referensi antijamur

40
Sari Pustaka Stasi : Divisi rawat inap Nama : dr. Fifa Argentina Pembimbing : dr. M. Izazi Hari Purwoko, Sp.KK dan DR.dr.H.M. Athuf Thaha, Sp.KK(K) Pemandu : dr. M. Izazi Hari Purwoko, Sp.KK Tempat/waktu : Ruang Ilmiah Departemen IKKK Jum’at, 18 Juni 2010 pukul 08.00 WIB OBAT ANTIJAMUR Fifa Argentina Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK UNSRI/RSUP Dr.Moh. Hoesin Palembang PENDAHULUAN Infeksi jamur pada kulit, rambut dan kuku adalah masalah infeksi yang umum ditemui sehari-hari. Infeksi jamur sering disebut mikosis, dapat dibagi menjadi mikosis superfisialis, mikosis subkutan dan mikosis sistemik. Mikosis superfisialis biasanya menyerang kulit, rambut, dan kuku. Mikosis subkutan menyerang otot dan jaringan ikat dibawah kulit, sedangkan mikosis sistemik melibatkan organ tubuh baik secara primer maupun oportunistik. 1,2 Kondisi sosial ekonomi dan budaya lokal dapat mempengaruhi prevalensi infeksi. 3 Data kunjungan pasien rawat jalan selama tiga tahun (Perioda 2006 - 2008) ke Divisi Infeksi Tropik Poliklinik RSUPMH Palembang menunjukkan dermatomikosis merupakan penyebab penyakit kulit terbanyak, dengan frekuensi dermatofitosis 3.134 orang (39%), non dermatofitosis 1.815 orang (21,6%) dari 8.374 kunjungan pasien. Penelitian mengenai obat antijamur saat ini telah mengalami perkembangan pesat. Klasifikasi obat antijamur berdasarkan cara penggunaannya dibagi atas obat antijamur topikal dan sistemik. 4,5 Penggunaan obat antijamur topikal diindikasikan pada infeksi jamur dengan area yang terbatas dan pasien yang memiliki kontraindikasi penggunaan antijamur sistemik. Antijamur sistemik diberikan pada mikosis superfisialis, mikosis subkutan dan sistemik. 6,7 Sedangkan bila berdasarkan tempat kerja, obat antijamur saat ini dibagi menjadi empat golongan utama yaitu polien, azol, alilamin dan ekinokandin. Terdapat juga obat

Upload: dinnadinun

Post on 02-Jan-2016

38 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: referensi antijamur

Sari PustakaStasi : Divisi rawat inapNama : dr. Fifa ArgentinaPembimbing : dr. M. Izazi Hari Purwoko, Sp.KK dan DR.dr.H.M. Athuf Thaha, Sp.KK(K)Pemandu : dr. M. Izazi Hari Purwoko, Sp.KKTempat/waktu : Ruang Ilmiah Departemen IKKK

Jum’at, 18 Juni 2010 pukul 08.00 WIB

OBAT ANTIJAMURFifa Argentina

Bagian/Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan KelaminFK UNSRI/RSUP Dr.Moh. Hoesin Palembang

PENDAHULUAN

Infeksi jamur pada kulit, rambut dan kuku adalah masalah infeksi yang umum ditemui

sehari-hari. Infeksi jamur sering disebut mikosis, dapat dibagi menjadi mikosis superfisialis,

mikosis subkutan dan mikosis sistemik. Mikosis superfisialis biasanya menyerang kulit,

rambut, dan kuku. Mikosis subkutan menyerang otot dan jaringan ikat dibawah kulit,

sedangkan mikosis sistemik melibatkan organ tubuh baik secara primer maupun

oportunistik.1,2

Kondisi sosial ekonomi dan budaya lokal dapat mempengaruhi prevalensi infeksi.3

Data kunjungan pasien rawat jalan selama tiga tahun (Perioda 2006 - 2008) ke Divisi Infeksi

Tropik Poliklinik RSUPMH Palembang menunjukkan dermatomikosis merupakan penyebab

penyakit kulit terbanyak, dengan frekuensi dermatofitosis 3.134 orang (39%), non

dermatofitosis 1.815 orang (21,6%) dari 8.374 kunjungan pasien.

Penelitian mengenai obat antijamur saat ini telah mengalami perkembangan pesat.

Klasifikasi obat antijamur berdasarkan cara penggunaannya dibagi atas obat antijamur topikal

dan sistemik. 4,5 Penggunaan obat antijamur topikal diindikasikan pada infeksi jamur dengan

area yang terbatas dan pasien yang memiliki kontraindikasi penggunaan antijamur sistemik.

Antijamur sistemik diberikan pada mikosis superfisialis, mikosis subkutan dan sistemik.6,7

Sedangkan bila berdasarkan tempat kerja, obat antijamur saat ini dibagi menjadi

empat golongan utama yaitu polien, azol, alilamin dan ekinokandin. Terdapat juga obat

Page 2: referensi antijamur

antijamur yang tidak termasuk kelompok di atas seperti flusitosin, griseofulvin dan sebagian

obat antijamur topikal lainnya. 8,9,10

Beberapa faktor yang menjadi pertimbangan dalam memberikan terapi infeksi jamur

adalah luas dan derajat keparahan infeksi, lokasi yang terserang jamur, kondisi komorbiditas,

potensi kemungkinan interaksi obat, biaya dan akses untuk mendapatkan obat antijamur serta

kemudahan pemakaian obat.4

Sari pustaka ini membahas tentang mekanisme kerja, aktifitas spektrum,

farmakokinetik, efek samping maupun interaksi obat antijamur. Diharapkan sari pustaka ini

dapat menjadi dasar dalam penatalaksanaan infeksi jamur.

MEKANISME KERJA OBAT ANTIJAMUR

Saat ini difahami bahwa obat antijamur memiliki 3 titik tangkap pada sel jamur

(Gambar 1 dan 2). Target pertama pada sterol membran plasma sel jamur, kedua

mempengaruhi sintesis asam nukleat jamur, ketiga bekerja pada unsur utama dinding sel

jamur yaitu kitin, β glukan, dan mannooprotein.

Kebanyakan obat antijamur sistemik bekerja secara langsung (seperti golongan

polien) pada sterol membran plasma, dan bekerja secara tidak langsung (seperti golongan

azol). Sedangkan golongan ekinokandin secara unik bekerja pada unsur utama dinding sel

β1,3 glukan.

1. Sterol membran plasma : ergosterol dan sintesis ergosterol

Ergosterol adalah komponen penting yang menjaga integritas membran sel jamur

dengan cara mengatur fluiditas dan keseimbangan dinding membran sel jamur. Kerja

obat antijamur secara langsung (golongan polien) adalah menghambat sintesis

ergosterol dimana obat ini mengikat secara langsung ergosterol dan channel ion di

membran sel jamur, hal ini menyebabkan gangguan permeabilitas berupa kebocoran

ion kalium dan menyebabkan kematian sel. Sedangkan kerja antijamur secara tidak

langsung (golongan azol) adalah mengganggu biosintesis ergosterol dengan cara

mengganggu demetilasi ergosterol pada jalur sitokrom P450 (demetilasi prekursor

ergosterol).(Gambar 3)9

2. Sintesis asam nukleat

2

Page 3: referensi antijamur

Kerja obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat adalah dengan cara

menterminasi secara dini rantai RNA dan menginterupsi sintesis DNA. Sebagai contoh

obat antijamur yang mengganggu sintesis asam nukleat adalah 5 flusitosin (5 FC),

dimana 5 FC masuk ke dalam inti sel jamur melalui sitosin permease. Di dalam sel

jamur 5 FC diubah menjadi 5 fluoro uridin trifosfat yang menyebabkan terminasi dini

rantai RNA. Trifosfat ini juga akan berubah menjadi 5 fuoro deoksiuridin monofosfat

yang akan menghambat timidilat sintetase sehingga memutus sintesis DNA.9

3. Unsur utama dinding sel jamur : glukans

Dinding sel jamur memiliki keunikan karena tersusun atas mannoproteins, kitin,

dan α dan β glukan yang menyelenggarakan berbagai fungsi, diantaranya menjaga

rigiditas dan bentuk sel, metabolisme, pertukaran ion pada membran sel. Sebagai

unsur penyangga adalah β glukan. Obat antijamur seperti golongan ekinokandin

menghambat pembentukan β1,3 glukan tetapi tidak secara kompetitif. Sehingga

apabila β glukan tidak terbentuk, integritas struktural dan morfologi sel jamur akan

mengalami lisis.(Gambar 1)9

3

Page 4: referensi antijamur

Gambar 1. Target kerja antijamur pada dinding sel jamur 7

*Dalam penelitian †Potensial target

‡ Obat yang tersedia

Gambar 2. Titik tangkap obat antijamur9

GOLONGAN OBAT ANTIJAMUR SISTEMIK

KELOMPOK ANTIJAMUR AZOL

Diperkenalkan untuk pertama kalinya pada tahun 1944, antijamur azol berperanan

penting dalam penatalaksanaan infeksi jamur. Kelompok azol dapat dibagi menjadi dua

kelompok berdasarkan jumlah nitrogen pada cincin azol. Kelompok imidazol (ketokonazol,

4

Sintesis dinding sel * Ekinokandin, pneumokandin dan papulokandins; menghambat sintesis glukan.

