jurnal representasi relasi gender dalam film d0215064.pdf · 2021. 1. 29. · yang baik adalah yang...

19
JURNAL REPRESENTASI RELASI GENDER DALAM FILM “MILLY & MAMET: INI BUKAN CINTA & RANGGA” (Analisis Semiotika Representasi Relasi Gender yang Setara Antara Suami Istri dalam Film “Milly & Mamet: Ini Bukan Cinta & Rangga” Karya Ernest Prakasa) Oleh: Miftah Faried Adjie Putra D0215064 PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2020

Upload: others

Post on 12-Feb-2021

3 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • JURNAL

    REPRESENTASI RELASI GENDER DALAM FILM

    “MILLY & MAMET: INI BUKAN CINTA & RANGGA”

    (Analisis Semiotika Representasi Relasi Gender yang Setara

    Antara Suami – Istri dalam Film

    “Milly & Mamet: Ini Bukan Cinta & Rangga” Karya Ernest Prakasa)

    Oleh:

    Miftah Faried Adjie Putra

    D0215064

    PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

    FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

    UNIVERSITAS SEBELAS MARET

    SURAKARTA

    2020

  • 1

    REPRESENTASI RELASI GENDER DALAM FILM

    “MILLY & MAMET: INI BUKAN CINTA & RANGGA”

    (Analisis Semiotika Representasi Relasi Gender yang Setara Antara Suami –

    Istri dalam Film “Milly & Mamet: Ini Bukan Cinta & Rangga” Karya

    Ernest Prakasa)

    Miftah Faried Adjie Putra

    Adolfo Eko Setyanto

    Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik

    Universitas Sebelas Maret Surakarta

    Abstract

    Film is an entertainment media that is able to convey messages to the public

    in the form of effective audio visual. Most media, especially films, always place

    women in a lower position than men and are identical with domestic matters. The

    growing stereotype also causes a gender imbalance in a relationship. The film

    "Milly & Mamet: Ini Bukan Cinta & Rangga" contains the values of gender

    relations in husband-wife relationships and the division of gender roles that are

    packaged not based on stereotypes so that it becomes interesting to study.

    The theory in this study uses Roland Barthes's semiology sign theory as the

    basis for studying a sign. The next theory is the theory of gender relations which

    states that when there is a gap in gender relations can cause problems that corner

    the women. So in this case equality in gender relations becomes the basis for

    examining the values contained in this film.

    This study uses a qualitative approach with the semiotic analysis method of

    the Roland Barthes model to find out the representation of gender relations in

    conjugal relations contained in the film. The unit of analysis in this study is the film

    "Milly & Mamet: Ini Bukan Cinta & Rangga" directed by Ernest Prakasa. Data

    collection is done by watching a movie and then making a scene list table as a guide

    for analysis based on values included in the form of gender relations. The sampling

    technique used was purposive sampling. The sample was chosen based on the

    research theme and answers to questions relating to equal gender relations. Data

    were analyzed using the semiotics approach and using gender relations theory. The

    analysis was carried out through three stages, namely denotation, connotation, and

    myth. The interpretation is based on supporting sources from internet articles,

    journals, books, and previous research. Meaning of the results of the connotation

    associated with the myth if it has a connection with the culture in society.

    It was found that there is an equal form of gender relations represented in

    the film "Milly & Mamet: This Is Not Love & Rangga". Milly's figure worked as the

    head of the factory, Mamet worked as a chef, Milly as a decision maker. Then the

    form of division of gender roles is Mamet who cooks at home, Milly rarely cooks

    but takes care of children, and Milly is able to do two things simultaneously.

    Keywords: Film, Gender Relations, Husband and Wife, Equivalents, Gender Role

    Sharing.

  • 2

    Pendahuluan

    Film merupakan salah satu media komunikasi massa di Indonesia. Banyak

    orang menganggap film sebagai suatu hiburan dibandingkan dengan suatu bentuk

    persuasi. Pada kenyataannya, film diciptakan untuk memberikan efek persuasi

    terhadap audiens sehingga nantinya didapatkan pesan dan makna yang terkandung

    dari film tersebut. Menurut UU No. 8 tahun 1992 tentang perfilman nasional

    dijelaskan bahwa film adalah karya cipta seni dan budaya yang merupakan media

    komunikasi massa pandang-dengar yang dibuat berdasarkan asas sinematografi

    dengan direkam pada pita seluloid, pita video, yang ditayangkan dengan sistem

    proyeksi mekanik dan elektronik (Dewan Film Nasional, 1994: 15). Perkembangan

    film sebagai salah satu media komunikasi massa di Indonesia mengalami pasang

    surut yang cukup berarti, namun media film di Indonesia tercatat mampu

    memberikan efek yang signifikan dalam proses penyampaian pesan (Rivers &

    Peterson, 2008: 252).

