referat ela ila

29
REFERAT ANALGESIA SPINAL DAN ANALGESIA EPIDURAL Oleh: Nama : Siti Sahara Andiyanti H NIM : 2012730156 Pembimbing : Dr. dr. Natsir Nugroho, Sp. OG, MKes FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

Upload: sarah-haeruman

Post on 07-Jul-2016

222 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

epidural dan spinal anestesi

TRANSCRIPT

Page 1: Referat Ela Ila

REFERAT

ANALGESIA SPINAL DAN ANALGESIA EPIDURAL

Oleh:

Nama : Siti Sahara Andiyanti H

NIM : 2012730156

Pembimbing : Dr. dr. Natsir Nugroho, Sp. OG, MKes

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2015

Page 2: Referat Ela Ila

KATA PENGANTAR

Dengan mengucap syukur Alhamdulillah kehadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan hidayah-

Nya Referat Analgesia Spinal dan Analgesia Epidural ini dapat terselesaikan dengan baik.

Referat ini disusun sebagai salah satu tugas kepanitraan klinik stase obsgyn Fakultas Kedokteran

dan Kesehatan Universitas Muhammadiyah Jakarta di RS. Islam Jakarta Pondok Kopi.

Dalam penulisan referat ini, tidak lepas dari bantuan dan kemudahan yang diberikan secara tulus

dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada Dr. dr. M. Natsir Nugroho sebagai dokter pembimbing.

Dalam penulisan referat ini tentu saja masih banyak kekurangan dan jauh dari sempurna, oleh

karena itu dengan segala kerendahan hati, kritik dan saran yang bersifat membangun akan sangat

penulis harapkan demi kesempurnaan laporan kasus ini.

Akhirnya, dengan mengucapkan Alhamdulillahirobbil ‘alamin referat ini telah selesai dan

semoga bermanfaat bagi semua pihak serta semoga Allah SWT membalas semua kebaikan

dengan balasan yang terbaik, Aamiin Ya Robbal Alamin.

Jakarta, 25 Mei 2016

Penyusun

Page 3: Referat Ela Ila

BAB I

PENDAHULUAN

Daerah analgesia (tulang belakang atau epidural) untuk cara bedah Caesar adalah opsi yang lebih

dipilih/disukai ketika harus menyeimbangkan resiko dan manfaat bagi ibu dan janinnya.

Analgesia tulang belakang untuk cara bedah Caesar dianggap menguntungkan mengacu kepada

kesederhanaan teknik, administrasi yang cepat dan analgesia pada permulaan, mengurangi resiko

racun sistemik dan meningkatkan kepadatan dari anestesi blok tulang belakang.

Setelah dilakukan penelitian oleh The Cochrane Pregnancy and Childbirth Group Trials Register

untuk menilai hubungan keampuhan dan efek samping pada tulang belakang dibandingkan

dengan epidural analgesia pada wanita yang mengalami bedah Caesar. Hasil utama dari 10

percobaan (751 perempuan) yang memenuhi kriteria. Tidak ada perbedaan yang ditemukan

antara spinal dan epidural mengenai teknik yang berkaitan dengan tingkat kegagalan, namun

dibutuhkan tambahan analgesia intraoperative, diperlukan konversi ke anestesi umum yang

secara aktif bergerak, kepuasan sang ibu, kebutuhan untuk nyeri pasca operasi dan intervensi

neonatal. Wanita yang menerima pembiusan spinal untuk Caesar menunjukkan pengurangan

waktu dari permulaan anestesi saat memulai operasi, tetapi peningkatan kebutuhan untuk

perawatan hipotensi.

Page 4: Referat Ela Ila

Pasien Obstetri

Anestesi neuroaxial mempunyai pengaruh besar dalam obstetri. Epidural analgesia sering

digunakan untuk analgesia persalinan. Seksio Caesarea umumnya dilakukan dengan spinal atau

epidural anestesi. Baik dengan epidural atau spinal, ibunya tetap sadar dan mendapatkan

pengalaman melahirkan bayi. Penelitian di Inggris dan USA menunjukkan bahwa anestesi

regional untuk bedah sesar dihubungkan dengan kurangnya morbiditas dan mortalitas ibu

dibandingkan dengan anestesi umum. Hal ini dihubungkan dengan penurunan kejadian aspirasi

paru dan kegagalan intubasi.

. Pertimbangan Klinik Untuk Spinal dan Epidural Analgesia

Indikasi

Blokade neuroaksial dapat digunakan secara tersendiri atau digabung dengan anestesi

umum untuk pembedahan dibawah leher. Di beberapa negara Eropa, operasi jantung secara rutin

dilakukan dengan epidural torakal, spesifiknya dengan disertai anestesi umum ringan. Sebagai

anestesi primer, blokade neuroaksial kebanyakan digunakan untuk operasi abdominal bawah,

ingunal, urogenital, rectal, dan ekstrimitas bawah. Operasi spinal lumbal dapat dilakukan dengan

spinal anestesi. Prosedur abdomen atas misalnya cholesistektomi dapat dilakukan dengan spinal

atau epidural anestesi, tapi sulit untuk mencapai blokase sensoris yang adekuat untuk

kenyamanan pasien sambil menghindari komplikasi blok tinggi. Spinal anestesi telah digunakan

untuk operasi pada neonatal.

