referat kulit

26
KATA PENGANTAR Assalamualaikum wr.wb Alhamdulillahirobbilalamin, segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya, sholawat serta salam atas nabi besar Muhammad SAW. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Letkol CKM (K) Dr. Dian Andriani. SpKK, M.Biomed, MARS atas kesediaan, waktu, dan kesempatan yang diberikan sebagai pembimbing referat ini, kepada teman sesama kepaniteraan Kulit dan Kelamin dan perawat yang selalu mundukung, memberi saran, motivasi, bimbingan dan kerjasama yang baik sehingga dapat terselesaikannya referat ini. Referat ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan bagian Kulit dan Kelamin di RS Moh. Ridwan Meureksa yang merupakan salah satu prasyarat kelulusan. Referat ini membahas dan menganalisa berbagai hal mengenai “Penggunaan Antihistamin dalam Dermatologi”. Bahasan dalam referat ini diambil dari berbagai sumber. Penyusun sadar bahwa dalam penyusunan referat ini masih banyak sekali kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun diharapkan demi memperbaiki referat ini. Semoga referat ini berguna bagi semua pihak terkait. Wassalamu’alaikum wr.wb Jakarta, April 2015

Upload: frank-neal

Post on 11-Nov-2015

21 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

kulit

TRANSCRIPT

KATA PENGANTARAssalamualaikum wr.wb

Alhamdulillahirobbilalamin, segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya, sholawat serta salam atas nabi besar Muhammad SAW. Terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Letkol CKM (K) Dr. Dian Andriani. SpKK, M.Biomed, MARS atas kesediaan, waktu, dan kesempatan yang diberikan sebagai pembimbing referat ini, kepada teman sesama kepaniteraan Kulit dan Kelamin dan perawat yang selalu mundukung, memberi saran, motivasi, bimbingan dan kerjasama yang baik sehingga dapat terselesaikannya referat ini.Referat ini disusun untuk memenuhi tugas kepaniteraan bagian Kulit dan Kelamin di RS Moh. Ridwan Meureksa yang merupakan salah satu prasyarat kelulusan. Referat ini membahas dan menganalisa berbagai hal mengenai Penggunaan Antihistamin dalam Dermatologi. Bahasan dalam referat ini diambil dari berbagai sumber.Penyusun sadar bahwa dalam penyusunan referat ini masih banyak sekali kekurangan. Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun diharapkan demi memperbaiki referat ini.Semoga referat ini berguna bagi semua pihak terkait.

Wassalamualaikum wr.wb

Jakarta, April 2015

Penyusun

BAB 1PENDAHULUAN

Antihistamin (AH) adalah zat yang digunakan untuk mencegah atau menghambat kerja histamine pada reseptornya. Histamin sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu histos yang berarti jaringan merupakan autakoid yang berperan penting pada aktivitas organ tubuh baik pada proses fisiologis maupun patologis. 1,2Aktivitas antihistamin H1 pertama kali diketahui pada tahun 1937 oleh Bovet dan Staub pada sebuah rangkaian amin dengan fungsi eter fenolik. Senyawa ini, 2-isopropil-5-metilfenoksietildietilamin, melindungi marmut dari berbagai dosis letal histamin, menghambat spasme berbagai otot polos yang diinduksi oleh histamin, dan menurunkan gejala-gejala renjatan anafilaksis. Obat ini terlalu toksis untuk penggunaan klinis, tetapi pada tahun 1944, Bovet dkk telah memperkenalkan pirilamin maleat yang hingga saat ini masih menjadi salah satu antagonis histamin yang efektif, selanjutnya diikuti perkembangan AH di Amerika yang bersifat kurang toksik seperti tripelenamin, difenhidramin dan prometazin pada tahun 1945 dan 1946.3Pada akhir tahun 1980 hingga tahun 1990, mulai diperkenalkan suatu generasi baru dari AH yang tidak menembus sawar otak sehingga mengurangi efek sedasi yang sering mengganggu. Antihistamin golongan ini sering disebut sebagai AH generasi kedua atau AH non-sedatif.2Dalam bidang dermatologi, antihistamin secara luas telah digunakan sebagai terapi, sehingga pemahaman mengenai farmakologi antihistamin sangatlah penting. Pada css ini akan dibahas mengenai klasifikasi, farmakologi, efek samping maupun beberapa penggunaan klinis dari antihistamin terutama antihistamin H1 baik klasik/sedatif maupun non sedatif yang sering digunakan diantaranya klorfeniramin, difenhidramin, hidroksisin, loratadin, cetirisin dan feksofenadin.4