    Film merupakan salah satu media massa yang mampu menafsirkan berbagai

    makna dalam setiap penyampaiannya. Hingga saat ini film masih sangat digemari

    oleh semua kalangan dikarenakan selalu tersedia untuk berbagai lapisan

    masyarakat, mulai dari anak-anak hingga dewasa. Film memiliki pengaruh besar

    dalam hal menggiring opini penonton. Film juga dapat disebut sebagai media

    belajar dalam memberikan pengaruh dan sebagai penggambaran realita kehidupan

    sehari-hari melalui cerita yang disajikan. Kedudukannya dianggap sebagai media

    yang memiliki relevansi tinggi dalam mengkonstruksi dan merepresentasikan

    kehidupan yang bebas konflik dan menggambarkan kesempurnaan hidup.

    Film menjadi sebuah media yang mampu menawarkan hiburan dari

    bermacam-macam aliran. Artinya, film dapat dikatakan sebagai suatu media massa

    yang sebenarnya, karena mampu mencakup populasi masyarakat secara luas dan

    cepat. Maka dari itu, tak heran film terus mengalami perkembangan yang signifikan

    dan tak terprediksi dan akan terus berkembang seiring peminatnya yang terus

    bertambah.

  • 3

    Kebanyakan alur cerita di dalam film, menampilkan kehidupan yang nyata

    dominasi simbolik atas perempuan itu juga tampak dalam penilaian bahwa wanita

    yang baik adalah yang berumah tangga, melahirkan, mendidik anak, dan merawat

    rumah tangga. Tidak ada tempat bagi perempuan yang tak kawin. Karena itu, orang

    tua dengan segenap kekuasaan yang dibungkus sopan santun adat tradisi merasa

    berhak anak-anak perempuan mereka yang masih sangat muda untuk kawin

    (Subandy, 1998: 29).

    Perempuan dalam film selalu identik dengan kehidupan yang memposisikan

    kedudukan lebih rendah dari laki-laki. Hal tersebut sudah menjadi stereotip di

    sekitar kita yang menyebutkan bahwa perempuan sudah selayaknya hidup di rumah,

    mengurus dan mendidik anak, serta mengurus hal-hal yang berkaitan dengan rumah

    tangga. Sedangkan laki-lakilah yang menjadi pokok sumber kehidupan dan

    kekuasaan dalam sebuah keluarga, baik dari segi ekonomi, sosial, dan budaya di

    sekitar mereka.

    Konstruksi yang terjadi di masyarakat tentang peran wanita yang cenderung

    di bawah kekuasaan laki-laki ternyata menimbulkan dampak negatif bagi

    komunikasi dalam rumah tangga. Masalah komunikasi tersebut menimbulkan

    permasalahan seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) baik dalam bentuk

    verbal maupun non-verbal. Seperti yang terjadi pada perempuan berinisial RR (31)

    yang menjadi korban penganiayaan suaminya pada Rabu (27/2/2019). Alasan

    penganiayaan sang suami kepadanya adalah karena masalah sederhana, yakni tidak

    adanya lauk saat makan siang. Trobani marah dan memukuli istrinya tersebut.

    Menurut artikel dari Tribunnews.com berjudul “Gara-gara Tak Ada Lauk saat

    Makan Siang, Tobroni Aniaya Istrinya” sang istri beralasan tidak bisa menyediakan

    makan siang karena memang tidak dikasih uang oleh pelaku. Karena alasan itu

    Tobroni lantas menjadikan istrinya seperti samsak hidup, dipukuli menggunakan

    tangan kosong.

    Media merupakan properti yang sangat ampuh dalam membentuk opini

    publik. Berbagai penelitian gender terkait dengan media selama ini mengungkap

    bahwa dalam media masih banyak terjadi bias gender. Hampir semua iklan rokok

    menampilkan hal ini, sinetron, film bahkan video klip lagupun tidak bisa

  • 4

    melepaskan diri dari belenggu bias gender. Sobary mengemukakan dalam dunia

    tulisan berupa puisi, novel, komik dan sebagainya juga kerap menampilkan peran

    yang berat sebelah dalam relasi gender. Bahkan hal itu tidak bisa dihindari walau

    dari kalangan sastrawan wanita sekalipun (dalam Wandi, 2015). Permasalahan

    sekarang tinggal bagaimana bisa mengarahkan media agar bisa memberikan sudut

    pandang yang berbeda dari apa yang biasa dipahami oleh khalayak banyak.

    Khalayak bisa menghadirkan persepsi yang baru mengenai maskulinitas, yang

    diharapkan mampu merubah pola pikir laki-laki.

