tauhid dan ilmu - anton ismunanto
DESCRIPTION
Islam, Agama, PendidikanTRANSCRIPT
1
Tauhid dan Ilmu: Relasi dan Implikasi
Anton Ismunanto*
Tidak mungkin ada peradaban di dunia tanpa keyakinan dasar (basic belief)1.
Sebaliknya, setiap peradaban di muka bumi ini pasti memiliki keyakinan dasarnya masing-
masing. Berbagai keyakinan dasar yang dimiliki satu peradaban tersebut kemudian
berakumulasi menjadi pandangan dunia (worldview)2. Sedangkan worldview inilah yang
menjadi cara setiap orang memahami kehidupan, serta menjadi asas bagi setiap kegiatannya3.
Berbagai persoalan dan kegiatan yang difahami dan didasarkan pada prisma pandangan hidup
tersebut mencakup masalah apapun, baik politik, ekonomi, sosial, budaya dan sebagainya.
Termasuk di dalamnya adalah pandangan dan kegiatan yang bersifat keilmuan, meliputi
pemahaman akan makna ilmu, penentuan objek-objek kajiannya, serta pemilihan cara
mencapai ilmu tersebut.
Islam yang merupakan sebuah peradaban memiliki basic belief-nya yang khas,
disebut dengan tauhîd4. Tauhid adalah keyakinan mengenai Allah sebagai satu-satunya
Tuhan yang tidak beroknum dan bersekutu5, yang merupakan sumber segala suatu dan
karenanya paling layak dan berhak untuk diagungkan. Keyakinan demikian berkembang
menjadi prisma pandangan hidup tauhîdî yang melihat kehidupan dalam prinsip-prinsip
kesatuan. Dari pandangan hidup tauhidi ini, konsep ilmu yang secara alamiah tumbuh dan
matang dalam Islam dicirikan dengan keterhubungan dengan Tuhan, memperhatikan aspek
materi-ruh dan dunia-akhirat, serta menerima adanya satu nilai yang final bersandar pada
wahyu.
Masalahnya, ketika hari ini peradaban Islam berada dalam posisi terhegemoni
peradaban Barat, ilmu yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Islam didominasi
oleh ilmu yang dikembangkan oleh peradaban Barat tersebut6. Padahal, Barat memiliki
keyakinan dasar yang menafikan Tuhan (ateis)7 yang kemudian mengkristal menjadi
pandangan hidup sekular (secular worldview) dengan ciri meniadakan unsur-unsur
keanggunan pada alam semesta (disenchantment of nature), menidaksakralan politik
(desacralization of politics), serta menafikan finalitas nilai (deconcecration of values)8. Hal
tersebut bukanlah persoalan sederhana karena pada gilirannya pandangan hidup dari anak-
anak peradaban Islam yang keyakinannya tauhid menjadi tersekularkan. Sehingga dalam
konsep keilmuan dan sistem berfikirnya, iman tidak berhubungan dengan ilmu, alam semesta
1 Pendapat tersebut diajukan oleh Sayyid Qutb dan Muhammad Abduh. Silahkan lihat penjelasan Hamid Fahmy
Zarkasyi, Peradaban Islam, (Ponorogo: CIOS, 2010), h. 10-11. 2 Lihat definisi Thomas Wall yang mengatakan bahwa worldview adalah, “an integrated system of basic
beliefs..” dalam Hamid Fahmy Zarkasyi, Peradaban Islam, h. 12. 3 Lihat pernyataan Ninian Smart dan Alparslan Acikgenc dalam Hamid Fahmy Zarkasyi, Peradaban Islam, h. 12-
13. 4 Lihat pada bagian ‘Muqaddimah’ dari karya Imam Subakir Ahmad, al-Tauhîd fî al-Islâm, (Ponorogo: DUP,
2008), 1-4; juga Isma’il Raji al-Faruqi, Tauhid, terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Pustaka, 1988), 16. 5 Lihat Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasîth, (Kairo: Maktabah al-Syurûq al-Dauliyah, 2005),
1016. 6 Lihat penjelasan yang sangat menarik dari Syed Muhammad Naquib al-Attas, Islam and Sekularism, (Kuala
Lumpur: ISTAC, 1993), h. 133. 7 Lihat pernyataan Alain Finkielkraut, ”what they called god was no longer the supreme being, but cullective
reason..” dalam Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, (Ponorogo: CIOS, 2010), h. 9. 8 Silahkan lihat penjelasan yang cukup panjang lebar dari Syed Muhammad Naquib al-Attas, Risalah Untuk
Kaum Muslimin, (Kuala Lumpur: ISTAC, 2001), h. 196-200.
2
sepenuhnya material, menolak keberadaan alam metafisik, menyandarkan kebenaran pada
alam empiris dan rasio, mempertentangkan sifat subyektif-obyektif ataupun rasionalisme-
empirisme pada ilmu, dan sebagainya. Maka bukan hal yang mengagetkan jika muncul
pernyataan-pernyataan seperti: “Tuhan kan mutlak, manusia yang relatif tidak mungkin bisa
mencapainya”, “jika mengkaji persoalan demikian, lepaskan dulu imannya”, “yang tidak
rasional dan tidak ada bukti fisiknya tidak bisa dinyatakan benar”, dan sebagainya.
Berangkat dari hal itu, tulisan ini akan menunjukkan mengenai relasi dan implikasi
tauhid terhadap ilmu dari tiga segi. Pertama, bahwa tauhid sebagai keyakinan dasar dalam
Islam bukanlah keyakinan an sich. Lebih dari itu, tauhid sebagai asas iman berkaitan erat
dengan ilmu, sehingga pada titik tertentu, iman adalah ilmu itu sendiri. Kedua, hal itu
berimplikasi terhadap kebermacaman objek yang bisa dikaji sebagai ilmu. Ketiga, selanjutnya
mengenai proses mengilmui (mengetahui) menurut pandangan tauhid.
Iman dan Ilmu
Seseorang memasuki gerbang tauhid dengan mengucapkan „lâ ilâh illa Allâh’.
Kalimat lâ ilâh illa Allâh disebut juga dengan kalimat syahadat (syahâdah). Syahadat atau
sering diartikan sebagai „persaksian‟ memiliki makna „mengungkapkan dan mengabarkan
apa yang ada di dalam hati‟. Penggunaan kata syahadat atau persaksian menunjukkan makna
„melihat dengan mata‟9. Kata tersebut digunakan bukan tanpa alasan yang kuat, yaitu, meski
manusia di dunia tidak bisa melihat Allah, akan tetapi di alam ruh dia telah melihat Allah dan
bersaksi atas ketuhanan-Nya10
, dan nantinya ia akan melihat Allah lagi di akhirat ketika
mempertanggungjawabkan dirinya di hadapan Allah. Kondisi ini berkaitan erat dengan ikrar
lain seorang muslim yang dikenal sebagai kalimat ‘tarjî’`, inna lillâh wa inna ilihi râji’ûn
(sesungguhnya kami milik Allah dan akan kembali kepada-Nya).
Karena manusia di dunia tidak bisa melihat Allah dengan matanya, maka syahadat
dan persaksiannya tersebut bisa menjadi sah jika memenuhi tujuh syarat11
. Pertama, al-‘ilm,
yaitu orang mengetahui dan mengilmui makna dari apa yang dipersaksikannya. Kedua, al-
yaqîn, yaitu orang tidak memiliki keraguan sedikitpun dengan apa yang diketahui dan
dipersaksikannya. Ketiga, al-qabûl, yaitu orang menerima dengan hati dan lisannya,
konsekuensi dari persaksiannya tersebut. Keempat, al-inqiyâd, yaitu tunduk patuh terhadap
apa yang terkandung dalam persaksian tersebut. Kelima, al-shidq atau seseorang
mengungkapkan persaksiannya dengan kejujuran, bukan karena suatu kepentingan, serta
bukan kebohongan atau kepura-puraan. Keenam, al-ikhlâsh, yaitu memurnikan niat dan
orientasi segala perbuatan baik demi Allah, serta menjernihkannya dari syirik. Ketujuh, al-
mahabbah, yaitu mencintai kalimat tersebut beserta tuntutan dan kandungannya. Jika gugur
salah satu saja dari ketujuh syarat tersebut, maka gugur atau batal-lah syahadat dan tauhid
seseorang.
Syarat pertama dari tujuh syarat yang disebutkan di atas adalah ilmu. Hal itu
menunjukkan bahwa ilmu adalah syarat yang paling asasi sebelum syarat yang lainnya.
Secara sederhana, bisa disimpulkan bahwa relasi tauhid sebagai inti iman dalam Islam
dengan ilmu sangat mendasar. Bahkan pemahaman atas kedudukan ilmu terhadap tauhid bisa
9 Silakan lihat Muhammad al-Shâlih al-‘Utsaimîn, Syarh al-‘Aqîdah al-Wâsithiyah, jil. 1 (Arab Saudi: Dâr Ibn al-
Jauzî, 2001), 43. 10
Silakan lihat QS al-A’râf [7]:172, mengenai perjanjian azali manusia dengan Allah. 11
Ini merupakan pembahasan yang sangat penting dalam kaitannya dengan akidah Islam. ini juga memiliki ikatan erat dengan pembahasan mengenai loyalitas dan anti-loyalitas seorang muslim. Silakan lihat Muhammad Sa’îd al-Qahthanî, al-Walâ` wa al-Barâ` fî al-Islâm, (Riyadh: Dâr al-Thayibah, 2003), 28-39.
