rekonstruksi kebijakan hukum pelaksanaan pidana …repository.unissula.ac.id/9875/3/daftar...
TRANSCRIPT
vii
REKONSTRUKSI KEBIJAKAN HUKUM PELAKSANAAN PIDANA
MATI BERBASIS NILAI-NILAI PANCASILA
A. Latar Belakang
Sebagaimana diketahui bahwa hingga saat ini Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (untuk selanjutnya disingkat KUHP) merupakan warisan
peninggalan penjajah Belanda masih berlaku di Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang sudah berdaulat dan merdeka sejak 17 Agustus 1945.
KUHP (Wetboek van Strafrecht untuk selanjutnya disingkat W.v.S) masih berlaku
di Indonesia berdasarkan UU No. 1 Tahun 1946 jo UU No. 73 Tahun 1958.
KUHP (W.v.S) berasal dari dari keluarga/sistem hukum kontinental (Civil Law
System) atau disebut oleh Rene David sebagai “the Romano Germanic Family”
atau “Civil Law System” yang menonjolkan paham “individualism, liberalism and
individual rights”.
Sedangkan konsepsi negara hukum Indonesia memiliki ciri dan
karakteristik yang didasarkan pada semangat dan jiwa bangsa (volkgeist)
Indonesia, yakni Pancasila. Meskipun identitas dan perumusan ciri negara
Indonesia yang berdasarkan Pancasila telah dirumuskan, namun konsepsi negara
hukum Pancasila belum diimplementasikan dan dilembagakan dengan baik. Oleh
karena itu perlu ada upaya sistematis, terstruktur, dan massive untuk melakukan
internalisasi konsep negara hukum Pancasila ke dalam aspek-aspek kehidupan
berbangsa dan bernegara, utamanya dalam pembaharuan hukum nasional.
Adian Husaini menuturkan arti pentingnya Pancasila sebagai worldview
dan pijakan nilai bagi bangsa Indonesia. Nilai-nilai yang terdapat dalam sila-sila
Pancasila, yakni nilai ketuhanan (religius), kemanusiaan, persatuan, kerakyatan,
dan keadilan merupakan nilai-nilai filosofi bangsa dalam membangun hukum
Indonesia ke depan. Pancasila sebagai ideologi, dasar dan falsafah hidup bangsa
Indonesia inilah yang bangsa dan negara kita menjalani kehidupan bernegara
sesuai dengan jati dirinya yang membedakan dengan bangsa-bangsa lain di dunia.
Seiring dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara, Pancasila telah menjadi
sumber primer dalam memecahkan persoalan bangsa yang bersifat
viii
multidimensional. Harus diakui, Pancasila mempunyai nilai historis yang kuat
yang dapat meningkatkan spirit kebangsaan, di sisi lain Pancasila mempunyai
nilai spiritual-ideologis yang dapat dijadikan sebagai kekuatan untuk meneropong
persoalan kekinian dan kemasadepanan.
Dalam konteks inilah, nilai-nilai Pancasila menjadi sangat relevan dalam
rangka membangun jati diri hukum yang bercorak Indonesia. Bangunan hukum
yang mencerminkan nilai-nilai, norma, falsafah bangsa Indonesia. Demikian pula
dalam ranah hukum pidana yang masih memberlakukan Kitab Undang-Undang
Pidana (Wetboek van Strafrecht voor Nederlands Indie untuk selanjutnya
disingkat W.v.S.N.I. atau W.v.S. (KUHP)) yang berasal dari Belanda. W.v.S.
Belanda ini berasal dari Code Penal Perancis buatan Tahun 1791 Masehi. KUHP
(W.v.S) yang masih dipakai di Indonesia ini sudah berusia sekitar 3 abad lamanya.
Apabila dilihat dari rentang waktu yang demikian panjang dengan kultur
masyarakat yang berbeda antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat Eropa
(Perancis dan Belanda), maka terdapat perbedaan latar belakang sejarah yang
diiringi dengan perbedaan nilai diantara kedua budaya (kultur) bangsa ini.
Dalam rangka mengganti peraturan perundang-undangan peninggalan
kolonial dan menyempurnakan peraturan perundang-undangan yang ada yang
sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, maka KUHP (W.v.S.)
sebagai produk hukum kolonial bukanlah harga mati yang harus dipertahankan di
negeri kita. Terlebih ketika di negeri asalnya, W.v.S. sudah berkali-kali mengalami
rekonstruksi. Masih patutkah KUHP dipertahankan seiring dengan dinamika
masyakarakat Indonesia yang merdeka dan berdaulat? Demikian pula aturan yang
mengatur tentang hukum pelaksanaan pidana yang terdapat dalam Pasal 10 KUHP
(W.v.S.) dan beberapa peraturan perundang-undangan terkait yang saat ini dinilai
masih terfragmentaris.
Bertolak dari pendapat di atas, maka disertasi ini akan mengkaji
komponen norma hukum dan perundang-undangan, khususnya berkaitan dengan
pidana pokok dalam hukum pelaksanaan pidana (hukum penitensier) yang
bercelup Indonesia. Kondisi inilah yang melatarbelakangi penulis untuk
menganalisis dan merekonstruksi dalam bentuk disertasi sehingga memenuhi
ix
kaidah tertib negara hukum Indonesia yang berjiwa Pancasila dengan judul
penelitian disertasi,“Rekonstruksi Kebijakan Hukum Pelaksanaan Pidana Mati
Berbasis Nilai-Nilai Pancasila”.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka
penulis membatasi permasalahan sebagaimana point-point di bawah ini:
1. Bagaimana kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati dalam hukum
pidana positif saat ini?
2. Bagaimana kelemahan-kelemahan hukum pelaksanaan pidana mati dalam
hukum pidana positif saat ini?
3. Bagaimana rekonstruksi kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati
berbasis nilai-nilai Pancasila?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengkaji dan menganalisis kebijakan hukum pelaksanaan pidana
mati dalam hukum pidana positif saat ini.
2. Untuk mengkaji dan menganalisis kelemahan-kelemahan hukum
pelaksanaan pidana mati dalam hukum pidana positif saat ini.
3. Untuk menganalisis dan merekonstruksi kebijakan hukum pelaksanaan
pidana mati berbasis nilai-nilai Pancasila.
D. Kegunaan Penelitian
Penelitian disertasi ini diharapkan dapat memberikan manfaat/kegunaan baik
secara teoretis maupun praktis;
x
1. Kegunaan Teoretis
Menemukan teori baru kebijakan hukum pelaksanaan pidana dalam upaya
pembangunan hukum pidana yang bercelup Indonesia, sesuai dengan jati diri,
falsafah, dan ideologi bangsa Indonesia yakni Pancasila.
2. Kegunaan Praktis
Memberi masukan bagi lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, akademisi dan
masyarakat guna mempertimbangkan seberapa efektif kebijakan hukum
pelaksanaan pidana saat ini yang masih mempertahankan produk hukum
kolonial.
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Hakikat penelitian ini adalah menganalisis kebijakan
legislatif/formulatif dalam menetapkan dan merumuskan sistem hukum
pidana/sistem pemidanaan yang meliputi hukum pelaksanaan pidana. Oleh
karena itu pendekatan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif.
Dalam penelitian hukum normatif digunakan beberapa pendekatan, yaitu
pendekatan perundang-undangan (statute appproach), pendekatan konseptual
(conceptual approach) dan pendekatan perbandingan (comparative
approach).
2. Spesifikasi Penelitian
Spesifikasi penelitian yang dilakukan dalam menyusun disertasi ini
adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan. Dalam
penelitian hukum normatif, perbandingan hukum merupakan suatu metode.
Dengan metode perbandingan hukum dapat dilakukan penelitian terhadap
pelbagai sub-sistem hukum yang berlaku di suatu masyarakat tertentu atau
secara lintas sektoral terhadap sistem-sistem hukum pelbagai masyarakat
yang berbeda-beda.
3. Jenis dan Sumber Data
xi
Jenis dan data dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data yang
bahan-bahannya diambil dari pustaka/bahan-bahan pustaka. Data sekunder
yang diteliti dalam disertasi yang disusun ini terdiri dari:
a. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri:
1. Norma (dasar) atau kaidah dasar, yaitu Pancasila yang terdapat
dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
2. Peraturan Dasar; Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Tahun 1945,
Ketetapan-ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat/PJP
(Pembangunan Jangka Panjang).
3. Peraturan Perundang-undangan yang di dalamnya mencantumkan
ketentuan hukum pelaksanaan pidana, serta Peraturan Pelaksananya
yaitu Peraturan Pemerintah.
4. Bahan hukum yang tidak dikodifikasikan, seperti hukum adat dan
hukum agama.
5. Yurisprudensi.
6. Bahan hukum dari zaman penjajahan yang hingga kini masih
berlaku, seperti: Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
/KUHP/W.v.S.(Wetboek van Strafrecht).
b. Bahan hukum sekunder, yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer, seperti rancangan undang-undang (yang diteliti meliputi;
RUU KUHP Tahun 2015 dan Konsep KUHAP Baru Tahun 2009), Kitab
Undang-Undang Hukum Pelaksanaan Pidana Negara Lain, hasil-hasil
penelitian dan hasil karya ilmiah dari kalangan hukum (pidana).
c. Bahan hukum tertier, yakni bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder; contohnya,
kamus, ensiklopedia.
4. Metode Pengumpulan Data
Berpijak dari penelitian yang dilakukan dengan memusatkan perhatian
pada data sekunder melalui studi pustaka, maka bahan hukum primer maupun
bahan hukum sekunder dikumpulkan berdasarkan perumusan masalah yang
xii
telah ditetapkan, kemudian diklasifikasi menurut sumber dan hierarkinya
untuk dikaji secara komprehensif.
5. Metode Analisis Data
Seluruh data dan informasi yang diperoleh dalam penelitian ini
dianalisis dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif.
Penggunaan metode analisis deskriptif kualitatif ini sangat berkaitan dengan
permasalahan yang dibahas dalam disertasi, seperti yang telah dikemukakan
dalam perumusan masalah. Analisis kualitatif normatif terhadap data yang
disajikan secara kuantitatif, berpijak pada analisis deskriptif dan prediktif.
