strategi dakwah nu kota semarang dalam upaya...
TRANSCRIPT
STRATEGI DAKWAH NU KOTA SEMARANG
DALAM UPAYA DERADIKALISASI AGAMA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
STRATEGI DAKWAH NU KOTA SEMARANG
DALAM UPAYA DERADIKALISASI AGAMA
(Studi Kasus PCNU Kota Semarang Period
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
STRATEGI DAKWAH NU KOTA SEMARANG
DALAM UPAYA DERADIKALISASI AGAMA
Studi Kasus PCNU Kota Semarang Period
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Jurusan Manajemen Dakwah
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
STRATEGI DAKWAH NU KOTA SEMARANG
DALAM UPAYA DERADIKALISASI AGAMA
Studi Kasus PCNU Kota Semarang Period
SKRIPSI
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Jurusan Manajemen Dakwah
Mas’udan
081311006
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2012
STRATEGI DAKWAH NU KOTA SEMARANG
DALAM UPAYA DERADIKALISASI AGAMA
Studi Kasus PCNU Kota Semarang Period
SKRIPSI
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Jurusan Manajemen Dakwah (MD)
Mas’udan
081311006
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
12
STRATEGI DAKWAH NU KOTA SEMARANG
DALAM UPAYA DERADIKALISASI AGAMA
Studi Kasus PCNU Kota Semarang Periode 2006-2011)
Untuk memenuhi sebagian persyaratan
derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
(MD)
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
STRATEGI DAKWAH NU KOTA SEMARANG
DALAM UPAYA DERADIKALISASI AGAMA
2011)
derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
STRATEGI DAKWAH NU KOTA SEMARANG
ii
iii
iv
v
MOTTO
��������� � ���� ������� ���������� ����� � !"# �"$��" %& �'��() *" +��%"�,��- �.�/�0��1�� "�2�34 ���5�%� ���2�6 7%& �'�8�#�'��9 �.:/� ���;%5�-�< �=�� �>( "?�@.A#"
”Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu:
"Sesungguhnya aku akan mengerjakan ini besok pagi, kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah. dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan Katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku
petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini".
(QS. AL(QS. AL(QS. AL(QS. AL----Kahfi: 23Kahfi: 23Kahfi: 23Kahfi: 23----24)24)24)24)
vi
ABSTRAK
Mas’udan, (2012).Skripsi.Strategi Dakwah NU Kota Semarang dalam
Upaya Deradikalisasi Agama.
Islam sejatinya merupakan agama “rohmatan lil alamin”.Ia senantiasa
membawa perdamaian dan menebarkan keselamatan bagi insan sekalian alam.
Akan tetapi apa yang terjadi apabila kehadiran Islam justru menjadi momok yang
menakutkan dikarenakan ada segelintir oknum yang menggunakan kekerasan
dengan berlabelkan Islam.
Berdasarkan hal di atas, yang menjadi permasalahan penulis yaitu
bagaimana strategi dakwah NU Kota Semarang dalam upaya deradikalisasi
agama, serta apa yang menjadi faktor pendukung dan penghambat implementasi
strategi tersebut. Hal tersebut mengingat NU Kota Semarang merupakan sebuah
Jam’iyah Diniyah Islamiyahsebagai wadah tatanan masyarakat yang sejahtera,
berkeadilan, dan demokratis atas dasar Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah.NU
memiliki peran yang sangat strategis di dalam pengambilan kebijakan dalam
mengatasi problematika yang ada di masyarakat.Dalam penelitian ini, penulis
memfokuskan pada strategi deradikalisasi NU Kota Semarang periodisasi 2006-
2011.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif.Dalam mengumpulkan data,
penulis menggunakan metode wawancara, dokumentasi dan observasi. Data-data
yang terkumpul kemudian dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif.
Metode deskriptif yaitu, suatu carapenyajian data dengan menggambarkan
kenyataan sesuai dengan data yang diperoleh dari hasil penelitian di lapangan.
Berdasarkan hasil penelitian, NU Kota Semarang berpandangan bahwa
radikalisme agama merupakan suatu faham dari kelompok tertentu yang selalu
menganggap benar sendiri.Mereka menganggap sebagai kelompok yang paling
faham terhadap agama.Dalam dakwahnya mereka kurang mengenal toleransi,
sehingga mereka sering menempuh jalan kekerasan.Mereka menganggap orang
yang tidak seideologi dengan mereka adalah musuh, sehingga mereka menuduh
kafir terhadap mereka dan boleh diperangi.Dalam konsep pemerintahan, ideologi
yang mereka usung adalah khilafah. Hal-hal demikian muncul dikarenakan cara
pendang mereka terhadap agama hanya dari segi tekstual saja. Mereka cenderung
revolusioner dan menginginkan penerapan syariat di dalam setiap lini kehidupan.
Di dalam mengatasi berbagai aksi radikal yang ada NU Kota Semarang
senantiasa mengedepankan strategi kontra radikal, yaitu upaya menangani
kekerasan dengan tanpa menggunakan kekerasan.Strategi tersebut diejawantahkan
baik secara struktural organisasi dan seluruh elemen warganya.Diantara strategi
yang diterapkan yaitu melalui pencegahan.Upaya tersebut ditempuh dengan
menanamkan ajaran aswaja kepada para generasi muda.Dengan karismatik para
kyai, NU mencoba memberikan keteladanan terhadap warganya. Mereka
menetapkan pola kajian agama secara kontekstual dan menggunakan prinsip
dialog (mujadalah billati hiya ahsan) di dalam menyikapi fenomena radikalisme
yang ada.
vii
Diantara faktor pendukung strategi NU yaitu para kyai yang mempunyai
kharismatik biasanya dianut oleh semua warganya. Disisi lain, struktural NU
mulai dari cabang hingga ranting juga turut memudahkan NU dalam menerapkan
strateginya. Adapun kendala yang dimiliki NU di dalam menerapkan programnya
yaitu koordinasi masih kurang optimal, manajerial masih lemah dan doudle job
(rangkap jabatan) membuat roda organisasi kurang bisa berjalan maksimal.
Dalam penelitian ini, penulis mengambil kesimpulan bahwa radikalisasi
agama merupakan usaha dari sekelompok tertentu untuk memperjuangkan Islam
secara keseluruhan dari segala lini kehidupan. Hal tersebut mereka lakukan
dengan segala cara yang mereka benarkan. Dalam menangani radikalisme yang
ada, NU Kota Semarang senantiasa menggunakan strategi kontra radikal.
Penghambat dan pendukung dalam menimplementasikan programnya di gunakan
sebagai penanganan masalah yang ada.
viii
PERSEMBAHAN
Hidup adalah aqidah dan perjuangan.Berani hidup harus berani
berjuang, dan dalam perjuangan pasti dibutuhkan adanya suatu pengorbanan.
Skripsi yang saya tulis ini, saya dedikasikan kepada:
1. Keluargaku tersayang. Ayahandaku Fakhruddin Zaini, dan Ibundaku
Rochmi S, serta`Adikku M. Yusuf dan Kakakku Masrukhan yang
senantiasa mencurahkan kasih dan sayangnya disetiap langkahku.
2. Istriku tercinta Richa Musfirrotin R. Engkau adalah pelita dalam hidupku,
penyempurna ibadahku menuju ridlo-Nya.
3. Seluruh keluarga besarku yang senantiasa mendukung dan memotivasiku
dalam menyusun skripsi ini, sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.
4. Sahabat-sahabatku senasib seperjuangan yang aku sayangi
5. Almamaterku.Fakultas Dakwah yang aku banggakan.
ix
KATA PENGANTAR
Tiada ucapan yang pantas penulis panjatkan kecuali rasa syukur yang
terdalam dengan ucapan“Al Hamdulillahi Robbil ‘Alamin”, yang mana atas
limpahan rahmat dan hidayah serta karunia yang diberikan oleh Allah SWT,
sehingga penulis berhasil menyelesaikan skripsi ini dengan baik. Shalawat dan
salam semoga senantiasa tercurahkan kepada Nabi Agung Muhammad SAW.Nabi
penuntun ummatnya menuju cahaya keislaman.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis menyadari bahwa banyak
pihak yang telah membantu dan memberikan dorongan sehingga pada akhirnya
skripsi ini dapat berjalan dengan lancar sesuai dengan apa yang diharapkan. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada pihak–pihak yang telah membantu dalam proses
penyusunan skripsi ini, yaitu kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Muhibbin, M.Ag selaku Rektor IAIN Walisongo
Semarang.
2. Bapak Dr. Muhammad Sulthon, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Dakwah IAIN
Walisongo Semarang.
3. Bapak Thohir Yuli Kusmanto, S.Sos M.Si selaku pembimbing I dan Bapak
Drs. H. Anashom. M.Hum selaku pembimbing II,yang dengan telaten dan
perhatian di dalam membimbing skripsi ini.
4. BapakIbu dosen Fakultas Dakwah yang telah membina dalam proses studi.
5. Bapak Ibu karyawan Fakultas Dakwah yang telah melayani dalam proses
administrasi.
6. PCNU Kota Semarang yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan
data-data penelitian kepada penulis secara lengkap.
7. Sahabat-sahabat seperjuangan PMII Rayon Dakwah IAIN dan PMII
Komisariat Walisongo Semarang.
8. Teman-teman MD angkatan 2008, khususnya Growol (grombolan rongewu
wolu) tercinta.
x
Harapan penulis, semoga amal baik yang telah diberikan dapat menjadi amal
jariyah yang selalu mengalir pahalanya sampai hari akhir nanti. Sehingga dapat
bertemu kembali di hadapan Illahi Robbi. Amin
Pada akhirnya, penulis dengan penuh kerendahan dan ketulusan hati
memohon ma’af atas segala kehilafan yang ditemukan dalam skripsi ini, karena
kesempurnaan dan kebenaran hakiki hanyalah milik Allah SWT dzat yang Maha
Sempurna dan Maha Benar.
Semarang, 06 Juni 2012
Penulis,
xi
DAFTAR ISI
Halaman Judul ................................................................................................. i
Halaman Nota Pembimbing ............................................................................. ii
Halaman Pengesahan ....................................................................................... iii
Halaman Pernyataan ....................................................................................... iv
Halaman Motto ............................................................................................... v
Halaman Persembahan .................................................................................... vi
Halaman Abstraksi .......................................................................................... vii
Kata Pengantar ................................................................................................ viii
Daftar Isi ......................................................................................................... x
Daftar Tabel ..................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang .................................................................. 1
1.2.Perumusan Masalah .......................................................... 15
1.3.Tujuan dan Manfaat Penelitian ......................................... 15
1.4.Tinjauan Pustaka ............................................................... 16
1.5.Metode Penelitian ............................................................. 19
1.5.1. Jenis dan Spesifikasi Penelitian ............................ 19
1.5.2. Definisi Operasional ............................................. 19
1.5.3. Sumber Data Penelitian ......................................... 23
1.5.4. Tekhnik Pengumpulan Data .................................. . 23
1.5.5. Teknik Analisis Data ............................................ 24
1.5.6. Sistematika Penulisan ........................................... 27
BAB II STRATEGI DAKWAH DAN DERADIKALISASI
AGAMA
2.1. Konsep Dasar Strategi Dakwah ........................................ 29
2.1.1 Pengertian Strategi Dakwah ................................... 31
2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Penyusunan Strategi Dakwah ................................ 37
xii
2.1.3 Tekhnik-tekhnik dan Proses dalam
Penyusunan Strategi Dakwah ................................ 40
2.2. Konsep Dasar Deradikalisasi Agama
2.2.1 Pengertian dan Ciri-ciri Radikalisasi Agama ........ 51
2.2.2 Sejarah dan Pemicu Munculnya Radikalisasi
Agama ................................................................... 56
2.2.3 Proses dan Langkah dalam Deradikalisasi
Agama ................................................................... 39
BAB III PROFIL NU KOTA SEMARANG
3.1. Latar Belakang Berdirinya NU Kota Semarang ............... 68
3.2. Struktur Kepengurusan NU Kota Semarang Periode
2006-201l .......................................................................... 72
3.3. Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran NU Kota Semarang ........ 74
3.4. Program Kerja NU Kota Semarang Periode 2006-201l .... 76
BAB IV STRATEGI DAKWAH NU KOTA SEMARANG
DALAM UPAYA DERADIKALISASI AGAMA
4.1 Radikalisasi dan Deradikalisasi dalam Perspektif NU
Kota Semarang .................................................................. 85
4.2 Strategi Dakwah NU Kota Semarang dalam Upaya
Deradikalisasi Agama………………… ........................... 99
4.3 Fakor pendukung dan Penghambat Implementasi
Strategi Dakwah NU Kota Semarang dalam Upaya
Deradikalisasi agama ......................................................... 108
BAB V PENUTUP
5.1. Kesimpulan ...................................................................... 115
5.2. Saran-Saran ...................................................................... 117
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BIODATA
xiii
DAFTAR TABEL
Tabel 01: Bidang Dakwah dan Pengembangan Keagamaan……………………. 76
Tabel 02: Bidang Pendidikan dan Pengkaderan………………………………… 78
Tabel 03: Bidang Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat………………………... 79
Tabel 04: Bidang Penyuluhan dan Bantuan Hukum……………………………. 80
Tabel 05: Bidang Sosial dan Pelayanan Kepada Masyarakat…………………... 81
Tabel 06: Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi
Strategi Dakwah NU……………………………………… 109
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Dalam konstelasi kehidupan di dunia ini manusia tentunya tidak bisa
terlepas dari apa yang dinamakan dengan agama. Hal tersebut dikarenakan
agama sangatlah inhern dalam kehidupan sosial manusia dengan segala
dinamika yang ada. Hal tersebut mengandung arti bahwa manusia dalam
aktivitasnya tidak bisa terlepas dari nilai-nilai agama yang ada di dalamnya.
Dalam hal ini Islam adalah agama bagi umat manusia yang di dalamnya
memuat pesan yang bersifat universal dan abadi dikarenakan ajaranya akan
selalu mengikat selama dalam masa taklif (mukallaf). Konsekuensi tersebut
tertuang dalam suguhan konsepsi hukum Islam yang menjamin perbaikan
dan peningkatan kehidupan umatnya baik di dunia maupun di akhirat. Islam
adalah pandangan hidup yang lengkap (kaffah), membimbing sesuai
petunjuk-petunjuk Allah SWT, sebagaimana yang disampaikan oleh Rasul-
Nya Muhammad SAW.1
Secara praktis, Islam menuntut para pemeluknya untuk senantiasa
menyeru, mengajak, dan menyampaikan ajaranya agar apa yang menjadi
pesan agama dapat disebarluaskan keseluruh alam semesta.2 Hal tersebut
merupakan suatu kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap umat Islam,
1Begum A’isyah Bawany, Mengenal Islam Selayang Pandang, Terj. Machnun Husein,
(Jakarta: Bumi Aksara, 1994), hlm. 5 2 Konsep tentang menyeru, mengajak, menyempaikan dan mempengaruhi tersebut yang
kemudian dinamakan dengan dakwah. Lihat pengertian dakwah Awaludin Pimay, Metodologi
Dakwah; Kajian Teoritis dari Khazanah Al-Qur’an, (Semarang: Rasail, 2006), hlm.2
2
yang tentunya dalam penyampaian misi dakwah yang diterapkanya dalam
rangka mengajak manusia kepada ajaran Islam haruslah mengacu pada apa
yang telah dicontohkan oleh Rosulullah Muhammad SAW.3
Mengenai kewajiban menyampaikan dakwah Islam, Allah SWT
berfirman dalam ayat suci Al-Qur’an:
äí÷Š# 4’ n<Î) È≅‹ Î6y™ y7 În/ u‘ Ïπ yϑõ3Ït ø:$$Î/ Ïπ sà Ïã öθyϑø9 $# uρ π uΖ|¡pt ø:$# Ο ßγ ø9ω≈ y_uρ ÉL©9 $$Î/ }‘ Ïδ ß |¡ômr& 4 ¨βÎ) y7 −/ u‘ uθèδ ÞΟ n=ôãr& yϑÎ/ ¨≅ |Ê tã Ï&Î#‹ Î6 y™ ( uθèδuρ ÞΟ n=ôãr& tω tGôγ ßϑø9 $$Î/
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah, dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang
siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (An-Nahl: 125)
Hermeneutika kata ud’u yang selanjutnya ditafsirkan dengan “seruan”
yang merupakan fiil amr, yang dalam kaidah ushul fiqh merujuk kepada
hukum wajib mengindikasikan bahwa dakwah mutlak harus direalisasikan di
dalam setiap sendi-sendi kehidupan.4
Telah menjadi suatu yang ma’lum, bahwasanya Islam adalah agama
dakwah yang mengandung arti bahwa keberadaanya di muka bumi ini adalah
dengan disebarluaskan dan diperkenalkan kepada seluruh umat melalui
aktivitas dakwah, bukan dengan paksaan, kekerasan, dan tidak pula dengan
kekuatan pedang. Hal ini dapat kita pahami, karena Islam sendiri adalah
3 Mohammad Natsir, Fiqhud Da’wah, (Jakarta: Media Da’wah, 2000), hlm. 125 4 Kewajiban berdakwah sesuai dengan surat An-Nahl ayat: 125, merupakan kewajiban
mutlak (absolut). Hal tersebut dikarenakan para Ulama’ telah bersepakat mengenai hukum
wajibnya, hanya saja diantara mereka ada yang mengatakan wajib ‘ainiyah (berlaku
universal/setiap orang), dan Ulama’ lain mengatakan wajib kifayah (dalam arti apabila alam satu
kelompok sudah ada yang menjalankanya maka gugurlah kewajiban tersebut). Baca: Aminuddin
Sanwar, Pengantar Ilmu Dakwah, (Semarang: Fakultas dakwah, 1986), hlm.34
3
agama pembawa perdamaian, agama cinta kasih, agama pembebasan dari
belenggu perbudakan, dan juga mengakui hak dan kewajiban setiap individu.
Ini berarti anggapan para oreientalis yang selama ini mengatakan Islam
adalah agama yang kejam, menakutkan dan dikenal dengan radikalismenya
adalah tidak benar adanya. Statemen demikian tentunya amatlah tidak sesuai,
dikarenakan bila kita mencoba menelaah dalam Al-Qur’an yaitu pada surat
Al-Baqoroh ayat 256, Allah berfirman:
Iω oν# t�ø. Î) ’ Îû ÈÏe$!$# ( ‰s% tt6 ¨? ߉ô© ”�9 $# z ÏΒ Äcxöø9 $# 4 yϑsù ö�à� õ3tƒ ÏNθäó≈ ©Ü9 $$Î/ -∅ÏΒ÷σ ムuρ
«!$$Î/ ωs) sù y7 |¡ôϑtGó™ $# Íο uρó ãèø9 $$Î/ 4’ s+ øOâθø9 $# Ÿω tΠ$|ÁÏ�Ρ$# $oλm; 3 ª!$# uρ ìì‹ Ïÿxœ îΛÎ=tæ
Artinya:“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam);
Sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang
sesat. karena itu Barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut dan
beriman kepada Allah, Maka Sesungguhnya ia telah berpegang
kepada buhul tali yang Amat kuat yang tidak akan putus. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (Al-Baqoroh: 256)
Dari ayat di atas dapat kita fahami, bahwa dalam memilih suatu agama
tidaklah boleh dipaksakan, termasuk di dalamnya adalah berdakwah dan
menyampaikan ajaran Islam.5 Hal senada diungkapkan oleh Ulil Abshar
Abdalla yang merupakan tokoh Jaringan Islam Liberal (JIL), menurutnya
dalam pandangan Islam, memeluk agama adalah merupakan suatu pilihan
yang dilakukan secara sadar, artinya tidak boleh ada unsur paksaan
5 Larangan memaksakan suatu agama seperti dicontohkan oleh Rosulullah ketika tinggal
di Madinah, dimana penduduk Madinah sebelum kedatangan Islam, mereka adalah pemeluk
agama Yahudi, dan disana banyak terjadi orang tua yang telah memeluk Islam akan tetapi anaknya
memilih Yahudi. Hal tersebut dirasa kehidupan Yahudi jauh lebih baik bagi mereka. Dan hal ini
pulalah yang menjadi sabab nuzul ayat di atas.Fathul Bahri, Meniti Jalan Dakwah; Bekal
Perjungan Para Da’I, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hlm.13-15
4
sedikitpun.6 Dari hal tersebut di atas, seyogyanya di dalam melakukan
aktifitas berdakwah pendekatan yang seharusnya kita lakukan adalah dengan
cara yang halus, lembut dan santun sebagaimana tersebut dalam surat An-
Nahl di atas.
Yang menjadi fenomena dan menarik perhatian dari kehidupan kita di
negara Indonesia ini yaitu ketika dalam kondisi masyarakat Islam dengan
berbagai problematika dakwahnya, maka tak henti-hentinya muncul pemikir-
pemikir sejak zaman klasik hingga sekarang, dimana di dalamnya lahir aliran-
aliran yang menaruh perhatian besar terhadap pelaksanaan dakwah Islamiyah.
Akan tetapi dalam realitanya, mereka di dalam penyampaian ajarannya
cenderung ortodok, kaku dan kolot, bahkan nilai-nilai ajaran yang
disampaikannya terkesan jumud dan mandeg ditempat tidak bisa sesuai
dengan dinamika kehidupan zaman. Dalam menerjemahkan ayat-ayat Al-
Qur’an pun hanya dikaji secara tekstual, tidak mengenal istilah hermeniutika
atau tafsir. Dan yang ironi, tidak berhenti sampai di situ saja, akan tetapi
mereka menginginkan ajaran Islam diterapkan di dalam setiap lini kehidupan
(totalistik / kaffah) dengan cara yang mereka benarkan, tanpa mengambil dari
manhaj hukum yang semestinya. Bukankah hal demikian akan dapat
mengganggu keharmonisan dalam kehidupan?
Beberapa golongan yang tergabung dalam Islam radikali seperti Darul
Islam (DI), Hisbut Tahrir Indonesia (HTI), Negara Islam Indonesi (NII), dan
Ikhwanul Muslimin mereka cenderung bersikap eksklusif dan hanya
6 Mengenai hal yang berkaitan dengan memilih suatu agama (keimanan) dapat kita lihat
dalam surat Al-Kahfi ayat: 29, Ulil Abshar Abdalla, Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam;
Bunga Rampai Surat-surat Tersiar, (Jakarta: Nalar, 2007), hlm.165
5
mengakui kebenaran mereka sendiri. Mereka menganggap orang kafir adalah
musuh yang harus mereka perangi, tidak hanya itu saja, orang muslim lain
yang tidak sehaluan dengan mereka pun tak luput mendapat predikat sebagai
orang-orang yang sesat. Doktrin yang mereka usung adalah “takfir" yaitu
sikap yang selalu mengkafirkan golongan lain yang berada di luar
kelompoknya. Salah satu tokoh Ikhwanul Muslimin yang pemikiranya sangat
berpengaruh dalam menyulut radikalisme agama yang ada adalah Sayyid
Qutub. Beliau berpendapat “barang siapa yang memutuskan suatu hukum (
termasuk di dalamnya menjalankan pemerintahan) dengan hukum selain Al-
Qur’an berarti ia telah kafir”. Pemikiran tersebut tentunya berpijak pada
interpretasi dari suatu ayat yaitu:
tΒuρ óΟ ©9 Ο ä3øt s† !$yϑÎ/ tΑ t“Ρr& ª!$# y7 Í× ¯≈ s9 'ρé' sù ãΝ èδ tβρã�Ï�≈ s3ø9 $#
Artinya : Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan
Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al-
Ma’idah: 44)
Berawal dari pemikiran tersebut, aliran Islam radikal telah
menjustifikasi diri seperti para hakim dan aparat pemerintahan yang ada, yang
tidak menggunakan hukum syari’at adalah halal dibunuh. Sikap-sikap
demikianlah yang tentunya dapat membawa mereka ke dalam faham
keberagamaan yang cenderung kaku dan kolot.7 Selanjutnya sikap tersebut
telah mereka ejawantahkan dalam praktik kehidupan, sebagai suatu contoh
mereka menganggap harta yang dimiliki oleh pihak/orang lain adalah sah
untuk dimiliki organisasinya. Bahkan dengan cara-cara yang tidak Islami
7 Ali Syu’aibi, Meluruskan Radikalisme Islam, (Ciputat: Pustaka Azhary, 2004), hlm.137
6
seperti penipuan, pencurian, bahkan dengan cara-cara kekerasan sekalipun,
mereka mengklaim bahwa harta itu adalah milik Allah.8 .
Radikalisme dalam Islam memberikan gambaran adanya kelompok
yang ekslusif dan militan. Sampai batas tertentu, seperti yang disebutkan di
atas, ada kesan bahwa kelompok itu menganggap orang lain sebagai musuh.
Yang dimasukkan dalam golongan musuh itu tidak hanya mereka yang
berbeda agama, melainkan juga orang-orang seagama yang mereka anggap
telah melakukan banyak kemaksiatan atau diam saja ketika kemaksiatan ada
di sekeliling mereka. Klaim kebenaran tunggal juga melekat dalam ingatan
para golongan ini.
Radikalisme agama yang akhir-akhir ini muncul kepermukaan, seakan
menyiratkan ketidakpuasan suatu kaum dalam adaptasinya dengan yang lain.
Hal tersebut menyangkut praktek kehidupan (mu’amalah) dan peribadatan
(ubudiyah), terutama tentang perbedaan cara pandang atas agama yang
mereka anut. Interpretasi yang berbeda dalam melihat suatu hukum agama
dan diperparah dengan nalar egois yang kemudian menghilangkan
harmonisme dalam bermasyarakat. Seseorang yang dianggap tidak sesuai
pemahaman dia, dianggap telah melenceng dari ajaran Islam yang
sebenarnya. Kemudian, banyak orang yang berpengaruh, menyeru kepada
umat untuk kembali kepada ajaran agama yang benar. Ia menganggap bahwa
ia berkewajiban untuk meluruskan ajaran agama yang bengkok dari praktek
kehidupan. Sayangnya, ajaran yang benar ini hanya berdasar atas
8 Endang Turmudzi, Riza Sihbudi (ed), Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta:
Lipi press, 2005), hlm.242-243
7
pemahamannya mereka sendiri. Baginya ajaran sebagaimana dipahaminya
sendirilah yang dianggap murni dan merupakan representasi dari ajaran Islam
yang benar dan sah. Jika hal seperti ini terus berlanjut, maka tentunya
perpecahan intern umat beragama tentunya akan terbuka lebar.
Bagi golongan radikalis, sikap tanpa kompromi (intoleran), tidak
menghargai orang yang berbeda keyakinan dan sikap keras merupakan
“kebenaran” yang mereka pilih. Jalan kekerasan juga kadang dilakukan kaum
ini. Mereka tidak sabar untuk memperbaiki keadaan dengan usaha pelan-
pelan seperti pendidikan dan penyadaran. Mereka memilih jalan kekerasan
dan tidak peduli akan akibat destruktif dari perbuatan yang mereka lakukan.
Selain itu mereka juga melakukan kekerasan atas nama agama, padahal ia
sendiri bukan pemeluk agama yang baik9.
Melihat fenomena di atas, yang perlu kita refleksikan bersama yaitu,
mengapa Islam yang merupakan agama “rohmatan lil ‘alamin”, Islam yang
merupakan agama samawi yang membawa misi syar’i mengayomi dan
melindungi sesama umat manusia justru menjadi objek dari semua aksi
kerusuhan yang bernuansa radikal. Hal tersebut tiada lain dikarenakan ada
sekelompok golongan yang dalam aktualisasi dakwahnya hanya
mengedepankan kajian secara tekstualis, dan menggunakan berbagai aksi
kekerasan yang berlabelkan Islam. Mereka menggunakan kedok “jihad”
sebagai legitimasi dari aksi yang mereka jalankan dan sebagai pembenaran
tindakan-tindakan mereka tanpa mengabaikan harmonisasi dan kearifan lokal
9. Eko Prasetyo Dkk, Memahami Wajah Para Pembela Tuhan, (Yogyakarta: Interfidie,
2004), hlm 24
8
(local wisdom) seperti sediakala saat Islam masuk di Indonesia seperti yang
telah dicontohkan oleh para walisongo. Hal tersebut bukankah berbeda ketika
kita berkaca pada kehidupan Rosul yang merupakan Nabi terahir yang di
utus Allah untuk menyampaikan wahyu kepada kita. Bukankah Rosul dahulu
kala dalam penyampaian misi dakwahnya senantiasa melindungi dan
mengayomi, bahkan mengharamkan darahnya kaum kafir dzimmi? Hal
terebut semata-mata Islam adalah agama perdamaian dan pembawa
keselamatan yang pada dasarnya tidak mengajarkan apalagi menganjurkan
kekerasan dalam bentuk apapun.10
Terlepas dari itu semua, Horace M. Kallen
mensinyalir, aksi radikalisasi agama yang seperti terjadi sekarang ini
ditengarai oleh tiga kecenderungan.11
Pertama, radikalisasi agama merupakan respon terhadap kondisi yang
sedang berlangsung. Biasanya respon tersebut muncul dalam bentuk evaluasi,
penolakan atau bahkan perlawanan. Masalah yang ditolak bisa berupa ide,
asumsi, lembaga, atau nilai-nilai yang dipandang bertanggung jawab
terhadap kondisi yang ditolaknya.