Bila dipertimbangkan untuk melakukan neuroaksial anestesi, resiko dan keuntungan

harus didiskusikan dengan pasien, dan informed consent harus dilakukan. Adalah penting untuk

menyiapkan mental pasien, bahwa pilihan teknik anestesi bergantung pada tipe pembedahan,

tidak ada kontraindikasi. Pasien harus mengerti bahwa mereka akan merasa lumpuh sampai efek

blokade hilang. Pembedahan yang menyebabkan kehilangan darah yang banyak, mengganggu

fungsi pernafasan, operasi yang lama umumnya dilakukan dengan anestesi umum dengan atau

tanpa blokade neuroaksial.

Kontra Indikasi

Kontraindikasi utama untuk anestesi neuroaksial adalah bila pasien menolak, gangguan

perdarahan, hipovolemia berat, peningkatan ICP, infeksi pada tempat suntikan, penyakit katup

Page 5: Referat Ela Ila

jantung stenosis berat, obstruksi outflow ventrikel. Kontraindikasi relatif dan controversial

terlihat pada tabel dibawah ini.

Anestesi regional memerlukan kooperativitas pasien. Hal ini mungkin sulit atau tidak

mungkin pada pasien dengan dementia, psikosis, atau ketidakstabilan emosi. Anak kecil juga

merupakan hal yang tidak memungkinkan dilakukan dengan anestesi regional saja tanpa

dikombinasi dengan sedatif atau anestesi umum

Tabel: Kontraindikasi blokade neuroaksial

AbsolutInfeksi pada tempat suntikanPasien menolakKoagulopati atau gangguan perdarahan lainnyaHipovolemia beratPeningkatan tekanan intrakranialStenosis aorta beratMitral stenosis berat

RelatifSepsisPasien tidak kooperatifDefisit neurologis Lesi valvula jantung stenosisDeformitas spinal berat

KontroversiPernah dioperasi pada tempat suntikanKetidakmampuan komunikasi dengan pasienOperasi yang lama, perdarahan banyak, tindakan yang mempengaruhi fungsi pernafasan

Spinal Anesthesia

Ruangan subarachnoid dimulai dari foramen magnum sampai S2 pada dewasa dan

sampai S3 pada anak-anak. Suntikan anestetika lokal dibawah L1 pada dewasa dan L3 pada

anak-anak mencegah trauma langsung pada medula spinalis. Spinal anestesia juga disebut

subarachnoid block atau suntikan intratekal.

Jarum Spinal

Jarum Spinal dijual dalam berbagai ukuran (dari nomor 16 sampai 30), panjangnya,

bevelnya dan tipnya (Quincke, Whitacre, Sprotte). Semuanya mempunyai stilet removable yang

fitting yang menutup secara lengkap untuk menghindari masuknya sel epitel kedalam ruangan

Page 6: Referat Ela Ila

subarachnoid. Secara luas, jarum dapat dibagi kedalam tipe yang tajam (cutting) dan yang

tumpul (blunting). Jarum Quincke adalah tipe cutting. Diperkenalkannya ujung yang tumpul

(pencil point) secara nyata menurunkan kejadian sakit kepala setelah penusukan dura (PSH =

post spinal headache), secara umum lebih kecil ukuran jarum spinal, lebih kecil kejadian PSH.

Gambar 16 – 15. Spinal needles

Kateter Spinal

Sudah ditarik karena tidak disetujui FDA disebabkan menimbulkan cauda equina

syndrome. Kateter yang lebih besar yang digunakan untuk epidural menimbulkan komplikasi

yang lebih besar bila dimasukkan ke ruang subarachnoid.

Teknik Khusus untuk Spinal Anesthesia

Pendekatan midline, paramedian atau prone dapat digunakan untuk spinal anestesi.

Seperti yang telah disebutkan diatas, jarum disuntikkan melalui kulit ke struktur yang lebih

dalam sampai dirasakan dua “pop”. Yang pertama adalah penusukan ligamentun flavum dan

yang kedua adalah penusukan membran dura-arachnoid. Berhasilnya tusukan dura

dikonfirmasikan setelah menarik stilet terlihat keluarnya CSF. Dengan jarum spinal yang kecil

Page 7: Referat Ela Ila

(<25g), terutama bila tekanan CSF rendah (misalnya pada pasien yang dehidrasi), mungkin

diperlukan aspirasi untuk mendeteksi CSF. Bila pada saat permulaan terlihat keluar CSF tapi

kemudian CSF tidak dapat diaspirasi, kemungkinan jarum berpindah. Bila ada parestesi yang

menetap atau nyeri saat penyuntikan harus menarik jarum dan redirect jarum.

