referat antipsikotik atipikal
DESCRIPTION
TTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Antipsikotik adalah antagonis dopamin dan menyekat reseptor
dopamin dalam berbagai jaras di otak. Obat antipsikotik baik tipikal maupun
atipikal tentunya memiliki efek samping yang perlu diketahui agar
pengobatan klinis bisa efisien dan sesuai dengan proporsi dan tentunya agar
mencapai target terapi. Untuk itu kita harus mengenali obat antipsikotik ini
terlebih dahulu, karena selain manfaatnya, antipsikotik juga mempunyai
kerugian yang menyertainya.
Antipsikotik merupakan pengobatan yang terbaik untuk penyakit
skizofrenia dan penyakit psikotik lainnya. Antipsikotik digunakan secara
klinis pada tahun 1950an, ketika Chlorpromazine (CPZ), turunan dari
phenotiazine (rantai aliphatik), telah disintetis di Perancis. Walaupun
dikembangkan sebagai potensial antihistamin, chlorpromazine memiliki
antipsikotik pada pemakaian klinis. CPZ digunakan sebagai model dalam
pengembangan antipsikotik, tapi semua generasi pertama (kecuali clozapine)
mempunyai efek yang menyebabkan gejala ekstrapiramidal berdasarkan atas
property utama, antagonis kuat dari reseptor dopamine D2. Sebagai tambahan
property antipsikotik, obat-obat ini memiliki fungsi lain, berdasarkan
kemampuan memblok reseptor Dopamin D2 (seperti antiemetic dan
mengurangi beberapa kelainan gerak yang ditandai dengan adanya gerakan
yang berlebih). Antipsikotik antagonis D2 disebut dengan antipsikotik tipikal,
(untuk memisahkan dengan clozapine dan obat-obat atipikal) yang memiliki
efek ekstrapiramidal yang rendah.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Sekelompok (bermacam-macam) obat yang menghambat reseptor
dopamine tipe 2 (D2 reseptor) sering disebut sebagai antipsikotik. Indikasi
utama untuk pemakaian obat-obatan ini adalah terapi skizofrenia dan
gangguan psikotik lainnya. Beberapa contoh obat antipsikotik adalah
termasuk chlorpromazine, thioridazine, fluphenazine dan haloperidol.
Antipsikotik digunakan secara klinis ketika Chlorpromazine telah disintetis di
Perancis. Satu obat antipsikotik baru yaitu risperidone, telah dikenalkan di
Amerika serikat. Walaupun risperidone adalah antagonis reseptor D2 yang
poten, ia memiliki ciri farmakologis tambahan yang memberikan keuntungan
terapeutik dan memperbaiki profil efek samping ekstrapiramidal yang lebih
baik, dibandingkan dengan antagonis reseptor dopamine yang tersedia
sebelumnya. 1
Antipsikotik dan antagonis reseptor dopamine tidak sepenuhnya sama.
Clozapine adalah suatu antipsikotik yang efektif tetapi berbeda dengan semua
obat karena memiliki aktivitas pada reseptor D2 yang kecil. Obat-obat ini
dinamakan sebagai neuroleptik dan transkuilizer mayor. Istilah neuroleptik
menekankan efek neurologis dan motorik dari sebagian besar obat.
Perkembangan senyawa baru, seperti risperidone dan remoxipine, yang
disertai dengan efek neurologis yang sedikit, menyebabkan pemakaian istilah
neuroleptik menjadi tidak akurat sebagai label keseluruhan senyawa. Istilah
transkuilizer mayor secara tidak akurat menekankan bahwa efek primer dari
obat adalah untuk mensedasi pasien dan dikacaukan oleh obat yang disebut
transkuiliser minor, seperti benzodiazepin. 1
2
B. SEJARAH
Reserpine (serpasil) bukan merupakan antagonis reseptor dopamine,
obat ini justru menurunkan cadangan nerurotransmiter amin biogenik
prasinaptik, termasuk dopamine. Namun demikian, reserpin secara historik
merupakan obat antipsikotik efektif pertama. Reserpine adalah unsur dari
semak belukar rauwolfa, yang tumbuh di daerah India, Afrika, dan Amerika
Selatan dan telah dicampurkan kedalam campuran obat-obatan tradisional
selama berabad-abad. Pada tahun 1931 Sen dan Bose menerbitkan tulisan
pertama yang melaporkan efektivitas rauwolfa pada hipertensi dan mania. Di
tahun 1953 unsur aktif, reserpine, di identifikasi dan dengan cepat masuk ke
dalam pendekatan farmakologis yang terbatas untuk psikosis. 1
Chlorpromazine, suatu derivate phenotiazine selanjutnya terbukti
merupakan antagonis reseptor dopamine, adalah yang pertama dinamakan
antipsikotik klasik atau tipikal yang disintesis pada awal tahun 1950-an dan
memasuki pemakaian klinis yang luas. Chlorpromazine awalnya digunakan
sebagai tambahan anestesi, tetapi dua ahli anastesiologi di Perancis, Henry
Laborit dan Huguenard, mengamati adanya psikis yang tidak biasa dari
senyawa. Dua dokter psikiatrik Perancis, Jean Delay dan Pierre Deniker,
mencoba obat pada pasien skizofrenik dan melaporkan keberhasilanya di
tahun 1952. Dibandingkan dengan reserpine, chlorpromazine lebih efektif dan
memiliki onset yang cepat. 1,2
Pengenalan klinis chlorpromazine dengan cepat diikuti oleh
pengenalan senyawa phenotiazine lain, seperti perpherazine (Trifalon) dan
fluphenazine. Selanjutnya, berbagai senyawa antipsikotik yang secara
struktural berbeda tetapi tidak berbeda secara farmakodinamik dari
phenotiazine diperkenalkan dalam praktek klinis. Laboratorium dari salah
satu riset Belgia khususnya, Paul Jenssen, adalah penyebab diperkenalkannya
haloperidol, suatu butyrophenon, pimozide, suatu diphenylbutylpiperidine
dan risperidone, suatu benzioxasole. Risperidone dan remoxipride
3
mencerminkan adanya usaha yang terus menerus dari klinisi, peneliti, dan
perusahaan farmasi untuk mengembangkan obat antipsikotik yang lebih
efektif yang memiliki efek samping yang lebih kecil, khususnya efek
merugikan neurologis, seperti tardive dysinesia, parkinsonisme, distonia dan
akathisia. 1,2
Berbeda dengan yang dinamakan antipsikotik tipikal (contohnya CPZ
dan haloperidol), tiga obat antipsikotik yang paling luas diteliti (clozapine,
risperidone,dan remoxipride) sering dinamakan obat atipikal, walaupun tidak
ada definisi yang disetujui secara umum tentang perbedaan antara
antipsikotik tipikal dan atipikal. 1
Diperkenalkannya obat antipsikotik merupakan revolusi terapi pasien
skizofrenia dan pasien psikotik serius. Pemakaian antipsikotik tipikal
menghasilkan perbaikan klinis yang bermakna pada kira-kira 50-75% pasien
psikotik, dan hampir 90% pasien psikotik mendapatkan suatu manfaat klinis
dari obat antipsikotik. 1
Suatu akibat tambahan dari diperkenalkannya obat antipsikotik
akhirnya adalah pemahaman tentang kenyataan bahwa semua obat
antipsikotik tipikal bekerja dengan menghambat efek pada reseptor dopamine
D2. Secara spesifik, terdapat kesan korelasi negative antara afinitas obat
tersebut terhadap reseptor D2 dan potensi klinisnya. Jadi, haloperidol, yang
memiliki afinitas tinggi terhadap reseptor D2, digunakan secara klinis dalam
dosis rendah, tetapi chlorpromazine, yang memilki afinitas rendah terhadap
reseptor D2, digunakan dengan dosis tinggi didalam klinis. Pengamatan
tersebut menyebabkan perkembangan hipotesa dopamine dari skizofrenia.