F. Kebijakan Hukum Pelaksanaan Pidana Mati dalam Hukum Pidana
Positif Saat Ini
Hukum Pelaksanaan Pidana berupa pidana mati di Indonesia saat ini diatur
dalam UU No. 5 Tahun 1969 tentang Pernyataan Berbagai Penetapan Presiden
dan Peraturan Presiden sebagai Undang-Undang. Penetapan Presiden yang
dimaksud adalah Penpres No. 2 Tahun 1964 tentang Tata Cara Pelaksanaan
Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Peradilan Umum
dan Militer.
Ketentuan pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan cara ditembak
sampai mati ini merubah ketentuan dalam Pasal 11 KUHP yang berbunyi, “Pidana
mati dijalankan oleh algojo di tempat gantungan dengan menjeratkan tali yang
terikat di tiang gantungan pada leher terpidana kemudian menjatuhkan papan
tempat terpidana berdiri.” Pelaksanaan pidana mati oleh algojo di tiang gantungan
ini dianggap tidak sesuai dengan perkembangan kemajuan. Oleh karena itu perlu
diadakan penyesuaian sebagaimana diatur dalam Penpres No. 2 Tahun 1964.
Berdasarkan Peraturan Kapolri No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati dan Penpres No.2/PNPS/1964 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan
Peradilan Umum dan Peradilan Militer, ternyata tak semua senjata diisi peluru
tajam. Hanya tiga senapan laras panjang diisi peluru tajam, sementara sembilan
senapan lain diisi peluru hampa.
xiii
G. Kelemahan-Kelemahan Hukum Pelaksanaan Pidana Mati dalam Hukum
Pidana Positif Saat Ini
Dalam konteks Indonesia, berkaitan dengan membatasi penerapan pidana
mati dikukuhkan dalam Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 2-3/PUU-
V/2007 yang menyatakan bahwa di masa yang akan datang perumusan,
penerapan, maupun pelaksanaan pidana mati hendaklah memperhatikan empat hal
penting:
a) Pidana mati bukan merupakan pidana pokok, melainkan sebagai pidana yang
bersifat khusus dan alternatif.
b) Pidana mati dapat dijatuhkan dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh)
tahun yang apabila terpidana berkelakuan terpuji dapat diubah dengan pidana
penjara seumur hidup atau selama 20 tahun.
c) Pidana mati tidak dapat dijatuhkan terhadap anak-anak yang belum dewasa.
d) Eksekusi pidana mati terhadap perempuan hamil dan seseorang yang sakit
jiwa ditangguhkan sampai perempuan hamil tersebut melahirkan dan terpidana
yang sakit jiwa tersebut sembuh.
Kontroversi seputar pidana mati mengemuka antara aliran abolitionist
yang kontra dengan pidana mati dengan penganut yang menyatakan masih
perlunya pidana mati sebagai salah satu jenis pidana (retentionist).
Ada dua golongan tentang pidana mati ini:
Golongan yang tidak setuju, alasannya:
a. Sifatnya mutlak, tidak dapat ditarik kembali
b. Kesesatan hakim
c. Bertentangan dengan perikemanusiaan, moral dan etika
d. Berhubungan dengan tujuan pemidanaan: Tujuan perbaikan tidak tercapai dan
Pelaksanaannya tidak di muka umum, sehingga rasa takut (generale preventie)
tidak tercapai.
e. Adanya rasa belas kasihan kepada si terpidana
Golongan yang setuju, alasannya:
a. Pelaku sudah melakukan tindakan yang melanggar HAM dan sila-sila
Pancasila
xiv
b. Alat keamanan kurang
c. Heterogenitas penduduk Indonesia, terjadi bentrokan
d. Perlu untuk tindak pidana tertentu, yaitu misalnya untuk pembunuhan
berencana, tindak pidana korupsi, tindak pidana HAM, tindak pidana bagi
pengedar narkotika.
Terlepas dari kontroversi pendapat yang pro maupun yang kontra terhadap
pidana mati, namun secara yuridis formal pidana mati masih diterapkan di
Indonesia.
Oleh karena itu, belum diterimanya penghapusan pidana mati di Indonesia
harus dipahami bahwa kesadaran sejarah masyarakat Indonesia belum dapat
menerima penghapusan pidana mati. Pidana mati masih dipahami sebagai sesuatu
yang sah secara hukum maupun moral. Kalaupun pidana mati melanggar hak
hidup, pelanggaran tersebut dapat dibenarkan sebagai hukuman atas tindak pidana
tertentu. Namun, kesadaran sejarah tersebut tentu akan mengalami perubahan
seiring dengan perubahan masyarakat Indonesia dan munculnya pemikiran-
pemikiran baru yang mendasari upaya penghapusan pidana mati. Pada saat telah
terjadi perubahan kesadaran sejarah masyarakat tentu pidana mati dapat
dihapuskan, yang dapat terjadi melalui pembentuk undang-undang maupun hakim
karena keduanya dipengaruhi bahkan merupakan refleksi dari kesadaran sejarah
masyarakatnya.
H. Rekonstruksi Kebijakan Hukum Pelaksanaan Pidana Mati Berbasis Nilai-
Nilai Pancasila
Melakukan kebijakan hukum pidana termasuk didalamnya kebijakan
hukum pelaksanaan pidana diperlukan pendekatan yang berorientasi pada
kebijakan (policy oriented approach) yang lebih bersifat pragmatis dan rasional,
dan juga pendekatan yang berorientasi pada nilai (value judgement approach).
Jadi sudah semestinya antara pendekatan kebijakan dan pendekatan nilai tidak
dipandang secara dikotomi. Dimana di dalam pendekatan kebijakan sudah
seharusnya mempertimbangkan faktor-faktor nilai.
xv
Terlebih bagi negara Indonesia yang memiliki Pancasila yang sarat akan
nilai-nilai dan garis kebijakan pembangunan nasional yang bertujuan membentuk
manusia Indonesia yang seutuhnya. Apabila pidana akan digunakan sebagai
sarana untuk tujuan tersebut, maka pendekatan humanistis harus pula
diperhatikan. Pendekatan humanistis menjadi hal yang penting diperhatikan bukan
hanya karena kejahatan itu pada hakekatnya merupakan masalah kemanusiaan,
tetapi juga karena pidana itu sendiri mengandung unsur penderitaan yang dapat
menyerang kepentingan atau nilai yang paling berharga bagi kehidupan manusia.
Pendekatan humanistis dalam penggunaan sanksi pidana, tidak hanya
berarti bahwa pidana yang dikenakan kepada si pelanggar harus sesuai dengan
nilai-nilai kemanusiaan, tetapi juga harus dapat membangkitkan kesadaran si
pelanggar akan nilai-nilai kemanusiaan dan nilai-nilai pergaulan hidup
bermasyarakat.
Selain itu, langkah pembaharuan juga perlu memperhatikan landasan
sosio-filosofis dan sosiokultural sistem hukum nasional yang dilatarbelakangi oleh
kebutuhan dan tuntutan nasional untuk melakukan pembaharuan dan sekaligus
perubahan/penggantian KUHP Lama (Wetboek van Strafrecht) warisan zaman
kolonial Belanda. Jadi berkaitan erat dengan ide “penal reform”(pembaharuan
hukum pidana). Termasuk dalam pembaharuan ini adalah pembaharuan hukum
acara pidana (criminal procedur law) dan hukum pelaksanaan pidana (criminal
law implementation).
Bertolak dari pemikiran di atas, maka ide pembaharuan hukum pidana
tidak dapat dilepaskan dari ide/kebijakan pembangunan Sistem Hukum Nasional
yang berlandaskan Pancasila sebagai nilai-nilai berkehidupan kebangsaan yang
dicita-citakan. Ini berarti, pembaharuan hukum pidana nasional seyogyanya juga
dilatarbelakangi dan berorientasi pada ide-ide dasar (basic ideas) Pancasila yang
mengandung di dalamnya keseimbangan nilai/ide/paradigma: (a) moral religius
(ketuhanan); (b) kemanusiaan (humanistis); (c) kebangsaan; (d) demokrasi; (e)
keadilan sosial.
Dengan mengemukakan hal-hal di atas ingin ditekankan, bahwa
penggalian hukum agama dan hukum tradisional merupakan hal yang wajar dan
xvi
bahkan dapat dikatakan merupakan “tuntutan zaman”. Khususnya bagi bangsa
Indonesia, hal itu jelas merupakan “beban nasional” dan bahkan merupakan
“kewajiban dan tantangan nasional” karena telah diamanatkan dan
direkomendasikan dalam berbagai perundang-undangan dan seminar-seminar
nasional selama ini. Masalahnya adalah bagaimana menggali,
mentransformasikan dan mengaktualisasikan nilai-nilai hukum tradisional (hukum
adat) dan nilai-nilai hukum agama sehingga dapat diterima menjadi norma-norma
yang terintegrasi dalam sistem hukum nasional.
Oleh karena itu disertasi ini menjadikan RUU KUHP2015 sebagai dasar
rujukan mengingat adanya pembaharuan orientasi nilai yang dicita-citakan yang
bermuatan nilai-nilai sosiofilosofis, sosiopolitik, dan sosiokultural bangsa
Indonesia yang berbasis nilai-nilai Pancasila didalamnya.
