referat appendicitis

36
APENDISITIS REFRAT Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Persyaratan Dalam Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter Bagian Ilmu Bedah Rumah sakit dr.Soedjono Magelang Oleh : Anjelia Paramita 01.208.5605 FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG 1

Upload: drboti87

Post on 31-Oct-2015

189 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

referat appendicitis

TRANSCRIPT

Page 1: referat appendicitis

APENDISITIS

REFRAT

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Persyaratan

Dalam Menempuh Program Pendidikan Profesi Dokter

Bagian Ilmu Bedah Rumah sakit dr.Soedjono

Magelang

Oleh :

Anjelia Paramita

01.208.5605

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS ISLAM SULTAN AGUNG

SEMARANG

2012

1

Page 2: referat appendicitis

KATA PENGANTAR

Assalamualaikum wr.wb

Dengan segala puji bagi Allah Yang Maha Esa atas segala rahmat, nikmat

dan petunjuk-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Refrat ini yang berjudul

“Apendisitis” sebagai salah satu syarat untuk memenuhi tugas dan melengkapi

persyaratan dalam menempuh program pendidikan Profesi Dokter di bagian Ilmu

Bedah Fakultas Kedokteran Universitas Islam Sultan Agung di Rumah Sakit

Tentara dr. Soedjono Kota Magelang.

Pada kesempatan ini penulis ini ingin menyampaikan rasa terima kasih yang

sebesar-besarnya kepada :

1. Dr. Dadiya, Sp.B selaku pembimbing kepaniteraan Klinik

2. Teman-teman sekelompok Co-ass Bedah Unissula.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa banyak kekurangan dalam

penyusunan Refrat ini, untuk itu penulis sangat mengharapkan saran dan kritik

yang dapat memperbaiki kekurangan Refrat ini.

Akhir kata, penulis berharap semoga Refrat ini dapat bermanfaat

sebagaimana yang diharapkan.

Wassalamualaikum wr.wb

Semarang, September 2012

Penulis

2

Page 3: referat appendicitis

BAB I

PENDAHULUAN

Appendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang sering

dipakai di masyarakat awam adalah kurang tepat, karena usus buntu tersebut

sebenarnya adalah caecum. Appendicitis adalah suatu peradangan pada

appendiks. Dahulu disebut dengan typhlitis (inflamasi dari caeceum). Hal ini

dikemukakan oleh Baron Guillaume Dupuytren. Peradangan akut dari appendiks

(appendicitis akut) memerlukan tindak bedah segera untuk mencegah komplikasi

yang umumnya berbahaya.

Appendektomi pertama kali dikerjakan oleh seorang ahli bedah, Claudius

Amyand pada tahun 1736. Sumbangan terbesar pada terapi appendicitis adalah

Charles McBurney. Makalah ini disusun dengan harapan sebagai bekal calon

dokter umum agar mampu mendiagnosa dan mampu melakukan pengelolaan

cepat dan tepat sebelum dilakukan tindakan yang lebih lanjut, agar setidaknya

dapat menurunkan morbiditas dan mortalitas penderita.

3

Page 4: referat appendicitis

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

I. DEFINISI

Appendicitis adalah peradangan pada appendiks dahulu disebut

dengan typhlitis (inflamasi dari caecum) oleh dupuytren. Appendiks baru

diketahui menyebabkan penyakit pada abad 19. Appendiktomi pertama dilakukan

tahun 1736 oleh Claudius amyand. Titik Mc burney diperkenalkan pertama kali

oleh Charles McBurney (1889).

II. EPIDEMIOLOGI

Peradangan pada appendiks merupakan salah satu masalah operasi

yang paling sering ditemukan. Satu dari setiap 2000 orang di dunia pernah

mengalami appendektomi. Paling sering terjadi di Amerika dan Inggris (dunia

barat), jarang terjadi di Asia dan Afrika. Kejadian ini diduga disebabkan oleh

meningkatnya penggunaan makanan berserat dalam menu sehari-hari.