Kedua, radikalisasi agama tidak berhenti pada upaya penolakan,
melainkan terus berupaya mengganti tatanan tersebut dalam suatu bentuk
tatanan baru atau sebuah tatanan yang lain. Ciri ini menunjukkan bahwa di
dalam radikalisasi agama terkandung suatu program atau pandangan dunia
(world view) tersendiri. Kaum radikalis berupaya kuat untuk mengganti
10 Alwi Shihab, Membedah Islam di Barat; Menepis Tudingan Meluruskan
Kesalahpahaman, (Yogyakarta : Andi Offset, 2004), hal.2-4 11 Zada Khamami, Islam Radikal; Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di
Indonesia, (Jakarta: Teraju, 2002), hal.16-17
9
tatanan yang sudah ada dengan tatanan baru yang mereka inginkan (Islam
Kaffah).
Ketiga, kuatnya keyakinan atau ideologi yang mereka bawa. Sikap ini
pada saat yang sama dibarengi dengan penafian kebenaran dengan sistem lain
yang akan diganti. Dalam gerakan sosial, keyakinan terhadap program atau
filosofi sering dikombinasikan dengan cara-cara pencapaian yang mengatas
namakan nilai-nilai ideal seperti kemaslahatan umat atau kemanusiaan. Akan
tetapi, kuatnya keyakinan ini dapat mengakibatkan munculnya sikap
emosional yang menjurus pada aksi kekerasan.
Dalam konteks inilah ormas-ormas Islam seperti Front Pembela Islam
(FPI), Majelis Mujahidin, Laskar Jihad Ahlussunnah Waljama’ah, Komite
Indonesia untuk Solidaritas Dunia Islam (KISDI), memiliki ciri-ciri yang
sebagaimana diungkapkan oleh Horace M. Kallen diatas. Pertama, mereka
memperjuangkan Islam secara kaffah (totalistik); syariat Islam sebagai hukum
Negara, Islam sebagai dasar Negara, sekaligus Islam sebagai sistem politik
sehingga bukan demokrasi yang menjadi suara aspirasi rakyat yang menjadi
sistem politik. Kedua, mereka mendasarkan praktik keagamaanya pada
orientasi masa lalu (salafi). Ketiga, mereka sangat memusuhi barat dengan
segala produk peradabanya, seperti sekularisasi dan modernisasi. Keempat,
perlawanan dengan gerakan liberalisme Islam yang tengah berkembang di
kalangan Muslim Indonesia.12
Oleh sebab itulah ormas-ormas Islam seperti
ini bisa dikategorikan kedalam golongan Islam radikal.
12 Ibid, hal.17
10
Menganalisa hal-hal tersebut di atas, setidaknya kemunculan Islam
radikal (radikalisme agama) di Indonesia ditengarai oleh dua faktor. Pertama,
faktor internal dari dalam umat Islam sendiri. Faktor ini terjadi karena adanya
penyimpangan norma-norma agama. Kehidupan sekuler dalam kehidupan
masyarakat mendorong mereka kembali pada otentitas (fundamen) Islam.
Sikap ini ditopang dengan pemahaman agama yang totalistik (kaffah) dan
formalistik yang bersikap kaku dalam memahami teks-teks agama. Kajian
terhadap agama hanya dipandang dari satu arah yaitu tekstual, tidak melihat
dari faktor lain, sehingga tindakan-tindakan yang mereka lakukan harus
merujuk pada perilaku Nabi secara literal. Kedua, faktor eksternal di luar
umat Islam, baik yang dilakukan oleh rezim penguasa atau hegemoni dari
Barat yang tidak mendukung terhadap penerapan syari’at Islam dalam sendi-
sendi kehidupan.13
Sesungguhnya strategi penanganan dan perlawanan terhadap
tindakan yang bernuansa radikal, baik itu yang bersifat umum atau telah
menjurus kepada radikalisme agama yang menimbulkan kerusakan dan
menebarkan kekerasan di mana-mana sejatinya telah gencar dilakukan. Hal
tersebut dilakukan baik secara langsung yaitu dengan menggunakan kekuatan
(hard power approach), seperti yang dilakukan oleh Densus 88 maupun
dengan cara pendekatan bimbingan (soft approach), seperti yang di
operasikan oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
13 Ibid, hal.95
11
Penanganan tindak radikal tersebut, nampak sekali terlihat setelah
munculnya berbagai peristiwa kerusuhan yang bernuansa agama. Pada level
tertentu bom pun menjadi isu yang santer dibicarakan dan menjadi sorotan
dunia Internasional, terutama yaitu pasca ledakan bom Bali 12 Oktober 2002.
Kajian atas peran-peran jaringan Islam Radikal menjadi objek studi-studi di
berbagai forum.
Berbagai aksi kekerasan yang berkedok agama semakin marak di
Indonesia. Hal tersebut ditengarai sebagai aksi dari para pemikir kelompok
radikal yang ada di Indonesia. Beberapa kelompok Islam tersebut adalah
mereka yang tergabung mulai dari Kelompok Salafi, Negara Islam Indonesia
(NII), Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Mujhidin Indonesia (MMI),
dan Front Pemuda Islam Surakarta (FPIS), sampai dalam lembaga pendidikan
seperti Pondok Pesantren Al-Mukmin Ngruki Solo.14
Masuknya pesantren Al-Mukmin Ngruki Solo dalam daftar
“terorisme“ dikarenakan orang yang paling dicurigai terlibat dalam kasus
terorisme di Asia Tenggara yaitu Ustadz Abu Bakar Ba’asyir adalah pendiri
dan pengasuh pesantren tersebut. Di sisi lain, bahkan keyakinan banyak pihak
semakin menguat ketika peristiwa bom Bali 1 Oktober 2002 dan teror lainnya
seperti pada 17 Juli 2009, bom kembali diledakkan di Mega Kuningan Jakarta
yang sebagian pelakunya memiliki keterkaitan dengan Ngruki atau setidak-
tidaknya dekat dengan Abu Bakar Baasyir.15
14 Endang Turmudi, Riza Sihbudi, Islam dan Radikalisme di Indonesia, (Jakarta: LIPI
Press, 2005), hlm.120 15 Abdurrahman, Pribadi Abu, Rayyan Membongkar Jaringan Terorisme, (Jakarta:
Abdika Press, 2009), hlm.53
12
Lebih spesifik lagi, bila kita amati aksi radikalisme agama yang terjadi
di Jawa Tengah yaitu khususnya di wilayah Semarang dapat kita lihat seperti
masuknya jaringan NII (Negara Islam Indonesia). Dalam kasus tersebut yaitu
tepatnya pada 22 Juli 2011 saja terdapat enam tersangka dengan dakwaan
tindakan makar. Keenam tersangka tersebut adalah Totok Dwi Harjanto alias
Nizam Sidik, warga Banyumanik Semarang, Sulamin, warga Kebumen,
Mardiyanto, warga Ungaran Barat, Kabupaten Semarang, Nur Basuki, warga
Magelang, Supandi, warga Jakarta Selatan, dan Mujono Agus Salim, warga
Tegal.16
Dakwah yang merupakan manifestasi dari nilai-nilai agama yang
ditransfer ke dalam jiwa dan raga manusia di dalam praktiknya dapat
diaplikasikan melalui dua bentuk pendekatan yaitu dakwah secara kultural
dan struktural.17
Dakwah dengan pendekatan kultural merupakan suatu
konsep pendekatan dakwah dengan cara menyentuh akar budaya yang ada,
menyampaikan ajaran Islam dengan tetap menghormati dan menghargai
tradisi terdahulu yang sudah lama tertanam seperti yang telah dicontohkan
oleh Walisongo dalam penyebaran dakwahnya. Nampaknya hal demikianlah
yang diterapkan oleh NU. NU yang selalu mengedepankan ajaran tasammuh
(toleran), tawassut (moderat) yang dalam pengambilan hukumnya tidak
secara tektual saja akan tetapi mengambil juga hukum dari Al-Qu’ran, Hadits,
Ijma’ dan Qiyas adalah merupakan fenomena yang mengundang toleransi
16http://wartapedia.com/nasional/hukum-dan-kriminal/4334-radikalisme-10-jaksa-siapkan-
susunan-dakwaan-tersangka-nii.html 17 Muhammad Sulthon, Desain Ilmu Dakwah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm.
26-27
13
keberagamaan yang ada di Indonesia. 18
Penafsiran Al-Qur’an secara kaidah
yang benar dengan memperdulikan sabab nuzul ayat, maka transformasi
pesan agama tidak serta merta diterapkan ke dalam kehidupan secara
membabi buta. Akan tetapi tetap memperhatikan kearifan lokal (local
wisdom) yang ada, yang mana hal tersebut tidak bisa terlepas dari sejarah
lahirnya NU itu sendiri. NU mengambil tindakan dengan cara bagaimana
menyampaikan pesan Islam yang sesuai dengan kondisi sosio kultural budaya
Indonesia. NU bersikap sebagai Islam yang moderat, sebagai muslim yang
toleran, dalam kehidupan yang pluralis yang tentunya tidak bertentangan
dengan ideologi Negara yaitu Pancasila.19
Di sisi lain, dakwah struktural adalah gerakan dakwah yang berada
dalam kekuasaan. Dalam dakwah struktural bergerak mendakwahkan ajaran
Islam melalui struktur sosial, politik maupun ekonomi. Yang dalam hal ini
NU yang merupakan ormas dengan basis massa terbesar yang tersebar di
seluruh wilayah nusantara, tentunya mempunyai visi, misi, dan arahan bagi
semua anggota dan lembaga yang berada di bawah naunganya. Hal tersebut
dilakukan sebagai wujud tanggung jawab dan apresiasi NU terhadap keutuhan
wilayah Negara dari dis-integrasi, baik dari luar maupun dalam negeri yang
berupa penyebaran ideologi yang berupaya memecah belah keutuhan Negara.
Mengingat NU merupakan salah satu lembaga yang mempunyai kiprah besar
18 Laode Ida, Kaum Progresif dan Sekularis Baru, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2004),
hlm.7 19 Baso Ahmad, NU Studies; Pergolakan Pemikiran Antara Fundamentalisme Islam dan
Fundamentalisme Neo-Liberal, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2006), hlm.5
14
dalam perjuangan Negara Indonesia ini, NU turut pula dalam menentukan
ideology Negara yaitu Pancasila sebagai dasar Negara.20
Maraknya tindak radikalisme agama yang berimplikasi pada
kekerasan, sedikit banyak telah mempengaruhi pandangan masyarakat umum
tentang Islam. Hal tersebut terlebih lagi ketika media cetak dan elektronik
banyak memberitakan masalah-masalah baru yang terjadi berkaitan dengan
hal tersebut. Seperti disebutkan di atas, kemunculan Islam radikal di
Indonesia yang ditengarai oleh faktor internal yaitu adanya penyimpangan
norma-norma agama, dan juga faktor eksternal seperti yang dilakukan oleh
rezim penguasa atau hegemoni dari Barat mendorong NU sebagai ormas
dakwah untuk turut serta dalam penanganan masalah tersebut.
Berawal dari latar belakang di atas, maka peneliti tertarik untuk
menulis” “Strategi Dakwah NU Kota Semarang dalam Upaya
Deradikalisasi Agama”. Hal tersebut mengingat NU merupakan organisasi
masyarakat (ormas) yang bergerak dibidang sosial keagamaan, melakukan
pendekatan kultural dan bermanuver langsung pada sektor yang selama ini
menjadi sasaran empuk perekrutan dan ladang kaderisasi golongan Islam
radikal seperti pesantren. Dalam masyarakat umum, kadang tidak kita sadari
ajaranya dapat menyelusup dalam jama’ah-jama’ah pengajian dan juga dalam
bidang pendidikan seperti semakin menjamurnya lembaga dakwah kampus
(LDK) yang terindikasi masuk dalam jaringan NII.
20 Ibid, hlm.56
15
Dalam hal tersebut sebagaimana di atas, NU Kota Semarang dalam
masyarakat umum telah menerapkan strateginya dalam bidang pembinaan
terhadap jama’ah pengajian yang tentunya rutin dilakukan. Di sisi lain dalam
lingkup pendidikan, strategi yang dilakukan oleh NU Kota Semarang yaitu
dengan melakukan pelatihan sekolah kader dan penanaman ilai-nilai aswaja
melalui pendidikan ma’arif yang berada di bawah naungannya. Hal tersebut
sebagai upaya kaderisasi ideologi guna melestarikan tongkat estafet
perjuangan dalam membentengi masuknya radikalisme agama yang dapat
merusak citra Islam yang humanis dan dapat memicu perpecahan bangsa.
1.2. Rumusan masalah
Dari latar belakang di atas, dapat diambil rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana Strategi Dakwah NU Kota Semarang dalam upaya
Deradikalisasi Agama?
2. Apa yang menjadi faktor pendukung dan penghambat implementasi
Strategi Dakwah NU Kota Semarang dalam upaya Deradikalisasi
Agama?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.3.1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan apa yang menjadi perumusan masalah di atas,
maka yang menjadi tujuan dilakukannya penelitian ini adalah :
16
1. Untuk mendeskripsikan Strategi Dakwah NU Kota Semarang
dalam upaya Deradikalisasi Agama.
2. Untuk mendeskripsikan faktor pendukung dan penghambat
implementasi Strategi Dakwah NU Kota Semarang, dalam upaya
Deradikalisasi Agama.
1.3.2. Manfaat Penelitian
Sedangkan dari penelitian ini, diharapkan dapat memberikan
manfaat sebagai berikut:
1. Secara Teoritis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi tambahnya
khazanah ilmu pengetahuan khususnya yang berkenaan dengan
deradikalisasi agama, serta sebagai sumbangsih dan dedikasi
keilmuan dakwah khususnya Manajemen Dakwah.
2. Secara Praktis
o Untuk memperluas pengetahuan penulis dalam masalah
strategi dakwah yang diterapkan oleh NU Kota Semarang,
khususnya yang berkaitan dengan upaya deradikalisasi agama.
o Sebagai input (masukan) bagi para pembaca pada umumnya
dan lembaga lembaga-lembaga dakwah yang bersangkutan
pada khusunya, sehingga untuk ke depannya dapat dirumuskan
langkah-langkah kebijakan dakwah yang lebih tepat, terutama
yang berkenaan dengan masalah deradikalisasi agama.
17
1.4. Tinjauan Pustaka
Radikalisasi agama saat ini menjadi isu yang aktual untuk
dibicarakan. Negara Indonesia dengan kompleksitas etnis, suku dan agama
tentunya mengundang berbagai problem di berbagai lini kehidupan
masyarakat. Hal tersebut menarik penulis untuk meneliti sektor keagamaan
yang ada di masyarakat, khususnya di Kota Semarang yang disinyalir
bermotif radikal-agamis yang dapat memperkeruh ke-Bhinekaan dalam
masyarakat.
Mengingat kemajuan dan perkembangan daripada suatu disiplin ilmu
pengetahuan yang tidaklah murni sendiri, akan tetapi merupakan
perkembangan ataupun komparasi dari ilmu-ilmu sebelumnya, baik dari segi
metoda maupun disiplin ilmu yang ditelitinya, maka untuk menghindari
kesamaan dan tindak plagiat terhadap hasil ilmu penelitian, dibawah ini
peneliti perlu menuliskan beberapa hasil penelitian yang mempunyai
keterkaitan dengan penelitian ini yaitu:
Pertama “Strategi Dakwah Muslimat NU dalam memberdyakan
Perempuan di Kabupaten Tegal 2005-2008”, tahun 2008 oleh Mifrohatun.
Dalam penelitian tersebut di ungkap bagaimana strategi yang digunakan oleh
Muslimat NU dalam memberdayakan dan memajukan peran perempuan di
berbagai lini kehidupan. Diantaranya yaitu perempuan turut andil menjabat
struktural organisasi yang biasanya diduduki oleh laki-laki. Melalui program
pengajian rutinannya, Muslimt NU juga memberikan pengarahan kepada ibu-
ibu jama’ah dalam rumah tangga yang bertanggung jawab tidak hanya pihak
18
laki-laki sebagai kepala rumah tangga dalam mengurus keluarganya akan
tetapi perlu peran perempuan juga dalam praktiknya.
Kedua “Strategi Dakwah NU dalam Memajukan Masyarakat Islam
(Studi Kasus Organisasi MWC NU Godong Kabupaten Grobogan)”, tahun
2008 oleh Any Masriatin. Dalam penelitian tersebut diungkapkan bagaimana
kepedulian MWC NU Godong di dalam memajukan masyarakat Islam
daerahnya yang masih tertinggal dari daerah yang lain dengan berbagai cara
yang ditempuh. Diantara cara yang diterapkan yaitu dengan mengoptimalisasi
majlis ta’lim yang ada dengan penyuluhan, program BMT dan lain
sebagainya.
Ketiga “Strategi Dakwah KH. Muhammad Hasan dalam
Pengembangan Pondok Pesantren Tanbihul Ghofilin Mantrianom Bawang
Banjar Negara Sebagai Lembaga Dakwah”, tahun 2008 oleh Trisnawansih.
Tidak jauh berbeda dengan penelitian yang lain dalam penelitian ini yaitu
mengungkap bagaimana strategi yang dipakai oleh KH. Muhammad Hasan di
dalam pengembagan dakwahnya. Diantara strategi yang beliau terapkan yaitu
dengan melakukan pengajian rutin kitab kuning pagi dan sore dan takror pada
malam harinya, kepada para santrinya. Di sisi lain yaitu beliau mengadakan
pengajian di masjid desanya.
Keempat “Strategi dakwah Nahdlatul Ulama’ dalam Membentengi
Warga Nahdliyyin dari Aliraan Islam Radikal studi Kasus Cabang Nahdlatul
Ulama’ Kota Semarang Tahun 2001-2006”, tahun 2008 oleh Awaludin. Tidak
jauh beda dengan penelitian yang lain, Teknis pengumpulan data yang
19
dipakai yaitu menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Penelitian ini
menggambarkan strategi NU dalam membentengi warga Nahdliyyin dari
aliran Islam radikal. Diantara strategi yang digunakan NU Kota Semarang
dalam upaya membentengi warganya dari aliran Islam radikal yaitu dengan
menggunakan media dakwah, pengembangan ekonomi, dan pendidikan baik
formal ataupun non formal.
Karya-karya tulis di atas, merupakan starting poin bagi penulis
sebagai konstruksi teoritik dalam penggunaan metode penelitian, sumber
hipotesis dan tolok ukur dalam penelitian.
1.5. Metode Penelitian
1.5.1. Jenis dan Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini merupakan jenis penelitian kualitatif. Krik dan
Miller mendefinisikan penelitian kualitatif yaitu sebagai suatu tradisi
tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental
bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya
maupun dalam peristilahannya.21
Metode ini digunakan untuk
mengembangkan suatu konsep dan pemahaman serta kepekaan
peneliti terhadap data yang didapat dari objek penelitian, bukan
dimaksudkan untuk membuat suatu fakta, melakukan prediksi dan
tidak pula menunjukkan hubungan antar variabel.
Penelitian ini mengedepankan spesifikasi penelitian deskripsi
di dalam penyusunan dan penyajian laporanya. Situasi dan strategi
21 Lexi J Moleong, Metodelogi penelitian Kualitatif , (Bandung: PT Remaja Rosdakarya,
2006), hlm. 4
20
yang didapat dari penelitian disajikan dalam menggambarkan
dinamika organisasi NU Kota Semarang, khususnya dalam program
strategi dakwah NU Kota Semarang dalam upaya deradikalisasi
Agama.
1.5.2. Definisi Operasional
Untuk mengantisipasi dan menghindari kesalah pahaman
pembaca terhadap judul skripsi yang dimaksud, maka dirasa perlu
adanya penjelasan dan penegasan terhadap istilah-istilah yang penulis
gunakan dalam penulisan judul diatas, yaitu Strategi Dakwah NU
Kota Semarang Dalam Upaya Deradikalisasi Agama:
1. Strategi Dakwah
Seperti yang telah kita ma’lumi bersama, pada prinsipnya
strategi dakwah merupakan suatu istilah yang tersusun dari dua
suku kata yaitu strategi dan dakwah. Term pertama yaitu berasal
dari bahasa Yunani yaitu “strategos” yang artinya tentara, dan
term penyusun kalimat seajutnya yaitu “dakwah” berasal dari
bahasa Arab yang artinya mengajak, menyeru dan memanggil.
Hal tersebut bukan berarti dalam penelitian ini akan membahas
dakwah secara militer (tentara), melainkan strategi ataupun cara
yang diterapkan oleh lembaga NU kota Semarang dalam upaya
menangani munculnya paham Islam radikal melalui penanganan
kontra-radikal (pendekatan non-radikal).
21
Istilah strategi oleh Dr. Awaludin Pimay, lebih di
identikkan dengan istilah “taktik”22
yang dapat berarti suatu jenis
rencana yang digunakan untuk menentukan tindakan-tindakan
dimasa yang akan datang dengan mempertimbangkan factor-
faktor kekurangan dan kelemahan yang ada dari kondisi internal
mataupun eksternal suatu organisasi.
Secara umum strategi mempunyai pengertian suatu garis-
garis besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai
sasaran yang telah ditentukan. Strategi adalah cara yang dipakai
guna memecahkan dan menghadapi masalah tertentu yang
sedang bergejolak sehingga ditemukan jalan keluar.23
Dalam penelitian ini, yang menjadi fokus kajian penulis
adalah mengenai bagaimana strategi dakwah yang diterapkan
oleh NU kota Semarang dalam upaya deradikalisasi agama,
berikut dengan faktor penghambat dan pendukung
implementasinya yaitu periode kepengurusan tahun 2006-2011.
2. Nahdlatul Ulama’ (NU)
Nahdlatul Ulama’ atau yang sering disingkat dengan
NU merupakan organisasi masyarakat yang didirikan oleh KH.
Hasyim Asy’ari pada tahun 1926 M / 1344 H di Surabaya.
22 Penggunaan daripada stilah “taktik” biasanya cenderung lebih mudah untuk kita fahami
dibandingan dengan istilah yang lain, ini dapat kita lihat dalam : Dr. H. Awaludin,Pimay,
Paradigma Dakwah Humanis Strategi dan Metode Prof. K.H. Saefudin Zuhri. (Semarang:Rasail,
2005), hlm.51 23 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga,
(Jakarta:Balai Pustaka, 2002), hal.1250
22
Organisasi ini terbentuk dari adanya respon terhadap
kebangkitan para kiai tradisional terhadap gerakan kebangkitan
syar’i dan pembaharuan agama, baik yang terjadi di Timur
Tengah maupun di Indonesia.24
Adapun yang dimaksud dari NU
dalam penelitian ini adalah NU cabang kota Semarang.
3. Deradikalisasi Agama
Istilah deradikalisasi agama merupakan penggabungan
dari dua suku kata yaitu deradikalisasi dan agama.
Deradikalisasi sendiri yaitu merupakan serapan dari bahasa latin
yang berasal dari kata ”radix” yang artinya akar. Dalam bahasa
Ingris radical dapat berarti ekstrim, menyeluruh, fanatik,
revolusioner dan fundamental. Setelah mendapatkan awalan
”de” dan akhiran ”isasi” sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia,
maka kalimat tersebut menjadi ”deradikalisasi”, yang memiliki
arti anti radikal atau kontra radikal. Hal tersebut dapat kita
analog-kan seperti pada kata ”depolitisasi” yang berarti
penghapusan kegiatan politik, dan ”depopulasi” yang berarti
pengurangan penduduk.25
Radikalisme agama sebagai suatu faham merujuk pada
keyakinan sekelompok tertentu, yang menginginkan dan
melakukan perubahan terhadap tata nilai agama yang dianggap
bertentangan dengan pemahaman mereka. Hal tersebut ditempuh
24 Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa, (Bandung: Mizan, 1998), hlm.127 25 Pius A. Partant, M. Dahlan, Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arloka, 2001), hlm.102
23
dengan cara meruntuhkan sistem dan struktur yang sudah ada
sampai ke akar-akarnya dengan cepat atas pertimbangan
kebenaran yang subyektif.26
Dengan demikian deradikalisasi agama merupakan
penanganan kontra radikal terhadap permasalahan yang muncul
dari agama, yang dalam penelitian ini yang dimaksud dengan
agama adalah agama Islam.
1.5.3. Sumber Data Penelitian
Sumber yang dipakai oleh penulis dalam penelitian ini yaitu
menggunakan dua sumber sebagaimana yang telah lazim digunakan
dalam penelitian kualitatif. Kedua sumber tersebut adalah :27
1. Sumber Primer
Sumber primer atau yang sering disebut dengan data
tangan pertama adalah sumber data yang diperoleh langsung dari
objek penelitian atau instansi yeng terkait.28
Adapun sumber
data primer yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah
berasal dari NU Kota Semarang dan segenap lembaga yang ada
didalamnya, baik secara struktural maupun non-struktural yang
meliputi Dewan Pembina, Ketua Syuriah dan Tanfidiyah,
Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU), Ma’arif, serta
Segenap Anggota pengurus NU Kota Semarang.
26 Nur Syam, Radikalisme dan Masa Depan Agama;Rekontruksi Tafsir Sosial Agama,
dalam M.Ridwan Nasir,(Surabaya: IAIN Press, 2001), hlm.242 27 Saifudin Azwar, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm.91 28 Suryabrata Sumardi, Metodologi Penelitian, (Jakarta:Rajawali Pers, 1992), hlm.84
24
2. Sumber Skunder
Sumber sekunder adalah sumber data yang diperoleh dari
pihak lain yang merupakan data-data tambahan, yang diambil
dari buku-buku (arsip dan dokumen), hasil pemikiran para ahli,
dan sumber lain yang memiliki relevansi dengan penelitian yang
dimaksud.29
1.5.4. Teknik Pengumpulan Data
Tehnik pengumpulan data yang digunakan dalan penelitian ini
yaitu:
a. Observasi.
Merupakan suatu tehnik pengumpulan data dengan cara
mengamati dan mencatat secara sistematis terhadap fenomen-
fenomena di lapangan yang hendak diteliti.30
Metode ini
digunakan penulis untuk mencari data yang ada, dengan cara
datang langsung ke objek ataupun lokasi penelitian dengan
memperhatikan dan mencatat segala hal yang dianggap penting
guna memperoleh gambaran objek penelitian yang dalam
penelitian ini yaitu NU Kota Semarang. Selain itu, yang menjadi
objek penelitian adalah semua yang berkaitan dengan keadaan
gedung ataupun perkantoran sebagai pusat kegiatan NU Kota
Semarang, fasilitas, sarana dan prasarana yang mendukung
29 Azwar Saifudin, Metode Penelitian, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997), hlm.5 30 Hadi, Sutrisno.. Metodologi Research. Jilid. II (Yogyakarta: FP UGM, 1991), hlm. 136
25
terlaksananya program kerja, serta keaktifan pengurus NU Kota
Semarang.
b. Wawancara
Tehnik wawancara yaitu suatu pengumpulan data dengan
cara tanya jawab sepihak, yang dikerjakan secara sistematis dan
berlandaskan kepada tujuan penelitian.31
Dari wawancara ini
peneliti dapat memperoleh informasi data tentang masalah yang
diteliti secara akurat.
c. Dokumentasi
Tekhnik dokumentasi adalah cara pengumpulan data
melalui peninggalan tertulis, seperti arsip-arsip, buku-buku, dan
notulen dari rapat serta teori-teori yang berhubungan dengan
masalah penelitian.32
Dokumentasi merupakan sumber pendukung
dan penguat terhadap akurasi dan keabsahan objek penelitian.
1.5.5. Teknik Analisis Data
Setelah data-data diperoleh, maka langkah selanjutnya yaitu
menyusun data-data tersebut dan kemudian melakukan analisis data.
