sekolah tinggi filsafat theologi...

14
Bank: 1. SCA Cabang Matrarnan (yAY LEMBAGA PTTEOLOGTJAKARTA), No. 342302 2635 2. Bank MANDIRl Cabang Cikini (LEMBAGA PERGURUAN TINGG] TEOLOGI), No. 1230005625 431 Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta untuk menjadi pembicara dalam VIVEKA "Fides et Ratio" dengan tema "Iman dan IImu: Sebuah Pengantar" yang diselenggarakan pada 19 Februari 2020 di STFT Jakarta. Demikian surat ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya. [abatan Binsar Jonathan Pakpahan, Ph.D. Dosen tetap dan Wakil Ketua 4 Bidang Relasi Publik STFT Jakarta Nama Pemimpin Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta melalui surat ini menugaskan: SURAT TUGAS No. : 071a/Ketua/II/2020 Hal : Penugasan Mewakili STFT Jakarta [alan Proklamasi 27 Jakarta 10320, Indonesia Tel. +62-21-3904237 Fax. +62-21-3906096 Email: [email protected] http://W\vw.sttjakarta.ac.id/ SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTA (SEKOLAH TINGGI TEOLOGI JAKARTA) JUARTA

Upload: others

Post on 12-Nov-2020

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTArepository.stftjakarta.ac.id/wp...Pembicara-Viveka-19-Februari-2020.pdf · Demikian surat ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya

Bank: 1. SCA Cabang Matrarnan (yAY LEMBAGA PTTEOLOGTJAKARTA), No. 342302 26352. Bank MANDIRl Cabang Cikini (LEMBAGA PERGURUAN TINGG] TEOLOGI), No. 123000 5625 431

Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta

untuk menjadi pembicara dalam VIVEKA "Fides et Ratio" dengan tema "Iman dan IImu:

Sebuah Pengantar" yang diselenggarakan pada 19 Februari 2020 di STFT Jakarta.

Demikian surat ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya.

[abatan

Binsar Jonathan Pakpahan, Ph.D.

Dosen tetap dan Wakil Ketua 4 Bidang Relasi Publik STFT Jakarta

Nama

Pemimpin Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta melalui surat ini menugaskan:

SURAT TUGAS

No. : 071a/Ketua/II/2020

Hal : Penugasan Mewakili STFT Jakarta

[alan Proklamasi 27Jakarta 10320, IndonesiaTel. +62-21-3904237Fax. +62-21-3906096Email: [email protected]://W\vw.sttjakarta.ac.id/

SEKOLAH TINGGI FILSAFATTHEOLOGI JAKARTA(SEKOLAH TINGGI TEOLOGI JAKARTA)JUARTA

Page 2: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTArepository.stftjakarta.ac.id/wp...Pembicara-Viveka-19-Februari-2020.pdf · Demikian surat ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya

1

VIVEKA VII “Fides et Ratio” Sekolah Tinggi Filsafat Theologi Jakarta Jl. Proklamasi No. 27, Jakarta Pusat 10320

Iman dan Ilmu: Sebuah Pengantar Binsar Jonathan Pakpahan, Ph.D

[email protected]

Pendahuluan

Viveka1 kali ini mengambil tema fides et ratio, iman dan akal.2 Agama dan sains telah berada dalam pendulum yang berayun dalam hal otoritas tertinggi penentu kebenaran, meski kali ini, sejak abad pencerahan, pendulum yang mengarah ke sains sepertinya lebih mendapatkan momentum. Kita sudah jauh dari masa Galileo dihukum oleh gereja karena menyatakan hal yang dianggap melawan doktrin agama bahwa bumi berevolusi mengelilingi matahari. Kita sekarang ada di era yang lebih menggairahkan, masa yang hidup dengan kemajuan teknologi, percepatan penelitian di berbagai bidang, dan tibanya kita dalam dunia sains modern.

Perdebatan antara kaum agama dan sains berada dalam pembuktian dan klaim kebenaran. Kaum sains selalu mengklaim bahwa pengetahuan harus bisa dibuktikan secara saintifik, dengan metode yang benar dan bisa dibuktikan kembali. Meski demikian, klaim saintifik juga bisa berubah karena perkembangan zaman yang membuat mereka menemukan bukti yang berbeda. Sesuatu belum benar sampai terbukti benar. Sementara itu klaim agama adalah berdasarkan iman. Kebenaran dalam agama tidak bisa dibuktikan secara ontologis, apalagi ketika berbicara soal Tuhan. Kesulitan seperti ini membuat dulu banyak orang ragu mengenai kebenaran klaim teologis.

Beragama atau beriman di dunia sains modern memiliki banyak tantangan, terutama karena perbedaan cara menalar dalam upaya pencarian kebenaran. Salah satu keyakinan yang dimiliki oleh pihak agama, atau orang beriman adalah bahwa kebenaran berasal dari Sang Mahakuasa. Kebenaran ilahi tidak bisa diuji, karena manusia tidak memiliki kemampuan untuk menguasai kebenaran ilahi, bahkan jika manusia bisa mencapai pengetahuan tersebut, dia menjadi sama dengan Allah. Manusia juga sudah jatuh dalam dosa, dan akibatnya manusia memiliki keterbatasan dalam menerima kebenaran dari Allah.

1 Viveka adalah sebuah program “Program Bina Warga Jemaat dan Aktivis Bersertifikat” yang

dirancang oleh STFT Jakarta untuk mempopularkan studi teologi bagi warga gereja. Program ini mendorong

peserta yang berasal dari gereja untuk memasuki pergumulan teologi dalam situasi kehidupan yang majemuk

sekaligus mendorong STFT Jakarta untuk menghadirkan studi teologi bagi pergumulan umat. Dengan kata lain,

Viveka diharapkan menjadi “ruang ketiga” (third space) yang mempertemukan academia dan ecclesia. 2 Istilah iman saya gunakan untuk menggambarkan kepercayaan seseorang kepada suatu yang Ilahi,

dan akal adalah metode atau cara seseorang memproses rasionya untuk sampai kepada sebuah kesimpulan. Saya akan menggunakan istilah iman secara bertukar dengan agama, dan istilah akal dengan rasio, dan mungkin di sana sini dengan filsafat.