Appendicitis diasosiasikan dengan kurangnya diet tinggi protein. Pada benua

Asia, insidens terjadinya appendicitis di Indonesia merupakan urutan negara ke-3

setelah Cina dan India. Pada tahun 1886, Reginald Fitz melaporkan angka

kematian yang berhubungan dengan appendicitis yang tidak dioperasi sebesar

67%. Sekarang ini, angka kematian untuk appendicitis akut < 1%. Rata-rata

kematian akibat komplikasi appendicitis sebesar 0,2 – 0,8%. Mortalitas

meningkat 20% pada pasien dengan usia lebih dari 70 tahun. Perforasi lebih

tinggi terjadi pada pasien usia dibawah 18 tahun dan pada pasien diatas 50 tahun.

4

Page 5: referat appendicitis

III. ANATOMI DAN FISIOLOGI APPENDIKS

Appendiks mulai terbentuk pada minggu kedelapan perkembangan

embriologi sebagai protuberensia dari bagian akhir caecum. Selama

perkembangan antenatal dan postnatal, pertumbuhan caecum jauh melebihi

appendiks sehingga appendiks menjadi terdorong ke arah medial dari katup

ileocaecal. Pada 65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan

tersebut memungkinkan appendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung

pada panjang mesoapendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, appendiks

terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di belakang colon ascendens,

atau di tepi lateral colon ascendens. Ketiga taenia coli menjadi satu pada

persambungan antara caecum dan appendiks, dan dapat menjadi tanda yang

sangat berguna untuk mengidentifikasi appendiks.

Appendiks merupakan organ berbentuk

tabung, panjangnya bervariasi dari < 1 cm

sampai > 30 cm (rata-rata 6 – 9 cm).

Lumennya sempit di bagian proksimal

dan melebar di bagian distal. Namun

demikian, pada bayi, appendiks berbentuk

kerucut, lebar pada pangkalnya dan menyempit pada ujungnya. Keadaan ini

mungkin menjadi sebab rendahnya insiden appendicitis pada usia itu.

Persarafan parasimpatis berasal dari

cabang n. Vagus yang mengikuti a.

Mesenterika superior dan a.

5

Page 6: referat appendicitis

Apendikularis, sedangkan persarafan simpatis berasal dari n. Torakalis X.

Karena itu nyeri visceral pada appendicitis bermula di sekitar umbilikus.

Perdarahan apendiks berasal dari a. Apendikularis yang merupakan arteri tanpa

kolateral. Jika arteri ini tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi,

appendiks akan mengalami gangren. A. Appendikularis ini merupakan cabang

dari a. Ileocolica yang berasal dari a. Mesenterika superior. Appendiks

merupakan organ dengan fungsi imunologi yang berperan aktif dalam mensekresi

imunoglobulin, terutama imunoglobulin A (Ig A). Imunoglobulin tersebut sangat

efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Appendiks menghasilkan lendir oleh

sel goblet pada mukosa sebanyak 1 – 2 ml per hari. Lendir tersebut secara

normal dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke caecum.

Hambatan aliran lendir di muara apendiks tampaknya berperan atas terjadinya

appendicitis.

IV. ETIOLOGI DAN FAKTOR RESIKO

Obstruksi lumen merupakan penyebab paling sering

terjadinya appendicitis akut. Fekalit adalah penyebab paling sering terjadinya

obstruksi appendiks. Penyebab lainnya adalah hipertrofi jaringan limfe, tumor,

sayuran dan biji buah, serta parasit usus yang menyebabkan erosi mukosa seperti

E. histolytica. Frekuensi obstruksi meningkat dengan adanya proses inflamasi.

Fekalit ditemukan pada 40% kasus appendicitis akut sederhana, 65% kasus

adalah appendicitis gangrenosa tanpa disertai ruptur, dan hampir 90% kasus

adalah appendicitis gangrenosa dengan ruptur.

6

Page 7: referat appendicitis

V. PATOGENESIS

Obstruksi proksimal dari lumen appendiks merupakan close-loop

obstruction, dan produksi sekresi normal yang terus menerus dari mukosa

appendiks menyebabkan distensi. Normalnya kapasitas lumen appendiks hanya

0,1 mL. Sekresi sebanyak 0,5 mL meningkatkan tekanan intraluminal menjadi

60 cm H2O. Distensi appendiks menstimulasi saraf visceral afferen sehingga

menyebabkan rasa tidak enak, rasa nyeri yang tumpul dan merata pada mid-

abdomen atau epigastrium bawah. Peristaltik juga distimulasi sehingga rasa

seperti kram perut sering menyertai. Distensi terus bertambah akibat sekresi

mukosa yang terus menerus dan multiplikasi dari bakteri appendiks yang cepat.

