telaah dakwah tentang insan kamil dalam buku...
TRANSCRIPT
TELAAH DAKWAH TENTANG INSAN KAMIL DALAM
BUKU "KONSEPSI MANUSIA MENURUT ISLAM"
SKRIPSI
untuk memenuhi sebagian persyaratan
mencapai derajat Sarjana Sosial Islam (S.Sos.I)
Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam (KPI)
SAIFUDIN YUHRI
1103062
FAKULTAS DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI WALISONGO
SEMARANG
2010
ii
iii
SKRIPSI
TELAAH DAKWAH TENTANG INSAN KAMIL DALAM
BUKU "KONSEPSI MANUSIA MENURUT ISLAM"
Disusun oleh
SAIFUDIN YUHRI
1103062
telah dipertahankan di depan Dewan Penguji
pada tanggal: 21 Juni 2010
dan dinyatakan telah lulus memenuhi sarat
iv
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi ini adalah hasil kerja saya
sendiri dan di dalamnya tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk
memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi di lembaga
pendidikan lainnya. Pengetahuan yang diperoleh dari hasil penerbitan maupun
yang belum/tidak diterbitkan, sumbernya dijelaskan di dalam tulisan dan
daftar pustaka
Semarang, 05 Juni 2010
SAIFUDIN YUHRI
NIM: 1103062
v
MOTTO
������� ���� �� ��� ����������� ��������� ������)���� : (
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya (QS. at-Tiin: 4) (Depag, 1986:
1076).
vi
PERSEMBAHAN
� Untuk kedua orang Tuaku, terutama Bapakku yang dengan tabah mengasuh
penulis mulai kecil sampai dewasa dan mencurahkan jiwa raganya. Dan
dengan kesabarannya membesarkan, mendidik penulis hingga seperti sekarang
ini, serta do'anya yang tak putus-putus sehingga penulis dapat melanjutkan
studi sampai ke perguruan tinggi dan semoga beliau tetap diberi kesehatan,
umur panjang dan selamat dunia dan akhirat. Jiwaku tertunduk malu tatkala
aku harus kembali ke pangkuanmu. Aku merasa apa yang kuperoleh belum
seberapa bila dibandingkan dengan pengorbananmu selama ini, sehingga aku
tak mampu untuk menatap sinar mata yang penuh bangga. Meski perjalananku
belum berakhir sampai disini, namun aku tetap akan memberikan yang terbaik
untuk orang terkasihku. Sembah sujudku selalu pada ayah dan bunda.
� Adikku telah memotivasi dalam studi khususnya dalam menyelesaikan skripsi
ini .
� Teman-temanku trimakasih semua untuk bantuanya, karena kalian jugalah
saya bisa selesaikan skripsi ini .
Penulis
vii
ABSTRAKSI
Manusia merupakan objek kajian yang selalu menarik untuk
dibicarakan. Pembicaraan dan penelitian tentang manusia, sejak zaman klasik
hingga sekarang ini belum mengenal kata "berhenti". Ketertarikan para ahli
untuk meneliti manusia, karena manusia adalah makhluk Allah yang memiliki
keunggulan ketimbang makhluk lain. Yang menjadi rumusan masalah yaitu
bagaimana konsep insan kamil dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut
Islam"? Bagaimana hubungan insan kamil dalam Buku "Konsepsi Manusia
Menurut Islam" dengan dakwah?
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, dengan
pendekatan kepustakaan (library research). Data primernya ialah buku
"Konsepsi Manusia Menurut Islam" karya M. Dawam Rahardjo sedangkan
data sekunder yaitu sejumlah kepustakaan yang relevan dengan skripsi ini
namun sifatnya hanya pendukung, seperti: a). buku-buku, majalah, dll. Teknik
pengumpulan datanya peneliti menggunakan teknik dokumentasi atau studi
dokumenter. Analisis data menggunakan analisis isi (content analysis) yaitu
sebuah proses penafsiran terhadap isi pesan secara keseluruhan baik secara
tersirat maupun tersurat. Yang dimaksud tersirat yaitu adanya teks yang
kurang jelas. Sedangkan yang dimaksud tersurat yaitu apa yang tercantum
dalam teks sudah jelas.
Hasil dari pembahasan menunjukkan bahwa konsep insan kamil dalam
Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" yaitu manusia yang sempurna dari
segi pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat,
fitrah dan lainnya yang bersifat batin lainnya, dan bukan pada manusia dari
dimensi jasad/fisiknya. Pembinaan kesempurnaan basyariah bukan menjadi
bidang garapan tasawuf, tetapi menjadi garapan fikih. insân kamîl akan lebih
terbina lagi jika lebih ditekankan pada segi insaniyahnya, atau segi potensi
intelektual, rohaniah dan lainnya itu. Insân kamîl juga berarti manusia yang
sehat dan terbina potensi rohaniahnya sehingga dapat berfungsi secara optimal
dan dapat berhubungan dengan Allah dan dengan makhluk lainnya secara
benar menurut akhlak Islami. Manusia yang selamat rohaniah itulah yang
diharapkan dari manusia insân kamîl. Manusia yang demikian inilah yang
akan selamat hidupnya di dunia dan akhirat. Adapun hubungan insan kamil
dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" dengan dakwah yaitu
dakwah sangat erat kaitannya dengan konsep insan kamil karena dakwah pada
hakikatnya mengandung ajakan kepada manusia dan objeknya adalah
manusia. Ajakan tersebut bertujuan agar rohani manusia menjadi sempurna
yaitu berisi iman dan taqwa. Melalui iman dan taqwa ini maka manusia bisa
menghampiri predikat insan kamil. Dakwah yang berisi ajakan pada manusia
bisa berisi masalah akidah, syari'ah dan akhlak. Ketiga komponen sendi-sendi
Islam itu manakala diamalkan oleh mad'u niscaya bisa menghampiri predikat
insan kamil. Satu contoh jika mad'u mencontoh perilaku Rasulullah SAW
maka bisa dikatakan bahwa mad'u itu menjadi insan kamil.
viii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Segala puji bagi Allah Yang Maha Pengasih dan Penyayang, bahwa atas
taufiq dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi
ini.
Skripsi yang berjudul “TELAAH DAKWAH TENTANG INSAN KAMIL
DALAM BUKU "KONSEPSI MANUSIA MENURUT ISLAM"” ini, disusun untuk
memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Strata satu (S.1)
Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang.
Dalam penyusunan skripsi ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan
saran-saran dari berbagai pihak sehingga penyusunan skripsi ini dapat
terselesaikan. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih kepada:
1. Bapak Prof. Dr. H. Abdul Djamil, M.A., selaku Rektor IAIN Walisongo
Semarang.
2. Bapak Drs. H. M. Zain Yusuf, MM. selaku Dekan Fakultas Dakwah IAIN
Walisongo Semarang.
3. Bapak Drs. H. Fachrur Rozi, M.Ag selaku Dosen pembimbing I dan Bapak
H.M. Alfandi, M.Ag selaku Dosen pembimbing II yang telah bersedia
meluangkan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan bimbingan dan
pengarahan dalam penyusunan skripsi ini.
4. Segenap Bapak, Ibu tenaga edukatif dan administratif Fakultas Dakwah IAIN
Walisongo Semarang yang telah memperlancar proses pembuatan skripsi ini.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini belum mencapai
kesempurnaan dalam arti sebenarnya, namun penulis berharap skripsi ini dapat
bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya dan para pembaca pada umumnya.
Penulis
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
HALAMAN NOTA PEMBIMBING............................................................ ii
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................... iii
HALAMAN PERNYATAAN........................................................................ iv
HALAMAN MOTTO .................................................................................... v
HALAMAN PERSEMBAHAN ................................................................. vi
ABSTRAKSI................................................................................................... vii
KATA PENGANTAR.................................................................................... viii
DAFTAR ISI................................................................................................... ix
BAB I : PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .......................................................................1
1.2. Perumusan Masalah......................................................................4
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian ....................................................5
1.4. Tinjauan Pustaka .......................................................................5
1.5. Metoda Penelitian .......................................................................9
1.6. Sistematika Penulisan...................................................................13
BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG DAKWAH DAN INSÂN KAMÎL
2.1.Dakwah ....................................................................... 15
2.1.1. Pengertian Dakwah ............................................................ 15
2.1.2. Tujuan Dakwah .................................................................. 16
2.1.3. Unsur-Unsur Dakwah......................................................... 19
2.2.Insân Kamîl ....................................................................... 31
2.2.1. Pengertian Insân Kamîl ..................................................... 31
2.2.2. Syarat-Syarat Menjadi Insân kamîl .................................... 43
2.2.3. Karakteristik Insân kamîl ................................................... 47
2.2.4. Insân Kamîl menjadi Tujuan Dakwah................................ 50
x
BAB III:INSÂN KAMÎL DALAM BUKU "KONSEPSI MANUSIA
MENURUT ISLAM"
3.1.Biografi Dawam Rahardjo, Pendidikan dan Karya-karyanya ...... 53
3.2.Konsepsi Manusia Menurut Islam................................................ 53
3.2.1. Insân kamîl ............................................................... 57
3.2.2. Antara Kebebasan dan Keterpaksaan Manusia .................. 71
3.2.3. Insân kamîl : Citra Sufistik................................................7 4
BAB IV: ANALISIS INSÂN KAMÎL DALAM BUKU "KONSEPSI MANUSIA
MENURUT ISLAM" DALAM PERSPEKTIF DAKWAH
4.1. Konsep Insân kamîl dalam Buku "Konsepsi Manusia
Menurut Islam " ................................................................ 80
4.2. Relevansi Konsep Insân kamîl dalam Buku "Konsepsi
Manusia Menurut Islam" dengan dakwah .................................. 89
BAB V : PENUTUP
5.1.Kesimpulan ....................................................................... 102
5.2.Saran-Saran ....................................................................... 103
5.3.Penutup ....................................................................... 103
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
RIWAYAT HIDUP
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Manusia merupakan objek kajian yang selalu menarik untuk
dibicarakan. Pembicaraan dan penelitian tentang manusia, sejak zaman klasik
hingga sekarang ini belum mengenal kata "berhenti". Ketertarikan para ahli
untuk meneliti manusia, karena manusia adalah makhluk Allah yang memiliki
keunggulan ketimbang makhluk lain (Solihin, 2003: 99). Kesempurnaan
manusia dari sisi penciptaannya telah dilegitimasi dalam beberapa ayat Al-
Quran, misalnya:
������� ���� �� ��� ����������� ��������� ������)���� : (
Artinya: Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya (QS. at-Tiin: 4) (Depag, 1986:
1076).
�"���#��$ %&�� ���%'���� �� ()* �+ �&,�� %-�.�/���( %&%��"0��$ ��1����)234� :56(
Artinya: Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya
dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku, maka
tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud (QS. al-Hijr:
29) (Depag, 1986: 393).
��7�������( ��7�*�%38� ��9�:�9���;��)<:=�� :>(
Artinya: maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu kefasikan dan
ketakwaannya (QS. Asy-Syam: 8) (Depag, 1986: 1064).
Kesempurnaan dan keunggulan manusia itulah yang membuatnya
begitu unik untuk dibicarakan, baik dalam perspektif sosiologi, antropologi,
2
filsafat, psikologi maupun tasawuf. Salah satu pembicaraan tentang manusia
dalam perspektif tasawuf yang sampai sekarang masih banyak diminati oleh
para pengkaji tasawuf adalah pemikiran tentang insan kamil (manusia
sempurna). Pemikiran ini pernah dikemukakan oleh Al-Jilli (Solihin, 2003:
100).
Problematika masyarakat sekarang ini bukan saja menyangkut
masalah materi, tetapi juga menyangkut masalah-masalah psikologis. Hal ini
disebabkan karena semakin modern suatu masyarakat maka semakin
bertambah intensitas dan eksistensitas dari berbagai disorganisasi dan
disintegrasi sosial masyarakat (Ahyadi, 1991: 177). Kondisi ini telah
mengakibatkan makin sulitnya manusia untuk menjadi insan kamil. Atas
dasar itu manusia merasakan pentingnya siraman dakwah.
Itulah sebabnya, Umary (1980: 52) merumuskan bahwa dakwah
adalah mengajak orang kepada kebenaran, mengerjakan perintah, menjauhi
larangan agar memperoleh kebahagiaan di masa sekarang dan yang akan
datang. Sejalan dengan itu, Sanusi (1980: 11) menyatakan, dakwah adalah
usaha-usaha perbaikan dan pembangunan masyarakat, memperbaiki
kerusakan-kerusakan, melenyapkan kebatilan, kemaksiatan dan ketidak
wajaran dalam masyarakat. Dengan demikian, dakwah berarti
memperjuangkan yang ma'ruf atas yang munkar, memenangkan yang hak atas
yang batil. Esensi dakwah adalah terletak pada ajakan, dorongan (motivasi),
rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran
3
agama dengan penuh kesadaran demi untuk keuntungan pribadinya sendiri,
bukan untuk kepentingan juru dakwah/juru penerang (Arifin, 2000: 6).
Berdasarkan keterangan tersebut, dalam buku "Konsepsi Manusia
Menurut Islam" ada uraian atau kajian yang berisi tentang insan kamil. Dalam
buku itu terdapat berbagai pendapat tentang insan kamil, di antaranya menurut
Effendi (Rahardjo (ed), 1987: 24) bahwa Nabi Muhammad Saw adalah contoh
yang luhur tentang insan kamil. Sejalan dengan itu menurut Bahtiar (Rahardjo
(ed), 1987: 45) manusia merupakan obyek yang selalu menarik untuk
dibicarakan. Bukan saja ia menjadi pokok permasalahan, tetapi segala
peristiwa besar yang terjadi di dunia ini selalu berkaitan dengan manusia.