3
digeser: bahwa tauhid seseorang tidak sah, atau tidak mungkin ada, tanpa adanya ilmu.
Sebagai misal, seseorang tidak akan merasakan kasih sayang Allah jika tidak memiliki ilmu
mengenai sifat Allah yang Maha Penyayang. Begitupun dia tidak akan merasakan takut
kepada Allah jika tidak mengilmui bahwa Allah Maha Membalas perbuatan (buruk) hamba.
„Abdurrahman al-Sa‟dî dalam tafsirnya mengatakan, “Iman tidak mungkin ada tanpa adanya
ilmu, karena ilmu adalah cabang dari iman, dan iman tidak mungkin sempurna tanpa adanya
ilmu.”12
Pernyataan al-Sa‟dî tersebut bukan hanya ungkapan pribadinya, akan tetapi
merefleksikan pendapat umum di kalangan ulama Islam sepanjang sejarah, sejak dulu hingga
kini.
Relasi tauhid sebagai sistem keyakinan seorang muslim dengan ilmu tidak lepas dari
hakikat dasar ilmu dalam diri manusia. Dalam tradisi keilmuan Islam, telah dikenal bahwa
ilmu bukan sekedar informasi dan fakta13
. Lebih jauh, ilmu berkaitan erat dengan keyakinan
(al-yaqîn) dan kepastian (certainty)14
. Sedangkan letak keyakinan tentulah pada bagian dalam
diri manusia yang disebut dengan hati (qalb). Selain itu, seperti diketahui, ilmu merupakan
hasil kerja akal manusia. Akan tetapi akal menurut al-Qur`an bukanlah sekedar rasio. Lebih
dari itu, akal berkaitan dengan intuisi atau hati manusia (al-qalb)15
, sebagaimana disebutkan
dalam Al-Qur`an bahwa kerja berfikir (ta’aqqul) dan memahami (tafahhum) terjadi dalam
qalb tersebut. Konsekuensinya, produk keilmuan apapun yang dihasilkan akal, akan ada
hubungan saling pengaruh dengan struktur keyakinan dalam hatinya. Mengilmui sesuatu
berkonsekuensi mengimani hal tersebut. Kedua argumen barusan menguatkan kesimpulan
bahwa tauhid yang terletak dalam hati seseorang, berkaitan erat dengan ilmu yang
dimiliknya.
Syahadat tauhid yang diucapkan seseorang selanjutnya berimplikasi terhadap
penegasan bahwa ilmu bisa dicapai manusia, dan manusia bisa mengilmuinya, seperti
dinyatakan oleh al-Faruqi16
. Seperti diketahui, syahadat tauhid yang merupakan gerbang
masuk kepada Islam adalah persaksian mengenai Tuhan sebagai Realitas dan Kebenaran
tertinggi (al-Haqq)17
, dengan sifat-Nya paling esensial, yaitu Yang Tunggal (al-Ahad)18
.
12
Beliau mengatakan: به إال يتم ال عنه فرع ألنه بالعلم إال اإليمان يكون ال
Silakan lihat ‘Abdurrahmân al-Sa’dî, Taisîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân,(Beirut: Mu`assasah al-Risâlah, 2002), h. 934.
13 Meskipun ilmu dibangun di atas informasi dan fakta, akan tetapi ilmu tidak sebatas informasi dan fakta
tersebut. Apa yang terjadi hari ini sejatinya bukanlah ledakan ilmu, melainkan ledakan informasi. Penjelasan lebih lanjut silakan lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Budaya Ilmu: Satu Penjelasan, (Singapura: Pustaka Nasional, 2007), h. 34.
14 Menurut Syamsuddin Arif, Plato memahami ilmu sebagai keyakinan terhadap kebenaran. Sedangkan
menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, al-Qur`an sendiri sangat menekankan relasi ilmu dengan kebenaran dan keyakinan (al-haqq dan al-yaqîn). Lebih lanjut silahkan merujuk ke Syamsuddin Arif, Mendefinisikan dan Memetakan Ilmu, dalam Adian Husaini, et. al., Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: GIP, 2013), h. 77; juga Wan Mohd Nor Wan Daud, Konsep Pengetahuan Dalam Islam, (Bandung: Pustaka, 1997), h. 67; juga Hamid Fahmy Zarkasyi, al-Ghazâlî`s Concept of Causality, (Malaysia: IIUM Press, 2010), h. 174 – 179.
15 QS al-Hajj [22]:46 aslinya berbunyi :
ي ع قلونباق لوبلم Sedangkan QS al-A’râf [7]: 179 berbunyi:
قهونبا ي ف لم ق لوبلا16
Silahkan lihat penjelasan al-Faruqi dalam Isma’il Raji al-Faruqi, Tauhid, h. 44. 17
Silahkan lihat misalnya dalam QS al-Hajj [22]:62. Ayat tersebut berbunyi,
عونمندونوىوال باطلوأنااللا مايد وأنا ق لكبأنااللاوىوال ال كبيذ وىوال علي
4
Secara logis, tentunya sebuah persaksian bisa dinyatakan absah jika saksi memiliki ilmu atas
apa yang dipersaksikannya. Jika ilmu sebagai syarat absen dari persaksian, maka pernyataan
saksi tersebut menjadi tidak bermakna, meski diulang hingga ribuan kali. Namun argumen
nalar (aqlî) tersebut rupanya tidak berdiri sendiri, melainkan dibarengi dengan argumen
tekstual (naqlî). Dalam al-Qur`an, terdapat perintah Tuhan bagi manusia untuk mengilmui
bahwasanya tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Dia19
. Sebagaimana umumnya,
bahwa sebuah perintah memberikan makna kewajiban. Dengan demikian ayat tersebut
menunjukkan bahwa mengilmui ketunggalan Allah bersifat wajib bagi manusia.
Ayat yang berisi perintah Tuhan untuk mengilmui diri-Nya tersebut adalah QS
Muhammad [47]:19 sebagai berikut:
والله ي علم مت قلبكم ومث واكم فاعلم أنه ل إله إل الله واست غفر لذنبك وللمؤمنين والمؤمنات Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Ilah (sesembahan, tuhan) selain Allah dan
mohonlah ampunan bagi dosamu dan bagi (dosa) orang-orang mukmin, laki-laki dan
perempuan. Dan Allah mengetahui tempat kamu berusaha dan tempat kamu tinggal.
Dalam ayat tersebut paling tidak terdapat tiga bagian. Yang pertama adalah Tuhan sebagai
pemberi perintah. Sebagai pemberi perintah Ia adalah Eksistensi Absolut (al-Wâjib al-
Wujûd)20
, Realitas sekaligus Kebenaran Mutlak21
(al-Haqq), Yang Maha Memiliki ilmu (al-
‘Alîm)22
, Yang Maha Kuasa (al-Qadîr)23
, serta Yang Mengajari manusia (al-Mu’allim)24
.
Yang kedua adalah manusia. Manusia adalah satu dari sekian banyak makhluk ciptaan Tuhan.
Sebagai ciptaan, maka realitasnya bersifat nisbi (al-mumkin al-wujûd) jika dibandingkan
Tuhan sebagai Realitas Absolut. Oleh karena itu pula, ia diliputi berbagai keterbatasan dan
kebergantungan kepada Tuhan. Sedangkan yang ketiga adalah perintah untuk mengilmui
salah satu sifat esensial Tuhan, yaitu ketunggalan. Adapun yang disebut ilmu adalah
mengetahui sesuatu sebagaimana adanya dengan penuh kemantapan25
. Jadi, hubungan Tuhan
18
Sifat Tuhan ini disebutkan dalam surat yang paling tinggi nilainya dalam masalah tauhid, yaitu surat al-Ikhlâsh. Bunyi ayat tersebut adalah:
قل ىواللاوأحدAdapun ayat selanjutnya, yaitu ayat 2 hingga ayat 4, seluruhya menegaskan mengenai ketunggalan Allah. Lebih jelas silahkan lihat al-Ikhlâsh [112]:1.
19 Silahkan lihat QS Muhammad [47]:19 yang berbunyi,
اللاو فاع لم أناولإلوإلا20
Istilah al-Wâjib al-Wujûd (Yang Keberadaannya bersifat senantiasa aktual) biasa dipakai oleh filosof Islam maupun ahli kalam untuk menyifati status ontologis Tuhan. Diperbandingkan dengan alam semesta atau makhluk, termasuk di dalamnya manusia, yang disebut al-mumkin al-wujûd (yang keberadaannya bersifat potensial), sebagai zat yang sangat bergantung pada Tuhan. Untuk lebih jelas silahkan lihat Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, (Bandung: Mizan, 2003), h. 32-33.
21 Istilah ini dipakai oleh Nasr untuk menerjemahkan kata al-Haqq. Silahkan lihat Seyyed Hossein Nasr, The
Garden of Truth, (New York: Harper One, 2007), h. 30. Bandingkan dengan terjemahannya, Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth, terj. Yuliani Liputo, (Bandung: Mizan, 2010), h. 45.
