singapura

Upload: tondy

Post on 06-Jan-2016

5 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

mengenai Sistem Hukum Singapura

TRANSCRIPT

SingapuraSistem Peradilan di suatu negara masing-masing dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut oleh negara tersebut. Seperti halnya sistem hukum Civil Law (Civil Code) yang terkodifikasi, Sistem ini berasal dari hukum Romawi yang dipraktekkan oleh negara-negara Eropa Kontinental, termasuk bekas jajahannya. Sedangkan Common Law, hukum yang berdasarkan custom. kebiasaaan berdasarkan preseden atau judge made law, sistem hukum ini dipraktekkan di negara-negara Anglo Saxon, seprti Inggris dan Amerika Serikat Tahun1993 Penghapusan semua upaya banding ke Dewan Penasehat (Privy Council) (pada 1989, upaya-upaya banding ke Privy Council dilarang keras). Suatu Pengadilan Banding (Court of Appeal) yang permanen, dipimpin oleh Hakim Kepala (Chief Justice) dan dua Hakim Banding (Justices of Appeal), ditetapkan sebagai pengadilan tertinggi Singapura. Pada bulan November 1993, Undang-undang tentang Penerapan Hukum Inggris (The Application of English Law Act; Cap 7A, 1994 Rev Ed) diberlakukan dan menentukan sejauh mana hukum Inggris dapat diterapkan di Singapura. Tanggal11 Juli 1994 Suatu Pernyataan Praktek tentang Preseden Yudicial mengenai (The Practice Statement on Judicial Precedent) yang penting menyatakan bahwa keputusan-keputusan pengadilan Singapura terdahulu, yaitu Dewan Penasehat (Privy Council), demikian juga keputusan-keputusan Pengadilan Banding (Court of Appeal) yang dikeluarkan sebelumnya tidak lagi mengikat Pengadilan Banding permanen. The Practice Statement memberikan alasan bahwa pembangunan hukum kita harus menunjukkan perubahan-perubahan ini bahwa Keadaan politik, sosial dan ekonomi telah mengalami perubahan sangat besar sejak kemerdekaan Singapura serta menunjukkan nilai-nilai fundamental masyarakat Singapura. Kepercayaan diri yang meningkat dalam pertumbuhan kedewasaan, kedudukan sistem hukum Singapura di dunia internasional, serta kekhawatiran bahwa hubungan Inggris yang meningkat dengan Uni Eropa akan mengakibatkan hukum Inggris menjadi tidak cocok lagi dengan perkembangan dan aspirasi dalam Negeri Singapura, telah memberikan dorongan untuk upaya-upaya pembentukan hukum sendiri. Sebelum diundangkannya Undang-undang tentang Penerapan Hukum Inggris (The Application of English Law Act; Cap 7A, 1994 Rev Ed), Piagam Keadilan Kedua (The Second Charter of Justice) menetapkan dasar hukum bagi penerimaan secara umum prinsip-prinsip dan aturan-aturan hukum Inggris (common law and equity) dan undang-undang Inggris setelah tahun 1826 di Singapura, dengan syarat harus memperhatikan kecocokan dan modifikasi sesuai kebutuhan dalam negeri. Namun, kesulitannya adalah tidak seorang pun yang tahu dengan pasti yang manakah dari undang-undang Inggris tersebut yang diterapkan di sini (bahkan undang-undang yang di Inggris telah dicabut).Permasalahan ini menunjukkan dengan jelas penerimaan hukum Inggris secara spesifik berdasarkan Section 5 (sekarang sudah dicabut) dari Undang-undang tentang Hukum Perdata (The Civil Law Act; Cap 43, 1988 Rev Ed) yang menetapkan bahwa jika ada suatu pertanyaan atau masalah yang timbul di Singapura mengenai kategori hukum tertentu atau tentang hukum yang menyangkut perdagangan secara umum, maka hukum yang diterapkan dalam hal ini adalah hukum yang sama yang diterapkan di Inggris pada