siauw giok tjhan, pejuang bangsa yang dihapus dalam...
TRANSCRIPT
1
Siauw Giok Tjhan,
Pejuang Bangsa Yang Dihapus Dalam Sejarah http://m.berdikarionline.com/tokoh/20140130/siauw-giok-tjhan-pejuang-bangsa-yang-dihapus-dalam-sejarah.html
30 Januari 2014 | 11:26 WIB
Ia adalah seorang pejuang yang melawan imperialisme hingga akhir
hayatnya. Pada akhirnya, ia harus wafat di negeri orang sebagai
pelarian politik, bukan di negeri yang ia perjuangkan kemerdekaannya.
Namun, namanya tak akan ditemukan dalam buku sejarah resmi versi
pemerintah.
Ia adalah Siauw Giok Tjhan. Anak bangsa yang berasal dari etnis Tionghoa ini
memang memiliki naluri untuk menentang penindasan sejak ia berusia remaja.
Karakter yang kemudian ia bawa hingga akhir hayat, ketika ia memilih konsisten
melawan penindasan yang tak hanya datang dari penjajah asing, melainkan juga dari
bangsa sendiri dalam bentuknya yang lain, diskriminasi rasial.
Spirit Nasionalisme
Lahir pada 23 Maret 1914 di Surabaya, Jawa Timur, putra dari pasangan Siauw
Gwan Swie dan Kwan Tjian Nio ini tumbuh dalam keluarga Tionghoa yang yang telah
berintegrasi dengan etnis lainnya di Surabaya. Kondisi itu membuat Siauw Giok
Tjhan fasih berbahasa Tionghoa, Melayu dan Jawa.
Siauw Giok Tjhan kecil mengenyam pendidikan di sekolah Tionghoa, Tiong Hoa Hwee
Koan. Namun, atas dorongan ayahnya, ia pindah ke sekolah Belanda, Institut Buys
dan kemudian ia bersekolah juga di Europese Lagere School. Perlakuan diskriminatif
yang dipertunjukkan para siswa Belanda di sekolah tersebut terhadap siswa
bumiputera dan Tionghoa membuat naluri perlawanan Siauw Giok Tjhan bangkit.
Hinaan “Cina Loleng” yang kerap terlontar dari mulut para siswa kulit putih
2
seringkali membuat kesabaran Siauw Giok Tjhan habis, sehingga ia sering terlibat
perkelahian dengan mereka.
Menginjak usia remaja, Siauw Giok Tjhan harus berjuang untuk menghidupi dirinya
dan adik-adiknya karena kedua orang tuanya wafat. Berbekal modal seadanya
peninggalan dari orang tua, ia pun menjalankan bisnis penyewaan mobil kecil-kecilan
di Surabaya. Ketangguhan jiwa Siauw Giok Tjhan muda dalam menghadapi kesulitan
hidup seakan ‘diuji’ pada masa ini.
Ketangguhan jiwa itu pula yang membuat ia tak ‘lari’ dari situasi sosial kala itu,
ketika rakyat banyak yang dilanda kesulitan akibat penjajahan. Siauw Giok
Tjhan pun bergabung dengan organisasi pemuda Tionghoa, Hua Chiao Tsing Niem
Hui, dimana melalui organisasi ini ia banyak membantu rakyat yang didera kesulitan
ekonomi.
Selain dengan organisasi tersebut, Siauw Giok Tjhan juga bergabung dengan Partai
Tionghoa Indonesia (PTI). Keaktifan ia di partai ini sekaligus menjadi penanda mulai
masuknya Siauw Giok Tjhan di kancah pergerakan kemerdekaan. Sebab PTI
merupakan partai yang mengupayakan semua warga etnis Tionghoa yang lahir dan
menetap di Hindia Belanda (Indonesia) untuk memiliki kesadaran bahwasanya tanah
air mereka adalah Indonesia . Maka, etnis Tionghoa sebagai bagian dari masyarakat
Indonesia pun harus turut serta dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Kiprahnya di PTI ini pula yang kemudian mengantarkan Siauw Giok Tjhan menjadi
anggota Gerakan Rakyat Indonesia (Gerindo), sebuah organisasi berhaluan
nasionalis kiri yang dibentuk Amir Sjarifudin dan Muhamad Yamin. Melalui Gerindo
inilah, spirit nasionalisme Siauw Giok Tjhan makin membara.