Page 3: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTArepository.stftjakarta.ac.id/wp...Pembicara-Viveka-19-Februari-2020.pdf · Demikian surat ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya

2

Karena itu kebenaran bagi orang beriman datang dari karunia akal budi yang diberikan kepada manusia. Manusia harus menggunakan akal budi untuk mencapai pengetahuan, namun kebenaran sesungguhnya tetap berasal dari Allah (Mulder 1997, 19). Pada akhirnya, ketika manusia sampai ke keterbatasan pengetahuannya, dia mampu menerima bahwa ada suatu hal yang menjadi misteri ilahi (bnd. Yoh. 20:29).

Secara epistemologis, cara sains untuk mencapai pengetahuan dan kebenaran berbeda dengan agama. Bertrand Russell menjelaskan bahwa,

Sains merupakan upaya untuk menemukan, dengan cara observasi, dan penalaran yang didasarkan atasnya, pertama-tama, fakta-fakta partikular tentang dunia, dan kemudian hukum-hukum yang mengaitkan fakta-fakta tersebut satu dengan lainnya dan (dalam kasus-kasus yang menguntungkan) menjadikannya mungkin untuk memprediksi kejadian-kejadian di masa depan. (Russell 2005, 30)

Pada dasarnya metode saintifik berusaha menggunakan teknik ilmiah, yang harus bisa diuji ulang dan dibuktikan melalui cara terukur dan bisa direproduksi.

Salah satu perdebatan yang paling kontroversial sampai saat ini adalah mengenai teori evolusi vs penciptaan. Bagi kaum saintifik, evolusi adalah jawaban dari keberadaan semua makhluk di alam semesta. Kita semua berevolusi melalui waktu yang lama dan kehidupan selalu berasal dari kehidupan yang lain. Something comes from something. Sementara itu kaum agama menyatakan bahwa segala sesuatu berasal dari Allah. Allah memulai keberadaan dan sebelum keberadaan tidak ada apa-apa. In the beginning there was nothing. God creates out of nothing, atau creatio ex nihilo. Perdebatan ini terus berlanjut hingga tahun 2019. Masih ada sekolah yang harus memilih di Amerika Serikat misalnya, untuk mengajarkan teori penciptaan atau evolusi di sekolahnya.3

Jika demikian, bagaimana cara kita mendialogkan perbedaan antara kedua hal yang sepertinya datang dari cara berpikir yang berbeda?

Pertanyaan di atas akan selalu muncul dalam pembicaraan kita sepanjang Viveka season 7. Kita akan melihat bahwa teologi akan dipertentangkan dengan filsafat (pertemuan 2), atau bahwa manusia sekarang sudah menjadi tuhan bagi dirinya sendiri (pertemuan 3), bagaimana iman dan kebudayaan bertemu dan siapa yang akan mengatasi yang lain (pertemuan 4). Setelah itu kita akan melihat berbagai perdebatan antara akar kata yang sama dalam oikoumene dan oikoumene (pertemuan 5), bagaimana memilah akar masalah kejiwaan seseorang atau apakah dia sedang dikuasai oleh Roh Kudus (pertemuan 6). Setelah itu, kita akan memiliki diskusi mengenai praksis langsung relasi fides et ratio di Indonesia, seperti di politik (pertemuan 7), Pancasila (pertemuan 8), ekologi (pertemuan 9), dan akhirnya kita akan menutup season ini dalam ibadah yang menggunakan akal budi (bnd. 1Kor. 14:15). Pembicara viveka season ini adalah orang-orang yang ahli dalam bidangnya, yang akan membawa kita ke dalam percakapan mendalam mengenai apa yang menjadi masalah utama dari tiap topik. Pertemuan pertama akan memberi arah, juga memperli-hatkan peta perdebatan iman dan akal yang merupakan pemantik dari diskusi kita selama 10 pertemuan.

3 Isu pendidikan teori evolusi dan teori intelligence design masih menjadi diskusi hangat di Amerika

Serikat, lihat

https://en.wikipedia.org/wiki/Creation_and_evolution_in_public_education_in_the_United_States (diakses 8

September 2018).

Page 4: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTArepository.stftjakarta.ac.id/wp...Pembicara-Viveka-19-Februari-2020.pdf · Demikian surat ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya

3

Pertanyaan utama dalam makalah yang saya sajikan adalah, apa tantangan utama dalam pola relasi iman dan akal, serta model-model relasi seperti apa yang sudah ada, dan bagaimana sikap teologi, juga orang beriman, terhadap kemajuan teknologi tersebut.

Revolusi Industri 4.0 (I4): Dari Algoritma ke Artificial Intelligence

Dalam memperlihatkan diskusi antara iman dan akal, kita perlu tahu dulu posisi kita sekarang dalam dunia teknologi, filsafat, dan teologi. Konteks yang banyak dibicarakan oleh gereja-gereja di Indonesia dalah era Revolusi Industri 4.0 (I4) yang sedang berlangsung pada saat ini. Era I4 ditandai dengan berbagai disrupsi yang menggugat cara-cara bekerja yang dianggap normal serta kemajuan teknologi yang berpusat kepada sistem Artificial Intelligence, pengumpulan Big Data, perubahan fokus dari analog ke digital, kepemilikan aset intangible (jejaring, kekuatan sistem, dan potensi) daripada tangible (aset harta, tanah, bangunan), dan perubahan hard-labour menjadi operator. Ketika kita masih banyak berkutat di I4, sekarang bahkan sudah ada pembicaraan mengenai Revolusi Industri 5.0 – yang merupakan era personalisasi dan penggabungan peran manusia dan mesin. Menurut saya perpindahan tema ini merupakan ciri generasi sekarang yang biasanya belum selesai membahas satu hal tetapi sudah pindah ke pembahasan yang lain. Saya tidak melihat Revolusi Industri 5.0 sebagai suatu hal yang berdiri sendiri, melainkan pengembangan dari I4.

