reviu belanja kementerian/lembaga bidang … belanja kl bidang pendidikan dalam...dari institusi...
TRANSCRIPT
REVIU BELANJA KEMENTERIAN/LEMBAGA BIDANG
PENDIDIKAN
DALAM TERMINOLOGI VALUE FOR MONEY
Kementerian Keuangan
Direktorat Jenderal Anggaran
Direktorat PenyusunanAPBN
Reviu Belanja Kementerian/Lembaga Bidang Pendidikan Dalam Terminologi Value
For Money
ISBN 978-602-17675-8-0
Hak Cipta @2018
Direktorat Penyusunan APBN,
Direktorat Jenderal Anggaran, Kementerian Keuangan
Pengarah
Askolani
Penanggung jawab
Kunta W.D. Nugraha
Adinugroho Dwiutomo
Editor
Andry Ridwan
Agung Lestanto
Penulis
Wahyu Dede Kusuma
Febrina Kurniawati
Puji Eddi Nugroho
Muhammad Zaki Rachman
Pracetak
Abdullah Mabruri
i
Daftar Isi Reviu Belanja Kementerian/Lembaga Bidang Pendidikan Dalam
Terminologi Value For Money Daftar Isi i
Daftar Gambar iii
Daftar Tabel iv
Daftar Grafik v
Sambutan Direktur Jenderal Anggaran vii
Kata Pengantar Direktur Penyusunan APBN ix
Kata Pengantar Tim Penyusun xi
BAB I Pendahuluan 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 6
1.3 Metodologi Penelitian 6
1.4 Tujuan dan Manfaat Kajian 7
1.5 Kerangka Penulisan 7
BAB II Studi Literatur dan Konsep Value For Money 9
2.1 Studi Literatur 9
2.2 Konsep Value for Money 11
BAB III Regulasi dan Kebijakan Bidang Pendidikan 13
3.1 Dasar Hukum dan Definisi 13
3.2 Format dan Perhitungan Anggaran Pendidikan 23
3.3 Beberapa Contoh Output Strategis Pendidikan 15
3.2.1 Bantuan Operasional Sekolah (BOS) 15
3.2.2 Program Indonesia Pintar 18
3.3.3 Bidik Misi 18
BAB IV Deskripsi dan Komparasi Pembangunan Pendidikan Indonesia 21
4.1 Deskripsi Pembangunan Pendidikan di Indonesia 21
4.2 Pembangunan Pendidikan dengan Negara-negara di Regional ASEAN 23
4.2.1 Komparasi dengan Negara-negara Regional ASEAN 23
4.2.2 Vietnam 25
4.2.3 Singapura 27
ii
BAB V Reviu Belanja K/L Pendidikan Value for Money 31
5.1 Pilar Ekonomi 31
5.1.1 Standar Biaya Masukan 35
5.1.2 Standar Biaya Khusus 36
5.2 Pilar Efisiensi 38
5.2.1 Pendekatan Komponen Utama dan Pendukung 39
5.2.2 Pendekatan Operasional dan Non Operasional 41
5.2.3 Pendekatan Efisiensi Belanja Barang 42
5.3 Pilar Efektivitas 43
BAB VI Kesimpulan dan Rekomendasi 49
Daftar Pustaka 51
iii
Daftar Gambar
Gambar 1.1 Target Output Anggaran Bidang Pendidikan Tahun 2018 4
Gambar 1.2 Metode Reviu Belanja K/L Bidang Pendidikan 6
Gambar 2.1 Framework Value for Money 11
Gambar 5.1 Hubungan Instrumen Penganggaran 30
Gambar 5.2 Sifat Biaya dari Tiga K/L Terbesar Bidang Pendidikan 38
Gambar 5.3 Jenis Biaya dari Tiga K/L Terbesar Bidang Pendidikan 40
Gambar 5.4 Sasaran Pembangunan Bidang Pendidikan RPJMN 2014-2019 44
iv
Daftar Tabel
Tabel 1.1 Proporsi Anggaran Bidang Pendidikan tahun 2009-2018 3
Tabel 2.1 Penelitian terdahulu 10
Tabel 3.1 Besaran BOS dan Alokasi tiap Sekolah tahun 2015-2018 17
Tabel 4.1 Pembangunan Pendidikan di Negara Kawasan 23
Tabel 5.1 Jumlah SBK pada Kementerian Bidang Pendidikan 35
Tabel 5.2 Efisiensi Belanja Barang sesuai Inpres Nomor: 4 tahun 2017 40
Tabel 5.3 Output Strategis Tiga K/L Terbesar Bidang Pendidikan 43
v
Daftar Grafik
Grafik 1.1 Anggaran Pendidikan 2
Grafik 1.2 Alokasi Belanja Bidang Pendidikan Tahun 2018 3
Grafik 5.1 TIMMS dan PISA 45
vi
vii
Sambutan
Direktur Jenderal Anggaran
Puji Syukur kami sampaikan kepada Allah SWT karena kami masih diberi kesempatan untuk
terus berkontribusi dalam mengelola keuangan negara demi sebesar-besarnya untuk
kemakmuran rakyat. Keuangan negara sebagai salah satu pilar perekonomian Indonesia
harus bisa menjadi katalisator pertumbuhan. Sehingga kemakmuran yang dicita-citakan
dapat tercapai.
Salah satu bagian utama dari keuangan negara adalah anggaran di bidang pendidikan.
Sebagaimana kita ketahui, pendidikan memegang peranan penting sebagai penentu kualitas
sumber daya manusia. Untuk itu, Pemerintah melalui instrumen APBN terus berkomitmen
untuk mengalokasikan anggaran pendidikan minimal sebesar 20 persen dari belanja negara
sebagaimana yang diamanatkan Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 Amandemen ke-4 sejak tahun
2009.
Guna mengevaluasi pelaksanaan anggaran pendidikan tersebut, salah satu langkah yang
dilakukan adalah dengan mengkaji “Reviu Belanja Kementerian/Lembaga Bidang
Pendidikan Dalam Terminologi Value For Money”. Kajian ini diharapkan dapat menjadi
pemicu untuk melakukan evaluasi yang lebih komprehensif terkait kebijakan pembangunan
di bidang pendidikan.
Akhirnya, kami menyampaikan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada pihak-pihak
yang telah terlibat dalam pembuatan kajian ini. Ke depan, kami berharap kerja sama tersebut
dapat berlanjut untuk pengelolaan keuangan negara yang lebih baik lagi.
Askolani
Jakarta, 28 Desember 2018
ix
Kata Pengantar
Direktur Penyusunan APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sebagai instrumen kebijakan fiskal
memiliki peranan yang signifikan dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Penguatan
efisiensi dan efektivitas APBN terus dilakukan agar pembangunan dapat berjalan dengan adil
dan merata. Berbagai langkah strategis terus dilakukan. Salah satunya adalah dengan
peningkatan efisiensi dan efektivitas anggaran pendidikan untuk meningkatan kualitas
sumber daya manusia.
Pemerintah terus berupaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Melalui
instrumen APBN, Pemerintah telah mengalokasikan anggaran pendidikan yang terus
mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sejalan dengan penerapan mandatory
spending. Lebih jauh lagi, sektor pendidikan menjadi prioritas nasional yang tertuang dalam
Nawa Cita 2015-2019 dengan beberapa kebijakan strategis, yaitu Program Indonesia Pintar,
Bantuan Operasional Sekolah, dan Bidik Misi
Dalam upaya evaluasi pelaksanaan kebijakan tersebut, kami mencoba mengkaji “Reviu
Belanja Kementerian/Lembaga Bidang Pendidikan Dalam Terminologi Value For Money”.
Kajian ini akan melihat anggaran pendidikan melalui tiga elemen utama value for money
yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas.
Kami berhadap kajian ini bisa menjadi pemicu untuk adanya evaluasi yang lebih
komprehensif guna optimalisasi peran anggaran pendidikan dalam meningkatan kualitas
sumber daya manusia. Selanjutnya, kami berpendapat perlu dilakukan langkah-langkah
kolaboratif dalam mengevaluasi kebijakan pembanguan di bidang pendidikan tersebut.
Sehingga cita-cita kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia dapat tercapai.
Kunta W. D. Nugraha
Jakarta, 26 Desember 2018
xi
Kata Pengantar
Tim Penulis
Penulisan buku ini dilatarbelakangi oleh pengalokasian anggaran bidang pendidikan dalam
APBN minimal sebesar 20 persen terhadap belanja negara telah berlangsung selama satu
dekade (sejak tahun 2009), sebagaimana yang diamanatkan Pasal 31 ayat 4 UUD 1945
Amandemen ke-4. Namun, reviu komprehensif terkait pembangunan pendidikan masih
relatif sedikit. Perbaikan kualitas pendidikan juga masih memiliki banyak tantangan,
diantaranya integrasi data monitoring dan evaluasi antar kementerian, kualitas dan
distribusi tenaga pendidik, ketepatan sasaran pemeberian bantuan PIP, serta pembangunan
dan rehabilitasi fasilitas sarana dan prasarana pendidikan. Oleh sebab itu, penajaman peran
dari institusi yang menangani bidang pendidikan perlu dilakukan agar dapat meningkatkan
kualitas sumber daya manusia.
Buku ini diharapkan dapat memberi gambaran mengenai tinjauan value for money pada
anggan K/L bidang pendidikan. Value for money merupakan konsep pengelolaan organisasi
sektor publik yang mendasarkan pada tiga pilar utama, yaitu ekonomi, efisiensi, dan
efektivitas. Pilar ekonomi pada kajian ini ditinjau dari standar biaya keluaran. Sedangkan
pilar efisiensi ditinjau dari sifat biaya komponen (utama-pendukung), jenis biaya komponen
(operasional-non operasional) dan Inpres efisiensi belanja barang. Adapun pilar efektivitas
ditinjau dari hubungan output strategis dan sasaran pokok pembangunan pendidikan yang
tersedia pada RKAKL dan RPJMN.
Tim Penulis sangat menghargai bantuan dan kerjasama dari berbagai pihak dalam proses
penyelesaian buku ini. Secara khusus, penghargaan dan terima kasih kami sampaikan
kepada Bapak Askolani, Direktur Jenderal Anggaran yang memberikan arahan terkait
dengan materi buku. Terima kasih juga kami sampaikan kepada para direktur dan jajarannya
di lingkungan Ditjen Anggaran, para kasubdit di lingkungan Direktorat Penyusunan APBN,
dan seluruh rekan-rekan Direktorat Penyusunan APBN yang telah membantu dalam
berbagai kegiatan terkait, baik dalam diskusi, pengumpulan bahan, maupun koreksi materi.
Penulis menyadari bahwa buku ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu kami sangat
mengharapkan dan terbuka terhadap kritik dan saran untuk perbaikan dan penyempurnaan
buku ini di masa yang akan datang.
Tim Penulis
Jakarta, 20 Desember 2018
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembangunan merupakan suatu upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk
mewujudkan masyarakat yang makmur dan sejahtera. Visi dan misi pembangunan nasional
seperti yang dituangkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN)
Tahun 2005-2025 yaitu mewujudkan Indonesia yang mandiri, maju, adil dan makmur, serta
mewujudkan bangsa yang berdaya saing. Hal ini diselaraskan dengan visi pemerintahan
Republik Indonesia periode 2015-2019 yaitu mewujudkan Indonesia yang berdaulat,
mandiri dan berkepribadian berlandaskan gotong royong yang dituangkan ke dalam
Sembilan agenda prioritas pembangunan (Nawacita) dan 31 program aksi. Salah satunya
terdapat pada agenda Nawacita ke lima, yaitu meningkatkan kualitas hidup manusia
Indonesia.
Daya saing suatu bangsa dapat ditingkatkan melalui pembangunan pendidikan yang
pada akhirnya dapat menciptakan manusia Indonesia yang berkualitas. Sehingga, melalui
pembangunan pendidikan diharapkan mampu menjawab tantangan masa depan bangsa
dengan mewujudkan kualitas hidup manusia yang tinggi, maju dan sejahtera serta berdaya
saing baik pada tingkat regional maupun internasional seiring dengan kesiapan Indonesia
dalam menghadapi ASEAN Economic Community atau dikenal dengan Masyarakat
Ekonomi ASEAN (MEA).
Pembangunan pendidikan pada tahun 2015-2019 mengacu pada Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2015-2019 yang selanjutnya
dijabarkan ke dalam Renstra Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2015-2019.
Renstra tersebut telah menjadi pedoman bagi semua tingkatan pengelola pendidikan dan
kebudayaan di pusat dan daerah dalam merencanakan dan melaksanakan serta
mengevaluasi program dan kegiatan pembangunan pendidikan dan kebudayaan. Renstra
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2015-2019 disusun berdasarkan beberapa
paradigma,yaitu: (i) pendidikan untuk semua, (ii) pendidikan sepanjang hayat,
(iii) pendidikan sebagai suatu gerakan, (iv) pendidikan menghasilkan pembelajar, (v)
pendidikan membentuk karakter, (vi) sekolah yang menyenangkan, dan (vii) pendidikan
membangun kebudayaan. Seluruh paradigma tersebut diharapkan bersinergi dan mampu
mewujudkan pendidikan berkualitas dengan menjamin kualitas pendidikan yang inklusif
dan merata serta meningkatkan kesempatan belajar sepanjang hayat untuk semua pada
2
tahun 2030 nanti, sejalan dengan tujuan ke empat dari Sustainable Development Goals
(SDGs)/Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB).
Pendidikan memegang peranan penting sebagai penentu kualitas sumber daya
manusia, untuk itu Pemerintah, melalui instrumen APBN, telah mengalokasikan anggaran
pendidikan yang terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun, sejalan dengan
penerapan mandatory spending. Anggaran bidang pendidikan dalam APBN telah
dialokasikan minimal sebesar 20 persen terhadap belanja negara sebagaimana yang
diamanatkan Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 Amandemen ke-4 sejak tahun 2009.
Grafik 1.1 Anggaran Pendidikan
Sumber: Kementerian Keuangan
Sejak tahun 2009, anggaran bidang pendidikan telah secara konsisten dialokasikan
minimal 20% (seperti pada Grafik 1.1). Pada tahun 2018, alokasi anggaran pendidikan
sebesar Rp444,1 triliun (terlihat pada Grafik 1.2). Jumlah yang dialokasikan pada Transfer
ke Daerah lebih besar dibanding yang dialokasikan ke K/L. Sebesar Rp279,4 triliun atau
63% dialokasikan untuk transfer daerah dan dana desa dan sebesar Rp15 triliun. hal ini
menunjukkan bahwa kewenangan Pemerintah pusat berkurang dan kewenangan
pemerintah daerah semakin bertambah sebagaimana amanat UU no 32 tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, bahwa pendidikan merupakan bagian dari urusan kewenangan
pemerintah daerah. Sedang sisanya sebesar Rp147,7 triliun atau 34%, dialokasikan pada
belanja K/L, yang terdiri atas : (i) sebesar Rp50,7 triliun atau 12% dialokasikan pada
Kemenag; (ii) sebesar Rp40,4 triliun atau 9% dialokasikan pada Kemenristekdikti; (iii)
sebesar Rp40,1 triliun atau9% dialokasikan pada Kemendikbud; dan (iv) sebesar Rp16,5
triliun atau 4% dialokasikan padaK/L lain dan BUN.
3
Grafik 1.2 Alokasi Belanja Bidang Pendidikan Tahun 2018
Sasaran pembangunan dibidang pendidikan diantaranya untuk : (i) program
Pada tahun 2015, Kemendikbud dipecah menjadi Kemendikbud dan Kemenristek
Dikti, anggaran Kemendikbud dari sebesar 20,4% pada tahun 2014, menjadi 14,6% pada dan
Kemen Ristek Dikti 7,6% tahun 2015 (terlihat pada Tabel 1.1).
Tabel 1.1 Proporsi Anggaran Bidang Pendidikan tahun 2009-2018
Sumber: Kementerian Keuangan
Anggara
n
4
Output anggaran pendidikan Indonesia tahun 2018 dalam rangka meningkatkan
sumber daya manusia dan mutu pendidikan, diantaranya : (i) Program Indonesia Pintar
target 19,7 juta siswa, (ii) Beasiswa Bidik Misi target 401,5 ribu mahasiswa, (iii) tunjangan
profesi guru PNS target 257,2 ribu guru, (iv) tunjangan profesi guru non-PNS target 435,9
ribu guru, (v) tunjangan guru PNS daerah target 1,2 juta.
