referat tropmet kel 5
TRANSCRIPT
LAPORAN REFERAT 1
BLOK TROPICAL MEDICINE
“THYPOID TOXIC”
Tutor: dr.
Oleh:
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONALUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU – ILMU KESEHATANJURUSAN KEDOKTERAN
PURWOKERTO
2012
BAB I
PENDAHULUAN
Reaksi lepra adalah salah satu penyakit tropis tertua di dunia. Penyakit ini mulai dikenal
sejak 1400 tahun SM dengan nama lain kusta yang berasal dari bahasa India. Lepra atau dikenal
juga dengan sebutan morbus Hansen adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae. Penyakit ini bersifat kronik dan dapat menimbulkan manifestasi klinis
berupa sehingga sangat ditakuti oleh masyarakat karena memiliki dampak negatif secara sosial
yaitu dikucilkan dari pergaulan (Djuanda, 2007).
Reaksi lepra adalah penyakit infeksi yang memiliki prevalensi cukup tinggi. Penyakit
ini telah menyerang 15-20 juta orang di dunia Penyakit ini endemis di daerah-daerah yang
beriklim tropis dan subtropis seperti di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang mencakup di
antaranya Brasil dan Chili. Angka kejadian tertinggi untuk kasus reaksi lepra terdapat di negara
India di mana terdapat sekitar 4 juta penduduk India menderita penyakit ini (Brown, 2005).
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki jumlah kasus lepra terbanyak di
dunia karena iklimnya yang tropis. Di Indonesia terdapat sekitar 200 ribu penderita lepra yang
tersebar di beberapa wilayah terutama wilayah Indonesia timur seperti di daerah Papua, Sulawesi
Selatan, Maluku, NTT, Kalimantan Barat, Sumatera, Jawa, dan Bali. Tingginya angka kejadian
reaksi lepra dipengaruhi terutama oleh faktor hygiene, sanitasi lingkungan yang buruk, serta
status social ekonomi yang rendah. Kasus reaksi lepra mayoritas menyerang usia produktif yaitu
sekitar 25-35 tahun, sekitar 13 % menyerang usia anak dan remaja kurang dari 14 tahun, dan
belum pernah ditemukan menyerang bayi (Brown, 2005).
Karena Indonesia adalah salah satu negara tropis yang merupakan wilayah endemis
reaksi lepra, maka penting untuk kami membahas mengenai penyakit ini lebih lanjut dalam
referat ini.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Lepra adalah suatu penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yakni
suatu bakteri tahan asam yang berbentuk batang. Lepra terutama menyerang kulit, saraf perifer,
lapisan mukosa pada traktus pernapasan atas serta kedua mata. Mulanya, infeksi mikobakterium
ini menyebabkan beragam respon seluler yang kemudian dapat menimbulkan neuropati perifer
dalam jangka waktu yang panjang (WHO, 2005).
Reaksi lepra merupakan suatu fenomena imunologi yang terjadi sebelum, saat, dan setelah
pemberian teerapi obat kombinasi / multi drug therapy (MDT) pada penderita lepra. Dikenal dua
tipe utama reaksi lepra, yang disebut type 1 lepra reaction dan type 2 lepra reaction (erytheme
nodosum leprosum) (Brakel, 1994).
B. Etiologi
Reaksi lepra dibagi ke dalam dua kategori. Reaksi tipe satu disebut juga reaksi yang dapat
kambuh kembali. Terutama disebabkan karena adanya peningkatan system imun tubuh manusia
dalam memerangi bakteri lepra bahkan yang sudah mati. Hal ini menimbulkan terjadinya proses
inflamasi di segala tempat di tubuh dimana bakteri tersebut bermukim, biasanya paling banyak
ada di kulit dan saraf perifer. Orang dengan paucibacillary leprosy (PB) dan multibacillary
leprosy (MB) keduanya dapat terserang reaksi tipe satu (Sanderson, 2002)
Reaksi tipe 2 disebut juga reaksi erythema nodosum leprosum (ENL). Reaksi ini terjadi ketika
sejumlah besar bakteri lepra terbunuh dan membusuk secara bertahap. Protein yang ada pada
basil yang mati memicu timbulnya reaksi alergi. Selama protein-protein tersebut berada dalam
aliran darah, reaksi tipe 2 ini akan terjadi di seluruh tubuh, sehingga menimbulkan gejala yang
menyeluruh (Sanderson, 2002).