*Polyxins dan nikkomycin; menghambat sintesis kitin

Fungsi membran ‡ Polien ; mengikat ergosterol Peptida antimikrobial : defensins,

protegrins, gallinacini, cecropins A, thanatin dan dermaseptins

† Pradimicins dan benanomicins : mengikat mannoproteins dan menyebabkan gangguan calcium-dependent pada permebilitas membran

Sintesis ergosterol ‡ Azol; menghambat sitokrom P 450-dependent 14-α-demethylase

‡ Allylamines (naftifin dan terbinafin) dan thiocarbamate (tolnaftaf); menghambat squalene epoxidase

†Morpholine (amorolfine); menghambat ∆14-reductase, ∆7, ∆8-isomerase, oxido-squalan cyclase, dan ∆24 methyltransferase

Inti ‡ griseofulvin

Sintesis asam nukleat ‡5-fluorocytosine, Sordarins : miscoding RNA dan menghambat thymidylate synthesis

Cispentacin derivates

Page 5: referensi antijamur

mikonazol, dan klotrimazol) terdiri dari dua nitrogen dan kelompok triazol (itrakonazol,

flukonazol, varikonazol, dan posakonazol) mengandung tiga nitrogen.11,12 Kedua kelompok

ini memiliki spektrum dan mekanisme aksi yang sama. Triazol dimetabolisme lebih lambat

dan efek samping yang sedikit dibandingkan imidazol, karena keuntungan itulah para peneliti

berusaha mengembangkan golongan triazol daripada imidazol. 8

Mekanisme kerja obat golongan azol

Gambar 3. Mekanisme biosintesis ergosterol dan mekanisme kerja berberapa obat antijamur terhadap biosintesis ergosterol12

Pada umumnya golongan azol bekerja menghambat biosintesis ergosterol yang

merupakan sterol utama untuk mempertahankan integritas membran sel jamur. Bekerja

dengan cara menginhibisi enzim sitokrom P 450, C-14-α-demethylase yang bertanggung

jawab merubah lanosterol menjadi ergosterol, hal ini mengakibatkan dinding sel jamur

menjadi permeabel dan terjadi penghancuran jamur. 7,13

1. Ketokonazol

5

Page 6: referensi antijamur

Ketokonazol diperkenalkan tahun 1970 merupakan antijamur golongan imidazol

pertama yang diberikan secara oral. Ketokonazol tidak lagi digunakan sebagai lini pertama

untuk pengobatan infeksi dermatofitosis atau kandidiasis.5

Gambar 4 . Struktur kimia ketokonazol5

Aktivitas spektrum

Ketokonazol mempunyai spektrum yang luas dan efektif terhadap Blastomyces

dermatitidis, Candida species, Coccidiodes immitis, Histoplasma capsulatum, Malasezzia

furfur, Paracoccidiodes brasiliensis. Ketokonazol juga efektif terhadap dermatofit tetapi tidak

efektif terhadap Aspergillus spesies dan Zygomycetes.10

Farmakokinetik

Absorpsi peroral tiap individu bervariasi.Setelah pemberian peroral dosis 200,400, dan

800 mg, konsentrasi puncak plasma sekitar 4, 8, 20 µg/ml. Waktu paruh tergantung dari

peningkatan dosis sekitar 7-8 jam pada dosis 800 mg. Konsentrasi zat aktif dalam urin

sangat rendah. Di dalam darah, 84% ketokonazol terikat dalam plasma protein; 15% terikat

pada eritrosit; dan 1% dalam bentuk bebas. Ketokonazol mencapai keratinosit secara efisien,

dan konsentrasi pada cairan di vagina sama dengan di plasma. Konsentrasi dalam cairan

serebrospinal (CSF) pada pasien meningitis jamur kurang dari 1% dari total konsentrasi obat

di plasma.10

Pemberian bersama dengan obat yang menginduksi enzim mikrosomal hepatik seperti

rifampisin, dan isoniazid, dapat menurunkan 50% absorpsi ketokonazol. Konsentrasi

ketokonazol dapat meningkat dalam plasma apabila diberikan bersama dengan siklosporin,

midazolam, triazolam, indinavir, dan fen itoin karena obat tersebut dimetabolisme oleh enzim

sitokrom p 450 CYP3A4.8 Makanan dapat menurunkan konsentrasi ketokonazol dalam serum,

maka preparat ini lebih baik diberikan dalam kondisi perut kosong.7

6

Page 7: referensi antijamur

Dosis

Dosis ketokonazol yang diberikan pada dewasa 400 mg/hari sedangkan dosis untuk

anak-anak 3,3-6,6 mg/kgBB dosis tunggal. Lama pengobatan untuk tinea korporis dan tinea

kruris selama 2-4 minggu, 5 hari untuk kandida vulvovaginitis, 2 minggu untuk kandida

esofagitis, tinea versikolor selama 5-10 hari, 6-12 bulan untuk mikosis dalam.10

Efek samping

Anoreksia, mual dan muntah merupakan efek samping yang sering dijumpai terjadi

pada 20% pasien yang mendapat dosis 400 mg/hari. Pemberian pada saat menjelang tidur atau

dalam dosis terbagi dapat mengatasi keadaan ini. Alergi dapat terjadi pada 4% pasien, dan

gatal tanpa rash terjadi sekitar 2% pada pasien yang diterapi ketokonazol.10

Ketokonazol dapat menginhibisi biosintesis steroid, seperti halnya pada jamur.

Peninggian transaminase sementara dapat terjadi pada 5-10% pasien. Untuk pengobatan

jangka waktu yang lama, dianjurkan dilakukan pemeriksaan fungsi hati. Hepatitis drug

induced dapat terjadi pada beberapa hari pemberian terapi atau dapat terjadi berbulan-bulan

setelah pemberian terapi ketokonazol. Ketokonazol dosis tinggi (>800 mg/hari) dapat

menghambat human adrenal synthetase dan testicular steroid yang dapat menimbulkan

alopesia, ginekomastia dan impoten.10

Interaksi obat

Konsentrasi serum ketokonazol dapat menurun pada pasien yang mengkonsumsi obat

yang menurunkan sekresi asam lambung antasida, antikolinergik dan H2 antagonis sehingga

sebaiknya obat ini diberikan setelah 2 jam pemberian ketokonazol. Ketokonazol dapat

memperpanjang waktu paruh terfenadin, astemizol dan cisaprid sehingga tidak diberikan

bersamaan dan juga dapat menimbulkan efek samping kardiovaskuler seperti pemanjangan

Q-T interval dan torsade de pointes.10

Ketokonazol juga dapat memperpanjang waktu paruh dari midazolam dan triazolam

dan dapat meningkatkan kadar siklosporin dan konsentrasi serum dari warfarin. Pemberian

ketokonazol dan rifampisin secara bersamaaam dapat menurunkan efektifitas kedua obat.9,10

2. Itrakonazol

7

Page 8: referensi antijamur

Itrakonazol diperkenalkan pada tahun 1992 merupakan sintesis derivat triazol.

Digunakan sebagai lini pertama untuk infeksi yang disebabkan Candida dan spesies

nondermatofita lainnya.5

Gambar 5 . Struktur Itrakonazol 5

Aktivitas spektrum

Itrakonazol mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap Aspergillosis sp.,

Blastomyces dermatidis, Candida sp., Cossidiodes immitis, Cryptococcus neoformans,

Histoplasma capsulatum, Malassezia furfur, Paracoccidiodes brasiliensis, Scedosporium

apiospermum dan Sporothrix schenckii. Itrakonazol juga efektif terhadap dematiaceous

mould dan dermatofita tetapi tidak efektif terhadap Zygomycetes.10

Farmakokinetik

Konsentrasi itrakonazol di dalam serum dipengaruhi oleh makanan dan asam

lambung. Absorpsi itrakonazol tidak begitu sempurna pada saluran gastrointestinal (55%)

tetapi absorpsi tersebut dapat ditingkatkan jika itrakonazol dikonsumsi bersama makanan.

Pemberian oral dengan dosis tunggal 100 mg, konsentrasi puncak plasma akan mencapai 0,1-

0,2 mg/L dalam waktu 2-4 jam. 5,10

Itrakonazol didistribusikan ke kulit melalui difusi pasif dari plasma menuju keratinosit

dimana obat melekat di keratin. Itrakonazol dapat ditemukan dalam keringat sampai 24 jam

setelah pemberian dosis awal. Eksresi terbanyak itrakonazol melalui sebum. Sejumlah kecil

itrakonazol didistribusikan kembali dari kulit dan ke plasma, selanjutnya itrakonazol

dieliminasi melalui stratum korneum. Kurang dari 0,03% dari dosis itrakonazol akan dieksresi

di urin tanpa mengalami perubahan tetapi lebih dari 18% akan dibuang melalui feces tanpa

mengalami perubahan. Itrakonazol dimetabolisme di hati oleh sistem enzim hepatik sitokrom

P-450. Kebanyakan metabolit yang tidak aktif akan dieksresi oleh empedu dan urin.

Metabolit utamanya yaitu hidroksitrakonazol yang merupakan suatu bioaktif. Itrakonazol

8

Page 9: referensi antijamur

masih ditemukan pada stratum korneum selama 3-4 minggu setelah penghentian terapi. Pada

model in vivo, efek terapi itrakonazol pada stratum korneum masih ada untuk 2-3 minggu

setelah terapi dihentikan.8

Dosis

Itrakonazol dosis kontinyu sama efektif dengan dosis pulse. Pada onikomikosis kuku

tangan, pulse terapi diberikan selama 2 bulan, sedangkan onikomikosis kuku kaki selama 3

bulan. Itrakonazol merupakan obat kategori C, sehingga tidak direkomendasikan untuk wanita

hamil dan menyusui, karena dieksresikan di air susu. Itrakonazol tersedia juga dalam bentuk

kapsul 100 mg. Bentuk kapsul diberikan dalam kondisi lambung penuh untuk absorpsi

maksimal, karena cyclodextrin yang terdapat dalam bentuk ini sering menimbulkan keluhan

gastrointestinal.5,8

Tabel 1. Rejimen dosis itrakonazol5

Dewasa Anak-anakOnikomikosis Kuku tangan : 200 mg 2xsehari 1

minggu/bulan , 2 dosis pulseKuku kaki : 200 mg/harix12 mingguAtau200 mg 2xsehari x 1minggu/bulan, 3 dosis pulse

Kuku tangan : 5 mg/kg/hari x 1 minggu/bulan, 2 dosis pulsea

Kuku kaki : 5 mg/kg/hari x 1 minggu/bulan, 3 dosis pulse

Tinea kapitis 250 mg/hari x 2-8 minggu Infeksi Trichophyton : 5 mg/kg/hari x 2-4 mingguInfeksi Mikrosporum : 5 mg/kg/hari x 4-8 minggu

Tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis

200 mg 2xseharix1 minggu Dosis berdasarkan berat x 1-4 minggu

Pitiriasis versikolor 200 mg/hari x 5-7 hari, untuk pencegahan rekuren dengan 200 mg 2xsehari dosis tunggal/bulan

Tidak ada penelitian

a Dosis pediatrik berdasarkan berat badan : 100 mg/hari (15-30 mg), 100 mg/hari dapat diganti dengan 200 mg/hari (30-40 kg), 200mg/hari (> 50 kg)

Efek samping

Efek samping yang sering dijumpai adalah masalah gastrointestinal seperti mual, nyeri

abdomen dan konstipasi. Efek samping lain seperti sakit kepala, pruritus, dan ruam alergi.

