sk1 traumato

Upload: anindya-nur-qurani

Post on 16-Oct-2015

27 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan sendi, tulang rawan epifisis baik bersifat total ataupun parsial yang umumnya disebabkan oleh tekanan yang berlebihan, sering diikuti oleh kerusakan jaringan lunak dengan berbagai macam derajat, mengenai pembuluh darah, otot dan persarafan. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung dan trauma tidak langsung. Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah tekanan. Trauma tidak langsung, apabila trauma dihantarkan ke daerah yang lebih jauh dari daerah fraktur, misalnya jatuh dengan tangan ekstensi dapat menyebabkan fraktur pada klavikula, pada keadaan ini biasanya jaringan lunak tetap utuh.Fraktur ekstremitas bawah adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang atau tulang rawan yang terjadi pada ekstremitas bawah yang umumnya disebabkan oleh ruda paksa. Trauma yang menyebabkan fraktur dapat berupa trauma langsung, misalnya sering terjadi benturan pada ekstremitas bawah yang menyebabkan fraktur pada tibia dan fibula.Fraktur kruris (L:crus = tungkai) merupakan fraktur yang terjadi pada tibia dan fibula. Fraktur tertutup adalah suatu fraktur yang tidak mempunyai hubungan dengan dunia luar. Maka fraktur kruris tertutup adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, tulang rawan sendi maupun tulang rawan epifisis yang terjadi pada tibia dan fibula yang tidak berhubungan dengan dunia luar. Fraktur kruris merupakan fraktur yang sering terjadi dibandingkan dengan fraktur pada tulang panjang lainnya. Periosteum yang melapisi tibia agak tipis terutama pada daerah depan yang hanya dilapisi kulit sehingga tulang ini mudah patah dan biasanya fragmen frakturnya bergeser karena berada langsung dibawah kulit sehingga sering juga ditemukan fraktur terbuka.PENYEBAB FRAKTURTulang bersifat relatif rapuh, namun cukup mempunyai kekuatan dan gaya pegas untuk menahan tekanan. Fraktur dapat terjadi akibat:1. Peristiwa trauma: sebagian besar fraktur disebabkan oleh kekuatan yang tiba-tiba dan berlebihan, yang dapat berupa pemukulan, penghancuran, penekukan, pemuntiran, atau penarikan. Bila terkena kekuatan langsung, tulang dapat patah pada tempat yang terkena, jaringan lunaknya juga pasti rusak. Bila terkena kekuatan tak langsung, tulang dapat mengalami fraktur pada tempat yang jauh dari tempat yang terkena kekuatan itu, kerusakan jaringan lunak di tempat fraktur mungkin tidak ada.2. Fraktur kelelahan atau tekanan: keadaan ini paling sering ditemukan pada tibia atau fibula atau metatarsal, terutama pada atlet, penari, dan calon tentara yang jalan berbaris dalam jarak jauh.3. Fraktur patologik: fraktur dapat terjadi oleh tekanan yang normal kalau tulang itu lemah (misalnya oleh tumor) atau kalau tulang itu sangat rapuh (misalnya pada penyakit Paget).Daya pemuntir menyebabkan fraktur spiral pada kedua tulang kaki dalam tingkat yang berbeda; daya angulasi menimbulkan fraktur melintang atau oblik pendek, biasanya pada tingkatyang sama. Pada cedera tak langsung, salah satu dari fragmen tulang dapat menembus kulit; cedera langsung akan menembus atau merobek kulit diatas fraktur. Kecelakaan sepeda motor adalah penyebab yang paling lazim.PEMERIKSAAN KLINISKulit mungkin tidak rusak atau robek dengan jelas, kadang-kadang kulit tetap utuh tetapi melesak atau telah hancur, dan terdapat bahaya bahwa kulit itu dapat mengelupas dalam beberapa hari. Kaki biasanya memuntir keluar dan deformitas tampak jelas. Kaki dapat menjadi memar dan bengkak. Nadi dipalpasi untuk menilai sirkulasi, dan jari kaki diraba untuk menilai sensasi. Pada fraktur gerakan tidak boleh dicoba, tetapi pasien diminta untuk menggerakkan jari kakinya. Sebelum merencanakan terapi, perlu dilakukan penentuan beratnya cedera.Pada anamnesis dalam kasus fraktur kondilus tibia terdapat riwayat trauma pada lutut, pembengkakan dan nyeri serta hemartrosis. Terdapat gangguan dalam pergerakan sendi lutut. Pada fraktur diafisis tulang kruris ditemukan gejala berupa pembengkakan, nyeri dan sering ditemukan penonjolan tulang keluar kulit. Pada fraktur dan dislokasi sendi pergelangan kaki ditemukan adanya pembengkakan pada pergelangan kaki, kebiruan atau deformitas. Yang penting diperhatikan adalah lokaliasasi dari nyeri tekan apakah pada daerah tulang atau pada ligament.DIAGNOSISMenegakkan diagnosis fraktur dapat secara klinis meliputi anamnesis lengkap danmelakukan pemeriksaan fisik yang baik, namun sangat penting untuk dikonfirmasikan denganmelakukan pemeriksaan penunjang berupa foto rontgen untuk membantu mengarahkan danmenilai secara objektif keadaan yang sebenarnya.AnamnesaPenderita biasanya datang dengan suatu trauma (traumatic fraktur), baik yang hebat maupun trauma ringan dan diikuti dengan ketidakmampuan untuk menggunakan anggota gerak. Anamnesis harus dilakukan dengan cermat, karena fraktur tidak selamanya terjadi di daerah trauma dan mungkin fraktur terjadi ditempat lain. Trauma dapat terjadi karena kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian atau jatuh dikamar mandi pada orang tua, penganiayaan, tertimpa benda berat, kecelakaan pada pekerja oleh karena mesin atau karena trauma olah raga. Penderita biasanya datang karena nyeri, pembengkakan, gangguan fungsi anggota gerak, deformitas, kelainan gerak, krepitasi atau datang dengan gejala-gejala lain.Pemeriksaan FisikPada pemeriksaan awal penderita, perlu diperhatikan adanya: Syok, anemia atau perdarahan. Kerusakan pada organ-organ lain, misalnya otak, sumsum tulang belakang atau organ-organ dalam rongga toraks, panggul dan abdomen. Faktor predisposisi, misalnya pada fraktur patologis (penyakit Paget).Pada pemeriksaan fisik dilakukan:Look (Inspeksi) Deformitas: angulasi ( medial, lateral, posterior atau anterior), diskrepensi (rotasi, perpendekan atau perpanjangan). Bengkak atau kebiruan. Fungsio laesa (hilangnya fungsi gerak). Pembengkakan, memar dan deformitas mungkin terlihat jelas, tetapi hal yang penting adalah apakah kulit itu utuh. Kalau kulit robek dan luka memiliki hubungan dengan fraktur, cedera itu terbuka (compound).Feel (palpasi)Palpasi dilakukan secara hati-hati oleh karena penderita biasanya mengeluh sangat nyeri. Hal-hal yang perlu diperhatikan: Temperatur setempat yang meningkat Nyeri tekan; nyeri tekan yang superfisisal biasanya disebabkan oleh kerusakan jaringan lunak yang dalam akibat fraktur pada tulang. Krepitasi; dapat diketahui dengan perabaan dan harus dilakukan secara hati-hati. Pemeriksaan vaskuler pada daerah distal trauma berupa palpasi arteri radialis, arteri dorsalis pedis, arteri tibialis posterior sesuai dengan anggota gerak yang terkena. Refilling (pengisian) arteri pada kuku. Cedera pembuluh darah adalah keadaan darurat yang memerlukan pembedahan.Move (pergerakan) Nyeri bila digerakan, baik gerakan aktif maupun pasif. Gerakan yang tidak normal yaitu gerakan yang terjadi tidak pada sendinya. Pada penderita dengan fraktur, setiap gerakan akan menyebabkan nyeri hebat sehingga uji pergerakan tidak boleh dilakukan secara kasar, disamping itu juga dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lunak seperti pembuluh darah dan saraf.Pemeriksaan PenunjangSinar -XDengan pemeriksaan klinik kita sudah dapat mencurigai adanya fraktur. Walaupun demikian pemeriksaan radiologis diperlukan untuk menentukan keadaan, lokasi serta eksistensi fraktur. Untuk menghindari nyeri serta kerusakan jaringan lunak selanjutnya, maka sebaiknya kita mempergunakan bidai yang bersifat radiolusen untuk imobilisasi sementara sebelum dilakukan pemeriksaan radiologis.Pemeriksaan dengan sinar-X harus dilakukan dengan ketentuan Rules of Two: Dua pandangan: fraktur atau dislokasi mungkin tidak terlihat pada film sinar-X tunggal dan sekurang-kurangnya harus dilakukan 2 sudut pandang (AP & Lateral/Oblique). Dua sendi: pada lengan bawah atau kaki, satu tulang dapat mengalami fraktur atau angulasi. Tetapi angulasi tidak mungkin terjadi kecuali kalau tulang yang lain juga patah, atau suatu sendi mengalami dislokasi. Sendi-sendi diatas dan di bawah fraktur keduanya harus disertakan dalam foto sinar-X. Dua tungkai: pada sinar-X anak-anak epifise dapat mengacaukan diagnosis fraktur. Foto pada tungkai yang tidak cedera akan bermanfaat. Dua cedera: kekuatan yang hebat sering menyebabkan cedera pada lebih dari 1 tingkat. Karena itu bila ada fraktur pada kalkaneus atau femur perlu juga diambil foto sinar-X pada pelvis dan tulang belakang. Dua kesempatan: segera setelah cedera, suatu fraktur mungkin sulit dilihat, kalau ragu-ragu, sebagai akibat resorbsi tulang, pemeriksaan lebih jauh 10-14 hari kemudian dapat memudahkan diagnosis.TEKNIK PENANGANANPenatalaksanaan Fraktur :Non Operatifa. Reduksi: Reduksi adalah terapi fraktur dengan cara mengantungkan kaki dengan tarikan atau traksi.b. Imobilisasi: Imobilisasi dengan menggunakan bidai. Bidai dapat dirubah dengan gips dalam 7-10 hari, atau dibiarkan selama 3-4 minggu.c. Pemeriksaan dalam masa penyembuhan: Dalam penyembuhan, pasien harus di evaluasi dengan pemeriksaan rontgen tiap 6 atau 8 minggu. Program penyembuhan dengan latihan berjalan, rehabilitasi ankle, memperkuat otot kuadrisef yang nantinya diharapkan dapat mengembalikan ke fungsi normalOperatifPenatalaksanaan Fraktur dengan operasi, memiliki 2 indikasi, yaitu:a. Absolut Fraktur terbuka yang merusak jaringan lunak, sehingga memerlukan operasi dalam penyembuhan dan perawatan lukanya. Cidera vaskuler sehingga memerlukan operasi untuk memperbaiki jalannya darah di tungkai. Fraktur dengan sindroma kompartemen. Cidera multipel, yang diindikasikan untuk memperbaiki mobilitas pasien, juga mengurangi nyeri.b. Relatif, jika adanya: Pemendekan Fraktur tibia dengan fibula intak Fraktur tibia dan fibula dengan level yang samaAdapun jenis-jenis operasi yang dilakukan pada fraktur tibia diantaranya adalah sebagai berikut:1. Fiksasi eksternala. Standar: Fiksasi eksternal standar dilakukan pada pasien dengan cidera multipel yang hemodinamiknya tidak stabil, dan dapat juga digunakan pada fraktur terbuka dengan luka terkontaminasi. Dengan cara ini, luka operasi yang dibuat bisa lebih kecil, sehingga menghindari kemungkinan trauma tambahan yang dapat memperlambat kemungkinan penyembuhan. Di bawah ini merupakan gambar dari fiksasi eksternal tipe standar.b. Ring Fixators: Ring fixators dilengkapi dengan fiksator ilizarov yang menggunakan sejenis cincin dan kawat yang dipasang pada tulang. Keuntungannya adalah dapat digunakan untuk fraktur ke arah proksimal atau distal. Cara ini baik digunakan pada fraktur tertutup tipe kompleks. Di bawah ini merupakan gambar pemasangan ring fixators pada fraktur diafisis tibia.c. Open reduction with internal fixation (ORIF): Cara ini biasanya digunakan pada fraktur diafisis tibia yang mencapai ke metafisis. Keuntungan penatalaksanaan fraktur dengan cara ini yaitu gerakan sendinya menjadi lebih stabil. Kerugian cara ini adalah mudahnya terjadi komplikasi pada penyembuhan luka operasi. Berikut ini merupakan gambar penatalaksanaan fraktur dengan ORIF.d. Intramedullary nailing: Cara ini baik digunakan pada fraktur displased, baik pada fraktur terbuka atau tertutup. Keuntungan cara ini adalah mudah untuk meluruskan tulang yang cidera dan menghindarkan trauma pada jaringan lunak.2. AmputasiAmputasi dilakukan pada fraktur yang mengalami iskemia, putusnya nervus tibia dan pada crush injury dari tibia.KOMPLIKASI1) Infeksi: Infeksi dapat terjadi karena penolakan tubuh terhadap implant berupa internal fiksasi yang dipasang pada tubuh pasien. Infeksi juga dapat terjadi karena luka yang tidak steril.2) Delayed union: Delayed union adalah suatu kondisi dimana terjadi penyambungan tulang tetapi terhambat yang disebabkan oleh adanya infeksi dan tidak tercukupinya peredaran darah ke fragmen.3) Non union: Non union merupakan kegagalan suatu fraktur untuk menyatu setelah 5 bulan mungkin disebabkan oleh faktor seperti usia, kesehatan umum dan pergerakan pada tempat fraktur.4) Avaskuler nekrosis: Avaskuler nekrosis adalah kerusakan tulang yang diakibatkan adanya defisiensi suplay darah.5) 5). Kompartemen Sindrom: kompartemen sindrom merupakan suatu kondisi dimana terjadi penekanan terhadap syaraf, pembuluh darah dan otot didalam kompatement osteofasial yang tertutup. Hal ini mengawali terjadinya peningkatan tekanan interstisial, kurangnya oksigen dari penekanan pembuluh darah, dan diikuti dengan kematian jaringan.6) Mal union: Terjadi pnyambungan tulang tetapi menyambung dengan tidak benar seperti adanya angulasi, pemendekan, deformitas atau kecacatan.7) Trauma saraf terutama pada nervus peroneal komunis.8) Gangguan pergerakan sendi pergelangan kaki: Gangguan ini biasanya disebakan karena adanya adhesi pada otot-otot tungkai bawah.

