sapaan dalam novel sekali peristiwa di banten selatan1].pdf · ditunjuk oleh bahasa atau referent...
TRANSCRIPT
-
i
SAPAAN
DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memeperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Bayu Andhika Sugiarto
NIM: 034114049
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA
JURUSAN SASTRA INDONESIA FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA
YOGYAKARTA
2007
-
ii
Skripsi
SAPAAN
DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
Oleh
Bayu Andhika Sugiarto
NIM: 034114049
Telah disetujui oleh
Pembimbing I
Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum. tanggal 27 Juli 2007
Pembimbing II
Drs. Hery Antono, M. Hum. tanggal 27 Juli 2007
ii
-
iii
Skripsi
SAPAAN
DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
Dipersiapkan dan ditulis oleh
Bayu Andhika Sugiarto
NIM: 034114049
Telah dipertahankan di depan Panitia Penguji
Pada 14 Agustus 2007
Dan dinyatakan memenuhi syarat
Susunan Panitia Penguji
Nama Lengkap Tanda Tangan
Ketua Drs. B. Rahmanto, M. Hum. ..................................
Sekretaris Drs. Hery Antono, M.Hum ..................................
Anggota 1. Drs. P. Ari Subagyo, M. Hum. ..................................
2. Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum ..................................
3. Drs. Hery Antono, M. Hum. ..................................
Yogyakarta, 31 Agustus 2007
Fakultas Sastra
Universitas Sanata Dharma
Dr. Fr. B. Alip, M. Pd., M.A.
Dekan
iii
-
iv
Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan,
sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan. ( Q.S. Alam Nasyrah: 5 dan 6)
”Di mana-mana aku selalu dengar: Yang benar juga akhirnya yang menang. Itu benar; Benar sekali. Tapi kapan? Kebenaran tidak
datang dari langit, dia mesti diperjuangkan untuk menjadi benar” - Prameodya Ananta Toer -
skripsi ini kupersembahkan untuk bapak dan ibuku
iv
-
v
ABSTRAK
Sugiarto, Bayu Andhika. 2007. ”Sapaan dalam Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan Karya Pramoedya Ananta Toer”. Skripsi Strata Satu (S1). Yogyakarta: Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Skripsi ini membahas sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Tujuan dari penelitian ini mendeskripsikan dasar pembentukan sapaan dan faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif. Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan sosiolinguistik. Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode simak, yaitu menyimak penggunaan bahasa. Penyimakan dilakukan terhadap sapaan yang terkandung dalam tuturan novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Pada tahap penyimakaan ini digunakan teknik sadap, dilanjutkan dengan teknik simak bebas libat cakap. Kemudian dilanjutkan lagi dengan teknik catat, yaitu dengan melakukan pencatatan pada kartu data yang segera dilanjutkan dengan klasifikasi. Data yang akan dianalisis dibatasi dengan penentuan sampel secara tidak acak, berdasarkan kriteria tertentu. Dalam penelitian ini digunakan penentuan sampel bertujuan, yaitu pembatasan data berdasarkan tujuan penelitiannya. Pada tahap analisis data digunakan metode padan referensial dan metode padan pragmatis. Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya dari luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan. Alat penentu metode padan referensial ialah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent bahasa, sedangkan alat penentu metode padan pragmatis adalah orang yang menjadi mitra wicara. Kedua metode ini dilaksanakan dengan teknik dasar teknik pilah unsur penentu (teknik PUP) dan teknik lanjutan teknik hubung banding menyamakan (teknik HBS). Hasil analisis data berupa kaidah penggunaan sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Hasil analisis tersebut disajikan dengan metode penyajian informal, yaitu perumusan kaidah tersebut dengan kata-kata dan metode formal, yaitu perumusan kaidah dengan tanda dan lambang. Dasar pembentukan sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer, yaitu nama diri, istilah kekerabatan, gelar, kombinasi, dan sapaan lain. Dasar pembentukan sapaan tersebut dipakai secara utuh dan dalam bentuk penggal. Faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer, yaitu status sosial, keintiman, hubungan kekerabatan, jenis kelamin, jabatan, etnis, status perkawinan, dan situasi. Setiap pemakaian sapaan dalam tuturan yang terdapat dalam novel ini dipengaruhi oleh beberapa faktor sekaligus. Selain itu, variasi sapaan tersebut disebabkan karena ranah tuturan dan hubungan sosial.
v
-
vi
ABSTRACT
Sugiarto, Bayu Andhika. 2007. Address in Sekali Peristiwa di Banten Selatan novel by Pramoedya Ananta Toer. S1 thesis. Yogyakarta: Indonesian Letters Study Program, Indonesian Letters Department, University of Sanata Dharma.
This thesis discusses address in Sekali Peristiwa di Banten Selatan novel
by Pramoedya Ananta Toer. The objective is to describe basic formation of address and factors influencing its choice in Sekali Peristiwa di Banten Selatan novel by Pramoedya Ananta Toer.
This is a descriptive study with sociolingustic approach Scrutinize method in language usage was used for data gathering. Scrutiny was carried out on addresses in speeches of Sekali Peristiwa di Banten Selatan novel by Pramoedya Ananta Toer. In this stage, tapping technique continued with free scrutiny including conversation was used. Noting technique, i.e., by creating notes in data cards for clarification, was subsequently used. The data were analyzed with non-random sample choice based on certain criteria. In this study purposeful sampling, i.e., data limitation based on study objective, was used.
Referential and pragmatic matching methods were used for data analysis. Matching method is data analysis method with external decision tool, free and independent of the language. Decision tool for referential matching method was facts referred by the language, whereas decision tool for pragmatic matching was speech partner. Both methods was carried out using dividing-key-factors technique (PUP Technic) and corelation of the equalizing technique (HBS Technic). Data analysis result was principle of address use in Sekali Peristiwa di Banten Selatan novel by Pramoedya Ananta Toer. These results were presented with informal presentation method, i.e., principle formulation using words; and formal method, i.e., principle formulation using signs and symbols.
Address formation basic in Sekali Peristiwa di Banten Selatan novel by Pramoedya Ananta Toer are proper name, kinship terms, title, combination and other addresses. These are wholly and partially used Factors influencing the use of address in Sekali Peristiwa di Banten Selatan novel by Pramoedya Ananta Toer were social status, intimacy, kinship, sex, position, ethnicity, marital status, and situation. Each use of address in speech in the novel were influenced by some factors simultaneously. Besides, its variations were caused by speech domain and social relationship.
vi
-
vii
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah SWT karena penulis telah
menyelesaikan penyusunan skripsi ini. Skripsi berjudul ”Sapaan dalam Novel
Sekali Peristiwa di Banten Selatan Karya Pramoedya Ananta Toer” ini diajukan
untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Sastra
Indonesia. Kami mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah
membantu penyusunan skripsi ini, antara lain:
1. Dr. I. Praptomo Baryadi, M. Hum. selaku pembimbing I sekaligus dosen
yang telah membagi pengetahuan serta memberikan bimbingan, saran,
kritik, dan motivasi terhadap kami.
2. Drs. Hery Antono, M. Hum. selaku pembimbing II, dosen, dan
pembimbing akademik yang telah membagi pengetahuan, membantu
penyusunan skripsi ini, serta memberikan motivasi kepada kami.
3. Drs. B. Rahmanto, M. Hum., Drs. P. Ari Subagyo, M. Hum., Drs. F. X.
Santoso, M. S., Drs. Yoseph Yapi Taum, M. Hum., S. E. Peni Adji, S. S.,
M. Hum., Dra. Fr. Tjandrasih Adji, M. Hum., serta dosen tamu di Sastra
Indonesia yang telah membagi pengetahuan serta memotivasi kami.
4. Staf sekretariat Fakultas Sastra dan staf Universitas Sanata Dharma yang
telah membantu kelancaran seluruh urusan kuliah.
5. Teman-teman mahasiswa Sastra Indonesia yang telah berjuang bersama
mencari pengetahuan.
Penulis telah berusaha dengan maksimal dalam penyusunan skripsi ini.
Namun, penulis sadar bahwa skripsi ini masih belum sempurna. Oleh karena itu,
penulis mengharapkan saran dan kritik yang membangun terhadap skripsi ini dari
pembaca. Penulis akan bertanggungjawab atas setiap kesalahan dalam skripsi ini.
Terima kasih.
Penulis
vii
-
viii
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak
memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam
kutipan dan daftar pustaka sebagaimana layaknya karya ilmiah
Yogyakarta, Agustus 2007
Penulis
viii
-
ix
DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING .............................................. ii HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ...................................................... iii HALAMAN PERSEMBAHAN .................................................................... iv ABSTRAK ..................................................................................................... v ABSTRACT ..................................................................................................... vi KATA PENGANTAR ................................................................................... vii PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ........................................................ viii DAFTAR ISI .................................................................................................. ix DAFTAR TABEL .......................................................................................... xi BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ............................................................................ 1 1.2. Rumusan Masalah ....................................................................... 4 1.3. Tujuan Penelitian ........................................................................ 4 1.4. Manfaat Penelitian ...................................................................... 5 1.5. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 5 1.6. Landasan Teori
1.6.1. Sapaan ................................................................................ 8 1.6.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemakaian Sapaan ..... 9 1.6.3. Ranah (Domain) .................................................................. 11 1.6.4. Konteks .............................................................................. 12 1.6.5. Panggilan ............................................................................ 12 1.6.6. Kata Ganti .......................................................................... 13 1.6.7. Hubungan Antar Manusia .................................................. 13
1.7. Metode Penelitian 1.7.1. Jenis Penelitian ................................................................... 14 1.7.2. Pendekatan ......................................................................... 14 1.7.3. Metode dan Teknik Penelitian
1.7.3.1. Tahap Pengumpulan Data ....................................... 15 1.7.3.2. Tahap Analisis Data ................................................ 16 1.7.3.3. Tahap Penyajian Hasil Analisis Data ...................... 16
1.8. Sistematika Penyajian ................................................................. 17
BAB II DASAR PEMBENTUKAN SAPAAN DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER.
2.1. Pengantar ..................................................................................... 18 2.2. Nama Diri .................................................................................... 19 2.3. Istilah Kekerabatan ...................................................................... 22 2.4. Gelar ............................................................................................ 25 2.5.Istilah Pertemanan......................................................................... 27 2.6. Kombinasi ................................................................................... 28 2.6.1. Kombinasi Istilah Kekerabatan dan Nama Diri ......... 29
ix
-
x
2.6.2. Kombinasi Istilah Kekerabatan dan Jabatan .............. 29 2.6.3. Kombinasi Gelar dan Nama Diri ................................ 31 BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PEMAKAIAN SAPAAN DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER.