Metode analisis data adalah jalan yang ditempuh untuk mendapatkan
ilmu pengetahuan ilmiah dengan melakukan perincian terhadap objek
yang diteliti atau dengan cara penanganan suatu objek ilmiah tertentu
dengan cara memilah-milah antara pengertian yang satu dengan
31 Hadi Sutrisno, Metodologi Research jilid II, (Yogyakarta: Andi Ofset, 1991), hlm.192 32 Margono, Metodologi Penelitian Pendidikan, (Jakarta: Rieneka Cipta, 2000), hlm.181
26
pengertian yang lain guna memperoleh kejelasan.33
Adapun analisis
data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu berupa analisis
kualitatif terhadap data yang diperoleh dari lapangan, baik berupa
observasi, wawancara dan dokumentasi, yang kemudian diuraian
dalam bentuk deskripsi-narasi dari data-data tersebut.
Seperti yang dikemukakan oleh Matter B. Miles Hubermen,
analisis data kualitatif dapat ditempuh melalui tiga cara yaitu:34
1) Reduksi data
Reduksi data merupakan proses pemilihan, pemusatan
perhatian, penyederhanaan, dan pengabstraksian, serta proses
pentransformasian data-data kasar yang didapat dari catatan-
catatan tertulis di lokasi penelitian yang dalam hal ini yaitu NU
Kota Semarang.
Reduksi data dilakukan dengan cara membuat ringkasaan,
membuat-kode-kode yang diperlukan (mengkode), menelusuri
tema, dan membuat gugus-gugus yang selanjutnya dilakukan
penelitian lapangan sampai penyusunan ahir laporan.
2) Penyajian data
Penyajian data adalah penyampaian informasi berdasarkan
data yang diperoleh peneliti dari informan, catatan pengamatan
pada waktu mengamati. Penyajian data dalam penelitian ini
33 Sudarto, Metode Penelitian Filsafat, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1997), hlm.59 34 Sugiyono, Memahami Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm.91-99
27
disuguhkan dalam bentuk deskripsi-narasi tentang strategi
dakwah NU Kota Semarang dalam upaya deradikalisasi agama.
3) Menarik kesimpulan (verifikasi)
Verifikasi merupakan langkah peninjauan ulang terhadap
catatan-catatan lapangan dengan cara menelaah kembali dan
dengan bertukar pikiran, untuk mengembangkan kesepakatan
inter subjektif atau upaya yang luas untuk menetapkan suatu
temuan dalam seperangkat data yang lain. Atau dengan kata lain,
verifikasi merupakan usaha memunculkan makna-makna dari data
yang harus diuji kebenaranya, kekokohan, dan kecocokanya
dengan validitas penelitian.
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan teknik analisis data
deskriptif. Deskriptif merupakan gambaran atau melukiskan obyek-
obyek permasalahan berdasarkan fakta, secara sistematis. Memberi
analis secara cermat, kritis, dan mendalam terhadap obyek kajian
dengan mempertimbangkan kemaslahatan.35
Sehingga diharapkan
dengan metode ini penulis dapat mendeskripsikan strategi dakwah NU
Kota Semarang dalam upaya deradikalsasi agama, yang selanjutnya
menganalisa dengan kebenaran bukti yang ada. Dalam hal ini analisis
difokuskan pada strategi dakwah NU Kota Semarang dalam upaya
deradikalisasi agama.
35 Nawawi Hadrawi,.. Metodologi Penelitian Bidang Sosial. (Semarang: Gajah Mada
University, 1999), hlm. 30
28
1.5.6. Sistematika Penulisan
Untuk menguraikan pembahasan permasalahan penelitian di
atas, maka penulis menyusun kerangka pembahasan yang sistematis
agar pembahasannya dapat lebih terarah dan mudah untuk dipahami
serta yang lebih penting lagi adalah agar permasalahan yang menjadi
tujuan penulis dapat tercapai.
Sistematika pembahasan di atas merupakan urutan sekaligus
kerangka berfikir dalam menulis laporan penelitian. Adapun yang
menjadi sistematika dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
Bab Pertama, akan diuraikan tentang pendahuluan, yang
didalamnya membahas tentang latar belakang masalah, perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode
penelitian, dan sistematika penulisan laporan.
Bab kedua akan membahas tentang landasan teori yang terdiri
atas dua sub bab pembahasan sebagai berikut: sub bab pertama:
Konsep dasar strategi dakwah yang meliputi: Pengertian strategi
dakwah, Faktor-faktor yang mempengaruhi penyusunan strategi
dakwah, tekhnik-tekhnik dan proses dalam penyusunan strategi
dakwah. Sub bab kedua: Konsep dasar deradikalisasi agamam yang
meliputi: Pengertian dan ciri-ciri radikalisasi agama, Sejarah dan
pemicu munculnya radikalisasi agama, Proses dan langkah dalam
deradikalisasi agama.
29
Bab ketiga, merupakan deskripsi wilayah penelitian.
Pembahasan dalam bab tiga ini difokuskan pada gambaran (profil) NU
Kota Semarang yang terdiri dari: Latar belakang berdirinya NU Kota
Semarang, Struktur kepengurusan NU Kota Semarang, visi misi
tujuan dan sasaran NU Kota Semarang, Program kerja NU Kota
Semarang periode 2006-2011.
Bab keempat merupakan penyajian data dan analisisnya. Bab
ini difokuskan pada strategi dakwah NU Kota Semarang dalam upaya
deradikalisasi agama, yang terdiri dari: Radikalisasi dan deradikalisasi
agama dalam perspektif NU Kota Semarang, Strategi dakwah NU
Kota Semarang dalam upaya deradikalisasi agama, Faktor pendukung
dan penghambat implementasi NU Kota Semarang dalam upaya
deradikalisasi agama.
Bab kelima adalah bab penutup. Bagian ini merupakan akhir
dari penulisan skripsi, yang terdiri dari kesimpulan, dan saran-saran
serta dilengkapi dengan daftar pustaka, daftar kosakata dan daftar
riwayat hidup penulis.
30
BAB II
STRATEGI DAKWAH DAN DERADIKALISASI AGAMA
2.1. Konsep Dasar Strategi Dakwah
Strategi pada mulanya merupakan suatu istilah yang diadopsi dari
kalangan militer, yang merujuk pada penggunaan dan pemanfaatan dana,
daya dan peralatan yang tersedia untuk memenangkan pertempuran. Akan
tetapi dewasa ini sesuai dengan perkembangan kehidupan pada abad modern,
istilah tersebut ternyata tidak hanya digunakan dalam istilah militer saja, akan
tetapi juga digunakan oleh berbagai organisasi non militer tak terkecuali di
dalamnya yaitu organisasi masyarakat seperti Nahdlatul Ulama’ (NU) di
dalam pengembangan dakwahnya.
Hal tersebut tiada lain dikarenakan dakwah merupakan suatu
aktifitas untuk mengajak manusia menuju suatu tujuan,36
yang dalam hal ini
tujuan tersebut tiada lain yaitu menuju ke jalan Allah. Esensi tersebut tertuang
dalam firman Allah surat An-Nahl ayat: 125
äí÷Š# 4’ n<Î) È≅‹ Î6 y™ y7 În/ u‘ Ïπ yϑõ3Ït ø:$$Î/ Ïπ sà Ïã öθyϑø9 $# uρ Ïπ uΖ|¡pt ø:$# ( Οßγ ø9 ω≈ y_uρ ÉL©9 $$Î/ }‘ Ïδ ß |¡ômr& 4 ¨βÎ) y7 −/ u‘ uθèδ ÞΟ n=ôãr& yϑÎ/ ¨≅ |Ê tã Ï&Î#‹ Î6 y™ ( uθèδ uρ ÞΟ n=ôãr& tωtGôγ ßϑø9 $$Î/
36 Tujuan tersebut yang kemudian digaris bawahi oleh M. Ridlo Syabibi, agar apa yang
menjadi tujuan dari aktifitas dakwah dapat diterima secara efektif dan efisien mutlak diperlukan
kiat-kiat dan strategi khusus. Hal inilah yang olehnya dinamakan strategi dakwah. Baca: M. Ridlo
Syabibi, Metodologi Ilmu Dakwah; Kajian Ontologis Dakwah Ikhwan Al-Safa, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008), hlm.135
31
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan
pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.
Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang
siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih
mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. (An-Nahl ayat:
125)
Dari ayat di atas, kita dapat mengetahui bahwa di dalamnya juga
memuat metodologi atau cara-cara yang harus kita terapkan dalam
melaksanakan suatu aktifitas dakwah, yang tentunya harus disesuaikan
dengan kemajuan dan perkembangan zaman (sholih fi kulli zaman wa al-
makan). Dengan kata lain, konsepsi tentang dakwah atau menyeru kejalan
Allah seperti yang tersebut dalam ayat di atas mengindikasikan, bahwa
kewajiban dakwah harus mempertimbangkan berbagai cara ataupun strategi
yang ditempuh dengan tanpa mengabaikan kondisi mad’u (objek dakwah).37
Seiring dengan berkembangnya dunia sekarang ini dengan segala
dinamika yang ada, maka setiap organisasi yang berorientasi pada
pengembangan dakwah Islam, dituntut pula untuk dapat merumuskan suatu
strategi dan penerapannya. Di sisi lain juga dituntut untuk mampu berbenah
diri dalam menyiasati dakwahnya, agar apa yang menjadi pesan syar’i dapat
diterima oleh mad’u (objek dakwah). Tak terkecuali dalam organisasi yang
profit (nirlaba), organisasi dakwah pun jika menginginkan dapat tetap eksis
dan survive, maka ia harus mampu menentukan setiap arah kebijakan dan
menerapkan strategi yang tepat untuk menjalankan visi dan misinya, serta
37 Kewajiban melaksanakan dakwah dengan pola-pola seperti hikmah, mau’idzoh hasanah
dan mujadalah yaitu disebut dengan pola-pola dakwah yang mempertimbangkan keadaan objek
dakwah yang oleh Ahmad Anas disebut dengan pendekatan dakwah yang mengacu pada human
relation. Lihat: Ahmad Anas, Paradigma Dakwah Kontemporer;Aplikasi Teoritis dan Praktis
Dakwah sebagai Solusi Problematika Kekinian, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2006), hlm.116-
117
32
untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang ada, agar apa yang menjadi
cita-cita dan tujuan organisasi dapat tercapai.
Melihat diskripsi dari fenomenologi yang tersebut di atas, tentunya
kita menyadari bahwa peran strategi bagi aktifitas dakwah adalah sangatlah
penting dalam menentukan sebuah langkah kebijakan suatu organisasi. Lebih
lanjut, dalam konsep dasar strategi ini penulis akan membahas hal-hal sebagai
berikut:
2.1.1. Pengertian Strategi Dakwah
Memahami arti dari sebuah kata “strategi” memanglah tidak
mudah, hal tersebut dikarenakan setiap literatur yang didapat antara
satu dengan yang lain seringkali memberikan definisi yang berbeda,
bahkan bisa dikatakan sampai saat ini tidak ada definisi yang baku
mengenai istilah tersebut. Hal tersebut mengandung arti bahwa istilah
strategi mempunyai ruang lingkup yang sangat luas dan tidak terbatas,
sesuai dengan setiap kata yang merangkainya seperti pada istilah
strategi dakwah.
Perlu kita fahami bersama, bahwasanya istilah strategi dakwah
merupakan kombinasi dari dua disiplin ilmu yang berbeda. Akan
tetapi secara konseptual-skematis, dalam penelitian ini akan dijelaskan
pengertian satu persatu, kemudian setelah ditemukan kejelasan
masing-masing barulah akan ditarik suatu kesimpulan dan
didefinisikan menjadi satu.
33
1. Strategi
Pada dasarnya istilah strategi yaitu berasal dari kata Yunani
Strategos yang berarti Jenderal. Penggunaan istilah tersebut
pertama kali yaitu dipopulerkan oleh kalangan militer. Dalam
kamus induk disebutkan, strategi yaitu kiat atau cara-cara yang
baik dan menguntungkan dalam setiap tindakan.38
Penggunaan
istilah strategi di kalangan militer biasanya lebih didominasi dalam
situasi peperangan, sebagai tugas komandan dalam menghadapi
musuh, yang bertanggung jawab mengatur cara atau taktik untuk
memenangkan peperangan.
Dalam pengertian di atas, strategi juga dapat dipahami
sebagai suatu seni para jenderal dalam menjalankan taktiknya di
medan pertempuran. Dari sudut etimologis strategi dalam sebuah
organisasi dapat diartikan yaitu sebagai suatu kiat, cara dan taktik
yang dirancang secara sistematis dan terarah dalam melaksanakan
fungsi-fungsi organisasi.39
Starategi juga dipahami sebagai segala
cara dan daya untuk menghadapi sasaran tertentu dalam kondisi
tertentu agar memperoleh hasil yang diharapkan secara maksimal.
Kalau kita merujuk kepada ayat Al-Qur’an, sebenarnya di
sana juga terdapat ayat-ayat yang mengindikasikan tentang strategi.
38 M. Dahlan, Lya Sofwan, Kamus Induk Istilah Ilmiah, (Surabaya: Target Press, 2003),
hlm.740 39 Hadari Nawawi, Manajemen Strategik; Organisasi Non Profit Bidang Pemerintahan
dengan Ilustrasi di Bidang Pendidikan, (Yogyakarta: Gajahmada University Press, 2005), hlm.147
34
Di antara ayat yang menerangkan hal tersebut yaitu seperti yang
terdapat dalam Surat An-Nisa’ ayat 71:
$pκ š‰ r'≈ tƒ tÏ% ©!$# (#θãΨ tΒ# u (#ρä‹è{ öΝ à2u‘ õ‹Ïm (#ρã�Ï�Ρ$$ sù BN$t6 èO Íρr& (#ρã�Ï�Ρ$# $Yè‹ Ïϑy_
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bersiap siagalah kamu,
dan majulah (ke medan pertempuran) berkelompok-
kelompok, atau majulah bersama-sama”. (An-Nisa: 71)
Wahbah Az-Zuhaili dalam Tafsir Munir memaknai lafadz
“khudzuu khidzrokum” dengan lafadz “ikhtarizuu wa tayaqqodzu”,
maksudnya yaitu berhati-hati dan bangun untuk melawan musuh.
Sedangkan dalam lafadz “fan firuu” diartikan dengan “inhadzuu ila
qitalihi” yang bermakna bangkit memerangi musuh.40
Strategi
sesuai ayat di atas yaitu dapat bermakna kehati-hatian, sikap siaga
dan waspada terhadap musuh, serta berusaha bangkit untuk
menyerangnya. Dalam suatu organisasi, sebelum menentukan
kebijakan-kebijakan pastilah dituntut untuk bersikap hati-hati dan
waspada dalam menyusun suatu kebijakan. Hal tersebut
dimaksudkan agar kinerja suatu organisasi dapat terkontrol dan
terarah sesuai dengan haluan kebijakan yang telah ditetapkan.
Menurut M. Quraisy Shihab dalam tafsir Al-Misbah, ayat di
atas mengandung makna yaitu kehati-hatian, serta menghadapi
musuh dengan upaya mengetahui kekuatan dan kelemahan mereka,
serta cara-cara yang paling tepat untuk menagkis dan
40 Wahbah Az-Zuhaili, Al-Tafsiiru Al-Muniiru; fi Al-Aqiidah, wa As-Syari’ah wa Al-Manhaj,
(Beirut: Darul Fikri, 1991), hlm.150
35
melumpuhkan mereka. Ayat Al-Qur’an di atas juga menjelaskan
bagaimana kita dituntut untuk dapat mengelola dan mengatur
pertempuran agar kita bisa meraih suatu kemenangan. 41
Konsepsi tentang strategi ternyata dewasa ini tidak hanya
dipergunakan oleh kalangan militer, akan tetapi oleh berbagai
organisasi non militer. Dalam hal ini strategi yaitu bersinggungan
dengan masalah-masalah yang berkaitan dengan efektivitas dan
efisiensi. Dengan demikian strategi dalam sebuah organisasi
haruslah memamfaatkan kemampuan organisasi sedemikian rupa,
dengan memperhitungkan kesempatan dan resiko yang timbul,
sehingga pemanfaatan kemampuan organisasi tersebut
mendatangkan efektifitas dan efisiensi yang akan dacapai dalam
waktu tertentu. Ciri-ciri yang tercipta dengan pemanfaatan dana,
daya dan tenaga yang sesuai dengan perubahan lingkunganlah yang
dimaksud dengan srategi.42
Strategi seperti yang dikemukakan oleh para ahli sebagai
berikut: Pertama, Menurut Karl Van Calusewitz. Menurutnya
strategi diartikan sebagai suatu seni bagi tentara dalam sebuah
pertempuran. Kedua, Menurut Drucer. Strategi adalah mengerjakan
sesuatu yang benar (doing the right things).43
Dari kedua
41 M. Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hlm.503 42 Sondang P. Siagian, Analisis serta Perumusan Kebijaksanaan dan Struktur Organisasi,
(Jakarta: CV. Haji Masagung, 1994), hlm.16-17 43 Sri Wahyudi, Manajemen Strategik; Pengantar Berfikir Strategik, (Jakarta: Binarupa
Aksara,1996), hlm. 16
36
pengertian di atas, dapat dipahami bahwa strategi tidaklah sebatas
dalam cakupan wilayah teori saja, akan tetapi strategi juga include
dalam segi aplikasi dan implementasi.
Dari pemaparan di atas, dapat diambil beberapa pengertian
tentang strategi yaitu: strategi dapat diartikan sebagai kerangka atau
rencana yang mengintegrasikan tujuan-tujuan (goals), kebijakan-
kebijakan (policies) dan tindakan atau program organisasi. Strategi
adalah suatu cara bagaimana suatu organisasi dapat mencapai suatu
tujuan yang diinginkan pada masa yang akan datang. Strategi
adalah pola tindakan dan alokasi sumber daya yang dirancang
untuk mencapai tujuan organisasi.44
2. Dakwah
Dakwah bila kita tinjau dari perspektif etimologi yaitu
berasal dari bahasa Arab yaitu: ���– ����– ��� .45
Kata tersebut
secara leksikal memiliki arti seruan, panggilan dan ajakan. Adapun
terminologi dakwah seperti diungkapkan oleh para ahli adalah
sebagai berikut :46
a. Syekh Ali Mahfud dalam kitabnya Hidayatul Mursyidin beliau
mengungkapkan:
44 Tripomo, MT, Manajemen Strategi, (Bandung: Rekayasa Sains, 2005),hlm.17 45 M. Munir, Wahyu Ilaihi, Manajemen Dakwah, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm.17 46 Op.cit. Aminuddin Sanwar, hlm.2-3
37
�� ������ ��� ��������� ������������� ��� ������ !��������� ��"�#��� �$%�� &����� '(�)
�*��+�"�,��� -.�/��� -.����� �����0
Yang berarti dakwah adalah mengajak manusia untuk
mengerjakan kebaikan dan mengikuti petunjuk (Al-Huda),
menyuruh mereka berbauat baik dan melarang mereka dari
perbutan yang jelek agar mereka mendapat kebahagiaan dunia
dan akhirat.
b. Menurut syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dakwah adalah
mengajak seseorang agar beriman kepada Allah dan apa yang
dibawa oleh para Rosul dengan membenarkan apa yang
mereka beritakan, dan mengikuti apa yang mereka
perintahkan.
c. Prof. Dr. Abu Bakar Aceh beliau mengungkapkan : dakwah
adalah perintah mengadakan seruan kepada semua manusia
untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah yang benar,
dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dan nasehat yang baik.
d. Prof. H. M. Thoha Yahya Omar. Dakwah ialah mengajak
manusia dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai
dengan perintah Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan
di dunia dan di akherat.
e. Dr. Abdul Karim Zaidan. Dakwah adalah merupakan
panggilan ke jalan Allah.
38
Dari beberapa pengertian di atas, dapat kita fahami
bahwasanya eksistensi dakwah pada intinya yaitu merupakan
ajakan atau panggilan yang diarahkan pada masyarakat luas untuk
menerima kebaikan dan meninggalkan keburukan sesuai dengan
koridor syara’. Selain itu dakwah juga merupakan suatu usaha
untuk menciptakan situasi yang lebih baik sesuai dengan ajaran-
ajaran Islam dalam setiap lini kehidupan.
Dari penjelasan di atas, strategi dakwah dapat diartikan
sebagai suatu proses dalam mengatur, mengarahkan, dan
menentukan cara daya dan upaya untuk menghadapi sasaran
dakwah dalam situasi dan kondisi tertentu agar apa yang menjadi
tujuan dan sasaran dakwah dapat tercapai secara maksimal. Dengan
kata lain strategi dakwah merupakan siasat, taktik atau cara yang
dirancang secara sistematik dan terarah yang ditempuh dalam
rangka mencapai tujuan dakwah. Hal demikian tentunya
mengindikasikan bahwasanya keberadaan daripada apa yang
dinamakan sebagai “strategi dakwah” adalah mempunyai peran
yang sangat penting dalam suatu organisasi dakwah.
2.1.2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penyusunan Strategi Dakwah
Keberhasilan suatu organisasi dalam mencapai tujuan dan
berbagai sasaranya akan cenderung ditentukan oleh dinamika organisasi
yang bersangkutan. Dinamika yang tercipta dalam sebuah organisasi
tersebut sejatinya disebabkan oleh adanya interaksi yang terjadi baik
39
antara organisasi dengan lingkunganya, maupun satuan-satuan kerja
dalam organisasi tersebut. Pada giliranya interaksi yang terjadi
merupakan suatu akibat dan bukan merupakan tuntutan dari
interdependensi yang terdapat antara organisasi dengan lingkunganya
dan antara berbagai sub sistem dalam organisasi.
Dinamika yang mutlak terjadi dalam organisasi dakwah,
mendorongnya untuk meningkatkan kemampuan dalam perumusan
strategi yang diterapkan. Pada titik tertentu dinamika itulah yang akan
mempengaruhi dalam proses penyusunan strategi dakwah. Hal ini
penting diketahui dan dipahami oleh suatu organisasi, dikarenakan
dinamika perkembangan zaman yang terus berubah pada setiap lini
kehidupan telah mendorong perubahan pula dalam penetapan strategi.
Bila kita cermati terdapat beberapa faktor yang turut
berpengaruh dalam penyusunan strategi dakwah. Diantara faktor-faktor
yang turut andil dalam mempengaruhi penentuan strategi adalah faktor
lingkungan, baik itu yang berasal dari dalam organisasi itu sendiri
(internal factor) ataupun faktor lain yang berasal dari lingkungan luar
organisasi (eksternal factor).
Dalam bukunya Prof. Sondang, P Siagian mensinyalir
setidaknya terdapat empat faktor dalam menentukan strategi yaitu:47
1. Faktor ekonomi
47 Op. Cit. Sondang P. Siagian, hlm.107-108
40
Tidak hanya dalam organisasi profit, organisasi non-profit
pun termasuk didalamnya organisasi dakwah, didalam menentukan
dan menerapkan strateginya pastilah bergantung pada SDM
(sumber daya manusia) dan SDA (sumber daya alam) yang ia
miliki. Hal tersebut dikarenakan program-program yang telah
tersusun dalam suatu organisasi pastilah tidak akan bisa berjalan
tanpa adanya SDM dan SDA yang mendukungnya.
Dalam hal ini ekonomi menjadi faktor utama yang
berpengaruh dalam penerapan strategi suatu organisasi. Hal
tersebut dikarenakan suatu organisasi dalam menentukan
langkahnya pastilah akan berorientasi pada sumberdaya yang ada
baik itu sumberdaya yang bersifat material atau immaterial.
Meskipun target yang akan dicapai tinggi akan tetapi tanpa ada
dukungan dari sisi materi maka dapat dipastikan target tersebut
akan sulit terealisasi.
2. Faktor politik
Politik yang sedang hangat terjadi baik dalam lingkungan
internal organisasi ataupun di luar organisasi turut pula
berpengaruh pada strategi yang diterapkan dalam suatu organisasi.
Politik yang mempengaruhi penetapan strategi dalam suatu
organisasi ketika tidak disikapi dengan kemaslahatan bersama
dalam pencapaian tujuan organisasi dapat membawa dampak buruk
terhadap organisasi yang bersangkutan.
41
Organisasi bisa jadi hanya dimanfaatkan oleh segelintir
orang yang tidak bertanggung jawab demi mencapai tujuan
pribadinya. Sebagai suatu contoh “gap” yang terjadi antara
personal anggota dalam suatu organisasi dikarenakan perbedaan
politik, maka sudah pasti strategi yang telah dicanangkan kurang
bisa terlaksana seperti apa yang menjadi tujuan organisasi tersebut.
3. Faktor dari implikasi kebijakan pemerintah
Kebijakan-kebijakan pemerintah yang berlaku dalam suatu
negara tentunya berimbas pula pada semua lini kehidupan tak
terkecuali dalam organisasi dakwah. Hal demikian dikarenakan
peraturan yag ditetapkan oleh suatu pemerintah wajib dilaksanakan
oleh semua lapisan masyarakat, dan hal inilah yang turut pula
mewarnai dalam strategi dakwah yang diterapkan dalam suatu
organisasi.
4. Faktor tekhnologi
Tekhnologi sebagai suatu sarana yang dimiliki oleh sebuah
organisasi, tentunya akan mendukung penetapan strategi yang lebih
baik dibandingkan dengan organisasi yang masih menggunakan
data manual. Begitupula terlaku dalam suatu organisasi yang masih
menggunakan peralatan yang seadanya, tentunya target dari
strategi yang dihasilkan akan bergantung dari sarana dan prasaraya
yang mendukungnya. Organisasi dakwah yang telah memiliki
42
seperangkat tekhnologi yang telah maju, memungkinkan
menerapkan strategi dakwah dengan tekhnologi yang telah ada.
Dari faktor-faktor yang tersebut di atas, tentunya kita
mengetahui bahwa strategi dakwah yang diterapkan dalam suatu
organisasi dakwah adalah sangat dipengaruhi dari faktor
lingkungannya, baik itu lingkungan dalam ataupun lingkungan luar
organisasi.
2.1.3. Tekhnik-tekhnik dan Proses dalam Penyusunan Strategi Dakwah
Dalam prakteknya agar strategi yang diterapkan oleh sebuah
organisasi dapat berhasil maksimal dan tidak terjadi ketimpangan
kebijakan, maka antara rencana strategis (renstra) dan rencana
operasional (renop) haruslah berjalan sejajar guna mewujudkan visi
dan misi dari strategi yang ditargetkan tersebut.
Untuk mewujudkan hal tersebut, tentunya dibutuhkan tehnik-
tehnik dalam penetapan strategi yang dimaksud. Dalam bukunya, Prof.
Hadari Nawawi menyebutkan tehnik-tehnik yang bisa digunakan
antara lain:48
1. Teknik Matrik Faktor Internal dan Eksternal (The Internal and
Eksternal Factor Matrix), yaitu penyusunan strategi dengan cara
menganalisa dan mengevaluasi untuk mengetahui kelemahan dan
kekuatan serta mengkaji peluang dan hambatan yang dihadapi
48 Op. Cit. Hadari Nawawi. Hlm.174-177
43
dalam melaksanakan suatu misi, baik yang bersumber dari dalam
atau luar organisasi.
2. Teknik Matrik Memperkuat dan Mengevaluasi Posisi (The
Strengh Position and Evaluation Matrix), yaitu penyusunan
strategi dengan cara mencocokkan sumber daya internal yang
dimiliki (kinerja organisasi) untuk memperkuat posisi dengan
peluang yang ada, dan mengatasi atau menghindari resiko
eksternal.
3. Teknik Matrik dari Kelompok Konsultas Boston (The Boston
Consulting Group matrik), yaitu penyusunan strategi dengan cara
menetapkan strategi yang berbeda-beda untuk setiap biro atau
departemen sebagai satu unit kesatuan.
Dalam penyusunan suatu strategi dakwah, selain memerlukan
suatu tekhnik penyusunan strategi seperti yang tersebut diatas, disisi
lain juga harus mempertimbangkan tahapan-tahapan penyusunannya.
Tahapan-tahapan dalam penyusunan strategi dakwah dimaksudkan
agar lebih mudah dalam melakukan manajemen atas strategi dakwah
yang akan diterapkan.
Adapun tahapan-tahapan dalam penyusunan strategi seperti
yang dikemukakan oleh Triton PB dapat dikelompokkan kedalam
enam tahapan penyusunan strategi. Adapun tahapan-tahapan tersebut
adalah sebagai berikut:
1. Seleksi yang mendasar dan kritis terhadap permasalahan
44
2. Menetapkan tujuan dasar dan sasaran strategi
3. Menyusun perencanaan tindakan (action plan)
4. Menyusun rencana penyumberdayaan
5. Mempertimbangkan keunggulan
6. Mempertimbangkan keberlanjutan49
Selanjutnya keenam langkah tersebut dapat dijabarkan sebagai
berikut: Pertama, seleksi mendasar dan kritis terhadap permasalahan.
