sajian nartosabdoeprints.ums.ac.id/60121/32/naskah publikasi pak hary.pdf · judul : muatan...
TRANSCRIPT
MUATAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM CERITA
WAYANG PURWO LAKON DEWA RUCI
SAJIAN NARTOSABDO
Disusun sebagai salah satu syarat menyelesaikan Program Studi Strata II
Pada Jurusan Psikologi Sekolah Pascasarjana
Oleh:
HERRY MULYONO
NIM : S.300080010
PROGRAM STUDI MAGISTER PSIKOLOGI
SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA
2017
i
HALAMAN PERSETUJUAN
MUATAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM CERITA
WAYANG PURWA LAKON DEWA RUCI
SAJIAN NARTOSABDO
PUBLIKASI ILMIAH
Oleh :
HERRY MULYONO
S.300080010
Telah diperiksa dan disetujui untuk diuji oleh:
Dosen Pembimbing,
Dr. Nanik Prihartanti, M.Si.
ii
HALAMAN PENGESAHAN
MUATAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM CERITA
WAYANG PURWA LAKON DEWA RUCI
SAJIAN NARTOSABDO
Oleh :
HERRY MULYONO
S.300080010
Telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
Program Studi Sains Psikologi
Universitas Muhammadiyah Surakarta
Pada tanggal: 13 Desember 2017
Dan dinyatakan telah memenuhi syarat
iii
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini saya:
Nama : Herry Mulyono
NIM : S.300080010
Program Studi : Sains Psikologi
Konsentrasi : Pendidikan Psikologi
Judul : Muatan Nilai-Nilai Pendidikan dalam Cerita Wayang
Purwo Lakon Dewa Ruci Sajian Nartosabdo
Tesis yang saya tuliskan adalah benar-benar hasil karya saya sendiri, kecuali
kutipan-kutipan dan ringkasan-ringkasan yang sudah saya jelaskan
sumbernya. apabila tesis ini jiplakan atau plagiasi, gelar yang diberikan oleh
Universitas Muhammadiyah Surakarta dapat dibatalkan untuk saya terima
Demikian pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya, untuk dapat
digunakan sebagaimana mestinya.
1
ABSTRAK
MUATAN NILAI-NILAI PENDIDIKAN DALAM CERITA
WAYANG PURWA LAKON DEWA RUCI
SAJIAN NARTOSABDO
Pendidikan secara umum memiliki tugas suci dan mulia untuk memberdayakan
manusia dalam memenuhi cipta, rasa, dan karsa dengan mengembangkan dan
menerima muatan nilai-nilai dalam proses pendidikan. Era globalisasi, wayang
sudah ditinggalkan generasi mudanya karena tergusur budaya asing yang
membanjiri melalui teknologi informasi. Simbolisme dalam cerita Dewa Ruci ini
berkontribusi sebagai informasi tentang muatan nilai-nilai pendidikan sebagai
kearifan lokal yang tersosialisasikan ditinjau dari Psikologi Pendidikan. Tujuan
penelitian ini adalah untuk menemukan nilai-nilai psikologis dalam merespons
rangsangan (stimulus) tontonan berupa cerita wayang dengan cerdas untuk
dipahami (respons) sebagai motivasi diri (output). Kedua ilmu ini hampir tidak
terpisahkan, tontonan wayang memberikan bimbingan hidup dan manusia tidak
akan sukses bila tidak mendasarkan diri kepada psikologi. Metode yang
digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitataif diskriptif dengan
mentranskrip rekaman pita kaset dan studi pustaka, dokumen, dan beberapa
narasumber di bidang wayang, budayawan, pendidik, dan sastrawan bahasa Jawa.
Hasil penelitian yang ditemukan adalah sebagai murid yang cerdas meyakini
bahwa di dalam diri seorang guru melekat ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan
dunia dan akhirat, sehingga dalam mengupayakan ilmu akan dilaksanakan dengan
sepenuh hati, dan diupayakan hingga terwujudnya ilmu yang dicari (ilmu
kesempurnaan hidup). Melalui cemeti orang memotret (stimulus) dari tontonan
dengan cerdas dapat memahaminya secara ideal (respons) sehingga berfungsi
sebagai pedoman hidup untuk dijadikan motivasi diri (output), banyak bakat yang
tidak berkembang karena tidak diperoleh motivasi yang tepat. Cerita Dewa Ruci
memberikan rangsangan psikologis yang mengarahkan suatu perbuatan atau
tingkah laku menuju keberhasilan, tujuan kebaikan dengan latar belakang ikhlas
dan suci apabila diupayakan dengan sungguh-sungguh akan memperoleh hasil
sesuai dengan tujuan yaitu ilmu kesempurnaan hidup yang diperolehnya melalui
wejangan Dewa Ruci. Implikasi dalam penelitian ini adalah memahami pola
tingkah laku dalam bereaksi dan bersikap antara guru dengan peserta didiknya
untuk mewujudkan suatu keberhasilan.
Kata kunci : Cerdas, memahami, dan motivasi diri (CEMETI).
