sebuah realita dari wanita yang dihalangi untuk

5
Aku dan sebuah realita dari wanita yang dihalangi untuk menikah 20 09 2010 Oleh : Abu Ibrahim Abdullah Terlalu banyak realita yang telah ku lihat, berita yang telah ku dengar, sebuah kesedihan yang mendalam, sebuah kesengsaraan dalam hidup yang justru dilakukan oleh orang-orang yang mencintainnya. Dilatarbelakangi karena jauhnya dari ilmu syar‟i, dibungkus dengan hawa nafsu dan dipoles dengan pola pikir yang keliru akhirnya berujung pada menyengsarakan orang-orang yang dicintainya bahkan buah hatinya sendiri tanpa disadari. Sepenggal cerita dibawah ini, semoga mewakili dari sekian banyak orang yang mengalaminya. Sebuah kisah tentang seorang anak perempuan yang melaknat ayah kandungnya sendiri, dikarenakan ayahnya melarangnya untuk menikah, memiliki keturunan yang baik baik dan menjaga kemaluannya dengan menikah. Berbagai alasan dikemukakan sang ayah, mulai dari alasan fisik sang laki-laki yang ingin menikahi, alasan status sosial dan alasan lainnya. Sampai akhirnya anak perempuannya tersebut semakin tua dan tidak menikah. Menjelang ajalnya, sang ayah meminta anak perempuannya untuk memaafkannya, namun sang anak mengatakan “Aku tidak mau memaafkan ayah yang telah membuatku menderita dan menyesal. Ayah yang telah menghalangiku dari hakku dalam hidup ini. Untuk apa aku menggantungkan segudang ijazah dan sertifikat di dinding rumah yang tidak akan pernah dilalui seorang bocah pun? Untuk apa ijazah dan gelar menemani tidurku dipembaringan, sementara aku tidak menyusui seorang bayipun dan tidak mendekapnya dipelukkanku. Aku tidak bisa berbagi cerita kepada laki-laki yang aku cintai dan sayangi, yang mencintai dan menyayangiku dan cintanya tidak seperti cinta ayah. Pergilah dan sampai bertemu pada hari kiamat nanti. Dihadapan Dzat Yang Maha Adil dan tidak pernah mendzalimi. Dzat yang memutus segala perkara. Dan Dzat yang tidak merampas hak seorangpun! Aku tidak akan pernah rela kepada ayah hingga tiba masa pertemuaan dihadapan Yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui.” Atau Sebuah akhir yang memilukan. Seorang anak perempuan yang dihalangi ayahnya untuk menikah karena ayahnya menolak ta‟addud (poligami), setiap kali datang kepadanya laki-laki yang ingin meminang putrinya, ia menolaknya, sampai putrinya berumur 40 tahun. Kemudian, putrinya ditimpa penyakit kejiwaan akibat sikapnya itu dan penyakitnya kian bertambah parah sehingga dirawat dirumah sakit. Ketika menjelang wafat, ayahnya mengunjunginya. Dia berkata kepada ayahnya, “ Mendekatlah kepadaku, mendekatlah,” ia berkata lagi, “kemarilah lebih mendekat.” Ayahnya mendekat. Kemudian, ia berkata kepada ayahnya, “katakan amin”,

Upload: angkot01

Post on 23-Nov-2015

9 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Aku dan sebuah realita dari wanita yang dihalangi untuk menikah

TRANSCRIPT

  • Aku dan sebuah realita dari wanita yang dihalangi

    untuk menikah

    20 09 2010

    Oleh : Abu Ibrahim Abdullah

    Terlalu banyak realita yang telah ku lihat, berita yang telah ku dengar, sebuah kesedihan

    yang mendalam, sebuah kesengsaraan dalam hidup yang justru dilakukan oleh orang-orang

    yang mencintainnya. Dilatarbelakangi karena jauhnya dari ilmu syari, dibungkus dengan hawa nafsu dan dipoles dengan pola pikir yang keliru akhirnya berujung pada

    menyengsarakan orang-orang yang dicintainya bahkan buah hatinya sendiri tanpa disadari.