    Alasan mengapa film “Milly & Mamet: Ini Bukan Cinta & Rangga” penting

    untuk diteliti dan menjadi subjek penelitian adalah karena pesan dalam film ini

    memberikan antitesis atas konstruksi yang terjadi di masyarakat. Dalam film ini

    dipaparkan sebuah nilai relasi gender dari sebuah hubungan suami – istri yang

    banyak memberikan perspektif berbeda dengan kondisi di masyarakat. Film “Milly

    & Mamet: Ini Bukan Cinta & Rangga” juga mendapat penghargaan dari Pusat

    Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) karena telah memberikan

    sosialisasi terkait tindakan pencucian uang.

    Dalam film “Milly & Mamet: Ini Bukan Cinta & Rangga” terdapat pesan

    kontradiktif yang menampilkan relasi gender yang setara bahwa wanita tidak

    selamanya hidup di rumah mengurus rumah tangga. Namun digambarkan dengan

    karakter wanita tangguh yang tidak hanya mengurus rumah tangga namun juga

    mampu bekerja. Dalam hal ini, perempuan sebagai pencari nafkah. Selain itu,

    penggambaran sosok laki-laki dan perempuan dalam film ini pun dikemas sebagai

    sosok yang memiliki kebebasan berekspresi dalam hal gender sehingga

    menghilangkan ketimpangan gender yang selama ini menjadi stereotip di

    masyarakat. Relasi antar gender dalam film ini yaitu hubungan suami – istri yang

    saling membagi peran dengan tidak berdasarkan konstruksi gender membuat film

    ini menjadi menarik untuk diteliti. Berdasarkan nilai feminisme yang terkandung,

    maka film ini menjadi menarik untuk diteliti.

    Seperti dikemukakan oleh van Zoest dalam Sobur (2009: 128), film

    dibangun dengan tanda semata-mata. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem

    tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan.

  • 5

    Berbeda dengan fotografi yang statis, rangkaian gambar dalam film menciptakan

    imaji dan sistem penandaan.

    Dalam film “Milly & Mamet: Ini Bukan Cinta & Rangga”, banyak terdapat

    simbol-simbol yang hanya bisa diungkap maknanya melalui metode semiotika.

    Dalam film ini, gerakan yang dibahas adalah bagaimana sebuah pembagian peran

    gender dalam hubungan suami – istri serta gerakan feminisme. Pembahasan tentang

    feminisme masuk dalam paradigma teori kritis. Sehingga apabila menggunakan

    teori dalam paradigma kritis, metode penelitian yang digunakan adalah penelitian

    kualitatif. Untuk meneliti ideologi feminisme secara keseluruhan dalam film ini,

    maka penelitian ini menggunakan metodologi semiotika karena semiotika

    merupakan salah satu cara untuk mengetahui tanda-tanda yang bersifat simbolis

    atau tersirat dalam suatu teks maupun adegan dalam film.

    Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang yang sudah dijabarkan di atas, maka peneliti

    merumuskan masalah sebagai berikut: Bagaimana relasi gender dalam hubungan

    suami – istri direpresentasikan dalam film “Milly & Mamet: Ini Bukan Cinta &

    Rangga”?

    Kajian Pustaka

    1. Teori Semiologi Roland Barthes

    Teori Semotika Roland Barthes hampir secara harfiah diturunkan dari teori

    bahasa menurut De Saussure. De Saussure mengemukakan ada empat teoritis, yakni

    konsep langue-parole, signifiant-signifie, sintagmatik-paradigmatik, dan sinkroni-

    diakroni (Hoed, 2014). Berikut ini akan diuraikan dua konsep yang dikembangkan

    Roland Barthes yang relevan dalam kaitan semiotika. Yang pertama adalah konsep

    sintagmatik dan paradigmatik, yang kedua adalah konsep denotasi dan konotasi.

    Tanda dianalisis sesuai dengan pandangan sintagmatik dan paradigmatik.

    Dalam hal ini Barthes (1964) yang dikutip oleh Hoed (2014) mengembangkannya

    dengan berbicara tentang sintagme dan sistem sebagai dasar untuk menganalisis

    gejala kebudayaan sebagai tanda. Sintagme adalah suatu susnan yang didasari

    hubungan sintagmatik. Dalam mengamati sistem busana, ia membedakan antara

  • 6

    sintagme dan sistem. Jadi, kita dapat melihat busana sebagai mencakup perangkat

    unsur-unsur busana yang masing-masing mempunyai tempat tertentu pada tubuh

    manusia.

    Dalam sistem busana kita, terdapat (a) tutup kepala, (b) pelindung tubuh

    bagian atas, (c) pelindung tubuh bagian bawah, (d) alas kaki. Dalam kebudayaan

    busana, masing-masing memiliki ciri fisik yang berbeda-beda yang biasanya diberi

    nama khusus. Misalnya untuk (a) topi, peci, pet, dan kerudung, yang penamaannya

    berbeda dengan (b) baju, blus, jas, dan kaus oblong, (c) celana panjang, celana

    pendek, (d) sepatu, sandal, selop, terompah, atau kelom. Urutan (a) sampai (d)

    merupakan urutan sintagmatis. Setiap bagian atau gabungannya merupakan

    sintagme. Keseluruhan urutan itu membentuk satu struktur. Dalam hal busana ini,

    setiap unsur sudah mempunyai tempat sendiri serta saling membedakan sehingga

    membentuk “makna” (fungsi) masing-masing, dan karenanya unsur-unsur itu

    berada dalam suatu relasi paradigmatik.

