surat & opini -...

1
Kontan, 31 Juli 2017

Upload: phamtuyen

Post on 02-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

SURAT & OPINI 23Kontan Senin, 31 Juli 2017

Tajuk Opini

Tumbuhnya Meganomi dan Inovasi

Booming taksi online sudah bikin ngos-ngosan taksi kon-vensional. Tidak sanggup

bersaing dari sisi harga. Pemerin-tah pun turun tangan dengan me-nerbitkan Peraturan Menteri Per-hubungan Nomor 6 tahun 2017, lewat penetapan tarif batas atas dan bawah yang sejatinya mulai berlaku awal Juli ini.

Kebijakan anyar ini membuat transportasi onilne dipaksa meng-atrol tarif hingga nyaris sama de-ngan taksi biasa. Konsumen pun kecewa. Jalan tengah yang dike-hendaki tidak memberikan kepua-san semua pihak.

Aturan tersebut juga menggang-gu kebatinan ekonomi digital. Dengan karakter yang praktis, ce-pat dan efisien, ekonomi digital diminati masyarakat dan membu-at modal ventura kepincut dan mau menyuntikkan dana.

Ada tiga catatan krusial yang menarik kita diskusikan terkait respons pemerintah atas fenome-na rivalitas industri dari dua era yang berbeda tersebut.

Pertama, inkonsistensi dan re-gulasi yang tumpang tindih masih mewarnai pengambilan kebijakan publik di Indonesia. Permenhub Nomor 6 Tahun 2017 itu kontra-produktif dengan mimpi pemerin-

tah menempatkan Indonesia seba-gai kampiun ekonomi digital Asia Tenggara 2020 seperti tertuang peta jalan E-Commerce.

Regulasi mestinya menjadi sum-ber kompensasi yang memompa gairah dunia usaha agar terus bersemi. Pemberlakuan beleid itu bisa mengganggu nilai kompetitif taksi online dan merusak iklim ekonomi digital.

Kedua, pemerintah belum mam-pu beradaptasi dengan ekonomi digital. Ekonomi masa depan membutuhkan respons yang lin-cah dan tepat sasaran yang menja-di karakter ekonomi digital. Pe-merintah lambat merespon turbulensi ekonomi ekonomi digi-tal dan konvensional di ranah transportasi.

Ketiga, kebijakan yang tertuang dalam Permenhub No 6 Tahun 2017, semakin menguatkan predi-kat Indonesia sebagai negara yang tidak ramah terhadap inovasi. Gelombang inovasi yang mulai banyak diadopsi oleh anak negeri, justru dikebiri.

Padahal ekonomi digital ini ke-rap mendapat julukan meganomi. Belantara ekonomi yang menyaji-kan multi peluang. Dalam sejarah umat manusia, baru kali ini satu perusahaan (aplikasi) bisa men-ciptakan jutaan lapangan kerja, melahirkan banyak jutawan hing-ga miliarder muda dan bukan dari warisan dengan begitu cepat.

Sudah terlembaga

Di Indonesia, transportasi onli-ne jadi primadona dan pilar mega-nomi. Menurut kalkulasi CEO Grab, Anthony Than, nilai pasar transportasi online lokal menca-pai Rp 200 triliun yang diperebut-kan Go-Jek, Uber dan Grab.

Go-Jek yang tadinya lahir seba-gai aplikasi pesanan ojek online, menjelma jadi layanan multi jasa nan meggurita. Kapitalisasi apli-kasi besutan anak negeri ini mele-

sat jauh di atas perusahaan trans-portasi konvensional seperti Garuda Indonesia atau Blue Bird. Dikutip TechCrunch, per 2016 ka-pitalisasi pasar perusahaan yang belum genap berusia satu dekade itu sudah tembus Rp 17 triliun.

Pesan yang harus kita tangkap dari fenomena meganomi ini ada-lah keniscayaan inovasi. Bahwa meganomi adalah ekonomi digital bertabur kreativitas. Untuk me-rangsang kreativitas, inovasi ha-rus diberi ruang yang memadai. Termasuk dukungan kebijakan

ciptakan iklim bisnis yang sehat.Amat disayangkan, pemerintah

belum terbuka terhadap inovasi. Dalam diskursus transportasi on-line dan konvesional misalnya, pemerintah beralibi untuk protek-si transportasi konvensional yang telah lebih dahulu eksis.

Sebagai benchmark, kita coba tengok Swiss. Negara tersebut di-nobatkan sebagai Most Innovati-ve Countries oleh World Econo-mic Forum. Di Swiss, inovator berlimpah kompensasi. Mulai dari keringanan pajak, pembukaan akses pasar luar negeri, hingga ruang implementasi hasil inovasi di dunia bisnis yang disokong ba-nyak regulasi.