Seleksi tersebut biasanya dilakukan berdasarkan faktor internal
ataupun eksternal yang menjadi penyebab permasalahan dalam suatu
organisasi dakwah. Adapun seleksi tersebut dapat dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi dan menginventarisasi seluruh permasalahan
b. Mengidentifikasi dan mengelompokkan masing-masing
permasalahan berdasarkan faktor internal dan eksternalnya
c. Mengurutkan permasalahan berdasarkan tingkat kepentinganya
d. Menentukan skala prioritas penyelesaian masalah
Kedua, menetapkan tujuan dasar dan sasaran strategi. Tujuan
dasar dan sasaran yang hendak dicapai oleh suatu organisasi
hendaknya tidak bertentangan dengan arah, cakupan, dan perspektif
jangka panjang suatu organisasi, dikarenakan tujuan dan sasaran
merupakan acuan yang menjadi dasar pengukiran berhasilnya strategi
yang diterapkan. Ketiga, yaitu action plan. Dalam penyusunan
49 Triton PB, Marketing Strategic; Meningkatkan Pangsa Pasar dan Daya Saing,
(Yogyakarta: Tugu Publiser, 208), hlm.17
45
strategi, biasanya terdapat dua tipe yang harus diperhatikan yaitu:
rencana konsepsional (teoritis) dan dan rencana tindakan. Suatu
rencana mungkin baik secara koseptual akan tetapi belum tentu sesuai
atau baik dilapangan. Hal inilah yang kemudian sebuah strategi akan
ditentukan oleh penyusunan rencana tindakan. Oleh karena itu dalam
penyusunan suatu strategi setidaknya harus memperhatikan langkah-
langkag sebagai berikut:
1). Meninjau kembali langkah-langkah dalam strategi yang akan
mungkin diterapkan
2). Mengidentfikasi dan menginventarisasi faktor-faktor operasional,
baik yang bersumber dari lingkungan internal ataupun eksternal
Selain itu John M. Bryson juga mengemukakan bahwa untuk
mencapai strategi yang tepat, maka suatu organisasi dituntut untuk
memperhatikan langkah-langkah yang tepat pula didalam
menyusunanya. Adapun langkah-langkah tersebut seperti yang
diungkapnanya adalah sebagai berikut:50
Pertama, yaitu memprakarsai dan menyepakati suatu proses
perencanaan strategis. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk
menegosiasikan suatu kesepakatan dengan orang-orang penting
pembuat keputusan (decision maker), atau pembentuk opini (opini
leaders) internal dan tidak mungkin menutup kemungkinan dari
50 M. Mftahuddin. Perencanaan Strategis Sebagai Organisasi Sosial. Terjemah :Jhon M
Bryson, Strategik Planning For Public And Nonprofit Organizations; A Guide Strengthering An
Sustaining Organizational Achievent. Cet. IV. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), hlm.55-57
46
kalangan eksternal tentang seluruh upaya perencanaan strategi dan
langkah perencanaan yang penting yang akan diterapkan. Dengan kata
lain, dalam suatu organisasi harus terdapat beberapa orang atau
kelompok yang memulai suatu proses didalam penetapan suatu
strategi, yang mana dalam suatu organisasi harus terdapat salah satu
pemrakarsa yang menetapkan secara tepat siapa saja yang tergolong
orang-orang penting pembuat keputusan. Ketika hal ini sudah bisa
dilakukan, maka langkah selanjutnya adalah menetapkan orang,
kelompok, atau suatu unit organisasi yang harus dilibatkan dalam
upaya perencanaan suatu strategi. Kesepakatan awal yang dihasilkan
kemudian akan dinegosiasikan dengan setidak-tidaknya beberapa dari
pembuat keputusan dalam organisasi tersebut.
Kedua, yaitu memperjelas mandat organisasi. Tidak dapat
dipungkiri, bahwa mandat yang terdapat dalam suatu organisasi
memiliki kedudukan yang sangat krusial didalam dinamika roda suatu
organisasi. Mandat yang bersifat formal ataupun informal yang
ditempatkan pada suatu organisasi adalah merupakan suatu
“keharusan” yang dihadapi oleh suatu organisasi yang bersangkutan.
Dengan memperjelas mandate suatu organisasi, maka suatu organisasi
dalam oprasionalnya dapat megetahui fungsi dan tugas, serta tujuan
organisasi tersebut.
Ketiga, yaitu mempertegas dan memperjelas misi dan nilai-
nilai yang diusung oleh suatu organisasi. Misi suatu organisasi yang
47
dimaksud disini adalah misi yang berkaitan erat dengan mandatnya.
Melihat sudut pandang tersebut, maka kehadiran suatu organisasi
dapat dipahami sebagai suatu alat menuju akhir pencapaian tujuan,
akan tetapi bukan akhir dari tujuan itu sendiri. Me mperjelas misi
haruslah disusun lebih dari sekedar memperjelas keberadaan
organisasi.
Keempat, yaitu menilai lingkungan eksternal. Disini tim
perencanaan harus mengeksplorasi lingkungan di luar organisasi untuk
mengidentifikasi peluang dan ancaman yang akan dihadapi oleh suatu
organisasi.
Kelima, yaitu menilai lingkungan internal. Untuk mengenali
kekuasaan dan kelemahan internal, organisasi dapat memantau sumber
daya (input), strategi sekarang (proses) dan kinerja (output). Karena
sebagian besar organisasi biasanya mempunyai banyak informasi
tentang input organisasi, seperti gaji, pasokan, bangunan fisik dan
personalia yang sama dengan personalia purna waktu (full-time
equivalent).
Keenam, yaitu mengidentifikasi isu strategis yang dihadapi
organisasi. Identifikasi terhadap isu-isu strategis akan dapat berjalan
maksimal apabila kelima langkah sebelumnya sudah bisa dilakukan
dengan baik. Perencanaan strategis memfokuskan kepada tercapainya
sasaran yang terbaik antara organisasi dan lingkungannya. Oleh
karena itu, perhatian kepada mandat dan lingkungan eksternalnya
48
dapat dipikirkan sebagai perencanaan dari luar ke dalam (the outside
in). Perhatian kepada misi dan nilai-nilai maupun lingkungan internal
dapat dianggap sebagai perencanaan dari dalam ke luar (the inside
out).
Ketujuh, yaitu merumuskan strategi untuk mengolah informasi
dari isu-isu yang telah didapat. Strategi diidentifikasikan sebagai pola
tujuan, kebijakan, program, tindakan, keputusan atau alokasi sumber
daya yang menegaskan bagaimana organisasi harus mengerjakan hal
itu. Strategi yang diterapkan organisasi satu dengan lainya dapat
berbeda-beda dikarenakan tingkat, fungsi dan kerangka waktu yang
diterapkan.
Kedelapan, yaitu merumuskan suatu visi organisasi yang
efektif untuk waktu yang aka datang. Langkah terakhir dalam proses
perencanaan, organisasi mengembangkan deskripsi mengenai
bagaimana seharusnya organisasi itu bertindak. Sehingga berhasil
mengimplementasikan strateginya dan mencapai seluruh potensinya.
Dari praktiknya kedelapan langkah perencanaan strategis
tersebut diatas juga harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut:
a. Strength (kekuatan)
Yaitu strategi ini dibuat berdasarkan jalan pikiran
organisasi dengan memanfaatkan keseluruhan kekuatan untuk
memaksimalkan dan memanfaatkan kekuatan yang dimiliki
organisasi.
49
b. Weakness (kelemahan)
Yakni strategi yang diterapakn dalam suatu organisasi
haruslah berdasar pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha
meminimalisir kelemahan yang ada serta menghindari ancaman
yang diprediksikan bisa timbul.
c. Opportunity (peluang)
Yakni strategi yang diterapkan haruslah berdasarkan pada
pemanfaatan peluang yang ada dengan cara maminimalisir
kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.
d. Threats (ancaman)
Yakni strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki
oleh organisasi untuk mengatasi ancaman. Dengan melihat keempat
hal di atas, maka dapat diambil kesimpulan, dengan memperhatikan
SWOT tersebut, maka sebuah organisasi akan dapat menjalankan
program-program yang telah disusun dan memperoleh hasil yang
dikehendaki oleh organisasi.
2.2. Konsep Dasar Deradikalisasi Agama
Tidak dapat dipungkiri sebagai seorang muslim, kita dituntut untuk
senantiasa menyiarkan dan menyebarkan syari’at Allah di muka bumi ini.
Dalam agama Islam hal tersebut yang kemudian kita kenal dengan istilah
amar ma’ruf nahi munkar (perintah untuk melaksanakan kebaikan dan
meninggalkan keburukan).
50
Amar ma’ruf nahi munkar yang merupakan penjelmaan dan
pengejawantahan dari intisari dakwah, adalah suatu kewajiban bagi semua
orang Islam.51
Hal tersebut sesuai dalam Al-Qur’an surat Ali ‘Imron ayat 104:
ä3tFø9 uρ öΝ ä3Ψ ÏiΒ ×πΒé& tβθãã ô‰tƒ ’ n<Î) Î,ö6 sƒ ø:$# tβρã�ãΒù' tƒ uρ Å∃ρã�÷èpR ùQ $$Î/ tβöθyγ ÷Ζtƒ uρ Ç tã Ì�s3Ψ ßϑø9 $# 4 y7 Í× ¯≈ s9 'ρé& uρ ãΝ èδ šχθßsÎ=ø� ßϑø9 $#
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru
kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari
yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung. (QS. Ali
Imron: 104)
Ketika dakwah telah menggejala dan menuntut aplikasinya, maka
setiap elemen masyarakat ataupun organisasi masyarakat (ormas) yang
mempunyai misi dakwah, maka mereka mencoba meng-interpretasikan ayat
tersebut sesuai dengan apa yang mereka pelajari dan ketahui sesuai dengan
aliran dan faham yang mereka anut. Di sinilah awal mula permasalahan yang
dimungkinkan dapat menyulut aksi radikal yang berkedok “agama”.
Penjelmaan ormas-ormas yang menampakkan dirinya dengan kajian
baik itu Al-Qur’an dan Al-Hadits secara apa adanya (tekstualis) seperti
kelompok yang tergabung dalam Ikhwanul Muslimin Indonesia (IMI), Hizbut
Tahrir Indonesia (HTI), Negara Islam Indonesia (NII) pada realitanya
51 Menurut Aminuddin Sanwar, kadar kewajiban untuk melakukan amar ma’ruf nahi
mungkar haruslah disesuaikan dengan porsi kekuatan (jabatan/kewenangan) masing-masing
individu orang. Hal tersebut mengacu pada hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Imam Muslim:
� ����� ����� ������� ��ن �� ����� ������ وذا� ا�� ا����ن �� .��� � �!�راى �#"� �#" ا �� . Dan hal demikian yang
nampaknya kurang diperhatikan oleh kaum radikalis, sehingga mereka dalam berdakwah hanya
dari segi subjektifitas kebenaran yang mereka yakini. Kewajiban dan dan hadits diatas dapat
diakses di: Aminuddin Sanwar, Pengantar Ilmu Dakwah, (Semarang: Fakultas Dakwah, 1986),
hlm.5
51
kelompok inilah yang sering melakukan aksi radikal yang ada, dan harus
diantisipasi dan ditangani keberadaanya agar tidak menimbulkan aksi yang
meresahkan. Menurut Dr. Amirsyah, sebenarnya yang menjadi acuan dari
konsepsi dasar dilakukanya suatu tindak penanganan terhadap kejadian
radikalisasi agama yang ada selama ini yaitu kurang lebih didasarkan pada
paradigma berikut:52
1) Pancasila sebagai landasan Idiil
Pancasila sebagai dasar Negara dan falsafah bangsa tentunya
mengikat dan mempunyai kekuatan dalam mengidentifikasi dan
memecahkan masalah yang ada. Dalam hal ini NU yang turut selalu
mendukung dan memperjuangkan penerapan pancasila sebagai asas
Negara, bukan piagam Jakarta adalah mempunyai peranan yang sangat
strategis dalam penanganan deradikalisasi, baik ditingkat pusat sampai
wilayah ataupun kota seperti Semarang.
2) UUD NRI 1945
Dalam undang-undang Negara Republik Indonesia tersebut,
khususnya pada pasal 28 E ayat 1 disebutkan, bahwa :
“setiap orang berhak memeluk agama dan beribadah menurut agamanya
memilih pendidikan da pengajaran, memilih pekerjaan, memilih
kewarganegaraan, memilih tinggal diwilayah Negara dan
meninggalkanya serta berhak kembali”.
52 Dr. Amirsyah, Meluruskan Salah Faham Terhadap Deradikalisasi; Pemikiran, Konsep,
dan Strategi Pelaksanaan, (Jakarta: Grafindo Hazanah Ilmu, 2012), hlm.25-27
52
Pasal tersebut adalah mengindikasikan kebebasan beribadah dan
memeluk agama, guna dijadikan landasan dari penanganan dan
penyelesaian deradikalisasi agama yang ada.
Sejatinya konsepsi tentang deradikalisasi agama tidak akan muncul
melainkan berangkat dari radikalisasi agama. Radikalisasi agama dalam
prakteknya sering menghalalkan suatu cara untuk mencapai suatu tujuan, baik
itu menggunakan teror fisik atau teror mental seperti sweeping dan penutupan
hiburan malam ketika bulan Ramadhan. Akan tetapi penanganan tindak
radikal yang bernuansa agama dengan menggunakan ”hard power approach”
(pendekatan kekuatan) oleh pihak aparat seperti yang dilakukan oleh Densus
88 anti teror, adalah bukan merupakan jawaban yang tepat untuk
menyelesaikan akar persoalan radikalisme agama yang ada. Hal tersebut
terbukti lebih dari 50 tahun Indonesia yang tak kunjung selesai menangani
kasus DI/NII. Setelah penanganan kasus radikalisasi yang bernuansa agama
menggunakan pendekatan “Hard Measure” dirasa tidak berhasil, maka
pemerintah Indonesia secara sistemik yaitu mencanangkan program
penanganan menggunakan pendekatan ”soft approach” yang dioperasikan
oleh BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) yang sekarang ini
lebih dikenal dengan istilah “Deradikalisasi”.
2.2.1. Pengertian dan Ciri-ciri Radikalisasi Agama
Secara etimologi radikalisasi merupakan serapan dari bahasa
latin yaitu ”radix” yang artinya akar. Dalam bahasa Ingris radical
53
dapat berarti ekstrim, menyeluruh, fanatik, revolusioner dan
fundamental.
Pada awalnya istilah radikalisme agama justeru diintrodusir
dari tradisi Barat, terutama yaitu dikalangan keagamaan Kristen
Protestan AS sekitar tahun 1910an. Dalam perkembanganya, seperti
disampaikan oleh Roger Garaudy yang merupakan filosof dari
Perancis menyatakan, bahwa radikalisme tidak hanya berkisar pada
faham keagamaan, akan tetapi istilah tersebut telah menjelma dalam
kehidupan sosial, politik dan budaya. Dengan demikian berarti, setiap
ideologi atau pemikiran yang mempunyai dampak negatif (side effect)
yang dapat membawa seseorang menjadi militan dan fanatik maka hal
tersebut dapat dikategorikan kedalam radikalisme.53
Dari pengertian tersebut di atas, dapat dipahami bahwa
berbagai ideolgi yang ada sepeti liberalisme, maxsisme, leninisme,
dan lain sebagainya adalah dapat dipahami sebagai fundamentalisme
atau radikalisme. Dengan demikian, cakupan dari istilah radikalisme
ini tergantung dari mana kita melihat dan mengkajinya, yang dalam
penelitian ini yaitu penulis mengetengahkan dan membatasi
radikalisme dalam lingkup agama yang dalam hal ini yang dimaksud
adalah agama Islam.
Pada hakekatnya faham radikalisme terhadap suatu agama
adalah tidak merupakan suatu masalah yang menjadi momok dan
53 A. Rubaidi, Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama; Masa Depan Moderatisme Islam di
Indonesia, (Jatim: PWNU Jawa Timur, 2010), hlm.30-32
54
menakutkan, selama masih dalam koridor pemikiran (ideologis) para
pengikutnya. Akan tetapi ketika ideologi tersebut telah bergeser dan
menjelma menjadi gerakan-gerakan yang menimbulkan keresahan,
kekerasan dan masalah lain yang dapat mengganggu stabilitas
masyarakat dan memporak-porandakan tatanan yang sudah ada, maka
di sinilah radikalisasi agama yang timbul perlu mendapatkan perhatian
bersama. Hal tersebut dikarenakan, fenomena-fenomena sebagaimana
disebutkan akan dapat menyebabkan suatu konflik, dikarenakan
perbedaan persepsi dan pemahaman terhadap nilai-nilai agama.
Bahkan pada level yang lebih tinggi dapat memunculkan kekerasan
antara dua kelompok yang berbeda pemahaman tersebut.
Bila kita analisa, diantara penyebab yang menyulut aksi
radikalisme yang bernuansa agama adalah mulai persoalan domestik
sampai persoalan internasional, yang memojokkan kelompok tertentu.
Dalam wilayah agama, konsepsi ajaran yang berbeda dengan
kenyataan, seperti semakin menjamurnya tempat-tempat hiburan yang
digunakan sebagai ajang maksiat, Kiai sebagai pemuka agama yang
mestinya dihormati akan tetapi malah sebaliknya, seperti pembantaian
kiai seperti terjadi di Poso (25 Desember 1998).
Dalam kasus di atas, aparat pemerintah sebagai pengayom
seluruh elemen warganya juga malah terkesan lalai dan tidak
konsisten di dalam menerapkan perundang-undangan yang telah
disepakati bersama. Hadirnya organisasi keagamaan seperti NU,
55
Muhammadiyah dan MUI yang tidak dapat merealisasikan nilai-nilai
”ideal” dan memecahkan masalah agama juga bisa menjadi penyebab
munculnya radikalisasi agama yang ada. Di sisi lain tuntutan untuk
menjalankan nilai-nilai agama harus mereka aplikasikan dalam
kehidupan sehari-hari. Dalam lingkup internasional realitas politik
standar ganda yang diterapkan oleh Amerika dan sekutunya juga turut
memicu berkembangnya radikalisme agama saat ini.54
Penyebutan radikal terhadap kelompok yang memiliki karakter
dan pola umum sebagai sebuah gerakan yang menginginkan
ditegakkanya syari’at Islam secara terminologi sebagaimana
disebutkan oleh Kallen setidaknya memiliki tiga karakteristik yaitu: 55
Pertama, radikalisasi muncul sebagai respon yang berupa evaluasi,
penolakan atau perlawana terhadap kondisi yang sedang berlangsung,
baik itu berupa asumsi nilai sampai dengan lembaga agama atau
negara. Kedua, radikalisasi selalu berupaya mengganti tatanan yang
sudah ada dengan sebuah tatanan baru yang disistematisir dan
dikontruksi melalui world view (pandangan dunia) mereka sendiri.
Ketiga, kuatnya keyakinan akan ideologi yang mereka tawarkan. Hal
tersebut rentan memunculkan sikap emosional yang potensial
melahirkan kekerasan.
54 Op.cit, Endang Turmudi, Riza Sihbudi (ed), hlm.1-6 55 Umi Sumbulah, Islam Radikal dan PlularismeAgama: Studi Kontruksi Sosial Aktivis
Hizb al-Tahrir dan Majelis Mujahidin di Malang tentang Agama Kristen dan Yahudi, (Jakarta:
BALITBANG RI, 2010), hlm.42
56
Berdasarkan karakteristik sebagaimana disebutkan Kallen
diatas, Islam radikal dapat didefinisikan yaitu sebagai suatu kelompok
yang berupaya menjadikan Al-Qur’an dan Hadits sebaga basic values
(nilai dasar) dari segala aspek kehidupan.
Melihat epistemologi radikalisme seperti yang terdiskripsi
diatas, Rubaidi yang mengadopsi istilah Martin E. Marty mensinyalir
radikalisme agama memiliki ciri-ciri sebagai berikut:56
Pertama, fundamentalisme, menurutnya hal ini dipahami
sebagai gerakan perlawanan yang banyak kasus biasanya dilakukan
secara radikal, yang demikian merupakan respon dari ancaman yang
bisa membahayakan eksistensi dari suatu agama. Bentuk ancaman
yang mereka sinyalir bisa mengganggu eksistensi agama mereka
adalah seperti modernisasi, sekularisasi, serta tatanan nilai barat
lainya. Adapun acuan yang digunakan mereka adalah bersumber dari
kitab suci mereka.
Dengan demikian, gerakan perlawanan yang dilakukan para
aktifis gerakan Islam fundamentalis sejatinya merupakan tindakan
subjektif-individual, yang dibangun berdasarkan nilai-nilai kolektif
yang berkembang dalam sebuah gerakan. Tindakan subjektif yang
dimaksud dapat berupa tindakan nyata yang diarahkan kepada pihak
tertentu atau agama lain maupun tindakan yang bersifat membatin dan
56 0p.cit, A. Rubaidi, hlm.35-37
57
sangat subjektif, baik berupa pengetahuan, pemahaman, maupun
persepsinya.57
Kedua, penolakan terhadap hermeneutika. Hal ini dapat
dimaknai bahwa kaum radikal menolak terhadap sikap kritis teks
agama dan segala bentuk interpretasinya. Teks-teks Al-Qur’an hanya
dimaknai apa adanya. Kitab suci dimaknai benar adanya tanpa
mempertimbangkan rasionalitas (nalar) dan sabab nuzul ayat,
sehingga dalam implementasinya mereka harus mengamalkan Al-
Qur’an secara literal, sesuai dengan apa yang tertera tanpa
pertimbangan akal.
Ketiga, penolakan terhadap pluralisme dan relativisme. Bagi
kaum radikal pluralisme merupakan pemahaman yang keliru terhadap
teks-teks kitab suci. Intervensi nalar terhadap al-qur’an dan
perkembangan sosial kemasyarakatan yang telah lepas dari kendali
agama, serta pandangan yang tidak sejalan dengan kaum radikalis
adalah potret dari bentuk relativisme keagamaan yang ada.
Keempat, penolakan terhadap perkembangan historis dan
sosiologis. Perkembangan ini dinilai oleh kaum radikalis sebagai
muara ketidak sesuaian dalam keberagamaan, mereka menilai bukan
Al-Qur’an yang harus mengikuti nalar, akan tetapi akal lah yang
seharusnya tunduk dan patuh terhadap semua nilai-nilai Al-Qur’an
dalam menginterpretasi nilai-nilai agama.
57 Umi Sumbulah, Konfigurasi Fundamentalisme Islam, (Malang: UIN Malang Press,
2009), hlm.22
58
2.2.2. Sejarah dan Pemicu Munculnya Radikalisme Agama
Maraknya gerakan Islam radikal, yang oleh Rubaidi disebut
dengan gerakan fundamentalisme Islam, di Indonesia sejatinya telah
mengalami perkembangannya sejak tahun 1980-an. Hal tersebut
ditandai dengan munculnya fenomena menguatnya religiusitas umat
Islam. Ekspresi gerakan ini semakin terbuka, tidak seperti gerakan
sempalan, yang oleh Bruinessen didefinisikan sebagai gerakan yang
menyimpang atau memisahkan diri dari “ortodoksi” (penerapan ajaran
murni) yang berlaku. Untuk memahami gejala radikalisme agama
yang ada, menurut Umi Sumbulah setidaknya terdapat dua pendekatan
yang bisa digunakan, yaitu dari segi objektivitas dan subjektivitas.
Dari segi objektifitas, dapat kita pahami bahwa pemicu
munculnya radikalisme agama adalah karena teks-teks agama
memberikan legitimasi dan menganjurkan hal demikian. Dalam
konteks ini jelas kita tahu bahwa dalam pandangan Islam agama-
agama selain daipada Islam seperti Kristen dan Yahudi adalah musuh.
Asumsi demikian tentunya telah membuka cakrawala bagi para
pengikutnya, bahwa dalam upaya berdakwah dan menyebarkan nilai-
nilai agama, seolah-olah mereka diperkenankan menggunakan jalan
kekerasan ataupun jalan lain seperti permusuhan. Padahal hal
demikian adalah salah kaprah, hal tersebut dapat dicontohkan oleh
Rosul dalam membagi golongan non-Islam kedalam dua bagian yaitu
golongan “harbi” yaitu golongan yang wajib diperangi, dikarenakan
59
mereka melawan terhadap daulah islamiyah. Sedangkan disisi lain ada
golongan yang dinamakan dengan kafir “dzimmi” yaitu golongan
yang wajib dilindungi dikarenakan mereka taat dan mau membayar
jizyah (pajak).
Dari segi subjektivitas, setiap individu sebagai subjek yang
aktif telah mendefinisikan hidupnya dengan dunia luar, dan
mengimplementasikan ajaran yang ia dapat dalam kehidupanya. Hal
tersebut telah memberikan makna bahwa gejala radikalisme tidak
hanya dipahami dari teks agama saja, akan tetapi juga harus dicermati
dari dunia luar yang telah menjadi entitas yang turut mempengaruhi
seseorang dalam menginternalisasikan agamanya.58
Dengan demikian, timbulnya radikalisme agama ternyata tidak
hanya murni dari interpretasi ajaran agama saja, akan tetapi
radikalisme agama juga bisa disebabkan oleh struktur sosial, ekonomi
politik yang ada.
Tidak dapat dipungkiri bahwa sikap fanatik, intoleran dan
eksklusif ditengarai sebagai pemicu munculnya radikalisme agama.
Ketika kita lacak akar pemicu munculnya faham radikal terhadap
ajaran agama secara lebih umum dalam agama Islam, sikap-sikap
tersebut sejatinya telah ditampakkan pertama kali oleh kaum
Khawarij. Pada mulanya kelompok ini adalah merupakan pengikut
58 Ibid, hlm.43
60
dari Khalifah Ali bin Abi Thalib atau yang kita kenal dengan
kelompok Syi’ah.
Fenomena munculnya kaum Khawarij adalah berawal dari
terjadinya perang Siffin, yaitu peperangan yang terjadi antara pasukan
Khalifah Ali bin Abi Thalib melawan Muawiyah yang terjadi pada
tahun ke-37 Hijriyah atau 648 Masehi. Ketika perang sedang
berlangsung dan kelompok Ali hampir memenangkan peperangan,
kemudian Muawiyah yang dikenal dengan orang yang cerdik
menawarkan perundingan damai atau yang dikenal dengan istilah
“Tahkim” sebagai jalan penyelesaian permusuhan.
Ali yang dikenal dengan sosok yang arif kemudian menerima
tawaran “tahkim” yang diajukan oleh Muawiyah. Akan tetapi di sisi
lain, ternyata kesediaan Ali untuk menerima “tahkim” kepada pihak
Muawiyah telah mengakibatkan 4000 pasukan pengikutnya
memisahkan diri dan membentuk kelompok baru yang kemudian
dikenal dengan nama Khawarij. Mereka menolak perundingan dan
menginginkan permusuhan yang terjadi diantara mereka haruslah
diselesaikan dengan kehendak Tuhan, bukan lewat perundingan.
Kaum Khawarij menganggap bahwa penyelesaian peperangan
menggunakan perundingan adalah telah melawan kehendak Tuhan.
Atas dasar inilah kemudian kaum Khawarij mengkafirkan (takfir)
tarhadap kelompok Ali dan Muawiyah. Selain itu mereka juga
61
menggangap kafir terhadap mayoritas kaum muslimin yang moderat
dan menuduhnya sebagai pengecut.
Bagi kaum Khawarij, orang-orang yang ia anggap kafir
sekalipun adalah orang Islam dianggapnya sebagai orang-orang yang
halal darahnya, mereka boleh dibunuh dan dimusnahkan dari muka
bumi ini. Atas dasar itulah kaum Khawarij kemudian melakukan
propaganda, kekerasan dan berbagai motif teror terhadap orang Islam
yang tidak sependapat dengan mereka. Selain itu mereka juga
memasukkan jihad sebagai rukun iman,59
Ali pun dibunuh oleh
seorang Khawarij yang bernama Ibnu Muljam sewaktu beliau lagi
solat subuh.
Pada akhirnya pola pemikiran dan sikap keagamaan model
Khawarij inilah yang kemudian diteruskan dan dikembangkan oleh
paham Wahabi di Arab Saudi yaitu mulai abad ke-12H atau ke-18M
yang dipelopori oleh Muhammad bin Abdul Wahab. Lebih spesifik
lagi radikalisme agama yang terjadi di Indoesia menurut Van
Bruinesen yang ia sebut sebagai “Islam radikal” dapat dilacak pada
munculnya Darul Islam (DI) dan partai berbagai macam partai politik
seperti Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi) yang ada di
berbagai kota di Indonesia.