Dalam buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" dirumuskan bahwa
insan kamil adalah orang mukmin yang dalam dirinya terdapat kekuatan,
wawasan, perbuatan dan kebijaksanaan (Rahardjo (ed), 1987: 25). Buku
"Konsepsi Manusia Menurut Islam" berisi pesan dakwah bahwa inti ajaran
Islam yang paling utama adalah akhlak. Manakala akhlaknya baik maka di
situlah seseorang dapat menemukan dirinya sebagai insan kamil. Editor buku
ini adalah Dawam Rahardjo yang telah menghimpun berbagai tulisan sehingga
buku ini menarik untuk dikaji karena di dalamnya mengupas persoalan tentang
insan kamil yang ditinjau dari berbagai sudut pandang. Pembahasan dimulai
dari persoalan Adam, Khudi dan insan kamil. Dalam bagian selanjutnya
diungkapkan tentang sekitar filsafat jiwa dan manusia dari Ibu Sina, manusia
serba dimensi, realitas manusia, manusia dalam perspektif humanisme agama
pandangan Ali Shari'ati, insan kamil citra sufistik al-Jilli.
4
Dalam buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" dikemukakan adanya
dua cara untuk memperoleh insan kamil yaitu mengisi diri dengan sifat-sifat
mahmudah (terpuji) dan mengosongkan diri atau membuang dari sifat-sifat
mazmumah (tercela). Dalam buku itu dijelaskan manusia yang akalnya
berfungsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala perbuatan baik,
seperti adil, jujur, berakhlak sesuai dengan essensinya dan merasa wajib
melakukan semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh wahyu. Manusia
yang demikianlah yang dapat mendekati tingkat Insan kamil. Dengan
demikian Insan kamil akalnya dapat mengenali perbuatan yang baik dan
perbuatan buruk karena hal itu telah terkandung pada essensi perbuatan
tersebut (Rahardjo (ed), 1987: 43).
Uraian di atas mendorong peneliti mengangkat tema ini dengan judul:
Telaah Dakwah tentang Insan kamil dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut
Islam"
1.2. Perumusan Masalah
Bertolak dari latar belakang yang telah dijelaskan, rumusan masalah
sebagai berikut:
1.2.1. Bagaimana konsep insan kamil dalam Buku "Konsepsi Manusia
Menurut Islam"?
1.2.2. Bagaimana hubungan insan kamil dalam Buku "Konsepsi Manusia
Menurut Islam" dengan dakwah?
5
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1.3.1. Untuk mendeskripsikan konsep insan kamil dalam Buku "Konsepsi
Manusia Menurut Islam"
1.3.2. Untuk menjelaskan hubungan insan kamil dalam Buku "Konsepsi
Manusia Menurut Islam" dengan dakwah
Manfaat penelitian dapat ditinjau dari dua segi:
1. Secara teoritis, yaitu untuk memperkaya kepustakaan Ilmu Dakwah
khususnya dakwah dengan media buku, dan sebagai bahan studi banding
oleh peneliti lainnya.
2. Secara praktis yaitu hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat
dan masukan bagi umat Islam.
1.4. Tinjauan Pustaka
Pada bagian ini akan disebutkan beberapa penelitian sebelumnya yang
ada hubungannya dengan penelitian yang dilakukan. Semua itu untuk
menunjukkan bahwa masalah yang akan diteliti bukanlah sama sekali belum
pernah ditulis, diteliti atau disinggung orang sebelumnya. Kegunaannya
adalah untuk mengetahui seberapa besar kontribusi keilmuan dalam skripsi
yang ditulis dan apakah hanya merupakan bentuk pengulangan. Oleh karena
itu tidak layak apa yang ditulis dalam skripsi itu sudah pernah ditulis oleh
orang lain. Atas dasar itu jumlah penelitian terdahulu yang dihadirkan minimal
6
tiga buah penelitian, dan dalam hubungannya dengan penelitian ini, maka
disebutkan sebagai berikut:
Penelitian Sugi Hartono (2006) Fakultas Dakwah Jurusan BPI) dengan
judul: Insan kamil Menurut Murtadha Muthahhari dalam Hubungannya
dengan Kesehatan Mental (Analisis Bimbingan dan Konseling Islam).
Hubungan konsep insan kamil Murtadha Muthahhari dengan kesehatan mental
ditinjau dari Bimbingan Konseling Islam dapat dijelaskan dengan kenyataan
bahwa konsep insan kamil yang ditawarkan Murtadha Muthahhari bertujuan
untuk melahirkan manusia yang sehat jasmani dan rohani agar dapat mencapai
kebahagiaan dunia dan akhirat.
Konsep insan kamil Murtadha Muthahhari sejalan dengan tujuan
bimbingan dan konseling Islam yaitu membantu individu mewujudkan dirinya
sebagai manusia seutuhnya agar mencapai kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat. Selain dari itu, konsep Murtadha Muthahhari relevan dengan fungsi
bimbingan dan konseling Islam yang bersifat preventif, kuratif atau korektif,
preservative, dan developmental atau pengembangan.
Skripsi yang berjudul: Konsep Insan kamil Menurut Murtadha
Muthahhari dan Relevansinya dalam Tujuan Pendidikan Islam disusun Afif
Farida (2005) Fakultas Tarbiyah Jurusan PAI). Insan kamil dalam konsep
Murthadha Muthahhari, ia mulai dengan merumuskan bahwa insan kamil
adalah manusia seutuhnya baik dalam perspektif jasmani maupun rohani,
dimana seluruh potensi insaninya memiliki keseimbangan dan harmonisasi
antara nilai-nilai yang membangun dirinya. Menurutnya insan kamil dapat
7
dikaji melalui Al-Qur’an dan Hadits serta berbagai pendapat para ulama yang
memiliki otoritas di bidangnya.
Kehadiran Insan kamil dalam kehidupan umat manusia, terlebih dalam
dunia pendidikan Islam sangat diharapkan dan mendapatkan posisi yang
sangat penting. Begitu penting kehadirannya sehingga pendidikan Islam
berupaya keras untuk merealisasikan dan melahirkan Insan kamil ke dunia ini.
Untuk merealisasikan terbentuknya Insan kamil tidaklah semudah ucapan,
karena proses pembentukannya memerlukan waktu yang panjang dan
dilakukan secara bertahap. Membentuk Insan kamil tidak bisa hanya terjadi
secara alami, tanpa suatu upaya keras. Upaya untuk menjadikan dan
membentuk Insan kamil, dalam kerangka iman dan taqwa, maka pendidikan
sebagai proses menginternalisasikan dalam pribadi anak didik, bertumpu pada
kemampuan atau kapasitas belajar dalam tiap pribadi anak didik.
Relevansi antara Insan kamil dengan tujuan pendidikan Islam sangat
erat, keduanya tidak dapat dipisahkan. Kedekatan hubungan Insan kamil
dengan pendidikan Islam sebenarnya disebabkan karena keduanya mempunyai
hubungan timbal balik yang saling mengikat. Insan kamil merupakan final
aim, pancaran akhir dan cita-cita ideal yang diproyeksikan dan diharapkan
pendidikan Islam, sementara pendidikan Islam merupakan salah satu tujuan
dan misi yang diemban yang hendak direalisasikan Insan kamil dalam aktifitas
hidupnya. Antara Insan kamil dengan pendidikan Islam mempunyai beban
tanggung jawab yang senantiasa bergulir sepanjang zaman. Keduanya
mempunyai tanggung jawab untuk saling mengoptimalkan etos kerja masing-
8
masing. Optimalisasi peran dan tugas serta tanggung jawab keduanya sangat
menentukan terhadap keberhasilan cita-cita yang diemban dan yang
diharapkan.
Skripsi yang berjudul: Konsep Ahmad Tafsir tentang Pendidikan Islam
sebagai Usaha Membentuk Insan kamil disusun Ahmad Sobirin (2007)
Fakultas Tarbiyah Jurusan PAI). Menurut Ahmad Tafsir bahwa manusia
sempurna itu adalah yang memiliki paling tidak tiga ciri utama yaitu 1)
jasmaninya sehat serta kuat, termasuk berketerampilan; 2) akalnya cerdas serta
pandai; 3) hatinya (kalbunya) penuh iman kepada Allah. Menurut Ahmad
Tafsir bahwa orang Islam perlu memiliki jasmani yang sehat serta kuat,
terutama berhubungan dengan keperluan penyiaran dan pembelaan serta
penegakan ajaran Islam. Dilihat dari sudut ini maka Islam mengidealkan
Muslim yang sehat serta kuat jasmaninya.
Dalam penegakan ajaran Islam, terutama pada masa penyiarannya
dalam sejarah, tidak jarang ditemukan rintangan yang pada akhirnya
memerlukan kekuatan dan kesehatan fisik (jasmani). Kadang-kadang kekuatan
dan kesehatan itu diperlukan untuk berperang menegakkan ajaran Islam.
Ternyata sampai sekarang pun tantangan fisik seperti dalam sejarah tersebut
sering juga muncul. Oleh karena itu, sekarang pun Muslim harus sehat dan
kuat fisiknya.
Islam menghendaki agar orang Islam itu sehat mentalnya karena inti
ajaran Islam (iman) adalah persoalan mental. Kesehatan mental berkaitan erat
dengan kesehatan jasmani. Karena kesehatan mental penting, maka kesehatan
9
jasmani pun penting pula. Karena kesehatan jasmani itu sering berkaitan
dengan pembelaan Islam, maka sejak permulaan sejarahnya pendidikan
jasmani (agar sehat dan kuat) diberikan oleh para pemimpin Islam. Pendidikan
itu langsung dihubungkan dengan pembelaan Islam, yaitu berupa latihan
memanah, berenang, menggunakan senjata, menunggang kuda, lari cepat (Al-
Syaibani, 1979:503). Pentingnya kekuatan dan kesehatan fisik itu juga
mempunyai dalil-dalil naqli.
Perbedaan antara penelitian yang terdahulu dengan yang sekarang
yaitu penelitian yang sudah ada belum mengkaji Insan kamil dalam Buku
"Konsepsi Manusia Menurut Islam". Sedangkan penelitian yang hendak
penulis lakukakan saat ini hendak menelaah tentang konsepsi manusia
menurut Islam dalam konteksnya dengan insan kamil.
1.5. Metode Penelitian
1.5.1. Jenis
Penelitian ini tergolong dalam penelitian kualitatif yakni
prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati (Moleong,
1997: 3). Dalam meneliti data tidak diwujudkan dalam bentuk angka,
namun data-data tersebut diperoleh dengan penjelasan dan berbagai
uraian yang berbentuk tulisan.
10
Penelitian tentang Telaah Dakwah Insan kamil dalam Buku
"Konsepsi Manusia Menurut Islam" adalah library research yaitu
penelitian kepustakaan.
1.5.2. Definisi Konseptual
Menurut Shaliba sebagaimana dikutip Nata (2003: 257) bahwa
kata insân menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan
untuk arti manusia dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam konteksnya
dengan judul skripsi ini bahwa yang dimaksud dengan konsepsi manusia
menurut Islam dalam buku yang berjudul "Konsepsi Manusia Menurut
Islam" yaitu konsep yang menjelaskan tentang siapakah manusia itu, apa
unsur-unsur yang terdapat dalam diri manusia dan bagaimana manusia
bisa memperoleh keseimbangan jiwanya serta cara apa saja yang dapat
ditempuh manusia untuk memperoleh sebutan insan kamil.
Dengan demikian yang dimaksud Telaah Dakwah Insan kamil
dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" yaitu himbauan dan
nasihat dari buku yang berjudul: "Konsepsi Manusia Menurut Islam"
yang ditujukan kepada umat Islam untuk melakukan apa yang diajarkan
agama agar hidup menjadi insan kamil. Dengan kata lain bahwa secara
konseptual "Konsepsi Manusia Menurut Islam" yaitu merupakan salah
satu bentuk tanggapan para cendekiawan muslim terhadap beragam
perkembangan sosial yang meliputi masalah akidah, tasawuf,
perkembangan ajaran Islam, reformasi, sampai manajemen waktu yang
dikemas dalam corak keislaman.
11
1.5.3. Sumber Data
a. Data primer yaitu buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" karya M.
Dawam Rahardjo
b. Data sekunder yaitu sejumlah kepustakaan yang relevan dengan
skripsi ini namun sifatnya hanya pendukung, seperti: a). buku-buku; b)
jurnal-jurnal penelitian; c) surat kabar, majalah dan lain-lain.
1.5.4. Teknik Pengumpulan Data
Menurut Suryabrata, kualitas data ditentukan oleh kualitas alat
pengambil data atau alat pengukurnya (Suryabrata, 1998: 84). Berpijak
dari keterangan tersebut, maka dalam pengumpulan data dilakukan
melalui studi dokumentasi.