Tak hanya di aspek politik, semangat nasionalisme juga ia manifestasikan di bidang
olahraga. Hal itu tampak ketika Siauw terlibat dalam gerakan pemboikotan
terhadap organisasi sepak bola Belanda, Nederland Indische Voetbaldbond (NIVB)
ketika NIVB akan menggelar pertandingan di Surabaya. Saat itu, Siauw Giok Tjhan
dan kawan-kawannya berupaya mengalihkan penonton ke Pasar Turi, dimana di
pasar tersebut sedang berlangsung pertandingan yang digelar oleh Persatuan Sepak
Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Dalam kancah perjuangan kemerdekaan ini pulalah, Siauw bersinggungan dengan
Marxisme. Ia mengenal ideologi itu dari kedua kawannya, Tjoa Sik Ien dan Tan Ling
Djie. Perkenalannya dengan Marxisme ini makin membuat spirit nasionalisme Siauw
kian ‘condong’ ke kiri.
3
Selain dalam organisasi dan partai, Siauw juga berkiprah di bidang jurnalistik. Ia
mengawali kiprahnya di bidang tersebut sebagai wartawan harian Matahari, sebuah
koran yang bertendensi nasionalis. Menjelang masuknya tentara Jepang ke
nusantara, Siauw pun menjadi pemimpin redaksi koran ini. Pada masa pendudukan
Jepang, harian Matahari mengambil tendensi anti-fasisme Jepang sehingga
membuat Siauw dalam posisi yang berbahaya.
Siauw pun menjadi incaran Jepang untuk ditangkap. Siauw berupaya menghindar
dari kejaran Jepang itu dengan mengambil posisi aman menjadi pemilik toko eceran
di Malang. Di kota tersebut, Siauw merubah taktik perjuangan. Ia menjadi anggota
organisasi bentukan Jepang yang bernama Kakyo Shokai serta mendirikan
organisasi keamanan Kebotai. Di kota Malang inilah, Siauw menetap hingga
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 dikumandangkan.
Proklamasi kemerdekaan ternyata bukanlah akhir perjuangan, melainkan jutru awal
berkecamuknya revolusi kemerdekaan. Belanda tak ingin melepas bekas jajahan di
zamrud katulistiwa ini begitu saja. Dengan membonceng Sekutu dan Inggris selaku
pemenang Perang Dunia ke II, mereka berupaya menguasai kembali Indonesia.
Siauw pun kembali berpartisipasi dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan
dengan mendirikan dua organisasi, yakni Angkatan Muda Tionghoa dan Palang Biru.
Kedua organisasi ini terlibat dalam kancah pertempuran melawan tentara Inggris
di Surabaya pada 10 November 1945.
Perjuangan Siauw juga berlanjut di ‘wadah’ baru, yakni Partai Sosialis yang didirikan
oleh Sutan Sjahrir dan Amir Sjarifuddin. Seperti yang disinggung sebelumnya, Amir
Sjarifudin ini merupakan kawan Siauw ketika masih sama-sama berjuang di Gerindo
pada masa penjajahan Belanda dahulu.
Tak hanya di partai politik, Siauw juga berjuang melalui Komite Nasional Indonesia
Pusat (KNIP) setelah ditunjuk oleh Bung Karno pada tahun 1946. Pandangan Siauw
yang menganggap seluruh warga keturunan Asia maupun Eropa sebagai bagian tak
terpisahkan dari revolusi nasional telah membuat ia memperjuangkan disahkannya
UU Kewarganegaraan RI di tahun 1946. UU itu mengamanatkan seluruh warga
keturunan Asia dan Eropa di Indonesia untuk menjadi orang Indonesia sejati dan
turut serta membantu perjuangan kemerdekaan. Pada masa perang kemerdekaan
ini, Siauw juga pernah diangkat menjadi Menteri Negara urusan Minoritas ketika
Kabinet dipimpin oleh Amir Sjarifudin pada tahun 1947.
4
Dukungan Siauw terhadap perjuangan kemerdekaan tidak hanya ia tunjukkaan
melalui perjuangan politik atau organisasi, melainkan juga hal-hal yang kecil seperti
hidup secara sederhana. Hal itu ia tunjukkan tatkala istrinya hendak melahirkan
anaknya yang keempat di Malang pada September 1947, bersamaan dengan agresi
militer Belanda pertama. Adiknya Siauw, Siauw Giok Bie, hendak menggunakan mobil
organisasi Palang Biru untuk mengantar istri Siauw ke rumah sakit. Tapi Siauw
dengan tegas melarang adiknya menggunakan fasilitas milik organisasi, sebab mobil
itu akan lebih baik digunakan untuk menolong para pejuang yang terluka karena
bertempur melawan agresi Belanda.