2
ABSTRACK
EDUCATION VALUES CONTENT IN THE STORY OF WAYANG
PURWA WITH TITLE DEWA RUCI IN PRESENTATION OF
NARTOSABDO
Education in general has a sacred and noble duty to empower human beings in
fulfilling inventiveness, taste, and initiative by developing and receiving the
content of values in the educational process. The era of globalization, wayang has
been abandoned by the young generation because of displaced foreign culture
that flooded through information technology. The symbolism in Dewa Ruci's story
contributes to the contribution of information about the content of educational
values and as a socialized local wisdom in terms of Educational Psychology. The
purpose of this study was to find psychological values to be instrumental in
responding to the stimulus of the spectacle of wayang stories intelligently to be
understood as a self-motivation (output). Both of these sciences are almost
inseparable from the spectacle of puppets providing life guidance, human beings
will not succeed if not based on psychology. The method used in this research is
descriptive qualitative method by transcribing cassette tape recordings and
literature study, document, and some speakers in field of wayang, humanist,
educator, and writer of Javanese language. The result of this research is that
students who are intelligent believe that in a teacher attaches a useful science to
the life of the world and the hereafter, so that in pursuing knowledge will be
carried out wholeheartedly, not run from responsibility and strived until the
realization of science sought perfection of life). Through the whip the
photographer (stimulus) of the spectacle can intelligently understand the ideal
(response) so that it serves as a guide for life to be self-motivated (output), both
with change and without change though. Many talents are not developed because
they do not get the right motivation. Dewa Ruci's story provides a stimulus that
directs an action or behavior toward success, the purpose of kindness with sincere
and sacred background if strived earnestly will get results in accordance with the
expected final goal is the science of perfection of life obtained by the discourse of
God Ruci. The implications of this research are to understand behavioral patterns
in reacting and acting between teachers and learners to achieve a success.
Keywords: Intelligence, understanding, and self-motivation (CEMETI).
3
1. Pendahuluan
Pendidikan memiliki tugas suci dan mulia yaitu memberdayakan manusia
sehingga mampu mengaktualisasikan diri melalui cipta, rasa dan karsa.
Pendidikan di Indonesia tengah mengalami paradigma perubahan dalam rangka
membangun visi baru dengan pendekatan kebijakan yang humanis. Undang-
Undang RI nomor 20 tahun 2003 mengamanatkan sistem pendidikan dengan
memperhatikan unsur budaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Generasi muda bangsa Indonesia saat ini dibanjiri dengan teknologi
informasi yang datang dari asing tanpa daya saring dan tidak lagi memperhatikan
etika serta unsur kearifan lokal. Sungguh tidak mudah membangun manusia
cerdas individu dan cerdas kolektif sebagai jati diri bangsa melalui pendidikan
yang berkualitas dengan latar belakang ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
(IPTEKS) dan dengan iman dan taqwa (IMTAQ). Oleh karena itu dibutuhkan
media pendidikan yang tepat sehingga dapat mempengaruhi perilaku manusia
yang sesuai dengan jati diri bangsa Indonesia melalui budaya.
Wayang kulit purwo sebagai pertunjukan multidimensional, dan sebagai
seni budaya asli bangsa Indonesia khususnya Jawa sangat kaya dan memiliki
kearifan lokal serta masih sesuai dengan perkembangan zaman. Wayang kulit
purwo diciptakan oleh nenek moyang zaman dahulu sebagai simbolisme
kehidupan manusia yang bersifat lahiriah dan rohaniah yang berfungsi
membangun etika, media dakwah dan pendidikan. Oleh karena itu melihat
wayang bagaikan melihat cermin, karena dengan melihat pagelaran wayang tidak
4
saja melihat dari unsur kesenaian saja melainkan dapat diketemukan berbagai
muatan nilai yang tersirat dan terkandung dalam setiap lakon wayang.
Wayang kulit purwo dapat bermanfaat sebagai media komunikasi dan
informasi dan inspirasi yang layak untuk dikaji secara mendalam. Muatan nilai-
nilai yang terkandung dalam setiap lakon dapat berfungsi sebagai norma dan dapat
ditafsirkan secara psikologis sebagai pedoman kehidupan sehari-hari. Motivasi
dan kesan-kesan terhadap nilai-nilai yang terkandung dalam setiap lakon wayang
akan mudah dicernakan menembus segi-segi paling dalam (diinternalkan) bila
disajikan melalui pertunjukan wayang. Melihat pertunjukan wayang dengan
disertai keindahan berbagai macam seni yang digelar dalam pentas akan lebih
mudah diterima dari segi etika dan estetika dan dipahami sebagai komunikasi dan
informasi serta inspirasi yang jauh lebih akrab. Dengan kata lain tontonan
merupakan peristiwa interaksi psikologis yang dibangun di atas azas
ketidakbiasaan (Simatupang,2013).
Peneliti berharap kajian wayang kulit purwo yang sudah mulai ditinggalkan
oleh generasi muda dapat kembali menjadi nuansa baru, dan dapat dijadikan
kontribusi untuk dilihat dari segi tontonan, tuntunan dan sebagai motivasi diri.
Dalam setiap lakon wayang kulit purwo apabila digali dan dikaji secara mendalam
banyak sekali nilai-nilai simbolisme yang tersembunyi dan bermanfaat untuk
membentuk perilaku dengan meneladani tokoh-tokoh wayang . Sebagai sumber
komunikasi dan informasi bila ditafsirkan wayang kulit purwo tidak akan pernah
kering untuk digali dan dikaji.
5
1.1. Kajian Teori
Pilihan peneliti terhadap lakon Dewa Ruci merupakan salah satu ikon cerita
wayang kulit purwo terkenal yang banyak dan sering dilakonkan oleh para dalang,
karena terdapat kandungan isi berupa ajaran-ajaran mistis, tarikat dan makrifat.
