spondilitis tb.docx
DESCRIPTION
Makalas Spondilitis TuberkulosaTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar BelakangTuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis
tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik
destruktif yang disebabkan oleh mikrobakterium tuberkulosa. Spondilitis
tuberkulosa dikenal juga sebagai penyakit Pott atau paraplegi Poot. Penyakit
ini merupakan penyebab paraplegia terbanyak setelah trauma, dan banyak
dijumpai di Negara berkembang.
Tuberkulosis tulang dan sendi 50% merupakan spondilitis tuberkulosa.
Pada negara yang sedang berkembang, sekitar 60% kasus terjadi pada usia
dibawah usia 20 tahun. Sedangkan pada negara maju, lebih sering mengenai
pada usia yang lebih tua. Meskipun perbandingan antara pria dan wanita
hampir sama, namun biasanya pria lebih sering terkena dibanding wanita yaitu
1,5:2,1. Di Indonesia tercatat 70% spondilitis tuberkulosis dari seluruh
tuberkulosis tulang yang terbanyak di daerah Ujung Pandang. Umumnya
penyakit ini menyerang orang-orang yang berada dalam keadaan sosial
ekonomi rendah (Admin, 2008, http:/www.medicine and lunex.com)
Spondilitis tuberkulosa atau tuberkulosis spinal terhitung kurang lebih 3
juta kematian terjadi setiap tahun. Di waktu yang lampau, spondilitis
tuberkulosa merupakan istilah yang dipergunakan untuk penyakit pada masa
anak-anak, terutama yang berusia 3-5 tahun. Saat ini dengan adanya perbaikan
pelayanan kesehatan, maka insidensi usia ini mengalami perubahan sehingga
golongan umur dewasa menjadi lebih sering terkena dibandingkan anak-anak.
Insidensi spondilitis tuberkulosa bervariasi diseluruh dunia dan
biasanya berhubungan dengan kualitas fasilitas pelayanan kesehatan
masyarakat yang tersedia serta kondisi sosial di negara tersebut. Saat ini
spondilitis tuberkulosa merupakan sumber morniditas dan mortalitas utama
1
pada negara yang belum dan sedang berkembang, terutama di Asia, dimana
malnutrisi dan kepadatan penduduk masih menjadi masalah utama.
Seseorang yang menderita spondilitis akan mengalami kelemahan
bahkan kelumpuhan atau paling kurang mengalami kelemahan tulang, dimana
dampak tersebut akan mempengaruhi aktifitas klien, baik sebagai individu
maupun masyarakat.
Perawat berperan penting dalam mengidentifikasikan masalah-masalah
dan mampu mengambil keputusan secara kritis menangani masalah tersebut
serta mampu berkolaborasi dengan tim kesehatan yang lain untuk dapat
memberikan asuhan keperawatan yang optimal.
Oleh karena itu kami tertarik menyusun makalah inni mengenai asuhan
keperawatan dengan gangguan sistem muskuloskletal : spondilitis tuberkulosisi
untuk meningkatkan asuhan keperawatan yang sistematis, menyeluruh dan
berkesinambungan yang bertujuan untuk mencegah, meningkatkan dan
mempertahankan stasus kesehatan klien.
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum :
Mahasiswa mampu mengidentifikasikan konsep penyakit dan
asuhan keperawatan dengan penyakit infeksi pada sistem muskuloskeletal :
spondilitis tuberkulosis
2. Tujuan Khusus :
Setelah mendapatkan pembahasan tentang spondilitis tuberkulosis,
mahasiswa dapat :
- Menjelaskan konsep penyakit spondilitis tuberkulosis
- Dapat memahami dan mengaplikasikan asuhan keperawatan klien
dengan spondilitis tuberkulosis
- Dapat memberikan pendidikan kesehatan kepada masyarakat, keluarga
ataupun pasien terhadap penyakit spondilitis tuberkulosis.
2
C. Ruang Lingkup
Dalam makalah ini yang berjudul spondilitis tuberkulosa, yang terdiri
atas dua penykit, yaitu spondilitis dan tuberkulosa itu sendiri. Pada makalah ini
kami lebih memfokuskan pada sistem muskulo skeletal, yaitu spondilitis.
D. Metode Penulisan
Penulisan dalam menyusun makalah ini penulis menggunakan metode
deskriftif yaitu memaparkan atau mendeskripsikan tentang bagaimana asuhan
keperawatan pada klien dengan spondilitis tuberkulosis dengan studi
kepustakaan serta artikel-artikel yang kami dapatkan dari internet.
E. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan makalah ini terdiri dari 4 BAB, yaitu :
BAB I : Pendahuluan, menjelaskan latar belakang, ruang lingkup, tujuan
penulisan,metode penulisan dan Sistematika penulisan
BAB II : Tinjauan teoritis, menjelaskan definisi, etiologi, manifestasi klinis,
komplikasi dan intervensi
BAB III : Asuhan Keperawatan Pada klien dengan spondilitis tuberkulosis
BAB IV : Penutup yang berisikan saran dan kesimpulan
Daftar Pustaka
3
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Definisi
Infeksi pada korpus vertebra disebut spondilitis. Korpus vertebra
merupakan tempat yang sering terkena osteomielitis hematogenik pada orang
dewasa. Infeksi ini dapat menyebar melalui ligamen yang berdekatan sehingga
sering mengenai 2 korpus vertebra yang berdekatan. Diskus intervebral tidak
memiliki vaskularisasi tapi dapat terinfeksisecara langsung dari abses vertebra.
Infeksi dapat menyebar ke sentral ke dalam kanalis spinalis. Selain itu dapat
juga menyebar ke jaringan lunak ke jaringan paraspinal. Pada daerah servikal,
osteomielitis dapat menyebabkan abses retrofaringeal atau mediastinitis,
empiema, atau perikarditis, dan pada daerah lumbal dapat menyebabkan
peritonotis dan abses subfrenik atau sepanjang fascia otot ilipsoas.
Gambar 1. Spondilitis Tuberkulosa
Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis
tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronis
destruktif oleh Mycobacterium tuberkulosa. Tuberkulosa tulang belakang
selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh. (Aru
W. Sudoyo, 2009)
4
Penyakit ini disebabkan oleh karena bakteri berbentuk basil. Bakteri
yang paling sering menjadi penyebabnya adalah Mycobacterium tuberculosis.
(Brooks, 2008)
Percivall pott (1793) adalah penulis pertama tentang penyakit ini dan
menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dan deformitas
tulang belakang sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Pott.
Dari beberapa penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Spondilitis
Tuberkulosis adalah peradangan pada tulang belakang granulomatosa yang
bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberkulosa yang disebut juga
dengan penyakit pott dan juga selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus di
tempat lain dalam tubuh.