Mutu pendidikan nasional juga tidak dapat terlepas dari ketersediaan sarana dan
prasarana (fasilitas) pendidikan yang layak, memadai, dan merata hingga ke seluruh pelosok
negeri serta peserta didik (murid) yang berkualitas. Pemerintah telah berupaya menambah
dan mengembangkan fasilitas sekolah untuk memenuhi kebutuhan pelayanan pendidikan
yang bermutu. Jumlah sekolah disesuaikan dengan kebutuhan masyarakat secara
proporsional di seluruh Indonesia. Beberapa output untuk meningkatkan sarana dan
prasana pendidikan diantaranya : (i) Pembangunan Rehab Sekolah/ruang kelas target 61,2
ribu sekolah/ruang kelas, dan (ii) Bantuan Operasional Sekolan target 56 juta siswa (seperti
pada Gambar 1.1).
Gambar 1.1 Target Output Anggaran Bidang Pendidikan Tahun 2018
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy menyatakan berbagai upaya
ditempuh untuk meningkatkan akses dan kualitas layanan pendidikan. Selain dengan
penyediaan sarana dan prasarana sekolah, diantaranya juga melalui pendidikan vokasi
untuk meningkatkan produktivitas dan daya saing bangsa. Selain itu, penguatan karakter
5
bangsa juga dilakukan dengan pendekatan kebudayaan. Peningkatan akses layanan
pendidikan dilakukan dengan perbaikan dan penyediaan infrastruktur fisik ruang kelas dan
gedung sekolah.
Sejalan dengan terus meningkatnya anggaran pendidikan, Indeks Pembangunan
Manusia (IPM) Indonesia juga terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.
Berdasarkan Laporan Pembangunan Manusia 2016 yang berjudul “Pembangunan Manusia
untuk Semua” yang dirilis oleh United nation Development Program (UNDP) tanggal 22
Maret 2017, disampaikanoleh Country Director UNDP Indonesia Christophe Bahuet bahwa
Indeks Pembangunan Manusia Indonesia (IPM) untuk 2015 adalah 68,9. Ini menempatkan
Indonesia dalam kategori pembangunan manusia menengah, dan peringkat 113 dari 188
negara dan wilayah.
Namun demikian, lebih lanjut dalam laporan UNDP tersebut juga disampaikan
bahwa IPM Indonesia menurun tajam ke 56,3 (turun 18,2 persen) bila kesenjangan
diperhitungkan. Kesenjangan pendidikan dan harapan hidup saat lahir di Indonesia lebih
tinggi dari rata-rata di Asia Timur dan Pasifik, namun Indonesia lebih baik dalam hal
kesenjangan pendapatan dan gender dibandingkan dengan rata-rata di kawasan Asia Timur
dan Pasifik.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat mengisi kuliah umum di Universitas
Andalas, pada tanggal 8 Februari 2018 menyampaikan bahwa tantangan yang dihadapi
dunia pendidikan di Tanah Air saat ini bukan lagi soal besar anggaran pendidikan. Yang jauh
lebih penting, menurut Sri Mulyani, adalah bagaimana kualitas pendidikan mampu
menghasilkan sumber daya manusia yang baik. Saat ini, kualitas pendidikan di Indonesia
masih kalah dibandingkan negara-negara tetangga. Hal ini ditunjukkan dengan rata-rata
lama sekolah orang Indonesia kurang dari delapan tahun atau tidak lulus SMP dan harapan
lama sekolah 12 tahun. Bahkan dibandingkan Vietnam yang sama-sama mengalokasikan
anggaran 20 persen, kualitas pendidikannya masih di atas Indonesia, padahal sumber daya
manusia adalah aset paling penting dan utama bagi suatu negara.
Wakil Presiden Jusuf Kalla dalam acara Rembuk Nasional Pendidikan dan
Kebudayaan di Pusdiklat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tanggal 7 Februari 2018
di Depok, mempertanyakan efektifitas penggunaan anggaran pendidikan yang terus naik
tapi tidak berdampak signifikan terhadap peningkatan kualitas pendidikan
Indonesia. "Kenapa dengan anggaran yang naik terus per tahun, kita belum mengalami
kenaikan yang signifikan di pendidikan dibandingkan dengan negara-negara lain,".
Hal inilah yang menjadi alasan utama kenapa kajian ini dibuat, masih rendahnya
mutu pendidikan di Indonesia dengan diperlihatkan indeks IPM Indonesia yang hanya lebih
6
tinggi dari Filipina dan Vietnam sedangkan Indonesia telah mengalokasikan anggaran
pendidikan yang terus meningkat sesuai mandatory spending sebesar 20% dari APBN sejak
tahun 2009.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah tersebut diatas, rumusan masalah dari
penelitian ini adalah untuk melihat kebijakan dan alokasi anggaran belanja bidang
pendidikan di K/L (Rencana Kerja Anggaran Kementerian Negara/Lembaga-RKAKL) yang
telah sesuai dengan mandatory spendingyaitu 20% dari APBN, namun tidak/belum
meningkatkan kualitas pendidikan dengan signifikan.
1.3 Metodologi Penelitian
Kajian ini merupakan kajian kualitatif dengan data sekunder, yang diperoleh melalui
study literatur, dengan tinjauan pustaka, baik yang bersumber dari hasil kajian oleh World
bank, maupun yang bersumber dari BPS, Bappenas, DJA, dan K/L.
Selain itu kajian juga akan menggunakan data primer, yaitu dengan mengundang
narasumber yang kompeten, baik dari internal DJA, Bappenas dan Kementerian yang
mengalokasikan anggaran pendidikan, yaitu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Kementerian Agama dan Kementerian Ristek Dikti melalui Forum Group Discussion (FGD).
Untuk lebih memperkaya kajian, juga akan mengundang rapat pihak lainnya seperti World
Bank dan AIPEG.
Gambar 1.2 Metode Reviu Belanja K/L Bidang Pendidikan
AMANAT REGULASI
TERHADAP PERAN K/L
REGULASI IMPLEMENTA
SI
VALUE FOR
MONEY
REVIU BELANJA K/L
KOMPARASI
PERBANDINGAN
DI REGIONAL
7
Reviu yang akan dilakukan dengan melihat regulasi, komparasi dan implementasi
dari anggaran K/L bidang pendidikan. Dari sisi regulsi akan melihat bagaimana amanat
regulasi terhadap peran K/l. Dari segi komparasi akan melihat perbandingan pendidikan di
regional. Dari implemantasi akan melihat anggaran pendidikan dengan pendekatan value
for money (terlihat pada Gambar 1.2).
1.4 Tujuan dan Manfaat Kajian
Kajian ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas belanja anggaran pendidikan dari
sisi efisiensi dan efektifitas alokasi anggaran dibidang pendidikan, dengan :
1. Mengetahui peran utama K/L bidang pendidikan yang diobservasi berdasarkan
regulasi dan kebijakan yang melingkupinya;
2. Mengetahui peran penting K/L dalam memperkecil gap capaian pendidikan dari
target output dan outcome yang ditetapkan.
3. Merumuskan strategi optimalisasi peran K/L yang tepat sehingga dapat
memaksimalkan perbaikan kualitas belanja K/L di bidang pendidikan.
1.5 Kerangka Penulisan
Kajian “Perbaikan Kualitas Belanja K/L Bidang Pendidikan dengan Pendekatan
Value for Money” disusun dalam 5 (lima) bab, yaitu :
1. BAB I Pendahuluan berisi gambaran umum yang mendasari dilakukannya kajian
ini. Bab ini terdiri atas latar belakang masalah, rurmusan masalah, metodologi
penelitian, tujuan dan manfaat kajian serta kerangka penulisan.
2. BAB II Studi Literatur dan Konsep Value for Money memaparkan mengenai
studi-studi terdahulu yang digunakan dalam kajian ini sebagai referensi pengaruh
pembangunan pendidikan terhadap kesejahteraan masyarakat.
3. BAB III Regulasi dan Kebijakan Bidang Pendidikan memaparkan mengenai
regulasi dan kebijakan di bidang pendidikan dalam kaitanya dengan peningkatan
mutu pendidikan di Indonesia.
4. Bab IV Deskripsi Dan Komparasi Pembangunan Pendidikan Indonesia
memaparkan mengenai perbandingan kualitas pendidikan di Indonesia dengan
wilayah regional.
5. BAB V Reviu Belanja K/L Pendidikan Value For Money memaparkan
mengenai pembahasan anggaran pendidikan dengan pendekatan value for money.
8
6. BAB V Kesimpulan dan Rekomendasi yang merupakan rangkumandari hasil
penelitian dan implikasi kebijakan yan dapat diambil pemerintah.
9
BAB II
STUDI LITERATUR DAN KONSEP VALUE FOR MONEY
2.1 Studi Literatur
Pengeluaran pemerintah Indonesia di sektor pendidikan dari tahun ketahun terus
meningkat baik dari sisi jumlah nominal maupun nilai share dalam total gross domestics
bruto. Pembangunan dan perekonomian Indonesia yang semakin meningkat harus
diimbangi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia. Pengembangan sumber daya
manusia merupakan “human investment”,investasi ini tidak akan nampak atau tidak dapat
dilihat pengaruhnya terhadap perekonomian dalam jangka pendek. Jadi, investasi
pendidikan dengan jumlah yang sangat besar ini pada awal periode investasi seperti
layaknya pemborosan. Namun, hasil investasi ini akan terlihat atau dapat dinikmati pada
masa yang akan datang, dalam bentuk kualitas sumber daya manusia yang mampu menjadi
penggerak pembangunan dan perekonomian nasional.
Semakin banyaknya kebutuhan yang harus dipenuhi sementara sumber daya yang
terbatas, maka perlu pengalokasian sumber-sumber dimaksud secara optimal. Apabila
dalam suatu perekonomian pendapatan per kapita meningkat, secara relatif pengeluaran
pemerintah akan ikut meningkat, terutama karena pemerintah harus mengatur hubungan
yang timbul dalam masyarakat, hukum, pendidikan dan sebagainya (Wagner, 1917).
Studinya bertujuan untuk mengetahui sejauh mana efektivitas output sektor pendidikan
dalam menunjang kesejahteraan masyarakat.
(Meier dan Rauch, 2000), menyatakan bahwa pendidikan, atau lebih luas lagi adalah
modal manusia, dapat memberikan kontribusi bagi pembangunan. Hal ini karena
pendidikan pada dasarnya adalah bentuk dari tabungan, menyebabkan akumulasi modal
manusia dan pertumbuhan output agregat jika modal manusia merupakan input dalam
fungsi produksi agregat. Selain itu, pendidikan memiliki peran yang penting dalam
membentuk kemampuan sebuah negara berkembang untuk menyerap teknologi modern dan
untuk mengembangkan kapasitas agar tercipta pertumbuhan serta pembangunan yang
berkelanjutan (Todaro, 2006).
Ramis Stewart (2001) dalam penelitiannya yang berjudul “Economic Growth and
Human Development” menemukan bahwa tingkat awal pembangunan manusia berpengaruh
positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di negara-negara berkembang di
Amerika Latin untuk periode 1960-1992. Beliau menyarankan agar pembangunan manusia
harus mendahului atau menyertai pertumbuhan ekonomi agar menghasilkan pola/siklus
pembangunan yang berbudi luhur. Selain itu, Barro (2001) pada “Economic Growth in a
cross section of country” menemukan bahwa penduduk laki-laki berpendidikan menengah
dan tinggi memberi pengaruh dan signifikan terhadap pertumbuhan GDP per kapitariil.
10
Karena pekerja dengan latar belakang pendidikan dilengkapi dengan teknologi yang baru
memiliki peran penting dalam penyebaran teknologi.
Penelitian di Indonesia tentang pengaruh investasi di bidang pendidikan dengan
propinsi sebagai unit analisisnya periode 1975-2003 oleh Diah Prasasti (2006), Neni
Pancawati (2000) menyatakan pentingnya investasi pemerintah di bidang pendidikan
sangat berkontribusi terhadap pertumbuhan dan kenaikan PDRB per kapita di masing-
masing propinsi. Terutama peningkatan educational attainment sebesar satu satuan akan
meningkatkan pertumbuhan PDRB sebesar 1,5% sampai dengan 2,6% (Wibisono, 2001).
Matriks penelitian terdahulu selangkapnya dalam tabel 2.1 berikut:
Table 2.1. Penelitian terdahulu
Sumber: Berbagai sumber, diolah.
11
2.2 Konsep Value for Money
Kajian ini dalam menganalisa suatu masalah dengan konsep value for money. Value for
money merupakan konsep pengelolaan organisasi sektor publik yang mendasarkan pada tiga
elemen utama, yaitu ekonomi, efisiensi, dan efektivitas (Mardiasmo, 2002), terlihat pada
Gambar 2.1.
Gambar 2.1 Framework Value for Money
Sumber: Mardiasmo, 2002 yang diadaptasi.
Pilar ekonomi adalah perolehan input dengan kualitas dan kuantitas tertentu dengan
harga terendah. Ekonomi merupakan perbandingan antara masukan (yang terjadi) dengan
nilai masukan (yang seharusnya). Ekonomi terkait dengan sejauhmana organisasi sektor
publik dapat meminimalisir sumber daya yang digunakan, dengan menghindari pengeluaran
yang boros dan tidak produktif. Cakupan pilar ekonomi terdiri dari dua bagian, yaitu: sisi
satuan biaya (unit cost) ditetapkan bertujuan untuk meminimaliasasi biaya dan sisi
pengadaan (procurement) diharapkan dapat menjadi filter untuk mendapatkan eksekutor
dan input yang ekonomis.
Pilar efisiensi merupakan pencapaian keluaran (output) yang maksimum dengan
masukan tertentu atau penggunaan masukan terendah untuk mencapai keluaran tertentu.
Efisiensi merupakan perbandingan keluaran/masukan (output/input) yang dikaitkan
dengan standar kinerja atau target yang telah ditetapkan. Dikenal juga sebagai pilar
produktivitas, terdiri dari efisiensi teknis (technical efficiency) dan efisiensi alokatif
(allocative efficiency). Efisiensi teknis merupakan refleksi kemampuan dari suatu institusi
untuk memaksimalkan output dengan input tertentu, sedangkan efisiensi alokatif
merefleksikan suatu organisasi dalam memanfaatkan input secara optimal dengan tingkat
harga yang telah ditentukan.
12
Pilar efektivitas,merupakan tingkat pencapaian hasil program dengan target yang
ditetapkan. Terdiri dari pengukuran pencapaian outcome dari sisi kuantitatif dan kualitatif.
Pencapaian outcome dari sisi kuantitatif berarti outcome yang dicapai dapat dikuantifisir
dalam bentuk nominal maupun persentase. Pencapaian outcome dari sisi kualitatif,
meskipun tidak dapat dikuantifisir namun dampak dari hasil yang dicapai dapat dirasakan
oleh penerima manfaat.
Masukan (input) merupakan sumber daya yang digunakan untuk pelaksanaan suatu
kebijakan, program, dan aktivitas. Sebagai contoh: dokter di RS, tanah di jalan, guru di
sekolah, dan sebagainya. Dapat dinyatakan secara kuantitatif (jumlah guru, luas tanah),
dinyatakan dengan nilai rupiah (biaya dokter, harga tanah, gaji guru). Penentuan metode
harganya: harga pasar, harga beli, dan sebagainya. Keluaran (Output) merupakan hasil yang
dicapai dari suatu progam, aktivitas, dan kebijakan. Perlu dipertimbangkan pula keluaran
yang diinginkan, dan keluaran lainnya yang tidak diinginkan yang merupakan efek samping.
Hasil (Outcome) adalah dampak yang ditimbulkan dari suatu aktivitas tertentu. Biasanya
dikaitkan dengan tujuan (objectives) atau target yang hendak dicapai. Ada beberapa hal yang
menyebabkan outcome sulit ditetapkan atau diukur seperti: i. Tidak dapat dijelaskan dengan
sederhana yang memudahkan monitoring; ii. Adanya masalah politik dalam proses
penetapan outcome, tergantung penguasa; dan iii Penentuan outcome perlu pertimbangan
kualitas, output meningkat, lebih ekonomis dan efisien.