Hasilnya, seperti dilansir Credit Suisse, dalam setahun ada 43.000 aplikasi pengajuan paten di Swiss. Penelitian dengan berbagai inova-si, menjadi kultur yang mewarnai kemajuan bangsa Swiss. Malah, 60% pengeluaran tahunan riset di-biayai swasta. Swiss memandang inovasi sebagai investasi.

Di Indonesia, dukungan terha-dap inovasi sangat lemah. Politik anggaran kita tidak berpihak pada riset dan pengembangan. Ini bisa dilihat dari alokasi dana riset di Indonesia cuma 0,2% dari PDB. Kalah jauh dari negara lain. Tak heran bila politik anggaran kita sudah memunculkan budaya anti riset dan inovasi yang sudah ter-lembaga. n

Meganomi adalah

ekonomi digital

yang bertaburan

kreativitas.

Jusman Dalle,Direktur Eksekutif Tali Foundation dan Praktisi Ekonomi Digital

Kirim SMS Anda 081808 566826

Optimisme Banteng

Kalau Anda penyuka swafoto alias selfie, bakal ada spot sel-fie baru buat Anda. Namanya

Banteng Wulung. Lokasinya di sisi utara halaman depan gedung Bursa Efek Indonesia (BEI). Patung ban-teng ini diharapkan jadi ikon bursa. Banteng memang simbol optimisme terhadap pergerakan pasar saham. Makanya bursa yang bergerak naik disebut bullish. Ada harapan, indeks saham Indonesia bisa terus naik.

Bursa saham yang harga saham-sahamnya terus naik tentu bagus. Hal ini jadi indikasi kinerja emiten juga membaik dan pemodal optimis-tis melihat prospek bisnis emiten tersebut, sehingga membeli saham-nya. Bursa saham pun bisa membe-rikan untung bagi pemodalnya.

Tapi para pengelola bursa juga harus ingat, bursa saham bukan se-kadar masalah cuan. Para pengelola bursa saham juga harus ingat men-jaga kualitas pasar saham.

Saya pernah ngobrol dengan seo-rang petinggi sebuah perusahaan barang konsumer yang kini saham-nya dijual di bursa. Ia bilang, meski saham perusahaannya ada di BEI, ia sendiri ogah berinvestasi di pasar saham Indonesia. Ia lebih memilih berinvestasi di bursa asing, meski biayanya lebih besar, atau investasi di pasar valuta asing.

Menurut dia, terlalu banyak faktor yang tidak bisa diukur di bursa sa-ham Indonesia. "Bandar yang meng-gerakkan saham banyak, spekulan-nya juga banyak, mau menghitung investasi jadi sulit," tutur dia. Si bos ini bahkan menilai risiko pasar va-las, yang sejatinya lebih berisiko, masih lebih terukur ketimbang bur-sa saham Indonesia. Alasannya, pa-sar valas bergerak berdasarkan data makroekonomi global yang sumber-nya jelas.

Pertanyaan soal kualitas bursa saham dalam negeri juga kembali menyeruak setelah dalam waktu yang berdekatan, ada dua emiten yang tersangkut kasus hukum. Satu emiten sudah dinyatakan sebagai tersangka, satu emiten lagi masih membantah melakukan pelanggar-an hukum.

BEI juga tampak lebih fokus me-ngejar jumlah emiten yang IPO tiap tahun. Manajemen BEI berpenda-pat, sebaiknya emiten jangan me-nunggu perusahaan jadi besar untuk IPO, tapi IPO untuk jadi besar.

Mungkin pernyataan tersebut ti-dak salah. Tapi BEI juga harus hati-hati. Jangan sampai perusahaan ke-cil yang bisnisnya masih tidak jelas ikut IPO, tapi belakangan investor jadi rugi. "Ingat enggak, dulu ada emiten yang namanya RINA. Mereka IPO, beberapa tahun kemudian de-listing. Kan, enggak asyik," cetus seorang analis. n

Harris Hadinata

Surat

Sambut Kemerdekaan RI dengan Karya Anak Bangsa

Penghujung Juli telah tiba. Sebentar lagi, Indo-nesia akan merayakan

hari kemerdekaannya. Momen jelang 17 Agustus tahun ini tampaknya berbeda, karena tersiar kabar acara HUT RI akan turut dimeriahkan girlband asal Korea.

