t1_362008041_bab ii.pdf

16
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Originalitas Penelitian Originalitas penelitian menyajikan perbedaan dan persamaan bidang kajian yang diteliti antara peneliti dengan peneliti-peneliti sebelumnya. Hal ini dimaksudkan untuk untuk menghindari adanya pengulangan kajian terhadap hal-hal yang sama. Dengan demikian akan diketahui sisi-sisi apa saja yang membedakan dan akan diketahui pula letak persamaan antara penelitian peneliti dengan penelitian-penelitian terdahulu. Dalam hal ini akan lebih mudah dipahami,jika peneliti menyajikannya dalam bentuk tabel dibandingkan dengan menyajikan dalam bentuk paparan yang bersifat uraian. Oleh karena itu, peneliti memaparkannya dalam bentuk tabel seperti dibawah ini : No Nama Peneliti, Tahun dan Judul penelitian Persamaan Perbedaan Originalitas Penelitian 1. Novel Maulana, 2006, Representasi Anak pada Iklan Layanan Masyarakat(Analisis Semiotika pada Kisah Negeri di Ujung Karang Nanggroe Aceh Darussalam) Menggunakan obyek penelitian sejenis yaitu iklan dan juga menggunakan analisis semiotika Iklan layanan masyarakat dengan menggunaka n analisis pragmatik dan semantik. Fenomena eksploitasi anak-anak pada iklan 2. Ignatius Prasetyo Wicaksono, 2012, Representasi Eksploitasi Perempuan dalam Iklan (Analisis Semiotika Greimassian tentang Eksploitasi Perempuan dalam TVC Berrygood Menggunakan obyek penelitian yang sama yaitu iklan menggunakan analisis semiotika Menggunaka n metode penelitian Analisis Semiotika Greimassian tentang eksploitasi perempuan dalam iklan Makna perempuan Diletakkan sebagai the second sex yang lemah dan dianggap sebagai pemuas kebutuhan

Upload: phungque

Post on 16-Jan-2017

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: T1_362008041_BAB II.pdf

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Originalitas Penelitian

Originalitas penelitian menyajikan perbedaan dan persamaan bidang kajian yang

diteliti antara peneliti dengan peneliti-peneliti sebelumnya. Hal ini dimaksudkan untuk untuk

menghindari adanya pengulangan kajian terhadap hal-hal yang sama. Dengan demikian akan

diketahui sisi-sisi apa saja yang membedakan dan akan diketahui pula letak persamaan antara

penelitian peneliti dengan penelitian-penelitian terdahulu. Dalam hal ini akan lebih mudah

dipahami,jika peneliti menyajikannya dalam bentuk tabel dibandingkan dengan menyajikan

dalam bentuk paparan yang bersifat uraian. Oleh karena itu, peneliti memaparkannya dalam

bentuk tabel seperti dibawah ini :

No Nama Peneliti,

Tahun dan Judul

penelitian

Persamaan Perbedaan Originalitas

Penelitian

1. Novel Maulana,

2006, Representasi

Anak pada Iklan

Layanan

Masyarakat(Analisis

Semiotika pada

Kisah Negeri di

Ujung Karang

Nanggroe Aceh

Darussalam)

Menggunakan

obyek

penelitian

sejenis yaitu

iklan dan juga

menggunakan

analisis

semiotika

Iklan layanan

masyarakat

dengan

menggunaka

n analisis

pragmatik

dan semantik.

Fenomena

eksploitasi

anak-anak

pada iklan

2. Ignatius Prasetyo

Wicaksono, 2012,

Representasi

Eksploitasi

Perempuan dalam

Iklan (Analisis

Semiotika

Greimassian tentang

Eksploitasi

Perempuan dalam

TVC Berrygood

Menggunakan

obyek

penelitian yang

sama yaitu

iklan

menggunakan

analisis

semiotika

Menggunaka

n metode

penelitian

Analisis

Semiotika

Greimassian

tentang

eksploitasi

perempuan

dalam iklan

Makna

perempuan

Diletakkan

sebagai

the second

sex

yang lemah

dan dianggap

sebagai

pemuas

kebutuhan

Page 2: T1_362008041_BAB II.pdf

Versi ”Bikin Good

Mood”)

seks laki-laki

semata

sebagai

bagian dari

daya tarik

pesan

penjualan.