Pasal 10 KUHP menempatkan pidana mati sebagai salah satu pidana
pokok. Pidana mati merupakan pidana paling berat dalam susunan jenis pidana
(straf soort). Pelaksanaan pidana mati saat ini dilakukan oleh regu tembak dengan
cara ditembak sampai mati dan dilakukan secara tertutup. Tata cara pelaksanaan
pidana mati ini diatur dalam UU No. 5 Tahun 1969 jo UU No. 2/Pnps/1964
tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di
Lingkungan Peradilan Umum dan Militerjo Peraturan Kapolri (Kapolri) No. 12
Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
Ide (gagasan) keseimbangan terdapat dalam prinsip-prinsip dalam hukum
(pidana) Islam secara substansial sudah banyak diadopsi dalam hukum nasional
yang secara historis merupakan peninggalan hukum Barat, namun masih ada yang
kurang mendapat tempat sewajarnya dalam hukum pidana positif Indonesia,
diantaranya:1
1 Lihat, Mahmutarom HR, 2016, Rekonstruksi Konsep Keadilan (Studi tentang
Perlindungan Korban Tindak Pidana Terhadap Nyawa Menurut Hukum Islam, Konstruksi
Masyarakat dan Instrumen Internasional, Cetakan Ke-3, Badan Penerbit Universitas Diponegoro,
Semarang, hlm. 338-339.
xvii
a. Perlu adanya transparansi dalam proses peradilan pidana sebagai bentuk
peradilan yang jujur, tidak memihak dengan mengedepankan keadilan dan
kebenaran (Rule of Justice atau Rule of Morality) dan bukan sekedar
menegakkan undang-undang (Rule of Law). Terlebih peradilan yang
mengancam pidana mati terhadap terdakwa. Peradilan yang ketat dalam hal
pembuktian, transparan, mengedepankan keadilan, kebenaran, kejujuran dan
bermartabat sangat dibutuhkan dalam menentukan ‘nasib’ seorang terdakwa.
b. Eksekusi hendaknya dilakukan dengan cara yang paling baik. Pelaksanaan
eksekusi pidana mati yang saat ini diterapkan di Indonesia dengan cara
ditembak sampai mati dalam beberapa kasus tidak langsung menyebabkan
kematian terhadap terpidana mati. Hal ini tentu saja menyebabkan rasa sakit
yang luar biasa dan tidak sesuai dengan nilai-nilai Pancasila terutama sila
kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab. Oleh karena itu perlu
dipertimbangan untuk eksekusi yang langsung menyebabkan kematian
dengan meminimalisir rasa sakit yang memutus “kabel” (spinal cord) antara
dua titik sentral kehidupan manusia yakni jantung dan otak.
c. Hakim hendaknya memiliki keberanian, progresif dan bersifat aktif dalam
mencari dan menemukan kebenaran sebagai salah satu bentuk menegakkan
kebenaran sebagai salah satu bentuk menegakkan keadilan dan kebenaran.
d. Perlu ditingkatkan perlindungan terhadap masyarakat terutama korban dan
wali korban melalui peran sertanya dalam proses peradilan pidana di bawah
koordinasi hakim. Termasuk perlindungan terhadap bayi (anak) bagi
terpidana mati yang sedang hamil, hendaknya eksekusi ditangguhkan
xviii
minimal selama 2 tahun agar terpidana (Ibu) dapat memberikan ASI (Air
Susu Ibu) untuk anaknya. Demikia pula untuk terpidana mati yang sakit jiwa
dan sakit keras ditunda eksekusinya hingga terpidana sembuh dari sakitnya.
Pemeriksaan terhadap kondisi terpidana mati dilakukan oleh tim medis
(dokter) terkait.
e. Dibukanya peluang untuk melakukan rekonsiliasi melalui permintaan maaf
dari pelaku kepada korban/keluarga korban melalui hakim dalam sidang yang
dinyatakan terbuka untuk umum.
f. Dimungkinkannya pemberian ganti kerugian sebagai salah satu bentuk
tanggung jawab pelaku akan kelangsungan hidup korban atau keluarga
korban (dalam kasus tindak pidana (kejahatan) terhadap nyawa) dalam jumlah
yang disepakati sesuai dengan kondisi korban dan kemampuan pelaku
berdasar kebijaksanaan hakim dalam sidang yang terbuka untuk umum.
g. Adanya pemberian maaf dan/atau pemberian santunan atau ganti rugi bukan
merupakan akhir dari perkara, hakim sebagai wakil dari negara dengan
kearifan dan kebijaksanaannya dapat memberikan sanksi tambahan atas dasar
pertimbangan kepentingan masyarakat dalam arti luas.
h. Pelaksanaan hukum tidak hanya sekedar untuk mewujudkan
kemaslahatan/kepentingan umum, tetapi juga harus mampu menghindari
datangnya kemungkinan kerusakan atau kemaksiatan. Dalam hal terjadi
benturan kepentingan, maka menghindari kerusakan harus lebih diutamakan
sekalipun juga pada sisi lain dapat mendatangkan kemaslahatan.
xix
i. Penerapan hukum hendaknya memperhatikan ide-ide, nilai-nilai, konsep serta
tujuan hukum yang dibalik ketentuan undang-undang, karena undang-undang
haruslah tunduk kepada ide-ide, nilai-nilai serta tujuan hukum tersebut. Di
samping itu juga harus memperhatikan kondisi-kondisi riil yang ada dalam
masyarakat yang meliputi nilai-nilai keadilan, kebiasaan masyarakat yang
meliputi nilai-nilai keadilan, kebiasaan serta norma-norma sosial yang ada,
sehingga tidak harus serba seragam.
j. Penerapan hukum pelaksanaan pidana mati hendaknya juga memperhatikan
pendapat maupun instrumen internasional terutama penolakan pidana mati
dari aliran abolitionist dengan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi
manusia dengan tidak memasukkan pidana mati sebagai pidana pokok akan
tetapi sebagai pidana khusus yang diatur secara alternatif. Disertai dengan
ketatnya dalam hal pembuktian dan proses persidangan yang menegakkan
keadilan, kebenaran dan kejujuran. Pidana mati hanya diterapkan untuk
tindak pidana yang masuk dalam kategori the most seroius crimes, seperti:
tindak pidana terhadap nyawa manusia (seperti: pembunuhan, terorisme,
genoside), korupsi, pengedar narkotika dan psikotropika, dan tindak pidana
lainnya yang perlu dirumuskan secara nasional dalam rangka terciptanya
masyarakat yang adil, makmur, aman,nbahagia dan sejahtera.
Berdasarkan uraian di atas, maka rekonstruksi nilai kebijakan hukum
pelaksanaan pidana mati berbasis nilai-nilai Pancasila untuk mewujudkan
perlindungan hukum bagi pelaku dan korban secara seimbang. Asas-asas hukum
yang dapat dijadikan pondasi dalam kerangka rekonstruksi kebijakan hukum
xx
pelaksanaan pidana mati yang berkaitan dengan perlindungan pelaku dan dan
korban secara seimbang diantaranya dijabarkan sebagai berikut:
1. Asas Ketuhanan dapat diwujudkan dalam bentuk sanksi pidana menjalankan
kewajiban agama2 (hukum yang hidup) seperti kewajiban untuk berpuasa 2
bulan berturut-turut bagi pelaku pembunuhan, korupsi, pengedar narkotika,
psikotropika, dan terorisme yang tidak dipidana mati, membebaskan budak
(untuk saat ini dapat digantikan dengan kewajiban memberi makan orang
miskin dalam jumlah tertentu atau kewajiban-kewajiban lain) berdasarkan
ajaran agama yang dianutnya sebagai upaya membebaskan rasa berdosa pada
si pelaku yang menjadi salah satu tujuan pemidanaan.
2. Asas Kemanusiaan, yang dapat diwujudkan dalam bentuk pemberian ganti
rugi kerugian sebagai jaminan kelanjutan hidup yang relatif layak tanpa harus
membedakan siapa pelaku dan siapa korbannya, kewajiban untuk membiayai
perawatan, pemakaman maupun biaya selamatan dan tidak
mempermasalahkan dari mana sumber keuangannya (bagi terpidana tindak
pidana terhadap nyawa). Pemberian ganti kerugian terhadap korban
pengedaran narkotika dan psikotropika baik itu berupa pembiayaan
rehabilitasi (bagi terpidana pengedar narkotika dan psikotropika).
Pengembalian uang korupsi kepada negara (bagi terpidana korupsi).
3. Asas Persatuan yang dapat diwujudkan dengan menciptakan rekonsiliasi dan
pemulihan hubungan baik yang telah rusak sebagai akibat tindak pidana
tersebut. Dengan rekonsiliasi sekaligus mengakhiri konflik dengan prinsip
2 Kewajiban agama dalam hal ini diartikan dalam jargon politik untuk kesatuan pandangan,
sehingga menjadi hak negara untuk menafsir dan melaksanakan dan bukan dalam jargon
keagamaan yang multi tafsir. Lihat, Mahmutarom HR, Ibid, hlm. 340-341.
xxi
musyawarah yang berkeseimbangan dan berkeadilan. Rekonsiliasi ini
hendaknya dilakukan dalam sidang yang terbuka untuk umum untuk
menghindari tekanan-tekanan yang tidak diharapkan dan dapat merusak
keseimbangan dan keadilan. Sekaligus juga memberi ruang gerak bagi negara
melalui hakim untuk melakukan kontrol agar kepentingan negara dan
masyarakat dalam arti luas dapat terlindungi.
4. Asas Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah dalam Permusyawaratan /
Perwakilan diwujudkan dalam bentuk penegakan asas legalitas namun lentur
dalam pelaksanaannya dengan mengedepankan kepentingan rakyat
(masyarakat) luas, menjunjung tinggi nilai-nilai musyawarah, keadilan dan
kemanfaatan. Baik dalam upaya menciptakan kemaslahatan maupun dalam
upaya menghindari kemadlaratan maupun dalam upaya menghindari
kemadlaratan melalui peran aktif hakim. Penyelesaian dapat dilakukan
dengan menggunakan lembaga formal maupun non formal melalui
musyawarah yang memadukan unsur ketuhanan, religius (hikmah) dan unsur
kebijaksanaan (hati nurani), yang semuanya tetap dikemas dalam putusan
hakim. Di samping itu, korban juga diberi kesempatan untuk mengakses atau
paling tidak ada hak untuk memonitor atau diberi tahu akhir dari perkara yang
menimpa dirinya sebagai bentuk akuntabilitas lembaga penegak hukum.
Transparansi dan kejujuran kinerja lembaga penegak hukum diperlukan
dalam rangka membangun kepercayaan publik terhadap intitusi penegak
hukum.
xxii
5. Asas Keadilan Sosial yang dapat diwujudkan dengan menciptakan
keseimbangan dalam pertanggungjawaban pelaku tindak pidana. Tidak hanya
kepada korban, tetapi juga kepada masyarakat dan negara maupun kepada
ALLAH melalui kewajiban menjalankan ketentuan agama. Dengan
keseimbangan ini diharapkan tercipta kemaslahatan umat dengan tetap lebih
mengutamakan menghindari kemadlaratan yang dapat merugikan masyarakat
dan negara. Sehingga terwujud masyarakat yang adil, makmur, bahagia dan
sejahtera. Rekonstruksi kebijakan hukum pelaksanaan pidana berbasis nilai-
nilai Pancasila diawali dengan gagasan Ketuhanan Yang Maha Esa yang
menjiwai seluruh proses pembangunan dan pembaharuan ilmu hukum pidana
nasional. Bukan saja karena letaknya yang berada di urutan pertama dalam
tata urutan sila Pancasila, namun begitu kuatnya jiwa Ketuhanan Yang Maha
Esa yang menjiwai keseluruhan pembangunan dan pembaharuan sistem
hukum nasional.
Kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati di beberapa negara asing
mengambil contoh 3 negara asing sebagai studi perbandingan (comparative
approach) yaitu Negara Arab Saudi, Amerika Serikat, dan Jepang. Negara Arab
Saudi dengan eksekusi qishash dengan cara dipancung. Negara Jepang dengan
cara digantung. Sementara di Negara Amerika Serikat dengan cara disetrum
dengan kursi listrik, disuntik mati, atau ditembak. Namun studi perbandingan itu
menunjukkan bahwa pelaksanaan pidana dengan cara dipancung dinilai lebih
manusiawi dan tidak menimbulkan rasa sakit pada terpidana. Untuk itu Penulis
menghasilkan temuan bahwa pelaksanaan pidana mati lebih religius, manusiawi,
xxiii
berkeadilan dan beradab karena tidak menimbulkan rasa sakit pada diri terpidana
mati disebabkan putusnya urat atau “kabel” yang memutus hubungan antara
jantung dan otak (spinal cord) secara langsung dan berbarengan. Akan tetapi
yang harus diperhatikan adalah proses pembuktian yang ketat dimana proses
persidangan yang mengedepankan kejujuran dan keadilan. Dengan demikian
rekonstruksi Penulis adalah amandemen terhadap UU No. 5 Tahun 1969 jo Pasal
1 UU No. 2/Pnps/1964 yang mengatur tentang pelaksanaan pidana dengan cara
ditembak sampai mati dan amandemen Pasal 15 huruf x Peraturan Kapolri No. 12
Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang menyebut
penembakan pengakhir dilakukan dengan menempelkan ujung laras
senjatagenggam pada pelipis terpidana tepat di atas telinga.
Amandemen juga perlu dilakukan terhadap UU No. 5 Tahun 1969 jo Pasal
7 UU No. 2/Pnps/1964 yang berbunyi, “Apabila terpidana hamil, maka
pelaksanaan pidana mati baru dapat dilaksanakan empat puluh hari setelah
anaknya dilahirkan” direkonstruksi menjadi, “Penjatuhan pidana mati bagi
terpidana yang sedang hamil sampai terpidana melahirkan anaknya dan menyusui
anaknya dengan Air Susu Ibu (ASI) selama 2 tahun danpenjatuhan pidana mati
bagi terpidana yang sakit jiwa dan sakit keras sampai terpidana sembuh dari
sakitnya. Penilaian atas kondisi terpidana mati oleh tim medis (dokter).”
xxiv
TABEL REKONSTRUKSI KEBIJAKAN HUKUM PELAKSANAAN
PIDANA MATI BERBASIS NILAI-NILAI PANCASILA
JENIS
PIDANA
SEBELUM
REKONSTRUKSI
KELEMAHAN-
KELEMAHAN
SESUDAH
REKONSTRUKSI
NILAI-NILAI
PANCASILA
SILA KE-
1 2 3 4 5
PIDANA
MATI
1. UU No. 5 Tahun
1969jo Pasal 1 UU
No.2/Pnps/1964
berbunyi,” Dengan
tidak mengurangi
ketentuan-
ketentuan hukum
acara pidana yang
ada tentang
penjalanan
putusan pengadilan,
maka pelaksanaan
pidana mati, yang
dijatuhkan oleh
pengadilan di
lingkungan
peradilan umum
atau peradilan
militer, dilakukan
dengan ditembak
sampai mati,
menurut ketentuan-
ketentuan
dalam pasal-pasal
berikut.
1. Pidana mati
dengan cara
ditembak sampai
mati, belum
solutif karena
tidak langsung
menyebabkan
kematian dan
menimbulkan
rasa sakit pada
terpidana mati.
1. Pelaksanaan
eksekusi pidana mati
dengan cara qishash
berdasarkan QS Al
Baqaroh Ayat 178
dan 179 dan HR
Muslim yakni dengan
cara dipancung
karena dinilai
merupakan
eksekusi yang terbaik
(ihsan al-qatlu),
cepat, dan tidak
menimbulkan rasa
sakit pada terpidana
dimana memutus urat
atau “kabel” yang
menghubungkan
jantung dan otak
(spinal cord).
v V - - v
2. UU No. 5 Tahun
1969 jo Pasal 7 UU
No. 2/Pnps/1964
berbunyi,”Apabila
terpidana hamil,
maka pelaksanaan
pidana mati baru
dapat dilaksanakan
empat puluh hari
setelahanaknya
dilahirkan.”
2. Pengaturan
bagi terpidana
hamil belum
memberikan
perlindungan
bagi anak dari
terpidana hamil
yang masih
membutuhkan
ASI (Air Susu
Ibu) dan belum
diatur tentang
pidana mati bagi
terpidana yang
sakit jiwa dan
sakit keras
hingga sembuh
dari sakitnya.
2. Penjatuhan pidana
mati bagi terpidana
yang sedang hamil
sampai terpidana
melahirkan anaknya
dan menyusui
anaknya dengan Air
Susu Ibu (ASI)
selama 2 tahun dan
penjatuhan pidana
mati bagi terpidana
yang sakit jiwa dan
sakit keras sampai
terpidana sembuh
dari sakitnya.
Penilaian atas kondisi
terpidana mati oleh
tim medis (dokter).
v V - - v
xxv
3.UU No. 5 Tahun
1969 jo Pasal 15
Huruf x Perkap No.
12 Tahun 2010
tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana
Mati,
berbunyi,”Komand
an Pelaksana
memerintahkan
komandan regu
penembak untuk
melakukan
penembakan
pengakhir dengan
menempelkan
ujung laras senjata
genggam pada
pelipis terpidana
tepat di atas telinga;
3.Penembakan
pengakhir
dengan cara
menempel ujung
laras senjata
genggam pada
pelipis terpidana
tepat di atas
telinga dinilai
tidak manusiawi
karena
sebelumnya
sudah merasakan
penderitaan
akibat diawali
dengan tembak
di jantung dan
tembak kepala
menyebabkan
otak terpidana
terburai.
3. Pelaksanaan
eksekusi pidana mati
dengan cara qishash
berdasarkan QS Al
Baqaroh Ayat 178
dan 179 dan HR
Muslim yakni dengan
cara dipancung
karena dinilai
merupakan
eksekusi yang terbaik
(ihsan al-qatlu),
cepat, dan tidak
menimbulkan rasa
sakit pada terpidana
dimana memutus urat
atau “kabel” yang
menghubungkan
jantung dan otak
(spinal cord).
v V - - v
xxvi
I. Simpulan
Berdasarkan analisis kualitatif dengan menggunakan pendekatan
yuridis normatif, serta paradigma kontruktivisme, maka dapat disimpulkan
bahwa:
1. Kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati dalam hukum pidana positif
saat ini diatur dalam UU No. 5 Tahun 1969 jo UU No. 2/Pnps/1962jo
Peraturan Kapolisian (Perkap) No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati.
2. Kelemahan-kelemahan hukum pelaksanaan pidana mati saat ini, antara
lain tidak ada bukti ilmiah yang cukup kuat mengenai efektivitas pidana
mati terkait dengan efek penjeraan (deterrence) sebagai salah satu tujuan
pidana, akurasi dan keadilan terhadap putusan pidana mati ini,
kekhawatiran mengeksekusi orang yang salah, dan dinilai tidak
manusiawi.
3. Rekonstruksi kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati berbasis nilai-
nilai Pancasila adalah mewujudkan kebijakan perlindungan hukum bagi
pelaku dan korban secara seimbang. Sedangkan rekonstruksi hukumnya
mengamandemen beberapa ketentuan yang mengatur tentang pidana mati.
Pasal-pasal tersebut antara lain: Mengamandemen ketentuan UU No. 5
Tahun 1969 jo Pasal 1 UU No. 2/Pnps/1964 danUU No. 5 Tahun 1969 jo
Pasal 15 Huruf x Perkap No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara
Pelaksanaan Pidana Mati dimana pelaksanaan pidana mati dengan cara
ditembak sampai mati diamandemen dengan cara dipancung, mengingat
xxvii
eksekusi tersebut merupakan eksekusi yang terbaik (ihsan al-qatlu), cepat,
dan tidak menimbulkan rasa sakit pada terpidana dengan cara memutus
urat atau “kabel”yang menghubungkan jantung dan otak (spinal cord).
Mengamandemen ketentuan UU No. 5 Tahun 1969 jo Pasal 7 UU No.
2/Pnps/1964 tentang pelaksanaan pidana mati bagi terpidana hamil
pelaksanaan pidana baru dapat dilaksanakan setelah terpidana melahirkan
anaknya dan menyusui anaknya (ASI) selama 2 tahun. Penjatuhan pidana
mati bagi terpidana yang sakit jiwa dan sakit keras sampai terpidana
sembuh dari sakitnya. Penilaian atas kondisi terpidana sakit jiwa dan atau
sakit keras ditentukan oleh tim medis (dokter) terkait.
J. Implikasi Kajian Disertasi
Berdasarkan temuan yang telah dikemukakan di atas, maka dihasilkan
implikasi teoritis dan implikasi praktis:
(1) Implikasi Teoritis
Terjadi pergeseran kebijakan hukum pelaksanaan pidana mati yang
melindungi pelaku tindak pidana menjadi kebijakan hukum pelaksanaan
pidana yang melindungi masyarakat, pelaku dan korban secara seimbang.
(2) Implikasi Praktis
a. Menerapkan kebijakan hukum pelaksanaan pidana yang berbasis nilai-
nilai Pancasila, yakni nilai: Ketuhanan (religius), kemanusiaan yang adil
dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan dan keadilan.
xxviii
b. Menerapkan kebijakan hukum pelaksanaan pidana berbasis nilai-nilai
Pancasila ini bersinergi dengan kebijakan hukum pidana materiil dan
hukum pidana formil.
c. Respon akademisi terhadap kebijakan hukum pelaksanaan pidana
berbasis nilai-nilai Pancasila terutama dalam hal penguatan (penegasan)
terhadap kebijakan hukum pelaksanaan pidana berbasis nilai-nilai
Pancasila.
d. Respon aparat penegak hukum dalam menerapkan kebijakan hukum
pelaksanaan pidana berbasis nilai-nilai Pancasila sehingga terbangun
sistem yang kondusif, manusiawi, terstruktur, masif dan dapat
dipertanggungjawabkan dengan evaluasi secara terus menerus.
e. Penerapan kebijakan hukum pelaksanaan pidana ini membutuhkan
pemahaman yang menyeluruh dari semua pemangku kepentingan
(stakeholders) baik di tingkat pusat maupun daerah, termasuk Polri,
jaksa, hakim, pengacara dan petugas di Lembaga Pemasyarakatan, serta
pemahaman masyarakat Indonesia secara luas agar bersinergi dalam
upaya mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur sesuai amanah
UUD NRI Tahun 1945 dalam kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia yang berfalsafah Pancasila.