Distensi yang besar ini biasanya menimbulkan reflek mual dan muntah. Dengan

meningkatnya tekanan dalam rongga appendiks, tekanan vena menjadi besar.

Kapiler dan venula tertutup, tapi aliran masuk arteriola tetap sehingga

menghasilkan pembesaran dan kongesti. Proses inflamasi ini akan mengenai

lapisan serosa appendiks sampai peritoneum parietalis. Hal ini dikarakteristikan

dengan adanya perpindahan rasa sakit ke kuadran kanan bawah, dan terjadi

dalam 24 – 48 jam pertama.

Mukosa traktus gastrointestinal, termasuk appendiks, mudah

terpengaruh akibat kerusakan aliran darah. Hal ini mengakibatkan mudah

terjadinya invasi bakteri. Karena pertumbuhan bakteri yang berlebihan dan

reaksi inflamsi (edem), dapat menyebabkan appendiks menjadi semakin edem

dan iskemi. Nekrosis dari dinding appendiks dapat menyebabkan translokasi dari

bakteri. Hal ini yang disebut sebagai appendicitis gangrenosa. Bila tidak

7

Page 8: referat appendicitis

ditangani, appendiks yang mengalami gangren tersebut akan pecah (appendicitis

perforasi) dan mengeluarkan isi appendiks ke cavum peritoneal.

Usaha pertahanan tubuh adalah membatasi proses radang dengan

menutup appendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga

terbentuk massa periappendikular yang secara salah dikenal dengan istilah

infiltrat appendiks. Di dalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses

(appendiceal abses) yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk

abses, appendicitis akan sembuh dan massa periappendikular akan menjadi

tenang untuk selanjutnya mengurai diri secara lambat.

Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna,

tetapi akan membentuk jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan

jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di

perut kanan bawah. Pada suatu ketika, organ ini dapat meradang akut lagi dan

dinyatakan sebagai mengalami eksaserbasi akut (appendicitis kronik

eksaserbasi akut).

VI. KLASIFIKASI

VI.I. APPENDISITIS AKUT

Apendisitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari

oleh radang mendadak umbai cacing yang memberikan tenda setempat, disertai

maupu tidak disertai rangsang peritoneum local. Gejala klasik apendisitis akut

ialah nyeri samar-samar dan tumpul yang merupakan nyeri visceral didaerah

epigastrium disekitar umbilicus. Keluhan ini sering disertai mual dan kadang ada

8

Page 9: referat appendicitis

muntah. Umumnya nafsu makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan

berpindah kekanan ketitik McBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan

lebih jelas letaknya sehinggamerupakan nyeri somatik setempat. Kadang tidak

nyeri epigastrium, tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita memerlukan obat

pencahar.

TANDA

Pemeriksaan fisik menentukan posisi anatomik dari appendiks dan

apakah appendiks sudah mengalami ruptur ketika pasien pertama kali di periksa.

Tanda-tanda vital hanya mengalami sedikit perubahan pada appendicitis tanpa

komplikasi. Kenaikan suhu jarang melebihi 1oC (sekitar 37,5 – 38,5oC) dan nadi

normal atau sedikit meningkat. Perubahan tanda-tanda vital yang bermakna

biasanya mengindikasikan adanya komplikasi atau adanya penyakit lain.

Pasien dengan appendicitis biasanya lebih enak dengan posisi

supine (telentang) dengan tungkai atas ditarik, karena adanya gerakan

meningkatkan rasa nyeri. Apabila diperintahkan untuk bergerak, mereka akan

melakukannya dengan perlahan-lahan dan dengan hati-hati.

Tanda ”klasik” kuadran kanan bawah muncul bila appendiks

terdapat pada posisi anterior. Rasa nyeri terutama pada titik Mc Burney atau

sekitar Mc Burney. Hal ini mengindikasikan adanya iritasi lokal peritoneum.

Rovsing’s sign : Nyeri di kuadran kanan bawah ketika di tekan pada kuadran

kiri bawah (pada daerah kontralateralnya). Hal ini

mengindikasikan adanya iritasi peritoneum.

