seminar

45
BAB II KONSEP DASAR A. Pengertian Trauma multipel atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan secara fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan kematian dan memberi impak pada fisikal, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan disabilitas fungsional. Trauma kepala paling banyak dicatat pada pasien politrauma dengan kombinasi dari kondisi yang cacat seperti amputasi, kelainan pendengaran dan penglihatan, post-traumatic stress syndrome dan kondisi kelainan jiwa yang lain. Trauma yang terjadi pada kecelakaan lalu lintas memiliki banyak bentuk, tergantung dari organ apa yang dikenai. Trauma semacam ini, secara lazim disebut sebagai trauma benda tumpul (trauma multiple). Ada 3 trauma yang sering terjadi dalam peristiwa ini yaitu cidera kepala, trauma thorax (dada), dan fraktur (patah tulang). Trauma pertama yaitu trauma kepala termasuk trauma jenis berat, merupakan trauma yang memiliki prognosis (harapan hidup) yang buruk. Hal ini disebabkan oleh karena kepala merupakan pusat kehidupan seseorang. Di daalam kepala terdapat otak yang mengatur seluruh aktivitas manusia, mulai dari kesadaran, bernapas, bergerak, melihat, mendengar, mencium 5

Upload: tomi-siswoyo

Post on 25-Oct-2015

20 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

trauma abdomen

TRANSCRIPT

BAB II

KONSEP DASAR

A. Pengertian

Trauma multipel atau politrauma adalah apabila terdapat 2 atau lebih kecederaan secara

fisikal pada regio atau organ tertentu, dimana salah satunya bisa menyebabkan kematian dan

memberi impak pada fisikal, kognitif, psikologik atau kelainan psikososial dan disabilitas

fungsional. Trauma kepala paling banyak dicatat pada pasien politrauma dengan kombinasi

dari kondisi yang cacat seperti amputasi, kelainan pendengaran dan penglihatan, post-

traumatic stress syndrome dan kondisi kelainan jiwa yang lain.

Trauma yang terjadi pada kecelakaan lalu lintas memiliki banyak bentuk, tergantung

dari organ apa yang dikenai. Trauma semacam ini, secara lazim disebut sebagai trauma

benda tumpul (trauma multiple). Ada 3 trauma yang sering terjadi dalam peristiwa ini yaitu

cidera kepala, trauma thorax (dada), dan fraktur (patah tulang).

Trauma pertama yaitu trauma kepala termasuk trauma jenis berat, merupakan trauma

yang memiliki prognosis (harapan hidup) yang buruk. Hal ini disebabkan oleh karena kepala

merupakan pusat kehidupan seseorang. Di daalam kepala terdapat otak yang mengatur

seluruh aktivitas manusia, mulai dari kesadaran, bernapas, bergerak, melihat, mendengar,

mencium bau, dan banyak lagi fungsinya. Jika otak terganggu, maka sebagian atau seluruh

fungsi tersebut akan terganggu. Gangguan utama yang paling sering terlihat adalah fungsi

kesdaran. Itulah sebabnya, trauma kepala sering diklasifikasikan berdasarkan derajat

kesadaran, yaitu trauma kepala ringan, sedang, dan berat. Makin rendah kesadaran seseorang

makin berat derajat trauma kepala.

Trauma kedua yang paling sering terjadi dalam sebuahkecelakaan adalah fraktur

(patahh tulang). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang

yang umumnya disebabkan oleh tekanan atau rudapaksa. Fraktur dibagi atas fraktur terbuka,

yaitu jika patahan tulang itu menembus kulit sehingga berhubungan dengan udara luar, dan

fraktur tertutup, yaitu jika fragmen tulang tidak berhubungan dengan dunia luar.

Trauma yang ketiga, yang sering terjadi pada kecelakaan adalah trauma dada atau

toraks. Tercatat, seperempat kematian akibat trauma disebabkan oleh trauma toraks. Di

5

dalam toraks terdapat dua orang yang sangat vital bagi kehidupan manusia, yaitu paaru-paru

dan jantung. Paru-paru sebagai alat pernapasan daan jantung sebagai alat pemompa darah.

Jika terjadi benturan alias trauma pada dada, kedua orang tersebut bisa mengalami gangguan

atau bahkan kerusakan. Gangguan yang biasa terjadi pada paru-paru pasca kecelakaan adalah

fraktur iga, kontusio (memar)paru, dan hematotoraks. Fraktur iga merupakan cedera toraks

yang terbanyak. Fraktur iga tidak termasuk kedalam fraktur yang dijelaskan sebelumnya

karena efek dari fraktur ini lebih kompleks daripada fraktur di daerah lain yaitu bisa

menganggu paru-pru dan jantung. Kontusio paru adalah memar atau peradangan pada paru,

sedangkan hematotoraks adalah terdapatnya darah di dalam selaput paru.

Fraktur dikenal dengan istilah patah tulang biasanya disebabkan oleh trauma atau

tenaga fisik, kekuatan, sudut, tenaga,keadaan tulang, dan jaringan lunak disekitar tulang akan

menentukan apakah fraktur yang terjadi tersebut lengkap atau tidak lengkap ( Silvia, 2006 ).

Multiple fraktur adalah lebih dari satu garis fraktur ( Silvia, 2006 ). Multiple fraktur

adalah keadaan dimana terjadi hilangnya kontinuitas jaringan tulang lebih dari satu garis

(Silvia, 2006).

Multiple fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan

yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat

berupa trauma langsung, misalnya benturan pada lengan bawah yang menyebabkan patah

tulang radius dan ulna, dan dapat berubah trauma tidak langsung, misalnya jatuh bertumpu

pada tangan yang menyebabkan tulang klavikula atau radius distal patah (Mansjoer, 2000).

Multiple Fraktur adalah trauma tulang pada lebih dari dua fraktur yang disebabkan oleh

ruda paksa, misalnya : kecelakaan, benturan hebat yang ditandai oleh rasa nyeri,

pembengkakan, deformitas, dan lain-lain (Hudak, 2001).

Berdasarkan beberapa definisi diatas, maka dapat disimpulkan multiple fraktur adalah

keadaan dimana terjadi hilangnya kontinuitas jaringan tulang lebih dari satu garis yang

disebabkan oleh tekanan eksternal yang di tandai oleh rasa nyeri, pembengkakan, deformitas

dan gangguan fungsi pada area fraktur.

B. Etiologi/ Predisposisi

Penyebab tersering terjadinya multiple trauma dan fraktur adalah trauma tumpul yang

terjadi pada kecelakaan kendaraan bermotor dan jatuh, sedangkan trauma tusuk (penetrasi)

6

seringkali diakibatkan oleh luka tembak atau luka tikam. Umumnya, makin besar kecepatan

yang terlibat di dalam suatu kecelakaan akan makin besar cidera yang terjadi. Misalnya pada

kecelakaan kendaraan bermotor, kecepatan tinggi, peluru dengan kecepatan tinggi, jatuh dari

tempat yang sangat tinggi.

1. Trauma Tumpul

Pada kecelakaan kendaraan bermotor atau jatuh dapat menyebabkan kekuatan yang

terputus yang dapat merobek struktur tertentu. Organ-organ yang berdenyut seperti

jantung dapat terlepas dari pembuluh besar yang menahannya. Demikian juga

organ-organ abdomen (limpa, ginjal, usus) akan terlepas.

Tipe kedua trauma tumpul termasuk kompresi yang disebabkan oleh kekuatan

tabrakan berat. Jantung dapat terhimpit di antara sternum dan tulang belakang.

Hepar, limpa dan pancreas juga sering tertekan terhadap tulang belakang.

Stir atau kemudi kendaraan yang bengkok atau rusak memperbesar dugaan akan

kemungkinan cedera pada dada, iga, jantung, trakea, tulang belakang atau abdomen.