3. Windha Larasanti,

2013, Komodifikasi

Anak dalam Iklan

(Analisis Semiotika

Roland Barthes pada

Iklan Prudential di

Televisi versi

mendengarkan cita-

cita mereka)

Mengunakan

metode

penelitian yang

sama yaitu

Analisis

Semiotika

Roland

Barthes

Komodifikasi

anak dalam

iklan

prudential

Makna yang

terdapat di

dalam iklan

mengenai

komodifikasi

anak

4. Anatamalia

handayani, 2014,

Representasi

Eksploitasi Anak

dalam Iklan

(Analisis Semiotika

Roland Barthes

dalam iklan 3indie+)

Mengunakan

metode

penelitian yang

sama yaitu

Analisis

Semiotika

Roland

Barthes

menggunaka

n enam

prosedur

konotasi

barthes untuk

menganalisis

yaitu trick

effect, pose,

object,

photogenia,

aestheticism,

dan sintax.

makna

eksploitasi

anak dalam

iklan dan

unsure yang

terdapat

didalamnya.

2.2. PERIKLANAN

Periklanan (advertising) adalah bisnis ide dan kreatifitas (Roman, Maas &

Nisenholtz, 2005).Periklananmerupakan suatu upaya komunikasi yang dilakukan oleh

produsen kepada konsumen untuk meunjang proses pemasaran.

2.2.1. Pengertian Iklan

Page 3: T1_362008041_BAB II.pdf

Klepper (seperti dikutip Liliweri, 1997:17) “Iklan atau advertising berasal dari

bahasa latin “avere” yang berarti mengoperkan gagasan dan pikiran kepada pihak

lain”. Wright (Seperti dikutip Liliweri, 1997:10) “iklan merupakan suatu proses

komunikasi yang mempunyai kekuatan yang sangat penting sebagai alat pemasaran

yang membantu menjual barang, memberikan layanan, serta gagasan atau ide-ide

melalui saluran tertentu dalam bentuk informasi yang persuasif”. Menurut Rhenald

Kasali (1992:21), secara sedrhana iklan didefinisikan sebagai pesan yang

menawarkan suatu produk yang ditujukan oleh suatu masyarakat lewat suatu media.

Namun demikian, untuk membedakannya dengan pengumuman biasa, iklan lebih

diarahkan untuk membujuk orang supaya membeli.

Ciri-ciri iklan yang baik

1. Etis, berkaitan dengan kepantasan.

2. Estetis, berkaitan dengan kelayakan (target market, target audiennya, kapan

harus ditayangkan).

3. Artistik, bernilai seni sehingga mengundang daya tarik khalayak.

2.2.2. Fungsi Iklan

Menurut Shimp, secara umum, periklanan memiliki beragam fungsi komunikasi yang

penting bagi perusahaan bisnis dan organisasi lainnya. Fungsi periklanan yaitu:

1. Informing, periklanan membuat konsumen sadar akan merek-merek baru,

mendidik mereka tentang berbagai fitur dan manfaat merek, serta

memfasilitasi penciptaan citra mereka yang positif.

2. Persuading, iklan yang efektif akan mampu mempersuasi (membujuk)

pelanggan untuk mencoba produk dan jasa yang ditawarkan.

3. Remiding, iklan menjaga agar iklan tetap terjaga dalam ingatan konsumen.

4. Adding Value, periklanan memberi nalai tambah nilai merek dengan

mempengaruhi persepsi konsumen.

5. Bantuan untuk upaya lain perusahaan, periklanan adalah pendamping dan

memfasilitasi upaya-upaya lain dari perusahaan dalam proses komunikasi

pemasaran.

Harold D. Laswell mengatakan bahwa cara yang baik untuk menjelaskan

komunikasi ialah dengan menjawab pertanyaan who says what, in which channel

Page 4: T1_362008041_BAB II.pdf

to whom, with what effect, and in which channel. Dalam penjelasan ini Laswell

menunjukan sebuah kegiatan komunikasi yang menggunakan saluran-saluran

komunikasi. Saluran-saluran ini yang kemudian diwujudkan melalui penggunaan

sebuah media, yang salah satunya adalah media televisi. Jefkins (1997:109-110)

menyatakan bahwa terdapat beberapa keunggulan iklan televisi, diantaranya:

1. Kesan realistik, karena sifatnya yang visual, dan merupakan kombinasi warna-

warna,suara, dan gerakan, maka iklan-iklan televisi nampak begitu hidup dan

nyata

2. Masyarakat lebih tanggap, karena iklan televisi ditayangkan di rumah-rumah

dalam suasana yang serba santai atau rekreatif maka masyarakat lebih siap

untuk memberikan perhatian.

3. Repetisi atau pengulangan, iklan televisi bisa ditayangkan hingga beberapa

kali dalam sehari sampai dipandang cukup bermanfaat yang memungkinkan

sejumlah masyarakat untuk menyaksikannya, dan dalam frekuensi yang cukup

sehingga pengaruh iklan itu bangkit.