TRIAGETriage adalah proses khusus memilah pasien berdasar beratnya cedera atau penyakit untuk menentukan jenis perawatan gawat darurat serta transportasi selanjutnya. Tindakan ini merupakan proses yang berkesinambungan sepanjang pengelolaan musibah terutama musibah yang melibatkan massa.Proses triage meliputi tahap pre-hospital / lapangan dan hospital atau pusat pelayanan kesehatan lainnya. Triage lapangan harus dilakukan oleh petugas pertama yang tiba ditempat kejadian dan tindakan ini harus dinilai ulang terus menerus karena status triase pasien dapat berubah. Metode yang digunakan bisa secaraMETTAG (Triage tagging system)atau sistem triage Penuntun LapanganSTART (Simple Triage And Rapid Transportation).Petugas lapangan memberikan penilaian pasien untuk memastikan kelompok korban seperti yang memerlukan transport segera atau tidak, atau yang tidak mungkin diselamatkan, atau mati. Ini memungkinkan penolong secara cepat mengidentifikasikan korban dengan risiko besar akan kematian segera atau apakah memerlukan transport segera, serta melakukan tindakan pertolongan primer dan stabilisasi_darurat.Pada tahap rumah sakit, triage dapat juga dilakukan walaupun agak berbeda dengan triage lapangan. Dengan tenaga dan peralatan yang lebih memadai, tenaga medis dapat melakukan tindakan sesuai dengan kedaruratan penderita dan berdasarkan etika profesi. Saat menilai pasien, secara bersamaan juga dilakukan tindakan diagnostik, hingga waktu yang diperlukan untuk menilai dan menstabilkan pasien berkurang.Simple Triage / Triage Sederhana / Triage inisialSTART, sebagai cara triage lapangan yang berprinsip pada sederhana dan kecepatan, dapat dilakukan oleh tenaga medis atau tenaga awam terlatih. Dalam memilah pasien, petugas melakukan penilaian kesadaran, ventilasi, dan perfusi selama kurang dari 60 detik lalu memberikan tanda dengan menggunakan berbagai alat berwarna, seperti bendera, kain, atau isolasi. Hitam : pasien meninggal atau cedera fatal yang tidak memungkinkan untuk resusitasi. Tidak memerlukan perhatian. Merah : pasien cedera berat atau mengancam jiwa dan memerlukan transport segera. Misalnya: gagal nafas, cedera torako-abdominal, cedera kepala atau maksilo-fasial berat, shok atau perdarahan berat, luka bakar berat Kuning : pasien cedera yang dipastikan tidak mengancam jiwa dalam waktu dekat. Dapat ditunda hingga beberapa jam. Misalnya: cedera abdomen tanpa shok, cedera dada tanpa gangguan respirasi, fraktura mayor tanpa syok, cedera kepala atau tulang belakang leher tanpa gangguan kesadaran, luka bakar ringan Hijau : cedera ringan yang tidak memerlukan stabilisasi segera. Misalnya: cedera jaringan lunak, fraktura dan dislokasi ekstremitas, cedera maksilo-fasial tanpa gangguan jalan nafas, gawat darurat psikologisAdvanced Triage / Triage lanjutanPasien dengan harapan hidup yang kecil dengan tersedianya peralatan dan tenaga medis yang lebih lengkap diharapkan dapat ditingkatkan harapan hidupnya. Namun apabila tenaga medis dan perlengkapan tidak dapat memenuhi kebutuhan dari pasien, misalnya pada bencana yang melibatkan banyak korban, tenaga medis dapat memutuskan untuk lebih memberikan perhatian pada pasien dengan cedera berat yang harapan hidupnya lebih besar sesuai dengan etika profesional. Hal inilah yang menjadi tujuan dari triage lanjutan.Pemantauan pada triage lanjutan dapat menggunakan Revised Trauma Score (RVT) atau Injury Severity Score (ISS).RVT menggunakan parameter kesadaran (GCS), tekanan darah sistolik (dapat menggunakan per palpasi untuk mempercepat pantauan), dan frekuensi pernapasan.Skor 12 : delayed11 : urgent, dapat ditunda4 10 : immediate, memerlukan penatalaksanaan sesegera mungkin0 3 : morgue, cedera serius yang tidak lagi memerlukan tindakan darurat