Kata revolusi industri dipinjam dari bidang teknologi untuk menggambarkan sistem yang digunakan untuk memproduksi barang. Revolusi industri menjadi penanda perubahan karena setiap aspek kehidupan kemudian dipengaruhi oleh cara manusia memproduksi barang-barang. Perubahan ini akan mempengaruhi aspek ekonomi, perputaran informasi dan ide, transportasi, dan penggunaan tenaga mesin yang menggantikan manusia.4

Revolusi industri keempat, atau “Industry 4.0” atau “I4” pertama kali digunakan di Hannover Fair pada 2011 yang mempromosikan produksi berbasis komputer dan kecerdasan buatan (artificial intelligence).

Ciri utama dari I4 ada 4:

1. Kesempatan yang berkembang melalui data besar.

(1) Kekuatan sebuah organisasi atau perusahaan bukan lagi di jumlah produksi yang mereka miliki, melainkan jaringan yang mereka punya.

(2) Internet mengubah definisi mengenai waktu, jarak, dan teknik komunikasi manusia dengan mesin.

2. Terbukanya informasi

4 Revolusi industri dimulai dengan mekanisasi tenaga air, uap, dan penggunaan mesin untuk

menggantikan tugas-tugas manusia di pabrik. Hal ini menimbulkan pergolakan karena banyak orang yang merasa pekerjaannya diambil alih oleh mesin. Revolusi industri kedua dimulai dengan perubahan cara memproduksi pabrik yang menggunakan assembly line. Perubahan membuat produksi menjadi lebih efisien dan manusia didorong menjadi lebih konsumtif, termasuk ide menggunakan barang sekali pakai dengan materi plastik. Plastik kemudian kita kenal sekarang sebagai musuh utama lingkungan hidup karena ketidakmampuan alam untuk mengurainya. Revolusi industri ketiga ditandai dengan penggunaan komputer untuk mengerjakan masalah-masalah yang tidak bisa diselesaikan manusia seperti penghitungan, membangun model simulasi besar, dan lain sebagainya.

Page 5: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTArepository.stftjakarta.ac.id/wp...Pembicara-Viveka-19-Februari-2020.pdf · Demikian surat ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya

4

(1) Informasi menjadi transparan, tidak ada lagi rahasia, yang pada akhirnya membawa pertanyaan soal privasi.

(2) Data yang terbuka ternyata lebih banyak digunakan oleh pihak marketing, yang dengan efektif berhasil mempromosikan produknya kepada konsumen yang datanya tersimpan secara digital.

(3) Algoritma5 otomatis yang diatur oleh AI6 dalam berbagai mesin pencari dan media sosial membuat keterpisahan antarkelompok berdasarkan minat.

3. Optimisasi produksi.

(1) Koneksi membuat sebuah perusahaan bisa membuat sebuah produk tanpa perlu membuat semua komponen yang diperlukan untuk produk tersebut. Mode demikian menghasilkan metode outsourcing.

(2) Logistik menjadi bisnis yang penting daripada produksi, karena semua orang bisa memproduksi. Proses penyimpanan dan penyaluran barang menjadi produk pada dirinya sendiri.

(3) Sebuah industri kecil bahkan bisa membuat prototipe dari produknya tanpa perlu berkonsultasi dengan perusahaan besar dengan printer 3D, dan market bisa ditemukan melalui internet.

4. Proses pengambilan keputusan.

(1) Pertemuan fisik tidak lagi diperlukan, karena “tatap muka” betul-betul hanya membutuhkan tatap muka via skype, facetime, whatsapp video call, atau google hangout.

(2) Artificial Intelligence membantu manusia dalam proses pengambilan keputusan (autonomous car, autopilot, algoritma media sosial).

(3) Keputusan tidak lagi sentral pada satu pihak melainkan pada beberapa aktor

Revolusi Industri 4.0 telah membawa beberapa peluang dan tantangan dalam kehidupan gereja. Beberapa hal yang mesti kita hadapi adalah perubahan pola pikir dan pemahaman mengenai penggunaan teknologi dalam gereja, dan pola dari generasi yang berubah.

Dalam menghadapi perubahan , ada beberapa pesan yang disebut oleh WCC dalam buku Virtual Christianity (2004) telah mencoba melihat berbagai tantangan yang akan muncul dalam zaman internet. Sikap yang harus dimiliki tiap gereja adalah menerima dengan pragmatis, praktis, juga berhati-hati karena perubahan adalah keniscayaan (Bazin & Cottin 2004, 4). Gereja juga diminta untuk bisa menemukan pesannya sendiri, dan

5 Algoritma adalah angka yang digunakan untuk memberi urutan langkah logis yang digunakan untuk

suatu isu, dengan menggunakan penalaran otomatis dalam kecerdasan artifisial yang mampu memproses data dan menghasilkan rumus yang lebih baik. Media sosial menggunakan logika ini untuk menunjukkan kepada kita apa yang dia pikir kita sukai, sehingga dia mempermudah kita untuk menemukan apa yang kita perlukan. Ketika hal ini terjadi, anda sudah tidak lagi menemukan apa yang anda ingin temukan, tetapi apa yang mesin artifisial pikir mengenai apa yang anda perlukan.

6 Artificial Intelligence adalah kecerdasan artifisial yang mampu belajar sendiri dan mengambil keputusan berdasarkan input data yang diberikan kepadanya untuk menghasilkan jawaban yang lebih baik.

