referat.docx
TRANSCRIPT
REFERATRENAL TUBULAR ACIDOSIS
Disusun Oleh : Lucyana Chrisnawati (1061050156)
Pembimbing : DR.dr. Sahala Panggabean.Sp.PD. KGH
KEPANITERAAN ILMU PENYAKIT DALAM PERIODE 27 JULI -03 OKTOBER 2015
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIAJAKARTA
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Asidosis tubulus renalis merupakan penyakit yang jarang dijumpai, mempunyai manifestasi klinis
yang tidak spesifik. Gambaran klinis dapat berupa gangguan pertumbuhan, anoreksia, muntah,
konstipasi, diare, dehidrasi, dan poliuria.Penelitian retrospektif deskriptif terhadap pasien asidosis
tubulus renalis primer maupun sekunder dilakukan oleh Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM
Jakarta antara tahun 1975-1995. Selama 20 tahun didapatkan 12 kasus asidosis tubulus renalis yang
terdiri dari 6 anak laki-laki dan 6 perempuan. Usia saat diagnosis ditegakkan antara 4 bulan sampai
11 tahun, rerata 5 tahun 2 bulan. Asidosis tubulus renalis distal merupakan jenis yang paling sering
ditemukan yaitu 8 pasien, sedangkan asidosis tubulus renalis proksimal 4 pasien. Gangguan motorik
tungkai bawah merupakan keluhan utama yang paling sering ditemukan yaitu pada 9/12 pasien (7
pasien tidak dapat berjalan atau lumpuh dan 2 pasien dengan tulang bengkok dan fraktur). Muntah-
muntah disertai dehidrasi merupakan keluhan utama pada 2 pasien sedangkan gagal tumbuh pada 1
pasien. Malnutrisi didapatkan pada 10 pasien sedangkan gangguan pertumbuhan dengan tinggi
badan didapatkan pada 11 pasien. Sebagai kesimpulan, asidosis tubulus renalis merupakan penyakit
yang sangat jarang dengan manifestasi klinis yang tidak spesifik sehingga diagnosis seringkali
terlambat.Gangguan motorik tungkai bawah merupakan keluhan utama yang paling sering
ditemukan (1)
Asidosis tubulus renalis (ATR) adalah sindrom klinik yang disebabkan oleh ketidakmampuan ginjal
untuk menjaga perbedaan pH normal antara darah dan lumen tubulus ginjal. Gangguan yang terjadi
berupa gangguan reabsorbsi bikarbonat pada tubulus ginjal, gangguan ekskresi H+, atau keduanya
sehingga menyebabkan asidosis metabolik yang terus menerus (2). Diagnosis dini dan tata laksana
yang adekuat sangat penting untuk mencegah komplikasi seperti gagal tumbuh, nefrolitiasis, dan
gagal ginjal(2). ATR dapat dibedakan menjadi 4 tipe yaitu tipe I atau distal, tipe II atau proksimal, tipe
III atau hibrid, dan tipe IV atau ATR hiperkalemik (1,2).Asidosis tubulus renalis merupakan penyakit
yang jarang, pada penelusuran kepustakaan, belum ada penelitian tentang ATR pada anak di
Indonesia, selain laporan kasus. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh gambaran klinis asidosis
tubulus renalis di Bagian Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM. Dengan demikian diharapkan
kewaspadaan terhadap ATR akan meningkat sehingga diagnosis dan tata laksana dini yang adekuat
dapat dilakukan untuk mencegah timbulnya komplikasi.