Peneliti menggunakan teknik dokumentasi atau studi dokumenter
yang menurut Arikunto (1990: 206) yaitu mencari data mengenai hal-hal
atau variabel yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar, majalah,
prasasti, notulen rapat, lengger, agenda, dan sebagainya. Yang dimaksud
dokumentasi dalam tulisan ini yaitu sejumlah data yang terdiri dari data
primer dan sekunder
1.5.5. Teknik Analisis Data
Adapun Analisis data adalah proses menyusun data agar data
tersebut dapat ditafsirkan (Kahmad, 2000: 102). Dalam menganalisa data,
penulis menggunakan analisis isi (Content Analysis) yaitu sebuah proses
penafsiran terhadap isi pesan secara keseluruhan (Ratna : 48-49) baik
secara tersirat maupun tersurat. Yang dimaksud tersirat yaitu adanya teks
12
yang kurang jelas. Sedangkan yang dimaksud tersurat yaitu apa yang
tercantum dalam teks sudah jelas.
Menurut Ricoeur dikutip oleh Sumaryono (1999: 111), ada tiga
langkah pemahaman dalam rangka pemahaman bahasa , yaitu;
a Pemahaman dari simbol ke simbol. Dalam tahapan ini, peneliti akan
melakukan pemahaman terhadap simbol yang ada dalam teks buku.
b Pemberian makna oleh simbol dengan melalui penggalian yang cermat
akan makna. Dalam tahapan ke dua ini, peneliti memberikan makna
dengan mengacu pada simbol-simbol yang telah didapatkan dalam
tahapan sebelumnya. Hal ini dapat dilakukan dengan melakukan
pencarian referensi dari berbagai sumber yang melatarbelakangi
pemunculan simbol tersebut.
c Langkah filosofi dengan menggunakan simbol sebagai titik tolak.
Dalam tahapan ke tiga ini, peneliti akan mencari apa yang diinginkan
oleh simbol yang telah termaknai tersebut.
1.6. Sistematika Penulisan
Untuk dapat dipahami urutan dan pola berpikir dari tulisan ini, maka
skripsi ini disusun dalam lima bab. Setiap bab merefleksikan muatan isi yang
satu sama lain saling melengkapi. Untuk itu, disusun sistematika sedemikian
rupa sehingga dapat tergambar kemana arah dan tujuan dari tulisan ini.
Bab pertama, berisi pendahuluan yang merupakan garis besar dari
keseluruhan pola berpikir dan dituangkan dalam konteks yang jelas serta
padat. Atas dasar itu deskripsi skripsi diawali dengan latar belakang masalah
13
yang terangkum di dalamnya tentang apa yang menjadi alasan memilih judul,
dan bagaimana pokok permasalahannya. Dengan penggambaran secara sekilas
sudah dapat ditangkap substansi tulisan ini. Selanjutnya untuk lebih
memperjelas maka dikemukakan pula tujuan penelitian yang mengacu pada
perumusan masalah. Penjelasan ini akan mengungkap seberapa jauh
signifikansi tulisan ini. Kemudian agar tidak terjadi pengulangan dan
penjiplakan maka dibentangkan pula berbagai hasil penelitian terdahulu yang
dituangkan dalam tinjauan pustaka. Demikian pula kerangka teoritik
diungkapkan sesuai dengan substansi tulisan. Metode penulisan diungkap apa
adanya dengan harapan dapat diketahui apa yang menjadi sumber data, teknik
pengumpulan data dan analisis data. Pengembangannya kemudian tampak
dalam sistematika penulisan.
Bab kedua memuat tinjauan umum tentang dakwah yang meliputi
tentang pengertian dakwah, tujuan dakwah, unsur-unsur dakwah (subjek
dakwah, objek dakwah, materi dakwah, media dakwah, metode dakwah)
Bab ketiga berisi telaah dakwah insan kamil dalam buku "Konsepsi
Manusia Menurut Islam" yang meliputi biografi M. Dawam Rahardjo,
pendidikan dan karya-karyanya (latar belakang M. Dawam Rahardjo,
pendidikan, karya-karyanya), telaah dakwah M. Dawam Rahardjo tentang
konsepsi manusia menurut Islam.
Bab keempat berisi analisis yang meliputi pertama, konsep insan kamil
dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam"; kedua, relevansi konsep
insan kamil dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" dengan dakwah
14
Bab kelima merupakan penutup berisi kesimpulan dan saran-saran
yang layak dikemukakan.
15
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG DAKWAH DAN INSÂN KAMÎL
2.1. Dakwah
2.1.1. Pengertian Dakwah
Dalam pengertian keagamaan, dakwah memasukkan aktifitas tablîgh
(penyiaran), tatbîq (penerapan/pengamalan) dan tandhîm (pengelolaan)
(Sulthon, 2003: 15). Kata dakwah berasal dari bahasa Arab dalam bentuk
masdar (infinitif) dari kata kerja da'â ( د�� ) yad'û (���� ) di mana kata
dakwah ini sekarang sudah umum dipakai oleh pemakai bahasa Indonesia,
sehingga menambah perbendaharaan bahasa Indonesia (Munsyi, 1981: 11).
Kata da'wah (د��ة ) secara harfiyah bisa diterjemahkan menjadi:
"seruan, ajakan, panggilan, undangan, pembelaan, permohonan (do'a) (Pimay,
2005: 13). Sedangkan secara terminologi, banyak pendapat tentang definisi
dakwah, antara lain: Ya'qub (1973: 9), dakwah adalah mengajak umat manusia
dengan hikmah kebijaksanaan untuk mengikuti petunjuk Allah dan RasulNya.
Menurut Anshari (1993: 11), dakwah adalah semua aktifitas manusia muslim
di dalam berusaha merubah situasi kepada situasi yang sesuai dengan
ketentuan Allah SWT dengan disertai kesadaran dan tanggung jawab baik
terhadap dirinya sendiri, orang lain, dan terhadap Allah SWT.
Dalam pengertian yang integralistik, dakwah merupakan suatu proses
yang berkesinambungan yang ditangani oleh para pengemban dakwah untuk
mengubah sasaran dakwah agar bersedia masuk ke jalan Allah, dan secara
16
bertahap menuju perikehidupan yang Islami (Hafidhuddin, 2000: 77). Dakwah
adalah setiap usaha rekonstruksi masyarakat yang masih mengandung unsur-
unsur jahili agar menjadi masyarakat yang Islami (Rais, 1999: 25). Oleh
karena itu Abu Zahrah menegaskan bahwa dakwah Islamiah itu diawali
dengan amar ma'rû‘f dan nâhî‘ munkar, maka tidak ada penafsiran logis lain
lagi mengenai makna amar ma'rû‘f kecuali mengesakan Allah secara
sempurna, yakni mengesakan pada zat dan sifatNya (Zahrah, 1994: 32). Lebih
jauh dari itu, pada hakikatnya dakwah Islam merupakan aktualisasi imani
(teologis) yang dimanifestasikan dalam suatu sistem kegiatan manusia
beriman dalam bidang kemasyarakatan yang dilaksanakan secara teratur untuk
mempengaruhi cara merasa, berpikir, bersikap dan bertindak manusia pada
dataran kenyataan individual dan sosio kultural dalam rangka mengusahakan
terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi kehidupan dengan menggunakan
cara tertentu (Achmad, 1983: 2).
Keaneka ragaman pendapat para ahli seperti tersebut di atas meskipun
terdapat kesamaan ataupun perbedaan-perbedaan namun bila dikaji dan
disimpulkan bahwa dakwah merupakan kegiatan yang dilakukan secara ikhlas
untuk meluruskan umat manusia menuju pada jalan yang benar. Untuk
dakwah diupayakan dapat berjalan sesuai dengan situasi dan kondisi mad'u.
2.1.2. Tujuan Dakwah
Menurut Arifin (2000: 4) tujuan program kegiatan dakwah dan
penerangan agama tidak lain adalah untuk menumbuhkan pengertian,
kesadaran, penghayatan dan pengalaman ajaran agama yang dibawakan oleh
17
aparat dakwah atau penerang agama. Pandangan lain dari A. Hasjmy (1984:
18) tujuan dakwah Islamiyah yaitu membentangkan jalan Allah di atas bumi
agar dilalui umat manusia. Ketika merumuskan pengertian dakwah, Amrullah
Ahmad menyinggung tujuan dakwah adalah untuk mempengaruhi cara
merasa, berpikir, bersikap, dan bertindak manusia pada dataran individual dan
sosiokultural dalam rangka terwujudnya ajaran Islam dalam semua segi
kehidupan (Ahmad, 1991: 2).
Barmawie Umary 198455) merumuskan tujuan dakwah adalah
memenuhi perintah Allah Swt dan melanjutkan tersiarnya syari'at Islam secara
merata. Dakwah bertujuan untuk mengubah sikap mental dan tingkah laku
manusia yang kurang baik menjadi lebih baik atau meningkatkan kualitas
iman dan Islam seseorang secara sadar dan timbul dari kemauannya sendiri
tanpa merasa terpaksa oleh apa dan siapa pun.
Salah satu tugas pokok dari Rasulullah adalah membawa amanah suci
berupa menyempurnakan akhlak yang mulia bagi manusia. Dan akhlak yang
dimaksudkan ini tidak lain adalah al-Qur'an itu sendiri sebab hanya kepada al-
Qur'an-lah setiap pribadi muslim itu akan berpedoman. Atas dasar ini tujuan
dakwah secara luas, dengan sendirinya adalah menegakkan ajaran Islam
kepada setiap insan baik individu maupun masyarakat, sehingga ajaran
tersebut mampu mendorong suatu perbuatan sesuai dengan ajaran tersebut
(Tasmara, 1997: 47).
Secara umum tujuan dakwah dalam al-Qur'an adalah:
1. Dakwah bertujuan untuk menghidupkan hati yang mati.
18
Allah berfirman:
������������ �� � �������� ���� ���������� �������� �!�"�������#�$% �&�'(����)*��+... )��./0�:23(
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, patuhilah seruan Allah dan
seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu
yang memberi kehidupan kepada kamu ...". (QS. al Anfal: 24)
(Depag RI,1978: 264 ).
2. Agar manusia mendapat ampunan dan menghindarkan azab dari Allah.
���)�� ��.�5�"� ���)�6������ �� (��� 78/���) ...9�/ ::(
Artinya: Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada
iman) agar Engkau mengampuni mereka ... (QS Nuh: 7)
(Depag RI,1978: 978).
3. Untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya.
&;�$ <��=�>?0� �&$�� �@����� ��=/�+ �� A �B��>���.�� �<��"���� ���C��#���6% �&�'(���� �������� ������+ ������ �A �D��E�+ F�� ������ �G� ���+ �B�+ �H��$�+ �� �/� �I�J ���K�L�A ���#��
<M�$)G����NO( Artinya: Orang-orang yang telah kami berikan kitab kepada mereka,
bergembira dengan kitab yang telah diturunkan kepadamu,
dan di antara golongan-golongan Yahudi Jang bersekutu ada
yang mengingkari sebagiannya. Katakanlah: "Sesungguhnya
aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak
mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Hanya kepada-Nya
aku seru (manusia) dan hanya kepada-Nya aku kembali". (QS.
ar Ra'd: 36) (Depag RI,1978: 375).
4. Untuk menegakkan agama dan tidak terpecah-belah.
19
��$ &�8G�� �&8$ ����� �;A ��#���P�� ��$�� �@����� ��#���>���+ Q'(���� R�>��/ �A S�P�� S;���� ��� �� ��T ���J���.�"�6 ����� �&�8G�� ��� �J�+ �B�+ S�U���� S����$�� ���C����A�
������ ���C����G�6 ��$ �V���W� ���)...XY�W�� :2N(
Artinya: Dia telah mensyariatkan bagi kamu tentang agama yang telah
diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami
wahyukan kepadamu dan apa Jang telah Kami wasiatkan
kepada Ibrahim, Musa, dan Isa, yaitu: Tegakkanlah agama dan
janganlah kamu berpecah belah tentangnya. Amat berat bagi
orang-orang musyrik agama yang kamu seru mereka
kepadanya..." (QS Asy Syura: 13) (Depag RI,1978: 786).
5. Mengajak dan menuntun ke jalan yang lurus.
Z��[�"�U*$ Z\���P S��� ���C����G�"�� �@�/���)B�#$]^�::N( Artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar menyeru mereka ke jalan
yang lurus. (QS. al-Mukminun: 73) (Depag RI,1978: 534).
6. Untuk menghilangkan pagar penghalang sampainya ayat-ayat Allah ke
dalam lubuk hati masyarakat.
�@����� �_��=/�+ ��� �G�L�A �(��� H���% �&�� �@�/*G�̀ �� ���������� �@8A�Y S��� �a����� �V���W� ��� �&$ �&�/����6 )b`[�� :c:(
Artinya: Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari
(menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu
diturunkan kepadamu, dan serulah mereka kepada (jalan)
Tuhanmu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-
orang yang mempersekutukan Tuhan. (QS. al-Qashshas: 87)
(Depag RI,1978: 612).
2.1.3. Unsur-Unsur Dakwah
Unsur-unsur dakwah adalah segala aspek yang ada sangkut pautnya
dengan proses pelaksanaan dakwah, dan sekaligus menyangkut tentang
kelangsungannya (Anshari, 1993: 103). Unsur-unsur tersebut adalah da'i
20
(pelaku dakwah), mad'u (obyek dakwah), materi dakwah/maddah, wasîlah
(media dakwah), tharîqah (metode), dan atsar (efek dakwah).
2.1.3.1. Subjek Dakwah
Subjek dakwah ialah orang yang melakukan dakwah, yaitu
orang yang berusaha mengubah situasi kepada situasi yang sesuai
dengan ketentuan-ketentuan Allah Swt, baik secara individu maupun
berbentuk kelompok (organisasi), sekaligus sebagai pemberi
informasi dan pembawa missi (Anshari, 1993: 105). Menurut Helmy
(1973: 47) subjek dakwah adalah orang yang melaksanakan tugas-
tugas dakwah, orang itu disebut da'i, atau mubaligh.