Page 6: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTArepository.stftjakarta.ac.id/wp...Pembicara-Viveka-19-Februari-2020.pdf · Demikian surat ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya

5

memberikan warna ideologinya sehingga tidak tenggelam dalam pesan dunia maya yang penuh dengan ideologi komersial dan teknologi.

Relasi Fides et Ratio

Agama dan sains memiliki perbedaan utama dalam cara mereka melihat dirinya sendiri. Sains memiliki sikap terbuka terhadap dirinya sendiri, sampai dia dibuktikan salah. Pada mulanya, sains selalu terbuka untuk verifikasi maupun koreksi. Sementara itu, agama bertujuan untuk membuat orang percaya tanpa mempertanyakan lagi klaim pewahyuan yang disampaikannya. Kalimat terakhir ini hanya benar sampai masa reformasi. Ketika Martin Luther mulai menerjemahkan Alkitab ke Bahasa Jerman, lalu membuka kesempatan bagi awam untuk membaca Alkitab, gereja merasionalkan iman ke dalam kehidupan jemaat. Agama justru mulai terbuka untuk verifikasi mengenai metode, namun tidak kepada dasar kebenaran yang dianggap absolut, yaitu Allah. Sementara itu, pada masa ini kita melihat beberapa gerakan yang secara terbuka menolak klaim kebenaran agama karena dia tidak mengikuti metode yang dimiliki oleh sains.

Ada beberapa pendekatan yang telah dilakukan antara kedua belah pihak. Gereja Katolik Roma misalnya, memiliki kelompok saintifik di kalangan pastornya. Bahkan, pihak agama juga mengatakan bahwa agama monoteis adalah penyebab kemunculan sains. Louis Leahy menjelaskan bahwa upaya “menaklukkan alam” yang menjadi perintah Allah dalam agama monoteis membuat mereka yang hidup di negara dengan keyakinan tersebut menciptakan cara untuk melakukannya. Sementara itu, penduduk negara dengan pemahaman hidup harmoni antara alam dan manusia, karena keseimbangan yang disebabkan oleh kepercayaan kepada banyak dewa, tidak memiliki mental penaklukan (Leahy 1997, 11-23). Monoteisme di negara-negara kekristenan telah membuat mereka mengembangkan sains, dengan tujuan untuk menguasai alam sebagai perintah dari Allah.

Untuk memahami relasi panjang antara agama dan sains, kita bisa menggunakan tipologi Ian Barbour (2000). Keempat pola ini adalah: konflik, mandiri, dialog, dan integrasi.

Pertama tipologi konflik. Dalam pola pertama ini, Barbour mengatakan bahwa agama tidak bisa disatukan dengan sains. Agama dianggap lebih menggunakan perasaan dan sains lebih menggunakan logika. Salah satu contoh konflik ini adalah teori penciptaan vs teori evolusi. Jika pihak agama menggunakan pembacaan teks yang literer, dia akan menolak teori evolusi yang diajukan oleh sains. Menurut saya, tipologi ini tidak lagi tepat, karena pada saat ini banyak teori sains yang didukung oleh penelitian yang dimulai oleh pihak agama. Dalam bidang IT dan AI, agama masih bersikap hati-hati dan lebih memberikan masukan mengenai bagaimana memandang nilai manusia.

Kedua, agama dan sains berdiri masing-masing secara independen. Dalam tipologi ini, agama tidak berurusan dengan sains dan sains tidak perlu mencampuri agama. Kedua bidang memiliki metodologi sendiri dalam bidang keilmuannya. Dalam pemahaman ini, agama juga tidak perlu cepat-cepat menyimpulkan bahwa segala sesuatu berasal dari karya Allah, dan bidang sains tidak perlu menjelaskan fenomena agama. Namun, tipologi ini juga tidak bisa lagi dipertahankan karena di bidang AI dan IT kita sudah diperhadapkan kepada munculnya pertanyaan-pertanyaan eksistensialis, seperti, mungkinkah ciptaan (AI) melampaui penciptanya.

Page 7: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTArepository.stftjakarta.ac.id/wp...Pembicara-Viveka-19-Februari-2020.pdf · Demikian surat ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya

6

Tipologi ketiga adalah model dialog, sehingga kedua bidang bisa saling bertanya dan melengkapi. Kelemahan dalam tipologi ini, kedua jawaban yang diberi oleh masing-masing pihak pasti datang dari asumsi yang berbeda. Sains akan menjawab bahwa kemunculan AI itu adalah perkembangan yang tak terhindarkan, sementara agama akan mengingatkan sains untuk tidak bermain peran Tuhan. Dari data yang sama, sains dan agama menggunakan metode yang berbeda untuk menginterpretasinya. Hal ini bisa menjadi positif ketika keduanya berdialog dan mau saling mendengarkan.

Tipologi terakhir adalah integrasi, di mana agama akan menggunakan penjelasan sains untuk fenomena keilahian. Ada tiga jenis teologi yang berkembang untuk mengintegrasikan sains ke dalam pemahaman teologi: teologi natural yang dimulai dari pertanyaan tentang Allah dan menjelaskan keberadaan-Nya di dunia, teologi alam yang memulai dari segala hasil ciptaan dan menyimpulkan kehadiran Allah, dan teologi sintesis sistematis yang menggabungkan sains dan agama (Barbour 1990, 23-30).

Sementara itu, Gijsbert van den Brink, teolog dan filosof asal Belanda mengungkapkan bahwa filsafat sains memperlihatkan cara untuk menilai sains dari kemungkinan dan keterbatasannya (Van den Brink 2004, 22). Sementara itu, dengan kriteria yang sama, teologi bisa juga disebut sebagai “sains praktis,” karena dia menggunakan metode yang saintifik dalam hal meneliti “percakapan,” “bukti,” atau “pemahaman” mengenai Allah. Kemampuan untuk memeriksa metode berteologi membuat teologi masuk ked alam ranah ilmu pengetahuan. Yang diteliti dalam teologi adalah bagaimana orang berelasi dengan Allah dalam doa, pemahaman Alkitab, tafsir, dan reaksi terhadap iman (Van den Brink 2004, 269).