Pada dasarnya value for money dapat tercapai apabila organisasi telah menggunakan
biaya masukan paling kecil untuk mencapai keluaran yang optimum dalam rangka mencapai
tujuan organisasi. Konsep value for money sektor publik gencar dilakukan seiring dengan
meningkatnya tuntutan akuntabilitas dan good governance. Value for money dapat tercapai
apabila organisasi telah menggunakan biaya input paling kecil untuk mencapai output yang
optimum dalam rangka mencapai tujuan organisasi. Implementasi konsep value for money
diyakini dapat memperbaiki akuntabilitas sektor publik dan memperbaiki kinerja sektor
publik. Manfaat konsep value for money pada organisasi sektor publik antara lain:
meningkatkan efektivitas pelayanan publik; meningkatkan mutu pelayanan publik;
menurunkan biaya pelayanan publik karena efisiensi dan penghematan input; alokasi
belanja yang berorientasi pada kepentingan publik; meningkatkan kesadaran atas
penggunaan uang publik demi akuntabilitas.
Sektor publik sering dinilai banyak inefisiensi, pemborosan, sumber kebocoran dana,
dan institusi yang selalu merugi. Untuk itu, tuntuan baru agar organisasi sektor publik
memperhatikan value for money dalam menjalankan aktifitasnya.
13
BAB III
REGULASI DAN KEBIJAKAN BIDANG PENDIDIKAN
3.1 Dasar Hukum dan Definisi
Sejak tahun 2009, anggaran pendidikan yang disusun dalam postur APBN dilandasi
oleh:
1. Amanat Undang-undang Dasar 1945 Amandemen ke-4, Pasal 31 ayat (4), yang
mengamanatkan bahwa negara memprioritaskan anggaran pendidikan
sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta dari APBD untuk memenuhi
kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
2. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional,
diamanatkan bahwa Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan
layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang
bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi.
3. Putusan Mahkamah KonstitusiNo 024/PUU-V/ 2007, tanggal 20 Februari 2008,
“Dana Pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan
dialokasikan minimal 20% dari APBN pada sektor pendidikan dan minimal 20%
dari APBD.”
4. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor :013/PUU-VI/2008, Pemerintah harus
menyediakan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN
dan APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.
Sementara itu, definisi anggaran pendidikan adalah sebagaimana yang tertuang
dalam UU 18/2016 tentang APBN Tahun Anggaran 2017,Pasal 1 angka 39 dan 40, yaitu:
1. Anggaran pendidikan adalah alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang
dianggarkan melalui kementerian negara/lembaga, alokasi anggaran pendidikan
melalui transfer ke daerah dan dana desa, dan alokasi anggaran pendidikan
melalui pengeluaran pembiayaan, termasuk gaji pendidik, tetapi tidak termasuk
anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan pendidikan
yang menjadi tanggung jawab Pemerintah.
2. Persentase anggaran pendidikan adalah perbandingan alokasi anggaran
pendidikan terhadap total anggaran belanja negara.
3.2 Format dan Perhitungan Anggaran Pendidikan
Format dan perhitungan anggaran pendidikan pada dasarnya menggunakan metode
pada saat putusan Mahkamah Konstitusi tahun 2008 yang menetapkan anggaran
pendidikan dalam APBNP tahun 2008 (15,6 persen terhadap APBN) inkonstitusional, dan
14
dalam APBN tahun 2009 harus dialokasikan anggaran pendidikan 20 persen dari APBN.
Bertitik tolak dari hal itu, format dan perhitunggan anggaran pendidikan disusun
berdasarkan alokasi anggaran pada fungsi pendidikan yang dianggarkan melalui
kementerian negara/lembaga, alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah, dan
alokasi anggaran pendidikan melalui pengeluaran pembiayaan, termasuk gaji pendidik,
namun tidak termasuk anggaran pendidikan kedinasan, untuk membiayai penyelenggaraan
pendidikan yang menjadi tanggung jawab Pemerintah.
Anggaran pendidikan melalui Pemerintah Pusat tersebut dialokasikan melalui 20
K/L, yang sebagian besar dialokasi untuk Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,
Kementerian Agama, dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Sementara itu, alokasi anggaran pendidikan melalui transfer ke daerah, antara lain
terdiri dari bagian anggaran yang dialokasikan pada DBH, DAU, DTK, Dana Otsus dan Dana
Penyesuaian. Bagian anggaran pendidikan yang diperkirakan dari DBH tersebut terdiri atas
bagian DBH pertambangan minyak bumi dan gas bumi yang masing-masing dialokasikan
sebesar 0,5 persen (dasar hukum penghitungan anggaran pendidikan yang diperkirakan dari
DBH tersebut adalah Pasal 20 ayat (1) Undang-undang Nomor 33 Tahun 2004, namun
melalui pembahasan antara Pemerintah dan DPR alokasi anggaran pendidikan yang
diperkirakan dari DBH tersebut dihapus sejak tahun 2016). Selanjutnya, bagian anggaran
pendidikan yang diperkirakan dari DAU terdiri atas DAU untuk gaji guru PNSD (asumsi
DAU utamanya digunakan untuk pembayaran gaji PNSD) dan DAU untuk bidang
pendidikan di luar gaji guru PNSD (memperhatikan data historis). Sementara itu, cakupan
bagian anggaran pendidikan melalui DTK mencakup Dana Alokasi Khusus (DAK) fisik dan
DAK non-fisik. DAK non-fisik pendidikan diantaranya digunakan untuk membiayai
tunjangan profesi guru (TPG) PNSD, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan Bantuan
Operasional Pendidikan Anak Usia Dini (BOP PAUD), yang penghitungannya bersumber
dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Selanjutnya, bagian anggaran pendidikan
melalui transfer ke daerah lainnya adalah anggaran pendidikan yang diperkirakan melalui
dana otonomi khusus, yang dihitung berdasarkan Pasal 36 ayat (2) Undang-undang Nomor
21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dan Pasal 182 ayat (3)
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam hal ini, menurut
Pasal 36 ayat (2) UU No 21/2001 tentang Otsus Papua: “Sekurang-kurangnya 30%
penerimaan otsus dialokasikan untuk biaya pendidikan … “ dan Pasal 182 ayat (3) UU No
11/2006 tentang Pemerintahan Aceh:“Paling sedikit 30% dari pendapatan otsus
dialokasikan untuk membiayai pendidikan di Aceh”.
Selanjutnya, alokasi anggaran pendidikan melalui pengeluaran pembiayaan, yang
utamanya untuk Investasi Pemerintah pada Dana Pengembangan Pendidikan Nasional
15
sebagai salah satu komponen APBN yang digunakan untuk menjamin keberlangsungan
program pendidikan bagi generasi berikutnya (Dana Abadi Pendidikan yang hasil kelolaan
digunakan untuk pemberian beasiswa), sebagai dasar yang diperhitungkan dalam anggaran
pendidikan, sejalan dengan Pasal 1 angka 3 UU Nomor 20 Tahun 2003 (Sistem Pendidikan
Nasional adalah keseluruhan komponen pendidikan yang saling terkait secara terpadu untuk
mencapai tujuan pendidikan nasional).
3.3 Beberapa Contoh Output Strategis Pendidikan
3.3.1 Bantuan Operasional Sekolah (BOS)
BOS merupakan program pemerintah yang pada dasarnya adalah untuk penyediaan
biaya operasi non personalia bagi satuan pendidikan dasar pelaksana program wajib belajar.
Namun demikian, ada beberapa jenis pembiayaan investasi dan personalia yang
diperbolehkan dibiayai dengan dana BOS.
Secara umum BOS memiliki tujuan untuk meringankan beban masyarakat terhadap
pembiayaan pendidikan dalam rangka wajib belajar 9 tahun yang bermutu serta berperan
dalam mempercepat pencapaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) pada sekolah-sekolah
yang belum memenuhi SPM, dan pencapaian Standar Nasional Pendidikan (SNP) pada
sekolah-sekolah yang sudah memenuhi SPM.
Secara khusus BOS memiliki tujuan untuk membebaskan pungutan bagi seluruh
peserta didik SD/SDLB dan SMP/SMPLB/Satap/SMPT negeri terhadap biaya operasi
sekolah, membebaskan seluruh peserta didik miskin dari pungutan dalam bentuk apapun,
baik di sekolah negeri maupun swasta, serta meringankan beban biaya operasi sekolah bagi
peserta didik di sekolah swasta.
Pelaksanaan BOS terdapat beberapa aturan-aturan yang harus diikuti yaitu: aturan
terkait dengan besaran alokasi BOS tiap provinsi dengan Peraturan Presiden; aturan
mekanisme penyaluran dana BOS dari RKUN ke RKUD; aturan terkait dengan mekanisme
pengelolaan dana BOS di daerah dan mekanisme penyaluran ke sekolah dengan Peraturan
Menteri Dalam Negeri; serta aturan tentang petunjuk teknis penggunaan dan
pertanggungjawaban keuangan dana BOS dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan
Kebudayaan.
Sasaran penerima BOS yaitu semua SD/SDLB, SMP/SMPLB/SMPT/Satap, baik
negeri maupun swasta di seluruh Indonesia yang sudah memiliki Nomor Pokok Sekolah
Nasional (NPSN) dan sudah terdata dalam sistem Data Pokok Pendidikan (Dapodik).
16
Antara tahun 2005 – 2018 BOS mengalami perubahan pengangaran, yaitu:
1. Tahun 2005 – 2010
a. BOS untuk jenjang pendidikan dasar,
b. Anggaran Kementerian Pendidikan,
c. Dianggarkan pada dekon SKPD Pendidikan Provinsi.
2. Tahun 2011
a. BOS untuk jenjang pendidikan dasar,
b. Transfer Daerah (Dana Transfer Lainnya),
c. Dianggarkan pada APBD Kabupaten/Kota.
3. Tahun 2012-2015
a. BOS untuk jenjang pendidikan dasar,
i. Transfer Daerah (Dana Transfer Lainnya),
ii. Dianggarkan pada APBD Provinsi.
b. BOS untuk jenjang pendidikan menengah
i. Anggaran Kementerian Pendidikan,
ii. Dianggarkan pada RKA Direktorat Pembinaan SMA danDirektorat
Pembinaan SMK
4. Tahun 2016-sekarang
a. BOS untuk jenjang pendidikan dasar dan menengah,
b. Transfer Daerah (DAK Non Fisik),
c. Dianggarkan pada APBD Provinsi.
Secara kewenangan dalam melakukan pengelolaan BOS, terdapat beberapa
Kementerian yang memiliki peran, yaitu:
1. Kementerian Keuangan
a. Menetapkan alokasi anggaran BOS di tiap daerah;
b. Mengatur mekanisme penyaluran dana BOS dari pusat ke provinsi dan
pelaporannya.
Terkait dengan anggaran, Kemdikbud tetap memiliki peran dalam hal:
a. Mengusulkan periode penyaluran dana ke RKUD,
b. Mengusulkan alokasi anggaran tiap daerah;
c. Mengajukan rekom jumlah penyaluran dana ke RKUD
2. Kementerian Dalam Negeri
a. Mengatur mekanisme penyaluran dana dari RKUD ke rekening sekolah;
b. Mengatur mekanisme pengelolaan dana BOS di daerah.
17
Terkait dengan mekanisme ini, Kemendikbud tetap memiliki peran untuk
mengusulkan kebijakan khusus yang bertujuan untuk memudahkan pengelolaan
dana di sekolah dan mengoptimalkan pemanfaatan dana BOS di sekolah.
3. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
a. Petunjuk teknis penggunaan dan pertanggungjawabankeuangan dana BOS;
b. Memberikan masukan kepada Kemenkeu dan Kemendagri untuk
memaksimalkan pengelolaan danaBOS di daerah dan di sekolah.
Kebijakan Pemerintah dalam menentukan besaran BOS dan alokasi tiap sekolahan
mengalami perubahan-perubahan dalam setiap waktunya. Hal ini disebabkan masih
terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat
terkait dengan petunjuk teknis bantuan operasional sekolah. Adapun perubahan petunjuk
teknis BOS dari tahun 2015 s.d 2018 dapat dilihat pada Tabel 3.1 di bawah ini.
Dari tahun 2015 ke 2016 secara besaran BOS dan alokasi tiap sekolah tidak
mengalami perubahan, namun terdapat beberapa perubahan dalam pelaksanaannya antara
lain: terkait dengan sasaran penerima, khusus bagi sekolah swasta, juga harus memiliki izin
operasional dan minimal sudah memiliki izin operasional selama tiga tahun.
Dari tahun 2016 ke 2017 terdapat perubahan terkait besaran dana dengan
menambahkan jenjang tingkat SMA dan SMK dengan memperoleh sebesar Rp1.400.000,00
per jumlah peserta didik termasuk didalamnya SMALB. Selain itu juga terdapat kebijakan
terkait dengan pembelian buku teks, dimana pada tahun 2017 sekolah wajib mencadangkan
separuh dari dana BOS triwulan II (20 persen dari alokasi satu tahun) di rekening sekolah
untuk pembelian buku teks.
No Uraian
I Dasar Hukum Permendikbud 161 Tahun 2014 Permendikbud 16 Tahun 2016 Permendikbud 26 Tahun 2017 Permendikbud 1 Tahun 2018
II Besaran Dana :
a. Tingkat SD Rp 800.000,- Rp 800.000,- Rp 800.000,- Rp 800.000,-
b. Tingkat SMP Rp 1.000.000,- Rp 1.000.000,- Rp 1.000.000,- Rp 1.000.000,-
c. Tingkat SMA dan SMK - - Rp 1.400.000,- Rp 1.400.000,-
d. Tingkat SDLB/SMPLB/SMALB/SLB - - (↑ termasuk SMALB) Rp 2.000.000,-
III Alokasi dana tiap sekolah :
a. Peserta didik ≤60 : 60 x unit cost 60 x unit cost 1. 60 x unit cost 1. 60 x unit cost
2. (jumlah peserta didik) x unit
cost2.
(jumlah peserta didik) x
unit cost
b. Peserta didik >60 :
Besaran BOS dan Alokasi tiap Sekolah tahun 2015 - 2018
Tabel XX
2015 2016 2017 2018
(jumlah peserta didik) x unit cost (jumlah peserta didik) x unit cost (jumlah peserta didik) x unit cost(jumlah peserta didik) x unit
cost
Tabel 3.1 Besaran BOS dan Alokasi tiap Sekolah tahun 2015-2018
Sumber: Kementerian Keuangan
18
Dari tahun 2017 ke 2018 terdapat perubahan terkait besaran dana dengan
memisahkan jenjang SMALB dan menambahkan SDLB, SMPLB, serta SLB dengan
memperoleh sebesar Rp2.000.000,00 per jumlah peserta didik. Selain itu juga terdapat
sejumlah perubahan antara lain adanya tambahan pemanfaatan dana BOS untuk
penyelenggaraan Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) serta adanya verifikasi dan
pelaporan dana BOS yang melibatkan UPT Pendidikan setempat yang dibantu operator.
3.3.2 Program Indonesia Pintar
Progam Indonesia Pintar merupakan kelanjutan dari program bantuan siswa miskin
yang bertujuan untuk meningkatkan akses masyarakat miskin ke sekolah melalui penurunan
biaya. Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 7 Tahun 2014, diantaranya mengamanatkan
tentang Program Indonesia Pintar (PIP) kepada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
serta Kementerian Agama untuk menyiapkan Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan
menyalurkan dana Program Indonesia Pintar (PIP) kepada siswa yang orangtuanya tidak
mampu membiayai pendidikannya.
Bantuan secara tunai tersebut dapat dimanfaatkan untuk keperluan pendukung biaya
pendidikan siswa, yang meliputi pembelian buku dan alat tulis, pembelian pakaian/seragam
dan perlengkapan sekolah, biaya transportasi ke sekolah, dan keperluan lain yang berkaitan
dengan pembelajaran siswa di madrasah/sekolah.