Penulis dalam hal ini ingin mengkajinya melalui muatan nilai-nilai pendidikan
dengan tujuan untuk menemukan tentang nilai-nilai yang terkandung didalam
cerita Dewa Ruci melalui unsur psikologi pendidikan, cerdas (stimulus),
memahami (respons) sebagai motivasi diri (output) atau cemeti. Jadi untuk
memahami wayang sangat tergantung pada alat atau pisau bedah yang dimilikinya
untuk membedah simbolisme wayang (Mulyono S, 1989).
Peranan wayang bila dikaji secara mendalam akan didapatkan nilai-nilai
perlambang (symbolisme) yang sangat penting bagi kehidupan manusia dari nilai-
nilai pendidikan maupun unsur psikologisnya. Tokoh-tokoh yang dibangun dalam
wayang kulit purwo juga memiliki makna tersendiri, seolah-olah tokoh-tokoh
dalam wayang melakukan tugasnya untuk memerankan karakter-karakter tertentu
yang berkualitas dalam menyampaikan pikiran-pikiran arif yang disampaikan oleh
dalang (Rauf Amin, 2010).
Pribadi memiliki keunikan yang membuat berbeda dengan pribadi lain, dan
selalu berubah-ubah dalam struktur tindakan, dengan penanaman nilai perlu ada
pengertian perasaan dalam sebuah tindakan cerdas, memahami dan motivasi diri.
(cemeti). Manusia diarahkan secara esensial pada nilai-nilai untuk
mengembangkan potensi dirinya sehingga dapat mewujudkan keinginannya
sebagai tindakan nyata (kognisi dan konasi). Pesan-pesan moral yang terkandung
dalam setiap cerita wayang kulit purwo dapat memberikan sejumlah alternatif dan
6
pandangan sebagai obyek pembawa nilai. Memotret obyek nyata (fakta)
ditangkap melalui indranya dengan disertai keterbukaan hati, nilai ditangkap
selaras dengan kepekaan individu diterimanya sebagai pandangan hidup.
Pandangan setiap individu dalam merespons obyek akan diterima dengan berbeda
satu diantara yang lain oleh karena itu diperlukan ilmu (sciense) yang terukur dan
teruji sebagai alat penyeimbang, sehingga tidak menjadikan diri sebagai manusia
superiority (yang paling benar/super). Ilmu dalam hal ini untuk menguji dan
mengukur seberapa jauh kebenaran yang diterima melalui fungsi indrawi dan
dapat diterima oleh semua fihak sebagai unsur kebijakan (wisdom). Dalam hal ini
perlu membedakan antara nilai dan obyek nyata, pembawa nilai tidaklah mungkin
ditemukan hanya dengan indra melainkan dengan intelektual, walaupun
penangkapan nilai lewat indra yang sama (Soegeng AY, 2013).
Pendidikan merupakan perpaduan tujuan yang bersifat pengembangan
kemampuan-kemampuan pribadi secara optimal yang dapat memainkan peranan
sebagai warga dalam lingkungannya. Menurut John Locke, manusia lahir tidak
dilengkapi insting yang sempurna untuk dapat menyesuaikan diri dengan
lingkungan, karena manusia dilahirkan dalam keadaan suci, putih bersih (tabula
rasa) dan sebagai makhluk sosial (empirisme) perlu belajar untuk dapat
berhubungan dengan lingkungan secara konstruktif melalui bantuan manusia lain
sehingga terjadi saling mempengaruhi.
Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang berhasil membantu
individu dapat mempertahankan dan meningkatkan kualitas hidup dengan tujuan
yang tepat. Aliran Psikologi Gestalt memberikan pandangan bahwa manusia
7
adalah makhluk yang mempunyai kebebasan cara memilih dan cara bereaksi
terhadap stimuli yang diterimanya atau ditolaknya. Gambaran dari hasil hubungan
antarmanusia menyebabkan manusia mempunyai kesadaran/penilaian dirinya
(self assessment) dari kemampuan-kemampuan: kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Fungsi sosialisasi dalam pendidikan merupakan fungsi untuk
mendidik dan memperkenalkan nilai-nilai kebudayaan suatu masyarakat kepada
masyarakat lain. Dalam komunikasi antarbudaya jarang terjadi ilmu atau
kajiannya bebas nilai atau budaya, seringkali tidak memahami perilaku verbal,
tetapi yang lebih penting adalah bagaimana manusia menangkap dan memahami
nilai yang terkandung di dalam cerita untuk disikapi sebagai konsep diri. Peserta
didik dalam upaya mencari kebenaran tidak cukup melalui penemuan data dan
mengetahui fakta, namun kebenaran berimplikasi pada upaya manusia untuk
memperoleh pengetahuan secara terus menerus dalam segala hal. Karena itu
pendidikan di sekolah seharusnya memberikan prioritas untuk membangkitkan
nilai-nilai kehidupan, serta memperjelas implikasinya terhadap kualitas hidup
dalam masyarakat. Semua bangsa dan budaya tidak ada keraguan untuk
menerima dan menghargai nilai intelektual, etika, dan estetika, akan tetapi prinsip
nilai ini terlalu umum untuk dapat membantu masyarakat dalam memecahkan
masalah yang lebih spesifik. Di dalam realitas kehidupan, masyarakat
membutuhkan uraian rinci tentang prinsip-prinsip nilai yang luas dan beragam,
sehingga menghasilkan proses pendidikan yang efektif (Mulyana, 2004).