Diperkenalkannya obat atipikal baru telah terus menerus memberikan data
dasar dan klinis yang telah memungkinkan evolusi stabil dari hipotesis yang
hanya melibatkan satu reseptor menjadi hipotesis yang melibatkan interaksi
dengan banyak subtype reseptor dopamine (D3 dan D4) dan reseptor
neurotransmitter lainnya. 1
4
Antispikotik atipikal terbaru, seperti klozapin, risperidon, olanzapin,
dan quetiapin, mempunyai efek klinis yang lebih besar daripada antipsikotik
kelas lain dengan efek samping ekstrapiramidal akut yang minimal. 1,2,3
Penggunaan utama antipsikotik untuk skizofrenia, sindrom otak
organik dengan psikosis. Obat ini juga berguna untuk pasien yang mengalami
ansietas berat dan penyalahgunakan obat atau alkohol, karena benzodiazepin
dikontraindikasikan bagi mereka. 1
C. INDIKASI PENGGUNAAN
Gejala sasaran (target syndrome) : SINDROM PSIKOSIS
Butir-butir diagnostik Sindrom Psikosis 4
Hendaya berat dalam kemampuan daya menilai realitas (reality testing
ability), bermanifestasi dalam gejala: kesadaran diri (awareness) yang
terganggu, daya nilai norma sosial (judgment) terganggu, dn daya tilikan
diri (insight) terganggu.
Hendaya berat dalam fungsi-fungsi mental, bermanifestasi dalam gejala
POSITIF: gangguan asosiasi pikiran (inkoherensi), isi pikaran yang tidak
wajar (waham), gangguan persepsi (halusinasi), gangguan perasaan
(tidak sesuai dengan situasi), perilaku yang aneh atau tidak dapat
terkendali (disorganized), dan gejala NEGATIF: gangguan perasaan
(afek tumpul, respon emosi minimal), gangguan hubungan sosial
(menarik diri, pasif, apatis), gangguan prosses berfikir (lambat,
terhambat), isi pikiran yang stereotip dan tidak ada inisiatif, perilaku
yang sangat terbatas dan cenderung menyendiri (abulia).
Hendaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, bermanisfestasi
dalam gejala: tidak mampu bekerja, menjalin hubugan sosial, dan
melakukan kegiatan rutin.
5
D. JENIS-JENIS ANTIPSIKOTIK
ANTIPSIKOTIK GENERASI PERTAMA (APG I)
Obat antipsikotik yang ada di pasaran saat ini, dapat di kelompokkan
dalam dua kelompok besar yaitu antipsikotik generasi pertama (APG
I/antipsikotik tipikal) dan antipsikotik generasi kedua (APG II/antipsikotik
atipikal). Antipsikotik generasi pertama mempunyai cara kerja dengan
memblok reseptor D2 khususnya di mesolimbik dopamine pathways, oleh
karena itu sering disebut juga dengan Antagonist Reseptor Dopamin (ARD)
atau antipsikotik konvensional atau tipikal.4
Kerja dari APG I menurunkan hiperaktivitas dopamin di jalur
mesolimbik sehingga menyebabkan gejala positif menurun tetapi ternyata
APG I tidak hanya memblok reseptor D2 di mesolimbik tetapi juga memblok
reseptor D2 di tempat lain seperti di jalur mesokortikal, nigrostriatal, dan
tuberoinfundibular. Apabila APG I memblok reseptor D2 di jalur
mesokortikal dapat memperberat gejala negatif dan kognitif disebabkan
penurunan dopamin di jalur tersebut. blokade reseptor D2 di nigrostriatal
secara kronik dengan menggunakan APG I menyebabkan gangguan
pergerakan hiperkinetik (tardive dyskinesia). Blokade reseptor D2 di
tuberoinfundibular menyebabkan peningkatan kadar prolaktin sehingga dapat
menyebabkan disfungsi seksual dan peningkatan berat badan.4
APG I mempunyai peranan yang cepat dalam menurunkan gejala
positif seperti halusinasi dan waham, tetapi juga menyebabkan kekambuhan
setelah penghentian pemberian APG I. 4
Kerugian pemberian APG I: 4
1. Mudah terjadi EPS dan tardive dyskinesia
6
2. Memperburuk gejala negatif dan kognitif
3. Peningkatan kadar prolaktin
4. Sering menyebabkan terjadinya kekambuhan
Keuntungan pemberian APG I adalah jarang menyebabkan terjadinya
Sindrom Neuroleptik Malignant (SNM) dan cepat menurunkan gejala positif.4
APG I dapat dibagi berdasarkan potensi dan rumus kimia. Pembagian
berdasarkan potensi adalah potensi tinggi, sedang, dan rendah. Sedangkan
pembagian berdasarkan rumus kimia adalah phenotiazine dan non-
phenotiazine.4
Potensi tinggi bila dosis yang digunakan kurang atau sama dengan 10
mg. APG I potensi tinggi diantaranya adalah haloperidol, fluphenazine,
trifluoperazine dan thiothixine. Potensi anti dopaminergik tinggi,
kemungkinan efek samping tinggi seperti distonia, akatisia, dan
parkinsonisme. Pengaruhnya terhadap tekanan darah rendah.4
Potensi sedang bila dosis APG I yang digunakan antara 10- 50 mg.