Glasgow Coma Scale

GCSPoints

15-134

12-93

8-62

5-41

30

Systolic Pressure

SBPPoints

>894

76-893

50-752

1-491

00

Respiratory Rate

RRPoints

10-304

>303

6-92

1-51

00

ISS menggunakan parameter 3 bagian tubuh.A : wajah, leher, kepalaB : toraks, abdomenC : ekstremitas, jaringan lunak, kulittiap parameter diberi skor 0 5 yaitu :1. cedera ringan2. cedera sedang3. cedera serius4. cedera berat5. kritisHasil skoring tersebut kemudian dikuadratkan dan dijumlahkan.ISS = A2+ B2+ C2Hasil lebih dari 15 dianggap sebagai politrauma. Hasil dari perhitungan ISS ini digunakan sebagai perbandingan dalam penentuan prioritas penatalaksanaan pasien massal.Adabeberapa variasi dari penggunaan triage seperti di atas, pada beberapa kondisi atau di beberapa negara. Misalnya di medan perang, seringkali dilakukanreversed triage, dimana yang diprioritaskan adalah korban dengan luka paling ringan yang membutuhkanpertolongan sehingga korban dapat segera kembali ke medan perang.Di beberapa negara terdapat pedoman lain dalam penentuan triage, namun intinya tetap sama. Misalnya di Jerman, tidak seluruh trauma amputasi mayor dianggap ditandai dengan kartu merah. Trauma amputasi lengan bawah, setelah ditangani pendarahannya, dapat dianggap sebagai kartu kuning dan kemudian ditransfer ke rumah sakit. Kadang kala pembagian triage pun menggunakan 5 macam warna.KategoriMaknaKonsekuensiContoh

T1 (I)merahMengancam jiwaPenanganan dan transportasi sesegera mungkinLesi yang melibatkan arteri, pendarahan organ dalam, trauma amputasi mayor

T2 (II)kuningCedera beratObservasi ketat, penanganan secepatnya, transport sedapat mungkinTrauma amputasi minor, cedera jaringan lunak, fraktur dan dislokasi

T3 (III)hijauCedera minor atau tidak cederaDitangani bila memungkinkan, transport dan evakuasi bila memungkinkanLaserasi minor, abrasi jaringan lunak, cedera otot

T4 (IV)biruHarapan hidup kecil / tdk adaObservasi dan bila memungkinkan pemberian analgetikCedera berat, pendarahan berat, pemeriksaan neurologis negatif

T5 (V)hitamMeninggalMenjaga jenazah, identifikasi bila memungkinkanDead on arrival, perburukan dari T1-4, tidak ada napas spontan

Hasil TriageEvakuasiSimple triage mengidentifikasi pasien mana yang memerlukan tindakan secepatnya. Di lapangan, triage juga melakukan penilaian prioritas untuk evakuasi ke rumah sakit. Pada sistem START, pasien dievakuasi sebagai berikut :pasien meninggal ditinggalkan di posisi dimana mereka ditemukan, sebaiknya ditutup. Pada pemantauan START, seseorang dianggap meninggal bila tidak bernapas setelah dilakukan pembersihan jalan napas dan percobaan napas buatan.Immediate atau prioritas 1 (merah), dievakuasi dengan menggunakan ambulance dimana mereka memerlukan penanganan medis dalam waktu kurang dari 1 jam. Pasien ini dalam keadaan kritis dan akan meninggal bila tidak ditangani segera.Delayed atau prioritas 2 (kuning), evakuasinya dapat ditunda hingga seluruh prioritas 1 sudah dievakuasi. Pasien ini dalam kondisi stabil namun memerlukan penanganan medis lebih lanjut.Minor atau prioritas 3 (hijau), tidak dievakuasi sampai prioritas 1 dan 2 seluruhnya telah dievakuasi. Pasien ini biasanya tidak memerlukan penanganan medis lebih lanjut setidaknya selama beberapa jam. Lanjutkan re-triage untuk mencegah terlewatnya perburukan kondisi. Pasien ini dapat berjalan, dan umumnya hanya memerlukan perawatan luka dan antiseptik.Triage Sekunder (dalam rumah sakit)Pada sistem triage lanjutan, triage sekunder dilakukan oleh paramedis atau perawat terlatih di Instalasi Gawat Darurat rumah sakit selama terjadinya bencana. Pasien dipilah menjadi 5 kelompok. hitam / expectant : pasien dengan cedera berat yang dapat meninggal karena cederanya, mungkin dalam beberapa jam atau hari selanjutnya. (luka bakar luas, trauma berat, radiasi dosis letal), atau kemungkinan tidak dapat bertahan hidup karena dalam krisis yang mengancam nyawa walaupun diberikan penanganan medis (cardiac arrest, syok septik, cedera berat kepala atau dada). Pasien ini sebaiknya dimasukkan dalam ruangan rawat dengan pemberian analgetik untuk mengurangi penderitaan. merah / immediate : pasien yang memerlukan tindakan bedah segera atau tatalaksana lain untuk menyelamatkan nyawa, dan sebagai prioritas utama untuk tim bedah atau ditransport ke rumah sakit yang lebih lengkap. Pasien ini dapat bertahan hidup bila ditangani sesegera mungkin. kuning / observation : kondisi pasien ini stabil sementara waktu namun memerlukan pengawasan dari tenaga medis terlatih dan re-triage berkala serta perawatan rumah sakit hijau / wait (walking wounded) : pasien ini memerlukan perhatian dokter dalam beberapa jam atau hari kemudian namun tidak darurat, dapat menunggu hingga beberapa jam atau dianjurkan untuk pulang dan kembali ke rumah sakit keesokan harinya (misal pada patah tulang sederhana, luka jaringan lunak multipel) putih / dimiss (walking wounded) : pasien ini mengalami cedera ringan, pengobatan P3K dan berobat jalan sudah cukup, peranan dokter disini tidak mutlak diperlukan. Contoh cedera pasien ini seperti luka robek, lecet, atau luka bakar ringan.KLASIFIKASI DAN PENENTUAN PRIORITASBerdasarkan Oman (2008), pengambilan keputusan triage didasarkan pada keluhan utama, riwayat medis, dan data objektif yang mencakup keadaan umum pasien serta hasil pengkajian fisik yang terfokus. Menurut Comprehensive Speciality Standard, ENA tahun 1999, penentuan triase didasarkan pada kebutuhan fisik, tumbuh kembang dan psikososial selain pada factor-faktor yang mempengaruhi akses pelayanan kesehatan serta alur pasien lewat sistem pelayanan kedaruratan.Hal-hal yang harus dipertimbangkan mencakup setiap gejala ringan yang cenderung berulang atau meningkat keparahannya .Prioritas adalah penentuan mana yang harus didahulukan mengenai penanganan dan pemindahan yang mengacu pada tingkat ancaman jiwa yang timbul.Beberapa hal yang mendasari klasifikasi pasien dalam sistem triage adalah kondisi klien yang meliputi :a. Gawat, adalah suatu keadaan yang mengancam nyawa dan kecacatan yang memerlukan penanganan dengan cepat dan tepatb. Darurat, adalah suatu keadaan yang tidak mengancam nyawa tapi memerlukan penanganan cepat dan tepat seperti kegawatanc. Gawat darurat, adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa disebabkan oleh gangguan ABC (Airway / jalan nafas, Breathing / pernafasan, Circulation / sirkulasi), jika tidak ditolong segera maka dapat meninggal / cacat (Wijaya, 2010)Berdasarkan prioritas perawatan dapat dibagi menjadi 4 klasifikasi :KLASIFIKASIKETERANGAN