Di Meksiko, melaporkan prevalensi RTA di Meksiko dengan 35 kasus / 10.000 penduduk. Namun,
metodologi diagnostik tidak disebutkan dan parameter biokimia dari pasien tidak ditampilkan. Di
Spanyol, dengan populasi 45 juta, hanya 50 kasus herediter RTA di tubulus ginjal telah dilaporkan
(3). Di sebagian besar negara-negara Eropa, kejadian ini juga langka. Studi genetik memperkirakan
rasio ~ 1 kasus / juta populasi di Inggris dan Perancis (3,4).Distal asidosis tubulus ginjal (dRTA)
disebabkan oleh mutasi gen SLC4A1 pengkodean erythroid dan ginjal isoform dari anion exchanger
1 (AE1 atau band 3) memiliki prevalensi tinggi di beberapa negara tropis, khususnya Thailand,
Malaysia, Filipina dan Papua Nugini (PNG). Penyakit ini hampir selalu resesif dan didapat hasil dari
mutasi baik SLC4A1 heterozigot homozigot atau senyawa. Meskipun RTA adalah perubahan yang
langka di seluruh dunia, dalam beberapa tahun terakhir tingkat yang mengkhawatirkan dari over-
diagnosis telah terjadi (3).Dalam berbagai jenis dan RTA kurangnya deteksi penyakit utama yang
menyebabkan RTA, serta kesalahan diagnostik.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
I. DEFINISI
Asidosis tubulus ginjal (RTA) adalah gangguan patofisiologi metabolisme asam-basa dicirikan
oleh adanya asidosis metabolik hiperkloremik disebabkan oleh hilangnya bikarbonat ginjal atau
berkurang ekskresi ion hidrogen tubulus ginjal (3).
Asidosis tubulus renalis (ATR) adalah sindrom klinik yang disebabkan oleh ketidakmampuan
ginjal untuk menjaga perbedaan pH normal antara darah dan lumen tubulus ginjal. Gangguan
yang terjadi berupa gangguan reabsorbsi bikarbonat pada tubulus ginjal, gangguan ekskresi H+,
atau keduanya sehingga menyebabkan asidosis metabolik yang terus menerus (1,2).
II. FISIOLOGI DAN PATOFISIOLOGI
Dalam manusia dewasa, 50-100 mmol H + yang dihasilkan setiap hari. Sumber utama asam
termasuk metabolisme asam amino seperti sistin, sistein, metionin, lisin, arginin, metabolisme
fosfolipid, glukosa dan asam lemak. Peran ginjal dalam menjaga keseimbangan asam-basa
normal dapat dibagi menjadi dua proses utama:
1.Penyerapan kembali HCO3-, yang berlangsung secara mendasar di tubulus proksimal, dan
2. Ekskresi proton (H +) dan amonium, yang terjadi di nefron distal (3).
Ginjal mengatur kesimbangan asam–basa cairan tubuh melalui proses reabsorbsi hasil filtrasi
HCO3- di TP, sekresi filtrasi HCO3 direabsorbsi di TP dan sisanya 10-20% di TD.3,4,8
sebanyak 85% ion H+ disekresi di TP, 10% di TD dan 5% di tubulus kolektifus (TK).7,8 Proses
sekresi ion H+ pada membran lumen TP berlangsung melalui penukar spesifik Na+ - H+
(NHE-3) dan transpor HCO3 - pada membran basolateral TP melalui kotranspor Na+- HCO3-
(NBC-1). CO2 dari darah memasuki sel tubulus dan bergabung dengan H2O membentuk
H2CO3 dengan bantuan katalisator soluble cytoplasmic carbonic anhydrase (CA II). H2CO3
selanjutnya berdisosiasi menjadi ion H+ dan HCO3-. Ion H+ disekresi secara aktif ke dalam
lumen tubulus bertukar dengan Na+ dan HCO3- menyeberang membran basolateral TP melalui
kotranspor pasif 1 Na+ - 3HCO3 -,5 kemudian direabsorbsi ke dalam darah melalui transpor
seluler aktif dan sedikit melalui difusi pasif sepanjang jalur paraseluler (5). Ion H+ yang
disekresi bereaksi dengan HCO3- membentuk H2CO3 luminal yang kemudian berdisosiasi
menjadi CO2 dan H2O dengan bantuan katalisator membrane-bound carbonic anhydrase lumen
(CA IV). CO2 selanjutnya bebas berdifusi kembali ke dalam sel tubulus untuk melanjutkan
siklus reabsorbsi Fungsi utama sel TP yang lain yaitu sintesis NH3 (NH4)dariglutamin yang
difasilitasi oleh ensim glutaminase dan fosfoenol piruvat karboksilase (5). Selama AM terjadi
stimulasi enzim CA II dan CA IV dan peningkatan enzim glutaminase dan fosfoenol piruvat
karboksilase.
