sistem pemerintahan tanah toraja

19
Kembalinya Sistem Pemerintahan Lembang Di Kabupaten Tana Toraja (Kasus Desa Nanggala dan Desa Kurra) Anton Nomba, M. Imran Amin, dan Azis Paturungi I. Pendahuluan Kabupaten Tana Toraja terkenal dengan kelompok masyarakatnya yang masih memegang dan mempertahankan budaya nenek moyang mereka walaupun ada juga yang sudah mereka tinggalkan. Penurunan nilai ini mulai dirasakan semenjak pemerintah mengeluarkan undang-undang pemberlakuan pemerintahan desa nomor 5 tahun 1979 yang tidak lagi mengakui eksistensi dari tokoh-tokoh adat dengan segala hukum dan aturannya.menurut fungsi-fungsi ketua adat dan ketua Lembang (pemerintahan wilayah adat) digantikan dengan posisi kepala desa yang bertanggung jawab kepada kecamatan dan tidak lagi kepada masyarakatnya. Pemerintahan masyarakat adat dan hukum adat bukan sekedar institusi pemerintahan, akan tetapi merupakan institusi politik, institusi pendidikan, institusi ekonomi, peradilan bahkan institusi peradilan (Jatiman, 1995). Adanya persepsi yang keliru dari pemerintah orde baru tentang adat dan hukum adat sebelumnya sangat merugikan perkembangan pemerintahan masyarakat adat dan hukum adat. Pemerintah orde baru memiliki asumsi bahwa desa lama (Lembang) yaitu desa yang diatur berdasarkan tradisi yang berintikan adat dan hukum adat akan sulit menjalankan pembangunan yang akan dilakukan. Pemerintahan adat yang beraneka ragam juga dinilai oleh pemerintah sebagai hambatan dalam pelaksanaan pembangunan yang direncanakan dan diatur secara nasional. Berdasarkan asumsi tersebut pemerintah orde baru menetapkan desa di seluruh Indonesia perlu diperbaharui dan diseragamkan. Dengan berlakunya Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dalam beberapa pasalnya mengakomodir tentang pengakuan hukum-hukum adat serta institusi-institusinya dalam pemerintahan desa, telah memberikan peluang kepada masyarakat Toraja untuk kembali mengangkat dan memberlakukan sistem-sistem adat yang selama 30 tahun ditinggalkan. Sebagai desa kasus dipilih dua desa yaitu Nanggala dan Kurra. Kedua desa ini dipilih karena tokoh-tokoh adatnya sedang mempersiapkan daerah mereka kembali ke Pemerintahan Lembang. Melalui wadah Aliansi Masarakat Adat Toraja (AMAT) tokoh-tokoh adat dari kedua desa itu memperjuangkan keinginan masyarakatnya.

Upload: bayu-eztu

Post on 26-Nov-2015

252 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Outline Laporan Kab

Kembalinya Sistem Pemerintahan Lembang Di Kabupaten Tana Toraja

(Kasus Desa Nanggala dan Desa Kurra)

Anton Nomba, M. Imran Amin, dan Azis Paturungi

I. Pendahuluan

Kabupaten Tana Toraja terkenal dengan kelompok masyarakatnya yang masih memegang dan mempertahankan budaya nenek moyang mereka walaupun ada juga yang sudah mereka tinggalkan. Penurunan nilai ini mulai dirasakan semenjak pemerintah mengeluarkan undang-undang pemberlakuan pemerintahan desa nomor 5 tahun 1979 yang tidak lagi mengakui eksistensi dari tokoh-tokoh adat dengan segala hukum dan aturannya.menurut fungsi-fungsi ketua adat dan ketua Lembang (pemerintahan wilayah adat) digantikan dengan posisi kepala desa yang bertanggung jawab kepada kecamatan dan tidak lagi kepada masyarakatnya.

Pemerintahan masyarakat adat dan hukum adat bukan sekedar institusi pemerintahan, akan tetapi merupakan institusi politik, institusi pendidikan, institusi ekonomi, peradilan bahkan institusi peradilan (Jatiman, 1995). Adanya persepsi yang keliru dari pemerintah orde baru tentang adat dan hukum adat sebelumnya sangat merugikan perkembangan pemerintahan masyarakat adat dan hukum adat. Pemerintah orde baru memiliki asumsi bahwa desa lama (Lembang) yaitu desa yang diatur berdasarkan tradisi yang berintikan adat dan hukum adat akan sulit menjalankan pembangunan yang akan dilakukan. Pemerintahan adat yang beraneka ragam juga dinilai oleh pemerintah sebagai hambatan dalam pelaksanaan pembangunan yang direncanakan dan diatur secara nasional. Berdasarkan asumsi tersebut pemerintah orde baru menetapkan desa di seluruh Indonesia perlu diperbaharui dan diseragamkan.

Dengan berlakunya Undang-Undang No 22 tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang dalam beberapa pasalnya mengakomodir tentang pengakuan hukum-hukum adat serta institusi-institusinya dalam pemerintahan desa, telah memberikan peluang kepada masyarakat Toraja untuk kembali mengangkat dan memberlakukan sistem-sistem adat yang selama 30 tahun ditinggalkan.

Sebagai desa kasus dipilih dua desa yaitu Nanggala dan Kurra. Kedua desa ini dipilih karena tokoh-tokoh adatnya sedang mempersiapkan daerah mereka kembali ke Pemerintahan Lembang. Melalui wadah Aliansi Masarakat Adat Toraja (AMAT) tokoh-tokoh adat dari kedua desa itu memperjuangkan keinginan masyarakatnya. Selain itu, di kedua desa itu terjadi konflik tanah ulayat dengan pemerintah dan perusahaan perkebunan (PT).

II. Gambaran Umum Kab. Tana Toraja

1. Sejarah Toraja

Suku bangsa Toraja mendiami sebagian jazirah Sulawesi Selatan bagian Utara. Awalnya kata Toraja diberikan oleh penduduk asli Sulawesi Tengah untuk menyebut kelompok etnis yang berdiam di pedalaman dan pegunungan. Kata Toraja dibentuk dari dua kata yang berasal dari bahasa daerah, yaitu To yang mempunyai arti orang dan Ri aja berarti dari gunung. Orang Toraja sendiri zaman dahulu menyebut kelompoknya berdasarkan tempat tinggal, yaitu Sadan, dari nama sebuah sungai yang mengalir wilayah mereka. Karena itu sering juga disebut Toraja Sadan. Dan kalau dilihat dari bahasa mereka disebut pula orang Toraja Tae. Pada masa sekarang orang Toraja berdiam di daerah yang termasuk dalam wilayah Kabupaten Tana Toraja.

