relasi gender dalam rumah tangga polisi wanita: studi

20
1 Universitas Indonesia Relasi Gender dalam Rumah Tangga Polisi Wanita: Studi Kasus dalam Tiga Rumah Tangga Polwan King Buana Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia Email: [email protected] Abstrak Tulisan ini membahas relasi gender yang terjadi di dalam rumah tangga perempuan yang berprofesi sebagai polisi wanita. Melalui metode wawancara mendalam saya berusaha menangkap segala hal yang terjadi di antara istri dan suami di dalam rumah saat mengambil keputusan, sehingga saya dapat mengatakan bahwa relasi gender di dalam rumah tangga para polwan yang menjadi subjek penelitian saya masih timpang. Status atau kedudukan polwan masih berada di bawah sang suami hal ini terlihat dari pemegang kendali power di dalam rumah tangga yang selalu dipegang oleh suami, sehingga tulisan ini akan menunjukkan bahwa relasi gender yang terjadi di dalam rumah tangga ternyata tidak sejajar. Kata kunci: polwan, relasi gender, status, power, rumah tangga Gender Relations in the Domestic Police Women : Case Studies in Three Households Policewomen Abstract This thesis discusses the gender relations in the household of women who work as police woman. Through in-depth interviews I tried to capture everything that happens in between wife and husband in the house when taking a decision, so I can say that gender relations in the household of the policewoman who is the subject of my research is still lame. Status or position of policewomen still be under the husband holder as seen from the control power in the household is always held by the husband, so that this paper will show that the gender relations in the household was not aligned. Keywords: polwan, gender relation, status, power, household Pendahuluan Di Indonesia sekarang, negara sangat mendukung kebebasan perempuan untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan sehingga mereka dapat turut aktif membangun bangsa di berbagai bidang. Hal ini nampak dengan adanya aturan negara yang mendukung kesetaraan perempuan di dalam UU No.7 Tahun 1984 dalam pasal 1 mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan yang berbunyi: Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014

Upload: others

Post on 20-Oct-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1    

                                                                                                             Universitas Indonesia  

Relasi Gender dalam Rumah Tangga Polisi Wanita: Studi Kasus dalam Tiga

Rumah Tangga Polwan King Buana

Antropologi, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, Depok, 16424, Indonesia Email: [email protected]

Abstrak

Tulisan ini membahas relasi gender yang terjadi di dalam rumah tangga perempuan yang berprofesi sebagai polisi wanita. Melalui metode wawancara mendalam saya berusaha menangkap segala hal yang terjadi di antara istri dan suami di dalam rumah saat mengambil keputusan, sehingga saya dapat mengatakan bahwa relasi gender di dalam rumah tangga para polwan yang menjadi subjek penelitian saya masih timpang. Status atau kedudukan polwan masih berada di bawah sang suami hal ini terlihat dari pemegang kendali power di dalam rumah tangga yang selalu dipegang oleh suami, sehingga tulisan ini akan menunjukkan bahwa relasi gender yang terjadi di dalam rumah tangga ternyata tidak sejajar.

Kata kunci: polwan, relasi gender, status, power, rumah tangga

Gender Relations in the Domestic Police Women : Case Studies in Three Households Policewomen

Abstract

This thesis discusses the gender relations in the household of women who work as police woman. Through in-depth interviews I tried to capture everything that happens in between wife and husband in the house when taking a decision, so I can say that gender relations in the household of the policewoman who is the subject of my research is still lame. Status or position of policewomen still be under the husband holder as seen from the control power in the household is always held by the husband, so that this paper will show that the gender relations in the household was not aligned. Keywords: polwan, gender relation, status, power, household Pendahuluan

Di Indonesia sekarang, negara sangat mendukung kebebasan perempuan untuk mengembangkan

pengetahuan dan keterampilan sehingga mereka dapat turut aktif membangun bangsa di berbagai

bidang. Hal ini nampak dengan adanya aturan negara yang mendukung kesetaraan perempuan di

dalam UU No.7 Tahun 1984 dalam pasal 1 mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi

terhadap perempuan yang berbunyi:

Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014

2    

                                                                                                             Universitas Indonesia  

“Mengesahkan Konvensi mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Wanita (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women)1 yang telah disetujui oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 18 Desember 1979, dengan pensyaratan (reservation) terhadap Pasal 29 ayat (1) tentang penyelesaian perselisihan mengenai penafsiran atau penerapan Konvensi ini, yang salinannya dilampirkan pada Undang-undang ini.”

Melalui aturan peraturan perundang-undangan tersebut perempuan saat ini bisa bekerja di bidang

apa pun, tidak hanya di dalam rumah saja mengurusi pekerjaan domestik.

Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) 2010 (belum ada data terbaru mengenai

ketenagakerjaan), dari keseluruhan jumlah angkatan kerja di Indonesia yang berjumlah 107,7 juta

jiwa terdapat jumlah penduduk yang bekerja sebanyak 104,9 juta jiwa yang terdiri dari 66,8 juta

orang laki-laki dan 38,1 juta orang perempuan. Di dalam data BPS tersebut juga tercatat pencari

kerja perempuan yang berjumlah 1,4 juta jiwa. Di dalam angka 38,1 juta tersebut, perempuan

bekerja dengan berbagai macam profesi yang dahulu hanya digeluti oleh laki-laki. Salah satu

profesi yang digeluti oleh perempuan pada jaman emansipasi, yaitu menjadi polisi.

Hingga akhir tahun 2012, tercatat ada sekitar 13.200 polwan2 dari jumlah total 398 ribu

polisi di Indonesia. Hal itu berarti jumlah polwan hanya sekitar 3,6 persen dari jumlah polisi

yang ada di Indonesia3. Jumlah ini masih lebih kecil ketimbang jumlah perempuan yang memilih

pekerjaan sebagai tentara di Indonesia. Saat ini jumlah prajurit perempuan di TNI tercatat

sebanyak 10 hingga 15 persen dari jumlah keseluruhan prajurit TNI. Letkol Adm Yudhiana Dwi

mengatakan:

“dari seluruh angkatan, baik udara, laut ataupun darat, jumlah TNI perempuan di seluruh Indonesia hanya 10-15 persen dari jumlah TNI pria. Di (TNI) Angkatan Udara jumlah personel 34 ribu, (TNI) Angkatan Laut 35 ribu dan di (TNI) Angkatan Darat 35 ribu. Padahal, layaknya jumlah TNI perempuan sebesar 30 persen dari total jumlah TNI”4.