BAB 21. 2. 2.1. DefinisiAntihistamin (AH) adalah zat yang digunakan untuk mencegah atau menghambat kerja histamine pada reseptornya. Histamin sendiri berasal dari bahasa Yunani yaitu histos yang berarti jaringan merupakan autakoid yang berperan penting pada aktivitas organ tubuh baik pada proses fisiologis maupun patologis. 1,22.2. Klasifikasi2.2.1. Antihistamin H1a. AH-1 generasi I 1Yang termasuk golongan ini adalah: Alkilamin (propilamin) : bromfeniramin maleat, klorfeniramin maleat dan tanat, deksbromfeniramin maleat, deksklorfeniramin maleat, dimentinden maleat, tripolidin hidroklorida, feniramin maleat/pirilamin maleat Etanolamin (Aminoalkil eter) :karbioksamin maleat, difenhidramin sitrat dan hidroklorida, doksilamin suksinat, embramin hidroklorida, mefenhidramin metilsulfat, trimetobenzamin sitrat, dimenhidrinat, klemastin fumarat Etilendiamin : mepiramin maleat, pirilamin maleat, tripenelamin sitrat dan hidroklorida, antasolin fosfat Fenotiazin : dimetotiasin mesilat, mekuitasin, metdilasin dan metdilasin hidroklrida, prometasin hidroklorida dan teoklat, trieprain tartrat Piperidin : azatadin maleat, siproheptadin hidroklorida, difenilpralin hidroklorida, fenindamin tartrat Piperazin : hidroksisin hidroklorida dan pamoat

b. AH-1 generasi II Beberapa AH-1 yang diperkenalkan dalam 2 dekade terakhir ditemukan dengan cara menyaring beberapa komponen dan secara kimiawi berhubungan dengan AH-1 generasi lama. Sebagai contoh ialah akrivastin berhubungan dengan tripolidin, setirisin adalah metabolit dari hidroksisin, levocetirisin adalah enantiomer dari setirisin, desloratadin adalah metabolik dari terfenadin.

2.2.2. Antihistamin H2Antagonis reseptor H2 bekerja menghambat sekresi asam lambung. 5Yang termasuk golongan ini adalah : Simetidin Ranitidin Famotidin Nizatidin2.3. Farmakologi2.3.1. Antihistamin H-1a. Mekanisme KerjaAntihistamin H1 bekerja sebagai competitif inhibitor terhadap histamin pada reseptor jaringan, sehingga mencegah histamin berikatan pada reseptornya serta mencegah aktivasi dari reseptor tersebut.1,2Dengan menghambat kerja dari histamin, terjadi berbagai pengaruh yang ditimbulkan histamin, yaitu menghambat vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler yang secara klinis berupa eritem, bentol (urtika) dan rasa gatal. Obat ini lebih efektif jika diberikan sebelum terjadinya pelepasan histamin.3Antihistamin klasik, juga memiliki aktivitas antikolinergik, efek anestesi lokal, antiemetik, dan anti mabuk perjalanan. Beberapa obat golongan AH-1 mempunyai kemampuan untuk menghambat reseptor -adrenergik atau reseptor muskarinik kolinergik, sedangkan obat lainnya seperti siproheptadin mempunyai efek antiserotonin.1b. Farmakodinamik Terdapat beberapa macam farmakodinamik pada antihistamin H-1.5 Antagonisme terhadap histaminAH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah, bronkus dan bermacam-macam otot polos, selain itu AH1 bermanfaat mengobati reaksi hipersensitivitas atau keadaan lain yang disertai penglepasan histamin endogen berlebihan.

