siddiq referrat asma edited
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Asma merupakan penyakit inflamasi kronik saluran nafas yang ditandai
adanya mengi episodik, batuk dan rasa sesak di dada akibat penyumbatan saluran
nafas, termasuk dalam kelompok penyakit saluran pernafasan kronik. World
Health Organization (WHO) memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia
menderita asma. Bahkan jumlah ini diperkirakan akan terus bertambah hingga
mencapai 180.000 orang setiap tahun. Sumber lain menyebutkan bahwa pasien
asma sudah mencapai 300 juta orang di seluruh dunia dan terus meningkat selama
20 tahun belakangan ini. ( Depkes, 2009 )
Kasus asma ini meningkat insidennya secara dramatis selama lebih dari
dua puluh tahun, Beban global dari dampak buruk penyakit asma juga semakin
meningkat yang meliputi, penurunan kualitas hidup, produktivitas yang menurun,
ketidakhadiran di sekolah, peningkatan biaya kesehatan, risiko perawatan di
rumah sakit dan bahkan bias menyebabkan kematian. (Eric et al,2010)).
Data Departemen Kesehatan menunjukkan, pada 2005 prevalensi asma
2,1%. Pada 2007, prevalensinya meningkat menjadi 5,2%. Sedangkan hasil survei
pada anak sekolah di Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang,
Yogyakarta, Malang dan Denpasar pada 2008, menunjukkan prevalensi asma
anak berusia 6-12 sebesar 3,7-16,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta 5,8%.
Saat ini diprediksi 2,5 % penduduk Indonesia menderita asma. (Triono,2007)
Asma dapat diderita seumur hidup sebagaimana penyakit alergi lainnya, dan
tidak dapat disembuhkan secara total. Upaya terbaik yang dapat dilakukan untuk
menanggulangi permasalahan asma hingga saat ini masih berupa upaya penurunan
frekuensi dan derajat serangan, sedangkan penatalaksanaan utama adalah
menghindari faktor penyebab. (Kartasasmita,2008)
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Asma merupakan suatu kelainan inflamasi kronis pada saluran nafas yang
melibatkan sel dan elemen-elemen seluler. Inflamasi kronis tersebut berhubungan
dengan hiperresponsif dari saluran pernafasan yang menyebabkan episode
wheezing, apneu, sesak nafas dan batuk-batuk terutama pada malam hari atau
awal pagi. Episode ini berhubungan dengan luas obstruksi saluran pernafasan
yang bersifat reversibel baik secara spontan ataupun dengan terapi. (Eric et al,
2010)
Defenisi terbaru yang dikeluarkan oleh Unit Kerja Koordinasi (UKK)
Respirologi IDAI pada tahun 2004 menyebutkan bahwa asma adalah mengi
berulang dan/atau batuk persisten dengan karakteristik sebagai berikut; timbul
secara episodik, cenderung pada malam / dini hari (nokturnal), musiman, setelah
aktifitas fisik serta terdapat riwayat asma atau atopi lain pada pasien dan/atau
keluarganya. (Rahajo,2009)
2.2 Etiologi dan Faktor Risiko
Secara umum faktor risiko asma dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu:
(depkes,2008)
1. Faktor Pejamu
- Genetik
- Obesitas
- Sex
2. Faktor lingkungan
- Alergen
- Infeksi
- Bahan di Lingkungan Kerja
2
- Asap Rokok
- Makanan
- Exercise-Induced Asthma
- Perubahan Cuaca
Faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya asma:
Pemicu: Alergen dalam ruangan seperti tungau, debu rumah, binatang
berbulu (anjing, kucing, tikus), jamur, kapang, ragi, asap rokok.
Pemacu: Rhinovirus, ozon, pemakaian β2 agonist.
Pencetus: Infeksi viral saluran napas, aeroalergen seperti bulu binatang,
alergen dalam rumah (debu rumat, kecoa, jamur), seasonal aeroalergen
seperti serbuk sari, asap rokok, polusi udara, pewangi udara, alergen di
tempat kerja, udara dingin dan kering, olahraga, menangis, tertawa,
hiperventilasi, dan kondisi komorbid (rinitis, sinusitis, dan gastroesofageal
refluks). (Nelson,2003)
Sampai saat ini etiologi dari asma bronchial belum diketahui. Berbagai
teori sudah diajukan, akan tetapi yang paling disepakati adalah adanya
gangguan parasimpatis (hiperaktivitas saraf kolinergik), gangguan
Simpatis (blok pada reseptor beta adrenergic dan hiperaktifitas reseptor
alfa adrenergik). (Mangunnegoro,2006)
2.3 Epidemiologi
WHO memperkirakan 100-150 juta penduduk dunia adalah penyandang
asma dan diperkirakan akan terus bertambah sekitar 180.000 orang setiap tahun.