Gawat darurat (P1)Keadaan yang mengancam nyawa / adanya gangguan ABC dan perlu tindakan segera, misalnya cardiac arrest, penurunan kesadaran, trauma mayor dengan perdarahan hebat

Gawat tidak darurat (P2)Keadaan mengancam nyawa tetapi tidak memerlukan tindakan darurat. Setelah dilakukan diresusitasi maka ditindaklanjuti oleh dokter spesialis. Misalnya ; pasien kanker tahap lanjut, fraktur, sickle cell dan lainnya

Darurat tidak gawat (P3)Keadaan yang tidak mengancam nyawa tetapi memerlukan tindakan darurat. Pasien sadar, tidak ada gangguan ABC dan dapat langsung diberikan terapi definitive. Untuk tindak lanjut dapat ke poliklinik, misalnya laserasi, fraktur minor / tertutup, sistitis, otitis media dan lainnya

Tidak gawat tidak darurat (P4)Keadaan tidak mengancam nyawa dan tidak memerlukan tindakan gawat. Gejala dan tanda klinis ringan / asimptomatis. Misalnya penyakit kulit, batuk, flu, dan sebagainya

TINGKAT KEAKUTAN

Kelas IPemeriksaan fisik rutin (misalnya memar minor); dapat menunggu lama tanpa bahaya

Kelas IINonurgen / tidak mendesak (misalnya ruam, gejala flu); dapat menunggu lama tanpa bahaya

Kelas IIISemi-urgen / semi mendesak (misalnya otitis media); dapat menunggu sampai 2 jam sebelum pengobatan

Kelas IVUrgen / mendesak (misalnya fraktur panggul, laserasi berat, asma); dapat menunggu selama 1 jam

Kelas VGawat darurat (misalnya henti jantung, syok); tidak boleh ada keterlambatan pengobatan ; situasi yang mengancam hidup

KLASIFIKASIKETERANGAN

Prioritas I (merah)Mengancam jiwa atau fungsi vital, perlu resusitasi dan tindakan bedah segera, mempunyai kesempatan hidup yang besar. Penanganan dan pemindahan bersifat segera yaitu gangguan pada jalan nafas, pernafasan dan sirkulasi. Contohnya sumbatan jalan nafas, tension pneumothorak, syok hemoragik, luka terpotong pada tangan dan kaki, combutio (luka bakar) tingkat II dan III > 25%

Prioritas II (kuning)Potensial mengancam nyawa atau fungsi vital bila tidak segera ditangani dalam jangka waktu singkat. Penanganan dan pemindahan bersifat jangan terlambat. Contoh: patah tulang besar, combutio (luka bakar) tingkat II dan III < 25 %, trauma thorak / abdomen, laserasi luas, trauma bola mata.

Prioritas III (hijau)Perlu penanganan seperti pelayanan biasa, tidak perlu segera. Penanganan dan pemindahan bersifat terakhir. Contoh luka superficial, luka-luka ringan

Prioritas 0 (hitam)Kemungkinan untuk hidup sangat kecil, luka sangat parah. Hanya perlu terapi suportif. Contoh henti jantung kritis, trauma kepala kritis.

Rata-rata frekuensi pernafasan pada setiap tingkatan usia :a. Bayi Baru Lahir 30 40 x/menitb. Bayi usia 12 bulan 30 x/ menitc. Bayi 2-5 tahun 24 x/ menitd. Dewasa 10 20 x/menitPengkajian ABCAIRWAYLook: Adakah Obstruksi jalan nafas (Hipoksemia, Hipercarbia / penurunan kesadaran, pergerakan dada saat bernafas, Retraksi sela iga serta sianosis / kebiruan)Listen: Adakah obstruksi jalan nafas ( Pengkajian suara nafas normal saat bicara, Suara nafas tambahan serta adakah henti nafas)Feel: Adakah Obstruksi jalan nafas dengan meraba/merasakan hembusan hawa respirasi dari lubang hidung/mulut seta ada tidaknya getaran di leher waktu bernafas.BREATHINGLook: Adakah takipnea, perubahan status ental, gerak nafas, sianosisListen: Mengkaji suara nafas, apakah normal, menurun atau hilang serta adakah suara tambahanFeel: Merasakan hawa ekspirasi, adakah emphysema /pneumothorax, Nyeri tekan atau deviasi trachea.CIRCULATIONMengkaji apakah penderita mengalami syok, dengan memeriksa tanda-tanda syok, seperti perfusi, Nadi dan tekanan darah.Gurgling adalah suara abnormal pada pernafasan dengan karakteristik suara seperti berkumur, di temukan jika terdapat cairan pada saluran pernafasan.Stridor adalah Suara weezing pada saat inspirasi penuh.Diagnosa keperawatan pada gangguan pernafasanKetidakefektifan bersihan jalan nafasMayor : Batuk (efektif/tidak), ketidakmampuan mengeluarkan sekresi.Minor : Bunyi nafas abnormal, frekuensi, irama, kedalaman pernafasan abnormal.Ketidak efektifan pola nafasMayor : Perubahan frekuensi/pola nafas ; Perubahan pada nadi (irama, kualitas, frekuensi)Minor : Orthopnea, Takipnea, hiperventilasi, pernafasan disritmik, pernafasan sukar/berhati-hati.Kerusakan pertukaran GasMayor : Dispnea saat melakukan latihanMinor : Konfusi/agitasi, Bernafas dengan bibir, fase ekspirasi lama, keletihan, peningkatan PCO2, Sianosis.Pengelolaan Jalan Nafas (airway) dan Pernafasan (Breathing)1. Pengenalan gangguan jalan nafas. Ada beberapa keadaan dimana adanya sumbatan jalan nafas harus diwaspadai yaitu:a. Trauma pada wajah yang dapat menyebabkan fraktur/dislokasi dengan gangguan orofaringdan nasofaring. Fraktur tulang wajah dapat menyebabkan perdarahan, sekresi yangmeningkat serta avulsi gigi yang menambah masalah jalan nafas.b. Fraktur ramus mandibula, terutama bilateral, dapat menyebabkan lidah jatuh kebelakangdan gangguan) jalan nafas pada posisi terlentangc. Perlukaan daerah leher mungkin ada gangguan jalan nafas karena rusaknya laring atautrachea atau karena perdarahan dalam jaringan lunak yang menekan jalan nafas.d. Adanya muntahan, darah, atau benda lain dalam mulut atau orofaringe. Adema laring akut karena trauma atau infeksi.2. Tanda-tanda objektif sumbatan jalan nafasa. Look,lihat apakah korban mengalami agitasi, tidak dapat berbicara, penurunan kesadarn,sianosis (kulit biru dan keabu-abuan) yang menunjukkan hipoksemia dapat dilihat padakuku, lidah, telinga, dan kulit sekitar mulut. Lihat apakah terdapat retraksi dan penggunaanotot-otot nafas tambahan.b. Listen,dengar adanya suara-suara abnormal. Pernapasan yang berbunyi (suara nafastambahan) adalah pernapasan yang tersumbat. Suara mendengkur (snoring), berkumur(gurgling), dan bersiul (crowing sound, stridor) mungkin berhubungan dengan sumbatanparsial pada faring atau laring. Suara parau (hoarseness, disfonia) menunjukkan sumbatanpada faring.c. Feel,tidak ada udara yang dapat dirasakan atau didengarkan dari hidung dan mulut dengancepat menentukan apakah trakea berada di tengah.3. Teknik menjaga jalan nafasa. Chin Lift-Head Tiltbertujuan membuka jalan nafas secara maksimal. Tidak disarankanpada penderita dengan kecurigaan patah tulang leher dan sebagai gantinya gunakan Jawthrustb. Jaw thrustdigunakan untuk membuka jalan nafas pasien yang tidak sadar atau dicurigaiterdapat trauma pada kepala, leher, atau spinal. Karena dengan teknik ini diharapkan jalannafas terbuka tanpa menyebabkan pergerakan leher dan kepala.4. Alat Bantu jalan nafasa. Pipa Orofaring,alat ini dapat mengurangi kemungkinan jalan nafas penderita mengalamiobstruksi. Alat ini tidak efektif jika ukuran yang digunakan tidak sesuai. Ukuran yang sesuaidapat diukur dengan membentangkan pipa dari sudut mulut pasien kea rah ujung dauntelinga sisi wajah yang sama. Metode lain untuk mengukur pipa yaitu dengan mengukur daritengah mulut pasien kearah sudut tulang rahang bawah.b. Pipa NasofaringAlat ini sering tidak menimbulkan muntah sehingga diperbolehkan bagi pasien dengankesadarn yang menurun namun reflek muntahnya masih baik. Adapun keuntungannyaadalah dapat digunakan walau gigi mengatup rapat atau terdapat cedera pada mulut.