Historis awal adanya masyarakat Toraja berdasarkan cerita rakyat yaitu diawali oleh kedatangan satu kelompok manusia orang yang berlayar dari selatan (Kab. Enrekang sekarang) menuju ke utara (Toraja) dengan menaiki perahu (lembang) yang di sebut dengan To Lembang. Menurut cerita yang berkembang, kelompok masyarakat yang menyebar di daratan Enrekang dan Toraja adalah orang-orang yang berlayar dari daratan China. Setelah melewati semenanjung Malaka, kelompok orang-orang ini tidak hanya menyebar ke daratan Sulawesi tetapi juga ke daerah-daerah lain seperti Sumba, Kalimantan (Dayak), Jawa, Bali, Lombok (suku Sasak dan Bima), Manggarai, Ende, dan beberapa suku terasing di Riau dan Jambi. Jika dilihat dari bentuk rumah adat dari suku-suku tersebut untuk dijadikan acuan persamaan nenek moyang mereka, mungkin cerita ini bisa dibenarkan.

To Lembang tersebut mendarat pertama di Enrekang (sehingga orang Toraja sendiri menganggap bahwa Enrekang adalah asal mula masyarakat asli Toraja). Satu kelompok perahu tersebut merupakan simbol sebuah kelompok masyarakat (komunitas) yang didalamnya memiliki kapten kapal (pimpinan) serta para awak dan masayarakat itu sendiri.

Pada saat dilakukan upacara Mabua (syukuran besar) yang dilakukan oleh kumunitas tersebut, di dalam prosesnya terjadi pelanggaran dan akhirnya tempat upacara tersebut tenggelam sehingga masyarakat tersebut mengungsi. Sebagian tetap di Toraja (pada saat itu Toraja dinamakan Tolepongan Bulan/Matari Allo, yakni satu kelompok besar ) sebagian lagi ke selatan (Enrekang).

Sisa-sisa masyarakat yang ada di Toraja membangun Tongkonan (rumah adat) untuk membangun komunitas yang akhirnya berkembang dalam kelompok-kelompok yang menimbulkan persaingan sehingga terjadi perang, yang tidak ada yang dapat mendamaikannya. Dalam kondisi tersebut maka Dewa menurunkan aturan Sanda Saratu (Serba seratus) tetapi tidak ada yang mentaatinya maka diturunkannlah To Manurung dari langit dengan nama Puang Tamboro Langi sebagai pelaksana aturan diatas dan mendamaikan masyarakat yang berperang. To Manurung dianggap sebagai nenek moyang dari bangsawan yang ada sampai sekarang.

To Manurung menikah dengan Sundiwai (Dewi Air) di Enrekang yang melahirkan anak laki-laki yang bernama Padada yang setelah dewasa merantau dengan menggunakan burung garuda menuju Kabupaten Gowa, dan menikah dengan anak dari raja Gowa. Dan perkawinan ini dijadikan simbol dari cikal bakal lahirnya suku Mamasa, Mandar, Mamuju dan Majene. Sehingga lahir falsafah pitu ulunna salu, pitu babanna binangnga (tujuh kerajaan di gunung dan tujuh kerajaan dari pantai).

2. Diskripsi Wilayah

Kabupaten Tana Toraja secara geografis terletak pada posisi 2o dan 3o Lintang Selatan serta 199o dan 120o Bujur Timur. Kabupaten ini berbatasan dengan 5 kabupaten lain yang mengelilinginya, yakni : pada sebelah Utara berbatasan dengan kabupaten Mamuju dan Kabupaten Luwu, pada sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Luwu, sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Enrekang dan Kabupaten Pinrang, serta di sebelah Barat berbatasan dengan Kabupaten Polmas. Ibukota Kabupaten Toraja ada Makale yang berjarak sekitar 330 km dari ibukota propinsi Sulawesi Selatan yaitu Makassar.

Luas wilayah Kabupaten Tana Toraja adalah 3.205,77 km2, yang secara adminstrasi pemerintahan terbagi menjadi 15 kecamatan definitif dan 302 desa dengan jumlah penduduk berdasarkan hasil survey tahun 1999 yakni 388.139 jiwa (76.214 KK) yang terdiri dari 192.514 perempuan dan 195.625 laki-laki dengan tingkat kepadatan 119 jiwa/km2 .

Dua desa kasus yaitu Desa Nanggala dan Desa Kurra terletak di kecamatan yang berbeda. Desa Nanggala terletak di Kec. Tondon Nanggala dan Desa Kurra terletak di Kec. Rantetayo. Jarak Desa Nanggala dari ibukota kabupaten 34 km sedangkan Desa Kurra 17 km.

Tabel Data Perbandingan Desa Nanggala dan Desa Kurra

UraianDesa NanggalaDesa Kurra

1. Luas Wilayah (km2)

2. Ketinggian (dpl)

3. Penduduk

Jumlah (jiwa)

KK

Kepadatan (jiwa/km2)

4. Sarana Pendidikan

TK

SD

5. Sarana Kesehatan

Puskesmas

Posyandu7,00

700

1461

351

209

2

1

2

211,41

1.500

1.077

190

93,69

1

2

1

2

Sumber: Kec. Tondon Nanggala dalam Angka 1999 dan Kec. Rantetayo dalam Angka 1999. Diolah.

Pada umumnya kondisi sarana dan prasarana di kedua desa kasus sudah memadai. Kedua desa ini dilewati jalan beraspal yang dapat dilalui kendaraan umum, meskipun hanya 2 kali dalam sehari. Dengan adanya jalan itu masyarakat dapat dengan mudah memasarkan hasil usahanya ke ibukota kabupaten (makale) atau ke ibukota kecamatan.

Sarana penerangan listrik juga sudah masuk di kedua desa itu, namun penyebarannya belum merata. Lokasi pemukiman dekat jalan hampir semuanya sudah dijangkau aliran listrik, sementara lokasi pemukiman yang sulit dijangkau sebagian besar belum dialiri listrik. Khususnya pemukiman penduduk di Desa Kurra, banyak bertempat tinggal di gunung-gunung yang sulit dijangkau. Sebagian penduduk yang wilayahnya sulit dijangkau menggunakan generator listrik sebagai sarana penerangan.

Sarana pendidikan terdapat TK dan SD, belum ada SLTP dan SMU. Murid-murid yang ingin melanjutkan pendidikan ke tingkat lebih tinggi (SLTP atau SMU) harus ke desa tetangga atau ke ibukota kecamatan/kabupaten.

Sementara sarana kesehatan hanya terdapat puskesmas dan posyandu. Sarana kesehatan lainnya seperti rumah sakit belum ada. Rumah sakit hanya terdapat di ibukota kabupaten atau di kecamatan lainnya.

3. Struktur Sosial

Sistem hubungan kekeluargaan orang Toraja di dominasi oleh kelompok di kekerabatan yang disebut Marapuan atau Parapuan yang berorientasi kepada satu kakek moyang pendiri Tongkonan, yaitu rumah komunal sekaligus menjadi pusat kekerabatan dan kehidupan sosial serta religi para anggotanya. Kelompok Marapuan terdiri atas kerabat dari 3-5 generasi. Karena orang Toraja menganut pola kekerabatan yang bilateral sifatnya, maka seseorang bisa menjadi anggota dari beberapa buah Tongkonan.