K. Saran-saran
1. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) perlu mengamandemen
UU No. 5 Tahun 1969 jo Pasal 1 UU No. 2/Pnps/1964, UU No. 5 Tahun
xxix
1969 jo Pasal 7 UU No. 2/Pnps/1964, dan UU No. 5 Tahun 1964 jo
Perkap No. 12 Tahun 2010 tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.
2. Berdasarkan fakta yang ada, meski negara Indonesia sudah merdeka sejak
17 Agustus 1945, namun beberapa produk hukumnya masih menggunakan
warisan penjajah Belanda. Seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(Wetboek van Strafrecht). Untuk itu, sebagai negara yang berdaulat sudah
saatnya Negara Kesatuan Republik Indonesia juga berdaulat secara
hukum. Terlebih dari sisi hukum pidananya. Dimana produk hukum
pidana merupakan cermin peradaban masyarakatnya. Baik itu produk
hukum pidana materiil, hukum pidana formil maupun hukum pelaksanaan
pidana. Diharapkan Indonesia memiliki Kitab Undang-Undang Hukum
Pidana (KUHP), Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP),
dan Kitab Undang-Undang Hukum Pelaksanaan Pidana (KUHPP) yang
berbasis nilai-nilai Pancasila, yang dibuat oleh bangsa Indonesia yang
mengambil sari pati nilai dari masyarakat Indonesia, yakni nilai Ketuhanan
(religius), kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia,
kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat permusyawaratan/perwakilan, serta
keadilan sosial bagi rakyat Indonesia.
3. Diharapkan ada penelitian lanjutan kebijakan hukum pelaksanaan pidana
pada pidana pokok lain (seperti pidana penjara, pidana kurungan, pidana
denda, dan pidana tutupan) serta penelitian pada pidana tambahan.
xxx
SUMMARY OF DISERTATION
RECONSTRUCTION OF THE LAW POLICY OF
DEADIMPLEMENTATION BASED ON PANCASILA VALUES
A. Background
As it is known that until now the Criminal Code (hereinafter abbreviated as the
Criminal Code) is a legacy of the Dutch colonial heritage still prevails in the
Unitary State of the Republic of Indonesia (NKRI) that has been sovereign and
independent since August 17, 1945. Criminal Code (Wetboek van Strafrecht for
the next abbreviated as WvS) is still valid in Indonesia based on Law no. 1 of
1946 jo Law no. 73 of 1958. The Criminal Code (WvS) comes from a Civil Law
System or called by Rene David as "the Romano Germanic Family" or "Civil Law
System" which accentuates the notion of "individualism, liberalism and individual
rights" .
While the conception of Indonesian legal state has characteristics and
characteristics based on the spirit and spirit of the nation (volkgeist) Indonesia,
namely Pancasila. Although the identity and formulation of Indonesian state
characteristics based on Pancasila has been formulated, the conception of the
Pancasila legal state has not been well implemented and institutionalized.
Therefore, there is a need for systematic, structured, and massive efforts to
internalize the concept of Pancasila law state into aspects of national and state
life, particularly in the renewal of national law.
AdianHusaini said the importance of Pancasila as a worldview and a foothold of
values for the nation of Indonesia. The values contained in the precepts of
Pancasila, namely the value of divinity (religious), humanity, unity, democracy,
and justice are the values of the nation's philosophy in developing Indonesian law
in the future. Pancasila as the ideology, the foundation and the philosophy of life
of the Indonesian nation is what our nation and country live the life of the state in
accordance with its identity that distinguishes it from other nations in the world.
xxxi
Along with the dynamics of life of nation and state, Pancasila has become the
primary source in solving multidimensional nation problem. Admittedly,
Pancasila has a strong historical value that can improve the spirit of nationality,
on the other hand Pancasila has a spiritual-ideological value that can be used as
a power to examine the problems of present and kemadya.
In this context, the values of Pancasila become very relevant in order to build an
Indonesian legal identity. Building law that reflects the values, norms, philosophy
of the Indonesian nation. Similarly, in the realm of criminal law that still apply
the Criminal Code (Wetboek van StrafrechtvoorNederlands Indie hereinafter
abbreviated as W.v.S.N.I. or W.v.S. (KUHP)) originating from the Netherlands.
W.v.S. The Netherlands is derived from the French Penal Code made in 1791 AD.
KUHP (W.v.S) which is still used in Indonesia is already around 3 centuries old.
When viewed from such a long span of time with different cultures of society
between Indonesian society and European society (French and Dutch), there is a
difference of historical background which is accompanied by different values
between the two cultures (culture) of this nation.
In order to replace the legislation of the colonial legacy and refine the existing
legislation that is no longer in accordance with the times, the Criminal Code
(W.v.S.) as a product of colonial law is not a fixed price to be maintained in our
country. Especially when in his native country, W.v.S. has reconstructed many
times. Is it still appropriate to keep the Criminal Code in line with the dynamics of
an independent and sovereign Indonesian society? Similarly, the rules governing
the criminal law contained in Article 10 of the Criminal Code (W.v.S.) and some
related legislation that is currently assessed are still fragmented.
Based on the above opinion, this dissertation will examine the components of
legal norms and legislation, especially in relation to the underlying penalty in
Indonesian penal code of penal code (penitensier law). This condition is behind
the author to analyze and reconstruct in the form of a dissertation so as to meet
the orderly rules of the legal state of Indonesia with the spirit of Pancasila with
the title of dissertation research, "Reconstruction of Legal Policies of Criminal
Implementation Based on Pancasila Values Values".
xxxii
B. Problem Formulation
The formulation of the problem based on the description of the background above,
then the authors limit the problems as the points below:
1. What is the legal policy for the execution of capital punishment in the current
positive criminal law?
2. How are the weaknesses of the law of execution of capital punishment in the
current positive criminal law?
3. How to reconstruct the legal policy of the execution of capital punishment
based on Pancasila values?
C. Research Objectives
1. To review and analyze the legal policies of the execution of capital
punishment in the current positive criminal law.
2. To examine and analyze the legal weaknesses of the execution of capital
punishment in the current positive criminal law.
3. To analyze and reconstruct the legal policy of execution of capital punishment
based on Pancasila values.
D. Research Purpose
This dissertation research is expected to provide benefits / usefulness both
theoretically and practically;
1. Theoretical Uses
Finding a new theory of criminal law enforcement policy in the development of
criminal law dyed Indonesian, in accordance with the identity, philosophy, and
ideology of the Indonesian nation that is Pancasila.
2. Practical Usefulness
Provide inputs to executive, legislative, judicial, academic and community bodies
to consider how effective the current criminal law enforcement policies that retain
colonial legal products.
xxxiii
E. Research Methods
1. Research Approach
The essence of this research is to analyze the legislative / formulative policy in
establishing and formulating the criminal law system / penal system which
includes criminal law. Therefore the approach in this research is normative
law research. In normative legal research, several approaches are used,
namely statute appproach, conceptual approach and comparative approach.
2. Research Specification
The specifications of the research undertaken in preparing this dissertation
are normative legal research or literature legal research. In the study of
normative law, comparative law is a method. By comparative method of law
can be done research on various sub-system of law that applies in a certain
society or cross-sectoral to legal system of various society different.
3. Types and Data Sources
Type and data in this research is secondary data. Data that the material is
taken from library / library materials. The secondary data examined in this
dissertation consist of:
a. The primary legal materials, namely binding legal materials consist of:
(1) Norms (basic) or basic rules, namely Pancasila contained in the
Preamble of the 1945 Constitution.
(2) Basic Regulations; Body of the Constitution of 1945, Decisions of the
People's Consultative Assembly / PJP (Long-Term Development).
(3) Laws and Regulations in which the legal provisions of criminal
implementation, and the Executing Regulation are Government
Regulations.
(4) Uncoded legal substances, such as customary law and religious law.
(5) Jurisprudence.
(6) Legal material from the colonial era which until now is still valid, such
as: Book of Criminal Law / KUHP / W.v.S.(Wetboek van Strafrecht).
b. Secondary law materials, which provide explanations of primary legal
materials, such as draft laws (which include the Bill of the Criminal Code
xxxiv
of the Year 2015 and the Concept of the 2009 New Criminal Procedure
Code), the Criminal Code of Criminal Procedure of Other Countries, the
results of research and results scientific work of the law (criminal).
c. Tertiary legal matter, ie materials that provide guidance or explanation of
primary and secondary legal materials; for example, dictionary,
encyclopedia
4. Data Collection Method
Based on research conducted by focusing on secondary data through
literature study, primary and secondary legal materials are collected based on
the formulation of predetermined problems, then classified according to
source and hierarchy for comprehensive review.
5. Data Analysis Method
All data and information obtained in this research are analyzed by using
descriptive qualitative analysis method. The use of descriptive qualitative
analysis method is closely related to the issues discussed in the dissertation,
as has been put forward in the formulation of the problem. Qualitative
analysis of normative to the data presented quantitatively, based on
descriptive and predictive analysis.
F. Legal Policies on the Implementation of Criminal Offenses in Positive
Criminal Law at the Moment
The Law of Criminal Implementation in the form of capital punishment in
Indonesia is currently regulated in Law no. 5 of 1969 on the Statement of
Various Stipulation of President and Presidential Regulation as Law.
Determination of the President in question is Presidential Decree no. 2 of
1964 on the Procedures of the Criminal Implementation Done by the
Courts in the General and Military Courts.
The provisions of the execution of capital punishment shall be done by
shooting to death. This is amended by Article 11 of the Criminal Code
which reads, "The death penalty is executed by the executioner at the
hanging point by tying the rope attached to the gallows on the convict's
xxxv
neck and then dropping the board where the convict is standing." die by
the executioner on the gallows is considered incompatible with the
progress of progress. Therefore it is necessary to make adjustments as
regulated inPresidential Decree no. 2 Year 1964.
