tafsir baru terhadap pemahaman keagamaan dalam islam

3

Click here to load reader

Upload: dalmeri

Post on 16-Jun-2015

109 views

Category:

Documents


3 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tafsir Baru Terhadap Pemahaman Keagamaan Dalam Islam

TAFSIR BARU TERHADAP PEMAHAMAN KEAGAMAAN DALAM ISLAM Oleh: Dalmeri

Direktur Program Yayasan Dakwah Malaysia Indonesia (YADMI) Dosen Universitas Indraprasta PGRI Jakarta

Secara spesifik agama yang dibahas di sini adalah agama wahyu. Yaitu agama

yang lahir dan terbentuk melalui pewahyuan Tuhan dalam sejarah (Yahudi, Kristen,

Islam). Ciri utama agama wahyu adalah kepercayaan terhadap monoteis sebagai

dasar keberadaannya. Karena itu, tak heran kalau agama-agama ini mengklaim

absolusitas dan unviersalitas dirinya.

Wahyu Tuhan yang terangkum dalam Kitab Suci menjadi dasar normatif

keimanan para penganutnya. Tradisi kepercayaan yang hidup pada umatnya secara

primordial juga penting, sebab menghayati langsung atau lebih dekat dengan

pewahyuan Tuhan dalam satu periode sejarah tertentu itu. Kitab suci dan tradisi ini

selanjutnya menjadi dasar dan norma hidup seluruh pemeluk agama yang

bersangkutan sepanjang masa bagi semua generasi (transhistoris). Untuk itu, agama

harus menjadi institusi yang menata secara ketat kehidupan umat baik dalam

ungkapan iman melalui ibadat maupun dalam perwujudan melalui tindakan moral

dalam suatu pola normatif yang universal sesuai kitab suci dan tradisi.

Dalam perspektif posmodernisme yang sangat menekankan pluralitas,

relativitas dan ahistorisitas, terlihat kalau klaim agama tentang dirinya tersebut

bagaikan macan ompong yang kehilangan kekuatan. Ahistorisitas posmodernisme

otomatis tak sejalan dengan pemahaman agama wahyu tentang sejarah yang linier

progrsif sebagai medan pewahyuan Tuhan yang bergerak menuju kepunahannya.

Begitu pula dengan klaim absolusitas dan universalitas agama yang digugat

oleh posmodernisme. Klaim agama tersebut dianggap mengandung watak totaliter

dan dominatif karena mematikan atmosfer ekspresi religiusitas setiap orang atau

kelompok. Bahkan lebih buruk lagi klaim tersebut telah menghasilkan berbagai

perang ‘jihad’, ‘salib’ dan kolonialisme yang menindas dan memusnahkan begitu

banyak manusia. Implikasi paling radikal dalam teori posmodernisme terutama

dekonstruksi terlihat pada pemahaman terhadap kitab suci sebagai sebuah teks. Pada

aspek ini posmodernisme langsung menikam jantung keberadaan agama wahyu.

Berbeda dengan agama wahyu yang melihat kitab suci sebagai kitab normatif

yang bersifat absolut dan universal, sementara posmodernisme menandaskan

1

Page 2: Tafsir Baru Terhadap Pemahaman Keagamaan Dalam Islam

2

relativisme pada teks kitab suci. Sebagai sebuah teks, kitab suci bukanlah

representasi pewahyuan yang otomatis jelas dan langsung mempertemukan

seseorang dengan Tuhan yang mewahyukan kehendak-Nya. Sebagaimana dalam

teori dekonstruksi Derrida, teks bukan representasi kenyataan tapi sebuah sistem

penandaan. Maka dalam kitab suci yang kita temukan langsung bukanlah realitas

pewahyuan itu sendiri, tetapi jejak-jejak kenyataan (trace) pewahyuan yang termuat

dalam suatu sistem penandaan.

Kenyataan ini pun telah berlalu, yang tinggal adalah sebuah struktur internal

teks yang siap ditafsirkan secara plural. Pluralitas penafsiran ini lebih dimungkinkan

karena setiap penafsir dipengaruhi oleh ‘mood’ dan pilihannya sendiri. Di samping

itu, dalam setiap pembacaan teks oleh seseorang selalu diwarnai oleh pengalaman

temporernya, sebab teks (wahyu) juga melakukan eksplorasi terhadap realitas.