Gambar 1. Skema reabsorpsi HCO3- di TP
Pengasaman urin berlangsung di nefron distal melalui 3 proses yang saling berkaitan yaitu
reabsorbsi 10-20% filtrat HCO3- yang lolos reabsorpsi proksimal, titrasi HPO42- menjadi
H2PO4- atau asam titrasi (AT), dan akumulasi NH3 intraluminal untuk mendapar ion H+
menjadi NH4+ yang tidak dapat berdifusi. Thick ascending limb of loop of Henle mereabsorbsi
sekitar 15% filtrat HCO3- yang serupa dengan mekanisme reabsorbsi proksimal melalui
pertukaran apikal (Na+ - H+) dan ikut berperan dalam transpor NH3. Absorbsi NH4 + di
membran apikal ansa Henle bertukaran dengan K+ melalui sistem kotranspor (Na+ K+ 2CL- )
dan sistem antipor (K+ - H+). Permeabilitas thick ascending limb medula rendah terhadap NH3
sehingga dapat membatasi difusi kembali NH3. 5NH4+ yang tidak diekskresi bersama urin
akan masuk ke dalam hepar melalui sirkulasi sistemik dan bergabung dengan HCO3-
membentuk urea.Gradien kadar NH4+ dibentuk dan diperbesar melalui arus balik sekresi NH4+
ke dalam TP dan mungkin juga ke dalam thin descending limb of loop of Henle. Akumulasi
NH3 di medula interstitial meningkatkan daya dorong difusi NH3 kedalam TK yang difasilitasi
oleh keasaman cairan tubulus yang tinggi. Gangguan produksi dan transpor NH3 (NH4+)
merupakan penyebab gangguan pengasaman urin distal. Diatur oleh sekresi ion H+ di TD dan
TK (sebagian dipengaruhi hormon mineralokortikoid) dan sekresi NH3 membentuk ion NH4+
dalam urin asam. Sekresi ion H+ berpasangan dengan reabsorpsi Na+ sehingga untuk satu ion
H+ yang disekresi, satu Na+ dansatu HCO3- akan direabsorbsi. Bila sekresi ion H+ melebihi
jumlah reabsorpsi HCO3,- kelebihan ion H+ akan didapat dalam cairan tubulus oleh anion
nonbikabonat Proses terutama terjadi di TD . Sekresi ion H+ dan titrasi dapar urin non-HCO3-
dapat menghasilkan pH urin asam serendah 4,5 dalam keadaan beban asam (5,6).
Gambar 2. Skema ekskresi ion H+ di TK korteks
III. KLASIFIKASI RTA
Berdasarkan patofisiologi, RTA telah diklasifikasikan menjadi tiga jenis: tipe 1 (distal)
DRTA, tipe 2 (proksimal) PRTA, dan tipe 4 RTA sekunder untuk hypoaldosteronism.
Kondisi tersebut baik sekunder, penyebab lain, atau primer, dengan atau tanpa cacat genetik
(1).
Tipe 1: Klasik distal RTA
Tipe ini disebabkan oleh gangguan pengasaman distal dan
ditandai dengan ketidakmampuan untuk menurunkan pH urin secara maksimal.Gangguan ini
dapat diwariskan sebagai gangguan primer atau mungkin salah satu gejala dari penyakit yang
mempengaruhi banyak bagian tubuh. mutasi pada gen
encoding ginjal transporter asam-basa telah diidentifikasi sebagai
penyebab cacat sekretorik diwariskan. Para peneliti sekarang telah menemukan bentuk
warisan gen abnormal. Bentuk yang diwariskan dari distal RTA meliputi tiga varian :
autosomal dominan dan resesif autosomal dengan atau tanpa tuli (1).
