lembaga sistem pemerintahan di tanah karo simalem kabupaten karo sumatera utara
DESCRIPTION
sejarah hukum sistem pemerintahan di tanah karoTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Arti Penting Judul
Judul “Lembaga Sistem Pemerintahan di Tanah Karo Simalem kabupaten
Karo Sumatera Utara”
Berdasarkan judul di atas penulis ingin menyampaikan sistem pemerintahan di
Tanah karo Simalem kabupaten Karo yang berada di Sumatera Utara. Tanah karo
sebelum masa penjajahan belanda, pada masa penjajahan Belanda dan Jepang
telah memiliki satu sistem pemerintahan secara demokratis dibuktikan adanya
lembaga Runggun yang bertugas untuk melakukan pemilihan peminpin dan
lembaga hukum yang berfungsi sebagai tempat untuk menyelesaikan kasus-kasus
pidana maupun perdata termasuk masalah-masalah yang menyangkut hukum
waris dan hukum adat. Lembaga runggun dulunya sangat berguna dalam tatanan
masyarakat desa di Tanah Karo. Lembaga ini dapat diartikan sebagai musyawarah
untuk mufakat. Sangat menarik untuk mengetahui cara-cara dari masyarakat tanah
karo dalam melaksanan proses pengambilan keputusan dimana hasilnya
memenuhi rasa keadilan secara bersama. Dari topik tersebut kita akan mengetahui
perbedaan atau persamaan sistem pemerintahan daerah dibelbagai tempat di
Indonesia. Dengan demikin dapat ditarik satu kesimpulan bahwa ada satu prinsip
yang sama dalam setiap daerah dalam menjalankan sistem pemerintahannya.
Metode dan cara pada sistem pemerintahan yang bersifaat kedaerahan ini nantinya
dapat dipelajari untuk dapat meninjau sistem pemerintahan yang berlaku sekarang
dan membandingkan dari sisi keefektifan dan kemanfaatan yang dirasakan oleh
masyarakat.
B. Kegunaan Sejarah Hukum
Sebagai mana lazimnya moral yang terdapat pada pelajaran sejarah,
maka studi mengenai sejarah hukum ini akan menghasilkan keuntungan–
keuntungan yang sama seperti orang mempelajari sejarah umum. Salah satu
1
dari keuntungan tersebut adalah, bahwa pengetahuan kita mengenai sistem
atau lembaga atau pengaturan hukum tertentu menjadi lebih mendalam dan
diperkaya. Kekeliruan–kekeliruan baik dalam pemahaman, maupun
penerapan suatu lembaga atau ketentuan hukum tertentu, diharapkan dapat
dicegah dengan cara mendapatkan keuntungan tersebut diatas. Menurut John
Gillisen dan Frist Gorle (2005) kegunaan sejarah hukum dirinci dalam
berbagai poin dibawah ini :
1. Hukum tidak hanya berubah dalam ruang dan letak (Hukum Belgia,
Hukum Amerika, Hukum Indonesia, dan sebagainya), malainkan juga
dalam lintasan waktu. Hal ini berlaku bagi sumber-sumber hukum formil,
yakni bentuk-bentuk penampakan diri norma-norma hukum, maupun isi
norma-norma hukum itu sendiri (sumber-sumber hukum materiil).
2. Norma-norma hukum dewasa ini sering kali hanya dapat dimengerti
melalui sejarah hukum.
3. Sedikit banyak mempunyai pengertian mengenai sejarah hukum, pada
hakikatnya merupakan suatu pegangan penting bagi yuris pemula untuk
mengenal budaya dan pranata hukum.
4. Hal ikhwal yang teramat penting di sini adalah perlindungan hak asasi
manusia terhadap perbuatan semena-mena bahwa hukum diletakan dalam
perkembangan sejarahnya serta diakui sepenuhnya sebagai sesuatu gejala
histories
2
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Sejarah
Pengertian sejarah menurut para pakar adalah sebagai berikut:
1. Herodotus, Sejarah ialah satu kajian untuk menceritakan suatu
perputaran jatuh bangunnya seseorang tokoh, masyarakat dan peradaban.
2. Aristoteles, Sejarah merupakan satu sistem yg meneliti suatu kejadian
sejak awal dan tersusun dalam bentuk kronologi. Pada masa yg sama,
menurut beliau juga Sejarah adalah peristiwa-peristiwa masa lalu yg
mempunyai catatan, rekod-rekod atau bukti-bukti yg konkri.
3. R. G. Collingwood, Sejarah ialah sebuah bentuk penyelidikan tentang
hal-hal yg telah dilakukan oleh manusia pada masa lampau
(Collingwood, R. G. 1965).
4. Patrick Gardiner, sejarah sebagai ilmu yg mempelajari apa yg telah
diperbuat oleh manusia (Gardiner, P. 1966: 267).
5. Drs. Sidi Gazalba, sejarah sebagai masa lalu manusia dan seputarnya yg
disusun secara ilmiah dan lengkap meliputi urutan fakta masa tersebut
dengan tafsiran dan penjelasan yg memberi pengertian dan kefahaman
tentang apa yg berlaku (Gazalba, S. 1981).
6. E. H. Carr, Sejarah adalah dialog yg tak pernah selesai antara masa
sekarang dan lampau, suatu proses interaksi yg berkesinambungan antara
sejarawan dan fakta-fakta yg dimilikinya (Carr, E. H., & Davies, R. W.
1961).