Iklan begitu penting dalam upaya memahami tatanan signifikansi modern, maka

tidak heran jika iklan menjadi sangat menarik bagi pakar semiotika. Dalam

periklanan, bahasa umunya merupakan sarana untuk menegaskan, mengacu atau

semata-mata untuk menyatakan makna subtekstual. Menurut Danesi, (2010:379-

380), ada banyak teknik verbal yang digunakan pengiklan untuk mewujudkan tujuan

ini dan secara lebih umum untuk memuaskan produk kedalam kesadaran sosial.

2.2.3. Kode Etik dan Sanksi dalam Periklanan

Untuk membuat konsumen tertarik, iklan harus dibuat menarik bahkan kadang

dramatis. Tapi iklan tidak diterima oleh target tertentu (langsung). Iklan

dikomunikasikan kepada khalayak luas (melalui media massa komunikasi iklan akan

diterima oleh semua orang: semua usia, golongan, suku, dan sebagainya). Sehingga

iklan harus memiliki etika, baik moral maupun bisnis.Sebelum ditayangkan, iklan

yang akan ditayangkan di televisi terlebih dulu akan masuk ke Lembaga Sensor Film

(LSF). Di LSF materi iklan akan dilihat dan dicermati sehingga materi iklan yang

tidak layak akan terkena sanksi yaitu pemotongan adegan atau jika perlu akan

diberikan sanksi penolakan penayangan.

Page 5: T1_362008041_BAB II.pdf

Selain hal-hal tersebut EPI juga mengatur beberapa hal misalnya tentang tata karma

pemeran iklan yaitu Iklan tidak boleh memperlihatkan anak-anak dalam adegan-

adegan yang berbahaya.Dalam EPI juga diberikan beberapa prinsip tentang

keterlibatan anak-anak di bawah umur seperti antara lain:

a. Anak-anak tidak boleh digunakan untuk mengiklankan produk yang tidak layak

dikonsumsi oleh anak-anak, tanpa didampingi orang dewasa.

b. Iklan tidak boleh memperlihatkan anak-anak dalam adegan-adegan yang berbahaya,

menyesatkan atau tidak pantas dilakukan oleh anak-anak.

c. Iklan tidak boleh menampilkan anak-anak sebagai penganjur bagi penggunaan suatu

produk yang bukan untuk anak-anak.

d. Iklan tidak boleh menampilkan adegan yang mengeksploitasi daya rengek (pester

power) anak-anak dengan maksud memaksa para orang tua untuk mengabulkan

permintaan anak-anak mereka akan produk terkait (lihat halaman 34 EPI).

2.3. REPRESENTASI

Representasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berarti perbuatan

mewakili, keadaan mewakili, apa yang mewakili, perwakilan. Representasi di pahami sebagai

gambaran sesuatu yang akurat atau realita terdistorsi. Representasi tidak hanya berarti “to

presentasi”, “to image”, atau “to depict”. Representasi adalah sebuah cara dimana memaknai

apa yang telah diberikan pada benda yang digambarkan. Representasi merupakan hubungan

antara konsep-konsep dan bahasa yang menunjuk pada dunia yang sesungguhnya dari suatu

objek, realitas atau pada dunia imajiner tentang obyek fiktif, manusia atau peristiwa

(Hermawan, 2011:234).

Konsep lama mengenai representasi ini didasarkan pada premis bahwa ada sebuah gap

representasi yang menjelaskan perbedaan antara makna yang diberikan oleh representasi dan

arti benda yang sebenarnya digambarkan. Hall berargumentasi bahwa representasi harus

dipahami dari peran aktif dan kreatif orang memaknai dunia. Hall menunjukan bahwa sebuah

imaji akan memepunyai makna yang berbeda dan tidak ada garansi bahwa imaji akan

berfungsi atau bekerja sebagaimana mereka dikreasi atau dicipta.

Hall menyebut ‘representasi sebagai konstitutif’. Representasi tidak hadir sampai

setelah selesai direpresentasikan, representasi tidak terjadi setelah sebuah kejadian.

Page 6: T1_362008041_BAB II.pdf

Representasi adalah konstitutif dari sebuah kejadian. Representasi adalah bagian dari objek

itu sendiri, ia adalah konstitutif darinya. Stuart Hall menganggap bahwa ada yang salah

dengan representasi kelompok minoritas dalam media, bahkan ia meyakini bahwa imaji-imaji

yang dimunculkan oleh media semakin memburuk. Hall mengamati bahwa media cenderung

sensitif pada gaya hidup kelas menengah keatas, mayoritas masyarakat yang sudah teratur.