22 Disebutkan bahwa Tuhan Maha mengetahui segala sesuatu, seperti dalam QS al-Hadîd [57]:3 yang berbunyi,
ءعليم وىوبكلشي 23
Disebutkan bahwa Tuhan Maha berkuasa atas segala suatu, seperti dalam QS Hûd [11]: 4 yang berbunyi,
ءقدير كلشي وىوعلى24
Dalam al-Qur`an, Tuhan disebutkan mengajarkan banyak hal kepada manusia, baik itu mengajarkan nama-nama (al-asmâ`) dalam QS al-Baqarah [2]:31, mengajarkan al-Qur`an dan bayân dalam QS al-Rahmân [55]:2&4, ataupun mengajari manusia mengenai persoalan secara umum dengan perantaraan al-qalamseperti disebutkan dalam QS al-‘Alaq [96]:4-5.
25 Aslinya adalah:
5
sebagai Pemberi perintah manusia untuk mengilmui Diri-Nya, sekaligus sebagai objek ilmu
tersebut, dengan manusia sebagai penerima perintah, telah disebutkan dalam al-Qur`an.
Ketiga bagian tersebut menguatkan keyakinan dan asumsi dasar keilmuan mengenai
persoalan bahwa kebenaran bisa diketahui, serta manusia bisa mencapainya. Argumentasinya
sebagai berikut: Dimulai dari fakta bahwa Tuhan memberikan perintah-Nya. Sebagai suatu
perintah, tidak mungkin jika berada di luar kemampuan manusia, sebagaimana Tuhan sendiri
katakan dalam al-Qur`an26
. Jika demikian, maka perintah untuk mencapai ilmu mengenai
Tuhan, secara khusus mengenai ketunggalan-Nya (wahdâniyyah), adalah sesuatu yang
mungkin (posible). Meskipun Tuhan sebagai Realitas Absolut dan Kebenaran Puncak,
sedangkan manusia adalah makluk nisbi yang serba terbatas. Hal itu tidak lepas dari kuasa
Tuhan untuk membuat skenario demikian; yaitu untuk membuat diri-Nya diketahui, dan Ia
suka untuk dikenal27
, termasuk untuk membuat manusia yang nisbi tersebut mampu untuk
mencapai-Nya. Karena jika Allah tidak mampu untuk menjadikan diri-Nya diketahui,
ataupun membuat manusia ciptaan-Nya mampu untuk mengetahui diri-Nya, maka sama
dengan menganggap Tuhan tidak Maha Kuasa. Itu berarti pula bahwa perintah tersebut tidak
bermakna sama sekali karena menyangkut sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh manusia.
Ketika Tuhan sebagai Kebenaran dan Realitas Absolut saja bisa diilmui atau diketahui, maka
hal lainnya, yaitu berbagai ciptaan-Nya, yang memiliki tingkatan eksistensi yang lebih
rendah, seperti akan dijelaskan kemudian, tentunya pula lebih mampu untuk diketahui.
Menurut Islam, manusia bisa mengilmui Tuhan dalam banyak cara. Cara ini jangan
dibaca sebagai keberagaman saja, namun juga kebertingkatan validitas. Dimulai dengan cara
yang paling dangkal, yaitu mengindera. Dengan inderanya, manusia bisa mengilmui jejak,
simbol, tanda dan ayat Tuhan yang terhampar di alam semesta28
. Selain inderanya, manusia
bisa „mengikat‟ hubungan organis antara alam semesta sebagai ayat dengan Tuhan sebagai
pencipta dengan akalnya29
. Ungkapan dalam al-Qur`an mengenai berfikir (nadlara30
dan
tafakkara31
) tidak hanya berkaitan dengan mengilmui alam semesta sebagai objek, namun
إدراكالشيءعلىماىوعليوإدراكاجازماSilahkan lihat Muhammad al-Shâlih al-‘Utsaimîn, Syarh al-Ushûl al-Tsalâtsah, h. 18. Bandingkan juga dengan pengertian al-Baqillânî yang dikutip dalam Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, h. 1.
26 Silahkan lihat QS al-Baqarah [2]: 286 yang berbunyi,
عها وس ساإلا ليكلفاللاون ف 27
Merujuk kepada perkataan kaum sufi, yang seringkali dinyatakan sebagai hadis:
كنزاخمفيا فأحببتأنأعرففخلقتاخللقلكيأعرفكنت Lebih lengkap silahkan lihat SMN al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), h. 71; lihat juga SMN al-Attas, Islam dan Sekularisme, h. 113.
28 Silahkan lihat QS al-Najm [53]:18 yang berbunyi,
آياتربوال كب رى من رأى لقد 29
Hal ini berangkat dari makna alamiah kata akal yang dalam bahasa arab adalah ‘aql. Akal berasal dari kata kerja ‘aqala-ya’qilu yang berarti mengikat. Makna kata mengikat ini sangat luas, termasuk mengikat objek ilmu dengan Penciptanya. Silahkan lihat Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasîth, h. 616-617.
30 Silakan lihat QS al-Thâriq [86]:5. Ayat tersebut berbunyi,
نسانمما خلقف ل ينظرال Juga QS ‘Abasa [80]: 24. Ayat tersebut berbunyi,
طعامو نسانإل ف ل ينظرال Juga QS al-Ghâsyiyah [88]: 17-20.
كي فخلقت بل كي فرفعت أفلينظرونإلال كي فنصبت وإلالساماء بال كي فسطحت و وإلال ر ض إلال 31
Silahkan lihat misalnya QS al-Nahl [16]: 11 yang berbunyi,
6
lebih dari itu, menghubungkannya dengan Tuhan. Manusia juga bisa mengilmui Tuhan secara
lebih terang dengan berita yang sampai kepadanya dari wahyu, baik al-Qur`an maupun
sunnah. Melalui keduanya, orang akan mengetahui nama diri Tuhan32
beserta sifat dan
perbuatan-Nya secara seksama. Berita dari orang yang pernah mengalami perjumpaan dengan
Tuhan secara intuitif, lalu terverifikasi secara layak dan disebut al-khabar al-shâdiq33
pun
bisa menjadi sumber ilmu. Lebih jauh lagi, manusia bisa mengenal Tuhan secara langsung
tanpa perantara dengan intuisi (al-qalb), dalam satu pengalaman spiritual yang melampaui
nalar dan inderanya34
. Seluruh ilmu yang didapatkan manusia tersebut pada akhirnya
menambah kadar iman dan menguatkannya.
Dengan taraf tauhid yang dibangun di atas ilmu demikian, tauhid kemudian menjelma
dalam sebuah prisma pandangan dunia (worldview) yang berguna untuk menafsirkan
berbagai fenomena35
. Pada prisma yang disebut pandangan dunia ini pula lah berbagai
keyakinan yang tertanam dalam diri awam maupun ilmuwan muslim bekerja mempengaruhi
kerja keilmuannya36
. Hal itu karena indera, akal, hingga intuisinya bekerja dalam dominasi
tauhid. Imbasnya, jika seorang ateis yang meyakini bahwa Tuhan telah absen dari proses
kerja alam semesta melakukan kerja keilmuan, bangunan teori yang disusunnya tidak akan
mengandung pandangan metafisis tentang penciptaan, sehingga dalam kesimpulannya
kemudian, akan semakin menguatkan keyakinan dasarnya bahwa Tuhan tidak ada.
Sebaliknya, seorang yang bertauhid membangun teori yang melibatkan unsur Tuhan dalam
penjelasan-penjelasannya, sehingga kesimpulan-kesimpulan dari kerja keilmuannya akan
berakhir pada Tuhan pula. Karena alasan-alasan itulah, maka kemudian ilmu bersifat tidak
netral nilai.
Objek Ilmu
Objek ilmu dalam Islam berkaitan dengan seluruh realitas, baik yang mutlak maupun
yang nisbi. Yang disebut Realitas Mutlak tentunya adalah Tuhan. Hal karena Tuhan lah al-
Wâjib al-Wujûd37
, yaitu Realitas yang paling nyata (merujuk kepada salah satu sifat Tuhan,
al-Haqq38
), Zat yang eksistensinya selalu aktual, serta sumber dari seluru realitas selain Diri-
Nya39
. Tuhan adalah Zat yang satu dan tidak berbilang (al-Ahad). Ia memiliki keseluruhan
kesempurnaan sehingga menjadi yang paling layak untuk menjadi sumber segala tumpuan
(al-Shamad). Ia tidak memerlukan regenerasi yang menyebabkan keterbagian dan rusaknya
كلالثامرات ع نابومن لكليةلقو مي ت فكارون ينبتلكمبوالزار عوالزاي تونوالناخيلوال إنافذ juga yang semisalnya seperti dalam QS al-Jâtsiyah [45]:13, QS al-Rûm [30]:21.
32 Silahkan merujuk ke QS Thâhâ [20]: 14. Bunyi ayat tersebut,
ري نوأقمالصالةلذك أنافاع بد إنانأنااللاولإلوإلا33
Silahkan lihat penjelasan ringkas Adi Setia, Epistemologi Islam Menurut al-Attas Satu Uraian Ringkas, dalam Islamia, volume 1 nomor 6, (Jakarta: Insists, 2005), h. 53.
34 Silahkan lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, al-Ghazâlî`s Concept of Causality, h. 165.
35 Silahkan lihat penjelasan dalam buku Ziauddin Sardar, Jihad Intelektual, h. 43.
36 Menurut Thomas Wall, keyakinan adalah bahasa lain dari pandangan hidup (worldview) yang mengisi benak
seseorang. Pandangan hidup inilah yang menurut Alparslan Acikgenc menjadi asas bagi setiap kegiatan manusia, termasuk aktivitas ilmiah. Lebih jelas silakan lihat penjelasan mengenai worlview oleh Hamid Fahmy Zarkasyi, Peradaban Islam, (Ponorogo: CIOS, 2010), 9-17.