B. Etiologi
Spondilitis tuberkulosa terutama ditemukan pada kelompok usia 2-10
tahun dengan perbandingan yang hampir sama antara wanita dan pria.
Tuberkulosa tulang belakang merupakan infeksi sekunder dari tuberkulosis di
tempat lain dalam tubuh; 90-95% disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis
tipik (2/3 dari tipe human dan 1/3 dari tipe bovine) dan 5-10% oleh
Mycobacterium tuberculosis atipik. Lokasi spondilitis tuberkulosa terutama
pada daerah vertebra torakalis bawah dan vertebra lumbalis atas, sehingga
diduga ada infeksi sekunder dari tuberkulosis traktus urinarius, yang
penyebarannya melalui pleksus Batsori pada vena para vertebralis. (Aru W.
Sudoyo, 2009)
C. Klasifikasi
1. Berdasarkan lokasi Spondilitis tuberkulosa dapat dibagi menjadi :
a. Spondilitis Tuberkulosa Servikal
Spondilitis tuberkulosa servikal adalah suatu proses peradangan
pada vertebra servikalis yang disebabkan oleh kuman tuberkulosis. Pada
kondisi klinis penyakit in sangat jarang dijumpai, tetapi jika ada,
memberikan implikasi pada asuhan keperawatan klien dengan gangguan
leher.
5
1). Patofisiologi
Infeksi berawal dari bagian epifisial korpus vertebra. Kemudian
terjadi hiperemia dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan
perlunakan korpus. Selanjutnyaterjadi kerusakan pada korteks epifisis,
diskus intervertebra dan vertebra disekitarnya. Kemudian, eksudat
(yang terdiri atas serum, leukosit, tulang dan fibrosis dan basil
tuberkulosa) menyebar kedepan dibawah ligamen longitudnal anterior.
Eksudat ini daPAT menembus ligamen dan berekspansi keberbagai
arah disepanjang garis ligamen yang lemah. Pada daerah vertebra
servikalis, eksudat berkumpul dibelakang pravertebral dan menyebar
ke lateral dibelakang muskulus sternokledomastoideus. Eksudat dapat
mengalami protrusi kedepan dan kedalam farign yang dikenal sebagai
abses faringeal.
Perubahan struktur vertebra servikals menyebabkan spasme otot
dan kekakuan leher yang meruakan stimulus keluhan nyeri pada leher.
Pembentukan abses faringeal menyebabkan nyeri tenggorokan dan
gangguan menelan sehingga terjadi penurunan asupan nutrisi dan
masalah ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan. Kekakuan
leher menyebabkan keluhan mobilitas leher dan resiko tinggi trauma
sekunder akibat tidak optimalnya cara mobilisasi. Tindakan
dekompresi dan stabilisasi servikal pada pasca bedah menimbulkan
post de entree luka pasca bedah dan resiko tinggi infeksi.
6
2) Patways Spondilitis Tuberkulosa Servikal
7
Ketidak seimbangan nutrisi : kurang dari
kebutuhan
Nyeri tenggorokan dan gangguan menelan
Pembentukan abses faringeal
Hambatan mobilitas resiko tinggi trauma
Nyeri
Kekakuan leher
Spasme otot
Resiko tinggi infeksi
Port de entree
Tindakan dekompresi dan stabilisasi
Kompresi diskus dan kompresi radiks saraf
di sisinya
Perubahan struktur vertebra servikalis
Kerusakan dan penjalaran ke vertebra yang berdekatan
Invasi hemetogen ke korpus dekat diskus intvertebra daerah servikal
b. Spondilitis Tuberkulosa Torakolumbal
Spondilitis tuberkulosa adalah suatu proses peradangan pada
kolumna yang disebabkan oleh kuman tunerkulosis yang menyebar
secara hematogen pada kolumna vertebra torakolumbal.
1) Patofisiologi
Infeksi berasal dari bagian sentral, bagian atau daerah epifisial
korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemia dan eksudasi yang
menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi
kerusakan pada korteks epifisis, duktus intravertebra, dan vertebra
serta daerah sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus akan
menyebabkan terjadinya kifosis.
Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, tulang
yang fibrosis dan basil tuberkulosa) menyebar kedepan, dibawah
ligamen dan berekspansi keberbagai arah di sepanjang garis ligamen
yang lemah.
Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap ada di daerah
toraks setempat, menempati daerah paravertebral, berbentuk masa
yang menonjol dan fusiform. Pada kondisi lanjut, kerusakan kolumna
vertebra menjadi lebih jelas dengan destruksi kolaps vertebra, dan
berbentuk masa kaseosa serta pus. Selanjutnya dapat berbentuk
sekuestrum dan kerusakan diskus intervertebra.
Destruksi vertebra torakolumbalis menyebabkan perubahan
bentuk toraks sehingga terjadi penurunan ventilasi dan peningkatan
akumulasi sekret yang menyebabkan masalah ketidak efektifan
bersihan jalan nafas. Kompresi diskus dan medula spinalis
menimbulkan keluhan nyeri paraplegia. Adanya paraplegia
menyebabkan hambatan mobilitas fisik, penekanan lokal yang
meningkatkan resiko dekubitus. Adanya intervensi medis berupa
dekompresi dan stabilisasi lamina menimbulkan dampak psikologis
dan adanya port de entree luka pasca bedah menimbulkan resiki tinggi
infeksi. Kompresi lumbal menyebabkan kehilangan kontrol defekasi
8
dan eliminasi urine. Respon sistemik akibat peningkatan pemakaian
energi menyebabkan pemakaian nutrisi berlebih yang cenderung
terjadi pada klien spondilitis tuberkulosa sehingga timbul perubahan
pada sistem pencernaan berupa mual dan anoreksia yang
mengakibatkan ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan .
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk meminta
pertolongan kesehatan adalah paraplegia, nyeri punggung, gangguan
pergerakan tulang belakang, adanya massa pada lumbal atau femur.
Ketidakmampuan kontrol berkemih dan defekasi atau adanya
dekubitus. Kaji adanya riwayat tuberkulosis paru dan penggunaan
obat anti tuberkulosis. Penyakit lainnya seperti hipertensi dan diabetes
miletus juga perlu untuk dikaji. Adanya perubahan berupa paralisis
anggota gerak bawah menimbulkan manifestasi yang berbeda pada
setiap klien yang mengalami spondilitis tuberkulosa dan pada
pengkajian sering didapatkan adanya rasa ansitas.