C. Gejala Klinis:
1. Lesi pada kulit yang warnanya lebih cerah dari warna kulit pasiena. Berkurangnya reaksi terhadap sentuhan, panas dan nyeri pada bagian lsi
tersebutb. Lesi tidak sembuh setelag beberapa minggu sampai beberapa bulan.
2. Kelemahan otot3. Rasa baal pada ekstremitas atas dan bawah
D. Risk Factor:a. Pendidikan yang rendahb. Perilaku tidak bersih c. Lingkungan padat pendudukd. Mycobacterium leprae-specific antibodiese. Jenis kelaminf. Umur
BAB III
PEMBAHASAN
Patogenesis Lepra
Gambar 1. Patogenesis M. Leprae (Oke, 2011)
Cara masuk M. leprae ke dalam tubuh masih belum diketahui dengan pasti, beberapa
penelitian telah memperlihatkan bahwa yang tersering ialah melalui kulit yang luka dan melalui
mukosa nasal. Pengaruh M leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang,
kemampuan hidup M. leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta
sifat kuman yang avirulens dan nontoksis (Kosasih, 2002).
M. leprae merupakan parasit obligat intraselular yang terutama terdapat pada sel
makrofag di sekitar pembuluh darah superfisial pada dermis atau sel Schwann di jaringan
saraf. Bila kuman M. leprae masuk ke dalam tubuh, maka tubuh akan bereaksi mengeluarkan
M. Leprae
(dlm
droplet infeksiu
s)
Masuk mll
saluran pernap
asan atas /
droplet mengenai kulit
yg terbuka
Fagositosis
oleh Sel Schwan
n & makrof
ag
Sist. Imuni
tas Seluler (SIS)
yg baik
Pbtkn granuloma
nekrosis kaseosa kerusakan saraf kulit
Kerusakan saraf tdk
bermyelin (sensoris & autonom) anastesia, anhidrosisKerusakan
saraf motorik bermyelin atrofi ototSIS
buruk humoral
>>
Basil ditangkap
oleh histiosit (makrofag) multiplikasi di dlm makrofag menyebar ke jaringan
lain mll darah, limfe/cairan
jaringan
PAUSIBASILER(PB)
MULTIBASILER(MB)
makrofag (berasal dari sel monosit darah, sel mononuklear, histiosit) untuk memfagositnya.
Pada kusta tipe TT kemarnpuan fungsi sistem imunitas selular tinggi, sehingga makrofag
sanggup menghancurkan kuman. Setelah semua kuman di fagositosis, makrofag akan berubah
menjadi sel epiteloid yang tidak bergerak aktif dan kadang-kadang bersatu membentuk sel datia
Langerhans. Bila infeksi ini tidak segera diatasi, maka akan terjadi reaksi berlebihan dan massa
epiteloid akan menimbulkan kerusakan saraf dan jaringan di sekitarnya (Kosasih, 2002).
Sel Schwann merupakan sel target untuk pertumbuhan M. leprae. Sel Schwann memiliki
fungsi untuk demielinisasi dan hanya sedikit fungsinya sebagai fagositosis. Jadi, bila terjadi
gangguan imunitas tubuh dalam sel Schwann, kuman dapat bermigrasi dan beraktivasi.
Akibatnya aktivitas regenerasi saraf berkurang dan terjadi kerusakan saraf yang progresif.