37 Silahkan lihat Mulyadhi Kartanegara, Pengantar Epistemologi Islam, h. 32.
38 Seyyed Hossein Nasr, The Garden of Truth, h. 30.
39 Silahkan lihat William Chittick, Science of the Cosmos Science of the Soul, (Inggris: One World, 2007), h. 30;
bandingkan dengan terjemahannya, William Chittick, Kosmologi Islam dan Dunia Modern, terj. Arif Mulyadi, (Bandung: Mizan, 2010), h. 39.
7
ketunggalan Diri-Nya (lam yalid), serta tidak berasal dari sesuatu yang lain, yang
menunjukkan bahwa Diri-Nya bermula dari ketiadaan (lam yûlad). Lebih dari itu, tidak ada
satu-pun yang menyamai Tuhan baik dalam sedikit maupun keseluruhan aspek dari Diri-Nya.
Itulah yang ditunjukkan oleh QS al-Ikhlâsh sebagai surat teragung dalam al-Qur`an40
.
Sedangkan yang disebut realitas nisbi adalah segala realitas (al-haqîqah) selain-Nya,
yang berasal dari-Nya, serta akan kembali kepada-Nya41
. Dengan pengertian tersebut, apa
yang dipandang sebaga realitas sangatlah luas, dan lebih dari itu, dalam satu kesatuan yang
saling berkaitan42
. Hal ini berarti pula bahwa realitas empiris hanyalah bagian dari realitas
nisbi yang berikatan dan bergantung kepada Realitas Mutlak. Kenyataan tersebut
berimplikasi terhadap pandangan Islam yang tidak mengenal pembedaan antara realitas sakral
dengan profan, antara yang material dan spiritual, serta antara dunia (al-dunyâ) dengan
akhirat (al-âkhirat), melainkan semuanya itu masuk dalam penamaan haqîqah43
. Baik yang
fisik maupun non-fisik atau metafisik (‘âlam al-mulk wa al-syahâdah dan ‘âlam al-ghaib44
),
semua memiliki status ontologis yang sama, karena semuanya sama-sama berasal dari Tuhan
sebagai al-Haqq45
. Perbedaan yang terjadi dalam realitas, dimana sebagiannya mampu
ditangkap oleh indera, sedangkan lainnya hanya bisa dipikirkan secara rasional, serta ada pula
yang hanya bisa dicapai secara intuitif karena sifatnya yang suprarasional, maka itu hanyalah
disebabkan oleh perbedaan tingkatan-tingkatan dalam eksistensi saja46
. Satu hal yang pasti,
semua realitas yang beragam itu sama-sama dianggap riil (real) dan nyata.
Menyangkut realitas yang dialami manusia dengan segala keragaman tingkat
eksistensi (disebut dengan marâtib al-wujûd/degrees of existence) yang ada, al-Attas
membaginya sebagai berikut47
: Pertama, realitas objektif (haqîqî) yang ada di dunia luar diri
manusia. Kedua, realitas inderawi (hissî) sebagai hal-hal yang dialami dan dipersepsi
manusia secara inderawi, termasuk di dalamnya adalah mimpi dan ilusi. Ketiga, realitas
imajinasi (khayâlî) sebagai objek-objek yang tersimpan dalam benak manusia hasil persepsi,
ketika objek aslinya absen. Keempat, realitas intelektual (‘aqlî), yaitu konsep-konsep abstrak
dalam benak manusia. Kelima, realitas analogis (syibhî) yang tidak ada sama sekali dalam
realitas-realitas sebelumnya, melainkan sekedar menyerupai, sebagai hasil dari kemampuan
diskursif dan kogitatif (berpikir) dari jiwa. Keenam, realitas suprarasional atau transendental,
yaitu yang dialami oleh para nabi, wali, maupun orang-orang yang mendalam ilmunya.
Keragaman realitas tersebut berkonsekuensi terhadap objek ilmu yang bermacam-macam.
Hasilnya adalah jenis ilmu yang demikian banyak, terbentang dari fisika, matematika, hingga
40
Silahkan lihat QS al-Ikhlâsh [112]:1-3, berikut tafsirnya yang cukup baik dari M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbâh, juz. 15, (Jakarta: Lentera Hati, 2009), h. 714-724.
41 Silahkan lihat ulasan menarik dari William Chittick, Science of the Cosmos Science of the Soul, h. 30.
42 Silahkan lihat Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, (Bandung: Arasy&UIN Jakarta Press, 2005), h. 35.
43 Silahkan lihat SMN al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 1.
44 Dinar Dewi Kania, Objek Ilmu dan Sumber-Sumber Ilmu, dalam Adian Husaini, et. al., Filsafat Ilmu Perspektif
Barat dan Islam, Jakarta, GIP, 2013, h. 88. 45
Silahkan lihat Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 35-38. 46
Dalam filsafat Islam, hal itu dikenal sebagai tingkatan-tingkatan dalam eksistensi (tasykîk al-wujûd). Teori tersebut dirumuskan oleh filosof Syiah, Mulla Shadra. Silahkan lihat penjelasannya dalam Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 35-43; atau lebih dalam lagi dalam Fazlur Rahman, Filsafat Shadra, terj. Munir Muin, (Bandung: Pustaka, 2010), h. 45-49; atau dengan istilah marâtib al-wujûd (the degrees of exsistence) oleh SMN al-Attas, The Degrees of Existence, dalam bukunya, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 267-319.
47 Silahkan lihat SMN al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 124-125; atau penjelasannya dalam
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam SMN al-Attas, h. 150.
8
metafisika48
. Semuanya itu sebagai respon jiwa dengan indera internal dan eksternalnya,
terhadap keragaman eksistensi yang bisa dicapainya.
Seluruh realitas selain Tuhan yang disebutkan di atas disebut dengan khalq yang
berarti makhlûq (makhluk)49
, sehingga Tuhan disebut sebagai Khâliq atau Pencipta makhluk.
Dalam tafsir al-Taisîr dijelaskan bahwa kata khalq digunakan sebagai persamaan (murâdif)
dari kata ‘âlamûn (alam semesta)50
. Yang menarik, menurut tafsir Adhwâ` al-Bayân terhadap
ayat ke-dua surat al-Fâtihah, kata âlam (alam) sebagai bentuk tunggal dari âlamûn, secara
semantik memiliki hubungan erat dengan kata „alâmah (tanda)51
. Kata ‘alâmah tersebut juga
berarti ma’lam (tanda jalan) serta âyat (ayat). Artinya seluruh realitas di alam semesta ini
sesungguhnya adalah seperti tanda jalan (plang jalan atau rambu jalan) yang tidak menunjuk
pada dirinya sendiri, melainkan kepada hal lainnya, dan dalam hal ini adalah Tuhan. Karena
berfungsi menunjukkan manusia pada objek lain, dalam hal ini adalah Tuhan, maka alam di
saat yang sama adalah objek ilmu. Namun, tidak sekedar objek ilmu semata, alam adalah
objek yang berfungsi menjadi tanda yang mengantarkan manusia pada kesadaran akan Tuhan.
Terhadap realitas (haqîqah) yang beragam tersebut, manusia tidak bisa menilainya
sebagai kebenaran, semata-mata karena adanya, melainkan harus merujukkan kepada Tuhan
sebagai sumber tunggal kebenaran (al-Haqq)52
. Adapun yang disebut „kebenaran‟ dalam hal
ini adalah apa saja yang dinyatakan benar oleh Tuhan, yang sampai kepada manusia melalui
kitab suci-Nya (al-Qur`an) serta pernyataan utusannya (Muhammad dengan sunnahnya). Dan
kebenaran tersebut bisa dicapai dan diketahui manusia seperti telah disinggung53
. Sehingga
apa saja yang riil, atau mengada dalam alam empiris, tidak serta merta dinyatakan benar. Jika
hal tersebut ditolak oleh kebenaran agama, maka serta merta dinyatakan sebagai salah (al-
bâthil sebagai lawan al-haqq). Hal tersebut berbeda sama sekali dengan pandangan hidup
Barat. Hanya semata-mata sesuatu ada, atau bahkan banyak tersebar, maka kemudian
dinyatakan sebagai benar. Hal tersebut terjadi baik dalam persoalan agama, sosial, budaya,
politik, termasuk di dalamnya menyangkut pengkajian ilmu. Jadi dalam Islam, segala yang
berasal dari Tuhan, dinilai berdasar ketentuan Tuhan, haqîqah merujuk kepada al-hâqq.