3.1. Pengantar ..................................................................................... 33 3.2. Status Sosial ................................................................................ 34 3.3. Keakraban ................................................................................... 38 3.4. Status Perkawinan ....................................................................... 40 3.5. Jabatan ......................................................................................... 42 3.6. Kekerabatan ................................................................................. 44 3.7. Jenis Kelamin .............................................................................. 47 3.8. Etnis ............................................................................................ 49 3.9. Situasi .......................................................................................... 51 3.10. Ranah dan Hubungan Sosial ..................................................... 54 3.10.1. Ranah ....................................................................... 54 3.10.2. Hubungan Sosial ...................................................... 55 BAB IV PENUTUP 4.1. Kesimpulan ................................................................................. 59 4.2. Saran ............................................................................................ 63 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 64 LAMPIRAN ............................................................................................... 66
x
-
xi
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Kata Ganti ........................................................................................ 13 Tabel 2. Sapaan yang Dibentuk Berdasarkan Nama Diri .............................. 22 Tabel 3. Sapaan yang Dibentuk Berdasarkan Istilah Kekerabatan ................. 25 Tabel 4. Sapaan yang Dibentuk Berdasarkan Gelar........................................ 27 Tabel 5. Sapaan yang Dibentuk Berdasarkan Kombinasi............................... 32 Tabel 6. Hubungan Sosial Penutur dan Mitra Tutur ...................................... 58 Tabel 7. Dasar Pembentukan Sapaan dalam Novel Sekali Peristiwa di
Banten Selatan Karya Pramoedya Ananta Toer ............................... 59 Tabel 8. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemakian Sapaan dalam
Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan Karya Pramoedya Ananta Toer ...................................................................................... 60
xi
-
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam skripsi ini dianalisis mengenai penggunaan sapaan dalam novel
Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Sapaan
merupakan salah satu jenis kata yang mengandung konsep makna dan mempunyai
peran di dalam pelaksanaan bahasa. Subiyakto-Nababan (1992: 153) berpendapat
bahwa kata sapaan adalah kata atau istilah yang dipakai orang kepada lawan
bicara. Kata sapaan berkaitan erat dan berdasarkan tanggapan atau persepsinya
atas hubungan pembicara dengan lawan bicara. Chaer (1998: 107) mengatakan
bahwa kata-kata yang digunakan untuk menyapa, menegur, atau menyebut orang
kedua, atau orang yang diajak bicara disebut kata sapaan.
Sapaan muncul tidak hanya dalam suatu tuturan lisan, tetapi juga tuturan
yang diwujudkan dalam suatu tulisan. Contoh tulisan yang memuat bentuk-bentuk
sapaan dalam suatu tuturan adalah karya sastra, khususnya naskah drama dan
novel. Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer
menjadi sumber data penelitian ini.
Data penelitian diambil dari tuturan-tuturan yang mengandung bentuk
sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta
Toer. Beberapa contoh tuturan yang mengandung bentuk sapaan dalam novel ini
sebagai berikut:
-
2
(1). Ireng muncul di ambang pintu. Bersuara ramah dan agak keras, tetapi nyata suaranya terdengar sumbang:
Siapa sih panggil-panggil itu? O, Juragan Musa. Duduk, Gan! Tanpa menoleh ke belakang Musa menyambut: Mulai kapan sih, pura-pura tak kenal aku? Ireng merapihkan bale bambu sambil menjawab: Bukannya pura-pura tak kenal, Gan. Memang tidak tahu sih. (hlm.
16) (2). Ranta bangun dan duduk, ditariknya tangan Ireng dan dengan lemahlembutnya berkata dengan kata-kata yang keluar satu-satu, jelas, pelahan, dan penuh kasih sayang: Ada waktunya, Reng, kita akan hidup baik dan senang. Nanti. Insya Allah, Pak. Kita sudah cukup bekerja –kita berdua. Tetapi rejeki masih juga di tangan Tuhan. (hlm. 19) (3). Nyonya tak dapat menjawab, hanya menyembunyikan mukanya ke dalam kedua belah telapak tangannya. Dari balik telapak tangan itu terdengar suaranya yang kacaubalau: Apa yang mesti kukatakan, Pak Komandan? Komandan itu tak mengambil pusing Nyonya dan kemudian mendesak Juragan Musa; Dengar, Juragan Musa. Daerah sini daerah paling kacau. Sudah kuusahakan bermusyawarah dengan orang-orang terkemuka di sini… (hlm. 66)
(4). Paduan suara yang demikian terdengar berulang-ulang akhirnya terdengar serumpun percakapan diselangseling tawa dan canda: … Ayoh, tinggal satu pasak lagi. Ayoh, kawan-kawan, habiskan. Tinggal satu. (hlm. 110)
Sapaan yang terdapat dalam penggalan dialog di atas dicetak tebal.
Contoh (1) mengandung sapaan yang dibentuk berdasarkan gelar, yaitu
Gan yang merupakan penggalan sapaan Juragan. Sapaan yang dibentuk
berdasarkan nama diri dan istilah kekerabatan terkandung dalam contoh (2), yaitu
Reng yang merupakan penggalan sapaan yang berupa nama diri Ireng dan Pak
merupakan penggalan istilah kekerabatan bapak. Contoh (3) mengandung sapaan
yang dibentuk berdasarkan kombinasi, antara lain: Pak komandan dan Juragan
-
3
Musa. Sapaan kawan-kawan dalam contoh (4) merupakan sapaan yang dibentuk
berdasarkan sapaan lain. Istilah ini muncul karena sapaan kawan-kawan tidak
dapat diklasifikasikan ke dalam dasar pembentukan sapaan lainnya.
Ada dua hal yang akan dianalisis dalam penelitian ini, yaitu analisis
terhadap dasar pembentukan sapaan dan faktor-faktor yang mempengaruhi
pemakaian sapaan. Analisis terhadap dasar pembentukan sapaan dilakukan untuk
membuktikan penggunaan istilah tertentu (perbendaharaan kata bidang tertentu)
sebagai sapaan. Hal ini berdasarkan pendapat Chaer (1998: 107) bahwa kata-kata
sapaan ini tidak mempunyai perbendaharaan kata sendiri, tetapi menggunakan
kata-kata dari perbendaharaan kata nama diri dan kata nama perkerabatan.
Penggunaan sapaan yang bervariasi, seperti beberapa contoh di atas,
merupakan alasan utama menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi
pemakaian sapaan dalam penelitian ini. Hal ini berdasarkan anggapan bahwa ada
faktor tertentu yang mempengaruhi seseorang memakai sapaan tertentu dalam
pelaksanaan bahasa.
Sapaan merupakan salah satu fenomena unik yang sering muncul dalam
tuturan. Dikatakan unik karena lawan bicara dapat disapa dengan nama diri,
istilah kekerabatan, gelar, kombinasi, atau istilah sapaan lain. Misalnya, lawan
bicara yang seorang dokter laki-laki bernama Rudi dapat disapa Rudi, Pak, Dok,
Dokter Rudi, atau Rekan. Hal ini tergantung hubungan pembicara dengan mitra
bicara.
Selain itu, identifikasi latar belakang etnis, jabatan, status perkawinan, dan
jenis kelamin seseorang dapat ditunjukkan melalui sapaan. Misalnya, wanita dari
-
4
masyarakat keturunan Cina biasa disapa Cik. Seorang camat disapa Pak Camat.
Istri seorang camat disapa Bu Camat. Sapaan Cik dan Bu menunjukkan bahwa
orang yang disapa tersebut berjenis kelamin perempuan. Sapaan Pak
menunjukkan orang yang disapa berjenis kelamin laki-laki.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini
dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.2.1. Apa dasar pembentukan sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten
Selatan karya Pramoedya Ananta Toer?
1.2.2. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel
Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer?
1.3. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah:
1.3.1. Mendeskripsikan dasar pembentukan sapaan dalam novel Sekali Peristiwa
di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer.
1.3.2. Mendeskripsikan faktor-faktor yang mempengaruhi pemakaian sapaan
dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta
Toer.
1.4. Manfaat Penelitian
-
5
Penelitian ini merupakan penerapan teori linguistik terhadap realitas
penggunaan bahasa yang diwujudkan dalam bentuk karya sastra, khususnya novel
Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Penelitian ini
diharapkan dapat membantu pembaca novel tersebut dalam membedakan antara
sapaan dengan kata ganti dan panggilan.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu pembaca untuk
mengetahui dasar-dasar pembentukan sapaan dalam novel tersebut. Selain itu,
pembaca diharapkan terbantu dalam memahami faktor-faktor yang mempengaruhi
pemakaian sapaan yang ada dalam novel tersebut melalui hasil penelitian ini.
Penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi perkembangan ilmu bahasa dan
menambah perbendaharaan kepustakaan ilmu bahasa, khususnya sosiolinguistik.
Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan membantu analisis-analisis sapaan
selanjutnya.
1.5. Tinjauan Pustaka
Pada tahun 1986, Wirastri telah melakukan penelitian dengan topik
sapaan. Penelitian ini berjudul ”Kata Sapaan dalam Bahasa Indonesia: Tinjauan
Deskriptif tentang Pemakaian Kata Sapaan dalam Bahasa Indonesia Menurut
Lingkungan, Perasaan, dan Hubungan Antarpemakai Bahasa”. Dari hasil
penelitian ini, Wirastri (1986: 132-133) menyimpulkan empat hal. Kata sapaan
dapat berupa kata sapaan asli (kata ganti orang) dan kata sapaan pinjaman. Kata
ganti orang biasanya bersifat netral, tidak menunjukkan lingkungan, perasaan
serta hubungan antarpemakai bahasa, tetapi ada beberapa kata ganti orang yang
-
6
menunjukkan lingkungan, perasaan serta hubungan antarpemakai bahasa. Kata-
kata itu biasanya berasal dari kata sapaan pinjaman tetapi sudah tidak terasa
sebagai kata sapaan pinjaman (misalnya: saya, kami, kamu). Kata sapaan
pinjaman lebih sering digunakan daripada kata sapaan asli. Sebutan dan ganti
nama sebagai kata sapaan pinjaman lebih dapat menunjukkan lingkungan dan
perasaan serta hubungan antarpemakai bahasa. Ada beberapa sapaan yang
mengalami perubahan kelas yang disebabkan oleh seringnya dipakai dan karena
pinjaman dari kelas lain.
Analisis sapaan dalam novel pernah dilakukan oleh Maria Enny Hirawati
pada tahun 1997 dalam skripsinya yang berjudul ”Analisis Bentuk Sapaan dalam
Tuturan Antartokoh Cerita Novel Para Priyayi karya Umar Kayam (Pendekatan
Sosiolinguistik)”. Dari hasil penelitian tersebut, Hirawati menyimpulkan bahwa
ada 86 bentuk sapaan dan jenis sapaan yang terdapat dalam tuturan antartokoh
cerita novel Para Priyayi karya Umar Kayam, ada 97 macam bentuk relasi antara
penyapa dan pesapa yang terdapat dalam tuturan antartokoh cerita novel Para
Priyayi karya Umar Kayam yang dapat diklasifikasikan dalam dua kelompok,
yaitu betuk relasi kekerabatan dan nonkekerabatan (1997: 274-285). Faktor-faktor
yang mempengaruhi penentuan bentuk sapaan, antara lain: participant, jenis
kelamin, keintiman hubungan, hubungan kekerabatan, usia, ends, status sosial,
hubungan nonkekerabatan, setting, scene, norm of interactin and interpretation,
act of sequence, ketidakintiman hubungan, key, genre, dan status perkawinan. Ada
beberapa bentuk sapaan yang pemakaiannya tidak sesuai dengan SPEAKING-nya,
-
7
relasi antarpeserta tutur, dan norma komunikasi masyarakat Jawa (Hirawati, 1997:
xxii).