Konsekuensi mendasar relativisme teks kitab suci ini adalah rapuhnya dasar

bagi eksistensi agama wahyu. Karena bagi pemeluk agama monoteisme kitab suci

merupakan landasan normatif bagi seluruh identitas keagamaannya. Maka dari itu,

relativisme ini mengancam eksistensi agama wahyu.

Semua unsur agama seperti hukum, ibadat, moral, tata sosial pun kehilangan

pijakannya. Begitu juga otoritas penafsiran yang selama ini menjadi monopoli teolog,

magisterium, dan ulama juga dipertanyakan otentisitasnya. Karena itu tak heran

kalau pada kondisi demikian, ada yang berkata bahwa dalam posmodernisme agama

sesungguhnya telah mati.

Akan tetapi sebenarnya dalam posmodernisme terbuka kemungkinan lain dari

sekedar tafsiran bahwa agama telah mati. Kalau teori dekonstruksi nampaknya

menyatakan kematian Tuhan (agama), hal ini tidak bisa disamakan dengan atheisme

yang tidak mengakui keberadaan Tuhan. Apa yang dimaksudkan teori dekonstruksi

adalah kematian Tuhan yang ditempatkan dalam tulisan.

Kritik yang hendak dikemukakan dibalik pernyataan ini adalah bahwa tradisi

teologi Barat yang mengidentifikasikan keberadaan Tuhan dengan penandaannya

dalam tulisan, dengan begitu akan memasung kepenuhan Tuhan dalam penjara

tulisan (klaim adanya makna transendental dalam tulisan). Dekonsturksi justru mau

membongkar pendapat demikian, karena teks kitab suci adalah sistem penandaan

bukan representasi pewahyuan Tuhan. Pada saat ditempatkan dalam tulisan Tuhan

Page 3: Tafsir Baru Terhadap Pemahaman Keagamaan Dalam Islam

3

justru ‘mati’. Maka makna ‘kata Tuhan’ justru terletak dalam ketidakhadirannya

(absen) dalam referensi kata atau tulisan, karena itu mengundang ziarah pencarian

yang tak terbatas.

Begitu pula kritik-kritik tajam dari posmodernisme dapat bermanfaat untuk

pembaruan agama itu sendiri. Misalnya pluralitas kebenaran spesifik yang

dicanangkan posmodernisme bisa mendukung otonomi keagamaan. Sehingga di satu

pihak agama dapat menempatkan klaim absolutnya secara proporsional dan

dibebaskan dari arogansi penetratif terhadap semua aspek kehidupan yang lain. Di

samping bidang-bidang kehidupan lain seperti sains, politik dan kekuasaan pun

menghargai otonomi wilayah keagamaan. Lebih dari itu pluralitas kebenaran juga

merupakan konstruktif untuk dialog antar agama, yakni kebenaran sebuah agama tak

berarti menafikan eksistensi agama lain melainkan bagaimana membangun suatu

dialog kehidupan.

Dengan demikian kritik posmodernisme terhadap universalitas agama relevan

dengan upaya kontekstualisasi agama dalam pengalaman khas pribadi maupun

kelompok. Setiap orang atau kelompok memiliki pengalaman iman yang khas, hal ini

mesti dihargai dan diberi tempat oleh agama, dan bukan mematikannya dalam sebuah

standar ekspresi iman yang tunggal dan universal.

Pada aspek inilah pentingnya mengembangkan teologi inkulturatif yang

mendasarkan iman dalam pengalaman budaya setempat ataupun teologi kontekstual

yang mengembangkan refleksi iman atas dasar konteks kehidupannya. Demikian

pula perlunya agama meninggalkan doktrin abstraknya yang mengawang dan turun

membumi dalam pengalaman manusia konkret. Hanya dalam usaha transformasi

demikian agama bisa menjawab tantangan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi

sekarang ini.

Jadi gagasan penafsiran baru terhadap tradisi keberagamaan monoteisme

dengan memakai teori posmodernisme lewat penolakan terhadap universalitas,

absolusitas dan unitas, serta pengagungan pada pluralitas, relativitas, partikularitas

(individualitas) sungguh merupakan ancaman yang serius terhadap eksistensi agama

wahyu. Namun teori-teori posmodernisme tentu tidak dengan sendirinya benar atau

mengandung cacat serius sehingga tak mesti berimplikasi dengan ‘kematian agama’.

DM.