Dari penjelasan mengenai realitas di atas, termasuk keseluruhan realitas selain Tuhan
yang menunjuk kepada Tuhan, beserta kebenaran yang digunakan untuk menilai realitas
tersebut, maka objek ilmu yang bisa dicapai manusia paling tidak bisa dibagi sebagai berikut:
Pertama, Tuhan. Karena semua objek ilmu di alam semesta di saat yang sama adalah
simbol yang menunjukkan kepada Tuhan, maka objek pertama dari ilmu adalah Tuhan itu
sendiri. Seperti telah disinggung, Tuhanlah realitas mutlak dan yang paling nyata (al-Haqq),
sedangkan seluruh realitas selain-Nya bergantung pada-Nya (al-Shamad). Sehingga manusia
muslim yang bertauhid, ketika melihat ke setiap sudut semesta, akan mendapati „Tuhan‟ di
sana. Ketika bersyahadat, manusia dipersyaratkan mengilmui Tuhan, dalam hal ini salah satu
48
Silahkan lihat Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 36-38. 49
Silahkan lihat Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasîth, h. 252. 50
Silahkan lihat ‘Abdurrahmân al-Sa’dî, Taisîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, h. 27. 51
Silahkan lihat Muhammad al-Amîn al-Syinqithî, Adhwâ` al-Bayân fî Îdhâh al-Qur`ân, (Lebanon: Dâr al-Fikr, 1995), h. 5.
52 Silahkan lihat SMN al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 1-2.
53 Termasuk ayat yang menguatkan hal tersebut adalah ayat al-Qur`an sendiri, yaitu QS al-Baqarah [2]:137 dan
Alu Imrân [3]:60,
منرابكفل ق ينال كنمنال مم Hal tersebut bahwa ‘kebenaran’ tersebut telah disampaikan kepada manusia, dalam hal ini melalui Nabi dan
Utusan Tuhan. Dengan demikian tidak ada alasan untuk ragu mengenainya.
9
sifat esensial-Nya. Tuhan menciptakan manusia agar Dirinya diketahui54
. Lebih dari itu, ilmu
tentang Tuhan adalah ilmu tertinggi55
yang dilimpahkan kepada manusia, sekaligus sumber
kebahagiaan hakiki56
yang bisa diraihnya di dunia.
Kedua, alam tak kasat mata (al-‘âlam al-ghaib) 57
. Objek tak kasat mata (al-ghaib)
merupakan tema-tema keimanan yang berkaitan erat dan tidak bisa dipisahkan dari tauhid.
Pembahasan mengenai hal tersebut tentulah bukan hal irrasional, melainkan supra-rasional,
yaitu melampaui nalar manusia. Oleh karenanya, ilmu mengenai hal ini didapatkan melalui
berita (al-khabar al-shâdiq) yang bersumber pada otoritas Tuhan dan Nabi Muhammad (al-
Qur`an dan sunnah). Contoh objek ilmu yang masuk ke dalam alam tak kasat mata ini adalah
persoalan alam persaksian sebelum ditiupkannya ruh, mengenai perjalanan manusia setelah
kematian, perjumpaan dengan Tuhan di hari perhitungan, hingga muara nasib manusia berupa
surga-neraka, dan sebagainya. Bagi nalar manusia modern-sekular, hal tersebut tampak aneh
dan tidak penting. Tetapi bagi nalar manusia muslim yang bertauhid, mengilmui hal-hal
tersebut sangat esensial. Bahkan menjadi kompas maknawi untuk menjalani kehidupan yang
semakin hari semakin absurd digerus modernitas dan sekularisasi ini. Namun, seperti akan
dibahas kemudian, pengetahuan manusia mengenai alam tak kasat mata ini tidak didapatkan
melalui proses rasional ataupun empiris. Lebih dari itu, pengetahuan yang bisa dicapai
manusia mengenainya pun hanyalah sedikit58
.
Ketiga, alam semesta besar (‘âlam al-kabîr/macrocosm)59
. Sementara objek kedua
adalah alam tak kasat mata (al-ghaib), maka objek alam semesta ini masuk ke dalam objek
kasat mata (‘âlam al-mulk wa al-syahâdah) 60
. Dalam hal ini manusia masuk ke dalam objek
selanjutnya. Objek kasat mata di alam semesta sangat beragam dan bermacam, termasuk di
dalamnya adalah objek mikroskopis yang tak kasat mata karena kecilnya seperti sel, maupun
objek teleskopik yang tak kasat mata karena jauhya seperti planet lain di luar angkasa. Ilmu
yang mengkaji objek-objek fisik tersebut tentu saja adalah fisika, yang kemudian berkembang
menjadi berbagai disiplin yang lebih detil seperti kosmologi, kimia, biologi, dan sebagainya
sebagai percabangan atau turunan dari ilmu-ilmu tersebut. Termasuk ke dalam bagian ini
adalah objek rasional matematis, yang kemudian menjadi bahasan matematika. Karena
54
Merujuk kepada perkataan kaum sufi, yang seringkali dinyatakan sebagai hadis:
كنزاخمفيافأحببتأنأعرففخلقتاخللقلكيأعرف كنتLebih lengkap silahkan lihat SMN al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, (Kuala Lumpur: ISTAC, 1995), h. 71; lihat juga SMN al-Attas, Islam dan Sekularisme, h. 113.
55 Lihat SMN al-Attas, Islam and Secularism, h. 146.
56 Lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, al-Ghazâlî’s Concept of Causality, (Kuala Lumpur: IIUM Press, 2010), h. 153.
57 Lihat penjelasan yang sangat menarik mengenai pandangan Islam mengenai kosmos dalam Mohd Zaidi
Ismail, Kosmos dalam Pandangan Hidup Islam dan Orientasi Sains Masyarakat Muslim, dalam, Islamia, volume 3 nomor 4, (Jakarta: Insists, 2008), h. 15.
58 Seperti persoalan ruh sebagai salah satu objek ghaib yang tidak mungkin diketahui manusia secara luas,
begitupun objek ghaib yang lain. Silahkan lihat QS al-Isrâ` [17]: 85,
قليل يتممنال عل مإلا وماأو59
Penyebutan tersebut untuk memudahkan pembahasan terkait objek-objek ilmu kealaman selain manusia. Seperti diketahui, dalam filsafat Islam, alam semesta dibagi menjadi semesta besar (macrocosm/makrokosmos), yaitu selain manusia, dan semesta kecil (microcosm/mikrokosmos) untuk menyebut manusia. Silahkan lihat Mohd Zaidi Ismail, Kosmos dalam Pandangan Hidup Islam dan Orientasi Sains Masyarakat Muslim, dalam, Islamia, volume 3 nomor 4, (Jakarta: Insists, 2008), h. 16-17.
60 Lihat penjelasan yang sangat menarik mengenai pandangan Islam mengenai kosmos dalam Mohd Zaidi
Ismail, Kosmos dalam Pandangan Hidup Islam dan Orientasi Sains Masyarakat Muslim, dalam, Islamia, volume 3 nomor 4, h. 15.
10
penunjukannya kepada Tuhan, dalam al-Qur`an objek-objek tersebut disebut sebagai tanda-
tanda Tuhan di ufuk semesta (âyât fi al-âfâq)61
.
Keempat, alam semesta kecil (‘âlam al-shaghîr/microcosm)62
. Maksud dari semesta
kecil ini tidak lain adalah manusia. Manusia disebut semesta kecil bukan tanpa sebab,
melainkan karena kerumitan struktur dalam dirinya. Seperti diketahui, manusia memiliki
susunan fisik yang sangat komplek dan mengagumkan. Lebih dari itu, manusia memiliki
susunan non-fisik kejiwaan yang meskipun ilmu psikologi telah berkembang pesat, tetap
menyisakan misteri yang kaya. Jangan lupa pula, manusia memiliki unsur imateriil (ghaib)
yang disebut ruh, berasal dari Tuhan63
, dan tidak akan pernah bisa dikuak misterinya sampai
kapanpun64
. Karena keagungan dan fungsi penunjukkannya kepada Tuhan yang demikian
besar, objek bernama manusia beserta struktur dan rahasianya tersebut dalam al-Qur`an
disebut dengan tanda-tanda Tuhan pada diri (âyât fî al-anfus)65
.
Kelima, al-Qur`an. Seperti telah disinggung, Tuhan adalah „Kebenaran Sejati‟ (al-
Haqq) yang dengan kebenaran-Nya manusia menilai seluruh realitas. Adapun kebenaran
Tuhan tersebut sampai kepada manusia melalui lisan para utusan-Nya berupa kitab suci.
Sedangkan kitab suci yang hingga detik ini terbukti otentisitasnya hanyalah al-Qur`an. Maka
al-Qur`an lah standar kebenaran untuk menilai realitas. Hal itu berarti pula bahwa al-Qur`an
adalah objek ilmu yang absah. Jika semesta disebut dengan „tanda-tanda ciptaan‟ (al-âyât al-
kauniyah) maka al-Qur`an adalah „tanda-tanda perkataan‟ (al-âyât al-qauliyah). Keduanya
adalah kitab; semesta adalah kitab yang diciptakan, sedangkan al-Qur`an adalah kitab yang
diturunkan66
. Karena sama-sama kitab dan ayat Tuhan, maka terdapat koherensi dan
korespondensi antara ayat-ayat semesta dengan al-Qur`an. Namun lebih penting dari itu, al-
Qur`an mengandung pedoman bertauhid dalam hidup manusia; baik yang menyangkut
keyakinan („aqîdah), impelementasi tauhid dalam pranata hukum personal-kemasyarakatan
(syarî’ah), refleksi tauhid dalam etika kehidupan (akhlâq), sejarah orang-orang yang tunduk
maupun membangkang terhadap tauhid, hingga janji balasan bagi orang-orang yang tunduk
dan membangkang tersebut di dunia maupun di akhirat.