9
2) Patways Spondilitis Tuberkulosa Torakolumbal
10
Nyeri punggung
Aktual/resiko tinggi kerusakan integritas
jaringan
Dekubitus
Penekanan lokal pada jaringan
Ketidak seimbangan nutrisi, kurang dari kebutuhan
Asupan nutrisi tidak optimal
Reaksi sistemik peningkatan laju
metabolisme
Perasaan nyeri, ketidaknyamanan,
perubahan gambaran diri
Pembentukan abses paravertebral, lumbal,
femur
Pemenuhan informasi/ penkes
Penurunan mobilisasi secara
umum
Hambatan mobilitas
Paraplegia
Resiko tinggi trauma
Gangguan eliminasi
Ketidakmampuan kontrol miksi dan defekasi
Kompresi diskus dan kompresi medula spinalis
Resiko tinggi infeksi
Port de entree luka pascabedah
Ansietas
Asuhan keperawatan perioperatif
Tindakan dekompresi dan stabilisasi
Ketidak efektifan bersihan jalan nafas
Akumulasi sekret pada jalan nafas
Penurunan ekspansi pernafasan dan batuk
afektif
Kifosis pada torakal
Destruksi vertebra yang berdekatan
Invasi tuberkulosis secara hematogen ke korpus dekat diskus intervertebra torakolumbal
2. Berdasar stadium
Kumar membagi perjalanan penyakit ini dalam 5 stadium, yaitu :
1. Stadium implamasi
Setelah bakteri berada dalam tulang, bila daya tahan tubuh klien
menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung
selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah
paradiskus dan pada anak-anak umumnya terjadi pada daerah sentral
vertebra.
2. Stadium destruksi awal
Setelah stadium implamasi, terjadi destruksi korpus vertebra serta
penyempitan yang ringan pada diskus. Proses ini berlangsung selama 3-6
minggu.
3. Stadium destruksi lanjut
Pada stadium ini terjadi destruksi yang masif, kolaps vertebra, dan
terbentuk massa kaseosa serta pus yang terbentuk cold abscess (abses
dinngin), yang terjadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal.
Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum sderta kerusakan diskus
intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji terutama di sebelah
depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang
menyebabkan terjadinya kifosis dan gibus
4. Stadium gangguan neurologi
Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang
terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis.
Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis
tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih
kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini.
Tuberkulosa paraplegi atau pott paraplegi dapat terjadi secara diam-diam
atau lambat bergantung pada keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang
masih aktif, paraplegi terjadi karena tekanan ekstradural dari abses
paravertebral atau akibat kerusakan sangsung sumsum tulang belakang
oleh adanya graanulasi jaringan.Paraplegi pada penyakit yang sudah
11
aktif/sembuh terjadi oelh karena tekanan pada jembatan tulang kanallis
spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari
jaringan granulasi tuberkulosa.Tuberkulosis paraplegi terjadi secara
perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan
gangguan vaskuler vertebra. Derajat I-III disebut sebagai paraparesis dan
derajat IV disebut sebagai paraplegia.
5. Stadium deformitas residual
Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium
implamasi. Kifosis atau gibus bersifat permanen karena kerusakan
vertebra yang masif sebelah depan.
D. Patofisiologi
Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi
bermulai dari bagian sentral, bagian depan atau daerah epifisial korpus
vertebra. Kemudian menjadi hiperemia dan eksudasi yang menyebabkan
osteoporosis dan pelunakan korpus. Selanjutnya terjadi pelunakan pada korteks
epifisis, diskus intervertebralis, dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada
bagian depan korpus ini akan menybabkan terjadinya kifosis.
Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, tulang yang
fibrosis, serta hasil tuberkulosis) menyebar ke depan, di bawah ligamentum
longitudinal anterior. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan
berekspansi ke berbagai arah sepanjang garis ligamen yang lemah. Pada daerah
vertebra servikalis, eksudat terkumpull di belakang paravertebral dan menyebar
ke lateral di belakkang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat
mengalami protrusi ke depan dan ke dalam faring yang dikenal sebagai abses
faringeal. Abses dapat berjalan mengisi tempat trakea, esofagus, atau kavum
pleura. Abses pada vertebra torakalis, biasanya tetap tinggal pada daerah torak
setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan
fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medula spinalis sehingga
timbul paraplegia.abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti
muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinale pada bagian
medial pada. Eksudat juga dapat menyebar ke daeraah krista iliaka dan
12
mungkin dapat mengikutipembuluh darah femoral pada trigonum skarpei atau
regio gluteal.
Pathway Spondilitis Tuberkulosis
13
6. Risiko tinggi kerusakan integritas kulit
7. ansietas
8. Ketidak efektifan koping individu dan keluarga
Respons perubahan psikologis
Respons perubahan psikologis
3. nyeri
2. ketidakefektifan bersihan jalan nafas
Akumulasi sekret meningkat
Penurunan kemampuan maksimal dalam
melakukan respirasi, abtuk efektif
4. Ketidakseimbangan nutrisi: kuang dari kebutuhan tubuh
Asuapan nutrisi tidak adekuat
Gangguan dalam proses menelan
Gangguan mobilitas leher sehingga leher menjadi kaku dan pembentukan
abses pada faring
1. Hambatan mobilitas fisik
5. Gangguan eliminasi urine
Stimulus nyeriPerubahan vertebra
menjadi kifosis
Paraplegia, stimulus nyeri pada pinggang, gangguan dalam mengomunikasikan
proses eliminasi eine
Kompresi radiks saraf pada
vertebratorakalis
Perubahan vertebta
Peubahan diskus intervertebralis sevikal
Penekanan korda dan radiks saraf oleh pembesaan
abses/tulang yang bergeser
Kerusakan korpus vertebra dan terjadi angulasi vertebra ke depan
Kerusakan korpus vertebra dan terjadi angulasi vertebra ke depan
Perubahan pada vertebra lumbalis
Perubahan pada vertebra torakalis
Perubahan pada vertebra servikalis
Perkijuan jaringan tulang dan pembentukan abses dingin menjalar ke bagian lunak para vertebralis
Perusakan tulang dan perjalanan infeksi ke ruang diskus dan ke vertebra yang berdekatan
Infeksi secara hematogen tuberkulosis paru ke dalam korpus vertebra dekat diskus intervertebralis
E. Manifestasi Klinis
Spondilitis tuberkulosis tidak tampak pada tahun pertama kehidupan.