                                                                                                                         1  Lihat lampiran 1.  2 Selanjutnya saya akan menggunakan istilah ‘polwan’ untuk menyebut perempuan yang bekerja sebagai polisi perempuan. 3 Lihat http://edsus.tempo.co/konten-berita/metro_sudut/2013/08/31/509087/292/Jumlah-Polisi-Wanita-Hanya-36-Persen (Diakses pada 29 Oktober 2013). 4 Lihat http://www.tni.mil.id/view-4932-jumlah+prajurit+wanita+tni+belum+ideal.html (diakses pada 29 Oktober 2013).

Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014

3    

                                                                                                             Universitas Indonesia  

Melihat data di atas maka kita semua sebaiknya menepis stereotipe yang sering melekat pada diri

perempuan yang biasanya dikaitkan dengan sifat lembut, pemalu, dan cengeng.5 Dalam kasus

perempuan yang memilih profesi sebagai polwan, jelas stereotipe tersebut tidak sesuai. Polwan

jelas memiliki kecakapan, keberanian, pantang menangis, agresif, dan sebagainya, mirip seperti

stereotipe yang melekat pada diri laki-laki. Di dalam kesatuannya, para polwan mendapatkan

doktrin bahwa mereka bukan perempuan biasa (lembut, pemalu, dan cengeng) yang dimaksudkan

untuk menambah rasa percaya diri setiap anggotanya.

“Doktrin bahwa kita itu bukan perempuan biasa ya. Pasti lebih dari perempuan-perempuan lain, jadi itu sebenernya hanya untuk meningkatkan percaya diri kita aja ya, mungkin gitu aja sih...”  (Wawancara dengan Ibu Nia Kusumawati, Bekasi, 22 Desember 2013)

Selain itu latihan yang para anggota polwan dapatkan di Sekolah Polwan itu sama seperti laki-

laki sehingga semakin membuat anggota polwan merasa diri mereka itu setara atau sejajar dengan

laki-laki.

“..Kita sebagai polwan kan waktu dilatih dulu juga sama seperti laki-laki nggak dibeda-bedakan, kita lari-lari juga, merangkak-rangkak di lumpur juga, ya push up juga, jadi dari situ aja udah keliatan kalau kita itu bukan perempuan biasa.”  (Wawancara dengan Ibu Nia Kusumawati, Bekasi, 22 Desember 2013)

Bagi polwan yang sudah menikah ia akan memiliki status dan peran ganda. Ia akan

menjalankan statusnya di rumah tangga sebagai seorang istri dan ibu. Sehingga peran yang harus

dijalankan yaitu membina hubungan dengan suami dan membesarkan anak-anak di rumah.

Doktrin dan latihan tersebut jelas akan menambah rasa percaya diri para polwan yang kemudian

akan meresap dan membentuk karakter tertentu di dalam diri mereka. Karakter ini kemungkinan

akan mempengaruhi sikap dan pandangan mereka terhadap laki-laki. Bagi polwan yang sudah

menikah atau yang sudah berumah tangga dapat diperkirakan bahwa karakter yang telah

terbentuk dari doktrin beserta latihan-latihan yang telah mereka dapatkan di dalam kesatuan

kepolisian nantinya akan terbawa ke dalam rumah tangganya, lalu akan mempengaruhi status

atau kedudukan dan peran mereka sebagai perempuan di dalam kehidupan berumah tangga. Hal

ini yang menggelitik saya, apakah doktrin dan latihan yang ditanamkan kedalam diri para                                                                                                                          

5 http://www.koalisiperempuan.or.id/stereotip-gender/ (Diakses pada 22 April 2014)

Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014

4    

                                                                                                             Universitas Indonesia  

anggota polwan ini tetap terbawa dan diterapkan oleh para polwan di dalam rumah tangga?

Apakah polwan tetap merasa superior di dalam rumah tangga sama seperti ia merasakannya

ketika berada di dalam kesatuan dan di dunia kerjanya?

Belum banyak kajian tentang polwan yang dilakukan oleh para ahli dari berbagai bidang.

Sepengetahuan saya, saat ini hanya ada lima penelitian tentang polwan yang dilakukan oleh ahli

atau mahasiswa. Nurkemala (1992) menyoroti strategi yang dilakukan polisi perempuan untuk

menjalankan peran ganda agar harapan-harapannya dapat tercapai. Hasil penelitiannya

menunjukkan bahwa bila seorang polisi perempuan sedang ada di dalam rumah tangga, maka ia

akan menggunakan waktunya untuk melaksanakan kegiatan-kegiatan di sektor domestik. Apabila

polisi perempuan tersebut tidak dapat mengatasinya, mereka akan minta bantuan dan pengertian

dari suami dan anak-anaknya Hasil penelitian Nurkemala juga menunjukkan bahwa polwan

kadangkala meminta bantuan pihak ketiga untuk menyelesaikan pekerjaan rumah tangganya.

Orang ketiga ini biasanya adalah orang tua (pihak suami atau istri), kerabat dari pihak suami atau

istri, dan pembantu rumah tangga atau baby sitter. Strategi yang dilakukan oleh polwan dalam

peningkatan karier secara formal adalah dengan melaksanakan semua kewajiban sebaik-baiknya.

Sementara itu, secara informal para polwan melakukan pendekatan kepada atasan dan pihak-

pihak yang bersangkutan untuk melancarkan kenaikan jenjangnya. Berbeda dengan Nurkemala,

peneliti lain yaitu Putri (2013) mengkaji pola asuh anak oleh polwan di Surabaya. Penelitian ini

memberikan gambaran mengenai kehidupan polwan dalam mengasuh dan membesarkan anak di

dalam rumah tangga. Peneliti lainnya yaitu Suryani (2000) menyoroti soal perbandingan

kesejahteraan psikologis di dalam diri Bintara Polisi Perempuan dengan guru perempuan Sekolah

Dasar di daerah DKI Jakarta dan Tangerang. Dalam penelitiannya Suryani menunjukkan bahwa

rata-rata Bintara Polisi Perempuan dan guru SD perempuan memiliki kesejahteraan psikologis

yang memadai dan tidak ada perbedaan profil kesejahteraan psikologis perempuan yang bekerja

sebagai polisi perempuan dan guru SD di daerah sekitar DKI Jakarta dan Tangerang. Peneliti

keempat dan kelima adalah Ruswiyanti (1999) dan Santi (1991) yang memfokuskan penelitian

mereka pada karir seorang polwan di dalam dunia laki-laki. Hasil penelitian keduanya

menunjukkan bahwa polwan yang bekerja di dalam organisasi kepolisian yang mayoritasnya

dikuasai oleh laki-laki, terkadang menemui hambatan dalam mencapai kesuksesan karirnya.

Ruswiyanti (1999) menunjukkan adanya beberapa aturan yang berlaku di dalam kepolisian

seperti pasal 6 PP No.6 tahun 1990 dan turunannya yaitu pasal 16 Permen Hankam No. 1 tahun

Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014

5    

                                                                                                             Universitas Indonesia  

1993 yang mempertimbangkan pemberian tugas dan jabatan kepada polisi perempuan.