Trauma kepala dan wajah, tulang belakang servikal, dan cedera trakeal sering

berkaitan dengan kerusakan pada kaca depan mobil atau dashboard. Benturan

lateral dapat menyebabkan patah tulang iga, luka dada penetrasi akibat pegangan

pintu atau jendela, cedera limpa atau hepar dan fraktur pelvis.

2. Trauma penetrasi

Luka tembak berkaitan dengan derajat kerusakan yang lebih tinggi dari luka

tikaman. Peluru dapat menyebabkan lubang di sekitar jaringan dan dapat terpecah

atau mengubah arah di dalam tubuh, mengakibatkan peningkatan cedera, dan

fraktur ke semuanya dapat disebabkan oleh cedera penetrasi.

(Hudak & Gallo, 2001)

C. Patofisiologi

Trauma yang disebabkan karena kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, atau luka

penetrasi dapat menimbulkan beberapa kerusakan jaringan atau organ (multiple trauma).

Pada trauma/ cedera kepala dapat menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup

aktivitas atipikal miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan tidak adanya stimulus endogen

saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini menyebabkan

7

penurunan curah jantung dan meningkatkan tekanan atrium kiri. Akibatnya tubuh

berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya peningkatan

tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru. Adanya edema paru pada trauma kepala

dan vasokonstriksi paru atau hipertensi paru menyebabkan bronkokonstriksi. Konsentrasi

oksigen dan karbon dioksida mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah, aliran darah

bertambah karena terjadi vasodilatasi. Penurunan PCO2, akan terjadi alkalosis yang

menyebabkan vasokonstriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF (cerebral blood fluid).

Edema otak ini menyebabkan kematian otak (iskemik) dan tingginya tekanan intra

kranial (TIK) yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak atau medulla

oblongata. Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme seperti trauma tubuh lainnya

yaitu kecenderungan retensi natrium dan air dan hilangnya sejumlah nitrogen. Retensi

natrium juga disebabkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus, yang menyebabkan

pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron. Trauma kepala juga mempengaruhi sistem

gastrointestinal. Setelah trauma kepala (3 hari) terdapat respon tubuh dengan merangsang

aktivitas hipotalamus dan stimulus vagal. Hal ini akan merangsang lambung menjadi

hiperasiditas.

Pada trauma abdomen, jejas pada abdomen dapat disebabkan oleh trauma tumpul

atau trauma tajam. Pada trauma tumpul dengan viskositas rendah  (misalnya akibat tinju)

biasanya menimbulkan kerusakan satu organ. Sedangkan trauma tumpul viskositas tinggi

sering menimbulkan kerusakan organ multipel, seperti organ padat ( hepar, lien, ginjal ) dari

pada organ-organ berongga.

Cedera akselerasi (kompresi) merupakan suatu kondisi trauma tumpul langsung ke area

abdomen atau bagian pinggang. Kondisi ini memberukan manifestasi kerusakan vaskular

dengan respons terbentuknya formasi hematomdidalam visera.

Cedera deselerasi adalah suatu kondisi dimana suatu peregangan yang berlebihan

memberikan manifestasi terhadap cedera intraabdominal. Kekuatan peregangan secara

longitudinal memberikan manifestasi ruptur (robek) pada struktur dipersimpangan antara

segmen intraabdomen.

Kondisi cedera akselerasi dan deselerasi memberikan berbagai masalah pada pasien

sesuai organ intraabdominal yang mengalami gangguan. Hal ini memberikan implikasi pada

8

asuhan keperawatan. Masalah keperawatan yang muncul berhubungan dengan kondisi

kedaruratan klinis, respons sistemik, dan dampak intervensi medis.

Pada trauma thoraks, Trauma thoraks terdiri atas trauma tajam dan trauma tumpul.

Pada trauma tajam, terdapat luka pada jaringan kutis dan subkutis, mungkin lebih mencapai

jaringan otot ataupun lebih dalam lagi hingga melukai pleura parietalis atau pericardium

parietalis. Dapat juga menembus lebih dalam lagi, sehingga merusak jaringan paru,

menembus dinding jantung atau pembuluh darah besar di mediastinum.

Trauma tajam yang menembus pleura parietalis akan menyebabkan kolaps paru, akibat

masuknya udara atmosfer luar kedalam rongga paru. Bila pleura viseralis pun tertembus,

kemungkinan trauma tajam terhadap jaringan paru sangat besar, sehingga selain terjadi

penurunan ventilasi akibat hubungan pendek bronkho-udara luar melalui luka tajam,

mungkin terjadi pula Hemaptoe massif dengan akibat-akibatnya.

Trauma tajam yang melukai perikardium parietalis dapat menimbulkan tamponade

jantung dengan tertimbunnya darah dalam rongga perikardium, yang akan mampu meredam

aktivitas diastolik jantung. Eksanguinasi akibat tembusnya dinding jantung atau pembuluh

darah besar di mediasternum, mampu menimbulkan henti jantung dalam waktu 2-5 menit,

tergantung derajat perdarahannya.

Jenis lain dari trauma tajam, tembus peluru. Akibat fatal dari trauma peluru ini lebih

besar dari jenis trauma dari pleura, berakibat luka tembus keluar yang relative lebih besar

dari luka tembus masuk.

Trauma tumpul toraks, hanya akan menimbulkan desakan terhadap kerangka dada,

yang karena kelenturannya akan mengambil bentuk semula bila desakan hilang. Trauma

tumpul demikian, secara tampak dari luar mungkin tidak memberi gambaran kelainan fisik.

Namun mampu menimbulkan kontusi terhadap otot kerangka dada, yang dapat menyebabkan

perdarahan dan pembentukan hematoma inter atau intra otot, yang kadang kala cukup luas,

sehingga berakibat nyeri pada respirasi dan pasien tampak seperti mengalami dispnea.

Trauma tumpul jarang dengan kekuatan cukup besar, mampu menimbulkan patah

tulang iga, dapat hanya satu lokasi fraktur pada setiap iga, dapat pula terjadi patahan

multiple, mungkin hanya melibatkan iga sisi unilateral, mungkin pula berakibat bilateral.

Trauma tumpul jarang menimbulkan kerusakan jaringan jantung, kecuali bila terjadi

trauma dengan kekuatan cukup besar dari arah depan, misal : akibat dorongan kemudi atau

9

setir mobil yang mendesak dada akibat penghentian dadakan mobil yang berkecepatan tinggi

menabrak. Desakan setir mobil tersebut mampu menimbulkan tamponade jantung, akibat

perdarahan rongga perikardium ataupun hematoma dinding jantung yang akan meredam

gerakan sistolik dan diastolik.

Hemotoraks maupun hemopneumotoraks adalah merupakan keadaan yang paling sering

dijumpai pada penderita trauma toraks, pada lebih dari 80% penderita dengan trauma toraks

didapati adanya darah pada rongga pleura. Penyebab utama dari hemotoraks adalah laserasi

paru atau laserasi dari pembuluh darah interkostal yang disebabkan oleh trauma tajam atau

trauma tumpul. Dislokasi fraktur dari vertebra torakal juga dapat menyebabkan terjadinya

hemotoraks. Biasanya perdarahan berhenti spontan dan tidak memerlukan intervensi operasi,

sedangkan pada hemotoraks akut yang banyak terlihat pada foto toraks, sebaiknya di terapi

dengan selang dada caliber besar untuk mengeluarkan darah dari rongga pleura, mengurangi

resiko terbentuknya bekuan darah di dalam rongga pleura. Jika darah yang dikeluarkan

secara cepat dari selang sebnyak 1.500 ml, atau bila darah yang keluar lebih dari 200 ml tiap

jam untuk 2 sampai 4 jam, atau membutuhkan transfusi darah terus menerus, torakotomi

harus dipertimbangkan.

Pada trauma tulang (fraktur), Sewaktu tulang patah pendarahan biasanya terjadi di

sekitar tempat patah dan ke dalam jaringan lunak sekitar tulang tersebut, jaringan lunak juga

biasanya mengalami kerusakan. Reaksi pendarahan biasanya timbul hebat setelah fraktur.