Faktor yang mempengaruhi Level Blokade

Tabel dibawah menunjukkan faktor-faktor yang mempengaruhi level blokade setelah

anestesi spinal. Faktor yang paling penting adalah barisitas, posisi pasien selama dan segera

setelah penyuntikkan, dan dosis obat. Secara umum, lebih besar dosis dan lebih tinggi tempat

suntikan, lebih tinggi level anestesi yang dicapai. Lebih jauh, penyebaran obat anestesi lokal

kearah sefalad pada CSF tergantung pada gravitas spesifik relatif terhadap CSF (barisitas). CSF

mempunyai gravitas 1.003-1.008 pada suhu 37oC. Suatu larutan obat anaestesi lokal yang

hiperbarik berarti lebih berat (lebih padat) daripada CSF sedangkan yang hipobarik kurang padat

(lebih ringan) daripada CSF. Obat anestesi lokal dapat dibuat menjadi hiperbarik dengan

menambah glukosa atau menjadi hipobarik dengan menambahkan air steril. Jadi dengan posisi

head down, suatu larutan yang hiperbarik menyebar sefalad dan larutan yang hipobarik bergerak

kearah caudad. Posisi head-up menyebabkan larutan hiperbarik bergerak kearah caudad dan

larutan hipobarik bergerak kearah sefalad. Sama halnya, pada posisi lateral, larutan hiperbarik

lebih mempunyai efek pada sisi bawah, sebaliknya larutan yang hipobarik akan kearah atas.

Suatu larutan isobarik akan tetap pada level penyuntikkan. Obat anestesi bercampur dengan CSF

(1:1) menjadi isobarik. Faktor lain yang mempengaruhi level blokade adalah tinggi/level tempat

penyuntikkan, tinggi pasien, dan anatomi kolumna vertebralis. Arah bevel jarum atau tempat

keluarnya obat pada jarum suntik juga memegang peranan; level anestesi yang lebih tinggi

dicapai kalau suntikan diarahkan ke sefalad daripada bila ujung suntikkan diarahkan ke lateral

atau caudad.

Larutan hiperbarik bertendensi untuk bergerak kedaerah yang lebih bawah (normalnya

T4-T8 pada posisi supine). Dengan anatomi spinal yang normal, apex dari kurvatura

torakolumbal adalah di T4 pada posisi supine, hal akan membatasi larutan hiperbarik untuk

menimbulkan level anestesi pada level T4 atau dibawah T4. Kurvatura spine yang abnormal,

misalnya scoliosis dan kiposcoliosis, mempunyai efek multiple pada spinal anestesi. Penempatan

blok (penyuntikan jarum) menjadi lebih sulit karena rotasi dan angulasi dari korpus vertebra dan

Page 8: Referat Ela Ila

prosesus spinosus. Sulit menemukan midline dan space interlaminal. Pendekatan paramedian

untuk tusukan lumbal lebih disukai pada pasien dengan scoliosis berat dan kiposcoliosis,

terutama bila dihubungkan dengan penyakit sendi degeneratif. Pendekatan paramedian paling

mudah untuk spinal anestesi pada level L5-S1. Pada pendekatan Taylor, suatu variasi dari

pendekatan paramedian standar, jarum ditusukkan 1 cm medial dan 1 cm inferior dari spina

iliaka superior posterior diarahkan ke sefalad dan menuju midline. Melihat lagi radiograph spine

sebelum melakukan penyuntikan sangat berguna. Kurvatura spinal mempengaruhi ultimate level

dengan merubah kontur ruangan subarachnoid. Operasi spinal yang dilakukan sebelumnya juga

akan menyulitkan penyuntikkan.

Volume CSF inversely berhubungan dengan level anestesi. Peningkatan tekanan

intraabdomen atau kondisi yang menyebabkan pembesaran vena epidural, akan menurunkan

volume CSF dan menambah tingginya blok. Keadaan ini misalnya kehamilan, ascites, dan tumor

abdomen besar. Pada situasi klinis ini, level anestesi yang lebih tinggi tergantung dosis obat

anestesi lokal. Untuk spinal anestesi pada paturien aterm, dosis obat anestesi lokal dapat

dikurangi 1/3 nya dibandingkan dengan wanita yang tidak hamil. Bertambahnya umur akan

mengurangi volume CSF, maka pada geriatri akan didapatkan level anestesi yang lebih tinggi

bila dilakukan spinal anestesi. Kiposis berat atau kiposkoliosis dihubungkan dengan penurunan

volume CSF dan sering mengakibatkan level anestesi yang lebih tinggi daripada yang

diperkirakan, terutama dengan teknik hipobarik dan penyuntikan yang cepat. Peningkatan

tekanan CSF akibat batuk atau mengejan, atau turbulensi suntikan mempunyai pengaruh

terhadap penyebaran obat anestesi lokal dalam CSF.

Table: Faktor-faktor yang mempengaruhi level Anestesi

Faktor paling penting Barisitas obat anestesi lokal Posisi pasien Selama penyuntikkan Segera setelah penyuntikan Dosis obat Tempat penyuntikkan

Page 9: Referat Ela Ila

Faktor Lain Umur CSF Volume obat Tekanan intraabdominal Arah jarum Tinggi pasien Kehamilan

Tabel : Gravitas dari Obat Anestesi Lokal

Obat Gravitas

Bupivacaine 0,5% dalam 8,25% dextrose 0,5% polos

1,0227-1,02780,9990-1,0058

Lidokain 2% polos 5% dalam 7,5% dextrose

1,0004-1,00661,0262-1,0333

Prokain 10% polos 2,5% dalam air

1,01040,9983

Tetrakain 0,5% dalam air 0,5% dalan D5W

0,9977-0,99971,0133-1,0203

Gambar 16-16. The position of the spinal canal in the supine position (A) and lateral decubitus position (B). Note the lowest point is usually between T5 and T7 where a hyperbaric solution

tends to settle once the patient is placed supine.