Suhardi dkk. pada tahun 1984-1985 melakukan penelitian terhadap sistem
sapaan bahasa Jawa. Dari hasil penelitian tersebut, Suhardi dkk. menyimpulkan
lima hal. Pertama, bentuk-bentuk sapaan bahasa Jawa berhubungan erat dengan
sistem perkerabatan, dan beberapa di antaranya berkaitan dengan gelar
kebangsawanan. Kedua, pemilihan bentuk-bentuk sapaan di dalam tindak
komunikasi ditentukan oleh berbagai faktor yang berhubungan dengan penutur,
lawan bicara, dan situasi bicara. Ketiga, penuturan bentuk-bentuk sapaan bahasa
Jawa menampakkan berbagai bentuk, setiap perubahan bentuk bertalian erat
dengan keakraban dan penghormatan. Keempat, karena luasnya pemakaian
bahasa, kata-kata sapaan bahasa Jawa tidak jarang mengalami perubahan
(perluasan dan penyempitan) arti sehingga sering sangat sulit dirunut bentuknya
secara etimologis. Kelima, eratnya pemakaian bahasa Jawa dengan bahasa
Indonesia dan bahasa asing menyebabkan masuknya beberapa kata sapaan kedua
bahasa itu ke dalam bahasa Jawa (Suhardi dkk., 1985: 102).
Penelitian terhadap sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan
karya Pramoedya Ananta Toer ini berbeda dengan penelitian-penelitian yang telah
diuraikan di atas. Novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya
Ananta Toer ini menjadi sumber data penelitian ini. Dalam penelitian ini, sapaan
dibedakan dari kata ganti orang (pronomina persona) dan panggilan.
-
8
1.6. Landasan Teori
1.6.1. Sapaan
Chaer (1998: 107) mengatakan bahwa kata-kata yang digunakan untuk
menyapa, menegur, atau menyebut orang kedua, atau orang yang diajak bicara
disebut kata sapaan. Kata-kata sapaan ini tidak mempunyai perbendaharaan kata
sendiri, tetapi menggunakan kata-kata dari perbendaharaan kata nama diri dan
kata nama perkerabatan. Chaer (1998: 109) juga memberikan catatan bahwa kata
Bapak dalam kalimat ”Pak, apakah Bapak tahu ..?” adalah sebagai kata benda,
bukan kata sapaan.
Kata sapaan yaitu kata atau istilah yang dipakai menyapa lawan bicara.
Sapaan terdiri atas nama kecil, gelar, istilah perkerabatan, nama keluarga (bagi
suku bangsa yang mempunyai sistem itu), nama hubungan perkerabatan dengan
nama seorang kerabatnya (disebut tektonimi), kombinasi dari yang di atas. Kata
sapaan yang dipakai orang kepada lawan bicara berkaitan erat dengan, dan
berdasarkan, tanggapan atau persepinya atas hubungan pembicara dengan lawan
bicara (Subiyakto-Nababan, 1992: 153).
Suhardi dkk (1985: 6, 12) –mengutip pendapat Bloomfield- menyebutkan
bahwa sapaan itu termasuk kalimat minor yang dioposisikan dengan kalimat
lengkap, sapaan berupa kalimat minor, bukan klausa, dan masuk dalam konstruksi
yang lebih besar secara parataktik. Parataksis adalah hubungan antara dua kalimat,
klausa, frase, atau lebih, yang mempunyai tataran yang sama; koordinasi antara
klausa-klausa (Kridalaksana, 1980: 120). Sapaan itu ada dalam tataran yang sama
-
9
dengan klausa, sapaan tidak merupakan pendukung makna inti dalam keseluruhan
kalimat (Suhardi dkk, 1985: 10)
Jadi, sapaan adalah kata atau gabungan kata yang dipakai untuk menyebut
orang yang diajak bicara. Sapaan berbeda dengan kata ganti karena bukan
pendukung makna inti dalam suatu tuturan. Sapaan berbeda dengan panggilan
karena dioposisikan dengan kalimat.
1.6.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pemilihan Sapaan
“Language varies according to its uses as well as its users, according to
where it is used and to whom, as well as according to who is using it” (Holmes,
2001: 223). ”The speaker’s relatioship to the addressee is crucial in determining
the appropiate style of speaking. And how you know someone or how close you
feel to them –relative social distance/ solidarity- is important dimension of social
relationship. Many factors may contribute in determining the degree af social
distance or solidarity between people –relative age, gender, social roles, whether
people work together, or are part of the same family, and so on. These factors
may also be relevant to people’s relative social status.” (Holmes, 2001: 224).
Supriyanto dkk. (1986: 9) -mengutip pendapat Tarner- mengatakan bahwa
dalam tindak bahasa pada hakikatnya seorang penutur telah mengambil
keputusan untuk memilih suatu variasi tertentu yang berupa bentuk-bentuk
linguistik. Pengambilan keputusan ini sebenarnya melalui suatu proses yang
banyak ditentukan oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang menentukan ialah:
jarak sosial, situasi, dan topik pembicaraan.
-
10
Jarak sosial dapat dilihat dari sudut vertikal ataupun horisontal. Dimensi
vertikal akan menunjukkan apakah seseorang itu berada di atas atau di bawah
(berkedudukan tinggi atau lebih rendah). Dimensi vertikal ini merupakan sebuah
alat untuk menempatkan seseorang dalam kontinum hormat dan tidak hormat.
Dimensi sosial ini misalnya kelompok umur, kelas, status perkawinan. Sedangkan
dimensi horisontal menunjukkan kontinum akrab dan tidak akrab. Misalnya
derajat persahabatan, jenis kelamin atau seks, latar belakang etnik atau agama,
latar belakang pendidikan, jarak tempat tinggal.
Suhardi dkk. (1985: 6) -mengutip pendapat Suseno Kartomihardjo-
mengatakan bahwa faktor-faktor yang menentukan pemilihan sapaan, yaitu
situasi, etnik, kekerabatan, keintiman, status, umur, jenis kelamin, status
perkawinan, dan asal. Suhardi dkk. (1985: 60) mengatakan bahwa munculnya
kata-kata sapaan itu dalam suatu peristiwa atau tindak komunikasi biasanya
ditentukan oleh berbagai faktor yang erat berkaitan dengan penutur, lawan bicara,
dan situasi penuturan.
Situasi adalah unsur-unsur luar bahasa yang berhubungan dengan ujaran
atau wacana sehingga ujaran atau wacana tersebut bermakna (Kridalaksana, 1982:
115). Etnis merupakan hal-hal yang berkaitan dengan suku bangsa atau ras
(Soekanto, 1983: 172). Kekerabatan adalah hubungan sosial, baik karena
keturunan darah, akibat perkawinan, maupun karena wasiat (Mansur, 1988: 21).
Keintiman adalah keakraban atau kemesraan ( KBBI, 1995: 384). Status sosial
(kedudukan sosial) adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat
-
11
sehubungannya dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya,
prestisenya, dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya (Soekanto, 1990: 265).
Jabatan adalah pekerjaan (tugas) dalam pemerintahan atau organisasi
(KBBI, 1995: 392). Umur adalah lama waktu hidup atau ada, sejak dilahirkan atau
diadakan (KBBI, 1995: 1103). Kelamin merupakan sifat jasmani ataupun rohani
yang memebedakan dua makhluk sebagai betina dan jantan, atau wanita dan pria
(Suyono, 1985: 187). Perkawinan adalah suatu hubungan antara pria dan wanita
yang sudah dewasa yang saling mengadakan ikatan hukum adat, atau agama
dengan maksud bahwa mereka saling memelihara hubungan tersebut agar
berlangsung dalam waktu yang relatif lama (Suyono, 1985: 315). Asal adalah
tempat dibuat atau dilahirkan (KBBI, 1995: 59).
1.6.3. Ranah (Domain)
Ranah merupakan konstelasi antara partisipan (paling tidak dua orang),
lokal, dan topik. ”The large-scale aggregative regularities that obtain between
varieties and societally recognized functions are examined via the construct
termed domain” (Fishman, 1971: 248).
“Domain is clearly a very general concept which draws three important factors in code choice –participant, setting, and topic. It is useful for capturing broad generalistions about any speech community. Using information about the domains of use in a community it is possible to draw a very simple model summarising the norms of language use for the community” (Holmes, 2001: 23).
Greenfield –mengutip pendapat Fishman- menyebutkan “Relevan domains for
decribing language use in many relatively complex multi lingual societies would
probably include family, friendship, religion, education, work sphere, and
government” (1972: 18).
-
12
1.6.4. Konteks
Konteks adalah satu situasi yang terbentuk karena terdapat setting,
kegiatan dan relasi. Setting meliputi waktu dan tempat situasi itu terjadi. Kegiatan
merupakan semua tingkah laku yang terjadi dalam interaksi bahasa. Relasi
merupakan hubungan antara peserta bicara dan tutur. Hubungan itu dapat
ditentukan oleh (1) jenis kelamin, (2) umur, (3) kedudukan: status, peran, prestasi,
prestise, (4) hubungan kekeluargaan, (5) hubungan kedinasan: umum, militer,
pendidikan, kepegawaian, majikan dan buruh, dan sebagainya. Konteks terjadi
jika terjadi interaksi antara tiga komponen tersebut (Parera, 2004: 227-229).
1.6.5. Panggilan
Suhardi dkk. –mengutip pendapat Poerwadarminta- menyebutkan bahwa
kata panggilan dipakai lebih luas daripada kata sapaan (1985: 10). Memanggil
(KBBI, 1995: 724) berarti mengajak (meminta) datang (kembali, mendekat, dsb)
dengan menyerukan nama, mengundang atau menyilakan datang, menyebut atau
menamakan. Panggilan (KBBI, 1995: 724) adalah imbauan, ajakan, undangan, hal
(perbuatan, cara) memanggil, sebutan atau nama.
Kridalaksana (1982: 119) menyebutkan bahwa panggilan adalah kalimat
minor bukan klausa berupa nama, gelar atau pangkat orang yang dipanggil, benda
yang dibawa. Kalimat minor bukan klausa berbentuk berupa kata tunggal atau
frase yang tidak mengandung predikat tetapi mempunyai intonasi final
(Kridalaksana, 1982: 73).
1.6.6. Kata Ganti
-
13
Kata benda yang menyatakan orang sering kali diganti kedudukannya di
dalam pertuturan dengan sejenis kata yang lazim disebut kata ganti (Chaer, 1998:
91). Pronomina persona adalah pronomina (kata yang dipakai untuk mengacu ke
nomina lain) yang dipakai untuk mengacu ke orang. Pronomina persona dapat
mengacu pada diri sendiri-pronomina persona pertama-, mengacu pada orang
yang diajak bicara-pronomina persona kedua-, atau mengacu mengacu pada orang
yang dibicarakan-persona ketiga (Depdikbud, 1988: 172).
Makna Jamak Persona Tunggal Netral Eklusif Inklusif
Pertama saya, aku, daku, ku-, -ku
kami kita
Kedua engkau, kamu, Anda, dikau, kau, -mu
kalian, kamu (sekalian), Anda sekalian
Ketiga ia, dia, beliau, -nya mereka, -nya
Tabel 1. Kata Ganti
1.6.7. Hubungan Antarmanusia
Proses sosial adalah cara-cara berhubungan yang dilihat apabila orang
perorangan dan kelompok-kelompok sosial saling bertemu dan menentukan
sistem serta bentuk hubungan tersebut atau apa yang akan terjadi apabila ada
perubahan-perubahan yang menyebabkan goyahnya pola-pola kehidupan yang
telah ada. Bentuk umum proses sosial adalah interaksi sosial. Interaksi sosial
merupakan syarat utama terjadinya aktivitas-aktivitas sosial. Interaksi sosial
merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis yang menyangkut hubungan
antara orang-orang perorangan, antara kelompok-kelompok manusia, maupun
antara orang perorangan dengan kelompok manusia (Soekanto, 1990: 66-67).