Asma termasuk kedalam sepuluh besar penyebab kesakitan dan kematian di
Indonesia, hal ini tergambar dari data Studi Survei Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) di berbagai propinsi di Indonesia. Survey Kesehatan Rumah Tangga
(SKRT) tahun 2000 menunjukkan asma menduduki urutan ke-5 dari 10 penyebab
kesakitan (morbiditas) bersama-sama dengan bronkitis kronik dan emfisema. Pada
SKRT 2002, asma, bronkitis kronik dan emfisema sebagai penyebab kematian ke-
4 di Indonesia atau sebesar 5,6 %. (Triono,2007).
3
Data Departemen Kesehatan menunjukkan, pada 2005 prevalensi asma
2,1%. Pada 2007, prevalensinya meningkat menjadi 5,2%. Sedangkan hasil survei
pada anak sekolah di Medan, Palembang, Jakarta, Bandung, Semarang,
Yogyakarta, Malang dan Denpasar pada 2008, menunjukkan prevalensi asma
anak berusia 6-12 sebesar 3,7-16,4%, sedangkan pada anak SMP di Jakarta 5,8%.
Saat ini diprediksi 2,5 % penduduk Indonesia menderita asma. (Triono,2007)
2.4. Patogenesis
Asma dapat terjadi melalui 2 jalur, yaitu jalur imunologis dan saraf
otonom. Jalur imunologis didominasi oleh antibodi IgE, merupakan reaksi
hipersensitivitas tipe I (tipe alergi), terdiri dari fase cepat dan fase lambat. Reaksi
alergi timbul pada orang dengan kecenderungan untuk membentuk sejumlah
antibodi IgE abnormal dalam jumlah besar, golongan ini disebut atopi. Pada asma
alergi, antibodi IgE terutama melekat pada permukaan sel mast pada interstitial
paru, yang berhubungan erat dengan bronkiolus dan bronkus kecil. Bila seseorang
menghirup alergen, terjadi fase sensitisasi, antibodi IgE orang tersebut meningkat.
Alergen kemudian berikatan dengan antibodi IgE yang melekat pada sel mast dan
menyebabkan sel ini berdegranulasi mengeluarkan berbagai mediator( histamin,
leukotrien, faktor kemotaktik eosinofil dan bradikinin). Hal itu akan menimbulkan
efek edema lokal pada dinding bronkiolus kecil, sekresi mukus yang kental dalam
lumen bronkiolus, dan spasme otot polos bronkiolus, sehingga menyebabkan
inflamasi saluran napas. Pada reaksi alergi fase cepat, obstruksi saluran napas
terjadi segera yaitu 10-15 menit setelah pajanan alergen. Spasme bronkus yang
terjadi merupakan respons terhadap mediator sel mast terutama histamin yang
bekerja langsung pada otot polos bronkus. Pada fase lambat, reaksi terjadi setelah
6-8 jam pajanan alergen dan bertahan selama 16-24 jam, bahkan kadang-kadang
sampai beberapa minggu. Sel-sel inflamasi seperti eosinofil, sel T, sel mast dan
antigen presenting cell (APC) merupakan sel-sel kunci dalam patogenesis asma.
(Iris,2008)
4
Pada jalur saraf otonom, inhalasi alergen akan mengaktifkan sel mast
intralumen, makrofag alveolar, nervus vagus dan mungkin juga epitel saluran
napas. Peregangan vagal menyebabkan refleks bronkus, sedangkan mediator
inflamasi yang dilepaskan oleh sel mast dan makrofag akan membuat epitel jalan
napas lebih permeabel dan memudahkan alergen masuk ke dalam submukosa,
sehingga meningkatkan rekasi yang terjadi. Pada keadaaan tersebut reaksi asma
terjadi melalui refleks saraf. Ujung saraf eferen vagal mukosa yang terangsang
menyebabkan dilepasnya neuropeptid sensorik senyawa P, neurokinin A dan
Calcitonin gene-Related Peptide (CGRP). Neuropeptida itulah yang menyebabkan
terjadinya bronkokonstriksi, edema bronkus, eksudasi plasma, hipersekresi lendir,
(Iris,2008)
Gambar 1. Patogenesis Asma
Remodeling juga merupakan hal penting pada patogenesis hiperaktivitas
saluran respiratori yang non spesifik, terutama pada pasien yang sembuh dalam
waktu lama (lebih dari 1-2 tahun) atau yang tidak sembuh sempurna setelah terapi
inhalasi kortikosteroid. (Supriyatno,2008)
5
2.5 Patofisiologi Asma
2.5.1 Obstruksi saluran respiratori
Penyebab utamanya adalah kontraksi otot polos bronkial yang diprovokasi
mediator agonis yang dikeluarkan oleh sel inflamasi seperti histamin, triptase,
prostaglandin D2, dan leukotrien C4 yang dikeluarkan oleh sel mast,
neuropeptidase yang dikeluarkan oleh saraf aferen lokal dan asetilkolin yang
berasal dari saraf eferen post ganglionik. Akibat yang ditimbulkan dari kontraksi
otot polos saluran nafas adalah hiperplasia kronik dari otot polos, pembuluh
darah, serta terjadi deposisi matriks pada saluran nafas. Namun,dapat juga timbul
pada keadaan dimana saluran nafas dipenuhi sekret yang banyak, tebal dan
lengket pengendapan protein plasma yang keluar dari mikrovaskularisasi bronkial
dan debris seluler. (Makmuri,2008)
Gambar 3. Bronkus Normal dan Bronkus Asmatik
2.5.2 Hiperaktivitas saluran respiratori
Saluran respiratori dikatakan hiperreaktif atau hiperresponsif jika pada
pemberian histamin dan metakolin dengan konsentrasi kurang 8µg% didapatkan
penurunan Forced Expiration Volume (FEV1) 20% yang merupakan kharakteristik
asma, dan juga dapat dijumpai pada penyakit yang lainnya seperti Chronic
6
Obstruction Pulmonary Disease (COPD), fibrosis kistik dan rhinitis alergi.