2.4. EKSPLOITASI ANAK

Eksploitasi ‘exploitation’ yang berarti politik pemanfaatan yang secara sewenang-

wenang atau terlalu berlebihan terhadap sesuatu subyek eksploitasi hanya untuk kepentingan

ekonomi semata-mata tanpa mempertimbangan rasa kepatutan, keadilan serta kompensasi

kesejahteraan. Dalam realita kehidupan sehari-hari, anak banyak di jadikan sebagai “Senjata

Pencari Uang” bagi kalangan kaum dewasa. Eksploitasi anak adalah sikap diskriminatif atau

perlakuan sewenang-wenang terhadap anak. Hal ini biasa dilakukan oleh seseorang maupun

sekelompok orang dewasa dengan cara memaksa anak untuk melakukan sesuatu demi

kepentingan ekonomi, sosial ataupun politik. Pemerasan tenaga anak ini tentu tanpa

memperhatikan hak-hak anak dalam mendapatkan perlindungan sesuai dengan perkembangan

fisik, psikis & status sosialnya. Dengan kata lain eksploitasi anak dapat juga diartikan

dengan memanfaatkan anak secara tidak etis demi kebaikan ataupun keuntungan sendiri,

orang lain, maupun kepentingan bersama.

2.5. SEMIOTIKA

2.5.1. Pengertian Semiotika

Semiotik sebagai suatu model dari pengetahuan sosial memahami dunia sebagai

sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan ‘tanda’. Menurut Saussure,

persepsi dan pandangan kita tentang realitas, dikonstruksikan oleh kata-kata dan tanda-tanda

yang lain yang digunakan dalam konteks sosial. Secara etimologis istilah semiotika berasal

dari bahasa Yunani “semeion” yang berarti ’tanda’(Sudjiman dan van Zoest, 1996: vii) atau

seme,yang berarti ”penafsir tanda” (Cobley dan Jansz, 1999: 4) (dalam Sobur, .2004: 16).

Semiotika kemudian didefinisikan sebagai studi tentang tanda dan cara tanda-tanda itu

bekerja.

Secara terminologis, semiotik didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan

luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda. Pada hakikatnya,

Page 7: T1_362008041_BAB II.pdf

semiotik merupakan ilmu yang mempelajari tentang tanda-tanda, lambang-lambang, sistem-

sistemnya serta proses pelambangan.

Secara historis, semiotika menjadi disiplin yang dikenal luas oleh pengaruh dari dua

tokoh utama: Charles Sanders Peirce mewakili tradisi Amerika dan Ferdinand de Saussure

mewakili tradisi Eropa. Semiologi menurut Saussure seperti dikutip seperti dikutip Hidayat,

didasarkan pada anggapan bahwa selama perbuatan dan tingkah laku manusia membawa

makna atau selama berfungsi sebagai tanda, harus ada di belakangnya sistem perbedaan dan

konvensi yang memungkinkan makna itu. Di mana ada tanda di sana ada sistem (Hidayat,

1998:26). Sedangkan Peirce menyebut ilmu yang dibangunnya semiotika (semiotics). Bagi

Peirce yang ahli filsafat dan logika, penalaran manusia senantiasa dilakukan lewat tanda.

Artinya, manusia hanya dapat bernalar lewat tanda. Dalam pikirannya, logika sama dengan

semiotika dan semiotika dapat ditetapkan pada segala macam tanda (Berger, 2000:11-22).

Dalam perkembangan selanjutnya, istilah semiotika lebih populer daripada semiologi.

Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda

adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, di tengah-

tengah manusia dan bersama-sama manusia. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi,

pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal

(thing). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan

mengkomunikasikan (to comunicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya

membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga

mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda (Sobur, 2006:15).

Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda (sign), berfungsi tanda, dan

produksi makna. Tanda adalah sesuatu yang bagi seseorang berarti sesuatu yang lain. Dalam

pandangan Zoest, segala sesuatu yang dapat diamati atau dibuat teramati dapat disebut tanda.

Karena itu, tanda tidaklah terbatas pada benda. Adanya peristiwa, tidak adanya peristiwa,

struktur yang ditemukan adalah sesuatu, suatu kebiasaan, semua ini dapat disebut benda.

Sebuah bendera kecil, sebuah isyarat tangan, sebuah kata, suatu keheningan, suatu kebiasaan

makan, sebuah gejala mode, suatu gerak syaraf, peristiwa memerahnya wajah, suatu

kesukaan tertentu, letak bintang tertentu, suatu sikap, setangkah bunga, rambut uban, sikap

diam membisu, gagap. Bicara cepat, berjalan sempoyongan, menatap, api, putih, bentuk

bersudut tajam, kecepatan, kesabaran, kegilaan, kekhawatiran, kelengahan semuanya itu

dianggap sebagai tanda (Zoest, 1993:18).