Blumberg sign : Nyeri di kuadran kanan bawah ketika tekanan pada kuadran kiri

bawah (daerah kontralateralnya) dilepaskan. Hal ini juga

9

Page 10: referat appendicitis

mengindikasikan adanya iritasi peritoneum.

Psoas sign : Mengindikasikan adanya fokus iritatif yang dekat dengan otot

tersebut. Pasien berbaring pada sisi kiri, pemeriksa pelan-pelan

mengekstensikan paha kanan yang mengakibatkan peregangan

dari m. Iliopsoas. Test (+) bila ekstensi menimbulkan rasa

sakit karena appendiks yang meradang menempel di m. Psoas.

Obturator sign : Mengindikasikan iritasi pada pelvis. Prinsipnya dengan

meregangkan m. Obturator internus, dan melihat apakah

appendiks yang meradang kontak dengan muskulus tersebut.

Pasien dalam posisi telentang, paha kanan dalam posisi fleksi

lalu dilakukan rotasi interna secara pasif.

Dunphy’s sign : Adanya rasa nyeri yang tajam pada kuadran kanan bawah bila

sengaja dibatukkan (cough sign).

PEMERIKSAAN PENUNJANG

o LABORATORIUM

Pada laboratorium darah terdapat leukositosis ringan (10.000 – 18.000 /

mm3) yang didominasi > 75% oleh sel polimorfonuklear (PMN), netrofil (shift to

the left) pada 90% pasien. Hal ini biasanya terdapat pada pasien dengan akut

appendicitis dan appendicitis tanpa komplikasi. Sedangkan leukosit > 18.000 /

mm3 meningkatkan kemungkinan terjadinya perforasi appendiks dengan / tanpa

abses. Pemeriksaan laboratorium lain yang mendukung diagnosa appendicitis

adalah C-reaktif protein. CRP merupakan reaktan fase akut terhadap infeksi

bakteri yang dibentuk di hepar. Kadar serum mulai meningkat pada 6 – 12 jam

10

Page 11: referat appendicitis

setelah inflamasi jaringan. Tetapi pada umumnya, pemeriksaan ini jarang

digunakan karena tidak spesifik. Spesifisitasnya hanya mencapai 50 – 87% dan

hasil dari CRP tidak dapat membedakan tipe dari infeksi bakteri.

Pemeriksaan urinalisa sering dilakukan dalam mengevaluasi pasien dengan

keluhan nyeri perut. Hal ini dilakukan untuk menghilangkan kemungkinan

adanya infeksi saluran kemih (ISK).

o RADIOLOGI

Foto Polos Abdomen

Foto polos abdomen dapat digunakan untuk

menyingkirkan diagnosa banding. Pada appendicitis

akut dapat terlihat abnormal ”gas pattern” dari usus, tapi

hal ini tidak spesifik. Ditemukannya fekalit dapat

mendukung diagnosa. Dapat ditemukan pula adanya

local air fluid level, peningkatan densitas jaringan lunak

pada kuadran kanan bawah, perubahan bayangan psoas line, dan free air (jarang)

bila terjadi perforasi. Pemeriksaan ini mungkin berguna pada pasien dengan

gejala dan tanda-tanda yang tidak khas. Walaupun demikian, foto polos abdomen

bukanlah sesuatu yang rutin atau harus dikerjakan dalam mengevaluasi pasien

dengan nyeri abdomen yang akut.

o ULTRASONOGRAFI

Sonografi merupakan pemeriksaan yang akurat untuk mendiagnosis

appendicitis. Tekniknya tidak mahal, dapat dilakukan dengan cepat, tidak

invasif, tidak membutuhkan kontras dan dapat digunakan pada pasien yang

sedang hamil karena tidak menggunakan paparan radiasi. Secara sonografi,

11

Page 12: referat appendicitis

appendiks diidentifikasi sebagai ”blind end”, tanpa peristaltik usus. Kriteria

sonografi untuk mendiagnosis appendicitis akut adalah adanya noncompressible

appendiks sebesar 7 mm atau lebih pada diameter anteroposterior, adanya

appendicolith, interupsi pada kontinuitas jaringan submukosa, dan cairan atau

massa periappendiceal.

o CT-Scan

CT-scan sangat berguna pada pasien yang dicurigai mengalami proses

inflamasi pada abdomen dan adanya gejala tidak khas untuk appendicitis.

