status pasien ket
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
Ovum yang dibuahi oleh sperma dan telah berkembang menjadi blastokista pada
umumnya tertanam di lapisan endometrium rongga uterus. Implantasi ditempat lain
disebut kehamilan ektopik. Lebih dari 1 dari setiap 100 kehamilan di Amerika Serikat
adalah kehamilan ektopik, dan lebih dari 95% kehamilan ektopik terjadi di tuba fallopii.
Tipe kehamilan ektopik lainnya adalah implantasi trofoblas di cervix uteri (kehamilan
cervix) atau ovarium (kehamilan ovarium). Kehamilan abdominal terjadi bila kehamilan
yang sedang tumbuh di dalam tuba fallopii pecah ke dalam rongga peritoneum dan
terjadi implantasi di struktur panggul, termasuk uterus, usus, atau dinding lateral
panggul.1
Frekuensi kehamilan ektopik yang sebenarnya sukar ditentukan oleh karena
gejala kehamilan ektopik yang dini tidak selalu jelas dan tidak semua kehamilan ektopik
berakhir dengan abortus dalam tuba atau ruptur tuba. Sebagian hasil konsepsi mati dan
pada umur kehamilan muda kemudian diresorbsi.2 Angka kejadian kehamilan ektopik
terganggu (KET) di Indonesia menurut WHO diperkirakan tidak berbeda jauh dengan
Amerika Serikat, sekitar 60.000 kasus setiap tahun.3 Di rumah Sakit Dr. Cipto
Mangunkusumo pada tahun 1987 terdapat 153 kehamilan ektopik di antara 4.007
persalinan, atau 1 di antara 26 persalinan. Di RSUD Pirngadi Medan dari tahun 1979-
1981 frekuensi 1 : 139 dari semua kehamilan.4 Pada penelitian oleh Aloysius dkk. pada
tahun 2004 yang dilakukan di RS Immanuel Bandung, dari 47 kasus KET kejadian
terbanyak pada usia 30-34 tahun yaitu sebanyak 19 kasus (40.4%), dengan usia
kehamilan terbanyak yang mengalami KET adalah 5-9 minggu sebanyak 26 kasus
(55.3%), dan lokasi KET terbanyak di ampula yaitu sebanyak 39 kasus (83.0%).3
1
Kehamilan ektopik merupakan suatu kehamilan yang berbahaya bagi wanita
yang bersangkutan karena berhubungan dengan kemungkinan terjadinya keadaan yang
gawat, keadaan gawat ini terjadi apabila kehamilan ektopik terganggu. Oleh karena itu,
pada setiap wanita dalam masa reproduksi dengan gangguan atau keterlambatan haid
yang disertai dengan nyeri perut bagian bawah, perlu dipertimbangkan kemungkinan
kehamilan ektopik terganggu.2 Kehamilan ektopik terganggu menjadi penyebab utama
kematian maternal dan penyebab paling sering kematian ibu pada trimester pertama di
Amerika Serikat, dan bertanggung jawab terhadap 9-10% kematian maternal akibat
penyakit obstetrik. Akan tetapi, angka kefatalan kasus KET (case-fatality rate) menurun
secara bermakna mungkin disebabkan oleh membaiknya diagnosis dan
penatalaksanaannya.3,5
2
STATUS PASIEN
I. Identitas Pasien
Nama : Ny. S
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat Tanggal Lahir : Kuningan, 6 September 1978
Umur : 35 Tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Cimara, Pasawahan 07/03 Kuningan Jabar
Agama : Islam
Suku : Sunda
Status : Menikah
Pendidikan Terakhir : Sekolah Dasar (SD)
Tanggal Masuk RS : 21 Desember 2013
Jam Masuk RS : 09.30
Nomor RM : 905923
Tanggal Periksa : 21 September 2013
Jam Periksa : 09.35
Identitas Suami
Nama : Tn. S
Umur : 41 Tahun
Pekerjaan : Buruh
Pendidikan Terakhir : Sekolah Dasar (SD)
3
II. Anamnesa (Autoanamnesa)
A. Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah
B. Riwayat Penyakit
2 hari SMRS pasien mengeluh nyeri perut kanan bawah. Setiap kali nyeri ±
selama 15 menit, nyeri dirasakan hilang-timbul, terasa tajam. Nyeri tidak seperti
di remas-remas. Nyeri tidak sampai tembus kebelakang dan nyeri tidak menjalar
kepaha. Nyeri perut membuat pasien tidak bisa berjalan dan membuatnya
menghentikan aktivitasnya, bahkan pasien tidak merubah posisi tubuhnya untuk
tidak bergerak. Pasien juga mengatakan keluar darah dari kemaluannya. Darah
yang keluar dirasakan hanya sedikit-sedikit dan terlihat seperti darah menstruasi.
Sebelumnya nyeri perut sudah dirasakan sejak 1 minggu SMRS namun tidak
sampai mengganggu aktivitas pasien.
7 tahun SMRS pasien mengikuti kontrasepsi mantap secara masal di rumah sakit
swasta di Kuningan. Saat itu pasien sedang tidak haid dan tidak hamil. Dan
pasien tidak mengetahui jenis operasi untuk kontrasepsinya.
19 tahun SMRS pasien pernah mengeluh nyeri perut kanan bawah dan sudah di
lakukan tindakan operasi. Pasien mengatakan di lakukan tindakan operasi karena
usus buntu oleh dokter yang merawatnya.
Pasien tidak mengalami penurunan berat badan. Tidak mengeluh adanya mual
dan muntah, tidak mengeluh buang air besar cair dan berdarah. Tidak ada nyeri
saat buang air besar. Air kencing berwarna kuning jernih, dalam sehari bisa 2-3
kali, tiap buang air kecil sebanyak 1 gelas belimbing. Buang air kecil tidak ada
keluar seperti pasir. Tidak ada nyeri pada saat buang air kecil. Siklus menstruasi
4
pasien teratur. Tidak ada nyeri pada saat menstruasi. Tidak ada keputihan
sebelum dan sesudah menstruasi.
C. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien memiliki riwayat penyakit Appendisitis pada tahun 1994 dan telah
dilakukan operasi appendektomi.
D. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang mengalami penyakit yang serupa dengan pasien.
E. Riwayat Haid
Menarke usia 14 tahun.
Siklus haid teratur setiap sebulan sekali, lamanya ± 7 hari dan ganti pembalut 1
kali sehari.