APG I potensi sedang diantaranya perphenazine, loxapine dan molindone.
Digunakan untuk penderita yang sulit terhadap toleransi efek samping APG I
potensi tinggi dan potensi rendah.4
Potensi rendah bila dosis APG I yang digunakan lebih dari 50 mg.
APG I potensi rendah diantaranya adalah clorpromazine, thiridazine, dan
mesoridazine. Mempunyai efek samping sedasi, hipotensi ortostatik, lethargi
dan gejala antikolinergik meningkat berupa mulut kering retensi urine,
pandangan kabur dan konstipasi.4
Pembagian APG I bedasarkan rumus kimia: 5
1. Phenotiazine
Rantai Aliphatic: Clorpromazine
7
Rantai piperazine: Perphenazine, Trifluoperazine, fluphenazine.
Rantai Piperidine: Thioridazine
2. Butyrophenoone: Haloperidol
3. Diphenyl-butyl-piperidine: Pimozide
ANTIPSIKOTIK GENERASI KEDUA (APG II)
APG II sering disebut juga sebagai Serotonin Dopamin Antagosis
(SDA) atau antipsikotik atipikal. APG II mempunyai mekanisme kerja
melalui interaksi anatar serotonin dan dopamin pada ke 4 jalur dopamin di
otak. Hal ini yang menyebabkan efek samping EPS lebih rendah dan sangat
efektif untuk mengatasi gejala negatif. Perbedaan antara APG I dan APG II
adalah APG I hanya dapat memblok reseptor D2 sedangkan APG II memblok
secara bersamaan reseptor serotonin (5HT2A) dan reseptor dopamin (D2).
APG II yang dikenal saat ini adalah clozapine, risperidone, olanzapine,
quetiapine, zotepine, ziprasidone, aripiprazole. Saat ini antipsikotik
ziprasidone belum tersedia di Indonesia. 2,4
Kerja obat antipsikotik generasi kedua pada dopamin pathways:3,4
1. Mesokortikal Pathways
Antagonis 5HT2A tidak hanya akan menyababkan berkurangnya blokade
terhadap antagonis D2 tetapi juga menyebabkan terjadinya aktivitas dopamin
pathways sehingga terjadi keseimbangan antara serotonin dan dopamin. APG
II lebih berpengaruh banyak dalam memblok reseptor 5HT2A dengan
demikian meningkatkan pelepasan dopamin dan dopamin yang dilepas
menang dari pada yang dihambat di jalur mesokortikal. Hal ini menyebabkan
berkurangnya gejala negatif maka tidak terjadi lagi penurunan dopamin di
jalur mesokortikal dan gejala negatif yang ada dapat diperbaiki.
APG II dapat memperbaiki gejala negatif jauh lebih baik dibandingkan APG
I karena di jalur mesokortikal reseptor 5HT2A jumlahnya lebih banyak dari
reseptor D2, dan APG II lebih banyak berkaitan dan memblok reseptor 5HT2A
8
dan sedikti memblok reseptor D2 akibatnya dopamin yang di lepas jumlahnya
lebih banyak, karena itu defisit dopamin di jalur mesokrtikal berkurang
sehingga menyebabkan perbaikan gejala negatif skizofrenia.
2. Mesolimbik Pathways
APG II di jalur mesolimbik, antagonis 5HT2A gagal untuk mengalahkan
antagonis D2 di jalur tersebut. jadi antagonsis 5HT2A tidak dapat
mempengaruhi blokade reseptor D2 di mesolimbik, sehingga blokade reseptor
D2 menang. Hal ini yang menyebabkan APG II dapat memperbaiki gejala
positif. Pada keadaan normal serotonin akan menghambat pelepasan dari
dopamin.
3. Tuberoinfundibular Pathways
APG II di jalur tuberoinfundibular, antagonis reseptor 5HT2A dapat
mengalahkan antagonis reseptor D2. Hubungan antara neurotransmiter
serotonin dan dopamin sifatnya antagonis dan resiprokal dalam kontrol
sekresi prolaktin dari hipofise. Dopamin akan menghambat pengelepasan
prolaktin, sedangkan serotonin menigkatkan pelepasan prolaktin. Pemberian
APG II dalam dosis terapi akan menghambat reseptor 5HT2A sehingga
menyebabkan pelepasan dopamin menigkat. Ini mengakibatkan pelepasan
prolaktin menurun sehingga tidak terjadi hiperprolaktinemia.
4. Nigrostriatal Pathways
Jalur ini berproyeksi dari substansia nigra menuju ganglia basalis. Fungsi
jalur nigrostriatal adalah untuk mengontrol pergerakan. Bila jalur ini diblok,
akan terjadi kelainan pergerakan seperti pada Parkinson yang disebut
extrapyramidal reaction (EPR). Gejala yang terjadi antara lain akhatisia,
dystonia (terutama pada wajah dan leher), rigiditas, dan akinesia atau
bradikinesia.3
APG II dalam klinis praktis, memiliki empat keuntungan, yaitu: 4
1. APG II menyebabkan EPS jauh lebih kecil dibandingkan APG I, umunya
pada dosis terapi sangat jarang terjadi EPS.
9
2. APG II dapat mengurangi gejala negatif dari skzofrenia dan tidak
memperburuk gejala negatif seperti yang terjadi pada pemberian APG I.
3. APG II menurunkan gejalan afektif dari skizofrenia dan sering digunakan
untuk pengobatan depresi dan gangguan bipolar yang resisten.
4. APG II menurunkan gejala kognitif pada pasien skizofrenia dan penyakit
Alzheimer.