Sel-sel darah putih dan sel anast berakumulasi menyebabkan peningkatan aliran darah ke

tempat tersebut. Fagositosis dan pembersihan sisa-sisa sel mati dimulai. Aktivitas osteoblast

terangsang dan terbentuk tulang baru imatur yang disebut callus. Bekuan fibrin direabsorbsi

dan sel-sel tulang baru mengalami remodelling untuk membentuk tulang sejati. Insufisiensi

pembuluh darah atau penekanan serabut saraf yang berkaitan dengan pembekakan yang tidak

ditangani dapat menurunkan asupan darah ke ekstremitas dan mengakibatkan kerusakan saraf

perifer. Bila tidak terkontrol pembengkakan dapat mengakibatkan peningkatan tekanan

jaringan, oklusi darah total dan berakibat anoksia mengakibatkan rusaknya serabut saraf

maupun jaringan otot. Komplikasi ini dinamakan syndrom kompartemen (Smeltzer, 2001).

Fraktur dapat menyebabkan keterbatasan gerak dan ketidakseimbangan, fraktur terjadi

dapat berupa fraktur tertutup atau terbuka. Fraktur tertutup tidak disertai kerusakan jaringan

10

lunak sedangkan fraktur terbuka disertai dengan kerusakan jaringan lunak seperti otot,

tendon, ligamen dan pembuluh darah (Smeltzer, 2001).

Tekanan yang kuat dapat terjadi multiple fraktur terbuka karena fragmen tulang keluar

menembus kulit dan menjadi luka terbuka serta peradangan yang dapat memungkinkan

infeksi, keluarnya darah dapat mempercepat perkembangan bakteri. Tertariknya segmen

karena kejang otot pada area fraktur sehingga disposisi tulang. Multiple fraktur terjadi jika

tulang dikarnakan oleh stres yang lebih besar dari yang dapat di absorbsinya. Multiple fraktur

dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan puntir mendadak, dan

bahkan kontraksi otot ekstrim. Meskipun tulang patah jaringan disekitarnya akan terpengaruh

mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan keotot dan sendi, ruptur tendo, kerusakan

saraf dan kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cidera akibat gaya yang

disebabkan oleh fraktur atau akibat fragmen tulang (Smeltzer, 2001).

Tulang bersifat rapuh namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk

menahan. Tapi apabila tekanan eksternal yang datang lebih besar dari yang dapat diserap

tulang, maka terjadilah trauma pada tulang yang mengakibatkan rusaknya atau terputusnya

kontinuitas tulang. Setelah terjadi multiple fraktur, pembuluh darah serta saraf dalam korteks,

marrow, dan jaringan lunak yang membungkus tulang rusak. Perdarahan terjadi karena

kerusakan tersebut dan terbentuklah hematoma di rongga medula tulang. Jaringan tulang

segera berdekatan ke bagian tulang yang patah. Jaringan yang mengalami nekrosis ini

menstimulasi terjadinya respon inflamasi yang ditandai dengan vasodilatasi, eksudasi plasma

dan leukosit, dan infiltrasi sel darah putih (Rasjad, 2000).

D. Manifestasi Klinik

Manifestasi klinis yang muncul pada klien dengan cedera kepala yaitu : gangguan

kesadaran, konfusi, abnormalitas pupil, defisit neurologik, perubahan tanda-tanda vital, mual

dan muntah, vertigo, gangguan pergerakan, mungkin ada gangguan penglihatan dan

pendengaran. Peningkatan TIK yang mempunyai trias Klasik seperti : nyeri kepala karena

regangan dura dan pembuluh darah; papil edema yang disebabkan oleh tekanan dan

pembengkakan diskus optikus; muntah seringkali proyektil.

Manifestasi klinik pada trauma thorak adalah :

11

1. Temponade jantung (Trauma tajam di daerah pericardium atau yang diperkirakan

menembus jantung ) :

a. Gelisah

b. Pucat

c. Keringat dingin

d. Peninggian TVJ (tekanan vena jugularis)

e. Pekak jantung melebar

f. Bunyi jantung melemah

g. Terdapat tanda-tanda paradoxical pressure

h. ECG terdapat low voltage seluruh lead

i. Perikardiosentesis keluar darah

2. Hematothoraks :

a. Pada WSD darah yang keluar cukup banyak dari WSD

b. Perasaan resah

c. Rasa nyeri di dada

d. Sianosis

e. Ekspansi paru berkurang dan kaku di sisi dada yang diserang

f. Sisi dada yang tidak diserang, akan naik turun pada saat respirasi

g. Hipotensi dan syok

h. Serangan dispnea dari ringan hingga berat

i. Takipnea

j. Bunyi perkusi redup.

3. Pneumothoraks :

a. Pasien mengeluh awitan mendadak nyeri daa pluritik akut yang terlokalisasi pada

paru yang sakit

b. Nyeri dada pluritik biasanya disertai sesak napas, peningaktan kerja pernapasan, dan

dispnea

c. Gerakan dinding dada mungkin tidak sama karena sisi yang sakit tidak mengembang

seperti sisi yang hebat

d. Suara napas jauh atau tidak ada

e. Perkusi dada menghasilkan suara hipersonor

12

f. Takikardia sering terjadi menyertai tipe pneumothorak

g. Tension pneumothorak

1) Hipoksemia (tanda awal)

2) Ketakutan

3) Gawat napas (takipnea berat)

4) Peningkatan tekanan jalan napas puncak dan merata

5) Kolaps kardiovaskuler (frekuensi jantung >140x/menit)

(Morton, 2012)

Manifestasi klinik pada fraktur adalah :

1. Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang dimobilisasi

2. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan/ tungkai menyebabkan deformitas (terlihat

ataupun teraba) ekstremitas yang bisa diketahui dengan perbandingan ekstremitas normal.

3. Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot

yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur

4. Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba derik tulang dinamakan krepitasi yang

teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya.

5. Pembengkakkan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan

perdarahan yang mengikuti fraktur.

E. Penatalaksanaan Kegawatan

1. Survey Primer

Setelah pasien sampai di UGD yang pertama kali harus dilakukan adalah mengamankan

dan mengaplikasikan prinsip ABCDE (Airway, Breathing, Circulation, Disability

Limitation, Exposure)

a. A : Airway, dengan kontrol servikal. Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran

jalan nafas. Ini meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas oleh adanya benda

asing atau fraktus di bagian wajah. Usaha untuk membebaskan jalan nafas harus

memproteksi tulang cervikal, karena itu teknik Jaw Thrust dapat digunakan. Pasien

dengan gangguan kesadaran atau GCS kurang dari 8 biasanya memerlukan

pemasangan airway definitive

13

b. B : Breathing. Setelah mengamankan airway maka selanjutnya kita harus menjamin

ventilasi yang baik. Ventilasi yang baik meliputi fungsi dari paru paru yang baik,

dinding dada dan diafragma. Beberapa sumber mengatakan pasien dengan fraktur

ektrimitas bawah yang signifikan sebaiknya diberi high flow oxygen 15 l/m lewat

non-rebreathing mask dengan reservoir bag.

c. C : Circulation. Ketika mengevaluasi sirkulasi maka yang harus diperhatikan di sini

adalah volume darah, pendarahan, dan cardiac output. Pendarahan sering menjadi

permasalahan utama pada kasus patah tulang, terutama patah tulang terbuka. Patah

tulang femur dapat menyebabkan kehilangan darah dalam paha 3 – 4 unit darah dan

membuat syok kelas III. Menghentikan pendarahan yang terbaik adalah menggunakan

penekanan langsung dan meninggikan lokasi atau ekstrimitas yang mengalami

pendarahan di atas level tubuh. Pemasangan bidai yang baik dapat menurunkan

pendarahan secara nyata dengan mengurangi gerakan dan meningkatkan pengaruh

tamponade otot sekitar patahan. Pada patah tulang terbuka, penggunaan balut tekan

steril umumnya dapat menghentikan pendarahan. Penggantian cairan yang agresif

merupakan hal penting disamping usaha menghentikan pendarahan.

d. D : Disability. menjelang akhir survey primer maka dilakukan evaluasi singkat

terhadap keadaan neurologis. yang dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukuran dan

reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat cedera spinal.

e. E : Exposure. pasien harus dibuka keseluruhan pakaiannya, seiring dengan cara

menggunting, guna memeriksa dan evaluasi pasien. setelah pakaian dibuka, penting

bahwa pasien diselimuti agar pasien tidak hipotermia.