Implementasi dari aturan tersebut adalah menempatkan polisi perempuan di bidang administratif

dan pembinaan yang membutuhkan ketelitian dan ketelatenan karena secara stereotipe

perempuanlah yang dianggap memiliki sifat demikian. Selain itu, ada pembatasan untuk

memperoleh kesempatan mengikuti pendidikan bagi polwan yang memiliki anak lebih dari dua

orang, setelah dikeluarkannya Surat Telegram Pangab No. ST/208/1997.

Saya mengamati ada beberapa hal yang kurang dibahas di dalam penelitian-penelitian

terdahulu tentang polwan. Penelitian Nurkemala kurang menyoroti relasi gender yang terjadi di

dalam rumah tangga polwan yang bersangkutan sehingga tidak terlihat pihak yang dominan

dalam mengambil keputusan maupun tindakan di dalam rumah tangga. Peneliti hanya

memberikan gambaran mengenai strategi polwan dalam mengatasi peran ganda. Nurkemala juga

tidak memisahkan peran perempuan dalam rumah tangga menjadi peran seorang ibu dan istri di

dalam kehidupan rumah tangga. Ia cenderung mereduksi peran-peran tersebut menjadi satu buah

peran, yaitu peran wanita di dalam rumah tangga (sektor domestik). Sementara pada Putri (2013)

hal serupa juga nampak, relasi gender kurang begitu tersentuh, karena peneliti hanya membahas

pola asuh polwan terhadap anak. Selanjutnya pada penelitian yang dilakukan oleh Suryani,

penelitian hanya berfokus pada kesejahteraan psikologis si polwan dalam menjalankan tugasnya

di lapangan, tidak ada hubungan relasi gender di dalam rumah tangga yang dipaparkan olehnya.

Begitu juga dengan penelitian yang dilakukan oleh Ruswiyanti dan Santi yang berfokus kepada

ketidakadilan gender yang diterima oleh polwan di lingkungan kerja, namun mereka tidak

menyoroti permasalahan gender di dalam rumah tangga si polisi perempuan.

Pada kelima penelitian terdahulu hubungan ‘power’ (kuasa) antara suami dan istri dalam

rumah tangga tidak tereksplorasi secara mendalam. Untuk melihat hubungan power yang terjadi

di dalam rumah tangga polwan, saya menganggap perlu melihat peran perempuan dan laki-laki

di dalam rumah tangga. Pada penelitian terdahulu hanya peran perempuan sebagai ibu yang

diamati, peran perempuan sebagai istri tidak terlalu dipaparkan secara mendalam.Padahal peran

perempuan sebagai istri dan ibu tidak dapat disamakan begitu saja. Peran laki-laki bahkan tidak

pernah dikaji sama sekali pada penelitian-penelitian tentang polwan yang ada sebelumnya.

Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014

6    

                                                                                                             Universitas Indonesia  

Saya menggunakan pendekatan kualitatif untuk mengkaji relasi gender yang ada di dalam

rumah tangga polisi perempuan karena seperti yang dikatakan oleh Bogdan dan Taylor (1975:5),

pendekatan ini mengkaji sebuah fenomena yang diteliti secara holistik dan utuh. Selain itu tujuan

dari digunakannya metode penelitian kualitatif adalah untuk memahami suatu situasi sosial,

kejadian, peran, kelompok atau interaksi. (Locke, Spirduso, & Silverman,1987 dalam Cresswell,

2003:198). Penelitian ini berlangsung selama enam bulan, dari Juni hingga Desember 2013 di

wilayah Bekasi. Enam bulan penelitian ini termasuk di dalamnya mencari informan yang sesuai

dengan kriteria yang telah saya tentukan. Pada penelitian ini, saya menetapkan tiga pasangan

suami – istri yang berasal dari tiga rumah tangga berbeda sebagai subjek penelitian. Kriteria

informan penelitian ini adalah: (1) pasangan suami – istri yang berprofesi sebagai polisi, namun

pangkat suaminya lebih tinggi daripada istrinya; (2) pasangan suami – istri yang yang berprofesi

sebagai polisi, namun pangkat istrinya dalam kepolisian lebih tinggi dari pangkat suaminya. (3)

pasangan suami – istri dalam rumah tangga yang perempuannya berprofesi sebagai polwan dan

laki-lakinya merupakan warga sipil biasa; Perbandingan ini dimaksudkan untuk memberikan

gambaran menyeluruh atas keadaan status perempuan di dalam rumah tangga saat ini (jaman

ketika perempuan sudah mendapatkan kesetaraan dengan laki-laki). Miles & Huberman

mengatakan bahwa layaknya proses investigasi di mana peneliti secara gradual menarik

kesimpulan dari fenomena sosial dengan melihat perbedaan, membandingkan, meniru, membuat

daftar serta klasifikasi dari sebuah objek penelitian. (Miles & Huberman dalam Cresswell, 2003 :

198). Melalui wawancara mendalam saya memperoleh data primer langsung dari informan. Saya

menggunakan pedoman wawancara yang berisi garis besar informasi yang ingin diperoleh. Saya

menanyakan para informan berbagai hal terkait dengan: latar belakang dan identitas mereka,

kegiatan yang biasanya dilakukan ketika berada di dalam rumah, serta proses pengambilan

keputusan di dalam rumah tangga.

Seks dan Gender

Seks dan gender adalah konsep yang berbeda. Benokraitis (1996: 80) menyatakan bahwa “Sex is

the group of biological characteristics with which we are born – chromosomal, anatomical,

hormonal, and other physical and physiological attributes – that determine whether we are male

or female.” Seks adalah karakteristik biologis semata yang membedakan manusia menjadi

perempuan dan laki-laki, sedangkan gender adalah ketika manusia menjadi seorang perempuan

atau laki-laki itu ditentukan dari suatu kebudayaan di mana ia dilahirkan dan dibesarkan. Dengan

Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014

7    

                                                                                                             Universitas Indonesia  

demikian untuk menjadi seorang perempuan dan berkelakuan seperti perempuan manusia harus

belajar dari kebudayaan di mana ia dibesarkan, begitu juga untuk menjadi seorang laki-laki dan

bertindak layaknya laki-laki. Dari sini maka muncul sifat feminim yang menurut banyak

kebudayaan, perempuan yang sebaiknya memiliki sifat tersebut dan sifat maskulin yang

seharusnya ada dan melekat pada seorang laki-laki. Seperti yang diungkapkan Benokraitis (1996:

80) “Refers to learned attitudes and behaviors that characterize people of one sex or the other;

gender is based on social and cultural expectations rather than on physical qualities...We learn

either the masculine or the feminine gender”. Perbedaan konsep tersebut akhirnya memberi

pemahaman mengenai perempuan yang pada umumnya selalu lekat dengan stereotipe keibuan,

sabar, lemah-lembut, pandai memasak. Ada anggapan di masyarakat bahwa semakin feminim

seorang perempuan, semakin baiklah perempuan tersebut. Sementara laki-laki pada umumnya

harus bersifat maskulin, bila tidak mau dianggap seperti perempuan. Sifat maskulin pada

umumnya yaitu laki-laki harus gagah, berani, dan tidak banyak mengeluh. Sifat maskulin dan

feminin bukan merupakan bawaan dari jenis kelamin manusia seperti yang Benokraitis katakan,

melainkan adalah bentukan kultural dan sosial.