Antipsikotik generasi kedua yang digunakan sebagai berikut: 4
First line: Risperidone, Olanzapine, Quetiapine, Ziprasidone, Aripiprazole
Second line: Clozapine.
Obat antipsikotik yang sering digunakan ada 21 jenis yaitu 15 jenis
berasal dari APG I dan 6 jenis berasal dari APG II. Keuntungan yang
didapatkan dari pemakaian APG II selain efek samping yang minimal juga
dapat memperbaiki gejala negatif, kognitif dan mood sehingga mengurangi
ketidaknyamanan dan ketidakpatuhan pasien akibat pemakian obat
antipsikotik. 4
Pemakaian APG II dapat meningkatkan angka remisi dan
menigkatkan kualitas hidup penderita skizofrenia karena dapat
mengembalikan fungsinya dalam masyarakat. Kualitas hidup seseorang yang
menurun dapat dinilai dari aspek occupational dysfunction, social
dysfunction, instrumental skills deficits, self-care, dan independent living. 4
CLOZAPINE
Merupakan APG II yang pertama dikenal, kurang menyebabkan
timbulnya EPS, tidak menyebabkan terjadinya tardice dyskinesia dan tidak
terjadi peningkatan dari prolaktin. Clozapine merupakan gold standard pada
pasien yang telah resisten dengan obat antipsikotik lainnya. Profil
farmakoligiknya atipikal bila dibandingkan dengan antipsikotik lain.
Dibandingkan terhadap psikotropik yang lain, clozapine menunjukkan efek
dopaminergik rendah, tetapi dapat mempengaruhi fungsi saraf dopamin pada
10
sistem mesolimbik-mesokortikal otak, yang berhubungan dengan fungsi
emosional dan mental yang lebih tinggi, yang berbeda dari dopamin neuron di
daerah nigrostriatal (daerah gerak) dan tuberoinfundibular (daerah
neruendokrin). 4
Clozapine efektif untuk menggontrol gejala-gejala psikosis dan
skizofrenia baik yang positif (iritabilitias) maupun yang negatif (social
disinterest dan incompetence, personal neatness). Efek yang bermanfaat
terlihat dalam waktu 2 minggu, diikuti perbaikan secara bertahap pada
minggu-minggu berikutnya. Obat ini berguna untuk pasien yang refrakter dan
terganggu berat selama pengobatan. Selain itu, karena resiko efek samping
EPS yang sangat rendah, obat ini cocok untuk pasien yang menunjukkan
gejala EPS yang berat bila diberikan antipsikosis yang lain. Namun, karena
clozapin memiliki efek resiko agranulositosis yang lebih tinggi dibandingkan
antipsikosis yag lain, maka pengunaannya di batasi hanya pada pasien yang
resisten atau tidak dapat mentoleransi antipsikosis lain. Pasien yang diberi
clozapine perlu di pantau sel darah putihnya setiap minggu. 4,6,10
Secara farmakokinetik, clozapine di absorpsi secara cepat dan
sempurna pada pemberian per oral. Kadar puncak plasma tercapai pada kira-
kira 1,6 jam setelah pemberian obat. Clozapine secara ekstensif diikat protein
plasma (>95%), obat ini di metabolisme hampir sempurna sebelum dieksresi
lewat urin dan tinja (30% melaui kantong empedu dan 50% melaui urine),
dengan waktu paruh rata-rata 11,8 jam sehingga pemberiannya dianjurkan 2
kali dalam sehari. 6 Distribusi dari clozapine dibandingkan obat antipsikotik
lainnya lebih rendah. Umunya afinitas dari clozapine rendah pada reseptor D2
dan tinggi pada reseptor 5HT2A sehingga cenderung rendah untuk
menyebabkan terjadinya efek samping EPS. Pada reseptor D4 afinitasnya
lebig tinggi 10 kali lipat dibandingkan antipsikotik lainnya, dimana reseptor
D4 terdapat pada daerah korteks dan sedikit pada daerah striatal. Hal ini lah
yang membedakan clozapine dengan APG I. 4
Dosis : 4,7
- Hari 1 : 1 – 2 x 12,5 mg.
11
- Berikutnya ditingkatkan 25 – 50 mg / hari sp 300 – 450 mg / hari dengan
pemberian terbagi.
- Dosis maksimal 600 mg / hari.
- Sediaan yang ada di pasaran tablet 25 mg dan 100 mg
Efek samping : 4,7,10
- Granulositopeni, agranulositosis, trombositopeni, eosinofilia, leukositosis,
leukemia.
- Ngantuk, lesu, lemah, tidur, sakit kepala, bingung, gelisah, agitasi, delirium.
- Mulut kering atau hipersalivasi, penglihata kabur, takikardi, postural
hipotensi, hipertensi.
- Dsb.
Kontra indikasi : 4,7
- Ada riwayat toksik/hipersensitif.
- Gangguan fungsi Sumsum tulang.
- Epilepsi yang tidak terkontrol.
- Psikosis alkoholik dan psikosis toksik lainnya.
- Intoksikasi obat.
- Koma.
- Kollaps sirkulasi.
- Depresi SSP.
- Ganguan jantung dan ginjal berat.
- Gangguan liver.
RISPERIDONE
Risperidone merupakan obat APG II yang kedua diterima oleh FDA
(Food and Drug Administration) sebagai antipsikotik setelah clozapine.
Rumus kimianya adalah benzisoxazole derivative. Absorpsi risperidone di
usus tidak di pengaruhi oleh makanan dan efek terapeutik nya terjadi dalam
12
dosis rendah, pada dosis tinggi dapat terjadi EPS. Pemakaian risperidone
yang teratur dapat mencegah terjadinya kekambuhan dan menurunkan jumlah
dan lama perawatan sehingga baik digunakan dalam dosis pemeliharaan.
Pemakaian riperidone masih diizinkan dalam dosis sedang, setelah pemberian
APG I dengan dosis yang kecil dihentikan, misalnya pada pasien usia lanjut
dengan psikosis, agitasi, gangguan perilaku yang di hubungkan dengan
demensia. 4
Risperidone dapat memperbaiki skizofrenia yang gagal di terapi
dengan APG I tetapi hasil pengobatannya tidak sebaik clozapine. Obat ini
juga dapat memperbaiki fungsi kognitif tidak hanya pada skizofrenia tetapi
juga pada penderita demensia misalnya demensia Alzheimer. 4
Metabolisme risperidone sebagian besar terjadi di hati oleh enzim
CYP 2D6 menjadi 9-hydroxyrisperidone dan sebagian kecil oleh enzim CYP
3A4. Hydroxyrisperidone mempunyai potensi afinitas terhadap reseptor
dopamin yang setara dengan risperidone. Eksresi terutama melalui urin.