Sedangkan pada kusta tipe LL, terjadi kelumpuhan sistem-imunitas, dengan demikian makrofag
tidak mampu menghancurkan kuman sehingga kuman dapat bermultiplikasi dengan bebas, yang
kemudian dapat merusak jaringan (Kosasih, 2002).
Gambar 2. Patogenesis Berbagai Reaksi Lepra (Kosasih, 2002)
Reaksi Lepra
1. Reaksi Tipe 1 : Reaksi Reversal
a. Dsr patogenesis & patofisiologi à Reaksi Hipersensitivitas Tipe 4 (Tipe Lambat)
b. MH lepromatosa à gamb.klinis menjadi ke arah tuberkuloid = Upgrading Reversal
Reaction
c. MH tuberkuloid à gamb.klinis menjadi ke arah lepromatosa = Downgrading Reversal
Reaction à jarang
d. Dpt tjd pd semua tipe lepra terutama grup borderline krn ketidakstabilan imunologi.
e. Tjd akibat peningkatan SIS spesifik yg cepat thd BTA pd pasien yg sd mdpt terapi ± 6
bln pertama
f. Inflamasi pd lesi kulit yg sdh ada / bisa muncul lesi yg baru
2. Reaksi Tipe 2 : Eritema Nodosum Leprosum (ENL)
a. Dsr patogenesis & patofisiologi à Reaksi Hipersensitivitas Tipe 3 (Kompleks Imun)
(Oke P, 2011)
PATOGENESIS
Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh yang tersering ialah melalui kulit yang
lecet pada bagian tubuh yang bersuhu dingin dan melalui mukosa nasal. Pengaruh,
Mycobacterium leprae terhadap kulit bergantung pada faktor imunitas seseorang, kemampuan
hidup Mycobacterium leprae pada suhu tubuh yang rendah, waktu regenerasi yang lama, serta
sifat kuman yang avirulens dan nontoksis (Djuanda, 2007).
Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh kemudian ditangkap oleh APC (Antigen
Presenting Cell) melalui dua signal yaitu signal pertama dan signal kedua. Signal pertama adalah
tergantung pada TCR- terkait antigen (TCR = T cell receptor) yang dipresentasikan oleh molekul
MHC pada permukaan APC sedangkan signal kedua adalah produksi sitokin dan ekspresinya
pada permukaan dari molekul kostimulator APC yang berinteraksi dengan ligan sel T melalui
CD28. Adanya kedua signal ini akan mengaktivasi To sehingga To akan berdifferensiasi menjadi
Th1 dan Th2. Adanya TNF α dan IL 12 akan membantu differensiasi To menjadi Th1 (Murray,
2011).
Th 1 akan menghasilkan IL 2 dan IFN γ yang akan meningkatkan fagositosis makrofag
(fenolat glikolipid I yang merupakan lemak dari Mycobacterium leprae akan berikatan dengan
C3 melalui reseptor CR1,CR3,CR4 pada permukaannya lalu akan difagositosis) dan proliferasi
sel B. IL 2 juga akan mengaktifkan CTL lalu CD8+. Di dalam fagosit, fenolat glikolipid I akan
melindungi bakteri dari penghancuran oksidatif oleh anion superoksida dan radikal hidroksil
yang dapat menghancurkan secara kimiawi. Kegagalan membunuh antigen menyebabkan sitokin
dan growth factors akan terus dihasilkan dan akan merusak jaringan akibatnya makrofag akan
terus diaktifkan dan lama kelamaan sitoplasma dan organella dari makrofag akan membesar,
sekarang makrofag disebut dengan sel epiteloid dan penyatuan sel epitelioid ini akan membentuk
granuloma (Murray, 2011).
Th2 akan menghasilkan IL 4, IL 10, IL 5, IL 13. IL 5 akan mengaktifasi dari eosinofil. IL
4 dan IL 10 akan mengaktifasi dari makrofag. IL 4 akan mengaktifasi sel B untuk menghasilkan
IgG4 dan IgE. IL 4 , IL10, dan IL 13 akan mengaktifasi sel mast (Murray, 2011).