PIP melalui Kartu Indonesia Pintar ini merupakan kelanjutan dari program Bantuan
Siswa Miskin (BSM) yang mencakup siswa dari jenjang pendidikan SD/MI, SMP/MTs,
SMA/SMK/MA, dan siswa/warga belajar di Pusat Kegiatan Belajar (PKBM)/lembaga kursus
dan pelatihan hingga anak usia sekolah, anak-anak yang berada di panti asuhan dan anak-
anak yang berada di panti asuhan dan anak-anak difabel dari rumah tangga/keluarga
dengan status ekonomi rendah/miskin. Melalui program ini diharapkan tidak ada lagi anak
usia sekolah (6-21 tahun) yang tidak bisa bersekolah dikarenakan ketidakmampuan dalam
pembiayaan operasional sekolah.
3.3.3 Bidik Misi
Bidik Misi adalah bantuan biaya pendidikan bagi calon mahasiswa tidak mampu
secara ekonomi dan memiliki potensi akademik baik untuk menempuh pendidikan di
perguruan tinggi pada program studi unggulan sampai lulus tepat waktu.
Tujuan diselenggarakannya beasiswa Bidik Misi adalah untuk meningkatkan akses
dan kesempatan belajar di perguruan tinggi bagi peserta didik yang tidak mampu secara
19
ekonomi dan berpotensi akademik baik, memberi bantuan biaya pendidikan kepada
calon/mahasiswa yang memenuhi kriteria untuk menempuh pendidikan program diploma
atau sarjana sampai selesai tepat waktu.
Beasiswa ini diberikan sejak calon mahasiswa dinyatakan diterima di perguruan
tinggi selam 8 semester untuk program Diploma IV dan S1, serta selama 6 semester untuk
program Diploma III. Beasiswa ini berupa pembebasan dari seluruh biaya pendidikan
selama di perguruan tinggi, baik uang pangkal maupun SPP per bulan. Selain itu, mahasiswa
penerima beasiswa juga menerima uang saku untuk biaya kuliahnya yang akan diterimanya
setiap 6 bulan sekali.
20
21
BAB IV
DESKRIPSI DAN KOMPARASI PEMBANGUNAN PENDIDIKAN INDONESIA
4.1. Deskripsi Pembangunan Pendidikan di Indonesia
Beberapa tahun terakhir ini Pemerintah Indonesia berfokus pada pembangunan dan
perbaikan infrastruktur di seluruh daerah di Indonesia. Setelah infrastruktur selesai, ke
depannya Pemerintah akan berfokus pada pembangunan manusia. Indonesia berusaha
mengejar ketertinggalan atas perolehan skor HDI yang pada tahun 2018 Indonesia
menempati posisi 116 dari 189 negara, atau peringkat 6 di ASEAN, hanya menang di atas
Laos, Kamboja, dan Myanmar.
Salah satu faktor dalam pembangunan sumber daya manusia utamanya adalah
pendidikan. Pemerintah telah berupaya dengan berbagai cara untuk meningkatkan kualitas
pendidikan di Indonesia. Sejak tahun 2009, Undang-undang Dasar kita telah memandatkan
belanja pada APBN untuk dipatok minimal 20% untuk anggaran pendidikan. Sektor
pendidikan sebagai prioritas nasional juga tertuang dalam Nawa Cita 2015-2019, beberapa
di antaranya adalah:
1. Meningkatkan kualitas pendidikan melalui Program Indonesia Pintar dengan
pendidikan wajib 12 tahun.
2. Meningkatkan kualitas manajemen guru, pendidikan guru, serta reformasi dalam
pendidikan keguruan, termasuk tunjangan sertifikasi guru.
3. Meningkatkan akses dan kualitas atas pendidikan tinggi.
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, Pemerintah memiliki visi
Pembangunan Sumber Daya Manusia Indonesia yang tercantum dalam Rencana
Pembangunan Jangka Panjang tahun 2005-2025 adalah terwujudnya manusia Indonesia
yang sehat, cerdas, produktif, dan berakhlak mulia. Visi ini dijabarkan dalam arah
pembangunan sumber daya manusia dalam bidang pendidikan diantaranya berupa:
1. Peningkatan akses dan pemerataan pelayanan pendidikan yang bermutu dan
terjangkau;
2. Peningkatan kualitas dan relevansi pendidikan dan pelatihan yang mampu
merespon globalisasi dan kebutuhan pembangunan nasional melalui
pengembangan kurikulum, peningkatan kualitas dan profesionalisme pendidik
dan tenaga kependidikan lainnya, penyediaan sarana pendidikan yang bermutu,
peningkatan penelitian dan penyebarluasan hasil penelitian, serta pengabdian
pada masyarakat;
22
3. Pelaksanaan paradigma baru pendidikan tinggi melalui kewenangan lebih luas
pada perguruan tinggi dalam pengelolaan pendidikan;
4. Pengembangan minat dan gemar membaca.
Besaran anggaran pendidikan meningkat dari tahun ke tahun dan didominasi oleh
belanja transfer ke daerah dan dana desa (TKDD). Pada tahun 2018, besaran
anggaran pendidikan adalah Rp444 triliun dan naik menjadi Rp492,5 triliun di tahun
2019. Besaran ini setara dengan 3 persen dari PDB dan menurut prediksi IMF akan
tetap konsisten pada angka 3 persen. Dari jumlah tersebut, anggaran transfer ke
daerah dan dana desa memiliki porsi 62% dari total anggaran pendidikan, atau
Rp307 triliun untuk tahun 2019.
Namun demikian, temuan World Bank dalam Public Expenditure Review
menunjukkan bahawa besaran dan kenaikan anggaran pendidikan tidak sebanding dengan
peningkatan kualitas pendidikan itu sendiri.
Hingga saat ini, penganggaran BOS masih belum berorientasi pada hasil dan belum
sejalan dengan standar pendidikan nasional. Menurut World Bank, sumber daya yang besar
berbanding lurus dengan tingkat kelulusan siswa dan tingkat kehadiran siswa, akan tetapi
tidak berpengaruh pada nilai rata-rata UN. Terkait BOS ini, pemerintah telah mencetuskan
beberapa perbaikan, di antaranya adalah E-RKAS/E-RKAM, BOS Kinerja, dan BOS
Afirmasi. E-RKAS/E-RKAM adalah sistem perencanaan dan penganggaran berbasis kinerja
untuk sekolah dan madrasah. E-RKAS dimaksudkan untuk mendukung sekolah dalam
perencanaan dan penganggaran BOS, BOSDA, dan sumber daya sekolah lainnya,
pengawasan dan evaluasi penggunaan sumber daya, mencapai Standar Pendidikan Nasional,
meningkatkan transparaasi dan akuntabilitas, serta meningkatkan efisiensi pembiayaan
sekolah secara keseluruhan. Di sisi lain, pada tahun 2019 jumlah BOS meningkat melalui
pengenalan program BOS Kinerja dan BOS Afirmasi. BOS Kinerja bertujuan untuk
memberikan insentif bagi sekolah untuk meningkatkan kinerja mereka, sedangkan BOS
Afirmasi menyediakan sumber daya tambahan bagi sekolah yang memiliki biaya operasional
tinggi karena lokasi yang terpencil.
Selain itu, Pemerintah kurang memiliki akuntabilitas di mata masyarakat terkait
penggunaan anggaran pendidikan yang tidak sebanding dengan peningkatan kualitas
pendidikan. analisis World Bank terhadap 5 kabupaten/kota menunjukkan bahwa
pengeluaran untuk guru mendominasi belanja pendidikan di daerah. Tunjangan kinerja
guru juga tidak menunjukkan perbaikan terhadap kualitas pendidikan, meskipun tunjangan
tersebut berpengaruh positif jika dikaitkan dengan kehadiran guru.
23
4.2 Pembangunan Pendidikan dengan Negara-negara di Regional ASEAN
4.2.1 Komparasi dengan Negara-negara Regional ASEAN
Investasi terhadap sumber daya manusia merupakan hal mendasar yang dapat
dilakukan untuk mengatasi kemiskinan dan menciptakan ekonomi yang inklusif. Selain itu,
tantangan perekonomian masa depan membutuhkan sumber daya manusia dengan keahlian
tinggi sehingga Indonesia dapat memiliki daya saing di level internasional.
Hal yang menjadi pertanyaan mendasar untuk mewujudkan misi jangka panjang
Indonesia dalam bidang pendidikan adalah bagaimana seharusnya pendidikan yang sesuai
dengan Indonesia. Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah menemukan benchmark
mengenai bagaimana penerapan sistem pendidikan dan keterlibatan Pemerintah di negara-
negara yang sejenis dengan Indonesia, sebagai contoh perbandingan dapat dilakukan
dengan negara-negara di Asia Tenggara.
World Bank dalam World Economic Forum pada tanggal 11 Oktober 2018
menerbitkan Human Capital Index. Indonesia berada pada ranking 65 di dunia dan ranking
6 di Asia Tenggara, hanya sedikit berada di atas Laos, Myanmar, sedangkan negara tetangga
kita, Singapura berhasil meraih peringkat pertama.
Selain Human Capital Index, perbadingan antarnegara juga dapat dilakukan dengan
membandingkan Human Development Index (HDI). Di Asia Tenggara, Indonesia
menempati posisi 6 bersama dengan Vietnam dengan skor HDI 0,694, satu peringkat di
bawah Philipina. Peringkat pertama diduduki oleh Singapura, sedangkan Malaysia
menempati posisi nomor 3 di bawah Brunei Darussalam. Ketiga negara tersebut telah
meraih predikat Very High Human Development, sedangkan Thailand yang meraih posisi
keempat di ASEAN berpredikat High Human Development. Saat ini, Indonesia masih
bertahan dengan predikat Medium Human Development.
Namun demikian, HDI bukan merupakan satu-satunya indikator kualitas pendidikan
suatu negara. Jika dibandingkan dengan Vietnam, Indonesia memiliki skor dan peringkat
yang sama untuk HDI. Akan tetapi, pada tahun 2015 Vietnam memiliki skor PISA (science,
mathematics, and reading) yang jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan Indonesia. Skor
PISA Vietnam telah berada di atas rata-rata negara OECD, sedangkan skor Indonesia masih
jauh berada di bawah rata-rata. Indonesia memiliki PDB per kapita 50% lebih tinggi
daripada PDB per kapita Vietnam, dengan proporsi anggaran pendidikan yang sama yaitu
20% dari APBN.
Keterlibatan Pemerintah dalam pendidikan bukan hanya sebatas dalam penyediaan
anggaran pendidikan. Sebesar apapun proporsi anggaran pendidikan jika tidak diikuti
dengan program dan kebiijakan yang relevan tidak akan berpengaruh pada kualitas
24
pendidikan di Indonesia. Sebagai contoh, Pemerintah Malaysia menyediakan 95% sekolah
untuk pendidikan dasar dan 60% sekolah untuk pendidikan menengah. Hal ini dilakukan
agar Pemerintah dapat menyeragamkan kurikulum terutama untuk seklah dasar. Dengan
kurikulum yang bagus dan sesuai, Malaysia dapat memperoleh predikat very high human
development pada tahun 2017 dengan skor HDI 0,802. Saat ini Pemerintah Malaysia juga
sedang berupaya melakukan deteksi dini terhadap anak berkebutuhan khusus sehingga
orang tua dengan anak berkebutuhan khusus dapat memilih opsi pendidikan untuk anak-
anaknya secara lebih dini. Meski begitu, hingga saat ini masih terdapat ketimpangan fasilitas
pendidikan antara daerah perkotaan dengan perdesaan di Malaysia. Untuk mengatasi hal
tersebut, Pemerintah mulai berfokus pada siswa yang termarjinalisasi untuk mengurangi
ketimpangan pendidikan yang diterima antara siswa desa dengan siswa kota.
Berbeda dengan Malaysia, Pemerintah Thailand berfokus untuk mengembangkian
pendidikan teknologi tinggi dan aerospace. Pemerintah mendatangkan guru-guru dari
negara lain untuk mengedukasi siswa terkait teknologi (terangkum pada Tabel 4.1).
Tabel 4.1 Pembangunan Pendidikan di Negara Kawasan
25
Berdasarkan paparan dan data di atas, dapat dikatakan bahwa Indonesia dapat
belajar dari negara-negara tersebut, terutama Vietnam dan Singapura yang telah
menunjukkan prestasi dalam pembangunan pendidikan.
4.2.2 Vietnam
Pendidikan sekolah dasar di Vietnam dijalani siswa selama 5 tahun, kemudian
dilanjutkan dengan sekolah menengah selama 4 tahun, dan setelah itu siswa dapat memilih
untuk melanjutkan sekolah menengah atas, sekolah menengah profesi, atau sekolah vokasi.
Tingginya skor PISA di Vietnam menarik banyak pihak untuk meneliti lebih jauh
faktor-faktor penyebab skor PISA di Vietnam sangat tinggi untuk ukuran negara
berkembang. Penelitian oleh Education Development Trust (2018) sampai pada kesimpulan
bahwa terdapat lima komponen kunci yang menjadi faktor tingginya perolehan skor PISA di
Vietnam, yaitu:
1. Pendidikan merupakan prioritas nasional kebijakan Pemerintah Vietnam
2. Tingginya akuntabilitas publik
3. Kualitas pembelajaran
4. Kepemimpinan sekolah yang berfokus pada aktivitas ruang kelas
5. Sinergi antara orang tua dan sekolah
Pemerintah telah berkomitmen selama bertahun-tahun menjadikan pendidikan
sebagai prioritas nasional. Pemerintah Vietnam mengalokasikan 20% APBN atau 5,65% dari
total PDB pada tahun 2016 untuk anggaran pendidikan. Tidak hanya konsisten terkait
Sumber: Berbagai sumber, diolah.
26
besaran anggaran pendidikan, Pemerintah Vietnam juga serius dalam merencanakan dan
melaksanakan penggunaan anggaran tersebut. Alokasi anggaran ini digunakan untuk
pembangunan fisik di samping peningkatan kualitas tenaga pendidik dan kualitas kurikulum
pedagogi. Ketika banyak pemerintah di negara lain yang hanya berfokus pada infrastruktur
fisik pendidikan, Pemerintah Vietnam juga memprioritaskan beberapa faktor kunci lain,
diantaranya adalah:
1. Memperkecil gap antar daerah dan antara etnis mayoritas dan minoritas
2. Pemerintah menyediakan taman kanak-kanak sehingga semua siswa memiliki
kesempatan yang sama untuk mendapatkan satu tahun masa taman kanak-kanak
sebelum masuk sekolah dasar
3. Mendorong guru untuk menerapkan student centered pedagogical technique
(teknik pengajaran berfokus pada siswa)
4. Meningkatkan standar kualitaspendidikan guru di semua level pendidikan (mulai
dari pendidikan anak usia dini hingga jenjang sekolah berikutnya)
Kementerian Pendidikan dan Pelatihan (Ministry of Education and Training)
bertanggung jawab mengawasi sektor pendidikan dan menyusun kebijakan terkait
pendidikan di seluruh level. Vietnam memiliki 58 provinsidan 5 kota metropolitan setara
provinsi. Masing-masing provinsi memiliki Dinas Pendidikan dan Pelatihan (Departement
of Education and Training) yang mengawasi pendidikan tinggi, dan setiap kabupaten/kota
memiliki Biro Pendidikan dan Pelatihan (Bureau of Education and Training) untuk
pengawasan sekolah dasar dan menengah. Pemerintah Vietnam memiliki standar
pendidikan dasar (Fundamental Quality Level Standards) yang harus dipenuhi oleh seluruh
sekolah dasar untuk memastikan bahwa seluruh sekolah dasar di Vietnam memiliki standar
minimal dari Pemerintah.
Akuntabilitas guru di Vietnam dapat dikatakan sangat tinggi. Peraturan mewajibkan
mereka untuk melakukan self-assessment dan peer-assessment secara rutin. Selain itu,
sekolah juga diwajibkan memiliki komite orang tua pada setiap level kelas, yang harus
bertemu minimal tiga kali dalam satu tahun. Orang tua siswa memiliki hak secara legal
untuk memberikan masukan dan kritik kepada sekolah atas seluruh kegiatan di sekolah, dan
sekolah wajib untuk mempertimbangkan masukan dari orang tua siswa ini untuk
memperbaiki kualitas sekolah. Tidak hanya orang tua, masyarakat secara umum juga secara
aktif mengawasi kualitas guru dan sekolah di setiap jenjang pendidikan.