    Sepenggal cerita dibawah ini, semoga mewakili dari sekian banyak orang yang

    mengalaminya.

    Sebuah kisah tentang seorang anak perempuan yang melaknat ayah kandungnya

    sendiri, dikarenakan ayahnya melarangnya untuk menikah, memiliki keturunan yang

    baik baik dan menjaga kemaluannya dengan menikah. Berbagai alasan dikemukakan sang ayah, mulai dari alasan fisik sang laki-laki yang ingin menikahi, alasan status sosial dan

    alasan lainnya. Sampai akhirnya anak perempuannya tersebut semakin tua dan tidak menikah.

    Menjelang ajalnya, sang ayah meminta anak perempuannya untuk memaafkannya, namun

    sang anak mengatakan Aku tidak mau memaafkan ayah yang telah membuatku menderita dan menyesal. Ayah yang telah menghalangiku dari hakku dalam hidup ini. Untuk apa aku

    menggantungkan segudang ijazah dan sertifikat di dinding rumah yang tidak akan pernah

    dilalui seorang bocah pun? Untuk apa ijazah dan gelar menemani tidurku dipembaringan,

    sementara aku tidak menyusui seorang bayipun dan tidak mendekapnya dipelukkanku. Aku

    tidak bisa berbagi cerita kepada laki-laki yang aku cintai dan sayangi, yang mencintai dan

    menyayangiku dan cintanya tidak seperti cinta ayah. Pergilah dan sampai bertemu pada hari

    kiamat nanti. Dihadapan Dzat Yang Maha Adil dan tidak pernah mendzalimi. Dzat yang

    memutus segala perkara. Dan Dzat yang tidak merampas hak seorangpun! Aku tidak akan

    pernah rela kepada ayah hingga tiba masa pertemuaan dihadapan Yang Maha Bijaksana

    dan Maha Mengetahui.

    Atau Sebuah akhir yang memilukan.

    Seorang anak perempuan yang dihalangi ayahnya untuk menikah karena ayahnya menolak

    taaddud (poligami), setiap kali datang kepadanya laki-laki yang ingin meminang putrinya, ia menolaknya, sampai putrinya berumur 40 tahun. Kemudian, putrinya ditimpa penyakit

    kejiwaan akibat sikapnya itu dan penyakitnya kian bertambah parah sehingga dirawat

    dirumah sakit. Ketika menjelang wafat, ayahnya mengunjunginya. Dia berkata kepada

    ayahnya, Mendekatlah kepadaku, mendekatlah, ia berkata lagi, kemarilah lebih mendekat. Ayahnya mendekat. Kemudian, ia berkata kepada ayahnya, katakan amin,

  • ayahnya berkata amin, Kemudian untuk kedua kalinya ia berkata, katakan amin, ayahnya berkata amin, Lalu ia berkata kepada ayahnya, semoga Allah menghalangimu dari surga sebagaimana kamu telah menghalangiku dari menikah dan mendapatkan anak. Setalah itu ia wafat

    Tak bisa ku bayangkan kesedihan dan penderitaan mereka, yang membuat hati ini pilu jika

    mendengar, melihat kisah dan kehidupan mereka.

    Tak tahu apa yang harus ku ketik pada kertas ini kecuali sebuah ayat yang semoga

    meyadarkan kita semua terutama para wali dari para wanita yang berada dibawah

    kewaliannya.