7. Shefer, Sejarah adalah peristiwa yg telah lalu dan benar-benar terjadi
(Shefer, G. (Ed.). 1986).
8. M Yamin, Sejarah adalah ilmu pengetahuan dengan umumnya yg
berhubungan dengan cerita bertarikh sebagai hasil penfsiran kejadian-
kejadian dalam masyarakat manusia pada waktu yg telah lampau atau
tanda-tanda yg lain (Yamin, M., & Prof, M. R. 1965).
3
9. Robert V. Daniels, Sejarah adalah memori pengalaman manusia
(Daniels, R. V. (Ed.). 2001).
10. J. Banks, sejarah adalah Semua peristiwa masa lalu adalah. Sejarah
dapat membantu manusia untuk memahami perilaku manusia dalam,
tujuan masa kini dan masa depan yg baru (untuk studi sejarah) (Banks, J.
A. (2001).
11. Gustafson, Sejarah adalah puncak gunung pengetahuan manusia dari
mana perbuatan generasi kita mungkin scan dan dipasang ke dalam
dimensi yg tepat. (Gustafson, 1961- A history of Swedish literature.
Minneapolis, U. of Minnesota P)
B. Pengertian Hukum
Pengertian hukum sangat beragam sesuai dengan pendapat para ahli berikut
beberapa pengeritian hukum tersebut:
1. Plato, dilukiskan dalam bukunya Republik. Hukum adalah sistem
peraturan-peraturan yang teratur dan tersusun baik yang mengikat
masyarakat.
2. Aristoteles, hukum hanya sebagai kumpulan peraturan yang tidak hanya
mengikat masyarakat tetapi juga hakim. Undang-undang adalah sesuatu
yang berbeda dari bentuk dan isi konstitusi; karena kedudukan itulah
undang-undang mengawasi hakim dalam melaksanakan jabatannya
dalam menghukum orang-orang yang bersalah.
3. Austin, hukum adalah sebagai peraturan yang diadakan untuk memberi
bimbingan kepada makhluk yang berakal oleh makhluk yang berakal
yang berkuasa atasnya (Friedman, B. 1993: 577).
4. Bellfoid, hukum yang berlaku di suatu masyarakat mengatur tata tertib
masyarakat itu didasarkan atas kekuasaan yang ada pada masyarakat
(Nurrohman, N. (2012).
5. Mr. E.M. Mayers, hukum adalah semua aturan yang mengandung
pertimbangan kesusilaan ditinjau kepada tingkah laku manusia dalam
4
masyarakat dan yang menjadi pedoman penguasa-penguasa negara dalam
melakukan tugasnya (The Oxford encyclopedia of archaeology in the
Near East. New York: Oxford University Press, 1997)
6. Duguit, hukum adalah tingkah laku para anggota masyarakat, aturan
yang daya penggunaannya pada saat tertentu diindahkan oleh suatu
masyarakat sebagai jaminan dari kepentingan bersama terhadap orang
yang melanggar peraturan itu (Duguit, L. 1919).
7. Immanuel Kant, hukum adalah keseluruhan syarat-syarat yang dengan
ini kehendak dari orang yang satu dapat menyesuaikan dengan kehendak
bebas dari orang lain memenuhi peraturan hukum tentang Kemerdekaan.
(Kant, I. 1887)
8. Van Kant, hukum adalah serumpun peraturan-peraturan yang bersifat
memaksa yang diadakan untuk mengatur melindungi kepentingan orang
dalam masyarakat.
9. Van Apeldoorn, hukum adalah gejala sosial tidak ada masyarakat yang
tidak mengenal hukum maka hukum itu menjadi suatu aspek kebudayaan
yaitu agama, kesusilaan, adat istiadat, dan kebiasaan. (Van Apeldoorn,
B., Drahokoupil, J., & Horn, L. 2008).
10. S.M. Amir, S.H., hukum adalah peraturan, kumpulan peraturan-
peraturan yang terdiri dari norma-norma dan sanksi-sanksi.
11. E. Utrecht, menyebutkan: hukum adalah himpunan petunjuk hidup –
perintah dan larangan– yang mengatur tata tertib dalam suatu
masyarakat, dan seharusnya ditaati oleh seluruh anggota masyarakat yang
bersangkutan, oleh karena itu pelanggaran petunjuk hidup tersebut dapat
menimbulkan tindakan oleh pemerintah atau penguasa itu. (Utrecht, E.
1964). Pengantar dalam hukum Indonesia. Ichtiar,)
12. M.H. Tirtaamidjata, S.H., bahwa hukum adalah semua aturan (norma)
yang harus dituruti dalam tingkah laku tindakan-tindakan dalam
pergaulan hidup dengan ancaman mesti mengganti kerugian jika
melanggar aturan-aturan itu akan membahayakan diri sendiri atau harta,
umpamanya orang akan kehilangan kemerdekaannya, didenda dan
5
sebagainya.
13. J.T.C. Sumorangkir, S.H. dan Woerjo Sastropranoto, S.H., bahwa
hukum itu ialah peraturan-peraturan yang bersifat memaksa, yang
menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat, yang
dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran mana
terhadap peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan, yaitu
dengan hukuman. (Simorangkir, J.T.C., dkk., Kamus Hukum, Jakarta: CV.
Majapahit, 1972.)