Keenam, Sunnah (al-sunnah). Sunnah secara bahasa memang sekedar berarti adat,
perjalanan dan tatacara. Namun jika dinisbatkan kepada Nabi Muhammad maka berarti
sebagai perkataan, perbuatan, persetujuan, serta sifat perilaku (al-khuluqiyyah) utusan Tuhan
tersebut67
. Karena al-Qur`an turun melalui Muhammad, maka seluruh pengajaran
Muhammad dan aspek hidupnya yang telah disebutkan tadi adalah wahyu68
, serta tafsir dan
61
Silahkan lihat QS Fushshilat [41]:53. 62
Silahkan lihat Mohd Zaidi Ismail, Kosmos dalam Pandangan Hidup Islam dan Orientasi Sains Masyarakat Muslim, dalam, Islamia, volume 3 nomor 4, h. 16-17.
63 Silahkan lihat QS al-Hijr [15]:29 yang berbunyi,
تفيومنروحي فإذاسواي توون فخ Dan yang semakna pada QS Shâd [38]: 72.
64 Silahkan lihat QS al-Isrâ` [17]: 85 yang berbunyi,
قليل يتممنال عل مإلا وماأو65
Silahkan lihat QS Fushshilat [41]:53. 66
Silahkan lihat Mohd Zaidi Ismail, Kosmos dalam Pandangan Hidup Islam dan Orientasi Sains Masyarakat Muslim, dalam, Islamia, volume 3 nomor 4, h. 19.
67 Aslinya adalah:
قولووفعلووقريرهوصفاواخللقيةSilahkan lihat Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulum al-Hadîts Ashîluhâ wa Mu’âshiruhâ, h. 25.
68 Silahkan lihat QS al-Najm [53]: 3-4 yang berbunyi,
وى إن وماينطقعنال ييوحىىوإلا وح
11
penjelasan terbaik atas al-Qur`an69
. Lebih dari itu, sunnah juga memaparkan persoalan akidah
dan menetapkan hukum secara independen terpisah dari al-Qur`an70
. Maka tidak berlebihan
jika dikenal di kalangan ulama bahwa sunnah adalah belahan tak terpisahkan dari al-Qur`an
(syaqîq al-Qur`ân). Karena kedudukannya yang demikian, maka Muhammad dan
pengajarannya (sunnah) adalah objek pengetahuan yang absah pula71
.
Pembahasan mengenai objek ilmu dalam Islam yang meliputi keseluruhan realitas
tersebut, jika diamati akan membentuk pola yang unik. Pertama dan paling utama, objek
pembahasan ilmu adalah Tuhan, sebagai Realitas Mutlak, sekaligus objek iman paling
esensial, sekaligus hakikat Tauhid. Objek selanjutnya adalah realitas nisbi yang berasal dari
Tuhan. Baik alam semesta besar, maupun manusia sebagai semesta kecil, hingga al-Qur`an
(dan hadis tentunya), ketika mengkaji ketiganya, pada hakikatnya adalah pengkajian terhadap
kitab Tuhan dan pembacaan terhadap ayat-ayat-Nya. Hal tersebut bermakna bahwa
pengkajian terhadap realitas nisbi adalah penguatan dan pengayaan terhadap pengilmuan
akan Tuhan sebagai Realitas Mutlak. Jika dimisalkan, itu tidak ubahnya pola melingkar, dari
dan menuju Tuhan. sebagaimana ucapan mulia, inna lillâh wa inna ilihi râji’ûn
(sesungguhnya kami milik Allah dan akan kembali kepada-Nya).
Proses, Saluran, dan Metode Perolehan Ilmu
Sebelum masuk dalam bahasan mengenai proses, saluran serta metode perolehan
ilmu, perlu disadari bahwa salah satu makna tauhid adalah „mengumpulkan beberapa hal
menjadi satu atau mengintegrasikannya (to integrate)72
. Berangkat dari situ, ditambah
kesadaran akan keadaan ontologis dari realitas yang bersifat unipolar dan uniaksial, maka
ulama dan cendekiawan Islam menjadikan tauhid sebagai asas integrasi73
. Prinsip integrasi
tersebut kemudian dicirikan dengan adanya kesatuan dan harmoni (unity and harmony)74
serta menolak segala bentuk dikotomi75
, kontradiksi dan paradoks76
. Secara alamiah prinsip
integrasi (tauhîdî) tersebut telah diterjemahkan para ulama dan cendekiawan Islam masa
lampau dalam kerja keilmuan mereka. Namun kemerosotan tradisi intelektual Islam, diiringi
dengan dominasi tradisi intelektual Barat dengan pandangan hidupnya yang dikotomik77
,
memancing kaum cendekiawan Islam kontemporer untuk merumuskan kembali gagasan
tersebut. Aplikasi integrasi tersebut bisa dilihat pada penjelasan mengenai proses, saluran dan
metode perolehan ilmu yang dipakai dalam Islam berikut:
juga perkataan Imam al-Syâfi’î yang dalam Wan Mohd Nor Wan Daud, Konsep Pengetahuan Dalam Islam, terj.
Munir, (Bandung: Pustaka, 1997), h. 52. 69
Lihat SMN al-Attas, Islam and Secularism, h. 145. Lebih jelas lagi silahkan lihat Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulum al-Hadîts Ashîluhâ wa Mu’âshiruhâ, h. 41-46.
70 Silahkan lihat Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulum al-Hadîts Ashîluhâ wa Mu’âshiruhâ, h. 51.
71 Silahkan lihat SMN al-Attas, Islam and Secularism, h. 145; juga Wan Mohd Nor Wan Daud, Konsep
Pengetahuan Dalam Islam, h. 50-59. 72
Silakan lihat, Rohi Baalbaki, al-Mawrid, (Beirut, Dar El-Ilm Lilmalayin, 1995), 388 & 1225. 73
Silahkan lihat Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 33; juga Husain Heriyanto, Menggali Nalar Saintifik Peradaban Islam, (Bandung: Mizan, 2011), h. 51; Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 3.
74 Silahkan lihat William Chittick, Science of the Cosmos Science of the Soul, h. 13.
75 Silahkan lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam SMN al-Attas, h. 295.
76 Silakan lihat Isma’il Raji al-Faruqi, Tauhid, h. 45.
77 Prof. Al-Attas menjelaskan bahwa salah satu perbedaan mendasar antara pandangan hidup (worldview)
Islam dengan Barat terletak pada ketiadaan dikotominya. Silahkan lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 1.
12
Mengenai proses perolehan ilmu, Islam mengakui peran Tuhan maupun manusia
secara bersamaan. Tuhan adalah sumber ilmu yang hakiki78
, sehingga tidak ada ilmu yang
dicapai manusia tanpa proses „pengajaran‟ Tuhan79
. Namun di saat yang sama, manusia
terlibat secara aktif dalam mencapai ilmu tersebut. Tuhan telah menciptakan manusia dengan
jiwa yang kreatif, yaitu dengan kemampuan persepsi, imajinasi, serta intelijensinya yang
saling berpartisipasi ketika menginterpretasi dunia inderawi80
. Maka ungkapan Prof. Al-Attas
mengenai ilmu sangatlah sesuai dengan gambaran di atas, „sampainya jiwa kepada makna
dan juga tibanya makna kepada jiwa secara bersamaan‟81
. „Sampainya jiwa kepada makna‟
menunjukkan kerja kreatif jiwa manusia, sedangkan „tibanya makna kepada jiwa‟, merujuk
kepada al-Qur`an82
yang menyebutkan bahwa Tuhan mengajarkan banyak hal kepada
manusia, menunjukkan peran Tuhan dalam proses tersebut. Pengertian tersebut berbeda
dengan anggapaan umum yang menilai ilmu sebagai hasil jerih payah manusia semata tanpa
melibatkan Tuhan sebagai sumber dari segala ilmu.
Mengenai jiwa kreatif manusia, Tuhan telah merancangnya sedemikian rupa,
dilengkapi dengan perangkat indera yang sesuai. Meski kapasitas setiap individu berbeda-
beda83
, secara umum manusia memiliki lima indera luaran (eksternal) maupun lima indera
dalaman (internal)84
. Indera luaran seperti jamak diketahui terdiri dari perasa (lidah), peraba
(kulit), pembau (hidung), penglihatan (mata) dan pendengar (telinga). Sedangkan yang
disebut indera dalaman (internal), seperti akan dijelaskan di bawah, berfungsi untuk
merasakan secara internal berbagai citraan inderawi dan maknanya, memadukan dan
memilah citraan dan makna tersebut, menyusun gagasan, menyimpan konsep-konsep dari
gagasan tersebut, serta melakukan olah pemikiran terhadapnya85
.
Alur proses bagaimana manusia mengilmui sesuatu kurang lebih sebagai berikut:
Ketika manusia berinteraksi dengan realitas luaran (external realities), maka86
,
- yang pertama-tama dilakukan adalah mempersepsi objek dengan indera-indera. Hasil
dari persepsi tersebut kemudian dipilih dan dipilah untuk kemudian diabstraksi oleh
indera internal pertama yang disebut „indera bersama‟ (al-hiss al-musytarak/communis
sensus/common sense).
78
Silahkan lihat penjelasan yang menarik dalam bab ‘Unity of Truth and Unity of Knowledge’ dalam ‘Abdul Hamîd Abû Sulaimân (ed), Islamization of Knowledge, (Herndon: IIIT, 1995), h. 39-41.