Stimulus seperti olahraga, udara dingin, ataupun adenosin, tidak memiliki
pengaruh langsung terhadap otot polos saluran nafas (tidak seperti histamin dan
metakolin). Stimulus tersebut akan merangsang sel mast, ujung serabut dan sel
lain yang terdapat disaluran nafas untuk mengeluarkan mediatornya.
(Makmuri,2008)
2.5.3 Otot polos saluran respiratori
Pada penderita asma ditemukan pemendekan dari panjang otot bronkus.
Kelainan ini disebabkan oleh perubahan pada aparatus kontraktil pada bagian
elastisitas jaringan otot polos atau pada matriks ektraselularnya. Peningkatan
kontraktilitas otot pada pasien asma berhubungan dengan peningkatan kecepatan
pemendekan otot. Sebagai tambahan, terdapat bukti bahwa perubahan pda struktur
filamen kontraktilitas atau plastisitas dari sel otot polos dapat menjadi etiologi
hiperaktivitas saluran nafas yang terjadi secara kronik. (Makmuri,2008)
2.5.4 Hipersekresi mukus
Hiperplasia kelenjar submukosa dan sel goblet sering kali ditemukan pada
saluran nafas pasien asma dan penampakan remodeling saluran nafas merupakan
karakteristik asma kronis. Obstruksi yang luas akibat penumpukan mukus saluran
nafas hampir selalu ditemukan pada asma yang fatal dan menjadi penyebab
ostruksi saluran nafas yang persisiten pada serangan asma berat yang tidak
mengalami perbaikan dengan bronkodilator. (Makmuri,2008)
Sekresi mukus pada saluran nafas pasien asma tidak hanya berupa
peningkatan volume saja tetapi juga perbedaan pada viskoelastisitas. Penebalan
dan perlengketan dari sekret tidak hanya sekedar penambahan produksi musin saja
tetapi terdapat juga penumpukan sel epitel, pengendapan albumin yang bersal
datri mikrovaskularisasi bronkial, eosinofil, dan DNA yang berasal dari sel
inflamasi yang mengalami lisis. (Makmuri,2008)
7
Hipersekresi mukus merefleksikan dua mekanisme patofisiologi yaitu
mekanisme terhadap sekresi sel yang mengalami metaplasia dan hiperplasia dan
mekanisme patofisologi hingga terjadi sekresi sel granulasi. Degranulasi sel
Goblet yang dicetuskan oleh stimulus lingkungan, diperkirakan terjadi karena
adanya pelepasan neuropeptidase lokal atau aktivitas jalur refleks kolinergik.
Kemungkinan besar yang lebih penting adalah degranulasi yang diprovokasi oleh
mediator inflamasi, dengan aktivitas perangsang sekret, seperti neutrofil elastase,
kimase sel mast, leukotrien, histamin, produk neutrofil non-protease.
(Makmuri,2008)
2.6 Klasifikasi
Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan serangan dan berat penyakit
sebelum dan saat terapi.. Klasifikasi asma berdasarkan berat penyakit penting bagi
pengobatan dan perencanaan penatalaksanaan jangka panjang, semakin berat
asma semakin tinggi tingkat pengobatan. Berat penyakit asma diklasifikasikan
berdasarkan gambaran klinis sebelum pengobatan dimulai (tabel 2).
Pada umumnya penderita sudah dalam pengobatan dan pengobatan yang
telah berlangsung seringkali tidak adekuat (Tabel 3). Dipahami bahwa
pengobatan akan mengubah gambaran klinis bahkan faal paru, oleh karena itu
penilaian berat asma pada penderita dalam pengobatan juga harus
mempertimbangkan pengobatan itu sendiri. Klasifikasi derajat serangan asma
dijelaskan pada tabel 1.