Sehubungan dengan hal tersebut terdapat pengertian para
pakar dalam bidang dakwah, yaitu:
1. Hasjmy, juru dakwah adalah para penasihat, para pemimpin dan
pemberi periingatan, yang memberi nasihat dengan baik, yang
mengarang dan berkhutbah, yang memusatkan kegiatan jiwa
raganya dalam wa'ad dan wa’id (berita pahala dan berita siksa)
dan dalam membicarakan tentang kampung akhirat untuk
melepaskan orang-orang yang karam dalam gelombang dunia
(Hasymi, 1984: 186).
2. M. Natsir, pembawa dakwah merupakan orang yang
memperingatkan atau memanggil supaya memilih, yaitu
memilih jalan yang membawa pada keuntungan (Natsir, tth:
119).
21
Dalam kegiatan dakwah peranan da'i sangatlah esensial,
sebab tanpa da'i ajaran Islam hanyalah ideologi yang tidak terwujud
dalam kehidupan masyarakat. "Biar bagaimanapun baiknya ideologi
Islam yang harus disebarkan di masyarakat, ia akan tetap sebagai
ide, ia akan tetap sebagai cita-cita yang tidak terwujud jika tidak ada
manusia yang menyebarkannya" (Ya'qub, 1981: 37).
Da'i merupakan orang yang melakukan dakwah, yaitu orang
yang berusaha mengubah situasi yang sesuai dengan ketentuan-
ketentuan Allah SWT, baik secara individu maupun berbentuk
kelompok (organisasi). Sekaligus sebagai pemberi informasi dan
missi. Pada prinsipnya setiap muslim atau muslimat berkewajiban
berdakwah, melakukan amar ma’ruf nahi munkar. Jadi mustinya
setiap muslim itu hendaknya pula menjadi da’i karena sudah menjadi
kewajiban baginya.
2.1.3.2. Objek Dakwah
Objek dakwah adalah manusia yang menjadi audiens yang
akan diajak ke dalam Islam secara kaffah (Muriah, 2000: 32).
Menurut Pimay (2006: 29) objek dakwah adalah manusia yang
menjadi sasaran dakwah. Mereka adalah orang-orang yang telah
memiliki atau setidak-tidaknya telah tersentuh oleh kebudayaan asli
atau kebudayaan selain Islam. karena itu, objek dakwah senantiasa
berubah karena perubahan aspek sosial kultural, sehingga objek
22
dakwah ini akan senantiasa mendapat perhatian dan tanggapan
khusus bagi pelaksanaan dakwah
Berdasarkan keterangan tersebut dapat juga dikatakan bahwa
unsur dakwah yang kedua adalah mad'u, yaitu manusia yang menjadi
sasaran dakwah atau manusia penerima dakwah, baik sebagai
individu maupun sebagai kelompok, baik manusia yang beragama
Islam maupun tidak; atau dengan kata lain manusia secara
keseluruhan. Sesuai dengan firman Allah QS. Saba' 28:
�$�� ��� d��#�� ���e���+ �&����� R���'�/�� R�fW�A d��#�g� Rh(T��� �(�� �D��#�����Y�+ � �B�� ���L��)i � :jc(
Artinya: Dan Kami tidak mengutus kamu, melainkan kepada umat
manusia seluruhnya sebagai pembawa berita gembira dan
sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia
tiada mengetahui. (QS. Saba: 28) (Depag RI,1978: 683).
Kepada manusia yang belum beragama Islam, dakwah
bertujuan untuk mengajak mereka mengikuti agama Islam;
sedangkan kepada orang-orang yang telah beragama Islam dakwah
bertujuan meningkatkan kualitas iman, Islam, dan ihsan.
Mereka yang menerima dakwah ini lebih tepat disebut mad'u
dakwah daripada sebutan objek dakwah, sebab sebutan yang kedua
lebih mencerminkan kepasifan penerima dakwah; padahal
sebenarnya dakwah adalah suatu tindakan menjadikan orang lain
sebagai kawan berpikir tentang keimanan, syari'ah, dan akhlak
kemudian untuk diupayakan dihayati dan diamalkan bersama-sama.
23
2.1.3.3. Materi Dakwah
Materi dakwah adalah pesan yang disampaikan oleh da’i
kepada mad’u yang mengandung kebenaran dan kebaikan bagi
manusia yang bersumber al-Qur'an dan Hadis. Oleh karena itu
membahas maddah dakwah adalah membahas ajaran Islam itu
sendiri, sebab semua ajaran Islam yang sangat luas, bisa dijadikan
sebagai maddah dakwah Islam (Ali Aziz, 2004: 194)
Materi dakwah, tidak lain adalah al-Islam yang bersumber
dari al-Qur'an dan hadis sebagai sumber utama yang meliputi akidah,
syari'ah dan akhlak dengan berbagai macam cabang ilmu yang
diperoleh darinya (Wardi Bachtiar, 1997: 33). Maddah atau materi
dakwah dapat diklasifikasikan ke dalam tiga masalah pokok, yaitu
sebagai berikut (M.Daud Ali, 2000: 133-135, Asmuni Syukir, 1983:
60-63):
a. Masalah akidah
Akidah secara etimologi adalah ikatan, sangkutan. Disebut
demikian karena ia mengikat dan menjadi sangkutan atau
gantungan segala sesuatu. Dalam pengertian teknisnya adalah
iman atau keyakinan. Karena itu akidah Islam ditautkan dengan
rukun iman yang menjadi azas seluruh ajaran Islam.
b. Masalah syari’ah
Syari’at dalam Islam erat hubunganya dengan amal lahir
(nyata) dalam rangka mentaati semua peraturan atau hukum Allah
24
guna mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya dan
mengatur pergaulan hidup manusia dengan manusia. Syari’ah
dibagi menjadi dua bidang, yaitu ibadah dan muamalah. Ibadah
adalah cara manusia berhubungan dengan Tuhan, sedangkan
muamalah adalah ketetapan Allah yang berlangsung dengan
kehidupan sosial manusia. Seperti hukum warisan, rumah tangga,
jual beli, kepemimpinan dan amal-amal lainnya.
c. Masalah akhlak
Akhlak adalah bentuk jamak dari khuluq yang secara
etimologi berati budi pekerti, perangai, tingkah laku, atau tabiat.
Akhlak bisa berarti positif dan bisa pula negatif. Yang termasuk
positif adalah akhlak yang sifatnya benar, amanah, sabar, dan sifat
baik lainnya. Sedangkan yang negatif adalah akhlak yang sifatnya
buruk, seperti sombong, dendam, dengki dan khianat.
Akhlak tidak hanya berhubungan dengan Sang Khalik
namun juga dengan makhluk hidup seperti dengan manusia,
hewan dan tumbuhan. Akhlak terhadap manusia contohnya akhlak
dengan Rasulullah, orang tua, diri sendiri, keluarga, tetangga, dan
masyarakat. (M.Daud Ali, 1997: 357).
Akhlak terhadap Rasulullah antara lain
1. Mencintai Rasul secara tulus dengan mengikuti semua sunnahnya.
2. Menjadikan Rasul sebagai idola, suri tauladan dalam hidup dan
kehidupan
25
3. Menjalankan apa yang disuruhnya, tidak melakukan apa yang
dilarang
Akhlak terhadap orang tua antara lain :
1. Mencintai mereka melebihi cinta pada kerabat lainnya
2. Merendahkan diri kepada keduannya
3. Berkomunikasi dengan orang tua dengan hikmat
4. Berbuat baik kepada Bapak Ibu
5. Mendoakan keselamatan dan keampunan bagi mereka
Akhlak terhadap diri sendiri antara lain :
1. Memelihara kesucian diri
2. Menutup aurat
3. Jujur dalam perkataan dan perbuatan
4. Ikhlas
5. Sabar
6. Rendah diri
7. Malu melakukan perbuatan jahat.
Akhlak terhadap keluarga antara lain:
1. Saling membina rasa cinta dan kasih sayang dalam kehidupan
keluarga
2. Saling menunaikan kewajiban untuk memperoleh hak
3. Berbakti kepada Ibu Bapak
4. Memelihara hubungan silaturahmi
Akhlak terhadap tetangga antara lain :
26
1. Saling menjunjung
2. Saling bantu diwaktu senang dan susah
3. Saling memberi
4. Saling menghormati
5. Menghindari pertengkaran dan permusuhan
Akhlak terhadap masyarakat antara lain :
1. Memuliakan tamu
2. Menghormati nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat,
3. Saling menolong dalam melakukan kebajikan dan takwa
4. Menganjurkan anggota masyarakat termasuk diri sendiri berbuat baik
dan mencegah diri sendiri dan orang lain berbuat jahat/mungkar.
5. Memberi fakir miskin dan berusaha melapangkan hidup dan
kehidupannya.
6. Bermusywarah dalam segala urusan mengenai kepentingan bersama.
7. Menunaikan amanah dengan jalan melaksanakan kepercayaan yang
diberikan seseorang atau masyarakat kepada kita.
8. Dan menepati janji.
Akhlak terhadap lingkungan hidup antara lain :
1. Sadar dan memelihara kelestarian lingkungan hidup
2. Menjaga dan memanfaatkan alam terutama flora dan fauna
3. Sayang pada sesama makhluk.
27
2.1.3.4. Media Dakwah
Arti media bila ditinjau dari asal katanya (etimologi), berasal
dari bahasa Latin yaitu "median", yang berarti alat perantara.
Sedangkan kata media merupakan jamak daripada kata median
tersebut. Pengertian media menurut istilah adalah segala sesuatu
yang dapat dijadikan sebagai alat (perantara) untuk mencapai suatu
tujuan tertentu. Dengan demikian media dakwah, yaitu segala
sesuatu yang dapat dipergunakan sebagai alat untuk mencapai tujuan
dakwah yang telah ditentukan (Syukir, 1983: 163).
Untuk menyampaikan ajaran Islam kepada umat, dakwah
dapat menggunakan berbagai wasilah. Ya'qub membagi wasilah
dakwah menjadi lima macam, yaitu lisan, tulisan, lukisan, audio
visual, dan akhlak:
1. Lisan, inilah wasilah dakwah yang paling sederhana yang
menggunakan lidah dan suara, dakwah dengan wasilah ini dapat
berbentuk pidato, ceramah, kuliah, bimbingan, penyuluhan, dan
sebagainya.
2. Tulisan, buku majalah, surat kabar, surat menyurat
(korespondensi) spanduk, flash-card, dan sebagainya.
3. Lukisan, gambar, karikatur, dan sebagainya.
4. Audio visual, yaitu alat dakwah yang merangsang indra
pendengaran atau penglihatan dan kedua-duanya, televisi, film,
slide, ohap, internet, dan sebagainya.
28
5. Akhlak, yaitu perbuatan-perbuatan nyata yang mencerminkan
ajaran Islam dapat dinikmati serta didengarkan oleh mad'u
(Ya'qub, 1973: 42-43).
Pada dasarnya dakwah dapat menggunakan berbagai wasilah
yang dapat merangsang indra-indra manusia serta dapat
menimbulkan perhatian untuk menerima dakwah. Semakin tepat dan
efektif wasilah yang dipakai semakin efektif pula upaya pemahaman
ajaran Islam pada masyarakat yang menjadi sasaran dakwah.
Media (terutama media massa) telah meningkatkan
intensitas, kecepatan, dan jangkauan komunikasi dilakukan umat
manusia begitu luas sebelum adanya media massa seperti pers, radio,
televisi, internet dan sebagainya. Bahkan dapat dikatakan alat-alat
tersebut telah melekat tak terpisahkan dengan kehidupan manusia di
abad ini.
2.1.3.5. Metode Dakwah
Hal yang sangat erat kaitannya dengan metode wasilah
adalah metode (thariqah) dakwah. Kalau wasilah adalah alat-alat
yang dipakai untuk mengoperkan atau menyampaikan ajaran Islam
maka thariqah adalah metode yang digunakan dalam dakwah.
Menurut Daradjat (2004: 5) metode adalah cara untuk
mencapai suatu tujuan. Menurut Arifin (2003: 65) dalam bukunya
yang berjudul: Ilmu Pendidikan Islam, menyatakan: metode berasal
dari dua perkataan yaitu meta dan hodos. Meta berarti "melalui", dan
29
"hodos" berarti "jalan atau cara". Dengan demikian asal kata
"metode" berarti suatu jalan yang dilalui untuk mencapai suatu
tujuan. Munsyi (1982: 29) mengartikan metode sebagai cara untuk
menyampaikan sesuatu. Sedangkan dalam metodologi pengajaran
ajaran Islam disebutkan bahwa metode adalah "Suatu cara yang
sistematis dan umum terutama dalam mencari kebenaran ilmiah".
Menurut Pius Partanto (1994: 461) metode adalah cara yang
sistematis dan teratur untuk pelaksanaan suatu atau cara kerja.
Dakwah adalah cara yang digunakan subjek dakwah untuk
menyampaikan materi dakwah atau biasa diartikan metode dakwah
adalah cara-cara yang dipergunakan oleh seorang da'i untuk
menyampaikan materi dakwah yaitu al-Islam atau serentetan
kegiatan untuk mencapai tujuan tertentu.
