sastra marjinal atau marjinalitas sastra · soal itu sudah menjadi klise, dan tak perlu ... poster...

1
'-= ..... I - IJ':J I (Xl g U) Co!) i 00 Sastra Marjinal atau Marjinalitas Sastra I NDONESIA sering disebut sebagai . salah satu bintang dalam berbagai versi kisah sukses mukjizat pertum- buhan ekonomi Asia Tenggara. Soal itu sudah menjadi klise, dan tak perlu dibahas berpanjang-lebar. Juga ten- tang belum meratanya proses dan par- tisipasi dalam perubahan sosial besar- besaran ini. .i&keping petunjuk dari kisah mukji- zat industri kapitalisme Indonesia ter- ungkap pada maraknya kegiatan kaum terdidik di kota yang dinamakan semi- nar, diskusi atabl klmgres ilmiah. Ham- pir-hampir tiadaclititanpa seminar di negeri ini. Tentu saja;fuiJh>ukan sekadar masalah jumlah dan frelruensi. Ini juga menyangkut masalah sosial ooq:limensi jamak bersifat transformatif. Kepincangan sosial \yang makro dan b!;!rlingkup nasional juga terungkap pa- da acara semacam seminar ata\lt kongres kaum akademikus. Salah satu COI\toh paling mutakhir adalah Pertemuan .I:FH. miah Nasional VII Himpunan Sarjana Indonesia (Hiski) 2-4 September 1996. Masih belum lama orang-orang kota di Indonesia kewalahan membaca ber- bagai iklan dan berita tentang berlang- sungnya seminar di sekitarnya. Masih belum lama para panitia penyelenggara acara seperti itu belajar mengatasi rasa kikuk mengkarciskan seminar. Kini orang merasa malu dan kuno jika tidak menerima kenyataan membaumya usa- ha dagang dan acara seminar yang du- lunya hanya berkonotasi percaturan di dunia ide. t;Acara seminar bukan saja menjadi hWangan kerja baru miripperiklan- an dan perjodohan baik bagi pihak maupun pesertanya. (di samping hotel atau jasa untuk penyelenggaraan seminar nlenjadi sektor bisnis tersendiri. Semi- juga menjadi tempat mengadakim (seperti kafe dan lapangan golf) <1$ perjodohan (seperti kampus). negeri ini banyak seminar dibuka W,ltuk umum dengan biaya pendaf- tidak kecil. Ada yang mencapai bingga dua setengah juta, atau l1Wnpir 10 kali gaji seorang sarjana lu- fakultas sastra bila beruntung segera mendapatkan pekerjaan seusai. Tidak mengherankan bila perang iklan dan perang spim- qukpromosi acara seminar di pusat- pPsat kota. Di sela-sela hutan spanduk Prpmosi seperti itulah sekitar 60 sar- menuju tempat pertemuan Hiski. > Jelas ini bukan hotal berbintang. acara nasional para sarjana sastra ini diadakan di k:Qmpleks PPPG Kejuruan, di desa Pa- $mg, Jawa Barat. Tidak jelek, tetapi Rrtill dari kemewahan yang secara ti\;irlomba-lomba digelar berbagai aca- h seminar di sini. sepanjang perjaianan dari sebuah i>ta kecil di Jawa Tengahmenuju ke t\tinpat pertemuan nasional itu, saya QtUsik kontras semacam itu. Saya me- lewati jalan tol megah warisan sebuah jiertemuan hebat: Jakarta.Air Show i})96. Saya melalui jalan-jalan di pusat kota yang dipadati spanduk iklan.Se- mempromosikan jasa dan konsurnsi serba fantastis se- Oleh Ariel Heryanto perti dalam kisah fiksi-sains atau mi- tos para raja. Poster dan papan-iklan film tentang berbagai kisah yang tidak saja fiktif tetapi jugafantastis. Kehidupan ibarat mimpi juga dijual lewat berbagai etalase pusat pertokoan dan hotel yang saya lewati di sepanjang perjalanan. Di antara ruang hotel ber- bintang itu, secara rutin berlangsung berbagai seminar serba fantastis: ten- tang demokrasi, utang luar negeri, kum dan sebagainya. Yang paling me- ngesankan, tentu saja iklan dari perusa- haan media massa. Mereka berlomba menjual berbagai dongeng dengan ber- bagai tema, misalnya PRD dan mobil nasional. Kedengarannya kisah ini jauh lebih surealis, absurd dan drama tis daripada karya fiksi Putu Wijaya, Iwan Simatupang, atau Danarto. *** tiba di tempat perte- muan Hiski setelalfmenyusuri jalan raspal yang sempit, padat dan ber- suasana pedesaan sekitar 50 km dari batas wilayah urban Jakarta. Untuk mendapatkan tempat pertemuan sese,- derhana itu pun bukan hal mudah bagi panitia. Seminggu menjelang acara ber- langsung, tempat acara yang semula dipesan panitia mendadak dibatalkan pemiliknya. Tempat itu akan dipakai pejabat negara yang dianggap lebih ter- hormat. Tentu saja bukan untuk mem- bicarakan