2.5.2. Semiotika Roland Barthes

Page 8: T1_362008041_BAB II.pdf

Menurut Saussure, tanda terdiri dari: Bunyi-bunyian dan gambar, disebut signifier

atau penanda, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar, disebut signified, adalah

sebagai berikut:

Gambar 1. Elemen-elemen makna dari Saussure

Sumber : Alex Sobur , “Analisis Teks Media” (Bandung, Remaja Rosdakarya, 2004)

Saussure menyebut signifier sebagai bunyi atau coretan bermakna, sedangkan

signified adalah gambaran mental atau konsep sesuatu dari signified. Hubungan antara

keberadaan fisik tanda dan konsep mental tersebut dinamakan signification. Dengan kata lain,

signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia (Fiske, 1990:44). Roland

Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks

pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang

tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang

berbeda pada orang yang berbeda situasinya dengan menekankan interaksi antara teks dengan

pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan

konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal

dengan “order of signification”, mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan

konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal).

Barthes dalam Sobur (2004: 15) menyebutkan bahwa semiotika merupakan suatu

ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Semiotika pada dasarnya hendak

mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai

berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu

hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.

Barthes melakukan terobosan penting dalam tradisi semiotika konvensional yang

dahulu pernah berhenti pada kajian tentang bahasa. Semiotika model Barthes memungkinkan

Page 9: T1_362008041_BAB II.pdf

kajian yang mampu menjangkau wilayah kebudayaan lain yang terkait dengan popular

culture dan media massa. Bahkan dalam pandangan George Ritzer (2003: 53), Barthes adalah

pengembang utama ide-ide Saussure pada semua area kehidupan sosial (Hermawan, 2011:

251).

Barthes melontarkan konsep tentang konotasi dan denotasi sebagai kunci dari

analisisnya. Fiske menyebut model ini sebagai signifikasi dua tahap (two order of

signification). Lewat model ini Barthes menjelaskan bahwa signifikasi tahap pertama

merupakan hubungan antara signifier (penanda) dan signified (petanda). Ini disebut Barthes

sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan

Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Konotasi mempunyai makna yang

subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, denotasi adalah apa yang

digambarkan tanda terhadap sebuah objek, sedangkan makna konotasi adalah bagaimana cara

menggambarkannya (Wibowo, 2011: 17).

Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah

peran pembaca (the reader). Konotasi, walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan

keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes memperjelas sistem signifikasi dua tahap

dalam gambar berikut ini:

Gambar 2. Peta Tanda Roland Barthes

Sumber : Alex Sobur, “Semiotika Komunikasi” (Bandung, Remaja Rosdakarya,

2004)

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1)

dan petanda (2). Penanda merupakan tanda yang kita persepsi yang dapat ditunjukkan dengan

warna atau rangkaian gambar yang ada dalam objek yang diteliti. Akan tetapi, pada saat

Page 10: T1_362008041_BAB II.pdf

bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Sementara itu petanda

konotatif (5) menurut Barthes adalah mitos atau operasi ideologi.

1) Sistem Pemaknaan Tingkat Pertama (Denotasi)

Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam

sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi yaitu

makna paling nyata dari tanda. Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar

memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang

melandasi keberadaannya. Dalam hal ini, denotasi justru diasosiasikan dengan

ketertutupan makna (Sobur,2009:70).

Menurut Lyons (dalam Sobur,2009:263) denotasi adalah hubungan yang digunakan

dalam tingkat pertama pada kata yang secara bebas memegang peranan penting di dalam

ujaran.

Harimurti Krisdalaksana (dalam Sobur,2009:263) mendefinisikan denotasi sebagai

makna kata atau sekelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada

sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu dan sifatnya objektif.

Denotasi dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang sesungguhnya bahkan kadang

juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional

disebut denotasi ini biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai

dengan apa yang terucap. Di dalam semiologi Roland Barthes, denotasi merupakan

sistem signifikasi tingkat pertama sementara konotasi merupakan tingkat kedua.

Makna denotasi bersifat langsung yaitu makna khusus yang terdapat pada sebuah tanda

pada dasarnya meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata yang disebut sebagai makna

referensial, makna yang biasa kita temukan dalam kamus. Keraf (dalam Sobur,2009:265)

mengungkapkan bahwa makna denotasi (denotative meaning) disebut juga dengan

beberapa istilah seperti makna denotasional, makna kognitif, makna konseptual atau

ideasional, makna referensial atau makna proposisional. Disebut makna denotasional,

referensial, konseptual atau ideasional karena makna itu menunjuk pada (denote) kepada

satu referen, konsep, atau ide tertentu dari sebuah referen. Disebut makna kognitif karena

makan itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan. Dan makna ini disebut juga

dengan makna proposisional pernyataan yang bersifat fakual.

Jika kita mengucapkan sebuah kata yang mendenotasikan suatu hal tertentu, maka itu

berarti kata tersebut menunjukkan, mengemukakan dan menunjuk pada hal itu sendiri.