Emfisema Subkutis (ES) adalah ter-dapatnya udara bebas di bawah jaringan subkutis. Keadaan ini biasanya disebabkan oleh komplikasi dari berbagai penyakit seperti asma serangan akut, infeksi gan-gren, ekstraksi gigi atau komplikasi saat memasang thorax tube.Pneumotoraks adalah suatu keadaan terdapatnya udara atau gas di dalam pleura yang menyebabkan kolapsnya paru yang terkena(3). Pada keadaan normal, rongga pleura tidak berisi udara, supaya paru-paru leluasa mengembang terhadap rongga dada.KLASIFIKASIMenurut penyebabnya, pneumotoraks dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu:1. Pneumotoraks spontan: pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba. Pneumotoraks tipe ini dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu:a. Pneumotoraks spontan primer, yaitu pneumotoraks yang terjadi secara tiba-tiba tanpa diketahui sebabnya.b. Pneumotoraks spontan sekunder, yaitu pneumotoraks yang terjadi dengan didasari oleh riwayat penyakit paru yang telah dimiliki sebelumnya, misalnya fibrosis kistik, penyakit paru obstruktik kronis (PPOK), kanker paru-paru, asma, dan infeksi paru.2. Pneumotoraks traumatik: pneumotoraks yang terjadi akibat adanya suatu trauma, baik trauma penetrasi maupun bukan, yang menyebabkan robeknya pleura, dinding dada maupun paru. Pneumotoraks tipe ini juga dapat diklasifikasikan lagi ke dalam dua jenis, yaitu:a. Pneumotoraks traumatik non-iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi karena jejas kecelakaan, misalnya jejas pada dinding dada, barotrauma.b. Pneumotoraks traumatik iatrogenik, yaitu pneumotoraks yang terjadi akibat komplikasi dari tindakan medis. Pneumotoraks jenis inipun masih dibedakan menjadi dua, yaitu :1) Pneumotoraks traumatik iatrogenik aksidental: suatu pneumotoraks yang terjadi akibat tindakan medis karena kesalahan atau komplikasi dari tindakan tersebut, misalnya pada parasentesis dada, biopsi pleura.2) Pneumotoraks traumatik iatrogenik artifisial (deliberate): suatu pneumotoraks yang sengaja dilakukan dengan cara mengisikan udara ke dalam rongga pleura. Biasanya tindakan ini dilakukan untuk tujuan pengobatan, misalnya pada pengobatan tuberkulosis sebelum era antibiotik, maupun untuk menilai permukaan paru.Dan berdasarkan jenis fistulanya, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis, yaitu:1. Pneumotoraks Tertutup (Simple Pneumothorax). Pada tipe ini, pleura dalam keadaan tertutup (tidak ada jejas terbuka pada dinding dada), sehingga tidak ada hubungan dengan dunia luar. Tekanan di dalam rongga pleura awalnya mungkin positif, namun lambat laun berubah menjadi negatif karena diserap oleh jaringan paru disekitarnya. Pada kondisi tersebut paru belum mengalami re-ekspansi, sehingga masih ada rongga pleura, meskipun tekanan di dalamnya sudah kembali negatif. Pada waktu terjadi gerakan pernapasan, tekanan udara di rongga pleura tetap negatif.2. Pneumotoraks Terbuka (Open Pneumothorax). Yaitu pneumotoraks dimana terdapat hubungan antara rongga pleura dengan bronkus yang merupakan bagian dari dunia luar (terdapat luka terbuka pada dada). Dalam keadaan ini tekanan intrapleura sama dengan tekanan udara luar. Pada pneumotoraks terbuka tekanan intrapleura sekitar nol. Perubahan tekanan ini sesuai dengan perubahan tekanan yang disebabkan oleh gerakan pernapasan(4). Pada saat inspirasi tekanan menjadi negatif dan pada waktu ekspirasi tekanan menjadi positif . Selain itu, pada saat inspirasi mediastinum dalam keadaan normal, tetapi pada saat ekspirasi mediastinum bergeser ke arah sisi dinding dada yang terluka (sucking wound)(2).3. Pneumotoraks Ventil (Tension Pneumothorax). Adalah pneumotoraks dengan tekanan intrapleura yang positif dan makin lama makin bertambah besar karena ada fistel di pleura viseralis yang bersifat ventil. Pada waktu inspirasi udara masuk melalui trakea, bronkus serta percabangannya dan selanjutnya terus menuju pleura melalui fistel yang terbuka. Waktu ekspirasi udara di dalam rongga pleura tidak dapat keluar . Akibatnya tekanan di dalam rongga pleura makin lama makin tinggi dan melebihi tekanan atmosfer. Udara yang terkumpul dalam rongga pleura ini dapat menekan paru sehingga sering menimbulkan gagal napas(2).Sedangkan menurut luasnya paru yang mengalami kolaps, maka pneumotoraks dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:1. Pneumotoraks parsialis, yaitu pneumotoraks yang menekan pada sebagian kecil paru (< 50% volume paru).2. Pneumotoraks totalis, yaitu pneumotoraks yang mengenai sebagian besar paru (> 50% volume paru).PATOGENESISPleura secara anatomis merupakan satu lapis sel mesotelial, ditunjang oleh jaringan ikat, pembuluh darah kapiler dan pembuluh getah bening. Rongga pleura dibatasi oleh 2 lapisan tipis sel mesotelial, terdiri atas pleura parietalis dan pleura viseralis. Pleura parietalis melapisi otot-otot dinding dada, tulang dan kartilago, diafragma dan mediastinum, sangat sensitif terhadap nyeri. Pleura viseralis melapisi paru dan menyusup ke dalam semua fisura dan tidak sensitif terhadap nyeri. Rongga pleura individu sehat terisi cairan (10-20 ml) dan berfungsi sebagai pelumas antara kedua lapisan pleura.Patogenesis pneumothoraks spontan sampai sekarang belum jelas.