Metabolisme risperiodne dihambat oleh antidepresan fluoxetine dan
paroxetine, karena antidepresan ini menghambat kerja dari enzim CYP 2D6
dan CYP 3A4 sehingga pada pemberian bersama antidepresan ini, maka dosis
risperidone harus dikurangi untuk meminimalkan timbulnya efek samping
dan toksik. Metabolisme obat ini dipercepat bila diberikan bersamaan
carbamazepin, karena menginduksi CYP 3A4 sehingga perlu peningkatan
dosis risperidone pada pemberiaan bersama carbamazepin disebabkan
konsentrasi risperidone di dalam plasma rendah. 4,8
Indikasi : 4,7
- Skizofrenia akut dan kronik dengan gejala positif dan negatif.
- Gejala afektif pada skizofrenia (skizoafektif).
Dosis : 4,7
- Hari 1 : 1 mg, hari 2 : 2mg, hari 3 : 3 mg.
13
- Dosis optimal - 4 mg / hari dengan 2 x pemberian.
- Pada orang tua, gangguan liver atau ginjal dimulai dengan 0,5 mg,
ditingkatkan sp 1 – 2 mg dengan 2 x pemberian.
- Umunya perbaikan mulai terlihat dalam 8 minggu dari pengobatan awal,
jika belum terlihat respon perlu penilaian ulang.
- Kadar puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian oral.
Efek samping: 4,7
- EPS
- Peningkatan prolaktin (ditandai dengan gangguan menstruasi, galaktorea,
disfungsi seksual)
- Sindroma neuroleptik malignan
- Peningkatan berat badan
- Sedasi
- Pusing
- Konstipasi
- Takikardi
OLANZAPINE
Merupakan derivat dari clozapine dan dikelompokkan dalam
golongan dibenobenzodiazepine. Absorpsi tidak dipengaruhi oleh makanan.
Plasma puncak olanzapine dicapai dalam waktu 5-6 jam setalah pemberian
oral, sedangkan pada pemberian intramuskular dapat dicapai setelah 15-45
menit dengn waktu paruh 30 jam (antara 21-54 jam) sehingga pemberian
cukup 1 kali sehari. 4
Olanzapine merupaka antagonis monoaminergik selektif yang
mempunyai afinitas yang kuat terhadap reseptor dopamin (D1-D4), serotonin
(5HT2A/2c), Histamin (H1) dan α1 adrenergik. Afinitas sedang dengan reseptor
kolinergik muskarinik (M1-5) dan serotonin (5HT3). Berikatan lemah dengan
reseptor GABAA, benzodiazepin dan β-adrenergik. Metabolisme olanzapine
di sitokrom P450 CYP 1A2 dan 2D6. Metabolisme akan meningkat pada
14
penderita yang merokok dan menurun bila diberikan bersama dengan
antidepresan fluvoxamine atau antibiotik ciprofloxacin. Afinitas lemah pada
sitokrom P450 hati sehingga pengaruhnya terhadap metabolisme obat lain
rendah dan pengaruh obat lain minimal terhadap konsentrasi olanzapine. 4
Eliminasi waktu paruh dari olanzapine memanjang pada penderita
usia lanjut. Cleareance 30% lebih rendah pada wanita dibanding pria, hal ini
menyebabkan terjadinya perbedaan efektivitas dan efek samping antara
wanita dan pria. Sehingga perlu modifikasi dosis yang lebih rendah pada
wanita. Cleareance olanzapine meningkat sekitar 40% pada perokok
dibandingkan yang tidak merokok, sehingga perlu penyesuaian dosis yang
lebih tinggi pada penderita yang merokok. 4,8
Indikasi : 4,7
- Sizofrenia atau psikosis lain dengan gejala positive dan negatif.
- Episode manik moderat dan severe.
- Pencegahan kekambuhan gangguan bipolar.
Dosis : 4,7
- Untuk skizofrenia mulai dengan dosis 10 mg 1 x sehari.
- Untuk episode manik mulai dengan dosis 15 mg 1 x sehari.
- Untuk pecegahan kekambuhan gangguan bipolar 10 mg / hari.
Efek samping: 4,7
- Penigkatan berat badan
- Somnolen
- Hipotensi ortostatik berkaitan dengan blokade reseptor α1
- EPS dan kejang rendah
- Insiden tardive dyskinesia rendah
15
QUETIAPINE
Struktur kimia yang mirip dengan clozapine, masuk dalam
kelompok dibenzodiazepine derivates. Absorpsinya berlangsung cepat setelah
pemberian oral, konsentrasi plasma puncak dicapai dalam waktu 1,5 jam
setelah pemberian. Metabolisme terjadi di hati, pada jalur sulfoxidation dan
oksidasi menjadi metabolit tidak aktif dan waktu paruhnya 6 jam. 4
Quetiapine merupaka antagonis reseptor serotonin (5HT1A dan
5HT2A), reseptor dopamin (D1 dan D2), reseptor histamin (H1), reseptor
adrenergik α1 dan α2. Afinitasnya lemah pada reseptor muskarinik (M1) dan
reseptor benzodiazepin. Cleareance quetiapine menurun 40% pada penderita
usia lanjut, sehinga perlu penyesuaian dosis yang lebih rendah dan menurun
30% pada penderita yang mengalami gangguan fungsi hati. Cleareance
quetiapine meningkat apabila pemberiannya dilakukan bersamaan dengan
antiepileptik fenitoin, barbiturat, carbamazepin dan antijamur ketokonazole. 4
Quetiapine dapat memperbaiki gejala positif, negatif, kognitif dan
mood. Dapat juga memperbaiki pasien yang resisten dengan antipsikotik
generasi pertama tetapi hasilnya tidak sebaik apabila di terapi dengan
clozapine. Pemberian pada pasien pertama kali mendapat quetiapine perlu
dilakukan titrasi dosis untuk mencegah terjadinya sinkope dan hipotensi
postural. Dimulai dengan dosis 50 mg per hari selama 4 hari, kemudian
dinaikkan menjadi 100 mg selama 4 ahri, kemudian dinaikkan lagi menjadi
300 mg. Sete;ah itu dicari dosis efektif antara 300-450 mg/hari.