    Menurut Barthes dalam Sobur (2009: 15) dalam buku Semiotika

    Komunikasi menjelaskan bahwa memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya

    membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi

    juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.

    Tanda-tanda itu hanya mengemban arti (significant) dalam kaitannya

    dengan pembacanya. Pembaca itulah yang menghubungkan tanda dengan apa

    ditandakan (signifie) sesuai dengan konvensi dalam sistem bahasa yang

    bersangkutan.

    Pada umumnya, tanda dapat dipergunakan untuk menyatakan kebenaran

    dan bahkan kebohongan, tanda-tanda yang berisi kebohongan itu relatif tidak

    merugikan, namun dalam beberapa kasus boleh jadi sangat membahayakan orang

    lain.

    2. Relasi Gender yang Tidak Setara

    Gender menunjukkan perbedaan jenis kelamin berdasarkan peran dan status

    dalam kehidupan sosial budaya. Sex terbentuk secara alamiah dan tidak dapat

    dipertukarkan, sedangkan gender terbentuk dari proses sosial dimana kondisinya

  • 7

    bisa berbeda di berbagai tempat. Pembedaan tersebut sangat diperlukan karena hal

    tersebut sangat berpengaruh dalam kajian analisis gender (Wandi, 2015).

    Gender diciptakan dan diperkuat melalui diskusi dan perilaku, dimana

    individu menyatakan suatu identitas gender dan mengumumkan pada yang lainnya”

    (Puspitawati, 2013). Menurut Mutarubukwa (2019) dalam jurnalnya, “Gender

    relations refer to the unequal power in relations between men and women in all

    institutions and all levels of society”. Hal itu menunjukkan bahwa sebenarnya

    terdapat ketidaksetaraan antara laki-laki dan perempuan.

    Dalam sistem patriarkis, kaum wanita seakan-akan tidak mendapatkan

    tempat. Mereka hanya menjadi makhluk nomor dua, sebagai abdi, dan selalu

    termarginalkan. Paham patriarkis telah memberikan dampak negatif yang nyata

    dalam kehidupan perempuan, sebagaimana yang ditulis Fakih (2012) bahwa

    setidaknya terdapat lima permasalahan yang muncul akibat senjangnya dalam relasi

    tersebut, yaitu marginalisasi perempuan; subordinasi terhadap perempuan;

    pelabelan terhadap perempuan; kekerasan terhadap perempuan; dan beban kerja

    bagi perempuan.

    3. Relasi Gender yang Setara

    Jika dikaitkan kembali dalam relasi gender suami – istri, terdapat salah satu

    fenomena yaitu Istri sebagai pencari nafkah. Pandangan ini sebenarnya berkaitan

    dengan kebolehan seorang istri menjadi kepala keluarga, sebab jika seorang istri

    menjadi kepala keluarga, maka dalam pandangan sebagian besar orang (dan

    realitanya demikian) istri juga turut mencari nafkah (Syarif, 2018).

    Fenomena berikutnya adalah ketika seorang laki-laki turut serta dalam

    urusan rumah tangga. Menurut Wandi (2015), sebelum memasuki dekade 80-an,

    maskulinitas laki-laki diidentikkan dengan bentuk fisik serta dominasi terhadap

    perempuan yang menyebabkan laki-laki harus menghindar dari perilaku feminin,

    bersikap rasional serta tidak emosi, memiliki status yang tinggi, dan harus agresif

    serta berani mengambil resiko. Namun memasuki era 80-an, sifat ke-feminin-an

    kembali dimunculkan pada laki-laki. Sehingga bukan hal yang aneh lagi ketika

    menjumpai laki-laki terlibat dalam pengurusan dan pekerjaan domestik. Dan semua

  • 8

    yang dilakukan laki-laki mengarah ke gaya hidup mewah yang merupakan suatu

    keharusan.

    Pada era 90-an, maskulinitas kembali menghidupkan tradisi-tradisi yang

    ada di era sebelumnya, dimana kekerasan dan kesan macho menjadi penilaian

    utama. Hubungan laki-laki dan perempuan hanya sebatas kesenangan semata.

    Memasuki era 2000-an, laki-laki lebih diarahkan ke metroseksual yang

    memperhatikan penampilan, hal-hal detail, serta sifat perfeksionis.

    Teori ini pada dasarnya menganggap bahwa permasalahan ketimpangan

    gender disebabkan oleh adanya alienasi peranan perempuan dan laki-laki yang

    sudah baku dalam keluarga. Oleh karena itu gerakan ini mendukung adanya

    perombakan peranan perempuan dan laki-laki yang lebih fleksibel.