Otot polosSecara umum AH1 efektif menghambat kerja histamin pada otot polos usus dan bronkus. Bronkokonstriksi akibat histamin dapat dihambat oleh AH1 pada percobaan dengan marmot. Permeabilitas kapilerPeninggian permeabilitas kapiler dan edema akibat histamin, dapat dihambat dengan efektif oleh AH1 Reaksi anafilaksis dan alergiReaksi Anafilasis dan beberapa reaksi alergi refrakter terhadap pemberian AH1 karena di sini bukan histmain saja hyang berperan tetapi autakoid lain yang dilepaskan. Efektifitas AH1 melawan bertnya reaksi hipersensitivitas berbeda beda, tergantung beratnya gejala akibat histamin. Kelenjar eksokrinEfek perangsangan histamin terhadap sekresi cairan lambung tidak dapat dihambat oleh AH1. AH1 dapat mencegah asfiksi pada marmot akibat histamin, tetapi hewan ini mungkin mati karena AH1 tidak mencegah perforasi lambung akibat hipersekresi cairan lambung. AH1 dapat menghambatsekresi saliva dan sekresi kelenjar eksokrin lain akibat histamin. Susunan saraf pusatAH1 dapat merangsang maupun menghambat SSP. Efek perangsangan yang kadang-kadang terlihat dengan dosis AH1 biasanya ialah insomnia, gelisah dan eksitasi. Efek perangsangan ini juga dapat terjadi pada keracunan AH1. Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan SSP dengan gejala misalkan kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu reaksi yang lambat. Anastetik lokalBeberapa AH1 bersifat anestetik lokal dengan intensitas berbeda. AH1 yang baik sebagai anestetik lokal ialah prometazin dan pirilamin. Akan tetapi untuk menimbulkan efek tersebut dibutuhkan kadar yang beberapa kali lebih tinggi daripada sebagai antihistamin. AntikolinergikBanyak AH1 bersifat mirip atropin. Efek ini tidak memadai untuk terapi, tetapi efek antikolinergik ini dapat timbul pada beberapa pasien berupa mulut kering, kesukaran miksi dan impotensi. Sistem kardiovaskularDalam dosis terapi, AH1 tidak memperlihatkan efek yang berarti pada sistem kardiovaskular, Beberapa AH1 memperlihatkan sifat seperti kunidin pada konduksi miokard berdasarkan sifat anastetik lokalnya.