Di sisi lain, perpecahan yang melanda Partai Sosialis tempat Siauw bernaung makin
tak terhindarkan. Perbedaan pendapat yang bernuansa ideologis antara kubu
Sjahrir dengan kubu Amir Sjarifudin mengakibatkan kubu Sjahrir memisahkan diri
dan membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI) di awal tahun 1948. Sedangkan kubu
Amir tetap bertahan di partai Sosialis. Siauw memilih bergabung dalam kubu Amir.
Pada perkembangan selanjutnya, Partai Sosialis pimpinan Amir makin dekat dengan
Partai Komunis Indonesia (PKI), terutama ketika pertentangan politik menghangat
pasca disepakatinya perjanjian Renvile di pertengahan tahun 1948. Partai Sosialis
dan PKI beserta beberapa organisasi kiri lainnya membentuk Front Demokrasi
Rakyat (FDR) sebagai wujud oposisi mereka terhadap kabinet pimpinan Bung Hatta
yang didukung Masyumi. FDR sangat menolak kebijakan kabinet Hatta yang ingin
‘membersihkan’ angkatan perang dari unsur-unsur laskar rakyat.
Puncak dari ketegangan politik itu adalah meletusnya “peristiwa Madiun”, ketika
gerakan FDR dianggap sebagai pemberontakan oleh pemerintahan Hatta. FDR
pun ditumpas oleh kabinet Hatta dan angkatan perang pimpinan A.H Nasution.
Siauw, sebagai salah satu pendukung FDR juga sempat ditangkap TNI. Namun, tak
lama kemudian terjadi agresi militer Belanda yang kedua di akhir 1948. Siauw pun
lolos dari penjara Republik, namun ia kembali ditangkap Belanda.
Integrasi vs Asimilasi
Di akhir tahun 1949, kemerdekaan Indonesia pun diakui oleh Belanda. Perang
kemerdekaan usai, namun masalah kewarganegaraan etnis Tionghoa belum juga
tuntas. Guna menuntaskan masalah tersebut, Siauw dan beberapa tokoh Tionghoa
lain seperti Oei Tjoe Tat, Yap Tiam Hien dan Ang Jang Goan membentuk Badan
Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki) di tahun 1954. Siauw pun
menjadi ketua umum organisasi ini.
5
Pada masa itu, secara garis besar ada dua konsep berbeda yang muncul dari
kalangan masyarakat terkait penyelesaian masalah etnis Tionghoa di Indonesia.
Kedua konsep itu dipandang sebagai solusi jitu bagi penyelesaian masalah tersebut
oleh masing-masing kubu pendukungnya. Kedua konsep itu adalah asimilasi dan
integrasi.
Untuk konsep asimilasi, definisinya adalah penyatuan antara dua etnis dengan
menghilangkan seluruh identitas kultural dari salah satu etnis. Dalam konteks
masalah Tionghoa, etnis Tionghoa diharuskan menghilangkan seluruh identitas
ke-Tionghoaan-nya untuk kemudian bergabung dengan kebudayaan mayoritas rakyat
Indonesia yang dianggap kebudayaan ‘asli’ Indonesia.
Sedangkan konsep integrasi mengandung arti persatuan antara etnis Tionghoa dan
etnis lainnya di Indonesia tanpa menegasikan kebudayaan masing-masing etnis. Hal
ini sesuai dengan moto Bhineka Tunggal ika, berbeda-beda tapi tetap bersatu dalam
naungan negara Republik Indonesia.
Baperki yang dipimpin oleh Siauw menentang keras konsep asimilasi. Menurut
Baperki, asimilasi tak ubahnya diskriminasi dan tidak sesuai dengan motto Bhineka
Tunggal Ika yang mengakui keberagaman berbagai etnis di nusantara berikut segala
‘pernak-pernik’ kulturalnya. Karena itu tak seharusnya etnis Tionghoa menanggalkan
identitas kulturalnya untuk bisa bersatu dengan unsur rakyat Indonesia yang lain.
Masalah etnis Tionghoa yang merupakan bagian tak terpisahkan dari masyarakat
Indonesia dapat dituntaskan dengan berintegrasi pada kehidupan dan perjuangan
masyarakat Indonesia secara keseluruhan, tanpa harus melupakan kebudayaan
Tionghoa-nya. Maka, Baperki mendukung konsep integrasi revolusioner sebagai
solusi penyelesaian masalah Tionghoa di Indonesia. Dan PKI, yang bertendensi anti
rasialisme, juga mendukung konsep integrasi yang diusung oleh Baperki ini. Tak
heran apabila pada perkembangan politik selanjutnya, terutama di era Demokrasi
Terpimpin, Baperki menjadi sangat dekat dengan PKI.