Sebelum memeluk agama Kristen dan Islam orang Toraja menganut sistem kepercayaan yang disebut Aluk Todolo, yaitu religi lama yang terpusat pada tiga aspek. Pertama pemujaan kepada tokoh pencipta yang disebut Puang Matua, ke dua pemujaan kepada Deata-Deata (dewa pemelihara), dan yang ke tiga yaitu pemujaan kepada roh-roh kakek moyang yang disebut Tomebali Puang, yang dianggap memberi berkah dan pelindung kepada keturunannya. Sistem religi lama itu terutama terwujud dalam konsep mereka tentang kematian dan upacara-upacara sekitar kematian.

Upacara kematian merupakan suatu moment yang sakral, umumnya upacara kematian dilaksanakan dengan segala daya upaya, dengan maksud sebagai suatu penghormatan, yang kadang-kadang pengorbanan dari segi material dalam pelaksanaan upacara tersebut melebihi upacara adat lainnya seperti perkawinan dan upacara lainnya. Kebiasaan tersebut memberikan indikasi bahwa penghormatan terhadap leluhur merupakan suatu kewajiban bagi masyarakat Toraja. Indikasi lain bahwa masyarakat Toraja menjunjung tinggi adat-istiadat, yaitu dapat dilihat dari kegiatan upacara adat yang sering dilaksanakan seperti upacara sehabis panen hasil pertanian, arsitektur rumah penduduk, yang pada umumnya masih dipenuhi dengan simbol-simbol budaya, tenunan sarung, ukiran-ukiran dan lain sebagainya.

Masyarakat Toraja juga masih kuat menganut sistem strata sosial dalam kehidupan mereka yang dapat di bagi atas empat (4) kelompok :

1. Di bagian barat Toraja, strata sosial mereka dibagai dalam tiga golongan. Masing-masing bergelar Maddika untuk golongan teratas, lalu Toparenge untuk golongan menengah, selanjutnya Ambe untuk golongan biasa.

2. Di bagian tengah Toraja, strata sosial mereka terbagai dalam dua golongan yaitu golongan Toparenge sebagai golongan teratas (walau ada juga yang bergelar sakkangbayo sebagai golongan teratas) dan Ambe sebagai golongan terbawah.

3. Di bagian Utara, malah hanya terdiri dari satu golongan dengan gelar Ambe untuk semua kepala kampung.

4. Sementara di bagian selatan (Tallu Lembangna), mereka membaginya dalam tiga golongan masing-masing Puang sebagai golongan teratas, disusul Toparenge dan Ambe.

Kendati terkesan ada perbedaan di antara mereka, namun secara umum strata sosial masyarakat Toraja terbagi dalam empat golongan. Golongan teratas disebut Tana Bulaan atau Tokapua, atau biasa disebut Tosugi (orang kaya). Mereka ini adalah golongan rulling class dalam masyarakat Toraja mempunyai kesempatan untuk menjadi pemimpin. Yang termasuk dalam golongan ini adalah kaum bangsawan, pemimpin adat, dan tokoh masyarakat.

Golongan kedua adalah TanaBassi atau Tomakaka yaitu golongan menengah dari masyarakat Toraja. Golongan ini erat hubungannya dengan golongan Tokapua. Golongan ketiga, TanaKarurung atau Tobuda, adalah golongan masyarakat kebanyakan dan menjadi tulang punggung masyarakat Toraja. Golongan keempat, Tana Kua-Kua, adalah golongan abdi. Golongan ini, dari leluhur hingga anak cucu, mengabdi pada golongan TanaBulaan.

Walaupun penggolongan itu tidak tertulis, namun dalam penerapannya tetap dipatuhi dan dihormati masyarakat Toraja, hingga sekarang. Namun dari empat suku yang ada di Toraja, hanya di Tallu Lembangna yang mempunyai cara tersendiri untuk memilih pemimpin mereka. Hal ini dikarenakan hanya Tallu Lembangna sajalah yang menerapkan sistem pemerintahan kerajaan.

Berangkat dari strata sosial yang terbentuk tersebut, turut berpengaruh terhadap pola kepemimpinan yang berkembang di masyarakat. Kasus ini nampak terlihat, pada pola tindak masyarakat. Masyarakat pada umumnya sangat tergantung dengan keberadaan orang-orang yang dituakan, tokoh masyarakat yang menjadi pimpinan mereka.

III. Sistem Pemerintahan Lembang

1. Sejarah Pemerintahan di Toraja

Sistem pemerintah di Toraja mengalami perubahan sesuai perkembangan sistem pemerintahan di Indonesia. Meskipun sistem pemerintahan selalu berubah namun masyarakat masih memegang teguh adat-istiadatnya, seperti upacara adat rambu solo dan rambu tuka yang masih bisa dilihat di masyarakat Toraja. Tetapi peranan adat dalam sistem pemerintah terus mengalami penurunan, puncaknya ketika sistem pemerintahan desa diberlakukan pada tahun 1979 (UU No 5 Tahun 79). Sejak saat itu kegiatan adat dan hukum adat terpisah dari sistem pemerintahan desa. Lembaga Masyarakat Desa (LMD) yang diharapkan dapat mengakomodasikan kepentingan adat di desa tidak berfungsi, karena mereka yang duduk di LMD dianggap tidak mewakili adat, meski pun mereka yang duduk di LMD adalah tokoh-tokoh adat. Masyarakat adat menganggap lembaga tersebut bukan representasi mereka. Sebaliknya aparat desa (kades/lurah) tidak banyak melibatkan tokoh-tokoh adat dalam berbagai program desa, para tokoh adat baru dilibatkan jika program desa membutuhkan swadaya masyarakat.

Perkembangan sistem pemerintahan di masyarakat Toraja mengalami perkembangan yang cukup lama seiring dengan adat yang berlaku di masyarakatnya. Sebelum adanya pemerintahan desa seperti sekarang ini, masyarakat di Toraja telah menganut sistem pemerintahan adat dan hukum adat. Pada saat itu masyarakat beranggapan bahwa pemerintahan yang berlaku adalah bagian dari adat dan hukum adat, demikian pula sebaliknya, sehingga antara keduanya saling terkait.