Tabel 1. Penetuan Derajat Serangan Asma
Parameter klinis,
Fungsi paru,
Laboraturium
Ringan Sedang Berat Ancaman
henti napas
Sesak (breathless) Berjalan Berbicara Istirahat
8
Posisi Bisa berbaring Lebih suka
Duduk
Duduk
bertopang
lengan
Berbaring
Bicara Kalimat Penggal
kalimat
Kata-kata
Kesadaran Mungkin
irritable
Biasanya
irritable
Biasanya
Irritable
Kebingungan
Frekuensi napas < 20 x /menit 20-30 x/
menit
>30 x/menit
Penggunaan otot
Bantu Napas &
retraksi suprasternal
Biasanya tidak Biasanya ya Ya Gerakan
paradox
Torakobdominal
Wheezing Sedang, sering
hanya pada
akhir
ekspirasi
Nyaring,
Sepanjang
ekspirasi
± inspirasi
Sangat
nyaring,
Terdengar
tanpa
stateskop
Sulit /
Tidak terdengar
Frekuensi nadi <100x/menit 100-120x/
menit
>120x/menit Bradikardi
Pulsus paradoksus Tidak ada
<10 mmHg
Ada
10-25 mmHg
Ada
>25 mmHg
Tidak ada,
Tanda kelelahan
Otot respiratorik
PEFR atau FEV1
Prabronkodilator
Pascabronkodilator
>80% 60-80%
<60%
Respon < 2
jam
SaO2 % >95% 91-95% ≤90%
PaO2 Normal >60 mmHg < 60 mmHg
PaCO2 <45 mmHg <45 mmHg >45 mmHg
( Dewan Asma Indonesia.2011)
9
Tabel 2. Klasifikasi derajat berat asma berdasarkan gejala klinis sebelum terapi
(Sumber :mangunnegoro,2006)
10
.Tabel 3. Klasifikasi derajat berat asma pada penderita dalam pengobatan
(Sumber :mangunnegoro,2006)
2.7. Diagnosis
Diagnosis asma didasari oleh gejala yang bersifat episodik, gejala berupa
batuk, sesak napas, mengi, rasa berat di dada dan variabiliti yang berkaitan
dengan cuaca. Anamnesis yang baik cukup untuk menegakkan diagnosis,
ditambah dengan pemeriksaan jasmani dan pengukuran faal paru terutama
reversibiliti kelainan faal paru, akan lebih meningkatkan nilai diagnostik
2.7.1 Anamnesis
- Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
- Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
11
- Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
- Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
- Respons terhadap pemberian bronkodilator (PDPI,2003)
2.7.1 Anamnesis
- Bersifat episodik, seringkali reversibel dengan atau tanpa pengobatan
- Gejala berupa batuk , sesak napas, rasa berat di dada dan berdahak
- Gejala timbul/ memburuk terutama malam/ dini hari
- Diawali oleh faktor pencetus yang bersifat individu
- Respons terhadap pemberian bronkodilator (PDPI,2003)
Selain pemeriksaan di atas, pemeriksaan IgE dan eusinofil total dapat
membantu penegakan diagnosis asma. Peningkatan kadar IgE dan eusinofil total
umum dijumpai pada pasien asma. Untuk memastikan diagnosis, dilakukan
pemeriksaan uji provokasi dengan histamin atau metakolin. Bila uji provokasi
positif, maka diagnosis asma secara definitive dapat ditegakkan.
(Pusponegoro. 2008)
2.7.2 Pemeriksaan fisik
Kelainan pemeriksaan fisik yang paling sering ditemukan adalah mengi
pada auskultasi. Pada sebagian penderita, auskultasi dapat terdengar normal
walaupun pada pengukuran objektif (faal paru) telah terdapat penyempitan jalan
napas.. Hal itu meningkatkan kerja pernapasan dan menimbulkan tanda klinis
berupa sesak napas, mengi dan hiperinflasi.
2.7.3 Pemeriksaan Penunjang
Pada serangan asma berat, pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah
analisis gas darah (AGD) dan foto rontgen thoraks proyeksi antero-posterior. Pada
AGD dapat dijumpai adanya peningkatan PCO2 dan rendahnya PO2
(hipoksemia). Pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan adalah uji fungsi paru
bila kondisi memungkinkan. Pada pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya
penurunan FEV1 yang mencapai <70% nilai normal. (Pusponegoro, 2005)
12
2.8.Tatalaksana Asma
Tujuan utama penatalaksanaan asma adalah meningkatkan dan
mempertahankan kualiti hidup agar penderita asma dapat hidup normal tanpa
hambatan dalam melakukan aktiviti sehari-hari.