Penelitian efek samping itrakonazol oleh Sharkey dkk., tahun 1991 terhadap 189

pasien yang mendapat dosis 50-400 mg per hari, melaporkan bahwa mual dan muntah

(10%), hipertrigliseridemia (9%) hipokalemia (6%), peningkatan serum aminotransferase

(5%), rash (2%) dan efek samping lain (39%). Ditemukannya hipokalemia pada pasien yang

9

Page 10: referensi antijamur

menerima dosis itrakonazol 600 mg perhari yang dikombinasi dengan pemberian jangka

panjang Amfoterisin B. Efek samping lain meliputi insufisiensi adrenal, edema tungkai

bawah, hipertensi, dan pada satu pasien mengalami rhabdomyolisis. Dosis di atas 400 mg

perhari tidak direkomendasikan untuk pemberian jangka panjang.10

Interaksi obat

Absorpsi itrakonazol akan berkurang jika diberikan bersama dengan obat yang dapat

menurunkan sekresi asam lambung seperti antasida, H2 antagonis, omeprazol dan

lansoprazol.9

Itrakonazol merupakan suatu inhibitor dari sistem hepatik sitokrom P 450-3A4

sehingga pemberian bersama obat lain yang metabolismenya melalui sistem tersebut dapat

meningkatkan konsentrasi azol. Itrakonazol dapat memperpanjang dari waktu paruh paruh

obat terfenadin, astemizol, midazolam, triazolam, lovastatin, simvastatin, cisaprid, pimozid,

quinidin. Itrakonazol juga dapat meningkatkan konsentrasi serum digoksin, siklosporin

takrolimus, dan warfarin.9,10

3. Flukonazol

Flukonazol merupakan suatu hidrofilik dari sintetik triazol, terdapat dalam bentuk oral

dan parenteral. Ditemukan pada tahun 1982 dan diperkenalkan pertama kali di Eropa lalu di

Amerika Serikat. Bersifat fungistatik dan efektif melawan yeast (kecuali Candida krusei).5

Mekanisme kerja

Flukonazol mempunyai mekanisme kerja yang sama dengan triazol lain yaitu

merupakan suatu inhibitor poten terhadap biosintesis ergosterol, bekerja dengan menghambat

sistem enzim sitokrom P-450 14-α-demethylase dan bersifat fungistatik.5

Gambar 6. Struktur Flukonazol5

10

Page 11: referensi antijamur

Aktifitas spektrum

Menurut FDA flukonazol efektif untuk mengatasi kandidiasis oral atau esophageal,

criptococcal meningitis dan pada penelitian lain dinyatakan efektif pada sporotrikosis

(limfokutaneus dan visceral).8

Farnakokinetik

Absorpsi paling baik (>90%) setelah makan dan keadaan perut terisi dan tidak

tergantung dari keasaman lambung. Flukonazol memiliki waktu paruh 25-30 jam, dan

mencapai kadar tetap setelah pemberian sekali sehari selama 7 hari. Flukonazol berikatan

lemah pada protein plasma dan sekitar 90% obat bersirkulasi bebas di dalam plasma. Sekitar

80% obat dieksresikan melalui urin, 2 % feses, dan 11 % dalam bentuk metabolit di urin.5

Kadar flukonazol di dalam CSF, saliva, jaringan vagina, sputum, kulit dilaporkan

sebanding dengan konsentrasi dalam plasma. Gangguan farmakokinetik flukonazol berupa

penurunan plasma klirens ditemukan pada pasien dengan sirosis dan gagal ginjal. Pada bayi

di bawah 3 bulan , flukonazol klirens lebih cepat dibandingkan pada orang dewasa.5

Dosis

Flukonazol digunakan sebagai lini pertama terapi kandidiasis mukotan.5 Pada pediatrik

digunakan untuk terapi tinea kapitis yang disebabkan Tinea tonsurans dengan dosis 6

mg/kg/hr selama 20 hari, dan 5 mg/kg/hr selama 30 hari. Tetapi diberikan lebih lama pada

infeksi Mycoplasma canis.5

Flukonazol tersedia sediaan tablet 50 mg, 100 mg, 150 mg, dan 200mg; sediaan oral

solusio 10 mg/ml dan 40 mg/ml dan dalam bentuk sediaan intravena. Direkomendasikan pada

anak-anak <6 bulan.5

Penggunaan untuk orang dewasa dan kandidiasis vagina adalah 150 mg dosis tunggal.

Pada kandidiasis vulvovaginal rekuren 150 mg tiap minggu selama 6 bulan atau lebih. Tinea

pedis dengan 150 mg tiap minggu selama 3-4 minggu, dengan 75% perbaikan pada minggu

ke-4. Pada terapi onikomikosis, terbinafin 250 mg sehari selama 12 minggu lebih utama

dibandingkan flukonazol 150 mg tiap minggu selama 24 minggu. Pada pitiriasis versikolor

11

Page 12: referensi antijamur

digunakan 400 mg dosis tunggal. Pada suatu penelitian open label randomized meneliti

pitiriasis versikolor yang diterapi dengan 400 mg flukonazol dosis tunggal dibandingkan

dengan 400 mg itrakonazol, ternyata flukonazol lebih efektif dibandingkan itrakonazol

dengan dosis sama.5

Flukonazol ditoleransi baik oleh geriatrik kecuali dengan gangguan ginjal. Obat ini

termasuk kategori C, sehingga tidak direkomendasikan untuk wanita hamil dan menyusui.5

Efek samping

Efek samping yang sering adalah masalah gastrointestinal seperti mual, muntah, diare,

nyeri abdomen dan juga sakit kepala. Selain itu hipersensitivitas, agranulositosis, sindroma

Stevens Johnsons, hepatotoksik, trombositopenia dan efek pada sistem saraf pusat.5

Interaksi obat

Flukonazol dapat meningkatkan efek atau kadar dari obat astemizol, amitriptilin,

kafein, siklosporin, fenitoin, sulfonylurea, terfenadin, teofilin, warfarin, simetidin,

hidroklortiazid dan zidofudin. Pemberian bersama flukonazol dengan cisapride ataupun

terfenadin merupakan kontraindikasi oleh karena dapat menimbulkan disritmia jantung yang

serius dan torsade de pointes. 9 Flukonazol juga dapat berinteraksi dengan tolbutamid, glipizid

yang menimbulkan efek hipoglikemia.

Kadar atau efek flukonazol dapat menurun jika diberikan bersama karbamazepin,

isoniazid, fenobarbital, rifabutin dan rifampisin.10

4. Varikonazol

Varikonazol merupakan triazol generasi kedua berupa turunan flukonazol dan tersedia

dalam bentuk oral maupun parenteral. Merupakan derivat flukonazol.14

12

Gambar 7. Struktur varikonazol14

Page 13: referensi antijamur

Mekanisme kerja

Varikonazol merupakan inhibitor poten terhadap biosintesis ergosterol, bekerja pada

enzim sitokrom p-450, lanosterol 14-α- demethylase. Hal ini menyebabkan berkurangnya

ergosterol dan penumpukan methilat sterols yang mengakibatkan rusaknya struktur dan fungsi

membran jamur.14

Aktifitas spektrum

Varikonazol mempunyai spektrum yang luas terhadap Aspergillus sp., Blastomyces

dermatitidis, Candida sp, Candida spp flukonazol resistant., Cryptococcus neoforams,

Fusarium sp., Histoplasma capsulatum, dan Scedosporium apospermum. Tidak efektif

terhadap Zygomycetes.9

Farmakokinetik

Vorikonazol tersedia dalam bentuk tablet dan sediaan intravena (dalam bahan

pembawa sulfobutyl betadex sodium) dengan pemberian dua kali sehari. Bioavailabilabilitas

oral vorikonazol sebesar 96% dan 56% terikat dengan protein. Asam lambung dapat

menghambat absorpsi vorikonazol.15 Konsentrasi maksimal pada plasma terjadi dua jam

setelah pemberian oral.14 Vorikonazol dapat mencapai cairan serebrospinal dengan konsentrasi

1-3 μg/ml dengan waktu paruh enam jam dalam darah.10

Dosis

Pemberian pada kandidiasis esofageal dimulai dengan dosis oral 200 mg setiap 12 jam

untuk berat badan > 40 kg dan 100 mg setiap 12 jam untuk berat badan < 40 kg. Untuk

aspergilosis invasif dan penyakit jamur, lainnya yang disebabkan Scedosporium asiospermum

dan Fussarium spp, direkomendasikan loading dose 6 mg/kg IV setiap 12 jam untuk 24 jam

pertama, diikuti dengan dosis pemeliharaan 4 mg/kgBB setiap 12 jam dengan pemberian

intravena atau 200 mg setiap 12 jam per oral.15

Efek samping

13

Page 14: referensi antijamur

Vorikonazol dapat ditoleransi baik oleh manusia. Efek toksik vorikonazol yang sering

ditemukan adalah gangguan penglihatan transien (30%). Meski dapat ditoleransi dengan baik,

pada 10-15% kasus ditemukan adanya abnormalitas fungsi hepar sehingga dalam pemberian

vorikonazol perlu dilakukan monitor fungsi hepar. Vorikonazol bersifat teratogenik pada

hewan dan kontraindikasi pada wanita hamil.10,14

Interaksi obat

Absorpsi varikonazol tidak mengalami penurunan jika diberikan bersama dengan obat

lain seperti simetidin, ranitidin yang berfungsi mengurangi sekresi asam lambung.

Varikonazol kurang poten sebagai inhibitor sistem enzim human hepatik sitokrom P

-450- 3A4 dibandingkan itrakonazol ataupun ketokonazol, namun varikonazol dapat

meningkatkan konsentrasi serum terfenadin, astemizol, cisaprid, pimozid, warfarin,

tolbutamid, glipizid dan quinidin. Varikonazol dapat menurunkan konsentrasi serum

siklosporin dan takrolimus.9,10

5.Posakonazol

Posakonazol merupakan kelompok triazol generasi dua, memiliki struktur kimia

serupa dengan itrakonazol namun mengganti cincin klorin dan cincin furan dengan cincin

dioksolan. Posakonazol menghambat jamur dengan inhibisi enzim lanosterol 14-demethylase.