Perbedaan gender mengakibatkan adanya peran gender. Peran gender adalah “Distinctive

patterns of attitudes, behaviors, and activities that society prescribes for females and males”

(Benokraitis, 1996: 80).  Di dalam peran gender tidak lagi kita jumpai hanya sekedar stereotipe

yang melekat pada perempuan dan laki-laki, namun sudah kita jumpai hal yang lebih konkrit

ketika peran tersebut sudah diatur, perempuan harus menjalankan tugas-tugasnya sebagai seorang

perempuan di dalam suatu masyarakat, demikian juga dengan seorang laki-laki.  

Salah satu bentuk peran gender yang sering dijumpai dikebanyakan kebudayaan menurut

Benokraitis (1996) adalah traditional gender roles. Dalam traditional gender roles biasanya

suami atau ayah sering menjadi instrumental role players, ketika ia harus menjadi “real men”. A

“real men” is a procreator, a protector, and provider.” Procreator adalah pemberi keturunan,

protector adalah pelindung anggota keluarga, dan provider adalah penyedia atau pemberi layanan

ekonomi dan berbagai macam layanan lainnya, yang menuntut seorang laki-laki harus multi

talenta sehingga dapat mengerjakan segala hal seorang diri (Benokraitis, 1996: 85). Sementara

istri atau ibu akan menjadi expressive role players ketika ia memiliki kewajiban untuk

memberikan dukungan emosional dan memelihara kualitas yang mempertahankan keutuhan

Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014

8    

                                                                                                             Universitas Indonesia  

keluarga dan memberikan dukungan untuk ayah/suami. “Provide the emotional support and

nuturing qualities that sustain the family unit and support the father/husband”. (Benokraitis,

1996: 86)

Keluarga dan Rumah Tangga

Peran gender tampak nyata di dalam hubungan antara pasangan perempuan dan laki-laki yang

sudah melangsungkan perkawinan. Pengertian perkawinan adalah pengatur kelakuan manusia

yang bersangkut paut dengan kehidupan seksnya yang berupa kelakuan-kelakuan seksual

terutama persetubuhan (Koentjaraningrat, 1977: 90). Melalui perkawinan antara perempuan dan

laki-laki, maka akan terbentuk sebuah kesatuan sosial yang disebut rumah tangga. Kesatuan ini

mengurus ekonomi rumah tangga sebagai kesatuan. Suatu rumah tangga sering terdiri dari satu

keluarga inti saja, tetapi juga bisa terdiri dari lebih dari satu, misalnya dua sampai tiga keluarga

inti. Pada banyak suku bangsa istilah untuk ‘rumah tangga’ adalah ‘dapur’(Koentjaraningrat,

1977:104). Hal senada juga diungkapkan oleh Bender (1967) perbedaan empiris antara keluarga

dengan rumah tangga adalah bahwa dalam sejumlah masyarakat, keluarga belum tentu

membentuk suatu rumah tangga, dan sebuah rumah tangga juga belum tentu terdiri dari keluarga

(Bender, 1967: 493). Pasangan perempuan dan laki-laki yang telah melaksanakan perkawinan

biasanya juga akan memilih tempat menetap atau tinggal. Ada beberapa adat tinggal yang

dijalankan oleh pasangan setelah menikah, diantaranya: utrolokal, adat yang memberi

kemerdekaan kepada pengantin baru untuk menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat

suami atau di sekitar pusat kediaman kaum kerabat istri; adat virilokal, yang menentukan

pengantin baru harus menetap di sekitar pusat kediaman kaum kerabat suami; adat uxorilokal,

yang menentukan pengantin baru harus menetap di sekitar pusat kediaman kerabat istri; adat

bilokal, yang mewajibkan pengantin baru untuk tinggal bergantian, pada satu masa tertentu

disekitar pusat kediaman kerabat suami, pada waktu lain tinggal di sekitar kediaman kaum

kerabat istri; adat neolokal, yang menentukan bahwa pengantin baru harus tinggal di tempat yang

baru, tidak mengelompok di sekitar tempat kediaman kaum kerabat istri maupun suami; adat

avunkulokal, yang menentukan bahwa pengantin baru wajib tinggal di sekitar tempat kediaman

saudara laki-laki ibu dari suami; adat natalokal, yang mengharuskan pengantin baru untuk tinggal

terpisah, suami tinggal di sekitar pusat kediaman kaum kerabatnya sendiri dan istri tinggal di

sekitar pusat kediaman kaum kerabatnya sendiri pula (Koentjaraningrat, 1977:102-103)

Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014

9    

                                                                                                             Universitas Indonesia  

Perkawinan juga akan menghasilkan suatu kelompok kekerabatan yang disebut keluarga

inti. Suatu keluarga inti terdiri dari seorang suami, seorang istri, dan anak-anak mereka yang

belum kawin (Koentjaraningrat, 1977:105). Pengertian keluarga inti adalah kumpulan dua orang

atau lebih ketika mereka dihubungkan melalui darah, pernikahan, atau adopsi, dan merawat serta

membesarkan anak (Benokraitis, 1996: 3). Adapun para ahli sosial sepakat mendefinisikan

keluarga inti sebagai ekspresi seksual atau hubungan orang tua dan anak di saat: (1) orang hidup

bersama dengan komitmen, dengan intim, memiliki hubungan inter personal; (2) anggotanya

melihat identitas mereka sangat penting dan terikat dengan grup; dan (3) grup memiliki

identitasnya sendiri. (Chilman dkk, 1988:18). Keluarga inti juga memiliki empat fungsi yaitu,

sebagai legitimizing sexual activity, procreation and soacialization of children, emotional

support, social placement and social roles   (Benokraitis, 1996: 4-6). Kempat fungsi tersebut

memang banyak dijumpai disetiap keluarga, namun dengan seiring perkembangan jaman ada

keluarga yang tidak menjalankan salah satu dari kempat fungsi di atas.