F. Riwayat Kehamilan
Riwayat Kehamilan Sekarang
HPHT : 2 November 2013
Usia Kehamilan : 7-8 Minggu
HPL : 9 Agustus 2014
Riwayat Kehamilan Dahulu
Pasien mengalami keguguran saat mengandung anak kedua.
G. Riwayat Persalinan
No
Tempat TahunHasil
KehamilanPenolong
Kelainan/ Penyakit
Ibu
Anak
JK BB H/M
1 Rumah 1996 Aterm Bidan Tidak ada P 2.8 H
2 Rumah 2004 Abortus Bidan Tidak ada L - M
3 BPS 2005 Aterm Bidan Tidak ada P 2.6 H
4 BPS 2006 Aterm Bidan Tidak ada P 2.5 H
5
5 Sekarang 2013
H. Riwayat ANC
Selama hamil terakhir pasien tidak mengikuti ANC karena tidak mengetahui
dirinya sedang hamil.
I. Riwayat Penggunaan Kontrasepsi
Pasien setelah melahirkan anak pertama mengikuti program KB hormonal jenis
suntik setiap tiga bulan. Setelah melahirkan anak keempat pada tahun 2006
pasien mengikuti kontrasepsi mantap (MOW), sterilisasi massal.
J. Riwayat Alergi
Tidak ada riwayat alergi terhadap makanan maupun obat-obatan
K. Riwayat Pengobatan
Pasien baru pertama berobat dengan keluhan sekarang
L. Riwayat Habituasi
Pasien sehari-hari adalah seorang Ibu Rumah Tangga dan menghabiskan
waktunya dirumah.
III. Pemeriksaan Fisik (21-12-2013)
A. Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
B. Kesadaran : kompos mentis
C. Vital Sign : Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 88 ×/menit
Respirasi : 20 ×/menit
Suhu : 37.2°C
6
D. Status Generalisata
1. Kepala
Bentuk : Normocephali
Rambut : Hitam, tidak mudah dicabut
Muka/Pipi : Tidak ada edema
Kulit : Dalam batas normal
Mata : Refleks Cahaya (+/+), pupil isokor, konjungtiva anemis
(-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Dalam batas normal
Telinga : Kanan dan kiri dalam batas normal
Mulut : Dalam batas normal
2. Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar, JVP tidak meningkat
3. Thorax
Paru-paru
Inspeksi : Bentuk simetris, retraksi dinding dada (-/-)
Palpasi : Vocal fremitus kanan dan kiri
Perkusi : Sonor kanan dan kiri
Auskultasi : Vesikuler kanan dan kiri, ronki (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi : Tidak ada pembesaran jantung
Auskultasi : Bunyi jantung murni I dan II reguler, gallop negatif (-),
Murmur negatif (-)
7
4. Abdomen
Inspeksi : Tampak scars pada regio inguinal dextra dan regio supra
pubic, perut tidak cembung
Auskultasi : Bising usus normal, borboric sound negative, metallic
sound negative
Palpasi : nyeri tekan pada regio inguinal dextra, rovsing sign
negative, psoas sign negative, obturator sign negative
Perkusi : Timpani seluruh regio abdomen.
5. Genitalia : Lihat Status Obstetri dan Ginekologis
6. Anus : Mucosa licin, konsistensi kenyal, tidak bernodul, nyeri
tekan arah jam 11 pada posisi litotomi
7. Inguinal : Dalam Batas Normal
8. Extremitas : Akral hangat, edema tidak ada, varises tidak ada.
E. Status Obstetris
1. Tinggi Fundus Uteri : Tidak teraba
2. Pemeriksaan Leopold : Tidak dilakukan
3. Auskultasi : Tidak dilakukan
F. Pemeriksaan Dalam Ginekologis
1. Vulva dan Vagina : Tidak ada kelainan
2. Portio : Konsistensi tebal, Nyeri goyang portio positif
3. Pembukaan : Tidak ada pembukaan
4. Massa : Tidak teraba massa
5. Cavum Douglas : Teraba penonjolan dan nyeri tekan positif
6. Nyeri Perut : Nyeri perut kanan bawah positif
7. Handgloves : Darah positif (+)
8
IV. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 21-12-2013
A. Hematologi
1. Hemoglobin : 12.2 gr%
2. Leukosit : 14.900/mm³
3. Hematokrit : 33.4%
4. Trombosit : 337.000/mm³
5. Golongan Darah : A
B. Kimia Klinik
1. Glukosa Sewaktu : 91 mg/dl
2. SGOT : 19 U/I
3. SGPT : 17 U/I
4. Ureum : 19 mg/dl
5. Kreatinin : 0.72 mg/dl
C. Serologi
1. HbsAg : Negatif
2. Anti HBs : Negatif
D. Elektrolit
1. Natrium : 143 mmol/L
2. Kalium : 3.9 mmol/L
3. Klorida : 109 mmol/L
E. Urin
Tes kehamilan (PP test) positif
9
V. Resume
Pasien perempuan berusia 35 tahun hamil 7-8 minggu dengan keluhan nyeri perut
kanan bawah sejak 2 hari yang lalu dan hilang timbul, terasa tajam dan nyeri
menyebabkan aktivitasnya terganggu. Pasien juga mengeluh perdarahan keluar dari
kemaluannya seperti darah menstruasi. Pasien memiliki riwayat kontrasespsi
mantap 7 tahun yang lalu, dan riwayat appendisitis 19 tahun yang lalu dan telah
dioperasi. Saat hamil kedua pasien mengalami keguguran.
Pada pemeriksaan fisik di regio abdomen, tampak tanda scar bekas operasi
appendektomi dan operasi MOW dan nyeri tekan perut kanan bawah. Pada
pemeriksaan dalam didapatkan nyeri goyang positif, penonjolan cavum douglas dan
nyeri tekan. Pada pemeriksaan urin didapatkan tes kehamilan positif.
VI. Diagnosa Kerja : G5P3A1 gravid 7-8 minggu dengan Kehamilan
Ektopik Terganggu
VII. Diagnosa Banding : Salpingitis dekstra
VIII. Usulan Pemeriksaan : USG Transvaginal
IX. Penatalaksanaan : Infus RL 20 tetes/menit,
Pemasangan dower chateter
Antibiotik Ceftriaxone 2x1 gram
Rujuk Spesialis Obstetri dan Ginekologi untuk
tindakan salpingektomi dextra dan Metode
Operasi Wanita ulang.
