seminar
DESCRIPTION
trauma abdomenTRANSCRIPT
BAB II
KONSEP DASAR
A. Pengertian
Trauma multipel atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan secara
fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan kematian dan
memberi impak pada fisikal, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan disabilitas
fungsional. Trauma kepala paling banyak dicatat pada pasien politrauma dengan kombinasi
dari kondisi yang cacat seperti amputasi, kelainan pendengaran dan penglihatan, post-
traumatic stress syndrome dan kondisi kelainan jiwa yang lain.
Trauma yang terjadi pada kecelakaan lalu lintas memiliki banyak bentuk, tergantung
dari organ apa yang dikenai. Trauma semacam ini, secara lazim disebut sebagai trauma
benda tumpul (trauma multiple). Ada 3 trauma yang sering terjadi dalam peristiwa ini yaitu
cidera kepala, trauma thorax (dada), dan fraktur (patah tulang).
Trauma pertama yaitu trauma kepala termasuk trauma jenis berat, merupakan trauma
yang memiliki prognosis (harapan hidup) yang buruk. Hal ini disebabkan oleh karena kepala
merupakan pusat kehidupan seseorang. Di daalam kepala terdapat otak yang mengatur
seluruh aktivitas manusia, mulai dari kesadaran, bernapas, bergerak, melihat, mendengar,
mencium bau, dan banyak lagi fungsinya. Jika otak terganggu, maka sebagian atau seluruh
fungsi tersebut akan terganggu. Gangguan utama yang paling sering terlihat adalah fungsi
kesdaran. Itulah sebabnya, trauma kepala sering diklasifikasikan berdasarkan derajat
kesadaran, yaitu trauma kepala ringan, sedang, dan berat. Makin rendah kesadaran seseorang
makin berat derajat trauma kepala.
Trauma kedua yang paling sering terjadi dalam sebuahkecelakaan adalah fraktur
(patahh tulang). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang
yang umumnya disebabkan oleh tekanan atau rudapaksa. Fraktur dibagi atas fraktur terbuka,
yaitu jika patahan tulang itu menembus kulit sehingga berhubungan dengan udara luar, dan
fraktur tertutup, yaitu jika fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar.
Trauma yang ketiga, yang sering terjadi pada kecelakaan adalah trauma dada atau
toraks. Tercatat, seperempat kematian akibat trauma disebabkan oleh trauma toraks. Di
5
dalam toraks terdapat dua orang yang sangat vital bagi kehidupan manusia, yaitu paaru-paru
dan jantung. Paru-paru sebagai alat pernapasan daan jantung sebagai alat pemompa darah.
Jika terjadi benturan alias trauma pada dada, kedua orang tersebut bisa mengalami gangguan
atau bahkan kerusakan. Gangguan yang biasa terjadi pada paru-paru pasca kecelakaan adalah
fraktur iga, kontusio (memar)paru, dan hematotoraks. Fraktur iga merupakan cedera toraks
yang terbanyak. Fraktur iga tidak termasuk kedalam fraktur yang dijelaskan sebelumnya
karena efek dari fraktur ini lebih kompleks daripada fraktur di daerah lain yaitu bisa
menganggu paru-pru dan jantung. Kontusio paru adalah memar atau peradangan pada paru,
sedangkan hematotoraks adalah terdapatnya darah di dalam selaput paru.
Fraktur dikenal dengan istilah patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau
tenaga fisik, kekuatan, sudut, tenaga,keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi tersebut lengkap atau tidak lengkap ( Silvia, 2006 ).
Multiple fraktur adalah lebih dari satu garis fraktur ( Silvia, 2006 ). Multiple fraktur
adalah keadaan dimana terjadi hilangnya kontinuitas jaringan tulang lebih dari satu garis
(Silvia, 2006).
Multiple fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan
yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat
berupa trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah
tulang radius dan ulna, dan dapat berubah trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu
pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah (Mansjoer, 2000).
Multiple Fraktur adalah trauma tulang pada lebih dari dua fraktur yang disebabkan oleh
ruda paksa, misalnya : kecelakaan, benturan hebat yang ditandai oleh rasa nyeri,
pembengkakan, deformitas, dan lain-lain (Hudak, 2001).
Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan multiple fraktur adalah
keadaan dimana terjadi hilangnya kontinuitas jaringan tulang lebih dari satu garis yang
disebabkan oleh tekanan eksternal yang di tandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas
dan gangguan fungsi pada area fraktur.
B. Etiologi/ Predisposisi
Penyebab tersering terjadinya multiple trauma dan fraktur adalah trauma tumpul yang
terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor dan jatuh, sedangkan trauma tusuk (penetrasi)
6
seringkali diakibatkan oleh luka tembak atau luka tikam. Umumnya, makin besar kecepatan
yang terlibat di dalam suatu kecelakaan akan makin besar cidera yang terjadi. Misalnya pada
kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan tinggi, peluru dengan kecepatan tinggi, jatuh dari
tempat yang sangat tinggi.
1. Trauma Tumpul
Pada kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dapat menyebabkan kekuatan yang
terputus yang dapat merobek struktur tertentu. Organ-organ yang berdenyut seperti
jantung dapat terlepas dari pembuluh besar yang menahannya. Demikian juga
organ-organ abdomen (limpa, ginjal, usus) akan terlepas.
Tipe kedua trauma tumpul termasuk kompresi yang disebabkan oleh kekuatan
tabrakan berat. Jantung dapat terhimpit di antara sternum dan tulang belakang.
Hepar, limpa dan pancreas juga sering tertekan terhadap tulang belakang.
Stir atau kemudi kendaraan yang bengkok atau rusak memperbesar dugaan akan
kemungkinan cedera pada dada, iga, jantung, trakea, tulang belakang atau abdomen.
Trauma kepala dan wajah, tulang belakang servikal, dan cedera trakeal sering
berkaitan dengan kerusakan pada kaca depan mobil atau dashboard. Benturan
lateral dapat menyebabkan patah tulang iga, luka dada penetrasi akibat pegangan
pintu atau jendela, cedera limpa atau hepar dan fraktur pelvis.