-
14
Organisasi sosial mencakup pranata-pranata yang menentukan kedudukan
lelaki dan perempuan dalam masyarakat, dan dengan demikian menyalurkan
hubungan pribadi mereka. Kategori ini pada umumnya dibagi lagi menjadi dua
jenis, yaitu pranata yang tumbuh dari hubungan kekerabatan dan pranata yang
merupakan hasil dari ikatan antara perorangan berdasarkan keinginan sendiri,
berdasarkan jenis kelamian, umur, atau kepentingan bersama (Herskovits, 1987
:82).
1.7. Metode Penelitian
1.7.1. Jenis Penelitian
. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif, yaitu penelitian yang
memerikan objek penelitian berdasarkan fakta yang ada (Sudaryanto, 1988: 62).
Penelitian ini dilaksanakan dengan cara mendeskripsikan fakta yang disusul
dengan analisis.
1.7.2. Pendekatan
Pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah sosiolinguistik.
Sosiolinguistik (Nababan, 1984: 2) ialah studi atau pembahasan dari bahasa
sehubungan dengan penutur bahasa itu sebagai anggota masyarakat. Boleh juga
dikatakan bahwa sosiolinguistik mempelajari dan membahas aspek-aspek
kemasyarakatan bahasa, khususnya perbedaan (variasi) yang terdapat dalam
bahasa yang berkaitan dengan faktor-faktor kemasyarakatan (sosial).
1.7.3. Metode dan Teknik Penelitian
1.7.3.1. Tahap Pengumpulan Data
-
15
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode simak, yaitu menyimak penggunaan bahasa. Dalam penelitian ini
dilakukan penyimakan terhadap sapaan yang terkandung dalam tuturan yang
terdapat dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta
Toer.
Dalam tahap penyimakan ini digunakan teknik sadap, dilanjutkan dengan
tekni simak bebas libat cakap. Kegiatan menyadap dilakukan dengan tidak
berpartisipasi ketika menyimak. Peneliti tidak terlibat dalam dialog, konversasi,
atau imbal wicara. Kemudian dilanjutkan lagi dengan teknik catat, yaitu dengan
melakukan pencatatan pada kartu data yang segera dilanjutkan dengan klasifikasi
(Sudaryanto, 1993: 133-135).
Data penelitian merupakan satuan lingual yang berada pada tataran yang
lebih tinggi daripada objek penelitian. Data dimengerti sebagai fenomen lingual
yang mengandung dan berkaitan langsung dengan masalah yang dimaksud
(Sudaryanto, 1993: 5-6). Dari sumber data yang ada diharapkan data dapat
ditemukan, dianalisis, dan dijelaskan. Sumber data penelitian ini adalah novel
Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Data penelitian
ini berupa tuturan-tuturan yang mengandung sapaan dalam novel Sekali Peristiwa
di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer.
Data yang akan dianalisis dibatasi dengan penentuan sampel secara tidak
acak, berdasarkan kriteria tertentu. Dalam penelitian ini digunakan penentuan
sampel bertujuan, yaitu pembatasan data berdasarkan tujuan penelitiannya. Dalam
-
16
hal ini sumber data yang dipilih adalah data yang memang benar-benar
mengandung data yang diperlukan.
1.7.3.2. Tahap Analisis Data
Dalam tahap ini digunakan metode padan referensial dan metode padan
pragmatis. Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya dari
luar, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan.
Alat penentu dalam metode padan referensial ialah kenyataan yang ditunjuk oleh
bahasa atau referent bahasa, sedangkan alat penentu metode padan pragmatis
adalah orang yang menjadi mitra wicara (Sudaryanto, 1993: 13).
Kedua metode ini dilaksanakan dengan teknik pilah unsur penentu (teknik
PUP) sebagai teknik dasar dan teknik hubung banding menyamakan (teknik HBS)
sebagai teknik lanjutan. Teknik PUP dilakukan pemilahan terhadap data dengan
menggunakan daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh peneliti
(Sudaryanto, 1993: 21). Teknik HBS dilakukan untuk menentukan identitas objek
sasaran penelitian (Sudaryanto, 1993: 27). Kedua teknik tersebut dipakai untuk
memecahkan permasalahan dalam penelitian ini.
1.7.3.3. Tahap Penyajian Hasil Analisis Data
Hasil analisis data berupa kaidah penggunaan sapaan dalam novel Sekali
Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Hasil analisis tersebut
disajikan dengan metode penyajian informal dan formal. Metode penyajian
informal yaitu perumusan kaidah tersebut dengan kata-kata, walaupun dengan
terminologi yang teknis sifatnya. Metode penyajian formal adalah perumusan
kaidah dengan tanda dan lambang (Sudaryanto, 1993: 145).
-
17
1.8. Sistematika Penyajian
Hasil penelitian ini akan disajikan dalam empat bab. Bab I berupa
pendahuluan yang berisi latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian,
sistematika penyajian, jadwal penelitian, dan rencana anggaran. Bab II berisi
pembahasan dasar pembentukan kata sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di
Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Bab III berisi pembahasan tentang
faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan kata sapaan dalam novel Sekali
Peristiwa di Baten Selatan karya Premoedya Ananta Toer. Bab IV merupakan
Penutup yang berisi kesimpulan dan saran.
-
18
BAB II
DASAR PEMBENTUKAN SAPAAN
DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
2.1. Pengantar
Dalam bab ini dianalisis mengenai dasar pembentukan sapaan dalam novel
Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Analisis
terhadap dasar pembentukan sapaan dilakukan untuk membuktikan penggunaan
perbendaharaan kata bidang tertentu sebagai sapaan. Hal ini dilakukan
berdasarkan pendapat Chaer (1998: 107) yang menyatakan bahwa kata sapaan
tidak mempunyai perbendaharaan kata sendiri, tetapi menggunakan kata-kata dari
perbendaharaan kata nama diri dan kata nama perkerabatan. Sedangkan
Subiyakto-Nababan (1992: 153) mengatakan bahwa sapaan terdiri atas nama
kecil, gelar, istilah perkerabatan, nama keluarga (bagi suku bangsa yang
mempunyai sistem itu), nama hubungan perkerabatan dengan nama seorang
kerabatnya (disebut tektonimi), kombinasi dari yang di atas.
Sapaan adalah kata atau gabungan kata yang dipakai untuk menyebut
mitra tutur. Sapaan dioposisikan dengan kalimat, tetapi bukan pendukung makna
inti. Chaer (1998: 109) memberikan catatan bahwa kata Bapak dalam kalimat
”Pak, apakah Bapak tahu ..?” adalah sebagai kata benda, bukan kata sapaan.
-
19
Berdasarkan hasil analisis, dasar pembentukan sapaan dalam novel Sekali
Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer, antara lain: nama diri,
istilah kekerabatan, gelar, istilah pertemanan dan, kombinasi.
2.2. Nama Diri
Sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri sering dipakai dalam suatu
percakapan. Sapaan ini dibentuk berdasarkan nama diri orang yang disapa atau
lawan bicara. Nama diri adalah nama yang dipakai untuk menyebut diri seseorang
(KBBI, 1995: 681). Dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya
Pramoedya Ananta Toer, sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri dipakai
untuk menyebut tokoh yang memiliki nama tersebut.
(5). Dengan menunduk kepala, membongkok sedikit, dan lemah lunglai, Ranta keluar dari rumah melewati pintu. Dengan air muka muram, tak senang hati dan segan ia menghadap Musa. Dan dengan suara bernada bersalah ia memulai: Saya, Gan. Mengapa tak dari tadi-tadi muncul? Ranta tak menjawab, hanya menjatuhkan pandangan lebih dalam Tak baik pura tak dengar. Biasanya kau tak begitu, Ranta. Saya, Gan. Nah, Ireng, aku mau bicara dengan lakimu, pergilah. (hlm. 17)
(6). Kini Juragan Musa menatap Djameng den berkata: Cukup Djameng. Pergi kau. (hlm. 51)
Nama diri yang dipakai sebagai sapaan dalam contoh (5) Ranta dan Ireng.
dalam novel ini, sapaan Ranta dan Ireng dipakai untuk menyebut tokoh Ranta
dan tokoh Ireng. Contoh (6) menunjukkan pemakaian sapaan yang dibentuk
berdasarkan nama diri Djameng. Dalam novel ini, sapaan Djameng dipakai untuk
-
20
menyebut tokoh Djameng. Nama diri dalam contoh (5) dan (6) dipakai secara utuh
sebagai sapaan. Sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri lebih sering dipakai
secara tidak utuh atau dipenggal. Beberapa contoh sapaan yang dibentuk
berdasarkan nama diri yang tidak utuh atau dipenggal, sebagai berikut:
(7). Ranta maju sedikit dan berdiri di samping Musa agak di belakangnya. Dengan suara mencoba-coba ramah ia menyilakan: Duduk, Gan. Tetapi Musa pura-pura tak dengar. Ia menerawang langit. Berkata: Mau hujan. Lihat, tu. Ah-ah, waktu baik, musim baik. Bukan, Ta? (hlm. 17)
(8). Ranta tak mempedulikan kata-kata Yang Kedua. Cepat ia berpaling pada istrinya dan berkata: Reng, ambil semua pakaian. Kalau sudah kunci pintunya. (hlm. 37)
(9). ... Juragan Musa menarik keris pusaka dari ... Tiba-tiba ia bangkit berdiri. Tangan kanannya terangkat ke atas dan mulutnya bersuara: Allaikumsalam! Masuk, Meng! (hlm. 49)
(10). Mendengar suara itu Rodjali berdiri diam-diam mendengarkan. Setelah ucapan Ireng selesai, Rodjali bertanya: Sudah sadar, Bu? Ireng menjawab dari dalam rumah: Kasihan. Belum, Djali. Sudah tengah malam, belum, Djali? Hampir subuh, Bu. Kukira masih sore. Djali mesti pergi cari Pak Lurah, Bu? Tidak! Urus mayat-mayat itu, Li. (hlm.99)
(11). ... Segera juragan Musa menatap istrinya dan bertanya: Kau mau mengikuti aku dalam senang sengsara, bukan, Nah? Kau sendiri dengar bagaimana janji nikahku. Cuma soalnya, bagaimana yang sana? Biar aku ceraikan. Nyonya menatap suaminya dengan kasih sayangnya. Aku dalam kesulitan, Nah. Nyonya tersenyum tak percaya. Tetapi Juragan Musa meneruskan dengan keterangannya: Benar, Nah. Maafkan segala kata-kata yang terlanjur tadi. (hlm. 48)
-
21
Sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri yang dipakai secara tidak
utuh atau dipenggal dalam contoh (7) yaitu Ta, merupakan penggalan dari sapaan
yang dibentuk berdasarkan nama diri Ranta. Reng dalam contoh (8) merupakan
penggalan sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri Ireng. Sapaan dalam
contoh (9), yaitu Meng, merupakan bentuk penggal dari sapaan yang dibentuk
berdasarkan nama diri Djameng. Sapaan Djali dan Li dalam contoh (10)
merupakan penggalan dari sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri Rodjali.
Dalam novel ini, sapaan Djali dan Li dipakai untuk menyebut tokoh Rodjali.