Rumah tangga dianggap paling baik dalam mengkaji suatu satuan sosial karena konsep ini

amat dinamis saat menghadapi perubahan di lingkungannya, sehingga konsep ini menjadi satuan

analisis sosial yang paling signifikan bagi antropologi (Saifuddin: 1999: 22). Menggunakan

konsep rumah tangga di dalam tulisan ini, sudah mencakup keanggotaan yang di dalamnya

dilandasi oleh hubungan kekerabatan karena perkawinan maupun keturunan, serta ada fungsi dari

keluarga seperti satuan sosial untuk mensosialisasikan nilai-nilai kepada anak sejak dini yang

artinya di dalam konsep rumah tangga sudah ada konsep keluarga. Bahkan di dalam konsep

rumah tangga juga sudah mencakup satuan tempat tinggal anggota di dalamnya.

“hampir semua orang hidup dalam rumah tangga, keanggotaan yang biasanya dilandasi oleh hubungan kekerabatan perkawinan dan keturunan, yang secara simultan merupakan kombinasi satuan tempat tinggal, suatu satuan kerjasama ekonomi (sekurang-kurangnya distribusi dan konsumsi) dengan satuan yang di dalamnya terdapat (sebagian besar) reproduksi dan sosialisasi anak sejak dini.” (Saifuddin: 1999: 22)

Lebih lanjut dengan menggunakan konsep rumah tangga saya juga dapat mengamati peran-peran

gender yang terjadi di dalam suatu satuan sosial. Seperti yang diungkapkan oleh Saifuddin

(1999:22) “rumah tangga adalah satuan sosial yang mendasar; lebih dari sekedar kelompok-

kelompok diadik; merupakan arena primer untuk ekspresi usia dan peran gender”. Melalui

konsep rumah tangga juga saya dapat melihat relasi gender karena dapat mengamati suatu

Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014

10    

                                                                                                             Universitas Indonesia  

keputusan ditentukan dan diambil dalam suatu satuan sosial yang terkadang dapat menimbulkan

konflik dan tawar-menawar. “keputusan muncul dari rumah tangga melalui negosiasi,

ketidaksepakatan, konflik, dan tawar-menawar” (Saifuddin: 1999: 22).

Status dan Peran

Pasangan perempuan dan laki-laki yang sudah membentuk suatu rumah tangga dengan satu

keluarga inti biasanya akan menjalankan status dan peran mereka masing-masing untuk

mempertahankan keutuhan rumah tangganya. Status dan peran saling berhubungan karena peran

merupakan perilaku yang diharapkan untuk dilakukan seseorang sesuai dengan statusnya (dalam

konteks ini status sebagai seorang laki-laki dan perempuan) (Horton & Hunt 1993, hal:130). Di

dalam penelitian ini konteksnya adalah peran yang harus dijalankan dengan baik oleh perempuan

dan laki-laki yang sudah berumah tangga yaitu sebagai seorang istri dan ibu untuk perempuan,

lalu sebagai seorang suami dan ayah untuk laki-laki. Sementara status adalah suatu peringkat atau

posisi seseorang dalam suatu kelompok, atau posisi suatu kelompok dalam hubungannya dengan

kelompok lain (Horton & Hunt 1993, hal:129-130). Terkadang status juga disebut kedudukan.

Pada konteks penelitian mengenai relasi gender di dalam rumah tangga ini, status merupakan

peringkat atau posisi antara perempuan dengan laki-laki di dalam rumah tangga.

Salah satu peran yang harus dijalankan oleh perempuan dan laki-laki di dalam sebuah

rumah tangga adalah menjadi orang tua untuk anak-anaknya. Menurut Bigner (1979) ada dua

orientasi peran perempuan dan laki-laki sebagai orang tua, yaitu orientasi tradisional dan orientasi

perkembangan (developmental) anak. Dalam orientasi tradisional peran ibu adalah ekspresif.

Pengasuhan didefinisikan secara sempit karena hanya dihubungakan dengan perawatan sehari-

hari terhadap aspek-aspek pengasuhan anak, seperti memberi makan, memandikan, dan

memakaikan baju anak. Orientasi perkembangan (developmental) lebih bersifat luas, yaitu

melatih pengasuhan pada proses psikologis anak yang memberikan pemenuhan kebutuhan

emosional melalui kata-kata, tindakan, dan sentuhan fisik. Lebih jelas dijabarkan peran ibu dalam

orientasi tradisional adalah sebagai berikut: melakukan tugas-tugas rumah tangga (seperti:

memasak, mencuci, membersihkan rumah, dll), memenuhi kebutuhan fisik anak, melakukan

latihan untuk kebiasaan anak agar menyerap, menanamkan pendidikan moral dan melatihnya,

mendisiplinkan anak (Bigner, 1979:47). Peran ibu dalam orientasi developmental bila dijabarkan

adalah sebagai berikut: melatih anak untuk percaya diri dan mandiri, memenuhi kebutuhan

Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014

11    

                                                                                                             Universitas Indonesia  

emosional anak, mendorong perkembangan sosial anak, merangsang pertumbuhan mental anak,

dan memberi disiplin dengan pengertian (Bigner, 1979:47).

Ketika menjalankan peran sebagai orang tua ada tiga pendekatan yang dapat digunakan

dalam pengasuhan anak (Baumrind dalam Benokraitis, 1996: 331). Tiga pendekatan tersebut

dapat digunakan untuk berinteraksi, sekaligus untuk mendisiplinkan anak-anak. Pendekatan

pertama adalah authoritarian approach, orang tua sangat menuntut sekaligus mengontrol

perilaku anak dan memberikan hukuman bila anak melakukan kesalahan. Pendekatan kedua

adalah permissive approach, orang tua bersikap hangat, responsif, dan tidak terlalu banyak

menuntut terhadap anak. Meskipun orang tua permisif, namun tidak menggertak atau menzalimi

anak-anak mereka, orang tua melakukan penanaman tanggung jawab moral dan sosial kepada

anak sehingga tidak memberikan anak-anak kebebasan total. Pendekatan ketiga adalah

authoritative approach, orang tua menuntut dan mengendalikan sikap anak tetapi juga responsif

dan selalu mendukung kegiatan anak.

Power (Kuasa)

Kehidupan di dalam rumah tangga antara istri dan suami menghasilkan suatu interaksi yang

menimbulkan sikap untuk saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya. Kemampuan untuk

mempengaruhi atau memaksakan kehendak seseorang pada orang lain dapat disebut power.