Johanis Haba, seorang teolog dan peneliti LIPI menyatakan bahwa pewahyuan Allah melalui Alkitab, mendorong berkembangnya ilmu pengetahuan. Berbagai penemuan di masa setelah gereja berhubungan erat dengan keinginan para ahli agama untuk mencari jawaban dalam dunia (Haba 2015, 45). Gereja harusnya lebih berani menggunakan temuan-temuan saintifik modern (fakta-fakta versus fiksi dan mitos) dan metode penelitian untuk merelevansikan ajarannya bagi dunia modern (Haba 2015, 48).

Posisi apa pun yang diambil oleh gereja dalam melihat relasi antara agama dan sains, iman dan akal, dia tetap harus menghadapi kemunculan AI dalam era Revolusi Industri 4.0 dan beberapa isu teologis yang muncul. Perdebatan ini akan saya tampilkan di bawah.

Dokumen Fides et Ratio

Dalam berbicara mengenai relasi iman dan akal, kita tidak boleh melupakan sebuah dokumen penting yang dikeluarkan oleh Gereja Katolik. Paus Yohanes Paulus II mengeluarkan sebuah Ensiklik7 kepada semua uskup Gereja Katolik mengenai hubungan iman dan akal budi pada 14 September 1998. Dokumen ini mendapatkan sambutan yang luas dari berbagai kalangan, terutama karena Paus Yohanes Paulus II justru memperlihatkan bahwa iman dan akal memiliki akar yang sama. Dalam dokumen tersebut, Paus Yohanes Paulus II menegaskan relasi penting antara filsafat untuk memahami iman, serta batasan filsafat yang menolak kebenaran yang datang dari pewahyuan (Paulus II 1998, par. 100).

7 Ensiklik adalah surat amanat Paus kepada para uskup. Dia tidak bersifat otoritatif, tetapi

mengundang diskusi melalui peringatan, penguatan, atau eksposisi doktrinal.

Page 8: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTArepository.stftjakarta.ac.id/wp...Pembicara-Viveka-19-Februari-2020.pdf · Demikian surat ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya

7

Iman dan akal selalu berhubungan dan saling berkontribusi untuk kemajuan dari kemanusiaan. Paus Paulus II bahkan mengatakan bahwa iman dan akal adalah kompatibel.

Meski teologi akan selalu dibatasi dan didukung oleh konteks gerejanya, Paus Yohanes Paulus II menyebutkan bahwa kedua pihak harus terus mencari apa makna dari kehidupan. Filsafat juga akan membantu manusia untuk menyadari keterbatasan kapasitasnya dalam pencarian kebenaran. Paus Paulus II mendorong teolog untuk mulai memikirkan implikasi filosofis dari kebenaran Allah dan menjaga dimensi kebenaran iman melalui eksplorasi filosofis.

Menurutnya, perpisahan iman dan akal dimulai ketika Thomas Aquinas mengenali perbedaan cara berpikir filosofis dan teologis. Sebagai hasilnya, pemisahan ini membuat orang bisa belajar filsafat tanpa iman, dan hasilnya adalah berkembangnya paham rasionalis. Kedua pihak akhirnya saling mencurigai dan akhirnya mendorongnya semakin menjauh. Sains yang tidak pernah jauh dari iman, setelah berpisah dari teologi, akhirnya mendorong orang untuk tidak percaya dan menjadi ateis humanis. Humanisme bahkan sering dilihat sebagai agama yang baru dengan rasional sendiri. Sebagai akibatnya, penemuan saintifik dipisahkan dari penelitian mengenai konsekuensi moral yang mengikutinya. Karena tidak ingin mencari kebenaran sejati, atau sudah mengklaim bahwa kebenaran sejati tidak ada, para filosof masa kini kemudian mendorong kebenaran yang relatif. Karena itu Paus Paulus II percaya bahwa,

That faith and philosophy recover the profound unity which allows them to stand in harmony with their nature without compromising their mutual autonomy. The parrhesia of faith must be matched by the boldness of reason. (Paus Paulus II 1998, par. 48)

Dalam dokumen tersebut, Paus Paulus II juga mengucapkan pesan kepada para ilmuwan,

Finally, I cannot fail to address a word to scientists, whose research offers an ever greater knowledge of the universe as a whole and of the incredibly rich array of its component parts, animate and inanimate, with their complex atomic and molecular structures. So far has science come, especially in this century, that its achievements never cease to amaze us. In expressing my admiration and in offering encouragement to these brave pioneers of scientific research, to whom humanity owes so much of its current development, I would urge them to continue their efforts without ever abandoning the sapiential horizon within which scientific and technological achievements are wedded to the philosophical and ethical values which are the distinctive and indelible mark of the human person. (Paulus II 1998, par. 106)

Paus mengingatkan para ilmuwan untuk tidak melupakan hal yang lebih penting dari sekadar mengeluarkan penelitian terkini, yaitu untuk memerhatikan nilai filosofis dan etis dari penemuan mereka. Paus menginginkan teologi dan sains untuk tetap berdiri sendiri secara otonom, namun secara bersama saling mendukung dalam penemuan penting bagi kehidupan bersama.

MASALAH RIIL BAGI PERCAKAPAN IMAN DAN AKAL

Iman tanpa Akal, dan Akal tanpa Moral

Saya setuju dengan permintaan Paus Yohanes Paulus II untuk tidak meninggalkan relasi yang baik antara iman dan akal, bahwa keduanya memiliki metode yang otonom, namun saling membutuhkan. Sepertinyaada dua tendensi yang muncul di masa modern ini.