79 Dalam al-Qur`an disebutkan bahwa Tuhan mengajarkan manusia dengan perantaraan qalam, apa yang tidak
diketahuinya, baik berupa nama-nama (asmâ`), al-Qur`an, penjelasan (bayân), dan sebagainya. Lihat QS al-‘Alaq [96]:4; QS al-‘Alaq [96]:5; QS al-Baqarah [2]:31; QS al-Rahmân [55]:2; QS al- Rahmân [55]:4.
80 Silahkan lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 3.
81 Al-Attas menggunakan kata wushûl untuk jiwa serta hushûl untuk makna. Lihat Syed Muhammad Naquib al-
Attas, Tinjauan Ringkas Peri Ilmu dan Pandangan Alam, (Malaysia: Penerbit USIM, 2007), h. 39. 82
Dalam al-Qur`an disebutkan bahwa Tuhan mengajarkan manusia dengan perantaraan qalam, apa yang tidak diketahuinya, baik berupa nama-nama (asmâ`), al-Qur`an, penjelasan (bayân), dan sebagainya. Lihat QS al-‘Alaq [96]:4; QS al-‘Alaq [96]:5; QS al-Baqarah [2]:31; QS al-Rahmân [55]:2; QS al- Rahmân [55]:4.
83 Penting untu dicatat bahwa dalam kreativitas yang diberikan kepada jiwa manusia, namun setiap individu
memiliki kapasitas yang berbeda-beda. Silahkan lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, al-Ghazâlî’s Concept of Causality, h. 168.
84 Silahkan lihat Wan Mohd Noe Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan SMN al-Attas, h. 297. Juga Ismail
Fajri al-Attas, Risalah Konsep Ilmu dalam Islam, (Jakarta: Diwan, 2006), h. 138-140. 85
Silahkan lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 149. 86
Diringkas dari penjelasan SMN al-Attas, Wan Mohd Nor Wan Daud dan Ismail Fajri al-Attas. Lihat Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 148-154; juga Wan Mohd Noe Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan SMN al-Attas, h. 297-298; juga Ismail Fajri al-Attas, Risalah Konsep Ilmu dalam Islam, h. 138-141.
13
- Karena „indera bersama‟ tidak bisa menyimpan hasil abstraksi, maka indera internal
kedua yang disebut fakultas representasi (al-khayâliyyah) lah yang menyimpannya, tanpa
melakukan penilaian apapun. Apa yang disimpan dalam fakultas ini masih berupa
„forma‟ atau image. Ketika objek material yang diindera telah lenyap dari hadapan, maka
manusia masih bisa menginderanya secara khayal atau imajinatif.
- Penilaian terhadap hasil abstraksi dilakukan oleh indera internal ketiga yang disebut
dengan fakultas estimasi (al-wahmiyyah). Akan tetapi, penilaian yang dilakukan oleh
fakultas ini bersifat dangkal dan instingtif, berupa opini singkat, keputusan sekilas, serta
tidak mengandung analisis yang mencukupi. Jika tidak dikontrol oleh akal, maka akan
menjadi muara berbagai kesalahan manusia.
- Indera internal keempat yang bekerja dalam diri manusia adalah fakultas retentif-
rekolektif (al-hâfidzah wa al-dzâkirah). Fakultas ini bekerja menyimpan makna, dan
bukan forma seperti halnya fakultas estimasi, serta mengingat kembali ketika
dibutuhkan.
- Indera internal kelima yang bekerja dalam diri manusia adalah fakultas imajinasi (al-
mutakhayyilahi). Fakultas ini memiliki dua fungsi; yaitu fungsi imajinasi inderawi (al-
mutakhayyil) yang berkaitan dengan produk tehnis dan artistik manusia, serta funsi
imajinasi rasional (al-mufakkirah) yang berkaitan dengan semua kegiatan intelektual.
- Berbagai forma dan makna yang disimpan oleh fakultas representasi dan retentif serta
diproses oleh imajinasi rasional tidak serta merta menjadi intelijibel atau makna
universal hingga „aql (akal) turut serta untuk memisahkannya dari berbagai aksiden
seperti unsur, ruang dan posisi.
Semua yang diolah oleh indera internal manusia dan berkaitan dengan jiwa kreatif tersebut
akan menciptakan berbagai realitas mental yang seperti disinggung di muka, meliputi realitas
inderawi, intelektual dan analogis (hissî, ‘aqlî, syibhî). Semuanya ketika menjadi makna,
maka akan disebut ilmu, yang kemudian bermuara ke dalam hati (qalb) dan mempengaruhi
jiwa manusia.
Perlu menjadi catatan, semua proses tersebut di atas, tidaklah berjalan begitu saja tanpa
intervensi pandangan hidup seseorang. Sistem worldview sebagai kristalisasi keyakinan dasar
dan ilmu seseorang yang terletak dalam hati (qalb) sebelumnya, akan berpengaruh terhadap
kerja indera internal yang sedang berlangsung, mulai dari „indera bersama‟, representasi,
estimasi, retentif-rekolektif, imajinasi, hingga akal (dalam ber-ta’aqqul). Seluruh maklumat,
baik berupa forma dan makna, akan disaring oleh sistem pandangan hidup seseorang,
ditentukan mana yang sesuai dan tidak sesuai dengan struktur worldview dalam diri
seseorang, baru kemudian akan tersimpan ke dalam hati (qalb). Dengan demikian, akan
terdapat perbedaan yang mencolok antara seseorang yang sistem pandangan hidupnya
berakar kuat kepada tauhid, dengan orang yang pandangan hidupnya sekular.
Mengenai saluran ilmu, dalam Islam, dikenal tiga saluran: Pertama, al-hawâs al-
salîmah87
alias indera, sebagaimana saluran yang mendasari kaum empirisis. Kedua, al-qalb,
yang memiliki dua saluran, yaitu al-‘aql88
dan intuisi89
. Al-‘aql atau akal tidak sekedar rasio,
karena ia adalah entitas spiritual yang menyistematisir dan menafsirkan fakta empiris
sehingga terfahami90
. Sedangkan intuisi mampu mengantarkan seseorang pada ilmu tanpa
membutuhkan preposisi, dan proses tercapainya ilmu ke dalam intuisi disebut dengan al-
87
Abû Hafs ‘Umar Al-Nasafî, al-‘Aqîdah, h. 1. 88
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam SMN al-Attas, h. 159. 89
Ibid, h. 160. 90
Wan Mohd Nor Wan Daud dalam Adian Husaini, Pengantar Editor, dalam Adian Husaini, et. al., Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan Islam, (Jakarta: GIP, 2013), h. xviii.
14
ilhâm. Ketiga, al-khabar al-shâdiq91
atau al-‘ilm al-naqlî92
(berita yang benar/ilmu nukilan)
yang merupakan ilmu yang ditransmisikan, dinukilkan, kemudian diterima karena
dianggap/dinyatakan benar. Saluran ilmu jenis ketiga ini merupakan ilmu yang menjadi ciri
khas Islam, tapi secara tidak sadar, secara universal terjadi dimanapun dan dalam banyak
bidang ilmu.
Dalam Islam, saluran ilmu jenis ketiga ini membentuk sebuah tradisi ilmu yang kukuh
dan merupakan agama itu sendiri, serta terbagi dalam dua jenis. Pertama, al-khabar al-
mutawâtir yang merupakan berita yang dinukil oleh orang banyak dan tidak mungkin mereka
bersepakat untuk berdusta93
. Setelah melalui penyaringan yang ketat, berita ini „dipastikan‟
kebenarannya. Contoh berita jenis ini adalah al-Qur`an94
yang dipastikan berasal dari Allah
dan melalui lisan Rasulullah sampai kepada kita setelah proses kodifikasi. Selain itu adalah
hadis Rasulullah yang berjenis mutawâtir, akan tetapi jumlahnya sedikit95
. Kedua, al-khabar
al-âhâd, yaitu berita yang tidak memenuhi syarat untuk disebut al-khabar al-mutawâtir96
.
Setelah melalui penyaringan yang ketat pula, berita ini „diduga kuat‟ kebenarannya. Sebagian
besar hadis Rasulullah adalah jenis ini. Namun model ini tidak digunakan terbatas pada hadis,
bahkan hampir semua ulûm al-dîn. Jadi, tradisi penukilan berita yang benar merupakan
saluran ilmu yang mengakar dalam peradaban Islam.
Meski tradisi tersebut mengakar dalam peradaban Islam, rupanya digunakan juga
dalam ilmu lain (termasuk pengetahuan intelektual/al-‘ilm al-‘aqlî97
) dalam tradisi di luar
Islam, tapi tanpa mengakui keabsahannya sebagai sumber ilmu. Sebagai contoh adalah dalam
pengajaran bahasa, hukum dan sejarah, bahkan dalam sebagian kasus matematika, serta
mengenai pengetahuan akan pengalaman pencerahan bagi penganut Budha yang belum
mengalaminya sendiri98
. Ilmu dalam disiplin-disiplin tersebut akan diterima tanpa perlu
mempertanyakan. Contoh paling ekstrim penerimaan al-khabar al-shâdiq adalah seorang
profesor filsafat yang langsung percaya segala pemberitahuan pramugari dan pilot yang tidak
dikenalnya, mengenai penerbangan yang dilakukan, tanpa melakukan pengujian empiris99
.
Kasus demikian banyak terjadi di sekitar kita, bahkan oleh orang yang paling rasionalis
maupun empirisis sekalipun. Artinya modus atau sumber ilmu yang disebut al-khabar al-
shâdiq secara alamiah diterima keabsahannya oleh manusia.