Signal I tanpa adanya signal II akan menginduksi adanya sel T anergi dan tidak
teraktivasinya APC secara lengkap akan menyebabkan respon ke arah Th2. Pada Tuberkoloid
Leprosy, kita akan melihat bahwa Th 1 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th2 sedangkan
pada Lepromatous leprosy, Th2 akan lebih tinggi dibandingkan dengan Th1 (Murray, 2011).
REAKSI KUSTA
Reaksi kusta adalah suatu episode akut dalam perjalan kronis penyakit kusta yang
dianggap sebagai suatu kelaziman atau bagian dari komplikasi penyakit kusta. Ada dua tipe
reaksi dari kusta yaitu reaksi kusta tipe I dan reaksi kusta tipe II (Naafs, 2001). Reaksi kusta tipe
I sering disebut reaksi lepra non nodular merupakan reaksi hipersensitifitas tipe IV (Delayed
Type Hipersensitivity Reaction ). Reaksi tipe I sering kita jumpai pada BT dan BL. M. Leprae
akan berinteraksi dengan limfosit T dan akan mengakibatkan perubahan sistem imunitas selluler
yang cepat. Hasil dari reaksi ini ada dua yaitu upgrading reaction / reversal reaction , dimana
terjadi pergeseran ke arah tuberkoloid ( peningkatan sistem imunitas selluler) dan biasanya
terjadi pada respon terhadap terapi, dan downgrading, dimana terjadi pergeseran ke arah
lepromatous ( penurunan sistem imunitas selluler) dan biasanya terjadi pada awal terapi
(Fitzpatrick, 2008).
Reaksi kusta tipe II adalah hipersensitivitas humoral tepatnya hipersensitivitas tipe III.
Reaksi tipe dua sering juga disebut eritema nodosum lepromatous. Reaksi ini sering terjadi pada
pasien LL. M. Leprae akan berinteraksi dengan antibodi membentuk kompleks imun dan
mengendap pada pembuluh darah. Komplemen akan berikatan pada komples imun dan
merangsang netrofil untuk menghasilkan enzim lisosom. Enzim lisosom akan melisis sel (Naafs,
2001).
PATOFISIOLOGI
Setelah Mycobacterium leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit lepra
bergantung pada kerentanan seseorang. Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung
pada derajat sistem imunitas seluler (cellular mediated immune) pasien. Bila imunitas selulernya
tinggi, penyakit berkembang ke arah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang ke arah
lepromatous. M. leprae berprediksi di daerah-daerah yang relatif dingin, yaitu daerah akral
dengan vaskularisasi yang sedikit (Fitzpatrick, 2008).
Sebenarnya M. leprae mempunyai patogenitas dan daya invasif yang rendah, sebab
penderita yang mengandung kuman yang banyak belum tentu memberikan gejala yang berat,
bahkan dapat sebaliknya. Ketidakseimbangan antara derajat infeksi dengan derajat penyakit,
tidak lain disebabkan oleh respon imun yang berbeda yang menggugah timbulnya reaksi
granuloma setempat atau menyeluruh dan dapat sembuh sendiri atau progresif. Oleh karena itu
penyakit lepra dapat disebut sebagai penyakit imunologik. Gejala klinisnya lebih sebanding
dengan tingkat reaksi selulernya daripada intensitas infeksinya (Martodihardjo, 2003).
Gejala klinis pada lepra tergantung pada multiplikasi dan diseminasi kuman M. leprae,
respons imun penderita terhadap kuman M. leprae serta komplikasi yang diakibatkan oleh
kerusakan saraf perifer. Manifestasi klinis dari kusta sangat beragam, namun terutama mengenai
kulit, saraf, dan membran mukosa (Naafs, 2001).