Artinya, seseorang atau kelompok memiliki kekuatan ketika bisa membuat orang lain untuk

melakukan apa yang diinginkannya.“Power as the ability to impose one’s will on others. That is,

a person or group has power when it can get others to do what it wants” (Benokraitis, 1996:

274). Serupa dengan Benokraitis, Wolf juga mengatakan bahwa power dapat terjadi pada tataran

individu dan itu merupakan suatu kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang

lain.“...Power inherent in an individual..Power as capacity of ego to impose her or his will on

alter”   (Wolf dalam Barrett dkk, 2001: 468-469). Power dalam kehidupan rumah tangga dapat

terjadi di tiga tataran yang berbeda, tiga tataran ini adalah perkawinan, parental, dan keluarga.

“Power within the family is exercised in three different realms, which while they may overlap somewhat, should be considered as “separate” since different roles (requirements, expectations, and enactments) and role relationships are involved. The three realms are the marital, the parental, and the familial.” (Clayton, 1975 : 356)

Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014

12    

                                                                                                             Universitas Indonesia  

Dalam usaha untuk mengetahui relasi gender antara istri dan suami, kita perlu melihat power

yang ada di dalam tataran keluarga (rumah tangga). Kita perlu tahu dalam tataran ini power itu

ada di bawah kendali siapa, misalnya bila sang suami yang terlalu bayak memegang kendali atas

power maka dapat dikatakan relasi gender yang terjadi tidaklah setara karena perempuan atau si

istri masih mengalami sub-ordinasi. Hal sebaliknya juga berlaku demikian.

Ada beberapa teori yang dapat menjelaskan relasi power yang terjadi di dalam hubungan

antara istri dengan suami, yang pertama adalah resource theories. Teori ini menjelaskan bahwa

pasangan yang memiliki lebih banyak sumber daya akan mempunyai power yang lebih besar

dalam pengambilan keputusan (Benokraitis, 1996: 274). Contohnya adalah yang diungkapkan

oleh Volger dan Pahl berikut ini “A husband who earns more money than his wife or has more

control over household finances has more power” (dalam Benokritis, 1966: 274). Begitu juga

sebaliknya, Benokraitis (1966) mengungkapkan bila perempuan meningkatkan sumber daya

mereka melalui upah pekerjaannya, mereka menjadi kurang bergantung pada suami dan akan

lebih kuat dalam menuntut pekerjaan keluarga dan perawatan anak untuk dikerjakan secara

bersama.“As women increase their resources through paid work, they become less dependent on

their husbands and more powerful in demanding that household chores and child care be

shared” (Benokraitis, 1996: 274).

Teori kedua adalah exchange theory. Teori ini dapat digabungkan dengan resource

theories untuk menjelaskan pertukaran resource seperti waktu dan uang yang disepakati secara

eksplisit maupun implisit antara suami dan istri melalui cara negosiasi (Benokraitis, 1996: 274).

Ada pula pernyataan dari Pyke (1994) yang dapat dijadikan acuan untuk melihat konstelasi

power yang terjadi di dalam kehidupan berumah tangga. Menurut Pyke (1994:89) “In response,

women may give up their power even though they are the breadwinners: “Sensitive to their

husbands feeling of failure, some wives respond by not resisting their husband’s dominance to

‘balance’ his low self-es-teem”. Pernyataan Pyke di atas memberikan pemahaman kepada kita

bahwa barangkali perempuan akan menyerahkan power mereka terhadap suami walaupun mereka

adalah pencari nafkah di dalam keluarga karena perempuan lebih memilih untuk menghargai

perasaan suaminya dengan cara tetap menjalankan perintah dari suami mereka. Hal ini senada

seperti yang Benokraitis ungkapkan di atas mengenai expressive role players bahwa perempuan

Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014

13    

                                                                                                             Universitas Indonesia  

cenderung lebih ekspresif dan lebih memilih mengalah untuk mempertahankan kelangsungan

rumah tangga.

Relasi power yang terjadi dalam hubungan istri dan suami tidak jarang mengakibatkan

konflik diantara keduanya. Benokraitis (1996) memberikan beberapa cara umum untuk mengatasi

konflik, salah satunya yaitu: submissions: satu orang tunduk kepada yang lain; konflik berakhir

ketika orang pertama setuju dengan atau sejalan dengan yang lain. Cara lainnya adalah

compromise, yaitu partner menemukan jalan tengah diantara pertentangan mereka; masing-

masing harus memberikan sedikit ruang untuk menerima kompromi. Kompromi dapat disarankan

oleh salah satu pasangan atau oleh pihak ketiga. Standoff merupakan cara lain lagi untuk

mengatasi konflik: para pihak yang bersengketa meninggalkan perdebatan tanpa

menyelesaikannya; mereka setuju untuk tidak setuju dan beralih ke kegiatan lain. Tidak ada pihak

yang menang atau kalah, dan konflik berakhir imbang. Withdrawal. Salah satu pihak yang

bersengketa mengundurkan diri, ia menolak untuk melanjutkan perdebatan, baik dengan

"menutup diri" atau dengan meninggalkan ruangan (Benokraitis, 1996: 276).

Peran Perempuan dan Laki-laki Sebagai Pasangan Dalam Rumah Tangga Polwan

Di dalam rumah tangga ketiga polwan yang menjadi subjek penelitian saya, semua perempuan

menjalankan peran expressive role players. Hal ini ditunjukkan dari persepsi mereka yang

menjadi subjek penelitian saya saat mendefinisikan seperti apa seorang istri yang ideal dan

beberapa persepsi tersebut terwujud dari beberapa tindakan yang mencerminkan persepsi mereka.

Persepsi para informan menunjukkan bahwa peran mereka di dalam rumah tangga adalah untuk

memberikan dukungan kepada para suami. Demikian juga halnya, para laki-laki di dalam rumah

tangga menjalankan peran instrumental role players-nya yang dapat tercermin dalam persepsi

para informan yang telah menjadi subjek penelitian saya dalam mendefinisikan seperti apa suami

yang ideal dan sebagian dari persepsi mereka juga nampak melalui tindakan-tindakan mereka

ketika berada di dalam rumah tangga. Oleh karena itu, dapat dikatakan kedua peran gender

tradisional tersebut dijalankan oleh perempuan dan laki-laki di dalam rumah tangga polwan yang

menjadi subjek penelitian saya.

Peran Perempuan dan Laki-laki Sebagai Orang Tua Dalam Rumah Tangga Polwan

Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014

14    

                                                                                                             Universitas Indonesia  

Ada dua orientasi peran perempuan dan laki-laki sebagai orang tua, yaitu orientasi tradisional dan

orientasi perkembangan (developmental) anak. Pada ketiga rumah tangga yang menjadi subjek

penelitian saya, para polwan dan suaminya telah menjalankan peran yang berorientasi tradisional

dan berorientasi perkembangan (developmental) sebagai orang tua, walau keseluruhan orientasi

peran ini tidak dapat mereka kerjakan secara penuh sebagai orang tua karena mereka sibuk

bekerja. Namun, bila pasangan polwan dan suaminya memiliki waktu di rumah dan sedang

bersama anak-anaknya, mereka akan menjalankan peran sebagai orang tua tersebut. Orientasi

peran sebagai orang tua yang tidak dapat dijalankan oleh mereka, akan dialihkan ke orang ketiga

yaitu kerabat atau pembantu yang ditugasi untuk mengurusi pekerjaan rumah dan mengasuh

anak-anak mereka. Hal ini nampak dari kegiatan yang para orang tua lakukan ketika berada di

dalam rumah.