2. Trauma penetrasi
Luka tembak berkaitan dengan derajat kerusakan yang lebih tinggi dari luka
tikaman. Peluru dapat menyebabkan lubang di sekitar jaringan dan dapat terpecah
atau mengubah arah di dalam tubuh, mengakibatkan peningkatan cedera, dan
fraktur ke semuanya dapat disebabkan oleh cedera penetrasi.
(Hudak & Gallo, 2001)
C. Patofisiologi
Trauma yang disebabkan karena kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau luka
penetrasi dapat menimbulkan beberapa kerusakan jaringan atau organ (multiple trauma).
Pada trauma/ cedera kepala dapat menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup
aktivitas atipikal miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan tidak adanya stimulus endogen
saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini menyebabkan
7
penurunan curah jantung dan meningkatkan tekanan atrium kiri. Akibatnya tubuh
berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan
tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru. Adanya edema paru pada trauma kepala
dan vasokonstriksi paru atau hipertensi paru menyebabkan bronkokonstriksi. Konsentrasi
oksigen dan karbon dioksida mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah, aliran darah
bertambah karena terjadi vasodilatasi. Penurunan PCO2, akan terjadi alkalosis yang
menyebabkan vasokonstriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF (cerebral blood fluid).
Edema otak ini menyebabkan kematian otak (iskemik) dan tingginya tekanan intra
kranial (TIK) yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak atau medulla
oblongata. Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme seperti trauma tubuh lainnya
yaitu kecenderungan retensi natrium dan air dan hilangnya sejumlah nitrogen. Retensi
natrium juga disebabkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus, yang menyebabkan
pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Trauma kepala juga mempengaruhi sistem
gastrointestinal. Setelah trauma kepala (3 hari) terdapat respon tubuh dengan merangsang
aktivitas hipotalamus dan stimulus vagal. Hal ini akan merangsang lambung menjadi
hiperasiditas.
Pada trauma abdomen, jejas pada abdomen dapat disebabkan oleh trauma tumpul
atau trauma tajam. Pada trauma tumpul dengan viskositas rendah (misalnya akibat tinju)
biasanya menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan trauma tumpul viskositas tinggi
sering menimbulkan kerusakan organ multipel, seperti organ padat ( hepar, lien, ginjal ) dari
pada organ-organ berongga.
Cedera akselerasi (kompresi) merupakan suatu kondisi trauma tumpul langsung ke area
abdomen atau bagian pinggang. Kondisi ini memberukan manifestasi kerusakan vaskular
dengan respons terbentuknya formasi hematomdidalam visera.
Cedera deselerasi adalah suatu kondisi dimana suatu peregangan yang berlebihan
memberikan manifestasi terhadap cedera intraabdominal. Kekuatan peregangan secara
longitudinal memberikan manifestasi ruptur (robek) pada struktur dipersimpangan antara
segmen intraabdomen.
Kondisi cedera akselerasi dan deselerasi memberikan berbagai masalah pada pasien
sesuai organ intraabdominal yang mengalami gangguan. Hal ini memberikan implikasi pada
8
asuhan keperawatan. Masalah keperawatan yang muncul berhubungan dengan kondisi
kedaruratan klinis, respons sistemik, dan dampak intervensi medis.
Pada trauma thoraks, Trauma thoraks terdiri atas trauma tajam dan trauma tumpul.
Pada trauma tajam, terdapat luka pada jaringan kutis dan subkutis, mungkin lebih mencapai
jaringan otot ataupun lebih dalam lagi hingga melukai pleura parietalis atau pericardium
parietalis. Dapat juga menembus lebih dalam lagi, sehingga merusak jaringan paru,
menembus dinding jantung atau pembuluh darah besar di mediastinum.
Trauma tajam yang menembus pleura parietalis akan menyebabkan kolaps paru, akibat
masuknya udara atmosfer luar kedalam rongga paru. Bila pleura viseralis pun tertembus,
kemungkinan trauma tajam terhadap jaringan paru sangat besar, sehingga selain terjadi
penurunan ventilasi akibat hubungan pendek bronkho-udara luar melalui luka tajam,
mungkin terjadi pula Hemaptoe massif dengan akibat-akibatnya.
Trauma tajam yang melukai perikardium parietalis dapat menimbulkan tamponade
jantung dengan tertimbunnya darah dalam rongga perikardium, yang akan mampu meredam
aktivitas diastolik jantung. Eksanguinasi akibat tembusnya dinding jantung atau pembuluh
darah besar di mediasternum, mampu menimbulkan henti jantung dalam waktu 2-5 menit,
tergantung derajat perdarahannya.
Jenis lain dari trauma tajam, tembus peluru. Akibat fatal dari trauma peluru ini lebih
besar dari jenis trauma dari pleura, berakibat luka tembus keluar yang relative lebih besar
dari luka tembus masuk.
Trauma tumpul toraks, hanya akan menimbulkan desakan terhadap kerangka dada,
yang karena kelenturannya akan mengambil bentuk semula bila desakan hilang. Trauma
tumpul demikian, secara tampak dari luar mungkin tidak memberi gambaran kelainan fisik.
Namun mampu menimbulkan kontusi terhadap otot kerangka dada, yang dapat menyebabkan
perdarahan dan pembentukan hematoma inter atau intra otot, yang kadang kala cukup luas,
sehingga berakibat nyeri pada respirasi dan pasien tampak seperti mengalami dispnea.
Trauma tumpul jarang dengan kekuatan cukup besar, mampu menimbulkan patah
tulang iga, dapat hanya satu lokasi fraktur pada setiap iga, dapat pula terjadi patahan
multiple, mungkin hanya melibatkan iga sisi unilateral, mungkin pula berakibat bilateral.
Trauma tumpul jarang menimbulkan kerusakan jaringan jantung, kecuali bila terjadi
trauma dengan kekuatan cukup besar dari arah depan, misal : akibat dorongan kemudi atau
9
setir mobil yang mendesak dada akibat penghentian dadakan mobil yang berkecepatan tinggi
menabrak. Desakan setir mobil tersebut mampu menimbulkan tamponade jantung, akibat
perdarahan rongga perikardium ataupun hematoma dinding jantung yang akan meredam
gerakan sistolik dan diastolik.