14. Soerojo Wignjodipoero, S.H., hukum adalah himpunan peraturan-
peraturan hidup yang bersifat memaksa, berisikan suatu perintah larangan
atau izin untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu atau dengan maksud
untuk mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat. (Wignjodipoero,
S. 1988)
15. Dr. Soejono Dirdjosisworo, S.H., menyebutkan aneka arti hukum yang
meliputi: (1) hukum dalam arti ketentuan penguasa (undang-udang,
keputusan hakim dan sebagainya), (2) hukum dalam arti petugas-petugas-
nya (penegak hukum), (3) hukum dalam arti sikap tindak, (4) hukum
dalam arti sistem kaidah, (5) hukum dalam arti jalinan nilai (tujuan
hukum), (6) hukum dalam arti tata hukum, (7) hukum dalam arti ilmu
hukum, (8) hukum dalam arti disiplin hukum. (Dirdjosisworo, S. 1984).
16. Dr. Soerjono Soekanto, S.H., M.A., dan Purnadi Purbacaraka, S.H.
menyebutkan arti yang diberikan masyarakat pada hukum sebagai berikut
(Soekanto, S. 2006):
a. Hukum sebagai ilmu pengetahuan, yakni pengetahuan yang tersusun
secara sistematis atas dasar kekuatan pemikiran.
b. Hukum sebagai disiplin, yakni suatu sistem ajaran tentang kenyataan
atau gejala-gejala yang dihadapi.
c. Hukum sebagai kaidah, yakni pedoman atau patokan sikap tindak
atau perikelakuan yang pantas atau diharapkan.
d. Hukum sebagai tata hukum, yakni struktur dan proses perangkat
kaidah-kaidah hukum yang berlaku pada suatu waktu.
6
e. Hukum sebagai petugas, yakni pribadi-pribadi yang merupakan
kalangan yang berhubungan erat dengan penegakan hukum.
f. Hukum sebagai keputusan penguasa, yakni hasil proses diskresi yang
menyangkut keputusan penguasa.
g. Hukum sebagai proses pemerintahan, yaitu proses hubungan timbal-
balik antara unsur-unsur pokok sistem kenegaraan.
h. Hukum sebagai sikap tindak ajeg atau perikelakuan yang teratur, yaitu
perikelakuan yang diulang-ulang dengan cara yang sama, yang
bertujuan untuk mencapai kedamaian.
i. Hukum sebagai jalinan nilai-nilai, yaitu jalinan-jalinan dari konsepsi-
konsepsi abstrak tentang apa yang siagap baik dan buruk.
17. Otje Salman, S.H., dilihat dari kenyataan sehari-hari di lingkungan
masyarakat mengartikan atau memberi arti pada hukum terlepas dari
apakah itu benar atau keliru, sebagai berikut (Kusumaatmadja, M.,
Damian, E., & Salman, O. 2002):
a. Hukum sebagai ilmu pengetahuan, diberikan oleh kalangan ilmuan.
b. Hukum sebagai disiplin, diberikan oleh filosof, teoritis dan politisi
(politik hukum).
c. Hukum sebagai kaidah, diberikan oleh filosof, orang yang bijaksana.
d. Hukum sebagai Lembaga Sosial, diberika oleh filosof, ahli Sosiaologi
Hukum.
e. Hukum sebagai tata hukum, diberikan oleh DPR. Dan eksekutif (di
Indonesia).
f. Hukum sebagai petugas, diberikan oleh tukang beca, pedagang kaki
lima.
g. Hukum sebagai keputusan penguasa, diberikan oleh atasan dan
bawahan dalam suatu Instansi atau lembaga negara.
h. Hukum sebagai proses pemerintah, diberika oleh anggota dan
pimpinan eksekutif.
i. Hukum sebagai sarana sistem pengandalian sosial, diberikan oleh para
pembentuk dan pelaksana hukum.
7
j. Hukum sebagai sikap tindak atau perikelakuan ajeg, diberikan oleh
anggota dan pemuka masyarakat.
k. Hukum sebagai nilai-nilai diberikan oleh filosof, teorotis (ahli
yurisprudence).
l. Hukum sebagai seni, diberikan oleh mereka yang peka terhadap
lingkungannya; ahli karikatur.
C. Pengertian Sejarah Hukum
Sejarah hukum merupakan salah satu bidang studi hukum yang
mempelajari perkembangan dan asal usul sistem hukum, mengungkap fakta
dan membandingkan antara hukum yang lampau dengan hukum sekarang
ataupun yang akan datang. Dalam peranannya sejarah hukum juga berusaha
mengenali dan memahami secara sistematis proses–proses terbentuknya
hukum, faktor–faktor yang menyebabkan dan sebagainya dan memberikan
tambahan pengetahuan yang berharga untuk memahami fenomena hukum
dalam masyarakat.