GEJALA KLINISBerdasarkan anamnesis, gejala dan keluhan yang sering muncul adalah: Sesak napas, didapatkan pada hampir 80-100% pasien. Seringkali sesak dirasakan mendadak dan makin lama makin berat. Penderita bernapas tersengal, pendek-pendek, dengan mulut terbuka. Nyeri dada, yang didapatkan pada 75-90% pasien. Nyeri dirasakan tajam pada sisi yang sakit, terasa berat, tertekan dan terasa lebih nyeri pada gerak pernapasan. Batuk-batuk, yang didapatkan pada 25-35% pasien. Denyut jantung meningkat. Kulit mungkin tampak sianosis karena kadar oksigen darah yang kurang. Tidak menunjukkan gejala (silent) yang terdapat pada 5-10% pasien, biasanya pada jenis pneumotoraks spontan primer.Berat ringannya keadaan penderita tergantung pada tipe pneumotoraks tersebut:1. Pneumotoraks tertutup atau terbuka, sering tidak berat2. Pneumotoraks ventil dengan tekanan positif tinggi, sering dirasakan lebih berat3. Berat ringannya pneumotoraks tergantung juga pada keadaan paru yang lain serta ada tidaknya jalan napas.4. Nadi cepat dan pengisian masih cukup baik bila sesak masih ringan, tetapi bila penderita mengalami sesak napas berat, nadi menjadi cepat dan kecil disebabkan pengisian yang kurang.PEMERIKSAAN FISIKPada pemeriksaan fisik torak didapatkan :1. Inspeksi :a. Dapat terjadi pencembungan pada sisi yang sakit (hiper ekspansi dinding dada)b. Pada waktu respirasi, bagian yang sakit gerakannya tertinggalc. Trakea dan jantung terdorong ke sisi yang sehat2. Palpasi :a. Pada sisi yang sakit, ruang antar iga dapat normal atau melebarb. Iktus jantung terdorong ke sisi toraks yang sehatc. Fremitus suara melemah atau menghilang pada sisi yang sakit3. Perkusi :a. Suara ketok pada sisi sakit, hipersonor sampai timpani dan tidak menggetarb. Batas jantung terdorong ke arah toraks yang sehat, apabila tekanan intrapleura tinggi.4. Auskultasi :a. Pada bagian yang sakit, suara napas melemah sampai menghilangb. Suara vokal melemah dan tidak menggetar serta bronkofoni negatifPEMERIKSAAN PENUNJANG1. Foto RntgenGambaran radiologis yang tampak pada foto rntgen kasus pneumotoraks antara lain:a. Bagian pneumotoraks akan tampak lusen, rata dan paru yang kolaps akan tampak garis yang merupakan tepi paru. Kadang-kadang paru yang kolaps tidak membentuk garis, akan tetapi berbentuk lobuler sesuai dengan lobus paru.b. Paru yang mengalami kolaps hanya tampak seperti massa radio opaque yang berada di daerah hilus. Keadaan ini menunjukkan kolaps paru yang luas sekali. Besar kolaps paru tidak selalu berkaitan dengan berat ringan sesak napas yang dikeluhkan.c. Jantung dan trakea mungkin terdorong ke sisi yang sehat, spatium intercostals melebar, diafragma mendatar dan tertekan ke bawah. Apabila ada pendorongan jantung atau trakea ke arah paru yang sehat, kemungkinan besar telah terjadi pneumotoraks ventil dengan tekanan intra pleura yang tinggi.d. Pada pneumotoraks perlu diperhatikan kemungkinan terjadi keadaan sebagai berikut:1) Pneumomediastinum, terdapat ruang atau celah hitam pada tepi jantung, mulai dari basis sampai ke apeks. Hal ini terjadi apabila pecahnya fistel mengarah mendekati hilus, sehingga udara yang dihasilkan akan terjebak di mediastinum.2) Emfisema subkutan, dapat diketahui bila ada rongga hitam dibawah kulit. Hal ini biasanya merupakan kelanjutan dari pneumomediastinum. Udara yang tadinya terjebak di mediastinum lambat laun akan bergerak menuju daerah yang lebih tinggi, yaitu daerah leher. Di sekitar leher terdapat banyak jaringan ikat yang mudah ditembus oleh udara, sehingga bila jumlah udara yang terjebak cukup banyak maka dapat mendesak jaringan ikat tersebut, bahkan sampai ke daerah dada depan dan belakang.3) Bila disertai adanya cairan di dalam rongga pleura, maka akan tampak permukaan cairan sebagai garis datar di atas diafragma.2. Analisa Gas DarahAnalisis gas darah arteri dapat memberikan gambaran hipoksemi meskipun pada kebanyakan pasien sering tidak diperlukan. Pada pasien dengan gagal napas yang berat secara signifikan meningkatkan mortalitas sebesar 10%.1. CT-scan thoraxCT-scan toraks lebih spesifik untuk membedakan antara emfisema bullosa dengan pneumotoraks, batas antara udara dengan cairan intra dan ekstrapulmoner dan untuk membedakan antara pneumotoraks spontan primer dan sekunder.Pemeriksaan endoskopi (torakoskopi) merupakan pemeriksaan invasiveCT-scan. Menurut Swierenga dan Vanderschueren, berdasarkan analisa dari 126 kasus pada tahun 1990, hasil pemeriksaan endoskopi dapat dibagi menjadi 4 derajat yaitu:Derajat I : Pneumothoraks dengan gambaran paru yang mendekati normal (40%)Derajat II : Pneumotoraks dengan perlengketan disertai hemotorak (12%)Derajat III : Pneumotoraks dengan diameter bleb atau bulla < 2 cm (31%)Derajat IV : Pneumotoraks dengan banyak bulla yang besar, diameter > 2 cm (17%).PENATALAKSANAANTujuan utama penatalaksanaan pneumotoraks adalah untuk mengeluarkan udara dari rongga pleura dan menurunkan kecenderungan untuk kambuh lagi. Pada prinsipnya, penatalaksanaan pneumotoraks adalah sebagai berikut :1. Observasi dan Pemberian O2 Apabila fistula yang menghubungkan alveoli dan rongga pleura telah menutup, maka udara yang berada didalam rongga pleura tersebut akan diresorbsi. Laju resorbsi tersebut akan meningkat apabila diberikan tambahan O2. Observasi dilakukan dalam beberapa hari dengan foto toraks serial tiap 12-24 jam pertama selama 2 hari . Tindakan ini terutama ditujukan untuk pneumotoraks tertutup dan terbuka(4).2. Tindakan dekompresiHal ini sebaiknya dilakukan seawal mungkin pada kasus pneumotoraks yang luasnya >15%. Pada intinya, tindakan ini bertujuan untuk mengurangi tekanan intra pleura dengan membuat hubungan antara rongga pleura dengan udara luar dengan cara:a. Menusukkan jarum melalui dinding dada terus masuk rongga pleura, dengan demikian tekanan udara yang positif di rongga pleura akan berubah menjadi negatif karena mengalir ke luar melalui jarum tersebut.b. Membuat hubungan dengan udara luar melalui kontra ventil :1) Dapat memakai infus set Jarum ditusukkan ke dinding dada sampai ke dalam rongga pleura, kemudian infus set yang telah dipotong pada pangkal saringan tetesan dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infus set yang berada di dalam botol(4).2) Jarum abbocath Jarum abbocath merupakan alat yang terdiri dari gabungan jarum dan kanula. Setelah jarum ditusukkan pada posisi yang tetap di dinding toraks sampai menembus ke rongga pleura, jarum dicabut dan kanula tetap ditinggal. Kanula ini kemudian dihubungkan dengan pipa plastik infus set. Pipa infuse ini selanjutnya dimasukkan ke botol yang berisi air. Setelah klem penyumbat dibuka, akan tampak gelembung udara yang keluar dari ujung infuse set yang berada di dalam botol(4).3) Pipa water sealed drainage (WSD) Pipa khusus (toraks kateter) steril, dimasukkan ke rongga pleura dengan perantaraan troakar atau dengan bantuan klem penjepit. Pemasukan troakar dapat dilakukan melalui celah yang telah dibuat dengan bantuan insisi kulit di sela iga ke-4 pada lineamid aksilaris atau pada linea aksilaris posterior. Selain itu dapat pula melalui sela iga ke-2 di garis midklavikula. Setelah troakar masuk, maka toraks kateter segera dimasukkan ke rongga pleura dan kemudian troakar dicabut, sehingga hanya kateter toraks yang masih tertinggal di rongga pleura. Selanjutnya ujung kateter toraks yang ada di dada dan pipa kaca WSD dihubungkan melalui pipa plastik lainnya. Posisi ujung pipa kaca yang berada di botol sebaiknya berada 2 cm di bawah permukaan air supaya gelembung udara dapat dengan mudah keluar melalui perbedaan tekanan tersebut.Penghisapan dilakukan terus-menerus apabila tekanan intra pleura tetap positif. Penghisapan ini dilakukan dengan memberi tekanan negatif sebesar 10-20 cm H2O, dengan tujuan agar paru cepat mengembang. Apabila paru telah mengembang maksimal dan tekanan intra pleura sudah negatif kembali, maka sebelum dicabut dapat dilakukuan uji coba terlebih dahulu dengan cara pipa dijepit atau ditekuk selama 24 jam. Apabila tekanan dalam rongga pleura kembali menjadi positif maka pipa belum bisa dicabut. Pencabutan WSD dilakukan pada saat pasien dalam keadaan ekspirasi maksimal(2).3. TorakoskopiYaitu suatu tindakan untuk melihat langsung ke dalam rongga toraks dengan alat bantu torakoskop.1. TorakotomiTindakan pembedahan ini indikasinya hampir sama dengan torakoskopi. Tindakan ini dilakukan jika dengan torakoskopi gagal atau jika bleb atau bulla terdapat di apek paru, maka tindakan torakotomi ini efektif untuk reseksi bleb atau bulla tersebut.5. Tindakan bedah yaitu:a. Dengan pembukaan dinding toraks melalui operasi, kemudian dicari lubang yang menyebabkan pneumotoraks kemudian dijahit.b. Pada pembedahan, apabila ditemukan penebalan pleura yang menyebabkan paru tidak bias mengembang, maka dapat dilakukan dekortikasi.c. Dilakukan resesksi bila terdapat bagian paru yang mengalami robekan atau terdapat fistel dari paru yang rusak d. Pleurodesis. Masing-masing lapisan pleura yang tebal dibuang, kemudian kedua pleura dilekatkan satu sama lain di tempat fistel.