Deplesi ergosterol menyebabkan akumulasi prekursor metilasi sterol menyebabkan inhibisi

pertumbuhan dinding sel jamur, kematian sel jamur..16,17

Gambar 8. Struktur kimia posakonazol.9

Aktivitas spektrum

Posakonazol memiliki kemampuan antijamur terluas saat ini. Tidak ditemukan

resistensi silang posakonazol dengan flukonazol. Posakonazol merupakan satu-satunya

14

Page 15: referensi antijamur

golongan azol yang dapat menghambat jamur golongan Zygomycetes. Posakonazol juga dapat

digunakan dalam pengobatan aspergilosis dan fusariosis.16,17

Dosis

Posakonazol hanya tersedia dalam bentuk suspensi oral, dapat diberikan dengan

rentang dosis 50-800 mg. Pemberian awal posakonazol dibagi menjadi empat dosis guna

mencapai level plasma adekuat. Pemberian posakonazol dapat juga diberikan dua kali sehari

pada keadaan tidak membahayakan jiwa. Absorbsi posakonazol lebih baik bila diberikan

bersama dengan makanan atau suplemen nutrisi.16

KELOMPOK ANTIJAMUR ALILAMIN

TERBINAFIN

Terbinafin merupakan antijamur sintetik golongan alilamin yang dapat diberikan

secara oral. Obat ini terutama bersifat fungisidal dan sangat aktif melawan dermatofit, tetapi

kurang terhadap mold, dimorphic fungi dan yeast. Pertama kali ditemukan pada tahun 1983,

digunakan di Eropa sejak tahun 1991 dan di Amerika Serikat pada tahun 1996.5

Gambar 9. Struktur kimia terbinafin5

Mekanisme kerja

Terbinafin menghambat kerja enzim squalene epoxidase (enzim yang berfungsi

sebagai katalis untuk merubah squalene-2,3 epoxide) pada membran sel jamur sehingga

menghambat sintesis ergosterol (merupakan komponen sterol yang utama pada membran

plasma sel jamur). Terbinafin menyebabkan Hal ini mengakibatkan berkurangnya ergosterol

yang berfungsi untuk mempertahankan pertumbuhan membran sel jamur sehingga

pertumbuhan akan berhenti (efek fungistatik) dan dengan adanya penumpukan squalene yang

15

Page 16: referensi antijamur

banyak di dalam sel jamur dalam bentuk endapan lemak sehingga menimbulkan kerusakan

pada membran sel jamur (efek fungisidal).5,10

Aktifitas spektrum

Terbinafin merupakan anti jamur yang berspektrum luas. Efektif terhadap dermatofit

yang bersifat fungisidal dan fungistatik untuk Candida albican, s tetapi bersifat fungisidal

terhadap Candida parapsilosis. Terbinafin juga efektif terhadap Aspergillosis sp.,

Blastomyces dermatitidis, Histoplasma capsulatum, Sporothrix schenxkii dan beberapa

dermatiaceous moulds.5

Farmakokinetik

Terbinafin diabsorpsi di traktus gastrointestinal, mencapai konsentrasi puncak di

serum berkisar 0,8-1,5 mg/L setelah pemberian 2 jam dengan 250 mg dosis tunggal.

Pemberian bersama makanan tidak mempengaruhi absorpsi obat.5

Terbinafin bersifat lipofilik dan keratofilik, terdistribusi secara luas pada dermis,

epidermis, jaringan lemak dan kuku. Konsentrasi plasma terbinafin terbagi dalam tiga fase

dimana waktu paruh terbinafin yang terdistribusi di dalam plasma yaitu 1,1 jam; eliminasi

waktu paruh 16 sampai 100 jam setelah pemberian 250 mg dosis tunggal; setelah 4 minggu

pengobatan dengan dosis 250 mg/hari waktu paruh rata-rata 22 hari. Di dalam dermis-

epidermis, rambut, dan kuku eliminasi waktu paruh rata-rata 24-28 hari.5,8,10

Terbinafin dapat mencapai stratum korneum, pertama kali melalui sebum kemudian

bergabung dengan basal keratinosit dan selanjutnya berdifusi ke dermis-epidermis, tetapi

terbinafin tidak terdeteksi di dalam kelenjar keringat ekrin. Terbinafin yang diberikan secara

oral akan menetap di dalam kulit dengam konsentrasi di atas MIC untuk dermatofit selama 2-

3 minggu setelah pengobatan dihentikan. Terbinafin dapat terdeteksi pada bagian distal nail

plate dalam waktu 1 minggu setelah pengobatan dan kadar obat yang efektif dicapai setelah 4

minggu pengobatan. Terbinafin tetap akan dijumpai di dalam kuku untuk jangka waktu yang

lama setelah pengobatan dihentikan. Terbinafin dimetabolisme di hepar dan metabolit tidak

aktif akan dieksresi melalui urin sebanyak 70% dan melalui feces sebanyak 20%.10

Dosis

16

Page 17: referensi antijamur

Pada onikomikosis kuku tangan dan kaki dewasa yang disebabkan dermatofita,

pemberian terbinafin kontinyu lebih efektif daripada itrakonazol dosis pulse. 5,8,10

Oral terbinafin efektif untuk pengobatan dermatofitosis pada kulit dan kuku. Dosis

terbinafin oral untuk dewasa yaitu 250 mg/hari, tetapi pada pasien dengan gangguan hepar

atau fungsi ginjal (kreatinin klirens < 50 ml/menit atau konsentrasi serum kreatinin > 300

µmol/ml) dosis harus diberikan setengah dari dosis tersebut. Pengobatan tinea pedis selama 2

minggu, tinea korporis dan kruris selama 1-2 minggu, sedangkan infeksi pada kuku tangan

selama 3 bulan dan kuku kaki selama 6 bulan atau lebih.5,10

Tabel 2. Terbinafin dosis rejimen5

Dewasa Anak-anakOnikomikosis Kuku tangan : 250 mg/hr x 6

mingguKuku kaki : 250 mg/hr x 12 minggu

3-6 mg/khg/hr x 6-12 minggua

Tinea kapitis 250 mg/hr x 2-8 minggu Infeksi Trichophyton : 3-6 mg/kg/hr x 2-4 minggua

Infeksi Microsporum : 3-6 mg/kg/hr x 6-8 minggua

Tinea korporis, tinea kruris 250 mg/hr x 1-2 minggu 3-6 mg/kg/hr x 1-2 mingguTinea pedis (mokasin) 250 mg/hr x 2 minggu b

Dermatitis seboroik 250 mg/hr x 4-6 minggu b

a Dosis anak berdasarkan berat badan : 62,5 mg/hr (10-20 kg), 125 mg/hr (20-40 kg), 250 mg/hr (>40 kg). Catatan : tingkat kesembuhan tinggi dicapai dengan dosis 4,5 mg/hr atau lebih.b Tidak ada penelitian.

Efek samping

Efek samping pada gastrointestinal seperti diare, dispepsia, dan nyeri abdomen.

Terbinafin tidak direkomendasikan untuk pasien dengan penyakit hepar kronik atau aktif.10

Interaksi obat

Konsentrasi terbinafin akan menurun jika diberikan bersama rifampisin. Namun kadar

dalam darah dapat meningkat apabila diberikan bersama simetidin yang merupakan suatu

inhibitor sitokrim P-450.10

KELOMPOK ANTIJAMUR POLIEN

1. Amfoterisin B

17

Page 18: referensi antijamur

Amfoterisin B merupakan antibiotik polien yang berasal dari Streptomyces nodosus,

diperkenalkan pada tahun 1956 dan disetujui digunakan sebagai anti jamur pada manusia di

tahun 1960.10

Amfoterisin B deoksikolat (formula konvensional) digunakan untuk pengobatan

infeksi deep mycoses, pemberian secara parenteral sering menimbukkan efek toksik terutama

pada ginjal (nefrotoksik) sehingga kemudian dikembangkan 3 jenis formula yang kurang

toksik terhadap ginjal dengan dasar lipid (lipid-based formations) yaitu (1) Amfoterisin B

liposomal (AmBisome), obat ini diselubungi dengan fosfolipid yang mengandung liposom.

(2) Amfoterisin B lipid kompleks (Abelcet, ABLC), merupakan suatu kompleks dengan

fosfolipid yang membentuk struktur seperti pita. (3) Amfoterisin B dispersi koloid (Amphocil,

Amphotec, ABCD), merupakan suatu kompleks dengan kolesterol sulfat yang membentuk

potongan lemak kecil.10,18

Tabel 3.Formula lipid Amfoterisin B18

Mekanisme kerja

18

Gambar 10. Struktur Amfoterisin B8

Page 19: referensi antijamur

Amfoterisin B (AMB) berikatan dengan ergosterol sehingga mengakibatkan fungsi

barier membran menjadi rusak, hilangnya unsur sel penting, mengganggu metabolisme

jamur, serta menimbulkan kerusakan oksidatif terhadap sel jamur.10

Aktifitas spektrum

Amfoterisin B mempunyai aktifitas spektrum yang luas terhadap Aspergillus sp.,

Mucorales sp., Blastomyces dermatitidid, candida sp., Coccidiodiodes immitis, Cryptococcus

neoformans, Histoplasma capsulatum, paracoccidioides brasiliensis, Penicillium marneffei.

Sedangkan untuk Aspergillus tereus, Fussarium sp., Malassezia furfur, Scedosporium

sp., dan Trichosporon asahii biasanya resisten.10

Farmakokinetik

Amfoterisin B sangat sedikit diserap dengan cara pemberian oral (bioavailibilitasnya <

5%) sehingga untuk tetap mempertahankan konsentrasi serum yang adekuat diberikan secara

intravena.10

Pemberian parenteral formula konvensional dengan dosis 1 mg/kbBB akan

menghasilkan konsentrasi serum yang maksimum sebanyak 1,0-2,0 mg/l. Kurang dari 10%

dari dosis tersebut akan menetap di dalam darah setelah 12 jam pemberian dan > 90% akan

berikatan dengan protein. Sebagian besar ditemukan di hepar (40% dari dosis), paru-paru (6%

dari dosis), ginjal (2% dari dosis), sedangkan di cairan serebrospinal (CSF) < 5 %

konsentrasi darah. Formula konvensional mempunyai waktu paruh fase kedua 24-48 jam dan

waktu paruh fase ketiga 2 minggu.8,18

Sebagian besar struktur formula dengan dasar lemak seperti Amfoterisin B lipid

kompleks (ABLC) akan menghilang dengan cepat dari dalam darah tetapi sebagian kecil

liposom akan menetap di sirkulasi untuk jangka waktu yang lama.

Konsentrasi serum maksimum dari liposomal amfoterisin B (AmBisome) yaitu 10-35

mg/L dengan dosis 3 mg/kbBB dan 25-60 mg/L dengan dosis 5 mg/kgBB. Kadar 5-10 mg/L

dapat dideteksi setelah pemberian 24 jam dengan dosis 5 mg/kgBB. Pemberian liposomal

amfoterisin B menghasilkan konsentrasi obat yang lebih tinggi di dalam hepar dan limpa

dibandingkan dengan formula konvensional sedangkan konsentrasi obat pada ginjal lebih

19

Page 20: referensi antijamur

rendah dibandingkan dengan formula konvensional. Waktu paruh liposomal amfoterisin B

± 100-200 jam.8,18

Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B lipid kompleks (Abelcet) setelah

pemberian perenteral lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional sehingga

distribusi obat pada jaringan lebih cepat, konsentrasi maksimum dicapai 1-2 mg/L setelah

pemberian dosis 5 mg/kgBB selama 1 minggu. Pemberian amfoterisin B lipid kompleks

menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi pada hepar, limpa dan paru-paru dibandingkan

dengan formula konvensional, sedangkan konsentrasi pada ginjal lebih rendah dibandingkan

dengan formula konvensional. Waktu paruh amfoterisin B lipid kompleks ± 170 jam.