M. leprae mempunyai afinitas selektif terhadap saraf perifer. Ini dibuktikan dengan
banyaknya basil pada saraf dibanding jaringan lain. Dalam hal ini sel Schwann yang disukai
karena merupakan sel host yang paling cocok untuk keselamatan dan multiplikasinya, pada
stadium lanjut mengakibatkan kerusakan saraf. Bakteri ini membuka selubung myelin, sebuah
penyekat lemak disekitar serabut saraf. Myelin diproduksi oleh sel Schwann, berfungsi untuk
mendukung sistem saraf perifer dan diperlukan untuk penghantaran sinyal antara otak dengan
kulit, otot dan organ-organ. Kerusakan saraf baik sensoris maupun autonom yang tidak
bermyelin menyebabkan hipestesi sampai anestesi, gangguan rasa terhadap temperatur, akhirnya
hilang rasa sakit dan anhidrosis. Kerusakan saraf motorik bermyelin menyebabkan terjadinya
atrofi otot (Mansjoer, 2000).
Lepuh yang timbul spontan dan ulcus tropic sebagai konsekuensi dari hilangnya sensoris.
Deformitas pada lepra terdapat dua macam yaitu primer dan sekunder. Deformitas primer
sebagai akibat langsung oleh granuloma yang terbentuk sebagai reaksi terhadap M. leprae, yang
mendesak dan merusak jaringan di sekitarnya, yaitu kulit, mukosa traktus respiratorius atas,
tulang-tulang jari, dan wajah. Deformitas sekunder terjadi sebagai akibat kerusakan saraf,
umumnya deformitas diakibatkan keduanya, tetapi terutama karena kerusakan saraf (Naafs,
2001).
Kerusakan mata pada kusta dapat primer dan sekunder. Primer mengakibatkan alopesia
pada alis mata dan bulu mata, juga dapat mendesak jaringan mata lainnya. Sekunder disebabkan
oleh rusaknya N.fasialis yang dapat membuat paralisis N.orbitkularis palpebrarum sebagian atau
seluruhnya, mengakibatkan lagoftalmus yang selanjutnya, menyebabkan kerusakan bagian –
bagian mata lainnya. Secara sendirian atau bersama – sama akan menyebabkan kebutaan
(Fitzpatrick, 2008).
Penatalaksanaan penyakit kusta :
1. Eritema nodosum leprosum (ENL)Pada pengobatan ENL, obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, antara
lain prednison. Dosis yang diberikan bergantung dari berat ringannya reaksi, namun biasanya
prednisone diberikan 15-30 mg sehari. Semakin berat reaksinya maka semakin tinggi
dosisnya, namun bila reaksinya terlalu ringan maka tidak perlu diberikan. Dosis diturunkan
secara bertahap. Analgesik-antipiretik dan sedative dapat diberikan atau bila berat penderita
dapat menjalani rawat inap (Djuanda, 2010).
Obat yang diberikan sebagai obat pilihan pertama adalah talidomid, tetapi di Indonesia obat
ini belum didapat. Talidomid mempunyai efek teratogenik sehingga tidak boleh diberikan
kepada orang hamil atau masa subur. Klofazimin juga dapat digunakan sebagai anti-reaksi
ENL dengan dosis yang lebih tinggi. Klofazimin juga bergantung pada berat ringannya reaksi,
semakin berat reaksinya maka semakin tinggi dosisnya, biasanya antara 200-300 mg sehari.
Klofazimin dapat digunakan sebagai usaha untuk lepas dari kortikosteroid, namun klofazimin
dapat menyebabkan kulit menjadi warna merah kecoklatan (Djuanda, 2010).
2. Reaksi pembalikan (reaksi reversal, reaksi upgrading)Apabila terdapat neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan berat ringannya neuritis. Biasanya diberikan prednison 40 mg sehari kemudian diturunkan perlahan. Pengobatan harus secepat-cepatnya dengan dosis yang adekuat untuk mengurangi terjadinya kerusakan saraf secara mendadak. Jarang terjadi ketergantungan terhadap kortikosteroid. Anggota gerak yang terkena neuritis akut harus diistirahatkan. Bila perlu dapat diberikan analgesik dan sedativa. Apabila reaksi ini tanpa disertai dengan neuritis akut maka tidak perlu diberikan pengobatan tambahan (Djuanda, 2010).