Mulai timbul setelah anak belajar berjalan dan melompat.Kemudian terjadi
pada semua umur.Keluhan yang paling dini berupa rasa pegal dipunggung
yang belum jelas lokasinya. Kemudian terasa nyeri sejenak kalau badan
digerakkan atau tergerak. Pada tahap yang agak lanjut nyeri dipunggung itu
ditambah dengan nyeri intercostal yang bersifat radikular.Nyeri itu terasa
bertolak dari ruas tulang belakang dan menjalar sejajar dengan iga ke dada dan
berhenti tepat digaris tengah dada.Untuk mengurangi keadaan ini anak menarik
punggungnya kuat – kuat.Anak menghindari penekukan tubuh waktu
mengambil sesuatu dilantai jika terpaksa dia hanya menekukkan lututnya untuk
menjaga punggungnya untuk tetap lurus. Rasa nyeri akan membaik bila dia
beristirhat.
Tanda – tanda pada tingkatan yang berbeda :
1. Pada leher, jika mengenai vertebra servikal penderita tidak suka memutar
kepalanya dan duduk dengan meletakkan dagu di tangannya. Dia akan
merasa nyeri pada leher atau pundaknya. Jika terjadi abses, pemebengkakan
dengan fluktuasi yang ringan akan tampak pada sisi yang sama pada leher
dibelakang otot sternum mastoid atau tonjolan pada bagian belakang mulut
(faring)
2. Pada punggung bawah sampai iga terakhir (region toraks). Dengan adanya
penyakit pada region ini, penderita memiliki punggung yang besar. Dalam
gerakan memutar dia lebih sering menggerakkan kakinya dari pada
mengayunkan pinggulnya. Saat memungut sesuatu dari lantai dia menekuk
lutunya sementara punggungnya tetap lurus. Kemudian akan terdapat
pembengkakan atau lekukan yang nyata pada tulang belakang (Gibus)
diperlihatkan dengan korpus vertebra yang terlipat
3. Jika abses ini menjalar menuju dada bagian kanan dan kiri serta akan
muncul sebagai pembengkkan yang lunak pada dinding dada (abses dingin
yang sama dapat menyebabkan tuberculosis kelenjar getah bening
14
interkosta). Jika menuju ke punggung dapat menekan serabut saraf spinal
yang menyebabkan paralisis.
4. Saat tulang belakang yang terkena lebih rendah dari dada (regio lumbal),
dimana juga berada dibawah serabut saraf spinal, pus juga dapat menjalar
pada oto sebagai mana pada tingkat yang lebih tinggi. Jika ini terjadi akan
tampak sebagai pembengkakan lunak di atas atau dibawah ligamentum pada
lipatan paha atau di bawahnya tetap pada sisi dalam bagian paha (abses
psoas).
5. Pada pasien dengan malnutrisi akan didapatkan demam (kadang-kadang
demam tinggi), kehilangan berat badan dan kehilangan nafsu makan
Berdasarkan derajatnya, Manifestasi klinis spondilitis tuberkulosis
sebagai berikut :
Derajat Manifestasi Klinis
I
II
III
IV
Kelemahan pada abggota gerak bawah terjadi setelah
melakukan aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini
belum terjadi gangguan saraf sensorik.
Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah, tetapi klien
masih dapat melakukan pekerjaan
Terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang
membatasi gerak aktivitas klien serta hipostesia/anastesia
Terjadi gangguan saraf sensori dan motorik disertai gangguan
defekasi dan miksi
F. Komplikasi
1. Pottds paraplegiaa
a. Muncul pada stadium awal disebabkan tekanan ekstradural oleh pus
maupun sequester atau infasi jaringan granulasi pada media spinalis.
15
Paraplegiaa ini membutuhkan tindakan operatif dengan cara dekompresi
medula spinalis dan saraf.
b. Muncul pada stadium lanjut disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dan
jaringan granulasi atau perlengketan tulang (ankilosing) diatas kanalis
spinalis.
2. Ruptur abses paravertebra
a. Pada vertebra torakal maka nanah akan turun ke dalam pleura sehingga
menyebabkan empiema tuberkulosis.
b. Pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas
membentuk psoas abses yang merupakan coldapsces (lindsay. 2008).
3. Cidera Corda Spinalis (Spinalis Cord Injury)
Dapat terjadi karena adanya tekanan ekstradural sekunder karena
pustuberkulosa, sequestra tulang, sequester dari diskus intervertebralis atau
dapat juga langsung karena keterlibatan korda spinalis oleh jaringan
granulasi tuberkulosa. Jika cepat diterapi sering berespon baik. MRI dan
Mieolografi dapat membantu membedakan paraplegi karena tekanan atau
karena infasi dura dan korda spinalis.
G. Penatalaksanaan
1. Medis
Pada prinsipnya, penatalaksanaan teberkulosa tulang belakang harus dilakukan
segera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah
paraplegia. Penatalaksanaan terdiri atas :
a. Terapi konservatif (tirah baring, memperbaiki keadaan umum klien,
pemasangan brace pada klien yang dioperasi ataupun yang tidak dioperasi,
pemberian obat antiteberkulosa. Obat-obatan yang diberikan terdiri atas :
1) INH dengan dosis oral 5 mg/kg berat badan per hari dengan dosis
maksimal 300 mg. Dosis orang pada anak-anak 10 mg/kg berat badan.
2) Asam para-amino salisilat, dosis orang 8-12 mg/kg berat badan
3) Etambutol, dosis orang 15-25 mg/kg berat badan untuk anak-anak dan
pada orang dewasa 300-400 mg perhari.
16
4) Streptomisin, pada saat ini tidak digunakan lagi.
Untuk mendapatkan hasil pengobatan yang efektif dan mencegah
terjadinya kekebalan kuman teberkulosis terhadap obat yang diberikan,
perawat memberikan kombinasi beberapa obat tuberkulostatik.
Regimen yang dipergunakan dalan di Amerika dan Eropa adalah
INH dan Rifampisin selama 9 bulan atau INH + Rifampisin + Etambutol
diberikan selama 2 bulan yang dilanjutkan dengan pemberian INH +
Rifampisin selama 7 bulan. Di korea, kombinasi antara INH + Rifampisin
diberikan selama 6-12 bulan atau INH + Etambutol diberikans elama 9-18
bulan. Standar pengobatan di Indonesia yang berdasarkna program P2TB
paru adalah :
1) Kategori 1. Untuk klien baru BTA positif dan BTA negatif/Rontgent
positif, obat diberikan dalam dua tahap, yaitu :
a) Tahap I : diberikan Rifampisin 450 mg, Etambutol 750 mg, INH
300 mg dan Pirazinamid 1500 mg. Obat diberikan setiap
hari selama 2 bulan pertama (60 kali)
b) Tahap II : diberikan Rifampisin 450 mg dan INH 600 mg. Obat
diberikan tiga kali seminggu (intermiten) selama 4 bulan
(54 kali)
2) Kategori 2. Untuk klien baru BTA positif yang pernah minum obat
selama lebih dari sebulan, termasuk klien dengan BTA positif yang
kambuh/gagal obat yang diberikan dalam dua tahap, yaitu :
a) Tahap I : diberikan Streptomisin 750 mg, (injeksi), INH 300 mg,
Rifampisin 450 mg. Pirazinamid 1500 mg dan
Etambutol 750 mg. Obat diberikan setiap hari.
Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali)
dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali)
b) Tahap II : diberi INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol
1250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu (intermiten)
selama 5 bulan (66 kali)
17
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum klien
bertambah baik, laju endap darah menurun dan menetap, gejala klinis
berupa nyeri dan spasme berkurang, gambaran radiologis ditemukan
adanya union pada vertebra.
b. Terapi operatif. Walaupun pengobatan kemotrapi merupakan pengobatan
utama bagi klien tuberkulosis tulang belakang, tindakan operatif masih
memegang peranan penting dalam beberapa hal, misalnya cold abcess
(abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia, dan kifosis.
Indikasi penatalaksanaan operatif yang perlu diketahui perawat sebagai
bahan untuk melakukan kolaborasi, meliputi :
a. Bila dengan terapi konservatif tidak ada perbaikan paraplegia atau
kondisi tersebut bertambah berat
b. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan sistem drainase abses
secara terbuka, penatalaksanaan debridemen, dan bone graf.
c. Pada pemeriksaan radiologi (foto polos, mielografi, CT scan, dan MRI),
didapatkan adanya penekanan langsung pada medula spinalis
d. Koreksi deformitas pada spondilitis tuberkulosa yang telah mengalami
penyebuhan.
2. Keperawatan
a. Pengkajian
1) Anamnesis
a) Identitas klien meliputi nama, usia, jenis kelamin, pendidikan,
alamat, pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam MRS,
nomor register, asuransi kesehatan, dan diagnosis medis
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien meminta
pertolongan kesehatan adalah paraparesis, gejala paraplegia,
keluhan gangguan pergerakan tulang belakang, dan adanya nyeri
tulang belakang. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap
tentang nyeri klien, perawat dapat menggunakan metode
PQRST
18
Provoking incident : Hal yang menjadi faktor presipitasi nyeri
adalah : adanya peradangan pada tulang belakang
Qualiti of pain : Nyeri yang dirasakan klien bersifat menusuk.
Nyeri sering disertai dengan adanya parestesia. Faktor yang
mengurangi nyeri dikaji karena pada beberapa keadaaan,
kualitas dan kuantitas nyeri berkurang dengan menajemen nyeri
keperawatan dengan meliputi pengaturan posisi, ralaksasi nafas
dalam, metode distraksi, menajemen sentuhan dengan masase
ringan disekitar lokasi nyeri.
Region, Radiation, Relief : Kaji apakah nyeri dapat reda, apakar
nyeri menjalar karena pada beverapa kasus, nyeri sering
menjalar ke pinggul dan menjalar ke tungkai. Selain itu, kaji
dimana nyeri terjadi, apakah nyeri terlokalisasi, dan sebatas apa.
Severity (scale) of pain : Nyeri biasanya 1-3 pada penilaian
skala nyeri 0-4
Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah kondisi
nyeri berlangsung terus menerus atau hilang timbul.
b) Riwayat Penyakit sekarang
Keluhan rang didapat hampir sama dengan kejala tuberkulosis
pada umumnya, yatu badan lemah/lesu, nafsu makan berkurang,
berat badan menurun, suhu sedikit meningkat (subfebril)
terutama pada malam hari, serta sakit punggung. Pada anak-
anak sering disertai dengan menangis pada malam hari (night
cries). Pada tuberkulosa vertebra servikalis, dapat ditemukan
nyeri di daerah belakang kepala, gangguan menelan, dan
gangguan pernafasan akibat adanya abses retrofaring. Kadang
kala klien datang dengan gejala abses pada daerah paravertebral,
abdominal, inguinal, popliteal, atau bokong.
c) Riwayat penyakit dahulu
Ada keluhan riwayat TB paru dan penggunaan obat
antituberkulosis (OAT). Penyakit lainnya seperti hipertensi,
19
diabetes melitus juga dikaji untuk mengidentifikasi penyulit
pada penatalaksanaan dan implementasi keperawatan.
d) Pengkajian Psikososiospiritual
Perawat mengkaji mekanisme koping yang digunakan klien
untuk klien untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit
yang dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat, serta respons atau pengaruhnya dalam kehidupan
sehari-hari, baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat.
Adanya perubahan berupa paralisis anggota gerak bawah
memberikan manifestasi yang berbeda pada setiap klien yang
mengalami spondilitis tuberkulosa.
Karena klien harus menjalani rawat inap, kaji apakah keadaan
ini memberi dampak pada status ekonomi klien. Hal ini
dilakukan karena perawatan dan pengobatan memerlukan dana
yang tidak sedikit. Spondilitis tuberkulosa memerlukan biaya
untuk pemeriksaan, penggobatan dan perawatan yang dapat
mengacaukan keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini dapat
mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien dan keluarga.
Perawat juga memasukkan pengkajian fungsi neurologis
mengenai dampak hambatan mobolitas terhadap gaya hidup
baru individu. Perspektif keperawatan dalam mengkaji terdiri
atas dua masalah, yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh
hambatan mobilitas dalam hubungannya dengan peran sosial
klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung adaptasi
hambatan mobilitas muskuloskeletaldalam sistem dukungan
individu.
2) Pemeriksaan fisik
Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan
klien, pemeriksaan fisik sangat berguna untuk mendukung
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan
20
persistem (B1-B6) dengan fokus pemeriksaan B6 (Bone) yang
terarah dan dihubungkan dengan keluhan klien.
a) Keadaan umum
Pada keadaan spondilitis tuberkulosa, klien umunya tidak
mengalami penurunan kesadaran. Adanya perubahan tanda-
tanda vital yang meliputi bradikardi dan hipotensi sering
berhubungan dengan penurunan aktivitas secara umum akibat
adanya hambatan dalam melakuakn mobilitas ekstremitas.