Darul Islam (DI) membangun fragmen kelompoknya dengan
kekuatan militer. Beberapa pemberontakan pun terjadi diberbagai
59 Rahimi Sabirin, Islam dan Radikalisme, (Jakarta: Athoyiba, 2004), hal.6-8
62
wilayah ditanah air, seperti di Sulawesi Selatan (Kahar Mudzakar),
Kalimantan Selatan (Ibnu Hajar), Aceh (Daud Beureuh), dan di Jawa
Barat (Kartosuwiryo). Dengan kekuatan ini, DI melancarkan
pemberontakan kepada pemerintah Republik Indonesia secara terbuka,
kendatipun kemudian dapat diberangus oleh rezim politik waktu itu.
Sedangkan Masyumi membawa gagasan Islam dalam kerangka
kenegaraan di parlemen dan sejarah mencatatnya berhasil menduduki
peringkat kedua pada pemilu tahun 1955.
Di Indonesia awal mula munculnya Islam sebagai kekuatan
politik adalah merupakan transformasi dari kekuatan ekonomi umat
yang ditujukan untuk melawan hegemoni ekonomi China dan kolonial
dipasar lokal. Konteks kemunculan Sarekat Islam (SI) bermula dari H.
Samanhudi, yang mempersatukan kepentingan ekonomi umat Islam ke
dalam satu wadah, yang akhirnya bertransformasi menjadi satu partai
politik. Awal kemunculan Sarekat Islam bermula dari inisiatif dari
pedagang-pedagang muslim untuk melindungi kepentingan dagang
mereka dari ekspansi China. Pada perkembangan berkutnya SI pasca
Tcokroaminoto terfragmentasi menjadi SI-Merah yang kemudian
menjelma menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI).60
Dari berbagai fenomena yang melatar belakangi munculnya
radikalisme agama di Indonesia, dapat diketahui bahwasanya sejarah
umat Islam di Indonesia terjadi akibat pergolakan kepentingan-
60 Ahmad Rizky, dalam: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 14, (Yogyakarta:
FISIP UGM, 2010), hlm.173
63
kepentingan mereka yang “termarjinalkan”. Hal tersebut dapat terlihat
pada rezim Orde Baru yang mengambil alih peran sebagai pemilik
sumber daya dan secara represif telah melakukan subordinasi kepada
kelompok-kelompok yang berpotensi menjadi oposisi terhadap
sentralisme peranan negara.
Kemunculan gerakan-gerakan Islam yang dinilai “radikal”
pada era Orde Baru, melalui perangkat-perangkat birokrasinya mulai
dari aparat sipil sampai militer telah mentransformasikan diri menjadi
rezim otoritarian dengan cara menindas kekuatan-kekuatan yang
berpotensi menjadi oposisi. Seperti ideologi komunisme dijadikan
sebagai ideologi terlarang, sedangkan nasionalisme yang merupakan
ideologi terkuat pasca tahun 1955, dipersempit ruang geraknya dengan
cara membungkam hak politik tokoh-tokohnya.
Kemudian untuk melakukan subordinasi terhadap kekuatan
Islam inilah maka lahir diskursus dengan apa yang dinamakan dengan
“Islam Radikal”. Pada rezim Orde Baru kasus yang pertama kali
mencuat yaitu Komando Jihad yaitu tepatnya pada pembajakan
pesawat Woyla, dan inilah yang disinyalir sebagai aksi terorisme
pertama kali yang ada di Indonesia.61
Jika kita lihat dengan kacamata ekonomi dan politik, seting
Orde Baru yang berkarakter sangat kuat, dengan ideologi
developmentalisnya telah mengakibatkan kelompok kelas pekerja
61 Ibid. hlm.175
64
yang miskin merasa termarjinalkan oleh rezim tersebut dan kemudian
muncul ke permukaan untuk melakukan perlawanan. Situasi marjinal
seperti ini telah mengakibatkan mereka menjadi radikal dengan
keyakinan agama Islam yang dianutnya. Akan tetapi jumlah ini tidak
seberapa dibanding dengan kelompok kelas menengah yang terlempar
dari lingkaran kekuasaan, dikarenakan mereka memiliki idealisme
yang berbasis agama yang cukup kuat.
Dengan hal tersebut, kelompok sebagaimana disebutkan
kemudian mengordinasisasikan diri kedalam gerakan sosial dan
bergabung dengan kelompok lain dengan menggunakan Islam sebagai
landasan dalam berjuang. Adapun tujuanya yaitu menggulingkan dan
menghancurkan tirani rezim politik yang telah membuat mereka
termarjinalkan.
Menurut Dr. Vedi R Hadiz aksi terorisme yang merupakan
dampak dari adanya radikalisme agama diberbagai lini kehidupan
merupakan wujud perlawanan kelas yang termarjinalkan oleh oligarki
kelas pemilik modal (borjuasi) dan modal. Subordinasi atas kelas
marjinal dalam kasus yang terjadi di Indonesia yang dalam hal ini
adalah gerakan politik Islam telah membawa kesadaran kelas untuk
merebut kembali peran Negara yang telah dianggap gagal dalam
mewujudkan kesejahteraan terhadap rakyatnya.
Dari berbagai fenomena yang melatar belakangi terbentuknya
radikalisme agama seperti tersebut diatas, penulis menggaris bawahi
65
bahwa sejatinya keberadaan apa yang kita sebut sebagai Islam radikal
yang ada di Indonesia adalah berbeda dengan apa yang terjadi di
Timur Tengah, dengan kata lain keterkaitan itu hanya dalam kapasitas
kesamaan visi dan persepsi mengenai perubahan sosial dalam
kerangka hukum politik Islam. Dengan kata lain kemunculan Islam
radikal tidak lagi dipahami dengan Wahabisme atau Islam
Transnasional, akan tetapi Islam radikal tidak lebih dari sekedar
symbol ketidak percayaan terhadap rezim otoriter yang berkuasa yang
telah membungkam suara rakyat.
2.2.3. Proses dan Langkah dalam Deradikalisasi Agama
Deradikalisasi adalah bagian dari strategi kontra radikal
sebagai upaya dalam bentuk langkah strategis maupun taktis untuk
memotong seluruh variabel yang dipandang sebagai stimulan lahirnya
tindakan ”radikalisme” baik yang dilakukan sebelum atau
setelahnya.62
Radikalisasi agama yang kian menggejala saat ini, adalah tidak
bisa terlepas dari apa yang dinamakan dengan “politik identitas”.
Adanya eksistensi dan gejala imperialisme global melalui sikap Barat,
khususnya kebijakan politik Amerika dalam merancang bangun
perpolitikan dunia dengan memperlakukan dunia Islam secara
hegemonik.
62http://www.eramuslim.com/berita/analisa/latar-belakang-munculnya-strategi
deradikalisasi.htm
66
Dari pengertian di atas, dapat kita fahami bahwa tindak
radikalisasi yang bernuansa agama ketika telah menjurus ke dalam
hal-hal yang bersifat “anarkis” dan “mengganggu orang lain” sejatinya
menjadi hal yang penting untuk diselesaikan secara bersama.
Mengingat upaya penanganan deradikalisasi dan deidiologisasi
merupakan tanggung jawab kolektif, terutama sinergisitas para tokoh
agama, kepolisian dan Negara.63
Dalam hal ini NU Kota Semarang
dengan para tokoh agama dan lembaga yang ada di dalamnya menjadi
elemen yang sangat mendukung terhadap penangganan deradikalisasi
agama yang ada di Kota Semarang.
Mengutip tulisan Affandi Mochtar dengan judul
"Deradikalisasi Lunak" yang dimuat di harian REPUBLIKA, 16
November 2011, Ahmad Shidqi mengugkapkan, proses deradikalisasi
hendaknya dilakukan tidak hanya melibatkan aparat saja, akan tetapi
juga harus melibatkan tokoh masyarakat, dan lembaga-lembaga yang
ada. Menurutnya strategi deradikalisasi agama yang diterapkan harus
mengacu pada tiga langkah strategi yaitu: langkah prevention
(pencegahan), rehabilitation (rehabilitasi), dan aftercare (pembinaan
pasca pelepasan). Dalam tulisanya “Deradikalisasi Melalui
Pesantren”, ia menyebutkan langkah tersebut dapat di aplikasikan
sebagai beriut:64
63 Ibid, hlm.43 64Ahmad Sidqi, dalam “Deradikalisasi Melalui Pesantren” diakses dari
http://budisansblog.blogspot.com/2011/11/deradikalisasi-berbasis-pesantren.html
67
Pertama, pencegahan. Hal tersebut dapat dilakukan antara
aparat bekerja sama dengan para Ulama’ atau Pengasuh Pesantren.
Hal tersebut mengingat jumlah pesantren yang banyak di Indonesia,
tak terkecuali di Semarang, sehingga memungkinkan mereka
dijadikan sebagai aktor utama dalam kampanye deradikalisasi yang
dilakukan pemerintah. Karena sebagaimana kita ketahui, Ulama’ atau
Pengasuh Pesantren itu bukanlah figur yang berdiri sendiri, melainkan
dia memiliki jaringan sosial yang cukup luas, sehingga diharapkan di
tangan merekalah deradikalisasi agama dapat berjalan dengan apa
yang diharapkan.
Kedua, rehabilitasi dan pasca pembinaan (after care), kiai
dengan pesantren yang dimilikinya dinilai sebagai tempat yang cukup
strategis bagi rehabilitasi dan pembinaan bagi generasi muda untuk
menuntut ilmu dan mengarahkan mereka dari praktik keagamaan yang
menyimpang
Perlu kita fahami bahwa deradikalisasi merupakan strategi
penanganan kontra radikal. Berdasarkan asumsi tersebut, maka penulis
menganggap konsep pribumisasi Islam yang digagas oleh KH.
Abdurrahman Wahid, adalah mempunyai nilai-nilai deradikalisasi
yang dimaksud. Menurutnya gagasan pribumisasi Islam adalah
dimaksudkan untuk mencairkan pola dan karakter Islam sebagai
sesuatu yang normatif, praktik keagamaan yang kontestual dan
68
akomodasi ajaran Islam kedalam nilai-nilai budaya.65
Oleh Imdadun
Rahmat dalam “Islam Pribumi Mendialogkan Agama Membaca
Realitas”, Syarif mengemukakan lima gagasan dalam pribumusasi
Islam yaitu:66
Pertama, Kontekstual, yaitu Islam dipahami sebagai ajaran
yang terkait zaman dan tempat. Ini berarti bahwa Islam adalah suatu
agama yang dinamis, terus memperbaharui diri, dan respon terhadap
perubahan zaman, serta lentur dan mampu berdialog dengan kondisi
masyarakat yang berbeda untuk melakukan adaptasi kritis, sehingga
Islam bisa dinilai sebagai ajaran yang shahih li kulli zaman wa al-
makan (relevan dengan perkembangan zaman dan tempat).
Kedua, Toleran, sikap toleran dalam beragama dan toleran
terhadap perbedaan penafsiran dapat menumbuhkan kesadaran untuk
bersikap. Hal tersebut dikarenakan konteks dan kultur keindonesiaan
yang plural, menuntut pula pengakuan tulus bagi kesederajatan
terhadap agama-agama lain.
Ketiga, Menghargai Tradisi, di sini suatu etika hendaknya
mengacu pada zaman Rosul. Islam dibangun di atas penghargaan pada
tradisi lama yang baik, karena sesungguhnya Islam tidak memusuhi
tradisi lokal melainkan budaya tersebut dijadikan sebagai sarana
dakwah Islam. Hal tersebut seperti yang dilakukan oleh Walisongo
dalam penyebaran agama Islam di Indonesia.
65 Syarif Hidayatulah, Islam Isme-isme; Aliran dan Paham Islam di Indonesia,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hlm.50 66 Ibid, hlm.51-52
69
Keempat, Progresif, dengan perubahan terhadap praktik
keagamaan dimana ia berada. Islam berarti harus siap dan lapang dada
menerima tradisi pemikiran orang lain kendatipun berasal dari Barat.
Hal tersebut seperti dicontohkan oleh Rosul dalam haditsNya yaitu
“carilah ilmu walau sampai ke negeri China”
Kelima, Membebaskan, di sini Islam sebagai suatu agama yang
dapat menjawab problematika kemanusiaan yang ada secara universal
tanpa membedakan agama dan etnik. Dengan semangat pembebasan
tersebut, sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin Islam harus siap
melawan penindasan, kemiskinan, keterbelakangan, anarki sosial dan
lain sebagainya.
70
BAB III
PROFIL NU KOTA SEMARANG
3.1. Latar Belakang Berdirinya NU Kota Semarang
Keberadaan Nahdhatul Ulama Kota Semarang sebagai sebuah
organisasi keagamaan yang mengelola dan membawahi manajemen
kelembagaan NU di tingkat cabang Kota Semarang, berdirinya adalah tidak
bisa terlepas dari organisasi NU secara nasional. Nahdlatul Ulama (NU)
secara nasional adalah sebuah jam’iyyah keagamaan yang didirikan pada
tanggal 31 Januari 1926 M atau 16 Rajab 1344 H di Kota Surabaya.
Pemrakarsa lahirnya NU ini adalah beliau Al-Maghfurlah K.H. Hasyim
Asy'ari dan K.H. Wahab Hasbullah yaitu tahun 1926 M.67
NU Kota Semarang didirikan berdasarkan rekomendasi konggres NU
pertama yang diselenggarakan di Surabaya, yaitu pada bulan September 1926.
Dalam konggres tersebut, diantaranya yaitu menghasilkan suatu rekomendasi
tentang pembentukan badan-badan otonom daerah yang ada di seluruh
Indonesia dan di setiap cabang Kabupaten atau Kota. Berdasarkan hasil
rekomendasi tersebut, maka keberadaan Nahdlatul Ulama di tengah-tengah
masyarakat menjadi semakin dikenal.
Keberadaan Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) merupakan
lembaga otonom yang berada di daerah tingkat II/Kabupaten atau Kota di
seluruh Indonesia. Secara kelembagaan PCNU membawahi beberapa
67 Dok. NU Kota Semarang .
71
lembaga di bawahnya yang berfungsi sebagai sentral kegiatan NU di tingkat
Kabupaten atau Kota. Adapun tugas utama PCNU yaitu mengatur dan
memanage roda organisasi di tingkat cabang, agar roda organisasi dapat
berjalan dengan terarah dan dinamis sesuai dengan keberadaan dan kebutuhan
NU yang ada di masing-masing daerah.68
NU Kota Semarang merupakan Jam’iyah Diniyah Islamiyah
(Organisasi Agama Islam) yang beraqidah dan berazaskan Islam yang
menganut faham Ahlusunnah wal Jama’ah. Dalam memutuskan suatu
hukum, NU Kota Semarang senantiasa menganut salah satu dari madzhab
empat yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali. Hal demikian tiada lain
dikarenakan, dalam faham madzhab NU secara nasional adalah mengikuti
salah satu imam sebagaimana disebutkan diatas.69
Sesuai pandangan tentang ketata negaran, NU Kota Semarang dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara, yaitu berdasar kepada Ketuhanan yang
Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia,
Kerakyatan yang dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanan dalam
Permusyawaratan/Pewakilan dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat
Indonesia.
Dalam dinamika yang ada di masyarakat, seiring berjalannya waktu
NU mengalami perkembangan yang sangat cepat. NU mulai menyusun
strategi untuk mengembangkan sayap kepengurusan dengan tujuan agar
68 Wawancara dengan Drs. Kabul Supriyadi, SH, M.Hum selaku ketua Tanfidziyah, pada
tanggal 12 Mei 2012 69 Hal tersebut sebagaimana terdapat dalam AD /ART Nahdlatul Ulama 2006-2011: Bab
II tentang Aqidah/Asas
72
keberadaan NU mampu menjangkau komunitas muslim yang berada di tiap-
tiap daerah. Pelaksanaan Kongres I Nahdlatul Ulama di Surabaya
memberikan kontribusi mengenai pembentukan badan-badan otonom daerah
di seluruh Indonesia. Hal inilah yang mendorong lahirnya Pengurus Cabang
Nahdlatul Ulama (PCNU) di seluruh Indonesia termasuk didalamnya yaitu
NU kota Semarang.
NU Kota Semarang sebagai organisasi cabang yang berada di
Semarang merupakan lembaga otonom yang berada di daerah tingkat
II/Kabupaten atau Kota. Dalam tataran manajerial, NU kota Semarang yaitu
membawahi beberapa lembaga yang berfungsi sebagai sentral kegiatan NU di
tingkat Kota. Adapun tugasnya yaitu mengatur dan memanage roda
organisasi di tingkat cabang, agar dinamika organisasi dapat berjalan dengan
teratur dan terarah sesuai dengan kebutuhan dan masalah keagamaan ataupun
sosial yang berada di Kota Semarang.70
Berdirinya NU Kota Semarang dapat dikatakan hampir bersamaan
waktunya dengan berdirinya Nahdlatul Ulama di surabaya yaitu pada tahun
1926 M oleh KH Hasyim Asy'ari. Hal tersebut dimungkinkan karena salah
satu pelopor pendirinya yaitu KH. Ridwan adalah berasal dari Semarang.
Sebelum NU Kota Semarang di deklarasikan warga Semarang pada umumnya
yaitu sudah terbiasa melakukan ritual atau aktifitas Ahlussunnah Wal
Jama’ah yang digawangi oleh para Kyai yang ada di Kota Semarang.71
70 Wawancara dengan Bapak Kabul Supriyadi SH. M.Hum, (Ketua Tanfidziyah) , pada
tanggal 05 Mei 2012 71 Wawancara dengan Ibu I’anah sesepuh Fatayat Kota Semarang pada tanggal 06 Mei
2012.
73
Berdirinya NU Kota Semarang yaitu dipelopori oleh KH. Abdullah,
KH. Ridwan, dan KH. Showam, pada tanggal 24 April 1926. Selain sebagai
pioner dan pendiri organisasi, keberadaan mereka bertiga juga sebagai orang
yang pertama kali menjabat sebagai pengurus NU Kota Semarang. Mereka
resmi menjadi pengurus NU Kota Semarang yaitu setelah dilantik oleh salah
satu pendiri NU pertama kali yaitu Al-Maghfurlah K.H. Wahab Hasbullah.
Mereka dilantik di alun-alun Kota Semarang yang waktu dahulu yaitu berada
didepan masjid agung Semarang. Sejak NU dilantik secara resmi, maka
keberadaan Nahdlatul Ulama di tengah-tengah masyarakat khususnya Kota
Semarang semakin kuat dan mampu berperan dalam segala aktifitas
keagamaan masyarakat secara lebih luas meskipun dalam praktiknya roda
organisasi masih berjalan secara konvensional.72
Pada awal periodisasi NU Kota Semarang sampai menjelang
kemerdekaan bisa dikatakan NU Kota Semarang sebagai organisasi
kemasyarakatan belum bisa menjalankan fungsi manajerialnya dengan baik
sekalipun susunan kepengurusan dan bagian-bagianya sudah lengkap seperti
sekarang. Hal tersebut dikarenakan secara administrasi NU Kota Semarang
belum mempunyai gedung sendiri sebagai tempat kesekretariatan. Kegiatan-
kegiatan yang diadakan biasanya dari masjid satu ke masjid yang lain.diantara
masjid yang digunakan yaitu masjid Nahdlatul Ulama Jomblanng Kecamatan
Candisari Semarang. Sampai dengan tahun 50-an kegiatan NU Kota
72 Wawancara dengan KH. Siroj Khudlori: Mustasyar NU periode 2006-2011 tanggal 30
April 2012. Menurut beliau, structural kepengurusan NU waktu itu adalah masih ala kadarnya,
belum terbentuk ranting-ranting.
74
Semarang yaitu masih menginduk di rumah pengurus-pengurus yang menjadi
pimpinan waktu itu. Diantara tempat yang sering dijadikan sebagai
kesekretariatan NU yaitu rumahnya KH. Irhas (Ketua Syuriah Tahun 50-
an).73
NU Kota Semarang pertama kali mempunyai kantor tetap yaitu di Jl.
Sudirman (sekarang menjadi kantor Bank NU) sekitar tahun 1970-an setelah
ada salah satu warga Nahdliyyin yang mewakafkan tanahnya.74
Pada awal
tahun 1992 sampai dengan sekarang, kantor NU Kota Semarang yaitu
berpindah lagi, yaitu berada di Jl. Puspogiwang Semarang.75
3.2. Struktur Kepengurusan NU Kota Semarang Periode 2006-2011
Secara yuridis NU Kota Semarang sebagai cabang dari struktural NU,
setiap satu periode sekali selalu mengadakan apa yang dinamakan dengan
Konferensi Cabang (Konfercab) yaitu setiap lima tahun sekali. Hal tersebut
dimaksudkan agar terjadi kaderisasi kepengurusan dalam tubuh organisasi.
Diantara hasil dari konfercab sebagaimana dimaksud adalah membentuk
kepengurusan baru di jajaran pengurus cabang. Adapun kepengurusan NU
Kota Semarang periode 2006-2011 sesuai dengan data yang diperoleh peneliti
73 Wawancara dengan Bapak Adzim Wasiq (Katib Syuriah Tahun 1991-1996), pada
Tanggal 26 Mei 2012 74 Wawancara dengan KH. Shodiq Hamzah (Ro’is Syuriah Tahun 2011-2016), pada
Tanggal 26 Mei 2012 75 Keberadaan kantor NU yang selalu berpindah-pindah pada awal kepengurusan,
ternyata membuat arsip-arsip dan dokumentasi NU Kota Semarang tidak dapat terkumpul dengan
baik. Hal tersebut sebagaimana kepengurusan yang berhasil di dokumentasikan oleh NU Kota
Semarang yaitu mulai periodisasi tahun 1975-an (Dok. NU Kota Semarang).
75
sesuai Surat Keputusan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (SK PBNU) Nomor
176/A.II.04.d/12/2006 adalah sebagaimana berikut:76
MUSTASYAR KH. Siroj Khudlori
Drs. KH. Mustagfir Asror
KH. Habib Umar Muthahar, SH
KH. Syaikhun
KH. Mahfudz Usman
KH. Yusuf Masykuri, Lc
SYURIYAH
Rais Drs. KH. Khadlor Ihsan
Wakil Rais Drs. HM. Hamdani Yusuf
Wakil Rais Drs. Moh. Bisri
Wakil Rais Drs. KH. Mahsuni
Wakil Rais Habib Ja’far Al-Musawa
Katib KH. A. Rohibin Hamdan
Wakil Katib K. Rohani Amin Hidayat
Wakil Katib Drs. H. Solihul Huda, MM
Wakil Katib KH. Fathullah Ahmadi, BA
A’wan
KH. Saliyun Muh. Amir Drs. Makruf
Drs. KH. Baidlowi Shomad K. Kamija DP
KH. Mahrus Abdullatif Drs. H. Muhtarom
KH. Muhaimin Mansyur KH.Subhi Abadi
Drs. KH. Syamhudi, Mpd
TANFIDZIYAH 77
Ketua H.M. Kabul Supriyadi, SH, M.Hum
Wakil Ketua Drs. H. Anasom, M.Hum
Wakil Ketua Ir. Khammad Maksum Al-Hafidz
Wakil Ketua Drs. H. syafi’i
Wakil Ketua Ahmad Abdul Rosyid, SH
76 Konfercab sebagaimana dimaksud dilaksanakan pada tanggal 22 juli 2006 dengan
pimpinan sidang yaitu H.M. Kabul Supriyadi, SH, M.Hum dan sekretarisnya Drs. H.M.
Muhtarom, yang kemudian diajukan untuk mendapatkan legitimasi kepada Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) pada tanggal 20 oktober 2006 dan ditandatangani oleh Rais ‘Aam (Prof.
Dr. Sahal Mahfudz), Katib ‘Aam (Prof. Dr. Nasarudin Umar, MA), Ketua Umum (KH. Hasyim
Muzadi), dan Sekjen (Dr. Endang Turmudzi). (data diperoleh dari arsip NU Kota Semarang tahun
pada tanggal 02 Mei 2012). 77 Mustasyar dalam structural NU adalah penasehat, Syuriyah adalah pimpinan tertinggi,
A’wan adalah pembantu tugas Syuriyah, sedangkan Tanfidziyah adalah dewan pelaksana atau
eksekutor harian, (Baca: AD/ART NU Hasil Keputusan Muktamar ke-12 di Makassar, 2010,
halaman.11)
76
Sekretaris Drs. Abdul Khaliq, M.Pd
Wakil Sekretaris Drs. H. Fathurrahman
Wakil Sekretaris Drs. Subchan, M.Pd
Wakil Sekretaris Budi Ahmad Suhadi, S.Pd.I
Wakil Sekretaris Ahmad Junaidi. S.Kom
Bendahara Mulyo Putro, SH, MA
Wakil Bendahara H. Suparjo
Wakil Bendahara Drs. H. Farhani, SH, MM
3.3. Visi, Misi, Tujuan dan Sasaran NU Kota Semarang Periode 2006-2011
a. Visi
Wadah tatanan masyarakat yang sejahtera, berkeadilan, dan
demokratis atas dasar Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah.
b. Missi
1) Mewujudkan tatanan masyarakat yang sejahtera lahiriyah maupun
batiniyah, dengan mengupayakan system perundang-undangan dengan
memberikan sumbangan pemikiran terhadap kebijakan public yang
menjamin terwujudnya tatanan kehidupan masyarakat yang sejahtera.
2) Mewujudkan tatanan masyarakat yang berkeadilan dengan melakukan
upaya pemberdayaan dan advokasi.
3) Mewujudkan tatanan masyarakat yang demokratis dan berahlakul
karimah.
c. Tujuan
Berdasarkan pada visi dan missi NU Kota Semarang sebagaimana
tersebut diatas, maka NU sebagai Jam’iyyah Diniyah Ijtima’iyah
77
(organisasi yang berhaluan agama) kemudian merumuskan program
dengan tujuan-tujuan yaitu:
1) Terwujudnya kesejahteraan kehidupan bermasyarakat.
2) Terwujudnya penegakan keadilan.
3) Terwujudnya sistem demokrasi yang berahlakul karimah.
d. Sasaran
Dalam menerapkan visi dan missinya, NU Kota Semarang
membagi sasaran menjadi dua bagian, yaitu dari segi internal organisasi
dan eksternal organisasi.
1) Dari segi internal organisasi dapat diklasifikasikan menjadi:
− Warga NU
− Pengurus NU diberbagai tingkatan
− Pimpinan Cabang Badan Otonom NU
− Pimpinan Cabang Lajnah/Lembaga NU
− Kelompok jama’ah yang berhaluan ahlussunnah waljama’ah
− Pondok Pesantren, Masjid dan Musholla NU
− Madrasah-madrasah atau sekolah NU
− Yayasan dan lembaga sosial, pendidikan, dan kemasyarakatan
yang berafiliasi ke NU
2) Sedangkan dari segi eksternal yang menjadi sasarannya adalah semua
pihak-pihak lain yang menjadi stake holder NU Kota Semarang.78
78 Dok. NU Kota Semarang 2006-2012
78
3.4. Program Kerja NU Kota Semarang Periode 2006-2011
Sesuai dengan hasil konferensi cabang tanggal 22-23 juli 2006, yang
diantaranya yaitu mengesahkan pokok-pokok program kerja NU Kota
Semarang periode 2006-2011, maka dalam musyawarah kerjanya yang
diselenggarakan pada tanggal 5-6 mei 2007 bertempat di Islamic Centre, NU
Kota Semarang menghasilkan program kerja yang meliputi lima bidang yaitu:
a. Bidang dakwah dan pengembangan keagamaan
b. Bidang pendidikan dan pengkaderan
c. Bidang pemberdayaan ekonomi masyarakat
d. Bidang penyuluhan dan bantuan hukum
e. Bidang sosial dan pelayanan kesehatan kepada masyarakat.
Adapun kelima program kerja tersebut dapat dijabarkan dalam daftar
tabulasi sebagai berikut:
a. Bidang dakwah dan pengembangan keagamaan
Tabel No.01 (Bidang Dakwah dan Pengembangan Keagamaan)
No
Bidang Program
1 Bidang Dakwah
a. Program Pokok
− Peningkatan pemahaman Ahlussunnah Wal Jama’ah (ASWAJA)
kepada masyarakat Nahdliyyin.
− Kajian ASWAJA dari ideology dan methodology
− Peningkatan kualitas keagamaan dan ke-ASWAJA-an masyarakat.