Sementara, konsep asimilasi didukung juga oleh beberapa tokoh Tionghoa.
Mereka adalah Harry Tjan Silalahi, Kristoforus Sindunata, Ong Hok Ham, serta
H.Junus Jahja. Kelompok Tionghoa pro-asimilasi ini mendirikan Lembaga Pembina
Kesatuan Bangsa (LPKB) di tahun 1963. LPKB ini mendapatkan banyak dukungan,
terutama dari kelompok politik kanan dan Angkatan Darat (AD) yang pada umumnya
rival politik PKI. Sebagai tambahan, LPKB ini memegang peranan penting dalam
perumusan berbagai kebijakan rezim Orde Baru yang diskriminatif terhadap etnis
6
Tionghoa pasca kejatuhan Bung Karno tahun 1966, termasuk kebijakan pelarangan
perayaan Imlek, pelarangan agama Kong Hu Chu dan pergantian nama warga
Tionghoa.
Pertentangan antara Baperki dan kelompok pro-asimilasi (LPKB) berlanjut dimasa
Demokrasi Terpimpin. Nuansa kompetisi politik antar berbagai kekuatan dimasa itu
juga berpengaruh pada rivalitas Baperki dan LPKB. Baperki menjadi organisasi yang
dekat dengan PKI. Sementara LPKB didukung oleh AD dan kelompok nasionalis
kanan.
Bung Karno sendiri tampak lebih sepakat dengan konsep integrasi yang digagas
Baperki. Hal ini terlihat dalam pidatonya ketika Pembukaan Kongres Nasional k-8
Baperki. Dalam pidato itu tampak penolakan Bung Karno terhadap konsep asimilasi.
Berikut isi pidato beliau :
“Nama pun, nama saya sendiri itu, Soekarno, apa itu nama Indonesia asli ? Tidak !
Itu asalnya Sanskrit saudara-saudara, Soekarna. Nah itu Abdulgani, Arab, Ya, Cak
Roeslan namanya asal Arab, Abdulgani. Nama saya asal Sanskrit, Soekarna. Pak Ali
itu campuran, Alinya Arab, Sastraamidjaja itu Sanskrit, campuran dia itu.
Nah karena itu, saudara-saudara pun-ini perasaan saya persoonlijk, persoonlijk,
pribadi-what is in a name ? Walau saudara misalnya mau menjadi orang Indonesia,
tidak perlu ganti nama. Mau tetap nama Thiam Nio, boleh, boleh saja. Saya sendiri
juga nama Sanskrit, saudara-saudara, Cak Roeslan namanya nama Arab, Pak Ali
namanya campuran, Arab dan Sanskrit.
Buat apa saya mesti menuntut, orang peranakan Tionghoa yang mau menjadi
anggota negara Republik Indonesia, mau menjadi orang Indonesia, mau ubah
namanya, ini sudah bagus kok…Thiam Nio kok mesti dijadikan Sulastri atau
Sukartini. Yah, tidak ?
Tidak ! Itu urusan prive. Agama pun prive, saya tidak campur-campur.Yang saya
minta yaitu, supaya benar-benar kita menjadi orang Indonesia, benar-benar kita
menjadi warganegara Republik Indonesia.”
Akhir Perjuangan
Selain memperjuangkan integrasi etnis Tionghoa ke dalam masyarakat Indonesia,
Baperki dan Siauw juga memperjuangkan nation-building melalui pendidikan. Maka
pada tahun 1958, Baperki mulai membuka Akademi Fisika dan Matematika yang
7
diperuntukkan bagi pendidikan guru sekolah menengah. Pada tahun-tahun
berikutnya, Baperki juga membuka beberapa fakultas baru seperti fakultas
Kedokteran, Sastra dan Teknik.
Pada tahun 1962, perguruan tinggi Baperki itu diberi nama Universitas Res Publica
(Ureca). Dalam penyelenggaraan pendidikan di Universitas ini, Baperki punya
motto :“pendidikan bukan barang dagangan. Ilmu harus diabdikan untuk kemajuan
dan kebahagiaan hidup rakyat banyak!”
Massa anti-komunis merusak gedung Universitas Res Publica (Ureca), yang didirikan oleh BAPERKI,
tahun 1966 (Photo Credit: Bettmann / Corbis)
Untuk diketahui, pasca meletusnya tragedi Gestok 1965, Ureca ditutup oleh
Soeharto karena dianggap universitas ‘komunis’. Di kemudian hari, rezim Orde Baru
membentuk Universitas baru untuk menggantikan Ureca, yakni Universitas Trisakti.