Untuk mewujudkan dua orientasi peran sebagai orang tua, para orang tua memerlukan

metode untuk membantunya mewujudkan orientasi perannya tersebut. Menurut Baumrind

metode-metode tersebut ada tiga yang dapat digunakan dalam pengasuhan anak. Metode pertama

adalah authoritarian approach, metode kedua adalah permissive approach, metode ketiga adalah

authoritative approach. Ketiga rumah tangga pasangan orang tua yang saya teliti dua keluarga

dalam membesarkan atau mengasuh anak, mereka menerapkan metode authoritative approach

dan hanya satu rumah tangga saja yang menerapkan metode permissive approach. Hal ini

nampak dalam kebiasaan para orang tua saat mengajarkan anak tentang suatu nilai melalui aturan

yang mereka buat di dalam rumah agar nilai tersebut dapat tertanam di dalam kepribadian anak-

anak mereka.

Relasi Gender Dalam Rumah Tangga Polwan

Relasi gender tercermin di saat pasangan mengambil keputusan di dalam rumah tangga seperti

pemegang kendali keuangan di dalam rumah tangga, penentu pendidikan anak, pengambil

keputusan di saat ada anggota keluarga yang butuh penanganan medis dengan segera, dan

penentu pengguna jasa pembantu atau pengasuh di dalam rumah. Saat pasangan menentukan dan

mengambil keputusan maka dapat menunjukkan siapa pemegang power di dalam rumah tangga.

Sehingga nantinya akan terlihat bentuk relasi gender yang terjadi di dalam suatu rumah tangga.

Selain itu relasi gender di dalam rumah tangga juga dapat tercermin dari cara penyelesaian

konflik yang terjadi di antara pasangan yang sedang berbeda pendapat.

Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014

15    

                                                                                                             Universitas Indonesia  

Dalam ketiga rumah tangga yang menjadi subjek penelitian saya, para polwan cenderung

menyerahkan pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan rumah tangga kepada para

suami (penentu pendidikan anak, pengambil keputusan di saat ada anggota keluarga yang butuh

penanganan medis, dan penentu pengguna jasa pembantu atau pengasuh di dalam rumah), walau

di dalam rumah tangga mereka adalah pemegang kendali keuangan rumah tangga. Hal ini

menunjukkan bahwa para perempuan di dalam rumah tangga tidak memiliki power yang setara

dengan suaminya karena mereka selalu menyerahkan hal yang menyangkut kepentingan rumah

tangga kepada para suami. Selain itu dalam rumah tangga polwan yang memiliki suami warga

sipil, sang suami juga tetap memegang kendali dalam membuat keputusan, begitu juga dengan

rumah tangga polwan yang memiliki suami polisi namun pangkatnya lebih rendah dari istrinya,

sang suami tetap yang pegang kendali dalam menentukan atau membuat suatu keputusan dalam

rumah tangga.

Di dalam penelitian saya terhadap ketiga rumah tangga polwan, konflik biasanya adalah

keadaan yang menunjukkan perbedaan pendapat antara istri dan suami. Dalam ketiga rumah

tangga yang menjadi subjek penelitian saya maka terlihat bentuk relasi gender yang ada di dalam

rumah tangga para polwan. Relasi gender yang ada di dalam rumah tangga para polwan tidak

seimbang, status atau kedudukan mereka di dalam rumah tangga masih berada di bawah kuasa

suaminya. Hal ini terlihat dari sikap mereka yang selalu mengalah ketika ada perbedaan

pendapat, sehingga cara yang digunakan dalam penyelesaian konflik kebanyakan adalah

submissions. Sehingga memunculkan kesan suami selalu benar dalam membuat dan mengambil

suatu keputusan.

Kesimpulan

Pertama, peran-peran sebagai seorang istri yang dijalankan oleh polwan di dalam rumah tangga

merupakan peran gender yang menurut Benokraitis termasuk ke dalam peran expressive role

players, hal ini ditunjukkan dari persepsi mereka tentang istri yang ideal. Sementara, peran-peran

yang dijalankan oleh laki-laki sebagai suami termasuk ke dalam peran gender yang tergolong ke

dalam peran instrumental role players. Hal ini juga ditunjukkan dari persepsi mereka tentang

suami yang ideal. Oleh karena itu, kedua peran gender tersebut dijalankan oleh perempuan dan

laki-laki di dalam rumah tangga polwan yang menjadi subjek penelitian saya. Kedua, selain

peran-peran di atas yang dijalankan oleh perempuan dan laki-laki di dalam rumah tangga, mereka

Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014

16    

                                                                                                             Universitas Indonesia  

juga menjalankan peran sebagai orang tua, yaitu dengan menjadi seorang ibu dan ayah. Peran-

peran sebagai orang tua ini dapat terwujud bila salah satu dari kedua orientasi peran sebagai

orang tua dijalankan. Kedua orientasi peran tersebut menurut Bigner adalah orientasi tradisional

dan orientasi perkembangan (developmental) anak. Semua pasangan dalam rumah tangga polwan

menjalankan semua orientasi peran tersebut. Mereka walau tidak sepenuhnya melakukan kedua

orientasi peran tersebut seorang diri karena mereka bekerja, namun bila memiliki waktu luang

para informan akan menjalankan salah satu atau bahkan kedua orientasi peran bersama anak-

anaknya. Hal ini dapat tercermin dari aktifitas mereka di rumah yang dapat menunjukkan kedua

orientasi peran sebagai orang tua yang mereka jalankan dan persepsi mereka mengenai orang tua

yang ideal. Kedua orientasi peran sebagai orang tua yang tidak sepenuhnya dapat mereka

jalankan akan diambil alih perannya oleh orang ketiga, seperti kerabat atau pembantu (pengasuh).