BAB III
8
SISTEM PEMERINTAHAN DAN SANKSI
A. Sistem Pemerintahan dan Dekripsi Lembaga Hukum
1.1 Sistem Pemerintahan
1.1. 1 Sebelum Masa Penjajangan Belanda
Tanah Karo terbentuk sebagai Kabupaten Daerah Tingkat II setelah melalui
proses yang sangat panjang dan dalam perjalanan sejarahnya Kabupaten ini telah
mengalami perubahan mulai dari zaman penjajahan Belanda, zaman penjajahan
Jepang hingga zaman kemerdekaan. Sebelum kedatangan penjajahan Belanda
diawal abad XX di daerah dataran tinggi Karo, di kawasan itu hanya terdapat desa
(Kuta), yang terdiri dari satu atau lebih “kesain” (bagian dari kuta) Tiap-tiap
kesain diperintah oleh seorang “Pengulu”. Menurut P. Tambun dalam bukunya
“Adat Istiadat Karo”, Balai Pustaka 1952, arti dari pengulu adalah seseorang dari
marga tertentu dibantu oleh 2 orang anggotanya dari kelompok “Anak Beru” dan
“Senina”. Mereka ini disebut dengan istilah “Telu si Dalanen” atau tiga sejalanan
menjadi satu badan administrasi/pemerintahan dalam lingkungannya. Anggota ini
secara turun menurun dianggap sebagai “pembentuk kesain”, sedang kekuasaan
mereka adalah pemerintahan kaum keluarga. Di atas kekuasaan penghulu kesain,
diakui pula kekuasaan kepala kuta asli (Perbapaan) yang menjadi kepala dari
sekumpulan kuta yang asalnya dari kesain asli itu. Kumpulan kesain itu dinamai
Urung. Pimpinannya disebut dengan Bapa Urung atau biasa juga disebut Raja
Urung. Urung artinya satu kelompok kuta dimana semua pendirinya masih dalam
satu marga atau dalam satu garis keturunan.
Yang pertama-tama berhak untuk mewarisi jabatan Perbapaan Urung atau
Pengulu ialah anak tertua, kalau dia berhalangan, maka yang paling berhak adalah
anak yang termuda/bungsu. Sesudah kedua golongan yang berhak tadi itu, yang
berhak adalah anak nomor dua yang tertua, kemudian anak nomor dua yang
termuda. Orang yang berhak dan dianggap sanggup menjadi Perbapaan Urung
tetapi karena sesuatu sebab menolaknya, maka dengan sendirinya hilang haknya
dan berhak keturunannya yang menjadi Perbapaan/Raja Urung. Hal ini juga
9
menurut P. Tambun dalam bukunya merupakan adat baru. Maksudnya adalah
untuk menjaga supaya pemangkuan Perbapaan yang dilaksanakan oleh orang lain
hanya dilakukan dalam keadaan terpaksa. Sementara itu orang yang berhak
menurut adat menjadi Perbapaan/Raja, tetapi masih dalam keadaan di bawah umur
ataupun belum kawin, maka jabatan itu boleh dipangku/diwakili kepada orang
lain menunggu orang yang berhak itu sudah mencukupi.
Menurut P. Tambun seperti di atas ada beberapa sistem atau cara
penggantian perbapaan atau Raja Urung atau juga Pengulu di zaman itu, yaitu
dengan memperhatikan hasil keputusan “runggun/permusyawaratan” kaum
kerabat berdasarkan kepada 2 (dua) dasar/pokok yakni:
a. Dasar Adat “Sintua-Singuda” yang dicalonkan. Yang pertama-tama berhak
menjadi Perbapaan adalah anak tertua. Namun kalau Ia berhalanagan atau
karena sebab yang lain, yang paling berhak di antara saudara-saudaranya
adalah jatuh kepada anak yang termuda. Dari semua calon Perbapaan maka
siapa yang terkemuka atau siapa yang kuat mendapatkan dukungan, misalnya
siapa yang mempunyai banyak Anak Beru dan Senina, besar kemungkinan
jabatan Perbapaan/Raja Urung atau Pengulu, akan jatuh kepadanya. Jadi
dengan demikian, kedudukan Perbapaan, yang disebutkan di atas harus jatuh
kepada yang tertua atau yang termuda, tidaklah sepenuhnya dijalankan secara
baik waktu itu.
b. Dasar “Bere-bere”, yakni menurut keturunan dari pihak Ibu. Hanya dari
keturunan ibu/kemberahen tertentu saja yang pertama-tama berhak menjadi
Perbapaan.
Struktur sistem pemerintahannya seperti bagan dibawah ini:
10
Gambar 3.1 Struktur sistem pemerintahan di Tanah Karo sebelum masa
Penjajahan Belanda
1.1.2 Masa Penjajangan Belanda
Dasar Adat “Sintua-Singuda” telah terjadi perubahan permulaan abad XX
(1907). Belanda melakukan “intervensi” dalam hal penentuan siapa yang diangap
pantas sebagai Perbapaan dari kalangan keluarga yang memerintah, walaupun ada
juga selalu berdasarkan adat. Termasuk juga sistem atau dasar “Bere-bere”
dihapuskan.