    Apabila kamu mentalak (mencerai) isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya, maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka menikah lagi dengan bakal suaminya,

    apabila telah terdapat kerelaan diantara mereka dengan cara yang maruf. Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang yang beriman diantara kamu kepada Allah dan hari

    kemudian. Itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak

    mengetahui. (Qs. Al Baqarah : 232)

    Sebuah ayat yang menjelaskan kepada kita semua, tentang tidak bolehnya seorang wali

    menghalang halangi untuk menikahkan orang yang berada dibawah kewaliannya, jika mereka telah saling ridho tanpa alasan yang dibenarkan oleh syariat islam. Dari mulai alasan

    calon suaminya belum mapan, atau alasan agar putrinya menyelesaikan studinya dulu atau

    meniti karirnya dulu, atau karena alasan adat dan uang atau karena alasan mahar sampai pada

    alasan tidak mau putrinya dipoligami.

    Berkata Asy Syaikh Abdurrahman As Sadi Rahimahullah : Pembicaraan ayat ini kepada para waIi dari perempuan yang dicerai dengan perceraian yang bukan perceraian

    yang ketiga apabila telah habis masa iddah. Dan mantan suaminya menginginkan untuk

    menikahinya kembali dan perempuannya ridho dengan hal itu. Maka tidak boleh walinya

    melarang untuk menikahkannya karena marah atas laki-laki tersebut, atau tidak suka dengan

    perbuatannya karena perceraian yang pertama (Taisirul Karimir Rahman, pada ayat ini)

    Berkata Ibnu Katsier Rahimahullah : Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang yang beriman diantara kamu kepada Allah dan hari

    kemudian ) Maksudnya inilah yang Kami (Allah) larang, yaitu tindakan para wali yang

    menghalangi pernikahan wanita dengan calon suaminya, jika masing-masing dari keduanya

    sudah saling meridhai dengan cara yang maruf, hendaknya ditaati, diperhatikan dan diikuti (Tafsir Ibnu Katsier pada ayat ini)

    Ku hanya ingin mengatakan kepada para wali bertakwalah kepada Allah, takutlah

    kalian kepada Allah atas perbuatan kalian dari menghalangi untuk menikahkan wanita

  • wanita yang berada dibawah kewalian kalian tanpa alasan yang dibenarkan dalam agama ini. Karena hal itu adalah sebuah tindakan kedzaliman atas mereka.

    Apakah kalian rela mempertaruhkan kebahagian putri-putri kalian hanya karena

    uang, studi disekolah sekolah ikhtilat, karir, adat atau perkara lainnya sehingga menghalangi putri-putri kalian menikah dengan laki-laki sholeh pilihannya.

    Menjadi Orang Tua Teladan

    Menghindari Hutang Dan Menyegerakan Membayarnya

    Segera Menikahkan Anak Ditulis oleh Sahabat Quran

    Tidak segera menikahkan anak-anaknya padahal mereka sangat membutuhkan dan punya

    kemampuan adalah tindakan orang tua yang kurang terpuji. Sebagian orang tua (ayah) ada

    yang tidak mau menyegerakan untuk menikahkan anak-anaknya, padahal mereka amat

    berkeinginan untuk menikah, sedangkan orang tua mampu untuk menikahkan mereka. Hal ini

    dapat menyebabkan anak-anak menyeleweng dan menyimpang dari jalan yang lurus,

    disamping akan tergoda berbagai macam fitnah dan rayuan-rayuan yang merugikan.

    Menunda untuk menikahkan anak-anak perempuannya dan membisniskan mereka. Sikap semacam ini merupakan kesalahan yang sangat fatal. Sebagian orang tua sengaja

    memperlambat pernikahan anak-anak perempuannya, terutama bila anak perempuannya itu

    seorang guru atau seorang pegawai yang karenanya orang tua mendapatkan sebagian dari

    kebutuhan duniawi. Sebagian orang tua ada juga yang membisniskan anak perempuannya dengan cara menunggu laki-laki yang bersedia menikahi anak perempuannya dengan

    maskawin yang sangat mahal. Perbuatan semacam ini merupakan tindakan kriminal terhadap

    anak perempuan. Bahkan, laki-laki yang mau meminang anak perempuannya itu sudah

    berputus asa dan tidak lagi berhasrat. Dengan demikian, orang tua menanggung dosa mereka

    (anak perempuannya).