Hemotoraks maupun hemopneumotoraks adalah merupakan keadaan yang paling sering
dijumpai pada penderita trauma toraks, pada lebih dari 80% penderita dengan trauma toraks
didapati adanya darah pada rongga pleura. Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi
paru atau laserasi dari pembuluh darah interkostal yang disebabkan oleh trauma tajam atau
trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat menyebabkan terjadinya
hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi,
sedangkan pada hemotoraks akut yang banyak terlihat pada foto toraks, sebaiknya di terapi
dengan selang dada caliber besar untuk mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi
resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura. Jika darah yang dikeluarkan
secara cepat dari selang sebnyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap
jam untuk 2 sampai 4 jam, atau membutuhkan transfusi darah terus menerus, torakotomi
harus dipertimbangkan.
Pada trauma tulang (fraktur), Sewaktu tulang patah pendarahan biasanya terjadi di
sekitar tempat patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga
biasanya mengalami kerusakan. Reaksi pendarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur.
Sel-sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ke
tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Aktivitas osteoblast
terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi
dan sel-sel tulang baru mengalami remodelling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi
pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan pembekakan yang tidak
ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf
perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan
jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoksia mengakibatkan rusaknya serabut saraf
maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan syndrom kompartemen (Smeltzer, 2001).
Fraktur dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidakseimbangan, fraktur terjadi
dapat berupa fraktur tertutup atau terbuka. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan
10
lunak sedangkan fraktur terbuka disertai dengan kerusakan jaringan lunak seperti otot,
tendon, ligamen dan pembuluh darah (Smeltzer, 2001).
Tekanan yang kuat dapat terjadi multiple fraktur terbuka karena fragmen tulang keluar
menembus kulit dan menjadi luka terbuka serta peradangan yang dapat memungkinkan
infeksi, keluarnya darah dapat mempercepat perkembangan bakteri. Tertariknya segmen
karena kejang otot pada area fraktur sehingga disposisi tulang. Multiple fraktur terjadi jika
tulang dikarnakan oleh stres yang lebih besar dari yang dapat di absorbsinya. Multiple fraktur
dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan
bahkan kontraksi otot ekstrim. Meskipun tulang patah jaringan disekitarnya akan terpengaruh
mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan keotot dan sendi, ruptur tendo, kerusakan
saraf dan kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cidera akibat gaya yang
disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang (Smeltzer, 2001).
Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk
menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap
tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya
kontinuitas tulang. Setelah terjadi multiple fraktur, pembuluh darah serta saraf dalam korteks,
marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena
kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang
segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini
menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma
dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih (Rasjad, 2000).
D. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis yang muncul pada klien dengan cedera kepala yaitu : gangguan
kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, defisit neurologik, perubahan tanda-tanda vital, mual
dan muntah, vertigo, gangguan pergerakan, mungkin ada gangguan penglihatan dan
pendengaran. Peningkatan TIK yang mempunyai trias Klasik seperti : nyeri kepala karena
regangan dura dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan oleh tekanan dan
pembengkakan diskus optikus; muntah seringkali proyektil.
Manifestasi klinik pada trauma thorak adalah :
11
1. Temponade jantung (Trauma tajam di daerah pericardium atau yang diperkirakan
menembus jantung ) :
a. Gelisah
b. Pucat
c. Keringat dingin
d. Peninggian TVJ (tekanan vena jugularis)
e. Pekak jantung melebar
f. Bunyi jantung melemah
g. Terdapat tanda-tanda paradoxical pressure
h. ECG terdapat low voltage seluruh lead
i. Perikardiosentesis keluar darah
2. Hematothoraks :
a. Pada WSD darah yang keluar cukup banyak dari WSD
b. Perasaan resah
c. Rasa nyeri di dada
d. Sianosis
e. Ekspansi paru berkurang dan kaku di sisi dada yang diserang
f. Sisi dada yang tidak diserang, akan naik turun pada saat respirasi
g. Hipotensi dan syok
h. Serangan dispnea dari ringan hingga berat
i. Takipnea
j. Bunyi perkusi redup.
3. Pneumothoraks :
a. Pasien mengeluh awitan mendadak nyeri daa pluritik akut yang terlokalisasi pada
paru yang sakit
b. Nyeri dada pluritik biasanya disertai sesak napas, peningaktan kerja pernapasan, dan
dispnea
c. Gerakan dinding dada mungkin tidak sama karena sisi yang sakit tidak mengembang
seperti sisi yang hebat
d. Suara napas jauh atau tidak ada
e. Perkusi dada menghasilkan suara hipersonor
12
f. Takikardia sering terjadi menyertai tipe pneumothorak
g. Tension pneumothorak
1) Hipoksemia (tanda awal)
2) Ketakutan
3) Gawat napas (takipnea berat)
4) Peningkatan tekanan jalan napas puncak dan merata
5) Kolaps kardiovaskuler (frekuensi jantung >140x/menit)
(Morton, 2012)
Manifestasi klinik pada fraktur adalah :
1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang dimobilisasi
2. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan/ tungkai menyebabkan deformitas (terlihat
ataupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan perbandingan ekstremitas normal.
3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot
yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur
4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba derik tulang dinamakan krepitasi yang
teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.
5. Pembengkakkan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan
perdarahan yang mengikuti fraktur.