Mengangkat dan mengganti Perbapaan dilakukan oleh “Kerunggun” Anak
Beru-Senina dan Kalimbubu. Namun setelah jaman Belanda cara seperti itu diper-
modern, dengan cara kekuasaannya dikurangi, malah akhirnya diambil alih oleh
kerapatan Balai Raja Berempat. Demikian pula, dasar pengangkatan “Pengulu”
dan Perbapaan. Kekuasaan Raja Urung yang tadinya cukup luas, dipersempit
dengan keluarnya Besluit Zelfbestuur No. 42/1926, dimana antara lain dapat
dibaca ”jabatan Raja-raja Urung dan Pengulu akan diwarisi oleh turunan langsung
yang sekarang ada memegang jabatan itu”
Peraturan tetap tentang memilih siapa sebagai pemangku itu tidak ada. Yang
sering dilakukan ialah orang yang paling cakap diantara kaum sanak keluarga
terdekat, termasuk juga Anak Beru dan marga yang seharusnya memerintah
sebagai Perbapaan Raja. Adapun jabatan pemangku itu dipilih dari kalangan Anak
Beru dari lain marga dari Perbapaan/Raja. Jadi mustahillah sipemangku itu tadi
Raja Urung
Pengulu Kuta
Pengulu Kesain
Senina Anak beru
11
berhak atas kerajaan yang dipangkunya untuk selama-lamanya, pasti disatu waktu
akan dikembalikan kepada yang berhak. Sedangkan kalau jabatan sebagai
Perbapaan/Raja dipegang oleh kaum keluarga dari sipemangku yang berhak,
misalnya saudara satu ayah lain ibu, ada kemungkinan akan mendakwa dan
mempertahankan jabatan itu di kemudian hari, terlebih kalau dia sudah bertahun-
tahun sudah memangku jabatan itu, sehingga merasa segan malah menolak
menyerahkannya kembali kepada yang berhak. Keadaan seperti ini juga pernah
terjadi, malah menimbulkan perselisihan berkepanjangan antar kerabat yang
seketurunan. Dalam pemangkuan sementara itu, diadatkan sehingga merupakan
kewajiban bagi si pemangku yaitu menyerahkan 1/3 dari semua pendapatan
kerajaan kepada orang yang seharusnya memangku jabatan tersebut. Seperti
diuraikan di depan, baik Perbapaan Urung/Raja Urung ataupun Pengulu yang
dibantu oleh “Anak Beru-Senina”, yang merupakan “Telu Sidalanen”, maka
jabatan dari “Anak Beru-Senina” itupun juga bersifat turun temurun. Dengan
sistem ini Pemerintah Tradisional Karo telah berjalan amper ratusan tahun.
Struktur sistem pemerintahan tersebut digambarkan seperti gambar dibawah ini:
Gambar 3.2 Struktur sistem pemerintahan di Tanah Karo semasa Penjajahan
Belanda
Pada masa penjajahan Belanda mulai tahun 1906, sistem pemerintahan di
wilayah Kabupaten Karo pada dasarnya ialah:Pemerintahan oleh Onderafdeling
Sibayak
Raja Urung
Perbapan/Urung
Pengulu Kesain
Senina Anak beru
Raja Urung Raja Urung
12
Karo Landen yang dipimpin oleh Controleur pimpinan pemerintahan selalu
ditangan bangsa Belanda.Landschaap, yaitu pemerintahan Bumi Putra.
Pemerintahan (Landschaap) ini dibentuk berdasarkan perjanjian pendek dengan
pemerintahan Onderafdeling. Berdasarkan perjanjian pendek (Korte Verklaring)
tahun 1907, maka di Tanah Karo terdapat 5 (lima) Landschaap yang dikepalai
oleh SIBAYAK yang membawahi beberapa URUNG yang dikepalai oleh RAJA
URUNG yaitu:
a. Landschaap Lingga, membawahi 6 (enam) urung: Sepuluh Dua Kuta di
KabanjaheTelu Kuta di Lingga Tigapancur di Tigapancur Empat Teran di
Naman Lima Senina di Batu Karang, dan Tiganderket di Tiganderket
b. Landschaap Kutabuluh, membawahi 2 (dua) urung: Namo Haji di
Kutabuluh, danLiang Melas di Samperaya
c. Landschaap Sarinembah, membawahi 4 (empat) urung: Sepuluhpitu
Kuta di SarinembahPerbesi di PerbesiJuhar di Juhar, dan Kuta Bangun di
Kuta Bangun
d. Landschaap Suka, membawahi 4 (empat) urung: Suka di Suka
Sukapiring/Seberaya di Seberaya Ajinembah di Ajinembah, dan Tongging
di Tongging
e. Landschaap Barusjahe, membawahi 2 (dua) urung: Sipitu Kuta di
Barusjahe, danSinaman Kuta di Sukanalu
1.1.3 Masa Penjajangan Jepang
Pada masa penjajahan Jepang (Tentara Jepang masuk ke Tanah Karo bulan
Maret 1942) susunan pemerintahan di Tanah Karo adalah serupa dengan masa
penjajahan Belanda, dengan pergantian orang-orangnya yakni yang setia kepada
penjajah Jepang.
1.1.4 Masa Kemerdekan RI
Pada masa Kemerdekaan RI Struktur pemerintahan di Tanah Karo adalah sebagai
13
berikut:
a. Pemerintahan Tanah Karo sebagai alat pemerintahan Pusat yang pada saat
itu dikepalai oleh Sibayak Ngerajai Milala
b. Pemerintahan Swapraja yaitu Landschaap:- Lingga dengan 6 Urung-
Barusjahe dengan 2 Urung- Suka dengan 4 Urung- Sarinembah dengan 4
Urung- Kutabuluh dengan 2 Urung
Oleh Komite Nasional Indonesia, Tanah Karo dalam sidangnya tanggal 13 Maret
1946, Kabupaten Karo diperluas dengan Daerah Deli Hulu dan Cingkes, dibagi
kedalam 3 (tiga) Kewedanaan dengan masing-masing membawahi 5 (lima)
Kecamatan yaitu:
a. Kewedanaan Kabanjahe membawahi 5 Kecamatan yaitu: Kabanjahe
TigapanahBarusjaheSimpang Empat, danPayung
b. Kewedanaan Tiga binanga membawahi 5 Kecamatan yaitu:
TigabinangaJuhar MunteKutabuluhMardingdin.