Vietnam memiliki kualitas guru yang sangat baik dan memiliki akuntabilitas yang
tinggi. Meskipun digaji sedikit, guru dianggap profesi yang terhormat di kalangan
27
masyarakat Vietnam. Sistem pedagogi di Vietnam mewajibkan guru untuk merancang
rencana pengembangan diri selama setahun berdasarkan hasil evaluasi tahun sebelumnya.
Kepemimpinan dari kepala sekolah menjadi salah satu kontribusi dalam menjaga
mutu pendidikan. akan tetapi, jika dibandingkan dengan negara-negara lain, otoritas kepala
sekolah di Vietnam tergolong cukup rendah. Hal ini disebabkan ketatnya pengawasan
terhadap sekolah dari instansi tingkat menengah (Biro Pendidikan dan Pelatihan), tingkat
atas (Dinas Pendidikan dan Pelatihan serta Kementerian Pendidikan dan Pelatihan), serta
pengawasan langsung dari orang tua.
Orang tua siswa di Vietnam menunjukkan kepuasan yang tinggi terhadap pelayanan
pendidikan dan sekolah. Sebagian besar orang tua menilai positif kemampuan guru dan
sekolah dalam mendidik anak-anaknya. Selain itu, interaksi orang tua siswa dengan sekolah
dapat dikatakan sangat tinggi jika dibandingkan dengan negara lain, baik formal maupun
informal. Interaksi formal berupa pertemuan rutin dewan orang tua siswa yang membahas
manajemen sekolah, sedangkan interaksi informal dapat berupa diskusi informal antara
orang tua dengan guru dan pihak sekolah.
Permasalahan yang dimiliki oleh sebagian besar negara di Asia Tenggara adalah
masalah ketimpangan kualitas pendidikan di kota dengan di desa. Hal ini sebagian besar
disebabkan belum meratanya akses fisik ke pendidikan dan belum meratanya distribusi
guru.
4.2.3 Singapura
Singapura memiliki Human Capital Index tertinggi di dunia, hal ini tidak terlepas
dari kualitas pendidikan yang tinggi dan jauh melampaui negara-negara tetangganya di Asia
Tenggara. Perkembangan pembangunan pendidikan di Singapura dimulai sejak negara
tersebut merdeka, yaitu pada tahun 1960-an. Pada awal kemerdekaannya, Singapura
membutuhkan banyak tenaga kerja terampil untuk memenuhi kebutuhan industri sehingga
fokus pendidikan pada saat itu adalah pendidikan vokasi sesuai kebutuhan industri
(survival driven). Pada tahun 1966, Pemerintah Singapura menerapkan kebijakan bilingual
untuk seluruh level pendidikan, setiap siswa harus mampu menguasai bahasa Inggris
sebagai bahasa utama dan bahasa ibu (mother tongue) sebagai bahasa kedua (Malay,
Mandarin, atau Tamil). Kebutuhan industri di Singapura semakin berkembang sehingga
pada tahun 1970-an Pemerintah Singapura memproyeksikan kebutuhan tenaga kerja sesuai
bidang dalam berbagai sektor dan kemudian mempersiapkan siswa untuk dilatih sesuai
kebutuhan sehingga dapat memenuhi permintaan industri. Meski demikian, tenaga kerja
Singapura masih kalah jauh jika dibandingkan dengan tenaga kerja di Amerika Serikat,
28
sehingga pada tahun 1980-an pendidikan difokuskan untuk menciptakan sumber daya
manusia yang terdidik, kreatif, dan inovatif. Hingga pada tahun 1997, kurikulum lebih
difokuskan untuk creative thinking dengan berprinsip pada “Thinking school, learning
nation”. Maksud dari pernyataan ini adalah jika siswa terbiasa berpikir di sekolah maka
seluruh bangsa tersebut juga akan terbiasa untuk belajar.
Siswa di Singapura memulai bersekolah dari pre-school sejak usia 4-6 tahun,
kemudian dilanjutkan dengan pendidikan dasar (primary school) selama 6 tahun.
Selanjutnya, siswa diwajibkan untuk melanjutkan pada sekolah menengah pertama
(secondary school) selama 4 tahun, akan tetapi menariknya siswa yang memiliki performa
kurang baik di sekolah menengah ini diberikan kesempatan untuk menambah satu tahun
masa sekolah menengah untuk memperdalam ilmu yang dipelajari. Setelah lulusa dari
sekolah menengah, siswa memiliki pilihan untuk melanjutkan ke junior college (setingkat
SMA) selama 2 tahun, centralized institute course (selevel diploma 3) selama 3 tahun, atau
melanjutkan ke sekolah vokasi dengan berbagai jurusan.
Siswa dapat memilih mata pelajaran sesuai minat dan pilihannya mulai sekolah
menengah, tujuannya adalah agar siswa dapat mahir dalam bidang tersebut. Selain itu,
kurikulum juga menekankan pada pendidikan karakter, life skill, nilai-nilai, serta sosio-
emosional. Kurikulum dapat disesuaikan sesuai dengan kebutuhan sekolah, dan guru
menerapkan sistem “white space”, yaitu kebebasan untuk merancang metode pembelajaran,
melaksanakan kegiatan belajar mengajar, dan mengevaluasinya.
Keterlibatan Pemerintah Singapura tidak terlepas dari suksesnya pembangunan
pendidikan di negara ini. Hampir seluruh sekolah dasar dan menengah di Singapura dikelola
oleh pemerintahnya. Pendidikan prasekolah saat ini masih menjadi tanggung jawab
pemerintah dan swasta, akan tetapi pemerintah terus melakukan peningkatan investasi
untuk pendidikan prasekolah ini. Selain itu, terdapat 5 pendidikan tinggi yang dikelola oleh
pemerintah yang dapat menyerap lebih dari 25% total siswa yang telah menamatkan post-
secondary school.
Globalisasi yang mengakibatkan arus migrasi yang tinggi menjadikan tantangan
tersendiri bagi sistem pendidikan di Singapura. Pemerintah harus dapat merancang
pendekatan kurikulum yang lebih multikultur karena saat ini penduduk Singapura tidak
hanya berasal dari ras Malay, Tionghoa, atau Tamil. Selain itu, tantangan lainnya adalah
masih rendahnya minat guru untuk dapat berkontribusi pada pendidikan prasekolah. Hal ini
diakibatkan rendahnya gaji yang diterima guru prasekolah jika dibandingkan dengan guru
sekolah dasar maupun sekolah menengah.
29
Menurut laporan Mc Kinsey (2007) melalui Tan et.al. (2016), terdapat tiga faktor
utama yang memberikan sumbangan terbesar pada tingginya kualitas pendidikan di
Singapura. Proses rekrutmen guru yang efektif merupakan salah satu cara untuk menjaga
mutu pendidik di negara tersebut. Setelah proses rekrutmen, guru masih harus menjalani
pelatihan mengajar yang dilakukan dengan efektif pula. Yang terakhir adalah sistem
pendidikan yang efektif dan dukungan yang terstruktur dari semua pihak (Pemerintah dan
masyarakat) menciptakan atmosfer pendidikan yang efektif.
30
31
BAB V
REVIU BELANJA K/L PENDIDIKAN VALUE FOR MONEY
5.1 Pilar Ekonomi
Proses penganggaran pada dasarnya merupakan media untuk menentukan
pelayanan apa saja yang akan pemerintah berikan dan bagaimana pelayan tersebut akan
dibiayai. Hal tersebut dapat pula digunakan untuk membantu merumuskan bagaimana
suatu layanan tersebut dapat diberikan. Proses penganggaran harus dapat menjamin
pengalokasian sumberdaya yang terbatas pada kegiatan-kegiatan ekonomi yang dipilih
sebagai prioritas. Secara teoritis prioritas-prioritas tersebut selayaknya dialokasikan
sumberdaya yang sesuai dengan kebutuhan, mengingat ada opportunity cost yang
dipertaruhkan jika variasi atas alokasi terlalu besar. Namun pada kenyataannya sering
kali pengalokasian sumberdaya tersebut jauh dari kesesuaian dengan kebutuhan. Hal ini
berakibat pada suatu kondisi overallocated maupun underallocated atas suatu kegiatan.
Menteri Keuangan sebagai wakil pemerintah dalam menjaga stabilitas fiskal berkepentingan
agar alokasi anggaran sesuai kebutuhan. Sesuai kebutuhan berarti alokasi tidak terlalu
besar (overallocated) ataupun alokasi terlalu rendah (underallocated).
Reformasi di bidang keuangan negara telah dimulai sejak 15 tahun lalu, dengan
dikeluarkannya paket perundang-undangan bidang keuanagan negara, yang terdiri dari : (i)
UU No. 17 tahun 2003 tentang Keuangan negara, (ii) UU No. 1 tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, (iii) UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemerikasaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan.
Undang-undang Keuangan Negara mempertegas definisi keuangan negara sehingga
dapat menghindari perbedaan pendapat tentang lingkup keuangan negara. Keuangan negara
adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu
baik berupa uang maupun barang yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan
pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Keuangan negara harus dikelola secara tertib, ekonomis, efisien, efektif, transparan
dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pengelolaan
keuangan negara harus mengikuti ketentuan dan menghasilkan out put dan out come yang
efektif sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan serta harus dikelola oleh orang-orang
yang berkompeten, profesional disertai pedoman yang jelas sesuai dengan azas-azas tata
kelola yang baik.
32
Sebagai salah satu amanat dari reformasi keuangan, yaitu penerapkan Penganggaran
Berbasis Kinerja (Performance Based Budgeting). Menurut Sancoko, dkk (2008), “
Anggaran berbasis kinerja adalah anggaran yang menghubungkan anggaran negara
(pengeluaran negara) dengan hasil yang diinginkan (output dan outcome) sehingga setiap
rupiah yang dikeluarkan dapat dipertanggung jawabkan kemanfaatannya.”
Abdul Halim (2007) mendefinisikan anggaran berbasis kinerja sebagai metode
penganggaran bagi manajemen untuk mengaitkan setiap pendanaan yang dituangkan dalam
kegiatan-kegiatan dengan keluaran dan hasil yang diharapkan termasuk efisiensi dalam
pencapain hasil dari keluaran tersebut. Keluaran dan hasil tersebut dituangkan dalam target
kinerja pada setiap unit kinerja.
Penganggaran berbasis kinerja (Performance Based Budgeting) merupakan sistem
penganggaran yang berorientasi pada keluaran (output) organisasi dan berkaitan sangat erat
dengan visi, misi, dan rencana strategis organisasi. Anggaran yang tidak efektif dan tidak
berorientasi pada kinerja akan dapat menggagalkan perencanaan yang telah disusun. “
Pengukuran kinerja secara berkelanjutan akan memberikan umpan balik, sehingga upaya
perbaikan secara terus menerus akan mencapai keberhasilan di masa mendatang ” (Indra
Bastian, 2006), terlihat .
Gambar 5.1 Hubungan Instrumen Penganggaran
Public
Financial
Management
Indikator Kinerja
Kerangka
Penganggaran
Jangka menengah
Evaluasi Kinerja
Standar Biaya
Kualitas
Penganggaran
Performance
Based Budgeting
Unified Budget
Allocative
Efficiency
Operational
efficiency
Akuntabilitas
Penganggaran
Sumber: Kementerian Keuangan.
33
Penganggaran berbasis kinerja merupakan penyusunan anggaran yang dilakukan
dengan memperhatikan keterkaitan antara pendanaan dengan keluaran (output) dan hasil
yang diharapkan (outcome), termasuk efisiensi dalam pencapaian hasil dan keluaran
tersebut. Sesuai PP No 21 Pasal 7 Tahun 2004 Kementrian Negara/Lembaga diharuskan
menyusun anggaran dengan mengacu kepada indikator kinerja, standar biaya dan evaluasi
kinerja. Indikato kinerja (Performance Indicators) dan sasaran (targets) merupakan bagian
dari pengembangan sistem penganggaran berdasarkan kinerja.
Upaya untuk mengoptimalkan PBK dalam sistem penganggaran adalah adanya peran
dari : (i) indikator kinerja; (ii) standar Biaya (costing), dan (iii) evaluasi kinerja. Ketiga
komponen tersebut bekerja saling melengkapi, saling menguatkan dan salin paralel. Standar
Biaya (costing) merupakan pengisi rumah struktur program sebagai alat agar alokasi
anggaran dapat dilaksanakan secara efisien dan ekonomis dalam pencapaian output.
Standar Biaya (costing) dalam sistem penganggaran mempunyai peran yang sagat penting
untuk menjamin terwujudnya keekonomian dan efisiensi anggaran.
Reformasi di bidang keuangan negara sesungguhnya merupakan reformasi pada
dua sisi dalam praktek pengelolaan keuangan negara, yaitu Pertama dari sisi sistem
dengan mewujudkan pengelolaan keuangan negara yang mengikuti kaedah yang
mendorong praktek yang mendorong transparansi, akuntabilitas dan profesionalisme
pengelolaan keuangan negara. Kedua, dari sisi intern penyelenggaraan negara diharapkan
ada suatu spirit yang melandasi penyelenggaraan keuangan negara yang memiliki
integritas sehingga cukup memadai untuk melaksanakan konsepsi „let the manager
manage‟.
Namun dari pelaksanaan yang telah berjalan selama satu dekade ini dari kedua sisi
tersebut yaitu sisi sistem dan sisi intern dalam mewujudkan konsepsi “let manager manage”
masih ditemukannya kelemahan pada aspek perencanaan dan penganggaran dimana
perencanaan dan penganggaran yang berlaku saat ini belum ditunjang dengan metode
analisis dan costing yang memungkinkan alokasi penganggaran dilakukan dengan
transparan dan akuntabel mencapai efisiensi dan efektivitas yang optimal.
Mardiasmo (2002) menyatakan bahwa pendekatan penyusunan anggaran berbasis
kinerja disusun untuk mengatasi berbagai kelemahan yang terdapat dalam anggaran
tradisional, khususnya kelemahan yang disebabkan oleh tidak adanya tolak ukur yang dapat
digunakan untuk mengukur kinerja dalam pencapaian tujuan dan sasaran pelayanan publik.
Anggaran dengan pendekatan kinerja sangat menekankan konsep value for money dan
pengawasan atas kinerja output.
34
Mardiasmo (2008:4) menyatakan value for money merupakan konsep pengelolaan
organisasi sektor public yang mendasarkan pada tiga elemen utama yaitu ekonomi, efisiensi,
dan efektivitas. Ekonomi (kehematan) adalah pemerolehan input dengan kualitas dan
kuantitas tertentu pada harga yang terendah. Ekonomi merupakan perbandingan input
dengan input value yang dinyatakan dalam satuan moneter. Salah satu indikator yang dapat
digunakan untuk menilai keekonomian adalah dengan biaya standar biaya.
Pengertian biaya standar (standar biaya) menurut beberapa sumber:
a) Biaya standar adalah biaya yang ditentukan di muka, yang merupakan jumlah
biaya yang seharusnya dikeluarkan untuk satu satuan produk atau untuk membiayai
kegiatan tertentu, di bawah asumsi kondisi ekonomi, efisien dan faktor-faktor lain
tertentu (Mulyadi, 1995 : 415).
b) Biaya standar adalah biaya yang telah ditentukan terlebih dahulu (diperkirakan
akan taerjadi) dan apabila penyimpangan terhadapnya, maka biaya standar ini
dianggap benar (Abdul Halim, 1998 : 9).
c) Sistem biaya standar sama dengan sistem biaya aktual kecuali ditambahkan
perkiraan varian. Biaya standar biasanya berbeda dengan biaya yang benar-benar
dikeluarkan dan diperkirakan varian merupakan tempat penampungan untuk
perbedaan ini (Robert N Anthony dan Roger H. Hermanson, 1993 : 40).
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa biaya standar (standar biaya) adalah
biaya yang seharusnya dikeluarkan untuk membuat satu satuan produk dengan
mempertimbangkan kondisi ekonomi, efisiensi dan faktor-faktor lain tertentu.
Penerapan standar biaya yang bersumber dari APBN, dalam pasal 3 ayat (1) UU No.