Page 11: T1_362008041_BAB II.pdf

Misalnya kata ‘ayam’ mendenotasikan atau merupakan sejenis unggas teretntu yang

memiliki ukuran tertentu, berbulu, berkotek dan menghasilkan telur.

2) Sistem Penandaan Tingkat Kedua (Konotasi)

Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasin tahap

kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan

perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi

mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain,

Fiske (dalam Sobur,2009:128) mengatakan bahwa denotasi adalah apa yang

digambarkan tanda terhadap sebuah objek sedangkan konotasi adalah bagaimana

menggambarkannya.

Konotasi menempatkan denotasi sebagai penanda terhadap petanda atau signified baru

sehingga melahirkan makna konotasi (second order signification). Penanda dalam

pemaknaan konotasi terbentuk melalui tanda denotasi yang digabungkan dengan petanda

baru atau tambahan sehingga tanda denotaso akan sangat menentukan signifikasi

selanjutnya.

Dalam kerangka Barthes,konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya

sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi

nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Konotasi mengacu pada

makna yang menempel pada suatu kata karena sejarah pemakainya.

Jika denotasi sebuah kata adalah objektif kata tersebut, maka konotasi sebuah kata

adalah makna subjektif atau emosionalnya. Arthur Asa Berger (Sobur,2009:263)

mengemukakan bahwa konotasi melibatkan simbol-simbol, historis dan hal-hal yang

berhubungan dengan emosional. Makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian

bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa

dan nilai tertentu. Kalau makna deotatif hampir bisa dimengerti banyak orang, maka

makna konotatif hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya lebih kecil.

Keraf (dalam Sobur,2009:266) mengungkapkan bahwa konotasi atau makna konotatif

disebut juga makna konotasional, makna emotif atau makna evaluatif. Makna konotatif

adalah suatu jenis makna dimana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai

emosional. Makna konotatif sebagaian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan

perasaan setuju-tidak setuju, senang-tidak senang dan sebagainya pada pihak pendengar.

Konotasi sebagai makna kedua dari tanda dapat juga ditampilkan melalui teknik-teknik

visual. Dalam video maupun gambar terkandung level produksi yang berbeda (Framing,

Page 12: T1_362008041_BAB II.pdf

lay out, technical treatment, choice). Untuk memunculkan sebuah makna konotasi,

Barthes (2010:6) menyusun tahap-tahap konotasi. Agar dipahami dengan jelas, tiga tahap

pertama (trick effect, pose and object) harus dibedakan dengan tiga tahap terakhir

(photogenia, aesthetisicm dan sintax). Tahap ini sudah sering didengar dan tidak

dijelaskan dengan detail, tetapi hanya diposisikan secara struktural.

a. Trick Effect ( efek tiruan)

Trick effect memanfaatkan kredibiltas yang dimiliki oleh foto. Trick effect

merupakan syarat konotasi yang melihat teknik-teknik visual yang terdapat

dalam shot. Seperti kita lihat merupakan kekuatan luar biasa denotasi untuk

mengelupas pesan yang seolah-olah hanya bersifat denotatif belaka, tetapi sarat

dengan muatan konotatif. Metode ini memanipulasi atau meniadakan beberapa

hal atau mengubah latar warna. Trick effect bisa mengubah hal penting dalam

suatu scene atau mungkin hanya berperan minor seperti pencahayaan atau

kontras warna.

b. Pose (sikap)

Ketika berbicara tentang pose, otomatis kita langsung teringat kepada objek

tubuh. Pose merupakan komunikasi non verbal yang dilihat melalui bahasa

tubuhnya. Metodenya misalnya dilakukan dengan cara menampilkan gambar

setengah tubuh, tatapan mata ke atas, kedua tangan menyatu. Gerakan-gerakan

diatas jika ditampilkan akan terlihat seseorang yang seolah-olah berdoa.

c. Object (objek)

Pengaturan sikap atau posisi objek mesti sunguuh-sungguh diperhatikan karena

makna akan diserap dari objek yang diambil. Daya tarik akan semakin besar

apabila objek yang digunakan bisa merujuk pada jejaring ide tertentu (rak buku

merujuk pada intelektualitas) atau kalau mau lebih rumit lagi, simbol-simbol

berkesan dalam masyarakat (pintu kamar gas yang menjadi tempat eksekusi

mati seorang tahanan merujuk pada pintu gerbang pemakaman dalam mitologi

kuno). Objek-objek ini bisa menjadi elemen luar biasa bagi proses pertandaan.

d. Photogenia ( fotogenia)

Teori tentang photogenia merupakan aspek-aspek teknis dalam produksi foto

seperti pencahayaan dan pencetakkan hasil ( Barthes, 2010;10). Dalam

photogenia, pesan konotatif adalah gambar itu sendiri yang ‘diperhalus’ dengan

teknik-teknik pencahayaan dan pengurangan bias cahaya. Melalui ‘permainan’

pencahayaan sebuah scene bisa ditampilkan secara lebih dramatis atau romantis.