Page 9: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTArepository.stftjakarta.ac.id/wp...Pembicara-Viveka-19-Februari-2020.pdf · Demikian surat ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya

8

Pertama adalah iman tanpa akal. Beberapa pemimpin agama sering mengklaim kebenaran sebagai miliknya sendiri, dan akhirnya kebenaran ini diikuti tanpa pemikiran kritis oleh pengikutnya. Beberapa konflik dunia belakangan ini muncul akibat radikalisme pemahaman agama yang kemudian menegasikan kehadiran orang yang berbeda dari dirinya. Kita bisa melihat betapa mudahnya orang diradikalisasi melalui media sosial atau internet dan melakukan bom bunuh diri. Agama memiliki sisi yang cukup ekstrem ketika akal dikesampingkan dalam mengikuti berbagai klaim perintah pemimpin agama.

Di sisi lain, akal tanpa iman juga membawa kita kepada berbagai penemuan yang tidak pernah dipikirkan konsekuensinya. Beberapa peneliti bahkan tanpa ragu mengatakan bahwa tugas meneliti moralitas adalah milik yang lain, bahwa mereka hanya bertugas untuk mencari pengembangan teknologi. Hasilnya, beberapa teknologi dilahirkan dulu, sebelum kita sempat memikirkan konsekuensinya bagi masa depan dunia, hanya demi kemajuan teknologi. Beberapa contohnya adalah percobaan operasi pemindahan kepala dan teknologi cryochamber.

Dalam perkembangan kedua cara berpikir yang ekstrem, kita semakin melihat kebutuhan dari iman dan akal untuk berkolaborasi, paling tidak dalam memikirkan apa itu manusia, apa tujuannya, dan bagaimana kita bisa mengembangkan kemanusiaan tanpa menghancurkannya.

Makna Persekutuan dan Rasa Kesepian

Teknologi telah memungkinkan kita untuk bertemu tanpa berjumpa di dunia fisik. Kita bisa beribadah di depan layar televisi meski tidak ikut dalam persekutuan. Teknologi membuat kita bertanya-tanya mengenai arti perjumpaan, Syarat sebuah persekutuan adalah jemaat yang berjumpa dalam sebuah ruang yang sama. Dalam banyak diskusi, makna persekutuan selalu merujuk kepada perkataan Yesus, “Sebab di mana dua atau tiga orang berkumpul dalam Nama-Ku, di situ Aku ada di tengah-tengah mereka” (Mat. 18:20). Dalam perkataan ini ada tiga hal yang perlu kita telaah bersama. Pertama faktor manusia, dua pihak atau lebih. Kedua faktor perkumpulan dari para manusia tersebut. Ketiga, faktor kehadiran Kristus, yang kemudian terikat dengan waktu.

Kedua adalah soal perkumpulan. Kita memiliki pertanyaan apakah berkumpul selalu mengasosiasikan beberapa pihak tersebut berada dalam ruang yang sama? Tentu pertanyaan ini tidak bisa kita samakan dengan konteks Tuhan Yesus, karena mereka tidak memiliki pertanyaan yang sama dengan kita. Bagi mereka, perkumpulan adalah pertemuan dalam sebuah ruang tiga dimensi. Namun bagi kita, dengan perbedaan definisi mengenai ruang, ruang cyber, dengan IP (Internet Protocol) address juga menjadi sebuah “ruang” di mana orang bisa berkumpul dalam suatu forum.

Perkumpulan mensyaratkan perjumpaan antarmanusia. Seiring dengan kemajuan teknologi, perjumpaan didefinisikan ketika kita melakukan percakapan sambil saling “melihat” dan “mendengar.”8 Dengan definisi perjumpaan adalah saling melihat dan mendengar, tanpa sentuhan fisik, seorang mahasiswa akan dianggap hadir ketika dia bisa memperlihatkan diri dan mendengar/bicara dalam ruang belajar virtual. Oleh karena itu, diskusi teologis yang menjadi fokus utama adalah apa makna kehadiran? Dalam Bahasa

8 Definisi ini menjadi problematis ketika dihadapkan pada mereka yang buta dan tuli.

Page 10: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTArepository.stftjakarta.ac.id/wp...Pembicara-Viveka-19-Februari-2020.pdf · Demikian surat ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya

9

Indonesia, kehadiran berarti “adanya (seseorang, sekumpulan orang) pada suatu tempat” (KBBI s.v. “kehadiran”). Jika ruang virtual adalah “tempat”, maka kehadiran virtual – dalam bentuk melihat dan mendengar – juga adalah kehadiran.

Dengan pemahaman demikian, persekutuan virtual, selama mereka berkumpul di satu ruang, dan bisa saling melihat dan mendengar, bisa kita definisikan sebagai perseku-tuan yang sepenuhnya. Inilah tantangan bagi gereja nanti. Apakah virtual presence bisa kita samakan dengan real presence (secara 3 dimensi)?

Pada saat yang sama, kita melihat meningkatnya keluhan atau laporan mengenai kesehatan mental. Orang yang terhubung di media sosial dan internat justru merasa terpisah dari yang lain. Angka yang meningkat mungkin ada juga hubungannya dengan semakin sadarnya orang akan percakapan mengenai kesehatan mental. Namun di saat yang sama, keterhubungan teknologi tidak membuat orang lebih bahagia. Di sini, teknologi bisa membantu agama, dan agama bisa memberi peringatan kepada teknologi mengenai apa makna kehadiran yang tidak membuat seseorang merasa kesepian.