Sementara itu, terkait masalah yang dipandang paling krusial dari masalah-masalah
lainnya yang menyangkut etnis Tionghoa di negeri ini, yakni masalah ekonomi,
Siauw juga punya pandangan sendiri. Menurutnya, tak perlu ada pembedaan
antara kapital milik orang Tionghoa maupun non-Tionghoa di Indonesia. Sepanjang
modal itu dimiliki oleh rakyat Indonesia, apapun etnisnya, maka bisa diperuntukkan
bagi perkuatan ekonomi nasional serta berguna juga untuk menangkal pengaruh
negatif modal asing multinasional.
Tampak bahwa Siauw mentolerir adanya kapitalis domestik di Indonesia, guna
melawan pengaruh negatif kapital asing multinasional yang menurut Siauw sangat
eksploitatif. Konsep Siauw ini dikenal sebagai konsep Ekonomi Domestik.
8
Sementara itu, dinamika politik berjalan cepat dan tak terduga. Tragedi Gestok
yang meletus 1 Oktober 1965, merubah secara drastis konstelasi politik nasional.
PKI, selaku pihak tertuduh dalam tragedi tersebut, segera dihabisi oleh tentara
sayap kanan pimpinan Soeharto yang didukung imperialis Amerika Serikat (AS).
Jutaan pendukung PKI dan Bung Karno dibantai serta ditangkapi tanpa proses
peradilan.
Sebagai seorang simpatisan kiri sekaligus pendukung Bung Karno, Siauw pun tak
lepas dari ‘tsunami’ politik tersebut. 4 Nopember 1965, Siauw ditangkap dan dibui
selama 13 tahun oleh Orde Baru tanpa proses pengadilan. Baperki pun dibubarkan,
begitu juga dengan universitas yang dibentuknya, Ureca.
Pada Bulan Mei 1978, Siauw Giok Tjhan dibebaskan dari penjara. Perlakuan buruk
yang diterimanya selama meringkuk di tahanan rezim Soeharto membuat
kesehatan Siauw memburuk. Setelah bebas dari penjara, ia pergi berobat ke
Belanda.
Selain berobat, kepergian Siauw ke Belanda juga untuk menghindar dari kontrol
rezim Soeharto yang dikhawatirkan makin membuat kesehatannya memburuk. Siauw
menderita komplikasi beragam penyakit, mulai dari gangguan penglihatan hingga
penyakit jantung. Akhirnya, pada 20 November 1981, pejuang bangsa itu meninggal
dunia sebagai pelarian politik.
Riwayat juang putra Surabaya yang telah mengabdikan seluruh hidupnya bagi
kemaslahatan negara, bangsa dan etnisnya ini seakan hilang dalam sejarah, hanya
oleh stigma yang masih ‘sakti’ hingga kini, yakni stigma ‘komunis’.
Hiski Darmayana, penulis adalah kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia
(GMNI)
Siauw Giok Tjhan,
Sosok Pejuang Dan Pembangun Bangsa http://www.berdikarionline.com/tokoh/20120801/siauw-giok-tjhan-sosok-pejuang-dan-pembangun-bangsa.html
Rabu, 1 Agustus 2012 | 5:50 WIB
9
Namanya nyaris tidak ditulis dalam sejarah resmi. Bahkan, di era rezim
orde baru, ia hendak dihapus sama sekali dari sejarah bangsanya.
Ironisnya, pejuang besar ini justru dipaksa di akhir hayatnya menjadi
“pengungsi politik” di negeri lain dan, pada akhirnya, meninggal di Belanda.
Dia adalah Siauw Giok Tjhan. Salah seorang wartawan senior Indonesia, Yoesoef
Isak, menganggap Siauw Giok Tjhan sebagai pejuang yang mengabdikan hampir
seluruh hidupnya bagi bangsanya: Indonesia. Kita tahu, Siauw Giok Tjhan tak
henti-hentinya berseru tentang pembangunan nasion (nation building).
Siauw Giok Tjhan juga konsisten berjuang untuk keadilan dan kesetaraan. Ia juga
selalu berada di garis depan menentang segala bentuk penindasan dan penghisapan
manusia atas manusia. Karena itu, Siauw Giok Thjan sangat dekat dengan
pemikiran-pemikiran kiri, khususnya marxisme.
Sejak kecil menentang diskriminasi
Siauw Giok Tjhan lahir pada 23 Maret 1914 di Surabaya, Jawa Timur. Nama tempat
kelahirannya adalah Kapasan—sebuah dari pemukiman Tionghoa. Di sana, Tionghoa
totok dan peranakan melebur.