Pada dasarnya sistem pemrintahan adat dapat dikelompokkan menjadi dua bagian yaitu: sistem pemerintah tanpa campur tangan pihak luar (pure system) dan sistem pemerintahan adanya campur tangan pihak luar. Pada zaman Belanda belum menduduki Tana Toraja, sistem pemerintahan yang berlaku di masyarakat adalah sistem pemerintahan adat. Setiap wilayah adat memiliki struktur pemerintahan sendiri-sendiri. Sebagai contoh di wilayah adat Nanggala dan wilayah adat Kurra. Wilayah adat Nanggala, pemerintahannya dipimpin oleh dua orang (to dua) dan pemerintahan ini di bagi lagi dalam wilayah-wilayah kecil yang disebut Karopik yang dipimpin oleh To parenge. To dua dipilih dari To parenge yang ada di wilayah tersebut yang dianggap paling berpengaruh di wilayah tersebut. Di bawah Karopik ada pembagian tugas pemerintahan yang disebut Saroan dengan tugas-tugas sebagai berikut : Topasang: menentukan batas wilayah dan menyelesaikan konflik tentang batas wilayah. Tosikuku : yang menentukan waktu tanam padi dan mengumpul pajak atas pertanian tersebut sebesar 3 %. Secara keseluruhan To Dua merupakan pengambil keputusan paling tinggi. Sementara di Kurra, sistem pemerintahan lebih sederhana lagi, yaitu: tominaa sebagai pemegang kekuasaan pemerintah tertinggi yaitu sebagai legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Dalam menjalankan tugasnya tominaa seringkali meminta pendapat tokoh adat lainnya (khususnya dalam masalah hukum).

Pada Zaman Belanda, sistem ini tidak diakui oleh pemerintah yang dibentuk, sehingga Belanda hanya memakai satu struktur distrik yang mewakili pemerintah belanda di satu wilayah adat. Walaupun demikian fungsi-fungsi institusi adat di atas nya tetap diakui oleh masyarakat sebagai pengambil keputusan yang menyangkut konflik-konflik masyarakt yang tejadi serta keputusan-keputusan tentang suatu acara adat.

Pada jaman pemerintahan orde lama (1961), distrik-distrik tersebut dirubah namanya menjadi lembang dengan sistem pemerintahan yang sama. Pada zaman Orde baru, lembang-lembang tersebut dihilangkan dan dipecah-pecah menjadi desa-desa. Dari 32 lembang yang ada, saat ini telah dipecah menjadi 302 desa. Dengan dikeluarkannya UU no 22 tahun 1999, masyarakat telah menuntut untuk nama desa dikembalikan lagi menjadi Lembang dan desa-desa yang berasal dari satu lembang dipersatukan kembali. Karena wilayah adat yang dipecah-pecah menjadi desa-desa, sangat banyak mempengaruhi tatanan budaya adat di masyarakat. Mereka tidak mengikuti aturan adat yang berlaku di lembaga adat mereka karena masyarakat merasa desa mereka sudah berpisah sehingga merasa tidak perlu untuk mengikuti aturan adat dari desa induknya. Padahal dalam adat Toraja, jika ada acara Rambu Solo di satu wilayah adat, maka dalam wilayah adat tersebut tidak boleh ada yang mengadakan acara Rambu Tuka dalam waktu yang bersamaan. Karena wilayah adatnya sudah dibagi-bagi dalam desa sehingga masyarakat banyak yang melanggar aturan tersebut karena merasa tidak berada dalam satu wilayah adat yang sama lagi.

Lalu, bagaimana hubungan pemerintahan desa dan adat-istiadat yang berlaku? Sejak terjadi pemisahan kedua lembaga itu (lembaga adat dan pemerintah desa) berjalan sesuai dengan kegiatannya masing-masing. Hubungan keduanya hanya bersifat administratif, ketika masyarakat adat melakukan upacara adat (rambu solo dan rambu tuka) tokoh adat meminta izin pada pemerintah, sebaliknya pemerintah desa/kecamatan pada saat masyarakat adat melakukan kegiatan datang untuk memberi kata-kata sambutan.

2. Pemerintahan Lembang

Kata Lembang ini muncul pertama kali pada masa penjajahan Belanda yang pada saat itu masih bernama distrik. Setelah Belanda keluar dari Tana Toraja, pemerintah daerah merubah nama distrik menjadi Lembang yang diambil dari bahasa Toraja berarti perahu (bahtera) yang bermakna tentang suatu kelompok masyarakat dimana di dalamnya masing-masing orang mempunyai fungsi dan kedudukannya masing-masing, ada yang bertugas sebagai nakhoda, juri mudi, tukang layar dan sebagainya. Hal ini bermakna bahwa dalam kehidupan bermasyarakat fungsi-fungsi di atas dianalogikan sebagai fungsi-fungsi ketua kelompok, pengurus-pengurus kelompok serta masyarakat di bawahnya.

Dalam pemerintahan lembang, ketua lembang dipilih secara musyawarah oleh pemuka-pemuka masyarakat dengan aturan tomaluangan batengna, tomasindung mayanna yang diartikan sebagai berikut :

1. keturunan bangsawan (pemuka-pemuka adat)

2. ekonomi yang cukup (kaya)

3. mempunyai jiwa kepemimpinan

4. berjiwa sosial

5. berwawasan tinggi

Pemimpin harus mempunyai jiwa kepemimpinan dan berkharisma agar bisa dihormati oleh rakyatnya. Dia harus kaya karena dengan kekayaannya diharapkan dia dapat membangun wilayahnya dan bisa mencukupi kebutuhan masyarakatnya yang tidak berkecukupan. Karena ada prinsip pemimpin yang dipakai lebih baik dia tidak makan dari pada ada rakyatnya yang kelaparan.

Syarat-syarat diatas sesuai dengan apa yang diinginkan oleh masyarakat yakni yang menginginkan pemimpin yang bisa menjadi teladan bagi masyarakatnya (Patuladanan)

2. Usaha Kembali ke Lembang

Dalam menyikapi perkembangan sistem pemerintahan yang sudah semakin demokratis, masyarakat adat Toraja yang tergabung dalam Aliansi Masyarakat Adat Toraja (AMAT) telah melakukan berbagai usaha dalam upayanya mengembalikan posisi adat dalam pemerintahan desa. Cara pertama yang telah dilakukan adalah dengan meminta pemerintah melalui DPRD untuk merubah nama Desa menjadi Lembang. Usaha ini kelihatannya cukup berhasil karena dari pihak DPRD dan Pemda Toraja juga menyetujui usulan ini.

Dalam pembuatan Perda tentang Lembang, berbagai pertemuan di DPRD tokoh-tokoh adat dan unsur masyarakat lainnya diundang membahas rencana draft Perda tersebut. Saat ini, draft Perda telah disetujui tinggal menunggu tanggal pengesahannya saja. Pihak DPRD beranggapan bahwa usulan ini sangat sesuai dengan semangat reformasi yang saat ini telah disuarakan oleh banyak pihak. Hanya saja pihak DPRD baru menyetujui pada perubahan nama desa menjadi Lembang saja, belum sampai pada menyetujui penyatuan beberapa desa menjadi satu lembang. Karena hal ini akan dikembalikan kepada masing-masing desa untuk memutuskan apakah mau bergabung dengan desa lain untuk menjadi satu lembang atau berdiri sebagai lembang sendiri. Hal ini harus dibicarakan langsung ke masyarakat desa tersebut, jika disetujui oleh minimal 2/3 (dua per tiga) jumlah anggota masyarakat maka desa tersebut bisa digabungkan dengan desa lainnya. Jadi dalam hal ini tidak akan ada pemaksaan terhadap desa untuk bergabung dengan desa lain atau untuk berdiri sendiri. Semua hal menyangkut hal ini diserahkan sepenuhnya kepada masyarakat sendiri. Dari pihak masyarakat beranggapan ada kendala tentang pembentukan lembang ini yaitu dari para elit-elit desa itu sendiri yang takut kehilangan jabatannya di pemerintahan desa jika harus bergabung dengan desa lain. Sampai saat ini upaya ini masih dalam proses pembahasan di tingkat masyarakat maupun dari pemerintah daerah sendiri.