Konsentrasi serum maksimum amfoterisin B dispersi koloid (ABCD) sekitar 2 mg/L

dengan dosis 1 mg/kbBB, tetapi kadar obat di dalam darah akan segera menurun setelah

pemberian berakhir dan dijumpai distribusi obat yang cepat ke jaringan. Pemberian

amfoterisin B dispersi koloid akan menghasilkan konsentrasi yang lebih tinggi pada hepar

dan limpa dibandingkan dengan formula konvensional, sedangkan konsentrasi pada ginjal

lebih rendah dibandingkan dengan formula konvensional.8,18

Dosis

Kebanyakan pasien dengan infeksi mikosis dalam diberikan dosis 1-2 gr amfoterisin B

deoksikolat selama 6-10 minggu. Orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal diberikan

dosis 0,6-1,0 mg/kg BB. Sebelum pemberian obat, terlebih dahulu dites dengan dosis 1 mg

amfoterisin B di dalam 50 ml cairan dextrose dan diberikan selama 1-2 jam (anak-anak

dengan berat badan kurang dari 30 kg diberikan dosis 0,5 mg) kemudian diobservasi dan

dimonitor suhu, denyut jantung dan tekanan darah setiap 30 menit oleh karena pada beberapa

pasien dapat timbul reaksi hipotensi berat atau reaksi anafilaksis. Dosis obat dapat

ditingkatkan > 1mg/kgBB, tetapi tidak melebihi 50 mg. Setelah 2 minggu pengobatan,

konsentrasi di dalam darah akan stabil dan kadar obat di jaringan makin bertambah dan

memungkinkan obat diberikan pada interval 48 atau 72 jam.8

Pemberian liposomal amfoterisin B biasanya dimulai dengan dosis 1,0 mg/kg BB

dapat ditingkatkan menjadi 3,0-5,0 mg.kgBB atau lebih. Formula ini harus diberikan

intravena dalam waktu 2 jam, jika ditoleransi baik maka waktu pemberian dapat dipersingkat

menjadi 1 jam. Obat ini berikan pada individu selama 3 bulan dengan dosis kumulatif 15 g

tanpa efek samping toksik yang signifikan. Dosis yang dianjurkan adalah 3 mg/kbBB/hari.18

20

Page 21: referensi antijamur

Dosis yang direkomendasikan untuk pemberian amfoterisin B lipid kompleks yaitu 5

mg/kgBB dan diberikan intravena dengan rata-rata 2,5 mg/kbBB/jam. Obat ini pernah

diberikan pada individu selama 11 bulan dengan dosis kumulatif 50 g tanpa efek samping

toksik yang signifikan.18

Dosis awal amfoterisin B dispersi koloid yaitu 1,0 mg/kgBB diberikan intravena

dengan rata-rata 1 mg/kgBB/jam dan jika dibutuhkan dosis dapat ditingkatkan menjadi 3,0-

4,0 mg/kgBB. Obat ini pernah diberikan pada individu dengan dosis kumulatif 3 g tanpa efek

samping toksik yang signifikan.8,18

Efek samping

Pemberian formula konvensional dengan cara intravena dapat segera menimbulkan

efek samping seperti demam, menggigil dan badan menjadi kaku. Biasanya timbul setelah 1-3

jam pemberian obat. Mual dan muntah dapat juga dijumpai tetapi jarang, sedangkan efek

lokal flebitis sering juga dijumpai. Efek samping toksik yang paling serius adalah kerusakan

tubulus ginjal. Kebanyakan pasien yang mendapat formula konvensional sering menderita

kerusakan fungsi ginjal terutama pada pasien yang mendapat dosis lebih dari 0,5/kgBb/hari.

Formula konvensional dapat juga menyebabkan hilangnya potasium dan magnesium. Pasien

yang mendapat pengobatan lebih dari 2 minggu, dapat timbul anemia normokromik dan

normositik sedang.10,18

Prevalensi timbulnya efek samping yang cepat setelah pemberian amfoterisin B lipid

kompleks dan amfoterisin B dispersi koloid lebih sedikit dibandingkan dengan formula

konvensional. Efek samping yang dapat dijumpai yaitu demam, menggigil dan hipoksia yang

dilaporkan sekitar 25% penderita yang menggunakan obat tersebut tetapi biasanya tidak

menetap. Formula dengan dasar lemak kurang menimbulkan efek samping dibandingkan

formula konvensional dan dari hasil penelitian (konsentrasi serum kreatinin) menunjukkan

kerusakan ginjal akibat amfoterisin B lipid kompleks sebanyak 25%, amfoterisin B dispersi

koloid sebanyak 15%, amfoterisin B liposomal sebanyak 20% sedangkan formula

konvensional sebanyak 30-50%.8

Efek samping yang lain dari formula dengan dasar lemak yaitu peningkatan kadar

transaminase, alkalin fosfatase dan konsentrasi serum bilirubin. Pasien yang mendapat

pengobatan liposomal amfoterisin B dijumpai tes fungsi hati yang tidak normal sekitar 25-

50%, tetapi biasanya tidak menetap.8,10,18

21

Page 22: referensi antijamur

Interaksi obat

Amfoterisin B dapat menambah efek nefrotoksik obat lain seperti antibiotik

aminoglikosida, siklosporin, antineoplastik tertentu sehingga kombinasi obat tersebut harus

hati-hati. Kombinasi obat amfoterisin B dengan kortikosteroid dan digitalis glikosid dapat

menimbulkan hipokalemi.10

2.Nistatin

Nistatin merupakan antibotik yang digunakan sebagai antijamur, diisolasi dari

Streptomyces nourse pada tahun 1951. Untuk pengobatan kandidiasis oral, nistatin diberikan

tablet nistatin 500.000 unit setiap 6 jam. Suspensi nistatin oral terdiri dari 100.000 unit/ml

yang diberikan 4 kali sehari dengan dosis pada bayi baru lahir 1 ml, infant 2 ml dan dewasa 5

ml.10

KELOMPOK ANTIJAMUR EKINOKANDIN

1. Kaspofungin

Kaspofungin merupakan derivat semi sintetik dari pneumo-candin B0 yang merupakan

fermentasi lipopeptida jamur Glarea lozoyensis. Kaspofungin efektif melawan jamur yang

resisten terhadap flukonazol. Memiliki efektifitas sangat baik dan lebih aman diberikan pada

infeksi Candida.10

Pada awal 2001, kaspofungin mendapat persetujuan FDA untuk terapi esofagitis dan

orofaringeal kandida.3 Penelitian Mora-Duarte et al. menunjukkan bahwa kaspofungin

memiliki efektifitas serupa dengan AMB konvensional untuk penatalaksanaan kandidiasis

mukosa dan sistemik namun kaspofungin dapat ditoleransi dengan lebih baik oleh tubuh.3,6,10,15

kaspofungin juga telah disetujui penggunaannya dalam aspergilosis invasif yang gagal

diterapi dengan terapi AMB atau vorikonazol. Monitoring ketat penggunaan caspofungin

diperlukan dalam terapi fungemia akibat C. parapsilosis untuk menghindari terjadi fungemia

resisten.15

Mekanisme kerja

Kaspofungin menghambat sintesis β-(1,3)-D-glukan yang merupakan komponen

dinding sel jamur.10

22

Page 23: referensi antijamur

Aktifitas spektrum

Kaspofungin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas. Kaspofungin efektif

terhadap Aspergillus fumigates, Aspergillus flavus dan Aspergillus terreus. Kaspofungin

mempunyai aktifitas yang berubah-ubah terhadap Coccidioides immitis, Histoplasma

capsulatum dan dermatiaceous molds. Kaspofungin juga efektif terhadap sebagian besar

Candida sp., dengan efek fungisidal yang tinggi, tetapi dengan Candida parpsilosis dan

Candida krusei kurang efektif, dan resisten terhadap Cryptococcus neoformans.15

Farmakokinetik

Pemberian kaspofungin secara parenteral setelah 1 jam dengan dosis 70 mg akan

dicapai konsentrasi serum sebanyak 20 mg/L. Kurang dari 10% dosis obat akan menetap di

dalam darah setelah pemberian 36-48 jam dan lebih dari 96% akan berikatan dengan protein.

Sebagian besar obat akan didistribusikan ke dalam jaringan (± 92% dari dosis) dengan

konsentrasi yang tertinggi dijumpai pada hepar. Sekitar 1% dari dosis akan dieksresi tanpa

ada perubahan melalui urin. Kaspofungin dimetabolisme di hepar dan metabolit yang tidak

aktif akan dibuang melalui empedu (35%) dan urin (40%).9,10,15

Dosis

Pada pasien aspergilosis, dosis yang dianjurkan 70 mg pada hari pertama dan 50

mg/hari untuk hari selanjutnya. Setiap dosis harus diberikan intravena melalui infus dalam

periode 1 jam. Pasien dengan kerusakan hepar sedang, direkomendasikan dosis kaspofungin

diturunkan menjadi 35 mg.8

Efek samping

23

Gambar 11. Struktur Kaspofungin8

Page 24: referensi antijamur

Efek samping yang sering dijumpai yaitu demam, adanya ruam kulit, mual, muntah.7,18

Interaksi obat

Pemberian kaspofungin bersama siklosporin dapat meningkatkan transaminase 2-3

kali lipat dari batas normal.18

2. Mikafungin

Pada tahun 2005, mikafungin disetujui FDA untuk terapi esofagitis kandida pada

pasien HIV.12

Dosis

Pettengell et al. melaporkan pemberian mikafungin 50-100 mg/hari menyebabkan

respon total atau parsial pada 35 dari 36 pasien kandidiasis esophagus (97,2%) dan insiden

efek simpang hanya 2,8% (1 dari 36 pasien). Mikafungin juga bermanfaat untuk terapi

aspergilosis invasif.14

Penelitian juga telah dilakukan untuk membandingkan efektifitas mikafungin dengan

flukonazol sebagai antijamur profilaksis pada 882 pasien yang menjalani transplantasi stem

sel hemopoietik. Mikafungin diberikan 50 mg/hari atau flukonazol 400 mg/hari secara acak

selama enam minggu. Hasil penelitian menunjukkan respon mikafungin sebagai antijamur

profilaksis lebih baik dibanding flukonazol (80% dibanding 73.5%; p = 0.025). Hasil ini

konsisten terhadap semua subgroup termasuk anak dan orang tua, pasien dengan netropenia

persisten dan resipien transplantasi alogenik dan autolog. 8

3. Anindulafungin

Anindulafungin merupakan kelompok ekinokandin yang telah disetujui FDA tahun

2006 untuk penatalaksanaan kandidiasis esophagus, peritonitis dan abses intraabdomen

disebabkan kandida.12

Dosis

Suatu penelitian terhadap 123 pasien kandidiasis invasif diacak untuk menerima

sediaan 50, 75, atau 100 mg anindulafungin sekali sehari. Kriteria efikasi primer yang dinilai

adalah tingkat respon klinis dan mikrobiologik pada populasi saat pengamatan lanjut dan dua

minggu setelah selesai terapi. Saat pengamatan lanjut, nilai keberhasilan terapi adalah 72%,

24

Page 25: referensi antijamur

85%, dan 83% pada kelompok 50, 75, dan 100 mg. Pada saat akhir terapi, nilai keberhasilan

adalah 84%, 90%, dan 89%.14

Anindulafungin juga memiliki kemampuan menghambat aspergilus dan kandida yang

resisten terhadap kelompok azol dan AMB. Anindulafungin tidak dimetabolisme di hati dan

tidak dieliminasi melalui urin. Obat ini tidak memiliki interaksi dengan enzim sitokrom P450.