Realitas dan Hiperrealitas

Kenyataan masyarakat di abad XXI tentu tidak bisa lepas dari budaya virtual reality. Manuel Castells seorang sosiolog dan ahli kultur urban, melihat kedekatan antara budaya real dan virtual dan mengatakan bahwa,

Reality (that is, people’s material / symbolic existence) is entirely captured, fully immersed in a virtual image setting, in the world of make believe, in which appearances are not just on the screen through which experience is communicated, but they become the experience. (Castells 1996, 373)

Definisi Cartells mengenai realitas memperlihatkan bahwa simulasi dan simbol yang tadinya menjadi alat yang menggambarkan dan menjelaskan kenyataan ternyata bergerak untuk menggantikan kenyataan itu sendiri (Bell 2007, 83). Dengan kata lain, sebuah tanda yang digunakan untuk menjelaskan kenyataan pada akhirnya menjadi kenyataan itu sendiri.

Satu hal yang menjadi ganjalan juga dalam teori Baudrillard adalah klaim bahwa Allah juga bisa dijelaskan sebagai simulacrum dari keinginan manusia yang tidak terpenuhi, dan akhirnya simbol itu menjadi yang utama. Baudrillard menulis, “...God never existed, that only the simulacrum ever existed... If they could have believed that these images only obfuscated or masked the Platonic Idea of God, there would have been no reason to destroy them.” (Baudrillard 1994, 4-5). Karena itu, pertanyaan kita adalah apakah betul yang real itu adalah real dan bukan simulacrum dari yang real?

Dalam dunia modern, mereka yang mengetahui soal simulacrum kemudian bergerak untuk menguasainya sebagai cara untuk mengubah kenyataan dan mengarahkan orang ke persepsi yang ingin ditampilkannya. Beberapa studi yang dilakukan lebih lanjut adalah dalam topik marketing dan desain mal dan supermarket. Desain produk juga bisa membuat seseorang melupakan bahwa produk tersebut sebenarnya sedang merepresentasikan sesuatu, dan pada akhirnya bisa membuat sebuah produk menjadi real pada dirinya sendiri. Misalnya, sebuah boneka jeruk dibuat untuk menggambarkan produk sunquist yang sebenarnya adalah representasi dari jeruk. Yang menjadi masalah adalah ketika orang melihat representasi boneka jeruk tersebut dan justru mengingat produk sunquist dan bukan jeruk.

Page 11: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTArepository.stftjakarta.ac.id/wp...Pembicara-Viveka-19-Februari-2020.pdf · Demikian surat ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya

10

Media memiliki kekuatan yang besar dalam masalah representasi yang kita gambarkan di atas (Ritzer dan Smart 2003). Baudrillard melihatnya sebagai sebuah kenyataan yang membawa masalah. Ada beberapa filosof yang melihat simulacrum sebagai kesempatan untuk mengubah persepsi masyarakat akan hal-hal yang nantinya membawa kebaikan.

Tantangan kemudian yang kita hadapi adalah untuk mengetahui apa yang real. Strategi hyperreality adalah nilai yang mengambang sehingga nilai bukan lagi tergantung kepada apa yang suatu kenyataan itu tawarkan melainkan bagaimana kita memersepsikan sesuatu itu, atau lebih buruk lagi, bagaimana pihak yang memiliki kekuatan mengendalikan dunia melalui simulacrum yang mereka ciptakan. Menurut Baudrillard, cara melawan hiperrealitas adalah dengan menciptakan hiperrealitas lain yang akan mengalahkannya (Baudrillard 2001, 123). Jika demikian, apakah yang real itu ketika persaingan yang muncul adalah antara hyperreal vs hyperreal?

Dengan belajar dari pengalaman Baudrillard, Bartholomew & Goheen menyatakan bahwa konsumerisme yang mendominasi dunia kita memperlihatkan pentingnya kita kembali kepada realitas (Bartholomew & Goheen 2013, 187-188). Agama bisa memberi peringatan kepada teknologi untuk melihat pergeseran makna ini.

Ibadah & Teknologi

Penggunaan projector LCD dalam ibadah dimulai oleh gereja pentakostal dan karismatik. Pada mulanya mereka perlu membebaskan tangan mereka dari tugas memegang teks agar jemaat bertepuk tangan sambil bernyanyi. Ilustrasi dalam bentuk video dan gambar juga membantu orang lebih fokus kepada pesan yang ingin disampaikan. Meski, tampilan multimedia yang buruk dapat menjadi batu sandungan bagi jemaat yang kritis. Teknologi mempunyai tiga wajah bagi teologi. Pertama, teknologi membantu menyebarluaskan pesan teologi. Kedua, teknologi mengganggu teologi. Dan ketiga, teknologi menjadi alat bagi teologi. Monsma pernah memprediksi penggunaan teknologi bagi masa kita,

Technology and its results are so much with us that, like the air we breathe, their presence and effects go unnoticed and unanalyzed. As a result modern technology and all it entails are often accepted by default, with few questioning what life would be like if humankind performed tasks and attained goals by other means. (Monsma 1986, 1)

Saya sendiri melihat gereja lebih mudah menerima penggunaan teknologi pada tahun 2015-an hingga sekarang daripada sebelumnya. Beberapa gereja bahkan pernah menolak penggunaan LCD karena dianggap mengganggu konsentrasi orang dari ibadah. Sementara itu, tata ibadah yang diproyeksikan ke multimedia menolong pengurangan penggunaan kertas dalam ibadah. Teknologi multimedia pada akhirnya memang membantu bagi jemaat yang bisa menggunakannya secara maksimal.

Selanjutnya, muncul pertanyaan di mana posisi yang sakral dalam ibadah? Dalam era teknologi, batasan mengenai yang sakral dan profan menjadi hilang. Kekritisan kita akan kebenaran informasi juga membuat kita mempertanyakan segala hal. Generasi baru juga tidak lagi melihat barang-barang yang dulu dianggap sakral sebagai hal yang sakral. Contohnya, apakah kita masih melihat Alkitab sebagai buku yang berisi Firman Allah atau sebagai Firman Allah. Ada sebuah masa di mana Alkitab hanya bisa disebarkan melalui

Page 12: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTArepository.stftjakarta.ac.id/wp...Pembicara-Viveka-19-Februari-2020.pdf · Demikian surat ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya

11

format buku. Namun, di era digital, buku bukan lagi kebutuhan karena kita sudah menemukan berbagai format lain yang memudahkan pembacaan konten (e-book misalnya).