KASUS 1 : MENABRAK JEMBATANPada skenario, didapatkan kasus seorang laki-laki yang diduga mengalami cedera kepala. Hal ini dapat dilihat dari adanya gejala muntah, kejang, keluar darah dari mulut, hidung dan telinga. Cedera kepala dapat dibagi menjadi cedera kepala primer dan cedera kepala sekunder. Cedera kepala primer merupakan cedera yang tidak dapat kita hindari pada kejadian trauma kepala. Apabila cedera kepala primer tidak ditangani dengan segera maka dapat muncul manifestasi dari cedera kepala sekunder yang akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas pasien. Untuk menghindari hal tersebut, maka perlu dilakukan primary survey berupa pemeriksaan ABCDE, diteruskan adjunct primary survey, dan secondary survey.Penanganan pertama dilakukan untuk menilai airway. Hipoksemia merupakan pembunuh utama penderita gawat darurat dan paling cepat disebabkan oleh sumbatan jalan napas, sehingga penilaian dan pengelolaan jalan napas harus dilakukan dengan cepat dan tepat. Oleh karena itu pencegahan hipoksemia merupakan prioritas utama dengan jalan napas dipertahankan terbuka, ventilasi adekuat, dan pemberian oksigen. Pasien pada skenario ini mengalami penyumbatan jalan napas yang disebabkan karena muntahan, darah, dan kondisi pasien yang tidak sadar. Pada keadaan penurunan kesadaran akan terjadi relaksasi otot-otot, termasuk otot lidah sehingga bila posisi pasien terlentang pangkal lidah akan jatuh ke posterior menutupi orofaring sehingga akan menimbulkan sumbatan jalan napas dan pada kasus ini ditandai dengan suara napas tambahan yaitu snooring (dengkuran). Dalam keadaan ini, pembebasan jalan napas awal dapat dilakukan tanpa alat yaitu dengan melakukan chin lift atau jaw thrust manuver karena dianggap lebih aman dilakukan pada penderita dengan dugaan cedera tulang leher (cervical). Pemasangan collar brace dilakukan untuk imobilisasi kepala dan leher pasien.Muntahan dan darah dapat menyebabkan sumbatan jalan napas yang ditandai dengan suara napas tambahan berupa gurgling (kumuran). Pembebasan jalan napas dilakukan dengan cara suction, dan pada kasus ini digunakan kanul yang rigid (rigid dental suction tip) untuk menghisap darah dan muntahan yang berada di rongga mulut. Apabila, perdarahan di orofaring sulit untuk dihentikan dan tetap menutupi jalan nafas maka perlu dipersiapkan tindakan needle crycothyroidotomi.Karena pasien tidak sadar, maka selain cara-cara tersebut diatas diperlukan usaha untuk mempertahankan jalan napas dengan cara definitif berupa pemasangan intubasi endotrakeal. Tujuannya adalah untuk mempertahankan jalan napas, memberikan ventilasi, oksigenasi, dan mencegah terjadinya aspirasi. Oksigenasi diberikan sebanyak 10L/menit sambil dilakukan monitoring. Monitoring dalam pemberian oksigenasi sangat diperlukan karena jika pasien ternyata mengalami pneumothorax, maka keadaannya justru akan semakin memburuk dengan terapi oksigen, sehingga perlu dilakukan koreksi terlebih dahulu pada pneumothoraxnya.Breathing atau pernapasan merupakan salah satu tanda vital kehidupan. Frekuensi pernapasan normal pada dewasa adalah 12-20 kali per menit. Pernapasan dikatakan abnormal jika frekuensinya telah melebihi dari 30 kali per menit atau jika kurang dari 10 kali menit. Abnormalitas dari pernapasan ini dapat diakibatkan oleh berbagai macam penyebab, antara lain adalah gangguan pada ventilasi dan gangguan dari jalan nafas pasien. Pada skenario, pernapasan pasien sudah mengalami abnormalitas karena telah mencapai 30 kali per menit. Kemungkinan besar, abnormalitas ini akibat adanya gangguan ventilasi pada pasien. Pada thorax terdapat jejas ekskoriasi pada hemithorax sinistra. Hal ini perlu diperhatikan karena kemungkinan luka yang terjadi tidak hanya pada permukaan dari dinding dada saja, tetapi dapat juga mencederai organ vital di dalamnya yaitu paru-paru. Hal ini diperkuat oleh adanya pengembangan yang tertinggal dan auskultasi suara vesikuler yang menurun pada hemithorax sinistra. Pengembangan dinding dada yang tertinggal dapat disebabkan oleh berbagai macam sebab, antara lain fraktur dari costa ataupun perubahan pada tekanan di dalam organ paru itu sendiri. Auskultasi suara vesikuler yang menurun atau menjadi redup, menandakan bahwa jaringan paru terisi oleh suatu cairan, yang kemungkinan besar berupa darah. Pemeriksaan foto thorax diperlukan untuk mengetahui secara pasti adanya fraktur pada costa ataupun memastikan adanya hematothorax pada pasien ini.Pada pemeriksaan status sirkulasi, denyut nadi pasien mengalami peningkatan yaitu 108 kali per menit yang dapat dikategorikan mengalami takikardi karena sudah melebihi 100 kali per menit. Keadaan ini kemungkinan besar disebabkan karena perfusi oksigen yang menurun di jaringan akibat terjadinya sumbatan jalan napas, gangguan ventilasi maupun akibat kehilangan darah akibat perdarahan aktif pada pasien. Peningkatan denyut nadi tersebut merupakan kompensasi untuk mempertahankan perfusi jaringan agar tetap adekuat. Meskipun terjadi takikardi dan terdapat perdarahan aktif, pasien belum masuk dalam keadaan syok, hal ini dapat dilihat dari tekanan darah dan perfusi jaringan perifer pada pasien(dilihat dari akral) yang masih normal. Pada keadaan ini, masih tetap diperlukan resusitasi cairan sedini mungkin untuk mencegah pasien jatuh dalam keadaan syok dengan segala konsekuensi metabolik yang mengiringinya. Infus RL (Ringer Laktat) yang diberikan oleh dokter pada kasus ini merupakan golongan kristaloid yang mirip dengan cairan ekstraseluler. Cairan ini mempunyai kadar-kadar fisiologis sesudah infus, setelah terjadi metabolisme hepatik laktat menjadi bikarbonat. Ringer laktat tidak memperberat asidosis laktat dan sejumlah volume yang diberikan memperbaiki sirkulasi dan transpor oksigen kejaringan, sehingga metabolisme aerobik bertambah dan produksi asam laktat berkurang. Sirkulasi yang membaik akan membawa timbunan asam laktat ke hati di mana asam laktat melalui siklus Krebb diubah menjadi HCO3 yang menetralisir asidosis metabolik. Pemberian RL sebanyak 20 tetes/ menit merupakan dosis pemeliharaan yang sering dipakai. Selain itu, untuk menilai keseimbangan cairan pada pasien, dipasang kateter urin. Pemasangan kateter urin diperlukan untuk mengukur produksi urin. Produksi urin harus dipertahankan minimal 1/2 ml/kgBB/jam, bila kurang menunjukkan adanya hipovolemia.Cedera kepala yang dialami oleh pasien ini masuk dalam klasifikasi cedera kepala berat. Hal ini dapat dilihat dari nilai pemeriksaan GCS dengan hasil 8. Cedera kepala primer dapat berupa fraktur dari cranium. Pada pasien di skenario ini, kemungkinan besar mengalami fraktur basis cranii dan fraktur maksilofacial. Kecurigaan fraktur basis cranii ditandai dengan adanya halo test + yang merupakan tanda adanya LCS (Liquor Cerebro SpinaI) dalam perdarahan. Selain itu juga terdapat perdarahan dari telinga, dan hidung. Perdarahan dari telinga, kemungkinan besar akibat fraktur basis cranii fossa