c. FarmakokinetikSetelah pemberian secara oral, AH-1 akan diabsorbsi dengan baik dalam saluran cerna. Efeknya dapat terlihat dalam 15-30 menit, mencapai konsentrasi puncak plasma dicapai dalam waktu 1-2 jam, dan dapat bertahan 4-6 jam, sedangkan beberapa obat lainnya dapat bertahan lebih lama.5 Antihistamin H1 generasi I mempunyai waktu paruh bervariasi antara 9-24 jam, hampir semua diikat oleh protein dan dimetabolisme melalui sistem sitokrom P-450 (CYP) di hepar. Waktu paruh ini akan memanjang pada penderita yang lebih tua atau yang menderita sirosis hepatis. Hampir seluruh obat ini diekskresikan ke urin setelah 24 jam pemberian.1d. Kegunaan KlinisAntihistamin tipe H1 klasik digunakan untuk menghilangkan pruritus pada penderita dermatitis atopik, dermatitis kontak alergi dan bentuk lain dermatitis, liken planus, gigitan nyamuk dan pruritus yang terjadi sekunder karena penyakit lain atau yang bersifat idiopatik. Digunakan juga untuk pengobatan cold urticaria, angioedema dan reaksi alergi kulit lainnya temasuk reaksi obat. Pada pemberian awal, AH dapat mencegah edema dan pruritus selama reaksi hipersensitivitas, sehingga banyak keuntungan yang didapat jika digunakan untuk pencegahan urtikaria kronik idiopatik. Apabila salah satu dari kelompok antihistamin tipe H1 tidak efektif, maka dapat diganti dengan obat dari kelompok yang lain.1AH1 tertentu misalnya difenhidramin, dimenhidrinat, derivat piperazin dan prometazin dapat digunakan untuk mencegah dan mengobati mabuk perjalanan udara, laut dan darat.e. Kotraindikasi3 Bayi baru lahir atau bayi prematur Kehamilan Ibu menyusui Glaukoma sudut sempit Retensi urin Asmaf. Efek SampingSifat lipofilik dari antihistamin tipe H1 klasik menyebabkan distribusi jaringan yang luas. Obat ini dapat melewati sawar darah otak, plasenta dan air susu ibu, karena itu dapat memberikan efek pada 3: Sistem saraf pusatKomplikasi yang sering terjadi pada orang dewasa adalah depresi SSP, sedasi dan pusing. Pada anak-anak dan orang tua dapat berupa: kecemasan, iritabilitas, insomia, tremor dan mimpi buruk. Bangkitan dapat terjadi, walaupun jarang. Pernah dilaporkan terjadinya diskinesia wajah dan mulut pada penggunaan kombinasi antihistamin-dekongestan.3 GastrointestinalGejala yang terjadi dapat berupa mual, muntah, anoreksia, konstipasi dan diare.3 KardiovaskularTakikardia, disritmia, hipotensi yang bersifat sementara. Difenhidramin dapat menghambat potassium channels, memperpanjang interval QT, bahkan menyebabkan aritmia ventrikular.2 GenitourinariaDisuria, disfungsi ereksi, retensi urin.2 DarahKlorfeniramin dapat menyebabkan pansitopenia, agranulositosis, trombositopenia, leukopenia dan anemia aplastik. 3 KulitReaksi kulit yang dapat terjadi berupa dermatitis, petekie, fixed drug eruption dan fotosensitif.1