Spiritualitas vs Religiusitas

Di masa perkembangan teknologi, kita membedakan spiritualitas dan religiusitas. Meski berhubungan keduanya tidak otomatis saling membutuhkan. Nancy Ammerman dalam Spiritual but not Religious? Beyond Binary Choice in the Study of Religion mengungkapkan bahwa spiritualitas adalah partisipasi terhadap kegiatan-kegiatan keagamaan, etika atau cara hidup, mengalami kehadiran Tuhan, tujuan hidup, kepercayaan kepada Tuhan, dan sesuatu yang berorientasi pada batin seseorang (Ammerman 2013, 263-264; Hardjana 2005). Sementara, religiusitas merujuk kepada keterikatan kepada sebuah organisasi keagamaan yang memiliki aturan baku, hari keagamaan, aturan/tata peribadahan, dsb.

Pada era I.4, istilah spiritualitas lebih disukai daripada religiusitas karena beberapa hal. Pertama, spiritualitas dipandang sebagai sepertinya lebih bersifat individual dan religiusitas bersifat komunal (Harvey 2016, 129). Karena bersifat individu, pengembangan spiritualitas juga bisa dilakukan dalam berbagai model (Pakpahan 2014, 141–43). Karena itu, spiritualitas dilihat sebagai pengembangan diri sendiri yang lebih otentik karena terhubung kepada individu. Ammerman mengatakan, “spirituality as “more authentic” than organized religion because they themselves have created it” (Ammerman 2013, 259). Lalu, faktor pengalaman buruk umat beragama terhadap para pemimpin agama membuat orang lebih memilih spiritualitas yang membuat seseorang berhubungan langsung kepada Allah daripada pemimpin organisasi (Fuller 2001, 6).

Sementara itu, spiritualitas tidak bisa lepas dari religiusitas karena tujuan dari agama adalah membangun spiritualitas umat. Graham Harvey menulis istilah SBNR (Spiritual But Not Religious) untuk mencoba memisahkan kedua istilah tersebut. Baginya, spiritualitas tidak harus terikat kepada sebuah organisasi atau unsur agama (Harvey 2016, 164). Spiritualitas tidak melulu terikat kepada apa yang institusi religius definisikan. Media dan budaya kontemporer yang dipopulerkan oleh teknologi turut membentuk definisi spiritualitas (Ammerman 2006, 71-72).

Sebagai lembaga religius, gereja juga ditantang untuk memikirkan ulang definisi spiritualitas yang mereka tawarkan, terutama dalam menyebutkan bagaimana seseorang membangun spiritualitasnya. Dalam kecenderungan kebutuhan generasi milenial mengenai pertumbuhan spiritualitas pribadi, yang otentik, menantang gereja untuk menyediakan persekutuan yang juga memfasilitasi perjumpaan personal antara individu dengan Allah. Gereja harus hati-hati dalam menimbang faktor komunal dan individual bagi spiritualitas jemaat.

Penutup

Makalah yang saya buat masih belum selesai, karena harus dijawab dalam beberapa pertemuan yang masih akan terjadi. Saya juga tidak akan memberi jawaban, karena masih ada 9 sesi lagi yang harus menjelaskan bagaimana iman dan akal bisa bekerja sama, atau saling menjauhkan diri, atau saling mengalahkan dalam beberapa tema berikutnya. Semoga pemaparan hari ini membantu kita semua memahami peta relasi iman dan akal dalam perkembangan zaman terkini.

Page 13: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTArepository.stftjakarta.ac.id/wp...Pembicara-Viveka-19-Februari-2020.pdf · Demikian surat ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya

LAPORAN KEGIATAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKATMEMBERI MATERI KURSUS TEOLOGI VIVEKA DI STFT JAKARTA DENGAN MATERI:IMAN DAN ILMU-ILMU LAINNYA.JAKARTA, 19 FEBRUARI 2020STFT Jakarta mengadakan kursus teologi berseri yang dinamai VIVEKA. Dalam kursusini peserta akan mengikuti 10 sesi pembinaan topik tertentu dalam teologi. Kali ini,tema yang diberikan adalah Iman dan Ilmu-ilmu lain. Saya membuka seri kursus inidengan memberi dasar mengenai seperti apa relasi teologi dan iman dengan ilmu-ilmulain yang berkembang dengan pesat.Dalam penyampaian terhadap 40 peserta kursus, saya menjelaskan berbagai tantanganteologi berhadapan dengan perkembangan ilmu yang mengandalkan data empiris.Peserta tampak antusias, karena mereka banyak mengajukan pertanyaan relevan, yangsesuai dengan bidang pekerjaan mereka masing-masing.Demikian laporan saya sampaikan,Jakarta 19 Februari 2020Binsar J. Pakpahan, Ph.D

Page 14: SEKOLAH TINGGI FILSAFAT THEOLOGI JAKARTArepository.stftjakarta.ac.id/wp...Pembicara-Viveka-19-Februari-2020.pdf · Demikian surat ini dibuat untuk dipergunakan sebagaimana mestinya

Agustinus Setiawidi, Th.D.Wakil Ketua I STFTJakarta

Bidang Akademik

yang diselenggarakan pada 19 Februari 2020di Sekolah Tinggi Filsafat Theologi JakartaJalan Proklamasi 27 Jakarta Pusat 10320

Iman dan lImu: Sebuah Pengantar

sebagai Pembicara dalam kegiatanViveka Semester Genap 2020/2021

dengan judul

Binsar J. Pakpahan, Ph.d

Diberikan Kepada

SERTIFIKAT