− Menyediakan media elektronika sebagai sarana publikasi dan dakwah
b. Bentuk Kegiatan
− Diklat Pelatih ASWAJA para pengurus
− Diklat Kader ASWAJA para pengurus
− Lailatul Ijtima’ (malam pertemuan) : Kajian ASWAJA secara rutin
79
setiap satu bulan sekali, di tingkat PC, MWC dan PR NU
− Publikasi hasil kajian ASWAJA dalam bentuk bulletin
− Kerjasama dengan stasiun radio dan televisi local
c. Pelaksana
− PC LBM NU, PC LTMI, PC LD NU, P.MWC & PR NU
d. Tujuan
− Meperkuat ideology ASWAJA pada masyarakat Nahdliyyin agar
masyarakat Nahdliyyin tidak mudah terpengaruh ideologi non
ASWAJA
− Mensyiarkan dakwah NU kepada masyarakat
2 Bidang Pengembangan Keagamaan
a. Program Pokok
− Bahtsul Masa’il Diniyah bi khushush al as’ilah: Iqtishadiyah;
Ijtima’iyyah; Tarbiyah; Tamaddun; wa Siyasah.79
− Peningkatan kualitas keagamaan & ke-ASWAJA-an masyarakat
b. Bentuk Kegiatan
− Bahstul Masa’il secara rutin dan intensif
− Publikasi hasil bahtsul masa’il ke jajaran Banom, Lembaga MWC, dan
Ranting
− Survey inventarisasi Masjid–Masjid NU
− Memakmurkan dan memberdayakan Masjid – Masjid Warga NU
− Pelatihan ke-ta’mir-an Masjid
c. Pelaksana
− PC LBM NU, PC LTMI, PC LD NU, P.MWC & PR NU
d. Tujuan
− Untuk mendapatkan dasar dan kepastian hukum syari’ah dalam
perjuangan NU mengenai Iqtishadiyah; Ijtima’iyyah; Tarbiyah;
Tamaddun; dan Siyasah
− Membentengi masyarakat Nahdliyyin dari pengaruh paham Islam Non
ASWAJA
3 Bidang Bimbingan Haji
a. Program pokok
− Pengembangan dan peningkatan kualitas bimbingan ibadah haji dan
umroh serta memelihara ke-mabrur-an haji para Jama’ah
b. Bentuk Kegiatan
− Melakukan pelatihan Manasik Haji
− Melakukan Bimbingan Ibadah Haji sampai ke Tanah Suci
− Pengajian rutin Jama’ah Haji
79 Bahtsul Masa’il sebagaimana diungkapkan oleh KH. Syamhudi (Ketua Ma’arif Kota
Semarang) yaitu serangkaian acara pembahasan dan penela’ahan kitab-kitab dalam rangka
menyikapi problematika terbaru yang ada dimasyarakat guna dicarikan solusi
hukumnya.(Wawancara tanggal 30 April 2012).
80
− Sosialisasi KBIH NU
− Peningkatan Porfessioanlisme manajemen KBIH NU
c. Pelaksana
− PC L-KBIH NU , PC JHNU dan dibantu oleh PC LD NU PC Banom
NU P.MWC & PR NU
d. Tujuan
− Mengantarkan Jama’ah menuju Haji Mabrur
b. Bidang Pendidikan dan Pengkaderan
Tabel No.02 (Bidang Pendidikan dan Pengkaderan)
No Bidang Program
1 Bidang Pendidikan
a. Program Pokok
c. Peningkatan kualitas pendidikan melalui sekolah/madrasah NU
menjadi sekolah/ madrasah unggulan
b. Bentuk Kegiatan
− Identifikasi sekolah atau madrasah yang tergabung di LPM NU dalam
status kepemilikannya dengan NU
− Mengembangkan sekolah atau madrasah menjadi sekolah atau
madrasah unggulan
− Diklat dan Peningkatan Kuwalitas Guru NU
Kerjasama dengan pihak luar terkait dengan pembiayaan pendidikan
b. Pelaksana
− PC LPM NU dibantu P.MWC & PR NU
c. Tujuan
− Meningkatkan kualitas kader NU di masa mendatang
2 Bidang Kaderisasi
a. Program Pokok
− Diklat Kader NU dan Banom NU
− Kaderisasi dan Pendirian Ranting NU/Banom NU di setiap Kelurahan
− Diklat dan Pendirian Komisariat IPNU – IPPNU di Sekolah/
Madrasah NU
b. Bentuk Kegiatan
− Pelatihan Kader NU dan Banom NU secara intensif
− Diklat dan Pendirian Komisariat IPNU – IPPNU di Sekolah/Madrasah
NU, Pondok Pesantren dan Perguruan Tinggi
c. Pelaksana
− PC NU PC Banom, PC Lakpesdam NU dan dibantu oleh PC IPNU-
IPPNU, RMI PC LPM dan KaSek/KaMad
d. Tujuan
− Untuk membangun soliditas, loyalitas dan militansi organisasi secara
individual
− Untuk meningkatkan kualitas, loyalitas dan militansi kader NU di
berbagai tingkatan
81
3 Bidang Konsulidasi Organisasi
a. Program Pokok
− Konsulidasi dan Penataan Organisasi NU dan Banom NU di semua
jajaran
− Penataan dan pensertifikatan asset NU, asset Banom dan asset
Lembaga NU atas nama NU sebagai Induk Organisasi
b. Bentuk Kegiatan
− Penyamaan Persepsi tentang UU No. 16 & 28/2002 dan SK PB NU
No. 277/2002
− Penelitian asset, status tanah wakaf dan Pensertifatakan tanah wakaf
NU menjadi hak milik NU sesuai SK PB NU No. 277/ 2002
c. Pelaksana
− PC LWP NU dan dibantu oleh PC LPBH NU, PC Lakpesdam NU, PC
LPM NU & PC LTMI
d. Tujuan
− Untuk membangun soliditas, loyalitas dan militansi organisasi secara
structural
− Untuk mengetahui data konkrit asset kekayaan NU dan dikelola sesuai
amanat
c. Bidang Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat
Tabel No.03 (Bidang Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat)
No Bidang Program
1 Bidang Koperasi dan UKM
a. Program Pokok
− Pengembangan Perkonomian warga NU melalui Koperasi, BMT/BPR
NU
− Membangun jaringan tata niaga bahan pangan pokok
b. Bentuk Kegiatan
− Mengembangkan koperasi NU
− Mendirikan BMT/BPR NU
− Membangun sistem perdagangan warga NU
− Membangun jaringan tata niaga bahan pokok dalam memenuhi
kebutuhan hajat hidup masyarakat banyak
− Menyediakan perlengkapan Haji
− Kerjasama dengan pihak lain untuk membangun Pasar Tradisional
c. Pelaksana
− PC LP NU dan dibantu oleh P.MWC & PR NU
d. Tujuan
− Membantu meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat
2 Bidang Advokasi
a. Program Pokok
− Advokasi terhadap kaum buruh, petani, nelayan dan kaum dhu’afa’
b. Bentuk Kegiatan
− Mendampingi perjuangan hak pangan, sandang & papan bagi
82
masyarakat
c. Pelaksana
− PC LPBH NU dan dibantu oleh P.MWC & PR NU
d. Tujuan
− Membantu memberikan jaminan kesamaan hak asasi masyarakatuntuk
mendapatkan pemerataan sandang, pangan dan papan
3 Bidang Ketenagakerjaan
a. Program Pokok
− Pelatihan life skill untuk warga NU
b. Bentuk Kegiatan
− Pelatihan Ketrampilan bekerjasama dengan dinas terkait
c. Pelaksana
− PC LP NU, PC LPTK NU, PC Banom NU, P.MWC dan PR NU
d. Tujuan
− Menyiapkan tenaga terampil
d. Bidang Penyuluhan dan Bantuan Hukum
Tabel No.04 (Bidang Penyuluhan dan Bantuan Hukum)
No Bidang Program
1 Bidang Penataan Aset NU
a. Program Pokok
− Penataan dan pensertifikatan asset NU, asset Banom dan asset
Lembaga NU atas nama NU sebagai Induk Organisasi
Mengembalikan asset kekayaan NU yang sekarang “dimiliki
dan/dikuasai” oleh orang – orang NU
b. Bentuk Kegiatan
− Dialog rutin Penyamaan Persepsi tentang UU No. 16 & 28/2002 dan
SK PB NU No. 277/2002
− Penelitian asset, status tanah wakaf dan Pensertifatakan tanah wakaf
NU menjadi hak milik NU sesuai SK PB NU No. 277/ 2002
c. Pelaksana
− PC LWP NU dan PC LPBH NU, PC Lakpesdam NU, PC LPM NU &
PC LTMI
d. Tujuan
− Untuk mengetahui data konkrit asset kekayaan NU dan dikelola sesuai
amanat
2 Bidang Advokasi Masyarakat
a. Program Pokok
− Advokasi terhadap kaum buruh, petani, nelayan dan kaum dhu’afa’
b. Bentuk Kegiatan
− Mendampingi perjuangan hak pangan, sandang dan papan bagi
masyarakat
c. Pelaksana
− PC LPBH NU dan P.MWC & PR NU
d. Tujuan
83
− Membantu memberikan jaminan kesamaan hak asasi masyarakat untuk
mendapatkan pemerataan sandang, pangan dan papan
3 Bidang Pengabdian kepada Masyarakat
a. Program Pokok
− Penyuluhan Hukum
b. Bentuk Kegiatan
− Penyuluhan Hukum Agama: Syari’ah, Waris Islam, Perkawinan,
Perbankan Syari’ah, Asuransi/Takafful
− Penyuluhan Hukum Positif: KUHP, HAM, Ketenagakerjaan,
Jamsostek, Wakaf, Yayasan, KDRT dll
− Pelatihan ketrampilan di bidang Hukum
c. Pelaksana
− PC LPBH NU dan PC Banom PC Lembaga P.MWC & PR NU
d.Tujuan
− Membantu masyarakat untuk memahami dan memiliki kesadaran
hukum di bidang: Hukum Agama, Hukum Positif, Ketenagakerjaan,
HAM, Perbankan Syari’ah, Wakaf, dan Yayasan
4 Bidang Bantuan Hukum
a. Program Pokok
− Pelayanan Konsultasi dan bantuan Hukum
b. Bentuk Kegiatan
− Membuka Layanan Konsultasi dan Bantuan Hukum di Kantor LPBH
NU Kota Semarang
− Membuka pos-pos Pelayanan Konsultasi dan bantuan Hukum di MWC
– MWC
c. Pelaksana
− PC LPBH NU dan PC Banom PC Lembaga P.MWC & PR NU
d. Tujuan
− Membantu masyarakat untuk mendapatkan layanan Hukum
− Membantu masyarakat untuk mendapatkan perlindungan Hukum
e. Bidang Sosial dan Pelayanan Kesehatan Kepada Masyarakat
Tabel No.05 (Bidang Sosial dan Pelayanan Kepada Masyarakat)
No Bidang Program
1 Bidang Sosial
a. Program Pokok
− Kepedulian terhadap anak yatim piyatu dan kaum dhu’afa’
b. Bentuk Kegiatan
− Pembinaan dan santunan kepada panti yatim piyatu
− Santunan terhadap kaum fakir miskin
− Santuanan Pembinaan pendidikan
c. Pelaksana
− PC NU, PC Muslimat NU dan P.MWC & PR NU
d. Tujuan
− Mengamalkan nilai ajara Islam dalam bidang kasih sayang terhadap
84
sesama
2 Bidang Kesehatan
a. Program Pokok
− Pelayanan Kesehatan masyarakat NU
b. Bentu Kegiatan
− Menghidupkan kembali/mendirikan Balai Kesehatan NU
− Mengadakan kegiatan Pengobatan gratis
− Penyuluhan terhadap penyakit yang meresahkan masyarakat
− Diklat, pelayanan ksehatan dan kerjasama lintas program baik medis/
non medis
c. Pelaksana
− PC LPK NU dan P.MWC, PR NU, LSM dan Pemerintah
d. Tujuan
− Meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat NU
Dari program-program yang telah dicanangkan oleh NU Kota
Semarang sebagaimana di atas, setidaknya penulis dapat mengidentifikasi
program yang dianggap relevan dan dapat dijadikan sebagai penunjang
terlaksananya strategi deradikalisasi agama. Adapun program-program
tersebut adalah:
1). Dalam bidang dakwah
Dalam hal ini NU Kota Semarang yaitu menetapkan suatu
program peningkatan pemahaman Aswaja kepada masyarakat. Selain
peningkatan pemahaman, NU juga melakukan kajian Aswaja baik dari
segi ideologi dan metodologi, agar kualitas pemahaman masyarakat
terhadap aswaja dapat berkembang.
Diantara bentuk kegiatan yang dilakukan adalah seperti:
− Diklat pelatihan Aswaja
− Publikasi hasil tersebut kepada masyarakat
− Bekerjasama dengan stasiun radio dan televisi lokal
85
2). Dalam bidang pengembangan keagamaan
Penulis memandang bahwa Bahtsul Masa’il yang dilakukan
secara rutin oleh NU Kota Semarang dengan mengangkat tema yang
aktual merupakan bentuk kegiatan yang dirasa sangat relevan. Dengan
kegiatan Bahtsul Masa’il sebagaimana dimaksud, maka persoalan seperti
radikalisasi agama yang ada di Kota Semarang dapat disikapi dan
kemudian diambil suatu tindakan.
3). Dalam bidang kaderisasi
Dalam bidang kaderisasi, pendirian Ranting NU disetiap
Kelurahan dan pendirian Komisariat IPNU-IPPNU di sekolah-sekolah
merupakan program yang dipandang penulis sangat efktif. Hal tersebut
mengingat, adanya ranting NU disetiap Kelurahan dan adanya
Komisariat IPNU-IPPNU disetiap ekolah dapat dijadikan sarana
penyebaran Aswaja di tengah-tengah masyarakat.
4). Dalam bidang advokasi
Radikalisasi agama yang ada di masyarakat ternyata juga
disebabkan oleh faktor sosial dan ekonomi. Oleh karena itu, maka
program advokasi terhadap kaum buruh dan petani merupakan langkah
strategis dalam membendung radikalisasi yang ada. Dalam program ini,
program yang dicanangkan NU Kota Semarang yaitu seperti
mendampingi perjuangan hak pangan, sandang dan papan bagi
masyarakat
86
5). Dalam bidang sosial
Dalam bidang sosial, NU Kota Semarang yaitu senantiasa
meningkatkan kepedulian terhadap anak yatim piatu dan kaum dluafa’
melalui berbagai panti asuhan (Darul Khadlonah). Pembinaan dan
santunan terhadap kaum fakir dan miskin dimaksudkan agar kehidupan
mereka dapat ditingkatkan, sehingga radikalisasi yang bisa berasal dari
faktor ekonomi dan kesenjangan sosial dapat diatasi.
87
BAB IV
STRATEGI DAKWAH NU KOTA SEMARANG DALAM UPAYA
DERADIKALISASI AGAMA
3.5. Radikalisasi dan Deradikalisasi Agama dalam Perspektif NU Kota
Semarang
Dalam kehidupan beragama, seseorang dalam menjalankan prinsip-
prinsip keberagamaanya atau dalam praktik ubudiyah-nya memang tidak bisa
terlepas dari faktor-faktor yang bisa mempengaruhinya. Faktor-faktor tersebut
biasanya dapat bersumber dari dalam diri seseorang (intrinsic factor) ataupun
faktor dari luar dirinya (ekstrinsic factor). Dalam hal ini persepsi80
yang
dimiliki oleh seorang muslim satu dengan lainya yang mempunyai latar
belakang berbeda biasanya akan menimbulkan perbedaan pula dalam
pemaknaan suatu teks Al-Qur’an ataupun Hadits.
Islam sejatinya adalah agama yang memberikan keamanan,
kenyamanan, ketenangan dan ketenteraman bagi semua pemeluknya. Tidak
ada satupun ajaran di dalamnya yang mengajarkan kepada umatnya untuk
membenci dan melukai makhluk lain tanpa adanya suatu alasan yang
dibenarkan oleh syara’. Kalaupun hal tersebut ada, itu adalah bagian kecil
80 Persepsi merupakan tanggapan seseorang yang didapatkan melalui panca indranya.
Dalam hal ini, persepsi seseorang dapat dipengaruhi oleh latar belakang budaya, pengalaman masa
lalu, dan nilai yang dianut. Pada akhirnya persepsi yang merupakan tanggapan terhadap stimulus
dapat menghantarkan seseorang menuju idiologi yang ia anut, yang dalam masalah agama latar
belakang pemahaman yang berbeda biasanya rentan menimbulkan aksi-aksi radikal. Bimo
Walgito, Psikologi Sosial : Suatu Pengantar, (Yogyakarta : Andi Offset, 1990), hlm. 53
88
dari salah satu upaya pemecahan masalah yang dilakukan oleh umatnya dan
bukan dari ajarannya.
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, sudah barang tentu kitab suci Al
Qur’an dan Sunah Rosul diyakini oleh umat Islam sebagai sumber utama
dalam memecahkan semua persoalan yang ada. Pemahaman dan penafsiran
terhadap ayat yang tidak didasari oleh kapabilitas keilmuan yang mumpuni
itulah yang pada akhirnya dapat menyebabkan masalah khilafiyah atau
perbedaan pandangan dalam Islam. Perbedaan pandangan terhadap suatu
pemahaman yang tidak didasari oleh nilai-nilai sosial dan perundang-
undangan yang berlaku tersebutlah yang dapat memperkeruh toleransi
keberagamaan dalam bingkai negara kesatuan.
NU Kota Semarang memahami bahwa Islam adalah agama yang
“rahmatan lil ‘alamin”. Islam adalah agama yang mengayomi dan
melindungi seluruh mahluk yang berada di muka bumi ini. Islam tidak
mengenal adanya istilah pemaksaan kehendak kepada orang lain di dalam
menentukan ideologinya, termasuk di dalamnya adalah praktik menjalankan
ibadah.81
Dalam aktifitas kehidupan, NU Kota Semarang senantiasa
mengajarkan tentang prinsip keseimbangan (tawazun). Hal tersebut
sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an:
����"1, 2�3�����4��� ��� �56�",�7�8 $�9��:; /�� ����<�/� �=����� >� �?�:����"8
81 Hal tersebut sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqoroh ayat 256: “Tidak ada
paksaan dalam agama, sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dengan jalan yang salah, dan
siapa yang tidak percaya kepada thoghut (berhala atau syithan) dan percaya kepada Allah.
Sesungguhnya Dia telah berpegang pada tali yang teguh dan tidak akan putus, dan Tuhan itu
mendengar dan mengetahui” Fathul Bahri, Meniti Jalan Dakwah;Bekal Perjuangan Para Da’I,
(Jakarta: Amzah, 2008), hal.13
89
Menurut KH. Khadlor Ihsan,82
Islam sudah selayaknya hidup
berdampingan dengan umat beragama yang lain. Islam harus saling
menghargai dan tidak memaksakan kehendak satu sama lain. Islam harus bisa
menghargai tradisi dan budaya lokal yang sudah ada, tidak merasa “benere
dewe”. Menurutnya Islam harus difahami secara komprehensif dan kaffah.
Ditambahkan olehnya, dalam pengambilan kepusuan terhadap suatu
hukum, sudah seharusnya ayat yang akan dijadikan pedoman dikaji secara
kontekstual dan sesuai dengan sabab nuzul ayat. Hal tersebut dimaksudkan
agar dalam penafsiran dan penggunaan terhadap suatu ayat dapat diterapkan
sesuai dengan situasi dan keadaan yang melatar belakanginya. Islam harus
mampu membawa umat menuju kehidupan beragama yang “rukun” dan
“saling menghargai” tidak “saling menyalahkan” dan “menafikan keislaman
orang lain” dan bahkan sampai “mengkafirkan” (takfir) orang lain, tandasnya.
Radikalisme agama yang ada pada intinya merupakan fenomena yang
normal, dikarenakan sudah menjadi fitrah manusia bahwasanya gejala
kejiwaan yang dimiliki oleh masing-masing individu akan berbeda antara satu
dengan yang lain. Dalam hal ini, radikalisasi agama biasanya disebabkan oleh
adanya perbedaan pandangan terhadap persepsi dan cara pandang terhadap
nilai-nilai suatu agama.
82 Drs. KH. Khadlor Ihsan adalah ketua Syuriah NU Kota Semarang periode 2006-2011,
selain menjabat sebagai Syuriah NU, beliau adalah sebagai pengasuh Pondok Pesantren Al-Islah
Mangkang Kulon. Menurutnya perbeda’an ummat yang ada sehingga menimbulkan beberapa
pandangan tentang Islam adalah hal yang wajar. Hal tersebut dikarenakan dalam hadits telah
dikatakan “ikhtilafu ummati rohmah”, bahwasanya perbedaan yang ada diantara masyarakat itu
seharusnya jangan dijadikan pemecah belah, bahkan saling mengkafirkan satu dengan yang lainya,
akan tetapi seharusnya dijadikan rasa saling menghormati dan kasih saying. (Wawancara pada
tanggal 30 April 2012).
90
KH. Khadlor Ikhsan mengemukakan radikalisme agama yang
menurutnya merupakan suatu “kelumrahan” akan tetapi apabila telah berubah
menuju suatu faham yang bersifat ekstrem, menggunakan motif kekerasan
yang tidak dibenarkan, maka disitulah perlu adanya penanganan dan
dicarikan jalan kelurnya. Menurutnya munculnya faham beragama yang
berhaluan radikal biasanya dibarengi dengan tuntutan penerapan ajaran
agama didalam setiap lini kehidupan. Dalam praktiknya eksistensi suatu
hukum yang diperjuangkanya harus sesuai dengan apa yang tersurat, tanpa
memperdulikan aspek lain.
Faham radikal yang ada biasanya menanamkan pemahaman yang
bertentangan dengan tradisi yang telah ada, dengan membawa ideologi baru
yang sesuai dengan faham yang ia anut. Dalih yang mereka usung adalah
dengan menerapkan ajaran Islam secara utuh (totalistik), pemurnian terhadap
ajaran agama (puritanisme) dan mencoba menerapkan pemahaman tersebut
kedalam semua sendi – sendi kehidupan tanpa mempedulikan latar belakang
dan kultur budaya yang telah ada dalam masyarakat.83
Akan tetapi ketika
ditelusuri, mereka ternyata kurang bisa memahami ajaran Islam secara utuh
dan benar, mereka hanya mengkaji dan memahami dalil dan teks Al-Qur’an
secara literal dan tekstual.
Hal-hal tersebut diatas terbukti yaitu, dalam beberapa kasus yang ada
di kota Semarang, ketika terjadi perbedaan prinsip antara mereka yang
berseberangan faham pastilah mengakibatkan perseteruan. Perseteruan yang
83 Rahimi Sabirin, Islam dan Radikalisme, (Jakarta: Athoyiba, 2004), hal.06
91
ada tersebut pada akhirnya telah membawa problematika sosial yang lebih
komplek lagi, tidak hanya dalam tataran ideologi yang dianutnya saja akan
tetapi perseteruan tersebut telah sampai pada masalah fisik. Hal tersebut
seperti dituturkankan oleh Bapak Kabul Supriyadi, bahwa faham Islam
radikal di kota Semarang dalam praktiknya yaitu sering menyalahkan tata
ubudiah (peribadatan), mencaci prinsip dan kegiatan kerohanian, yang
dilakukan oleh orang yang tidak sefaham denganya.
Oleh mereka, orang yang melaksanakan tahlilan, mauludan dan
manakiban dianggap telah menempuh jalan Islam yang salah. Dalam
pandangan orang yang berhaluan radikal, aktifitas sebagaimana diungkapkan
diatas haruslah diluruskan. Dalam praktiknya sikap yang mereka tunjukkan
dalam upaya meluruskan orang yang tidak sefaham denganya biasanya
ditempuh dengan berbagai macam cara, termasuk didalamnya yaitu
menggunakan tindak kekerasan.
Dalam sebuah fenomena yang terjadi di Semarang tepatnya di
kecamatan Tembalang sebagaimana diungkapkan oleh Bapak H. Kabul
Supriyadi, SH. M.Hum, ada upaya dari kaum radikalis untuk menghentikan
suatu aktifitas keagamaan yang sudah menjadi tradisi masyarakat. Oleh
mereka, orang-orang yang sering melakukan rutinitas seperti tahlil dan
maulid dianggapnya itu adalah perbuatan bid’ah dan tidak berdasar pada
nilai-nilai keislaman. Upaya tersebut mereka ejawantahkan melalui berbagai
aksi, mulai dari sikap sampai dengan tindakan fisik. Diantara hal yang
dilakukan oleh mereka yaitu seperti mencemooh hingga memadamkan listrik
92
Mushola dengan tujuan agar aktifitas keagamaan yang dianggapnya salah dan
tidak sesuai dengan faham yang mereka anut tidak bisa dilakuan.84
Menurut Drs. H. Abdul Khalik, M.Pd,85
selaku sekretaris NU Kota
Semarang menyatakan, bahwa radikalisasi agama yang ada di Kota Semarang
biasanya cenderung menentang terhadap tata nilai budaya yang sudah ada.
Orang lain yang tidak sefaham denganya dianggap salah bahkan musuh,
mereka cenderung merasa benar sendiri. Ketika berbicara tentang akhirat,
seolah-olah surga adalah milik kelompoknya sehingga semua aktifitas yang
mereka lakukan selalu dirasa benar.
Menurut beliau dalam beberapa kasus yang ada di Semarang,
doktriner-doktriner yang biasa ditanamkan oleh para radikalis yaitu melalui
pendekatan kaderisasi. Mereka mencoba menanamkan ideologi-ideolagi
mereka di lingkungan sekolah-sekolah yang berlatar belakang umum. Faham
yang mereka tanamkan tersebut diantaranya yaitu tentang konsep Khilafah
(kepemimpinan Islam).
Faham radikal terhadap ajaran agama yang ada di masyarakat
sejatinya telah mengubah pelakunya menuju doktrin yang bertentangan
dengan tradisi yang ada dalam masyarakat. Hal tersebut tentunya dapat
membawa keresahan yang dalam level lebih tinggi dapat menyebabkan
permusuhan dan perselisihan diantara mereka. Sebagai contoh yaitu dalam
84 Kejadian tersebut terjadi di Desa Meteseh Kecamatan Tembalang, dimana setiap
aktifitas keagamaan yang dianggap menyimpang oleh orang yang berfaham “radikal” selalu
dihalang-halangi dan dimusuhi. (wawancara dengan Bp. Kabul Supriyadi, SH, M.Hum, ketua
Tanfidziyah NU Kota Semarang tanggal 04 Mei 2012) 85 Wawancara dengan Bapak H. Abdul Khalik, M.Pd selaku sekteraris tanfidziyah NU
Kota Semarang pada tanggal 03 Mei 2012.
93
masalah sosial-keagamaan di Kecamatan Tugu, faham radikal telah mencoba
mengaburkan tata nilai budaya yang telah terakulturasi dengan ajaran Islam.
Selanjutnya H. Abdul Khalik menyebutkan pada akhir tahun 2011
yaitu pada bulan oktober terdapat suatu fenomena tentang radikalisme agama
di Kecamatau Tugu. Diilustrasikan olehnya, yaitu dalam kasus tersebut ada
orang yang meninggal dunia, akan tetapi oleh anaknya yang notabene
“berfaham radikal” ia melarang masyarakat melafadzkan dzikir ketika prosesi
pengiringan jenazah ibunya menuju kubur. Dalil yang dijadikan pijakan
argumentasinya yaitu bahwa mengiring jenazah menggunakan bacaan seperti
tahlil dan bacaan-bacaan lain yang sudah lekat dengan ritual masyarakat
dianggapnya tidak terdapat dalam ajaran Islam.
Hal tersebut di atas sejatinya membuktikan, bahwa pemahaman agama
yang dimiiki oleh orang yang berhaluan radikal adalah cenderung kepada
pemurnian ajaran Islam yang dalam hal ini yaitu Islam harus dikembalikan
sesuai dengan Al-Quran dan Hadits. Mereka hanya menganggap ajaran Islam
yang harus diaplikasikan dalam kehidupan hanyalah ajaran yang secara
tersurat memang benar-benar ada dalam Al-Qur’an.
Dalam sisi lain Abdul Khalik menjelaskan, bahwasanya kaum
radikalis sebagaimana dikemukakan diatas pada praktiknya mereka
mengganggap adalah orang yang paling mengerti dan faham tentang ajaran
Islam yang benar. Mereka tidak segan-segan mengecap salah bahkan
menganggap “kafir” terhadap kelompok lain yang tidak sefaham denganya.
Akan tetapi yang ironi, ketika mereka diajak berdialong (bermujadalah)
94
ternyata mereka hanya menggunakan majalah-majalah dan argumentasi yang
sesuaai dengan buku-buku karangan pimpinanya saja. Ketika disosori kitab
Mu’tabaroh (kitab yang teruji kesahihanya) seperti kitabnya Imam Al-
Qhozali mereka engan berkomentar, jangankan berkomentar membaca dan
memaknai saja mereka tidak bisa.86
Dalam kasus yang sebagaimana disebutkan oleh Abdul Khalik,
anaknya yang menentang pengiringan jenazah orang tuanya menggunakan
bacaan tahlil ketika disodorkan tentang kitab “Riyadlus Sholihin” yang
berisikan tentang tuntunan tata cara merawat jenazah ternyata mereka tidak
bisa memahaminya. Jangankan memahami membaca saja mereka tidak bisa.