Autosomal dominan distal RTA telah ditemukan terkait dengan mutasi pada gen SLC4A1
encoding Cl-HCO3- pengganti AE1. AE1, membran glikoprotein integral, dominan
dinyatakan dalam eritrosit (eAE1) dan di ginjal (kAE1). Karena ekspresi AE1 dalam dua
jenis sel yang berbeda (sel darah merah dan sel tubular distal), mutasi SLC4A1 dapat
menghasilkan dua fenotipe yang berbeda: sferositosis herediter (atau, pada umumnya,
kelainan eritrosit) dan distal RTA (7).
Dasar kelainan ATGD ialah gangguan sekresi ion H+ distal, gangguan produksi dan ekskresi
NH4+, disertai gangguan ekskresi AT. Pembentukan NH4+ terjadi di TP dari hasil
metabolisme asam amino glutamin yaitu NH3+ glukosa+ CO2+ HCO3. Pada ATGD terjadi
gangguan pengasaman urin distal sehingga penderita tidak mampu menurunkan pH urin < 6,0
selama beban asam dan < 5,5 selama asidosis sistemik berat. Reabsorbsi HCO3- umumnya
normal tapi karena pH urin tinggi < 5% sampai15% HCO3- lolos dari reabsorpsi proksimal.
Pembuangan Na+ di urin bersama dengan HCO3- menyebabkan hipokalemia. Hipokalemia
pada ATGD biasanya lebih ringan pada ATGP karena pembuangan HCO3- dan Na+ pada
ATGD lebih sedikit dari pada ATGP (7).
Tipe 2: proksimal RTA
Proksimal RTA juga dapat dari hasil kelainan bawaan yang mengganggu kerusakan normal
tubuh dan penggunaan nutrisi. Proksimal RTA yang dihasilkan dari sindrom Fanconi sering
merupakan bagian dari sindrom sistemik. Pola pewarisan biasanya resesif autosomal dan
penyakit adalah cystinosis, tyrosinaemia, galaktosemia, sindrom Fanconi-Bickel dan lain-lain.
Bentuk lain dari proksimal RTA adalah salah satu yang dihasilkan dari mutasi pada gen yang
mengkodekan CaII. CaII terlokalisir di sel tubulus proksimal dan di sel α-diselingi dari
kumpulan meduler tubulus kortikal dan luar. Klinis, pasien datang dengan osteopetrosis,
kalsifikasi serebral dan keterbelakangan mental.
Autosomal dominan proksimal RTA pertama kali dijelaskan dalam keluarga Kosta Rika,
pasien disajikan dengan retardasi pertumbuhan dan osteomalacia. Baru-baru ini dijelaskan
keluarga kedua. Namun, gen yang terkait dengan presentasi klinis ini belum
teridentifikasi.Bukti terbaru menunjukkan bahwa kandidat kuat untuk proksimal RTA adalah
gen TASK (8).