Prognosis
Prognosis baik jika terdapat obat-obatan kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan
lebih singkat, sehingga kesembuhan menjadi lebih maksimal. Prognosis buruk jika sudah ada
kontraktur atau ulkus kronik.
Komplikasi
Mycobacterium leprae adalah satu-satunya bakteri yang menginfeksi saraf tepi dan hampir
semua komplikasinya merupakan akibat langsung dari masuknya bakteri ke dalam saraf tepi.
Bakteri ini tidak menyerang otak dan medulla spinalis. Kemampuan untuk merasakan sentuhan,
nyeri, panas dan dingin menurun, sehingga penderita yang mengalami kerusakan saraf tepi tidak
menyadari apabila terdapat luka bakar, luka sayat atau mereka melukai dirinya sendiri.
Kerusakan saraf tepi juga menyebabkan kelemahan otot. Kerusakan pada saluran udara di
hidung bisa menyebabkan hidung tersumbat. Kerusakan pada syaraf mata dapat menyebabkan
kebutaan. Penderita lepra dapat menjadi mandul atau impoten, karena infeksi ini dapat
menurukan kadar testosterone dan jumlah sperma yang dihasilkan menurun.
Sjamsoe ,D., Emmi, S. 2003. Kusta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Jakarta.
PEMBAHASAN
A. Penjelasan Teori Baru
Pengobatan penderita lepra ditujukan untuk membunuh kuman M. Leprae. Tujuan utama
pemberantasan lepra adalah menyembuhkan pasien lepra dan mencegah timbulnya cacat serta
memutuskan mata rantai penularan dari pasien lepra terutama tipe yang menular kepada orang
lain untuk menurunkan insiden penyakit (Abdil, 2001).
Program Multi Drug Therapy (MDT) dengan kombinasi rifampicine, clofazimine, dan
DDS (Dapson) dimulai tahun 1981. Program ini bertujuan untuk mengurangi resistensi dapson
yang semakin meningkat, mengurangi ketidaktaatan pasien, menurunkan angka putus obat dan
mengeliminasi persistensi kuman lepra dalam jaringan (Kosasih, 1999).
Rejimen pengobatan MDT di Indonesia menurut WHO sebagai berikut :
Tipe pausibasiler (PB)
Tipe PB dengan lesi tunggal dengan pengobatan setiap
Penderita Rifampicine Ofloxacine MinocyclineDewasa 600 mg 400 mg 100 mg
Anak 5-14 tahun 300 mg 200 mg 50 mg
Untuk PB dengan lesi lebih dari satu :
1. Rifampicine 600 mg/bulan diminum depan petugas
2. DDS tablet 100 mg/hari diminum dirumah
Pengobatan 6 dosis diselesaikan dalam 6-9 bulan dan setelah selesai minum 6 dosis
dinyatakan RFT (Release From Treatment) meskipun secara klinis lesinya masih aktif
Tipe Multibasiler (MB)
Jenis obat dan dosis pada penderita multibasiler adalah :
1. Rifampicine 600 mg/bulan diminum di depan petugas
2. Clofazimine 300mg/bulan diminum di depan petugas dilanjutkan dengan clofazimine 50
mg/hari diminum di rumah
3. DDS 100 mg/hari diminum di rumah
Pengobatan 24 dosis diselesaikan dalam waktu maksimal 36 bulan. Sesudah selesai
minum 24 dosis dinyatakan RFT meskipun secara klinis lesinya masih aktif dan
pemeriksaan BTA positif (Dali, 2003).