perkembangan sastra. Seperti dilaporkan berangkai daJam harian ini, pertemuan nasional yang diadakan Hiski bertema umum peran sastra marjinal dalam perkembangan kesusasteraan Indonesia. Tak kurang 20 makalah dibahas dalam acara ta- hunan itu. Sebagaimana dapat sejak awal, para penyaji makalah dak saja menyampaikan analisis kasus danwawasan teoretik tentang sastra marjinal di Indonesia. Tak sedikit yang mempertanyakan konsep "sastra mar- jinal" itu sendiri, mengaji dan mem- bandingkan beberapa pilihan makna, atau mengunggulkan salah saW. pilih- an pengertian. Perasaan gamang saya hampir sem- puma. Dalam kondisi dan statusnya yang marjinal dari gencarnya proses sosial yang dipacu industri kapitalis- me Indonesia, pertemuan nasional ten- tang sastra membahas peran sebagian dari khasanah sastra yang dianggap marjinal (apa pun artinya) versus sas- tra yang sentral. Yang lebih mengharukan, puluhan sarjana sastra ini bertukar pemikiran tanpa perasaan marah, kecewa, atau diperlakukan tidak adil. Dengan se- mangat tinggi dan persahabatan an- tarrekan seprofesi, mereka memikir- kan sumbangan terbaik yang ctapat mereka berikan kepada pertumbuhan kesusasteraan bangsa ini. Tidak sedi- kit di antara mereka telah mengab- dikan dirinya untuk bidang sastra le- bib. lama dari seluruh usia pertum- buhan mukjizat ekonomi. nasional di bawah pemerintah Orde Baru. Mungkin saya peserta acara Hiski yang abnormal, karena mempersoalkan apa yang mungkin tidak mengganggu kebanyakan peserta lain. Saya· tidak berkeberatan dengan julukan seperti itu. Namun supaya tidak terjadi ke- salah-pahaman yang tidak perlu, se- baiknya beberapa hal perlu diperjelas. Pertama, masalah kesusasteraan memang pertama-tama dan yang terutama bukanlah masalah jumlah dana. Uraian di atas bukan imbauan agar ada semacam dana IDT (Inpres Desa Tertinggal) bagi Hiski, lembaga, atau individu yang berkecimpung di dunia kesusasteraan. Curahan dana semata-mata tidak akan meningkat- kan vitalitas kesusasteraan. Dengan hanya memindahkan tempat berlang- sungnya acara Hiski ke sebuah hotel berbintang lima juga tidak menjamin meningkatnya kualitas kajian sastra di kalangan para sarjana kita. Masalah materi yang diuraikan di atas hanyalah petunjuk kondisi marji- nalitas kesusasteraan kita. Pertanda itu menjadi konkret dan gamblang bi- la berwujud material. Tetapi pertana itu sendiri tidak identik dengan apa yang kita sebut sebagai kesusasteraan. Walaudana dan fasilitas bukanlah jaminan pertumbuhan kesusasteraan, sebaliknya kesusasteraan tak akan ber- tumbuh segadanpa komitmen, apresi- asi (non-material) dan dukungan dana memadai. Sebagian prasyarat pertum- buhan kajian sastra adalah perpus- takaan, penelitian, dan publikasi jumal profesional. Semuanya menuntut dana yang tidak mungkin diambil dari gaji individu para sarjana sastra. Hingga saat ini lembaga yang penuh pengabdi- an seperti Hiski baro mampu melaku- kan pertemuan setal}un sekali, di tem- pat sederhana yang sewaktu-waktu da- pat digusur. *** NASIB Hiski jelas bukan hanya mi- lik sarjana Indonesia yang berkecim- pung di dunia kesusasteraan. Tetapi ini bukan. berarti apa yang terjadi di Indonesia dan yang terjadi di Hiski merupakan sesuatu yang wajar atau alamiah. Semua itu merupakan kece- lakaan sosial yang dapat, jika mau, dibenahi secara sosial pula. Lebih keliru lagi jika ada yang me- ngatakan marjinalitas sastra meru- pakan konsekuensi wajar dalam ma- syarakat yang sedang memompa in- dustrialisasi karena perbedaan hakiki antara industri dan sastra. Industri di- anggap berkonsentrasi pada hal-hal yang material, faktual, dan berorien- tasi ilmiah-rasional sedangkan sastra berbasis pada fiksi dan berkiblat pada fantasi. Seperti penulis uraian diawal catatan ini, berbagai kisah industrial kapitallsme (mobil nasionai), polltik (PRD dan konflik internal PDI), hukum (lenyapnya Eddy Tansil) atau merebaknya konsumerisme di pusat- pusat pertokoan Indonesia merupakan teks fiksi yang berlimpah-limpah. Jauh lebih surealis, absurd dan £an- tastis dari teks yang dibilang fiksi. * * * *) Ariel Heryanto, peneliti sosial-bu- daya. Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>