b) B1 (Breathing)
Hasil pemeriksaan fisik sistem ini pada klien spondilitis
tuberkulosa dengan fase penurunan aktifitas yang parah adalah
pada inspeksi di dapatkan bahwa klien batuk, ada peningkatan
produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot bantu nafas,
dan peningkatan frekuensi pernafasan. Pada palpasi, ditemukan
taktil fremitus seimbang kanan dan kiri. Pada perkusi
ditemukan adanya resonan pada seluruh lapang paru. Pada
auskultasi, dadapatkans suara nafas tambahan, seperti ronki
pada klien dengan peningkatan produksi sekret, dan
kemampuan batuk yang menurun yang sering ditemukan pada
klien spondilitis tuberkulosa dengan penurunan tingkat
kesaadaran koma. Pada klien spondilitis tuberkulosa fase awal,
biasanya tidak didapatkan kelainan pada sistem pernafasan.
c) B2 (Blood)
Pada keadaan spondilitis tuberkulosa dengan komplikasi
paraplegia yang lama di derita, biasanya akan didapatkan
adanya hipotensi ortostatik (penurunan tekanan darah sistolik
≤25 mmHg dan diastolik ≤10 mmHG ketika klien bangun dari
posisi baring ke posisi duduk). Pada klien spondilitis
21
tuberkulosa tanpa paraplegia, biasanya tidak didapatkan
kalainan pada sistem kardiovaskuler.
d) B3 (Brain)
Tingkat kesadaran biasanya komposmentis
(1) Kepala : Tidak ada gangguan, yaitu normosefalik, simetris,
tidak ada penonjolan, sering didapatkan adanya nyeri
belakang kepala.
(2) Leher : Pada spondilitis tuberkulosa yang mengenai
vertebra servikalis, sering didapatkan adanya kekakuan
leher sehingga mengganggu mobilitas leher dalam
melakukan rotasi, fleksi, dan ekstensi kepala.
(3) Wajah : Wajah terlihat menahan sakit, tidak ada perubahan
fungsi maupun bentuk. Wajah simetris, tidak ada lesi dan
edema.
(4) Mata : Tidak ada ganggguan, seperti konjungtiva tidak
anemis
(5) Telinga : Tes bisik atau weber masih dalam keadaan
normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan
(6) Hidung : Tidak ada deformitas, tidak ada pernafasan cuping
hidung
(7) Mulut dan faring : tidak ada pembesaran tonsil, gusi tidak
terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat
(8) Pemeriksaan fungsi sebrebral. Status mental : observasi
penampilan dan tingkah laku klien. Biasanya status mental
klien tidak mengalami perubahan.
(9) Pemeriksaan saraf kranial :
22
(a) Sarraf I. Biasanya pada klien sppondilitis tuberkulosa
tidak ada kelainan dan fungsi penciuman tidak ada
kelainan
(b) Saraf II. Tes ketajaman penglihatan dalam kondisi
normal
(c) Saraf III, IV, dan VI. Biasanya tidak ada ganggguan
mengangkat kelopak mata, pupil isokor.
(d) Saraf V. Klien spondilitis tuberkulosa umumnya tidak
mengalami paralisis pada otot wajah dan refleks kornea
biasanya tidak ada kelainan.
(e) Saraf VII. Persepsi pengecapan dalam batas normal dan
wajah simetris
(f) Saraf VIII. Tidak ditemukan adanya tuli konduktif dan
tuli persepsi
(g) Saraf IX dan X. Secara sensorik, kemampuan menelan
baik, tetapi adanya gangguan menelan lebih sering
disebabkan oleh adanya abses faring sehingga
menggganggu klien dalam proses menelan karena
adanya sensasi nyeri menelan.
(h) Saraf XI. Tiidak ada atrofi otot sternokleido-mastoideus
dan trapezius
(i) Saraf XII. Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu
sisi dan tidak ada fasikulasi. Indra pengecapan normal.
(10) Pemeriksaan Refleks : biasanya tidak terdapat refleks
patologis.
e) B4 (Bladder).
Pada spondilitis tuberkulosa daerah torakal dan servikal, tidak
ada kelainan pada sistem ini. Pada spondilitis tuberkulosa
daerah lumbal, sering didapatkan keluhan inkontinensia urine,
ketidakmampuan mengomunikasiakan kebutuhan eliminasi
uine.
23
f) B5 (Bowel).
Inspeksi abdomen : Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia.
Palpasi : turgor baik, tidak ada kejang otot abdomen akibat
adanya abses pada lumbal, hepar tidak teraba. Perkusi : Suara
timpani, ada pantulan gelombang cairan. Auskultasi :
Peristaltik usus nornal ±20 kali/menit. Inguinal-genitalia-anus :
Tidak ada hernia, tidak ada pembesaran limfe, tidak ada
kesulitan BAB. Pola nutrisi dan metabolisme : pada klien
spondilitis tuberkulosa sering ditemukan penurunan nafsu
makan dan gangguan menelan dari abses faring sehingga
pemenuhan nutrisi menjadi berkurang.
g) B6 (Bone)
Untuk Spondilitis tuberkulosa servikalis, lebih sering
terjadi pada anak-anak. Keluhan yang sering ditemukan adalah
nyeri leher dan kekakuan. Pada kasus yang tidak diobati, abses
retrofariengal dapat menyebabkan gangguan menelan atau
bengkak pada sisi leher tersebut. Pada pemeriksaan, leher
terasa sangat nyeri dan semua gerakan terbatas. Pada kasus
yang sudah terlambat, dapat terjadi kifosis yang nyata, abses
leher yang berfluktuasi atau pembengkakan retrofaringeal.
Anggota tubuh harus diperiksa untuk mengetahui ada atau
tidaknya defisit neurologis. Pada pemeriksaan diagnostik
radiologi sering didapatkan adanya penyempitan ruang diskus
dan erosi korpus vertebra yang bersebelahan.
(1) Look. Kurvatura tulang belakang mengalami deformitas
(kifosis) terutama pada spondilitis tuberkulosa daerah
torakal. Pada spondilitis tuberkulosa daerah vertebra
lumbalis, hampir tidak terlihat deformitas, tetapi terlihat
adanya abses pada daerah bokong dan pingkang. Pada
24
spondilitis tuberkulosa daerah servikal, terdapat kekakuan
leher.
(2) Feel. Kaji adanya nyeri tekan pada daerah spondilitis
(3) Move. Terjadi kelemahan anggota gerak (paraparesis dan
paraplegia) dan ganguan pergerakan tulang belakang.
Pergerakan yang berkurang tidak dapat dideteksi di daerah
torak, tetapi mudah diamati pada tulang belakang lumbal;
punggung harus diperhatikan dengan teliti, semestara
gerakan dicoba. Biasanya seluruh gerakan terbatas dan
usaha tersebut menimbulkan spame otot. Uji uang logam
dapat menilai seorang anak yang mengalami spasme
lumbal. Bila anak mengambil uang dari lantai, ia cenderung
membengkokkan pinggul dan lutut, bukan
membungkukkan tulang belakang.