Page 10: Referat Ela Ila

Obat Anestesi Spinal

Banyak obat anestesi lokal yang digunakan untuk spinal anestesi di masa lalu, akan tetapi

hanya beberapa yang masih digunakan. Ada yang menarik dari obat lama disebabkan laporan

adanya TNS (Transient Neurological Symptom) dengan lidokain 5%. Hanya obat anestesi lokal

yang tidak mengandung zat preservatif yang digunakan. Penambahan vasokonstriktor ( alpha

adrenergic agonist) dan opioid dapat meningkatkan kualitas dan atau memperpanjang lamanya

spinal anestesi. Vasokonstriktor termasuk epinefrin (0,1-0,2 mg) dan phenilefrin (1-2 mg).

Kedua obat ini menurunkan uptake dan klirens obat anestesi lokal dari CSF dan mempunyai

gambaran spinal analgesia lemah. Klonidin dan Neostigmin juga mempunyai efek spinal

analgesi, tapi pengalaman sebagai additif untuk spinal anestesi terbatas.

Bupivacain hiperbarik dan tetrakain adalah dua dari banyak obat anestesi lokal yang

sering digunakan untuk spinal anestesi. Keduanya mempunyai mula kerja yang relatif lambat (5-

10 menit) dan mempunyai lama kerja yang panjang (90-120 menit). Walaupun kedua obat ini

mempunyai blokade sensoris yang serupa, spinal tetrakain menimbulkan blokade motoris yang

lebih kuat daripada dosis yang ekuivalen dengan bupivakain. Penambahan epinefrin pada

bupivakain spinal memperpanjang lama kerja hanya modestly. Sebaliknya, epinefrin dapat

Page 11: Referat Ela Ila

memperpanjang efek anestesi tetrakain lebih dari 50%. Phenilefrin juga memperpanjang blokade

anestesi oleh tetrakain tapi tidak mempunyai efek pada anestesi bupivakain. Ropivacaine juga

digunakan untuk spinal anestesi, tapi pengalaman penggunaannya lebih terbatas. Dosis intratekal

12 mg ropivakain secara kasar sama dengan 8 mg bupivacain, tapi tidak menunjukkan

keuntungan untuk spinal anestesi. Lidokain dan prokain mempunyai onset yang cepat (3-5

menit) dan lama kerja yang singkat (60-90 menit). Ada konflik data bahwa lama kerja

memanjang dengan vasokonstriktor, suatu efek yang modest. Walaupun lidokain untuk spinal

telah digunakan di seluruh dunia, kehati-hatian harus diperhatikan karena adanya Transient

Neurological Symptom (TNS) dan cauda equina syndrome. Beberapa pakar menasihatkan

lidokain hanya aman digunakan sebagai spinal anestesi bila dosis total hanya 60 mg dan

dilarutkan menjadi 2,5% atau kurang dengan opioid dan atau CSF sebelum disuntikkan.

Pengulangan dosis setelah suatu kegagalan blokade harus dihindari.

Spinal anestesi hiperbarik lebih sering digunakan daripada isobarik atau hipobarik. Level

anestesi bergantung pada posisi pasien selama penyuntikkan atau segera setelah penyuntikkan.

Pada posisi duduk, sadlle block dapat dicapai bila pasien tetap duduk selama 3-5 menit setelah

penyuntikkan sehingga hanya saraf lumbal dan sakral yang di blok. Kalau pasien berubah posisi

dari posisi duduk ke terlentang segera setelah penyuntikkan, obat anestesi lokal akan bergerak ke

sefalad sesuai dengan kurvatura torakolumbal, karena pengikatan oleh protein belum lengkap.

Obat anestesi hiperbarik yang disuntikkan intratekal dengan posisi pasien lateral dekubitus

digunakan untuk operasi ekstrimitas bawah unilateral. Pasien di posisikan lateral dengan daerah

yang akan dioperasi di sebelah bawah. Kalau pasien dibiarkan pada posisi ini selama 5 menit

setelah penyuntikkan, blok akan bertendensi kearah lebih dalam dan level lebih tinggi pada

daerah yang sebelah bawah.

Bila anestesi regional dipilih untuk prosedur pembedahan termasuk operasi panggul dan

ekstrimitas bawah, dapat digunakan obat anestesi lokal hipobarik karena pasien tidak dapat

berbaring pada daerah yang akan dioperasi.