Upload: vuquynh

Post on 12-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

'-= ~ ..... ~ ~

I -IJ':J

I (Xl

g U) Co!)

i 00

~ ~

Sastra Marjinal atau Marjinalitas Sastra INDONESIA sering disebut sebagai

.salah satu bintang dalam berbagai versi kisah sukses mukjizat pertum­

buhan ekonomi Asia Tenggara. Soal itu sudah menjadi klise, dan tak perlu dibahas berpanjang-lebar. Juga ten­tang belum meratanya proses dan par­tisipasi dalam perubahan sosial besar­besaran ini. .i&keping petunjuk dari kisah mukji­

zat industri kapitalisme Indonesia ter­ungkap pada maraknya kegiatan kaum terdidik di kota yang dinamakan semi­nar, diskusi atabl klmgres ilmiah. Ham­pir-hampir tiadaclititanpa seminar di negeri ini. Tentu saja;fuiJh>ukan sekadar masalah jumlah dan frelruensi. Ini juga menyangkut masalah sosial ooq:limensi jamak bersifat transformatif.

Kepincangan sosial \yang makro dan b!;!rlingkup nasional juga terungkap pa­da acara semacam seminar ata\lt kongres kaum akademikus. Salah satu COI\toh paling mutakhir adalah Pertemuan .I:FH. miah Nasional VII Himpunan Sarjana ~susasteraan Indonesia (Hiski) 2-4 September 1996.

Masih belum lama orang-orang kota di Indonesia kewalahan membaca ber­bagai iklan dan berita tentang berlang­sungnya seminar di sekitarnya. Masih belum lama para panitia penyelenggara acara seperti itu belajar mengatasi rasa kikuk mengkarciskan seminar. Kini orang merasa malu dan kuno jika tidak menerima kenyataan membaumya usa­ha dagang dan acara seminar yang du­lunya hanya berkonotasi percaturan di dunia ide. t;Acara seminar bukan saja menjadi