Appendiks normal akan terlihat sebagai struktur tubular tipis pada kuadran kanan

bawah yang dapat menjadi opak dengan kontras. Appendicolith terlihat sebagai

kalsifikasi homogenus berbentuk cincin, dan terlihat pada 25% populasi.

Appendicitis akut dapat didiagnosa berdasarkan CT-scan apabila

didapatkan appendiks yang abnormal dengan inflamasi pada periappendiceal.

Appendiks dikatakan abnormal apabila terdistensi atau menebal dan membesar >

5 – 7 mm. Sedangkan yang termasuk inflamasi periappendiceal antara lain adalah

abses, kumpulan cairan, edem, dan phlegmon. Inflamsi periappendiceal atau

edem terlihat sebagai perkaburan dari lemak mesenterium (”dirty fat”), penebalan

fascia lokalis, dan peningkatan densitas jaringan lunak pada kuadran kanan

bawah. CT-scan khususnya digunakan pada pasien yang mengalami penanganan

gejala klinis yang telat (48 – 72 jam) sehingga dapat berkembang menjadi

phlegmon atau abses.

o DIAGNOSIS

Meskipun pemeriksaan dilakukan dengan cermat dan teliti,

diagnosis klinis appendicitis akut masih mungkin salah pada sekitar 15 – 20%

12

Page 13: referat appendicitis

kasus. Laparoskopi dapat digunakan sebagai diagnosis dan terapi pada pasien

dengan acute abdominal pain dan dicurigai appendicitis.

o DIAGNOSIS BANDING

Diagnosis banding tergantung lokasi anatomik dari appendiks yang

inflamasi, stadium dari prosesnya (simple / ruptur), usia pasien, dan jenis kelamin

pasien.

Adenitis mesenterik akut

Penyakit urogenital pria seperti torsio testis, epididimitis akut, dan seminal

vesikulitis.

Intususepsi

Gangguan saluran kemih seperti pyelonefritis akut dan batu ureter kanan.

Pada wanita harus dipikirkan adanya pelvic inflamatory disease (PID),

kehamilan ektopik terganggu (KET), dan torsio kista ovarium.

Terapi Medikamentosa

Menurut Eriksson dan Granstrom, inisial kesuksesan terapi dengan

medikamentosa sebesar 95%, akan tetapi dengan follow up yang singkat

didapatkan angka rekurensi sebesar 35%. Karena adanya rekurensi yang tinggi

inilah, standar terapi untuk appendicitis akut adalah operatif

Open appendectomy

Incisi dapat dilakukan dengan beberapa cara, yaitu :

1. Incisi Mc Burney (incisi oblique)

2. Incisi Rocky – Davis (incisi transversal)

13

Page 14: referat appendicitis

Keduanya dilakukan dengan memisahkan

serat-serat otot sesuai dengan arahnya

(muscle splitting incision / grid incision).

Incisi ini dilakukan pada bagian tengah dari

garis midclavicula. Sayatan ini mengenai

cutis, subcutis, dan fascia. Otot-otot dinding perut dibelah secara tumpul

menurut arah serabutnya. Setelah itu akan tampak peritoneum parietal yang

disayat secukupnya untuk meluksasi caecum. Teknik inilah yang paling

sering dikerjakan karena keuntungannya tidak terjadi benjolan dan tidak

mungkin terjadi herniasi, trauma operasi minimum pada alat-alat tubuh dan

masa istirahat pasca bedah yang lebih pendek karena penyembuhan lebih

cepat. Kerugiannya adalah lapangan operasi terbatas, sulit diperluas, dan

waktu operasi lebih lama. Lapangan operasi dapat diperluas dengan

memotong otot secara tajam.

3. Incisi Roux (muscle cutting incision)

Lokasi dan arah sayatan sama dengan Mc Burney, hanya sayatannya langsung

menembus otot dinding perut tanpa memperdulikan arah serabut sampai

tampak peritoneum. Keuntungannya adalah lapangan operasi lebih luas,

mudah diperluas, sederhana, dan mudah. Sedangkan kerugiannya adalah

diagnosis yang harus tepat sehingga lokasi dapat dipastikan, lebih banyak

memotong saraf dan pembuluh darah sehingga perdarahan menjadi lebih

banyak, masa istirahat pasca bedah lebih lama karena adanya benjolan yang

mengganggu pasien, nyeri pasca operasi lebih sering terjadi, kadang-kadang

ada hematoma yang terinfeksi, dan masa penyembuhan lebih lama.