Efek samping lainnyaTerdapat efek antikolinergik yang dapat berupa muka merah, dilatasi pupil, hipertermia, kekeringan pada membran mukosa dan penglihatan yang buram.12.3.2. Antihistamin H-21. Simetidin Dan RanitidinFarmakodinamikSimetidin dan ranitidin menghambat reseptor H2 secara selektif dan reversibel. Perangsangan H2 akan merangsang sekresi cairan lambung, sehingga pada pemberian simetidin atau ranitidin sekresi cairan lambung dihambat. Pengaruh fisiologi simetidin dan ranitidin terhadap reseptor H2 lainnya, tidak begitu penting. Walau tidak lengkap simetidin dan renitidin dapat menghambat sekresi cairan lambung akibat perangsangan obat muskarinik atau gastrin. Semitisin dan ranitidin mengurangi volume dan kadar ion hidrogen cairan lambung. Penurunan sekresi asam lambung mengakibatkan perubahan pepsinogen menjadi pepsin juga menurun. 5FarmakokinetikBiovailabilitas oral simetidin sekitar 70%. Ikatan protein plasmanya hanya 20%. Absorpsi simetidin diberikan bersama atau segera setelah makan dengan maksud untuk memperpanjang efek pada periode pasca makan. Absorpsi simetidin terutama terjadi pada menit ke 60-90. Simetidin masuk kedalam SSP dan kadarnya dalam cairan spinal 10-20% dari kadar serum. Sekitar 50-80% dari dosis IV dan 40% dari dosis oral simetidin diekskresi dalam bentuk asal dalam urin. Masa paruh eliminasi sekitar 2 jam. 5Biovailabilitas ranitidin yang diberikan secara oral sekitar 50% dan meningkat pada pasien penyakit hati.Masa paruhnya kira-kira 1,7-3 jam pada orang dewasa dan memanjang pada orang tua dan pada pasien gagal ginjal. Pada pasien penyakit hati masa paruh ranitidin juga memanjang meskipun tidak sebesar pada gagal ginjal. Kadar puncak plasma dicapai dalam 1-3 jam setelah penggunaan 150 mg ranitidin secara oral dan yang terikat protein plasma hanya 15%. Ranitidin dan metabolitnya diekskresi terutama melalui ginjal sisanya melalui tinja. Sekitar 70% dari ranitidin yang diberikan IV dan 30% dari yang diberikan secara oral diekskresi dalam urin dalam bentuk asal.5Efek Samping Insidens efek samping kedua obat ini rendah dan umumnya berhubungan dengan penghambatan terhadap reseptor H2. Beberapa efek samping lain tidak berhubungan dengan penghambatan reseptor. Efek samping ini antara lain : nyeri kepala, pusing, malaise, mialgia, mula, diare, konstipasi, ruam kulit, pruritus, kehilangan libido dan impoten. 5Simetidin mengikat reseptor androgen dengan akibat disfungsi seksual dan ginekomastia. Ranitidin tidak berefek antiandrogenik sehingga penggantian terapi dengan ranitidin mungkin akan menghilangkan impotensi dan ginekomastia akibat simetidin. Simetidin IV akan merangsang sekresi prolaktin, tetapi hal ini pernah pula dilaporkan setelah pemberian simetidin kronik secara oral. Pengaruh ranitidin terhadap peninggian prolaktin ini kecil. 5Interaksi ObatAntasid dan metoklopramid mengurangi biovailabilitas oral simetidin sebanyak 20-30%. Ketakonazol harus diberikan 2jam sebelum pemberian simetidin karena absorpsi ketakonazol berkurang sekitar 50% bila diberikan bersama simetidin. Selain itu ketakonazol membutuhkan pH lebih tinggi yang terjadi pada pasien yang juga mendapat AH2. 5Simetidin terikat sitokrom P-450 sehingga menurunkan aktivitas enzim mikrosom hati, jadi obat lain akan terakumulasi bila diberikan bersama simetidin. Obat yang metabolismenya dipengaruhi simetidin adalah arfarin, karbamazepin, diazepam, propranolol, metaprolol dan imipramin.Ranitidin jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan dengan simetidin akan tetapi makin banyak obat dilaporkan berinteaksi dengan ranitidin yaitu nifedifin warfarin, teofilin, dan metaprolol. Ranitidin dapat menghambat absorbsi diazepam dan dapat mengurangi kadar plasmanya sejumlah 25%. Obat-obat ini diberikan dengan selang waktu minimal 1 jam sam a dengan penggunaan ranitidin bersama abtasid atau antikolinergik.5 Simetidin dan ranitidin cenderung menurunkan aliran darah hati sehingga akan memperlambat bersihan obat lain. Simetidin dapata menghambat alkohol dehidrigenase dalam mukosa lambung dan menyebabkan peningkatan kadar alkohol serum. Simetidin juga mengganggu disposisi dan meningkatkan kadar lidokoin serta meningkatkan antagonis kalsium dalam serum. Simetidin dapat menyebabkan berbagai gangguan SSP terutama pada pasien usia lanjut atau dengan penyakit hati atau ginjal. Gejala ganggua slurredspeech, somnolen, letargi, gelisah, bingung, disorentasi, agitasi, halusinasi, dan kejang. Gejala seperti demensia dapat timbul pada penggunaan simetidin bersama obat psikotropik atau sebagai efek samping simetidin. Ranitidin menyebabkan gangguan SSP ringan karena sukarnya melewati sawar darah otak. 5 Efek samping simetidin yang jarang terjadi adalah trombositopenia, granulositopenia, toksisitas terhadap ginajal atau hati. Pemberian simetidin dan ranitidin IV sesekali menyebabkan bradikardi dan efek kardiotoksik lain. 5