Untuk sapaan Nah dalam contoh (11), meskipun dalam keterangan teks
tidak disebutkan bentuk utuhnya, dianggap merupakan bentuk penggalan nama
diri. Dalam novel ini, sapaan Nah dipakai untuk menyebut tokoh Nah. Sapaan ini
biasa digunakan dalam percakapan sehari-hari untuk menyapa seseorang yang
memiliki nama dengan suku akhir –nah, misalnya Fatonah, Marsinah, dan
sebagainya.
Berdasarkan analisis di atas, pemenggalan nama diri yang dipakai sebagai
sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta
Toer memiliki ciri tertentu. Pemenggalan nama diri ini sesuai dengan suku kata
pembentuknya, biasanya suku kata terakhir yang dipakai sebagai sapaan.
Misalnya, suku kata ran- dan –ta merupakan pembentuk nama diri Ranta.
Suku kata ran- merupakan suku kata pertama atau awal, suku kata –ta adalah suku
kata akhir. Jadi, pemakaian sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten
Selatan karya Pramoedya Ananta Toer yang dibentuk dari pemenggalan nama diri
Ranta adalah Ta.
-
22
Untuk nama diri yang dibentuk lebih dari dua suku kata yang dipakai
sebagai sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya
Ananta Toer, bentuk penggalnya memakai suku kata terakhir atau gabungan dua
suku kata terakhir. Nama diri yang terdiri lebih dari dua suku kata yang dipakai
sebagai sapaan lebih bervariasi bentuk penggalnya. Misalnya, nama diri Rodjali
terdiri dari suku kata ro-, -dja-, -li. Suku kata akhir dari nama diri Rodjali adalah –
li dan dua suku kata terakhirnya adalah –dja- dan –li, digabung menjadi -djali.
Bentuk penggal sapaan yang dibentuk berdasarkan nama diri Rodjali dalam novel
Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer, yaitu Djali dan
Li, seperti dalam contoh (10).
No Nama diri (nama tokoh) Sapaan 1. Ranta Ranta, Ta 2. Ireng Ireng, Reng 3. Djameng Djameng, Meng 4. Rodjali Djali, Li 5. Nah Nah
Tabel 2. Sapaan yang Dibentuk Berdasarkan Nama Diri
2.3. Istilah Kekerabatan
Istilah kekerabatan merupakan dasar pembentukan sapaan yang juga sering
dipakai dalam suatu percakapan. Mansur -mengutip pendapat Eggan-
menyebutkan bahwa kekerabatan adalah hubungan sosial, baik karena keturunan
darah, akibat perkawinan, maupun karena wasiat (1988: 21). Dalam analisis ini,
istilah kekerabatan yang dimaksud adalah kata-kata yang menunjukkan hubungan
keluarga.
(12). Yang Pertama kini duduk di antara banyak orang. Sedang orang banyak memperhatikan tubuhnya dari atas ke bawah dan
-
23
sebaliknya, dan akhirnya pandangan mereka berhenti pada mulutnya. Kemudian Yang Pertama memulai: Begini, Pak. Mula-mula abdi nyatakan penyesalan abdi telah langgar larangan itu. Karena pelanggaran itu abdi dikeroyok dan dirampas gerombolan, Pak. Semua modal habis. Yang tinggal cuma celana dalam. Abdi dipukuli setengah mati. Komandan itu menegakkan badannya dan bertanya: ... Baru berapa bulan kita mau kerjasama? Lihat sendiri, sudah begitu banyak kita dapat perbuat. Yang Pertama menunduk, kemudian menjawab: Ya, Pak. Abdi sendiri memang salah, Pak. Jangan minta maaf padaku, berjanji pada saudara-saudaramu itu! Yang Pertama diam saja, dan makin menunduk. Apa kau malu kerjasama dengan saudara-saudaramu sendiri? Tidak, Pak. Mengapa tak juga bicara pada mereka? Yang Pertama menegakkan badannya, memandang ke sekelilingnya, mula-mula pada Ranta, kemudian pada Komandan, Prajurit, kemudian pada kerumunan pekerja sukarela, dan akhirnya memperdengarkan suaranya: Sudara-sudara, aku berjanji akan kerjasama dengan kalian, dalam segala usaha yang bermanfaat. (hlm. 115-116) (13). Isteri Ranta tak senggup menjawab. Rodjali mengetok-ngetok dari luar. Dengan suara gemetar perempuan itu bertanya: Si-a-pa? Rodjali, Bu, Cuma Rodjali! Ireng, isteri Ranta, mendengar jawaban Rodjali serta-merta mengusap-usap dada dan menyebut: Astaga! Cuma Rodjali? Buat kaget orang saja, kau, Li. Terdengar tertawa pendek di luar yang menyatakan sukacita, kemudian menyusul suaranya: Benar-benar kaget, Bu? (hlm. 95)
(14). Ireng menghampiri dan membangunkan: Pak! Aku kira pergi. ... Nampak Yang Pertama terlompat dari bale, mengocok matanya, menatap Ireng kemudian membeliakkan matanya yang belum awas dan dengan kagetnya berseru: Maaf, Mpok. Kami menginap di sini semalam. Kami sudah... (hlm. 23) (15). Tanpa mereka duga-duga, datang Yang Pertama, Yang Kedua, membawa seorang teman Yang Ketiga. Yang Ketiga adalah
-
24
seorang setengah baya bertubuh kecil, pendek, tetapi gesit tingkahlakunya.
Kang, tegur Yang Petama, ini kawanku. Sudah……. (hlm. 36) Beberapa contoh tuturan di atas mengandung sapaan yang dibentuk
berdasarkan istilah kekerabatan. Dalam novel ini, sapaan yang dibentuk
berdasarkan istilah kekerabatan adalah Pak, Sudara-sudara, Bu, Mpok, Kang.
Sapaan-sapaan ini dipakai untuk menyebut tokoh-tokoh dalam novel tersebut.
Misalnya, sapaan Pak dalam contoh (12) dipakai untuk menyebut tokoh
Komandan.
Contoh (12) menunjukkan penggunaan sapaan yang dibentuk berdasarkan
istilah kekerabatan berupa Pak dan Sudara-sudara. Pada contoh (13), sapaan
dibentuk berdasarkan istilah kekerabatan adalah Bu. Sapaan yang dibentuk
berdasarkan istilah kekerabatan dalam contoh (14), yaitu Mpok. Sapaan Kang
dalam contoh (15) juga dibentuk berdasarkan istilah kekerabatan.
Sapaan Pak dalam contoh (12) merupakan penggalan istilah kekerabatan
bapak yang bersuku kata ba- dan -pak. Bapak adalah sebutan untuk orang tua
kandung laki-laki. Sapaan Bu dalam contoh (13) merupakan penggalan istilah
kekerabatan ibu yang ber suku kata i- dan -bu. Ibu adalah sebutan untuk orang tua
kandung perempuan.
Sapaan Kang dalam contoh (15) merupakan pengalan istilah kekerabatan
akang (bahasa Sunda) atau kakang (bahasa Jawa) yang berarti saudara tua (kakak)
laki-laki. Akang bersuku kata a- dan –kang, sedangkan kakang bersuku kata ka-
dan –kang. Sapaan Mpok dalam contoh (14) merupakan variasi pemakaian istilah
-
25
kekerabatan Empok. Empok adalah istilah untuk saudara tua (kakak) perempuan
dalam bahasa Betawi.
Sapaan Sudara-sudara dalam contoh (12) merupakan bentuk ulang dari
istilah kekerabatan sudara (variasi pemakaian istilah kekerabatan saudara sebagai
sapaan karena keterbatasan kemampuan pengucapan pembicaranya). Kata
saudara dipakai untuk menunjukkan adanya hubungan kekerabatan. Namun,
sapaan ini dapat dipakai untuk menyebut mitra tutur yang tidak yang tidak
berkerabat dengan penutur. Sapaan yang menggunakan bentuk perulangan
menunjukkan bahwa lawan yang disapa jamak.
No. Istilah kekerabtan Sapaan 1. Bapak Pak 2. Ibu Bu 3. Empok Mpok 4. Akang Kang 5. Saudara Saudara-saudara, sudara- suadara
Tabel 3. Sapaan yang Dibentuk Berdasarkan Istilah Kekerabatan
2.4. Gelar
Pengunaan sapaan yang dibentuk berdasarkan gelar dalam novel Sekali
Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer cukup banyak. Gelar
merupakan sebutan kehormatan atau keilmuan yang biasanya ditambahkan pada
nama orang; nama tambahan sesudah nikah atau setelah tua (sebagai kehormatan);
sebutan (julukan) yang berhubungan dengan keadaan atau tabiat orang ( KBBI,
1995: 301). Beberapa contoh sapaan yang dibentuk berdasarkan gelar dalam novel
ini, sebagai berikut:
(16). Juragan Musa tak menggubris Nyonya. Dengan mendelik ia bertanya pada Djali:
-
26
Dari rumah Ranta? Saya, Juragan. Tidak lihat tasku ketinggalan di sana? Tidak, Juragan. Tongkatku? Tidak, Juragan. Pergi lagi ke rumah Ranta! Saya, Juragan. Minta tas dan tongkatku dari dia. Saya, Juragan. Kalau dia tak mau kasih, bunuh dia! Tapi orangnya tak ada, Juragan. Tidak ada? Rumahnya terkunci, Juragan. Ke mana? Kau tahu? Tidak, Juragan. Ya, Allah, ya Allah(hlm. 47)
(17). Ranta berhenti di tengah-tengah ruangan, dan tanpa menengok pada Nyonya, ia menyambut: Baiklah, Nyonya. Rumah ini tidak akan rusak atau kehilangan perabotnya. Kalau Nyonya datang kembali, semua masih dalam keadaan utuh. Tapi ngomong-ngomong, Nyonya, bagaimana perasaan Nyonya sekarang? Terdengar nyata Nyonya menghela nafas panjang, kemudian baru menjawab: Aku kira sama sajalah dengan perasaan perempuan lain kalau ditinggalkan suaminya. Dan tentang aku sendiri—ditinggalkan dalam keadaan bagaimana! (hlm. 80)
Sapaan yang dibentuk berdasarkan gelar dalam novel Sekali Peristiwa di
Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer, yaitu Juragan dalam contoh (16)
dan Nyonya dalam contoh (17). Dalam novel ini, sapaan Juragan dipakai untuk
menyebut tokoh Musa, sedangkan sapaan Nyonya dipakai untuk menyebut tokoh
Nah. Kedua gelar yang dipakai sebagai sapaan ini dipakai secara utuh. Juragan
merupakan kata untuk menyebut orang yang memiliki usaha tertentu atau
kekayaan, baik berupa tanah, hewan, dan lainnya. Nyonya adalah kata untuk
menyebut wanita dewasa yang berstatus sosial tinggi.
-
27
Penggalan sapaan Juragan dan Nyonya dipakai juga dalam novel ini.