c. Kewedanaan Deli Hulu membawahi 5 Kecamatan yaitu: Pancur Batu
SibolangitKutalimbaruBiru-BiruNamo Rambe
1.1.5 Masa Sekarang
Bentuk dan Susunan Pemerintahan Daerah:
a. Susunan Pemerintah Daerah seperti yang diatur menurut UU No. 22
Tahun 1999 bahwa di daerah dibentuk DPRD sebagai Badan Legislatif
Daerah dan Pemerintah Daerah sebagai Badan Eksekutif Daerah. Kepala
Daerah Kabupaten disebut Bupati, dan dalam melaksanakan tugas dan
kewenangan selaku Kepala Daerah, Bupati dibantu oleh seorang Wakil
Bupati.
b. Wilayah pemerintahan Kabupaten Karo terbagi dalam 17 Kecamatan dan
262 Desa/Kelurahan diantaranya yaitu (Sumber: karokab.go.id, 29-09-
2013)
1. Kecamatan Kabanjahe: sebanyak 8 desa dan 5 KelurahanKecamatan
14
2. Kecamatan Berastagi: sebanyak 5 Desa dan 4 Kelurahan
3. Kecamatan Tigapanah: Sebanyak 22 DesaKecamatan Dolat Rayat
sebanyak 7 Desa
4. Kecamatan Merek: sebanyak 19 DesaKecamatan Barusjahe,
sebanyak 19 Desa
5. Kecamatan Simpang Empat: sebanyak 17 Desa
6. Kecamatan Naman Teran sebanyak 14 DesaKecamatan Merdeka
sebanyak 9 Desa
7. Kecamatan Payung: sebanyak 8 DesaKecamatan Tiganderket
sebanyak 17 Desa
8. Kecamatan Kutabuluh: sebanyak 16 DesaKecamatan Munte,
sebanyak 22 Desa
9. Kecamatan Juhar: sebanyak 24 DesaKecamatan Tigabinanga,
sebanyak 18 Desa dan 1 KelurahanKecamatan Laubaleng, sebanyak 15
Desa
10. Kecamatan Mardingding: sebanyak 12 Desa
1.2 Lembaga Hukum
Lembaga Hukum Adat Runggun
Runggun padalah proses mufakat dalam hal menetapkan keputusan. Bidang
bidang yang menggunakan runggun adalah pemilihan Pengulu Kuta, Pengulu
Kesain, Kepala Marga dan menyelesaikan sengketa. Runggu juga dilakukan untuk
menyelesaikan masalah yang terjadi pada seseorang, pada satu keluarga, kerabat
yang perlu mendapat penyelesaian. Masalah-masalah yang selalu dibawa ke
runggun pada dasarnya adalah masalah yang berhubungan dengan adanya
sengketa dan masalah yang tidak berhubungan dengan adanya sengketa. Masalah
itu dapat menyangkut harta kekayaan, menyangkut warisan, perceraian,
perkelahian dan penganiayaan. Yang paling banyak dibawa ke runggun mengenai
sengketa masalah perceraian dan warisan. Runggun juga berfungsi untuk
menetapkan hukuman terhadap kepala marga, Raja Urung, Pengulu atau Pengulu
15
kesain
B. Ketentuan Sanksi
Saksi terhadap pelaksana pemerintahan jika tidak menjalakan tugas atau
melakukan pelangaran terhadap tugas yang dipercayakan kepadanya.
a. Sanksi Terhadap Sibayak
Tidak terdapat banyak Sanksi terhadap Sibayak yang meruapakan pemimpin
tertinggi pada wilayah karo, Sibayak adalah penguasa dan pendiri wilayah
karo dan secara turun temurun menguasai kempemimpian yang diwarisi oleh
keturuannya secara langsung atau oleh anak seninanya saudara kandung.
Sanki terhadap Sibyak jika melakukan pelanggaran moral atau
memperlakukan rakyatnya semena mena maka pihak anak beru yang berhak
menghukumnya. Sanksi terhadap perlakuannya sanksi paling ringan adalah
mengganti kepemimpinannya untuk sementara waktu yang diganti oleh
adeknya. Sanksi yang paling berat adalah mengganti posisi kepemimpinannya
untuk selamanya dan keturuannya tidak berhak untuk menjadi Sibayak lagi.
b. Sanksi Terhadap Raja Urung
Sanksi terhadap Raja Urung jika tidak melakukan tugasnya maka akan
mempengaruhi posisinya dalam pemilihan berikutnya. Jika masa
pemerintahannya tidak bersifat adil dan tidak mampu memperluas kesain
maka Senina dan Anak beru melalui runggun berikutnya akan mengganti
kepeminpinan Raja Urung dan diberikan kepada anak singuda yaitu adik dari
raja Urung atau sebaliknya.
2.3 Sanksi Terhadap Perbapan
Perbapan tidak hanya bertugas sebagai pemimpin tetapi juga sebagai
pemimpin adat dan kepala dari ketua marga. biasanya masalah masalah di
kuta selalu dibawa juga kepada perbapan untuk diselesaikan. keberhasilan
dari perbapan dilihat dari kemampuannya dalam mendidik warganya dan
menyelesaikan masalah. pelanggaran oleh perbapaan terhadap pekerjaannya
16
adalah tanah desa yang digarap olehnya untuk kepentingan keluarganya akan
ditarik daripadanya. sanksi paling berat adalah kepemimpinannya digantikan
oleh orang lain yang dibawa dalam runggun.