Ketiga, dalam mewujudkan kedua orientasi peran sebagai orang tua, ibu dan ayah perlu

melakukannya dengan konkret yaitu dengan menggunakan beberapa metode dalam mengasuh

anak-anak. Metode-metode tersebut menurut Baumrind adalah authoritarian approach,

permissive approach, dan authoritative approach. Dua dari tiga pasangan orang tua polwan yang

saya teliti menerapkan metode authoritative approach dan hanya satu rumah tangga saja yang

menerapkan metode permissive approach. Hal ini nampak dalam kebiasaan para orang tua saat

mengajarkan anak tentang suatu nilai melalui aturan yang mereka buat di dalam rumah agar nilai

tersebut dapat tertanam di dalam kepribadian anak-anak mereka. Keempat, dari penelitian ketiga

rumah tangga polwan yang menjadi subjek penelitian saya, pemegang power dalam membuat dan

menentukan suatu keputusan tersebut adalah para suami. Status istri di lingkungan kerja bisa saja

lebih tinggi karena jabatan yang mereka miliki di kantor kepolisian, namun ketika sudah berada

di rumah status mereka tetap berada di bawah suami. Kelima, selain itu relasi gender di dalam

rumah tangga juga dapat tercermin dari cara penyelesaian konflik yang terjadi di antara pasangan

yang sedang berbeda pendapat. Penelitian ini menunjukkan bahwa relasi gender yang ada di

dalam rumah tangga para polwan tidak seimbang, status atau kedudukan mereka di dalam rumah

tangga masih berada di bawah kuasa suaminya. Hal ini terlihat dari sikap mereka yang selalu

mengalah ketika ada perbedaan pendapat, sehingga cara yang digunakan dalam penyelesaian

konflik kebanyakan adalah submissions, yang memunculkan kesan suami selalu benar dalam

membuat dan mengambil suatu keputusan. Keenam, dari hasil penelitian saya maka terlihat

bahwa pada jaman ketika perempuan sudah memperoleh hak dan kewajiban yang setara dengan

Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014

17    

                                                                                                             Universitas Indonesia  

laki-laki seperti yang dikatakan dalam UU No.7 Tahun 1984 dalam pasal 1 mengenai

penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan, nyatanya dalam kehidupan rumah

tangga para perempuan di negara ini status atau kedudukannya masih berada di bawah laki-laki.

Bahkan perempuan yang memiliki pekerjaan dan jabatan yang cukup tinggi ketimbang pekerjaan

yang dimiliki oleh suami juga tidak mempengaruhi kedudukan mereka di dalam rumah, mereka

tetap berada di bawah kuasa para suaminya. Mereka tidak memiliki power padahal mereka sudah

memiliki sumber daya yang dapat dijadikan suatu sumber power untuk mempengaruhi suami

mereka.

Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014

18    

                                                                                                             Universitas Indonesia  

Daftar Pustaka

Barrett, Stanley R., Sean Stokholm, Jeanette Burke.

2001 “The Idea of Power and the Power of Ideas: A Review Essay,” dalam American Anthropologist, New Series, Vol. 103, No. 2, halaman. 468-480. Blackwell

Bender, Donald R. 1967 “A Refinement of the Concept of Household: Families, Co-Residence, and Domestic Functions,” dalam American Anthropologist, Vol. 69, halaman. 493-504.

Benokraitis, Nijole V. 1996 Marriage and Families; Change, Choices, and Contraints. New Jersey: Prentice-Hall.

Bigner, Jerry J. 1979 Parent-Child Relations: An Introduction to Parenting. New York: MacMillan.

Bogdan, Robert & Steven J. Taylor.

1975 Introduction to Qualitative Research Methods: A Phenomenological Approach to the Social Science. New York: John Willey&Sons.

Chilman, C. S.,E. W. Nunnally, dan F. M. Cox, EDS. 1988 “Variant family forms,” dalam Families in Trouble Series, Vol. 5, halaman.18. Beverly Hills, CA: Sage.

Clayton, Richard R. 1975 The Family, Marriage, and Social Change. Canada: Heath.

Creswell, John W.

2003 Research Design: Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches. California: Sage.

Horton, Paul B. & Chester L. Hunt.

1993 Sosiologi Jilid I, (alih bahasa Aminuddin Ram dan Tita Sobari). Jakarta: Penerbit Erlangga.

Koentjaraningrat. 1977 Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Dian Rakyat.

Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014

19    

                                                                                                             Universitas Indonesia  

Nurkemala.

1992 Kepolisian dan Polwan Kajian Mengenai Peranan polwan yang telah Berumah Tangga dalam Kepolisian Sebagai Aparat Negara di Jakarta dan Strateginya dalam Peran Ganda. Skripsi Sarjana Antropologi. Tidak Diterbitkan. Depok: Universitas Indonesia.

Putri, Fara Raissa.

2013 ‘Pola Pengasuhan Oleh Polisi Wanita (Studi Deskriptif Mengenai Pola Asuh Anak Oleh Polisi Wanita (Polwan) Di Surabaya),’ dalam AntroUnairDotNet, Vol.2/No.1/Jan.-Pebruari, halaman.176-187

Pyke, K. D. 1994 “Women’s Employment as a Gift or Burden? Marital Power across Marriage, Divorce, and Remarriage.” Gender & Society 8, no. 1 (Maret), halaman. 73-91.

Ruswiyanti, Lucia Vivi.

1999 Karir Polisi Wanita di Dunia Laki-laki (Suatu Tinjauan Hukum di Indonesia). Skripsi Sarjana Hukum. Tidak Diterbitkan. Depok: Universitas Indonesia.

Santi, Endang Sri. 1991 Pengaruh Faktor Sosial Budaya Terhadap Tugas Polisi Wanita Dalam Penegakan Hukum dan Ketertiban. Thesis Magister Hukum. Tidak Diterbitkan. Depok: Universitas Indonesia.

Saifuddin, Achmad Fedyani.

1999. “Keluarga dan Rumah Tangga: Satuan Penelitian dalam Perubahan Masyarakat”. Dalam ANTROPOLOGI INDONESIA, Vol. 60, halaman. 19-24.

Suryani, Tining Amelia.

2000 Perbandingan Psikologis Kesejahteraan Psikologis = Psychological well – being Bintara Polisi Wanita Dengan Guru Wanita Sekolah Dasar. Skripsi Sarjana Psikologi. Tidak Diterbitkan. Depok: Universitas Indonesia.

Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014

20    

                                                                                                             Universitas Indonesia  

Rujukan Internet

http://sp2010.bps.go.id/index.php/site/topik?kid=7&kategori=Ketenagakerjaan (Diakses pada 29 Oktober 2013) http://edsus.tempo.co/konten-berita/metro_sudut/2013/08/31/509087/292/Jumlah-Polisi-Wanita-Hanya-36-Persen (Diakses pada 29 Oktober 2013). http://www.tni.mil.id/view-4932-jumlah+prajurit+wanita+tni+belum+ideal.html (diakses pada 29 Oktober 2013). http://www.koalisiperempuan.or.id/stereotip-gender/ (Diakses pada 22 April 2014).

 

Relasi gender…, King Buana, FISIP UI, 2014