Wayang sebagai budaya warisan leluhur bangsa Indonesia menjadi dasar
bagi individu dan bangsa untuk mampu menjadi ciri identitas atau jati diri bangsa
Indonesia yang memiliki makna kearifan lokal, karena di dalamnya terdapat
8
seperangkat nilai yang mendasar untuk dapat dijadikan orientasi norma
kepribadian bangsa.
Budaya Jawa mengapresiasi kebajikan yang memberikan sumbangan
terhadap keharmonisan integrasi sosial. untuk menjaga agar kerukunan dapat
terwujud. Orang Jawa dituntut untuk dapat bersikap rendah hati dan hidup
sederhana (samadya). Selain itu, orang Jawa juga diarahkan agar dapat
menyesuaikan diri terhadap situasi yang dihadapi, bertindak secara wajar dan
tidak boleh berlebih-lebihan. Bentuk perilaku sebagai wujud kebajikan yang
dinilai ideal mencakup patuh (Jawa: manut) terhadap orang yang lebih senior.
Tradisi Jawa memandang semua orang tidak sama (unequel), yang ditunjukkan
dalam banyak aspek perilaku sosial sehingga sikap hormat perlu ditanamkan pada
anak (Lestari, 2012).
Dewasa ini nilai-nilai kehidupan masyarakat semakin luntur dan kehilangan
jati sebagai bangsa yang bermartabat dan berkepribadian dengan dasar Pancasila
akibat banjirnya teknologi dan informasi yang datangnya dari berbagai penjuru
dunia. Masuknya teknologi dan informasi merambah ke semua usia tanpa adanya
filter yang digunakan sebagai norma dan nilai yang dapat memberikan arah
melalui tindakan-tindakannya yang mencerminkan ciri budaya dan jati diri bangsa
Indonesia. Generasi muda sangat jarang yang tertarik mempelajari kearifan lokal
bagi kepentingan bangsanya. Kearifan lokal masa lalu jarang dipahami karena
dianggap sudah tidak sesuai dengan zamannya. Generasi muda perlu memahami
makna kearifan lokal sebagai jati diri bangsanya yang berderajat tinggi dan
sungguh luar biasa (adi luhung). Akankah generasi yang akan datang mengubur
9
jati diri bangsa yang telah diwariskan oleh nenek-moyang sebagai budaya yang
memiliki khas kerifan lokal yang bernilai dan berderajat tinggi. Akhirnya perlu
dipahami bersama dalam membangun karakter kepribadian bangsa Indonesia yang
bermartabat sangat diperlukan tokoh atau figur sebagai keteladanan dengan
penyampaian makna kearifan lokal tentang nilai yang dipilih sebagai suatu
alternatif, dan diwujudkan untuk mempertinggi integrasi diri yang selalu
berkembang ke arah kematangan serta kedewasaan sebagai manusia yang
berkarakter dan humanis.
2. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan oleh peneliti adalah penelitian kualitatif
studi pustaka, dimaksudkan untuk mendapatkan teori informasi yang
berhubungan dengan obyek penelitian dengan menunjukkan originalitas
penelitian. Studi pustaka lebih diutamakan pada sumber-sumber buku tertulis,
tulisan, dokumen, narasumber dan media lain yang berkaitan langsung dengan
obyek penelitian baik yang bersifat informatif maupun tulisan yang berisikan
pembahasan secara rinci yang mengarah pada pengkajian analitisnya. Metode
deskriptif kualitatif ini digunakan untuk mengungkap dan memahami sesuatu
dibalik fenomena yang tersembunyi, belum diketahui dan untuk mendapatkan
wawasan yang baru sedikit diketahui.
Adapun yang dapat dilakukan dalam penelitian ini:
a. Mengidentifikasi dan mendiskripsikan tema-tema yang muncul dari
hasil penelusuran melalui dokumen, buku-buku pustaka, dan hasil
10
wawancara dengan narasumber dari berbagai latar belakang profesi
(Dalang, Budayawan, Dosen, dan Sastrawan);
b. Melakukan kategori dari tema-tema yang muncul;
c. Melakukan analisis tema-tema yang muncul beradasarkan muatan nilai-
nilai yang terkandung dalam cerita Dewa Ruci;
d. Mengenal model-model pendidikan berdasarkan muatan nilai-nilai yang
terkandung dalam cerita Dewa Ruci;
e. Pada tahap analisis, data-data yang diperoleh dari percakapan
(antawacana) antar tokoh dalam cerita Dewa Ruci, kemudian diseleksi
tentang kebenarannya, diidentifikasi, diatur, dikelompokkan sesuai
dengan keterkaitannya dengan permasalahan dalam penelitian ini.
Tahap akhir data-data yang sudah terseleksi diinterpretasikan tentang
muatan nilai-nilai yang terkandung dalam cerita Dewa Ruci, kemudian
diolah sehingga ditemukan analisis isi (content). Hasil analisis berupa
uraian deskriptif dan ditulis secara sistematis.
f. Membuat kesimpulan, saran dan rekomendasi.
3. Hasil Penelitian dan Pembahasan
Interpretasi dilakukan dengan berbagai kenyataan dan gejala terhadap suatu
peristiwa yang terjadi selanjutnya diuraiakan dalam bentuk bahasa dan pikiran.