Indikasi Simetidin dan ranitidin diindikasikan untuk tukak peptik. Penghambatan 50% sekresi asam lambung dicapai bila kadar simetidin plasma 800ng/ml atau kadar renitidin plasma 100 ng/ml. Tetapi yang lebih penting adalah efek penghambatannya selama 24jam. Simetidin ranitidin atau antagonis reseptor H2 mempercepat penyembuhan tungkak duodenum. Pada sebagian besar pasien pemberian obat-obatan tersebut sebelum tidur dapat mencegah kekambuhan tukak duodeni bila obat diberikan sebagai terapi pemeliharaan. 5 AH2 sama efektif dengan pengobatan intensif dengan antasid untuk penyembuhan awal tukak lambung dan duodenum. Untuk refluks esofagitis seperti halnya dengan antasid antagonis reseptor H2 menghilangkan gejalanya tetapi tidak menyembuhkan lesi. 5 Terhadap tukak peptikem yang diinduksi oleh obat AINS, AH2 dapat mempercepat penyembuhan tetapi tidak dapat mencegah terbentuknya tukak. Pada pasien yang sedang mendapat AINS antagonis reseptor H2 dapat mencegah kekambuhan tukak duodenum tetapi tidak bermanfaat untuk tukak lambung. 5 Simetidin dan ranitidin talah digunakan dalam penelitian untuk stress ulcer dan perdarahan, dan ternyata obat-obat tersebut lebih bermanfaat untuk profilaksis daripada untuk pengobatan. AH2 juga bermanfaat untuk hipersekresi asam lambung pada sindrom Zollinger-Ellison . Dalam hal in i mungkin lebih baik digunakan ranitidin untuk mengurangi kemungkinan timbulnya efek samping obat akibat besarnya dosis simetidin yang diperlukan. Ranitidin juga lebih baik dari simetidin untuk pasien yang mendapat banyak obat, pasien yang refrakter terhadap simetidin, pasien yang tidak tahan efek samping simetidin dan pada pasien usia lanjut. 52. FamotidinFarmakodinamikFamotidin merupakan AH2 sehingga dapat menghambat sekresi asam lambung pada keadaan basal, malam dan akiabt distimulasi oleh pentagastrin. Famotidin tiga kali lebih poten daripada ranitidin dan 20 kali lebih poten daripada simetidin. 5IndikasiEfektivitas obat ini untuk tukak duodenum dan tukak lambung setelah 8 minggu pengobatan sebanding dengan ranitidin dan simetidin. Pada penelitian selama 6 bula famotidin juga mengurangi kekambuhan tukak duodenum yang secara klinis bermakna. Famotidin kira-kira sama efektif dengan AH2 lainnya pada pasien sindrom Zollinger-Ellison meskipun untuk keadaan ini omeprazol merupakan obat terpilih. Efektivitas famotidin untuk profilaksis tukak lambung, refluks esofagitis dan pencegahan tukak stres pada saat ini sedang diteliti. 5Efek SampingEfek samping biasanya ringan dan jarng terjadi misalnya sakit kepala, pusing, konstipasi, dan diare. Seperti halnya dengan ranitidin, famotidin nampaknya lebih baik daripada simetidin karena belum pernah dilaporkan terjadinya efek antiandrogenik. Famotidin harus digunakan hati-hati pada ibu menyusui karena obat ini belum diketahui apakah obat ini diekskresi kedalam air susu ibu. 5Interaksi ObatSampai saat ini interaksi yang bermakna dengan obat lain belum belum dilaporkan meskipun baru diteliti terhadap sejumlah kecil obat. Famotidin tidak mengganggu oksidasi diazepam feofilin, warfarin atau fenitoin di hati. Ketokonazol membutuhkan pH asam untuk bekerja sehingga kurang efektif bial diberikan bersama AH2. 5FarmakokinetikFamotidin mencapai kadar puncak diplasma kira-kira dalam 2jam setelah penggunaan secara oral. masa paruh eliminasi 3-8jam dan biovaibilitas 40-50%, Metabolit utama adalah famotidin-S-oksida. Setelah dosis oral tunggal sekitar 25% dari dosis ditemukan dalam bentuk asal di urin. Pada pasien gagal ginjal berat masa paruh eliminasi dapat melebihi 20 jam. 5IntravenaPada pasien hipersekresi asam lambung tertentu atau pada pasien yang tidak dapat diberikan sediaan oral, faotidin diberikan intravena 20 mg tiap 12 jam. Dosis obat untuk pasien harus ditritasi berdasarkan jumlah asam lambung yang disekresi.53. NizatidinFarmakodinamikPotensi nitazidin dalam menghambat sekresi asam lambung kurang lebih sama dengan ranitidin. 5IndikasiEfektvitas untuk pengobatan gangguan asam lambung sebanding dengan ranitidin dan simetidin. Dengan pemberian satu atau dua kali sehari biasanya dapat menyembuhkan tukak duodeni dalam 8 minggu dan dengan pemberian satu kali sehari nizatidin mencegah kekambuhan. Pada refluks esofagitis, sindrom Zollinger-Ellison dan gangguan asam lambung lainnyan nizatidin siperkirakan sama efektif dengan ranitidin meskipun masih diperlukan pembuktian lanjut. 5