Beberapa contoh pemakaian bentuk penggal sapaan Juragan dan Nyonya dalam
novel ini, yaitu:
(18). Ranta berdiam diri, menggaruk-garuk tengkuk dan leher, kemudian, setelah merasa pandangan Musa ditimpakannya pada keningnya, tangannya yang menggaruk-garuk jatuh lunglai. Musa memulai: Tahun yang lalu kau juga yang kusuruh ambil bibit karet. Sekarang kau juga yang kusuruh. Apa susahnya? Juragan tahu sendiri, Gan, dulu hampir-hampir tertangkap. Goblok! Apa perlunya otak dalam kepalamu itu! Saya, Gan. Jadi berangkat nanti malam. Aku tunggu jam tiga pagi di rumah. Saya, Gan. (hlm. 18)
(19). Tanpa menjawab ia menghadap Nyonya lewat pintu dalam. Melihat Rodjali sudah ada di hadapannya, Nyonya bertanya dengan suara cepat: Juragan tidak pesan apa-apa tadi? Setelah menyekakan kedua belah telapak tangan pada sampingmenyamping celana piama, Rodjali menjawab: Ada, Nya. Katanya pergi ke rumah Ranta. (hlm. 41)
Dalam contoh (18), sapaan Juragan (dari suku kata ju-, -ra-, -gan) dipakai
hanya suku kata akhirnya saja, yaitu Gan, sebagai sapaan. Sapaan Nya Dalam
contoh (19) merupakan bentuk penggal dari sapaan Nyonya yang bersuku kata
nyo- dan -nya.
Aturan pemenggalan sapaan dalam novel ini berdasarkan suku kata. Suku
kata yang dipakai sebagai sapaan yang berupa penggalan ini adalah suku kata
akhir dan kombinasi dua suku kata terakhir.
No. Gelar Sapaan 1. Juragan Juragan, Gan 2. Nyonya Nyonya, Nya
Tabel 4. Sapaan yang Dibentuk Berdasarkan Gelar
-
28
2.5. Istilah pertemanan
Sapaan yang dibentuk berdasarkan istilah pertemanan dalam novel Sekali
Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer sangat terbatas.
Pertemanan (friendship, persahabatan) adalah hubungan yang erat atau akrab
antara pihak-pihak tertentu (Soekanto, 1983: 196). Sapaan lain ini hanya ada satu
saja dan tidak banyak dipakai dalam novel ini.
(20). Dari kursinya Lurah Ranta berseru: Ayoh, masuk, kawan-kawan! Beberapa orang masuk ke dalam dengan berkalung sarung tenun, berpeci, tanpa alas kaki. Semua bercelana hitam kolor di bawah lutut tetapi sebagian dari mereka berbaju kaos buntung dan sebagian lagi berbaju teluk belanga. Seorang bertelanjang dada. Mereka semua berdiri di hadapan Pak Lurah, menunggu perintah. (hlm. 84)
Dalam contoh (20), sapaan yang di bentuk berdasarkan istilah sapaan lain
yang terdapat dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya
Ananta Toer, yakni kawan-kawan. Berdasarkan tuturan di atas, sapaan kawan-
kawan dipakai untuk menyebut tokoh warga desa yang digambarkan sebagai
orang-orang yang berkalung sarung tenun, berpeci, tanpa alas kaki. Sapaan
kawan-kawan biasa dipakai untuk menyebut orang yang memiliki hubungan
dekat atau akrab tetapi tidak berkerabat.
2.6. Kombinasi
Dasar pembentukan sapaan lainnya yang terdapat dalam novel Sekali
Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer berupa kombinasi atau
gabungan istilah-istilah yang menjadi dasar pembentukan sapaan di atas.
Kombinasi ini, antara lain istilah kekerabatan dan nama diri, istilah kekerabatan
-
29
dan jabatan, gelar dan nama diri. Sapaan yang dibentuk berdasarkan kombinasi ini
sangat terbatas pemakaiannya dalam novel ini. Analisis sapaan yang dibentuk
berdasarkan kombinasi sebagai berikut:
2.6.1. Kombinasi Istilah kekerabatan dan Nama diri
Sapaan yang dibentuk berdasarkan kombinasi istilah kekerabatan dan
nama diri dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya
Ananta Toer sangat terbatas. Sapaan yang dibentuk berdasarkan kombinasi istilah
kekerabatan dan nama diri dalam novel ini, yaitu:
(21). Tak berjawab, Pak Komandan menebarkan pandangan ke keliling, dan akhirnya matanya berhenti pada Pak Lurah. Bertanya: Pak Lurah bisa baca tulis? Tidak, Pak. Mau belajar? Tentu saja, Pak. Nah. Buat apa bisa baca-tulis, Bu Ireng? Ah, Pak, lebih baik daripada tidak, kan? (hlm. 122)
Contoh (21) menunjukkan pemakaian sapaan yang dibentuk berdasarkan
kombinasi istilah kekerabatan dan nama diri, yaitu Bu Ireng. Dalam novel ini,
sapaan Bu Ireng dipakai untuk menyebut tokoh Ireng. Sapaan tersebut dibentuk
berdasarkan kombinasi istilah kekerabatan Bu yang merupakan bentuk penggal
dari ibu dan nama diri Ireng yang dipakai secara utuh.
2.6.2. Kombinasi Istilah kekerabatan dan Jabatan.
Sapaan yang dibentuk berdasarkan kombinasi istilah kekerabatan dan
Jabatan sering dipakai dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya
Pramoedya Ananta Toer. Dalam analisis ini yang dimaksud dengan jabatan adalah
pekerjaan dalam pemerintahan atau organisasi (KBBI, 1990: 342). Dalam novel
ini, sapaan yang dibentuk berdasarkan kombinasi istilah kekerabatan dan jabatan
-
30
dipakai untuk menyebut tokoh-tokoh yang memiliki jabatan atau kedudukan
tertentu.
(22). Juragan Musa menunduk kepalanya dan berkata tak bertenaga: Apa yang mesti kuakui, Pak Komandan? Bukan aku yang msti mengaku, tapi mereka yang memanggil aku begitu. Tetapi Pak Komandan mendesak terus tanpa menggubris irama suara Juragan Musa yang meminta dibelaskasihani: Sudah tiga bukti menyatakan, kau Residen DI. Pertama-tama isterimu sendiri menyebut kau pembesar DI. Kedua Pak Lurah sini, yang sekarang baru ketahuan orang DI juga, dan ketiga surat-surat dalam tas Juragan sendiri. (hlm. 65)
(23). Pak Kasan, yang tidak tahu duduk perkara yang sebenarnya, akhirnya menghampiri Juragan Musa sambil bertanya canggung: Pak Residen, barangkali membutuhkan bantuanku? Dengan suara mendesis murka Juragan Musa menjawab gagap: Pecahkan kepala perempuan murtad ini! Mendengar itu Pak Kasan terpaku termangu-mangu. Dengan mata membelalak ia tatap... Tiba-tiba Pak Kasan dapat menguasai dirinya kembali dan berkata dalam sikap resmi: Pak Residen, tugas akan kami dahulukan. Laporan: Ranta tidak ada di rumah. Tas dan tongkat Pak Residen tak ada di sana. Rumah yang berkepentingan itu telah kami....... (hlm. 68)
(24). Semua yang hadir diam-diam dengan gayanya masing-masing karena tenggelam dalam pikiran. Tetapi tidak lama karena ketenangan segera diganggu oleh datangnya Yang Pertama. Pada muka, kaki, dan tangannya manpak bekas luka-luka karena senjata tajam. Segera ia ditegur oleh Pak Lurah waktu ia berdiri termangu-mangu: Nah, apa kabar? Sudah lama tidak kelihatan Yang Pertama tersenyum malu, kemudian menerangkan; Pulang dari rumahsakit, Pak lurah. Rumahsakit mana? Pelabuhan Ratu? Benar, Pak Lurah. Tidak jadi ke Jakarta? Mau apa lagi, Pak Lurah? Ayoh, duduk sini beramai-ramai. Ceritakan Pengalamanmu. (hlm. 114-115)
(25). Nyonya menatap Ireng sejenak, kemudian menjawab:
-
31
Menurut pendapatku, begini. Sebaiknya tanah liar itu kita garap beramai-ramai. Kami, kaum wanita, lebih banyak memikir tentang anak dan keturunan. Ya, kita semua bukan bekerja untuk diri sendiri semata. Kita bekerja terutama sekali buat anak dan keturunan. Bukan begitu, Bu Lurah? Tiba-tiba kerumunan itu meledakkan kegembiraan mendengar jawaban Nyonya. Di antaranya terdengar pekikan nyaring di antara kerumunan itu: Bagaimana pendapatmu. Bu Lurah? Ireng tersenyum bahagia kemudiandengan malu-malu berkata: Sampai sebegitu jauh, Tuhan telah... (hlm. 125)
Dalam novel ini, sapaan yang dibentuk berdasarkan kombinasi istilah
kekerabatan dan jabatan adalah Pak Komandan, Pak Residen, Pak Lurah, dan
Bu Lurah. Sapaan Pak Komandan dipakai untuk menyebut tokoh Komandan,
sapaan Pak Residen dipakai untuk menyebut tokoh Musa, sapaan Pak Lurah
dipakai untuk menyebut tokoh Ranta. Sapaan kombinasi ini dibentuk dari
penggabungan antara penggalan istilah kekerabatan, yaitu: Pak dan Bu, dengan
jabatan yang dipakai secara utuh, yaitu: Komandan, Residen, dan Lurah.
Komandan merupakan sebutan pemimpin pasukan dalam bidang militer.
Residen merupakan kepala suatu wilayah yang terdiri dari gabungan beberapa
kabupaten, tetapi bukan setingkat provinsi yang dikepalai oleh gubernur. Jabatan
ini telah dihapus dari sistem pemerintahan. Lurah merupakan jabatan tertinggi di
tingkat desa.
2.6.3. Kombinasi Gelar dan Nama Diri.
Sapaan yang dibentuk berdasarkan kombinasi gelar dan nama diri dalam
novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer tidak
banyak dipakai. Nama diri lebih luas pemakaiannya daripada gelar. Gelar dapat
-
32
menjadi bagian dari nama diri. Salah satu contoh sapaan yang dibentuk
berdasarkan kombinasi gelar dan nama diri, sebagai berikut:
(26). Tiba-tiba dari luar terdengar bunyi burung—alamat yang disuarakan oleh orang-orang OKD, menandakan ada seseorang datang. Semua prajurit yang ada di kamar tamu melihat keluar, kemudian Komandan memberi perintah: Ada orang datang. Sembunyi semua! Kau, Juragan Musa, kalau lari aku tembak dari belakang pintu. Kau mesti sambut tamumu seperti biasa. Mengerti? Turunkan tanganmu! Juragan Musa mengangguk. Semua prajurit sembunyi di balik-balik pintu, sedangkan Komandan sendiri, setelah mengambil keris pusaka dari meja berkata pada Nyonya: Nyonya, kami tidak main-main. Terima tamu Nyonya seperti biasa. Kalau Nyonya menyulitkan kami. Kami bisa bertindak dari belakang pintu itu. (hlm. 62)
Dalam contoh (26), sapaan yang dibentuk dari kombinasi gelar dan nama
diri, yaitu Juragan Musa. Dalam novel ini, sapaan Juragan Musa dipakai untuk
menyebut tokoh Musa. Sapaan ini dibentuk dari kombinasi gelar Juragan dan
nama diri Musa. Kombinasi gelar dan nama diri dipakai secara utuh sebagai
sapaan. Juragan merupakan kata untuk menyebut orang yang memiliki usaha
tertentu atau kekayaan, baik berupa tanah, hewan, dan lainnya.