    Pun demikian, bagi orang tua yang mempunyai anak perempuan yang masih kuliah, orang tua

    dapat menikahkan anak perempuannya tanpa harus menunggu kuliahnya lulus. Pernikahan

    model ini biasanya dikenal dengan istilah pernikahan dini. Karena, anak perempuan dianggap

    oleh masyarakat masih bau kencur belum waktunya menikah. Padahal kesiapan menikah

    secara fiqih paling tidak diukur dengan tiga hal, yang terpenting anak dapat memenuhi syarat-

    syarat sebagai persiapan sebuah pernikahan.

    Pertama, kesiapan jima, yaitu kesiapan pemahaman hukum-hukum fiqih yang berkaitan

    dengan urusan pernikahan, baik hukum sebelum menikah, seperti hukum khitbah (melamar),

    pada saat nikah, seperti syarat dan rukun aqad nikah, maupun sesudah nikah, seperti hukum

    nafkah, thalak, dan ruju. Syarat pertama ini didasarkan pada prinsip bahwa frdhu ain hukumnya bagi seorang muslim mengetahui hukum hukum perbuatan yang sehari-hari

    dilakukannya atau yang akan segera dilaksanakannya.

  • Kedua, kesiapan materi. Yang dimaksud harta di sini ada dua macam, yaitu harta sebagai

    mahar (QS An Nisaa : 4) dan harta sebagai nafkah suami kepada isterinya untuk memenuhi

    kebutuhan pokok/ primer (al hajat al asasiyah) bagi isteri yang berupa sandang, pangan, dan

    papan (QS Al Baqarah: 233, dan Ath Thalaq : 6). Mengenai mahar, sebenarnya tidak mutlak

    harus berupa harta secara materiil, namun bisa juga berupa manfaat, yang diberikan suami

    kepada isterinya, misalnya suami mengajarkan suatu ilmu kepada isterinya. Dan ketiga,

    kesiapan fisik/kesehatan khususnya bagi laki-laki, yaitu maksudnya mampu menjalani

    tugasnya sebagai laki-laki, tidak impoten.

    Bagi mahasiswa yang masih kuliah, berarti mereka sedang menjalani suatu kewajiban, yaitu

    menuntut ilmu. Sedangkan menikah hukum asalnya adalah tetap sunnah baginya, tidak wajib,

    selama dia masih dapat memelihara kesucian jiwa dan akhlaqnya, dan tidak sampai

    terperosok kepada perbuatan haram meskipun tidak menikah. Karena itu, dalam keadaan

    demikian harus ditetapkan kaidah aulawiyat (prioritas hukum), yaitu yang wajib harus lebih

    didahulukan daripada yang sunnah. Artinya, kuliah harus lebih diprioritaskan daripada

    menikah.

    Alasan lain, mengapa orang tua tidak segera menikahkan putrinya adalah mencari calon

    pasangan yang sekufu (sepadan). Banyak orang tua yang tidak berkeinginan untuk

    menikahkan putrinya dengan laki-laki yang beragama dan berakhlak. Bahkan, mereka

    berkeinginan menikahkan putrinya dengan laki-laki yang berkedudukan, pejabat, hartawan,

    atau menikahkan putrinya dengan keluarga dekat tanpa melihat (memperhatikan) agama dan

    akhlaknya. Sudah pasti tindakan demikian merupakan kesalahan, kekeliruan, pengabaian, dan

    menyia-nyiaan amanat.

    Ketika hendak berangkat menikah, yang terbesit dalam hati barangkali adalah kerinduan

    untuk memiliki anak shaleh-shalehah yang berbakti kepada-Nya. Inilah anak yang dirindukan

    oleh setiap pasangan suami istri. Anak yang shalih yang mendoakan ketika para pelayat telah selesai menimbunkan tanah di pekuburan kita.