Efek SampingNizatidin umumnya jarang menimbulkan efek smaping. Efek samping ringan saluran cerna dapat terjadi. Peningkatan kadar asam urat dan transaminase serum ditemukan pada beberapa pasien dan nampaknya tidak menimbulkan gejala klinik yang bermakna. Pada tikus nizatidin dosis besar berefek antiandrogrnik, tetapi efek tersebut belum terlihat pada uji klinik. Nizatidin dapat menghambat alkohol dehidrogenase pada mukosa lambung dan menyebabkan kadar alkohol yang lebih tinggi dalam serum. Dalam dosis ekuivalen simetidin, nizatidin tidak menghambat enzim mikrosom hati yang metabolisme obat. Pada sukarelawan sehat tidak dilaporkan terjadinya interaksi obat bila nitazidin diberikan bersama feofilin, lidokain, warfarin, klordiazepoksid, diazepam atau lorezepam. Ketakonazol yang membetuhkan pH asam menjadi kurang efektiftif bila pH lambung lebih tinggi pada pasien yang mendapat AH2. 5FarmakokinetikBiovailabilitas oral nizatidin lebih dari 90% dan tidak dipengaruhi oleh makanan atau antikolinergik. Bersihan menurun pada pasien uremik dan usia lanjut. Kadar puncak dalam serum setelah pemberian oral dicapai dalam 1jam, masa paruh plasma sekitar 2 1/2 jam dan lama kerja sampai dengan 10 jam. Nizatidin diekskresi terutama melalui ginjal 90% dari dosisi yang digunakann ditemukan di urin dalam 16 jam.

BAB 3PERAN ANTIHISTAMIN PADA DERMATOLOGIAntihistamin yang bernilai dalam mengobati gangguan kulit, dimediasi oleh histamin. Hal ini terutama digunakan untuk mengurangi gejala-gejala reaksi alergi, seperti urtikaria dan angioedema. Rhinitis, konjungtivitis, pruritus dan yang berhubungan dengan gangguan kulit lainnya. Antihistamin juga berguna sebagai obat penenang, antikonvulsan, dekongestan, anacsthetics lokal, hipnotik dan sebagai antiparkinson. 6Histamin-h1 (H1) antihistamin adalah obat lini pertama untuk pengobatan urtikaria. Mereka semua kompetitif menghambat pengikatan pelepasan histamin pada reseptor H1 dan dengan demikian mengurangi kejadian bercak dan intensitas gatal. Antihistamin memainkan peran yang sama dalam dermatopharmacology dan allergology sebagai epinefrin bermain dalam farmakologi. Hal ini disorot oleh fakta bahwa Sir Henry Dale, yang menemukan histamin itu saja dapat menginduksi tiga respon yaitu eritema bercak, dan gatal-gatal.7Pengikatan histamin pada reseptor H1 pada kulit menginduksi endotel vaskular untuk melepaskan oksida nitrat, yang merangsang guanylyl siklase dan meningkatkan siklik guanosin monofosfat di otot polos pembuluh darah, yang mengakibatkan vasodilatasi, peningkatan permeabilitas pembuluh darah, pembentukan edema, dan eritema.8H1 antihistamin banyak digunakan dalam terapi dermatologi untuk mengurangi gejala-gejala manifestasi kulit dari berbagai gangguan alergi. Agen ini dapat dibagi menjadi beberapa kelompok. Secara umum, mereka memiliki sifat yang mirip dan pilihan agen akan tergantung pada faktor-faktor lain selain khasiat farmakologis, termasuk efek samping dan biaya. Efek dari antihistamin pada urtikaria telah ditunjukkan dalam berbagai studi. Pengurangan rasa gatal di urtikaria lebih kuat dari pada penyakit kulit lainnya dengan gatal, seperti dermatitis atopic.9,10