ATGP disebabkan gangguan reabsorbsi HCO3- di TP sehingga ambang ginjal HCO3-
berkurang. Gangguan pada mekanisme penukar basolateral (Na+-H+) dan (Na+-HCO3-),
aktifitas Na+-K+-ATPase berkurang yang mengurangi gradien Na+ lumen ke sel, dan inhibisi
aktivitas enzim anhidrase karbonat dianggap sebagai penyebab gangguan reabsorpsi HCO3-
proksimal.Dalam keadaan normal, semua HCO3- direabsorbsi di sepanjang tubulus. Bila
kadar HCO3- plasma turun di bawah batas ambang ginjal tidak semua HCO3- direabsorbsi
dan yang tidak direabsorbsi akan keluar bersama urin. TP penderita ATGP hanya mampu
mereabsorbsi 60% dari seluruh filtrat HCO3- dan menyisakan 40% di TD.Kemampuan
maksimal reabsorbsi TD hanya 15%, jadi sisa 25% HCO3- akan dibuang bersama urin. Kadar
HCO3- plasma menurun bila HCO3- dibuang bersama urin. Pembuangan akan berhenti bila
kadar HCO3- turun di bawah batas ambang ginjal. Pada kadar ini (15-18 mEq/l), jumlah
filtrasi HCO3- dikurangi sesuai jumlah yang dapat direabsorbsi oleh TP. TD yang dibanjiri
HCO3- meningkatkan reabsorpsi Na+ yang bertukaran dengan K+ sehingga terjadi
hipokalemia. Kehilangan HCO3- bersama Na+ akibat hipovolemia CES merangsang
reabsorbsi Cl- yang mengkibatkan hiperkloremia dan merangsang sekresi aldosteron sehingga
ekskresi K+ meningkat yang juga menyebabkan hipokalemia.1,3.Kemampuan menurunkan
pH urin,dan NH4+ penderita ATGP tetap normal walaupun kadar HCO3- plasma turun di
bawah batas ambang ginjal. Dengan kata lain, tubulus mampu mereabsorbsi HCO3- dan
menurunkan pH urin < 5,5. Ekskresi asam berkurang karena banyak HCO3- dikeluarkan
bersama urin akan menyebabkan AM. Bila kadar HCO3- plasma menurun, AM akan
meningkat dan jumlah HCO3- yang difiltrasi dikurangi sampai batas kemampuan maksimal
reabsorbsi TD, selanjutnya pembuangan HCO3- berhenti dan pH urin diturunkan < 5,5. Jadi
pada penderita ATGP dengan AM ringan-sedang, pH urin disesuaikan > 5,5 dan penderita
dengan AM berat, pH urin akan diturunkan <5,5. Fungsi tubulus yang lain penderita ATGP
primer masih normal. Bila mungkin,identifikasi dan koreksi penyebab merupakan langkah
penting dalam mengobati bentuk yang diperoleh dari proksimal RTA. Diagnosis didasarkan
pada analisis kimia dari sampel darah dan urin. Anak-anak dengan gangguan ini kemungkinan
akan menerima dosis besar alkali ,seperti natrium bikarbonat atau kalium sitrat, untuk
mengobati asidosis dan mencegah gangguan tulang, batu ginjal, dan gagal tumbuh.
Mengoreksi asidosis dan kadar kalium yang rendah mengembalikan pola pertumbuhan
normal, yang memungkinkan untuk tulang sementara mencegah penyakit ginjal lebih lanjut.
Suplemen vitamin D mungkin juga diperlukan untuk membantu mencegah masalah tulang (5,6).
Tipe 4: Hiperkalemi RTA
Hiperkalemic RTA paling sering diamati pada anak dengan tipe pseudohypoaldosteronism 1
(PHA1). Hal ini dapat memiliki bentuk dominan atau resesif autosomal (3). Autosomal
dominan satu adalah gangguan ginjal ringan tanpa keterlibatan organ lain dan berhubungan
dengan mutasi pada gen reseptor mineralokortikoid (gen BMR). Autosomal resesif PHA1
berhubungan dengan cacat transportasi natrium tidak hanya di ginjal, tetapi juga pada organ
aldosteron-sasaran lainnya, seperti usus besar, paru-paru atau kelenjar ludah. Gejala yang
lebih jelas.
Pseudohypoaldosteronism tipe 2 (PHA2) atau sindrom Gordon, adalah penyebab lain yang
mewarisi tipe 4 RTA (autosomal dominan pola). Presentasi klinis termasuk hiperkalemia
dengan hipertensi. Kelainan dasar adalah karena mutasi pada gen dari dua isoform dari WNK
serin-treonin kinase, WNK4 dan WNK1 gen (3).