    Kerinduan untuk memiliki anak yang herbakti kepada-Nya sejak kita berkeinginan untuk

    menikah, bukan saja boleh. Bahkan kita perlu membakarnya agar lebih meluap-luap lagi.

    Sehingga kerinduan itu membuat kita mempersiapkan diri. Kalau orang tua merindukan anak-

    anak yang demikian, mari kita dengarkan kata-kata Rasulullah: Allah merahmati seseorang yang membantu anaknya berbakti kepada-Nya, sabda Nabi SAW. Beberapa orang di sekeliling Nabi bertanya: Bagaimana caranya, ya Rasulullah? Beliau menjawab: Dia menerima yang sedikit darinya, memaafkan yang menyulitkannya, dan tidak membebaninya,

    tidak pula memakinya.

    Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Thabrani, Rasulullah bersabda, Bantulah anak-anakmu untuk berbakti. siapa yang menghendaki, dia dapat melahirkan kedurhakaan melalui

    anaknya. Siapa yang menghendaki, begitu Rasullullah yang mulia berkata, dia dapat melahirkan kedurhakaan melalui anaknya. Semoga tidak satupun di antara kita yang

    menghendaki anak-anak yang durhaka. Semoga tidak satu pun. Tetapi apa yang sudah kita

    lakukan? Sudahkah kita membantu anak-anak kita untuk berbakti sebagaimana yang

    diserukan oleh Rasulullah SAW?

    Saya tidak berani menjawab. Marilah kita bertanya pada diri kita masing-masing.

    Selanjutnya, marilah kita tengok sekeliling kita. Mereka yang frustasi dan memberontak pada

    orangtua, anak-anak siapakah itu? Mereka yang tertangkap saat meminum obat-obat

  • terlarang, anak-anak siapakah itu? Mereka yang berkelahi dan saling menerkam, anak-anak

    siapakah itu? Mereka bukan orang lain. Di antara mereka adalah anak-anak orang Islam.

    Bapaknya Islam. Ibunya Islam. Dan kampung mereka dikenal sebagai kampung Islam.

    Mengapa ini terjadi?

    Saya tidak berani menjawab. Marilah kita bertanya pada diri kita masing-masing. Pada saat

    yang sama, marilah kita lihat apa yang terpancang di rumah-rumah saudara kita. Kalau dulu

    mereka mengisi saat-saat yang sepi dengan kidung barzanji atau maulid nabi, sekarang telah

    berganti dengan antena parabola dan pesawat televisi di atas 30 inchi. Kalau dulu mata yang

    maksiat ditangisi tak henti-henti, sekarang hiburan telanjang dihadirkan ke rumah-rumah

    orang mukmin melalui televisi dengan mengorbankan waktu-waktu produktif. Sementara, koran-koran menyajikan isu dan gosip yang tak jelas ujung pangkalnya lantaran semua telah

    berdiri di atas agama baru yang bernama bisnis dan konsumtivisme. Baju baru menjadi lebih

    berharga daripada harga diri, sehingga seorang gadis bersedia tidak perawan lagi demi

    memperolek gemerlap mode dan penampilan trendy.

    Betapa banyak yang telah kita lupakan atau bahkan sengaja kita tinggalkan. Kalau dulu

    tetangga merasa ikut bertanggungjawab atas kebaikan anak tetangganya sehingga anak-anak

    berkembang dalam kesejukan, sekarang ketika orangtua mendapati anaknya nakal yang

    terucap adalah kata-kata, Apa salah saya? Kenapa anak saya yang begini? Padahal, perasaan tidak pernah menyakiti orang lain. Kenapa anak saya yang begini? menyiratkan kesaksian hati untuk mengikhlaskan anak-anak orang lain rusak, asal jangan merusak anak

    sendiri. Sehingga ketika anak sendiri yang rusak, pertanyaan yang muncul adalah, Kenapa anak saya yang begini? Kenapa bukan anak orang lain?