3) Pemeriksaan radiologi
a) Pemeriksaan rontgen
(1) Pemeriksaan foto torak untuk melihat adanya tuberkulosis paru
(2) Pada foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolik, dan
destruksi korpus vertebra, disertai penyempitan diskus
intervertebralis yang ada diantara korpus tersebut, dan
mungkin dapat ditemukan adanya masa abses paravertebral
(3) Pada foto AP, abses paravertebral pada daerah servikal
berbentuk sarang burung (bird’s nets), di daerah torakal
berbentuk bulbus, dan pada daerah lembal abses terlihat
berbentuk fusiform. Pada stadium lanjut, terjadi destruksi
vertebra yang lebih hebat sehingga timbul kifosis.
b) Pemeriksaan CT-scan dengan mielografi. Pemeriksaan mielografi
dilakuakn bila terdapat gejala-gejala penekanan sumsum tulang.
25
c) Pemeriksaan MRI terutama untuk melihat jaringan lunak yaitu
diskus intervertebtalis dan ligamentum flavum serta lesi dalam
sumsum tulang belakang.
4) Pemeriksaan laboratorium
a) Peningkatan laju endap darah dan mungkin disertai leukositosis
b) Uji Mantoux positif
c) Pada pemeriksaan biakan kuman, mungkin ditemukan
Mycrobacterium.
d) Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limpe regional
e) Pada pemeriksaan histopatologis, dapat ditemukan tuberkel.
b. Diagnosa Keperawatan
Masalah keperawatan yang muncul pada klien spondilitis tuberkulosa
meliputi :
1. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan paraplegia,
paralisis ekstremitas bawah.
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan
penumpukan stupum, peningkatan sekresi sekret, dan penurunan
kemampuan batuk
3. Nyeri yang berhubungan dengan kompresi saraf dan refleks spasme
otot sekunder pada tulang belakang
4. Ketidakseimbangan nutrisi : kurang dari butuhan tubuh yang
berhubungan dengan gangguan kemampuan menelan makanan,
peningkatan kebutuhan metabolisme
5. Gangguan metabolisme urine yang berhubungan dengan perubahan
dalam mengomnunikasikan eliminasi urine
6. Risiko kerusakan integritas kulit yang berhubungan dengan
paraplegia, paralisis ekstremitas, tidak adekuatnya sirkulasi perifer
7. Ansietas yang berhubungan dengan krisis situasional, ancaman
terhadap konsep diri, perubahan status kesehatan/status
ekonomi/fungsi peran.
8. Ketidakefektifan kopin individu dan keluarga.
26
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
Kasus
Ibu Y, 45 tahun mengalami nyeri di daerah tulang belakang sejak 1
minggu yang lalu. Ibu Y di bawa ke RS dr. Soedarso untuk pemeriksaan lebih
lanjut. Seletah dikaji ibu Y mengakatakan sakit di daerah tulang belakang disertai
nyeri hebat, sehingga tidak bisa beraktivitas, selain itu ibu Y juga mengeluhkan
badan terasa lemah, tidak nafsu makan, dan berat badan menurun, serta sedikit
peningkatan suhu tubuh terutama pada malam hari. Dilakukan pemeriksaan
penunjang ibu Y mengalami TB Tulang (spondilitis) Pengkajian ibu mengalami
riwayat TB Paru sejak 2 tahun yanng lalu. Pada pemeriksaan lab dilakukan
mantoux tes, didapatkan hasil potisif, dan terjadi peningkatan laju endap darah.
Selain itu pada pemeriksaan radiologi, dilakukan pemeriksaan : foto torak
didapatkan adanya tuberkulosis paru dan pada foto polos vertebra, ditemukan
osteoporosis, osteolik, dan destruksi korpus vertebra, disertai penyempitan diskus
intervertebralis.
Dari hasil pemeriksaan didapatkan hasil TTV : TD: 95/70 mmHg N: 55
x/menit S : 37,5 ºC RR : 27x/menit. Klien Mengalami batuk, peningkatan
27
produksi sputum, penurunan kemampuan batuk dan saat di auskultasi terdengat
suara ronki.
A. Analisa Data
Pathway Spondilitis Tuberkulosis
28
1. nyeriPenurunan kemampuan maksimal dalam
melakukan respirasi, abtuk
3. Hambatan mobilitas fisikStimulus nyeri
Perubahan vertebra menjadi kifosis
Paraplegia, stimulus nyeri pada pinggang, gangguan dalam mengomunikasikan
proses eliminasi eine
Kompresi radiks saraf pada
vertebratorakalis
Perubahan vertebta
Peubahan diskus intervertebralis sevikal
Penekanan korda dan radiks saraf oleh pembesaan
abses/tulang yang bergeser
Kerusakan korpus vertebra dan terjadi angulasi vertebra ke depan
Kerusakan korpus vertebra dan terjadi angulasi vertebra ke depan
Perubahan pada vertebra lumbalis
Perubahan pada vertebra torakalis
Perubahan pada vertebra servikalis
Perkijuan jaringan tulang dan pembentukan abses dingin menjalar ke bagian lunak para vertebralis
Perusakan tulang dan perjalanan infeksi ke ruang diskus dan ke vertebra yang berdekatan
Infeksi secara hematogen tuberkulosis paru ke dalam korpus vertebra dekat diskus intervertebralis
B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri yang berhubungan dengan kompresi saraf dan refleks spasme otot
sekunder pada tulang belakang
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan
penumpukan stupum, peningkatan sekresi sekret, dan penurunan
kemampuan batuk
3. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan paraplegia, paralisis
ekstremitas bawah.
C. Intervensi
1. Nyeri yang berhubungan dengan kompresi saraf dan refleks spasme otot
sekunder pada tulang belakang
a. NOC :
1) Memperlihatkan pengendalian nyeri, yang dibuktikan oleh
indikator (tidak pernah, jarang, kadang-kadang, sering, atau selalu):
(a) Mengenali awitan nyeri
(b) Menggunakan tindakan pencegahan
(c) Melaporkan nyeri dapat dikendalikan
2) Menunjukan tingkat nyeri, yang dibuktikan oleh indikator (sangat
berat, sedang, ringan atau tidak ada):
(a) Ekspresi nyeri pada wajah
29
Penurunan kemampuan maksimal dalam
melakukan respirasi, abtuk
(b) Gelisah atau ketegangan otot
(c) Durasi episode nyeri
(d) Merintih dan menangis
(e) Gelisah
b. NIC
Pengkajian
- Lakukan pengkajian nyeri yang komprehensif meliputi lokasi,
karakteristik, awitan dan durasi, frekuensi, kualitas, intensitas atau
keparahan nyeri, dan faktor presipitasinya
- Observasi isyarat nonverbal ketidaknyamanan, khususnya pada
mereka yang tidak mampu berkomunikasi efektif
Pendidikan untuk pasien/keluarga
- Berikan informasi tentang nyeri, seperti penyebab nyeri, berapa
lama akan berlangsung,dan antisipasi ketidaknyamanan akibat
prosedur
- Ajarkan tekhnik nonfarmakologis sebelum,setelah, dan jika
memungkinkan, selama aktivitas yang menimbulkan nyeri;
sebelum nyeri terjadi atau meningkat; dan bersama penggunaan
tindakan peredaan nyeri yang lain.