E. Penatalaksanaan Kegawatan
1. Survey Primer
Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan adalah mengamankan
dan mengaplikasikan prinsip ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability
Limitation, Exposure)
a. A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran
jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas oleh adanya benda
asing atau fraktus di bagian wajah. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus
memproteksi tulang cervikal, karena itu teknik Jaw Thrust dapat digunakan. Pasien
dengan gangguan kesadaran atau GCS kurang dari 8 biasanya memerlukan
pemasangan airway definitive
13
b. B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus menjamin
ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru paru yang baik,
dinding dada dan diafragma. Beberapa sumber mengatakan pasien dengan fraktur
ektrimitas bawah yang signifikan sebaiknya diberi high flow oxygen 15 l/m lewat
non-rebreathing mask dengan reservoir bag.
c. C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan di sini
adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac output. Pendarahan sering menjadi
permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama patah tulang terbuka. Patah
tulang femur dapat menyebabkan kehilangan darah dalam paha 3 – 4 unit darah dan
membuat syok kelas III. Menghentikan pendarahan yang terbaik adalah menggunakan
penekanan langsung dan meninggikan lokasi atau ekstrimitas yang mengalami
pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai yang baik dapat menurunkan
pendarahan secara nyata dengan mengurangi gerakan dan meningkatkan pengaruh
tamponade otot sekitar patahan. Pada patah tulang terbuka, penggunaan balut tekan
steril umumnya dapat menghentikan pendarahan. Penggantian cairan yang agresif
merupakan hal penting disamping usaha menghentikan pendarahan.
d. D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi singkat
terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran dan
reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal.
e. E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan cara
menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. setelah pakaian dibuka, penting
bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia.
Pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma muskuloskeletal seperti fraktur adalah
imobilisasi patah tulang dan pemeriksaan radiologi.
a. Imobilisasi Fraktur
Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang cedera dalam posisi
se-anatomis mungkin dan mencegah gerakan yang berlebihan pada daerah fraktur.
Hal ini akan tercapai dengan melakukan traksi untuk meluruskan ekstrimitas dan
dipertahankan dengan alat imobilisasi. pemakaian bidai yang benar akan membantu
menghentikan pendarahan, mengurangi nyeri, dan mencegah kerusakan jaringan
lunak lebih lanjut. Imobilisasi harus mencakup sendi diatas dan di bawah fraktur.
14
Fraktur femur dilakukan imobilisasi sementara dengan traction splint. Traction splint
menarik bagian distal dari pergelangan kaki atau melalui kulit. Di proksimal traction
splint didorong ke pangkal paha melalui ring yang menekan bokong, perineum dan
pangkal paha. Cara paling sederhana dalam membidai tungkai yang trauma adalah
dengan tungkai sebelahnya.
Pada cedera lutut pemakaian long leg splint atau gips dapat membantu kenyamanan
dan stabilitas. Tungkai tidak boleh dilakukan imobilisasi dalam ekstensi penuh.
Fraktur tibia sebaiknya dilakukan imobilisasi dengan cardboard atau metal gutter,
long leg splint. jika tersedia dapat dipasang gips dengan imobilisasi meliputi tungkai
bawah, lutut, dan pergelangan kaki.
b. Pemeriksaan radiologi
Umumnya pemeriksaan radiologis pada trauma skeletal merupakan bagian dari
survey sekunder. Jenis dan saat pemeriksaan radiologis yang akan dilakukan
ditentukan oleh hasil pemeriksaan, tanda klinis, keadaan hemodinamik, serta
mekanisme trauma. Foto pelvis AP perlu dilakukan sedini mungkin pada pasien
multitrauma tanpa kelainan hemodinamik dan pada pasien dengan sumber
pendarahan yang belum dapat ditentukan.
2. Survey sekunder
Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera muskuloskeletal adalah anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Tujuan dari survey sekunder adalah mencari cedera cedera lain yang
mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun terlewatkan dan tidak terobati.
Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil riwayat AMPLE
dari pasien, yaitu Allergies, Medication, Past Medical History, Last Ate dan Event
(kejadian atau mekanisme kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting untuk ditanyakan
untuk mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh pasien, terutama
jika kita masih curiga ada cedera yang belum diketahui saat primary survey, Selain
riwayat AMPLE, penting juga untuk mencari informasi mengenai penanganan sebelum
pasien sampai di rumah sakit.
Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk dievaluasi adalah (1)
kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan infeksi, (2) fungsi
neuromuskular (3) status sirkulasi, (4) integritas ligamentum dan tulang. Cara
15
pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada Look, kita menilai
warna dan perfusi, luka, deformitas, pembengkakan, dan memar. Penilaian inspeksi
dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan pendarahan eksternal aktif, begitu pula
dengan bagian punggung. Bagian distal tubuh yang pucat dan tanpa pulsasi menandakan
adanya gangguan vaskularisasi. Ekstremitas yang bengkak pada daerah yang berotot
menunjukkan adanya crush injury dengan ancaman sindroma kompartemen. Pada
pemerikasaan Feel, kita menggunakan palpasi untuk memeriksa daerah nyeri tekan,
fungsi neurologi, dan krepitasi.
Pada periksaan Move kita memeriksa Range of Motion dan gerakan abnormal
Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba pulsasi bagian distal dari fraktur
dan juga memeriksa capillary refill pada ujung jari kemudian membandingkan sisi yang
sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi mempersulit pemeriksaan pulsasi, dapat
digunakan alat Doppler yang dapat mendeteksi aliran darah di ekstremitas. Pada pasien
dengan hemodinamik yang normal, perbedaan besarnya denyut nadi, dingin, pucat,
parestesi dan adanya gangguan motorik menunjukkan trauma arteri. Selain itu hematoma
yang membesar atau pendarahan yang memancar dari luka terbuka menunjukkan adanya
trauma arterial.
Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan mengingat cedera musculoskeletal
juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf dan iskemia sel syaraf. Pemeriksaan
fungsi syaraf memerlukan kerja sama pasien. Setiap syaraf perifer yang besar fungsi
motoris dan sensorisnya perlu diperiksa secara sistematik.
Tujuan penanganan fraktur selanjutnya adalah mencegah sumber-sumber yang berpotensi
berkontaminasi pada luka fraktur. Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan adalah
mengirigasi luka dengan saline dan menyelimuti luka fraktur dengan ghas steril lembab
atau juga bisa diberikan betadine pada ghas. Berikan vaksinasi tetanus dan juga antibiotik
sebagai profilaksis infeksi. Antibiotik yang dapat diberikan adalah :
a. Generasi pertama cephalosporin (cephalotin 1 – 2 g dibagi dosis 3 -4 kali sehari)
dapat digunakan untuk fraktur tipe I Gustilo
b. Aminoglikosid (antibiotik untuk gram negatif) seperti gentamicin (120 mg dosis 2x/
hari) dapat ditambahkan untuk tipe II dan tipe III klasifikasi Gustilo.