X. Prognosis
A. Quo ad Vitam : Ad Bonam
B. Quo ad Functionam : Ad Malam
10
XI. Follow Up (22-12-2013)
A. Anamnesa
Pasien sebelumnya dirawat diruang bedah. Pada sore hari pasien mengeluh
nyeri perut kanan bawah yang terus menerus dan kemudian pasien segera
dibawa keruang operasi.
B. Pemeriksaan Fisik (Preoperesi)
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign : Tekanan Darah : 123/81 mmHg
Nadi : 102 ×/menit
Respirasi : 24 ×/menit
Suhu : 37.3ºC
Status Lokalis : Tampak scar di regio inguinal dextra dan suprapubic
Bising usus positif (+) normal
Nyeri tekan regio inguinal dextra
Genitalia : Portio : tebal, tidak ada pembukaan, nyeri
goyang positif.
Cavumdouglas: teraba penonjolan dan nyeri tekan positif
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan USG transvaginal : Kesan Kehamilan Ektopik
11
Hemoglobin cito : 10.39 gr%
D. Diagnosa Kerja
G5P3A1 gravid 7-8 minggu dengan Kehamilan Ektopik Terganggu
E. Rencana Tindakan
Pasien puasa
Pro-laparotomi (cito)
12
F. Tindakan Operasi
Pasien di bius dengan narkose umum.
Operasi dimulai pada pukul 20.15 WIB
Operasi selesai pada pukul 21.00 WIB
Telah dilakukan Salpingektomi dextra dan sterilisasi Pomeroy tuba sinistra
Pasien diobservasi diruang Recovery room, 30 menit kemudian pasien dibawa
ke ruang nifas.
Laporan Operasi
Dilakukan tindakan antisepsis di daerah abdomen dan sekitarnya
Dilakukan incisi pfannenstiel
Setelah peritoneum dibuka, tampak darah dalam rongga abdomen ± 750 cc
Tampak tuba kanan membesar dengan ukuran 3 × 3 × 4 dengan darah aktif
mengalir dari ostium tuba pada abdomen
Uterus dalam batas normal, tuba kanan utuh
Dilakukan salpingektomi kanan dan sterilisasi pomeroy pada tuba kiri
Perdarahan diobservasi
Rongga abdomen dicuci dengan cairan NaCl, dan dipasang drain
Daerah abdomen dijahit lapis demi lapis.
G. Post Operasi di Ruang Nifas
Anamnesa
Mual negatif (-), muntah negatif (-), pusing positif (+), sesak nafas negatif (-).
Pemeriksaan Fisik
Conjunctiva anemis +/+, sclera tidak icterik
Pemeriksaan urin bag : urin cukup
13
Diagnosa Post Operasi
Post Salpingektomi dextra ec. Kehamilan Ektopik Terganggu + Sterilisasi tuba
sinistra POD 0
Tatalaksana
Oksigen 3 L/menit
Diberikan transfusi Packed Red Cell (PRC) satu labu
Cefotaxim 2 × 1 g iv
Ketorolac 2 × 30 mg iv
Paracetamol 3 × 500 mg oral bila perlu
XII. Follow Up (23-12-2013)
Anamnesa
Mual negatif (-), muntah negatif (-), pusing negatif (-), sesak nafas negatif (-),
nyeri perut negatif (-)
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Baik
Kesadaraan : Compos mentis
Vital Sign : Tekanan Darah : 110/80 mmHg
Nadi : 86 ×/menit
Pernapasan : 23 ×/menit
Suhu : 36.9ºC
Conjunctiva tidak anemis, sclera tidak icterik
Perdarahan pervaginam sedikit berupa bercak-bercak
Pemeriksaan urin bag : urin cukup
Darah pada drain sedikit (± 50 cc)
14
Pemeriksaan Laboratorium
Hemoglobin Post Transfusi : 11.61 gr%
Diagnosa Post Operasi
Post Salpingektomi dextra ec. Kehamilan Ektopik Terganggu + Sterilisasi tuba
sinistra POD 1
Tatalaksana
Cefotaxim 2 × 1 g iv
Ketorolac 2 × 30 mg iv
Paracetamol 3 × 500 mg oral bila perlu
Up dower catheter
XIII. Follow Up (24-12-2013)
Anamnesa
Mual negatif (-), muntah negatif (-), pusing negatif (-), sesak nafas negatif (-),
nyeri perut negatif (-)
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Baik
Kesadaraan : Compos mentis
Vital Sign : Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 81 ×/menit
Pernapasan : 23 ×/menit
Suhu : 37.4ºC
Conjunctiva tidak anemis, sclera tidak icterik
Perdarahan pervaginam sedikit
Diagnosa Post Operasi
15
Post Salpingektomi dextra ec. Kehamilan Ektopik Terganggu + Sterilisasi tuba
sinistra POD 2
Tatalaksana
Cefotaxim 2 × 1 g iv
Ketorolac 2 × 30 mg iv
Paracetamol 3 × 500 mg bila perlu
Up drain
XIV. Follow Up (25-12-2013)
Anamnesa
Mual negatif (-), muntah negatif (-), pusing negatif (-), sesak nafas negatif (-),
nyeri perut negatif (-)
Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Baik
Kesadaraan : Compos mentis
Vital Sign : Tekanan Darah : 120/80 mmHg
Nadi : 72 ×/menit
Pernapasan : 22 ×/menit
Suhu : 36.5ºC
Conjunctiva tidak anemis, sclera tidak icterik
Perdarahan pervaginam tidak ada
Luka operasi baik, kering, tidak berdarah dan tidak berbau.
Diagnosa Post Operasi
Post Salpingektomi dextra ec. Kehamilan Ektopik Terganggu + Sterilisasi tuba
sinistra POD 3
16
Tatalaksana
Ganti verban
Diberikan cefadroxil capsul 2x 500 mg (untuk dirumah)
Asam mefenamat tablet 3 x 500 mg bila perlu (untuk dirumah)
Pasien dipulangkan dan diberikan edukasi
Kontrol perawatan luka di Puskesmas terdekat
mengkonsumsi makanan tinggi karbohidrat tinggi protein
Mobilisasi yang cukup
17
PEMBAHASAN DAN DISKUSI
A. Definisi
Kehamilan ektopik adalah kehamilan dengan ovum yang di buahi, berimplantasi
dan tumbuh diluar endometrium cavum uteri.2 Kehamilan ektopik terganggu
( KET ) adalah kehamilan ektopik yang terganggu, dapat terjadi abortus atau pecah,
dan hal ini dapat berbahaya bagi wanita tersebut.4
B. Klasifikasi
Kehamilan dimana blastokista berimplantasi selain dari endometrium rongga uterus
adalah :6
1. Kehamilan tuba
a. Pars interstitial (2%)
b. Pars ismika (25%)
c. Pars ampula (55%)
d. Pars fimbria (17%)
2. Kehamilan ektopik pada uterus (1 dalam 18.000 kehamilan)
a. Kehamilan servik
b. Kehamilan kornu
3. kehamilan ovarium (0.5%)
4. kehamilan intraligamenter (sangat jarang)
5. kehamilan abdomen (kira-kira 1/15.000 kehamilan)
a. primer
b. sekunder
6. kehamilan kombinasi (antara 1/17.000-30.000 kehamilan)
Pada pasien ini terjadi kehamilan ektopik pars ampularis, dimana pada daerah
tersebut merupakan tempat kehamilan ektopik paling sering.