Dosis (mg) Lama kerja (menit)Obat Sediaan Perineum/

lower limb

Abdomen bawah

Abdomen atas

Polos Epinefrin

Procain Larutan 10%

75 125 200 45 60

Bupivacain 0,75% 4-10 12-14 12-18 90-120 100-150

Page 12: Referat Ela Ila

dalam 8,25% dextrose

Tetracaine Larutan 1% dalam glukose 10%

4-8 10-12 10-16 90-120 120-240

Lidokain 1) 5% dalam 7,5% glukose

25-50 50-75 75-100 60-75 60-90

Ropivacaine2) Larutan 0,2%-1%

8-12 12-16 16-18 90-120 90-120

1) sudah tidak dianjurkan lagi. Harus diencerkan menjadi < 2,5%2) pada labelnya tidak dipakai sebagai spinal anestetika

VII. Epidural Anesthesia

Epidural anestesi adalah suatu teknik neuroaksial dengan kegunaan yang lebih luas

daripada spinal anestesi. Blokade epidural dapat dilakukan didaerah lumbal, torakal, atau

servikal. Epidural sakral disebut sebagai blokade kaudal. Teknik epidural digunakan secara luas

untuk epidural anestesi untuk operasi, obstetrik analgesi, pengelolaan nyeri pascabedah,

pengelolaan nyeri kronis. Dapat digunakan sebagai suntikan dosis tunggal atau dengan

pemasangan kateter sehingga dapat dilakukan pemberian bolus intermiten atau infus kontinyu.

Blokade motoris dapat terjadi dalam rentang dari tidak ada blok sampai lengkap. Semua variabel

tersebut dapat diatur dengan pemilihan obat, konsentrasi, dosis, dan level penyuntikkan.

Ruangan epidural dikelilingi duramater di bagian posterior, lateral, dan anterior. Radiks

saraf berjalan dalam ruangan ini dan keluar di lateral melalui foramina dan keluar menjadi saraf

perifer. Isi lain dari ruangan epidural adalah jaringan lemak, jaringan limfe, dan fleksus venosus

(Batson’s flexus). Penelitian fluoroskopi menunjukkan adanya septa atau ikatan jaringan ikat.

Anestesi epidural mempunyai onset yang lambat (10-20 menit) dan tidak sedalam anestesi

spinal. Hal ini dapat bermanifestasi lebih dalamnya blokade yang berbeda atau blokade

segmental, suatu gambaran/keadaan yang berguna di klinik. Sebagai contoh, dengan

menggunakan konsentrasi obat anestesi lokal yang diencerkan dan ditambah opioid, epidural

dapat memblokade serabut saraf simpatis dan sensoris yang lebih kecil dan spare/tidak

memblokade saraf motoris yang lebih besar, sehingga hanya menghasilkan analgesia tanpa

terjadi blokade motoris. Teknik ini umumnya dilakukan untuk persalnan dan analgesia

pascabedah. Lebih jauh, memungkinkan dilakukan segmental blok karena obat anestesi lokal

Page 13: Referat Ela Ila

tidak menyebar secara langsung dengan CSF dan dapat confined close pada level dimana

disuntikkan. Blok segmental adalah khas dengan adanya ikatan yang baik dari obat anestesi lokal

dengan serabut saraf; radiks saraf dibawah dan diatasnya tidak diblok. Keadaan ini dapat dilhat

pada epidural torakal yang memberikan anestesi upper abdomen seraya sparing radiks saraf

cervical dan lumbal.

Epidural anstesia dan analgesia lebih sering dilakukan didaerah lumbal. Dapat dilakukan

dengan pendekatan midline atau paramedian. Anestesi epidural lumbal dapat digunakan untuk

prosedur dibawah diapragma. Karena medulla spinalis berakhir di level L1, ada ekstra tindakan

pengamanan dengan melakukan blokade pada interspace lumbal yang lebih rendah, terutama bila

terjadi kecelakaan penusukan dura.

Blokade torakal epidural tekniknya lebih sulit daripada blokade lumbal disebabkan lebih

besarnya angulasi dan overlapping prosesus spinosus pada level vertebra. Lebih jauh,

kemungkinan resiko dari cedera medula spinalis dengan penusukan dura yang tidak disengaja,

walaupun kecil dengan teknik yang baik, mungkin lebih besar daripada di level lumbal. Epidural

torakal dapat dilakukan dengan pendekatan midline atau paramedian. Jarang digunakan sebagai

anestesia primer, torasic epidural teknik sering digunakan untuk analgesia intra dan pasca

operasi. Suntikan tunggal atau dengan kateter digunakan untuk pengelolaan nyeri kronis. Infus

melalui kateter epidural sangat berguna untuk memberikan analgesia dan dapat memperpendek

ventilasi pascabedah pada pasien dengan penyakit paru atau operasi dada.

Blokade servikal umumnya dilakukan dengan pasien pada posisi duduk, dengan leher

fleksi, menggunakan pendekatan midline. Secara klinis hanya digunakan untuk pengelolaan

nyeri.

Jarum Epidural

Jarum epidural standar adalah nomor 17-18, panjangnya 3 atau 3,5 inci dan mempunyai

unjng yang tumpul dengan lengkungan 15-30o. Jarum Touchy yang paling umum digunakan.

Ujung yang tumpul dan melengkung akan mendorong dura menjauh setelah menembus

ligamentun flavum. Jarum yang lurus tanpa lengkungan (jarum Crawford) mempunyai kejadian

tusukan dura yang lebih tinggi tapi mudah memasukkan kateter epidural.

Kateter Epidural

Menempatkan kateter kedalam ruangan epidural menyebabkan dapat dilakukannya

pemberian infus kontinyu atau intermiten. Dalam tambahan untuk memperpanjang lamanya

Page 14: Referat Ela Ila

blokade, juga menyebabkan lebih rendahnya total dosis obat anestesi lokal yang digunakan,

maka karena itu menurunkan komplikasi hemodinamik, bila dibandingkan dengan dosis

inkremental.