Tujuan penatalaksanaan asma: (mangunnegoro,2006)
1. Menghilangkan dan mengendalikan gejala asma
2. Mencegah eksaserbasi akut
3. Meningkatkan dan mempertahankan faal paru seoptimal mungkin
4. Mengupayakan aktiviti normal termasuk exercise
5. Menghindari efek samping obat
6. Mencegah terjadi keterbatasan aliran udara (airflow limitation) ireversibel
7. Mencegah kematian karena asma
2.8.1. Tatalaksana Medikamentosa
Obat asma dapat dibagi dalam 2 kelompok besar, yaitu obat pereda
(reliever) dan obat pengendali (controller). Obat pereda digunakan untuk
meredakan serangan atau gejala asma jika sedang timbul. Kelompok kedua adalah
obat pengendali yang disebut juga obat pencegah, atau obat profilaksis yang
digunakan pada pasien dengan asma terkontrol (Tabel 4). Obat ini digunakan
untuk mengatasi masalah dasar asma, yaitu inflamasi kronik saluran nafas.
Dengan demikian pemakaian obat ini terus menerus diberikan walaupun sudah
tidak ada lagi gejalanya kemudian pemberiannya diturunkan pelan – pelan yaitu
25 % setip penurunan setelah tujuan pengobatan asma tercapai 6 – 8 minggu.
( Rahajoe, 2007 )
13
Tabel 4. Asma terkontrol
Karakteristik Terkontrol Terkontrol sebagian Tidak Terkontrol
Gejala Harian Tidak ada
( < 2x/minggu)
> 2x / minggu
Didapatkan 3 atau lebih dari gambaran pada asma terkontrol sebagian yang ter jadi tiap minggu
Keterbatasan
Aktivitas
Tidak ada sedikit
Gejala malam hari Tidak ada sedikit
Kebutuhan
terhadap obat
pelega
Tidak ada
( < 2x/minggu)
> 2x / minggu
Lung function(PEF or FEV1)
Normal < 80% prediksi
Obat – obat Pereda (Reliever)
1. Bronkodilator
a. Short-acting β2 agonist
Merupakan bronkodilator terbaik dan terpilih untuk terapi asma akut pada
anak. Reseptor β2 agonist berada di epitel jalan napas, otot pernapasan, alveolus,
sel-sel inflamasi, jantung, pembuluh darah, otot lurik, hepar, dan pancreas
Obat ini menstimulasi reseptor β2 adrenergik menyebabkan perubahan ATP
menjadi cyclic-AMP sehingga timbul relaksasi otot polos jalan napas yang
menyebabkan terjadinya bronkodilatasi. Efek lain seperti peningkatan klirens
mukosilier, penurunan permeabilitas vaskuler, dan berkurangnya pelepasan
mediator sel mast. (Supriatno, 2008).
Epinefrin/adrenalin
Tidak direkomendasikan lagi untuk serangan asma kecuali tidak ada β2
agonis selektif. Epinefrin menimbulkan stimulasi pada reseptor β1, β2, dan α
sehingga menimbulkan efek samping berupa sakit kepala, gelisah, palpitasi,
takiaritmia, tremor, dan hipertensi. (Supriatno, 2008).
14
Pemberian epinefrin aerosol kurang menguntungkan karena durasi efek
bronkodilatasinya hanya 1-1,5 jam dan menimbulkan efek samping, terutama
pada jantung dan CNS.
β2 agonis selektif (Supriatno, 2008).
Obat yang sering dipakai : salbutamol, terbutalin, fenoterol.
Dosis salbutamol oral : 0,1 - 0,15 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis tebutalin oral : 0,05 – 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis fenoterol : 0,1 mg/kgBB/kali , setiap 6 jam.
Dosis salbutamol nebulisasi : 0,1 - 0,15 mg/kgBB (dosis maksimum
5mg/kgBB), interval 20 menit, atau nebulisasi kontinu dengan dosis 0,3 – 0,5
mg/kgBB/jam (dosis maksimum 15 mg/jam).
Dosis terbutalin nebulisasi : 2,5 mg atau 1 respul/nebulisasi.
Pemberian oral menimbulkan efek bronkodilatasi setelah 30 menit, efek
puncak dicapai dalam 2 – 4 jam, lama kerjanya sampai 5 jam.
Pemberian inhalasi (inhaler/nebulisasi) memiliki onset kerja 1 menit, efek puncak
dicapai dalam 10 menit, lama kerjanya 4 – 6 jam.
Serangan ringan : MDI 2 – 4 semprotan tiap 3 – 4 jam.
Serangan sedang : MDI 6 – 10 semprotan tiap 1 – 2 jam.
Serangan berat: MDI 10 semprotan.
Pemberian intravena dilakukan saat serangan asma berat ksrena pada
keadaan ini obat inhalasi sulit mencapai bagian distal obstruksi jalan napas. Efek
samping takikardi lebih sering terjadi.