    Metodologi

    Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif interpretatif. Objek

    yang diteliti dalam penelitian ini adalah scene-scene yang terdapat dalam film

    “Milly & Mamet: Ini Bukan Cinta dan Rangga” yang mengandung nilai-nilai

    relasi gender antara suami – istri.

    Pengumpulan data menggunakan teknik observasi yaitu menonton film

    “Milly & Mamet: Ini Bukan Cinta dan Rangga” dan mencatat tiap scene yang

    mengandung nilai relasi gender antara suami – istri. Sedangkan analisis data

    yang digunakan pada penelitian ini adalah kualitatif – interpretatif, yaitu alur-

    alur yang dikonversi ke dalam bentuk narasi yang bersifat deskriptif sebelum

    dianalisis menggunakan model analisis semiotika Rolan Barthes,

    diinterpretasi, dan kemudian disimpulkan.

  • 9

    Sajian dan Analisis Data

    1. Relasi Gender yang Setara

    a. Milly Sebagai Istri Bekerja Menjadi Kepala Pabrik

    Gambar 1 Gambar 2

    Gambar 3 Gambar 4

    (Sumber: Data Olahan Peneliti)

    Denotasi

    Milly berada dalam sebuah ruangan yang lengkap dengan lemari

    berisi berkas dan juga meja kerja yang penuh dengan tumpukan berkas. Di

    mejanya pun terdapat foto-foto anaknya, Sakti. Milly mengenakan jas

    berwarna pink dan sedang menemui stafnya, Yongki. Selesai bertemu

    dengan Yongki, Milly mengeluarkan alat pemompa ASI untuk

    mempersiapkan susu anaknya.

    Konotasi

    Milly sebagai sosok ibu yang sayang terhadap anaknya pun juga

    tetap bekerja sebagai kepala pabrik. Dalam hal ini Milly sebagai pencari

    nafkah. Di saat bekerja pun, Milly masih sempat untuk memompa ASI yang

    nantinya akan diberikan ke anaknya Dalam konteks relasi gender hal ini

    disebut sebagai relasi gender yang setara. Karena menurut Brooks dan

    Gilbert dalam Nauly (2002) berpendapat bahwa dengan multiple role seperti

  • 10

    ini justru akan menguntungkan perempuan karena akan meningkatkan harga

    dirinya, meningkatkan kesehatan fisik, serta secara ekonomi akan lebih

    independen.

    Selain itu dalam hal pakaian yang dipakai Milly yaitu jas berwarna

    pink memberikan konotasi citra wanita karir yang sukses. Seorang laki-laki

    maupun perempuan yang memakai jas akan terlihat stylish, mapan, dan

    lebih maskulin (Mardyana, 2018). Sehingga dalam pemaknaan ini, Milly

    yang menggunakan jas ketika bekerja adalah untuk memberikan citra wanita

    karir yang sesungguhnya karena tampil sebagai sosok perempuan yang

    mapan.

    b. Mamet Sebagai Suami Bekerja Menjadi Chef

    Gambar 5

    (Sumber: Data Olahan Peneliti)

    Denotasi

    Mamet sedang mengiris sayuran di dapur restoran miliknya. Dalam

    dialog diceritakan,

    Mamet : “Ikrar.. siapin peri-peri..”

    Ikrar : “Yaa.. satu menit lagi chef”

    Mamet : “Prepare ayaamm”

    Konotasi

    Mamet Berkaitan dengan relasi gender yang setara dalam hubungan

    suami – istri, Mamet dan Milly seperti pada hasil temuan poin a di atas,

    sama-sama berada dalam posisi sebagai pencari nafkah. Dilihat dari diaog

    di atas, terlihat bahwa posisi yang dijabat Mamet adalah seorang kepala

  • 11

    koki, karena Mamet mengeluarkan perintah “Ikrar.. siapin peri-peri..” dan

    “Prepare ayaamm”.

    Hobi memasak yang dilakoni Mamet pada akhirnya melabuhkan

    dirinya pada pekerjaannya menjadi seorang chef. Karena laki-laki pun tidak

    semua sanggup melakukan pekerjaan berat yang diidentikkan dengan tugas

    laki-laki yang memerlukan aktifitas fisik berlebih. Menurut Barker,

    sebagaimana yang dikutip oleh Wandi (2015) secara umum nilai-nilai yang

    diutamakan dalam maskulinitas adalah kekuatan, kekuasaan, aksi, kendali,

    kemandirian, kepuasan diri, dan kerja.

    c. Milly Sebagai Pengambil Keputusan

    Gambar 6 Gambar 7

    (Sumber: Data Olahan Peneliti)

    Denotasi

    Mamet berjalan sambil mendorong kereta bayi sedangkan Milly

    berjalan di sampingnya. Setelah berjalan, Milly membujuk Mamet untuk

    membelikan koin permainan untuk anaknya. Mereka berdua berdebat

    hingga akhirnya Mamet mengalah dan Milly membeli sebanyak lima belas

    koin.