B. Kelebihan dan kekurangan teori baru
Penderita lepra yang terlambat didiagnosis dan tidak mendapat MDT
berada dalam resikotinggi untuk terjadinya kerusakan saraf, penderita dengan lesi kulit
multipel dan penderita dengansaraf yang membesar juga nyeri memiliki resiko
tersebut.Kerusakan saraf terutama berbentuk nyeri saraf, hilangnya sensibilitas
dan berkurangnya kekuatan otot. Penderita mula-mula menyadari adanya perubahan
sensibilitas atau kekuatan otot.Kekuatan berbentuk nyeri saraf atau luka yang tidak nyeri,
lepuh kulit atau hanya berbentuk daerah yang kehilangan sensibilitasnya saja.Cara terbaik
untuk melakukan pencegahan cacat adalah dengan melaksanakan diagnosis dini dengan
pengobatan MDT yang cepat dan tepat. Selanjutnya dengan mengenali gejala
dan tanda reaksi lepra yang ditandai gangguan saraf serta memulai pengobatan dengan
kortikosteroid sesegera mungkin. Bila terdapat gangguan sensibilitas, penderita
diberi petunjuk sederhana misalnya memaka i s epa tu un tuk me l indung i
kak i , memaka i s a rung t angan b i l a beke r j a dan memaka i kacamata untuk
melindungi matanya. Selain itu diajarkan pula cara perawatan kulit sehari-hari. Hal ini
dimulai dengan memeriksa ada tidaknya memar, luka atau ulkus. Setelah itu
tangan dan kakidirendam, disikat dan diminyaki agar tidak kering dan pecah-pecah
(Kosasih, 1999).Kelebihannya Lebih cepatmenghilangkanmanifestasiklinis di kulitdalam 2-
3tahun, Ibu hamil yang menggunakan regimen initidakmemberiefeksampingpadabayi (Shaw et
al, 2003).Kekurangan Banyak menyebabkan efeksamping seperti Anemia
hemolitik,Gangguanpencernaan,Gangguanhepar, Pusing, Kelemahan otot
BAB IV
KESIMPULAN
1. Lepra adalah suatu penyakit infeksi kronis yang disebabkan oleh Mycobacterium leprae, yakni suatu bakteri tahan asam yang berbentuk batang. Lepra terutama menyerang kulit, saraf perifer, lapisan mukosa pada traktus pernapasan atas serta kedua mata.
2. Reaksi lepra dibagi ke dalam dua kategori. Reaksi tipe satu disebut juga reaksi yang dapat kambuh kembali. Terutama disebabkan karena adanya peningkatan system imun tubuh manusia dalam memerangi bakteri lepra bahkan yang sudah mati. Reaksi tipe 2 disebut juga reaksi erythema nodosum leprosum (ENL). Reaksi ini terjadi ketika sejumlah besar bakteri lepra terbunuh dan membusuk secara bertahap. Protein yang ada pada
3. Secara klinis dapat dijumpai lesi pada kulit yang warnanya lebih cerah dari warna kulit pasien,Berkurangnya reaksi terhadap sentuhan, panas dan nyeri pada bagian lsi tersebut,Lesi tidak sembuh setelag beberapa minggu sampai beberapa bulan, Kelemahan otot,Rasa baal pada ekstremitas atas dan bawah
4. Prinsip penatalaksanaan Pada pengobatan ENL, obat yang paling sering dipakai adalah tablet kortikosteroid, antara lain prednison, Apabila terdapat neuritis akut, obat pilihan pertama adalah kortikosteroid yang dosisnya disesuaikan dengan berat ringannya neuritis.
5. Prognosis baik jika terdapat obat-obatan kombinasi, pengobatan menjadi lebih sederhana dan lebih singkat, sehingga kesembuhan menjadi lebih maksimal. Prognosis buruk jika sudah ada kontraktur atau ulkus kronik.