Dosis salbutamol IV : mulai 0,2 mcg/kgBB/menit, dinaikkan 0,1 mcg/kgBB
setiap 15 menit, dosis maksimal 4 mcg/kgBB/menit.
Dosis terbutalin IV : 10 mcg/kgBB melalui infuse selama 10 menit, dilanjutkan
dengan 0,1 – 0,4 ug/kgBB/jam dengan infuse kontinu.
Efek samping β2 agonist antara lain tremor otot skeletal, sakit kepala, agitasi,
palpitasi, dan takikardi.
15
b. Methyl xanthine
Efek bronkodilatasi methyl xantine setara dengan β2 agonist inhalasi,
tapi karena efek sampingnya lebih banyak dan batas keamanannya sempit, obat ini
diberikan pada serangan asma berat dengan kombinasi β2 agonist dan
anticholinergick(12).
Efek bronkodilatasi teofilin disebabkan oleh antagonisme terhadap
reseptor adenosine dan inhibisi PDE 4 dan PDE 5. Methilxanthine cepat
diabsorbsi setelah pemberian oral, rectal, atau parenteral. Pemberian teofilin IM
harus dihindarkan karena menimbulkan nyeri setempat yang lama. Umumnya
adanya makanan dalam lambung akan memperlambat kecepatan absorbsi teofilin
tapi tidak mempengaruhi derajat besarnya absorpsi. Metilxanthine didistribusikan
keseluruh tubuh, melewati plasenta dan masuk ke air susu ibu. Eliminasinya
terutama melalui metabolism hati, sebagian besar dieksresi bersama urin.
(Suherman, 2008)
Dosis aminofilin IV inisial bergantung kepada usia :
1 – 6 bulan : 0,5mg/kgBB/Jam
6 – 11 bulan : 1 mg/kgBB/Jam
1 – 9 tahun : 1,2 – 1,5 mg/kgBB/Jam
> 10 tahun : 0,9 mg/kgBB/Jam
Efek samping obat ini adalah mual, muntah, sakit kepala. Pada konsentrasi
yang lebih tinggi dapat timbul kejang, takikardi dan aritmia. (Supriatno, 2008).
2. Anticholinergics
Obat yang digunakan adalah Ipratropium Bromida. Kombinasi dengan
nebulisasi β2 agonist menghasilkan efek bronkodilatasi yang lebih baik. Dosis
anjuran 0, 1 cc/kgBB, nebulisasi tiap 4 jam. (Supriatno, 2008).
Obat ini dapat juga diberikan dalam larutan 0,025 % dengan dosis : untuk
usia diatas 6 tahun 8 – 20 tetes; usia kecil 6 tahun 4 – 10 tetes. Efek sampingnya
adalah kekeringan atau rasa tidak enak dimulut. Antikolinergik inhalasi tidak
direkomendasikan pada terapi asma jangka panjang pada anak. (Supriatno, 2008).
16
3. Kortikosteroid
Kortikosteroid sistemik terutama diberikan pada keadaan (Supriatno, 2008) :
Terapi inisial inhalasi β2 agonist kerja cepat gagal mencapai perbaikan
yang cukup lama.
Serangan asma tetap terjadi meski pasien telah menggunakan
kortikosteroid hirupan sebagai kontroler.
Serangan ringan yang mempunyai riwayat serangan berat sebelumnya.
Kortikosteroid sistemik memerlukan waktu paling sedikit 4 jam untuk
mencapai perbaikan klinis, efek maksimum dicapai dalan waktu 12 – 24 jam.
Preparat oral yang di pakai adalah prednisone, prednisolon, atau triamsinolon
dengan dosis 1 – 2 mg/kgBB/hari diberikan 2 – 3 kali sehari selama 3 – 5 kali
sehari. ( Supriyatno, 2008 )
Kortikosteroid tidak secara langsung berefek sebagai bronkodilator. Obat ini
bekerja sekaligus menghambat produksi sitokin dan kemokin, menghambat
sintesis eikosainoid, menghambat peningkatan basofil, eosinofil dan leukosit lain
di jaringan paru dan menurunkan permeabilitas vascular. (Suherman, 2008)
Metilprednisolon merupakan pilihan utama karena kemampuan penetrasi
kejaringan paru lebih baik, efek anti inflamasi lebih besar, dan efek
mineralokortikoid minimal. Dosis metilprednisolon IV yang dianjurkan adalah 1
mg/kgBB setiap 4 sampai 6 jam. Dosis Hidrokortison IV 4 mg/kgBB tiap 4 – 6
jam. Dosis dexamethasone bolus IV 0,5 – 1 mg/kgBB dilanjtkan 1 mg/kgBB/hari
setiap 6 – 8 jam. ( Supriyatno, 2008 )
Obat – obat Pengontrol
Obat – obat asma pengontrol pada anak – anak termasuk inhalasi dan sistemik
glukokortikoid, leukotrien modifiers, long acting inhaled β2-agonist, theofilin,
cromones, dan long acting oral β2-agonist. (Rahajoe,2008)
1. Inhalasi glukokortikosteroid
Glukokortikosteroid inhalasi merupakan obat pengontrol yang paling
efektif dan direkomendasikan untuk penderita asma semua umur. Terapi
17
pemeliharaan dengan inhalasi glukokortikosteroid ini mampu mengontrol gejala-
gejala asma, mengurangi frekuensi dari eksaserbasi akut dan jumlah rawatan di
rumah sakit, meningkatkan kualitas hidup, fungsi paru dan hiperresponsif
bronkial, dan mengurangi bronkokonstriksi yang diinduksi latihan.