Sementara itu dalam komunikasi, metode dakwah ini lebih
dikenal sebagai approach, yaitu cara-cara yang dilakukan oleh
seorang da'i atau komunikator untuk mencapai suatu tujuan tertentu
atas dasar hikmah dan kasih sayang (Tasmara, 1997: 43). Dengan
kata lain, pendekatan dakwah harus bertumpu pada satu pandangan
human oriented menetapkan penghargaan yang mulia pada diri
manusia. Hal tersebut didasari karena Islam sebagai agama salam
yang menebarkan rasa damai menempatkan manusia pada prioritas
utama, artinya penghargaan manusia itu tidaklah dibeda-bedakan
menurut ras, suku, dan lain sebagainya. Sebagaimana yang tersirat
30
dalam QS. al-Isra' 70; "Kami telah muliakan Bani Adam (manusia)
dan Kami bawa mereka itu di daratan dan di lautan. Kami juga
memberikan kepada mereka dan segala rezeki yang baik-baik.
Mereka juga Kami lebihkan kedudukannya dari seluruh makhluk
yang lain" (Depag RI,1978: 435).
Metode dakwah adalah jalan atau cara yang dipakai juru
dakwah untuk menyampaikan ajaran materi dakwah (Islam). Dalam
menyampaikan suatu pesan dakwah, metode sangat penting
peranannya, suatu pesan walaupun baik, tetapi disampaikan lewat
metode yang tidak benar, pesan itu bisa saja ditolak oleh si penerima
pesan. Maka dari itu kejelian dan kebijakan juru dakwah dalam
memilih dalam memakai metode sangat mempengaruhi kelancaran
dan keberhasilan dakwah. Ketika membahas tentang metode dakwah
pada umumnya merujuk pada surah an-Nahl (QS.16:125)
7"(��A ��)�����k�� h�#�U���� h�l���� ����� h� �����A �@8A�Y I� �� S�� �a��� ;�����+ ��;�C�� ��� �� &�� (I�m &� A �������+ ���C �@�A�Y (B� �&�U�>�+ �7C ��
�&�G�"�)� ���A)I#�� :2jn(
Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah
dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara
yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih
mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan
Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat
petunjuk (Depag RI,1978: 421).
Dalam ayat ini, metode dakwah ada tiga, yaitu: a) hikmah b)
mau'izah al-hasanah c) mujadalah billati hiya ahsan.
31
Apabila unsur-unsur dakwah dikaitkan dengan insan kamil
maka insan kamil masuk dalam materi dakwah, khususnya materi
akhlak. Karena akhlak mengajarkan tentang bagaimana cara manusia
berhubungan dengan Allah SWT, berhubungan manusia dengan
sesama manusia, berhubungan antara manusia dengan alam.
Hubungan tersebut dimaksudkan untuk membentuk manusia
seutuhnya baik jasmani maupun rohani. Hal ini sesuai dengan
pengertian insan kamil yaitu manusia yang mampu mendayagunakan
seluruh potensi rohaniahnya secara optimal.
2.2. Insân Kamîl
2.2.1. Pengertian Insân Kamîl
Insân kamîl berasal dari bahasa Arab, yaitu dari dua kata: insân dan
kamîl. Secara harfiah, insân berarti manusia, dan kamîl berarti yang sempurna.
Dengan demikian, insân kamîl berarti manusia yang sempurna (Yunus, 1990:
51). Menurut Shaliba sebagaimana dikutip Nata (2003: 257) bahwa kata insân
menunjukkan pada sesuatu yang secara khusus digunakan untuk arti manusia
dari segi sifatnya, bukan fisiknya. Dalam bahasa Arab kata insân mengacu
kepada sifat manusia yang terpuji seperti kasih sayang, mulia dan lainnya.
Selanjutnya kata insân digunakan oleh para filosof klasik sebagai kata yang
menunjukkan pada arti manusia secara totalitas yang secara langsung
mengarah pada hakikat manusia. Kata insân juga digunakan untuk
menunjukkan pada arti terkumpulnya seluruh potensi intelektual, rohani dan
32
fisik yang ada pada manusia, seperti hidup, sifat kehewanan, berkata-kata dan
lainnya.
Adapun kata kamîl dapat pula berarti suatu keadaan yang sempurna,
dan digunakan untuk menunjukkan pada sempurnanya zat dan sifat, dan hal
itu terjadi melalui terkumpulnya sejumlah potensi dan kelengkapan seperti
ilmu, dan sekalian sifat yang baik lainnya. Selanjutnya kata insân dijumpai di
dalam al-Qur'an dan dibedakan dengan istilah basyâr dan al-nâs. Kata insân
jamaknya kata al-nâs. Kata insân mempunyai tiga asal kata. Pertama, berasal
dari kata anâsa yang mempunyai arti melihat, mengetahui dan minta izin.
Yang kedua berasal dari kata nâsiya yang artinya lupa. Yang ketiga berasal
dari kata al- ûns yang artinya jinak, lawan dari kata buas. Dengan bertumpu
pada asal kata anâsa, maka insân mengandung arti melihat, mengetahui dan
meminta izin, dan semua arti ini berkaitan dengan kemampuan manusia dalam
bidang penalaran, sehingga dapat menerima pengajaran (Nata, 2003: 258).
Sedikitnya ada tiga kelompok istilah yang digunakan Al-Qur’an dalam
menjelaskan manusia secara totalitas, baik fisik maupun psikis. Pertama,
kelompok kata al-basyâr, kedua, kelompok kata al-îns, al-insân , al-nâs, dan
al-unâs, dan ketiga kata bani adam. Masing-masing istilah ini memiliki intens
makna yang beragam dalam menjelaskan manusia. Perbedaan itu dapat dilihat
dari konteks-konteks ayat yang menggunakan istilah-istilah tersebut
(Baharuddin, 2004: 64).
Selanjutnya dengan bertumpu pada akar kata nâsiya, insân
mengandung arti lupa, dan menunjukkan adanya kaitan dengan kesadaran diri.
33
Manusia lupa terhadap sesuatu karena ia kehilangan kesadaran terhadap hal
tersebut. Orang yang lupa dalam agama dapat dimaafkan, karena hal yang
demikian termasuk sifat insâniyah. Sedangkan kata insân jika dilihat dari
asalnya al-uns, atau anisa yang artinya jinak, mengandung arti bahwa manusia
sebagai makhluk yang dapat hidup berdampingan dan dapat dipelihara, jinak.
Dilihat dari sudut bahasa, kata insân yang berasal dari kata al-uns, an-
nisa, nasiya dan anasa maka dapatlah dikatakan bahwa kata insân menunjuk
pada suatu pengertian yang ada kaitannya dengan sikap yang lahir dari adanya
kesadaran penalaran. Selain itu sebagai insân manusia pada dasarnya jinak,
dapat menyesuaikan dengan realitas hidup dan lingkungan yang ada. Manusia
mempunyai kemampuan adaptasi yang cukup tinggi, untuk menyesuaikan diri
dengan perubahan yang terjadi dalam kehidupannya, baik perubahan sosial,
maupun alamiah. Manusia menghargai tata aturan etik, sopan santun, dan
sebagai makhluk yang berbudi, ia tidak liar, baik secara sosial maupun secara
alamiah (Nata, 2003: 259).
Kata insân dalam al-Qur' an disebut sebanyak 65 kali dalam 63 ayat,
dan digunakan untuk menyatakan manusia dalam lapangan kegiatan yang
amat luas. Asy'ari menyebutkan ada beberapa cara atau metode yang dapat
ditempuh untuk memahami hakikat manusia, dan cara atau metode itu antara
lain, yang pertama, ialah melalui pendekatan bahasa. Yang kedua, melalui
cara keberadaannya yang sekaligus membedakannya secara nyata dengan cara
keberadaan makhluk yang lainnya. Ketiga, melalui karya yang dihasilkannya
(Asy’ari, 2002: 214). Pertama, untuk menyatakan bahwa manusia menerima
34
pelajaran dari Tuhan tentang apa yang tidak diketahuinya (QS.96:1-5). Kedua,
manusia mempunyai musuh yang nyata, yaitu setan (QS.12:5). Ketiga,
manusia memikul amanat dari Tuhan. (QS.33:72). Keempat, manusia harus
menggunakan waktu dengan baik (QS.105:1-3). Kelima manusia hanya akan
mendapatkan bagian dari apa yang telah dikerjakannya (QS.53:39). Keenam,
manusia mempunyai keterikatan dengan moral atau sopan santun. (QS.29:8)
(Asy’ari, 2002: 216).
Berdasarkan petunjuk ayat-ayat tersebut manusia digunakan al-Qur'an
untuk menunjukkan sebagai makhluk yang dapat belajar, mempunyai musuh
(setan), dapat menggunakan waktu, dapat memikul amanat, punya keterkaitan
dengan moral, dapat beternak (QS.28:23), menguasai lautan (QS.2:124), dapat
mengolah biji besi dan logam (QS.57:25), melakukan perubahan sosial
(QS.3:140), memimpin (QS.2:124), menguasai ruang angkasa (QS.55:33),
beribadah (QS.2:21), akan dihidupkan di akhirat (QS.17:71).
Semua kegiatan yang disebutkan al-Qur'an di atas, dikaitkan dengan
penggunaan kata insân di dalamnya, menunjukkan bahwa semua kegiatan itu
pada dasarnya adalah kegiatan yang disadari dan berkaitan dengan kapasitas
akalnya dan aktualitas dalam kehidupan konkret, yaitu perencanaan, tindakan
dan akibat-akibat atau perolehan-perolehan yang ditimbulkannya (Asy’ari,
2002: 30).
Berdasarkan keterangan tersebut istilah insân ternyata menunjukkan
kepada makhluk yang dapat melakukan berbagai kegiatan karena memiliki
berbagai potensi baik yang bersifat fisik, moral, mental maupun intelektual.
35
Manusia yang dapat mewujudkan perbuatan-perbuatan tersebut itulah yang
selanjutnya disebut Insân kamîl. Kata insân lebih mengacu kepada manusia
yang dapat melakukan berbagai kegiatan yang bersifat moral, intelektual,
sosial dan rohaniah. Dan unsur insaniyah inilah yang selanjutnya disebut
sebagai makhluk yang memiliki intuisi, sifat lahut, dan sifat ini pula yang
dapat baqa dan bersatu secara rohaniah dengan Tuhan dalam tasawuf,
sebagaimana telah diuraikan di atas.
Manusia dalam pengertian basyâr tergantung sepenuhnya pada alam,
pertumbuhan dan perkembangan fisiknya tergantung pada apa yang dimakan
dan diminumnya. Selanjutnya di dalam al-Qur'an kata basyâr disebut
sebanyak 36 kali, dan digunakan untuk menggambarkan dimensi fisik manusia
seperti kulit tubuh manusia (QS.74:27), suka makan, minum dan berjalan-
jalan (QS.23:23), suka berhubungan seksual (QS.19:20), menunjukkan pada
proses penciptaannya dari tanah (QS.38:71-76), dan menerima kematian
(QS.21:34-35) (Asy’ari, 2002: 19-20).
Selanjutnya istilah al-nâs digunakan al-Qur'an untuk menyatakan
adanya sekelompok orang atau masyarakat yang mempunyai berbagai
kegiatan untuk mengembangkan kehidupannya, seperti kegiatan bidang
peternakan, penggunaan logam besi, penguasaan laut, melakukan perubahan
sosial dan kepemimpinan (Asy’ari, 2002: 27).
Berdasarkan keterangan tersebut kita melihat bahwa Islam dengan
sumber ajarannya al-Qur'an telah memotret manusia dalam sosoknya yang
benar-benar utuh dan menyeluruh. Seluruh sisi dan aspek dari kehidupan
36
manusia dipotret dengan cara yang amat akurat, dan barangkali tidak ada kitab
lain di dunia ini yang mampu memotret manusia yang utuh itu, selain al-
Qur'an. Apa yang dikemukakan al-Qur'an ini jelas sangat membantu untuk
menjelaskan konsep insân kamîl. Dan apa yang dikemukakan al-Qur' an itu
menunjukkan bahwa Insân kamîl lebih mengacu kepada manusia yang
sempurna dari segi rohaniah, intelektual, intuisi, sosial, dan aktivitas
kemanusiaannya. Untuk mencapai tingkat yang demikian itu, tasawuf
sebagaimana telah diuraikan di atas jelas sangat membantu.
Sebutan Insân kamîl agaknya dimunculkan pertama kali oleh Ibnu
Arabi (w.1240/638 H), pendiri paham wahdat al-wujud (kesatuan wujud). la
mengikuti paham al-Halla`j, yang menyatakan bahwa makhluk pertama yang
diciptakan Tuhan adalah Nur Muhammad atau Ruh Muhammad; Nur atau Ruh
Muhammad inilah yang selanjutnya disebut juga oleh Ibnu Arabi dengan
sejumlah nama, seperti Hakikat Muhammadiyah, Akal Pertama, Hakikat
insaniyah dan insân kamîl. Dengan demikian Ibnu Arabi telah mengacukan
sebutan insân kamîl bukan saja kepada manusia tertentu dari turunan Adam,"
tapi juga kepada Nur Muhammad (bersifat imateri, ciptaan pertama dari
Tuhan. Insân kamîl dengan pengertian yang mengacu kepada ciptaan pertama
itu, diuraikan lebih luas oleh Abdul Karim al-Jili dalam bukunya, al-Insân al-
Kamîl fi Ma'rifat al-Awakhir wa al-Awal, dan para pengikut paham kesatuan
wujud lainnya. Dalam pandangan Ali, bahwa istilah insân kamîl, seperti telah
dijelaskan, muncul dalam literatur Islam pada abad ke-7H/13 M dan
37
dipergunakan pertama sekali oleh Ibn Arabi. Kemudian istilah itu segera
menyebar melalui pengikut-pengikut Ibn Arab (Ali, 1997: 111).