Fenomena-fenomena di atas mengindikasikan, bahwasanya kaum
radikalis sekalipun mereka mengklaim dirinya paling benar sendiri, akan
tetapi sejatinya mereka ternyata tidak faham dengan cara pemaknaan ajaran
Islam yang sebenarnya. Dalam pemaknaan tentang ayat Al-Qur’an, indikasi
ketidak fahaman mereka dapat dilihat yaitu dari segi metodologi. Dari segi
metodologi mereka ternyata tidak menguasai kaidah kesastraan arab ataupun
kaidah nahwiyah (gramatikal bahasa arab) yang berlaku. Hal tersebut
membuktikan bahwasanya yang menjadikan ia bersikap radikal dikarenakan
kuatnya ideologi yang mereka anut tanpa bisa menunjukkan dalil dan
argumentasi nalar yang logis.
Kendatipun demikian, sesungguhnya faham radikal yang ada di Kota
Semarang ternyata tidak hanya masuk dalam masyarakat perumahan saja.
86 Fenomena tersebut sebagaimana terlihat dalam diskusi antara MUI dengan FPI tentang
“Konsep Amar Ma’ruf Nahi Munkar”, yang disiarkan di TV One pada Tanggal 12 Mei 2012.
95
Akan tetapi faham-faham tersebut telah merangsek masuk kedalam institusi
pendidikan dengan doktriner-doktriner tentang “Khilafah” atau sistem tata
Negara secara Islam. Faham tersebut mengajarkan bahwa tata Negara
haruslah disusun sesuai dengan syariat Islam secara struktural penuh, baik
secara individu maupun pemerintahan. Hukum yang dijalankannya pun harus
mengacu pada hukum Islam.
Dicontohkan oleh Abdul Khalik, bahwa di SMA favorit yang telah
berstandar Nasional yang ada di Kota Semarang, ada salah satu muridnya
yang tidak mau melakukan penghormatan kepada bendera merah putih. Hal
tersebut dianggapnya bahwasanya melakukan penghormatan terhadap selain
Tuhan adalah merupakan perbuatan syirik (menyekutukan Tuhan).
Dari kejadian sebagaimana di atas dapat diketahui bahwa pola
kaderisari Islam radikal yang ada di Kota Semarang sejatinya telah menjulur
kepada anak-anak remaja yang notabene mereka adalah panji-panji penerus
bangsa. Ditegaskan kembali oleh Abdul Khalik, kalau melakukan
penghormatan kepada bendera saja telah dianggap melakukan perbuatan yang
menyimpang dari nilai-nilai ajaran Islam yang semestinya, bahkan dianggap
syirik, bisa kita lihat bukankah ketika “mereka” yang beraliran radikal
melakukan ibadah haji, mereka juga menghadap ke Ka’bah apakah itu juga
tidak merupakan hal yang sama? Tandasnya.
NU Kota Semarang sebagai organisasi kemasyarakatan, dalam
penanganan terhadap suatu masalah termasuk di dalamnya tentang
radikalisasi tidak membenarkan adanya upaya dengan jalan kekerasan. Akan
96
tetapi solusi yang di ambilnya yaitu dengan menelaah kembali terhadap
kajian suatu problematika yang ada di masyarakat dengan melakukan kajian
Bahtsul Kutub (pengkajian dan penelaahan kitab) dari berbagai aspek,
termasuk didalamnya yaitu faktor sebab turunya ayat dan kaidah kasusastraan
arab yang berlaku. Dari kajian-kajian tersebut itulah kemudian memunculkan
jalan “deradikalisasi” yang dirasanya merupakan cara yang tepat dan sesuai
dengan kultur budaya yang ada di masyarakat.
Penanganan terhadap tindakan yang dirasa menyimpang dan
bertentangan dengan falsafah Negara dirumuskan kembali dengan tuntunan
agama yang benar pula. Penulis menganalisa bahwa konsep Amar Ma’ruf dan
Nahi Mungkar yang diterapkan oleh NU adalah sangat ideal dengan keadaan
sosial masyarakat, dimana penanganan kemungkara menggunakan kekuatan
ia serahkan kepada aparat yang berwenang. Hal tersebut tentunya sesuai
dengan Hadits Rosul yang di riwayatkan oleh Imam Muslim yaitu:
@�A B�� >� �C= D=EF� �"�0 G� �� : >� $%I >� @�0= J�K@�L� M%0� B"%� : �N�O3�9�� �P Q�R��1 �S��"� �S�T�"�U�"%�1 V��� �� Q �M ��� �!��= ���
�R��W�/� �X���C�� 5���Y�� B6;�%L6�1 �N�O�39�� �M�� �R��1; B8��9�%6�1 )M%9 S��=( Artinya: “Dari Abi Sa’id Al-Khudri RA berkata: saya mendengar Rosulullah
SAW bersabda: barang siapa diantara kamu melihat kemungkaran,
maka hendaklah merubahnya menggunakan tanganya, kalau tidak
kuasa maka dengan lisanya, kalau tidak kuasa dengan lisanya
maka dengan hatinya, yang demikian itu adalah selemah-lemahnya
iman”. (HR. Muslim).87
87 Imam Muhyiddin Abi Zakariya, Riyadlussolihin; Min Kalami Sayyidil Mursalin,
(Beirut: Daarul Khoir, 1999), hlm.67
97
Berdasarkah hadits diatas, interpretasi dari tingkatan-tingkatan
kekuatan dalam upaya penegakan kebaikan dilakukan dan disesuaikan dengan
masing-masing pihak yang berhak. Oleh karena itu dalam penanganan
terhadar radikalisme agama bukan jalan kekerasan yang ditempuh, melainkan
dengan pendekatan kontra radikal (deradikalisasi).
Indikasi radikalisasi agama yang ada sebagamana disebutkan diatas,
sejatinya telah mewakili ciri-ciri atau istilah dengan apa yang dinamakan
dengan “Islam radikal” sebagaimana di ungkapkan oleh Umi Sumbulah.
Tentang hal itu ia mengungkapkan bahwasanya gejala-gejala radikalisme
yang ada dalam suatu masyarakat muncul sebagai respon yang berupa
evaluasi, penolakan atau perlawanan terhadap kondisi yang sedang
berlangsung, baik itu berupa asumsi nilai sampai dengan lembaga agama atau
negara.
Radikalisme agama yang ada sejatinya selalu berupaya mengganti
tatanan yang sudah ada dalam suatu masyarakat, dengan sebuah tatanan baru
melalui world view (pandangan dunia) mereka sendiri. Pada level yang lebih
tinggi, kuatnya keyakinan akan ideologi yang mereka tawarkan biasanya
rentan memunculkan sikap emosional yang bisa melahirkan kekerasan.
Radikalisasi agama yang ada di Kota Semarang sejatinya hanya
merupakan sekelompok kecil yang aksinya belum sampai pada taraf yang
dapat mengancam keutuhan, kesatuan dan persatuan negara. Akan tetapi
meskipun demikian, faham-faham radikal yang mulai ditanamkan di sekolah-
sekolah dengan faham khilafah tersebutlah yang patut diwaspadai, dan
98
ditangani dengan serius, karena hal demikian yang akan menjadi ancaman
yang sebenarnya apabila tidak mendapatkan solusi dan penanganan yang
lebih serius.
Pada intinya radikalisasi agama yang ada ketika dianalisa menurut
teori Martin E. Marty maka didapatkan ciri-ciri sebagai berikut:
a. Fundamentalisme.
Sebagaimana diketahui, bahwa faham fundamentalisme sejatinya
merupakan faham pemikiran yang mempunyai side-effect (dampak
negatif) yang dapat membawa pelakunya menjadi militan terhadap ajaran
yang dianutnya. Dalam hal ini faham-faham yang ada dalam masyarakat
yang sering menganggap kafir orang yang tidak seidiologi, sering merasa
golonganya yang paling benar, dan dalam menghukumi segala sesuatu
harus dikembalikan pada ajaran agama yang murni, merupakan gejala
radikalisasi agama yang ada di Kota Semarang.
b. Penolakan terhadap hermeneutika.
Hal tersebut dapat dimaknai bahwa kaum radikal cenderung
menolak terhadap suatu tafsir ayat. Mereka hanya mengkaji dan
memaknai ayat apa adanya (tekstualis), kitab suci hanya dimaknai benar
adanya tanpa mempertimbangkan rasionalitas (nalar) dan sabab nuzul
ayat. Fenomena demikianlah yang nampaknya sering terjadi dalam
masyarakat danrentan menimbulkan adanya pertikaian dalam sutu
masyarakat dikota semarang seperti dalam pemahaman hadits tentang
bid’ah.
99
c. Penolakan terhadap pluralisme dan relativisme.
Hal ini juga yang dikatakan bahwa kaum radikal pada prinsipnya
hanya memandang ajaranya saja yang benar. Dalam pemutusan suatu
hukum, mereka kurang mengabaikan kemajemukan masyarakat yang
ada, mereka enggan menilai faham kelompok lain, melainkan hanya
ajaran yang sesuai dengan apa yang mereka yakini saja yang dianggap
benar.
d. Penolakan terhadap perkembangan historis dan sosiolgis.
Perkembangan ini dinilai oleh kaum radikalis sebagai muara
ketidak sesuaian dalam keberagamaan, mereka menilai bukan Al-Qur’an
yang harus mengikuti nalar, akan tetapi akal-lah yang seharusnya tunduk
dan patuh terhadap semua nilai-nilai Al-Qur’an. Pada tahap tertentu,
ketika nilai-nilai agama sudah tidak lagi diterapkan sesuai dengan apa
yang menjadi pemikiran mereka, masyarakat sudah semakin tidak
karuan, maka muncullah penolakan-penolakan terhadap sejarah yang ada,
berbarengan dengan itu mereka tidak mau menerima Pancasila sebagai
dasar negara dengan segala sejarah dan perjuanganya, akan tetapi konsep
khilafah yang menjadi pikirnya.
Berdasarkan analisa dari teori sebagaimana disebutkan diatas, penulis
mensinyalir bahwasanya radikalisme agama yang ada merupakan suatu
bentuk upaya dari sekelompok masyarakat yang ingin menjadikan Al-Qur’an
dan Hadits sebagai basic values (nilai dasar) dari segala aspek kehidupan.
100
Dari fenomena-fenomena yang berhasil dihimpun oleh penulis dari
informan, dengan meminjam istilah Rahimi Sabirin dalam “Islam dan
Radikalsme ” dan Umi Sumbulah dalam “Konfigurasi Fundamentalisme
Islam” selanjutnya penulis dapat menginventarisir dan mendeskripsikan
radikalisme agama dalam perspektif NU Kota Semarang sebagai berikut:
a. Radikalisme agama difahami sebagai suatu ajaran dari suatu kelompok
yang selalu membenarkan dirinya sendiri, dan tidak segan-segan
menuduh kafir (takfir) terhadap golongan yang ia tidak sependapat
denganya.
b. Kaum radikalis cenderung merasa sebagai kelompok yang paling
memahami terhadap ajaran agama.
c. Kaum radikalis merupakan golongan yang kurang mengedepankan nilai-
nilai toleransi dan tidak mau menghargai tradisi, pendapat dan keyakinan
kelompok lain.
d. Pada umumnya kaum radkalis muncul dari cara memahami agama yang
tertutup dan tekstual.
e. Kaum radikalis cenderung bersifat revolusioner dan menginginkan
penerapan ajaran Islam secara total (kaffah) dan murni (puritan) dalam
setiap lini kehidupan.
f. Dalam tata Negara, konsep yang mereka usung adalah konsep Khilafah
(kepemimpinan menurut Islam) dan mereka kurang setuju tentang konsep
demokrasi.
101
g. Dalam mewujudkan ideologinya, mereka berkedok jihad sebagai
pembenaranya dan tidak segan-segan menggunakan cara kekerasan.
h. Radikaisasi agama muncul disebabkan oleh kuatnya ideologi yang
mereka anut. Stimulus yang mereka terima dari doktriner-doktriner
pemimpinya mereka jadikan pedoman yang paling utama. Hal inilah
yang nampaknya menjadikan mereka bersikap ekstrean, tertutup, tidak
mau menerima argument orang lain bahkan disisi lain cenderung
menganggap kafir orang yang berbeda ideologi dengan mereka.
Orang-orang yang beroreintasi pada ajaran agama secara radikal pada
hakikatnya mereka adalah orang-orang yang kurang bisa menghargai
terhadap nilai-nilai perjuangan para leluhur yang telah rela berkorban dan
memperjuangkan kemerdekaan. Konsep Kilafah yang mereka kedepankan,
sejatinya juga merupakan konsep yang kontra-nasionalisme.
3.6. Strategi Dakwah NU Kota Semarang dalam Upaya Deradikalisasi
Agama
NU sebagai jam’iyyah diniyah ijtima’iyyah yang berada di Kota
Semarang adalah bukan merupakan satu-satunya institusi kemasyarakatan
yang ada di Kota Semarang. Akan tetapi ia merupakan bagian dari seluruh
tatanan kehidupan dan tatanan kemasyarakatan yang ada di kota Semarang,
yang tumbuh dan berkembang bersama seluruh lapisan masyarakat Kota
Semarang. Hal tersebut berarti bahwa kedudukan NU Kota Semarang
mempunyai peran ganda baik secara internal organisasi ataupun secara
102
eksternal dalam upaya penanganan semua problematika kehidupan yang ada
di Kota Semarang.
Peran internal NU Kota Semarang yaitu, NU dituntut untuk dapat
menyelesaikan segala problematika warganya, baik dalam tataran aqidah,
syari’ah akhlak dan masalah ekonomi. Sedangkan dalam lingkup eksternal
dalam menghadapi tatanan masyarakat yang semakin komplek, NU dituntut
untuk memberikan kontribusi dan sumbangsih terhadap konsep pembangunan
keislaman masyarakat yang bercorakkan Islam ala Ahlussunnaah Wal
Jama’ah. Pemahaman keislaman yang berwawasan kebangsaan dalam
kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dibawah pemerintah
Kota Semarang.
Berdasarkan statemen sebagaimana diungkapkan di atas, menurut Drs.
KH. Abdul Khalik, M.Pd selaku sekretaris Tanfidziyah, NU Kota Semarang
didalam menjalankan strategi dakwahnya dituntut untuk mengedepankan tata
norma keorganisasian dan memperhatikan problematika sosial yang sedang
berkembang di Kota Semarang. Dalam hal ini, NU harus senantiasa
mengedepankan pendekatan-pendekatan yang selalu bisa diterima oleh semua
kalangan.
Pendekatan-pendekatan sikap sebagaimana dimaksud merupakan
nilai-nilai dasar NU kota Semarang diantaranya adalah menggunakan sikap-
sikap berikut:
a. Sikap Tawassuth dan I’tidal (moderat, adil dan tidak ekstrim)
b. Sikap Tasammuh (toleransi, lapang dada dan saling pengertian)
103
c. Sikap Tawazun (seimbang dalam pertimbangan pengambilan keputusan)
d. Amar Ma’ruf Nahi Munkar88
Dalam kehidupan bermasyarakat sikap moderat, toleran, dan
keseimbangan adalah sangat sesuai dengan kultur masyarakat yang ada. Hal
tersebut tiada lain dikarenakan, budaya yang ada pada masyarakat jawa yang
penuh dengan tata krama menuntut adanya etika dan sopan santun, sehingga
sebagaimana yang penulis amati, nilai-nilai NU-lah yang bisa diterima oleh
semua lapisan masyarakat.
Di sisi lain dalam amar ma’ruf nahi munkar, NU selalu menetapkan
dan mengedepankan prinsip-prinsip pencegahan kemungkaran terhadap
aparat yang berwenang. Dalam amar ma’ruf nahi munkar NU tidak turun
tangan sendiri. Hal tersebut sebagaimana diungkapkan oleh KH. Khadlor
Ihsan (Rois syuriyah 2006-2011), ditempuh sebagai suatu langkah untuk
menghindari adanya hal yang bisa mengakibatkan kekacauan.89
Upaya-upaya yang dilakukan oleh NU Kota Semarang, baik secara
eksplisit ataupun emplisit sebagaimana disebutkan di atas, yang nampaknya
merupakan faktor yang menjadikan NU diterima oleh seluruh lapisan
masyarakat. Adapun strategi dakwah yang diterapkan oleh NU Kota
Semarang dalam upaya deradikalisasi agama dapat didiskripsikan
sebagaimana berikut.
Sebagaimana difahami, bahwasanya strategi merupakan suatu
kerangka atau rencana yang disusun untuk mencapai suatu tujuan (goals),
88 Wawancara yang ke-2, dengan Bapak KH. Abdul Khalik, M.Pd Tanggal 07 Mei 2012 89 Wawancara Tanggal 27 April 2012
104
dengan mengintegrasikan antara kebijakan-kebijakan (policies) dan tindakan
atau program organisasi. Berdasarkan pada argumentasi teoritis tersebut di
atas, maka yang menjadi strategi dakwah NU Kota Semarang dalam upaya
deradikalisasi agama sebagaimana diperoleh peneliti dari informan adalah
sebagai berikut:
1. Strategi antisipatif atau preventif
Strategi antisipatif atau prefentif merupakan strategi
penanggulangan atau antisipasi dini, agar faham dalam beragama yang
bisa berimplikasi kepada aksi radikal dapat diatasi. Dalam hal ini,
deradikalisasi agama dalam artian meluruskan pemahaman terhadap agama
merupakan suatu keniscayaan bagi NU Kota Semarang. Adapun wujud
strategi antisipatif oleh NU Kota Semarang yaitu seperti penanaman ajaran
akidah, syari’ah dan akhlak di sekolah-sekolah ma’arif dan di pondok
pesantren.90
Dalam merealisasikan programnya, NU Kota Semarang malakukan
upaya diantaranya meningkatkan pemahaman Ahlussunnah Wal Jama’ah
(ASWAJA) kepada masyarakat melalui diklat aswaja, seminar dan
bekerjasama dengan aparat pemerintahan yang dalam hal ini yaitu
Kesbanglinmas tentang pemberian wawasan kebagsaan.
Tindak pencegahan dan pemberian wawasan kebangsaan yang
sampai saat ini dilaksanakan oleh Kesbanglinmas tersebut sejatinya
merupakan upaya preventif penaganan tindak radikal dengan pemberian
90 Wawancara dengan Bapak KH. Syamhudi, M.Pd, Kepala Ma’arif NU Kota Semarang
2006-2011, pada Tanggal 27 April 2012.
105
dan pengkajian wawasan kebangsaan. Keberhasilan kegiatan tersebut
bermula yaitu dari pengurus NU Kota Semarang yang menjalin kerjasama
dengan TNI/POLRI dan Kesbanglinmas pada tahun 2008.
Adanya komunikasi untuk saling bekerja sama dalam menangani
tindak radikal yang ada seperti realisasi yang telah dilakukan oleh NU
dapat kita fahami bahwasanya kiprah NU dalam upaya merealisasikan
strategi deradikalisasinya merupakan wujud konsistensi diri NU terhadap
komitmen dan loyalitas terhadap keutuhan Negara.
2. Strategi dakwah bil mujadalah hiya ahsan
Sebagaimana diungkapkan oleh Drs. H. Abdul Khalik, M.Pd,
strategi dakwah bil mujadalah dimaksudkan yaitu untuk mengatasi
problematika yang ada di masyarakat.91
Strategi tersebut ditempuh oleh
NU Kota Semarang sebagai upaya penanganan terhadap pemahaman-
pemahaman radikalisme terhadap agama yang sudah masuk dalam
masyarakat. Adapun wujud strategi tersebut sebagaimana kasuistik yang
ada di Kecamatan Tugu Semarang yaitu dengan mengajak berdialog
dengan pihak yang bersangkutan.
Strategi mujadalah yang diterapkan oleh NU kota Semarang
sejatinya bila dianalisa dalah sangat sesuai dengan metode dakwah yang
sebagaimana terdapat dalam Al-Qur’an adalah:
91 Wawancara Tanggal 03 Mei 2012
106
$yϑÎ6 sù 7π yϑômu‘ z ÏiΒ «!$# |MΖÏ9 öΝ ßγ s9 ( öθs9 uρ |MΨ ä. $à sù xá‹ Î=xî É=ù=s) ø9 $# (#θ‘Òx�Ρ]ω ô ÏΒ
y7 Ï9 öθym ( ß#ôã $$sù öΝ åκ ÷] tã ö�Ï� øótGó™ $# uρ öΝ çλm; öΝ èδö‘ Íρ$x© uρ ’Îû Í4 ö∆F{ $# ( # sŒ Î* sù |M øΒz• tã ö≅ ©. uθtG sù
’ n?tã «!$# 4 ¨βÎ) ©!$# /= Ït ä† t, Î#Ïj. uθtGßϑø9 $#
Artinya: Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah
lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi
berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. karena itu ma'afkanlah mereka, mohonkanlah
ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka
dalam urusan itu kemudian apabila kamu telah membulatkan
tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya. (QS. Ali
Imron: 159)
Ayat di atas yaitu mengajarkan seorang yang ingin memberikan
pemahaman terhadap agama, hendaknya ia bersikap halus dan lemah
lembut tidak menggunakan cara-cara yang keras dan kasar. Ketika terjadi
perbedaan pandangan terhadap suatu permasalahan, maka kita harus
memaafannya dan mengajak mereka berdialog (bermusyawarah). Hal
tersebut dimaksudkan agar mereka (mad’u) tidak lari dari kita dan agar
mereka dapat mengerti hakikat yang sesungguhnya tentang pemahaman
terhadap Islam.
3. Strategi pemahaman agama secara kontekstual
NU Kota Semarang merupakan sebuah institusi keagamaan yang
dikenal dengan ajaranya yang moderat dan kontekstual. Dalam hal ini,
sikap kontekstual didalam memahami hukum agama yang dimiliki oleh
NU Kota Semarang sebagaimana diungkapkan oleh Drs. KH. Khadlor
107
Ikhsan dipandang sebagai suatu strategi yang bisa diterima oleh seluruh
elemen masyarakat.92
Hal tersebut dikarenakan pemahaman agama dengan
memperhatikan sosio-kulturan dan sabab nuzul ayat pasti tidak akan
menetapkan suatu hukum semena-mena. Upaya memahami ayat secara
kontekstual telah diterapkan oleh NU melalui tradisi pesantren-pesantren
yang dkenal dengan kitab Alat-nya (Nahwu dan Shorof).
4. Strategi toleransi dan menghargai nilai budaya
NU yang terkenal dengan ajaran tasammuh (toleransi) dan
penghargaan terhadap nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat,
menjadi strategi jitu dalam mengatasi masalah radikalisasi agama dalam
masyarakat. Dalam hal ini NU Kota Semarang selalu mengedepankan
prinsip “al Mukhafadotu ‘Ala al Qodim Al Salih Wa Al Akhdzu bi Al Jadidi
al Aslah”, yaitu prinsip menjaga atau mempertahankan tradisi/pola lama
yang masih layak dan mengambil pola baru yang lebih baik dalam suatu
tatanan masyarakat. Corak NU yang selalu bisa beradaptasi dengan kultur
budaya masyarakat secara otomatis menjadi poin tersendiri bagi NU.93
Dalam hal ini penulis menganalisa bahwa konsep tasammuh dan
tawazun yang diusung oleh NU merupakan bentuk ajaran toleransi yang
menghargai nilai-nilai budaya yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini
NU Kota Semarang adalah senantiasa menanamkan ajaran aqidah dan
92 Wawacara pada Tanggal 27 April 2012 93 Statemen sebagai mana dimaksud yaitu terdapat dalam penjelasan wawancara dengan
Drs. Kabul Supriydi, SH, M.Hum sebagai ketua Tnfidziyah NU Kota Semarang pada tanggal 04
Mei 2012.
108
ideologi Ahlussunnah Wal Jama’ah. Oleh karena itu, sebagaimana yang
kitafahami ajaran Aswaja yang mengedepankan toleransi terhadap
golongan Islam yang mempunyai perbedaan pandangan lain merpakan
solusi penanganan tanpa harus menggunakan jalan kekerasan.
Dalam hubungannya dengan pluralitas agama Islam, NU
menentukan prinsip untuk saling menghormati dan saling mengakui
eksistensi agama masing-masing. Oleh karena itu, NU secara jelas
menegaskan tidak adanya prinsip paksaan dalam beragama, seperti
ditegaskan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 256, menerangkan :
Iω oν# t�ø. Î) ’Îû ÈÏe$!$# ( ‰s% tt6 ¨? ߉ô© ”�9 $# z ÏΒ Äcxöø9 $# 4 yϑsù ö�à� õ3tƒ ÏNθäó≈ ©Ü9 $$Î/ -∅ÏΒ÷σ ムuρ
«!$$Î/ ωs) sù y7 |¡ôϑtGó™ $# Íο uρó ãèø9 $$Î/ 4’ s+ øOâθø9 $# Ÿω tΠ$|ÁÏ�Ρ$# $oλm; 3 ª!$# uρ ìì‹ Ïÿxœ îΛÎ=tæ
Artinya : “Tidak ada paksaan dalam agama, sesungguhnya telah jelas
jalan yang benar dengan jalan yang salah, dan siapa yang
tidak percaya kepada thoghut (berhala atau syithan) dan
percaya kepada Allah. Sesungguhnya Dia telah berpegang
pada tali yang teguh dan tidak akan putus, dan Tuhan itu
mendengar dan mengetahui”. (QS. Al-Baqoroh:256)94
Dari strategi yang diterapkan oleh NU Kota Semarang, peneliti
menganalisa bahwasanya strategi-strategi sebagaimana dimaksud adalah
strategi kultural yang ada dimasyarakat. Dalam hal ini peneliti dengan
megadopsi konsep pribumisasi Islam seperti yang digagas oleh KH. Abdur
Rahman Wahid adalah sangat sesuai dengan strategi yang diterapkan oleh
94 Fathul Bahri, Meniti Jalan Dakwah;Bekal Perjuangan Para Da’I, (Jakarta: Amzah,
2008), hlm.13
109
NU Kota Semarang dalam upaya deradikalisasi agama. Meskipun strategi
yang diterapkan tidak sama persis akan tetapi setidaknya terdapat beberapa
poin yang sama. Hal tersebut dapat terlihat pada hal-hal sebagai berikut:
a. Kontekstual
Pemahaman terhadap suatu ajaran agama secara kontekstual
merupakan upaya yang sering dilakukan oleh NU Kota Semarang yang
dalam hal ini yaitu memalui metode pengkajian tafsir dan tata
gramatikal arab seperti yang digalakkan melalui pesantren-pesantren
yang berada dibawah naunganya. Pemahaman yang kontekstual
sejatinya dapat diposisikan agama menjadi suatu ajaran yang shahih li
kulli zaman wal makan (relevan dengan perkembangan zaman dan
tempat).
b. Toleran
Penulis menganalisa sikap toleran yang diterapkan oleh NU
Kota Semarang yaitu tercermin dari ajaran tasammuh-nya. Yang
senantiasa menghargai dan tetap melestarikan budaya lama yang
dipandang masih baik. Hal tersebut tiada lain yaitu prinsip “Al
Mukhafadzotu ‘Alal Qodimissolih Wal Akhdzu Bil jadidil Aslah”.
c. Menghargai tradisi
Dalam hal ini dapat kita lihat sebagaimana ajaran NU yang
senantiasa menjaga dan melestarikan tradisi lama yan masih baik (Al
Mukhafadzotu ‘Ala Al Qodimissolih Wa Al Akhdzu Bi Al Jadidi Al
110
Aslah). Yaitu prinsip melestarikan budaya lama yang masih baik, dan
mencarikan metode lebih baik yang sesuai dengan keadaan masyarakat.
3.7. Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi Strategi NU Kota
Semarang dalam Upaya Deradikalisasi Agama
Sudah menjadi suatu keniscayaan bahwa setiap organisasi dalam
menjalankan roda organisasi dan menerapkan kebijakan-kebijakan yang telah
dirumuskan pastilah tidak selalu sesuai dengan apa yang diharapkan. Disisi
lain pasti selalu ada halang rintang dan badai yang menerpanya. Hal demikian
pula yang nampaknya juga terdapat pada organisasi NU Kota Semarang.
Adapun faktor-faktor tersebut sesuai data yang diperoleh dilapangan
antara lain sebagai berikut:
a. Faktor Pendukng
1. NU Kota Semarang pada umumnya memiliki para tokoh Kyai yang
kharismatik dimata masyarakat. Hal tersebut tentunya mendukung
strategi dakwah NU, dikarenakan biasanya masyarakat akan cenderung
menganut sosok Kyai sebagai panutan hidup.