No. Kombinasi Sapaan 1. Istilah kekerabatan dan nama diri Bu Ireng 2. Istilah kekerabatan dan jabatan Pak Komandan, Pak Lurah, Pak
Residen, Bu Lurah 3. Kombinasi gelar dan nama diri Juragan Musa
Tabel 5. Sapaan yang Dibentuk Berdasarkan Kombinasi
-
33
BAB III
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
PEMAKAIAN SAPAAN
DALAM NOVEL SEKALI PERISTIWA DI BANTEN SELATAN
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER
3.1 Pengantar
Dalam bab ini dianalisis mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi
pemakaian sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya
Pramoedya Ananta Toer. Analisis ini dilakukan untuk membuktikan adanya
faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi pemakaian bentuk-bentuk linguistik,
dalam hal ini sapaan, dalam suatu peristiwa komunikasi.
Sapaan yang terdapat dalam novel Sekali Peristiwa di Baten Selatan karya
Pramoedya Ananta Toer sangat bervariasi. Variasi pemakaian sapaan yang
terkandung dalam tuturan yang ada di novel ini dipengaruhi oleh faktor-faktor
yang berkaitan erat dengan penutur, mitra tutur, dan situasi.
Variasi pemakaian bahasa dapat disebabkan oleh hubungan sosial antara
penutur dengan mitra tutur serta ranah tuturan. Hubungan sosial tersebut
ditunjukkan melalui tingkat keakraban dan penghormatan pentutur terhadap mitra
tutur serta jenis kelamin mitra tutur. ranah merupakan kaitan antara partisipan,
setting, dan topik pembicaraan.
-
34
Menurut Suhardi dkk. (1985: 6) -mengutip pendapat Suseno
Kartomihardjo- faktor-faktor yang menentukan pemilihan sapaan, yaitu situasi,
etnik, kekerabatan, keintiman, status, umur, jenis kelamin, status perkawinan, dan
asal. Namun, berdasarkan hasil analisis, ada faktor yang tidak mempengaruhi
pemakaian sapaan dalam novel ini. Meskipun demikian, ada faktor lain yang tidak
disebut di atas yang mempengaruhi pemilihan sapaan, yaitu jabatan. Jadi, faktor-
faktor yang mempengaruhi pamakaian sapaan dalam novel Sekali Peristiwa di
Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer, yaitu, status sosial, keakraban,
status perkawinan, jabatan, hubungan kekerabatan, jenis kelamin, etnis, dan
situasi. Setiap sapaan dalam novel ini dipengaruhi beberapa faktor sekaligus
karena faktor-faktor tersebut bukan faktor tunggal.
3.2. Status Sosial
Faktor status sosial mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel Sekali
Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Status sosial
(kedudukan sosial) adalah tempat seseorang secara umum dalam masyarakat
sehubungannya dengan orang-orang lain, dalam arti lingkungan pergaulannya,
prestisenya, dan hak-hak serta kewajiban-kewajibannya (Soekanto, 1990: 265).
Pemakaian sapaan yang dipengaruhi faktor status sosial menunjukkan adanya
perbedaan atau kesejajaran status sosial penutur dan mitra tutur. Perbedaan atau
kesejajaran status sosial berdasarkan kekayaan, hubungan kedinasan, atau
kedudukan penutur dan mitra tutur.
-
35
Dasar pembentukan sapaan yang dipengaruhi faktor status sosial yang
terdapat dalam novel Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta
Toer cukup bervariasi, antara lain: nama diri, gelar, istilah kekerabatan, serta
kombinasi gelar dan nama diri. Beberapa contoh pemakaian sapaan yang
dipengaruhi faktor status sosial dalam novel ini, sebagai berikut:
(27) Ireng muncul di ambang pintu. Bersuara ramah dan agak keras, tetapi nyata suaranya terdengar sumbang: Siapa sih panggil-panggil itu? O, Juragan Musa. Duduk, Gan. Tanpa menoleh ke belakang Musa menyambut: Mulai kapan sih, pura-pura tak kenal aku? Ireng merapihkan bale bambu sambil menjawab: Bukannya pura-pura tak kenal, Gan. Memang tidak tahu, sih. Musa memutar-mutar tongkatnya, dan tanpa menengok pada Ireng meneruskan kata-katanya sambil tersenyum: Mana Ranta! Belum datang, Gan. Dengan suara setengah berbisik Musa mendesak: Jangan bohong. Sudah kulihat tadi dia pulang. Ta! Ranta. Benar, Gan, belum pulang. (hlm. 16)
Sapaan Gan dalam contoh (27) menunjukkan adanya pengaruh faktor
status sosial dalam pemakaiannya. Pemakaian sapaan Gan dalam contoh di atas
menunjukkan adanya perbedaan status sosial antara penutur dan mitra tutur.
Dalam hal ini, status sosial tokoh Ireng sebagai penutur lebih rendah daripada
tokoh Musa sebagai mitra tutur.
Perbedaan status sosial antara tokoh Ireng dan tokoh Musa ini berdasarkan
kekayaan. Hal ini ditunjukan melalui keadaan rumah kedua tokoh tersebut.
Rumah tokoh Ireng berupa gubuk yang terbuat dari bambu yang beratap rumbia
(Toer, 2004: 11). Sedangkan rumah tokoh Musa digambarkan memiliki ruang
tamu lebar yang terang benderang dengan sepasang sice tua setengah antik yang
-
36
terpelihara baik terpasang di dekat dinding, sebuah almari pajangan berisikan
berbagai barang pecah belah yang tersusun dengan rapi, lampu gantung yang
indah model lama tergantung di tengah-tengah ruang tamu (Toer, 2004: 40).
(28) Sekarang komandan menganggapi tubuh bagian belakang sambil bertanya dengan mulut dihampirkan pada kuping tangkapannya: Apa gunanya keris pusaka di bawa ke mana-mana, Juragan? Biar hati aman, Pak. Komandan tertawa senang dan segera menyambut: O, mengerti aku sekarang. Jadi selamanya hati Juragan tidak aman, eh? Mengapa selamanya tidak aman, Juragan? (hlm. 59)
Sapaan Juragan dan Pak dalam contoh (28) menunjukkan adanya
kesejajaran status sosial berdasarkan kedudukan penutur dan mitra tutur.
Berdasarkan contoh di atas, sapaan Gan dipakai untuk menyebut tokoh Musa,
sedangkan sapaan Pak dipakai untuk menyebut tokoh Komandan. Tokoh Musa
berkedudukan sebagai tuan tanah. Hal ini ditunjukkan dalam tuturan tokoh Ranta
yang menyebutkan bahwa tokoh Musa adalah seorang tuan tanah. Tanah milik
tokoh Musa tersebut merupakan hasil rampasan dari para pekerja yang ikut
roomusya (Toer, 2004: 81). Tokoh Komandan berkedudukan sebagai pemimpin
pasukan yang bertugas menjaga keamanan di daerah tersebut (Toer, 2004: 65, 73).
Keduanya memiliki status sosial yang sama tinggi.
(29) Komandan menghampiri dan bertanya: Kami berterimakasih padamu, Ranta. Atas nama Tentara dan Pemerintahan, kami pun mengucapkan terimakasih pada jasamu……… Ranta hanya menggeleng-gelengkan kepala. Melihat itu segera Komandan mendesak dengan pertanyaan yang bersungguh-sungguh: Mengapa, Ranta? Nampaknya kau tak bersenanghati.
-
37
Ranta menengadahkan mukanya memandangi gambar-gambar di dinding dan setelah mengeluh berat ia berkata lambat-lambat setengah memperingatkan: Memang dengan tertangkapnya orang-orang ini daerah kita menjadi aman, Pak. Tapi sampai berapa lama? Sambil menunjuk tangkapan-tangkapan ia meneruskan: Orang-orang ini takkan jera-jeranya mengacaukan keamanan kita. Mereka tidak sendirian, mereka akan membalas dendam. Terutama abdi yang akan dimusuhi mereka, Pak. (hlm. 71,72)
Sapaan Ranta dan Pak dalam contoh (29) menunjukkan adanya pengaruh
perbedaan status sosial berdasarkan kedudukan penutur dan mitra tutur.
Berdasarkan contoh di atas, sapaan Ranta dipakai oleh tokoh Komandan untuk
meyebut tokoh Ranta yang berkedudukan lebih rendah kerena hanya seorang
warga biasa, sedangkan tokoh Ranta memakai sapaan Pak untuk menyebut tokoh
Komandan yang berkedudukan lebih tinggi.
(30) Pasar diobrakabrik DI. Sudah tahu, Ta? Jadi binimu juga gagal. Nah, waktu baik, musim baik. Malam ini, Ta, ingat-ingat, nanti jam sebelas malam. Pekerjaan apa, Gan? Ambil bibit karet, ya? Susah membawanya, Gan? Susah mana sama lapar, Ta? (hlm. 18)
Sapaan Gan dan Ta dalam contoh (30) menunjukkan adanya perbedaan
status sosial berdasarkan hubungan kedinasan. Hubungan kedinasan yang
dimaksud adalah hubungan antara penutur dan mitra tutur yang terjadi karena
pekerjaan. Berdasarkan contoh di atas, terdapat hubungan kedinasan antara atasan
dan bawahan. Tokoh Musa menyebut tokoh Ranta dengan menggunakan sapaan
yang dibentuk berdasarkan nama diri, yaitu Ta. Sebaliknya, tokoh Ranta
menyebut tokoh Musa dengan menggunakan kata sapaan yang dibentuk
berdasarkan gelar, yaitu: Gan yang merupakan penggalan dari sapaan Juragan.
-
38
Hubungan kedinasan kedua tokoh tersebut ditunjukkan melalui tuturan
yang menyebutkan bahwa tokoh Musa memerintah tokoh Ranta untuk mengambil
bibit karet. Dalam hubungan kedinasan ini, tokoh Musa sebagai atasan dan tokoh
Ranta sebagai bawahan.
Pemakaian sapaan yang dipengaruhi faktor status sosial dalam beberapa
contoh tuturan di atas dipengaruhi juga oleh faktor lain. Misalnya, pemakaian
sapaan Pak dalam contoh (29) dipengaruhi juga faktor jenis kelamin. Sapaan Pak
dipakai tokoh Ranta untuk menyebut tokoh Komandan yang berjenis kelamin
laki-laki.
3.3. Keakraban
Faktor keakraban mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel Sekali
Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya ananta Toer. Faktor ini dibagi
menjadi dua, yaitu akrab dan tidak akrab. Akrab menunjukkan penutur dan mitra
tutur telah saling mengenal dengan baik. Tidak akrab menunjukkan bahwa
penutur dan mitra tutur belum saling mengenal dengan baik atau tidak saling
mengenal.