16
c. Metronidazole (500 mg dosis 2x/hari) dapat ditambahkan untuk mengatasi kuman
anaerob.
Pemberian antibiotik dapat dilanjutkan hingga 72 jam setelah luka ditutup. Debridement
luka di kamar operasi juga sebaiknya dilakukan sebelum 6 jam pasca trauma untuk
menghindari adanya sepsis pasca trauma.
Dalam strategi meredakan nyeri akut yang sekiranya berat dalam patah tulang digunakan
srategi “Three Step Analgesic Ladder” dari WHO. Pada nyeri akut, sebaiknya di awal
diberikan analgesik kuat seperti Opioid kuat13. Dosis pemberian morfin adalah 0.05–0.1
mg/kg diberikan intravena setiap 10/15 menit secara titrasi sampai mendapat efek
analgesia. Terdapat evidence terbaru di mana pada tahun terakhir ini Ketamine juga dapat
dipergunakan sebagai agen analgesia pada dosis rendah (0.5 – 1 mg/kg). Obat ini juga
harus ditritasi untuk mencapai respon optimal agar tidak menimbulkan efek anastesi.
Efek menguntungkan dari ketamine adalah ketamine tidak menimbulkan depresi
pernafasan, hipotensi, dan menimbulkan efek bronkodilator pada dosis rendah. Kerugian
ketamine adalah dapat menimbulkan delirium, tetapi dapat dicegah dengan memasukkan
benzodiazepine sebelumnya (0.5 – 2 mg midazolam intravena).
Peripheral nerve blocks juga menjadi pilihan baik dilakukan tunggal maupun kombinasi
dengan analgesik intravena. Yang umumnya digunakan adalah femoral nerve block.
F. Pemeriksaan Fisik
1. Kulit kepala
Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang dengan cedera
ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian belakang kepala penderita.
Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi,
laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta
adanya sakit kepala (Manning, 2004).
2. Wajah
Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri. Apabila
terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena pembengkakan di
mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit. Re evaluasi tingkat
kesadaran dengan skor GCS.
17
a. Mata : Periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah isokor
atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau
midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata (macies visus dan acies campus), apakah
konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis,
exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta diplopia
b. Hidung : Periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan
penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi akan
kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.
c. Telinga : Periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan atau
hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan membrane timpani
atau adanya hemotimpanum
d. Rahang atas : Periksa stabilitas rahang atas
e. Rahang bawah : Periksa akan adanya fraktur
f. Mulut dan faring : Inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna,
kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah
tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/
tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil meradang atau tidak
(tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri
3. Vertebra servikalis dan leher
Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi, edema,
ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan menelan) dan suara serak
harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot
tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema subkutan,
deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris
dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan,
cegah kerusakan otak sekunder..
4. Toraks
Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk adanya
trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan
kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan
18
tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace maker, frekuensi dan
irama denyut jantung (Lombardo, 2005)
Palpasi : Seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul, emfisema
subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.
Perkusi : Untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan
Auskultasi : Suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan bunyi
jantung (murmur, gallop, friction rub)
5. Abdomen
Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada keadaan cedera
kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan kelumpuhan (penderita
tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada).
Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, untuk adanya trauma tajam, tumpul dan
adanya perdarahan internal, adakah distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam,
massa, denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi bising
usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk
mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan, hepatomegali,splenomegali,defans
muskuler,, nyeri lepas yang jelas atau uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya
perdarahan intra abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal
lavage, ataupun USG (Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus
halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu memerlukan re-
evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang operasi bila
diperlukan (Tim YAGD 118, 2010).
6. Pelvis (perineum/rectum/vagina)
Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik (pelvis
menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan masuk dalam keadaan
syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita untuk mengontrol
perdarahan dari fraktur pelvis (Tim YAGD 118, 2010).
Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi, edema, atau
kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum
memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan adanya darah dari lumen
rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan tonus
19
musculo sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya
darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat, karakter dan
jumlah kehilangan darah harus dilaporkan (pada tampon yang penuh memegang 20
sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita usia subur.
Permasalahan yang ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun
jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit
dikenali, jika pasien hamil, denyut jantung janin (pertama kali mendengar dengan
Doppler ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang dinilai untuk
frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus ditanya tentang rasa
sakit atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing berkurang,
Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis.(Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
7. Ektremitas
Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan lupa
untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuak), pada saat pelapasi
jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada saat menggerakan,
jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan intra kompartemen
dalam ekstremitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah), mungkin luput
terdiagnosis pada penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan (Tim YAGD
118, 2010). Inspeksi pula adanya kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi
harus diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada jari-jari
periksa adanya clubbing finger serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik
kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik)
Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan berat
pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament dapat
menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu
pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat
disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal dapat dikenal
pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian lain mungkin
menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan ini hanya dapat
didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan muskuloskletal tidak lengkap bila belum
dilakukan pemeriksaan punggung penderita. Permasalahan yang muncul adalah
20
1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga terjadi syok
yang dpat berakibat fatal
2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam keadaan
tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah kelainan ini dikenali.
3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah penderita mulai
sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).
8. Bagian punggung
Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan
penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan
pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010). Periksa`adanya perdarahan, lecet, luka,
hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula pada kolumna
vertebra periksa adanya deformitas.
9. Neurologis
Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran,
ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik. Peubahan dalam status
neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS. Adanya paralisis dapat disebabakan
oleh kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan short
atau long spine board, kolar servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti
tidak ada fraktur servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan
fiksasai terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak
dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan
imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus dipantau
tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra cranial. Bila
terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi
oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan epidural
subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP Dr. M.Djamil,
2006).
Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese,
hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia (kesukaran dalam
mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan respon
sensori.