Dalam sistem pemerintahan Lembang bisa saja terdapat perbedaan antara lembang, karena adat-istiadat yang berlaku di masing-masing lembang memiliki karakteristik sendiri-sendiri. Namun struktur pemerintahan yang dimiliki terdapat kesamaan antara Lembang yaitu: Kepala Lembang (kapala lembang) sebagai pimpinan tertinggi, kapala lembang membawahi kepala kampung, dan struktur yang paling bawah adalah saroan (atau setingkat RT sekarang). Dalam menjalankan tugasnya kapala lembang dibantu sekertaris dan kabag urusan seperti ekonomi dan pembangunan. Kapala lembang dipilih dari strata sosial tertinggi di masyarakat, biasanya mereka juga orang kaya dan berpendidikan. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan pemerintah Belanda sebelumnya yang memberi prioritas pada masyarakat strata atas mengecap pendidikan.

Pemilihan Kepala Lembang langsung oleh masyarakat. Setelah didahului pencalonan oleh masyarakat menurut kriteria yang ditetapkan. Calon kepala lembang harus memenuhi minimal 3 syarat utama yaitu: bedasarkan keturunan (berasal dari strata atas), kekayaan, dan keterampilan/wawasan. Bandingan dengan syarat pembentukan lembang menurut draft Perda 2001, selain 3 syarat di atas syarat lainnya seperti: tingkat pendidikan, dan tidak pernah terlibat langsung atau tidak langsung organisasi terlarang. Sementara dalam pertemuan Masyarakat Adat se-Toraja, salah seorang peserta (tokoh adat) mengusulkan pemilihan kapala lembang ditambah syarat lainnya yaitu: bebas narkoba dan tidak main judi. Adanya tarik menarik dalam penentuan kriteria pemilihan kapala lembang sebenarnya tidak terlepas dari strata sosial yang masih kuat di masyarakat Toraja. Sampai saat ini strata sosial terbawah tidak pernah menjadi pimpinan di Toraja meskipun orang tersebut berpendidikan tinggi dan kaya.

Kepala Lembang sangat berwibawah di masrakatnya. Setiap upacara adat yang berlangsung di Lembang selalu dihadiri oleh kapala lembang serta aparatnya, mereka selalu duduk ditempat yang paling terhormat, karena mereka aparat pemerintahan dan berasal dari strata teratas. Pada kesempatan itu biasanya Kapala Lembang menyampaikan berbagai program lembang. Berbeda dengan pemerintah desa, mereka juga hadir dalam berbagai upacara adat namun hanya sebagai formalitas saja.

Berkaitan UU otonomi daerah, makin memperkuat hasrat masyarakat kembali ke sistem pemerintahan adat yaitu Lembang. Hal ini mendapat respon dari DPRD Tk. II Kab. Tator dengan dibuatnya Perda tentang Pemerintahan Lembang, Bua, Penanian. Meskipun Perda ini masih draft namun isinya sudah mengakomodasikan keinginan masyarakat. Pada pasal 2 disebutkan tujuan pembentukan, penghapusan dan penggabungan Lembang, Bua, Penanian adalah untuk peningkatan penyelenggaraan pemerintahan secara berdaya guna dan berhasil guna terhadap pelayanan masyarakat sesuai dengan tingkat perkembangan dan kemajuan pembangunan.

Rencana kembali ke pemerintahan Lembang, pada umumnya masyarakat luas dan bahkan Aliansi Masyarakat Adat Toraja (AMAT) belum mengetahui rencana tersebut. Sementara pemerintah juga belum mensosialisikan rencana tersebut pada masyarakat luas. Akibatnya, banyak masyarakat dan tokoh-tokoh adat melalui lembaga adat menuntut pemerintah agar masyarakat adat diakui keberadaannya. Hasil pertemuan AMAT di Madandan, Kec. Rantetayo, yang dihadiri utusan masyarakat adat se-Toraja merekomendasikan tuntutannya yang cukup keras pada pemerintah antara lain: kelembagaan adat diakui oleh pemerintah, mengembalikan hak-hak adat, lembaga adat dilibatkan dalam struktur pemerintah, dst. Jika masyarakat adat tidak diakui pemerintah maka mereka akan menuntut pemerintah sesuai dengan semboyannya Jika negara tidak mengakui kami, maka kami pun tidak akan Mengakui negara.

Struktur pemerintah Lembang terdiri dari: Kepala Lembang, Sekertaris, Kepala Urusan, dan Kepala Kampung. Struktur ini tidak berbeda dengan struktur Lembang sebelumnya. Perbedaanya terletak pada Badan Perwakilan Lembang (BPL) yang bertugas menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat dengan memusyawarahkan rencana yang diajukan kepala lembang sebelum ditetapkan menjadi keputusan lembang. Anggota BPL dipilih langsung oleh masyarakat Lembang, setelah terlebih dulu dibentuk panitia pemilihan BPL. Jumlah anggota BPL disesuaikan dengan jumlah penduduk lembang.

4. Implikasi Terbentuknya Pemerintahan Lembang

Dengan kembalinya lembang sebagai pemerintahan di desa akan membawa konsekuensi yang cukup luas. Pertama, Badan Perwakilan Desa (BPD) yang baru saja terbentuk akan berubah kembali karena adanya pembangunan, pemisahan, dan pembubaran desa sebelumnya; kedua, dengan Pemerintahan Lembang berarti sistem pemerintahan mengacu pada adat-istiadat dan hukum adat yang berlaku. Padahal sebagian masyarakatnya adalah masyarakat urban yang heterogen. Belum ada peraturan yang mengatur hal tersebut; ketiga, banyaknya jabatan kades/lurah yang hilang. Berdasarkan informasi yang diperoleh dari legislatif dan eksekutif di kabupaten diproyeksikan akan terbentuk sekitar 66 lembang, sementara jumlah desa/kelurahan saat ini sebanyak 255 buah (203 desa dan 52 kelurahan).

Permasalahan yang diperkirakan akan timbul adalah terjadi tarik-menarik antar tokoh-tokoh adat dan terdapat lembang lebih besar wilayahnya daripada kecamatan sekarang. Lembang diterapkan kembali. Sebelum lembang terpecah struktur adat merupakan satu kesatuan, setelah lembang terpecah menjadi beberapa desa maka masing-masing desa dibentuk struktur adat baru. Satu lembang terbecah beberapa desa, di Nanggala menjadi 6 desa dan di Kurra menjadi 3 desa. Masing-masing desa memiliki struktur adat yang tidak terkait lagi dengan desa lainnya, dimana masing-masing desa memiliki pemimpinnya. Jika desa-desa itu kembali menjadi satu menjadi Lembang maka akan terjadi tarik menarik antara tokoh-tokoh adat tersebut.