media, dan perdarahan dari hidung akibat fraktur basis cranii fossa anterior. Oedema periorbita dextra et sinistra juga merupakan tanda fraktur basis cranii. Fraktur maksilofacial yang terjadi juga dapat menyebabkan perdarahan dari hidung dan telinga. Pada pasien ini, dari hasil secondary survey berupa floating maksila maka dapat disimpulkan fraktur maksilofasial yang terjadi masuk dalam kategori Le fort 2. Adanya deformitas mandibula menandakan juga terjadi fraktur mandibula. Maloklusi gigi yang terjadi merupakan akibat dari pergeseran posisi rahang yang disebabkan fraktur maksila dan mandibula. Pada cedera kepala sekunder akan terjadi pelepasan komponen-komponen yang bersifat neurotoksik berupa respon inflamasi seluler, sitokin-sitokin, masuknya kalsium intrasel, dan pelepasan radikal bebas. Proses neurotoksisk ini dapat mengubah atau mengganggu fungsi membran neuron, sehingga membran mudah dilampaui oleh ion Ca dan Na dari ruangan ekstra ke intra selular. Influks Ca akan mencetuskan letupan depolarisasi membran dan lepas muatan listrik berlebihan , tidak teratur dan tidak terkendali. Hal inilah yang mendasari terjadinya kejang pada pasien tersebut. Untuk mengkompensasi keadaan neurotoksik lebih lanjut dengan jalan mengaktivasi pompa membran sehingga terjadi peningkatan penggunaan glukosa (glikolisis). Glikolisis pada kondisi fungsi mitokondria yang menurun akan menghasilkan penumpukan produksi laktat, yang menyebabkan asidosis dan gangguan kesadaran, sehingga pasien masuk dalam keadaan koma.Pada pemeriksaan juga ditemukan pupil anisokor, penurunan refleks cahaya, dan hemiparese dekstra yang menunjukkan adanya lateralisasi (ada ketidaksamaan antara tanda-tanda neurologis sisi kiri dan kanan tubuh) akibat trauma kepala. Pupil anisokor merupakan tanda khas adanya hematom epidural, dan pada kasus ini diperkuat dengan ditemukannya hematom pada daerah temporoparietal sinistra. Epidural hematom adalah salah satu jenis perdarahan intracranial yang paling sering terjadi karena fraktur tulang tengkorak. Pada hematom epidural, perdarahan terjadi di antara tulang tengkorak dan dura meter. Epidural hematom merupakan keadaan neurologis yang bersifat emergency dan biasanya berhubungan dengan linear fraktur yang memutuskan arteri yang lebih besar, sehingga menimbulkan perdarahan yang ke dalam ruang epidural. Venous epidural hematom berhubungan dengan robekan pembuluh vena dan berlangsung perlahan-lahan. Arterial hematom terjadi pada salah satu cabang arteri meningea media yang terletak di bawah tulang temporal dan akan terjadi sangat cepat. Hematoma yang membesar di daerah temporal menyebabkan tekanan pada lobus temporalis otak ke arah bawah dan dalam. Tekanan ini menyebabkan bagian medial lobus mengalami herniasi di bawah pinggiran tentorium. Dengan makin membesarnya hematoma, maka seluruh isi otak akan terdorong kearah yang berlawanan, menyebabkan tekanan intracranial yang besar. Tekanan pada saraf ini mengakibatkan dilatasi pupil. Tekanan pada lintasan kortikospinalis yang berjalan naik pada daerah ini, menyebabkan kelemahan respons motorik kontralateral yang ditunjukkan oleh adanya hemiparesis dekstra pada kasus ini. Pasien tidak mengalami lucid interval karena pada epidural hematoma dengan trauma primer berat, pasien langsung tidak sadarkan diri.Selain itu, peningkatan tekanan intracranial yang terjadi juga merangsang pusat muntah yang terletak di daerah postrema medulla oblongata di dasar ventrikel keempat, dan secara anatomis berada di dekat pusat salivasi dan pernapasan, menerima rangsang yang berasal dari korteks serebral, organ vestibuler, chemoreseptor trigger zone (CTZ), serabut aferen (n. X dan simpatis) dan system gastrointestinal. Impuls ini kemudian akan dihantarkan melalui serabut motorik yang melalui saraf kranialis V, VII, IX, X, dan XII ke traktus gastrointestinal bagian atas dan melalui saraf spinalis ke diafragma dan otot abdomen. Akibatnya akan terjadi pernapasan yang dalam, penutupan glottis, pengangkatan palatum molle untuk menutupi nares posterior, kemudian kontraksi yang kuat ke bawah diafragma bersama dengan rangsangan kontraksi semua otot abdomen akan memeras perut diantara difragma dan otot-otot abdomen, membentuk suatu tekanan intragastrik sampai ke batas yang tinggi. Hal kemudian diikuti dengan relaksasi otot sfingter esophagus sehingga terjadi pengeluaran isi lambung ke atas melalui esophagus. Hal ini menyebabkan pada pasien terdapat gejala muntah. Cedera kepala yang terjadi juga akan menstimulasi sistem saraf pusat menghasilkan berbagai mediator. Beberapa sitokin dilepaskan oleh mikroglia dan astrosit di permukaan leukosit dan sel endotel yang mengendalikan migrasi leukosit ke jaringan antara lain: Interleukin 1-, tumor nekrosis alfa, interleukin 6, ICAM-1, E-selektin, L-selektin, P-selektin, dan intergrin. Ekspresi toksik mediator ini melalui 2 cara, yang pertama dengan plugging leukosit ke mikrosirkulasi dan yang kedua dengan memfasilitasi pelepasan radikal bebas oleh PMN yang bermigrasi ke jaringan otak akibat aktivitas molekul adhesi. Aktivitas sitokin ini menyebabkan berbagai manifestasi klinis setelah cedera kepala antara lain: pireksia, netrofilia, dan edema serebri akibat kerusakan sawar darah. Edema serebri yang terjadi kemudian ditangani dengan pemberian manitol bolus 200 cc iv. Manitol bolus merupakan preparat diuresis osmotic yang digunakan untuk menarik cairan dari jaringan intersisial ke intravaskuler sehingga edema dapat berkurang. Pemeriksaan CT scan kepala diperlukan untuk evaluasi selanjutnya. Dari hasil secondary survey pada rontgen dada didapatkan diagnosa hematothorax. Hematothorax adalah adanya darah dalam rongga pleura . Pengembangan dinding dada pada hematothorax diwujudkan dalam 2 bidang utama hemodinamik dan pernapasan . Tingkat respons hemodinamik ditentukan oleh jumlah dan kecepatan kehilangan darah. Gerakan pernapasan normal mungkin terhambat oleh efek akumulasi darah dalam rongga pleura.Terdapatnya angulasi, edema, dan krepitasi pada femur dekstra mengindikasikan terjadinya fraktur femur dektra pasien. Fraktur femur yang paling sering terjadi akibat adanya trauma kecelakaan adalah fraktur batang femur. Adanya vulnus apertum sepanjang 3 cm dan fat globul yang positif menunjukkan bahwa fraktur batang femur yang terjadi pada pasien kasus ini merupakan fraktur yang bersifat terbuka derajat III, yaitu lukanya lebih luas dari derajat II, lebih kotor, jaringan lunak banyak yang ikut rusak (otot, saraf, pembuluh darah). Perdarahan aktif yang terjadi harus dikoreksi dengan baik agar penanganan yang optimal dapat dilakukan jika fraktur mengenai arteri femoralis sehingga mengganggu status sirkulasi pasien. Penatalaksanaan yang dilakukan oleh dokter, yaitu dengan melakukan bebat tekan realignmen femur dan imobilisasi sudah tepat. Kemudian pasien dirujuk ke Trauma Center karena pasien mengalami multitrauma dan memerlukan penanganan secara intensif.