Dosis yang dapat digunakan sampai 400ug/hari (respire anak). Efek
samping berupa gangguan pertumbuhan, katarak, gangguan sistem saraf pusat,
dan gangguan pada gigi dan mulut.
2. Long acting β2 Agonist (LABA)
Preparat inhalasi yang digunakan adalah salmeterol dan formoterol.
Pemberian ICS 400ug dengan tambahan LABA lebih baik dilihat dari frekuensi
serangan, FEV1 pagi dan sore, penggunaan steroid oral,, menurunnya
hiperreaktivitas dan airway remodeling. Kombinasi ICS dan LABA sudah ada
dalam 1 paket, yaitu kombinasi fluticasone propionate dan salmeterol (Seretide),
budesonide dan formoterol (Symbicort). Seretide dalam MDI sedangkan
Symbicort dalam DPI. Kombinasi ini mempermudah penggunaan obat dan
meningkatkan kepatuhan memakai obat.
3. Teofilin lepas lambat
Teofilin efektif sebagai monoterapi atau diberikan bersama kortikosteroid
yang bertujuan untuk mengontrol asma dan mengurangi dosis pemeliharaan
glukokortikosteroid. Tapi efikasi teofilin lebih rendah daripada
glukokortikosteroid inhalasi dosis rendah.
Efek samping berupa anoreksia, mual, muntah, dan sakit kepala, stimulasi
ringan SSP, palpitasi, takikardi, aritmia, sakit perut, diare, dan jarang, perdarahan
lambung. Efek samping muncul pada dosis lebih dari 10mg/kgBB/hari, oleh
karena itu terapi dimulai pada dosis inisial 5mg/kgBB/hari dan secara bertahap
diingkatkan sampai 10mg/kgBB/hari.
Terapi Suportif ( Supriyatno, 2009 )
a. Terapi oksigen
18
Oksigen diberikan pada serangan sedang dan berat melalui kanula
hidung, masker atau headbox. Perlu dilakukan pemantauan saturasi oksigen,
sebaiknya diukur dengan pulse oxymetry (nilai normal > 95%).
b. Campuran Helium dan oksigen
Inhalasi Helioks (80% helium dan 20% oksigen) selama 15 menit
sebagai tambahan pemberian oksigen (dengan kanula hidung), bersama
dengan nebulisasi salbutamol dan metilprednisolon IV, secara bermakna
menurunkan pulsus paradoksus, meningkatkan peakflow dan mengurangi
sesak. Campuran helium dan oksigen dapat memperbaiki oksigenasi karena
helium bersifat ringan sehingga dapat mengubah aliran turbulen menjadi
laminar dan menyebabkan oksigen lebih mudah mencapai alveoli.
c. Terapi cairan
Dehidrasi dapat terjadi pada serangan asma berat karena kurang
adekuatnya asupan cairan, peningkatan insensible water loss, takipnea serta
efek diuretic teofilin. Pemberian cairan harus hati-hati kareana pada asma
berat terjadi peningkatan sekresi Antidiuretik Hormone (ADH) yan
memudahkan terjadinya retensi cairan dan tekanan pleura negatif tinggi pada
puncak inspirasi yang memudahkan terjadinya edema paru. Jumlah cairan
yang diberikan adalah 1-1,5 kali kebutuhan rumatan.
2.9. PROGNOSIS.
Mortalitas akibat asma sedikit nilainya. Gambaran yang paling akhir
menunjukkan kurang dari 5000 kematian setiap tahun dari populasi berisiko yang
berjumlah kira-kira 10 juta. Namun, angka kematian cenderung meningkat di
pinggiran kota dengan fasilitas kesehatan terbatas.
Informasi mengenai perjalanan klinis asma mengatakan bahwa prognosis
baik ditemukan pada 50 sampai 80 persen pasien, khususnya pasien yang
penyakitnya ringan timbul pada masa kanak-kanak. Jumlah anak yang menderita
19
asma 7 sampai 10 tahun setelah diagnosis pertama bervariasi dari 26 sampai 78
persen, dengan nilai rata-rata 46 persen; akan tetapi persentase anak yang
menderita penyakit yang berat relative rendah (6 sampai 19 persen).