Pemeriksaan tambahan pada pasien dengan trauma muskuloskeletal seperti fraktur adalah

imobilisasi patah tulang dan pemeriksaan radiologi.

a. Imobilisasi Fraktur

Tujuan Imobilisasi fraktur adalah meluruskan ekstrimitas yang cedera dalam posisi

se-anatomis mungkin dan mencegah gerakan yang berlebihan pada daerah fraktur.

Hal ini akan tercapai dengan melakukan traksi untuk meluruskan ekstrimitas dan

dipertahankan dengan alat imobilisasi. pemakaian bidai yang benar akan membantu

menghentikan pendarahan, mengurangi nyeri, dan mencegah kerusakan jaringan

lunak lebih lanjut. Imobilisasi harus mencakup sendi diatas dan di bawah fraktur.

14

Fraktur femur dilakukan imobilisasi sementara dengan traction splint. Traction splint

menarik bagian distal dari pergelangan kaki atau melalui kulit. Di proksimal traction

splint didorong ke pangkal paha melalui ring yang menekan bokong, perineum dan

pangkal paha. Cara paling sederhana dalam membidai tungkai yang trauma adalah

dengan tungkai sebelahnya.

Pada cedera lutut pemakaian long leg splint atau gips dapat membantu kenyamanan

dan stabilitas. Tungkai tidak boleh dilakukan imobilisasi dalam ekstensi penuh.

Fraktur tibia sebaiknya dilakukan imobilisasi dengan cardboard atau metal gutter,

long leg splint. jika tersedia dapat dipasang gips dengan imobilisasi meliputi tungkai

bawah, lutut, dan pergelangan kaki.

b. Pemeriksaan radiologi

Umumnya pemeriksaan radiologis pada trauma skeletal merupakan bagian dari

survey sekunder. Jenis dan saat pemeriksaan radiologis yang akan dilakukan

ditentukan oleh hasil pemeriksaan, tanda klinis, keadaan hemodinamik, serta

mekanisme trauma. Foto pelvis AP perlu dilakukan sedini mungkin pada pasien

multitrauma tanpa kelainan hemodinamik dan pada pasien dengan sumber

pendarahan yang belum dapat ditentukan.

2. Survey sekunder

Bagian dari survey sekunder pada pasien cedera muskuloskeletal adalah anamnesis dan

pemeriksaan fisik. Tujuan dari survey sekunder adalah mencari cedera cedera lain yang

mungkin terjadi pada pasien sehingga tidak satupun terlewatkan dan tidak terobati.

Apabila pasien sadar dan dapat berbicara maka kita harus mengambil riwayat AMPLE

dari pasien, yaitu Allergies, Medication, Past Medical History, Last Ate dan Event

(kejadian atau mekanisme kecelakaan). Mekanisme kecelakaan penting untuk ditanyakan

untuk mengetahui dan memperkirakan cedera apa yang dimiliki oleh pasien, terutama

jika kita masih curiga ada cedera yang belum diketahui saat primary survey, Selain

riwayat AMPLE, penting juga untuk mencari informasi mengenai penanganan sebelum

pasien sampai di rumah sakit.

Pada pemeriksaan fisik pasien, beberapa hal yang penting untuk dievaluasi adalah (1)

kulit yang melindungi pasien dari kehilangan cairan dan infeksi, (2) fungsi

neuromuskular (3) status sirkulasi, (4) integritas ligamentum dan tulang. Cara

15

pemeriksaannya dapat dilakukan dengan Look, Feel, Move. Pada Look, kita menilai

warna dan perfusi, luka, deformitas, pembengkakan, dan memar. Penilaian inspeksi

dalam tubuh perlu dilakukan untuk menemukan pendarahan eksternal aktif, begitu pula

dengan bagian punggung. Bagian distal tubuh yang pucat dan tanpa pulsasi menandakan

adanya gangguan vaskularisasi. Ekstremitas yang bengkak pada daerah yang berotot

menunjukkan adanya crush injury dengan ancaman sindroma kompartemen. Pada

pemerikasaan Feel, kita menggunakan palpasi untuk memeriksa daerah nyeri tekan,

fungsi neurologi, dan krepitasi.

Pada periksaan Move kita memeriksa Range of Motion dan gerakan abnormal

Pemeriksaan sirkulasi dilakukan dengan cara meraba pulsasi bagian distal dari fraktur

dan juga memeriksa capillary refill pada ujung jari kemudian membandingkan sisi yang

sakit dengan sisi yang sehat. Jika hipotensi mempersulit pemeriksaan pulsasi, dapat

digunakan alat Doppler yang dapat mendeteksi aliran darah di ekstremitas. Pada pasien

dengan hemodinamik yang normal, perbedaan besarnya denyut nadi, dingin, pucat,

parestesi dan adanya gangguan motorik menunjukkan trauma arteri. Selain itu hematoma

yang membesar atau pendarahan yang memancar dari luka terbuka menunjukkan adanya

trauma arterial.

Pemeriksaan neurologi juga penting untuk dilakukan mengingat cedera musculoskeletal

juga dapat menyebabkan cedera serabut syaraf dan iskemia sel syaraf. Pemeriksaan

fungsi syaraf memerlukan kerja sama pasien. Setiap syaraf perifer yang besar fungsi

motoris dan sensorisnya perlu diperiksa secara sistematik.

Tujuan penanganan fraktur selanjutnya adalah mencegah sumber-sumber yang berpotensi

berkontaminasi pada luka fraktur. Adapun beberapa cara yang dapat dilakukan adalah

mengirigasi luka dengan saline dan menyelimuti luka fraktur dengan ghas steril lembab

atau juga bisa diberikan betadine pada ghas. Berikan vaksinasi tetanus dan juga antibiotik

sebagai profilaksis infeksi. Antibiotik yang dapat diberikan adalah :

a. Generasi pertama cephalosporin (cephalotin 1 – 2 g dibagi dosis 3 -4 kali sehari)

dapat digunakan untuk fraktur tipe I Gustilo

b. Aminoglikosid (antibiotik untuk gram negatif) seperti gentamicin (120 mg dosis 2x/

hari) dapat ditambahkan untuk tipe II dan tipe III klasifikasi Gustilo.

16

c. Metronidazole (500 mg dosis 2x/hari) dapat ditambahkan untuk mengatasi kuman

anaerob.

Pemberian antibiotik dapat dilanjutkan hingga 72 jam setelah luka ditutup. Debridement

luka di kamar operasi juga sebaiknya dilakukan sebelum 6 jam pasca trauma untuk

menghindari adanya sepsis pasca trauma.

Dalam strategi meredakan nyeri akut yang sekiranya berat dalam patah tulang digunakan

srategi “Three Step Analgesic Ladder” dari WHO. Pada nyeri akut, sebaiknya di awal

diberikan analgesik kuat seperti Opioid kuat13. Dosis pemberian morfin adalah 0.05–0.1

mg/kg diberikan intravena setiap 10/15 menit secara titrasi sampai mendapat efek

analgesia. Terdapat evidence terbaru di mana pada tahun terakhir ini Ketamine juga dapat

dipergunakan sebagai agen analgesia pada dosis rendah (0.5 – 1 mg/kg). Obat ini juga

harus ditritasi untuk mencapai respon optimal agar tidak menimbulkan efek anastesi.