Mengenai metode perolehan ilmu, Al-Attas secara khusus menyebut metode integratif
tersebut sebagai metode tauhid (tawhîd method of knowledge)100
. Perlu menjadi catatan
bahwa Islam tidak pernah mengalami problem kesejarahan ekstrim seperti terjadi pada
peradaban Barat. Barat yang berpandangan dualisme101
terhadap kehidupan, mengalami
91
Ibid, h. 159. 92
William Chittick, Science of the Cosmos Science of the Soul, h. viii. 93
Teks aslinya, الكذب على تواطؤهم يتصور ال قوم ألسنة على الثابت الخبر
Lihat Abû Hafs ‘Umar Al-Nasafî, al-‘Aqîdah, h. 1. 94
M.M. al-A’zamî, The History of the Qur`ânic Text, terj. Sohirin Solihin, dkk., Sejarah Teks Al-Qur’an dari Wahyu sampai Kompilasi, (Jakarta: GIP, 2005), h. 91.
95 Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulum al-Hadîts Ashîluhâ wa Mu’âshiruhâ, (Malaysia: Darul Syakir,
2011 ), h. 138. 96
Teks aslinya, المتواطر شروط يجمع لم ما . Lihat Muhammad Abû al-Laits al-Khair Âbâdî, ‘Ulum al-Hadîts Ashîluhâ wa Mu’âshiruhâ, h. 139.
97 William Chittick, Science of the Cosmos Science of the Soul, h. vii.
98 Ibid, h. vii.
99 Silahkan lihat Adian Husaini, Pengantar Editor, dalam Adian Husaini, et. al., Filsafat Ilmu Perspektif Barat dan
Islam, h. xvii. 100
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 3. 101
Silahkan lihat Hamid Fahmy Zarkasyi, Liberalisasi Pemikiran Islam, h. 11.
15
proses kesejarahan yang dialektik102
dimana setiap zaman selalu berubah. Corak setiap zaman
dicirikan dengan dominasi sistem berpikir materialisme ataupun idealisme, didukung
pendekatan metodologis seperti empirisisme, rasionalisme, realisme, nominalisme, dan
sebagainya103
. Dampak sederhana dari pertentangan akibat pandangan dualisme tersebut
adalah pembedaan ekstrim atas rasionalisme terhadap empirisisme, subjektif-objektif, serta
deduktif-induktif104
. Adapun hal seperti itu tidak pernah terjadi dalam peradaban Islam.
Dengan metode tauhidi, metode rasional dan empiris dalam ilmu pengetahuan tidak
dipertentangkan, melainkan digunakan secara bersama-sama dan saling melengkapi.
Faktanya, tidak semua hal bisa diindera, dan karenanya, pendekatan rasional harus
dikedepankan. Lebih dari itu, dalam Islam dikenal pendekatan intuitif sebagai metode
keilmuan105
. Metode ini digunakan sebagai jawaban atas persoalan yang bersifat supra-
rasional, yaitu di atas kemampuan nalar manusia (bukan di luar nalar). Begitu pula terhadap
metode berfikir deduktif-induktif. Keduanya bisa digunakan untuk dua kasus yang berbeda.
Generalisasi yang cukup penting dalam mengkaji satu persoalan penelitian, bisa dicapai
dengan metode induktif. Sebaliknya, penggunaan kaidah-kaidah apapun dalam kajian
keilmuan, bersandar pada metode berfikir deduktif.
Islam menolak pembedaan ekstrim subjektif-objektif. Nyatanya pengalaman inderawi
pun sering bersifat subjektif106
begitu pula pengalaman non-inderawi mengandung
objektivitas107
. Dalam Islam, ilmu yang benar mengenai hubungan kosmos dan jiwa
mengantarkan orang pada kesadaran bahwa „subjek‟ di dalam dan „objek‟ di luar secara
esensial sama108
. Selain itu, ilmu akan kesatuan eksistensi dengan tingkatan-tingkatannya
(marâtib/degrees) menjadikan orang faham bahwa subjek dan objek merupakan aspek dari
realitas yang sama109
dan karenanya saling melengkapi110
. Al-attas memberikan
perumpamaan mengenai seorang arsitek perancang rumah yang tidak akan mengetahui
sebuah rumah yang baik dan nyaman hanya dari ukuran, model, bahan dasar, serta rancangan
(objektif), melainkan dia juga harus meninggalinya sementara waktu (subjektif)111
. Adalah
sebuah kesalahan yang menganggap bahwa metode objektif lebih baik dari metode subjektif.
Objektivisme sains nyatanya mengantarkan saintis pada subjektivismenya sendiri112
yang
oleh Appleyard113
dianggap mengalienasikannya dari objek. Jadi metode tauhid Islam
menghendaki sebuah keutuhan dalam ilmu.
Proses, saluran serta metode perolehan ilmu yang telah disebutkan di atas sangat
dipengaruhi oleh keyakinan tauhid dengan pandangan hidup tauhidinya. Bagaimana posisi
Tuhan yang sangat sentral sebagai sumber ilmu sekaligus pengajar manusia, berbeda dengan
102
Syed Muhammad Naquib al-Attas, Prolegomena to the Metaphysics of Islam, h. 4. 103
Ibid, h. 5. 104
Silahkan lihat Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam SMN al-Attas, h. 294. 105
Silahkan lihat Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu, h. 137. 106
Ibid, h. 117. 107
Ibid, h. 118. 108
William Chittick, Science of the Cosmos, Science of the Soul, h. 136. 109
Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam SMN al-Attas, h. 296. 110
Dalam SMN al-Attas, Prolegomena, h. 3, catatan kaki no. 2. 111
Dalam Wan Mohd Nor Wan Daud, Filsafat dan Praktik Pendidikan Islam SMN al-Attas, h. 296. 112
William Chittick, Science of the Cosmos Science of the Soul, h. 137. 113
Dalam William Chittick, Kosmologi Islam dan Dunia Modern, h. 187. Appleyard mengatakan: “ Sains memerangkap kita semua dalam alasan-alasan pribadi kita sendiri. Ia memisahkan kita dari dunia
kita, mengunci kita dalam menara-menara kecil kesadaran kita. Di luar adalah pemandangan asing, entah berupa khayalan ataupun sia-sia, di dalam itulah yang membuat kita yakin - obrolan berkelanjutan yang gelisah dari kesadaran kita sendiri. Jiwa-jiwa kita dikeluarkan dari tubuh-tubuh kita.”
16
keyakinan kaum yang tidak mempercayai Tuhan. Begitupun ketika pandangan alam tauhidi
seseorang berdampak terhadap kerja indera internal ketika memproses maklumat hingga
berakhir menjadi ilmu. Lalu dalam pengabsahan saluran-saluran ilmu baik indera, akal,
intuisi, serta „berita yang benar‟, termasuk metode tauhidi yang tidak membedakan antara
empirisisme-rasionalisme, subjektif-objektif, juga deduksi-induksi, melainkan memadukan
setiap metode tersebut hingga mendapatkan ilmu yang utuh. Itulah relasi tauhid dengan
proses seseorang mengilmui sesuatu.
Penutup
Dari pembahasan yang telah dilakukan, tampak hubungan integratif (tauhîdî) antara
satu bagian dengan bagian lainnya. Seseorang memasuki gerbang tauhid mempersyaratkan
ilmu. Sedangkan ilmu, kaitannya dengan Tuhan, beserta sifat alamiahnya, berkaitan erat
dengan iman. Pada batas tertentu, berilmu berarti beriman, begitu pula sebaliknya. Karena
dalam Islam, epistemologinya berdimensi teologi. Tauhid tersebut, kemudian berimplikasi
pada keyakinan bahwa ilmu yang benar bisa dicapai manusia. Lebih dari itu, tauhid sebagai
keyakinan dasar yang dikuatkan oleh indera, akal dan intuisi, membentuk pandangan dunia
yang dengannya seorang muslim memandang dan memahami kehidupan.
Tauhid kemudian berimplikasi kepada objek ilmu yang dianggap absah oleh Islam.
Objek ilmu dalam Islam sejatinya berkaitan dengan realitas secara keseluruhan, baik mutlak
maupu nisbi. Ilmu mengenai Realitas Mutlak, tidak lain adalah tauhid itu sendiri. Sedangkan
ilmu mengenai alam, yaitu seluruh realitas selain Tuhan, termasuk di dalamnya al-Qur`an,
pada akhirnya merupakan upaya untuk membaca dan memahami tanda, ayat, dan simbol
Tuhan yang berserakan dalam kehidupan. Objek yang holistik berkonsekuensi pada integrasi
dalam saluran ilmu. Saluran yang dianggap absah, berkaitan dengan objeknya, meliputi
indera, akal dan intuisi, serta „berita yang benar‟. Integrasi saluran, kemudian juga bermakna
sebagai integrasi metode ilmu.
Jika disimpulkan, pada akhirnya, berilmu menurut Islam, adalah mengilmui Tuhan,
lalu mengimaninya, kemudian mengembangkan ilmu-ilmu lain yang sejatinya mengilmui
tanda-tanda Tuhan, sehingga iman semakin lama semakin kuat dan mantap. Tidak ubahnya
kalimat tarji’, inna lillah wa inna ilaihi râji’ûn.
Wallahu a’lam wa huwa al-musta’ân...