Ayahnya, Siauw Gwan Swie, adalah seorang nasionalis Tionghoa. Sedangkan ibunya,
Kwan Tjian Nio, adalah seorang Tionghoa totok yang menghargai adat-istiadat
rakyat setempat. Ia tidak memaksa anaknya berbahasa Tionghoa. Jadinya, Siauw
Giok Tjhan bisa berbaha Melayu-Tionghoa dan Jawa.
Pada usia 4 tahun, Siauw Giok Tjhan sudah dibawa kakeknya bersekolah di THHK
(Tiong Hoa Hwee Koan). Kakek Siauw Giok Tjhan, Kwan Sie Liep, adalah seorang
fanatik dengan kebudayaan Tionghoa. Tetapi Siauw Giok Tjhan tidak terlalu lama
bersekolah di sana. Maklum, ayahnya sangat menginginkannya masuk sekolah
Belanda.
10
Akhirnya, Siauw Giok Tjhan dipindah ke sekolah Belanda- Institut Buys. Lalu, ia
dipindahkan lagi ke ELS (Europese Lagere School). Di sekolah inilah Siauw Giok
Tjhan sering mendapatkan perlakuan diskriminatif. Ia sering dihina sebagai “Cina
Loleng”. Siauw Giok Tjhan tak menerima perlakuan itu. Akhirnya, ia sering terlibat
perkelahian dengan anak-anak Belanda.
Siauw Giok Tjhan melanjutkan sekolahnya di HBS (Hogere Burger School ). Sayang,
belum tamat HBS, kedua orang tuanya meninggal. Sedangkan kakeknya sudah pulang
ke Tiongkok. Siauw Giok Tjhan harus berjuang untuk membiayai dirinya dan adiknya.
Sebagai solusinya: ia jual semua harta orang tuanya dan kemudian membeli tiga
kendaraan roda tiga. Ia kemudian menjalankan semacam usaha Taxi. Dari situlah ia
membiayi hidup dan pendidikannya.
Pengalaman itu sangat berpengaruh bagi Siauw Giok Tjhan. Ia pun bergabung dengan
perhimpunan Pemuda Tionghoa (Hua Chiao Tsing Niem Hui). Organisasi ini banyak
membantu rakyat yang dalam kesulitan.
Memperjuangkan kemerdekaan
Siauw Giok Tjhan memang nasionalis sejak awalnya. Ini terbukti dengan sikapnya
bergabung dengan Partai Tionghoa Indonesia (PTI). Partai ini, yang resminya berdiri
September 1932, secara tegas memperjuangkan Indonesia Merdeka.
PTI juga banyak berhubungan dengan pergerakan nasional Indonesia lainnya,
seperti PBI (Dr Sutomo), PNI-Partindo, PNI baru (Hatta-Sjahrir), dan lain-lain.
PTI juga aktif mendukung Ki Hajar Dewantara menentang UU sekolah liar. Bahkan,
ketika Gerakan Rakyat Indonesia (gerindo) berdiri, PTI aktif mendukung dan
sebagian anggotanya masuk ke organisas tersebut.
Semangat nasionalisme Siauw Giok Tjhan juga nampak dalam olahraga. Ia pernah
terlibat dalam gerakan pemboikotan terhadap organisasi sepak bola yang didominasi
Belanda, yakni Nederland Indische Voetbaldbond (NIVB). Ketika NIVB akan
menggelar pertandingan di Surabaya, Siauw Giok Tjhan turut dalam gerakan untuk
mengalihkan penonton ke Pasar Turi—tempat pertandingan yang digelar oleh
Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI).
Pemikiran politik Siauw Giok Tjhan makin berkembang tatkala bertemu dengan dua
kawannya, Tjoa Sik Ien dan Tan Ling Djie. Kedua orang inilah yang memperkenalkan
marxisme kepada Siauw. Konon, pada tahun 1938, Siauw menerjemahkan buku Edgar
Snow, Red Star Over China.
11
Selain itu, Siauw juga aktif sebagai wartawan di harian Matahari. Koran ini
cenderung nasionalis. Koran ini banyak meliput kegiatan Taman Siswa. Pada tahun
1939, Siauw menjadi pemimpin redaksi koran ini. Di tangannya koran ini menjadi
sangat pro-kemerdekaan dan anti-fasisme Jepang.