Efek menguntungkan dari ketamine adalah ketamine tidak menimbulkan depresi

pernafasan, hipotensi, dan menimbulkan efek bronkodilator pada dosis rendah. Kerugian

ketamine adalah dapat menimbulkan delirium, tetapi dapat dicegah dengan memasukkan

benzodiazepine sebelumnya (0.5 – 2 mg midazolam intravena).

Peripheral nerve blocks juga menjadi pilihan baik dilakukan tunggal maupun kombinasi

dengan analgesik intravena. Yang umumnya digunakan adalah femoral nerve block.

F. Pemeriksaan Fisik

1. Kulit kepala

Seluruh kulit kepala diperiksa. Sering terjadi pada penderita yang datang dengan cedera

ringan, tiba-tiba ada darah di lantai yang berasal dari bagian belakang kepala penderita.

Lakukan inspeksi dan palpasi seluruh kepala dan wajah untuk adanya pigmentasi,

laserasi, massa, kontusio, fraktur dan luka termal, ruam, perdarahan, nyeri tekan serta

adanya sakit kepala (Manning, 2004).

2. Wajah

Ingat prinsip look-listen-feel. Inspeksi adanya kesimterisan kanan dan kiri. Apabila

terdapat cedera di sekitar mata jangan lalai memeriksa mata, karena pembengkakan di

mata akan menyebabkan pemeriksaan mata selanjutnya menjadi sulit. Re evaluasi tingkat

kesadaran dengan skor GCS.

17

a. Mata : Periksa kornea ada cedera atau tidak, ukuran pupil apakah isokor

atau anisokor serta bagaimana reflex cahayanya, apakah pupil mengalami miosis atau

midriasis, adanya ikterus, ketajaman mata (macies visus dan acies campus), apakah

konjungtivanya anemis atau adanya kemerahan, rasa nyeri, gatal-gatal, ptosis,

exophthalmos, subconjunctival perdarahan, serta diplopia

b. Hidung : Periksa adanya perdarahan, perasaan nyeri, penyumbatan

penciuman, apabila ada deformitas (pembengkokan) lakukan palpasi akan

kemungkinan krepitasi dari suatu fraktur.

c. Telinga : Periksa adanya nyeri, tinitus, pembengkakan, penurunan atau

hilangnya pendengaran, periksa dengan senter mengenai keutuhan membrane timpani

atau adanya hemotimpanum

d. Rahang atas : Periksa stabilitas rahang atas

e. Rahang bawah : Periksa akan adanya fraktur

f. Mulut dan faring : Inspeksi pada bagian mucosa terhadap tekstur, warna,

kelembaban, dan adanya lesi; amati lidah tekstur, warna, kelembaban, lesi, apakah

tosil meradang, pegang dan tekan daerah pipi kemudian rasakan apa ada massa/

tumor, pembengkakkan dan nyeri, inspeksi amati adanya tonsil meradang atau tidak

(tonsillitis/amandel). Palpasi adanya respon nyeri

3. Vertebra servikalis dan leher

Pada saat memeriksa leher, periksa adanya deformitas tulang atau krepitasi, edema,

ruam, lesi, dan massa , kaji adanya keluhan disfagia (kesulitan menelan) dan suara serak

harus diperhatikan, cedera tumpul atau tajam, deviasi trakea, dan pemakaian otot

tambahan. Palpasi akan adanya nyeri, deformitas, pembekakan, emfisema subkutan,

deviasi trakea, kekakuan pada leher dan simetris pulsasi. Tetap jaga imobilisasi segaris

dan proteksi servikal. Jaga airway, pernafasan, dan oksigenasi. Kontrol perdarahan,

cegah kerusakan otak sekunder..

4. Toraks

Inspeksi : Inspeksi dinding dada bagian depan, samping dan belakang untuk adanya

trauma tumpul/tajam,luka, lecet, memar, ruam , ekimosiss, bekas luka, frekuensi dan

kedalaman pernafsan, kesimetrisan expansi dinding dada, penggunaan otot pernafasan

18

tambahan dan ekspansi toraks bilateral, apakah terpasang pace maker, frekuensi dan

irama denyut jantung (Lombardo, 2005)

Palpasi : Seluruh dinding dada untuk adanya trauma tajam/tumpul, emfisema

subkutan, nyeri tekan dan krepitasi.

Perkusi : Untuk mengetahui kemungkinan hipersonor dan keredupan

Auskultasi : Suara nafas tambahan (apakah ada ronki, wheezing, rales) dan bunyi

jantung (murmur, gallop, friction rub)

5. Abdomen

Cedera intra-abdomen kadang-kadang luput terdiagnosis, misalnya pada keadaan cedera

kepala dengan penurunan kesadaran, fraktur vertebra dengan kelumpuhan (penderita

tidak sadar akan nyeri perutnya dan gejala defans otot dan nyeri tekan/lepas tidak ada).

Inspeksi abdomen bagian depan dan belakang, untuk adanya trauma tajam, tumpul dan

adanya perdarahan internal, adakah distensi abdomen, asites, luka, lecet, memar, ruam,

massa, denyutan, benda tertusuk, ecchymosis, bekas luka , dan stoma. Auskultasi bising

usus, perkusi abdomen, untuk mendapatkan, nyeri lepas (ringan). Palpasi abdomen untuk

mengetahui adakah kekakuan atau nyeri tekan, hepatomegali,splenomegali,defans

muskuler,, nyeri lepas yang jelas atau uterus yang hamil. Bila ragu akan adanya

perdarahan intra abdominal, dapat dilakukan pemeriksaan DPL (Diagnostic peritoneal

lavage, ataupun USG (Ultra Sonography). Pada perforasi organ berlumen misalnya usus

halus gejala mungkin tidak akan nampak dengan segera karena itu memerlukan re-

evaluasi berulang kali. Pengelolaannya dengan transfer penderita ke ruang operasi bila

diperlukan (Tim YAGD 118, 2010).

6. Pelvis (perineum/rectum/vagina)

Cedera pada pelvis yang berat akan nampak pada pemeriksaan fisik (pelvis

menjadi stabil), pada cedera berat ini kemungkinan penderita akan masuk dalam keadaan

syok, yang harus segera diatasi. Bila ada indikasi pasang PASG/ gurita untuk mengontrol

perdarahan dari fraktur pelvis (Tim YAGD 118, 2010).

Pelvis dan perineum diperiksa akan adanya luka, laserasi , ruam, lesi, edema, atau

kontusio, hematoma, dan perdarahan uretra. Colok dubur harus dilakukan sebelum

memasang kateter uretra. Harus diteliti akan kemungkinan adanya darah dari lumen

rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya rectum dan tonus

19

musculo sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya

darah dalam vagina atau laserasi, jika terdapat perdarahan vagina dicatat, karakter dan

jumlah kehilangan darah harus dilaporkan (pada tampon yang penuh memegang 20

sampai 30 mL darah). Juga harus dilakuakn tes kehamilan pada semua wanita usia subur.

Permasalahan yang ada adalah ketika terjadi kerusakan uretra pada wanita, walaupun

jarang dapat terjadi pada fraktur pelvis dan straddle injury. Bila terjadi, kelainan ini sulit

dikenali, jika pasien hamil, denyut jantung janin (pertama kali mendengar dengan

Doppler ultrasonografi pada sekitar 10 sampai 12 kehamilan minggu) yang dinilai untuk

frekuensi, lokasi, dan tempat. Pasien dengan keluhan kemih harus ditanya tentang rasa

sakit atau terbakar dengan buang air kecil, frekuensi, hematuria, kencing berkurang,

Sebuah sampel urin harus diperoleh untuk analisis.(Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).

7. Ektremitas

Pemeriksaan dilakukan dengan look-feel-move. Pada saat inspeksi, jangan lupa

untuk memriksa adanya luka dekat daerah fraktur (fraktur terbuak), pada saat pelapasi

jangan lupa untuk memeriksa denyut nadi distal dari fraktur pada saat menggerakan,

jangan dipaksakan bila jelas fraktur. Sindroma kompartemen (tekanan intra kompartemen

dalam ekstremitas meninggi sehingga membahayakan aliran darah), mungkin luput

terdiagnosis pada penderita dengan penurunan kesadaran atau kelumpuhan (Tim YAGD

118, 2010). Inspeksi pula adanya kemerahan, edema, ruam, lesi, gerakan, dan sensasi

harus diperhatikan, paralisis, atropi/hipertropi otot, kontraktur, sedangkan pada jari-jari

periksa adanya clubbing finger serta catat adanya nyeri tekan, dan hitung berapa detik

kapiler refill (pada pasien hypoxia lambat s/d 5-15 detik)

Penilaian pulsasi dapat menetukan adanya gangguan vaskular. Perlukaan berat

pada ekstremitas dapat terjadi tanpa disertai fraktur.kerusakn ligament dapat

menyebabakan sendi menjadi tidak stabil, keruskan otot-tendonakan mengganggu

pergerakan. Gangguan sensasi dan/atau hilangnya kemampuan kontraksi otot dapat

disebabkan oleh syaraf perifer atau iskemia. Adanya fraktur torako lumbal dapat dikenal

pada pemeriksaan fisik dan riwayat trauma. Perlukaan bagian lain mungkin

menghilangkan gejala fraktur torako lumbal, dan dalam keadaan ini hanya dapat

didiagnosa dengan foto rongent. Pemeriksaan muskuloskletal tidak lengkap bila belum

dilakukan pemeriksaan punggung penderita. Permasalahan yang muncul adalah

20

1) Perdarahan dari fraktur pelvis dapat berat dan sulit dikontrol, sehingga terjadi syok

yang dpat berakibat fatal

2) Fraktur pada tangan dan kaki sering tidak dikenal apa lagi penderita dalam keadaan

tidak sada. Apabila kemudian kesadaran pulih kembali barulah kelainan ini dikenali.

3) Kerusakan jaringan lunak sekitar sendi seringkali baru dikenal setelah penderita mulai

sadar kembali (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006).

8. Bagian punggung

Memeriksa punggung dilakukan dilakukan dengan log roll, memiringkan

penderita dengan tetap menjaga kesegarisan tubuh). Pada saat ini dapat dilakukan

pemeriksaan punggung (Tim YAGD 118, 2010). Periksa`adanya perdarahan, lecet, luka,

hematoma, ecchymosis, ruam, lesi, dan edema serta nyeri, begitu pula pada kolumna

vertebra periksa adanya deformitas.

9. Neurologis

Pemeriksaan neurologis yang diteliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran,

ukuran dan reaksi pupil, oemeriksaan motorik dan sendorik. Peubahan dalam status

neirologis dapat dikenal dengan pemakaian GCS. Adanya paralisis dapat disebabakan

oleh kerusakan kolumna vertebralis atau saraf perifer. Imobilisasi penderita dengan short

atau long spine board, kolar servikal, dan alat imobilisasi dilakukan samapai terbukti

tidak ada fraktur servikal. Kesalahan yang sering dilakukan adalah untuk melakukan

fiksasai terbatas kepada kepala dan leher saja, sehingga penderita masih dapat bergerak

dengan leher sebagai sumbu. Jelsalah bahwa seluruh tubuh penderita memerlukan

imobilisasi. Bila ada trauma kepala, diperlukan konsultasi neurologis. Harus dipantau

tingkat kesadaran penderita, karena merupakan gambaran perlukaan intra cranial. Bila

terjadi penurunan kesadaran akibat gangguan neurologis, harus diteliti ulang perfusi

oksigenasi, dan ventilasi (ABC). Perlu adanya tindakan bila ada perdarahan epidural

subdural atau fraktur kompresi ditentukan ahli bedah syaraf (Diklat RSUP Dr. M.Djamil,

2006).

Pada pemeriksaan neurologis, inspeksi adanya kejang, twitching, parese,

hemiplegi atau hemiparese (ganggguan pergerakan), distaksia (kesukaran dalam

mengkoordinasi otot), rangsangan meningeal dan kaji pula adanya vertigo dan respon

sensori.

21

G. Pemeriksaan Fokus dan Diagnostik

1. Focused Assessment

Focused assessment atau pengakajian terfokus adalah tahap pengkajian pada area

keperawatan gawat darurat yang dilakukan setelah primary survey, secondary survey,

anamnesis riwayat pasien (pemeriksaan subyektif) dan pemeriksaan obyektif (Head to

toe). Di beberapa negara bagian Australia mengembangkan focused assessment ini dalam

pelayanan di Emergency Department, tetapi di beberapa Negara seperti USA dan

beberapa Negara Eropa tidak menggunakan istilah Focused Assessment tetapi dengan

istilah Definitive Assessment.

Focused assessment untuk melengkapi data secondary assessment bisa dilakukan sesuai

masalah yang ditemukan atau tempat dimana injury ditemukan. Yang paling banyak

dilakukan dalam tahap ini adalah beberapa pemeriksaan penunjang diagnostik atau

bahkan dilakukan pemeriksaan ulangan dengan tujuan segera dapat dilakukan tindakan

definitif.

2. Reassessment

Beberapa komponen yang perlu untuk dilakukan pengkajian kembali (reassessment) yang

penting untuk melengkapi primary survey pada pasien di gawat darurat adalah :

Komponen PertimbanganAirway Pastikan bahwa peralatan airway : Oro

Pharyngeal Airway, Laryngeal Mask Airway , maupun Endotracheal Tube (salah satu dari peralatan airway) tetap efektif untuk menjamin kelancaran jalan napas. Pertimbangkan penggunaaan peralatan dengan manfaat yang optimal dengan risiko yang minimal.

Breathing Pastikan oksigenasi sesuai dengan kebutuhan pasien :

Pemeriksaan definitive rongga dada dengan rontgen foto thoraks, untuk meyakinkan ada tidaknya masalah seperti Tension pneumothoraks, hematotoraks atau trauma thoraks yang lain yang bisa mengakibatkan oksigenasi tidak adekuat

22

Penggunaan ventilator mekanikCirculation Pastikan bahwa dukungan sirkulasi menjamin

perfusi jaringan khususnya organ vital tetap terjaga, hemodinamik tetap termonitor serta menjamin tidak terjadi over hidrasi pada saat penanganan resusitasicairan.

Pemasangan cateter vena central Pemeriksaan analisa gas darah Balance cairan Pemasangan kateter urin

Disability Setelah pemeriksaan GCS pada primary survey, perlu didukung dengan :

Pemeriksaan spesifik neurologic yang lain seperti reflex patologis, deficit neurologi, pemeriksaan persepsi sensori dan pemeriksaan yang lainnya.

CT scan kepala, atau MRI

Exposure Konfirmasi hasil data primary survey dengan Rontgen foto pada daerah yang

mungkin dicurigai trauma atau fraktur USG abdomen atau pelvis

3. Pemeriksaan Diagnostik

Pemeriksaan lanjutan hanya dilakukan setelah ventilasi dan hemodinamika penderita

dalam keadaan stabil (Diklat RSUP Dr. M.Djamil, 2006). Dalam melakukan secondary

survey, mungkin akan dilakukan pemeriksaan diagnostik yang lebih spesifik seperti :

a. Endoskopi

Pemeriksaan penunjang endoskopi bisa dilakukan pada pasien dengan perdarahan

dalam. Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi kita bisa mngethaui perdarahan

yang terjadi organ dalam. Pemeriksaan endoskopi dapat mendeteksi lebih dari 95%

pasien dengan hemetemesis, melena atau hematemesis melena dapat ditentukan lokasi

perdarahan dan penyebab perdarahannya. Lokasi dan sumber perdarahan yaitu:

1) Esofagus : Varises, erosi, ulkus, tumor

2) Gaster : Erosi, ulkus, tumor, polip, angio

displasia, dilafeuy, varises gastropati kongestif

3) Duodenum : Ulkus, erosi

23

Untuk kepentingan klinik biasanya dibedakan perdarahan karena ruptur varises dan

perdarahan bukan karena ruptur varises (variceal bleeding dan non variceal bleeding)

(Djumhana, 2011).

b. Bronkoskopi

Bronkoskopi adalah tindakan yang dilakukan untuk melihat keadaan intra bronkus

dengan menggunakan alat bronkoskop. Prosedur diagnostik dengan bronkoskop ini

dapat menilai lebih baik pada mukosa saluran napas normal, hiperemis atau lesi

infiltrat yang memperlihatkan mukosa yang compang-camping. Teknik ini juga dapat

menilai penyempitan atau obstruksi akibat kompresi dari luar atau massa

intrabronkial, tumor intra bronkus. Prosedur ini juga dapat menilai ada tidaknya

pembesaran kelenjar getah bening, yaitu dengan menilai karina yang terlihat tumpul

akibat pembesaran kelenjar getah bening subkarina atau intra bronkus (Parhusip,

2004).

c. CT Scan

CT-scan merupakan alat pencitraan yang di pakai pada kasus-kasus emergensi

seperti emboli paru, diseksi aorta, akut abdomen, semua jenis trauma dan menentukan

tingkatan dalam stroke. Pada kasus stroke, CT-scan dapat menentukan dan

memisahkan antara jaringan otak yang infark dan daerah penumbra. Selain itu, alat

ini bagus juga untuk menilai kalsifikasi jaringan. Berdasarkan beberapa studi terakhir,

CT-scan dapat mendeteksi lebih dari 90 % kasus stroke iskemik, dan menjadi baku

emas dalam diagnosis stroke (Widjaya, 2002). Pemeriksaaan CT. scan juga dapat

mendeteksi kelainan-kelainan seerti perdarahan diotak, tumor otak, kelainan-kelainan

tulang dan kelainan dirongga dada dan rongga perur dan khususnya kelainan

pembuluh darah, jantung (koroner), dan pembuluh darah umumnya (seperti

penyempitan darah dan ginjal (ishak, 2012).

d. USG

Ultrasonografi (USG) adalah alat diagnostik non invasif menggunakan gelombang

suara dengan frekuensi tinggi diatas 20.000 hertz ( >20 kilohertz) untuk

menghasilkan gambaran struktur organ di dalam tubuh.Manusia dapat mendengar

gelombang suara 20-20.000 hertz .Gelombang suara antara 2,5 sampai dengan 14

kilohertz digunakan untuk diagnostik. Gelombang suara dikirim melalui suatu alat

24

yang disebut transducer atau probe. Obyek didalam tubuh akan memantulkan kembali

gelombang suara yang kemudian akan ditangkap oleh suatu sensor, gelombang pantul

tersebut akan direkam, dianalisis dan ditayangkan di layar. Daerah yang tercakup

tergantung dari rancangan alatnya. Ultrasonografi yang terbaru dapat menayangkan

suatu obyek dengan gambaran tiga dimensi, empat dimensi dan berwarna. USG bisa

dilakukan pada abdomen, thorak (Lyandra, Antariksa, Syaharudin, 2011).

e. Radiologi

Radiologi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dilakukan di ruang

gawat darurat. Radiologi merupakan bagian dari spectrum elektromagnetik yang

dipancarkan akibat pengeboman anoda wolfram oleh electron-elektron bebas dari

suatu katoda. Film polos dihasilkan oleh pergerakan electron-elektron tersebut

melintasi pasien dan menampilkan film radiologi. Tulang dapat menyerap sebagian

besar radiasi menyebabkan pajanan pada film paling sedikit, sehingga film yang

dihasilkan tampak berwarna putih. Udara paling sedikit menyerap radiasi,

meyebabakan pejanan pada film maksimal sehingga film nampak berwarna hitam.

Diantara kedua keadaan ekstrem ini, penyerapan jaringan sangat berbeda-beda

menghasilkan citra dalam skala abu-abu. Radiologi bermanfaat untuk dada,

abdoment, sistem tulang: trauma, tulang belakang, sendi penyakit degenerative,

metabolic dan metastatik (tumor). Pemeriksaan radiologi penggunaannya dalam

membantu diagnosis meningkat. Sebagian kegiatan seharian di departemen radiologi

adalah pemeriksaan foto toraks. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya pemeriksaan

ini. Ini karena pemeriksaan ini relatif lebih cepat, lebih murah dan mudah dilakukan

berbanding pemeriksaan lain yang lebih canggih dan akurat (Ishak, 2012).

f. MRI (Magnetic Resonance Imaging)

Secara umum lebih sensitive dibandingkan CT Scan. MRI juga dapat digunakan pada

kompresi spinal. Kelemahan alat ini adalah tidak dapat mendeteksi adanya emboli

paru, udara bebas dalam peritoneum dan faktor. Kelemahan lainnya adalah prosedur

pemeriksaan yang lebih rumit dan lebih lama, hanya sedikit sekali rumah sakit yang

memiliki, harga pemeriksaan yang sangat mahal serta tidak dapat diapaki pada pasien

yang memakai alat pacemaker jantung dan alat bantu pendengaran (Widjaya,2002).

25

H. Pathway

Terlampir

I. Pengkajian fokus

Kasus :

Tn. Sastro masuk ke UGD RSUD dengan multiple trauma akibat kecelakaan lalu lintas.

Pasien sadar, mengeluh nyeri dada sebelah kanan, pusing, nafas terasa sesak, RR 32x/menit,

TD 90/60 mmHg, nadi 100x/menit, terdapat jejas pada dada sebelah kanan. Hasil

pemeriksaan pengembangan dinding thoraks tidak simetris, ditemukan krepitasi dada sebelah

kanan. Di pelipis kanan pasien terdapat hematom dan luka koyak. Pada tungkai kaki terlihat

berdarah, terdapat luka koyak. Pada tangan kanan banyak luka lecet.

1. Survey Primer

a. Airway

1) Dilakukan head tilt dan chin lift dilihat jalan napas bersih

2) Tidak ada benda asing, tidak ada suara napas tambahan

3) Pasien masih dapat berbicara, cervical control (+)

4) Airway clear

b. Breathing

1) Frekuensi nafas 32x/ menit, nafas spontan, dangkal, cepat, tidak adekuat, sesak

napas

2) Pada inspeksi, ditemukan gerakan dinding dada tidak simetris, bagian kanan

tertinggal

3) Dicurigai hemotothoraks

4) Dilakukan pemeriksaan rontgen thorak

5) Dilakukan tindakan WSD dan oksigenasi

6) Palpasi, taktil fremitus melemah dibandingkan dada kiri

7) Perkusi pekak pada paru kanan, dan sonor pada paru kiri

8) Auskultasi vesikuler menghilang pada paru kanan.

c. Circulation

1) Nadi 100 x/ menit, nadi halus, pulsasi kecil, tekanan darah 90/60 mmHg

2) Akral dingin

26

3) Sianosis, Capillary Refill Time > 2 detik

d. Disability

1) Pupil isokor ka/ki, reflek cahaya +/+

2) GCS : E4, M6, V4 (cedera kepala ringan)

3) Kesadaran Composmentis

e. Exposure

1) Terdapat jejas pada dada sebelah kanan

2) Ditemukan krepitasi dada sebelah kanan

3) Di pelipis kanan pasien terdapat hematom luka koyak

4) Pada tungkai kaki terlihat berdarah, terdapat luka koyak

5) Pada tangan kanan banyak luka lecet

2. Survey Sekunder

a. Nama : Tn. S

b. Jenis Kelamin : Laki-laki

c. Alasan masuk : Kecelakaan lalu lintas

d. Keluhan utama : Klien mengeluh nyeri dada sebelah kanan, pusing

dan terasa sesak napas

e. Riwayat penyakit sekarang : klien mengalami kecelakaan lalu lintas satu jam

yang lalu antara sepeda motor dan truk. Dari arah berlawanan, pasien ditabrak oleh

sepeda motor lain dengan kcpatan tinggi. Pasien mengatakan dalam kondisi tidak fit

dan mengantuk. Pasien terjatuh ke sebelah kanan, terpeental dan membentur aspal.

Terlihat bekas atau jeejas pada dada seblah kanan, memar dan luka koyak pada

tangan kanan dan berdarah pada tungkai kaki. Pasien dibawa ke Rumah Sakit oleh

penolong.

f. Riwayat penyakit dahulu : tidak ada penyakit yang ada hubungannya dengan

keadaan yang dialami klien saat ini

g. Riwayat penyakit keluarga : tidak ada penyakit yang ada hubungannya dengan

keadaan yang dialami klien saat ini

h. Pemeriksaan fisik

1) Kepala : bentuk mesochepal, rambut hitam tidak mudah rontok

2) Mata : Konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik

27

3) Hidung: bersih, lembab

4) Telinga: Pendengaran baik, serumen sedikit

5) Mulut : mukosa bibir lembab, gigi bersih

6) Leher : tak ada pembesaran kelenjar paratiroid, tidak ada peningkatan tekanan

vena jugularis

7) Paru-paru :

a) Inspeksi : bentuk simetris, gerakan dada paru kanan tertinggal, tarikan

interkosta(+)

b) Palpasi : Fremitus kanan melemah dibandingkan kiri

c) Perkusi : paru kanan pekak, paru kiri sonor

d) Auskultasi : Suara dasar vesikuler, friction rub pada paru kanan

8) Jantung :

a) Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak

b) Perkusi : Pekak

c) Auskultasi : Bj S1-S2 murni

9) Abdomen :

a) Inspeksi : tidak ada pembesaran

b) Auskultasi : bising usus (+), 10 x/menit

c) Palpasi : tidak teraba massa

d) Perkusi : timpani

10) Ekstremitas :

a) Inspeksi ekstremitas atas : banyak luka lecet pada tangan kanan

b) Inspeksi ekstremitas bawah : Pada tungkai kaki terlihat berdarah, terdapat luka

koyak

J. Asuhan Keperawatan Kasus

PENGELOMPOKKAN DATA

Pengelompokan Data

DS : Mengeluh nyeri dada sebelah kanan, skala

nyeri 7, pusing, nafas terasa sesak.

DO : Pasien sadar, RR 32x/menit, TD 90/60

mmHg, nadi 100x/menit, terdapat jejas pada

dada sebelah kanan, pengembangan dinding

28

thorax tidak simetris, ditemukan krepitasi dada

sebelah kanan, akral dingin, CRT lebih dari 2

detik, sianosis pada perifer, terdapat hematom,

tungkai kaki berdarah, terdapat banyak luka

koyak di tangan kanan.

ANALISA MASALAH

Analisa Data Masalah

DS : Nafas terasa sesak

DO : RR 32x/menit, Pengembangan dinding

thorax tidak simetris.

Pola napas tidak efektif

DS : Pusing

DO : Akral dingin, CRT lebih dari 2 detik,

sianosis pada perifer, terdapat hematom.

Resiko perubahan perfusi jaringan

DS : Pasien mengeluh nyeri, pasien mengatan

skala nyeri 7

DO : Ditemukan krepitasi dada sebelah kanan.

Nyeri akut

DO : tungkai kaki berdarah, terdapat banyak

luka koyak di tangan kanan.

Resiko Infeksi

DIAGNOSA DAN INTERVENSI KEPERAWATAN

Diagnosa Keperawatan Kriteria Hasil dan Tujuan Intervensi Keperawatan

Ketidakefektifan pola nafas

b/d trauma pulmonal, ekspansi

paru yang tidak maksimal,

nyeri.

1. Menunjukkan jalan nafas

yang paten (klien tidak

merasa tercekik, irama

nafas, frekuensi

pernafasan dalam rentang

normal, tidak ada suara

nafas abnormal)

2. TTV dalam rentang

normal (tekanan darah,

1) Auskultasi suara nafas,

catat adanya suara

tambahan

2) Posisikan pasien untuk

memaksimalkan ventilasi

3) Pertahankan jalan nafas

yang paten

4) Berikan oksigen sesuai

dengan keperluan

29

nadi, pernafasan) 5) Monitor aliran oksigen

6) Observasi adanya tanda-

tanda hipoventilasi

7) Monitor adanya

kecemasan pasien

terhadap oksigenasi

8) Monitor sianosis perifer

9) Pertahankan dan bantu

pasien dengan

pemasangan selang dada.

Resiko tinggi terhadap

perubahan perfusi jaringan b/d

penurunan curah jantung,

oksigenasi, dan pertukaran gas

1. Tekanan sistol dan

diastole dalam rentang

yang di harapkan.

2. Tidak ada ortostatik

hipertensi.

3. Tidak ada tanda-tanda

peningkatan TIK (Tidak

lebih dari 15 mmHg).

4. Berkomunikasi dengan

jelas dan sesuai dengan

kemampuan.

5. Menunjukkan perhatian,

konsentrasi dan orientasi.

6. Tingkat kesadaran

membaik, tidak ada

gerakan-gerakan

involunter.

1) Monitor adanya daerah

tertentu yang hanya peka

terhadap panas atau

dingin/tajam/tumpul.

2) Monitor adanya parastase.

3) Instruksikan keluarga

untuk mengobservasi kulit

jika ada lesi atau laserasi.

4) Batasi gerakan pada

kepala, leher, dan

punggung.

Nyeri akut b/d agen cedera

fisik, trauma jaringan

1. Mampu mengontrol nyeri

(tahu penyebab nyeri,

mampu menggunakan

tehnik nonfarmakologi

1) Jelaskan dan bantu klien

dengan tindakan pereda

nyeri nonfarmakologi dan

non invasif.

30

untuk mengurangi nyeri,

mencari bantuan)

2. Melaporkan bahwa nyeri

berkurang dengan

menggunakan manajemen

nyeri

3. Menyatakan rasa nyaman

setelah nyeri berkurang

2) Ajarkan Relaksasi :

Tehnik-tehnik untuk

menurunkan ketegangan

otot rangka, yang dapat

menurunkan intensitas

nyeri

3) Kolaborasi dengan dokter,

pemberian analgetik.

4) Observasi tingkat nyeri,

dan respon motorik klien,

30 menit setelah

pemberian obat analgetik

untuk mengkaji

efektivitasnya. Serta setiap

1 – 2 jam setelah tindakan

perawatan selama 1 – 2

hari.

5) Lakukan pengkajian nyeri

secara komprehensif

termasuk lokasi,

karakteristik, durasi,

frekuensi, kualitas dan

faktor presipitasi

Risiko infeksi b/d adanya

trauma jaringan

1. Klien bebas dari tanda dan

gejala infeksi

2. Menunjukan kemampuan

untuk mencegah

timbulnya infeksi

3. Jumlah leukosit dalam

batas normal

1) Ganti letak IV perifer dan

line central dan dressing

sesuai petunjuk umum

2) Monitor tanda dan gejala

infeksi sistemik dan lokal

3) Inspeksi kulit terhadap

kemerahan, panas drainase

4) Cuci tangan setiap

31

sebelum dan sesudah

tindakan keperawatan

5) Gunakan APD sebagai

pelindung

6) Pertahankan lingkungan

aseptik selama

pemasangan alat

7) Berikan terapi antibiotik

bila perlu

8) Inspeksi kondisi luka atau

insisi bedah

9) Dorong masukan nutrisi

dan cairan yang cukup

32