Sapaan yang dipengaruhi faktor keakraban dalam novel Sekali Peristiwa di
Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer dibentuk berdasarkan istilah
kekerabatan dan sapaan lain. Contoh sapaan yang dipengaruhi faktor keakraban
dalam novel ini, sebagai berikut:
(31) Dari kursinya Lurah Ranta berseru: Ayoh, masuk, kawan-kawan! Bebrapa orang masuk ke dalam dengan berkalung sarung tenunan, berpeci, tanpa alaskaki. Semua bercelana hitam kolor
-
39
di bawah lutut tetapi sebagian dari merka berbaju kaos buntung dan sebagian berbaju teluk belanga. Seorang telanjang dada. Mereka semua berdiri di hadapan Pak Lurah, menunggu perintah. Pak Lurah tersenyum puas. Berkata: Jadi sudah datang semua. Bagus. Nah, saudara-saudara, kalian semua ketua Rukuntetangga di sini didirikan buat bantu pemerintah desa, dan pemerintah desa dipulihkan buat bantu saudara semua. Kita Cuma tahu bantu-membantu, gotongroyong, gugurgunung, kerjabakti, bersaudara, satu dengan yang lain, satu dengan semua, semua yang satu. Semua itu saudara-saudara sudah hafal. Nah, sekarang ada soal penting. Dengarkan baik-baik: Gerombolan akan datang menyerang lagi. Tentara yang ditempatkan di desa terpencil ini cuma sedikit. Kita semua harus ikut melawan. (hlm. 84,85)
Sapaan kawan-kawan dan saudara-saudara dalam contoh (31)
menunjukkan adanya pengaruh faktor keakraban. Berdasarkan tuturan di atas,
sapaan kawan-kawan dan saudara-saudara dipakai oleh tokoh Ranta yang
berkedudukan sebagai lurah untuk menyebut mitra bicara yang berkedudukan
sebagai ketua Rukun Tetangga. Keakraban antara tokoh Ranta dengan tokoh para
ketua Rukun Tetangga ditunjukkan melalui teks dalam contoh (31) yang
menyebutkan bahwa mereka telah terbiasa bantu-membantu, bergotong royong,
bahkan telah beranggapan telah saling bersaudara. Hal ini menunjukkan bahwa
mereka telah lama saling mengenal.
(32) Yang Pertama menghampiri pintu dan menyapa: Pak, Pak! Bukan DI ini, orang baik-baik. Boleh nginap sini, Pak? Tak berjawab Mereka letakkan bawaannya masing-masing di dekat pintu kemudian tidur di atas bale. (hlm. 21,22)
Sapaan Pak dalam contoh (32) menunjukkan adanya pengaruh faktor
keakraban yang menunujukkan ketidakakraban. Berdasarkan contoh di atas,
sapaan Pak dipakai tokoh Yang Pertama untuk menyebut pemilik rumah yang
-
40
belum dikenalnya. Tokoh Yang Pertama memperkenalkan diri sebagai orang baik-
baik dan bukan anggota DI kepada pemilik rumah yang belum dikenalnya.
Pemakaian sapaan yang dipengaruhi faktor keakraban dalam beberapa
contoh tuturan di atas dipengaruhi juga oleh faktor lain. Misalnya, pemakaian
sapaan kawan-kawan dan saudara-saudara dalam contoh (31) dipengaruhi juga
faktor situasi. Situasi tidak resmi dalam tuturan tersebut menyebabkan tokoh
Ranta memakai sapaan kawan-kawan dan saudara-saudara untuk menyebut
para tokoh ketua Rukun Tetanga yang berbeda status sosialnya.
3.4. Status Perkawinan
Faktor status perkawinan mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel
Sekali Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Anata Toer. Perkawinan
adalah suatu hubungan antara pria dan wanita yang sudah dewasa yang saling
mengadakan ikatan hukum adat, atau agama dengan maksud bahwa mereka saling
memelihara hubungan tersebut agar berlangsung dalam waktu yang relatif lama
(Suyono, 1985: 315). Sapaan yang dipengaruhi faktor ini menunjukkan bahwa
orang yang disapa telah menikah atau kawin. Sapaan yang dipengaruhi faktor
status perkawinan yang terdapat dalam novel ini dibentuk berdasarkan gelar dan
kombinasi istilah kekerabatan dengan jabatan.
Sapaan yang dipengaruhi faktor status perkawinan dalam novel Sekali
Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer dipakai untuk
menyebut tokoh yang berkedudukan sebagai istri. Beberapa contoh sapaan yang
dipengaruhi faktor status perkawinan dalam novel ini, sebagai berikut:
-
41
(33) Nyonya menatap Ireng sejenak, kemudian menjawab: Menurut pendapatku, begini. Sebaiknya tanah liar itu kita garap beramai-ramai. Kami, kaum wanita, lebih banyak memikir tentang anak dan keturunan. Ya, kita semua bukan bekerja untuk diri sendiri semata. Kita bekerja terutama bekal buat anak dan keturunan, bukan begitu, Bu Lurah? Tiba-tiba kerumunan itu meledakkan kegembiraan mendengar jawaban Nyonya. Di antaranya terdengar pekikan nyaring di antara kerumunan itu: Bagai mana pendapatmu, Bu Lurah? (hlm. 125)
Sapaan Bu Lurah dalam tuturan (33) menunjukkan adanya pengaruh
faktor status perkawinan. Dalam novel ini, Sapaan Bu Lurah dipakai untuk
menyebut tokoh Ireng, istri tokoh Ranta. Tokoh Ranta berkedudukan sebagai
lurah darurat di desa tersebut (Toer, 2004: 83). Namun, sapaan Bu Lurah dalam
komunikasi sehari-hari dapat dipakai untuk untuk menyebut seorang wanita yang
telah atau belum menikah yang menjabat sebagai lurah.
(34) Ranta mengawasi Nyonya sebentar, kemudian berkata: Tentu saja bukan ancaman. Nyonya, bagaimana sekarang pendapat Nyonya tentang suami Nyonya? Nyonya mempermain-mainkan ujungjarinya sambil dengan ragu-ragu menjawab: Kalau dia DI, tentu saja dia mesti ditangkap. Tapi Pak Lurah jangan lupa, bagaimanapun juga dia suamiku. Pak Lurah Ranta menyambar: Nah, itulah Nyonya, justru karena suami Nyonya itulah aku bertanya: setujukah Nyonya suami Nyonya masuk DI? (hlm. 80,81)
Sapaan Nyonya dalam contoh (34) menunjukkan adanya pengaruh faktor
status perkawinan. Sapaan tersebut dipakai untuk menyapa wanita dewasa yang
memiliki kedudukan yang tinggi, misalnya istri seorang tuan tanah. Dalam novel
ini, sapaan Nyonya dipakai untuk menyebut tokoh Nah, istri tokoh Musa.
Pemakaian sapaan yang dipengaruhi faktor status perkawinan dalam
beberapa contoh tuturan di atas dipengaruhi juga faktor lain. Misalnya, pemakaian
-
42
sapaan Nyonya dalam contoh (34) dipengaruhi juga faktor jenis kelamin. Sapaan
Nyonya dipakai mitra tutur yang berjenis kelamin perempuan.
3.5. Jabatan
Faktor jabatan mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel Sekali
Peristiwa di Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Jabatan adalah
pekerjaan (tugas) dalam pemerintahan atau organisasi (KBBI, 1995: 392). Sapaan
yang dipengaruhi faktor jabatan yang terdapat dalam novel ini dibentuk
berdasarkan kombinasi istilah kekerabatan dan jabatan.
Sapaan yang dipengaruhi faktor jabatan dalam novel Sekali Peristiwa di
Banten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer dipakai untuk menyebut tokoh
yang memiliki jabatan tertentu. Beberapa contoh sapaan yang dipengaruhi faktor
jabatan yang terdapat dalam novel ini, sebagai berikut:
(35) Pak Kasan, yang tidak tahu duduk perkara yang sebenarnya menghampiri Juragan Musa sambil bertanya canggung: Pak Residen, barangkali membutuhkan bantuanku? Dengan suara mendesis murka Juragan Musa menjawab gagap: Pecahkan kepala perempuan murtad ini! (hlm.67,68)
Sapaan Pak Residen dalam contoh (35) menunjukkan adanya pengaruh
faktor jabatan. Sapaan tersebut dipakai untuk menyebut mitra tutur yang menjabat
sebagai pemimpin wilayah keresidenan. Dalam novel ini, sapaan Pak Residen
dipakai untuk menyebut tokoh Musa, seorang pembesar atau pejabat yang
membawa dokumen-dokumen penting organisasi DI (Toer, 2004: 65). Selain itu,
-
43
sapaan Pak Residen yang dipakai juga menunjukkan kemungkinan bahwa tokoh
Musa menjabat sebagai pemimpin organisasi DI dalam suatu wilayah keresidenan.
(36) Semua yang hadir diam-diam dengan gayanya masing-masing karena tenggelam dalam pikiran. Tetapi tidak lama kerena ketenangan segera diganggu oleh datangnya Yang Pertama. Pada muka, kaki, dan tangannya nampak bekas luka-luka kena senjata tajam. Segera ia ditegur oleh Pak Lurah waktu ia berdiri termangu-mangu: Nah, apa kabar? Sudah lama tidak kelihatan. Yang Pertama tersenyum malu, kemudian menerangkan: Pulang dari rumahsakit, Pak Lurah. Rumahsakit mana? Pelabuhan Ratu? Benar, Pak Lurah. Tidak jadi ke Jakarta? Mau apa lagi, Pak Lurah? (hlm. 114, 115)
Sapaan Pak Lurah dalam contoh (36) menunjukkan adanya pengaruh
faktor jabatan. Sapaan tersebut dipakai untuk menyebut mitra tutur yang menjabat
sebagai kepala desa. Dalam novel ini, sapaan Pak Lurah dipakai untuk menyebut
tokoh Ranta yang menjabat sebagai lurah darurat di desa tersebut (Toer, 2004:
83).
(37) Nyonya tak dapat menjawab, hanya menyembunyikan mukanya ke dalam kedua belah telapak tangannya. Dari balik telapak tangan itu terdengar suaranya yang kacaubalau: Apa yang mesti kukatakan, Pak Komandan? Komandan itu tak mengambil pusing Nyonya dan mendesak Juragan Musa; Dengar, Juragan Musa. Daerah sini daerah paling kacau. Sudah kuusahakan bermusyawarah dengan orang-orang terkemuka di sini dan Pak Lurah, tapi… Sekali lagi terdengar bunyi burung dari luar rumah, suatu isyarat yang disuarakan OKD, yang memberi alamat bahwa ada datang orang banyak. Komandan itu meninjau kelilingnya. Dengan terburu-buru ia memberikan perintah suami-isteri itu: Sekarang gerombolan akan datang. Juragan Musa, Nyonya, perbuat seperti Juragan dan Nyonya perbuat terhadap Pak Lurah tadi. Gerakgerik Juragan dan Nyonya kami awasi terus. (hlm. 67)
-
44
Sapaan Pak Komandan dalam contoh (37) menunjukkan adanya
pengaruh faktor jabatan. Sapaan tersebut dipakai untuk menyebut lawan bicara
yang menjabat sebagai komandan suatu pasukan dalam miter. Dalam novel ini,
sapaan Pak Komandan dipakai untuk menyebut tokoh Komandan yang menjabat
sebagai pimpinan prajurit yang bertugas menjaga keamanan di daerah tersebut
(Toer, 2004: 65, 73).
Pemakaian sapaan yang dipengaruhi oleh faktor jabatan dalam beberapa
contoh tuturan di atas dipengaruhi juga oleh faktor lain. Misalnya, pemakaian
sapaan Pak Komandan dalam sapaan (37) dipengaruhi juga oleh faktor jenis
kelamin. Sapaan Pak Komandan dipakai untuk menyebut mitra tutur yang
berjenis kelamin laki-laki.
3.6. Kekerabatan
Faktor kekerabatan mempengaruhi pemakaian sapaan dalam novel Sekali
Peristiwa di Benten Selatan karya Pramoedya Ananta Toer. Pemakaian sapaan
yang dipengaruhi faktor kekerabatan menunjukkan adanya hubungan kekerabatan
antara penututur dengan mitra tutur. Mansur -mengutip pendapat Eggan-
menyebutkan bahwa kekerabatan adalah hubungan sosial, baik akibat dari
keturunan darah, perkawin