Dengan dieksplisitkan sebagai pengalaman yang dimaknai dengan cerdas, dan
memahaminya sehingga berfungsi sebagai pengalaman baru untuk memotivasi
diri (cemeti).
11
Cerdas, memahami, dan motivasi diri merupakan implentasi dari unsur
psikologi pendidikan yang berupa:
3.1. Cerdas dalam menerima rangsangan (stimulus).
Orang pergi melihat tontonan berupa pergelaran wayang kulit purwo
dengan kesadaran bahwa orang tersebut memiliki keinginan untuk
melihat, mendengar, menikmati secara keseluruhan melalui fungsi
indrawinya. Manusia bebas memilih dan bereaksi terhadap stimuli
(rangsangan) yang diterima atau ditolaknya. Nilai tidak ada dalam diri
individu melainkan merupakan hasil interaksi antarpribadi yang
menghasilkan nilai. Dalam ilmu filsafat, axiologi adalah perilaku
manusia yang berhubungan dengan nilai, semua yang dikerjakan
menghasilkan sesuatu yang bernilai baik dari segi etika maupun
estetika. Nilai yang bersifat historis, sosial, biologis atau yang bersifat
individual dengan berbagai pertimbangan secara cerdas menghasilkan
emosi dan perasaan, sedangkan hiburan diterima manusia dalam bentuk
kesenangan. Manusia tidak akan terlepas dari nilai, segala perbuatan,
tindakan, kegiatan dan perilaku manusia selalu dinilai. Manusia adalah
insan yang menilai dan dinilai, langkah orientasi dan informasi
merupakan umpan balik yang dapat bermakna bagi dirinya. Secara
psikologis sikap dan perilaku superiority ternyata dapat berubah melalui
proses sosialisasi dengan adanya pengalaman-pengalaman baru.
Nilai secara normatif berkembangnya melalui proses dan tahapan
yang berupa hasil pengamatan nyata yang berupa tanggapan, sehingga
ketika individu menerima rangsangan eksternal dari tontonan
12
(pagelaran wayang) yang di dalamnya banyak muatan nilai-nilai
pendidikan yang tersembunyi dapat dimaknai secara cerdas disimpan
dalam ingatan dengan setia dan berkontribusi secara psikologis untuk
berubah atau tidak berubah sama sekali.
3.2 . Memahami tontonan sebagai tuntunan (respons).
Melihat atau mendengar pergelaran wayang kulit purwa orang
dapat berfantasi dengan perantaraan setiap figur tokoh maupun jalan
cerita yang dilakonkan. Dalam hal ini, semua tergantung dari
kemampuan dan keterampilan dalang sebagai penggerak kehidupan
wayang dalam melakonkan cerita.
Setiap tokoh wayang memiliki tipe dan karakter berbeda-beda,
dalam dunia wayang tersimpan nilai-nilai pandangan hidup masyarakat
Jawa yang dapat menggambarkan berbagai tantangan dalam mengatasi
kesulitan hidup. Jadi untuk dapat memahami muatan nilai-nilai yang
terkandung dalam setiap lakon wayang tergantung dengan ketajaman
pisau bedah yang dimiliki untuk dapat membedah simbolisme nilai-
nilai yang tersembunyi.
Setiap lakon wayang selalu terdapat dan ditunjukkan pandangan-
pandangan antara kebaikan dan keburukan sehingga dalam memahami
cerita wayang yang banyak menyediakan lakon wayang akan
mmemberikan tuntunan untuk direspons bagi orang yang melihat
dengan pemaknaan yang mendalam dan komplek.
13
3.3. Wayang sebagai motivasi diri (output).
Setiap tokoh yang dibangun dalam wayang memiliki makna yang
kuat seolah-olah tokoh-tokoh dalam wayang mempunyai tugas untuk
memerankan karakter-karakter tertentu. Seseorang dapat meneladani
sikap dan perilaku setiap tokoh yang digambarkan dalam figur wayang.
Untuk memperoleh nilai-nilai kebajikan sangat tergantung dari
kemampuan individu dalam mencerna, menghayati dan memahami
bentuk dan lakon setiap pergelaran wayang.