Efek samping obat ini yang sering adalah somnolen, hipotensi postural,
pusing, peningkatan berat badan, takikardi, dan hipertensi. 4
ZIPRASIDONE
APG II dengan struktur kimia yang baru, obai ini belum tersedia di
Indonesia. Ziprasidone merupakan antipsikotik dengan efek antagonsis antara
16
reseptor 5HT2A dan D2. Berinteraksi juga denga reseptor 5HT2C, 5HT1D dan
5HT1A, afinitasnya pada reseptor ini sama atau lebih besar dari afinitas pada
reseptor D2. Afinitas sedang pada reseptor histamin dan α1. Ziprasidone tidak
bekerja pada muskarinik (M1). 4
Ziprasidone juga antipsikotik yang mempunyai mekanisme kerja
yang unik karena menghambat pengambilan kembali (reuptake)
neurotransmiter serotonin dan norepineprine di sinaps. Obat ini efektif
digunakan untuk gejala negatif dan penderita yang refrakter dengan
antipsikotik. Obat ini aman diberikan pada penderita usia lanjut. 5
Absorpsi ziprasidone akan meningkat dengan adanya makan, tetapi
tidak dipangruhi oleh usia, jenis kelamin, gangguan fungsi hati atau ginjal.
Konsentrasi plasma puncak dicapai dalam waktu 2-6 jam setelah pemberian
oral dengan waktu paruh obat rata-rata 5-10 jam, sehingga pemberiannya 2
kali sehari. Metabolsime ziprasidone melalui hati, sebagian besar pada
isoenzim CYP 3A4 dan sebagian kecil di CYP 1A2. Mekanisme kerja
farmakologik diperkirakan pro-serotonergik dan pro-noradregenik sehingga
di prediksi dapat bekerja sebagai antidepresan dan ansiolitik. Efikasi dari
ziprasidone terjadi pada dosis 80-160 mg/hari, untuk pengobatan terhadap
gejala positif, negatif, dan depresif pada pasien skizofrenia. 4
Dosis intial yang aman diberikan tanpa dosis titrasi adalah sebesar
40 mg perhari. Pemberiannya akan semakin efektif bila bersamaan dengan
makanan. Dosis pemeliharaan berkisar antara 40-60 mg per hari. 7
Terjadinya efek samping EPS rendah dan tidak terjadi peningkatan
kadar prolaktin. Efek samping yang dijumpai selama uji klinis adalah
somnolen (14%), peningkatan berat badan (10%), gangguan pernafasan (8%),
EPS (5%), dan bercak-bercak merah di kulit (4%). Peningkatan berat badan
sangat kecil atau dapat dikatan tidak ada, karena bekerja sangat lemah pada
reseptor AH1 walaupun bekerja juga sebagai antagonis pada reseptor 5HT2c.
Ziprasidone tidak menyebabkan gangguan jantung. 4
17
ARIPIPRAZOLE
Merupakan antipsikotik generasi baru, yang bersifat partial agonis
pada reseptor D2 dan reseptor serptonin 5HT1A serta antagonis pada reseptor
serotonin 5HT2A. Aripiprazole bekerja sebagai dopamin sistem stabilizer
artinya menghasilkan signal transmisi dopamin yang sama pada keadaan
hiper atau hipo-dopaminergik karena pada keadaan hiperdopaminergik
aripiprazole afinitasnya lebih kuat dari dopamin akan mengeser secara
kompetitif neurotransmiter dopamin dan berikatan dengan reseptor dopamin.
Pada keadaan hipodopaminergik maka aripiprazole dapat menggantikan
peran neurotransmiter dopamin dan akan berikatan dengan reseptro dopamin. 4
Aripiprazole di metabolisme di hati melaui isoenzim P450 pada
CYP 2D6 dan CYP 3A4, menjadi dehydro-aripiprazole. Afinitas dari hasil
metabolisme ini mirip dengan aripiprazole pada reseptor D2 dan berada di
plasma sebesar 40% dari keseluruhan aripiprazole. Waktu paruh berkisar
antara 75-94 jam sehingga pemberian cukup 1 kali sehari. Absorpsi
aripiprazole mencapai konsentrasi plasma ouncak dalam waktu 3-5 jam
setelah pemberian oral. Aripiprazole sebaiknya diberikan sesudah makan,
terutama pada pasien yang mempunyai keluhan dispepsia, mual dan muntah. 4
Indikasi :
- Skizofrenia.
Dosis :
- 10 atau 15 mg 1 x sehari.
Efek samping :
- Sakit kepala.
- Mual, muntah.
- Konstipasi.
18
- Ansietas, insomnia, somnolens.
- Akhatisia.
E. PROFIL EFEK SAMPING
Efek samping pada obat anti-psikosis dapat berupa: 5
Sedasi dan inhibisi psikomotor (rasa mengantuk, kewaspadaan berkurang,
kinerja psikomotor menurun, kemampuan kognitif menurun.
Gangguan otonomik (hipotensi, antikolinergik/parasimpatolitik: mulut
kering, kesulitan miksi dan defekasi, hidung tersumbat, pandangan mata
kabur, tekanan intraokuler meninggi, gangguan irama jantung)
Gangguan ekstrapiramidal (distonia akut, akathisia, sindrom parkinson:
tremor, bradikinesia, rigiditas).
Gangguan endokrin (amenorrhoe, gynaecomastia), metabolik (jaundice),
hematologik (agranulocytosis), biasanya pada pemakaian jangka panjang.
Efek samping ini ada yang dapat di tolerir oleh pasien, ada yang
lambat, dan ada yang sampai membutuhkan obat simptomatis untuk
meringankan penderitaan pasien.
Dalam penggunaan obat anti-psikosis yang ingin dicapai adalah
“optimal response with minimal side effect”.