Insân kamîl yang mengacu kepada makhluk pertama, merupakan
hakikat yang menghimpun segala hakikat dari keanekaragaman yang terdapat
dalam alam empiris. la juga merupakan wadah tajalli, pancaran, atau
manifestasi segenap nama dan sifat yang memancar dari Wujud Mutlak
(Tuhan). Sebagai makhluk pertama, Insân kamîl merupakan Akal Pertama
atau Wujud Ilmi, yang memancar dari Wujud Mutlak. la merupakan sumber
segala ilmu. la sumber ilmu bagi para nabi atau rasul, para sufi, atau para
wali. Penyebutan para nabi atau rasul, para sufi, atau para wali dengan sebutan
insân kamîl, tidak lain adalah karena merekalah orang-orang yang merasakan
sungguh-sungguh kehadiran insân kamîl (makhluk pertama itu) dalam jiwa
mereka, dan menerima limpahan ilmu darinya. Mereka tidak mungkin
menerima kehadiran atau pancaran insân kamîl itu, bila hati atau jiwa mereka
tidak suci.
Manusia-manusia turunan Adam, yang termasuk kategori Insân kamîl,
merupakan wadah yang paling sempurna dalam dunia empiris, untuk
menerima tajalli (penampakan secara tidak langsung segenap sifat dan nama
Tuhan). Dengan kata lain merekalah yang mampu dengan sempurna
mencerminkan atau membayangkan keberadaan Tuhan dengan segala nama
dan sifat-Nya. Manusia lain yang bukan Insân kamîl, binatang, tumbuh-
tumbuhan, dan benda-benda empiris lainnya, kendati juga berfungsi sebagai
wadah tajalli Tuhan, tidaklah dapat dengan sempurna mencerminkan atau
38
membayangkan keberadaan Tuhan dengan segala nama dan sifat-Nya. Insya
Allah (insya' Allah) mengandung arti jika Allah menghendaki. Kata ini
dianjurkan untuk diucapkan oleh seseorang apabila ia menghadapi urusan atau
mengikat suatu perjanjian dengan orang lain yang akan dipenuhi atau ditepati
besok atau pada jangka waktu kemudian yang telah ditetapkan. Mengucapkan
kata tersebut pada hakikatnya merupakan pendidikan mental bagi seorang
muslim untuk selalu berada dalam kesadaran ketuhanan. Bahwa apa yang
telah direncanakan oleh manusia dan apa yang akan dia lakukan besok,
tidaklah dapat dipastikan akan berlaku sepenuhnya. Mungkin akan ada
halangan dan rintangan yang tidak diperhitungkan sebelumnya yang membuat
urusan dan perjanjian itu menjadi gagal.
Kedalaman dimensi esoterik di kalangan kaum sufi, melahirkan konsep
insân kamîl (the perfect man). Yang dimaksud dengan insân kamîl ialah suatu
tema yang berhubungan dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap
mutlak, Tuhan. Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu,
yakni yang baik dan yang sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru
oleh manusia. Seseorang yang makin memiripkan diri kepada sifat sempurna
dari Yang Mutlak tersebut, makin sempurnalah dirinya (Rahardjo, 1987: 110).
Berbicara tentang insân kamîl tidak bisa melepaskan diri dari Ibn
Arabi, dan berbicara tentang konsep Ibn Arabi tidak bisa terlepas dari konsep
wahdatul wujudnya. Filsafat ibn Arabi tentang manusia dikenal dengan
konsep al-Insân al-Kamîl (manusia sempurna). Ia disimbolisasikan oleh
Adam, yang diciptakan oleh Allah dalam citra-Nya sebagai khalifah di muka
39
bumi. Ciri utama antropologinya adalah antroposentrisme yang dibangun di
atas ontologi. Dia menggunakan tema dan motif yang sudah lazim dalam
sufisme awal. Tentu saja, antroposentrisme itu sendiri sama sekali bukan
sesuatu yang baru, baik dalam tradisi Islam maupun dalam tradisi Yudeo-
Kristen (Takeshita, 2005: 11).
Dalam teorinya ini, insân kamîl adalah duplikasi Tuhan (nuskhah al-
Haqq), yaitu Nur Muhammad yang merupakan "tempat penjelmaan" (tajalli)
asma', dan dzat Allah yang paling menyeluruh, yang dipandang sebagai
khalifah-Nya di muka bumi. Hakikat Nur Muhammad sesungguhnya
mempunyai dua dimensi hubungan; yang pertama adalah dimensi kealaman
sebagai asas pertama bagi penciptaan alam, dan yang kedua dimensi
kemanusiaan yaitu sebagai hakikat manusia. Dari dimensi kealaman maka
hakikat Muhammad mengandung pula kenyataan yang diciptakan oleh Allah
SWT. lewat proses Kun. Proses penjadian lewat Kun ini tidak mengandung
makna pencapaian-tujuan dari tujuan diciptakannya kenyataan-kenyataan yang
ada. Sebab, kenyataan-kenyataan tersebut masih merupakan tempat
penampakan (tajalli) diri yang masih kabur. la belum cukup dapat
memantulkan Asma dan Dzat Allah SWT. yang ditajallikan atasnya. Melalui
dimensi kemanusiaan maka hakikat Muhammad merupakan insân kamîl yang
dalam dirinya terkandung himpun- an realitas. Pada tahap inilah penampakan
Asma Dzat Tuhan menjadi sempurna (Syukur, 2002: 70-71).
Manusia Sempurna adalah suatu miniatur Realitas (Tuhan dan Alam).
Dalam tubuhnya terdapat kesamaan-kesamaan yang ditarik di antara
40
mikrokosmos dan makrokosmos. Essensi dari Manusia Sempurna adalah suatu
ragam dari Ruh universal. Tubuhnya merupakan ragam dari tubuh universal.
Manusia Sempurna adalah Sebab dari Alam. Dengan cinta yang
mendalam dari Yang Esa untuk dikenal dan menjadi kenyataan, maka Tuhan
mewahyukan diri-Nya dalam bentuk Dunia Fenomena. Sebagai landasan
kaum sufi, khususnya Ibn Arabi ialah hadits Qudsi (sebagaimana telah
disebutkan di depan) yang artinya: "Aku adalah perbendaharaan yang
tersembunyi. Aku senang untuk diketahui maka Aku menciptakan makhluk,
yang dengannya Aku dikenal mereka. Dengan demikian dapat dimengerti
bahwa dengan cinta abadi dari Yang Esa untuk memandang Kecantikan dan
Kesempurnaan Dirinya dimanifestasikan dalam bentuk-bentuk, dan di
samping agar diketahui oleh dirinya sendiri di dalam dan melalui Dirinya
Sendiri, dijumpai pula realisasi paling sempurna dalam diri Manusia
Sempurna, yang hanya dia saja yang mengenal Dia, dan yang mampu
memanifestasikan Atribut-atribut-Nya secara sempurna. la ketahui Dia,
"dengan cara yang tak bisa diragukan lagi," dan ia lihat Dia dengan "mata"
paling dalam dari jiwanya. "la bagi Tuhan seperti biji mata bagi mata (fisik)
(Syukur, 2002: 70-71).
Kesempurnaan manusia terletak pada perpaduan yang memberinya hak
istimewa untuk menjadi khalifah. Bagi Ibn al-Arabi, manusia yang tidak
mencapai tingkat kesempurnaan adalah binatang yang bentuk lahirnya
menyerupai bentuk manusia dan tidak berhak memperoleh jabatan khilafah.
Dalam terminologi Ibn al-Arabi, yang berhak disebut manusia dalam arti
41
sebenarnya adalah orang yang mencapai tingkat kesempurnaan. Barang siapa
yang tidak mencapai tingkat ini tidak berhak menyandang nama “manusia”
dan tidak berhak menjadi khalifah karena ia adalah binatang yang secara
lahiriah menyerupai manusia (Noer, 1995: 134).
Menurut Ibn Arabi, Manusia Sempurna adalah penyebab dari
penciptaan, karena di dalam "Manusia Sempurna" tersebut obyek penciptaan
itu disadari. Andaikata bukan karena dia (manusia sempurna), maka
penciptaan itu tentu saja tidak akan berarti apa-apa, karena Tuhan tentunya
tidak akan dikenal. Jadi karena dia maka seluruh penciptaan itu dibuat, yakni
Tuhan memanifestasikan Diri-Nya di dalam dunia dan di dalam Manusia
Sempurna itu. Oleh karena itu dia menduduki tempat mulia, dan karena itu
seluruh isi alam dikuasakan padanya. Dan alam ini akan dipelihara terus
menerus selama dia masih ada di dalamnya.
Sebenarnya pemikiran Ibn Arabi tersebut mengembangkan rintisan al-
Hallaj, yang dapat dikatakan sebagai salah satu gurunya. Al-Hallaj telah
merintis jalan bagi pemikiran tasawuf berikutnya. Dia telah mengisyaratkan
sesuatu semacam Logos Islam, dan menekankan kekudusan Muhammad, dan
bahkan menegaskan keabadian dan praeksistensinya. Menurut dia, "Eksistensi
Muhammad" telah terjadi bahkan sebelum non-eksistensi dan namanya pun
sebelum 'pena'. la telah dikenal sebelum substansi-substansi, kejadian-
kejadian, dan sebelum realitas-realitas yang 'belum' maupun yang 'sudah'. la
datang dari suatu 'suku' yang bukan timur maupun barat. (al-Hallaj, 1913).
Muhammad adalah Cahaya yang tak pernah padam yang terus- menerus
42
menerangi hati para sufi. Semua Nabi-nabi (dan para wali) mendapatkan
cahaya dari Cahaya Muhammad. Cahayanya lebih cemerlang dan lebih abadi
(aqdam) daripada Cahaya Pena (Syukur, 2002: 72).
Rintisan al-Hallaj tersebut kemudian disistimatisasikan oleh Ibn Arabi,
dan teorinya ini banyak pengaruhnya kepada para sufi berikutnya, ambil saja
sebagai sample Abd al-Karim al-Jili, dan Nuruddin al-Raniri. Dan di
Indonesia secara tidak disadari sangat populer di kalangan muslim pedesaan,
seperti tertuang dalam kitab bacaan rakyat, al-Barzanji yang berisi sya'ir
pujian kepada Nabi Muhammad saw. dan prosa tentang sejarah beliau. Al-Jili
menulis buku monumental yang khusus membicarakan insân kamîl dengan
judul al-Insân al-Kamîl fi Ma'rifati al-Awakhir wa al-Awa'il. Kupasan tentang
insân kamîl dituangkan dalam bab ke 60. Insân kamîl dipersonifikasikan oleh
al-Jili dengan diri Muhammad.
Al-Kamal (kesempurnaan) menurut al-Jili mungkin dimiliki manusia
secara potensial (bil quwwah), dan mungkin pula secara aktual (bil fi'li) seperti
yang terdapat dalam diri wali dan Nabi, walaupun intensitasnya berbeda-beda.
Intensitas yang tertinggi, menurut al-Jili terdapat dalam diri Muhammad,
sehingga manusia lain baik Nabi-nabi maupun wali-wali dibandingkan dengan
Muhammad, bagaikan al-kamil dengan al-akmal, atau al-fadhil dengan al-
afdhal. Menurut al-Jili, Muhammad adalah al-quthb (poros, sumbu) bagi
beredarnya alam semesta (aflak al-wujud), dari awalnya. hingga akhir, sejak
adanya wujud untuk selama-lamanya (abad al-abidin), dan bahkan
43
Muhammad dapat menjelma dalam ber- bagai bentuk, yang hanya diketahui
oleh ahl al-kasyf.
Al-Jili menandaskan bahwa insân kamîl merupakan mikrokosmos dan
makrokosmos, jami' al-haqa 'iq al-wujudiyyah, qalbnya = arasy, aqlnya =
qalam, nafsnya = lauh al-mahfuzh, mudrikahnya = kaukab, al-qawiy al-
muharrikahnya = asy-syams, dan sebagainya. Lebih jauh ditandaskan oleh al-
Jili -sebagaimana Ibn Arabi bahwa insân kamîl laksana cermin di hadapan
Allah untuk mengenal nama-nama (al-asma'), dan sifat-sifat (al- shifat) Diri-
Nya, baik yang terletak di kanan seperti: al-hayat, al-'Ilm, al-qudrah, al-
sama', al-bashar, dan sebagainya, maupun yang ada di sebelah kiri, seperti al-
azaliyah, al-abadiyah, al-awaliyah, al-akhiriyah, dan lain sebagainya.
2.2.2. Syarat-Syarat Menjadi Insân kamîl
Sebagai seorang sufi, dengan membawa filsafat Insân kamîl, Al-Jilli
merumuskan beberapa maqam yang harus dilalui seorang sufi, yang menurut
istilahnya disebut al-martabat atau jenjang/tingkat. Dengan kata lain, menurut
Al-Jilli, syarat menjadi Insân kamîl harus menempuh tujuh tingkatan, yaitu:
Pertama, Islam; Kedua, Iman; Ketiga, Shalah; Keempat, Ihsan, Kelima,
Syahadah, Keenam, Shiddiqiyah; Ketujuh, Qurbah (al-Jilli, tth: 130).