kurun waktu yang sama pula, kecuali jika terdapat ketentuan lain berdasarkan suatu hukum yang berlaku di Singapura. Sampai dengan dicabut pada tahun 1993, hal ini merupakan ketentuan penerimaan yang penting dalam kitab-kitab undang-undang Singapura. Pencabutannya juga telah menghapus banyak ketidakpastian dan keadaan-keadaan yang tidak memuaskan yang timbul dari suatu negara berdaulat, yang hingga kini sangat bergantung pada hukum dari bekas negara penjajahnya.Undang-undang tentang Penerapan Hukum Inggris (The Application of the English Law Act) menetapkan bahwa Common Law Inggris (termasuk prinsip-prinsip dan aturan-aturan tentang keadilan), sepanjang masih menjadi bagian dari hukum Singapura sebelum 12 November 1993, akan tetap menjadi bagian dari hukum Singapura. Section 3 dari Undang-undang tersebut menetapkan bahwa bagaimanapun common law akan tetap berlaku di Singapura sepanjang hal tersebut dapat diterapkan pada keadaan-keadaan di Singapura dan harus dimodifikasi jika keadaan khusus di Singapura mengharuskannya.Section 4, dibaca bersamaan dengan The First Schedule, menentukan pengundangan peraturan-peraturan Inggris (baik seluruhnya maupun sebagian), dengan modifikasi yang diperlukan, yang diberlakukan atau terus diberlakukan di Singapura. Section 7 menetapkan berbagai perubahan pada undang-undang dalam negeri, dengan memasukkan peraturan hukum Inggris yang relevan. Common Law digaris bawahi (penting) dari bentuk dasar politik hukum Singapura. Singapura telah mewarisi tradisi Common Law Inggris dan karenanya telah menikmati manfaat-manfaat kestabilan, kepastian dan internasionalisasi yang inheren dalam sistem Inggris (khususnya dalam bidang komersial atau perdagangan). Singapura memiliki akar Common Law sebagai sistem hukum yang berasal dari negara Inggris yang sama dengan yang dimiliki negara-negara tetangganya (seperti India, Malaysia, Brunei dan Myanmar), walaupun detil penerapan dan pelaksanaan dari masing-masing negara berbeda sesuai dengan kebutuhan dan kebijakan setiap negara.Pada intinya, sistem hukum Common Law Singapura dicirikan dari doktrin Preseden Yudisial (atau stare decisis). Berdasarkan doktrin ini, hukum itu dibangun dan dikembangkan terus oleh para hakim melalui aplikasi prinsip-prinsip hukum pada fakta-fakta dari kasus-kasus tertentu. Dalam hal ini, para hakim hanya diwajibkan untuk menerapkan ratio decidendi (atau alasan yang mempengaruhi diambilnya suatu keputusan) dari pengadilan yang tingkatnya lebih tinggi dalam hirarki yang sama. Jadi, di Singapura, ratio decidendi yang terdapat dalam keputusan-keputusan Pengadilan Banding Singapura (Singapore Court of Appeal) secara ketat mengikat Pengadilan Tinggi Singapura (Singapore High Court), Pengadilan Negeri (District Court) dan Pengadilan Magistrat (Magistrates Court). Di lain pihak, keputusan-keputusan pengadilan Inggris dan negara-negara Persemakmuran lainnya tidak secara ketat mengikat Singapura. Pernyataan-pernyataan yudisial lainnya (obiter dicta) yang dibuat dalam keputusan pengadilan yang lebih tinggi tingkatannya, yang tidak secara langsung mempengaruhi hasil akhir suatu kasus, dapat diabaikan oleh pengadilan yang lebih rendah tingkatannya. Penerapan Alternatif Penyelesaian Sengketa (Alternative Dispute Resolution-ADR) sedang tumbuh berkembang dengan pesat dari segi urgensinya di Singapura, sebagai cara penyelesaian sengketa berbagai masalah mulai dari konflik-konflik dalam