Karena itu, penggunaan anindulafungin tidak memerlukan penyesuaian dosis pada pasien

insufisien renal atau hepar, juga pada pasien yang menggunakan obat lain.14

KELOMPOK ANTIJAMUR LAIN

1.Flusitosin

Flusitosin (5-fluorositosin) merupakan sintesis dari fluorinated pirimidin yang dapat

diberikan secara oral maupun parenteral.10

Mekanisme kerja

Flusitosin masuk ke dalam sel jamur disebabkan kerja sitosin permease, kemudian

diubah oleh sitosin deaminase menjadi 5-flourourasil yang bergabung ke dalam RNA jamur

sehingga mengakibatkan sintesis protein terganggu. Flusitosin dapat juga menghambat

thymidylate sinthetase yang menyebabkan inhibisi sintesis DNA.10

Aktifitas spektrumD

Flusitosin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas, efektif terhadap Candida sp.,

Cryptococcus neoformans, Cladophialophora carrionii, Fonsecaea sp., Phialophora

verrucosa.10

Farmakokinetik

25

Gambar 12. Struktur Flusitosin8

Page 26: referensi antijamur

Pemberian flusitosin secara oral absorpsinya cepat dan hampir sempurna. Konsentrasi

plasma puncak pada orang dewasa dengan fungsi ginjal normal sekitar 70-80 µg/ml, tercapai

dalam waktu 1-2 jam setelah pemberian dosis 37,5 mg/kg. Sekitar 80% pemberian dosis

dieksresikan di urin tanpa mengalami perubahan; konsentrasi di urin 200-500 µg/ml. Waktu

paruh 3-6 jam pada orang normal. Pada pasien gagal ginjal, waktu paruh lebih lama selama

200 jam. Konsentrasi flusitosin di CSF sekitar 65%-90% secara simultan sama dengan di

dalam plasma. Flusitosin juga ditemukan dalam humour aqueus.10

Dosis

Pada orang dewasa dengan fungsi ginjal yang normal, pemberian flusitosin diawali

dengan dosis 100 mg/kg BB perhari, dibagi dalam 4 dosis dengan interval 6 jam namun jika

terdapat gangguan ginjal pemberian flusitosin diawali dengan dosis 25 mg/kgBB.10

Efek samping

Efek samping yang sering dijumpai yaitu mual,muntah dan diare. Trombositopenia

dan leukopenia dapat terjadi jika konsentrasi obat di dalam darah meninggi, menetap (>100

mg/L) dan dapat juga dijumpai jika obat dihentikan. Peninggian kadar transaminase dapat

juga dijumpai pada beberapa pasien tetapi dapat kembali normal setelah obat dihentikan.10

Interaksi obat

Kerja flusitosin dapat dihambat secara kompetitif oleh sitarabin (sitosin arabinosid)

sehingga pemberian flusitosin bersama sitarabin merupakan kontraindikasi, karena efek

myelosupresif dan hepatotoksik flusitosin dapat bertambah jika diberikan bersama dengan

imunosupresif atau sitotoksik. Pemberian zidofudin bersama flusitosin harus hati-hati oleh

karena dapat menimbulkan efek myelosupresif. Kombinasi amfoterisin B dan flusitosin

mempunyai efek sinergis terhadap Candida sp dan Cryptococcus neoformans namun efek

nefrotoksik Amfoterisin B dapat berkurang ketika flusitosin dieksresi.10

2.Griseofulvin

Griseofulvin merupakan antibiotik antijamur yang berasal dari spesies Penicillium

mold. Pertama kali diteliti digunakan sebagai antijamur pada tumbuhan dan kemudian

diperkenalkan untuk pengobatan infeksi dermatofita pada hewan. Griseofulvin digunakan

sejak tahun 1958 untuk pengobatan infeksi dermatofita pada manusia. Griseofulvin

26

Page 27: referensi antijamur

merupakan obat anti jamur yang pertama diberikan secara oral untuk pengobatan

dermatofitosis.5,8,9,10

Mekanisme kerja

Griseofulvin merupakan obat antijamur yang bersifat fungistatik, berikatan dengan

protein mikrotubular dan menghambat mitosis sel jamur sehingga tetap dalam fase metafase. 5

Aktifitas spektrum

Griseofulvin mempunyai aktifitas spektrum yang terbatas hanya untuk spesies

Epidermophyton flocossum, Microsporum sp., dan Trichophyton sp., yang merupakan

penyebab infeksi jamur pada kulit, rambut kuku. Griseofulvin tidak efektif terhadap

kandidiasis kutaneus dan pitiriasis versikolor.10

Farmakokinetik

Pemberian griseofulvin secara oral dengan dosis 0,5-1 gr akan menghasilkan

konsentrasi puncak di plasma sebanyak 1 mikrogram/ml dalam waktu 4 jam. Griseofulvin

mempunyai waktu paruh di dalam plasma lebih kurang 1 hari dan sekitar 50% dari dosis oral

dapat dideteksi di dalam urin dalam waktu 5 hari dan kebanyakan dalam bentuk metabolit.10

Griseofulvin sangat sedikit diabsorpsi dalam keadaan perut kosong. Mengkonsumsi

griseofulvin bersama dengan makanan berkadar lemak tinggi dapat meningkatkan absorpsi

mengakibatkan kadar griseofulvin dalam serum akan lebih tinggi. Ketika diabsorpsi,

griseofulvin pertama kali akan berikatan dengan serum albumin dan distribusi di jaringan

ditentukan dengan konsentrasi bebas. Selanjutnya menyebar melalui cairan transepidermal

dan keringat serta akan dideposit di sel prekursor keratin kulit (stratum korneum), selanjutnya

terjadi ikatan yang kuat dan menetap. Lapisan keratin yang terinfeksi akan digantikan dengan

lapisan keratin baru yang lebih resisten terhadap serangan jamur. Pemberian griseofulvin

secara oral akan mencapai stratum korneum setelah 4-8 jam.5,10

27

Gambar 13. Struktur griseofulvin8

Page 28: referensi antijamur

Griseofulvin dimetabolisme di hepar menjadi 6-dismethil griseofulvin dan akan

dieksresikan melalui urin. Eliminasi waktu paruh 9-21 jam dan kurang dari 1% dari dosis

akan dijumpai pada urin tanpa perubahan bentuk.10

Dosis

Griseofulvin terdiri atas 2 bentuk yaitu microsize (mikrochryristallin) dan

ultramicrosize (ultramicrochrystallin). Bentuk ultramicrosize penyerapannya pada saluran

pencernaan 1,5 kali dibandingkan dengan bentuk microsize.5

Pada saat ini, griseofulvin lebih sering digunakan untuk pengobatan tinea kapitis.

Tinea kapitis lebih sering dijumpai pada anak-anak disebabkan oleh Trychopyton tonsurans.

Dosis pada anak-anak 20-25 mg/kg/hari (mikrosize), atau 15-20 mg/kg/hari (ultrasize) selama

6-8 minggu.5

Dosis griseofulvin (pemberian secara oral) yaitu dewasa 500-1000 mg/ hari

(microsize) dosis tunggal atau terbagi dan 330-375 mg/hari (ultramicrosize) dosis tunggal

atau terbagi. 10 Lama pengobatan untuk tinea korporis dan kruris selama 2-4 minggu, untuk

tinea kapitis paling sedikit selama 4-6 minggu, untuk tinea pedis selama 4-8 minggu dan

untuk tinea unguium selama 3-6 bulan.5,10

Efek samping

Efek samping griseofulvin biasanya ringan berupa sakit kepala, mual, muntah, dan

nyeri abdomen. Timbulnya reaksi urtikaria dan erupsi kulit dapat terjadi pada sebagian

pasien.5

Interaksi obat

Absorpsi griseofulvin menurun jika diberikan bersama dengan fenobarbital, namun

efek ini dapat diatasi dengan cara mengkonsumsi griseofilvin bersama makanan. Griseofulvin

juga dapat menurunkan efektifitas warfarin. Kegagalan kontrasepsi juga ditemukan pada

pasien yang mengkonsumsi griseofulvin bersasma dengan penggunaan kontrasepsi oral.10

GOLONGAN ANTI JAMUR TOPIKAL

Obat anti jamur topikal digunakan untuk pengobatan infeksi lokal pada kulit tubuh

yang tidak berambut (glabrous skin), namun kurang efektif untuk pengobatan infeksi pada

28

Page 29: referensi antijamur

kulit kepala dan kuku, infeksi pada tubuh yang kronik dan luas, serta infeksi pada stratum

korneum yang tebal seperti telapak tangan dan kaki.

Efek samping yang dapat ditimbulkan oleh obat antijamur topikal lebih sedikit

dibandingkan obat anti jamur sistemik. Pengobatan topikal memiliki beberapa keuntungan

yaitu sedikit efek samping dan interaksi dengan obat lain, pengobatan terlokalisir pada

tempat yang sakit, dan biaya yang murah. 4

Jenis obat topikal yang sering digunakan yaitu :

(1) azol-imidazol : ketokonazol, klotrimazol, mikonazol, ekonazol, sulkonazol, oksikonazol,

terkonazol, tiokonazol, sertakonazol

(2) alilamin dan benzilamin : naftifin, terbinafin, butenafin

(3) polien: nystatin

Beberapa obat topikal tidak termasuk dalam golongan ini namun dapat digunakan untuk

terapi non spesifik seperti golongan keratolitik (asam salisilat) atau antiseptik (gentian violet),

siklopiroks, haloprogin, serta amorolfin. 4

GOLONGAN AZOL-IMIDAZOL

Merupakan kelompok anti jamur azol yang memiliki dua nitrogen pada cincin azol.

Ditemukan setelah tahun 1960.