14

Page 15: referat appendicitis

4. Incisi paramedian / pararektal. Tetapi jenis incisi ini jarang dilakukan.

Dilakukan sayatan pada garis batas lateral m. Rectus abdominis dextra secara

vertikal dari kranial ke kaudal sepanjang 10 cm. Keuntungannya, teknik ini

dapat dipakai pada kasus-kasus appendiks yang belum pasti dan kalau perlu

sayatan dapat diperpanjang dengan mudah. Sedangkan kerugiannya, sayatan

ini tidak secara langsung mengarah ke appendiks atau caecum, kemungkinan

memotong saraf dan pembuluh darah lebih besar, dan untuk menutup luka

operasi diperlukan jahitan penunjang.

Appendektomi laparoskopi

Pertama kali dikerjakan oleh Semm

pada tahun 1983. Appendektomi laparoskopi

dilakukan dengan anestesi umum. Biasanya

memerlukan 3 lubang masuk – 4 lubang

masuk pada appendiks retrocaecal. Trocar I

(10 mm) diletakkan di umbilicus, trocar II (10

– 12 mm) diletakkan di suprapubic, dan trocar

III (5 mm) dapat diletakkan bervariasi,

biasanya bisa di kuadran kiri bawah,

epigastrium, dan kuadran kanan atas

tergantung lokasi dari appendiks.

Kontraindikasi relatif untuk dilakukan appendektomi laparoskopi antara

lain :

Infeksi dan / atau abses yang ekstensif

15

Page 16: referat appendicitis

Appendiks yang mengalami perforasi

Obesitas

Adanya riwayat operasi pada abdomen yang meninggalkan bekas

Tidak dapat melihat jelas organ-organ abdomen

Ada masalah perdarahan selama operasi

Bila hal-hal tersebut tejadi, maka lebih baik dilakukan open appendektomi.

Tabel 3. Perbandingan Open Appendectomy dan Appendektomi

Laparoskopi

Open appendectomy Appendektomi laparoskopi

Lama operasi Butuh waktu sebentar Lebih lama

Alat yang dibutuhkan Lebih sedikit Lebih banyak

Harga Lebih murah Lebih mahal

Infeksi luka operasi Lebih sering Lebih jarang

Abses intraabdominal Lebih jarang 3x lebih sering

Nyeri post operasi Lebih lama Lebih cepat

Reaktivitas Lebih lama Lebih cepat

Sumber : Jaffe & Berger, 2005

KOMPLIKASI POST OPERATIF

Infeksi merupakan komplikasi paling sering setelah tindakan operasi dari

appendicitis. Biasanya infeksi terjadi pada bekas luka operasi. Infeksi dapat

mengenai subkutaneus dan rongga abdomen. Insidens terjadinya komplikasi

tersebut tergantung pada beratnya suatu appendicitis, umur pasien, kondisi tubuh

dan tipe dari penutupan luka.

16

Page 17: referat appendicitis

Pada umumnya pasien dengan appendicitis akut tanpa perforasi, insidens

terjadinya infeksi < 5% dan pembentukan abses abdominal < 1%. Penanganan

dari luka pada appendicitis dengan komplikasi masih merupakan kontroversi.

Adanya yang mengatakan lebih baik untuk melakukan delayed primary wound

closure. Ada juga yang mengatakan bahwa penutupan luka operasi dengan jahitan

subkutikuler dapat dilakukan dan disertai dengan pemberian antibiotik.

Sedangkan untuk abses intraabdominal dilakukan drainage percutaneus dan

antibiotik intravena.

PROGNOSIS

Mortalitas akibat appendicitis menurun dari 9,9 / 100.000 tahun 1939

menjadi 0,2 / 100.000 pada tahun 1986. Mortalitas dapat terjadi apabila terjadi

ruptur sebelum operasi (± 3%). Morbiditas terjadi pada 3% pasien tanpa perforasi

dan 47% pada pasien dengan perforasi. Komplikasi serius yang dapat terjadi

antara lain sepsis, abses, dan infeksi pada luka. Infeksi post operatif masih dapat

terjadi sekitar 30% pada kasus appendicitis gangrenosa atau appendicitis

perforasi.