Jadinya, ketika Jepang masuk, nama Siauw masuk daftar orang yang seharusnya
ditangkap. Namun, ia berhasil melarikan diri dari Semarang dan kemudian menjadi
pemilik toko eceran di Malang, Jawa Timur. Namun, di Malang, Siauw sempat
menjadi pemimpin organisasi bentukan Jepang bernama Kakyo Shokai. Ia juga
mendirikan organisasi keamanan bernama Kebotai.
17 Agustus 1945: Indonesia merdeka! Siauw sangat bergembira dan mendukung
penuh kemerdekaan itu. Bahkan, sebagai sokongan terhadap kemerdekaan, ia
mendirikan dua organisasi, yakni Angkatan Muda Tionghoa dan Palang Biru di Malang.
Kedua organisasi ini sangat membantu rakyat di saat revolusi. Bahkan, organisasi ini
turut di medan pertempuran bersama rakyat Surabaya pada 10 November 1945.
Tahun 1946, Siauw masuk ke Partai Sosialis. Di dalamnya, ada Amir Sjarifuddin,
Sjahrir, dan Tan Ling Djie. Bagi Siauw, tak perlu lagi ada partai khusus Tionghoa. Ia
menganjurkan agar orang Tionghoa melebur langsung dalam revolusi nasional rakyat
Indonesia.
Karena itulah, pada tahun 1946, Bung Karno menunjuk Siauw sebagai anggota Komite
Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Di sini, Siauw makin condong ke marxisme. Ia juga
makin meleburkan diri dalam revolusi Indonesia.
Salah satu hasil kerja Siauw adalah UU Kewarganegaraan RI tahun 1946. UU
kewarganegaraan ini menganut semangat Manifesto Politik R.I., 1 November 1945,
yang menyatakan:“…di dalam negeri kita akan melaksanakan kedaulatan Rakyat kita
dengan aturan kewargaan yang akan lekas membuat semua golongan Indo Asia dan
Europa menjadi orang Indonesia sejati, menjadi patriot dan demokrat Indonesia!”
Siauw makin dekat kiri. Apalagi kiri, khususnya PKI, yang paling konsisten
menentang segala bentuk rasialisme dan penindasan. Akhirnya, ketika terjadi
“peristiwa Madiun”, Siauw juga sempat ditangkap. Lalu, ketika terjadi agresi militer
Belanda akhir 1948, Siauw sempat lolos dari penjara. Sayang, ia tetap berhasil
ditangkap Belanda.
Kewarganegaraan dan Nation-Building
12
Meskipun Indonesia sudah merdeka, tetapi persoalan kewarganegaraan belum juga
tuntas. Sentimen anti-tionghoa seringkali muncul. Merespon persoalan ini, sejumlah
tokoh Tionghoa mendirikan organisasi: Badan Permusyawaratan Warga Turunan
Tionghoa (Baperwatt).
Ia tak setuju dengan nama organisasi itu. Baginya, penyelesaian masalah minoritas
Tionghoa merupakan bagian dari pembangunan nasion Indonesia. Menurutnya, di
Indonesia ini hanya ada satu bangsa, yaitu bangsa (nasion) Indonesia. Karena itu, ia
mengusulkan nama Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki).
Baperki, pada tahun 1955, menegaskan diri sebagai alat perjuangan bangsa
Indonesia untuk mempercepat terbentuknya nasion Indonesia yang tidak mengenal
diskriminasi rasial. Baperki memperjuangkan nation Indonesia sesuai dengan prinsip
“Bhineka Tunggal Ika”.
Karena itu, dalam penyelesaian soal minoritas Tionghoa, Baperki punya konsep yang
disebut “integrasi wajar” (integrasi revolusioner). Konsep ini memperjuangkan orang
Tionghoa sebagai bagian dari Indonesia tanpa harus mempersoalkan
“ketionghoannya”—sama dengan tidak mempersoalkan orang Jawa, Bugis, Melayu, dll.
Proses ini tidak perlu menghilangkan identitas dan kebudayaan orang Tionghoa.
Dengan demikian, di mata Siauw Giok Tjham, terciptalah nasion Indonesia yang
berbhineka tunggal ika.
Yang penting, kata Siauw, bukan memupuk perbedaan nama, agama, dan budaya,
melainkan memupuk perasaan senasib, sebangsa, dan satu aspirasi—masyarakat adil
dan makmur. Lagi pula, kata Siauw, asal-usul keturunan tidak menentukan loyalitas
atau kecintaan orang terhadap bangsa.
Gagasan ini ditentang oleh kelompok Tionghoa lainnya, yaitu LPKB atau Lembaga
Pembinaan Kesatuan Bangsa. LPKB memperjuangka konsep yang disebut asimilasi.