DAFTAR PUSTAKA
1. Amiruddin, Dali. 2003. Ilmu Penyakit Kulit Kusta. Penerbit Hasanuddin University
Press:Makassar
2. A. Kosasih. 2002. Kusta. In: Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi ke-3. Bagian Ilmu Penyakit K u l i t d a n K e l a m i n F a k u l t a s K e d o k t e r a n U n i v e r s i t a s I n d o n e s i a . B a l a i P e n e r b i t F a k u l t a s Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta. Hal 139-142
3. Bakker MI, Hatta M, et al. Risk factors for developing leprosy – a population-based cohort study in Indonesia. Lepr Rev. 2006; 77: 48–61
4. Deps, Patricia D. Nasser,Sofia, Guerra,Patricia, Simon,Maria, Birshnerr,Rita de Cassia, Rodrigues,Laura C. Adverse effects from Multi-drug therapy in leprosy: a Brazilian study. Federal U
5. Djuanda, Adhi dkk. Kusta. Adhi Djuanda, Mochtar Hamzah, dan Siti Aisah. Ilmu
Penyakit Kulit dan Kelamin edisi kelima. 2007. Jakarta : Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 73-88.
6. Djuanda, A., et al. 2007. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi 5. Jakarta : FKUIBrown, R.G., Burns, Tony. 2005. Lecture Notes: Dermatology. Jakarta : Erlangga
7. Fitzpatrick. Thomas B dkk. 2008. Leprosy in Color Atlas and Synopsys of Clinical
Dermatology. Singapore : McGraw Hill; 1794
8. Gaard, Abdil. 2001. Recognition On Treatment Of Dermatology. J. Pediat. T4 : 1T0
9. Kosasih.1999.Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin .edisi ketiga.Fakultas Kedokteran UI:Jakarta.
10. Murray, Rose Ann dkk. 2011. Mycobacterium leprae inhibits Dendritic Cell Activation
and Maturation. Available at : www.jimmunol.org . Cited on March 19th
11. Martodihardjo S, Susanto RS. 2003. Reaksi Kusta dan Penanganannya. In: Sjamsoe-Daili
ES, Menaldi SI, Ismanto SR, Nilasari Hanny, editors. Kusta. 2nd ed. Balai Penerbit FKUI
Jakarta; p.75-82.
12. Mansjoer, Arif dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aeusculapius FKUI.
2000; 74-75
13. Naafs B, Silva E, Vilani-Moreno F, Marcos E, Nogueira M, Opromolla D. 2001. Factors
influencing the development of leprosy: an overview. Int j Lepr Other Mycobact Dis; 69
(1): 26-33
14. Oke P, Ismiralda. 2011. Lepra (Morbus Hansen). SMF IK Kulit dan Kelamin Jurusan
Kedokteran FKIK UNSOED / RSUD Prof. dr. Margono Soekarjo. Purwokerto
15. Renault CA, Ernst JD. Mycobacterium leprae. In: Mandell GL, Bennett JE, Dolin R, eds. Principles and Practice of Infectious Diseases. 7th ed. Philadelphia, Pa: Elsevier Churchill Livingstone; 2009:chap 251.
16. Sanderson, Paul. 2002. How to Recognise and Manage Leprosy Reactions. London : The International Federation of Anti Leprosy Association (ILEP).
17. Shaw,Isaac N. Christian, M. Jesudasan, K. Kurian, Nisha , Rao, Geetha S. . Effectiveness of multidrug therapy in multibacillaryleprosy : a long term follow-up of 34 multibacillary leprosy patients treated with multidrug regimens till skin smear negativity. Schieffelin Leprosy Research & Training Centre, Karigiri, India. Lepr Rev (2003) 74, 141-147
18. Sjamsoe ,D., Emmi, S. 2003. Kusta. Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta
19. van Brakel WH, Khawas IB. 1994. Silent Neuropathy in Leprosy: An Epidemiological Description. Lepr Rev ; 65: 350-60.
20. World Health Organization. 2005. Global Leprosy Situation. Weekly Epidemiol Rec. Aug 26;80(34):289-95
.
.