hWangan kerja baru ~ miripperiklan­an dan perjodohan ~ baik bagi pihak ~yelenggara maupun pesertanya. ~klanan (di samping hotel atau jasa ~) untuk penyelenggaraan seminar nlenjadi sektor bisnis tersendiri. Semi­~ juga menjadi tempat mengadakim ~QDi (seperti kafe dan lapangan golf) <1$ perjodohan (seperti kampus). ~1Di negeri ini banyak seminar dibuka W,ltuk umum dengan biaya pendaf­~an tidak kecil. Ada yang mencapai ~ka bingga dua setengah juta, atau l1Wnpir 10 kali gaji seorang sarjana lu­~an fakultas sastra bila beruntung segera mendapatkan pekerjaan seusai. ~Wisuda. Tidak mengherankan bila t~adi perang iklan dan perang spim­qukpromosi acara seminar di pusat­pPsat kota. Di sela-sela hutan spanduk Prpmosi seperti itulah sekitar 60 sar­~a menuju tempat pertemuan Hiski. > Jelas ini bukan hotal berbintang. '.It~patnya, acara p~rtemuan nasional para sarjana sastra ini diadakan di k:Qmpleks PPPG Kejuruan, di desa Pa­$mg, Jawa Barat. Tidak jelek, tetapi Rrtill dari kemewahan yang secara ti\;irlomba-lomba digelar berbagai aca­h seminar di sini. • ~Di sepanjang perjaianan dari sebuah i>ta kecil di Jawa Tengahmenuju ke t\tinpat pertemuan nasional itu, saya QtUsik kontras semacam itu. Saya me­lewati jalan tol megah warisan sebuah jiertemuan hebat: Jakarta.Air Show i})96. Saya melalui jalan-jalan di pusat kota yang dipadati spanduk iklan.Se­lt~an mempromosikan jasa dan ~'rang konsurnsi serba fantastis se-

Oleh Ariel Heryanto

perti dalam kisah fiksi-sains atau mi­tos para raja. Poster dan papan-iklan film tentang berbagai kisah yang tidak saja fiktif tetapi jugafantastis.

Kehidupan ibarat mimpi juga dijual lewat berbagai etalase pusat pertokoan dan hotel yang saya lewati di sepanjang perjalanan. Di antara ruang hotel ber­bintang itu, secara rutin berlangsung berbagai seminar serba fantastis: ten­tang demokrasi, utang luar negeri, hu~ kum dan sebagainya. Yang paling me­ngesankan, tentu saja iklan dari perusa­haan media massa. Mereka berlomba menjual berbagai dongeng dengan ber­bagai tema, misalnya PRD dan mobil nasional. Kedengarannya kisah ini jauh lebih surealis, absurd dan drama tis daripada karya fiksi Putu Wijaya, Iwan Simatupang, atau Danarto.

*** SAYA~klIDnya tiba di tempat perte­

muan Hiski setelalfmenyusuri jalan be~ raspal yang sempit, padat dan ber­suasana pedesaan sekitar 50 km dari batas wilayah urban Jakarta. Untuk mendapatkan tempat pertemuan sese,­derhana itu pun bukan hal mudah bagi panitia. Seminggu menjelang acara ber­langsung, tempat acara yang semula dipesan panitia mendadak dibatalkan pemiliknya. Tempat itu akan dipakai pejabat negara yang dianggap lebih ter­hormat. Tentu saja bukan untuk mem­bicarakan perkembangan sastra.

Seperti dilaporkan berangkai daJam harian ini, pertemuan nasional yang diadakan Hiski bertema umum peran sastra marjinal dalam perkembangan kesusasteraan Indonesia. Tak kurang 20 makalah dibahas dalam acara ta­hunan itu. Sebagaimana dapat didug~ sejak awal, para penyaji makalah ti~ dak saja menyampaikan analisis kasus danwawasan teoretik tentang sastra marjinal di Indonesia. Tak sedikit yang mempertanyakan konsep "sastra mar­jinal" itu sendiri, mengaji dan mem­bandingkan beberapa pilihan makna, atau mengunggulkan salah saW. pilih­an pengertian.

Perasaan gamang saya hampir sem­puma. Dalam kondisi dan statusnya yang marjinal dari gencarnya proses sosial yang dipacu industri kapitalis­me Indonesia, pertemuan nasional ten­tang sastra membahas peran sebagian dari khasanah sastra yang dianggap marjinal (apa pun artinya) versus sas­tra yang sentral.