2. NU Kota Semarang memiliki struktural kepengurusan mulai dari
tingkat cabang, hingga ranting. Hal tersebut dapat dijadikan sebagai alat
unuk menetapkan strategi sampai ke tataran masyarakat bawah.
3. NU Kota Semarang memiliki gedung yang dapat dijadikan sebai tempat
kesekretriatan untuk menyusun program-programnya.
4. NU Kota Semarang menerapkan nilai-nilai moderat yang dapat diterima
oleh semua lapisan masyarakat, disamping itu juga selalu memelihara
111
tradisi yang baik (Al Mukhafadzotu ‘Alal Qodim Al Solih Wa Al-akhdzu
Bi Al-Jadidil Aslh), sehingga tidak bertentangan dengan nilai-nilai
budaya yang ada di masyarakat.
b. Faktor Penghambat
1. Dalam masalah komunikasi, koordinasi dan konsolidasi antara pengurus
Cabang, MWC dan Ranting masih lemah.
2. Dalam tataran manajerial, pada umumnya pengurus NU masih lemah.
3. Banyaknya pengurus NU yang merangkap jabatan (double job),
sehingga kurang bisa fokus dalam melaksanakan amanat dan tugas yang
diemban.
4. Dalam masalah kaderisasi, biasanya senior kurang bisa mewariskan
budaya organisasi yang telah dikuasainya untuk diajarkan kepada
juniornya.
5. Pada umumnya masyarakat (pengurus, tokoh dan warga) NU sendiri
kurang memiliki disiplin yang tinggi terhadap peraturan organisasi.
6. Pada umumnya para tokoh atau Kyai memiliki sifat ananiyah
(egoisme). Hal tersebut akan berimbas ketika terjadi perbedaan
pandangan maka hanya pendapatnya sendiri saja yang ia anggap benar.
7. Dalam penggalian dana yaitu antara I’anah syahriyah (dana bulanan)
dan I’anah tsanawiyah (dana tahunan), belum bisa berjalan.
Dari data yang diperoleh peneliti sebagaimana diatas, selanjutnya
peneliti mencoba menganalisa terhadap faktor pendukung dan pengambat
112
implementasi strategi yang kemudian disajikan sebagaimana tabel SWOT
berikut:
Tabel No.06 (Faktor Pendukung dan Penghambat Implementasi
Strategi Dakwah NU)
No Aspek
Internal Eksternal
Kekuatan
(Strengh)
Kelemahan
(Weaknesse)
Peluang
(Opportunities)
Ancaman
(Threats)
1
Kel
embag
aan d
an S
osi
al
- Memiliki
structural dari
cabang
hingga
ranting
- Memilki
banyak majlis
ta’lim diniyah
- Memiliki
banyak
pondok-
pesantren dan
sekolah yang
berbasis NU
- Komunik
asi,
koordinas
i dan
konsolida
si antara
pengurus
Cabang,
MWC
dan
Ranting
masih
lemah
- Manajeril
,pengurus
NU masih
lemah
- Banyakny
a
pengurus
NU yang
merangka
p jabatan
- Kota
Semarang
merupakan
kota industri
dan jasa
- Mayoritas
masyarakat
adalah
pengikut dan
pengamal
ajaran
Ahlussunnah
Wal Jama’ah
• Terdapat
paham
Wahabiyah
dalam
masyarakat
• Kemajuan
zaman telah
memunculka
n faham
Materialistic
, dan
Hedonistic
113
2
SD
M d
an S
DA
- Memiliki
para tokoh
Kyai yang
kharismatik
dimata
masyarakat
• Memiliki
gedung
sebagai pusat
penyusunan
agenda dan
kegiatan
• Kurang
memiliki
disiplin
yang
tinggi
terhadap
peraturan
organisasi
• Kyai
memiliki
sifat
ananiyah
(egoisme)
.
• Memiliki
kader-kader
yang
menjabat
posisi
strategis
dalam
pemerintahan
• Sumberdaya
yang
semakin
maju
memungkink
an adanya
kriminalitas
yang dapat
menganggu
kader-kader
NU
Dari tabulasi analisa data di atas, dapat diketahui bahwasanya setiap
organisasi termasuk di dalamnya NU, pasti dipengaruhi oleh beberapa faktor
dalam menjalankan programnya. Faktor yang mempengaruhi tersebut bisa
berasal dari lingkungan internal ataupun eksternal yang pada umumnya
meliputi kondisi, situasi, keadaan, peristiwa dan pengaruh-pengaruh yang
berada disekitar organisasi dan memberikan pengaruh terhadap
perkembangan organisasi.
Dari tabulasi analisa di atas, maka faktor penghambat dan pendukung
strategi NU Kota Semarang dapat didiskripsikan sebagai berikut:
1). Analisa Kekuatan – Kelamehan (S-W)
Bila kita analisa dari tabel diatas, sebenarnya NU Kota Semarang
memiliki kekuatan yang sangat strategis seperti para tokoh Kyai yang
kharismatik dimata masyarakat. Kekuatan disini terletak pada kebiasaan
masyarakat yang cenderung menganut sosok Kyai sebagai panutan hidup.
114
Akan tetapi dalam sisi lain seperti dalam tabel kelemahan, Kyai yang
biasanya memiliki sifat egois akan cenderung membenarkan
pemahamanya sendiri sehingga dinamika organisasi NU dapat terhambat.
Disisi lain NU Kota Semarang yang memiliki struktural
kepengurusan mulai dari tingkat cabang, hingga ranting akan
memudahkan dalam sosialisasi dalam menjalankan programnya. Akan
tetapi banyaknya Double Job oleh masing-masing pengurus dan
komunikasi antar lembaga dan fasilitas perkantoran yang tidak
dimanfaatkan secara optimal akan dapat menghambat kinerja NU itu
sendiri, oleh karena itu yang perlu diantisipasi yaitu bekerja secara
profesinal dan proporsional.
2). Analisa Peluang – Ancaman (O-T)
NU Kota Semarng yang memiliki kader-kader yang menjabat pada
posisi strategis dalam pemerintahan seperti Kemenag dan KUA tentunya
dapat dijadikan sebagai peluang untuk kemaslahatan NU baik dari segi
finansial ataupun aspek lain. Akan tetapi seiring dengan kemajuan zaman
telah memunculkan faham Materialistic, dan Hedonistic, apabila tidak
diwaspadai dengan seksama dapat menyeret kader-kader NU menuju
politik praktis yang tentunya berbahaya karena bertentangan dengan
Khittoh NU itu sendiri.
Dari segi lain Semarang yang merupakan kota yang berbasis
perdagangan dan jasa dengan warganya yang banyak disana dapat
115
dijadikan sebagai peluang untuk menghimpun dana bagi NU itu sendiri.
Selain itu heterogenitas warga Semarang yang mayoritas berfaham
Ahlussunnah Wal Jama’ah semakin memudahkan NU Kota Semarang
dalam memberikan pemahaman terhadap ajaran Aswajanya. Akan tetapi
ketika kita lakukan analisis dari segi ancaman perkembangan tekhnologi
yang semakin maju memungkinkan menggunakan kemajuan tersebut
sebagai sarana kejahatan seperti Cyber Sex, disisi lain faham Wahabi
yang semakin menjamur juga dapat mengrongrong terhadap ideologi
kader-kader NU. Oleh karena itu sikap antisipatif dan tindak preventif
harus senantiasa dilakukan, juga pengontrolan kader-kader harus terus
ditingkatkan agar ancaman yang mungkin mncul dapat diatasi.
Pada akhirnya kekuatan, peluang, hambatan dan tantangan yang ada
pada NU Kota Semarang sejatinya merupakan keadaan nyata, yang harus
dihadapi dalam menata dan memperjuangkan ideologi NU yang berlandaskan
Islam ala Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam rangka menangani radikaisasi
agama yang ada. Oleh karena itu faktor-faktor baik itu yang bersifat positif
atau negatif haruslah dapat dicermati sehingga dari faktor-faktor yang ada
dapat dirumuskan menjadi sesuatu yang bisa diharapkan, sesuai dengan visi
missi dan tujuan NU Kota Semarang.
116
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Islam sejatinya merupakan agama yang “Rohmatan Lil Alamin”. Ia
senantiasa menjadi pembawa damai bagi manusia dan alam semesta yang ada
di muka bumi ini. Akan tetapi apa jadinya apabila kehadiran Islam malah
menjadikan momok yang menakutkan. Hal tersebut dikarenakan ada oknum
yang berdalih memperjuangkan Islam, akan tetapi hanya dengan cara yang
mereka benarkan tanpa memperdulikan aspek kemanusiaan dan lainya.
Sesuai hasil penelitian tentang strategi dakwah NU Kota Semarang
dalam upaya deradikalisasi agama sebagaimana data yang diperoleh peneliti
di lapangan, maka dalam rangka menjawab permasalahan yang ada, peneliti
dapat menyimpulkan sebagai berikut:
1. Radikalisme agama merupakan suatu faham dari suatu kelompok yang
selalu membenarkan dirinya sendiri. Ia merasa sebagai kelompok yang
paling memahami terhadap ajaran agama dan tidak segan-segan menuduh
kafir (takfir) terhadap golongan yang tidak sependapat dengannya. Dalam
konsep dakwahnya, ia kurang mengedepankan nilai-nilai toleransi dan
tidak mau menghargai tradisi, pendapat dan keyakinan kelompok lain.
Hal tersebut muncul dikarenakan cara pendang mereka terhadap agama
hanya dari segi tekstual saja. Kaum radikalis cenderung bersifat
revolusioner, ia menginginkan penerapan ajaran Islam secara murni baik
117
dari tatanan sosial sampai ke tatanan pemerintahan dengan konsep
khilafahnya. Langkah tersebut mereka tempuh dengan berbagai macam
cara termasuk dengan kekerasan.
2. Dalam mengatasi masalah radikalisasi agama, NU Kota Semarang
senantiasa mengedepankan strategi kontra radikal. Strategi tersebut di
ejawantahkan tidak hanya dalam tataran struktural saja, akan tetapi
secara keseluruhan, melalui semua kultur warganya. Diantara strategi
yang digunakan yaitu dengan cara pencegahan. Strategi pencegahan yaitu
dengan cara menanamkan nilai-nilai aswaja sejak dini kepada generasi
muda. Dalam masyarakat yang sangat plural ini, dalam dakwahnya NU
selalu mengedepankan toleransi, menghargai terhadap tata nilai dan
budaya yang telah ada. Melalui keteladanan dan karismatik para kyai,
NU selalu memberikan contoh yang baik terhadap para warganya.
Mereka menetapkan pola kajian dakwah secara tekstual dan
menggunakan prinsip dialog (mujadalah billati hiya akhsan) di dalam
merespon adanya radikalisme dalam masyarakat.
3. Dalam merealisasikan programnya, NU Kota Semarang ternyata tidak
selalalu berjalan sesuai dengan apa yang di harapkan. Akan terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhinya. Adapu faktor tersebut meliputi:
a. Faktor pendukung
Dalam hal ini, NU memiliki tokoh Kyai-kyai yang kharismatik di
mata masyarakat. Hal tersebut tentunya dapat menjadi pendukung
program yang di canangkan oleh NU itu sendiri. Di sisi lain,
118
struktural NU mulai dari tingkat cabang hingga tingkat ranting dapat
memudahkan NU di dalam mensosialisasikan programnya. Dalam
bidang dakwah, NU mempunyai majlis ta’lim diniyah, pondok-
pesantren dan sekolah yang berbasis NU. Hal tersebut tentunya juga
memudahkan NU dalam merealisasikan programnya.
b. Faktor penghambat
Diantara penghambat strategi NU yaitu seperti lemahnya
komunikasi, koordinasi dan konsolidasi antara pengurus. Baik itu di
tingkat Cabang, MWC dan Ranting. Dari segi manajerial NU masih
lemah, sehingga terkesan organisasi berjalan apa adanya. Di sisi lain
banyaknya pengurus NU yang merangkap jabatan (double job),
disiplin pengurus yang masih lemah dan sifat ananiyah (egoisme)
yang di miliki oleh para pemimpin yang dalam hal ini yaitu kyai
dapat mengakibatkan kinerja NU tidak bisa maksimal. Hal tersebut
dikarenakan mereka biasanya selalu mempertahankan argumentasi
masing-masing, sehingga kepentingan organisasi di nomor duakan.
5.2. Saran-saran
Setelah melakukan penelitian dan pengkajian sebagaimana mestinya,
penulis menganggap ada beberapa hal yang menjadi catatan guna di adakan
perbaikan. Hal-hal tersebut menyangkut NU Kota Semarang, masyarakat
pada umumnya maupun permasalahan-permasalahan yang berkenaan dengan
radikalisasi agama. Dengan melakukan kajian dan pemahaman yang
mendalam, maka dengan ini penulis memberi saran-saran sebagai berikut :
119
a. Sesuai dengan visi NU Kota Semarnag yaitu sebagai sebuah orgnisasi
sosial keagamaan yang menjadi wadah tatanan masyarakat yang sejahtera,
berkeadilan dan demokratis atas dasar Islam ahlussunnah wal jamaah, NU
Kota Semarang harus selalu meningkatkan komunikasi, koordinasi dan
konsolidasi antara pengurus. Dalam masalah manajerial hendaknya
dikelola secara baik dan profesional. Adanya dobel jabatan dan sifat
egoisme individu harus di hilangkan. Hal-hal tersebut di atas dimaksudkan
agar apa yang menjadi visi dan misi NU dapat tercapai, serta kehadiran
NU di tengah-tengah masyarakat benar-benar menjadi organisasi yang
mengayomi dan memberikan solusi bagi lingkungan sekitar.
b. Radikalisme agama yang ada sejatinya merupakan ajaran yang amat lekat
dengan masyarakat. Ia bisa menghinggap pada siapapun tidak terkecuali
pada orang-orang yang pintar. Oleh karena itu, pemahaman terhadap
agama hendaknya harus di barengi dengan konteks sosial yang ada. Jangan
mencoba memaknai dan menafsirkan suatu hukum syara’ apabila kita
tidak mempunyai kapabilitas tentangnya. Maka dari itu “Fas ‘Aluu Ahla
Ad-dzikri Inkuntum La Ta’lamun”, bertanyalah pada seorang yang ahli di
bidangnya apabila kita tidak mengetahui.
Pada akhirnya penulis senantiasa memanjatkan rasa syukur yang
terdalam kepada Allah SWT, dengan ucapan “Alhamdulillahi Robbil
‘Alamin” atas limpahan rahmat dan hidayah yang diberikan-Nya, sehingga
penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tidak lupa penulis mengucapkan
banyak terimakasih kepada berbagai pihak, terutama kepada pembimbing
120
yang dengan penuh keikhlasan dan ketulusan hati telah membantu dalam
menyelesaikan skripsi ini.
Dengan kebesaran hati, penulis menyadari keterbatasan dan
kemampuan yang dimiliki. Oleh karena itu, saran dan kritik yang bersifat
membangun dari berbagai pihak sangat penulis harapkan demi tercapainya
perbaikan dan kesempurnan. Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini
dapat memberikan manfa’at dan barokah bagi diri penulis pada khususnya
dan bagi para pembaca pada umumnya. Amin
DAFTAR PUSTAKA
A. Buku
Abdalla, Ulil Abshar. 2007. Menyegarkan Kembali Pemikiran Islam; Bunga
Rampai Surat-surat Tersiar. Jakarta: Nalar.
Abi Zakariya, Imam Muhyiddin. 1999. Riyadlussolihin; Min Kalami Sayyidil
Mursalin. Beirut: Daarul Khoir.
Amirsyah, Dr. 2012. Meluruskan Salah Faham Terhadap Deradikalisasi;
Pemikiran, Konsep, dan Strategi Pelaksanaan. Jakarta: Grafindo Hazanah
Ilmu.
Ahmad, Baso. 2006. NU Studies; Pergolakan Pemikiran antara
fundamentalisme Islam dan Fundamentalisme Neo-Liberal. Jakarta:
Penerbit Erlangga.
Anas, Ahmad. 2006. Paradigma Dakwah Kontemporer ; Aplikasi Teoritis dan
Praktis Dakwah sebagai Solusi Problematika Kekinian. Semarang:
Pustaka Rizki Putra.
A. Partant, Pius, Dahlan M. 2001. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arloka.
Azwar, Saifudin. 2007. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Az-Zuhaili, Wahbah. 1991. Al-Tafsiiru Al-Muniiru; fi Al-Aqiidah, wa As-
Syari’ah wa Al-Manhaj. Beirut: Darul Fikri.
Bahri, Fathul. 2008. Meniti Jalan Dakwah; Bekal Perjungan Para Da’I. Jakarta:
Sinar Grafika.
B. Taneko, Soleman. 1993. Struktur dan Proses Sosial, Suatu Peengantar
Sosiologi Pembangunan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Bawany, A’isyah. 1994. Mengenal Islam Selayang pandang, Terj. Machnun
Husein. Jakarta: Bumi Aksara.
F. Odea, Thomas. 1996. Sosiologi Agama, Suatu Pengantar Awal. Yogyakarta:
PT Raja Grafindo Persada.
Hadrawi, Nawawi. 1999. Metodologi Penelitian Bidang Sosial. Semarang:
Gajah Mada University.
Hidayatulah, Syarif. 2010. Islam Isme-isme; Aliran dan Paham Islam di
Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ida, Laode. 2004. Kaum Progresif dan Sekularis Baru. Jakarta: Penerbit
Erlangga.
J Moleong, Lexi. 2006. Metodelogi penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja
Rosdakarya.
Khamami, Zada. 2002. Islam Radikal; Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis
Keras di Indonesia. Jakarta: Teraju.
Malayu, Hasibuan. 2001. Manajemen Dasar, Pengertian dan Masalah,. Jakarta:
Bumi Aksara.
Margono. 2000. Metodologi Penelitian Pendidikan. Jakarta: Rieneka Cipta.
Miftahuddin M. 2001. Perencanaan Strategis Sebagai Organisasi Sosial.
Terjemah :Jhon M Bryson, Strategik Planning For Public And Nonprofit
Organizations; A Guide Strengthering An Sustaining Organizational
Achievent. Cet. IV. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Munir, M. Ilaihi, Wahyu. 2006. Manajemen Dakwah. Jakarta: Kencana.
Natsir, Mohammad. 2000. Fiqhud Da’wah. Jakarta: Media Da’wah.
Nawawi, Hadari. 2005. Manajemen Strategik; Organisasi Non Profit Bidang
Pemerintahan dengan Ilustrasi di Bidang Pendidikan. Yogyakarta:
Gajahmada University Press.
Pribadi, Abdurrahman Dkk. 2009. Membongkar Jaringan Terorisme. Jakarta:
Abdika Press.
Prasetyo, Eko Dkk. 2004. Memahami Wajah Para Pembela Tuhan. Yogyakarta:
Interfidie.
Pimay, Awaludin. 2005. Paradigma Dakwah Humanis Strategi dan Metode Prof.
K.H. Saefudin Zuhri. Semarang: Rasail.
2006. Metodologi Dakwah; Kajian Teoritis dari Khazanah
Al-Qur’an. Semarang: Rasail.
P. Siagian, Sondang. 1994. Analisis serta Perumusan Kebijaksanaan dan
Struktur Organisasi. Jakarta: CV. Haji Masagung.
Pendidikan Nasional, Departemen. 2002. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Ketiga.Jakarta:Balai Pustaka.
Syabibi, M. Ridlo. 2008. Metodologi Ilmu Dakwah; Kajian Ontologis Dakwah
Ikhwan Al-Safa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Rubaidi, A. 2010. Radikalisme Islam, Nahdlatul Ulama; Masa Depan
Moderatisme Islam di Indonesia. Jatim: PWNU Jawa Timur.
Sabirin, Rahimi. 2004. Islam dan Radikalisme. Jakarta: Athoyiba.
Shihab, M. Quraisy. 2002. Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-
Qur’an. Jakarta: Lentera Hati.
Sanwar, Aminuddin. 1986. Pengantar Ilmu Dakwah. Semarang: Fakultas
Dakwah.
Shihab, Alwi. 2004. Membedah Islam di Barat; Menepis Tudingan Meluruskan
Kesalahpahaman. Yogyakarta : Andi Offset.
Simuh. 1998. Islam dan Pergumulan Budaya Jawa. Bandung: Mizan.
Sulthon, Muhammad. 2003. Desain Ilmu Dakwah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Syam, Nur. 2001. Radikalisme dan Masa Depan Agama;Rekontruksi Tafsir
Sosial Agama, dalam M.Ridwan Nasir. Surabaya: IAIN Press.
Sumbulah, Umi. 2009. Konfigurasi Fundamentalisme Islam. Malang: UIN
Malang Press
. 2010. Islam Radikal dan Plularisme Agama: Studi Kontruksi
Sosial Aktivis Hizb al-Tahrir dan Majelis Mujahidin di Malang tentang
Agama Kristen dan Yahudi. Jakarta: BALITBANG RI
Sumardi, Suryabrata. 1992. Metodologi Penelitian. Jakarta:Rajawali Pers.
Sutrisno, Hadi. 1991. Metodologi Research jilid II. Yogyakarta: Andi Ofset.
Sudarto. 1997. Metode Penelitian Filsafat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Sugiyono. 2009. Memahami Penelitian Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Syu’aibi, Ali. 2004. Meluruskan Radikalisme Islam. Ciputat: Pustaka Azhary
Turmudzi, Endang Dkk (ed). 2005. Islam dan Radikalisme di Indonesia. Jakarta:
Lipi Press.
B. Suber lain
http://www.eramuslim.com/berita/analisa/latar-belakang-munculnya-strategi-
deradikalisasi.htm
http://budisansblog.blogspot.com/2011/11/deradikalisasi-berbasis-
pesantren.html
http://wartapedia.com/nasional/hukum-dan-kriminal/4334-radikalisme-10-jaksa-
siapkansusunan-dakwaan-tersangka-nii.html
http://wartapedia.com/nasional/hukum-dan-kriminal/4334-radikalisme-10-jaksa-
siapkan-susunan-dakwaan-tersangka-nii.html
http://wartapedia.com/nasional/hukum-dan-kriminal/4334-radikalisme-10-jaksa-
siapkan-susunan-dakwaan-tersangka-nii.html
Rizky, Ahmad 2010. dalam: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Volume 14,
Yogyakarta: FISIP UGM
Sidqi, Ahmad dalam “Deradikalisasi Melalui Pesantren” diakses dari
http://budisansblog.blogspot.com/2011/11/deradikalisasi-berbasis-
pesantren.html
DAFTAR KOSA KATA
Adopsi : Mengutip (buah pikiran)
Aktualisasi : Pelaksanaan, perwujudan
Apresiasi : Penilaian, penghargaan
Aplikasi : Penerapan
Anarkis : Tindakan sewenang-wenang, melawanundang-undang
Asumsi : Praduga, anggapan sementara
Bid’ah : Perkara baru, penyimpangan paham terhadap aturan syara’
Cultural : Budaya masyarakat
Destruktif : Bersifat merusak, pekerjaan yang merusak
Depolitisasi : Penghapusan kegiatan politik
Depopulasi : Pengurangggan penduduk
Ekspresi : Ungkapan, pernyataan
Eksklusif : Bersifat tertutup, terpisah dengan yang lain
Ekstrem : Perbedaan yang besar, keras, fanatik
Entitas : Wujud sesuatu, yang nyata
Etimologis : Secara istilah
Efektivitas : Ketepatan
Efisiensi : Kecermatan, kerapian
Eksistensi : Keberadaan
Estafet : Bersambung, berantai
Esensi : Pokok, intisari
Fanatik : Kolot, terlampau kuat memegang keyakinan lama
Fundamentalisme : Faham kepanutan, teguh pada pokok ajaran kepercayaan
Fragmen : Nukilan, bagian dari pengalaman manusia
Gap : Kesenjangan, ganjalan
Harmonisasi : Selaras, serasi
Hermeneutika : Kajian secara kontekstual, tafsir
Hegemoni : Keunggulan suatu Negara, politik
ii
Humanis : Kemanusiaan, rasa perikemanusaaan
Include : Tergolong, masuk ke dalam
Implementasi : Penerapan, pelaksanaan
Interaksi : Hubungan timbal balik
Interdependensi : Rasa Bergantungan satu dengan yang lain
Identifikasi : Pengenalan, pembuktian sama
Interpretasi : Penafsiran, perkiraan
Intoleran : Sikap menolak pendapat orang lain, tidak toleran
Intervensi : Campur tangan
Ideology : Asas haluan, pandangan hidup dunia
Inhern : Menyatu, berhubungan erat
Jizyah : Pajak, upeti
Jumud : Kaku, kolot
Justifikasi : Pengadilan, penghukuman terhadap sesuatu
Kaffah : Keseluruhan, total
Kafir dzimmi : Orang kafir yang terjaga darahnya (tidak boleh diperangi)
Kafir harbi : Orang kafir yang halal darahnya (boleh diperangi)
Khalifah : Khalifah, pemimpinan dalam Islam
Khawarij : Golongan yang keluar dari Ali dan Muawiyah
Kolektif : Terpadu, secara bersama-sama
Konvensional : Secara adat kebiasaan, secara kesepakatan
Kompleksitas : Kemajemukan
Konseptual : Sesuai ide pokok
Legitimasi : Pembenaran
Liberalisme : Partikeliar, faham yang menekankan kebebasan individu
Manhaj : Jalan, pikiran
Mauludan : Kegiatan dalam rangka memperingati dan mengagungkan
kelahiran Nabi Muhammad SAW
Manakiban : Kegiatan dalam rangka memperingati para Wali Alla
Marjinal : Terpojokkan, terpinggir
Manifestasi : Penjelmaan, pembuktian
iii
Oreientalis : Ahli Barat yang mempelajari budaya Timur
Ortodok : Ajaran murni, kuno, kolot
Ortodoksi : Penerapan secara teguh ajaran lama atau murni
Otentitas : Asli, murni, dapat dipercaya
Otoritarian : Kepatuhan mutlak
Oligarki : Kapitalis, bangsawan
Persepsi : Pengamatan, daya memahami
Progresif : Meningkat, maju
Puritan : Murni, asli, ajaran asli
Perspektif : Pandangan, tinjauan
Pluralis : Kemajemukan
Radikal : Keras, kokoh, tajam
Refleksi : Renungan, pertimbangan, pemikiran
Represif : Menekan, menghambat
Rezim : Pemerintahan
Relativisme : Pandangan bahwa kebenaran itu tergantung waktu dan
tempat, tidak ada kebenaran mutlak
Statemen : Pernyataan
Sekuler : Besifat keduniaan, kebendaan
Spesifik : Khusus
Strategi : Ilmu Siasat untuk mencapai sesuatu
Subordinasi : Penggodaan, penyuapan
Taklif : Melimpahkan tugas, orang yang terkena hukum syara’
Tasammuh : Toleransi
Tawassut : Moderat, jalan tengah
Transformasi : Perubahan bentuk
Tahlilan : Kegiatan/seremonial membaca ayat-ayat al-Qur’an dan
kalimah toyyibah secara bersama-sama
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Yang bertanda tangan di bawah ini :
Nama : Mas’udan
NIM : 081311006
Tempat / tgl. lahir : Batang, 03 Agustus 1984
Alamat Asal : Ds. Wonosari Rt. 09 Rw. 04 Kec. Bawang Kab. Batang
Jenjang Pendidikan : Formal
- SDN Wonosari 02
- MTs. Hasyim Asy’ari Wonosari Bawang
- MA Darul Amanah Sukorejo Kendal
- IAIN Walisongo Semarang Fakultas Dakwah
Non Formal
- LP. Ma’arif Darul Ulum Wonosari Bawang
- Madrasah Mamba’ul Falah Parakan Temanggung
- Pon.Pes. Al-Hidayah Wonosari Bawang
- Pon.Pes. Kyai Parak Bambu Runcing Temanggung
Pengalaman Organisasi:
- Himpunan Mahasiswa Jursan (HMJ) Manajemen
Dakwah (Sekretaris)
- Senat Mahasiswa Fakultas (Ketua)
- Komisi Pemilihan Mahasiswa (KPM) IAIN Walisongo
(Bendahara)
- Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh (LAZIS)
Walisongo (Wakil Sekretaris)
- Lembaga Amil Zakat Infaq dan Shodaqoh Nahdlatul
Ulama (LAZIS NU) Kota Semarang (Div.
Foundrasing)
- Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Kota
Semarang (Div. Pengkaderan)
- Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Komisariat Walisongo (Div. Pengkaderan)
Demikian daftar riwayat hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan
harap maklum adanya.
Mas’udan