Efek samping dapat juga “irreversible” : tardive dyskinesia (gerakan
berulang involunter pada : lidah, wajah, mulut/rahang, dan anggota gerak,
dimana pada waktu tidur gejala tersebut menghilang). Biasanya terjadi pada
pemakaian jangka panjang (terapi pemeliharaan) dan pada pasien usia lanjut.
Efek samping ini tidak berkaitan dengan dosis obat anti-psikosis (non dose
related).
Bila terjadi gejala tersebut : obat anti-psikosis perlahan-lahan
dihentikan, bisa dicoba pemberian obat Reserpine 2,5 mg/h, (dopamine
depleting agent), pemberian obat anti parkinson atau I-dopa dapat
memperburuk keadaan. Obat pengganti anti-psikosis yang paling baik adalah
Clozapine 50-100 mg/h.
19
Pada penggunaan obat anti-psikosis jangka panjang, secara periodik
harus dilakukan pemeriksaan laboratorium : darah rutin, urine lengkap,
fungsi hati, fungsi ginjal, untuk deteksi dini perubahan akibat efek samping
obat.
Obat anti-psikosis hampir tidak pernah menimbulkan kematian
sebagai akinat overdosis atau untuk bunuh diri. Namun demikian untuk
menghindari akibat yang kurang menguntungkan sebaiknya dilakukan
“lavage lambung” bila obat belum lama dimakan. 2
F. INTERAKSI OBAT 5
Antipsikosis + Antipsikosis lain = potensi efek samping obat dan tidak ada
bukti lebih efektif (tidak ada sinergis antara 2 obat anti-psikosis). Misalnya,
Chlorpromazine + Reserpine = potensiasi efek hipotensif.
Antipsikosis + Antidepresan trisiklik = efek samping antikolinergik
meningkat (hati-hati pada pasien dengna hipertrofi prostat, glaukoma, ileus,
penyakit jantung).
Antipsikosis + anti-anxietas = efek sedasi meningkat, bermanfaat untuk
kasus dengan gejala dan gaduh gelisah yang sangat hebat (acute adjunctive
therapy).
Antispikosis + ECT = dianjurkan tidak memberikan obat anti-psikosis pada
pagi hari sebelum ECT (Electro Convulsive Therapy) oleh karena angka
mortalitas yang tinggi.
Antipsikosis + antikonvulsan = ambang konvulsi menurun, kemungkinan
serangan kejang meningkat, oleh karena itu dosis antikonvulsan harus
lebih besar (dose-related). Yang paling minimal menurunkan ambang
kejang adalah obat anti-psikosis Haloperidol.
Antipsikosis + Antasida = efektivitas obat antu-psikosis menurun
disebabkan gangguan absorpsi.
G. CARA PENGGUNAAN
Pemilihan Obat
20
Pada dasarnya semua obat anti-psikosis mempunyai efek primer (efek
klinis) yang sama pada dosis ekivalen, perbedaan terutama pada efek
sekunder (efek samping ; sedasi, otonomik, ekstrapiramidal). 5
Pemilihan jenis obat anti-psikosis mempertimbangkan gejala psikosis yang
dominan dan efek samping obat. Pergantian obat disesuaikan dengan dosis
ekivalen.
Apabila obat anti-psikosis tidak memberikan respons klinis dalam dosis
yang sudah optimal setelah jangka waktu yang memadai, dapat diganti
dengan obat anti-psikosis lain (sebaiknya dari golongan yang tidak sama),
dengan dosis ekivalen-nya, dimana profil efek samping belum tentu sama.
Apabila dalam riwayat penggunaan obat anti-psikosis sebelumnya, jenis
obat anti-psikosis tertentu yang sudah terbukti efektif dan ditolerir dengan
baik efek samping-nya, dapat dipilih kembali untuk pemakaian sekarang.
Apabila gejala negatif (afek tumpul, penarikan diri, hipobulia, isi pikiran
miskin) lebih menonjol dari gejala positif (waham, halusinasi, bicara kacau,
perilaku tak terkendali) pada pasien Skizofrenia, pilihan obat antipsikosis –
atipikal perlu dipertimbangkan. Khususnya pada penderita Skizofrenia
yang tidak dapat mentolerir efek samping ekstrapiramidal atau mempunyai
risiko medik dengan adanya gejala ekstrapiramidal (neuroleptic induced
medical complication).
Pengaturan Dosis
Dalam pengaturan dosis perlu dipertimbangkan : 5
Onset efek primer (efek klinis) : sekitar 2 – 4 minggu
Onset efek sekunder (efek samping) : sekitar 2 – 6 jam.
Waktu paruh : 12 – 14 jam (pemberian obat 1-2 x perhari).
Dosis pagi dan malam dapat berbeda untuk mengurangi dampak dari efek
samping (dosis pagi kecil, dosis malam lebih besar) sehingga tidak begitu
mengganggu kualitas hidup pasien.
21
Mulai dengan “dosis awal” sesuai dengan “dosis anjuran”, dinaikkan
setiap 2-3 hari sampai mencapai “dosis efektif” (mulai timbul peredaran
Sindrom Psikosis) dievaluasi setiap 2 minggu dan bila perlu dinaikkan
“dosis optimal” dipertahankan sekitar 8-12 minggu (stabilisasi)
diturunkan setiap 2 minggu “dosis maintenance” dipertahankan 6
bulan sampai 2 tahun (diselingi “drug holiday” 1-2 hari/minggu)
tapering off (dosis diturunkan tiap 2-4 minggu) stop.
Lama Pemberian
Untuk pasien dengan serangan Sindrom Psikosis yang “multi
episode”, terapi pemeliharaan (maintenance) diberikan paling sedikit selama
5 tahun. Pemberian yang cukup lama ini dapat menurunkan derajat
kekambuhan 2,5 – 5 kali.
Efek obat anti-psikosis secara relatif berlangsung lama, sampai
beberapa hari setelah dosis terakhir masih mempunyai efek klinis. Sehingga
tidak langsung menimbulkan kekambuhan setelah obat dihentikan, biasanya
satu bulan kemudian baru gejala Sindrom Psikosis kambuh kembali.
Hal tersebut disebabkan metabolisme dan ekskresi obat sangat lambat,
metabolit-metabolit masih mempunyai keaktifan anti-psikosis.