Epidural kateter berguna untuk anestesi epidural intraoperatif dan atau analgesia

pascabedah. Umumnya kateter no 19 atau 20 dimasukkan melalaui jarum epidural no 17 atau 18.

Bila memakai jarum epidural dengan ujung yang lengkung, ujung bevel dapat mengarah ke

sefalad atau caudad dan kateter didorong sejauh 2-6 cm kedalam ruangan epidural. Bila kurang

dari 2 cm kateter dapat terblok (dislodged), sebaliknya, bila lebih panjang lebih besar

kemungkinan terjadi blokade unilatral, disebabkan karena ujung kateter keluar dari uangan

eidural melalui foramina intervertebralis atau coursing ke anterolateral recesses dari ruangan

epidural. Setelah memasukkan kateter, jarum epidural ditarik, meninggalkan kateter pada

tempatnya. Kateter di plester dan difikasis sepanjang punggung pasien. Kateter dapat

mempunyai satu lubang pada ujungnya atau atau multipel. Beberapa ada yang mempunyai stilet

untuk memudahkan insersi.

Teknik Khusus untuk Anestesi Epidural

Dengan menggunakan pendekatan midline atau paramedian seperti yang disebutkan tadi,

jarum epidural ditusukkan dari kulit melalui ligamentum favum. Jarum jangan sampai menusuk

duramater. Ada 2 teknik untuk menentukkan bila ujung jarum masuk di rongga epidural yaitu

teknik loss of resistane dan hanging drop. Teknik loss of resistane lebih dsukai oleh klinisi.

Beberapa klinisi lebih suka memakai hanging drop teknik bila dilakukan pendekatan paramedian

dan untuk sevikal epidural.

Activating Epidural

Kuantitas (volume dan konsentrasi) dari obat anestesi lokal yang diperlukan untuk

anestesi epidural lebih besar dibandingkan dengan yang diperlukan untuk anestesi spinal.

Toksisitas yang nyata dapat terjadi bila jumlah ini disuntikkan intratekal atau intravaskuler.

Panduan keamanan dapat dengan melakukan test dose dan dosis inkremental.

Test dose dirancang untuk mendetekasi bila terjadi suntikan intratekal atau intravaskuler.

Test dose yang klasik adalah dengan mencampur obat anestesi lokal dengan epinefrin, umumnya

3 ml lidokain 1,5% dengan 1:200.000 epinefrin (0,005 mg/ml). Bila 45 mg lidokain disuntikkan

intratekal, akan menimbulkan spinal anestesi yang segera terlihat. Beberapa klinisi

menganjurkan memakai dosis lidokain yang lebih rendah, karena akan sulit mengelola efek

Page 15: Referat Ela Ila

suntikan 45 mg lidokain intratekal, didaerah diluar kamar bedah, misalnya di ruang bersalin.

Epinefrin 15 ug bila disuntikan intravaskuler akan menimbulkan peningkatan denyut jantung

yang noticeable (20% atau lebih) dengan atau tanpa hipertensi. Sayangnya, epinefrin sebagai

marker suntikan intravena tidak ideal, karena dapat terjadi false positif (kontraksi uterus dapat

menimbulkan rasa nyeri dan peningkatan denyut jantung merupakan kejadian yang kebetulan

saat dilakukan test dose), juga false negativ (pasien yang memakai beta bloker). Peningkatan

25% atau lebih amplitudo gelombang T pada EKG lebih realistis untuk tanda suntikan

intravaskuler. Fentanyl dan dosis besar obat anestesi lokal tanpa epinefrin telah dianjurkan

sebagai test dose. Aspirasi sebelum melakukan penyuntikan adalah insufficient untuk mencegah

suntikan intravena yang tidak disenagaja, kebanyakan praktisi yang berpengalaman telah

encountered false negatif aspirasi melalui jarum atau kateter.

Dosis inkremental merupakan metode paling efektif untuk menghindari komplikasi yang

serius. Bila aspirasi negatif, suntikan obat anestesi lokal sebanyak 5 ml. Dosis ini cukup besar

untuk menimbulkan gejala ringan dari suntikan intravaskuler tapi tidak cukup untuk

menimbulkan komplikasi terjadinya kejang atau komplikasi kadiovaskuler. Hal ini penting untuk

epidural persalinan yang digunakan untuk Sectio Caesarea. Kalau pada initial labor bolus

epidural diberikan melalui jarum, lalu kemudian dimasukan kateternya, ini mungkin diperkirakan

erroneously kateter posisinya baik sebab pasien masih nyaman dari bolus initial. Kalau kateter

masuk ke pembuluh darah atau migrasi ke intravaskuler, terjadi toksisitas sitemik akibat dosis

penuh masuk intravaskuler. Kateter dapat bermigrasi intratekal atau intravaskuler dari dari

kateter yang sebelumnya sudah tepat posisinya. Beberapa kasus tentang migrasi kateter mungkin

diingat sebgai posisi kateter yang tidak tepat.