18
C. Faktor Resiko
Faktor-faktor risiko kehamilan ektopik adalah :5
Faktor Risiko Risiko (odds ratio)
Risiko tingi
Bedah korektif tuba
Sterilisasi tuba
Riwayat kehamilan ektopik
Pajanan dietilstilbestrol
Alat kontrasepsi dalam rahim
Patologi tuba
21.0
9.3
8.3
5.6
4.5-45
3.8-21
Risiko sedang
Infertilitas
Riwayat infeksi genital
Banyak pasangan
2.5-21
2.5-3.7
2.1
Risiko rendah
Riwayat bedah panggul
Merokok
Vaginal douche
Hubungan seks < 18 tahun
0.93-3.8
2.3-2.5
1.1-3.1
1.6
Nilai-nilai tunggal adalah Odds ratio umum dari penelitian-
penelitian homogen; nilai-nilai ganda adalah kisaran nilai dari
penelitian-penelitian heterogen. Dimodifikasi dari Pisarska
dan Carson (1999), dengan izin
Tabel 1. Faktor Resiko Kehamilan Ektopik
Pada pasien ini, faktor resiko kehamilan ektopik adalah adanya riwayat
sterilisasi tuba. Pasien pernah menjalani sterilisasi massal, yang biasanya
dilakukan perlaparoskopi. Setelah dilakukan sterilisasi tuba kemungkinan
terjadinya kehamilan ektopik akan meningkat sebanyak 9 kali lipat. Angka
tertinggi terjadi pada fulgurasi laparoskopik.
19
Sterilisasi perlaparoskopi merupakan pilihan pada sterilisasi tuba nonpuerperium
(interval). Mula-mula dipasang cunam serviks pada bibir depan porsio uteri, agar
uterus mudah digerakkan. Setelah dilakukan sayatan seperlunya dibuat sayatan di
bawah pusat sepanjang kurang lebih 1 cm. Kemudian, ditempat luka tersebut
dilakukan pungsi sampai rongga peritoneum dengan jarum khusus (jarum Veres),
dan melalui jarum itu dibuat pneumoperitoneum dengan memasukkan CO2
sebanyak 1 sampai 3 liter dengan kecepatan kira-kira 1 liter permenit. Setelah
pneumoperitoneum dirasakan cukup, jarum Veres dikeluarkan dan digantikan oleh
troikar (dengan tabungnya). Sesudah itu, troikar diangkat dan dimasukkan
laparoskop melalui tabung. Untuk memudahkan penglihatan uterus dan adneksa,
penderita dalam posisi Trendelenburg dan uterus digerakkan melalui cunam serviks
pada porsio uteri. Kemudian dengan cunam yang dimasukkan ke dalam rongga
peritoneum bersama dengan laparoskop dapat dilakukan tindakan sebagai
berikut :7,8
1. Koagulasi Unipolar
2. Koagulasi Bipolar
3. Falope Ring
4. Spring Clip
5. Filshie Clip
6. Prosedur Pomeroy
Berikut ini adalah tabel probabilitas kehamilan kumulatif seumur hidup (per 1000
prosedur dan 95% interval konfiden) pada wanita yang menjalani sterilisasi tuba
laparoskopik berdasarkan metode, yaitu :5
20
MetodeTahun sejak sterilisasi
Satu Lima Sepuluh
Diatermi unipolar 0.7 6.3 7.5
Diatermi bipolar 2.3 16.5 24.8
Pita karet silikon 5.9 10.0 17.7
Salpingektomi parsial 7.3 15.1 20.1
Klip pegas 18.2 31.7 36.5
Dimodifikasi dari Peterson dkk. (1996)
Tabel 2. Probabilitas Kehamilan Kumulatif Seumur Hidup (Per 1000 Prosedur) pada Wanita
yang Menjalani Sterilisasi Tuba Berdasarkan Metode
Sekitar separuh dari kehamilan yang terjadi setelah kegagalan prosedur
elektrokoagulasi adalah kehamilan ektopik, dibandingkan dengan 10% pada
kegagalan reseksi, cincin, atau klip tuba. Pada sterilisasi ligasi tuba perlaparoskopi
didapatkan kehamilan ektopik 32,9% di antara kehamilan akibat gagal ligasi tuba.
Risiko ini meningkat seiring bertambahnya waktu. Sekitar 20% dari kehamilan
ektopik terjadi pada 3 tahun pertama, dan 61% terjadi 4-10 tahun setelah sterilisasi.
Pasien yang lebih muda dari 30 tahun pada saat sterilisasi memiliki dua kali tingkat
ektopik dibandingkan wanita berusia 30 tahun atau lebih pada saat sterilisasi. Hal
ini mungkin karena kesuburan mereka yang lebih besar. Risiko kehamilan ektopik
tertinggi terjadi pada koagulasi bipolar (65% dari kehamilan ektopik), Falope ring
(29%), dan kelompok klip pegas (15%). Kejadian kehamilan ektopik pada
kauterisasi bipolar yang tinggi diduga hasil dari kauterisasi yang tidak memadai.8
Berikut ini adalah tabel probabilitas kehamilan kumulatif seumur hidup (per 1000
prosedur dan 95% interval konfiden) pada wanita yang menjalani sterilisasi tuba
berdasarkan usia.9
21
Tabel 3. Probabilitas Kehamilan Kumulatif Seumur Hidup (per 1000 prosedur dan 95%
interval konfiden) pada Wanita yang Menjalani Sterilisasi Tuba Berdasarkan Usia.