ATGH terjadi akibat defisiensi aldosteron atau resistensi TD terhadap aldosteron. Defisiensi
atau resistensi aldosteron terhadap TD akan menghambat reabsorpsi Na+ yang selanjutnya
mengurangi ekskresi K+ sehingga timbul hiperkalemia. Hiperkalemia menekan
amoniagenesis ginjal menyebabkan ekskresi ion NH4+ dan ekskresi asam berkurang dan
mengakibatkan AM hiperkalemik. Karena kelainan pengasaman urin terjadi akibat gangguan
amoniagenesis ginjal hanya ekskresi asam menurun subnormal karena ekskresi NH4+
berkurang sedangkan kemampuan pengasaman urin tetap normal. Jadi penderita ATGH
mampu menurunkan pH urin < 5,5 selama AM spontan atau induksi. Bila diberikan diet tinggi
K+ pada penderita ATGH, ekskresi NH4+ dan ekskresi asam akan berkurang disertai gejala
AM dan hiperkalemia nyata.3 urin pada kadar HCO3- plasma normal < 10% dari total filtrasi
(5).
IV. DIAGNOSIS
Semua jenis RTA dapat dicirikan oleh asidosis metabolik dengan kehadiran anion gap
normal dan kemudian, hyperchloremia. Langkah selanjutnya memerlukan evaluasi
kesenjangan anion urin (UAG). UAG (Na + + K + - Cl-) Dalam kondisi fisiologis, UAG positif
karena kehadiran sejumlah kecil anion tidak terukur (sulfat, fosfat). Dalam asidosis
metabolik setiap peningkatan ekskresi NH4 + disertai dengan peningkatan paralel di Cl-,
sehingga UAG lebih negatif. Terlepas dari pasien dengan proksimal RTA, yang lain hadir
dengan UAG positif (3,5).
Pada pasien dengan UAG pengukuran positif dari konsentrasi plasma K + akan menjadi
langkah berikutnya dalam diagnosis. Ketika pH urine lebih rendah dari 5,5, diagnosis
hyperkalemic RTA (tipe 4) dikonfirmasi (3,5).
V. PENGOBATAN
Tujuan pengobatan RTA tidak hanya untuk memperbaiki kelainan biokimia, tetapi juga
untuk meningkatkan pertumbuhan anak-anak dan untuk mencegah perkembangan
nefrokalsinosis dan penyakit ginjal kronis. Dasar terapi adalah untuk mengelola jumlah alkali
dalam bentuk sitrat bikarbonat (3).
pada hipokalemia berat, yang pertama harus diperbaiki kekurangan kalium dan kemudian
memperbaiki asidosis. Pengobatan alkalinizing dicapai dengan pemberian sitrat atau
bikarbonat sehingga produksi ion hidrogen endogen dikompensasi dan bikarbonat darah
meningkat sesuai tingkat normal. Suplementasi alkali, yang berguna untuk koreksi asidosis
dan mempertahankan ekskresi Ca+ pada kadar HCO3- plasma normal,4 tetap diberikan
sampai tercapai pertumbuhan normal.3 Dosis alkali dalam bentuk Nabik atau Kabik adalah 2
mEq/kg/hari4 sampai 10 mEq/kg/hari selama tahun pertama. Dengan dosis demikian
diharapkan kecepatan pertumbuhan meningkat sesudah 2-3 minggu pengobatan. Dosis alkali
dikurangi progresif sampai 2-3 mEq/kg/hari menjelang umur 6 tahun4 atau dosis pengobatan
awal diteruskan sampai anak berumur 4-5 tahun kemudian dilanjutkan dengan dosis rumatan
1-2 mEq/kg/hari karena kehilangan HCO3 sudah berkurang (5).Selain pengobatan
alkalinizing, pasien dengan sindrom Fanconi sekunder untuk cystinosis harus menerima
phosphocysteamine, fosfat dan vitamin D. Demikian pula, anak-anak dengan rakhitis dan
hypophosphatemia harus menerima suplemen kalsium, vitamin D dan fosfat. Dalam kasus
tipe 4 RTA (hiperkalemia), penggunaan solusi alkalinizing tanpa kalium dianjurkan.