VI.2 . APPENDICITIS PERFORASI

Tindakan appendektomi segera sudah sejak lama direkomendasikan untuk

mengobati appendicitis akut karena telah diketahui resikonya besar untuk

terjadinya ruptur. Secara keseluruhan, rata-rata terjadinya perforasi dari

appendiks adalah 25,8%. Anak usia < 5 tahun dan orang tua > 65 tahun

mempunyai rata-rata tertinggi.

17

Page 18: referat appendicitis

FAKTOR RESIKO

Tidak ada cara yang akurat untuk membedakan kapan dan appendiks yang

bagaimana yang akan mengalami ruptur karena proses inflamasi. Walaupun

disarankan observasi dan terapi antibiotik saja untuk mengobati appendicitis akut,

tetapi terapi non operatif meningkatkan morbiditas dan mortalitas yang

berhubungan dengan ruptur appendiks. Keterlambatan dalam mencari perawatan

medis, adanya fekalit dalam lumen, dan umur (orang tua atau anak muda)

merupakan faktor yang dapat menyebabkan terjadinya ruptur / perforasi. Ruptur

appendiks terutama terjadi pada distal dari obstruksi lumen.

Faktor yang mempengaruhi tingginya insidens perforasi pada orang tua

adalah adanya gejala yang samar, keterlambatan berobat, adanya perubahan

anatomi appendiks berupa penyempitan lumen, dan arteriosklerosis. Sedangkan

insidens tertinggi pada anak disebabkan oleh dinding appendiks yang masih tipis,

anak kurang komunikatif sehingga memperpanjang waktu diagnosis dan proses

pendindingan yang kurang sempurna akibat perforasi berlangsung cepat dan

omentum anak belum berkembang.

GEJALA DAN TANDA

Ruptur ini harus dicurigai bila ada demam yang > 39oC, rasa nyeri yang

lebih parah, dan leukosit > 18.000 / mm3. Biasanya ruptur jarang terjadi dalam 12

jam pertama. Konsekuensi dari terjadinya ruptur ini dapat bervariasi, mulai dari

terjadinya peritonitis umum sampai pembentukan abses kecil yang dapat

mengubah gejala dan tanda dari appendicitis. Perforasi yang terjadi pada wanita

muda akan meningkatkan resiko infertilitas tuba sekitar 4 kali lipat.

18

Page 19: referat appendicitis

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah dengan foto polos

abdomen. Gambaran foto polos pada appendicitis dengan perforasi adalah :

Gambaran perselubungan lebih jelas dan dapat tidak terbatas di kuadran

kanan bawah.

Penebalan dinding usus di sekitar letak appendiks, seperti caecum dan

ileum.

Garis lemak pra peritoneal menghilang.

Skoliosis ke kanan.

Tanda-tanda obstruksi usus seperti garis-garis permukaan cairan-cairan

akibat paralisis usus-usus lokal di daerah proses infeksi.

Adanya gambaran free air (jarang)

Sedangkan kriteria USG untuk mendiagnosis appendicitis yang sudah

mengalami perforasi adalah adanya cairan, massa periappendiceal, dan kehilangan

integritas lapisan submukosa.

KOMPLIKASI

Peritonitis

Peritonitis lokal diakibatkan oleh perforasi mikroskopik dari appendiks

gangrenosa, sedangkan peritonitis umum biasanya terjadi karena perforasi besar

sehingga isi lumen masuk ke dalam rongga peritoneum. Gejala-gejala seperti

peningkatan kekakuan otot abdomen, distensi abdomen, dan peristaltik yang

berkurang terlihat pada pasien yang mengalami peritonitis.

19

Page 20: referat appendicitis

TERAPI

Pada appendicitis yang mengalami perforasi, penanganannya hampir sama

dengan appendicitis gangrenosa. Kebanyakan dari pasien-pasien ini mengalami

penurunan volume cairan sehingga membutuhkan waktu 2 jam atau lebih untuk

resusitasi cairan sebelum operasi. Pasien dengan appendicitis perforasi sudah

mengalami peritonitis dan membutuhkan antibiotik spektrum luas secara intravena

yang harus diberikan sesegera mungkin. Perawatannya membutuhkan waktu

lebih lama, bisa 7 sampai 10 hari atau setelah pasien bebas panas dengan leukosit

yang normal.