D. Etiologi
Kehamilan ektopik terjadi karena hambatan pada perjalanan sel telur dari indung
telur (ovarium) ke rahim (uterus). Ada beberapa faktor penyebab kehamilan ektopik
:5
1. Faktor mekanik
a. Salfingitis
b. Perlekatan perituba
c. Kelainan pertumbuhan tuba
d. Berkurangnya cilia di tuba
e. Tindakan operasi pada tuba
f. Penyempitan lumen tuba
22
2. Faktor fungsional
a. Migrasi eksterna ovum
b. Perubahan motilitas tuba
c. Merokok
3. Reproduksi dengan bantuan ( Fertilisasi in Vitro )
4. Kegagalan kontrasepsi
Angka kehamilan ektopik setelah sterilisasi tuba meningkat 9 kali lipat, angka
tertinggi terjadi pada fulgurasi laparoskopik.
Pada pasien ini, kegagalan kontrasepsi merupakan etiologi kehamilan ektopik
yang terjadi.
E. Patogenesis
Prinsip patofisiologi yakni terdapat gangguan mekanik terhadap ovum yang telah
dibuahi dalam perjalanannya menuju kavum uteri. Mukosa pada tuba bukan
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan blastokista yang berimplantasi di
dalamnya. Vaskularisasi kurang baik, dan desidua tidak tumbuh dengan sempurna.
Pada suatu saat kebutuhan embrio dalam tuba tidak dapat terpenuhi lagi oleh suplai
darah dari vaskularisasi tuba itu. Ada 3 kemungkinan :1
1. Ovum mati dan kemudian diresorbsi, dalam hal ini seringkali adanya
kehamilan tidak diketahui, dan perdarahan dari uterus yang timbul setelah
meninggalnya ovum, dianggap sebagai haid yang datangnya terlambat.
2. Trofoblast dan villus korialisnya menembus lapisan pseudokapsularis dan
menyebabkan timbulnya perdarahan dalam lumen tuba. Darah itu
menyebabkan perdarahan tuba (hematosalping), dan dapat pula mengalir terus
ke peritoneum, berkumpul di kavum douglasi dan menyebabkan hematokel
retrouterina. Peristiwa ini terkenal dengan nama abortus tuba, ovum untuk
23
sebagian atau seluruhnya ikut memasuki lumen tuba dan keluar dari ostrium
tuba abdominalis. Abortus tuba biasanya terjadi pada kehamilan ampulla.
Darah yang keluar kemudian masuk ke rongga peritoneum biasanya tidak
begitu banyak karena dibatasi oleh tekanan dari dinding tuba.
3. Trofoblast dan villus khorialis menembus lapisan muskularis dan peritoneum
pada dinding tuba dan menyebabkan perdarahan langsung ke rongga
peritoneum. Peristiwa ini sering terjadi pada kehamilan isthmus, dapat
menyebabkan perdarahan banyak karena darah mengalir secara bebas dalam
rongga peritoneum dan dapat menyebabkan keadaan yang gawat pada
penderita.
Pada kehamilan di pars interstisialis tuba, pembesaran terjadi pada jaringan uterus
di sekeliling pars interstisialis. Jaringan ini sebagian besar terdiri atas miometrium
tidak lekas ditembus oleh villus khorialis, sehingga kehamilan bisa berlangsung
terus sampai 16 – 20 minggu. Akan tetapi perdarahan sebagai akibat dari rupture
tidak jarang hebat sekali, sehingga memerlukan pertolongan segera untuk
mengatasinya. Uterus walaupun tidak terisi mudigah di dalamnya pada kehamilan
ektopik juga membesar dan lembek di bawah pengaruh hormone dan terjadi
pembentukan desidua di dalam uterus. Apabila terjadi kematian hasil konsepsi,
maka akan keluar perdarahan dari uterus akibat dukungan endokrin terhadap
endometrium menurun.2,5
24
Gambar 1. Patogenesis Kasus
Pada pasien ini, setelah sterilisasi tuba perlaparoskopi, seiring berjalannya
waktu kemungkinan terjadi regenerasi sel, remodeling jaringan, reposisi dan
rekanalisasi tuba yang tidak sempurna sehingga menyebabkan terjadinya
disfungsi tuba mekanik dan fungsional. Dengan demikian, sperma dalam
jumlah besar dapat masuk ke dalam tuba dan salah satunya bertemu dengan
ovum dan terjadi pembuahan di pars ampularis tuba. Kemudian terbentuk
zigot yang terus membelah, namun dalam perjalanannya menuju cavum uteri
terhambat oleh karena faktor mekanik dan fungsional tuba yang terganggu.
Hasil pembuahan yang telah berkembang menjadi blastokista mengeluarkan
enzim proteolitik untuk berimplantasi sehingga terjadilah kehamilan ektopik
pada tuba.
25
Sterilisasi Tuba
Perlaparoskopi
Seiring berjalannya
waktu
RegenerasiRemodeling
ReposisiRekanalisasi
inkomplit
Disfungsi tuba mekanik
Disfungsi tuba fungsional
Pembuahan Pars
Ampulla
Sper
ma
Ovum
Zigot
Morula
Blastula
Membelah
Membelah
Cavum
Uteriimplantasi
F. Penegakan Diagnosis
Untuk penegakan diagnosis dapat dilihat dari beberapa hal sebagai berikut :5
1. Tanda dan Gejala
a. Nyeri
Gejala yang timbul berkaitan dengan apakah kehamilan ektopik tersebut telah
mengalami ruptur. Gejala kehamilan ektopik yang paling sering dialami
adalah nyeri panggul dan abdomen (95%) yang unilateral. Tanda yang paling
konsisten adalah nyeri tekan adnexa sedangkan tanda adler dimana terdapat
nyeri tekan unilateral ketika membalik badan adalah tanda yang tidak
konsisten tetapi penting jika ada.5,6
b. Menstruasi abnormal
Sebagian besar wanita melaporkan amneorea dengan bercak-bercak
perdarahan pervagina. Perdarahan uterus yang terjadi pada kehamilan tuba
sering disangka sebagai haid sejati. Perdarahan ini biasanya sedikit, berwarna
coklat tua, dan mungkin intermiten atau terus menerus. Gejala amenorea
sekunder <2 minggu (68%) dan perdarahan uterus abnormal (75%) sangat
mendukung kehamilan ektopik.1,6
c. Nyeri tekan abdomen dan pelvis
Nyeri tekan hebat pada pemeriksaan abdomen dan pervaginam, terutama bila
servik digerakkan, dapat ditemukan pada lebih dari tiga perempat wanita
dengan kehamilan tuba yang telah atau sedang mengalami ruptur. Namun,
nyeri tekan seperti itu mungkin tidak terasa sebelum ruptur.5
d. Perubahan uterus
Karena hormon-hormon plasenta, pada sekitar 25% kasus, selama 3 bulan
pertama kehamilan ektopik uterus tumbuh dengan ukuran yang hampir sama
26
besar dengan pada kehamilan normal. Konsistensinya mungkin sama selama
janinnya masih hidup. Uterus mungkin terdorong ke satu sisi oleh massa
ektopik atau oleh darah. Massa desidua yang berdegenerasi dikeluarkan
hanya 5-10% wanita. Keluarnya potongan desidua dapat diikuti oleh kram
yang mirip dengan kram abortus spontan.