21
G. Pemeriksaan Fokus dan Diagnostik
1. Focused Assessment
Focused assessment atau pengakajian terfokus adalah tahap pengkajian pada area
keperawatan gawat darurat yang dilakukan setelah primary survey, secondary survey,
anamnesis riwayat pasien (pemeriksaan subyektif) dan pemeriksaan obyektif (Head to
toe). Di beberapa negara bagian Australia mengembangkan focused assessment ini dalam
pelayanan di Emergency Department, tetapi di beberapa Negara seperti USA dan
beberapa Negara Eropa tidak menggunakan istilah Focused Assessment tetapi dengan
istilah Definitive Assessment.
Focused assessment untuk melengkapi data secondary assessment bisa dilakukan sesuai
masalah yang ditemukan atau tempat dimana injury ditemukan. Yang paling banyak
dilakukan dalam tahap ini adalah beberapa pemeriksaan penunjang diagnostik atau
bahkan dilakukan pemeriksaan ulangan dengan tujuan segera dapat dilakukan tindakan
definitif.
2. Reassessment
Beberapa komponen yang perlu untuk dilakukan pengkajian kembali (reassessment) yang
penting untuk melengkapi primary survey pada pasien di gawat darurat adalah :
Komponen PertimbanganAirway Pastikan bahwa peralatan airway : Oro
Pharyngeal Airway, Laryngeal Mask Airway , maupun Endotracheal Tube (salah satu dari peralatan airway) tetap efektif untuk menjamin kelancaran jalan napas. Pertimbangkan penggunaaan peralatan dengan manfaat yang optimal dengan risiko yang minimal.
Breathing Pastikan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan pasien :
Pemeriksaan definitive rongga dada dengan rontgen foto thoraks, untuk meyakinkan ada tidaknya masalah seperti Tension pneumothoraks, hematotoraks atau trauma thoraks yang lain yang bisa mengakibatkan oksigenasi tidak adekuat
22
Penggunaan ventilator mekanikCirculation Pastikan bahwa dukungan sirkulasi menjamin
perfusi jaringan khususnya organ vital tetap terjaga, hemodinamik tetap termonitor serta menjamin tidak terjadi over hidrasi pada saat penanganan resusitasicairan.
Pemasangan cateter vena central Pemeriksaan analisa gas darah Balance cairan Pemasangan kateter urin
Disability Setelah pemeriksaan GCS pada primary survey, perlu didukung dengan :
Pemeriksaan spesifik neurologic yang lain seperti reflex patologis, deficit neurologi, pemeriksaan persepsi sensori dan pemeriksaan yang lainnya.
CT scan kepala, atau MRI
Exposure Konfirmasi hasil data primary survey dengan Rontgen foto pada daerah yang
mungkin dicurigai trauma atau fraktur USG abdomen atau pelvis
3. Pemeriksaan Diagnostik
Pemeriksaan lanjutan hanya dilakukan setelah ventilasi dan hemodinamika penderita
dalam keadaan stabil (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006). Dalam melakukan secondary
survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik seperti :
a. Endoskopi
Pemeriksaan penunjang endoskopi bisa dilakukan pada pasien dengan perdarahan
dalam. Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi kita bisa mngethaui perdarahan
yang terjadi organ dalam. Pemeriksaan endoskopi dapat mendeteksi lebih dari 95%
pasien dengan hemetemesis, melena atau hematemesis melena dapat ditentukan lokasi
perdarahan dan penyebab perdarahannya. Lokasi dan sumber perdarahan yaitu:
1) Esofagus : Varises, erosi, ulkus, tumor
2) Gaster : Erosi, ulkus, tumor, polip, angio
displasia, dilafeuy, varises gastropati kongestif
3) Duodenum : Ulkus, erosi
23
Untuk kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan karena ruptur varises dan
perdarahan bukan karena ruptur varises (variceal bleeding dan non variceal bleeding)
(Djumhana, 2011).
b. Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah tindakan yang dilakukan untuk melihat keadaan intra bronkus
dengan menggunakan alat bronkoskop. Prosedur diagnostik dengan bronkoskop ini
dapat menilai lebih baik pada mukosa saluran napas normal, hiperemis atau lesi
infiltrat yang memperlihatkan mukosa yang compang-camping. Teknik ini juga dapat
menilai penyempitan atau obstruksi akibat kompresi dari luar atau massa
intrabronkial, tumor intra bronkus. Prosedur ini juga dapat menilai ada tidaknya
pembesaran kelenjar getah bening, yaitu dengan menilai karina yang terlihat tumpul
akibat pembesaran kelenjar getah bening subkarina atau intra bronkus (Parhusip,
2004).
c. CT Scan
CT-scan merupakan alat pencitraan yang di pakai pada kasus-kasus emergensi
seperti emboli paru, diseksi aorta, akut abdomen, semua jenis trauma dan menentukan
tingkatan dalam stroke. Pada kasus stroke, CT-scan dapat menentukan dan
memisahkan antara jaringan otak yang infark dan daerah penumbra. Selain itu, alat
ini bagus juga untuk menilai kalsifikasi jaringan. Berdasarkan beberapa studi terakhir,
CT-scan dapat mendeteksi lebih dari 90 % kasus stroke iskemik, dan menjadi baku
emas dalam diagnosis stroke (Widjaya, 2002). Pemeriksaaan CT. scan juga dapat
mendeteksi kelainan-kelainan seerti perdarahan diotak, tumor otak, kelainan-kelainan
tulang dan kelainan dirongga dada dan rongga perur dan khususnya kelainan
pembuluh darah, jantung (koroner), dan pembuluh darah umumnya (seperti
penyempitan darah dan ginjal (ishak, 2012).
d. USG
Ultrasonografi (USG) adalah alat diagnostik non invasif menggunakan gelombang
suara dengan frekuensi tinggi diatas 20.000 hertz ( >20 kilohertz) untuk
menghasilkan gambaran struktur organ di dalam tubuh.Manusia dapat mendengar
gelombang suara 20-20.000 hertz .Gelombang suara antara 2,5 sampai dengan 14
kilohertz digunakan untuk diagnostik. Gelombang suara dikirim melalui suatu alat
24
yang disebut transducer atau probe. Obyek didalam tubuh akan memantulkan kembali
gelombang suara yang kemudian akan ditangkap oleh suatu sensor, gelombang pantul
tersebut akan direkam, dianalisis dan ditayangkan di layar. Daerah yang tercakup
tergantung dari rancangan alatnya. Ultrasonografi yang terbaru dapat menayangkan
suatu obyek dengan gambaran tiga dimensi, empat dimensi dan berwarna. USG bisa
dilakukan pada abdomen, thorak (Lyandra, Antariksa, Syaharudin, 2011).