Cerita Dewa Ruci mengandung berbagai makna filosofis, tarikat,
makrifat dan makna lain yang tersembunyi secara simbolisme. Kajian
cerita Dewa Ruci dari sudut pandang psikologi dan pendidikan terdapat
makna kesetiaan, rasa bakti dan hormat, patuh dan taat kepada guru
yang telah menjadi pilihannya. Dewa Ruci adalah suatu karya sastra
yang diambil dari lakon wayang purwo yang adi luhung dan isinya
dapat ditafsirkan dan dimaknai sebagai bekal dalam kehidupan. Dalam
cerita Dewa Ruci terdapat gambaran tentang perjuangan seorang murid
dengan terus menerus menuntut ilmu sehingga berhasil, dalam
ungkapan pandangan masyarakat Jawa ilmu kuwi kelakone kanthi laku
yang dapat dimaknai untuk memperoleh ilmu harus diupayakan dengan
kesungguhan sehingga berhasil. Cerita Dewa Ruci menggambarkan
perjuangan seorang murid untuk taat menjalankan tugas guru dengan
sekuat tenaga dan dengan menghadapi berbagi kesulitan sehingga
memperoleh yang dicita-citakan berupa wejangan ilmu kesempurnaan
hidup
14
Adapun muatan nilai-nilai pendidikan dalam cerita Dewa Ruci
diantaranya:
a. Pentingnya nilai ketekunan, kegigihan, keyakinan dan kepercayaan
kepada seorang guru. Diawali dari permohonan seorang murid
bernama Bima kepada guru Drona untuk dapat memberikan
wejangan ilmu tentang kesempurnaan hidup. Guru Drona
menganggap permintaan wejangan ilmu kesempurnaan hidup
merupakan permintaan yang tidak wajar karena tidak mungkin
setiap orang memilikinya, oleh karenanya Bima diperintahkan
untuk mencari tirta pawitra mahening suci yang tempatnya di
tengah hutan Tikbrasara di dalam goa Sigranggo sebagai
persyaratan. Dari kegagalannya dalam pencarian di hutan, maka
perintah kedua dari guru Drona kepada Bima untuk mencarinya di
tengah samudra. Bima dengan keyakinan penuh tanpa ragu-ragu
karena tidak mungkin seorang guru akan menjerumuskan dirinya,
dan dipercaya bahwa guru adalah sumber ilmu untuk kebahagiaan
dunia dan akhirat, maka segala perintah guru dipatuhi dengan
ketekunan, keyakinan, kesabaran dan keikhlasan dengan niat suci
akan diperoleh ilmu yang diharapkan yaitu wejangan ilmu
kesempurnaan hidup.
b. Bekerja dengan sungguh-sungguh, berani mengambil segala
resiko, tantangan dan berbagai langkah yang harus ditempuh dalam
menuntut ilmu sehingga mewujudkan hasil seperti yang
diharapkan berupa wejangan ilmu kesempurnaan hidup. Bima
15
menyerahkan diri dengan sepenuh hati kepada guru Drona, dan
Bima yakin bahwa kematian ada ditangan Tuhan, dengan
kepatuhan penuh dan ketaatan yang tinggi oleh karena itu segala
yang diperintahkan dilakukan dengan sungguh-sungguh tanpa
mempertimbangkan segala resiko membahayakan keselamatan
jiwanya. Sebagai murid, Bima berkeyakinan bahwa guru adalah
orang yang memberi petunjuk jalan kehidupan berupa ilmu, karena
di dalam diri guru melekat ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan
dunia dan akhirat oleh karena itu layak untuk dijadikan
keteladanan. Pada kenyataannya keinginan baik Bima banyak
resiko serta tantangan termasuk dari pihak keluarga sendiri bahkan
maut yang mengancam dirinya. Dengan tekad bulat, bersungguh-
sungguh dilandasi ikhlas dan niat suci akhirnya Bima memperoleh
keberhasilan yaitu bertemu dengan Dewa Ruci untuk mendapat
wejangan tentang ilmu kesempurnaan hidup.
c. Guru adalah orang yang berjasa mengajarkan ilmu dan ukuran
keberhasilan guru terletak pada kemampuan mentransfer ilmu
pengetahuan dan menanamkan perilaku normatif kepada murid
tanpa harus memandang sefihak, membedakan siapapun, dan asal-
usul murid yang dididiknya. Sedangkan keberhasilan murid dalam
pendidikan adalah apabila murid memiliki jiwa kedisiplinan,
keterampilan, kreativitas dan konsistensi tingkah lakunya. Dalam
cerita Dewa Ruci guru Drona telah berhasil membimbing
16
muridnya bernama Bima sehingga bertemu dengan Dewa Ruci
untuk memperoleh wejangan ilmu kesempurnaan hidup.
Pesan-pesan, nasehat dalam masyarakat Jawa biasanya disampaikan dalam
bentuk-bentuk simbolisme dan sindiran-sindiran. Simbolisme pendidikan
biasanya menggunakan tembang, salah satunya menggunakan media wayang yang
dilakonkan oleh seorang dalang, ketika digelar dalam pertunjukan dan dilakonkan
setiap ceritanya dapat diambil makna secara psikologis sebagai gambaran hidup
dan penilaian tentang kehidupan baik atau buruk/jahat.
Nilai yang dapat diambil dari cabang filsafat disebut aksiologi, atau nilai-
nilai yang dikehendaki oleh manusia sebagai pedoman hidup yang berkaitan dan
menyangkut masalah hubungan benar dan tepat antar pendapat-pendapat yang
dimiliki oleh setiap individu manusia. Oleh karena itu penulis mengisyaratkan
untuk berpikir dengan memanfaatkan logika dari segi etika (perilaku, norma, adat
istiadat) dan estetika (nilai keindahan). Setiap yang diterima oleh indrawi
(penglihatan, pendengaran, penciuman, perabaan, dan perasaan) perlu kiranya
menggunakan nilai positif dan obyektif. Nilai positif dan obyektif perlu
dikembangkan dengan mencari pendukung berupa teori atau musyawarah, dan
ilmu, sehingga apa yang diterima terukur dan teruji dapat dan dapat berfungsi
sebagai langkah kebijakan yang bermafaat sebagai pengalaman berharga bagi
dirinya dan motivasi bagi orang lain.
Manusia memiliki nilai yang sebenarnya bagi manusia, dengan kata lain
merupakan nilai kesempurnaan dalam kehidupan. Secara kodrati manusia
mempunyai pengetahuan tentang perilaku baik dan buruk. Ajaran, wejangan dan
khotbah yang berwujud lisan, tulisan, gambar, atau media lain adalah sekumpulan
17
informasi yang berfungsi secara psikologis untuk membedakan antara perilaku
baik dan buruk.