Pertama: Islam, yang didasarkan pada lima pokok atau rukun dalam
pemahaman kaum sufi, yang tidak hanya dilakukan secara ritual saja, tetapi
harus dipahami dan dirasakan lebih dalam. Misalnya puasa, menurut Al-Jilli,
ia merupakan isyarat untuk menghindari tuntutan kemanusiaan agar si shaim
(pelaksana puasa) memiliki sifat-sifat ketuhanan, yaitu dengan cara
44
mengosongkan jiwanya dari tuntutan-tuntutan kemanusiaan maka terisilah
jiwa oleh sifat-sifat ketuhanan.
Kedua: Iman, yakni membenarkan dengan sepenuh keyakinan akan
rukun iman, dan melaksanakan dasar-dasar Islam. Iman merupakan tangga
pertama untuk mengungkap tabir alam gaib, dan alat yang membantu
seseorang mencapai tingkat atau maqam yang lebih tinggi. Iman menunjukkan
sampainya hati mengetahui sesuatu yang jauh di luar jangkauan akal. Sebab,
sesuatu yang diketahui akal tidak selalu membawa keimanan.
Ketiga: Ash-shalat, yakni dengan maqam ini, seorang sufi mencapai
tingkat menyaksikan efek (atsar) dari nama dan sifat Tuhan, sehingga dalam
ibadahnya ia merasa seakan-akan berada di hadapannya. Persyaratan yang
harus ditempuh dalam maqam ini adalah sikap istiqamah dan tobat, inabah,
zuhud, tawakal, tafwidh, rida, dan ikhlas.
Keempat: Ihsan, Persyaratan yang harus ditempuh dalam maqam ini
adalah sikap istiqamah dan tobat, inabah, zuhud, tawakal, tafwidh, rida, dan
ikhlas.
Kelima: Syahadah, seorang sufi dalam maqam ini telah mencapai
iradah yang bercirikan; mahabbah kepada Tuhan tanpa pamrih, mengingat-
Nya secara terus-menerus, dan meninggalkan hal-hal yang menjadi keinginan
pribadi. Syahadah ini terbagi atas dua tingkatan, yaitu: mencapai mahanah
kepada Tuhan tanpa pamrih ini adalah tingkat yang paling rendah dan
menyaksikan Tuhan pada semua makhluknya secara 'ainul yaqin. Ini adalah
tingkat yang paling tinggi.
45
Keenam: Shiddiqiyah, menggambarkan tingkat pencapaian hakikat
yang ma'rifat yang diperoleh secara bertahap dari ilmu al-yaqin, 'amal-yaqin
(perbuatan yang diyakini), dan sampai haqq al-yaqin. Ketiga tingkat ma'rifat
itu dialami oleh seorang sufi secara bertahap. Jadi, menurut Al-Jilli, seorang
sufi yang telah mencapai derajat shiddiq akan menyaksikan hal-hal yang gaib,
kemudian melihat rahasia-rahasia Tuhan sehingga mengetahui hakikat diri-
Nya. Setelah mengalami fana', ia memperoleh baqa Ilahi. Apabila ia telah
baqa dengan Tuhan, ia akan diikuti dengan penampakan nama-nama. Inilah
batas pencapaian ilmu al-yaqin (al-Jilli, tth: 130).
Selanjutnya, ketika penampakan sifat-sifat itu terjadi, ia akan
memperoleh ma'rifat Dzat dari segi sifat. Demikian berlangsung selanjutnya,
sampai mencapai ma'rifat dzat dengan dzat. Akan tetapi, karena tidak merasa
puas dengan ma'rifat dzat dengan dzat, ia mencoba melepaskan sifat-sifat
Rububiyah sehingga akhirnya ia dapat terhiasi dengan sifat-sifat dan nama
Tuhan. Tingkat semacam inilah yang dinamakan haqq al-yaqin.
Ketujuh: Qurbah. Maqam ini merupakan maqam yang memungkinkan
seorang sufi dapat menampakkan diri dalam sifat dan nama yang mendekati
sifat dan nama Tuhan (al-Jilli, tth: 130).
Demikianlah, maqan-maqam yang dirumuskan Al-Jilli dalam upaya
mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun, satu hal yang kita ketahui bahwa Al-
Jilli mengatakan, "Mengetahui Dzat Yang Mahatinggi itu secara kasyaf (tidak
terlihat) Ilahi. Sebab, hamba adalah hamba dan Tuhan adalah Tuhan. Oleh
karena itu, tidaklah mungkin hamba menjadi Tuhan atau sebaliknya."
46
(Solihin, 2003: 108). Dengan pernyataan ini, dapat kita pahami bahwa
sungguh pun manusia berhias dengan nama dan sifat Tuhan, ia tetap tidak
dapat menyamai sifat dan nama-nama-Nya.
Bagaimana pun harus dicatat bahwa pemikiran tentang insân kamîl Al-
Jilli hingga zaman selanjutnya terus berkembang. Muhammad Iqbal (w. 1938
M), misalnya, seorang tokoh modern berhasil melahirkan konsep tentang
Higher Selfhood (pribadi luhur) (Nicholson, 1998: 87).
Perlu dicatat di sini bahwa pemikiran insân kamîl Al-Jilli ternyata
banyak juga mendapatkan kritikan atau reaksi dari beberapa kalangan.
Muhammad Al-Abduh dan Thariq Abdul Halim, misalnya, menilai pemikiran
Al-Jilli sangat ekstrem, bahkan dianggap kufur karena berlebih-lebihan dalam
menempatkan kedudukan Nabi Muhammad SAW. Mereka menolak
keyakinan Al-Jilli yang mengatakan bahwa Nabi Muhammad sebagai
makhluk pertama dan sebagai quthb (poros) yang diciptakan oleh Allah SWT,
yang dari Nabi Muhammad ini seluruh falak yang ada dari yang pertama
sampai yang terakhir berputar di bawah kendali beliau. Mereka menilai
keyakinan seperti ini merupakan pengaruh dari filsafat Yunani dan ajaran
agama Kristen yang telah memberi tambahan sifat ketuhanan kepada Nabi Isa
a.s (Nata, 2003: 265).
47
2.2.3. Karakteristik Insân kamîl
Untuk mengetahui ciri-ciri insân kamîl dapat ditelusuri pada berbagai
pendapat yang dikemukakan para ulama yang keilmuannya sudah diakui,
termasuk didalamnya aliran-aliran. Ciri-ciri tersebut adalah sebagai berikut:
1. Berfungsi Akalnya Secara Optimal. Fungsi akal secara optimal dapat
dijumpai pada pendapat kaum Mu’tazilah. Menurutnya manusia yang
akalnya berfungsi secara optimal dapat mengetahui bahwa segala
perbuatan baik seperti adil, jujur, berakhlak sesuai dengan essensinya dan
merasa wajib melakukan semua itu walaupun tidak diperintahkan oleh
wahyu. Manusia yang berfungsi akalnya sudah merasa wajib melakukan
perbuatan yang baik. Dan manusia yang demikianlah yang dapat
mendekati tingkat insân kamîl. Dengan demikian insân kamîl akalnya
dapat mengenali perbuatan yang baik dan perbuatan buruk karena hal itu
telah terkandung pada essensi perbuatan tersebut (Azra, 1987: 43).
2. Berfungsi Intuisinya. Insân kamîl dapat juga dicirikan dengan
berfungsinya intuisi yang ada dalam dirinya. Intuisi ini dalam pandangan
Ibn Sina disebut jiwa manusia (rasional soul). Menurutnya jika yang
berpengaruh dalam diri manusia adalah jiwa manusianya, maka orang itu
hampir menyerupai malaikat dan mendekati kesempurnaan (Nasution,
1983: 56-74).
3. Mampu Menciptakan Budaya. Manusia yang sempurna adalah manusia
yang mampu mendayagunakan seluruh potensi rohaniahnya secara
optimal. Menurut Ibn Khaldun manusia adalah makhluk berpikir. Sifat-
48
sifat semacam ini tidak dimiliki oleh makhluk lainnya. Lewat kemampuan
berpikirnya itu, manusia tidak hanya membuat kehidupannya, tetapi juga
menaruh perhatian terhadap berbagai cara guna memperoleh makna hidup.
Proses-proses semacam ini melahirkan peradaban. Tetapi dalam kaca mata
Ibn Khaldun kelengkapan serta kesempurnaan manusia tidaklah lahir
dengan begitu saja, melainkan melalui suatu proses tertentu. Proses
tersebut dewasa ini dikenal dengan evolusi (Rahardjo, 1987: 175-176).
4. Menghiasi Diri dengan Sifat-sifat Ketuhanan.
5. Manusia termasuk makhluk yang mempunyai naluri ketuhanan (fitrah). la
cenderung kepada hal-hal yang berasal dari Tuhan, dan mengimaninya.
Sifat-sifat tersebut menyebabkan ia menjadi wakil Tuhan di muka bumi.
Manusia sebagai khalifah yang demikian itu merupakan gambaran ideal.
Yaitu manusia yang berusaha menentukan nasibnya sendiri, baik sebagai
kelompok masyarakat maupun sebagai individu. Yaitu manusia yang
memiliki tanggung jawab yang besar, karena memiliki daya kehendak
yang bebas. Manusia yang ideal itulah yang disebut insân kamîl, yaitu
manusia yang dengan sifat-sifat ketuhanan yang ada pada dirinya dapat
mengendalikan sifat-sifat rendah yang lain (Rahardjo, 1987: 175-176).
Sebagai khalifah Allah di muka bumi ia melaksanakan amanat Tuhan
dengan melaksanakan perintah-Nya.
6. Berakhlak Mulia. Sejalan dengan ciri keempat di atas, insân kamîl juga
adalah manusia yang berakhlak mulia. Hal ini sejalan dengan pendapat Ali
Syari'ati yang mengatakan bahwa manusia yang sempurna memiliki tiga
49
aspek, yakni aspek kebenaran, kebajikan dan keindahan. Dengan kata lain
ia memiliki pengetahuan, etika dan seni. Semua ini dapat dicapai dengan
kesadaran, kemerdekaan dan kreativitas. Manusia yang ideal (sempurna)
adalah manusia yang memiliki otak yang briliyan sekaligus memiliki
kelembutan hati. Insân kamîl dengan kemampuan otaknya mampu
menciptakan peradaban yang tinggi dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi, juga memiliki kedalaman perasaan terhadap segala
sesuatu yang menyebabkan penderitaan, kemiskinan, kebodohan dan
kelemahan (Rahardjo, 1987: 176).
7. Berjiwa Seimbang. Menurut Nashr, sebagai dikutip Komaruddin Hidayat,
bahwa manusia modern sekarang ini tidak jauh meleset dari siratan
Darwin. Bahwa hakikat manusia terletak pada aspek kedalamannya, yang
bersifat permanen, immortal yang kini tengah bereksistensi sebagai bagian
dari perjalanan hidupnya yang teramat panjang. Tetapi disayangkan,
kebanyakan dari mereka lupa akan immortalitas dirinya yang hakiki tadi.
Manusia modern mengabaikan kebutuhannya yang paling mendasar, yang
bersifat ruhiyah, sehingga mereka tidak akan mendapatkan ketenteraman
batin, yang berarti tidak hanya keseimbangan diri, terlebih lagi bila
tekanannya pada kebutuhan materi kian meningkat, maka keseimbangan
akan semakin rusak (Hidayat dan Nafis, tth: 192).
8. Kutipan tersebut mengisyaratkan tentang perlunya sikap seimbang dalam
kehidupan, yaitu seimbang antara pemenuhan kebutuhan material dengan
spiritual atau ruhiyah. Ini berarti perlunya ditanamkan jiwa sufistik yang
50
dibarengi dengan pengamalan syariat Islam, terutama ibadah, zikir,
tafakkur, muhasabbah, dan seterusnya.
Uraian di atas diyakini belum menjelaskan ciri-ciri insân kamîl secara
keseluruhan. Tetapi ciri-ciri itu saja jika diamalkan secara konsisten dipastikan
akan mewujudkan insân kamîl dimaksud. Seluruh ciri tersebut menunjukkan
bahwa insân kamîl lebih menunjukkan pada manusia yang segenap potensi
intelektual, intuisi, rohani, hati sanubari, ketuhanan, fitrah dan kejiwaannya
berfungsi dengan baik. Jika demikian halnya, maka upaya mewujudkan insân
kamîl perlu diarahkan melalui pembinaan intelektual, kepribadian, akhlak,
ibadah, pengalaman tasawuf, bermasyarakat, research dan lain sebagainya.
Dimana semua unsur tersebut dapat diperoleh dengan jalan pendidikan Islam.
Dan hal yang terpenting dalam pencapaian insân kamîl adalah campur
“Tangan” dari sang khaliq yaitu Allah SWT.
2.2.4. Insân Kamîl menjadi Tujuan Dakwah
Insan kamil menjadi tujuan dakwah. Salah satu tugas pokok dari
Rasulullah adalah membawa amanah suci berupa menyempurnakan akhlak
yang mulia bagi manusia. Dan akhlak yang dimaksudkan ini tidak lain adalah
al-Qur'an itu sendiri sebab hanya kepada al-Qur'an-lah setiap pribadi muslim
itu akan berpedoman. Atas dasar ini tujuan dakwah secara luas, dengan
sendirinya adalah menegakkan ajaran Islam kepada setiap insan baik individu
maupun masyarakat, sehingga ajaran tersebut mampu mendorong suatu
perbuatan sesuai dengan ajaran tersebut (Tasmara, 1997: 47).
Secara umum tujuan dakwah dalam al-Qur'an adalah: Aziz (2004: 68).