Kubu asimilasi menghendaki agar supaya orang-orang Tionghoa menghilangkan
identitas budayanya dan melebur ke dalam tubuh bangsa Indonesia. Yang terjadi,
orang-ornag Tionghoa dipaksa mengganti namanya sesuai nama Indonesia. Kasus
lainnya, banyak orang Tionghoa dipaksa mengikuti agama yang diakui di Indonesia.
berbagai bentuk ekspresi budaya Tionghoa juga dilarang: huruf Tionghoa, perayaan
tradisional seperti tahun baru, pertunjukan barongsai, dan lain-lain. Ini terjadi pada
era Orde baru.
Siauw juga punya pemikiran di bidang pendidikan yang cemerlang. Baginya,
pendidikan merupakan sarana nation-building. Akhirnya, sebagai bentuk konkret
13
idenya itu, ia—Baperki—mendirikan Universitas Res Publica (Ureca). Menariknya,
kampus ini dibangun secara gotong-royong. Menariknya lagi, Baperki punya motto:
“pendidikan bukan barang dagangan. Ilmu harus diabdikan untuk kemajuan dan
kebahagiaan hidup rakyat banyak!”
Di bidang ekonomi, Siauw juga punya pikiran cemerlang. Katanya, kapital
domestik—terutama dari orang Tionghoa—bisa dikembangkan untuk memperkuat
ekonomi nasional. Artinya, tidak perlu mempertentangkan antara kapital pribumi
dan Tionghoa. Esensinya, semua kapital bangsa Indonesia harus dipergunakan untuk
kepentingan ekonomi nasional.
Dengan begitu, Siauw menentang konsep Sumitro, tokoh PSI yang sempat jadi
menteri, yang kebijakan Bantengnya dianggap diskriminasi di lapangan ekonomi.
Siauw juga menyerang PNI karena membiarkan salah seorang kadernya, Iskaq
selaku Menko Perekonomian, menerapkan diskriminasi di bidang ekonomi.
Korban rezim orde baru
Segalanya berubah total tatkala rezim orde baru naik kekuasaan. Setelah
sebelumnya menggulingkan Bung Karno dan membantai kaum kiri. Siauw Giok Tjhan
turut menjadi korban kekejian orde baru.
4 Nopember 1965, Siauw sendiri ditangkap dan meringkuk di dalam tahanan selama
13 tahun tanpa proses pengadilan. Baperki dibubarkan. Berbagai kontribusi
perjuangan dan pemikirannya dihapuskan dalam sejarah.
Pada Bulan Mei 1978, Siauw Giok Tjhan dibebaskan. Tahun itu juga ia ke Belanda
untuk berobat. Represi orba berdampak sangat buruk pada kesehatan Siauw Giok
Tjhan: satu matanya buta, satunya hanya juga tidak terlalu baik, dan ia menderi
penyakit jantung yang parah.
Tak lama kemudian, tepatnya 20 Nopember 1981, Siauw Giok Tjhan meninggal dunia.
Ia meninggal dunia di negeri orang.
Siauw Giok Tjhan adalah pejuang kemerdekaan nasional Indonesia! Ia adalah
nasionalis dan sekaligus sosialis sejati.
“.. Cak Siauw atau Nyonya Lie mengucapkan kata tercinta kepada saya, saya
kembalikan itu kepada Revolusi. Yang dicintai itu adalah Revolusi Indonesia. Yang
14
dicintai itu adalah perjoangan untuk menyelesaikan Revolusi Indonesia.”– Pidato
Bung Karno pada pembukaan Kongres Nasional ke-8 BAPERKI.
Timur Subangun, anggota Partai Rakyat Demokratik (PRD)
Artikel Terkait:
Oei Tjoe Tat, Loyalitas Tiada Akhir
Peringati Hari Anak Nasional, Kampung Ilmu Angkat Tema…
Soeratin Dan Nasionalisme Sepak Bola Kita
Perayaan Imlek di Jogja dan Kesejahteraan Rakyat
Wahidin Soedirohoesodo, Sang Penyuluh Berorganisasi
Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/tokoh/20120801/siauw-giok-tjhan-sosok-pejuang-dan-pembangun-bangsa.html#ixzz2s2FgWlp9
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook
Artikel Terkait:
Siauw Giok Tjhan, Sosok Pejuang Dan Pembangun Bangsa
Oei Tjoe Tat, Loyalitas Tiada Akhir
Amir Sjarifudin Harahap, Nasionalis Kiri Yang Terlupakan
Peringati Hari Anak Nasional, Kampung Ilmu Angkat Tema…
Peristiwa Rasialis “10 Mei 1963″ Dan Provokasi…