Efeknya terbatas, terutama di urtikaria tekanan dan bentuk parah dari urtikaria autoimun; Namun, setelah pengobatan, misalnya, urtikaria autoimun dengan siklosporin, antihistamin dapat membantu dalam kasus kekambuhan pada kondisi ini. Dalam pengobatan urtikaria kolinergik, antihistamin dengan efek antikolinergik yang kuat seperti hydroxyzine dapat membantu. Namun, terlepas dari kasus-kasus darurat di mana antihistamin yang bisa diberikan secara intravena, seperti clemastine atau diphenhydramine, digunakan, hari antihistamin tanpa efek sedatif lebih disukai.11Antihistamin sering digunakan untuk waktu yang lama, antihistamin yang ideal untuk urtikaria harus menunjukkan keberhasilan tinggi, tidak ada takifilaksis, dan profil keamanan yang baik, tanpa efek kardiotoksik dan tidak ada interaksi obat yang signifikan secara klinis.12

DAFTAR PUSTAKA1. Soter NA. Antihistamines. Dalam: Freedberg IM, Eisen AZ, Wolff K, Austen KF, Goldsmith LA, Katz SI, penyunting. Fitzpatricks dermatology in general medicine. Edisi ke-6. New York: McGraw-Hill Incorporation; 2003.h.2420-6.2. Greaves MW. Antihistamines. Dalam: Wolverthon SE, penyunting. Comprehensive dermatologic drug therapy. Edisi ke-1. New York: W.B. Saunders Company; 2001.h.360-74.3. Del Rosso JQ. Antihistamines. Dalam: Wolverthon SE, Wilkin JK, penyunting. Systemic drugs for skin diseases. Edisi ke-1. Philadelphia: WB Saunders Company; 1991.h.285-321.4. Cotteril JA, Finlay YA.Sistemic therapy. Dalam: Burns T, Breathnach S, Cox N, Griffiths C, penyunting. Rook textbook of dermatology. Edisi ke-7. Oxford: Blackwell Scientific Publisher; 2004.h.72.5.-72.8.5. Nafrialdi ; Setawati, A., 2007. Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Departemen Farmakologi dan Terapeutik Fakultas Kedokteran UI, Jakarta.6. Peggs, J.F. and Shixnp, L.A. Antihistamines The old and the new: Am. Fam. Physician, 1955;52:593-.600.7. Emanuel MB: Histamine and the antiallergic antihistamines: a history of their discoveries. Clin Exp Allergy 29:1-11, 19998. Merk HF, Bickers DR: Dermatopharmakologie und Dermatotherapie. Berlin: Blackwell, 19929. Henz BM, Metzenauer P, O'Keefe E, Zuberbier T: Differential effects of new generation H1-receptor antagonists in pruritic dermatoses. Allergy 53:180-183,1998.10. Stuettgen G: Was ist Juckreiz. Therapiewoche 34:1584-1596, 1984.11. Grattan CEH, O'Donnel BF, Francis DM, et al: Randomized double-blind study of cyclosporin in chronic idiopathic urticaria. Br J Dermatol 143:365-372, 2000.12. Timmermann H: Factors involved in the absence of sedative effects by the secondgeneration antihistamines. Allergy 55:5-10, 2000