Mekanisme kerja

Relatif berspektrum luas, bersifat fungistatik dan bekerja dengan cara menghambat

pembentukan 14 – α-sterol demethylase, suatu enzim sitokrom P450 (CYP). Hal ini

mengganggu biosintesis ergosterol membran sitoplasma jamur dan menyebabkan akumulasi

14 – α- metilsterol. Metilsterol merusak rantai fosfolipid sehingga mengganggu fungsi enzim

pada membran jamur seperti ATP ase dan enzim pada sistem transpor elektron. Mekanisme

ini yang mengakibatkan efek pertumbuhan jamur terhambat. 4

29

Page 30: referensi antijamur

1. Klotrimazol

Klotrimazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatifitosis, kandidiasis oral,

kutaneus dan genital. Untuk pengobatan oral kandidiasis, diberikan oral troches (10 mg) 5

kali sehari selama 2 minggu atau lebih. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan

dosis 500 mg pada hari ke-1, 200 mg hari ke-2, atau 100 mg hari ke-6 yang dimasukkan ke

dalam vagina. Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan krim klotrimazol 1%

dosis dan lamanya pengobatan tergantung kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4

minggu dan dioleskan 2 kali sehari.

2. Ekonazol

Ekonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidiasis oral,

kutaneus dan genital. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan dosis 150 mg yang

dimasukkan ke dalam vagina selama 3 hari berurut-turut. Untuk pengobatan infeksi jamur

pada kulit digunakan ekonazol krim 1 %, dosis dan lamanya tergantung dari kondisi pasien,

biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari. Ekonazol penetrasi dengan

cepat di stratum korneum. Kurang dari 1% diabsorpsi ke dalam darah. Sekitar 3% pasien

mengalami eritema lokal, sensasi terbakar, tersengat, atau gatal. 10,20

3. Mikonazol

30

Gambar 14. Struktur Klotrimazol8

Gambar 15. Struktur Ekonazol8

Page 31: referensi antijamur

Mikonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor, serta

kandidiasis oral, kutaneus dan genital. Mikonazol cepat berpenetrasi pada stratum korneum

dan bertahan lebih dari 4 hari setelah pengolesan. Kurang dari 1% diabsorpsi dalam darah.

Absorpsi kurang dari 1,3% di vagina.8 Pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan dosis 200

selama 7 hari atau 100 mg selama 14 hari yang dimasukkan ke dalam vagina. Pengobatan

kandidiasis oral, diberikan oral gel (25 mg) 4 kali sehari. Pengobatan infeksi jamur pada kulit

digunakan mikonazol krim 2%, dosis dan lamanya pengobatan tergantung dari kondisi pasien,

biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.

Efek samping pemakaian topikal vagina adalah rasa terbakar, gatal atau iritasi 7%

kadang-kadang terjadi kram di daerah pelvis (0,2%), sakit kepala, urtika, atau skin rash.

Iritasi, rasa terbakar dan maserasi jarang terjadi pada pemakaian kutaneus. Mikonazol aman

digunakan pada wanita hamil, meskipun beberapa ahli menghindari pemakaian pada

kehamilan trimester pertama.10

4. Ketokonazol

Ketokonazol mempunyai ikatan yang kuat dengan keratin dan mencapai keratin dalam

waktu 2 jam melalui kelenjar keringat ekrin. Penghantaran akan menjadi lebih lambat ketika

mencapai lapisan basal epidermis dalam waktu 3-4 minggu. Konsentrasi ketokonazol masih

tetap dijumpai, minimal 10 hari setelah obat dihentikan.20

Ketokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor,

kutaneus kandidiasis dan dapat juga untuk pengobatan dermatitis seboroik. Pengobatan

infeksi jamur pada kulit digunakan krim ketokonazol 1%, dosis dan lamanya pengobatan

tergantung dari kondisi pasien, biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan sekali

sehari sedangkan pengobatan dermatitis seboroik dioleskan 2 kali sehari. Pengobatan pitiriasis

versikolor menggunakan ketokonazol 2% dalam bentuk shampoo sebanyak 2 kali seminggu

selama 8 minggu.20

31

Gambar 16. Struktur mikonazol8

Page 32: referensi antijamur

5. Sulkonazol

Sulkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidiasis kutaneus.

Pengobatan infeksi jamur pada kulit digunakan sulkonazol krim 1%. Dosis dan lamanya

pengobatan tergantung dari kondisi pasien, biasanya untuk pengobatan tinea korporis , tinea

kruris ataupun pitiriasis versikolor dioleskan 1 atau 2 kali sehari selama 3 minggu dan untuk

tinea pedis dioleskan 2 kali sehari selama 4 minggu.20,21

6. Terkonazol

Terkonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan kandidiasis kutaneus dan

genital. Pengobatan kandidiasis vaginalis yang disebabkan Candida albicans, digunakan

terkonazol krim vagina 0,4% (20 gr terkonazol) yang dimasukkan ke dalam vagina

menggunakan aplikator sebelum waktu tidur, 1 kali sehari selama 3 hari berturut-turut dan

vaginal supositoria dengan dosis 80 mg terkonazol, dimasukkan ke dalam vagina, 1 kali

sehari sebelum waktu tidur selama 3 hari berturut-turut.21

7. Tiokonazol

Tiokonazol digunakan untuk pengobatan dermatofitosis serta kandidiasis kutaneus dan

genital. Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan dosis tunggal sebanyak 300 mg

dimasukkan ke dalam vagina. Untuk infeksi pada kulit digunakan tiokonazol krim 1%, dosis

dan lamanya pengobatan tergantung kondisi pasien, biasanya untuk pengobatan tinea korporis

dan kandidiasis kutaneus biasanya diberikan selama 2-4 minggu dan dioleskan 2 kali sehari.

Untuk tinea pedis dioleskan 2 kali sehari selama 6 minggu, untuk tinea kruris dioleskan 2 kali

sehari selama 2 minggu dan untuk pitirisis versikolor dioleskan 2 kali sehari selama 1-4

minggu.21

8. Sertakonazol

Sertakonazol dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan candida sp,

digunakan sertakonazol krim 2%, dioleskan 1-2 kali sehari selama 4 minggu.21

GOLONGAN ALILAMIN/BENZILAMIN

Mekanisme kerja adalah dengan cara menekan biosintesis ergosterol pada tahap awal

proses metabolisme dan enzim sitokrom P-450 akan menghambat aktifitas squalene

32

Page 33: referensi antijamur

epoksidase. Dengan berkurangnya ergosterol akan menyebabkan penumpukan squalene pada

sel jamur sehingga mengakibatkan kematian sel jamur. Alilamin dan benzilamin bersifat

fungistatik terhadap Candida albicans.

1. Naftifin

Naftifin dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis dan Candida sp., Untuk

pengobatan digunakan krim naftifin hidroklorida krim 1% dioleskan 1 kali sehari selama 1

minggu.5

2. Terbinafin

Terbinafin dapat digunakan untuk pengobatan dermatofitosis, pitiriasis versikolor dan

kandidiasis kutaneus. Digunakan terbinafin krim 1% yang dioleskan 1 atau 2 kali sehari.

Untuk pengobatan tinea korporis dan tinea kruris digunakan selama 1-2 minggu, untuk tinea

pedis selama 2-4 minggu, untuk kandidiasis kutaneus selama 1-2 minggu dan untuk pitiriasis

versikolor selama 2 minggu.10

3. Butenafin

Butenafin merupakan golongan benzilamin aktifitas antijamurnya sama dengan

golongan alilamin. Butenafin bersifat fungisidal terhadap dermatofita dan dapat digunakan

untuk pengobatan tinea korporis, tinea kruris dan tinea pedis, dioleskan 1 kali sehari selama 4

minggu.4

GOLONGAN POLIEN

Nistatin

33

Gambar 17. Struktur Terbinafin8

Page 34: referensi antijamur

Pengobatan kandidiasis kutis dapat digunakan nistatin topikal pada kulit atau

membrane mukosa (rongga mulut, vagina). Nistatin biasanya tidak bersifat toksik tetapi

kadang-kadabng dapat timbul mual, muntah dan diare jika diberikan dengan dosis tinggi.

Untuk pengobatan kandidiasis vaginalis diberikan 1 atau 2 vaginal suppossitoria

(100.000 setiap unitnya) yang diberikan selama kurang lebih 14 hari.

GOLONGAN ANTIJAMUR TOPIKAL LAIN

1. Asam Undesilenat

Asam undesilenat bersifat fungistatik, dapat juga bersifat fungisidal apabila terpapar

lama dengan konsentrasi yang tinggi pada agen jamur. Tersedia dalam bentuk salep, krim,

bedak spray powder, sabun, dan cairan. Salap asam undesilenat mengandung 5% asam

undesilenat dan 20% zinc undesilenat. Zinc bersifat astringent yang menekan inflamasi.

Preparat ini digunakan untuk mengatasi dermatomikosis, khususnya tinea pedis. Efektifitas

masih lebih rendah dari imidazol, haloprogin atau tolnaftat. Preparat ini juga dapat digunakan

pada ruam popok, dan tinea kruris.10,20,22

2. Salep Whitefield

Pada tahun 1970, Arthur Whitefield membuat preparat salep yang mengandung 12%

asam benzoate dan 6% asam salisilat. Kombinasi ini dikenal dengan salep Whitefield. Asam

benzoat bekerja sebagai fungistatik, dan asam salisilat sebagai keratolitik sehingga

menyebabkan deskuamasi keratin yang mengandung jamur. Preparat nini sering

menyebabkan iritasi khususnya jika dipakai pada permukaan kulit yang luas. Selain itu

absorpsi secara sistemik dapat terjadi, dan menyebabkan toksisitas asam salisilat, khususnya

pada pasien yang mengalami gagal ginjal. Digunakan untuk mengatasi tinea pedis, dan tinea

kruris. 10,22

3. Amorolfin

Amorolfin merupakan phenylpropylpiperidine. Bekerja dengan cara menghambat

biosintesis ergosterol jamur. Aktifitas spektrumnya luas, dapat digunakan untuk pengobatan

34

Page 35: referensi antijamur

tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis dan onikomikosis. Untuk infeksi jamur pada kulit

amorolfin dioleskan satu kali sehari selama 2-3 minggu sedangkan untuk tinea pedis selama 6

bulan. Amorolfin 5% nail lacquaer diberikan sebagai monoterapi pada onikomikosis ringan

tanpa adanya keterlibatan matriks. Diberikan satu atau dua kali seminggu selama 6-12 bulan.

Pemakaian amorolfin 5% pada pengobatan jamur memiliki angka kesembuhan 60-76%

dengan pemakaian satu atau dua kali seminggu. Kuku tangan dioleskan satu atau dua kali

setiap minggu selama 6 bulan sedangkan kuku kaki harus digunakan selama 9-12 bulan.3,7,20

4. Siklopiroks olamin

Siklopiroks olamin adalah antijamur sintetik hydroxypyridone, bersifat fungisidal,

sporisida dan memiliki penetrasi yang baik pada kulit dan kuku. Siklopiroks efektif untuk

pengobatan tinea korporis, tinea kruris, tinea pedis, onikomikosis, kandidiasis kutaneus dan

pitiriasis versikolor.21

Untuk pengobatan infeksi jamur pada kulit harus dioleskan 2 kali sehari selama 2-4

minggu sedangkan untuk pengobatan onikomikosis digunakan siklopiroks nail lacquer 8%.