    Sakti pun tidak mau menaiki permainan itu dan malah menangis

    sehingga Milly menyuruh Mamet yang menaikinya. Mamet menolak

    dengan mengatakan, “Mil, aku ini pria dewasa, kepala keluarga. Pokoknya

    aku nggak mau, dan kamu nggak akan bisa maksa aku.” Pada akhirnya Milly

    berhasil membujuk Mamet untuk naik permainan itu.

  • 12

    Konotasi

    Pembagian peran gender antara hubungan suami – istri yang

    dilakukan Mamet adalah dengan mendorong kereta bayi yang biasanya

    dilakukan Milly sebagai seorang ibu. Dengan konsep pembagian peran

    gender yang ada sebagai sepasang suami istri, maka setidaknya peran laki-

    laki maupun perempuan tidak lagi menjadi batasan. Sehingga peran seorang

    ayah diharapkan juga dapat mengisi peran-peran seperti pengasuhan anak

    dan pekerjaan keluarga (Nauly: 2002: 2).

    Dalam dialog Mamet “Mil, aku ini pria dewasa, kepala keluarga.

    Pokoknya aku nggak mau, dan kamu nggak akan bisa maksa aku” dirinya

    mencoba untuk meyakinkan Milly bahwa dia tidak ingin citranya sebagai

    laki-laki yang maskulin terlebih seorang ayah luntur gara-gara menaiki

    permainan anak-anak. Namun pada akhirnya, Mamet mengalah karena

    kalah berdebat dengan Milly. Hal ini merupakan suatu bentuk relasi gender

    yang setara juga dimana Mamet memilih mengalah dan menuruti keputusan

    Milly daripada mempertahankan argumennya.

    Sesuai mitos yang ada, dalam budaya kita, biasanya dalam

    pengambilan keputusan dilakukan atas persetujuan bersama, baik dari ayah

    maupun ibu. Sehingga dibutuhkan komunikasi untuk menentukan

    keputusan apa yang akan diambil. Puspitawati (2010) berpendapat bahwa

    laki-laki dan perempuan mempersepsikan peran pengasuhan anak,

    membersihkan lingkungan rumah, perencanaan dan pengaturan keuangan,

    pengambilan keputusan dalam keluarga, domestik subsisten, merawat

    kesehatan, dan menyediakan air sebagai peran yang lebih baik dilakukan

    baik laki-laki maupun perempuan (netral). Tetapi pada adegan ini, Milly

    yang menentukan keputusan dan Mamet yang menuruti keputusan yang

    telah diambil Milly.

  • 13

    2. Pembagian Peran Gender Suami dan Istri dalam Rumah Tangga

    a. Suami Bisa Memasak

    Gambar 8 Gambar 9

    (Sumber: Data Olahan Peneliti)

    Denotasi

    Mamet terlihat sedang memasak omelet yang kemudian

    menyajikannya kepada Milly untuk sarapan bersama. Milly dalam scene itu

    sedang bermain handphone sambil menunggu Mamet selesai memasak.

    Setelah Mamet memasak, dia menyajikan omelet itu ke piring Milly. Lalu

    Mamet melihat kaki Milly yang menggunakan plester karena sebelumnya

    terluka.

    Mamet : “Hei kaki kamu kenapa tuh?”

    Milly : “Hah? Gapapa.. aksesoris (sambil tersenyum dan mencoba

    menutupi kakinya)

    Konotasi

    Mamet sebagai suami memiliki hobi memasak yang notabene

    dikenal identik dengan perilaku feminin. Pada kesehariannya dia selalu

    memasak untuk sebagai sarapan bersama Milly maupun dibawa sebagai

    bekal di kantor. Apa yang dilakukan Mamet sebagai suatu bentuk relasi

    gender yang setara karena Mamet merupakan seorang suami yang

    menerapkan kesetaraan dalam pembagian peran gender. Karena stereotip

    dalam masyarakat adalah peran berbelanja bahan makanan dan memasak

    serta menyiapkan makanan dan keperluannya sebagai peran yang lebih baik

    dilakukan oleh perempuan (Puspitawati, 2010).

  • 14

    Menurut Pringgodigdo (2018) pekerjaan domestik identik dengan

    perempuan sedangkan mencari nafkah adalah peran laki-laki. Pendapat ini

    menunjukkan bahwa kondisi masyarakat kita terbatasi dengan adanya

    stereotip yang masih berkembang terkait pembagian peran dalam sebuah

    keluarga. Kondisi yang bisa dibilang sebagai ketimpangan gender ini pada

    akhirnya menjadi sebuah budaya dan dianggap lumrah terjadi.

