lupus eritematosus sistemik, penyakit Crohn). Penyakit keganasan yang dapat
menyebabkan anemia penyakit menahun antara lain limfoma, sarkoma, dan
karsinoma.10
Anemia penyakit menahun mempunyai karakteristik yaitu anemia bervariasi
dari normositik sampai mikrositik, dari normokromik - hipokromik, anemia
ringan, kadar Hb jarang kurang dari 9 g/dL, sifat anemia tidak progresif,
tergantung dari penyakit utama.10
Anemia pada penyakit menahun dapat disebabkan beberapa faktor, antara
lain karena penglepasan besi dari makrofag ke plasma terhambat, usia eritrosit
memendek dan respon eritropoietin terhadap anemia menurun.10
Terapi yang benar adalah mengobati penyakit utama. Penyulit pada penyakit
menahun adalah defisiensi Fe, defisiensi vitamin B12, defisiensi folat, kegagalan
sumsum tulang, dan hipersplenisme.10
Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar besi serum menurun, kadar
feritin normal/meningkat. Hasis elektroforesis Hb normal. Cadangan besi
sumsum tulan normal, besi dalam eritroblas menurun.10
Penutup
Anemia merupakan hal yang tidak jarang terjadi pada anak, dan paling sering
disebabkan oleh kekurangan suatu gizi tertentu. Dengan mengetahui penyebab dan
cara mendiagnosis anemia, terapi yang diberikan harus sesuai untuk memperbaiki
kesehatan pasien dan meningkatkan kualitas hidup pasien.
22
Daftar Pustaka
1. WHO/NMH/NHD/MNM/11.1. Haemoglobin concentrations for the diagnosis of
anemia and assesment of severity. P. 1-5.
2. Permono HB, Sutaryo, Ugrsena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M. Buku ajar
hematologi-onkologi anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2006.h.1-6, 24-57.
3. Davey P. Alih bahasa: Rahmalia A, R CN. At a glance medicine. Jakarta: Penerbit
Erlangga; 2006. H.78-9
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia:
Suplemen besi untuk anak. 2011. H. 1-4.
5. Windiastuti E. Seputar kesehatan anak: Anemia defisiensi besi pada bayi dan anak.
23
5 September 2013. Diunduh dari http://idai.or.id/public-articles/seputar-kesehatan-
anak/anemia-defisiensi-besi-pada-bayi-dan-anak.html pada hari Selasa 1 Agustus
2015 pukul 19.00.
6. Widiaskara IM, Paramitha PT, Bikin S, Ugrasena IDG. Gambaran hematologi
anemia defisiensi besi pada anak. Sari Pediatri, Vol. 13, No. 6, Februari 2012.
7. Gunadi D, Lubis B. Rosdiana N. Terapi dan Suplementasi Besi pada Anak. Sari
Pediatri Vol. 11, No. 3, Oktober 2009
8. Handayani W, Hariwibowo AS. Buku ajar asuhan keperawatan pada klien dengan
gangguan sistem hematologi. Jakarta: Penerbit Salemba Medika; 2008. H. 76.
9. Rodak BF, Fritsma GA. Doig K. Hematology clinical principles. 3rd Ed.
10. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi klinik
hematologi. Jakarta: Biro Publikasi Fakultas Kedokteran Ukrida; 2009. H. 112-5.
24