Berdasarkan gambaran di atas, peneliti fokus dengan rumusan masalah
dalam penelitian ini dengan mengumpulkan data studi dokumentasi yang
dilakukan secara purposive, cerita wayang kulit purwa lakon Dewa Ruci sangat
unik dan dapat ditafsirkan dari unsur tarikat dan makrifat. Peneliti meyakini
bahwa dari segi aksiologi, cerita Dewa Ruci didalamnya terkandung muatan
nilai-nilai pendidikan yang dapat berfungsi secara psikologis sebagai tontonan,
tuntunan, dan motivasi diri, dengan bebas manusia dapat menangkap stimuli yang
digambarkan dalam cerita, difahami dari segi etika dan estetika tentang muatan
nilai-nilai yang terkandung dan dapat berfungsi sebagai motivasi diri baik dengan
perubahan maupun tanpa perubahan, yang merupakan jawaban dari pertanyaan
rumusan masalah dalam penelitian ini: cerdas, memahami, dan motivasi diri
(cemeti).
4. Penutup
Aksiologi mengisyaratkan sebagai ilmu yang mempertanyakan bagaimana
manusia menggunakan ilmunya, oleh karena itu apabila dalam proses pendidikan
mengabaikan nilai-nilai yang diajarkan oleh guru, dimana di dalam pribadi
seorang guru melekat ilmu yang bermanfaat bagi kehidupan dunia dan akhirat
maka akan mengalami kegagalan dalam pendidikannya. Dalam cerita Dewa Ruci
terdapat nilai pendidikan yang mengandung makna bahwa untuk memperoleh
ilmu harus diupayakan dengan maksimal, sabar, ikhlas, niat suci dan diupayakan
untuk menghasilkan hasil belajar yang maksimal pula. Muatan nilai-nilai dalam
18
penelitian ini menggambarkan betapa gigihnya seorang murid yang bernama Bima
menaati perintah guru Drona dengan penuh tanggung jawab, rasa hormat, setia,
patuh dan menjalankannya dengan sepenuh hati sehingga dapat bertemu dengan
Dewa ruci untuk memperoleh wejangan ilmu kesempurnaan hidup.
Wayang sebagai budaya asli bangsa Indonesia terutama masyarakat Jawa.
Budaya yang adi luhung penuh dengan nilai-nilai kearifan yang sudah mendapat
pengakuan dari Badan dunia (UNESCO) pada tanggal 7 November 2003. Wayang
kulit purwo sebagai sumber informasi dan komunikasi yang tidak pernah kering
untuk ditimba dan sebagai warisan nenek moyang memiliki derajat tinggi,
sebaiknya tidak ditinggalkan terutama bagi generasi mudanya karena jika dikaji
dengan mendalam terdapat banyak muatan nilai-nilai luhur sesuai dengan
peradaban, kearifan lokal, dan jati diri bangsa Indonesia yang berdasarkan
Pancasila.
Penulis merekomendasikan kepada generasi muda untuk dapat menggali
tentang wayang secara lebih mendalam baik ditingkat etika maupun estetika pada
setiap cerita lakonnya. Melihat dan mengenal wayang, manusia akan sadar
tentang kehidupan dirinya sebagai manusia, karena dalam pergelaran wayang
setiap lakonnya menceritakan dan memberi gambaran tentang kehidupan manusia.
Sebagai warisan leluhur dan kearifan lokal yang penuh dengan makna simbolis
dapat ditafsirkan sebagai media komunikasi, informasi dan inspirasi untuk
membangun karakter dan motivasi karena terdapat banyak figur yang dapat
diteladani dari perilaku baik dan tidak baik
19
DAFTAR PUSTAKA
AY. Soegeng Ysh. 2013. Landasan Pendidikan Karakter. Semarang: IKIP PGRI
Press
Alo Liliweri. 2003. Dasar-dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar
Ardian Kresna.2012. Bima Sejati. Yogyakarta: DIVA Press.
Barnadib Imam. 2013. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Penerbit Ombak
DeVito J.1996. Komunikasi Antarmanusia. Jakarta: Professional Books.
Hidayatullah Furqon. 2009. Guru Sejati. Surakarta: Yuma Pustaka.
Isjoni.2008. Guru Sebagai Motivator Perubahan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Mubsikin Imam. 2011. Serat Dewaruci. Yogyakarta: DIVA Press.
Matsumoto David. 2008. Pengantar Psikologi Lintas Budaya. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Mulyana Dedy. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung Remaja
Rosdakarya
Made Purna, Mintosih. 1995. Arti dan Makna Tokoh Pewayangan Mahabarata
Dalam Pembentukan Dan Pembinaan Watak. Jakarta : Departemen
Pendidikan Nasional.
DeVito J.1996. Komunikasi Antarmanusia. Jakarta: Professional Books.
Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga 2005. Jakarta: Balai Pustaka
Ki Ageng Kapalaye.2010. Kamus Pintar Wayang. Yogyakarta: Laksana.
Ki Hajar Dewantara 1977. Pendidikan. Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan
Taman Siswa
Lestari S, 2014, Psikologi Keluarga, Jakarta; Kencana
Maharsi. 2012. Kamus Jawa Kawi – Indonesia. Yogyakarta: Pura Pustaka.
Marwanto. 2000. Apresiasi Wayang. Sukoharjo: Cendrawasih.