negeri dan sosial hingga sengketa-sengketa hukum lintas batas negara berskala besar. ADR, dengan negosiasi/negotiation, mediasi/mediation dan arbitrase/arbitration sebagai cara-cara utama yang dipraktekkan di Singapura, telah dipromosikan secara luas sebagai cara yang efektif, efisien dan ekonomis untuk menyelesaikan sengketa berspektrum luas dalam berbagai jenis keadaan atau setting. ADR secara tentatif telah dimulai pada tahun 1980-an pada saat Pemerintah telah melihat kemungkinan Singapura menjadi pusat penyelesaian sengketa yang penting, sehingga mengambil manfaat posisi geografisnya serta mewujudkan cita-cita membangun Singapura menjadi pusat bisnis satu titik (one-stop business centre) secara total. Tujuan nyata lainnya adalah untuk mencegah agar Singapura tidak menjadi masyarakat yang terlalu cepat atau terlalu mudah menggugat ke pengadilan. Mediasi terpilih sebagai cara yang sesuai dengan tradisi dan budaya Asia Singapura. Bersamaan dengan misi Singapura untuk menjadi pusat bisnis secara total, upaya-upaya besar pun telah dilakukan agar Singapura dapat menjadi pusat penyelesaian sengketa yang penting (seperti halnya London, New York dan Paris). Pemerintah Singapura merupakan promotor kuat ADR dan telah menyiapkan kerangka kerja substantif dan infrastruktural untuk mendukung upaya-upaya tadi. Badan Yudikatif pun secara mantap berdiri di belakang inisiatif-inisiatif ADR dalam menyelesaikan sengketa-sengketa dan Aturan-aturan Pengadilan (Rules of Court, Cap 322, Rule 5, 1999 Rev Ed) yang dikeluarkannya telah memberikan kesempatan yang cukup bagi penerapan ADR dalam kerangka litigasi. Berbagai cara ADR dapat tetap diandalkan meskipun proses persidangan litigasi telah dimulai. Misalnya, para penggugat atau kuasa hukumnya dapat mengajukan perkara ke pengadilan untuk masalah yang akan dirujuk ke mediasi atau secara langsung mengajukannya ke Pusat Mediasi Singapura/Singapore Mediation Centre.Pada tahun 1986, Singapura telah meratifikasi Konvensi New York 1958 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Arbitrase Asing (the 1958 New York Convention on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards). Berdasarkan Konvensi ini, setiap Negara anggota diharuskan mengakui dan melaksanakan keputusan-keputusan arbitrase yang dikeluarkan di Negara anggota lainnya. Keputusan Arbitrase yang dikeluarkan di Singapura dapat diberlakukan di 120 negara/yurisdiksi. Undang-undang tentang Arbitrase Internasional (International Arbitration Act, Cap 143A, 2002 Rev Ed), yang memasukkan Komisi PBB tentang Hukum Perdagangan Internasional sebagai Model Hukum tentang Arbitrase Niaga Internasional (the United Nations Commission on International Trade Law-UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration), telah memberlakukan Konvensi tersebut. Pada tahun 1991, didirikanlah Pusat Arbitrase Internasional Singapura (Singapore International Arbitration Centre SIAC). Diikuti kemudian dengan pembentukan Pusat Mediasi Singapura (Singapore Mediation Centre (SMC) pada tahun 1997. Mediasi sengketa perdata pertama kali diperkenalkan di Subordinate Courts melalui Pusat Mediasi Pengadilan (Court Mediation Centre) pada tahun 1994. Sejak itu, mediasi secara rutin dilaksanakan di Tribunal Gugatan Kecil (Small Claims Triubunals)), Pengadilan Keluarga (Family Courts), Pengadilan Anak-anak (Juvenile Courts) (), dan Kementerian Pembinaan Masyarakat, Pemuda dan Olah Raga dari