Kalau klinisi menggunakan test dose, adalah cerdas kalau melakukan aspirasi sebelum

pemberian obat, dan selalu menggunakan dosis inkremental, toksisitas sistemik atau suntkan

intratekal yang tidak disengajan sangat jarang.

Faktor yang mempengaruhi Level Blokade

Faktor yang mempengaruhi level epidural anestesi tidak bisa diperkirakan seperti halnya

spinal anestesi. Pada dewasa, umumnya untuk memblok satu segmen diperlukan 1-2 ml obat

lokal anestesi. Sebagai contoh untuk mencapai level sensoris T4 dari suntikan di daerah L4-L5

memerlukan 12-14 ml. Untuk blokade segmental atau analgesia diperlukan volume yang lebih

sedikit.

Page 16: Referat Ela Ila

Dosis yang diperlukan untuk mencapai level anestesia yang sama menurun dengan

bertambahnya umur. Hal ini mungkin disebabkan karena dengan bertambanya umur akan

menurunkan ukuran atau komplians ruangan eidural. Walaupun sedikit korelasi antara berat

badan dan keperluan dosis epidural, tinggi pasien mempengaruhi luasnya penyebaran ke sefalad.

Jadi, lebih pendek pasien mungkin hanya memerlukan 1 ml per segmen, sedangkan pasien yang

lebih tinggi memerlukan2 ml per segmen. Walaupun tidak sehebat spinal anestesi, penyebaran

obat anestesi lokal pada epidural juga dipengaruhi oleh gravitas. Posisi lateral decubitus,

trendelenburg atau kebalikan Trendelenburg dapat digunakan untuk mencapai blokade yang

diinginkan. Suntikan pada posisi duduk akan menyebabkan obat anestesi lokal akan menyebar

kearah radiks saraf di daerah L5-S1 dan S2,

Penambahan terhadap obat anestesi lokal, terutama opioids, bertendensi lebih besarnya

efek pada kualitas anestesi epidural daripada lamanya blokade. Epinefrin dengan konsentrasi

0,005 mg/ml, memperpanjang efek epidural lidokain, mepivacain, dan chloroproain daripada

bupivacain, levobupivakain, etidokain, dan ropivakain. Dalam tambahan untuk memperpanjang

lama dan memperbaiki kualitas blokade, epinefrin menurunkan absorpsi vaskular dan puncak

level dalam darah sistemik dari obat anestesi lokal yang diberikan secara epidural. Phenilefrin

umumnya kurang efektif daripada epinefrin sebagai suatu vasokonstriktor untuk anestesi

epidural.

Obat Anestesi Epidural

Obat anestesi epidural dipilih berdasarkan efek klinis yang diinginkan, apakah digunakan

sebagai obat anestesi primer, untuk suplemen anestesi umum, atau untuk analgesia. Obat anestesi

lokal yang berefek singkat sampai sedang adalah lidokain, kloroprokain, dan mepivacain. Yang

long acting adalah bupivacain, levobupivacaine, dan opivacain. Levobupivacain, suatu S-

enantiomer dari bupivacain, kurang toksik daripada bupivacaine.

Obat Konsentrasi Onset Blok sensoris Blok Motoris

Kloroprokain 2%3%

CepatCepat

AnalgesikDense

Ringan sp sedangDense

Lidokain < 1%1,5%2%

SedangSedangSedang

AnalgesikDenseDense

MinimalRingan sp sedangDense

Mepivakain 1% Sedang Analgesik Minimal

Page 17: Referat Ela Ila

2-3% Sedang Dense Dense

Bupivakain <0,25%0,5%0,75%

LambatLambatLambat

AnalgesikDenseDense

MinimalMinimal sp sedangSedang sp Dense

Ropivakain 0,2%0,5%0,75%-1%

LambatLambatLambat

AnalgesikDenseDense

MinimalRingan sp sedangSedang sp Dense

Setelah suntikan permulaan sebanyak 1-2 ml per segmen (dalam dosis yang terbagi),

pengulangan dosis dilakukan melalui kateter epidural dengan interval yang sudah ditentukan,

berdasarkan pengalaman praktisi dengan obat tersebut, atau bila blok menunjukkan adanya

regresi. Bila terjadi regresi level sensoris, dapat diberikan 1/3 sampai ½ dari dosis permulaan.

Kloroprokain, suatu ester dengan onset yang cepat, lama kerja pendek, dan toksisitas

rendah dapat interfere dengan efek analgesik dari opioid epidural. Dulu formulasi kloroprokain

dengan preservatif bisulfit dan ethylenediaminetetraacetic acid (EDTA), menimbulkan masalah

bila terjadi suntikan intratekal dalam jumlah besar. Bisulfit menimbulkan neurotoksisitas

sedangkan EDTA dapat menimbulkan back pain yang berat (diperkirakan karena hipokalsemia

lokal). Formulasi chloroprokain yang sekarang adalah bebas dari preservatif dan tanpa

komplikasi tadi. Beberapa pakar percaya bahwa obat anestesi lokal bila disuntikan dalam jumlah

besar intratekal dapat terjadi neurotoksisitas.

Bupivacaine, suatu obat anestesi lokal golongan amid dengan onset yang lambat dan

lama kerja yang panjang, mempunyai kemungkinan yang besar untuk terjadi toksisitas sistemik.