Setelah dioleskan pada permukaan kuku yang sakit, larutan tersebut akan mengering dalam

waktu 30-45 detik, zat aktif akan segera dibebaskan dari pembawa berdifusi menembus

lapisan lempeng kuku hingga ke dasar kuku (nail bed) dalam beberapa jam sudah mencapai

kedalaman 0,4 mm dan secara penuh akan dicapai setelah 24-48 jam pemakaian. Kadar obat

akan mencapai kadar fungisida dalam waktu 7 hari sebesar 0,89 ±0,25 mikrogram tiap

milligram material kuku. Kadar obat akan meningkat terus hingga 30-45 hari setelah

pemakaian dan selanjutnya konsentrasi akan menetap yakni sebesar 50 kali konsentrasi obat

minimal yang berefek fungisidal. 10,21 Konsentrasi obat yang berefek fungisidal ditemukan di

setiap lapisan kuku.10,20

35

Gambar 18. Struktur Siklopiroks olamin8

Page 36: referensi antijamur

Sebelum pemakaian cat kuku siklopiroks, terlebih dahulu bagian kuku yang terinfeksi

diangkat atau dibuang, kuku yang tersisa dibuat kasar kemudian dioleskan membentuk lapisan

tipis. Dilakukan setiap 2 hari sekali selama bulan pertama, setiap 3 hari sekali pada bulan

kedua dan seminggu sekali pada bulan ketiga hingga bulan keenam pengobatan. Pemakaian

cat kuku dianjurkan tidak lebih dari 6 bulan. 7,,21

5. Haloprogin

Haloprogin merupakan halogenated phenolic, efektif untuk pengobatan tinea korporis,

tinea kruris, tinea pedis dan pitiriasis versikolor, dengan konsentrasi 1% dioleskan 2 kali

sehari selama 2-4 minggu.10

6. Timol

Timol adalah antiseptik yang larut dalam alkohol efektif dalam bentuk tingtur untuk

mengobati onikolisis. Timol bekerja sebagai antiseptik membunuh organisme pada saat

alkohol menguap. Tidak tersedia preparat komersil; ahli farmakologi mencampur 2-4% timol

ke dalam larutan dasar seperti etanol 95% dan mengendap di dasar botol. Pemakaiannya jari

ditegakkan vertikal lalu diteteskan solusio sampai menyentuh hiponikium, gaya gravitasi dan

tekanan permukaan secara cepat mendistribusikan timol ke bagian terdalam dari ruang

subungual. Penggunaan timol beresiko iritasi, dan memiliki bau yang tidak menyenangkan. 20

7. Castellani’s paint

Castellani’s paint (carbol fuchsin paint) memiliki aktifitas antijamur dan antibacterial.

Digunakan sebagai terapi tinea pedis, dermatitis seboroik, tinea imbrikata.Efek sampingnya

adalah iritasi dan reaksi toksik terhadap fenol. 22

36

Gambar 19. Struktur haloprogin

Page 37: referensi antijamur

8. Alumunium Chloride

Alumunium Chloride 30% memiliki efikasi mirip dengan Castellani’s paint pada

terapi tinea pedis.22

9. Gentian Violet

Gentian violet adalah triphenylmethane (rosaniline) dye. Produk yang dipasarkan

mengandung 4% tetramethyl dan pentamethyl congeners campuran ini membentuk kristal

violet. Solusio gentian violet dengan konsentrasi 0,5-2% digunakan pada infeksi jamur

mukosa. Gentian violet memiliki efek antijamur dan antibaterial.22

10. Potassium Permanganat

Potassium permanganat tidak memiliki aktifitas antijamur. Pada pengenceran 1:5000

sering digunakan untuk meredakan inflamasi akibat kandidiasi intertriginosa.22

11. Selenium Sulphide

Losio 2,5% selenium sulphide untuk terapi pitiriasis versikolor dan dermatitis

seboroik. Pengguinaan losio selama 10 menit satu kali sehari selama pemakaian 7 hari, tidak

terjadi absorpsi perkutaneus yang signifikan. Selenium sulphide 2,5% dalam bentuk sampo

dapat menyebabkan iritasi pada kulit kepala atau perubahan warna rambut. Losio selenium

sulphide juga digunakan sebagai sampo pada tinea kapitis yang telah diberikan terapi oral

griseofulvin.22

12. Zinc Pyrithione

Zinc pyrithione adalah antijamur dan antibakteri yang digunakan mengatasi pitiriasis

sika. Sampo zinc pyrithione 1% efektif pada terapi pitiriasis versikolor yang dioleskan setiap

hari selama 2 minggu.22

13. Sodium Thiosulfate dan Salicylic Acid

Solusio 25% sodium thiosulfate dikombinasi dengan 1% salicylic acid tersedia

preparat komersial dan digunakan pada tinea versikolor.22

37

Page 38: referensi antijamur

14. Prophylen Glycol

Prophylen glycol (50% dalam air) telah digunakan untuk mengatasi pitiriasis

versikolor. Prophylen glycol 4-6% sebagai agen keratolitik, yang secara in vitro bersifat

fungistatik terhadap Malassezia furfur kompleks (bentuk dari Pityrosporum spp). Solusio

propylene glycol-urea- asam laktat juga telah digunakan untuk onikomikosis.22

KESIMPULAN

Obat antijamur berdasarkan cara penggunaannya terbagi atas obat antijamur sistemik

dan topikal. Berdasarkan tempat kerjanya terbagi menjadi empat golongan utama yaitu polien,

azol, alilamin, dan ekinokandin.

Golongan azol terbagi dua berdasarkan jumlah nitrogen pada cincin azol yaitu

kelompok imidazol dan triazol. Triazol dimetabolisme lebih lambat dan efek samping yang

sedikit dibandingkan imidazol, karena itulah para peneliti berusaha mengembangkan

golongan triazol daripada imidazol.

Formulasi Amfoterisin B dengan dasar lipid relatif kurang nefrotoksik dibanding

AMB deoksikolat. Penggunaan AMB dasar lipid dapat diberikan dengan dosis lebih besar

dan risiko gagal ginjal lebih rendah.

Penelitian terbaru terhadap obat antijamur saat ini memfokuskan pada target baru

seperti ekinokandin. Golongan ini memberikan alternatif lain dalam terapi pengobatan

aspergilosis dan kandidiasis.

Dari seluruh pilihan di atas para dokter harus memiliki pengetahuan yang baik

terhadap farmakokinetik dan potensi interaksi antar obat terhadap obat antijamur sehingga

kita dapat memilih obat antijamur yang terbaik untuk pasien.

38

Page 39: referensi antijamur

DAFTAR PUSTAKA

1. Verma S, Heffernan MD. Superficial Fungal Infection: Dermatophytosis, onychomycosis, Tinea Nigra, Piedra. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatricks’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill.2008.p 1807-1821.

2. Hay RJ. Deep Fungal Infections. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatricks’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill.2008.p 1831-1844

3. Gupta AK, Copper EA. Update in antifungal therapy of dermatophytosis. Mycopathologia (2008) 166;353-367

4. High WA, Fitzpatrick JE. Topical Antifungal Agents. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatricks’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill.2008.p 2116-2121

5. Bellantoni MS, Konnikov N. Oral antifungal agents. In: Wolff K, Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BS, Paller AS, Leffel DJ. eds. Fitzpatricks’s Dermatology in General Medicine. 7th ed. New York: Mc Graw-Hill.2008.p 2211-2217

6. Dismukes WE. Introduction to antifungal drugs. Clinical infectious disease 2000; 30:653-7

7. Ashley ES et.al. Pharmacology of systemic antifungal agents. Clinical Infectious Disease D 2006;43 (Suppl 1):28-39.

8. Gupta AK. Systemic antifungal agents. In: Wolverton ES, editor. Comprehensive dermatology drug therapy. Indianapolis, Indiana: W.B. Saunders Company;2002. Pp75-99.

9. Gubbins PO, Anaissie EJ. Antifungal therapy. In: Anaissie EJ, McGinn MR, Pfaller. Clinical Mycology. 2nd Ed. China: Elsevier. 2009. p161-196

10. Bennet JE. Antimicrobial Agents: Antifungal Agents. In: Brunton LL, Lazo JS, Parker KL. Goodman & Gilman's: The Pharmacological Basis Of Therapeutics. 11th Ed. New York: Mc Graw-Hill. 2006

11. ZhaoX, Calderone RA. Antifungals currently used in the treatment of invasive fungal disease. In: Calderone RA, Cihlar RL. Eds. Fungal pathogenesis principles and clinical applications. USA; Mycology Vol 14. 2002; p 559-574

12. Onyewu C, Heitman J. Unique Aplications of Novel Antifungal Drug Combinations. Anti-Infective Agents in Medicinal Chemistry 2007; 6: 3-15

13. Lesher J. Woody CMC. Antimicrobial drugs. In:Bolognia JL Jorrizo JL, Rapini RP, et al. Eds. Dermatology 2th Ed, Mosby Elsevier, 2008.

39

Page 40: referensi antijamur

14. Rubin AI, Bagheri B, Scher RK. Six Novel Antimycotics. Am J Clin Dermatol 2002; 3(2): 71-81

15. Wu JJ, Pang KR, Huang DB, Trying SK. Therapy of Systemic Fungal Infections. Dermatologic Therapy 2004; 17: 532–538

16. Marr KA. Empirical Antifungal Therapy – New Options, New Tradeoffs. N Engl J Med 2002; 346(4): 278-280

17. Torres HA, Hachem RY, Chemaly RF, Kontoviannis DP, Raad II. Posaconazole: A Broad-Spectrum Triazole Antifungal. Lancet Infect Dis 2005; 5: 775–85

18. Ray A, Anand S. Recent trends in antifungal therapy:focus on systemic mycoses. Indian J Chest Dis Allied Sci 2000;42:357-366

19. Phillips RM, Rosen T. Topical antifungal agents. In: Wolverton ES, editor. Comprehensive dermatology drug therapy. Indianapolis, Indiana: W.B. Saunders Company;2002. 547-568.

20. Kyle AA, Dahl MV. Topical therapy for fungal infections. Am J Clin Dermatol 2004:5(6):443-461.

21.Huang DB. Therapy Of Common Superficial Fungal Infection. Dermatologic Therapy 2004; 17: 517-522

22.Gupta et al. An overview of topical antifungal therapy in dermatomycosis. A North American Perspective. Drugs 1998 May;55(5):645-674.

40