Tribunal Orangtua (Ministry of Community, Youth and Sports Maintenance of Parents Tribunal, Cap 167B).Sebagai bagian dari upaya nasional untuk membina budaya penggunaan mediasi, Undang-undang tentang Pusat Mediasi Masyarakat (Community Mediation Centres - CMCs, Cap 49A, 1998 Rev Ed) telah diundangkan pada tahun 1997 untuk memimpin/menjadi percontohan upaya-upaya mediasi masyarakat, yang dipandang sebagai cara yang efektif untuk menyelesaikan sengketa-sengketa hubungan (relational disputes) di lapangan, khususnya dalam bidang multi-rasial dan multi-agama Singapura. Sekarang ini terdapat 4 CMCs regional dan 7 tempat mediasi satelit (satellite mediation venues). Penekanannya adalah untuk mengembangkan suatu model mediasi Asia dengan mengindahkan peranan para pemimpin tradisional/adat dari berbagai ras yang sangat berpengaruh dan sudah menjadi kebiasaan, seperti penghulu (kepala kampung Melayu), panchayat (dewan masyarakat India) dan pemimpin klan dari asosiasi klan-klan Cina, dalam menengahi mediasi para pihak yang bersengketa dalam komunitasnya masing-masing.Dalam persaudaraan hukum Singapura, di bawah pimpinan Badan Yudikatif, upaya-upaya dilaksanakan untuk mendorong penerimaan ADR di kalangan para lawyer dan para kliennya, sebagai suatu cara penyelesaian sengketa yang lebih memuaskan, lebih cepat dan lebih murah. Pada bulan April 2003, Hakim Judith Prakash telah diangkat oleh Hakim Kepala Chief Justice untuk memimpin semua masalah arbitrase yang diajukan ke hadapan Pengadilan Tinggi (High Court). Hal ini merupakan bagian dari tujuan Badan Yudikatif untuk memastikan Bahwa Para Hakim yang memenuhi syarat keahlian dan pengalaman akan memimpin penanganan kasus-kasus dalam bidang-bidang hukum dan praktek perdagangan yang dikhususkan.Pengadilan yang lebih rendah tingkatannya, dalam beberapa kasus, dapat menghindarkan diri dari keharusan menerapkan ratio decidendi dari keputusan pengadilan yang lebih tinggi yang dikeluarkan sebelumnya, jika (a) pengadilan tersebut dapat membedakan secara material fakta-fakta kasus yang dibawa ke hadapannya dengan fakta-fakta dari keputusan yang sebelumnya pernah diambil oleh pengadilan yang lebih tinggi; atau (b) keputusan pengadilan yang lebih tinggi tersebut memang dibuat secara per incuriam (yaitu, tanpa menghiraukan doktrin stare dicisis).Pengaruh besar dari hukum Common Law Inggris pada perkembangan hukum Singapura secara umum lebih terbukti dari beberapa bidang Common Law tradisional (seperti Perjanjian atau Contract, Perbuatan Melawan Hukum atau Tort dan Restitusi atau Restitution, daripada bidang-bidang lain yang didasarkan pada undang-undang seperti Hukum Pidana (Criminal Law), Hukum Perusahaan (Company Law) dan Hukum Pembuktian (Law of Evidence). Mengenai bidang-bidang yang didasarkan pada undang-undang ini, negara-negara lain seperti India dan Australia telah amat mempengaruhi dari segi pendekatan dan isi dari beberapa undang-undang Singapura tersebut.Namun, akhir-akhir ini tendensi pengadilan di Singapura yang dahulu selalu mengindahkan keputusan-keputusan Inggris telah secara signifikan mulai beralih menuju ditinggalkannya pengadilan-pengadilan Inggris tersebut (bahkan untuk bidang-bidang tradisional common law).Bahkan saat ini terdapat pengakuan yang lebih besar pada yurisprudensi lokal di dalam perkembangan common law di Singapura.Dua contoh yang terjadi baru-baru ini, akan memberikan gambaran yang cukup jelas tentang hasrat