VI.3. APPENDICITIS KRONIK

Adanya kronik atau appendicitis rekuren

adalah hal yang kontroversial, dan walaupun jarang,

hal ini dapat terjadi. Insidensnya antara 1 – 5%.

Obstruksi intermiten dari lumen appendiks dengan

remisi spontan dicuragai sebagai penyebabnya.

Inflamasi lokal ringan setelah serangan appendicitis

akut dapat mengakibatkan rasa tidak enak yang kronik pada kuadran kanan

bawah.

GEJALA DAN TANDA

Gejala klinisnya dikarakteristikan dengan :

Rasa nyeri lebih lama (bisa 3 minggu atau lebih) dan intensitasnya lebih rendah

daripada appendicitis akut tetapi gejala berada pada lokasi yang sama.

Adanya riwayat serangan akut appendicitis yang hanya ditangani dengan obat-

obatan.

20

Page 21: referat appendicitis

Insidens muntah berkurang

Anoreksia, muntah, nyeri dengan gerakan, malaise

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Computed Tomography

CT-scan dari pasien dengan rekuren atau appendicitis kronik memberikan

gambaran yang mirip dengan appendicitis akut. Pasien yang telah melakukan

appendektomi, gejalanya menghilang dan pada pemeriksaan histologinya

didapatkan bahwa appendiksnya abnormal.

DIAGNOSIS

Diagnosis dapat ditegakkan bila memnuhi 3 kriteria :

1. Adanya riwayat serangan rasa sakit pada abdomen kuadran kanan bawah

yang lebih dari 1 bulan dengan 3 kali serangan atau lebih.

2. Rasa tidak enak pada abdomen kuadran kanan bawah tanpa adanya tanda-

tanda iritasi atau inflamasi peritoneal.

3. Pada pemeriksaan barium enema didapatkan irregular filling, non filling

atau partial filling dari appendiks setelah 24 jam atau non emptying appendiks

setelah 72 jam.

Sedangkan kriteria mikroskopik untuk appendicitis kronik adalah fibrosis

menyeluruh dinding appendiks, sumbatan parsial atau total lumen appendiks,

adanya jaringan parut dan ulkus lama di mukosa, dan infiltrasi sel inflamsi kronik.

21

Page 22: referat appendicitis

Diagnosis pasti dengan operatif. Sensitivitasnya mencapai 78% dan

spesifisitas 94%. Untuk terapi dilakukan appendektomi. Dengan appendektomi,

gejala menghilang 82 – 93%.

22

Page 23: referat appendicitis

23

Page 24: referat appendicitis

DAFTAR PUSTAKA

Appendicitis. 2006. Available at : http://digestive.niddk.nih.gov/ddiseases/pubs/ appendicitis/index.htm.

Appendix. 2006. Available at : http://pathologyoutlines.com/appendix.html#normal anatomy.

Craig, S. (Last updated : May 26th, 2005). Appendicitis, Acute. Available at : http:// www.emedicine.com/emerg/topic41.htm.

Jaffe, B M., Berger, D H. 2005. The appendix. In Schwartz’s Principles of Surgery. 8th Edition. McGraw Hill. United States of America. Page 1119 - 34.

Kartono, D. 1995. Apendisitis Akuta. In Reksoprodjo, S (Ed). Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. Bagian Bedah Staf Pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Page 110, 112.

Laparoscopic Appendectomy. 2006. Available at : http://www.sages.org/sages publication.php?doc=PI08.

Lee, D. 2006. In Marks, J W (Ed). Appendicitis and Appendectomy. Available at : http://www.medicinenet.com/appendicitis/article.htm.

Mansjoer, A., Suprohaita, Wardhani, W I., Setiowulan W. 2000. Apendisitis. In Kapita Selekta Kedokteran. Edisi ketiga. Jilid 2. Media Aesculapius. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Page 310.

Sjamsuhidajat, R. Jong, W D. 1997. UsusHalus, Apendiks, Kolon, dan Anorektum. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi Revisi. Penerbit Buku Kedokteran EGC. Jakarta. Hal 865 - 75.

Way, L W. 2006. Appendix. In Doherty, G M (Ed). A Lange Medical Book. Current Surgical Diagnosis and Treatment. International Edition. 12th Edition. McGraw Hill. United States of America. Page 648 – 52.

24