Based on the Chief of Police Regulation no. 12 Year 2010 on the
Procedures of the Implementation of Criminal and Presidential Decree
No. 2 / PNPS / 1964 on the Procedures of Criminal Implementation
Dropped by the Courts in the General Courts and Military Courts, not all
weapons filled with live ammunition. Only three long-barreled rifles filled
with live ammunition, while nine other rifles filled with empty bullets.
G. The Weaknesses of the Law of Imprisonment of Criminal Justice in
Positive Criminal Law Today
In the context of Indonesia, relating to limiting the application of capital
punishment is confirmed in the Constitutional Court Decision (MK) no. 2-
3 / PUU-V / 2007 stating that in the future, the formulation,
implementation, or execution of capital punishment should pay attention to
four important matters:
a) Capital punishment is not a principal punishment, but as a special and
alternative criminal act.
b) The death penalty may be imposed with a probationary period of 10
(ten) years that if the prisoner is admitted commendable can be
changed with life imprisonment or for 20 years.
c) Capital punishment can not be imposed on immature children.
d) The execution of capital punishment on pregnant women and a person
who is mentally ill is suspended until the pregnant woman gives birth
and the mentally ill prisoner is healed.
The controversy surrounding capital punishment arises between the
conservative abolitionist flow and the death penalty with adherents stating
the need for capital punishment as one type of criminal (retentionist).
There are two categories of capital punishment:
xxxvi
The disagreeable group, the reason:
a. Absolute, irrevocable
b. Misguidance of the judge
c. Contrary to humanity, morals and ethics
d. Related to the purpose of punishment: The purpose of improvement is
not achieved and Implementation is not public, so the fear
(generalepreventie) is not achieved.
There is a sense of mercy to the convicted person The agreed group, the
reason:
a. The perpetrator has committed acts that violate human rights and the
principles of Pancasila
b. Less security tool
c. Heterogeneity of Indonesian population, clash
d. Need for certain crimes, for example for premeditated murder,
corruption, human rights, criminal acts for narcotics dealers.
Regardless of the controversy of the opinion of the pros and cons against
the death penalty, but the formal juridical capital punishment still applied
in Indonesia.Therefore, the non-acceptance of the abolition of capital
punishment in Indonesia must be understood that the historical
consciousness of Indonesian society has not been able to accept the
abolition of capital punishment. The death penalty is still understood as
legally and morally legitimate. Even if capital punishment violates the
right to life, the violation can be justified as a punishment for certain
criminal acts. However, historical awareness will certainly undergo
changes along with the change of Indonesian society and the emergence of
new ideas that underlie efforts to abolish capital punishment. In the event
of a change in the historical consciousness of society, capital punishment
can be abolished, which can occur through legislators as well as rights.
xxxvii
H. Reconstruction of Legal Policies of Criminal Implementation Based on
Pancasila Values
Conducting a criminal law policy including criminal law enforcement
policy requires a more pragmatic and rational policy oriented approach,
as well as a value judgment approach. So it should be between a policy
approach and a value approach not viewed dichotomously. Where in the
policy approach it should take into account the value factors.
Especially for the Indonesian state that has Pancasila which is full of
values and policy lines of national development that aims to form a
complete Indonesian man. If the criminal will be used as a means for that
purpose, the humanistic approach must also be taken into account. The
humanistic approach is important not only because the crime is essentially
a humanitarian issue, but also because the criminal itself contains
elements of suffering that can strike the most valuable interests or values
for human life.
The humanistic approach to the use of criminal sanctions means not only
that the penalty imposed on the offender must be in accordance with
human values, but also to raise awareness of the offender of human values
and social values.
In addition, the renewal step also needs to consider the socio-
philosophical and sociocultural basis of the national legal system based
on national needs and demands to reform and at the same time the change
/ replacement of the Old Dutch Criminal Code (Wetboek van Strafrecht).
So it is closely related to the idea of "penal reform" (renewal of the
criminal law). Included in this update is the renewal of the criminal
procedural law and the criminal law implementation.
Based on the above thinking, the idea of reform of criminal law can not be
separated from the idea / policy of development of National Legal System
based on Pancasila as the idealized nationality values. This means that the
renewal of the national criminal law should also be based on and oriented
to the basic ideas of Pancasila containing the balance of values / ideas /
xxxviii
paradigms: (a) religious morals (divinity); (b) humanity (humanistic); (c)
nationality; (d) democracy; (e) social justice.
With the above points to be emphasized, that the excavation of religious
law and traditional law is a natural thing and can even be said to be "the
demands of the times". Especially for the Indonesian people, it is clearly a
"national burden" and even a "national obligation and challenge" because
it has been mandated and recommended in various national laws and
seminars so far. The problem is how to explore, transform and actualize
the values of traditional law (customary law) and religious law values so
that it can be accepted into norms that are integrated in the national legal
system.
Therefore this dissertation makes the Criminal Code Act 2015 as the
reference base considering the renewed orientation of values that aspired
to the values of sociofilosofis, sociopolitical, and sociocultural of the
Indonesian nation based on the values of Pancasila in it.
Article 10 of the Criminal Code places capital punishment as one of the
principal penalties. The death penalty is the most severe punishment in the
composition of the criminal type (strafsoort). The execution of capital
punishment is currently done by firing squads by being shot to death and
done in private. The procedure of execution of capital punishment is
regulated in Law no. 5 of 1969 jo Law no. 2 / Pnps / 1964 on Procedures
for the Criminal Implementation Done by Courts in the General and
Military Courts joKepololri (No. 12 Year 2010 on the Procedures of
Criminal Implementation.
The idea of equilibrium is contained in the principles of Islamic law has
been substantially adopted in national law which is historically a legacy of
Western law, but there are still less reasonable places in Indonesian
positive criminal law, such as:
a) There needs to be transparency in the criminal justice process as an
honest, impartial judicial form by promoting justice and truth (Rule of
Justice or Rule of Morality) and not just enforcing the law (Rule of
xxxix
Law). Especially the judiciary that threatened capital punishment
against the defendant. Strict justice in the case of proof, transparent,
put forward justice, truth, honesty and dignity is needed in determining
the 'fate' of a defendant.
b) Execution should be done in the best way possible. The execution of
capital punishment which is currently applied in Indonesia by being
shot to death in some cases does not directly cause death to death row
convicts. This of course causes tremendous pain and is incompatible
with the values of Pancasila especially the second precepts, Just and
Civilized Humanity. It is therefore necessary to consider for the
immediate execution of death by minimizing the pain that breaks the
"cable" (spinal cord) between the two central points of human life ie
the heart and brain.
c) Judges should have courage, progressiveness and be active in seeking
and finding the truth as one form of upholding the truth as one form of
upholding justice and truth.
d) There should be increased protection to the community, especially
victims and guardians through their participation in the criminal
justice process under the coordination of judges. Including protection
of infant (child) for death row inmates who are pregnant, should be
suspended execution for at least 2 years for the convict (Mother) can
give milk (Milk Mother) to her child. Demikia also for death row
inmates who are mentally ill and severely delayed his execution until
the convict healed from his illness. The examination of the conditions
of death sentence is done by the relevant medical team (doctor).
e) Opening the opportunity for reconciliation through an apology from
the perpetrator to the victim / victim's family through a judge in a
hearing declared open to the public.
f) It is possible to provide compensation as a form of responsibility of the
perpetrator for the survival of the victim or the victim's family (in the
case of a crime against the life) in the agreed amount according to the
xl
victim's condition and the abilities of the perpetrator based on the
judge's discretion in a public hearing.
g) The existence of forgiveness and / or compensation or compensation is
not the end of the case, the judge as a representative of the state with
its wisdom and wisdom may impose additional sanctions on the basis
of considerations of public interest in a broad sense.
h) Implementation of law is not only to realize the public benefit, but also
must be able to avoid the coming of the possibility of damage or
disobedience. In the event of a conflict of interest, avoiding damage
should be preferred even if on the other hand it can bring benefits.
i) The application of the law should pay attention to the ideas, values,
concepts and objectives of law that are behind the provisions of the
law, because the law must be subject to the ideas, values and
objectives of the law. In addition, it should also take into account the
real conditions that exist in society that include values of justice,
customs of society that includes values of justice, customs and social
norms that exist, so it does not have to be all uniform
j) The application of the law on the implementation of capital
punishment should also pay attention to the opinion as well as
international instruments, especially the rejection of capital
punishment from abolitionist flows while upholding human rights
values by not including capital punishment as the principal
punishment but as a specially arranged alternative criminal.
Accompanied by strictness in terms of proof and trial process that uphold
justice, truth and honesty. The death penalty applies only to crimes which
fall into the category of the most serious crimes, such as: criminal acts
against human life (such as murder, terrorism, genocide), corruption,
narcotics and psychotropic substances, and other crimes that need to be
formulated nationally in the framework of creating a just society,
prosperous, safe, happy and prosperous.
xli
Based on the above description, the reconstruction of the legal value of the
implementation of capital punishment based on the values of Pancasila to
realize the legal protection for the perpetrators and victims in a balanced
manner. The legal principles that can be used as the foundation within the
framework of the reconstruction of the legal policies on the execution of
capital punishment related to the protection of perpetrators and victims
are equally described as follows:
1. The Godhead may be manifested in the form of criminal sanction in
performing religious obligations (living law) such as the obligation to fast
2 consecutive months for perpetrators of murder, corruption, narcotics,
psychotropic, and terrorism who are not subject to death, freeing slaves
this may be substituted by the obligation to feed a certain number of poor
or other obligations) on the basis of his religious teachings in an attempt
to free the guilt of the perpetrator who became one of the objectives of the
crime.