Singapura mengembangkan sistem dan badan hukum sendiri. Dalam bidang perbuatan melawan hukum (torts), pengadilan-pengadilan Singapura telah secara sadar menyimpang dari exclusionary rule dalam kasus Inggris Murphy vs Pengadilan Negeri Brentford (1991) sehingga memungkinkan pemulihan kerugian secara ekonomi yang timbul dari tindakan kelalaian (negligent acts) atau kegagalan melakukan sesuatu (omissions) berdasarkan kasus Anns vs Merton (1978). Dalam kasus yang baru-baru ini terjadi, dalam bidang hukum perjanjian, yaitu kasus Chwee Kin Keong v Digilandmall.com Pte .Ltd (2005) di Pengadilan Banding Singapura (Singapore Court of Appeal), pengadilan tersebut telah memilih untuk tidak mengadopsi pendapat dalam putusan Pengadilan Banding Inggris (the English Court of Appeal) dalam kasus Great Peace Shipping Ltd v Tsavliris Salvage (International) .Ltd (2002) mengenai yurisdiksi yang adil (equity jurisdiction) dalam hal terjadi kesalahan unilateral. Kebutuhan untuk memiliki sistem hukum sendiri ini secara lebih jauh telah didorong oleh adanya perkembangan-perkembangan hukum Uni Eropa dan dampaknya bagi sistem Inggris.Sistem common law di Singapura mengandung perbedaan yang material dengan sistem hukum di beberapa negara Asia lainnya yang telah dipengaruhi oleh tradisi sistem civil law (seperti RRC, Vietnam dan Thailand) atau negara-negara yang sistem hukumnya merupakan campuran dari sistem civil law dan common law (Indonesia). Pertama-tama, sistem civil law tidak terlalu mengandalkan diri pada putusan pengadilan yang telah ada sebelumnya dan tidak tunduk pada doktrin stare decisis, tidak seperti halnya sistem common law, pengadilan-pengadilan common law seperti di Singapura pada umumnya mengambil pendekatan yang berlawanan (adversarial approach) di dalam proses litigasi antara para pihak yang bersengketa sedangkan hakim dari sistem civil law bertendensi untuk mengambil peran yang lebih aktif di dalam penemuan bukti dalam memutuskan perkara yang dihadapinya. Ketiga, di dalam sistem common law, banyak prinsip-prinsip hukum yang telah dikembangkan oleh para hakim sedangkan hakim dalam sistem civil law lebih mengandalkan diri pada kitab undang-undang yang umum dan lengkap yang mengatur berbagai bidang hukum. Akan tetapi, perbedaan antara sistem hukum common law dan civil law sekarang menjadi lebih tidak kentara dibandingkan dengan masa yang lampau. Yurisdiksi common law, misalnya, telah mulai membuat peraturan-peraturan untuk mengisi kesenjangan yang terjadi di dalam sistem common law. Dalam hal ini, Singapura baru-baru ini telah mengundangkan berbagai undang-undang untuk mengatur berbagai bidang hukum tertentu (misalnya Contract (Rights of Third Parties) Act 2001 (Cap 53B, 2002 Rev Ed), Competition Act 2004 (No 46 of 2004) dan Consumer Protection (Fair Trading) Act) (Cap 52A, 2004 Rev Ed).Menurut sejarah, di Inggris, prinsip Equity (atau raga dari prinsip-prinsip keadilan (fairness or justice) telah diterapkan oleh pengadilan-pengadilan untuk memperbaiki cacat atau kelemahan yang inheren dalam sistem common law yang kaku. Pada masa yang lalu di Inggris, pengadilan-pengadilan Chancery (Chancery Courts) menjalankan Equity secara terpisah dari pengadilan-pengadilan common law. Namun, demarkasi sejarah tersebut tidaklah penting bagi Singapura di masa kini.Menurut Undang-undang Hukum Perdata Singapura (Singapore Civil Law Act, Cap 43, 1999 Rev Ed), pengadilan-pengadilan