Pengobatan dengan mineralokortikoid mungkin diperlukan (3).Dalam beberapa kasus dengan
sulit untuk mengontrol hiperkalemia, penggunaan diuretik atau resin pertukaran kation
seperti Resincalcio® yang bertukar kalsium untuk kalium dalam lumen usus, serta
Kayexalate® yang bertukar natrium kalium juga dalam usus, mungkin diperlukan.
Penggunaan formulasi yang menggabungkan natrium sitrat dengan kalium sitrat pada dosis
yang lebih rendah dari masing-masing komponen adalah sering seperti solusi sitrat
Trycitrate® atau Polycitra® karena kalium sitrat pada dosis tinggi mungkin menjadi iritasi
pada saluran pencernaan mukosa. Juga, sitrat seperti solusi Shohl dapat diberikan, yang tidak
mengandung kalium, atau sitrat kristal. Pemberian agen alkalinizing dianjurkan setelah
menelan makanan. Diminum dengan air atau cairan lainnya seperti susu atau jus, itu lebih
baik ditoleransi. Efek samping yang paling umum pengobatan adalah gastrointestinal
termasuk kembung, sakit perut, mual, muntah, dan diare. Garam kalium tidak boleh
diresepkan dengan adanya insufisiensi adrenal (penyakit Addison), sudah ada hiperkalemia,
anuria atau pada pasien dengan gagal jantung karena meningkatkan risiko toksisitas serta
penggunaan obat lain yang menyebabkan peningkatan plasma kalium seperti diuretik hemat
kalium (spironolactone, eplerenone dan amilorid), ACE inhibitor seperti captopril dan
lisinopril, dan angiotensin receptor blocker (losartan) (3,5).
Dalam beberapa kasus hiperkalsiuria dan Hipositraturia sulit untuk memperbaiki bahkan
setelah koreksi asidosis; Oleh karena itu, hydrochlorothiazide dengan dosis 0,5-1 mg / kg /
hari dalam dosis terbagi setiap 12 jam dianjurkan. Dengan ukuran ini, penurunan volume dari
ruang ekstraselular dicapai serta peningkatan penyerapan kembali kalsium di tubulus
proksimal. Efek samping dari pengobatan termasuk hipotensi, hiponatremia, hiperglikemia,
dan hipokalemia. Dalam hal makanan, dianjurkan untuk meningkatkan asupan buah dan
sayuran, yang memberikan diet alkalinizing (3,5).
DAFTAR PUSTAKA
1. Pardede SO, Tribono PP, Tambunan Taralan. Gambaran Klinis Asidosis Tubulus Renalis Pada
Anak. Sari Pediatri, Vol 4, N0.4.2003:192-197
2. Rodriquez-Soriano J. New insights into pathogenesis of renal tubular acidosis from functional to
molecular studies. Pediatr Nephrol 2000; 14:1121-36.
3. Domingo CJ. Renal Tubular Acidosis. Nutrition in Health and Disease 2 : Philippines. University
of the Philippines.2014.1-14.
4. García de la Puente, S. Acidosis tubular renal. Acta Pediatr Mex.27.2006:268-278.
5. Albar Husein. Asidosis Tubular Ginjal Pada Anak. Makassar. Majalah Kedokteran Indonesia,
Vol 55, No 2. 2005
6. Rodriquez J, Soriano JR. New insights into the pathogenesis of RTA from functional to
molecular studies. Pediat.Nephrol 2000;14:1121-36.
7. Pereira PCB, Miranda DM, Oliveira EA, Simoes e Silva AC (2009).Molecular pathophysiology
of renal tubular acidosis. Current Genomics 10: 51–59.
8. Katzir Z, Dinour D, Reznik-Wolf H, Nissenkorn A, Holtzman E.(2008). Familial pure proximal
renal tubular acidosis — a clinical and genetic study. Nephrol Dial Transplant 23: 1211–1215.