Aktivitas kolaboratif
- Gunakan tindakan pengendalian nyeri sebelum nyeri menjadi lebih
berat.
- Laporkan kepada dokter jika tindakan tidak berhasil atau jika
keluhan saat ini merupakan perubahan yang bermakna dari
pengalaman nyeri pasien dimasa lalu
30
2. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan
penumpukan stupum, peningkatan sekresi sekret, dan penurunan
kemampuan batuk
a. Noc:
Menunjukkan pembersihan jalan nafas yang efektif, yang dibuktikan
oleh perncegahan aspirasi; status pernafasan; kepatenan jalan nafas; dan
status pernafasan : ventilasi tidak terganggu
b. Nic :
intervensi
- Manajemen jalan nafas : Menfasilitasi kepatenan jalan udara
- Pengisafan jalan nafas : Mengeluarkan sekret dari jalan nafas
dengan memasukkan sebuah kateter pengisap kedalam jalan nafas
- Kewaspadaan aspirasi : mencegah dan meminimalkan faktor resiko
aspirasi
- Peningkatan batuk : Meningkatkan inhalasi dalam pada pasien
yang memiliki riwayat keturunan mengalami tekanan intratotakalis
dan kompresi parenkim paru yang mendasari untuk pengarahan
tenaga dalam menghembuskan udara
- Pengaturan posisis : Mengubah posisi pasien dan bagian tubuh
pasien secara sengaja untuk memfasilitasi kesejahteraan fisiologi dan
psikologis
- Pemantauan pernafasan : mengumpulkan dan menganasisis data
pasien untuk memastikan kepatenan jalan nafas dan pertukaran gas
yang adekuat
31
- Bantuan ventilasi : Meningkatkan pola nafas spontan yang
optimal, yang memaksimalkan pertukaran oksigen dan
karbondioksida dalam paru
Pendidikan untuk pasien/keluarga
- Jelaskan penggunaan yang benar peralatan pendukung (mis.
Oksigen, mesin pengisap, spirometer, inhaler)
- Informasikan kepada pasien dan keluarga tentang larangan merokok
didalam ruang perawatan, beri penyuluhan tentang pentingnya
berhenti berhenti merokok
- Instruksikan kepada pasien tentang batuk dan teknik nafas dalam
untuk memudahkan pengeluaran sekret
- Ajarkan pasien dan keluarga tentang makna perubahan pada sputum,
seperti warna, karakter, jumlah dan bau
Kolaborasi
- Rundingkan dengan ahli terapi pernafasan, jika perlu
- Konsultasikan dengan dokter tentang kebutuhan untuk perkusi atau
peralatan pendukung
- Berikan udara/oksigen yang telah dihumidifikasi (dilembabkan)
sesuai dengan kebijakan institusi
- Lakukan atau bantu dalam terapi aerosol, nebulizel ultrasonik, dan
perawatan paru lainnya sesuai dengan kebijakan dan protokol
institusi
- Beri tahuu dokter tentang hasil gas darah yang abnormal
3. Hambatan mobilitas fisik yang berhubungan dengan paraplegia, paralisis
ekstremitas bawah.
a. NOC :
32
- Memperlihatkan mobilitas yang dibuktikan oleh indikator berikut
(gangguan ekstrem, berat, sedang, ringan, atau tidak mengalami
gangguan)
- Merlakuakn aktifitas sehari-haris ecara mandiri
b. NIC :
Intervensi
- Kaji kebutuhan terhadap bantuan layanan kesehatan dirumah sakit
- Promosi Mekanika tubuh : memfasilitasi penggunaan postur dan
pergerakan dalam aktivitas sehari-hari untuk mencegah keletihan
dan ketegangan atau cedera muskulo
- Terapi latihan fisik (ambulasi) : meningkatkan dan membantu
dalam berjalan untnuk memeprtahankan atau mengendalikan fungsi
tubuh autonom dan volunter selama pengobatan dan pemulihan dari
kondisi sakit
- Pengaturan posisi : mengatur posisi pasien untuk bagian tubuh
pasien secara hati-hati untuk meningkatkan kesehahteraan
fisiologis dan psikologis.
33
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Spondilitis Tuberkulosis adalah peradangan pada tulang belakang
granulomatosa yang bersifat kronis destruktif oleh Mycobacterium tuberkulosa
yang disebut juga dengan penyakit pott dan juga selalu merupakan infeksi
sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh. Gejalanya mirip tuberkulosis
paru, ditambah dengan adanya gibbus/kifosis, nyeri pada punggung, dan
gangguan pergerakan tulang belakang. Pemeriksaan kadar LED diperlukan
untuk melihat adanya infeksi. Sedangkan pada pemeriksaan radiologis
ditemukan penyempitan diskus intervertebralis. Pengobatannya dapat diberikan
terapi konservatif dan operatif.
B. SARAN
34
Setelah membaca penjelasan tentang spondilitis tuberkulosis, ada
beberapa saran yang ingin kami sampaikan, diantaranya :
Bagi perawat, haruslah tetap melakukan asuhan keperawatan dengan
baik selalu menjaga keamanan diri sendiri, karena bakteri tuberkulosa ini
sangat mudah menular melalui pernafasan, tetapi dengan cara yang sopan,
tanpa menyinggung perasaan klien.
Bagi pembaca umum, masyarakat, keluarga penderita ataupun penderita
itu sendiri, diharapkan dapat menerapkan hal-hal dibawah ini :
- Hindari kotak langsung orang dengan klien penyakit menular
- Kurangi/ berhenti merokok
- Periksakan diri secepatnya apabila terdapat keluhan yang sama
- Berikan obat pada klien secara teratur dan sesuai dosis
- Habiskan minum obat antibiotik
DAFTAR PUSTAKA
Herdman, Heater, 2010. Diagnosis Keperawatan. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Muskuloskeletal. Jakarta : EGC
Muttaqin, Arif. 2011. Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal. Jakarta : EGC
Sudoya, Aru W., Dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta :
Internapublishing
35