Pada umumnya pemberian obat anti-psikosis sebaiknya dipertahankan
selama 3 bulan sampai 1 tahun setelah semua gejala psikosis mereda sama
sekali. Untuk “Psikosis Reaktif Singkat” penurunan obat secara bertahap
setelah hilangnya gejala dalam kurun waktu 2 minggu – 2 bulan.
Obat anti psikosis tidak menimbulkan gejala lepas obat yang hebat
walaupun diberikan dalam jangka waktu lama, sehingga potensi
ketergantungan obat kecil sekali.
Pada penghentian yang mendadak dapat timbul gejala “Cholinergic
Rebound” : gangguan lambung, mual, muntah, diare, pusing, gemetar dan
lain-lain. Keadaan ini akan mereda dengan pemberian “anticholinergic
agent” (injeksi Sulfas Atropin 0,25 mg (im), tablet Trihexyphenidyl 3x 2
mg/h).
22
Oleh karena itu pada penggunaan bersama obat anti-psikosis +
antiparkinson, bila sudah tiba waktu penghentian obat, obat antipsikosis
dihentikan lebih dahulu, kemudian baru menyusul obat antiparkinson. 5
Penggunaan Parenteral
Obat anti-psikosis “long acting” Fluphenazine Decanoate 25 mg/cc
atau Haloperidol Decanoas 50 mg/cc, im, setiap 2 – 4 minggu sangat berguna
untuk pasien yang tidak mau atau sulit teratur makan obat atau apapun yang
tidak efektif terhadap medikasi oral.
Sebaiknya sebelum penggunaan parenteral diberikan secara oral lebih
dahulu beberapa minggu untuk melihat apakah terdapat efek hipersensitivitas.
Dosis mulai dengan ½ cc setiap 2 minggu pad bulan pertama
kemudian bau ditingkatkan menjadi 1 cc setiap bulan.
Pemberian obat anti psikosis “long acting” hanya untuk terapi
stabilisasi dan pemeliharaan (maintenance therapy) terhadap kasus
Skizofrenia. 15 – 25 % kasus menunjukkan toleransi yang baik terhadap efek
samping ektrapiramidal. 5
H. PERHATIAN KHUSUS
Efek samping yang sering timbul dan tindakan mengatasinya : 5
Penggunaan Chlorpromazine injeksi (im) : sering menimbulkan
Hipotensi Ortostatik pada waktu perubahan posisi tubuh (efek alfa adrenergic
blockade). Tindakan mengatasinya dengan injeksi Nor-adrenaline (Nor-
epinephrine) sebagai “alfa adrenergic stimulator”.
Dalam keadaan ini tidak diberikan Adrenaline oleh karena bersifat “alfa
dan beta adrenergic stimulator” sehingga efek beta-adrenergic tetap ada dan
dapat terjadi Shock.
Hipotensi ortostatik seringkali dapat dicegah dengan tidak langsung
bangun setelah mendapat suntikan dan dibiarkan tiduran selama sekitar 5-10
menit.
23
Bila dibutuhkan dapat diberikan Norepinephrine bitartrate (LEVOPHED
– Abbot atau RAIVAS – Dexa Medica atau VASCON – Fahrenheit) ampul 4
mg/4cc dalam infus 1000 ml dextrose 5% dengan kecepatan infus
2-3cc/menit.
Obat anti-psikosis yang kuat (Haloperidol) sering menimbulkan gejalan
Ekstrapiramidal/Sindrom Parkinson. Tindakan mengatasinya dengan tablet
Trihexyphenidyl (Artane) 3-4x 2 mg/hari, Sulfas Atropin 0,50-0,75 mg (im).
Apabila Sindrom Parkinson sudah terkendali diusahakan penurunan dosis
secara bertahap, untuk menentukan apakah masih dibutuhkan penggunaan
obat antiparkinson.
Secara umum dianjurkan penggunaan obat antiparkinson tidak lebih lama
dari 3 bulan (risiko timbul “atropine toxic syndrome”). Tidak dianjurkan
pemberian “antiparkinson profilaksis”, oleh karena dapat mempengaruhi
penyerapan/absorpsi obat anti-psikosis sehingga kadarnya dalam plasma
rendah, dan dapt menghalangi manifestasi gejala psikopatologis yang
dibutuhkan untuk penyesuaian dosis obat anti-psikosis agar tercapai dosis
efektif.
“Rapid Neuroleptizattion” : Haloperidol 5 – 10 mg (im) dapt diulangi
setiap 2 jam, dosis maksimum adalah 100 mg dalam 24 jam. Biasanya dalam
6 jam sudah dapat mengatasi gejala-gejala akut dari Sindrom Psikosis
(agitasi, hiperaktivitas psikomotorm impulsif, menyerang, gaduh-gelisah,
perilaku destruktif dll).
Kontraindikasi :
- Penyakit hati (hepato-toksik),
- Penyakit darah (hemato-toksik),
- Epilepsi (menurunkan ambang kejang),
- Kelainan jantung (menghambat irama jantung),
- Febris yang tinggai (thermoregulator di SSP),
- Ketergantungan alkohol (penekanan SSP meningkat),
- Penyakit SSP (parkinson, tumor otak dll),
24
BAB III
KESIMPULAN
Antipsikotik adalah sekelompok obat yang menghambat reseptor
dopamine tipe 2 (D2) dan reseptor serotonin (5HT2A). Obat antipsikotik baik
tipikal maupun atipikal selain berfungsi untuk mengobati penyakit
skizofrenia dan sebagai antipsikotik, tentunya juga memiliki efek samping.
Efek samping yang ditimbulkan oleh pemakaian antipsikotik atipikal:
peningkatan berat badan sedang sampai berat, diabetes mellitus,
hiperkolesterolemia, sedasi, gangguan pergerakan yang sedang, hipotensi
postural, hiperprolaktinemia, kejang, salivasi nocturnal, agranulositosis,
25
miokarditis, lensa mata bertambah, sindrom neuroleptik maligna, EPS
(rendah).
Selain melihat dari efek samping yang dapat ditimbulkan dari obat
antipsikotik atipikal, kita juga harus mempertimbangkan kondisi pasien yang
akan diberikan obat antipsikotik dan juga harus mengingat kontraindikasi
dari obat-obatan antipsikotik atipikal. Karena tidak semua obat antipsikotik
dapat kita berikan dalam kondisi/keadaaan pasien yang berbeda-beda.
26