17 tahun 2003 tentang keuangan negara diatur bahwa yang dimaksud standar biaya adalah
satuan biaya yang ditetapkan baik berupa standar biaya keluaran sebagai acuan perhitungan
anggaran dalam RKAKL. Lebih lanjut diatur bahwa standar biaya merupakan salah satu
instrument penting dalam penyusunan alokasi anggaran, sebagaimana diatur dalam pasal 5
ayat (3) PP No. 90 tahun 2010 tentang Penyusunan RKAKL. Bahwa penyusunan RKAKL
menggunakan instrument indikator kinerja, standar biaya dan evaluasi kinerja. Standar
biaya meliputi merupakan satuan biaya yang ditetapkan sebagai acuan penghitungan
kebutuhan anggaran dalam RKAKL, baik berupa Standar Biaya masukan (SBM) maupun
Stanbdar Biaya Keluaran (SBK).
35
5.1.1 Standar Biaya Masukan
Standar Biaya Masukan (SBM) adalah satuan biaya berupa harga satuan, tariff
dan/atau indeks yang dipergunakan untuk menyusun biaya komponen masukan kegiatan.
Standar Biaya Masukan saat ini menjadi tools bagi penguna anggaran dalam melakukan
penyusunan dokumen perencanaan anggaran. Selain itu, standar biaya juga diperlukan
untuk membatasi pengeluaran-pengeluaran yang terkait dengan tambahan bagi pegawai,
karena belum berlakunya sistem remunerasi secara penuh, saat in imasih banyak pengguna
anggaran yang masih mengalokasikan honorarium yang seharusnya sudah menjadi bagian
dari sistem remunerasi sehingga perlu pembatasan melalui standar biaya.
Standar Biaya Masukan berlaku untuk beberapa/seluruh K/L atau satu Kementerian
Negara/Lembaga tertentu. Standar Biaya masukan berfungsi sebagai : (i) batas tertinggi
untuk menghasilkan biaya komponen keluaran (output); dan (ii) alat reviu angka dasar
(baseline). Dalam rangka pelaksanaan anggaran, Standar Biaya Masukan berfungsi sebagai :
(i) batas tertinggi, yaitu merupakan besaran biaya yangtidak dapat dilampaui; dan (ii)
estimasi, yaitu merupakan prakiraan besaran biaya yang dapat dilampaui, dengan
pertimbangan : (a) harga pasar, (b) proses pengadaan sesuai dnegan ketentuan peraturan
perundang undangan, (c) ketersediaan alokasi , dan (d) perinsip ekonomis, efisiensi dan
efektifitas. Dalam penyusunan RKAKL, pengguna anggaran/kuasa Penguna Anggaran dapat
menggunakan satuan biaya masukan lainnya yang didasarkan pada harga pasar dan satuan
harga yangditetapkan oleh menteri/pimpinan lembaga teknis yang berwenang.
Standar Biaya Masukan dibuat untuk menyamakan besaran/indeks biaya untuk
suatu kegiatan yang sama yang dikerjakan pada banyak kementerian Negara/lembaga.
Standar Biaya masukan terus mengalami penyempurnaan, saat ini Standar Biaya masukan
sudah memasukan unsur kemahalan yang berbeda setiap propinsi, dengan mengeluarkan
Standar Biaya Masukan per propinsi.
Standar Biaya Bidang pendidikan adalah standar biaya masukan yang mengatur
khusus honoarium untuk kegiatan di bidang pendidikan. SBM ini di mulai sejak tahun 2016,
yaitu mengatur honorarium penyelenggaraan kegiatan pendidikan pada lingkup Pendidikan
Tinggi, yaitu : (i) honor dosen/pegawai yang diberi tugas tambahan/tugas khusus tertentu,
dan (ii) honorarium dosen yang menyelenggarakan kegiatan akademik dan kemahasiswaan.
Sebelum ada SBM, perguruan tinggi menggunakan standar biaya yang berbeda-beda.
Dengan adanya SBM bidang pendidikan, diharapkan perguruan tinggi bisa lebih ekonomis
dan efisien dalam perencanaan penganggaran.
36
4.1.2 Standar Biaya Khusus
Standar Biaya Keluaran (SBK) adalah besaran biaya yang dibutuhkan untuk
menghasilkan sebuah keluaran kegiatan yang merupakan akumulasi biaya komponen
masukan kegiatan. Standar Biaya Keluaran, saat ini penyusunannya masih dlakukan untuk
biaya langsung (direct cost) yang terkait langsung dalam pencapaian suatu output. SBK
fokus pada proses pembelajaran kepada pengguna anggaran, bahwa penyusunan SBK
merupakan bagian dari upaya ekonomi dan efisiensi belanja negara. Namun demikian
pengembangan konsep SBK terus dilakukan secara bertahap agar perubahan yang terjadi
dapat berjalan dengan baik dan dapat diterima oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Standar Biaya Keluaran, penyusunnanya dlakukan hanya untuk biaya langsung
(direct cost) yang terkait langsung dalam pencapaian suatu output, dengan fokus pada
proses pembelajaran kepada pengguna anggaran, bahwa penyusunan SBK merupakan
bagian dari upaya efisiensi belanja negara. Namun demikian pengembangan konsep SBK
terus dilakukan secara bertahap agar perubahan yang terjadi dapat berjalan dengan baik
dan dapat diterima oleh pihak-pihak yang berkepentingan.
Standar Biaya Keluaran terdiri atas indeks biaya keluaran untuk menghasilkan satu
volume keluaran (ouput) atau total biaya keluaran. Penyusunan Standar Biaya Keluaran
dilakukan pada level keluaran (output)/sub keluaran (sub output) yang menjadi tugas dan
fungsi K/L.
Pada PMK No. 106/PMK.02/2016 tentang Standar Biaya Keluaran Tahun Anggaran
2017 dalam Pasal 2 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa SBK TA 2017 meliputi SBK yang
berlaku untuk beberapa/seluruh Kementerian Negara/Lembaga. SBK yang berlaku bagi
beberapa atau seluruh K/L disebut juga sebagai SBKU, terdiri dari sub keluaran (sub output)
perencanaan, pemeriksaan, pendidikan dan pelatihan serta penelitian. Kementerian
Negara/Lembaga yang mengalokasikan SBKU didasarkan atas : (i) ketersediaan alokasi
anggaran; (ii) penilaian proposal yang besaranya dikelompokkan menjadi (a) Grade A, yaitu
prakiraan pembiayaan setinggi2-tingginya 100% dari besaran yang ditetapkan, (b) Grade B
yaitu prakiraan pembiayaan setinggi-tingginya 75% dari besaran yang ditetapkan, dan (c)
Grade C yaitu prakiraan pembiayaan setinggi-tingginya 60% dari besaran yang ditetapkan.
Selanjutnya disebutkan bahwa fungsi Standar Biaya Keluaran dalam perencanaan
berfungsi sebagai batas tertinggi yang besarannya tidak dapat dilampaui dalam penyusunan
RKAKL, sedang dalam pelaksanaan SBK berfungsi sebagai estimasi, yaitu besaran yang
dapat dilampaui karena perubahan komponen tahapan dan/atau penggunaan satuan biaya
yang dipengaruhi harga pasar.Keluaran (ouput) yang dapat diusulkan menjadi standar
biaya, harus mempunyai kriteria : (i) bersifat berulang, (ii) mempunyai jenis dan satuan
37
yang jelas serta terukur, dan (iii) mempunyai komponen/tahapan yang jelas. Dalam hal
Standar Biaya Keluaran ada perubahan, memerlukan revisi dapat dilakukan dengan
mengacu pada PMK tentang Revisi.
Tabel 5.1 Jumlah SBK pada Kementerian Bidang Pendidikan
K/L TA 2015 TA 2016 TA 2017 TA 2018
Kemendikbud 0 0 0 0
Kemenag 0 0 2 SBK (Itjen dan Balibang
dan Diklat)
1 SBK (itjen)
Kemenristek Dikti 0 0 0 0
Berdasarkan pasal 19 PMK No. 71 tahun tahun 2013 tentang Pedoman Standar
Strukur Biaya dan Indeksasi dalam Penyusunan RKAKL, disebutkan bahwa
Menteri/Pimpinan Lembaga atau pejabat yang berwenang mengusulkan SBK kepada
MenterIi Keuangan. Kondisi saat ini, penyusunan SBK kurang mendapat tanggapan positif
dari pengguna anggaran. Dalam 3 tahun terakhir, dari Kementerian dibidang pendidikan,
hanya ada satu SBK, yaitu yang disusun oleh Itjen Kementerian Agama (terlihat pada Tabel
5.1).
Berdasarkan hasil diskusi dengan K/L terkait maupun dengan Direktorat Teknis
yang ikut menyusun SBK, disampaikan bahwa kendala dari penyusnan SBK adalah : (i)
manfaat yang belum jelas bagi K/L dengan membuat SBK, (ii) dasar hukum yang tidak
mewajibkan penyusunan SBK, (iii) tidak fleksibel dalam penggunaanya.
Manfaat penyusunan SBK yang belum jelas, bagi K/L adalah tidak adanya manfaat
langsung atas penyusunan SBK. Karena tanpa menyusun SBK tetap dapat menyusun
RKAKL, dan ketika dilakukan penghematan tidak ada perlakukan yang khusus bagi
anggaran yang telah disusun SBK-nya, dan tidak ada sanksi jika K/L tidak menyuusn SBK.
Dasar hukum yang tidak mewajibkan K/L dan tidak ada sanksi K/L yang tidak
menyuusn SBK, juga menyebabkan K/L tidak berupaya untuk membuat RKAKL. Dalam
beberapa kasus, ada K/L yang mau menyusun SBK, namun karena syarat yang tida sesuai
dan tidak lengkap di tolak. Namun karena tidak ada sanksinya, maka K/L tidak berusaha
untuk melengkapi.
Menurur K/L, SBK bersifat tidak fleksibel karena SBK dalam bentuk PMK sehingga
sulit untuk direvisi jika ada perubahan. Sebenarnya dalam PMK standar biaya Keluaran
disebutkan bahwa perubahan dalam SBK dapat direvisi sesuai dengan PMK mengenai
38
Revisi, dan penggunaan SBK dapat dilampaui jika terdapat perubahan komponen tahapan
dan/atau penggunaan satuan biaya yang dipengaruhi harga pasar.
Dalam penyusunan RKAKL, sejak awal sdh melibatkan Aparat Pengawas Itern
Pemerintahan (APIP) untuk mereviu usulan RKAKL, termasuk melihat penerapan SBM dan
SBK dalam RKAKL. Dalam PMK No. 142/PMK.02/2018 tentang Perubahan atas PMK No.
94/PMK.02/2017 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan (Juksunlah) RKAKL,
disebutkan kewenangan APIP untuk ikut mereviu RKAKL dan malihat TOR/RAB kegiatan
yang diusulkan dalam RKAKL. Namun ada hal yang baru dalam PMK tersebut, bahwa
Kemenkeu cq DJA yang semula menelaah sampai level komponen, diwajibkan juga untuk
melihat detail.
Dalam diskusi dengan APIP K/L, keputusan DJA untuk kembali menelaah detail agar
dibuat aturan yang jelas, agar tidak tumpang tindih dengan kewenangan yang diberikan
kepada APIP K/L. Namun ada juga yang menyatakan bahwa hal tersebut sangat baik, karena
dapat menjadi shock terapy bagi K/L, di Kementerian Agama penelaahan detail oleh DJA
mengefisienkan hampir satu triliun dananya di blokir atau dimasukan dalam output
cadangan, karena selama ini APIP K/L merasa tidak dapat melakukan pemblokiran atau
memasukan dalam output cadangan atas RKAKL.
Dengan penelaahan secara online, ada keterbatasan waktu dalam melakukan
penelaahan secara detail, terutama bagi K/L dengan jumlah satker sangat banyak. Untuk itu,
penyusunan SBK menjadi alternatif yang sangat baik untuk mengantisipasi penelaahan yang
sangat pendek waktunya tersebut. Beberapa rekomendasi dari K/L atautpun direktorat
teknis, menyampaikan agar dasar hukum penyusunan SBK di wajibkan bagi kegiatan yang
telah lebih dua kali dilaksanakan serta syarat penyusunan SBK, yaitu : (i) bersifat berulang,
(ii) mempunyai jenis dan satuan yang jelas serta terukur, dan (iii) mempunyai komponen
yang jelas dapat di ganti dengan cukup kegiatan yang telah lebih dua kali di laksanakan,
sehingga memudahkan K/L dalam menyusun SBK.
4.2 Pilar Efisiensi
Berdasarkan Mardiasmo (2008:4), pilar kedua yang menopang value for money
adalah pilar efisiensi. Efisiensi dapat dilihat dari berbagai sudut pandang yang berbeda.
Efisiensi menggambarkan perbandingan antara output dan input. Terdapat tiga faktor yang
menyebabkan efisiensi yaitu (1) dengan input yang lebih kecil menghasilkan output yang
sama, (2) dengan input yang sama menghasilkan output yang lebih besar, dan (3) dengan
input yang lebih besar menghasilkan output yang lebih besar lagi (Suswandi, 2007).
Efisiensi lebih dihubungkan dengan kinerja suatu organisasi.
39
Nicholson (2002) juga mengatakan bahwa efisiensi ditujukan untuk menjelaskan
suatu situasi pengalokasian sumber daya atau input untuk menghasilkan suatu output.
Adapun manfaat efisiensi adalah: (1) sebagai tolok ukur dalam memperoleh perhitungan
untuk mempermudah perbandingan, (2) sebagai cara mengetahui faktor-faktor yang
penentu tingkat efisiensi yang tepat sehingga menemukan solusi terbaik, (3) pertimbangan
dalam pengambilan kebijakan.
Beberapa pengertian efisiensi menurut para pakar:
1. Menurut Susilo (2004), efisiensi adalah suatu kondisi atau keadaan, dimana
penyelesaian suatu pekerjaan dilaksanakan dengan benar dan dengan penuh
kemampuan yang dimiliki;
2. Menurut Lubis (2011), efisiensi adalah suatu proses internal atau sumber daya
yang diperlukan oleh organisasi untuk menghasilkan satu satuan output. Oleh sebab
itu efisiensi dapat diukur sebagai ratio output terhadap input;
3. Menurut Rahardjo Adisasmita (2011), efisiensi merupakan komponen-komponen
input yang digunakan seperti waktu, tenaga dan biaya dapat dihitung
penggunaannya dan tidak berdampak pada pemborosan atau pengeluaran yang tidak
berarti.
Pada Kajian ini, untuk mengukur efisiensi dilakukan dengan beberapa pendekatan,
yaitu: pendekatan sifat biaya, pendekatan jenis biaya, serta pendekatan efisiensi belanja
barang. Pendekatan sifat biaya dilakukan dengan melihat komponen utama dan pendukung.
Sedangkan pendekatan jenis biaya dilakukan dengan melihat komponen operasional dan
non operasional. Adapun pendekatan efisiensi belanja barang berdasarkan pada Inpres
Nomor 4/2017 untuk menghemat beberapa bagian dari belanja barang seperti belanja
barang non operasional, perjalanan dinas, dan belanja barang yang diserahkan kepada
masyarakat dan Pemda.
5.2.1 Pendekatan Komponen Utama dan Pendukung
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 142/PMK.02/2018 tentang
Perubahan Atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 94/Pmk. 02/ 2017 tentang Petunjuk
Penyusunan Dan Penelaahan Rencana Kerja Dan Anggaran Kementerian Negara/ Lembaga
Dan Pengesahan Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran, komponen merupakan aktivitas yang
dilakukan dalam upaya menghasilkan keluaran (output). Berdasarkan sifat biaya, komponen
terdiri atas komponen utama dan komponen pendukung dengan penjelasan sebagai berikut:
1. Komponen utama merupakan semua aktivitas keluaran (output) teknis yang nilai
biayanya berpengaruh langsung terhadap volume keluaran (output) . Komponen
40
utama merupakan aktivitas yang hanya terdapat pada keluaran (output) teknis dan
merupakan biaya variabel terhadap keluaran (output) yang dihasilkan;
2. Komponen pendukung merupakan semua aktivita keluaran (output) generik clan
aktivitas keluaran (output) teknis yang nilai biayanya tidak berpengaruh langsung
terhadap volume keluaran (output) . Seluruh aktivitas dalam keluaran (output)
generik merupakan komponen pendukung. Komponen pendukung pada keluaran
(output) teknis digunakan sebagai biaya tetap terhadap keluaran (output) yang
dihasilkan, misalnya komponen desain, administrasi proyek, pengawasan, dan
sejenisnya.