    Pemaknaan berikutnya yaitu saat Mamet melihat ada plester di kaki

    Milly. Mamet menanyakan ada apa dengan kaki Milly. Milly pun menjawab

    “Hah? Gapapa.. aksesoris” sambil tersenyum dan mencoba menutupi

    kakinya. Dilihat dari dialog Milly yang seakan menganggap hal itu tidak

    terlalu masalah baginya, merupakan wujud dari ekspresi androgini. Menurut

    pendapat Mapstone dalam Wood (seperti dikutip Go, 2013: 14) dalam

    jurnalnya bahwa kaum perempuan biasa dilekatkan dengan sifat emosional

    dan lemah. Dalam adegan ini, Milly menempatkan dirinya sebagai

    perempuan yang kuat dan menganggap luka di kakinya bukan merupakan

    sebuah masalah meskipun Mamet sudah menunjukkan rasa perhatian pada

    Milly.

    b. Istri Jarang Sekali Memasak tetapi Tetap Mengurus Anak

    Gambar 10

    (Sumber: Data Olahan Peneliti)

    Denotasi

    Milly sedang mengemas masakan yang dibuat oleh Mamet pada pagi

    harinya lalu menyuruh Sari untuk mengantarkan makanan tersebut ke kantor

    Mamet menggunakan ojek. Kemudian terdengar tangisan anaknya,

    sehingga Milly bergegas menghampiri anaknya.

  • 15

    Konotasi

    Pembagian peran gender antara Milly dan Mamet dilakukan secara

    adil tanpa memandang bahwa pekerjaan domestik hanya merupakan tugas

    seorang istri. Karena stereotip dalam masyarakat adalah peran berbelanja

    bahan makanan dan memasak serta menyiapkan makanan dan keperluannya

    sebagai peran yang lebih baik dilakukan oleh perempuan (Puspitawati,

    2010). Meskipun Milly tidak memasak, Milly tetap mengurus anaknya

    sendiri, ditunjukkan ketika anaknya menangis, Milly langsung

    memghampiri.

    c. Milly Bisa Melakukan Dua Hal Bersamaan

    Gambar 11 Gambar 12

    (Sumber: Data Olahan Peneliti)

    Denotasi

    Milly menggunakan kaki dengan tujuan agar Sakti tenang dan tidak

    rewel. Disaat yang bersamaan dengan menenangkan Sakti, Milly juga

    memotret makanannya yang sudah terhidang di mejanya. Lalu terjadilah

    dialog,

    Mamet : “Tangan sama kaki bisa beda keguatan gitu?”

    Milly : “Mmm hmhmhm (tertawa kecil) itu namanya multitasking.

    Kalo mama tu harus jago ngerangkap kaya gini”

    Mamet : “Aku paling nggak bisa” (sambil masih terheran)

    Konotasi

    Apa yang dilakukan Milly adalah melakukan sesuatu yang

    diinginkannya tanpa melupakan kewajibannya mengurus Sakti. Menurut

  • 16

    asumsi peneliti, hal ini menunjukkan Milly sebagai ibu yang mampu

    melakukan dua kegiatan secara bersamaan, seperti pada dialog yang

    disampikan Milly, “Mmm hmhmhm (tertawa kecil) itu namanya

    multitasking. Kalo mama tu harus jago ngerangkap kaya gini”. Hal ini

    memberikan konotasi bahwa seorang ibu harus bisa melakukan beberapa

    kegiatan secara bersamaan tanpa melupakan tugasnya sebagai ibu.

    Dapat dicermati lagi, cara Milly memperlakukan Sakti dengan

    menggoyangkan kereta menggunakan kaki adalah suatu hal yang tidak

    biasa. Jika dikaitkan dengan mitos yang berada di masyarakat, tertanam

    suatu stereotip yang menyebutkan bahwa seorang perempuan haruslah

    berperilaku lemah lembut. Selama ini, perempuan selalu diidentikkan

    dengan sosok yang anggun. Selain itu, baik pria maupun perempuan sendiri

    pada dasarnya menyukai perempuan yang anggun, santun, dan cantik, serta

    seksi (Go, 2013: 14).

    Lalu dari sudut pandang Mamet yang mengatakan dalam dialognya,

    “Aku paling nggak bisa” adalah sebuah lanjutan dari diaog Milly yang

    mengatakan bahwa seorang ibu harus bisa merangkap kegiatan seperti yang

    sedang dilakukannya. Karena menurut pernyataan Mapstone dalam Wood

    (seperti dikutip Go, 2013: 14) dalam jurnalnya: “Kaum perempuan biasa

    dilekatkan dengan sifat emosional dan lemah, sementara laki-laki rasional

    dan kuat”. Maka dari itu, asumsi peneliti melihat sosok Mamet ketika

    mengatakan “Aku paling nggak bisa” merupakan sebuah konotasi bahwa

    dia tidak seperti Milly yang mampu mengerjakan dua hal sekaligus.