e. Radiologi
Radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dilakukan di ruang
gawat darurat. Radiologi merupakan bagian dari spectrum elektromagnetik yang
dipancarkan akibat pengeboman anoda wolfram oleh electron-elektron bebas dari
suatu katoda. Film polos dihasilkan oleh pergerakan electron-elektron tersebut
melintasi pasien dan menampilkan film radiologi. Tulang dapat menyerap sebagian
besar radiasi menyebabkan pajanan pada film paling sedikit, sehingga film yang
dihasilkan tampak berwarna putih. Udara paling sedikit menyerap radiasi,
meyebabakan pejanan pada film maksimal sehingga film nampak berwarna hitam.
Diantara kedua keadaan ekstrem ini, penyerapan jaringan sangat berbeda-beda
menghasilkan citra dalam skala abu-abu. Radiologi bermanfaat untuk dada,
abdoment, sistem tulang: trauma, tulang belakang, sendi penyakit degenerative,
metabolic dan metastatik (tumor). Pemeriksaan radiologi penggunaannya dalam
membantu diagnosis meningkat. Sebagian kegiatan seharian di departemen radiologi
adalah pemeriksaan foto toraks. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pemeriksaan
ini. Ini karena pemeriksaan ini relatif lebih cepat, lebih murah dan mudah dilakukan
berbanding pemeriksaan lain yang lebih canggih dan akurat (Ishak, 2012).
f. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Secara umum lebih sensitive dibandingkan CT Scan. MRI juga dapat digunakan pada
kompresi spinal. Kelemahan alat ini adalah tidak dapat mendeteksi adanya emboli
paru, udara bebas dalam peritoneum dan faktor. Kelemahan lainnya adalah prosedur
pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih lama, hanya sedikit sekali rumah sakit yang
memiliki, harga pemeriksaan yang sangat mahal serta tidak dapat diapaki pada pasien
yang memakai alat pacemaker jantung dan alat bantu pendengaran (Widjaya,2002).
25
H. Pathway
Terlampir
I. Pengkajian fokus
Kasus :
Tn. Sastro masuk ke UGD RSUD dengan multiple trauma akibat kecelakaan lalu lintas.
Pasien sadar, mengeluh nyeri dada sebelah kanan, pusing, nafas terasa sesak, RR 32x/menit,
TD 90/60 mmHg, nadi 100x/menit, terdapat jejas pada dada sebelah kanan. Hasil
pemeriksaan pengembangan dinding thoraks tidak simetris, ditemukan krepitasi dada sebelah
kanan. Di pelipis kanan pasien terdapat hematom dan luka koyak. Pada tungkai kaki terlihat
berdarah, terdapat luka koyak. Pada tangan kanan banyak luka lecet.
1. Survey Primer
a. Airway
1) Dilakukan head tilt dan chin lift dilihat jalan napas bersih
2) Tidak ada benda asing, tidak ada suara napas tambahan
3) Pasien masih dapat berbicara, cervical control (+)
4) Airway clear
b. Breathing
1) Frekuensi nafas 32x/ menit, nafas spontan, dangkal, cepat, tidak adekuat, sesak
napas
2) Pada inspeksi, ditemukan gerakan dinding dada tidak simetris, bagian kanan
tertinggal
3) Dicurigai hemotothoraks
4) Dilakukan pemeriksaan rontgen thorak
5) Dilakukan tindakan WSD dan oksigenasi
6) Palpasi, taktil fremitus melemah dibandingkan dada kiri
7) Perkusi pekak pada paru kanan, dan sonor pada paru kiri
8) Auskultasi vesikuler menghilang pada paru kanan.
c. Circulation
1) Nadi 100 x/ menit, nadi halus, pulsasi kecil, tekanan darah 90/60 mmHg
2) Akral dingin
26
3) Sianosis, Capillary Refill Time > 2 detik
d. Disability
1) Pupil isokor ka/ki, reflek cahaya +/+
2) GCS : E4, M6, V4 (cedera kepala ringan)
3) Kesadaran Composmentis
e. Exposure
1) Terdapat jejas pada dada sebelah kanan
2) Ditemukan krepitasi dada sebelah kanan
3) Di pelipis kanan pasien terdapat hematom luka koyak
4) Pada tungkai kaki terlihat berdarah, terdapat luka koyak
5) Pada tangan kanan banyak luka lecet
2. Survey Sekunder
a. Nama : Tn. S
b. Jenis Kelamin : Laki-laki
c. Alasan masuk : Kecelakaan lalu lintas
d. Keluhan utama : Klien mengeluh nyeri dada sebelah kanan, pusing
dan terasa sesak napas
e. Riwayat penyakit sekarang : klien mengalami kecelakaan lalu lintas satu jam
yang lalu antara sepeda motor dan truk. Dari arah berlawanan, pasien ditabrak oleh
sepeda motor lain dengan kcpatan tinggi. Pasien mengatakan dalam kondisi tidak fit
dan mengantuk. Pasien terjatuh ke sebelah kanan, terpeental dan membentur aspal.