Singapura diberi wewenang untuk menjalankan common law dan equity secara bersamaan. Dampak praktisnya adalah penggugat dapat mencari upaya-upaya hukum secara Common Law mengenai Ganti rugi (Damages) dan secara equity (termasuk Putusan Sela (Injunctions) dan Pelaksanaan Janji Tertentu (Specific Performance) dalam persidangan yang sama dan di hadapan pengadilan yang sama pula. Meskipun telah ada penghapusan pemisahan Common Law-Equity, prinsip Equity telah memegang peran yang bersifat menentukan, dalam perkembangan doktrin-doktrin tertentu dalam hukum perjanjian, termasuk doktrin Undue Influence dan Promissory Estoppel.Tanpa adanya publikasi secara reguler tentang preseden-preseden yudisial yang dapat diakses oleh para hakim dan penasehat hukum, maka common law Singapura tidak akan berkembang sepesat dan seekstensif sekarang. Laporan-laporan Hukum Singapura (Singapore Law Reports) merupakan publikasi utama/penting bagi putusan-putusan pengadilan Singapura sejak 1992. Sebelumnya, Malayan Law Journal merupakan sumber publikasi kasus-kasus lokal sejak 1932. Buku-buku hukum dan artikel-artikel jurnal mengenai bidang-bidang yang penting juga telah memberikan sumbangan bagi common law Singapura yang sedang tumbuh.Hakim di Singapura adalah Arbiter baik dari segi hukum maupun fakta. Sistem juri/jury system telah secara keras dibatasi di Singapura dan akhirnya dihapuskan sepenuhnya pada tahun 1970. Wewenang yudisial diberikan kepada Mahkamah Agung/Supreme Court (yang terdiri dari Pengadilan Banding Singapura (Singapore Court of Appeal) dan Pengadilan Tinggi (High Court) dan kepada Pengadilan-pengadilan Yang Lebih Rendah/Subordinate Courts.Pengadilan tertinggi di Singapura adalah Pengadilan Banding permanen Court of Appeal, yang menangani kasus-kasus banding baik perdata maupun pidana, yang berasal dari Pengadilan Tinggi (High Court)dan Pengadilan-pengadilan Yang Lebih Rendah (Subordinate Courts). Sebagai tonggak sejarah hukum yang penting di Singapura, pada tahun 1994, pengajuan-pengajuan banding ke Privy Council di Inggris dihapuskan. Pada tanggal 11 Juli 1994, suatu Pernyataan tentang Preseden Yudisial (Practice Statement on Judicial Precedent) yang dikeluarkan oleh Mahkamah Agung Singapura memberikan penjelasan bahwa Pengadilan Banding Singapura (Singapore Court of Appeal) tidak terikat pada keputusan-keputusannya sendiri maupun pada keputusan-keputusan terdahulu Privy Council. Namun, Pengadilan Banding Singapura (Singapore Court of Appeal) akan tetap menganggap keputusan-keputusan tersebut mengikat secara normal, meskipun pengadilan tersebut dapat menyimpang dari preseden terdahulu jika dianggap benar untuk melakukannya.Para Hakim Pengadilan Tinggi/High Court Judges menikmati jaminan masa tugas untuk jangka waktu tertentu, sementara para Komisaris Yudisial (Judicial Commissioners) diangkat berdasarkan kontrak jangka pendek. Namun demikian, keduanya mempunyai wewenang yudisial dan imunitas yang sama. Wewenang yudisial mereka meliputi yurisdiksi tingkat awal (original) maupun tingkat banding (appellate) baik untuk perkara perdata maupun pidana. Pengangkatan para Hakim Pengadilan Tinggi baru-baru ini, yang khusus untuk menangani perkara arbitrase di Pengadilan Tinggi, telah menambah 2 jenis pengadilan khusus yang telah ada, yaitu: Pengadilan Maritim (Admiralty Court) dan Pengadilan Hak Milik Intelektual (Intellectual Property Court). Tribunal Konstitusional (Constitutional