Page 13: T1_362008041_BAB II.pdf

e. Aesthetisicm (estetis)

Aestheticism erat kaitannya dengan ‘seni’. Aestheticism berhubungan dengan

keindahan. Dalam suatu scene bisa ditemukan gambaran yang sudah diatur

begitu rupa hingga tampak seperti lukisan. Ide-ide yang terkandung dalam

aestheticism mirip dengan seni lukis. Aestheticism melihat pada makna

keseluruhan makna gambar layaknya lukisan. Jika gambar biasa hanya

menampilkan sosok, benda, dan menawarkan fakta saja tetapi aestheticism

melihat secara keseluruhan. Gambar pedesaan di sore hari ketika matahari

terbenam misalnya bisa diartikan sebagai ketenangan atau kedamaian.

f. Sintax (sintaksis)

Sintax adalah gabungan yang membentuk makna. Jika kelima syarat diatas

hanya melihat scene per scene maka sintax melibatkan beberapa scene untuk

melihat makna yang terkandung di dalamnya.

3) Mitos

Budiman (dalam Sobur,2009:71) mengatakan dalam kerangka Barthes, konotasi identik

dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk memberikan

pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku pada periode tertentu. Di dalam mitos

juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun Sobur (2009:71)

mengatakan sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan

yang telah ada sebelumnya. Dengan kata lain, mitos adalah juga suatu sistem

pemaknaaan tataran kedua.

Page 14: T1_362008041_BAB II.pdf

Kata ‘mitos’ berasal dari bahasa Yunani ‘myhtos’ yang berarti ‘kata’, ‘ujaran’, ‘kisah

tentang dewa-dewa’. Sebuah mitos adalah narasi yang karakter-karakter utamanya adalah

para dewa, para pahlawan dan makhluk mistis, plotnya berputar disekitar asal muasal

benda-benda atau di sekitar makna benda-benda dan settingnya adalah dunia metafisika

yang dilawankan dengan dunia nyata. Pada tahap awal kebudayaan manusia, mitos

berfungsi sebagai teori asli mengenal dunia. Seluruh kebudayaan telah menciptakan

kisah-kisah untuk menjelaskan asal-usul mereka (Danesi, 2010:207). Menurut Urban

(Sobur, 2009:222) mitos adalah cara utama yang unik untuk memahami realitas. Menurut

Molinowski (Sobur, 2009:222) mitos adalah pernyataan purba tentang realitas yang lebih

relevan.

Mitos menciptakan suatu sistem pengetahuan metafisika untuk menjelaskan asal-usul,

tindakan dan karakter manusia selain fenomena dunia. Sistem ini adalah suatu sistem

yang secara instingtif kita ambil bahkan hingga saat ini untuk menyampaikan

pengetahuan tentang nilai-nilai dan moral awal kepada anak-anak. Di dalam mitos pula

sebuah petanda dapat memiliki beberapa penanda. Dengan mempelajari mitos, kita dapat

mempelajari bagaimana masyarakat yang berbeda menjawab pertanyaan-pertanyaan

dasar tentang dunia dan tempat bagi manusia di dalamnya. Kita dapat mengkaji mitos

untuk mempelajari bagaimana orang-orang mengembangkan suatu sistem sosial khusus

dengan banyak adat-istiadat dan cara hidup, dan juga memahami secara lebih baik nilai-

nilai yang mengikat para anggota masyarakat untuk menjadi satu kelompok.

Menurut Barthes pada saat media membagi pesan, maka pesan-pesan yang berdimensi

konotatif itulah yang menciptakan mitos. Pengertian mitos di sini tidak senantiasa

menunjuk pada mitologi dalam pengertian sehari-hari, seperti halnya cerita-cerita

tradisional, legenda dan sebagainya. Bagi Barthes, mitos adalah sebuah cara pemaknaan

dan ia menyatakan mitos secara lebih spesifik sebagai jenis pewacanaan atau tipe

wacana.

Barthes menyatakan bahwa mitos merupakan sistem komunikasi juga, karena mitos ini

pada akhirnya berfungsi sebagai penanda sebuah pesan tersendiri. Mitos tidaklah dapat

digambarkan melalui obyek pesannya, melainkan melalui cara pesan tersebut

disampaikan. Apapun dapat menjadi mitos, tergantung dari caranya ditekstualisasikan.