Untuk proses perhitungan angka dasar dan prakiraan maju, semua komponen
pendukung dihitung menggunakan metodologi flat basis (tidak terpengaruh pada volume
keluaran (output) sedangkan komponen utama dihitung menggunakan metodologi berbasis
volume (volume based) pada tingkat keluaran (output). Komponen utama juga dapat
disesuaikan dengan menggunakan metodologi flat basis dalam hal terjadi perubahan harga
keluaran (output) sebagai akibat dari perubahan nilai tukar, suku bunga, dan faktor-faktor
sejenis. Untuk menghindari kesalahan dalam penetapan sifat komponen mana dilakukan
pemetaan struktur data yang terintegrasi.
Melalui pendekatan sifat biaya (utama-pendukung), Kemendikbud dan Kemenristek
didominasi oleh komponen utama sedangkan Kemenag didominasi oleh komponen
penunjang. Meskipun demikinan, terdapat keterbatasan data sifat biaya yang hanya tersedia
untuk pagu alokasi. Idealnya, untuk mengukur efisiensi perbandingan yang lebih tepat
adalah dengan membandingkan pagu dan realisasi tiap tahunnya.
Untuk komposisi komponen utama dan pendukung, awalnya asumsi yang dibangun
adalah keadaan efisien dapat dicapai dengan meminimalkan komponen pendukung. Namun,
setelah dilakukan diskusi intensif dengan stakeholder (direktorat teknis dan
kementerian/lembaga terkait) temuan yang didapat adalah komposisi komponen utama dan
pendukung tergantung pada karakteristik masing-masing K/L (seperti pada Gambar 5.2).
Gambar 5.2 Sifat Biaya dari Tiga K/L Terbesar Bidang Pendidikan
Sumber: Kementerian Keuangan, diolah.
41
5.2.2 Pendekatan Operasional dan Non Operasional
Menurut Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.02/2018 tentang Tata Cara
Revisi Anggaran Tahun Anggaran 2018, jenis belanja dapat dibedakan menjadi dua, yaitu:
komponen operasional dan non operasional. Belanja operasional adalah anggaran yang
dibutuhkan untuk penyelenggaraan sebuah Satker dalam melaksanakan tugas dan fungsinya
sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Menteri Keuangan mengenai petunjuk
penyusunan dan penelaahan RKA-K/L. Sedangkan sisinya pada belanja K/L tergolong pada
belanja non operasional. Total belanja operasional dan belanja non operasional pada tingkat
program dan/ atau kegiatan disesuaikan dengan kebijakan penganggaran yang berlaku.
Menurut Peraturan Direktur Jenderal Anggaran Nomor PER-1/AG/2015 tentang
Pedoman Pelaksanaan Reviu Angka Dasar Belanja Kementerian Negara/Lembaga Dalam
Rangka Penyusunan Pagu Indikatif Anggaran 2016, Belanja operasional adalah anggaran
yang dibutuhkan untuk Belanja Pegawai (001) dan Belanja Barang Operasional Kantor
(002). Belanja non operasional adalah anggaran yang dibutuhkan untuk belanja non
operasional berkarakteristik operasional berkarakteristik operasional untuk pelaksanaan
tugas dan fungsi K/L (komponen 003, komponen 004, dan komponen 005), untuk
mendukung output teknis dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi layanan birokrasi dan
pelayanan publik, serta untuk mendukung pencapaian output dalam rangka
penugasan/prioritas nasional.
Melalui pendekatan jenis biaya (operasional-non operasional), Kemendikbud dan
Kemenristek didominasi oleh komponen non operasional sedangkan Kemenag didominasi
oleh komponen operasional. Idealnya, untuk mengukur efisiensi perbandingan yang lebih
tepat adalah dengan membandingkan pagu dan realisasi tiap tahunnya.
Untuk komposisi komponen operasional dan non operasional, awalnya asumsi yang
dibangun adalah keadaan efisien dapat dicapai dengan meminimalkan komponen
operasional. Namun, setelah dilakukan diskusi intensif dengan stakeholder (direktorat
teknis dan kementerian/lembaga terkait) temuan yang didapat adalah komposisi komponen
operasional dan non operasional tergantung pada karakteristik masing-masing K/L (seperti
pada Gambar 5.3).
42
Gambar 5.3 Jenis Biaya dari Tiga K/L Terbesar Bidang Pendidikan
5.2.3 Pendekatan Efisiensi Belanja Barang
Berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 4 /2017 tentang Efisiensi Belanja Barang
Kementerian/Lembaga dalam Pelaksanaan Anggaran Pendapatan san Belanja Negara Tahun
Anggamn 2017, efisiensi belanja barang meliputi perjalanan dinas dan paket meeting,
honorarium tim/kegiatan, belanja operasional perkantoran, belanja jasa, belanja
pemeliharaan, belanja barang operasional dan non operasional lainnya. Efisiensi belanja
barang tidak termasuk belanja barang dari: a. Pinjaman dan hibah dalam/luar negeri;
b. Rupiah murni pendamping kecuali tidak dapat dilaksanakan sampai dengan akhir tahun
Anggaran 2017; c. Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dan pendapatan Badan Layanan
Umum (BLU); d. Tambahan belanja hasil pembahasan Undang-Undang mengenai APBN
Tahun Anggaran 2017 (Dana Optimalisasi) yang tidak sesuai kriteria menurut reviu Badan
pengawasan Keuangan dan Pembangunan; dan e. Output cadangan.
Tabel 5.2 Efisiensi Belanja Barang sesuai Inpres Nomor: 4 tahun 2017
2016 2017 2018 2016 2017 2018 2016 2017 2018
521 BELANJA BARANG 3.198,6 2.968,5 1.199,2 5.577,2 5.919,9 4.690,5 8.752,1 9.585,6 5.087,2
521111 Belanja Keperluan Perkantoran 209,6 244,0 239,5 533,0 556,2 445,5 583,8 723,8 732,2
521112 Belanja pengadaan bahan makanan 0,4 - - 0,2 0,2 0,9 0,4 0,5 0,1
521113 Belanja Penambah Daya Tahan Tubuh 1,4 1,5 0,7 1,4 1,3 0,6 2,9 2,3 1,1
521119 Belanja Barang Operasional Lainnya 109,0 385,7 38,8 387,7 349,4 188,8 249,5 154,4 108,3
521213 Honor Output Kegiatan 143,1 143,7 97,6 893,3 902,5 601,7 627,2 582,9 447,3
521219 Belanja Barang Non Operasional Lainnya 2.735,1 2.193,6 822,6 3.761,6 4.110,3 3.453,1 7.288,3 8.121,9 3.798,3
522 BELANJA JASA 1.334,1 1.193,0 892,9 852,9 810,2 630,6 716,5 752,8 626,8
522111 Belanja Langganan Listrik 65,1 67,2 61,2 295,0 268,7 241,6 146,3 150,8 144,5
522112 Belanja Langganan Telepon 6,7 6,3 4,3 10,5 8,9 6,2 22,9 23,6 19,8
522113 Belanja Langganan Air 4,3 5,0 4,1 20,1 16,5 14,9 13,9 15,2 13,8
522119 Belanja Langganan Daya dan Jasa Lainnya 21,5 22,2 17,0 124,9 124,1 105,2 40,4 42,4 34,3
522151 Belanja Jasa Profesi 958,9 781,4 573,7 267,5 244,3 161,4 461,9 482,8 385,3
522191 Belanja Jasa Lainnya 277,5 311,1 232,6 134,8 147,7 101,3 31,2 38,1 29,2
523 BELANJA PEMELIHARAAN 248,2 269,9 198,5 686,7 657,3 443,6 510,0 546,3 485,0
523111 Belanja Pemeliharaan Gedung dan Bangunan 144,2 153,5 118,9 485,2 450,8 299,0 322,3 355,2 323,6
523121 Belanja Pemeliharaan Peralatan dan Mesin 101,0 113,4 77,6 181,9 187,2 134,2 181,2 187,1 158,6
523122 Belanja Bahan Bakar Minyak dan Pelumas (BMP) dan Pelumas Khusus Non Pertamina 0,3 0,4 0,3 3,7 2,5 1,3 1,9 0,7 0,4
523133 Belanja Pemeliharaan Jaringan 2,8 2,5 1,7 15,9 16,9 9,2 4,6 3,3 2,4
524 BELANJA PERJALANAN DINAS 643,4 478,1 430,3 132,1 147,1 114,2 711,0 677,3 570,7
524113 Belanja Perjalanan Dinas Dalam Kota 56,8 50,4 40,8 17,3 14,1 8,6 240,9 217,6 180,0
524114 Belanja Perjalanan Dinas Paket Meeting Dalam Kota 586,6 427,7 389,5 114,7 133,0 105,6 470,1 459,7 390,7
TOTAL 5.424,3 4.909,5 2.720,9 7.248,8 7.534,5 5.878,9 10.689,7 11.562,1 6.769,8
TOTAL BELANJA BARANG K/L 19.692,8 18.586,9 16.217,2 17.830,5 17.875,1 14.198,8 14.606,5 16.177,8 15.113,7
% thd belanja barang K/L 27,5 26,4 16,8 40,7 42,2 41,4 73,2 71,5 44,8
TOTAL BELANJA K/L 38.617,7 36.874,8 30.796,2 37.671,0 37.782,1 31.550,9 53.115,6 60.190,5 47.202,5
% thd belanja K/L 14,0 13,3 8,8 19,2 19,9 18,6 20,1 19,2 14,3
RANK RANK RANKKEMENRISTEKKEMENDIKBUD KEMENAG
TOTAL
Sumber: Kementerian Keuangan, diolah.
Sumber: Kementerian Keuangan, diolah.
43
Data menunjukkan bahwa komponen terbesar dari belanja K/L pendidikan adalah
belanja barang (kecuali belanja kemenag yang terbesar belanja pegawai karena gaji guru
masih di pusat). Beberapa komponen belanja barang terbesar, seperti belanja barang non
operasional, perjalanan dinas, dan belanja barang yang diserahkan kepada masyarakat dan
Pemda (terlihat pada Tabel 5.2).
Untuk meningkatkan efisiensi belanja barang, beberapa langkah yang perlu
dilakukan, diantaranya:
1. Upaya-upaya pembatasan untuk belanja yang bersifat pendukung, seperti rapat,
perjalanan dinas, konsinyering, dan honor tim, perlu terus dilanjutkan dan
ditingkatkan efektivitas pelaksanaannya seperti jumlah pegawai yang dapat ikut serta
dalam suatu kegiatan perjalanan dinas, bentuk rapat yang dapat dilaksanakan di
hotel atau rapat dalam kantor.
2. Pengaturan belanja modal aparatur seperti peralatan mesin (pembelian
komputer), kendaraan bermotor, dan pembangunan gedung baru. Perlu dilakukan
kajian atas pengadaan fasilitas gedung Pemerintahan apakah sudah sesuai dengan
azas kepatutan, serta memperhatikan aspek kenyamanan dalam bekerja dan
memberikan layanan kepada masyarakat.
4.3 Pilar Efektivitas
Pilar ketiga dari value for money adalah pilar efektivitas. Efektivitas adalah ukuran
berhasil tidaknya pencapaian tujuan organisasi.Bila suatu organisasi berhasil mencapai
tujuannya, maka organisasi tersebut telah berjalan dengan efektif. Istilah efektivitas sendiri
bervariatif dimana dalam penjelasannya dapat menyangkut berbagai dimensi yang
memusatkan perhatian pada berbagai kriteria evaluasi.
Menurut Wisnu & Nurhasanah (2005:26) dikatakan bahwa suatu organisasi efektif
apabila: (1) mengamankan skill dan sumber daya langka dari luar; (2) secara kreatif
mengkoordinasikan sumber daya dengan skill karyawan untuk menemukan produk dan
berselaras dengan perubahan kebutuhan konsumen (pendekatan system-sistem internal);
dan (3) secara efisien mengubah skill dan sumber daya menjadi barang dan jasa
(pendekatan teknis.
Selanjutnya, beberapa pengertian efektivitas menurut para pakar:
1. Menurut Susilo (2004), suatu kondisi atau keadaan, dimana dalam memilih tujuan
yang hendak dicapai dan sarana atau peralatan yang digunakan, disertai tujuan yang
diinginkan dapat dicapai dengan hasil yang memuaskan;
44
2. Menurut Gibson (1994), efektivitas adalah hubungan optimal antara produksi,
kualitas, efisiensi, fleksibilitas, kepuasan, sifat keunggulan dan pengembangan;
3. Menurut Westra (1989), efektivitas merupakan suatu keadaan yang mengandung
pengertian mengenai terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki. Kata
Efektif diartikan sebagai terjadinya suatu efek atau akibat yang dikehendaki dalam
suatu perbuatan yang dilakukan. Setiap pekerjaan yang efisien yang tentu juga
berarti efektif, karena dilihat dari segi tujuan, hasil atau akibat yang dikehendaki
dengan perbuatan itu telag tercapai bahkan secara maksimal (mutu dan jumlahnya),
sebaliknya dilihat dari segi usaha, maka efek yang diharapkan juga telah tercapai.
Setiap pekerjaan yang efektif belum tentu efisien, karena hasil dapat tercapai tetapi
mungkin dengan penghamburan pikiran, tenaga, waktu, uang atau benda;
4. Menurut Indrawijaya, mengatakan bahwa apabila efektivitas individu dapat
tercapai, akan memberikan konstribusi pada efektivitas organisasi secara
keseluruhan. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa efektivitas organisasi sama
dengan prestasi organisasi secara keseluruhan.
Richard M. Steers (1995:3-5) mengemukakan terdapat tiga konsep yang dapat
digunakan untuk meneliti efektivitas kegiatan organisasi untuk melihat apakah organisasi
dapat mencapai sasaran dan tujuannya, yaitu:(1) konsep optimisasi tujuan; (2) konsep
perspektif sistem; (3) tekanan terhadap perilaku. Tolok ukur efektivitas organisasi dari
Richard M. Steers (1995: 4) yaitu antara lain efektivitas keseluruhan, produktivitas, efisiensi,
laba, pertumbuhan, stabilitas, semangat kerja, kepuasan, penerimaan tujuan organisasi,
keterpaduan, keluwesan adaptasi dan penilaian oleh pihak luar yang menggambarkan
kinerja dari organisasi tersebut.
Berdasarkan pendapat tersebut, bahwa efektivitas mempunyai hubungan timbal
balik antara output dengan tujuan. Semakin besar kontribusi output, maka semakin efektif
suatu program atau kegiatan. Efektivitas berfokus pada outcome (hasil), program, atau
kegiatan yang dinilai efektif apabila output yang dihasilkan dapat memenuhi tujuan yang
diharapkan. Efektivitas adalah menggambarkan seluruh siklus input, proses dan output
yang mengacu pada hasil guna daripada suatu organisasi, program atau kegiatan yang
menyatakan sejauhmana tujuan (kualitas, kuantitas, dan waktu) telah dicapai, serta ukuran
berhasil tidaknya suatu organisasi mencapai tujuannya dan mencapai target-targetnya. Hal
ini berartibahwa pengertian efektivitas yang dipentingkan adalah semata-mata hasil atau
tujuan yang dikehendaki.
Keluaran (output) yang dihasilkan lebih banyak bersifat keluaran (output) tidak
berwujud (intangible) yang tidak mudah untuk dikuantifikasi, maka pengukuran efektivitas
45
sering menghadapi kesulitan. Kesulitan dalam pengukuran efektivitas tersebut karena
pencapaian hasil (outcome) seringkali tidak dapat diketahui dalam jangka pendek, akan
tetapi dalam jangka panjang setelah program berhasil, sehingga ukuran efektivitas biasanya
dinyatakan secara kualitatif (berdasarkan pada mutu) dalam bentuk pernyataan saja
(judgement), artinya apabila mutu yang dihasilkan baik, maka efektivitasnya baik pula.