Tribunal) khusus juga telah dibentuk yang berada di bawah yurisdiksi Mahkamah Agung (Supreme Court), untuk menangani pertanyaan-pertanyaan yang berdampak pada ketentuan-ketentuan konstitusional yang diserahkan oleh Presiden Terpilih.Pengadilan-pengadilan Yang Lebih Rendah (Subordinate Courts) yang terdiri dari Pengadilan Negeri (District Courts), Pengadilan Magistrat (Magistrates Courts), Pengadilan Anak-anak (Juvenile Courts), Coroners Courts serta Tribunal Gugatan Kecil (Small Claims Tribunals) juga telah dibentuk dalam hirarki yudisial Singapura untuk melaksanakan keadilan dalam masyarakat. Dengan adanya peningkatan kecanggihan dalam dunia transaksi bisnis dan hukum, baru-baru ini telah dibentuk Pengadilan Negeri Urusan Niaga Perdata dan Pidana Commercial Civil and Criminal District Courts dalam Subordinate Courts, untuk menangani kasus-kasus yang lebih kompleks. Pengadilan Negeri (District Courts) dan Pengadilan Magistrat (Magistrates Courts) mempunyai wewenang yang sama dalam penanganan masalah-masalah tertentu seperti gugatan-gugatan yang mengandung unsur kontraktual dan perbuatan melawan hukum atas utang, tagihan atau kerugian dan tindakan-tindakan untuk pengembalian uang. Namun, yurisdiksi mereka dibatasi oleh besarnya nilai perkara, yaitu untuk kasus-kasus perdata senilai $ 60.000 Dolar Singapura untuk Pengadilan Magistrat dan $ 250.000 Dolar Singapura untuk Pengadilan Negeri. Pengadilan-pengadilan itu juga mempunyai perbedaan dari segi wewenang menghukum secara pidana. Batasan masa kurungan yang ditetapkan Pengadilan Magistrat adalah 2 tahun, sedangkan batasan masa kurungan yang ditetapkan Pengadilan Negeri adalah 7 tahun.Di lain pihak, Tribunal untuk Gugatan Kecil (Small Claims Tribunals), dapat menangani kasus secara lebih cepat, hemat dan dengan proses yang tidak terlalu formal untuk memutuskan kasus-kasus gugatan kecil dengan batasan sebesar $20.000 Dolar Singapura (asalkan para pihak yang bersengketa sama-sama menyetujui secara tertulis). Di samping pengadilan-pengadilan yang disebutkan di atas, Pengadilan Keluarga (Family Courts) menangani masalah-masalah perceraian, pemeliharaan, perwalian dan adopsi. Badan Yudikatif juga telah mengambil langkah-langkah penting dalam memanfaatkan teknologi informasi di pengadilan, yang telah meningkatkan tingkat efisiensi, setidaknya untuk sebagian hal. Pengadilan Berteknologi, misalnya, telah didirikan untuk memungkinkan adanya information sharing di antara para pengacara dan hakim dan pengajuan bukti-bukti oleh para saksi melalui konferensi video. Upaya-upaya hukum yang melibatkan suatu perusahaan atau seseorang individu dapat dimonitor melalui suatu fasilitas yang disebut Casewatch. Sistem Pengarsipan Elektronik (Electronic Filing System (EFS)), suatu proyek gabungan antara Badan Yudikatif, Singapore Network Services and Singapore Academy of Law, untuk memungkinkan pengarsipan, ekstraksi dan penyampaian dokumen-dokumen pengadilan serta pelacakan kasus secara elektronik, sekarang juga telah mencapai tahap penyempurnaan kembali untuk meningkatkan pelayanan pada para pemakai jasa. Berbagai inovasi teknologi informasi telah pula dimanfaatkan untuk memfasilitasi dan menyederhanakan berbagai proses pidana, yaitu pendaftaran dan pengelolaan kasus-kasus pidana (SCRIMS), pemrosesan biaya-biaya lalu lintas antara Polisi dan Pengadilan (TICKS 2000) dan pembayaran denda-denda pelanggaran lalu lintas yang kecil (ATOMS).