    Kesimpulan

    Berdasarkan hasil penelitian yang telah dianalisis oleh peneliti dapat

    disimpulkan terdapat bentuk kesetaraan relasi gender dan pembagian peran gender

    yang dilakukan oleh Mamet dan Milly sebagai pasangan suami – istri dalam film

    “Milly & Mamet: Ini Bukan Cinta & Rangga”.

    Bentuk dari kesetaraan relasi gender yang ada yaitu sosok Milly sebagai istri

    dari Mamet sebagai suami juga berlaku sebagai pencari nafkah. Milly bekerja

  • 17

    sebagai kepala pabrik milik ayahnya, sedangkan Mamet menjadi chef di

    restorannya sendiri. Selain itu, bentuk kesetaraan lainnya adalah Milly sebagai

    pengambil keputusan saat dirinya berdebat dengan Mamet saat berada di mal, serta

    Mamet yang mendorong kereta bayi.

    Di samping menyampaikan bentuk-bentuk relasi gender yang setara, ada

    nilai lain yaitu pembagian peran gender antara Mamet dan Milly. Mamet dalam film

    ini selalu yang memasak makanan di rumah, sedangkan Milly jarang memasak.

    Terkadang Milly hanya menyiapkan makanan. Selain itu ada juga saat Milly

    melakukan dua hal secara bersamaan yaitu menggoyangkan kereta bayi sambil

    memotret makanan. Berdasarkan temuan-temuan tersebut terdapat pesan-pesan

    yang menjelaskan bahwa seorang laki-laki dan perempuan dalam menjalani

    hubungan suami – istri tidak harus merasa terbatasi dengan gender. Karena dalam

    suatu relasi gender terdapat kesetaraan yang mampu diterapkan dalam hal ini

    different but equal, dan juga pembagian peran gender yang ada dalam hubungan

    suami – istri.

  • 18

    Daftar Pustaka

    Dewan Film Nasional. (1994). Apresiasi Film Indonesia. Jakarta: Dewan Film

    Nasional.

    Fakih, M. (2012). Analisis Gender & Transformasi Sosial. Yogyakarta: Pustaka

    Pelajar.

    Go, F. P. (2013). Representasi Stereotipe Perempuan dalam Film Brave. Jurnal E-

    Komunikasi. Universitas Kristen Petra. Vol. I No. 2.

    Hoed, B. H. (2014). Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Komunitas

    Bambu.

    Ibrahim, I. S. (1998). Wanita dan Media: Konstruksi Ideologi Gender dalam Raung

    Publik Orde Baru. Bandung: Saint Joseph’s University.

    Mardyana. (2018). Dating. Dipetik Desember 7, 2019, dari Woman Talk:

    https://womantalk.com/dating/articles/5-alasan-mengapa-pria-berjas-

    tampak-lebih-menarik-D689X

    Mutarubukwa, P. A., & Mazana, M. Y. (2019). The Impact of Gender Relationships

    of the Members of a Family on Family Businesses in Tanzania. College of

    Business Education.

    Nauly, M. (2002). Konflik Peran Gender pada Pria: Teori dan Pendekatan

    Empirik. Jurnal. Universitas Sumatera Utara.

    Pringgodigdo, S. R. (2018). Info: Aliansi Laki-Laki Baru. Dipetik Januari 9, 2020,

    dari Aliansi Laki-Laki Baru: https://lakilakibaru.or.id/mendukung-

    kesetaraan-gender-dimulai-dari-dapur/.

    Puspitawati, H. (2010). Persepsi Peran Gender Terhadap Pekerjaan Domestik dan

    Publik Pada Mahasiswa IPB. Studi Gender & Anak. Pusat Studi Gender

    STAIN Purwokerto. Vol. 5 No. 1. hal. 17-34.

    Rivers, W. L. (2008). Media Massa & Masyarakat Modern. Jakarta: Kencana.

    Sobur, A. (2009). Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosdakarya.

    Syarif, A. A. (2018). Relasi Gender Suami Istri: Studi Pandangan Tokoh Aisyah.

    SAWWA: Jurnal Studi Gender. Vol. 13 No. 1. 85-106.

    Wandi, G. (2015). Rekonstruksi Maskulinitas: Menguak Peran Laki-Laki dalam

    Perjuangan Kesetaraan Gender. Jurnal Ilmiah Kajian Gender. Vol. V No.

    2. 239-255.

    https://womantalk.com/dating/articles/5-alasan-mengapa-pria-berjas-tampak-lebih-menarik-D689Xhttps://womantalk.com/dating/articles/5-alasan-mengapa-pria-berjas-tampak-lebih-menarik-D689Xhttps://lakilakibaru.or.id/mendukung-kesetaraan-gender-dimulai-dari-dapur/https://lakilakibaru.or.id/mendukung-kesetaraan-gender-dimulai-dari-dapur/