Berdasarkan uraian di atas, bahwa ukuran daripada efektivitas harus adanya suatu
perbandingan antara masukan dan keluaran, ukuran daripada efektivitas harus adanya
tingkat kepuasan dan adanya penciptaan hubungan kerja yang kondusif serta intensitas yang
tinggi, artinya ukuran daripada efektivitas adanya keaadan rasa saling memiliki dengan
tingkatan yang tinggi. Sehubungan dengan hal tersebut di atas, maka hal-hal yang
mempengaruhi efektivitas adalah ukuran, tingkat kesulitan, kepuasan, hasil dan kecepatan
serta individu atau organisasi dalam melaksanakan sebuah kegiatan/program tersebut.
Disamping itu adanya evaluasi apabila terjadi kesalahan pengertian pada tingkat
produktivitas yang dicapai, sehingga akan tercapai suatu kesinambungan (sustainabillity),
terlihat pada Tabel 5.3.
Tabel 5.3 Output Strategis Tiga K/L Terbesar Bidang Pendidikan
Target RPJM
*)
Capaian/
RealisasiTarget RPJM
Capaian/
RealisasiTarget RPJM
Capaian/
Realisasi *)Target RPJM
Capaian/
Realisasi *)
1- Output Program Indonesia
Pintar (PIP)siswa 21.679.481 20.450.093 21.679.481 20.665.863 21.679.481 19.776.236 20.945.392 19.147.751
- Anggaran Juta Rupiah 11.652.135 11.158.556 10.951.081 10.771.799 10.786.088 10.529.870 10.991.489 10.294.163
2- Output Unit Sekolah Baru
yang Dibangun (USB)unit 303 313 444 673 456 199 459 108
- Anggaran Juta Rupiah 671.447 636.736 1.702.193 1.643.584 546.314 489.272 282.847 282.847
3- Output Ruang Kelas Baru
yang Dibangun (RKB)ruang 10.162 12.149 14.845 14.937 15.783 3.414 14.039 5.362
- Anggaran Juta Rupiah 2.603.755 2.373.015 2.958.254 2.741.574 903.842 868.873 1.163.434 1.068.736
4- Output Ruang Kelas yang
direhabilitasiruang 10.824 12.478 15.616 13.837 15.539 38.290 14.032 23.958
- Anggaran Juta Rupiah 1.791.840 1.740.750 1.105.472 942.535 3.209.047 2.978.793 1.848.029 1.776.749
5- Output : Tunjangan Profesi
Guru Non PNSOrang 206.230 209.204 266.931 211.202 284.386 197.169 291.861 210.269
Anggaran Juta Rupiah 5.404.159 5.335.565 4.447.455 4.446.261 5.103.953 4.616.497 5.627.180 4.546.863
6- Output : Guru Bersertifikat
PendidikOrang 128.238 60.179 104.822 26.906 106.569 66.746 104.822 20.000
Anggaran Juta Rupiah 292.220 245.879 497.868 311.320 392.890 364.910 207.794 193.058
7 - Output Bantuan
Operasional Sekolah (BOS) Siswa 8.221.852 7.892.379 8.568.101 7.957.575 8.848.001 8.151.302 8.805.786 8.300.803
- Anggaran Juta Rupiah 7.727.909 7.428.108 7.709.237 7.500.155 8.094.422 7.962.514 8.637.283 8.113.000
8 - Output Bidik Misi Mahasiswa 275.300 269.198 332.457 316.834 365.739 364.780 398.121 347.250
- Anggaran Juta Rupiah 2.740.824 2.720.901 3.219.919 3.200.815 3.760.946 3.576.960 4.101.711 3.721.405
9 BOPTN PT 187 187 180 180 176 176 178 178
Anggaran Juta Rupiah 5.163.300 5.107.300 3.594.000 3.185.400 3.411.000 2.602.700 3.363.910 3.411.797
10 BPPTN-BH PT - - 7 7 11 11 11
Anggaran Juta Rupiah - - 1.614.000 1.553.000 1.994.000 1.662.200 2.522.600
2017
No Uraian Satuan
2015 2016 2018
Sumber: Kementerian Keuangan, diolah.
46
Pada Kajian ini, untuk mengukur efektivitas dilakukan pendekatan dengan melihat
hubungan antara output dan outcome. Berdasarkan RKAKL, output strategis di bidang
pendidikan dapat diperoleh dengan melakukan pengklasifikasian output. Terdapat
bebereapa output yang tergolong strategis, diantaranya: Program Indonesia Pintar, Bantuan
Operasional Sekolah, dan Bidik Misi. Dari elaborasi RKAKL dan informasi dari tiga K/L
terbesar bidang pendidikan juga diperoleh keterangan bahwa pagu dan realisasi anggaran
serta target RPJMN dan realisasi output dapat tersedia. Adapun rincian output strategis
pendidikan sebagai mana terdapat pada tabel xx.
Dari sisi outcome, RPJMN telah memuat target-target outcome yang ingin dicapai.
Target outcome tersebut adalah rata-rata angka melek aksara penduduk usia di atas 15
tahun, rata-rata lama sekolah penduduk usia di atas 15 tahun, angka partisipasi kasar dan
akreditasi di berbagai jenjang pendidikan. Berdasarkan laporan capaian RPJMN untuk
outcome rata-rata angka melek aksara penduduk usia di atas 15 tahun, rata-rata lama
sekolah penduduk usia di atas 15 tahun, angka partisipasi kasar di berbagai jenjang
pendidikan diperkirakan akan mencapai target pada tahun 2019. Sedangkan outcome
akreditasi di berbagai jenjang pendidikan masih diberi tanda kuning karena ada
kemungkinan untuk tidak mencapai target pada tahun 2019 (terlihat pada Gambar 5.4).
Gambar 5.4 Sasaran Pembangunan Bidang Pendidikan RPJMN 2014-2019
47
Secara umum outcome bidang pendidikan masih on the track, akan tetapi kualitas
dan daya saing perlu untuk ditingkatkan. Hal ini terlihat dari outcome yang berhubungan
dengan kualitas masih bertanda kuning (kemungkinan tercapai). Sedangkan terkait daya
saing, temuan AIPEG pada Trends in International Mathematics and Science Study
(TIMMS) menunjukkan bahwa dengan resource yang sama, beberapa negara memperoleh
nilai TIMMS yang lebih tinggi dibandingkan Indonesia. Metode perhitungan TIMSS adalah
dengan membandingkan input (alokasi untuk pendidikan dasar) dan output pada tes
kompetensi matematika dan IPA untuk siswa SD. Senada dengan itu, hasil asessmen World
Bank pada Programme for International Student Assessment (PISA) juga menunjukan
hasil yang belum memuaskan. Secara umum, nilai PISA Indonesia masih rendah
dibandingkan negara dengan tingkat pengeluaran yang relatif sama (Seperti pada Grafik
5.1).
Grafik 5.1 TIMMS dan PISA
Meskipun data terdapat data output dan outcome, sampai saat ini pengukuran
efektivitas sulit dilakukan karena informasi output dan outcome secara keseluruhan belum
mencerminkan kualitas belanja pendidikan yang berdampak signifikan pada peningkatan
sumber daya manusia. Faktor-faktor yang menyebabkan sulitnya pengukuran efektivitas
dari sisi informasi kinerja diantaranya adalah: (1) output lebih banyak bersifat administratif
dibandingkan substantif; (2) outcome cenderung normatif; dan (3) Belum adanya dokumen
resmi yang menjelaskan interkoneksi antara alokasi anggaran, output dan sasaran pokok
pembangunan pendidikan; dan (4) Relevansi antara output dan outcome belum terlihat.
Implikasi dari sulitnya pengukuran efektivitas adalah ketidakjelasan pengaruh output dan
outcome terhadap masyarakat, sehingga mengaburkan signifikasi K/L dalam menjawab
kebutuhan masyarakat. Dengan tidak adanya alat ukur yang baku, evaluasi dan penilaian
kinerja penganggaran akan sulit dilakukan.
48
Untuk itu, upaya yang perlu dilakukan agar efektivitas dapat diukur diantaranya
adalah:
1. Penyempurnaan arsitektur informasi perencanaan dan penganggaran;
2. Pengaturan outcome tematik yang dicapai secara kolaboratif oleh stakeholder
terkait. Penyempurnaan arsitektur informasi perencanaan dan penganggaran,
meliputi penataan input, output dan outcome yang realistis (dapat dicapai), strategis
(sesuai dengan skala prioritas) dan konstektual (sesuai dengan kebutuhan
masyarakat). Sedangkan, pengaturan outcome tematik harus mempertimbangkan
ruang lingkup dan peran dari institusi pemerintah terkait. Dengan demikian,
pengaturan tersebut dapat menghasil kolaborasi optimal dalam mencapai target yang
ditetapkan.
49
BAB VI
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
6.1 Kesimpulan
1. Dari sisi regulasi, pemekaran Kemendikbud telah dilakukan dengan pembentukan
Kemenristek Dikti di tahun 2015 dalam rangka peningkatan kualitas anggaran
pendidikan. Selain itu, Pengalihan BOS Kemendikbud ke Pemerintah daerah juga
telah dilakukan. Konsekuensi dari kebijakan tersebut adalah adanya aturan lintas
organisasi untuk mengatur pelaksanaan output strategis.
2. Dari sisi pilar ekonomi, temuan dari standar biaya menunjukan bahwa kementerian
di bidang pendidikan hampir semua belum memiliki SBK. Selain itu, Proses
penyusunan SBK tidak/belum melibatkan APIP K/L. Faktor utama yang menjadi
penyebab standar biaya keluaran belum dapat diterapkan antara lain adalah karena
standar biaya tersebut belum menjanjikan kemudahan dan menimbulkan risiko
sebagai objek audit dalam proses kerja penganggaran, dan menyebabkan kekakuan
bagi pengguna anggaran.
3. Dari sisi pilar efisiensi, data sifat dan jenis biaya hanya tersedia untuk pagu alokasi
sedangkan realisasi tidak tersedia. Pergerakan sifat dan jenis biaya dari tahun ke
tahun tidak menunjukan pola tertentu. Adapun proporsi sifat (utama-pendukung)
dan jenis (operasional-non operasional) biaya belum menggambarkan efisiensi.
Proporsi sangat tergantung dengan karakteristik masing-masing K/L. Adanya
kebutuhan untuk melihat detail kertas kerja untuk mengukur efisiensi. Dari sisi
efisiensi belanja barang, beberapa komponen belanja barang terbesar yang bisa
ditelaah untuk efisiensi diantaranya adalah belanja barang non operasional,
perjalanan dinas, dan belanja barang yang diserahkan kepada masyarakat dan
Pemda.
4. Dari sisi pilar efektivitas, data output strategis dan sasaran pokok pembangunan
pendidikan tersedia dari RKAKL dan RPJMN. Meskipun demikian, pengukuran
efektivitas sulit dilakukan karena informasi output dan outcome secara keseluruhan
belum mencerminkan kualitas belanja pendidikan. Selain itu, belum ada dokumen
resmi yang menjelaskan interkoneksi antara alokasi anggaran, output dan sasaran
pokok pembangunan pendidikan.
50
6.2 Rekomendasi
1. Dari sisi regulasi, evaluasi dampak pemekaran K/L perlu dilakukan dalam
mewujudkan pendidikan yang lebih efektif dan efisien. Selain itu, perlu pengkajian
dampak pengalihan output strategis ke daerah dan mengetahui bagaimana proses
koordinasinya agar terjadi sinergi untuk mencapai tujuan pembangunan nasional.
Adapun terkait output strategis, perlu perumusan grand design untuk meminimalisir
perubahan regulasi dan petunjuk teknis untuk output strategis pendidikan setiap
tahunnya seperti BOS dan PIP.
2. Dari sisi pilar ekonomi, akselerasi penerapan SBK dilakukan dengan pendekatan
struktural dan kultural. Pendekatan struktural dilakukan dengan penguatan regulasi
yang bersifat mengikat (binding). Tidak hanya sebatas kewajiban, pendekatan ini
juga harus diikuti mekanisme insentif berupa reward dan punishment sehingga
mampu mewujudkan terciptanya informasi dan evaluasi kinerja yang valid dan
terukur untuk setiap K/L. Pendekatan kultural dilakukan untuk menciptakan
harmonisasi mekanisme kerja dengan pengguna anggaran dalam kerangka “let‟s
manager manage”. Penerapan SBK diharapkan dapat menguatkan budaya
organisasi yang akuntabel, sehingga menciptakan kemudahan, keleluasaan, dan
peningkatan produktivitas kerja.
3. Dari sisi pilar efisiensi, upaya-upaya pembatasan untuk belanja yang bersifat
pendukung seperti rapat, perjalanan dinas, konsinyering, dan honor tim, perlu terus
dilanjutkan dan ditingkatkan. Belanja modal seperti peralatan mesin (pembelian
komputer), kendaraan bermotor, dan pembangunan gedung baru aparatur perlu
diatur agar memenuhi azas kepatutan serta memperhatikan aspek kenyamanan
dalam bekerja dan memberikan layanan kepada masyarakat.
4. Dari sisi pilar efektivitas, perlu ada upaya yang dilakukan agar efektivitas anggaran
pendidikan dapat diukur, diantaranya: penyempurnaan arsitektur informasi
perencanaan dan penganggaran serta pengaturan outcome tematik yang dicapai
secara kolaboratif dengan stakeholder terkait serta penataan input, output dan
outcome yang realistis, strategis dan konstektual.
51
DAFTAR PUSTAKA
Adisasmita, Rahardjo. 2011. Pengelolaan Pendapatan dan Anggaran Daerah. Yang
Menerbitkan Graha Ilmu : Yogyakarta.
Anthony, Hermanson.1993. Akuntansi Manajemen, Edisi 3. Jakarta: Penerbit PT. Rineka
Cipta.
Gibson, James L., dkk. 1994. Organisasi Dan Manajemen : Perilaku, Struktur, dan Proses.
Erlangga: Jakarta.
Halim, Abdul. 1988. Dasar-dasar Akuntansi Biaya, Edisi 3. Yogyakarta: Penerbit BPFE.
Martoyo, Susilo. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia. Edisi Keempat. BPFE:
Yogyakarta.
Mc Aleavy, et. al. 2018. Promising Practice: Government Schools in Vietnam. Berkshire:
Education Development Trust.
Mulyadi. 1998. Akuntansi Bicnia, Edisi 5. Yogyakarta: Penerbit FE UGM.
_______.1979. Akuntansi Biaya : Penentuan Harga Pokok dan Pengendalian Biaya, Edisi 3.
Yogyakarta: Penerbit BPFE.
Steers, Richard M.1995. Efektivitas Organisasi. Jakarta:Penerbit Erlangga.
Tan, C., Koh, K. & Choy, W. 2016. The education system in Singapore. In Juszczyk, S. (Ed.),
Asian Education Systems (pp. 129-148). Toruñ: Adam Marszalek Publishing House.
Triyono. 2018. Menyiapkan Generasi Emas. Klaten: Seminar Nasional Alfa-VI.
UNESCO. 2017. Education Data Release: New Indicators and More Data for Countries in
Every Region. Diunduh pada 6 November 2018 dari
http://uis.unesco.org/en/news/education-data-release-new-indicators-and-more-
data-countries-every-region.
Vizconde, Camilla. 2015. Issues, concerns and prospects: teacher training institutions‟
views on K-12. Manilla: Luz Y Saber Vol. 9 No. 1&2
Westra, Pariata, dkk. 1989. Ensiklopedi Administrasi.Jakarta: Haji Masagung.
Wisnu UR, Dicky dan Siti Nurhasanah. 2005. Teori Organisasi, Struktur dan Desain. Edisi
Pertama. Malang: UMM Press.
World Bank. 2017. Public Expenditure Review Phase 2. Jakarta: World Bank.
World Bank. 2018. Public Expenditure Review Phase 3. Jakarta: World Bank.
World Bank. 2018. The Human Capital Project. Washington, DC: World Bank.
www.anggaran.depkeu.go.id
52
Peraturan
Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2014
Instruksi Presiden No. 4 /2017
Peraturan Direktur Jenderal Anggaran No. PER-1/AG/2015
Peraturan Menteri Keuangan No. 106/PMK.02/2016
Peraturan Menteri Keuangan Nomor 11/PMK.02/2018
Peraturan Menteri Keuangan No. 142/PMK.02/2018
UU No. 17 tahun 2003
UU No. 1 tahun 2004
UU No. 15 tahun 2004