e. Perubahan hemodinamik
Sebelum ruptur, tanda-tanda vital umumnya normal. Respon dini terhadap
perdarahan sedang dapat berupa dengan atau tanpa perubahan tanda vital,
sedikit peningkatan tekanan darah, atau respon vasovagal disertai bradikardia
dan hipotensi. Jika perdarahan berlanjut, tekanan darah akan turun dan nadi
meningkat dan hipovolemia menjadi nyata. Penelitian oleh Stabile dan
Grudzinkas (1990), dari 2400 ibu dengan kehamilan ektopik hampir
seperempatnya datang dalam keadaan syok, tetapi proporsi ini berkisar dari 1-
50 persen dalam rangkaian penilitian.
f. Suhu
Setelah perdarahan akut, suhu dapat normal atau bahkan rendah. Suhu dapat
mencapai 38°C, tetapi suhu yang lebih tinggi jarang bila tidak ada infeksi.
Demam penting untuk membedakan kehamilan tuba yang mengalami ruptur
dengan kasus salpingitis akut.
g. Massa pelvis
Massa pelvis dapat diraba pada sekitar 20% wanita. Ukurannya berkisar
antara 5-15 cm dengan konsistensi lunak dan elastis. Bila infiltrasi darah ke
dalam dinding tuba luas, massanya mungkin keras. Massa ini hampir selalu
terletak di posterior atau lateral uterus.
27
h. Penonjolan cavum douglas
Pada pemeriksaan dalam didapatkan kavum Douglas menonjol karena darah
yang terkumpul di tempat tersebut. Baik pada abortus tuba maupun pada
ruptur bila serviks digerakan akan terasa nyeri sekali (slinger pain). Douglas
crise : nyeri pada penekanan kavum Douglas.
i. Kuldosintesis
Cara ini merupakan teknik sederhana untuk mengidentifikasi hemoperitonum.
Serviks ditarik kedepan ke arah simfisis dengan tenakulum, dan jarum ukuran
16 atau 18 dimasukkan melalui forniks posterior ke dalam cul-de-sac. Kalau
ada, cairan dapat diaspirasi. Fragmen-fragmen bekuan lama yang berisi
cairan, atau cairan yang mengandung darah yang tidak membeku, cocok
dengan diagnosis hemoperitoneum yang disebabkan oleh kehamilan ektopik.
Jika darah kemudian membeku, mungkin berasal dari pembuluh darah
didekatnya yang pecah dan bukan kehamilan ektopik yang berdarah.5
Pada pasien ini, tanda dan gejala yang mendukung adanya kehamilan
ektopik terganggu adalah adanya nyeri pada abdomen kanan bawah
disertai nyeri tekan pada pelvis. Adanya perdarahan berupa darah
menstruasi yang keluar pervaginam. Pada pemeriksaan dalam didapatkan
nyeri jika serviks digoyangkan dan adanya penonjolan dan nyeri tekan
pada cavum douglas.
2. Uji Laboratorium
a. Darah rutin
Pemulihan volume darah dengan hemodilusi setelah terjadi perdarahan
dipulihkan menjadi dalam waktu satu hari atau lebih. Oleh karena itu,
penilaian awal hemoglobin atau hematokrit pada awalnya mungkin hanya
28
menunjukkan sedikit penurunan. Untuk beberapa jam pertama setelah
perdarahan akut, penurunan kadar hemoglobin atau hematokrit merupakan
petunjuk kekurangan darah yang lebih bermanfaat daripada pembacaan
awal. Derajat leukositosis sangat bervariasi pada kehamilan ektopik yang
mengalami ruptur, pada sekitar setengah dari wanita ini, leukosit normal,
dan setengahnya lagi dapat ditemukan leuokositosis mencapai 30.000/µl.5
Pada pasien ini, pemeriksaan darah rutin untuk hemoglobin, hematokrit
dan trombosit dalam batas normal, namun terjadi leukositosis dengan
jumlah leukosit 14.900/mm³.
b. Tes urin
Paling sering digunakan tes slide inhibisi aglutinasi dengan sensitivitas
untuk gonadotropin korionik dalam kisaran 500-800 mIU/ml. Kemungkinan
kehamilan ektopik dengan tes ini adalah 50 sampai 60%. Jika menggunakan
tes jenis tabung, kisaran gonadotropin korionik berkisar antara 150-250
mIU/ml dam positif pad 80-85% kasus. Tes ELISA sangat sensitif pada
kadar 10-50 mIU/ml, dan positif pada 95% kasus.5
Pada pasien ini dilakukan PPT tes dengan hasil yang positif.
c. Pemeriksaan β-hCG serum
Radioimmunoassay adalah metode paling tepat, dan hampir semua
kehamilan dapat di deteksi. Karena sensitivitasnya, suatu kehamilan dapat
dipastikan sebelum terjadi perubahan yang dapat dilihat di tuba fallopii. Tes
ini memiliki sensitivitas dimana gonadotropin serum 5-10 mIU/ml.
29
d. Progesteron serum
Nilai rogesteron serum diatas 25 ng/ml menyingkirkan kehamilan ektopik
dengan sensitivitas 97.5%. nilai kurang dari 5 ng/ml menunjukkan bahwa
janin-embrio telah mati, tetapi tidak menunjukkan lokasinya. Hahlin dkk.
(1990) menyebutkan tidak ada kehamilan intrauteri yang memiliki kadar
progesteron serum di bawah 10 ng/ml.