Yang lebih mengharukan, puluhan sarjana sastra ini bertukar pemikiran tanpa perasaan marah, kecewa, atau diperlakukan tidak adil. Dengan se­mangat tinggi dan persahabatan an­tarrekan seprofesi, mereka memikir­kan sumbangan terbaik yang ctapat mereka berikan kepada pertumbuhan kesusasteraan bangsa ini. Tidak sedi­kit di antara mereka telah mengab­dikan dirinya untuk bidang sastra le­bib. lama dari seluruh usia pertum­buhan mukjizat ekonomi. nasional di bawah pemerintah Orde Baru.

Mungkin saya peserta acara Hiski yang abnormal, karena mempersoalkan

apa yang mungkin tidak mengganggu kebanyakan peserta lain. Saya· tidak berkeberatan dengan julukan seperti itu. Namun supaya tidak terjadi ke­salah-pahaman yang tidak perlu, se­baiknya beberapa hal perlu diperjelas.

Pertama, masalah kesusasteraan memang pertama-tama dan yang terutama bukanlah masalah jumlah dana. Uraian di atas bukan imbauan agar ada semacam dana IDT (Inpres Desa Tertinggal) bagi Hiski, lembaga, atau individu yang berkecimpung di dunia kesusasteraan. Curahan dana semata-mata tidak akan meningkat­kan vitalitas kesusasteraan. Dengan hanya memindahkan tempat berlang­sungnya acara Hiski ke sebuah hotel berbintang lima juga tidak menjamin meningkatnya kualitas kajian sastra di kalangan para sarjana kita.

Masalah materi yang diuraikan di atas hanyalah petunjuk kondisi marji­nalitas kesusasteraan kita. Pertanda itu menjadi konkret dan gamblang bi­la berwujud material. Tetapi pertana itu sendiri tidak identik dengan apa yang kita sebut sebagai kesusasteraan.

Walaudana dan fasilitas bukanlah jaminan pertumbuhan kesusasteraan, sebaliknya kesusasteraan tak akan ber­tumbuh segadanpa komitmen, apresi­asi (non-material) dan dukungan dana memadai. Sebagian prasyarat pertum­buhan kajian sastra adalah perpus­takaan, penelitian, dan publikasi jumal profesional. Semuanya menuntut dana yang tidak mungkin diambil dari gaji individu para sarjana sastra. Hingga saat ini lembaga yang penuh pengabdi­an seperti Hiski baro mampu melaku­kan pertemuan setal}un sekali, di tem­pat sederhana yang sewaktu-waktu da­pat digusur.

*** NASIB Hiski jelas bukan hanya mi­

lik sarjana Indonesia yang berkecim­pung di dunia kesusasteraan. Tetapi ini bukan. berarti apa yang terjadi di Indonesia dan yang terjadi di Hiski merupakan sesuatu yang wajar atau alamiah. Semua itu merupakan kece­lakaan sosial yang dapat, jika mau, dibenahi secara sosial pula.

Lebih keliru lagi jika ada yang me­ngatakan marjinalitas sastra meru­pakan konsekuensi wajar dalam ma­syarakat yang sedang memompa in­dustrialisasi karena perbedaan hakiki antara industri dan sastra. Industri di­anggap berkonsentrasi pada hal-hal yang material, faktual, dan berorien­tasi ilmiah-rasional sedangkan sastra berbasis pada fiksi dan berkiblat pada fantasi. Seperti penulis uraian diawal catatan ini, berbagai kisah industrial kapitallsme (mobil nasionai), polltik (PRD dan konflik internal PDI), hukum (lenyapnya Eddy Tansil) atau merebaknya konsumerisme di pusat­pusat pertokoan Indonesia merupakan teks fiksi yang berlimpah-limpah. Jauh lebih surealis, absurd dan £an­tastis dari teks yang dibilang fiksi. * * *

*) Ariel Heryanto, peneliti sosial-bu­daya.

Diunduh dari <arielheryanto.wordpress.com>