Jika sistem pemerintahan lembang dikembalikan seperti semula maka terdapat lembang wilayahnya lebih luas daripada kecamatan sekarang. Disamping itu terdapat lembang yang tidak memenuhi syarat menjadi lembang karena jumlah penduduknya terlalu sedikit. Syarat pembentukan lembang minimal penduduknya 1500 Jiwa (300 KK).

IV. Penerapan Nilai-Nilai Demokrasi

Secara umum implementasi nilai-nilai demokrasi di wilayah adat antara satu dengan yang lainnya relatif sama. Walaupun dalam satu wilayah adat masing-masing memiliki aturan (sistem) pemerintahan dalam lembaga berbeda yang berdasarkan hasil kesepakatan diantara mereka.

Penerapan nilai-nilai demokrasi dapat dilihat dari cara masyarakat Toraja disetiap wilayah adat (pemerintahan) untuk memilih pemimpinnya dalam memimpin lembaga. Misalnya, pemimpin yang akan mereka pilih dikumpulkan sampai beberapa orang (lebih dari satu orang) dari kalangan bangsawan (dianggap/disepakati masyarakat) sebagai yang berhak memimpin mereka. Dari beberapa bangsawan tersebut diseleksi berdasarkan kriteria-kriteria tertentu yang telah dibuat dan disepakati masyarakat melalui para pemangku adat (arruan). Bahkan perempuan boleh dicalonkan dan dapat menjadi pemimpin.

Pemimpin yang terpilih dari hasil seleksi di atas, walaupun kekuasaaannya cukup besar tetapi tidak dengan semena-mena memimpin, segala kebijakannya harus dimusyawarahkan dan disetujui masyarakat melalui para pemangku adat yang dilakukan di kombongan (tempat musyawarah/rapat)

Nilai-nilai demokrasi dapat pula dilihat dalam sistem pemerintahan mereka, dimana posisi pemimpin bukanlah segala-galanya karena tetap diposisikan para pemangku adat sebagi tempat untuk mendiskusikan (musyawarah) segala persoalan masyarakat termasuk setiap kebijakan yang akan dilaksanakan. Bahkan dalam upacara-upacara besar masyarakat dilibatkan dari seluruh masyarakat yang ada dalam wilayah adatnya/pemerintahan.

Bagi suku Toraja, pemimpin dituntut mempunyai jiwa kepemimpinan dan berkharisma, sebab dengan bekal itu dia akan dihormati oleh rakyatnya. Dia harus kaya, karena dengan kekayaannya dia dapat membangun negerinya. Dia harus pula dermawan, karena tidak semua orang berkecukupan. Seorang pemimpin juga tidak akan suka mengambil hak orang lain, terutama milik rakyatnya, karena tindakan itu akan melukai hati rakyatnya. Disamping itu seorang pemimpin juga harus mampu menempatkan dirinya pada berbagai golongan, sebab yang dipimpin tidak berasal dari satu latar belakang. Ia juga harus mengayomi rakyatnya dan bertindak rendah hati ketika berhadapan dengan mereka, karena secara hakiki ia sama saja dengan rakyat yang dipimpinnya. Selain itu, ia harus berpendidikan dan berwawasan, supaya ia mampu membangun dan mengatur negerinya dengan baik.

Nilai-nilai demokrasi dapat dilihat dalam penerapan kebijakan ekonomi mereka. Masyarakat diberikan keleluasaan yang sangat besar dalam mengelola SDA-nya, termasuk setiap pendatang yang masuk dalam wilayah mereka. Hal tersebut dikenal dengan falsafah urretog kayunna, ungkalette utanna, ungtimba wainna di pantanammi padangna, asal upoada adana artinya siapa pun yang masuk dalam wilayah ini dia berhak untuk mengambil kayunya, mengelola hutannya, mengambil airnya, menanami ladangnya, yang penting mengikuti aturan-aturan adatnya.

V. Penerapan Nilai-Nilai Hukum

Sejak hukum adat tidak terkait lagi dengan masalah pemerintahan desa. Maka pimpinan pemerintahan tidak lagi berasal dari tokoh-tokoh adat yang disegani masyarakat. Meskipun mereka merupakan tokoh adat dan berasal dari strata sosial atas. Sebagian besar Kepala Desa (Kades) dan aparat desa terpilih kurang memahami adat-istiadat daerahnya. Akibatnya, berbagai persoalan yang terjadi dimasyarakat diselesaikan tidak lagi melalui hukum adat, sebagian besar permasalahan diselesaikan melalui hukum nasional. Meskipun demikian dimasyarakat masih ada yang menggunakan hukum adat sebagai alternatif penyelesaian masalah, tetapi hanya bersifat kekeluargaan.

Dari hasil pertemuan Masyarakat Adat se-Toraja, berdasarkan penuturan tokoh-tokoh adat, terungkap bahwa hukum adat masih berlaku dimasyarakat tapi sifatnya gradual, ada yang masih berlaku banyak ada yang sudah sedikit. Menurut Hulia Salurapa (tokoh masyarakat dari Nanggala) lunturnya hukum adat dipengaruhi oleh 4 faktor yaitu: intervensi pemerintah, intervensi agama, ideologi globalisasi, dan malongko (apatisme/sungkan).

Dengan beralihnya hukum adat ke hukum nasional banyak permasalahan yang tidak dapat diselesaikan karena tidak diakomodasi oleh hukum nasional. Sementara itu biaya yang harus dikeluarkan jauh lebih besar dibandingkan yang diperkarakan, dan waktu yang dibutuhkan terlalu lama. Contoh kasus rumah tongkonan (rumah adat) di Kurra, pada saat dilakukan syukuran (rambu tuka) atas selesainya rumah adat tersebut. Salah seorang anggota keluarga (dari pihak istri) dibawakan babi dari keluarga ibu-nya, mereka berasal dari desa tetangga, namun ditolak dengan alasan bahwa rumah tongkonan tersebut dibangun dari keluarga besar bapak-nya (bukan dari keluarga ibu-nya). Atas penolakan itu pihak keluarga perempuan memperkarakan keluarga tersebut dengan membawah polisi dan tentara, dengan alasan mereka tidak diakui sebagai anggota tongkonan. Pada saat itu juga (setelah selesai ibadah syukuran) dibicarakan melalui musyawarah adat, hasilnya persoalan itu dapat diselesaikan, tanpa melibatkan aparat keamanan yang hadir pada saat itu.

Akan berbeda hasilnya bilamana masalah adat di atas ditangani oleh hukum nasional. Karena masalah di atas adalah masalah keluarga besar yang melibatkan banyak orang yaitu keluarga di desa maupun dari luar desa, bahkan keluarga yang tinggal diperantauan. Masalah seperti di atas tidak hanya terjadi pada rumah tongkonan tetapi banyak juga ditemukaan pada tanah ulayat (tanah tongkonan).

Dalam penerapan hukum adat pada umumnya disetiap wilayah dalam satu pemerintahan lembaga relatif sama. Hal tersebut dapat dapat dilihat dalam kebijakan hukum yang ditetapkan dalam masyarakat melalui beberapa tahap sebagai berikut: dipakilala (peringatan), tahap pertama tersangka diperingati oleh tokoh adat jika kasusnya tidak terlalu berat; rambulangi, selanjutnya bila masih melanggar maka yang bersangkutan dihukum potong babi sebagai sumpah atas kesalahan yang diperbuatnya, banyaknya babi yang dipotong sesuai tingkat kesalahannya; diali, keputusan terakhir diambil dengan mengusir dari wilayah/daerah tersebut. Kebijakan hukum diali diberlakukan bagi masyarakat bahkan terhadap pimpinan.

Proses penyelesaian masalah dengan hukum adat berlangsung secara struktural. Prosesnya dimulai dari bawah, jika tidak mampu diselesaikan maka dibawa ke tingkat yang lebih tinggi, apabila tidak mampu diselesaikan dengan hukum adat barulah diserahkan pada hukum nasional. Menurut informasi yang diperoleh dari tokoh-tokoh adat hampir semua masalah dapat diselesaikan melalui hukum adat. Namun, ada beberapa kasus tertentu yang prosesnya tidak lagi melalui hukum adat tetapi langsung ditangani kepolisian seperti pembunuhan.

Berkaitan dengan otonomi daerah, terdapat keinginan dari masyarakat dan tokoh-tokoh adat untuk membangkitkan lagi hukum adat bersamaan dengan dibentuknya Pemerintah Lembang. Berdasarkan pengalaman yang lalu, terdapat banyak masalah yang tidak dapat diselesaikan melalui hukum nasional. Jadi keberadaan hukum adat sebenarnya mendukung hukum nasional, selama kedua hukum itu tidak bertentangan. Demikian berbagai permasalahan yang ada (khususnya menyangkut adat) diselesaikan melalui hukum adat, sehingga berbagai permasalahan yang ada dapat diselesaikan menurut porsinya.

VI. Sosial-Ekonomi Wilayah

1. Potensi ekonomi wilayah

Wilayah Tana Toraja berada pada ketinggian antara 300 s/d 2.884 m dpl. Dilihat dari tipologi daerahnya jika diprosentasikan terdiri dari pegunungan (40%), dataran rendah (38%), dataran tinggi (20%), rawa-rawa termasuk sungai dan jurang (2%). Dengan curuah hujan yang cukup tinggi sekitar 2.106 mm dan hari hujan 211 hari, hal ini menandakan hari hujan lebih banyak daripada musim kemarau. Wilayahnya cukup potensial untuk dikembangan komoditi pertanian tanaman pangan dan perkebunan. Dengan curah hujan yang cukup tinggi sebagian wilayahnya dapat panen 2 kali dalam setahun meskipun tanpa irigasi.

Dari luas Kab. Tator sekitar 3.205,77 km (320.577 ha) terdiri dari tanah sawah 21.005 ha dan tanah kering 299.572 ha. Masyarakat memanfaatkan lahan sawah sebagai tanaman pangan (padi sawah), sedangkan lahan kering sebagai areal perumahan/perkarangan, persawahan, perkebunan/tegalan rakyat, perkebunan negara/swasta, kolam, tanaman untuk kayu, dan hutan negara. Khusus untuk wilayah bergunung batu/karang masyarakat memanfaatkannya sebagai tempat kuburan seperti pekuburan batu yang cukup dikenal untuk daerah wisata seperti Londa, Lemo, dan Swaya serta tempat-tempat kuburan lainnya.

Potensi ekonomi berasal dari pariwisata dan perkebunan baru sebagian kecil dikelola masyarakat. Selama ini potensi pariwisata dikelola pemerintah daerah dan perusahaan pariwisata. Sementara itu, areal perkebunan diusahakan oleh masyarakat secara tradisional dan beberapa perusahaan perkebunan (kopi dan coklat) dari luar daerah. Dengan adanya perusahaan perkebunan dapat meningkatkan pendapatan masyarakat terutama masyarakat yang tinggal di sekitar perkebunan. Berbagai prasarana seperti jalan dibangun menuju perusahaan perkebunan dengan melewati pemukiman penduduk menyebabkan penduduk dapat lebih mudah mengakses daerah perkotaan. Sementara itu tenaga kerja perusahaan sebagian diambil dari masyarakat sekitar perusahaan tersebut.

Di samping keuntungan tersebut masyarakat sebenarnya dirugikan perusahaan perkebunan tersebut. Karena tanah diperuntukan untuk usaha perkebunan diperoleh dari masyarakat dengan cara-cara yang tidak adil dan pemanfaatan lahan perusahaan belum optimal. Di desa Kurra terdapat 4 perusahaan perkebunan (semuanya perkebunan kopi), luas lahan yang dikuasai seluruhnya 200 ha tetapi baru 20% lahan yang diusahakan. Sementara itu sebagian masyarakat tidak memiliki lagi lahan untuk berusaha, lahan mereka sudah berpindah tangan pada perusahaan perkebunan.

Pada awalnya lahan perusahaan perkebunan adalah tanah ulayat, oleh perusahaan kemudian tanah tersebut dibebaskan dengan cara ganti rugi. Tanah yang diganti rugi hanya tanah yang di atasnya ditumbuhi tanaman produktifitas masyarakat sedangkan sisanya tidak diganti rugi. Menurut informasi tokoh adat Kurra, sebenarnya, masyarakat tidak mempermasalahkan lagi tanah tersebut karena mereka menyadari dengan adanya perusahaan tersebut masyarakat juga diuntungkan. Pendapat itu ada benarnya, sejak hadirnya perusahaan sebagian masyarakat menjadi karyawan perkebunan dan prasarana jalan dibangun. Sebelumnya desa tersebut terpencil tidak dapat dijangkau kendaraan, sekarang kendaraan umum sudah dapat menjangkau desa tersebut. Yang menjadi Permasalahan, lahan yang dimanfaatkan baru 20% dan pohon-pohon yang ada di areal tersebut dijual oleh perusahaan. Sementara itu masyarakat dilarang mengambil kayu dilahan perkebunan, kalau pun mereka diizinkan mereka dikawal aparat keamanan. Beberapa tokoh masyarakat yang sempat diwawancarai menduga perusahaan tersebut hanya berkedok sebagai perusahaan perkebunan, tetapi sebenarnya ingin mengambil kayu di wilayah mereka.

Dengan alasan di atas masyarakat melalui tokoh adatnya menuntut perusahaan agar memanfaatkan lahannya secara optimal, jika perusahaan tidak mau maka masyarakatlah yang akan mengolahnya. Dengan adanya kepercayaan masyarakat pada tokoh-tokoh adat menunjukkan masyarakat masih mengakui keberadaan tokoh-tokoh adat mereka.

2. Sumber pendapatan desa

Selama ini sumber pendapatan desa berasal dari bantuan pembangunan desa (bandes) dari pemerintahan pusat sebesar Rp.6,5 juta per tahun. Masyarakat tidak mengetahui pemanfaatan dana tersebut. Sebagian besar pembangunan prasarana di desa merupakan hasil swadaya masyarakat melalui saroan.

Sementara itu sumber pendapatan dari upacara adat seperti rambu solo (upacara kematian) berupa pajak hewan (kerbau dan babi) tidak masuk ke kas desa tapi langsung diambil oleh kabupaten. Pajak babi sebesar Rp.25.000,- per ekor, dipotong atu tidak dipotong, sedangkan pajak kerbau jika dipotong besarnya sesuai nilai kerbaunya. Hanya dengan kemurahan kelompok saroan-lah sehingga ada pemasukan untuk desa. Besarnya sumbangan ditetapkan berdasarkan musyawaah anggota saroan. Biasanya sumbangan tersebut digunakan untuk pembangunan prasarana ibadah, kantor desa, dst.

Namun intervensi pemerintah melalui perda tentang pajak hewan seringkali betentangan dengan adat itu sendiri. Misalnya pajak kerbau untuk desa, ada desa yang menetapkan kepala kerbau sebagai pajak desa, padahal bagi sebagian masyarakat Toraja kepala kerbau merupakan simbol penghormatan (bukan dilihat dari nilai ekonominya).

Potensi lainnya yang belum digarap pemerintah sebagai sumber pendapatan desa adalah potensi wisata. Selama ini yang memperoleh hasilnya adalah perusahaan pariwisata dari luar desa dan pemerintah kabupaten. Sementara masyarakat desa sebagai pelaku hanya dijadikan obyek komersil pariwisata. Hanya sebagian kecil masyarakat yang mampu melihat peluang sektor pariwisata dengan menjual hasil kerajinan di tempat obyek wisata.

Sementara itu sumber keuangan pemerintahan lembang bukan merupakan masalah. Sebagian besar anggaran pembiayan rutin dan pembangunan berasal dari swadaya masyarakat. Masyarakat merasa memiliki Lembang mereka sehingga masyarakat tidak segan-segan menyumbangkan dana dan tenaganya demi kemajuan pembangunan di lembangnya. Salah seorang tokoh masyarakat mengatakan pembangunan saat lembang masih kelihatan hasilnya sampai saat ini dibandingkan dengan hasil pembangunan pemerintah desa, seperti pasar kecamatan dan jalan.

Berkaitan dengan otonomi daerah pemeritah daerah melalui perda telah mempertimbangkan perimbangan keuangan kabupaten dan desa. Belum ada informasi yang jelas tentang perimbangan keuangan tersebut. Menurut informasi Ketua DPRD sekitar 65:35 sedangkan menurut ketua PMD sekitar 60:40. Dilain pihak pemerintah desa yang sebentar lagi berubah menjadi pemerintah lembang berniat memanfaatkan sumberdaya pariwisata yang mereka miliki dengan memperlakukan berbagai retribusi.

3. Pengelolaan Keuangan Desa

Sebagian besar masyarakat menganggap pengelolaan keuangan desa selama ini dilakukan tidak transparan. Hampir semua dana yang masuk kas desa tidak diketahui pemanfaatannya, karena aparat desa memang tidak pernah melaporkan secara terbuka pada masyarakat. Jangankan dana bandes, dana yang berasal dari masyarakat (saroan) tidak pernah dipertanggungjawabkan pada masyrakat. Hal ini makin mengurangi wibawah pemerintah desa di mata masyarakat.

Berbeda dengan sistem pemerintahan lembang dimana pengelolaan dikelola dengan transparan. Setiap pemasukan dan pengeluaran dilaporkan secara transparan pada setiap acara adat. Media pertemuan seperti itu sangat efektif karena biasanya acara adat dihadiri sebagian besar masyarakatnya.

Pemanfaatan keuangan lembang juga dilakukan sebagaimana mestinya. Terjadinya penyalagunaan merupakan malapetaka bagi pelakunya, bagi pelaku terbukti melakukan penyelewengan akan dikenai sanksi hukum adat yang berlaku.

VII. Kesimpulan

Berkaitan dengan otonomi daerah mulai sejak Januari 2001 terdapat pikiran yang sama dari masyarakat, tokoh adat/tokoh masyarakat, eksekutif, dan legislatif tentang kembalinya bentuk pemerintah Lembang. Mereka menyadari bentuk pemerintah desa yang selama ini dijalankan tidak sesuai kondisi budaya masyarakat Toraja yang sarat dengan nilai-nilai budaya. Pemerintahan desa tidak memberi ruang berkembangnya nilai-nilai budaya, bahkan cenderung melanggar nilai-nilai budaya yang berlaku sebelumnya. Sementara itu, tokoh-tokoh adat yang duduk di pemeritah desa bukan merupakan representasi masyarakat adat sehingga aparat desa tidak berwibawa dimata masyarakatnya.

Dengan kembalinya pemerintah lembang masyarakat diberi peluang mengembangkan nilai-nilai budayanya kembali. Dengan demikian aspek hukum, politik, sosial-politik, dan sosial-budaya akan tumbuh subur lagi. Karena dalam sistem pemerintah lembang diakomodasikan nilai-nilai tesebut. Ide mengembalikan pemerintah lembang mendapat respon positif dari berbagai kalangan seperti masyarakat, tokoh adat, eksekutif, dan legislatif. Bahkan pembentukan pemerintah lembang akan disyahkan melalui perda.

Namun untuk mengembalikan sistem pemeintahan lembang akan mengalami banyak kendala, akibat dari sistem pemerintahan desa yang merusak adat dan hukum adat sebelumnya. Sistem pemerintahan lembang yang lalu sudah terpecah menjadi menjadi beberapa desa, masing-masing desa membentuk stuktur adatnya sendiri. Lembang Nanggala tepecah menjadi 6 desa dan Lembang Kurra menjadi 3 desa. Akibatnya, banyak kegiatan adat yang dilakukan saling betentangan, hukum adat tidak dijadikan acuan lagi (langsung hukum nasional), dan banyak generasi muda tidak lagi memahami nilai-nilai budayanya.

***

Berdasarkan kesepakatan masyarakat adat di Jakarta (1994), masyarakat adat adalah kelompok masyarakat yang memiliki asal-usul leluhur (secara turun-temurun) diwilayah geografis tetrtentu serta memiliki sistem nilai, ideologi, ekonomi, politik, budaya, sosial.

Istilah kombongan berati kebersamaan. Dalam masyarakat Toraja kegiatan yang menyangkut kepentingan oang banyak dilakukan besama-sama, pada pesta adat dan kegiatan sosial lainnya sepeti pembuatan jalan, pebaikan rumah ibadah, pekerjaan sawah, atau perbaikan sekolah. Semua biaya, sebisa mungkin juga ditanggung bersama.

PAGE