Tak dipungkiri, demam ko-rea memang masih mendera sebagian masyarakat. Namun, banyak pula yang memperta-nyakan kepatutan girlband tersebut tampil di perayaan ulang tahun Negara Indonesia. Bahkan netizen bertanya, “Apakah ini hiburan yang le-kat dengan Pancasila?”

Belakangan Triawan Munaf selaku Kepala Badan Ekono-mi Kreatif Indonesia melurus-kan berita tersebut. Dia bilang, girlband tersebut memang didatangkan ke Indonesia, tapi bukan untuk perayaan HUT RI. Tapi untuk meme-riahkan acara Countdown to Asian Games 2017.

Namun, terlepas dari kon-troversi tersebut, saya pribadi menyarankan semua pihak untuk menyajikan hiburan yang lebih edukatif dan dekat nilai Pancasila saat HUT RI nanti. Saya rasa masih banyak karya anak bangsa yang patut diapresiasi untuk tampil da-lam momen 17 Agustus nanti.

Ada banyak karya seni per-tunjukkan anak-anak Indone-sia. Jika ingin mempererat in-teraksi dan kedekatan sosial, bisa lakukan permainan tradi-sional yang berkembang sejak lama dari dalam negeri.

Kalau masih kurang menan-tang, gelarlah kompetisi untuk memacu kreativitas anak ne-geri. Adakanlah berbagai per-lombaan dalam berbagai bi-dang yang karyanya bisa memberikan kontribusi untuk negeri. Selamat menyambut hari kemerdekaan RI.

Nisa Putri, Kebon Jeruk, Jakarta Barat

Sebuah Ironi Kelangkaan Garam

Negeri ini penuh ironi. Punya segala hal tapi kekurangan banyak hal juga. Kita punya

laut amat luas, tapi potensi laut yang melimpah tidak membuat nelayan dan petani garam kaya. Petani garam misalnya tetap berbalut wajah lama, miskin dan tidak berdaya.

Ironi tersebut sempat jadi headli-ne banyak media, yakni lautnya luas, garam langka dan mahal. Sebagai negara maritim dengan luas laut 5,8 juta kilometer persegi dan garis pan-tai sepanjang 95.200 kilometer, Indo-nesia memiliki potensi sumber daya melimpah, perikanan dan kelautan, termasuk garam.

Dengan keunggulan komparatif itu, seharusnya tak ada cerita Indo-nesia bisa kelangkaan garam dan menjadi pengimpor garam. Sayang, Indonesia justru masih menjadi pengimpor garam dengan jumlah pertahun mencapai 2,3 juta ton.

Baru-baru ini Asosiasi Industri Pengguna Garam Indonesia (AIPGI) menyebutkan hampir seluruh per-usahaan yang memproduksi garam beryodium untuk konsumsi rumah tangga kolaps akibat kesulitan men-dapatkan bahan baku. Stok garam dalam negeri terus menipis. Tinggi-nya kebutuhan belum bisa diimbangi produksi dalam negeri yang baru bisa mencapai 1,8 juta ton per tahun. Sementara total kebutuhan garam baik untuk konsumsi dan industri mencapai 4,3 juta ton per tahun.

Permasalahan garam di Indonesia adalah produksinya kurang banyak, kualitasnya yang kurang baik, dan harganya yang tidak kompetitif. Se-lama ini tak sedikit devisa mengalir ke negara-negara eksportir, seperti Australia, Selandia Baru, Tiongkok, dan India.

PT Garam yang ditugasi mem-bangun kemandirian di bidang garam tak mampu mewujudkan cita-cita negara walau penyerta-an modal pemerintah terus me-ningkat.

Pilihan Impor pun jadi kenis-cayaan karena dari tahun ke ta-hun produksi garam tak mening-kat. Ini terjadi karena beberapa hal (Suhana, 2010). Pertama, sistem produksi bersifat tradi-sional, jauh sentuhan teknologi. Di sentra produksi garam di Madura berkembang sistem Ma-duris: memanen garam di atas tanah. Akibatnya,kualitas garam rendah dan tercampur kotoran dan tanah.

Karena mutu rendah harga jual juga rendah, insentif ekonomi yang diterima petani garam juga ren-dah. Karena lahan gurem, mereka terjebak kemiskinan. Rangkaian ini seperti lingkaran setan.

Mari mengekor Australia

Kedua, akses petani garam kepada lembaga keuangan dan perbankan lemah. Padahal, di awal usaha rakyat ini memerlukan biaya tinggi. Ini ber-dampak pada dua hal yakni petani garam berproduksi tanpa sentuhan modal dan teknologi, atau mereka

terjebak ijon. Ketiga, konversi lahan garam un-

tuk aktivitas yang menjanjikan, se-perti tambak atau untuk permuki-man, pabrik, dan perkebunan. Jika konversi lahan terus berlangsung, target swasembada garam pada 2018 bisa menguap.