2.4 Sanksi Terhadap Senina dan Anak beru
Senina dan anak beru adalah sekelompok orang yang merupakan kerabat
dekat dari Penghulu. sanksi terhadap senina jika melakukan pelanggaran
terhadap hukum adat maka haknya untuk menjadi pengganti Pengulu akan
hilang dan tidak akan mendapat warisan tanah. Sanksi terhadap anak beru.
sampai saat ini belum ada sanksi jelas terhadap anak beru hanya saja jika
terjadi permasalahan maka dalam runggun hanya akan memberikan nasehat-
nasehat untuk memperbaiki kinerjanya.
2.5 Sanksi Terhadap Pengulu Kesain
Sangsi utama jika pengulu kesain membuat kesalahan atau tidak melakukan
tugasnya dengan baik maka pihak anak kuta. Maka pengulu aktif akan
digantikan oleh seninanya. Tetapi anaknya masih berhak untuk meneruskan
kepeminpinan.
BAB IV
IUS CONSTITUTUM
17
A. Kritik Terhadap Undang-Undang
Keritik Terhadap ius constitutum:
Ketentuan Pasal 97 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 72 Tahun
2005 tentang Desa (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor
158, tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4587), perlu
menetapkan Peraturan Daerah Kabupaten Karo tentang Lembaga Kemasyarakatan
Desa.
Dimana dalam Peraturan Daerah Kabupaten Karo nomor 14 tahun 2008
tentanglembaga kemasyarakatan di desa. Dalam Peraturan Daerah ini yang
dimaksud pada Bab V Tugas, Fungsi Dan Kewajiban Lembaga Kemasyarakatan
Desa Pasal 10
Tugas lembaga kemasyarakatan sebagaimana tersebut pada Pasal 3 Peraturan
Daerah ini meliputi :
a. Menyusun rencana pembangunan secara partisipatif, dengan proses
perencanaan pembangunan yang melibatkan berbagai unsur masyarakat
terutama kelompok masyarakat miskin dan perempuan.
b. Melaksanakan, mengendalikan, memanfaatkan, memelihara dan
mengembangkan pembangunan secara partisipatif dengan melibatkan
masyarakat secara demokratis, terbuka dan bertanggung jawab untuk
memperoleh manfaat yang maksimal bagi masyarakat untuk terselenggaranya
pembangunan berkelanjutan.
c. Menggerakkan dan mengembangkan partisipasi, gotong royong dan swadaya
masyarakat dengan penumbuhkembangan dan penggerakan prakarsa,
partisipasi serta swadaya gotong royong masyarakat yang dilakukan oleh
Kader Pemberdayaan Masyarakat atau dengan sebutan lain.
d. Menumbuhkembangkan kondisi dinamis masyarakat dalam rangka
pemberdayaan masyarakat dengan mempercepat terwujudnya kemandirian
masyarakat.
18
Penulis akan mengkritisi pada Bab V Tugas, Fungsi Dan Kewajiban Lembaga
Kemasyarakatan Desa dimana ada poin dari tugas Lembaga Masyarakat yang
dihilangkan yaitu mengevaluasi kinerja dan tugas dari pemimpin desa atau
pengulu. Kepada desa atau pengulu bertanggung jawab kepada lembaga
masyarakat desa yang didalamnya mencakup (Anak beru, Senina dan kalimbubu)
dan pada masa setelah jaman penjajahan Belanda ditambahkan Kepala marga.
Pengulu menaruh respek yang besar kepada Anak beru, senina dan kalimbubu
sehingga setiap pekerjaan yang dilakukan kepada desa semata mata adalah untuk
kemajuan dan perkembangan desanya. saat ini Lembaga Adat atau disebut juga
lembaga kemasyarakatan tunduk kepada kepala desa. Oleh karena itu lembaga
runggun sekarang telah berkurang kedudukannya dari fungsi pertama sejak sistem
pemerintahan karo pertama terbentuk padahal sistem pertanggung jawaban oleh
kepala desa atau pengulu kepada lembaga adat telah terbukti lebih efisien karena
hasil kerjanya langsung dipertanggung jawabkan kepada penduduk atau lembaga
ditempat dimana kepala desa bekerja. sekarang lamporan hasil kerja kepala desa
langsung kepada Camat. Hasil laporan ini sering kali tidak berdasarkan fakta dan
laporan lebih dari satu pihak yaitu kepentingan kepala Desa. Masalah lain adalah
sistem pemerintahan yang baru telah mengikis fungsi lembaga Adat yang lebih
teruji ratusan tahun mampu memberikan rasa keadilan bagi seluruh penduduk
desa dan tentu lebih murah dalam hal biaya.
Sesuai pasal 9 butir 6 Perda no14 tahun 2008 mengenai Anggota pengurus
lembaga diberhentikan karena terkena sanksi hukum berdasarkan peraturan
perundang-undangan.
Sanksi terhadap anggota lembaga adat pada pasal 9 butir 6 menyatakan
bahwa sanksi hukum berdasarkan peraturan perundang-undangan memang sudah
baik tetapi sanki ini tidak lah ditakuti oleh anggota lembaga bersifat berlaku pada
setiap warga Negara; dan sangat jarang satu anggota lembaga karena tidak
menjalankan fungsinya sebagaimana mestinya dapat dikenakan sanksi
berdasarkan peraturan perudang-undangan. Karena tidak ada kesalahan secara
melanggar hukum dilakukan oleh anggota tetapi pada jaman dahulu sanksi ini
19
berupa pancabutan hak sebagai anggota dan membantasi kepemilikan lahan
pertanian. sehingga sanksi ini menjadi lebih berat bagi setiap anggota lembaga
jika tidak menjalankan fungsinya dengan sebaik-baiknya. artinya dibutuhkan
ditambahkan sanksi pencabutan hak adat terhadap orang yang melanggar tugas
yang dipercayakan kepadanya.