Mulyono S.1987. Wayang dan Filsafat Nusantara. Jakarta: Gunung Agung
__________. 1979. Wayang dan Karakter Manusia. Jakarta: Gunung Agung
__________. 1987. Tripama Watak Satria dan Sastra Jendra. Jakarta: Gunung
Agung
20
Pitoyo Amrih. 2010. Resi Durna. Yogyakarta: DIVA Press.
Prihartanti Nanik. 2004. Kepribadian Sehat Menurut Konsep Suryomentaram.
Surakarta: Universitas Muhammadiyah Press
Purwanto Ngalim. 2007. Psikologi Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta
Purwadi. 2007. Mengkaji Serat Dewaruci. Yogyakarta: Panji Pustaka
Ra’uf Amin. 2010. Jagad Wayang. Yogyakarta: Garailmu.
R. Tanoyo. Lelampahipun Bimo Suci. Karaton Surakarta
R.M. Sayid. 1981. Ringkasan Sejarah Wayang. Jakarta: Pradnya Paramita
R.Ng. Yosodipuro I. (Disalin Yanto 1985). Serat Suluk Dewaruci. Surakarta:
Sana Pustaka Karaton Surakarta.
Risieri Frondizi. 2011. Pengantar Filsafat Nilai. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Rizal Mustansyir 2015. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rohmat Mulyana. 2004. Mengaktualisasikan Pendidikan Nilai. Bandung:
Alfabeta
Sastrohardjono. Bima Sutji. Solo: Sau Budi. Sedyawat Edi. 1983. Seni Dalam
Masyarakat Indonesia. Jakarta: PT gramedia
Sudjono Irwan. Kawruh Wayang Purwa. 2000. Sukoharjo: Cendrawasih
Sedyawati Edi.2010. Budaya Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada
____________ 1983. Seni Dalam Masyarakat Indonesia. Jakarta: PT gramedia
Siswoharsojo. 1957. Serat Bima Paksa. Yogyakarta: Gondolayu
Seno Sastroamidjojo. 1967. Dewa Rutji. Jakarta: Kinta Sadiman Arif (dkk).
2008. Media Pendidikan. Jakarta: P.T. Rajagrafindo Persada
Supratiknya. 1995. Komunikasi Antarpribadi. Yogyakarta: Kanisius
Supardi Imam. 1960. Dewa Rutji Winardi. Surabaya: Panyebar Semangat
Syaiful Bahri Djamarah.2005. Guru dan Anak Didik Dalam Interaksi Edukatif.
Jakarta:P.T. Rineka Cipta.
Sudarko. 1991. Dewa Ruci. Sukoharjo: Cendrawasih
Sudarwan Danim. 2007. Metode Penelitian Untuk Ilmu Perilaku. Jakarta: Bumi
Aksara
Setiawan Heru. 2005. “Adegan Dewaruci dalam Pertunjukkan Wayang Kulit
Purwa:Tinjauan Aspek Pembentukan” Kepribadian Sehat.
Jurnal Indegenous Vol.7, No.2, Nopember 2005. 97-106.
21
Sugiarta Sriwibawa. 2000. Citra Bima. Jakarta: Universitas Indonesia (UI Press)
Sugiyono. 2008. Memahami Pendidikan Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Sukatno. Wayang Kulit Purwo. Semarang: Aneka Ilmu.
Sunardi D.M. 1986. Barata Yudha. Jakarta: Balai Pustaka
Soetarno A.K.1987. Ensiklopedia Wayang. Semarang: Effhar Offset
Soetjipto.2004. Profesi Keguruan. Jakarta: Pusat Perbukuan DEPDIKNAS dan
PTRinekaCipta
Sujamto.1995. Wayang & Budaya Jawa. Semarang: Effhar Offset
Suhartono Suparlan. 2007. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media
Susantiana Sukatmi. 2010. Ensiklopaedi Wayang. Yogyakarta: Media Abadi
Supardi Imam. 1960. Dewa Rutji Winardi. Surabaya: Panyebar Semangat
Sutarno. 1995. Wayang Kulit Jawa. Sukoharjo: Cendrawasih
Suyamto. 1995. Wayang dan Budaya Jawa. Semarang : Effhar
Siswoharsoyo. 1966. Tafsir Kitab Dewaruci. Yogyakarta: PT. JAKE
Syaiful Sagala. 2008. Budaya dan Reinventing Organisasi Pendidikan.
Bandung: Alfabeta
Sutarso J, Murtiyoso Bambang. “Wayang Sebagai Sumber dan Materi
Pembelajaran Pendidikan Budi Pekerti Berbasis Budaya Lokal”
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah
Surakarta.
Tanojo.1962. Serat Dewaruci Kidung. Surakarta.
Tedi Priatna. 2012. Etika Pendidikan. Bandung: Pustaka Setia.
Tri Dayaksini. 2008. Psikologi Lintas Budaya. Malang : UMM Press.
The Journal of Social Studies Education vol 1/Marc 2012.
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM 2012. Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Liberty
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 tahun 2003. 2006. Sistem
Pendidikan Nasional. Bandung: Fokus Media Walgito Bimo. 2010.
Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset
Walgito Bimo. 2010. Pengantar Psikologi Umum. Yogyakarta: Andi Offset
Yanuar A.2015. Rahasia Jadi Guru Favorit dan Inspiratif. Yogyakarta: DIVA
Zainuddin HM. 2008. Reformasi Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar