siauw giok tjhan, pejuang bangsa yang dihapus dalam...

14
1 Siauw Giok Tjhan, Pejuang Bangsa Yang Dihapus Dalam Sejarah http://m.berdikarionline.com/tokoh/20140130/siauw-giok-tjhan-pejuang-bangsa-yang-dihapus-dalam-sejarah.html 30 Januari 2014 | 11:26 WIB Ia adalah seorang pejuang yang melawan imperialisme hingga akhir hayatnya. Pada akhirnya, ia harus wafat di negeri orang sebagai pelarian politik, bukan di negeri yang ia perjuangkan kemerdekaannya. Namun, namanya tak akan ditemukan dalam buku sejarah resmi versi pemerintah. Ia adalah Siauw Giok Tjhan. Anak bangsa yang berasal dari etnis Tionghoa ini memang memiliki naluri untuk menentang penindasan sejak ia berusia remaja. Karakter yang kemudian ia bawa hingga akhir hayat, ketika ia memilih konsisten melawan penindasan yang tak hanya datang dari penjajah asing, melainkan juga dari bangsa sendiri dalam bentuknya yang lain, diskriminasi rasial. Spirit Nasionalisme Lahir pada 23 Maret 1914 di Surabaya, Jawa Timur, putra dari pasangan Siauw Gwan Swie dan Kwan Tjian Nio ini tumbuh dalam keluarga Tionghoa yang yang telah berintegrasi dengan etnis lainnya di Surabaya. Kondisi itu membuat Siauw Giok Tjhan fasih berbahasa Tionghoa, Melayu dan Jawa. Siauw Giok Tjhan kecil mengenyam pendidikan di sekolah Tionghoa, Tiong Hoa Hwee Koan. Namun, atas dorongan ayahnya, ia pindah ke sekolah Belanda, Institut Buys dan kemudian ia bersekolah juga di Europese Lagere School. Perlakuan diskriminatif yang dipertunjukkan para siswa Belanda di sekolah tersebut terhadap siswa bumiputera dan Tionghoa membuat naluri perlawanan Siauw Giok Tjhan bangkit. Hinaan “Cina Loleng” yang kerap terlontar dari mulut para siswa kulit putih

Upload: dinhnga

Post on 06-Mar-2019

223 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

1

Siauw Giok Tjhan,

Pejuang Bangsa Yang Dihapus Dalam Sejarah http://m.berdikarionline.com/tokoh/20140130/siauw-giok-tjhan-pejuang-bangsa-yang-dihapus-dalam-sejarah.html

30 Januari 2014 | 11:26 WIB

Ia adalah seorang pejuang yang melawan imperialisme hingga akhir

hayatnya. Pada akhirnya, ia harus wafat di negeri orang sebagai

pelarian politik, bukan di negeri yang ia perjuangkan kemerdekaannya.

Namun, namanya tak akan ditemukan dalam buku sejarah resmi versi

pemerintah.

Ia adalah Siauw Giok Tjhan. Anak bangsa yang berasal dari etnis Tionghoa ini

memang memiliki naluri untuk menentang penindasan sejak ia berusia remaja.

Karakter yang kemudian ia bawa hingga akhir hayat, ketika ia memilih konsisten

melawan penindasan yang tak hanya datang dari penjajah asing, melainkan juga dari

bangsa sendiri dalam bentuknya yang lain, diskriminasi rasial.

Spirit Nasionalisme

Lahir pada 23 Maret 1914 di Surabaya, Jawa Timur, putra dari pasangan Siauw

Gwan Swie dan Kwan Tjian Nio ini tumbuh dalam keluarga Tionghoa yang yang telah

berintegrasi dengan etnis lainnya di Surabaya. Kondisi itu membuat Siauw Giok

Tjhan fasih berbahasa Tionghoa, Melayu dan Jawa.

Siauw Giok Tjhan kecil mengenyam pendidikan di sekolah Tionghoa, Tiong Hoa Hwee

Koan. Namun, atas dorongan ayahnya, ia pindah ke sekolah Belanda, Institut Buys

dan kemudian ia bersekolah juga di Europese Lagere School. Perlakuan diskriminatif

yang dipertunjukkan para siswa Belanda di sekolah tersebut terhadap siswa

bumiputera dan Tionghoa membuat naluri perlawanan Siauw Giok Tjhan bangkit.

Hinaan “Cina Loleng” yang kerap terlontar dari mulut para siswa kulit putih

2

seringkali membuat kesabaran Siauw Giok Tjhan habis, sehingga ia sering terlibat

perkelahian dengan mereka.

Menginjak usia remaja, Siauw Giok Tjhan harus berjuang untuk menghidupi dirinya

dan adik-adiknya karena kedua orang tuanya wafat. Berbekal modal seadanya

peninggalan dari orang tua, ia pun menjalankan bisnis penyewaan mobil kecil-kecilan

di Surabaya. Ketangguhan jiwa Siauw Giok Tjhan muda dalam menghadapi kesulitan

hidup seakan ‘diuji’ pada masa ini.

Ketangguhan jiwa itu pula yang membuat ia tak ‘lari’ dari situasi sosial kala itu,

ketika rakyat banyak yang dilanda kesulitan akibat penjajahan. Siauw Giok

Tjhan pun bergabung dengan organisasi pemuda Tionghoa, Hua Chiao Tsing Niem

Hui, dimana melalui organisasi ini ia banyak membantu rakyat yang didera kesulitan

ekonomi.

Selain dengan organisasi tersebut, Siauw Giok Tjhan juga bergabung dengan Partai

Tionghoa Indonesia (PTI). Keaktifan ia di partai ini sekaligus menjadi penanda mulai

masuknya Siauw Giok Tjhan di kancah pergerakan kemerdekaan. Sebab PTI

merupakan partai yang mengupayakan semua warga etnis Tionghoa yang lahir dan

menetap di Hindia Belanda (Indonesia) untuk memiliki kesadaran bahwasanya tanah

air mereka adalah Indonesia . Maka, etnis Tionghoa sebagai bagian dari masyarakat

Indonesia pun harus turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Kiprahnya di PTI ini pula yang kemudian mengantarkan Siauw Giok Tjhan menjadi

anggota Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), sebuah organisasi berhaluan

nasionalis kiri yang dibentuk Amir Sjarifudin dan Muhamad Yamin. Melalui Gerindo

inilah, spirit nasionalisme Siauw Giok Tjhan makin membara.

Tak hanya di aspek politik, semangat nasionalisme juga ia manifestasikan di bidang

olahraga. Hal itu tampak ketika Siauw terlibat dalam gerakan pemboikotan

terhadap organisasi sepak bola Belanda, Nederland Indische Voetbaldbond (NIVB)

ketika NIVB akan menggelar pertandingan di Surabaya. Saat itu, Siauw Giok Tjhan

dan kawan-kawannya berupaya mengalihkan penonton ke Pasar Turi, dimana di

pasar tersebut sedang berlangsung pertandingan yang digelar oleh Persatuan Sepak

Bola Seluruh Indonesia (PSSI).

Dalam kancah perjuangan kemerdekaan ini pulalah, Siauw bersinggungan dengan

Marxisme. Ia mengenal ideologi itu dari kedua kawannya, Tjoa Sik Ien dan Tan Ling

Djie. Perkenalannya dengan Marxisme ini makin membuat spirit nasionalisme Siauw

kian ‘condong’ ke kiri.

3

Selain dalam organisasi dan partai, Siauw juga berkiprah di bidang jurnalistik. Ia

mengawali kiprahnya di bidang tersebut sebagai wartawan harian Matahari, sebuah

koran yang bertendensi nasionalis. Menjelang masuknya tentara Jepang ke

nusantara, Siauw pun menjadi pemimpin redaksi koran ini. Pada masa pendudukan

Jepang, harian Matahari mengambil tendensi anti-fasisme Jepang sehingga

membuat Siauw dalam posisi yang berbahaya.

Siauw pun menjadi incaran Jepang untuk ditangkap. Siauw berupaya menghindar

dari kejaran Jepang itu dengan mengambil posisi aman menjadi pemilik toko eceran

di Malang. Di kota tersebut, Siauw merubah taktik perjuangan. Ia menjadi anggota

organisasi bentukan Jepang yang bernama Kakyo Shokai serta mendirikan

organisasi keamanan Kebotai. Di kota Malang inilah, Siauw menetap hingga

Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan.

Proklamasi kemerdekaan ternyata bukanlah akhir perjuangan, melainkan jutru awal

berkecamuknya revolusi kemerdekaan. Belanda tak ingin melepas bekas jajahan di

zamrud katulistiwa ini begitu saja. Dengan membonceng Sekutu dan Inggris selaku

pemenang Perang Dunia ke II, mereka berupaya menguasai kembali Indonesia.

Siauw pun kembali berpartisipasi dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan

dengan mendirikan dua organisasi, yakni Angkatan Muda Tionghoa dan Palang Biru.

Kedua organisasi ini terlibat dalam kancah pertempuran melawan tentara Inggris

di Surabaya pada 10 November 1945.

Perjuangan Siauw juga berlanjut di ‘wadah’ baru, yakni Partai Sosialis yang didirikan

oleh Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. Seperti yang disinggung sebelumnya, Amir

Sjarifudin ini merupakan kawan Siauw ketika masih sama-sama berjuang di Gerindo

pada masa penjajahan Belanda dahulu.

Tak hanya di partai politik, Siauw juga berjuang melalui Komite Nasional Indonesia

Pusat (KNIP) setelah ditunjuk oleh Bung Karno pada tahun 1946. Pandangan Siauw

yang menganggap seluruh warga keturunan Asia maupun Eropa sebagai bagian tak

terpisahkan dari revolusi nasional telah membuat ia memperjuangkan disahkannya

UU Kewarganegaraan RI di tahun 1946. UU itu mengamanatkan seluruh warga

keturunan Asia dan Eropa di Indonesia untuk menjadi orang Indonesia sejati dan

turut serta membantu perjuangan kemerdekaan. Pada masa perang kemerdekaan

ini, Siauw juga pernah diangkat menjadi Menteri Negara urusan Minoritas ketika

Kabinet dipimpin oleh Amir Sjarifudin pada tahun 1947.

4

Dukungan Siauw terhadap perjuangan kemerdekaan tidak hanya ia tunjukkaan

melalui perjuangan politik atau organisasi, melainkan juga hal-hal yang kecil seperti

hidup secara sederhana. Hal itu ia tunjukkan tatkala istrinya hendak melahirkan

anaknya yang keempat di Malang pada September 1947, bersamaan dengan agresi

militer Belanda pertama. Adiknya Siauw, Siauw Giok Bie, hendak menggunakan mobil

organisasi Palang Biru untuk mengantar istri Siauw ke rumah sakit. Tapi Siauw

dengan tegas melarang adiknya menggunakan fasilitas milik organisasi, sebab mobil

itu akan lebih baik digunakan untuk menolong para pejuang yang terluka karena

bertempur melawan agresi Belanda.

Di sisi lain, perpecahan yang melanda Partai Sosialis tempat Siauw bernaung makin

tak terhindarkan. Perbedaan pendapat yang bernuansa ideologis antara kubu

Sjahrir dengan kubu Amir Sjarifudin mengakibatkan kubu Sjahrir memisahkan diri

dan membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI) di awal tahun 1948. Sedangkan kubu

Amir tetap bertahan di partai Sosialis. Siauw memilih bergabung dalam kubu Amir.

Pada perkembangan selanjutnya, Partai Sosialis pimpinan Amir makin dekat dengan

Partai Komunis Indonesia (PKI), terutama ketika pertentangan politik menghangat

pasca disepakatinya perjanjian Renvile di pertengahan tahun 1948. Partai Sosialis

dan PKI beserta beberapa organisasi kiri lainnya membentuk Front Demokrasi

Rakyat (FDR) sebagai wujud oposisi mereka terhadap kabinet pimpinan Bung Hatta

yang didukung Masyumi. FDR sangat menolak kebijakan kabinet Hatta yang ingin

‘membersihkan’ angkatan perang dari unsur-unsur laskar rakyat.

Puncak dari ketegangan politik itu adalah meletusnya “peristiwa Madiun”, ketika

gerakan FDR dianggap sebagai pemberontakan oleh pemerintahan Hatta. FDR

pun ditumpas oleh kabinet Hatta dan angkatan perang pimpinan A.H Nasution.

Siauw, sebagai salah satu pendukung FDR juga sempat ditangkap TNI. Namun, tak

lama kemudian terjadi agresi militer Belanda yang kedua di akhir 1948. Siauw pun

lolos dari penjara Republik, namun ia kembali ditangkap Belanda.

Integrasi vs Asimilasi

Di akhir tahun 1949, kemerdekaan Indonesia pun diakui oleh Belanda. Perang

kemerdekaan usai, namun masalah kewarganegaraan etnis Tionghoa belum juga

tuntas. Guna menuntaskan masalah tersebut, Siauw dan beberapa tokoh Tionghoa

lain seperti Oei Tjoe Tat, Yap Tiam Hien dan Ang Jang Goan membentuk Badan

Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) di tahun 1954. Siauw pun

menjadi ketua umum organisasi ini.

5

Pada masa itu, secara garis besar ada dua konsep berbeda yang muncul dari

kalangan masyarakat terkait penyelesaian masalah etnis Tionghoa di Indonesia.

Kedua konsep itu dipandang sebagai solusi jitu bagi penyelesaian masalah tersebut

oleh masing-masing kubu pendukungnya. Kedua konsep itu adalah asimilasi dan

integrasi.

Untuk konsep asimilasi, definisinya adalah penyatuan antara dua etnis dengan

menghilangkan seluruh identitas kultural dari salah satu etnis. Dalam konteks

masalah Tionghoa, etnis Tionghoa diharuskan menghilangkan seluruh identitas

ke-Tionghoaan-nya untuk kemudian bergabung dengan kebudayaan mayoritas rakyat

Indonesia yang dianggap kebudayaan ‘asli’ Indonesia.

Sedangkan konsep integrasi mengandung arti persatuan antara etnis Tionghoa dan

etnis lainnya di Indonesia tanpa menegasikan kebudayaan masing-masing etnis. Hal

ini sesuai dengan moto Bhineka Tunggal ika, berbeda-beda tapi tetap bersatu dalam

naungan negara Republik Indonesia.

Baperki yang dipimpin oleh Siauw menentang keras konsep asimilasi. Menurut

Baperki, asimilasi tak ubahnya diskriminasi dan tidak sesuai dengan motto Bhineka

Tunggal Ika yang mengakui keberagaman berbagai etnis di nusantara berikut segala

‘pernak-pernik’ kulturalnya. Karena itu tak seharusnya etnis Tionghoa menanggalkan

identitas kulturalnya untuk bisa bersatu dengan unsur rakyat Indonesia yang lain.

Masalah etnis Tionghoa yang merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat

Indonesia dapat dituntaskan dengan berintegrasi pada kehidupan dan perjuangan

masyarakat Indonesia secara keseluruhan, tanpa harus melupakan kebudayaan

Tionghoa-nya. Maka, Baperki mendukung konsep integrasi revolusioner sebagai

solusi penyelesaian masalah Tionghoa di Indonesia. Dan PKI, yang bertendensi anti

rasialisme, juga mendukung konsep integrasi yang diusung oleh Baperki ini. Tak

heran apabila pada perkembangan politik selanjutnya, terutama di era Demokrasi

Terpimpin, Baperki menjadi sangat dekat dengan PKI.

Sementara, konsep asimilasi didukung juga oleh beberapa tokoh Tionghoa.

Mereka adalah Harry Tjan Silalahi, Kristoforus Sindunata, Ong Hok Ham, serta

H.Junus Jahja. Kelompok Tionghoa pro-asimilasi ini mendirikan Lembaga Pembina

Kesatuan Bangsa (LPKB) di tahun 1963. LPKB ini mendapatkan banyak dukungan,

terutama dari kelompok politik kanan dan Angkatan Darat (AD) yang pada umumnya

rival politik PKI. Sebagai tambahan, LPKB ini memegang peranan penting dalam

perumusan berbagai kebijakan rezim Orde Baru yang diskriminatif terhadap etnis

6

Tionghoa pasca kejatuhan Bung Karno tahun 1966, termasuk kebijakan pelarangan

perayaan Imlek, pelarangan agama Kong Hu Chu dan pergantian nama warga

Tionghoa.

Pertentangan antara Baperki dan kelompok pro-asimilasi (LPKB) berlanjut dimasa

Demokrasi Terpimpin. Nuansa kompetisi politik antar berbagai kekuatan dimasa itu

juga berpengaruh pada rivalitas Baperki dan LPKB. Baperki menjadi organisasi yang

dekat dengan PKI. Sementara LPKB didukung oleh AD dan kelompok nasionalis

kanan.

Bung Karno sendiri tampak lebih sepakat dengan konsep integrasi yang digagas

Baperki. Hal ini terlihat dalam pidatonya ketika Pembukaan Kongres Nasional k-8

Baperki. Dalam pidato itu tampak penolakan Bung Karno terhadap konsep asimilasi.

Berikut isi pidato beliau :

“Nama pun, nama saya sendiri itu, Soekarno, apa itu nama Indonesia asli ? Tidak !

Itu asalnya Sanskrit saudara-saudara, Soekarna. Nah itu Abdulgani, Arab, Ya, Cak

Roeslan namanya asal Arab, Abdulgani. Nama saya asal Sanskrit, Soekarna. Pak Ali

itu campuran, Alinya Arab, Sastraamidjaja itu Sanskrit, campuran dia itu.

Nah karena itu, saudara-saudara pun-ini perasaan saya persoonlijk, persoonlijk,

pribadi-what is in a name ? Walau saudara misalnya mau menjadi orang Indonesia,

tidak perlu ganti nama. Mau tetap nama Thiam Nio, boleh, boleh saja. Saya sendiri

juga nama Sanskrit, saudara-saudara, Cak Roeslan namanya nama Arab, Pak Ali

namanya campuran, Arab dan Sanskrit.

Buat apa saya mesti menuntut, orang peranakan Tionghoa yang mau menjadi

anggota negara Republik Indonesia, mau menjadi orang Indonesia, mau ubah

namanya, ini sudah bagus kok…Thiam Nio kok mesti dijadikan Sulastri atau

Sukartini. Yah, tidak ?

Tidak ! Itu urusan prive. Agama pun prive, saya tidak campur-campur.Yang saya

minta yaitu, supaya benar-benar kita menjadi orang Indonesia, benar-benar kita

menjadi warganegara Republik Indonesia.”

Akhir Perjuangan

Selain memperjuangkan integrasi etnis Tionghoa ke dalam masyarakat Indonesia,

Baperki dan Siauw juga memperjuangkan nation-building melalui pendidikan. Maka

pada tahun 1958, Baperki mulai membuka Akademi Fisika dan Matematika yang

7

diperuntukkan bagi pendidikan guru sekolah menengah. Pada tahun-tahun

berikutnya, Baperki juga membuka beberapa fakultas baru seperti fakultas

Kedokteran, Sastra dan Teknik.

Pada tahun 1962, perguruan tinggi Baperki itu diberi nama Universitas Res Publica

(Ureca). Dalam penyelenggaraan pendidikan di Universitas ini, Baperki punya

motto :“pendidikan bukan barang dagangan. Ilmu harus diabdikan untuk kemajuan

dan kebahagiaan hidup rakyat banyak!”

Massa anti-komunis merusak gedung Universitas Res Publica (Ureca), yang didirikan oleh BAPERKI,

tahun 1966 (Photo Credit: Bettmann / Corbis)

Untuk diketahui, pasca meletusnya tragedi Gestok 1965, Ureca ditutup oleh

Soeharto karena dianggap universitas ‘komunis’. Di kemudian hari, rezim Orde Baru

membentuk Universitas baru untuk menggantikan Ureca, yakni Universitas Trisakti.

Sementara itu, terkait masalah yang dipandang paling krusial dari masalah-masalah

lainnya yang menyangkut etnis Tionghoa di negeri ini, yakni masalah ekonomi,

Siauw juga punya pandangan sendiri. Menurutnya, tak perlu ada pembedaan

antara kapital milik orang Tionghoa maupun non-Tionghoa di Indonesia. Sepanjang

modal itu dimiliki oleh rakyat Indonesia, apapun etnisnya, maka bisa diperuntukkan

bagi perkuatan ekonomi nasional serta berguna juga untuk menangkal pengaruh

negatif modal asing multinasional.

Tampak bahwa Siauw mentolerir adanya kapitalis domestik di Indonesia, guna

melawan pengaruh negatif kapital asing multinasional yang menurut Siauw sangat

eksploitatif. Konsep Siauw ini dikenal sebagai konsep Ekonomi Domestik.

8

Sementara itu, dinamika politik berjalan cepat dan tak terduga. Tragedi Gestok

yang meletus 1 Oktober 1965, merubah secara drastis konstelasi politik nasional.

PKI, selaku pihak tertuduh dalam tragedi tersebut, segera dihabisi oleh tentara

sayap kanan pimpinan Soeharto yang didukung imperialis Amerika Serikat (AS).

Jutaan pendukung PKI dan Bung Karno dibantai serta ditangkapi tanpa proses

peradilan.

Sebagai seorang simpatisan kiri sekaligus pendukung Bung Karno, Siauw pun tak

lepas dari ‘tsunami’ politik tersebut. 4 Nopember 1965, Siauw ditangkap dan dibui

selama 13 tahun oleh Orde Baru tanpa proses pengadilan. Baperki pun dibubarkan,

begitu juga dengan universitas yang dibentuknya, Ureca.

Pada Bulan Mei 1978, Siauw Giok Tjhan dibebaskan dari penjara. Perlakuan buruk

yang diterimanya selama meringkuk di tahanan rezim Soeharto membuat

kesehatan Siauw memburuk. Setelah bebas dari penjara, ia pergi berobat ke

Belanda.

Selain berobat, kepergian Siauw ke Belanda juga untuk menghindar dari kontrol

rezim Soeharto yang dikhawatirkan makin membuat kesehatannya memburuk. Siauw

menderita komplikasi beragam penyakit, mulai dari gangguan penglihatan hingga

penyakit jantung. Akhirnya, pada 20 November 1981, pejuang bangsa itu meninggal

dunia sebagai pelarian politik.

Riwayat juang putra Surabaya yang telah mengabdikan seluruh hidupnya bagi

kemaslahatan negara, bangsa dan etnisnya ini seakan hilang dalam sejarah, hanya

oleh stigma yang masih ‘sakti’ hingga kini, yakni stigma ‘komunis’.

Hiski Darmayana, penulis adalah kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia

(GMNI)

Siauw Giok Tjhan,

Sosok Pejuang Dan Pembangun Bangsa http://www.berdikarionline.com/tokoh/20120801/siauw-giok-tjhan-sosok-pejuang-dan-pembangun-bangsa.html

Rabu, 1 Agustus 2012 | 5:50 WIB

9

Namanya nyaris tidak ditulis dalam sejarah resmi. Bahkan, di era rezim

orde baru, ia hendak dihapus sama sekali dari sejarah bangsanya.

Ironisnya, pejuang besar ini justru dipaksa di akhir hayatnya menjadi

“pengungsi politik” di negeri lain dan, pada akhirnya, meninggal di Belanda.

Dia adalah Siauw Giok Tjhan. Salah seorang wartawan senior Indonesia, Yoesoef

Isak, menganggap Siauw Giok Tjhan sebagai pejuang yang mengabdikan hampir

seluruh hidupnya bagi bangsanya: Indonesia. Kita tahu, Siauw Giok Tjhan tak

henti-hentinya berseru tentang pembangunan nasion (nation building).

Siauw Giok Tjhan juga konsisten berjuang untuk keadilan dan kesetaraan. Ia juga

selalu berada di garis depan menentang segala bentuk penindasan dan penghisapan

manusia atas manusia. Karena itu, Siauw Giok Thjan sangat dekat dengan

pemikiran-pemikiran kiri, khususnya marxisme.

Sejak kecil menentang diskriminasi

Siauw Giok Tjhan lahir pada 23 Maret 1914 di Surabaya, Jawa Timur. Nama tempat

kelahirannya adalah Kapasan—sebuah dari pemukiman Tionghoa. Di sana, Tionghoa

totok dan peranakan melebur.

Ayahnya, Siauw Gwan Swie, adalah seorang nasionalis Tionghoa. Sedangkan ibunya,

Kwan Tjian Nio, adalah seorang Tionghoa totok yang menghargai adat-istiadat

rakyat setempat. Ia tidak memaksa anaknya berbahasa Tionghoa. Jadinya, Siauw

Giok Tjhan bisa berbaha Melayu-Tionghoa dan Jawa.

Pada usia 4 tahun, Siauw Giok Tjhan sudah dibawa kakeknya bersekolah di THHK

(Tiong Hoa Hwee Koan). Kakek Siauw Giok Tjhan, Kwan Sie Liep, adalah seorang

fanatik dengan kebudayaan Tionghoa. Tetapi Siauw Giok Tjhan tidak terlalu lama

bersekolah di sana. Maklum, ayahnya sangat menginginkannya masuk sekolah

Belanda.

10

Akhirnya, Siauw Giok Tjhan dipindah ke sekolah Belanda- Institut Buys. Lalu, ia

dipindahkan lagi ke ELS (Europese Lagere School). Di sekolah inilah Siauw Giok

Tjhan sering mendapatkan perlakuan diskriminatif. Ia sering dihina sebagai “Cina

Loleng”. Siauw Giok Tjhan tak menerima perlakuan itu. Akhirnya, ia sering terlibat

perkelahian dengan anak-anak Belanda.

Siauw Giok Tjhan melanjutkan sekolahnya di HBS (Hogere Burger School ). Sayang,

belum tamat HBS, kedua orang tuanya meninggal. Sedangkan kakeknya sudah pulang

ke Tiongkok. Siauw Giok Tjhan harus berjuang untuk membiayai dirinya dan adiknya.

Sebagai solusinya: ia jual semua harta orang tuanya dan kemudian membeli tiga

kendaraan roda tiga. Ia kemudian menjalankan semacam usaha Taxi. Dari situlah ia

membiayi hidup dan pendidikannya.

Pengalaman itu sangat berpengaruh bagi Siauw Giok Tjhan. Ia pun bergabung dengan

perhimpunan Pemuda Tionghoa (Hua Chiao Tsing Niem Hui). Organisasi ini banyak

membantu rakyat yang dalam kesulitan.

Memperjuangkan kemerdekaan

Siauw Giok Tjhan memang nasionalis sejak awalnya. Ini terbukti dengan sikapnya

bergabung dengan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Partai ini, yang resminya berdiri

September 1932, secara tegas memperjuangkan Indonesia Merdeka.

PTI juga banyak berhubungan dengan pergerakan nasional Indonesia lainnya,

seperti PBI (Dr Sutomo), PNI-Partindo, PNI baru (Hatta-Sjahrir), dan lain-lain.

PTI juga aktif mendukung Ki Hajar Dewantara menentang UU sekolah liar. Bahkan,

ketika Gerakan Rakyat Indonesia (gerindo) berdiri, PTI aktif mendukung dan

sebagian anggotanya masuk ke organisas tersebut.

Semangat nasionalisme Siauw Giok Tjhan juga nampak dalam olahraga. Ia pernah

terlibat dalam gerakan pemboikotan terhadap organisasi sepak bola yang didominasi

Belanda, yakni Nederland Indische Voetbaldbond (NIVB). Ketika NIVB akan

menggelar pertandingan di Surabaya, Siauw Giok Tjhan turut dalam gerakan untuk

mengalihkan penonton ke Pasar Turi—tempat pertandingan yang digelar oleh

Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).

Pemikiran politik Siauw Giok Tjhan makin berkembang tatkala bertemu dengan dua

kawannya, Tjoa Sik Ien dan Tan Ling Djie. Kedua orang inilah yang memperkenalkan

marxisme kepada Siauw. Konon, pada tahun 1938, Siauw menerjemahkan buku Edgar

Snow, Red Star Over China.

11

Selain itu, Siauw juga aktif sebagai wartawan di harian Matahari. Koran ini

cenderung nasionalis. Koran ini banyak meliput kegiatan Taman Siswa. Pada tahun

1939, Siauw menjadi pemimpin redaksi koran ini. Di tangannya koran ini menjadi

sangat pro-kemerdekaan dan anti-fasisme Jepang.

Jadinya, ketika Jepang masuk, nama Siauw masuk daftar orang yang seharusnya

ditangkap. Namun, ia berhasil melarikan diri dari Semarang dan kemudian menjadi

pemilik toko eceran di Malang, Jawa Timur. Namun, di Malang, Siauw sempat

menjadi pemimpin organisasi bentukan Jepang bernama Kakyo Shokai. Ia juga

mendirikan organisasi keamanan bernama Kebotai.

17 Agustus 1945: Indonesia merdeka! Siauw sangat bergembira dan mendukung

penuh kemerdekaan itu. Bahkan, sebagai sokongan terhadap kemerdekaan, ia

mendirikan dua organisasi, yakni Angkatan Muda Tionghoa dan Palang Biru di Malang.

Kedua organisasi ini sangat membantu rakyat di saat revolusi. Bahkan, organisasi ini

turut di medan pertempuran bersama rakyat Surabaya pada 10 November 1945.

Tahun 1946, Siauw masuk ke Partai Sosialis. Di dalamnya, ada Amir Sjarifuddin,

Sjahrir, dan Tan Ling Djie. Bagi Siauw, tak perlu lagi ada partai khusus Tionghoa. Ia

menganjurkan agar orang Tionghoa melebur langsung dalam revolusi nasional rakyat

Indonesia.

Karena itulah, pada tahun 1946, Bung Karno menunjuk Siauw sebagai anggota Komite

Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Di sini, Siauw makin condong ke marxisme. Ia juga

makin meleburkan diri dalam revolusi Indonesia.

Salah satu hasil kerja Siauw adalah UU Kewarganegaraan RI tahun 1946. UU

kewarganegaraan ini menganut semangat Manifesto Politik R.I., 1 November 1945,

yang menyatakan:“…di dalam negeri kita akan melaksanakan kedaulatan Rakyat kita

dengan aturan kewargaan yang akan lekas membuat semua golongan Indo Asia dan

Europa menjadi orang Indonesia sejati, menjadi patriot dan demokrat Indonesia!”

Siauw makin dekat kiri. Apalagi kiri, khususnya PKI, yang paling konsisten

menentang segala bentuk rasialisme dan penindasan. Akhirnya, ketika terjadi

“peristiwa Madiun”, Siauw juga sempat ditangkap. Lalu, ketika terjadi agresi militer

Belanda akhir 1948, Siauw sempat lolos dari penjara. Sayang, ia tetap berhasil

ditangkap Belanda.

Kewarganegaraan dan Nation-Building

12

Meskipun Indonesia sudah merdeka, tetapi persoalan kewarganegaraan belum juga

tuntas. Sentimen anti-tionghoa seringkali muncul. Merespon persoalan ini, sejumlah

tokoh Tionghoa mendirikan organisasi: Badan Permusyawaratan Warga Turunan

Tionghoa (Baperwatt).

Ia tak setuju dengan nama organisasi itu. Baginya, penyelesaian masalah minoritas

Tionghoa merupakan bagian dari pembangunan nasion Indonesia. Menurutnya, di

Indonesia ini hanya ada satu bangsa, yaitu bangsa (nasion) Indonesia. Karena itu, ia

mengusulkan nama Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki).

Baperki, pada tahun 1955, menegaskan diri sebagai alat perjuangan bangsa

Indonesia untuk mempercepat terbentuknya nasion Indonesia yang tidak mengenal

diskriminasi rasial. Baperki memperjuangkan nation Indonesia sesuai dengan prinsip

“Bhineka Tunggal Ika”.

Karena itu, dalam penyelesaian soal minoritas Tionghoa, Baperki punya konsep yang

disebut “integrasi wajar” (integrasi revolusioner). Konsep ini memperjuangkan orang

Tionghoa sebagai bagian dari Indonesia tanpa harus mempersoalkan

“ketionghoannya”—sama dengan tidak mempersoalkan orang Jawa, Bugis, Melayu, dll.

Proses ini tidak perlu menghilangkan identitas dan kebudayaan orang Tionghoa.

Dengan demikian, di mata Siauw Giok Tjham, terciptalah nasion Indonesia yang

berbhineka tunggal ika.

Yang penting, kata Siauw, bukan memupuk perbedaan nama, agama, dan budaya,

melainkan memupuk perasaan senasib, sebangsa, dan satu aspirasi—masyarakat adil

dan makmur. Lagi pula, kata Siauw, asal-usul keturunan tidak menentukan loyalitas

atau kecintaan orang terhadap bangsa.

Gagasan ini ditentang oleh kelompok Tionghoa lainnya, yaitu LPKB atau Lembaga

Pembinaan Kesatuan Bangsa. LPKB memperjuangka konsep yang disebut asimilasi.

Kubu asimilasi menghendaki agar supaya orang-orang Tionghoa menghilangkan

identitas budayanya dan melebur ke dalam tubuh bangsa Indonesia. Yang terjadi,

orang-ornag Tionghoa dipaksa mengganti namanya sesuai nama Indonesia. Kasus

lainnya, banyak orang Tionghoa dipaksa mengikuti agama yang diakui di Indonesia.

berbagai bentuk ekspresi budaya Tionghoa juga dilarang: huruf Tionghoa, perayaan

tradisional seperti tahun baru, pertunjukan barongsai, dan lain-lain. Ini terjadi pada

era Orde baru.

Siauw juga punya pemikiran di bidang pendidikan yang cemerlang. Baginya,

pendidikan merupakan sarana nation-building. Akhirnya, sebagai bentuk konkret

13

idenya itu, ia—Baperki—mendirikan Universitas Res Publica (Ureca). Menariknya,

kampus ini dibangun secara gotong-royong. Menariknya lagi, Baperki punya motto:

“pendidikan bukan barang dagangan. Ilmu harus diabdikan untuk kemajuan dan

kebahagiaan hidup rakyat banyak!”

Di bidang ekonomi, Siauw juga punya pikiran cemerlang. Katanya, kapital

domestik—terutama dari orang Tionghoa—bisa dikembangkan untuk memperkuat

ekonomi nasional. Artinya, tidak perlu mempertentangkan antara kapital pribumi

dan Tionghoa. Esensinya, semua kapital bangsa Indonesia harus dipergunakan untuk

kepentingan ekonomi nasional.

Dengan begitu, Siauw menentang konsep Sumitro, tokoh PSI yang sempat jadi

menteri, yang kebijakan Bantengnya dianggap diskriminasi di lapangan ekonomi.

Siauw juga menyerang PNI karena membiarkan salah seorang kadernya, Iskaq

selaku Menko Perekonomian, menerapkan diskriminasi di bidang ekonomi.

Korban rezim orde baru

Segalanya berubah total tatkala rezim orde baru naik kekuasaan. Setelah

sebelumnya menggulingkan Bung Karno dan membantai kaum kiri. Siauw Giok Tjhan

turut menjadi korban kekejian orde baru.

4 Nopember 1965, Siauw sendiri ditangkap dan meringkuk di dalam tahanan selama

13 tahun tanpa proses pengadilan. Baperki dibubarkan. Berbagai kontribusi

perjuangan dan pemikirannya dihapuskan dalam sejarah.

Pada Bulan Mei 1978, Siauw Giok Tjhan dibebaskan. Tahun itu juga ia ke Belanda

untuk berobat. Represi orba berdampak sangat buruk pada kesehatan Siauw Giok

Tjhan: satu matanya buta, satunya hanya juga tidak terlalu baik, dan ia menderi

penyakit jantung yang parah.

Tak lama kemudian, tepatnya 20 Nopember 1981, Siauw Giok Tjhan meninggal dunia.

Ia meninggal dunia di negeri orang.

Siauw Giok Tjhan adalah pejuang kemerdekaan nasional Indonesia! Ia adalah

nasionalis dan sekaligus sosialis sejati.

“.. Cak Siauw atau Nyonya Lie mengucapkan kata tercinta kepada saya, saya

kembalikan itu kepada Revolusi. Yang dicintai itu adalah Revolusi Indonesia. Yang

14

dicintai itu adalah perjoangan untuk menyelesaikan Revolusi Indonesia.”– Pidato

Bung Karno pada pembukaan Kongres Nasional ke-8 BAPERKI.

Timur Subangun, anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD)

Artikel Terkait:

Oei Tjoe Tat, Loyalitas Tiada Akhir

Peringati Hari Anak Nasional, Kampung Ilmu Angkat Tema…

Soeratin Dan Nasionalisme Sepak Bola Kita

Perayaan Imlek di Jogja dan Kesejahteraan Rakyat

Wahidin Soedirohoesodo, Sang Penyuluh Berorganisasi

Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/tokoh/20120801/siauw-giok-tjhan-sosok-pejuang-dan-pembangun-bangsa.html#ixzz2s2FgWlp9

Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook

Artikel Terkait:

Siauw Giok Tjhan, Sosok Pejuang Dan Pembangun Bangsa

Oei Tjoe Tat, Loyalitas Tiada Akhir

Amir Sjarifudin Harahap, Nasionalis Kiri Yang Terlupakan

Peringati Hari Anak Nasional, Kampung Ilmu Angkat Tema…

Peristiwa Rasialis “10 Mei 1963″ Dan Provokasi…