Terlihat bekas atau jeejas pada dada seblah kanan, memar dan luka koyak pada
tangan kanan dan berdarah pada tungkai kaki. Pasien dibawa ke Rumah Sakit oleh
penolong.
f. Riwayat penyakit dahulu : tidak ada penyakit yang ada hubungannya dengan
keadaan yang dialami klien saat ini
g. Riwayat penyakit keluarga : tidak ada penyakit yang ada hubungannya dengan
keadaan yang dialami klien saat ini
h. Pemeriksaan fisik
1) Kepala : bentuk mesochepal, rambut hitam tidak mudah rontok
2) Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
27
3) Hidung: bersih, lembab
4) Telinga: Pendengaran baik, serumen sedikit
5) Mulut : mukosa bibir lembab, gigi bersih
6) Leher : tak ada pembesaran kelenjar paratiroid, tidak ada peningkatan tekanan
vena jugularis
7) Paru-paru :
a) Inspeksi : bentuk simetris, gerakan dada paru kanan tertinggal, tarikan
interkosta(+)
b) Palpasi : Fremitus kanan melemah dibandingkan kiri
c) Perkusi : paru kanan pekak, paru kiri sonor
d) Auskultasi : Suara dasar vesikuler, friction rub pada paru kanan
8) Jantung :
a) Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
b) Perkusi : Pekak
c) Auskultasi : Bj S1-S2 murni
9) Abdomen :
a) Inspeksi : tidak ada pembesaran
b) Auskultasi : bising usus (+), 10 x/menit
c) Palpasi : tidak teraba massa
d) Perkusi : timpani
10) Ekstremitas :
a) Inspeksi ekstremitas atas : banyak luka lecet pada tangan kanan
b) Inspeksi ekstremitas bawah : Pada tungkai kaki terlihat berdarah, terdapat luka
koyak
J. Asuhan Keperawatan Kasus
PENGELOMPOKKAN DATA
Pengelompokan Data
DS : Mengeluh nyeri dada sebelah kanan, skala
nyeri 7, pusing, nafas terasa sesak.
DO : Pasien sadar, RR 32x/menit, TD 90/60
mmHg, nadi 100x/menit, terdapat jejas pada
dada sebelah kanan, pengembangan dinding
28
thorax tidak simetris, ditemukan krepitasi dada
sebelah kanan, akral dingin, CRT lebih dari 2
detik, sianosis pada perifer, terdapat hematom,
tungkai kaki berdarah, terdapat banyak luka
koyak di tangan kanan.
ANALISA MASALAH
Analisa Data Masalah
DS : Nafas terasa sesak
DO : RR 32x/menit, Pengembangan dinding
thorax tidak simetris.
Pola napas tidak efektif
DS : Pusing
DO : Akral dingin, CRT lebih dari 2 detik,
sianosis pada perifer, terdapat hematom.
Resiko perubahan perfusi jaringan
DS : Pasien mengeluh nyeri, pasien mengatan
skala nyeri 7
DO : Ditemukan krepitasi dada sebelah kanan.
Nyeri akut
DO : tungkai kaki berdarah, terdapat banyak
luka koyak di tangan kanan.
Resiko Infeksi
DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN
Diagnosa Keperawatan Kriteria Hasil dan Tujuan Intervensi Keperawatan
Ketidakefektifan pola nafas
b/d trauma pulmonal, ekspansi
paru yang tidak maksimal,
nyeri.
1. Menunjukkan jalan nafas
yang paten (klien tidak
merasa tercekik, irama
nafas, frekuensi
pernafasan dalam rentang
normal, tidak ada suara
nafas abnormal)
2. TTV dalam rentang
normal (tekanan darah,
1) Auskultasi suara nafas,
catat adanya suara
tambahan
2) Posisikan pasien untuk
memaksimalkan ventilasi
3) Pertahankan jalan nafas
yang paten
4) Berikan oksigen sesuai
dengan keperluan
29
nadi, pernafasan) 5) Monitor aliran oksigen
6) Observasi adanya tanda-
tanda hipoventilasi
7) Monitor adanya
kecemasan pasien
terhadap oksigenasi
8) Monitor sianosis perifer
9) Pertahankan dan bantu
pasien dengan
pemasangan selang dada.
Resiko tinggi terhadap
perubahan perfusi jaringan b/d
penurunan curah jantung,
oksigenasi, dan pertukaran gas
1. Tekanan sistol dan
diastole dalam rentang
yang di harapkan.
2. Tidak ada ortostatik
hipertensi.
3. Tidak ada tanda-tanda
peningkatan TIK (Tidak
lebih dari 15 mmHg).
4. Berkomunikasi dengan
jelas dan sesuai dengan
kemampuan.
5. Menunjukkan perhatian,
konsentrasi dan orientasi.
6. Tingkat kesadaran
membaik, tidak ada
gerakan-gerakan
involunter.
1) Monitor adanya daerah
tertentu yang hanya peka
terhadap panas atau
dingin/tajam/tumpul.
2) Monitor adanya parastase.
3) Instruksikan keluarga
untuk mengobservasi kulit
jika ada lesi atau laserasi.
4) Batasi gerakan pada
kepala, leher, dan
punggung.
Nyeri akut b/d agen cedera
fisik, trauma jaringan
1. Mampu mengontrol nyeri
(tahu penyebab nyeri,
mampu menggunakan
tehnik nonfarmakologi
1) Jelaskan dan bantu klien
dengan tindakan pereda
nyeri nonfarmakologi dan
non invasif.
30
untuk mengurangi nyeri,
mencari bantuan)
2. Melaporkan bahwa nyeri
berkurang dengan
menggunakan manajemen
nyeri
3. Menyatakan rasa nyaman
setelah nyeri berkurang
2) Ajarkan Relaksasi :
Tehnik-tehnik untuk
menurunkan ketegangan
otot rangka, yang dapat
menurunkan intensitas
nyeri
3) Kolaborasi dengan dokter,
pemberian analgetik.
4) Observasi tingkat nyeri,
dan respon motorik klien,
30 menit setelah
pemberian obat analgetik
untuk mengkaji
efektivitasnya. Serta setiap
1 – 2 jam setelah tindakan
perawatan selama 1 – 2
hari.
5) Lakukan pengkajian nyeri
secara komprehensif
termasuk lokasi,
karakteristik, durasi,
frekuensi, kualitas dan
faktor presipitasi
Risiko infeksi b/d adanya
trauma jaringan
1. Klien bebas dari tanda dan
gejala infeksi
2. Menunjukan kemampuan
untuk mencegah
timbulnya infeksi
3. Jumlah leukosit dalam
batas normal
1) Ganti letak IV perifer dan
line central dan dressing
sesuai petunjuk umum
2) Monitor tanda dan gejala
infeksi sistemik dan lokal
3) Inspeksi kulit terhadap
kemerahan, panas drainase
4) Cuci tangan setiap
31