(Mc.Graw,2000)
BAB III
PENUTUP
20
3.1 Kesimpulan
Asma merupakan penyakit yang cukup banyak dijumpai di seluruh dunia.
Asma didefenisikan sebagai wheezing dan/atau batuk dengan karakteristik sebagai
berikut : timbul secara episodik dan/atau kronis, cenderung pada malam hari
(nocturnal), musiman, adanya faktor pencetus diantaranya aktifitas fisik, dan
bersifat reversible baik secara spontan maupun dengan pengobatan, serta adanya
riwayat asma atau atopi pada pasien/keluarganya, sedangkan sebab-sebab lain
sudah disingkirkan. Asma dapat diklasifikasikan berdasarkan derajat serangan dan
berat penyakit sebelum dan saat terapi. Serangan asma yang tidak terkontrol dapat
menyebabkan terjadinya apnea. Oleh karena itu, penatalaksanaan serangan asma
tergantung kepada derajat serangannya. Serangan asma ditanggulangi dengan
pemberian bronkodilator, baik secara oral, parenteral, maupun inhalasi.
Tujuan pengobatan asma mencapai asma terkontrol. Langkah pertama
pengobatan asma adalah menghindari faktor pencetus. Terapi steroid inhalasi obat
pilihan untuk mengontrol asma
Tatalaksana asma diluar serangan dapat dilakukan dengan menghindari
faktor pencetus asma serta penggunaan obat pengendali (controller). Diharapkan
dengan dilakukannya tatalaksana asma jangka panjang dapat mengurangi
terjadinya serangan asma, sehingga dapat meningkatkan quality of life dari
penderita asma.
3.2 Saran
1. Perlunya pemahaman mengenai gejala klinis dan kriteria diagnosis agar
tidak terjadi kesalahan dalam penegakan diagnosis sehingga penangannya
menjadi lebih tepat dan adekuat.
2. Perlunya pemahaman mengenai penatalaksanaan asma pada saat serangan
dan tidak serangan sehingga dapat meningkatkan quality of life pasien.
3. Perlunya informasi mengenai asma kepada masyarakat
DAFTAR PUSTAKA
21
1. Direktorat Jenderal PPM & PLP, Departemen Kesehatan Republik
Indonesia. Pedoman Pengendalian Penyakit Asma. Departemen Kesehatan
RI ;2009; 5-11.
2. Kartasasmita CB. Epidemiologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.71-83.
3. Nataprawira HMD. Diagnosis Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.105-18.
4. Nelson Textbook of Pediatrics : Childhood Asthma. Elsevier Science
(USA);2003.
5. Supriyatno B, Wahyudin B. Patogenesis dan Patofisiologi Asma Anak.
dalam: Rahajoe NN, Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar
Respirologi Anak. edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008.
h.85-96.
6. S Makmuri M. Patofisologi Asma Anak. dalam: Rahajoe NN, Supriyatno
B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak. edisi pertama.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.98-104.
7. Rahajoe N. Deteksi dan Penanganan Jangka Asma Anak. dalam :
Manajemen Kasus Respiratorik Anak Dalam Praktek Sehari-hari. Edisi
pertama. Jakarta : Yapnas Suddharprana; 2007.h. 97-106.
8. O’Byrne P, Bateman ED, Bousquet J, Clark T, Paggario P, Ohta K, dkk.
Global Initiative For Asthma. Medical Communications Resources, Inc ;
2006.
9. Rahajoe N, Supriyatno B, Setyanto DB. Pedoman Nasional Asma Anak.
Jakarta: UKK Pulmonologi PP IDAI; 2009.
10. Eric D. Bateman et al. Global Stategry for Management and Asthma
Prevention.Global Initiative for Asthma.University of Cape
Town.Australia.2010
22
11. Pusponegoro HD, Hadinegoto SRS, Firmanda D, Pujiadi AH,Kosem MS,
Rusmil K, dkk, penyunting. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak.
Jakarta : Badan Penerbit IDAI; 2005.
12. Supriyatno B, S Makmuri M. Serangan Asma Akut. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.120-32.
13. Rahajoe N. Tatalaksana Jangka Panjang Asma Anak. dalam: Rahajoe NN,
Supriyatno B, Setyanto DB, penyunting. Buku Ajar Respirologi Anak.
edisi pertama. Jakarta : Badan Penerbit IDAI ; 2008. h.134-46.
14. Suherman SK. Ascobat P. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid,
Analog Sintetik dan Antagonisnya. dalam: Gunawan SG, penyunting.
Farmakologi dan Terapi. Edisi 5. Jakarta: Balai Penerbit FKUI. 2008. h.
496-500.
15. Mangunnegoro H et al,Pedoman Diagnosa dan Penatalaksanaan Asma di
Indonesia. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.2004.Jakarta
23