2. The principle of humanity, which can be realized in the form of
compensation of losses as a relatively viable survival guarantee without
having to distinguish who the perpetrator and the victim, the obligation to
finance the care, funeral and the cost of salvation and do not question
from where the financial resources (for convicted criminals criminal to
life). Provision of compensation for victims of narcotics and psychotropic
drugs either in the form of financing of rehabilitation (for convicted drug
dealer and psychotropic). Refund of corruption to the state (for convicted
corruption)
3. The principle of Unity which can be realized by creating reconciliation
and restoration of good relations that have been damaged as a result of
such offenses. With reconciliation and ending conflict with the principle of
deliberation balance and fairness. This reconciliation should be conducted
in a public hearing to avoid unforeseen pressures and could damage
equilibrium and justice. At the same time also provide space for the state
xlii
through judges to exercise control so that the interests of the state and
society in the broad sense can be protected
4. People's Principle Led by Wisdom in Deliberation / Representation is
manifested in the form of enforcement of the principle of legality but is
flexible in its implementation by promoting the interests of the people
(society) broadly, upholding the values of deliberation, justice and
expediency. Both in the effort to create the benefit and in the effort to
avoid kemadlaratan or in an effort to avoid kemadlaratan through the
active role of judges. The settlement can be done by using formal and non-
formal institutions through deliberations that combine elements of divinity,
religious (wisdom) and the elements of wisdom (conscience), all of which
remain packed in a judge's decision. In addition, victims are also given the
opportunity to access or at least have the right to monitor or be informed
of the end of the case affecting him as a form of law enforcement agency
accountability. The transparency and honesty of the performance of law
enforcement agencies is needed in order to build public confidence in law
enforcement institutions.
The principle of Social Justice that can be realized by creating a balance in
the accountability of the perpetrators of crime. Not only to the victims, but
also to the people and the state and to GOD through the obligation to observe
the religious provisions. With this balance is expected to create the benefit of
the people with a fixed priority to avoid a kemadlaratan that can harm the
community and the state. So as to realize a just society, prosperous, happy and
prosperous. The reconstruction of the criminal justice policy based on
Pancasila values begins with the idea of the Supreme Godhead that animates
the entire process of development and renewal of national criminal law. Not
only because it is located in the first sequence in the order of the precepts of
Pancasila, but so strong the soul of God Almighty God who animates the
overall development and renewal of the national legal system.
The legal policies on the execution of capital punishment in some foreign
countries take the example of 3 foreign countries as comparative approach,
xliii
namely Saudi Arabia, USA, and Japan. Saudi Arabia state with qishash
execution by beheaded. Japan by hanging. While in the United States by
electric shock, electric shock, or shot. But the comparative study shows that
criminal execution by beheading is considered more humane and painless to
the convicted person. The writer therefore finds that the execution of capital
punishment is more religious, humane, just and civilized because it does not
cause pain to the convict of death because of the breaking of the veins or
"wires" which cut off the connection between heart and brain (spinal cord)
directly and simultaneously. However, what must be considered is a rigorous
proof process where the trial process that puts honesty and justice forward.
Thus the author's reconstruction is an amendment to Law no. 5 of 1969 jo
Article 1 of Law no. 2 / Pnps / 1964 which regulates the implementation of the
crime by being shot to death and the amendment of Article 15 letter x of the
Kepololri Regulation no. 12 of 2010 on the Implementation of Deadly
Criminal Procedure which mentions the ending shoot is done by attaching the
end of the barrel of a hand-held weapon to the convict's temple just above the
ear.
Amendments also need to be made to Law no. 5 of 1969 jo Article 7 of Law
no. 2 / Pnps / 1964 which reads, "If the convict is pregnant, then the execution
of capital punishment can only be done forty days after the child is born"
reconstructed into, "the imposition of capital punishment for the convicted
prisoner until the convict gave birth to his child and breastfeed his / (ASI) for
2 years and the imposition of capital punishment for the defendant who is
mentally ill and severely ill until the convict is cured of his illness. Assessment
of conditions of death sentence by medical team (doctor)."
I. Conclusion
Based on the qualitative analysis using normative juridical approach, and the
paradigm of kontruktivisme, it can be concluded that:
1. The legal policy on the execution of capital punishment in positive
criminal law is currently regulated in Law no. 5 of 1969 jo Law no. 2 /
xliv
Pnps / 1962jo Covenant Regulation (Perkap) no. 12 Year 2010 on the
Procedures of Criminal Implementation
2. The current legal weaknesses in the execution of capital punishment,
among others, there is no sufficiently strong scientific evidence of the
effectiveness of capital punishment related to deterrence as one of the
criminal purposes, accuracy and fairness of the sentence, the execution of
persons which is wrong, and considered inhumane.
3. The reconstruction of the legal policy of the implementation of capital
punishment based on the values of Pancasila is to realize the legal
protection policy for the perpetrators and victims in a balanced manner.
While the legal reconstruction amends several provisions regulating the
death penalty. The articles include: Amending the provisions of Law no. 5
of 1969 jo Article 1 of Law no. 2 / Pnps / 1964 and Law no. 5 of 1969 jo
Article 15 Letter x Perkap no. 12 Year 2010 on the Implementation of
Criminal Procedures where the execution of capital punishment by shot to
death amended by dipancung, given the execution is the best execution
(ihsan al-qatlu), fast, and painless to the convicted by breaking the vein or
"wires" connecting the heart and brain (spinal cord). To amend the
provisions of Law no. 5 of 1969 jo Article 7 of Law no. 2 / Pnps / 1964 on
the implementation of capital punishment for pregnant prisoners new
criminal implementation can be executed after the convict gave birth to his
child and breastfeed his child (ASI) for 2 years. The imposition of capital
punishment for the convicted person who is mentally ill and severely ill
until the convict is healed from his illness. Assessment of the condition of
convicted psychiatric and / or severe illness is determined by the relevant
medical team (doctor)
.
J. Implications of the Dissertation Review
Based on the findings presented above, theoretical implications and practical
implications are generated:
(1) Theoretical implications
xlv
There is a shift in the legal policy of the execution of capital punishment
which protects the perpetrators of criminal acts into a criminal law
enforcement policy that protects the community, perpetrators and victims
equally.
(2) Practical Implications
a. Implementing a criminal justice policy based on Pancasila values,
namely: (religious), fair and civilized humanity, Indonesian unity,
democracy and justice.
b. Applying the criminal law policy based on Pancasila values is in
synergy with the policy of material criminal law and formal criminal
law.
c. The academic response to the criminal justice policy based on
Pancasila values, especially in the case of strengthening (affirmation)
on the criminal law of crime-based implementation of Pancasila
values.
d. The response of law enforcement officers in applying the criminal law
policy based on Pancasila values so as to build a conducive, humane,
structured, massive and accountable system with continuous
evaluation.
e. The implementation of this criminal law policy requires a thorough
understanding of all stakeholders at both the central and regional
levels, including the police, prosecutors, judges, lawyers and officials
in the Penitentiary, as well as a broader understanding of the
Indonesian community in order to synergize in the effort to realize the
community which is just and prosperous according to the mandate of
the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia within the
framework of the Unitary State of the Republic of Indonesia which
philosophizes Pancasila.
xlvi
K. Suggestions
1. The Government and the House of Representatives (DPR) need to
amend Law no. 5 of 1969 jo Article 1 of Law no. 2 / Pnps / 1964, Law
no. 5 of 1969 jo Article 7 of Law no. 2 / Pnps / 1964, and Law no. 5
Year 1964 joPerkap No. 12 Year 2010 on the Procedures of Criminal
Implementation.
2. Based on the facts that exist, although the state of Indonesia has been
independent since August 17, 1945, but some legal products still use
the Dutch colonial heritage. Such as the Criminal Code (Wetboek van
Strafrecht). For that reason, as a sovereign country it is time the
Unitary State of the Republic of Indonesia is also sovereign by law.
Especially from the side of the penal law. Where the product of
criminal law is a mirror of civilization society. Whether it is a product
of material criminal law, formal criminal law and criminal law.
Indonesia is expected to have the Criminal Code (Criminal Code), the
Criminal Procedure Code (KUHAP), and the Criminal Code of
Criminal Justice (KUHPP) based on the values of Pancasila, made by
the Indonesian people who take the essence starch values of the
Indonesian people, namely the value of the Godhead (religious), the
just and civilized humanity, the unity of Indonesia, the populace led by
the wisdom of deliberation / representation, and social justice for the
people of Indonesia.
3. It is expected that there will be further research on the criminal law of
criminal implementation on other principal criminal cases (such as
imprisonment, imprisonment, fine and criminal cover) and additional
criminal research.
xlvii
KATA PENGANTAR
حيم نٱلر حم بسمٱللهٱلر
Alhamdulillah Penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan
nikmat-Nya sehingga disertasi yang berjudul “Rekonstruksi Kebijakan Hukum
Pelaksanaan Pidana Mati Berbasis Nilai-Nilai Pancasila”dapat selesaitepat pada
waktunya guna memenuhi sebagian persyaratan mencapai derajat doktor pada
Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan
Agung (Unissula) Semarang.
Shalawat serta salam tercurah pada Rosulullah Muhammad SAW teladan
umat sepanjang masa yang kelak dinantikan syafaatnya di hari akhir.
Disertasi ini membahas tentang upaya rekonstruksi terhadap kebijakan hukum
pelaksanaan pidana berbasis pada nilai-nilai Pancasila.
Dalam kesempatan ini, penulis juga bermaksud menyampaikan ucapan terima
kasih kepada semua pihak yang telah membantu baik materiil maupun non
materiil sehingga penulisan tesis ini dapat terselesaikan terutama kepada:
1. H. Hasan Toha Putra, M.B.A. selaku Ketua Umum Yayasan Badan Wakaf
Sultan Agung (YBWSA).
2. H. Anis Malik Toha, Lc, M.A., Ph.D selaku Rektor Universitas Islam
Sultan Agung (Unissula) Semarang beserta seluruh jajaran Wakil Rektor
Unissula.
3. Prof. Dr. H. Gunarto, S.H., S.E.Akt., M.Hum selaku Dekan Fakultas
Hukum Unissula sekaligus Co-Promotor yang sangat besar sumbangsih
pemikiran, perhatian, nasehat, semangat, dukungan dan motivasi yang
berharga dalam penyelesaian disertasi dan studi S3 ini.
4. Dr. Hj. Anis Masdurohatun, S.H.,M.Hum. selaku Ketua Program Doktor
Ilmu Hukum (PDIH) Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung
(Unissula) Semarang dan Dr. Hj. Sri Endah Wahyuningsih, S.H., M.H.
selaku sekretaris Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Unissula.
5. Prof. Dr. H. Eko Soponyono, S.H., M.H. selaku Promotor yang dengan
penuh dedikasi tinggi dalam keilmuan, kesabaran dan kesungguhan hati
xlviii
meluangkan waktu serta perhatiannya untuk memberikan bimbingan,
semangat, dan perhatian yang sangat berharga dalam penulisan disertasi
ini.