BAB V
IUS CONSTITUTUM
20
A. Mendefinisikan hukum yang berguna bagi masa depan
Berdasarkan kritik ius consitutum pada bab iii diatas sangat jelas bahwa
perlunya ada pengakuan terhadap desa adat. Diharapkan dalam RUU desa,
pengakuan tentang desa adat diatur keberadaanya. Desa adat yang dimaksud disini
adalah persekutuan masyarkat hukum ada yang terbentuk berdasarkan hak asal
usul dan sejarah perkembangan masyarakat desa tersebut. Desa adat dan desa
praja (desa pada umumnya dimana ada mekanisme pemilihan kepala desa).
Sementara desa adat adalah pemilihan langsung dan berdasarkan mekanisme adat
setempat, jenis kekayaan atau asset, tanah kas desa dan tanah ulayat. Dasar
pembentukan desa adat dibentuk berdasarkan hukum ada yang telah disesuaikan
seperlunya dengan peraturan perundang-udangan. sehingga dalam desa adat dalam
pelaksanan atau menjalankan pemerintahan dilakukan berdarkan hukum adat.
Tentu asal tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Negara kesatuan Repuplik
Indonesia. Dengan diberlakukannya hukum dan desa adat maka sistem pemilihan
kepala desa (pengulu atau disesuaikan dengan sebutan kepala desa sesuai dengan
daerah masing-masing) dapat dilakukan dengan lebih memenuhi rasa keadilan dan
keinginan masyarakat desa tersebut. Keuntungan lain dari pengakuan desa adat ini
adalah selain lebih murah budaya bangsa akan lebih terjaga dengan berbagai
keragamannya. Tentu walaupun desa adat dalam melaksanakan tugasnya para
pengemban tugas dalam hukum adat harus diberikan gaji tetap perbulan. dengan
demikian para pengemban tugas adat akan lebih merasa bertanggung jawab akan
tugasnya; karena tidak semua desa adat memiliki kondisi perekonomian yang
bagus maka dengan gaji tersebut dapat lebih membantu masyarakat desa.
Daftar Pustaka
A history of Swedish literature. Minneapolis, U. of Minnesota P, 1961.
Banks, J. A. (2001). Cultural diversity and education. Boston: Allyn & Bacon.
21
Carr, E. H., & Davies, R. W. (1961). What is history?.
Collingwood, R. G. (1965). Essays in the Philosophy of History (Vol. 11815). University of Texas Press.
Daniels, R. V. (Ed.). (2001). A Documentary History of Communism in Russia: From Lenin to Gorbachev. UPNE.
Duguit, L. (1919). Law in the modern state. BW Huebsch.
Dirdjosisworo, S. (1984). Pengantar Ilmu Hukum. Rajawali.
Friedman, B. (1993). Dialogue and judicial review. Michigan Law Review, 91(4), 577-682.
Gilissen, J., & Gorle, F. (2005). Sejarah Hukum, Suatu Pengantar. Bandung, Indonesia: Refika Aditama.
Gardiner, P. (1966). 12. HISTORICAL UNDERSTANDING AND THE EMPIRICIST TRADITION. British analytical philosophy, 267.
Gazalba, S. (1981). Pengantar sejarah sebagai Ilmu.
Kant, I. (1887). The philosophy of law: an exposition of the fundamental principles of jurisprudence as the science of right. University Microfilms.
Kusumaatmadja, M., Damian, E., & Salman, O. (2002). Konsep-konsep hukum dalam pembangunan: kumpulan karya tulis. Pusat Studi Wawasan Nusantara, Hukum, dan Pembangunan bekerjasama dengan Penerbit PT Alumni.
Mahkamah Konstitusi No. 19/PUU-VI/2008, dan Qanun Jinayat di Aceh. Mukaddimah: Jurnal Studi Islam, 18(2).
Nurrohman, N. (2012). ARTIKULASI PIDANA ISLAM DALAM RUANG PUBLIK: Tinjauan Politik Hukum Islam atas Kasus Rajam di Ambon, Putusan
P. Tambun (1952) dalam bukunya Adat-Istiadat Karo, Jakarta, Balai Pustaka.
Utrecht, E. (1964). Pengantar dalam hukum Indonesia. Ichtiar,
Simorangkir, J.T.C., dkk., Kamus Hukum, Jakarta: CV. Majapahit, 1972.
Wignjodipoero, S. (1988). Pengantar Ilmu Hukum. Jakarta. CV Haji Masagung.
22
Soekanto, S. (2006). Pengantar Penelitian Hukum. Penerbit Universitas Indonesia (UI-Press).
karokab.go.id, 29-09-2013
Shefer, G. (Ed.). (1986). Modern diasporas in international politics. Taylor & Francis.
Yamin, M., & Prof, M. R. (1965). Atlas Sejarah. Jakarta: Djembatan. Daftar Gambar, 189.
The Oxford encyclopedia of archaeology in the Near East. New York: Oxford University Press, 1997.
Van Apeldoorn, B., Drahokoupil, J., & Horn, L. (2008). Contradictions and limits of neoliberal European governance: from Lisbon to Lisbon. Palgrave Macmillan.
23