3. Pencitraan Ultrasonografi
a. Sonografi abdomen
Hasil tes kehamilan ektopik kemungkinan besar positif jika ditemukan
adanya cairan di cul-de-sac dan massa pelvik abnormal. Jika kerja jantung
dapat diidentifikasi dan jelas bukan di cavum uteri merupakan bukti yang
kuat adanya kehamilan ektopik.
b. Sonografi vagina
Sonografi dengan transduser di vagina dapat digunakan untuk mendeteksi
kehamilan uteri sejak satu minggu terlambat haid, bila β-hCG serum lebih
dari 1500 mIU/ml. Dalam penelitian oleh Banhart dkk. (1994), uterus yang
kosong dengan konsentrasi β-hCG serum 1500 mIU/ml atau lebih, 100%
akurat mengidentifikasi kehamilan ektopik. Sadek dan Schiatz (1995)
melaporkan sensitivitas dan spesifitas ultrasonografi vagina 96 dan 99, jika
teridentifikasi cairan bebas di peritoneum.5
Pada pasien ini, dilakukan pemeriksaan USG transvaginal dan ditemukan
adanya hematokel retrouterina yang menandakan adanya kumpulan cairan
atau darah di dalam rongga abdomen.
4. Diagnosis Bedah
Diagnosa bedah untuk kehamilan ektopik dapat dilakukan sebagai berikut :5
30
a. Kuretase
Pada kasus yang dicurigai abortus inkomplet atau kehamilan ektopik,
Stovall dan rekan (1992) merekomendasaikan kuretase bila progesteron
serum kurang dari 5 ng/ml dan kadar β-hCG serum meningkat abnormal
(kurang dari 2000mIU/ml), dan kehamilan uterus tidak terlihat dengan
menggunakan sonografi transvaginal. Jika telah dilakukan kuretase tidak
ditemukan janin, embrio, plasenta kemungkinannya adalah kehamilan tuba
dan dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan sonografi dan kadar β-hCG
serum.
b. Laparoskopi
Keuntungan laparoskopi untuk diagnostik antara lain :
1. Diagnosis definitif pada kebanyakan kasus
2. Sekaligus untuk mengangkat massa ektopik dengan laparaskopi operatif
3. Menyuntikkan agen kemoterapi ke dalam massa ektopik secara
langsung.
Namun demikian, visualisasi secara lengkap mungkin tidak dapat dilakukan
bila ada radang pelvis atau perdarahan aktif. Kadang-kadang, identifikasi
kehamilan dini yang tidak mengalami ruptur sulit dilakukan, sekalipun
tubanya dapat terlihat dengan jelas.
c. Laparatomi
Tindakan ini lebih disukai bila wanita tersebut secara hemodinamik tidak
stabil dan laparoskopi tidak mungkin dilakukan. Laparatomi hendaknya
tidak ditunda saat melakukan laparoskopi pada seorang wanita yang jelas
mengalami perdarahan abdominal yang memerlukan terapi definitif segera.5
31
G. Diagnosa Banding
Diagnosa banding dari kehamilan ektopik adalah sebagai berikut :2,4
1. Infeksi pelvik, salpingitis
2. Abortus iminens atau abortus inkompletus
3. Torsi kista ovarium
4. Appendisitis
5. Ruptura korpus luteum
Pada pasien didiagnosa banding dengan salpingitis dextra karena gejala nyeri
yang ditimbulkan dan adanya leukositosis pada pemeriksaan laboratorium.
H. Penatalaksanaan
Tatalaksana kehamilan ektopik dapat berupa tatalaksana bedah dan tatalaksana
medis atau konservatif. Beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai bahan
pertimbangan dalam menangani kasus kehamilan ektopik adalah dengan
memperhatikan kondisi penderita saat itu, keinginan penderita terhadap fungsi
reproduksinya, lokasi kehamilan ektopik, kondisi anatomik organ pelvik,
kemampuan teknik bedah mikro dokter operator, dan kemampuan teknologi
fertilisasi invitro setempat.2
1. Penatalaksanaan Bedah
Penatalaksanaan laparoskopi lebih disukai daripada laparotomi pada kehamilan
ektopik yang belum ruptur. Sekalipun hasil reproduksinya-termasuk angka
kehamilan uterus dan kehamilan ektopik rekuren-sama, laparoskopi lebih murah
dan masa pemulihannya lebih singkat-1.3 versus 3.1 hari. Bedah tuba untuk
kehamilan ektopik dianggap konservatif bila tuba masih dipertahankan.
32
a. Salpingostomi
Prosedur ini dilakukan untuk mengangkat kehamilan kecil yang panjangnya
biasanya kurang dari 2 cm, dan terletak disepertiga distal tuba fallopii. Insisi
linear, sepanjang 10 mm sampai 15 mm atau kurang, dibuat pada tepi
antimesenterik tepat diatas kehamilan ektopik. Produk konsepsi biasanya
terdorong keluar dari insisi dan dapat diangkat atau dibilas keluar dengan
hati-hati. Tempat-tempat perdarahan kecil diatasi dengan elektrokauter
jarum atau laser, dan insisinya dibiarkan tanpa jahit agar mengalami
penyembuhan persekundam. Prosedur ini mudah dengan laparoskopi.
b. Salpingotomi
Prosedurnya sama dengan salpingostomi kecuali bahwa insisinya ditutup
dengan benang vicryl 7-0 atau yang serupa. Menurut tulandi dan Saleh
(1999) tidak ada perbedaan prognosis dengan atau tanpa penjahitan.
c. Salpingektomi
Reseksi tuba radikal dapat dilakukan melalui laparoskopi operatif dan dapat
digunakan baik untuk kehamilan ektopik yang ruptur maupun yang tidak
ruptur. Tindakan ini biasanya dilakukan jika tuba fallopiimengalami
penyakit atau kerusakan yang luas. Ketika mengangkat tuba, dianjurkan
untuk melakukan eksisi berbentuk segitiga/baji tidak lebih dari sepertiga
luar bagian interstisial tuba tersebut.
d. Reseksi segmental dan anastomosis
Reseksi massa dan anastomosis tuba kadang kala digunakan untuk
kehamilan isthmus yang tidak ruptur. Prosedur ini digunakan karena
salpingostomi dapat menyebabkan jaringan parut dan penyempitan lebih
lanjut pada lumen yang sudah kecil. Setelah segmen tuba dibuka,
33
mesosalping dibawah tuba diinsisi, dan isthmus tuba yang berisi massa
ektopik direseksi. Mesosalping dijahit, sehingga merekatkan kembali
puntung-puntung tuba. Segmen-segmen tersebut kemudian diaposisikan
satu sama lain secara berlapis dengan jahitan terputus dengan menggunakan
benang vycril 7-0. Dibuat tiga jahitan dlapisan muskularis dan tiga lapisan
serosa, dengan perhatian khusus untuk menghindari lumen tuba.