Keempat, lemahnya kelembagaan petani garam rakyat. Selama ini pe-tani berusaha sendiri-sendiri. Aki-batnya, selain harus bersaing sesama petani, mereka mudah dipecah belah oleh kepentingan pihak yang diun-tungkan keadaan petani garam yang lemah.

Kelima, kebijakan pro-impor. Be-leid ini memanfaatkan keakuratan data garam. Dengan alasan klasik untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, beleid impor garam menjadi solusi pintas. Padahal, di sinilah para pemburu rente membonceng kebi-

jakan meraih keuntungan. Menurut hemat penulis, komoditas

garam di Tanah Air perlu melihat Australia sebagai referensi sebagai negara paling sukses mengembang-kan industri garam. Produksi garam di Australia yang dilakukan korpora-si 15,11 juta ton per tahun dengan

ekspor sekitar 11,5 juta ton per tahun ke banyak negara terma-suk di antaranya Indonesia.

Di sana, tempat pembuatan garam terkonsentrasi di satu tempat, yaitu di West Coast, di lima lokasi (Shark Bay, Lake Mcleod, Onslow, Dampier, dan Port Headland) yang memiliki pantai landai dengan curah hu-jan sangat rendah, kadar garam lautnya tertinggi, kelembapan udara sangat rendah, dan tak ada muara sungai. Ini membuat kua-litas garam Australia berkualitas tinggi dan menghasilkan 14,5 juta ton per tahun.

Bandingkan Indonesia di ra-tusan lokasi di 46 kabupaten di 10 provinsi dengan luas tambak

25.830 hektar dengan 31.432 petam-bak garam, dengan produksi saat ini hanya sekitar 2 juta ton per tahun.

Untuk mengakhiri persoalan ga-ram, perlu langkah. Pertama, me-ningkatkan produktivitas, efisiensi, dan mutu dengan introduksi tekno-logi. Selama ini produksi garam mengandalkan panas matahari, tan-pa sentuhan teknologi.

Proses produksi dilakukan secara tradisional, sehingga kualitasnya rendah. Akibatnya, produksi garam fluktuatif dan bermutu rendah de-ngan produktivitas cuma 60 ton per

hektare. Di Australia dan India bisa 200 ton per hektare. Untuk men-dongkrak produktivitas dan mutu harus menggalakkan riset.

Kedua, menghentikan konversi lahan garam, dan mengoptimalkan perluasan lahan baru. Apabila pada 2018 ini kita mampu mengembang-kan usaha tambak garam seluas 50.000 ha (45% dari total luas poten-sial) dengan produktivitas rata-rata 100 ton per hektare per tahun, dapat menghasilkan garam nasional sebe-sar 5 juta ton. Dengan asumsi kebu-tuhan garam 4,5 juta kita tidak perlu impor garam lagi.

Untuk mewujudkan ini, harus ada kebijakan terukur mengurangi im-por. Pada saat yang sama, aturan tata niaga garam (patokan harga ba-wah, buka-tutup waktu impor, dan kewajiban menyerap produksi ga-ram petani domestik) harus ditegak-kan secara konsisten di lapangan. Cara ini akan memberi insentif eko-nomi kepada petani garam untuk ti-dak mengonversi lahan.

Ketiga, memberikan dukungan permodalan dari lembaga keuangan dan perbankan pada pengusaha ga-ram, termasuk para petani garam dengan persyaratan mudah. Disam-ping itu perlu dilakukan pendam-pingan teknologi produksi dan ma-najemen usaha.

Ini dilakukan agar petambak menghasilkan garam bermutu tinggi dan bisa bersaing dengan garam dari negara lain. Akhirnya fenomena ga-ram langka harus dijadikan momen-tum mengembangkan usaha garam nasional agar lebih berdaya dan mencapai swasembada. n

Andi Perdana Gumulang, Peneliti pada Marine Institute of Indonesia

Kelangkaan garam bisa jadi momentum

mengembangkan usaha garam nasional.

Andi Perdana Gumulung, Peneliti pada Maritime Institue of Indonesia

Surat dan Pendapat

Gedung KONTANJl. Kebayoran Lama

No. 1119 Jakarta 12210

Telephone021 - 536-1289, 532-8134, 535-

7536

Fax021 - 535-7633

SMS0818 08 566826

KONTAN

[email protected],id

Kontan, 31 Juli 2017