Sering dikatakan bahwa ideologi bersembunyi di balik mitos. Suatu mitos menyajikan

Page 15: T1_362008041_BAB II.pdf

serangkaian kepercayaan mendasar yang terpendam dalam ketidaksadaran representator.

(Hermawan, 2011: 253).

2.5.3. Semiotika Iklan

Pada awalnya iklan dikenal oleh masyarakat melalui media yang terbatas. Iklan

dikenali pada media cetak seperti iklan pada Koran maupun iklan yang dipasang dalam suatu

media sebagai relief atau papan nama. Perkembangan iklan mengikuti perkembangan media

yang memuatnya sehingga saat ini iklan terus berevolusi bentuknya sesuai dengan industri

yang menaunginya. Berawal dari iklan yang dipasang melalui papan-papan pengumuman,

kemudian berkembang menjadi iklan yang disiarkan melalui radio dan berkembang lebih

jauh menjadi iklan yang ditayangkan pada televisi dan internet.

Sebagai sebuah bangunan representasi, iklan sebagai sistem pertandaan tidak hanya

mencerminkan realitas manfaat dari produk yang ditawarkan namun iklan juga

merepresentasikan maksud atau gagasan yang tersembunyi dari penggagasnya. Prinsip

semiotika iklan adalah bahwa iklan melibatkan tanda dan kode. Setiap bagian iklan menjadi

tanda, yang secara mendasar berarti sesuatu yang memproduksi makna. Dalam iklan kode-

kode yang secara jelas dapat dibaca adalah bahasa berupa narasi atau unsur tekstual, audio

dan audiovisual.

Iklan juga merupakan konstruksi realitas dalam media. Giacardi berpendapat bahwa

iklan adalah acuan, artinya iklan adalah diskursus tentang realitas yang menggambarkan,

memproyeksikan dan menstimulasi suatu dunia mimpi yang hiperrealistik. Menurutnya iklan

berusaha menciptakan suatu realitas namun realitas iklan sendiri selalu berbeda dari realitas

nyata yang ada di masyarakat. Suharko mengatakan iklan berusaha merepresentasikan

kenyataan yang hidup dalam masyarakat melalui simbol-simbol tertentu, sehingga mampu

menimbulkan impresi dalam benak konsumen bahwa citra produk yang ditampilkan adalah

juga bagian dari kesadaran budayanya (Wibowo, 2011: 128).

Konstruksi iklan atas realitas sosial terjadi melalui lima tahap. Yaitu (1) tahap

menyiapkan materi konstruksi iklan, (2) tahap sebaran konstruksi, (3) tahap pembentukan

konstruksi, (4) tahap konfirmasi dan (5) tahap perilaku keputusan konsumen. Dari tahapan

konstruksi ini yang menjadi penekanan dalam studi semiotika adalah pada tahap ke tiga, yaitu

pada saat terjadi pembentukan konstruksi. Pada tahap ini tanda dibentuk dan dikonstruksi

serta disampaikan pada khalayak melalui media yang terpilih. Tanda-tanda yang dikonstruksi

tersebut merupakan suatu sistem tanda yang dalam semiotika dipakai sebagai kajian utama.

Page 16: T1_362008041_BAB II.pdf

Dalam hal ini akan dicari gambaran seperti apa tanda sebagai sebuah sistem dalam realitas

simbolik berupa teks iklan sehingga terjawab bagaimana sistem representasi yang terdapat

dalam konstruksi iklan tersebut (Wibowo, 2011: 129).

Untuk mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, kita bisa mengkajinya lewat sistem

tanda dalam iklan. Iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas lambang, baik tanda

verbal yang mencakup bahasa yang kita kenal maupun tanda non verbal yaitu bentuk dan

warna yang disajikan dalam iklan. Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama dalam

iklan radio, televisi, dan film (Sobur, 2004: 116).

Membedah iklan sebagai objek semiotika mengedepankan perlakuan terhadap

keseluruhan tanda-tanda di dalamnya seperti layaknya teks tertulis. John Fiske (1991)

mengajukan tiga level kode yang dapat dimaknai dalam menggali makna-makna tersembunyi

dalam iklan televisi. Level pertama adalah “realitas”, meliputi tampilan visual semacam

penampilan, pakaian, make up, perilaku, pembicaraan, gesture, ekspresi, suara dan lain-lain.

Level yang bersifat permukaan ini merupakan level kode yang bersifat teknis. Level kedua

adalah “representasi” dimana penggunaan kamera, pencahayaan, editing, musikdan suara.

Anasir-anasir tersebut dapat merepresentasikan makna tentang situasi yang dibangun seperti

konflik, karakter, setting dan sebagainya. Level ketiga adalah “ideologi”. Sebagai level

terdalam, level ini merepresentasikan sejauh mana ideologi yang dibangun dalam sebuah

tayangan iklan (Hermawan, 2011: 248).