6. Prof. Dr.H. Mahmutarom HR, S.H., M.H. selaku penguji eksternal.
Masukan dan bimbingan ilmu yang sangat aspiratif.
7. Segenap pimpinan, dosen dan manajemen Fakultas Hukum (S1) Unissula.
8. Segenap pimpinan, dosen dan manajemen Program Doktor Ilmu Hukum
(PDIH) Fakultas Hukum Unissula.
9. Segenap pimpinan, dosen dan manajemen Program Magister Ilmu Hukum
(S2) Fakultas Hukum Unissula.
10. Segenap pimpinan dan manajemen Program Magister Kenotariatan
(M.Kn) Fakultas Hukum Unissula.
11. Suami tersayang Dr. Nuridin, S. Ag., M. Pd., belahan jiwa dan motivator
hidupku.
12. Bapak dan Ibuku, Drs. Ichtimam, C.A. dan Sarwiyati (Alm.) tercinta yang
telah mencurahkan kasih sayang dan perhatiannya kepada penulis. Do’a
ibu dan bapaklah yang juga turut memberikan semangat kepada penulis
untuk terus menuntut ilmu. Semoga Allah SWT memberikan pahala yang
berlipat dan menempatkan di tempat terbaik-Mu. Semoga Allah
mempersatukan kami dalam surga-Nya. Aamiin.
13. Mertua Bapak H. Syamsudin (Alm.) dan Ibu Hj. Khafsah (Alm.) semoga
Allah mempersatukan kami dalam surga-Nya. Aamiin
14. Anak-anak kami: Muhammad Pasha Nabih Nurdin, Edelia Balqis Nurdin
dan Muhammad Fawwaz Hilal Nurdin (Alm.) dan adiknya (Alm.) semoga
tetap istiqomah di jalan Allah. Aamiin.
15. Prof. Dr. Ichtijanto, S.A., S.H. (Alm.), salah satu inspirator penulis dalam
ketekunan dan kegigihannya di dunia akademik. Pak De’ Yanto (demikian
penulis memanggil) sepanjang hidupnya aktif sebagai dosen dan guru
besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI) Jakarta, Universitas
Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Universitas Trisakti, Universitas Islam
Jakarta, Universitas Krisnadwipayana dan beberapa universitas di Jakarta.
xlix
Mantan Dirjen Peradilan Agama Departemen Agama (Depag) ini masih
aktif menulis sampai akhir hayatnya. Semoga tradisi intelektual tetap
terbangun dalam keluarga kami. Aamiin
16. Adik-adikku: Aqid Muhammady (Adi), Muhammad Abdul Aziz, Amd,
Ratna Rifiyanti, S.Pt, Hapsari Asriyati, Amd, Sari Nourma Hidayati, S.S.
Adik ipar: Reta, Endah Lestari, Amd., Hasanudin, S.Pt, Kurniawan Ari,
S.Akt. Ponakan: Alvin, Fathan,Shafa, Caca, Fahri, Bilqis, Raissa (Icha),
Abid. Saudara-saudaraku di Jakarta, Magelang, Bogordan Semarang.
17. Kakak-kakak ipar: Mbak Puah, Mas Zainal (Alm.), Mbak Miftah (alm.),
Mbak Puroh (alm.), Mbak Pu’ah (alm.), Mbak Pipah, Mbak Likha, Mbak
Khopi, ponakan-ponakan dan cucu-cucu di Tegal, Jakartadan Semarang.
18. Guru-guruku di: TK. Persit Kartika Candra Kirana Kebon Jeruk Jakarta
Barat, SDN Sukabumi Udik 01 Pagi Kebun Jeruk Jakarta Barat, SDN II
Pamulang, SDI Al-Falah 01 Petang Jakarta Barat, SMPN II Ciputat,
SMAN 47 Jakarta Selatan.
19. Bapak dan Ibu dosen di Fakultas Hukum Universitas Diponegoro (Undip)
Semarang, dan Program Magister (S2) Ilmu Hukum Unissula, Semarang.
20. Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan disertasi ini yang
tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu. Jazakumullah khairon katsiro.
Penulis menyadari bahwa dalam disertasi ini masih banyak
kekurangan dan masih jauh dari sempurna, oleh karena itu Penulis
mengharapkan saran dan kritik membangun demi perbaikan dan semoga
disertasi ini dapat bermanfaat. Aamiin.
Semarang, 9 September 2017
Penulis
IRA ALIA MAERANI
DAFTAR ISI
l
HALAMAN JUDUL ...................................................................... i
HALAMAN PENGESAHAN ........................................................ ii
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN .............................. iii
HALAMAN PERNYATAAN ........................................................ iv
ABSTRAK ..................................................................................... v
ABSTRACT ..................................................................................... vi
RINGKASAN DISERTASI ........................................................... vii
SUMMARY DISERTATION ........................................................... xxx
KATA PENGANTAR ................................................................... xlvii
DAFTAR ISI .................................................................................. l
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR .............................................. xxxvii
DAFTAR SINGKATAN ................................................................ xxxviii
GLOSSARY ................................................................................... xxxix
BAB I PENDAHULUAN ............................................................... 1
A. Latar Belakang .................................................................... 1
B. Rumusan Masalah............................................................... 16
C. Tujuan Penelitian ................................................................. 16
D. Kegunaan Penelitian ........................................................... 16
E. Kerangka Teori ..................................................................... 17
F. Kerangka Konseptual ............................................................... 38
(1) Implementasi Nilai-Nilai Pancasila dalam UUD NRI
Tahun 1945 ……………………………………………. 38
(2) Hukum Pelaksanaan Pidana dalam KUHP, Konsep KUHP,
li
dan Peraturan Perundang-undangan di Luar KUHP ........ 43
G. Kerangka Pemikiran ................................................................ 46
H. Metode Penelitian ................................................................... 53
a. Paradigma Penelitian ........................................................ 53
b. Metode Pendekatan Penelitian ....................................... ...... 54
c. Spesifikasi Penelitian .......................................................... 59
d. Jenis dan Sumber Data ....................................................... 61
e. Metode Pengumpulan Data ............................................. ...... 63
f. Metode Analisis Data ......................................................... 63
I. Orisinalitas Penelitian .............................................................. 64
J. Sistematika Penelitian .............................................................. 66
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 68
A. Pengertian Rekonstruksi ........................................................... 68
B. Pengertian Kebijakan ................................................................ 70
C. Pengertian dan Ruang Lingkup Kebijakan Hukum Pidana... ...... 74
D. Pengertian dan Ruang Lingkup Sistem Pemidanaan .......... ...... 82
E. Pengertian Tujuan Pemidanaan ................................................... 91
F. Pengertian Pidana Mati dalam Perspektif Islam ........................ 99
G. Pengertian Nilai-Nilai Pancasila ........................................... ...... 105
BAB III KEBIJAKAN HUKUM PELAKSANAAN PIDANA MATI
DALAMHUKUM PIDANA POSITIF SAAT INI ............ . 120
BAB IV KELEMAHAN-KELEMAHAN KEBIJAKAN HUKUM
PELAKSANAAN PIDANA MATI DALAM HUKUM
lii
PIDANA POSITIF SAAT INI …...…...…………………. 133
BAB V REKONSTRUKSI KEBIJAKAN HUKUM PELAKSANAAN
PIDANA MATI BERBASIS NILAI-NILAI PANCASILA...... 162
A. Nilai Filosofis Kebijakan Hukum Pelaksanaan Pidana dalam
UUD NRI Tahun 1945 ............................................................ 162
B. Kebijakan Hukum Pelaksanaan Pidana Mati Dalam Hukum
Pidana Positif di Negara Asing ............................................... 174
C. Rekonstruksi Kebijakan Hukum Pelaksanaan Pidana Mati
Berbasis Nilai-Nilai Pancasila ............................................... 197
BAB VI PENUTUP .......................................................................... . 235
A. Simpulan ............................................................................. . 235
B. Implikasi Kajian Disertasi ................................................... . 236
C. Saran-saran............................................................................ . 238
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................... .. 240
BIODATA PENULIS ...................................................................... . 250
DAFTAR TABEL DAN GAMBAR
liii
Bagan Keadilan dalam Islam dan Kontribusinya dalam Pembaharuan
Hukum Pidana .......................................................................... 32
Bagan Paradigma Ide Dasar Pancasila ............................................. 50
Tabel Kerangka Pemikiran .................................................................. 52
Tabel Orisinalitas Penelitian ................................................................ 66
Tabel Jalinan Keterkaitan Sistem Pemidanaan dan Sistem Peradilan
Pidana......................................................................................... 78
Tabel Sistem Pemidanaan Dalam Arti Luas ........................................ 84
Tabel Sistem Pemidanaan Dalam Arti Sempit .................................... 85
Tabel Sistem Pemidanaan dalam Arti Luas dan Sempit ..................... 87
Tabel Perundang-undangan Indonesia yang Memiliki Ancaman Pidana
Mati ............................................................................................. 127
Tabel Daftar Eksekusi Pidana Mati Tahun 1987 – 2016 ........................ 130
Tabel Praktek Pidana Mati di Dunia ...................................................... 176
Tabel Angka Kejahatan Pembunuhan di Arab Saudi Dibanding Enam
Negara Arab yang Tidak Menerapkan Hukum Pidana Islam ...... 180
Tabel Angka Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan di Arab Saudi
Dibanding Enam Negara Arab yang Tidak Menerapkan Pidana
Islam ............................................................................................. 181
Tabel Angka Kejahatan Seksual di Arab Saudi Dibanding Enam Negara
Arab yang Tidak Menerapkan Hukum Pidana Islam ................... 181
Gambar Proses Eksekusi Pancung ..................................................... 186
Tabel Data Hukuman Mati di Amerika Serikat ................................ 190
liv
Tabel Daftar Penangguhan Eksekusi 2014 ....................................... 192
Tabel Daftar Penangguhan Eksekusi 2015 ........................................ 193
Gambar Tempat Eksekusi Pidana Gantung di Jepang ..................... 198
Tabel Tabel Rekonstruksi Kebijakan Hukum Pelaksanaan Pidana
Mati Berbasis Nilai-Nilai Pancasila …………….................. 236
DAFTAR SINGKATAN