Anestesi untuk pembedahan diberikan bupivakain 0,5-0,75%. Konsentrasi 0,75% tidak

dianjurkan untuk obstetri anestesi. Di masa lalu, telah dipakai bupivakain 0,75% untuk SC dan

dihubungkan dengan kejadian henti jantung akibat suntikan intravaskuler yang tidak disengaja.

Resusitasi yang sulit dan tingginya mortalitas akibat dari tingginya protein binding dan lipid

solubility bupivakain, disebabkan obat berakumulasi dalam sistem konduksi jantung

menyebabkan refractory reentrant aritmia. Konsentrasi kecil bupivakain (misalnya 0,0625%)

dan dicampur dengan fentanyl digunakan untuk analgesia persalinan dan nyeri pascabedah. S-

enantiomer bupivacaine yaitu levobupivakain, menunjukkan terutama bertanggung jawab untuk

kerja obat anestesi lokal pada konduksi saraf tapi tidak pada efek toksik sistemik. Ropivakain,

suatu analog mepivacain, kurang toksik dibandingkan dengan bupivakain, secara kasar sama atau

Page 18: Referat Ela Ila

sedikit kurang dari bupivakain dalam potensi, onset, durasi, kualitas blokade. Menunjukkan

blokade motoris yang kurang pada konsentrasi yang lebih rendah sambil menunjukkan blokade

sensoris yang baik.

Local Anesthetic pH adjusment

Larutan obat anestesi lokal mempunyai pH antara 3,5-5,5 untuk stablitas kimiawi dan

bakteriostatik. Disebabkan bersifat basa lemah, disiapkan dalam bentuk ionik. Onset blokade

saraf bergantung pada penetrasi membran lipid sel saraf oleh bentuk nonionik obat anestesi lokal.

Peningkatan pH larutan meningkatkan konsentrasi bentuk nonionik dari obat anestesi lokal.

Penambahan sodium bikarbonat ( 1 meq/10 ml obat anestesi lokal) segera sebelum penyuntikkan

dapat meningkatkan onset blokade saraf. Pendekatan ini sangat berguna untuk yang dapat diatur

pada pH fisiologis, seperti lidokain, mepivacain, dan chloroprokain. Sodium bikarbonat

umumnya tidak ditambahkan pada bupivakain karena membuat presipitasi pada pH diatas 6,8.

Kegagalan Blokade Epidural

Tidak seperti anestesi spinal, yang tujuan akhirnya yaitu masuknya jarum ke ruang

subarachnoid jelas karena terlihat keluarnya CSF dengan angka keberhasilan yang tinggi,

epidural anestesia tergantung pada deteksi yang bersifat subjektif terhadap adanya loss of

resistance atau hanging drop. Juga, lebih besarnya variabel anatomis pada ruangan epidural dan

penyebaran obat anestesi lokal kurang dapat diprediksi membuat anestesi epidural kurang dapat

diprediksi.

Salah penempatan obat anestesi lokal dapat terjadi pada sejumlah situasi. Pada dewasa

muda, ligamentum spinalis lunak dan tahanan yang baik tidak pernah appreciate atau terjadi loss

of resistance palsu.

Walau konsentrasi adekuat dan volume obat anestesi dimasukkan ke ruang epidural,

waktu untuk mendapatkan efek blokade juga sudah cukup, kadang-kadang epidural blok tidak

berhasil. Blok unilateral dapat terjadi bila obat dimasukkan melalui kateter yang keluar dari

ruang epidural atau ke lateral. Kemungkinan kejadian ini meningkat bila ujung kateter yang

masuk ruang epidural terlalu panjang. Bila terjadi blokade unilateral dapat diatasi dengan

menarik kateter 1-2 cm dan didorong lagi dengan posisi pasien diputar dengan daerah yang tidak

terblok ada disebelah bawah. Segmental sparing, yang mungkin disebabkan septasi di ruang

epidural juga dikoreksi dengan menyuntikkan tambahan obat anestesi lokal dengan posisi yang

tidak terblok ada dibawah. Ukuran radiks saraf L5, S1, dan S2 yang besar dapat mencegah

Page 19: Referat Ela Ila

penetrasi yang adekuat dan menyebabkan sacral sparing, yang menimbulkan masalah untuk

operasi lower leg; pada beberapa kasus, menaikkan kepala meja operasi dan memasukkan lagi

kateter dapat menimbulkan blok yang lebih kuat pada radiks saraf yang besar tersebut. Pasien

mungkin mengeluh visceral pain walaupun epidural bloknya baik. Pada beberapa kasus,misalnya

traksi ligament inguinal dan spermatic cord, level sensoris torakal yang tinggi dapat

menghilangkan masalah ini; pada kasus lain (traksi peritoneum), mugkin diperlukan pemberian

opioid intavena.

DAFTAR PUSTAKA

1. Saifuddin AB. Ilmu Kebidanan Sarwono Prawirohardjo. Edisi Keempat. Jakarta: BP-SP,

2008.

2. Winkjosastro H. Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga. Jakarta: YBP-SP, 2007.

3. Bagian Obstetri & Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran Bandung.

Obstetri Fisiologi. Bandung: Elemen, 1983.

4. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo.Jakarta,2002