Pada pasien ini dilakukan salpingektomi dextra (reseksi tuba radikal) dan
diikuti sterilisasi tuba sinistra dengan teknik pomeroy.
2. Penatalaksanaan Medis
Medikamentosa sebagai kemoterapi untuk kehamilan ektopik biasanya
menggunakan regimen metotreksat. Kandidat untuk terapi metotreksat harus
stabil secara hemodinamik dengan hemogram normal serta fungsi hati dan
ginjal normal. Mereka sebaiknya diberikan instruksi :
a. Terapi medis gagal pada 5-10% kasus dan bertambah pada usia gestasi yang
melampaui 6 minggu dengan diameter massa tuba lebih dari 4 cm
b. Kegagalan terapi medis mengakibatkan terapi harus diulang baik secara
medis maupun bedah.
c. Jika ditangani sebagai pasien rawat jalan harus tersedia transportasi cepat
d. Tanda dan gejala ruptur tuba seperti perdarahan pervaginam, nyeri abdomen
dan nyeri pleuritik, lemas, pusing, atau pingsan harus dilaporkan segera.
e. Dilarang melakukan hubungan seksual sampai β-hCG serum tidak
terdeteksi lagi.
f. Tidak boleh mengkonsumsi alkohol
g. Multivitamin yang mengandung asam folat tidak boleh dikonsumsi.
34
Metotreksat adalah suatu obat antineoplastik yang bekerja sebagai antagonis
asam folat dan sangat efektif terhadap trofoblas yang proliferasi dengan cepat.
Dosis tunggal diberikan 50 mg/m² IM dan dosis variabel 1 mg/kg IM. Setelah
diberika dosis tunggal dipantau pada hari keempat dan ketujuh. Sedangkan
pada dosis variabel (selang sehari) konsentrasi β-hCG serum diukur dengan
interval 48 jam sampai kadarnya turun lebih dari 15%. Setelah terapi berhasil
dilakukan pemeriksaan β-hCG serum mingguan sampai kadarnya 5 mIU/ml.
Terapi lain dengan aktinomisin yang dilaporkan oleh Neary dan Rose (1995)
secara intravena selama 5 hari menghasilkan resolusi kehamilan ektopik yang
sempurna pada seorang wanita yang telah gagal dengan metotreksat. Suntikan
langsung obat sitotoksik metotreksat, prostaglandin F2α dan glukosa
hiperosmolar pada kehamilan tuba juga pernah dilaporkan berhasil pada
kehamilan ektopik yang belum ruptur.
Penatalaksanaan menunggu dengan melakukan observasi pada wanita hamil
ektopik yang sangat dini yang disertai dengan kadar β-hCG serum yang stabil
atau menurun. Sebanyak sepertiga dari wanita dengan kehamilan ektopik akan
mengalami penurunan kadar β-hCG serum, hasil ini lebih mungkin terjadi bila
kada awal 1000 mIU/ml. Kriteria penatalaksanaan menunggu adalah :
a. Kadar β-hCG serial menurun
b. Hanya kehamilan tuba
c. Tidak ada bukti perdarahan abdomen atau ruptur pada USG transvaginal
d. Diameter massa ektopik tidak lebih dari 3.5 cm.
I. Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah sebagai berikut :4
35
1. Pada pengobatan konservatif, yaitu bila ruptur tuba telah lama berlangsung (4-6
minggu), terjadi perdarahan ulang, hal ini merupakan indikasi untuk operasi.
2. Dapat terjadi infeksi pelvis
3. Sub ileus karena massa pelvis
4. Dapat terjadi sterilitas.
Pada pasien ini, belum ditemukan adanya komplikasi tersebut, sterilitas pada
pasien adalah karena tindakan operasi salpingektomi dan sterilisasi pomeroy.
J. Prognosis
Kematian akibat KET cenderung menurun dengan adanya diagnosis dini dan
fasilitas daerah yang cukup. Sekitar 60% wanita dengan KET dapat hamil kembali,
walaupun angka kemandulannya akan menjadi lebih tinggi. Angka kehamilan
ektopik yang berulang dilaporan 0-14.6% dengan kemungkinan melahirkan bayi
cukup bulan adalah 50%.4
Pada pasien ini, prognosisnya baik, karena keadaan umum pasien pasca
operasi cenderung membaik, namun fungsi reproduksi untuk hamil kembali
dan melahirkan bayi cukup bulan tidak dapat lagi diharapkan.
DAFTAR PUSTAKA
36
1. Kenneth dkk. Obstetri Williams Panduan Ringkas. Edisi 21. Jakarta : EGC,
2009.
2. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kebidanan. Edisi Ketiga. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka, 2007.
3. Aloysius dkk. Profil Penderita Ektopik Terganggu Periode 1 Januari 2003
sampai 31 Desember 2004 di RS Immanuel Bandung. Artikel Penelitian. Vol. 6,
No. 2, Februari 2007. Diakses Tanggal 6 Januari 2014. Diunduh dari :
http://majour.maranatha.edu/index.php/jurnal-kedokteran/article/view/89/pdf
4. Mochtar, Rustam. Kelainan Letak Kehamilan. Dalam: Sinopsis Obstetri, Obstetri
Fisiologi dan Obstetri Patologi. Jilid I. Ed. II. Jakarta : EGC, 1998.
5. Cunningham dkk. Obstetri Williams. Kehamilan Ektopik. Edisi 21. Jakarta :
EGC, 2006.
6. Ralph & Martin. Buku Saku Obstetri & Ginekologi. Edisi 9. Jakarta : EGC, 2009.
7. Prawirohardjo, Sarwono. Ilmu Kandungan. Edisi Kedua. Jakarta : Yayasan Bina
Pustaka, 2008.
8. Versage, Jessica. Laparocopic Tubal Ligation Technique. Medical Journal, 13 Nov
2012. [Cited 2014 Jan 7]; available from:
http://emedicine.medscape.com/article/1848429-technique#aw2aab6b4b3
9. Peterson et all. The Risk of Pregnancy after Tubal Sterilization : Findings from the
U.S. Collaborative Review of Sterilization. Medical journal. 1996. [Cited 2014 Jan
7]; available from:
http://prod.obgyn.ubc.ca/Education/Residency/JournalClub/docs/Yen_001.pdf
37