51
1. Dakwah bertujuan untuk menghidupkan hati yang mati.
Allah berfirman:
��������� �� � �������� ���� ���������� �������� �!�"�������#�$% �&�'(����)*��+���... )./0���:23(
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, patuhilah seruan Allah dan
seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada sesuatu
yang memberi kehidupan kepada kamu ...". (QS. al Anfal: 24)
(Depag RI,1978: 264 ).
2. Agar manusia mendapat ampunan dan menghindarkan azab dari Allah.
���)�� ��.�5�"� ���)�6������ �� (��� 78/���) ...9�/ ::(
Artinya: Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka (kepada
iman) agar Engkau mengampuni mereka ... (QS Nuh: 7)
(Depag RI,1978: 978).
3. Untuk menyembah Allah dan tidak menyekutukan-Nya.
&;�$ <��=�>?0� �&$�� �@����� ��=/�+ �� A �B��>���.�� �<��"���� ���C��#���6% �&�'(���� �������� ������+ ������ �A �D��E�+ F�� ������ �G� ���+ �B�+ �H��$�+ �� �/� �I�J ���K�L�A ���#��
<M�$)G����NO( Artinya: Orang-orang yang telah kami berikan kitab kepada mereka,
bergembira dengan kitab yang telah diturunkan kepadamu,
dan di antara golongan-golongan Yahudi Jang bersekutu ada
yang mengingkari sebagiannya. Katakanlah: "Sesungguhnya
aku hanya diperintah untuk menyembah Allah dan tidak
mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Hanya kepada-Nya
aku seru (manusia) dan hanya kepada-Nya aku kembali". (QS.
ar Ra'd: 36) (Depag RI,1978: 375).
4. Mengajak dan menuntun ke jalan yang lurus.
*$ Z\���P S��� ���C����G�"�� �@�/��� Z��[�"�U)B�#$]^�::N(
52
Artinya: Dan sesungguhnya kamu benar-benar menyeru mereka ke jalan
yang lurus. (QS. al-Mukminun: 73) (Depag RI,1978: 534).
5. Untuk menghilangkan pagar penghalang sampainya ayat-ayat Allah ke
dalam lubuk hati masyarakat.
�� ���������� �@8A�Y S��� �a����� �@����� �_��=/�+ ��� �G�L�A �(��� H���% �&�� �@�/*G�̀ �V���W� ��� �&$ �&�/����6 )b`[�� :c:(
Artinya: Dan janganlah sekali-kali mereka dapat menghalangimu dari
(menyampaikan) ayat-ayat Allah, sesudah ayat-ayat itu
diturunkan kepadamu, dan serulah mereka kepada (jalan)
Tuhanmu, dan janganlah sekali-kali kamu termasuk orang-
orang yang mempersekutukan Tuhan. (QS. al-Qashshas: 87)
(Depag RI,1978: 612).
53
BAB III
INSÂN KAMÎL DALAM BUKU "KONSEPSI MANUSIA MENURUT
ISLAM"
3.1 Biografi Dawam Rahardjo, Pendidikan dan Karya-karyanya
Prof. Drs. Mohammad Dawam Rahardjo lahir di Solo, Jawa Tengah,
20 April 1942. Pendidikan: SD Negeri Loji Wetan, Solo (1954); SMP
Solo(1957); SMA Solo (1960); Fakultas Ekonomi UGM (1969). Karir: Ketua
Redaksi Majalah Dewan Mahasiswa UGM, Gelora (1968-1969); Staf
Departemen Kredit Bank of America, Jakarta (1969-1971); Staf Peneliti
LP3ES ( 1971 -1972); Kepala Bagian Penelitian LP3ES (1972-1974);
Koordinator Bagian Penelitian dan Pengembangan LP3ES (1974-1976);
Wakil Direktur LP3ES (1976-1978); Direktur LP3ES dan Pemimpin Umum
majalah Prisma (1980-1986); Direktur Utama Pusat Pengembangan
Masyarakat Agrikarya; Dosen Universitas Muhammadiyah Malang (1986-
sekarang); Direktur Program Pasca Sarjana Universitas Muhammadiyah
Malang (1996- sekarang); Pembantu Rektor IV Universitas Islam 45 Bekasi
(Unisma); Rektor Unisma; Presiden Direktur CIDES Persada Consultant;
Koordinator Bidang Ekonomi, Tim Reformasi untuk mengembangkan
Masyarakat Madani; Ketua Majelis Pembina Ekonomi PP Muhammadiyah
(Handrianto, 2007: 42).
Kegiatan Lain: Wakil Ketua Dewan Pakar ICMI (1990-1995); Ketua
ICMI Pusat (1995-2000); President of The Board of Directors, International
54
Forum of Islamic Studies; Direktur International Institute of Islamic Thought
Indonesia
Adapun karyanya: Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan
Kesempatan Kerja (1984); Pesantren dan Pembaruan (1974); Insân
Cendekiawan Muslim (1992); Perekonomian Indonesia: Pertumbuhan dan
Krisis (1987); Deklarasi Makkah: Esai-Esai Ekonomi Islam (1987); Etika
Ekonomi dan Manajemen (1990); Intelektual, Intelegensi, dan Perilaku Politik
Bangsa: Risalah Cendekiawan Muslim (1992); Pragmatisme dan Utopia:
Corak Nasionalisme Ekonomi Indonesia (1992); Bank Indonesia dalam
Kilasan Sejarah (1993); Islam dan Transformasi Sosial-Ekonomi (2000);
Islam dan Transformasi Sosial-Budaya (2000)
Sarjana ekonomi dari Universitas Gadjah Mada ini turut membidani
lahirnya Ikatan Cendekiawan Muslim se-lndonesia (ICMI) pada 1990. la
menjadi wakil ketua Dewan Pakar pada periode pertama, dilanjutkan sebagai
ketua ICMI Pusat pada periode berikutnya. Saat ini, selain sebagai Rektor
Universitas Islam 45 (Unisma), Dawam masih aktif di Lembaga Studi Agama
dan Filsafat dan International Institute of Islamic Thought. Lelaki kelahiran
Solo, Jawa Tengah, itu juga aktif di beberapa perusahaan di bawah naungan
Muhammadiyah.
Sebenarnya, Zuhdi Rahardjo guru yang kemudian jadi pengusaha batik
dan tenun- menginginkan anak sulungnya ini meneruskan usahanya, kelak.
Karena itu, Dawam kecil dididik ayahnya menjadi seorang pengusaha. Tapi
ia gemar membaca, termasuk komik, selain sebagai anak keluarga santri akrab
55
dengan bacaan Al-Qur'an. Selain sekolah umum pada pagi hari, petang
harinya Dawam juga belajar di' Madrasah Diniyah Al Islam, sekolah agama
Islam yang termasuk terbaik di Solo.
Beranjak remaja, Dawam meminati sastra. la menulis puisi di sebuah
koran lokal di Yogyakarta, dan pada saat yang bersamaan sempat bergabung
dengan Himpunan Peminat Sastra Surakarta. Mendapat beasiswa lewat
Program American Field Service untuk belajar di Borah High School, Idaho,
Amerika Serikat, pria yang sudah menulis kolom sejak SMA ini banyak
membaca karya sastra Amerika. Puisinya yang ditulis dalam bahasa Inggris
saat itu mendapat nilai A.
Selepas SMA, pertumbuhan minat Dawam pada ekonomi
membawanya masuk Fakultas Ekonomi UGM. Namun di saat itu pula ketika
suhu politik Nasional memanas menjelang pecahnya Gerakan 30 September
(1965) ia tertarik pada politik, yang ia salurkan melalui Himpunan Mahasiswa
Islam. Walau tidak duduk sebagai anggota pengurus, Dawam menjadi"
ideolog" HMT Yogyakarta.
Setelah lulus Fakultas Ekonomi UGM, 1969, Dawam bekerja di Bank
of America, Jakarta, tapi tak lama. Karena merasa tidak leluasa berkiprah
dalam pergerakan, Dawam yang ketika itu redaktur Mimbar Demokrasi dan
mingguan Forum- memilih keluar. la ingin bekerja di sebuah lembaga riset.
Nono Anwar Makarim, yang dikenalnya di Yogya, yang merekrutnya
ke lembaga riset bernama Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan
Ekonomi dan Sosial (LP3ES) itu. Memulai sebagai peneliti pada 1971, satu
56
tahun kemudian karirnya merambat naik. Dari kepala bagian penelitian, ia
bahkan akhirnya dipercaya menjadi direktur dan pemimpin umum majalah
Prisma yang amat berpengaruh di kalangan intelektual. Pada saat itu pula, ia
memprakarsai berdirinya Inter-Non-Governmental Forum for Indonesia, yang
kemudian berubah nama menjadi Inter-Non-Governmental for Development
(INFID).
Dawam juga sudah menghasilkan beberapa buku, contohnya Esai-Esai
Ekonomi Politik (LP3ES, 1983), Transformasi Pertanian, Industrialisasi dan
Kesempatan Kerja (Ul Press, 1984), dan Pesantren dan Pembaruan (LP3ES,
1974). Ditangannyalah lahir buku Catatan Harian Ahmad Wahib yang
menghebohkan itu yang diedit oleh Djohan Effendy dan Ismet Natsir.
Dalam rangka pemberian gelar guru besar di Universitas
Muhammadiyah Malang, 1992, ia meluncurkan buku berjudul Pragmatisme
dan Utopia: Corak Nasionalisme Ekonomi Indonesia. Namun yang oleh
pengagum Buya Hamka ini dinilai sebagai puncak karyanya adalah
Ensiklopedia Tafsir Al-Qur'an.
3.2 Konsepsi Manusia Menurut Islam
Buku yang berjudul Konsepsi Manusia Menurut Islam disunting oleh
M. Dawam Rahardjo. Buku ini memuat pikiran M. Dawam Rahardo juga
pemikiran beberapa ahli yaitu Azyumardi Azra yang berjudul Antara
Kebebasan dan Keterpaksaan Manusia; Arief Mudatsir yang berjudul
Makhluk Pencari Kebenaran; Bahtiar Effendi yang berjudul Antara Roh dan
Jasad; Hari Zamharir yang berjudul Insân kamîl ; Ahmadi Rifa'i Hasan yang
57
berjudul Manusia Serba Dimensi; Fachri Ali yang berjudul: Realitas
Manusia; Hadimulyo yang berjudul Manusia dalam Perspektif Humanisme
Agama; Komaruddin Hidayat yang berjudul Upaya Pembebasan Manusia.
3.2.1. Insân kamîl
Menurut Rahardjo (1987: 213) jika menengok sebentar
kandungan Al-Qur'an tampak lima ayat yang mula pertama
diturunkan, yaitu tercantum pada surat Al-'Alaq yang berbunyi
demikian: "Bacalah dengan nama Rabb-mu yang menciptakan. Yang
menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. Dan Rabb-mu
yang paling Murah Hati. Yang mengajar (manusia) dengan pena. Yang
mengajar kepada manusia apa yang ia tak tahu". (QS. Al-'Alaq l-5).
Ternyata menurut Rahardjo, ed., (1987: 213), dalam ayat-ayat
yang mula-mula turun pertama kali itu, Tuhan di samping
memperkenalkan dirinya sebagai Rabb, yaitu Tuhan Yang
Menciptakan, Yang Murah Hati, dan Yang Mengajar Manusia, juga
telah menyebut istilah al-insan, atau manusia, sebanyak dua kali.
Pertama, manusia disebut dalam konteks yang berhadapan dengan
Allah, sebagai makhluk yang diciptakan, yaitu diciptakan dari
segumpal darah. Kedua, manusia disebut dalam konteks, juga
berhadapan dengan Allah, sebagai makhluk yang menerima pelajaran,
yang memperoleh pengetahuan, dengan perantaraan suatu alat, yaitu
pena, atau al-qalam, yang artinya adalah alat pencatat. Ayat yang
terakhir menyebut suatu proses perpindahan dari keadaan tidak tahu
58
menjadi tahu. Di situ tampak sekali makna penyadaran oleh Allah
kepada manusia, bahwa al-insân itu bukan hanya sekadar makhluk
biologis, tetapi juga makhluk rohaniah, yaitu makhluk yang menerima
ilmu dari Allah, makhluk yang belajar.
Menurut Rahardjo, (1987: 214) apa pun tafsiran seseorang
terhadap ayat-ayat itu, jelas bahwa soal-soal yang dibicarakan oleh Al-
Qur'an sejak pertama adalah tentang manusia sendiri. Selanjutnya, al-
insân juga dipakai sebagai judul suatu surat tersendiri, yaitu surat 76,
karena awal surat itu memberi penjelasan lebih lanjut tentang manusia
yang terjemahnya: "Sesungguhnya telah datang kepada manusia suatu
masa, tatkala dia belumlah sesuatu yang dapat disebutkan.
Sesungguhnya Kami menciptakan manusia dari sperma yang
bercampur (dengan telur dalam rahim wanita), untuk mengujinya,
maka Kami membuat dia mendengar dan melihat." Sekali lagi, di sini
manusia dijelaskan baik sebagai makhluk biologis maupun rohaniah.
Pada ayat-ayat selanjutnya yang turun di Mekkah, Allah
memang banyak memberi penjelasan tentang manusia sebagai
makhluk biologis, khususnya tentang asal usul dan kejadiannya,
misalnya dalam surat Al-Mu'min ayat 67, surat Al-Hajj ayat 5, surat
Al-Hijr ayat 26, 28, dan 29, atau surat Al-Sajdah ayat 7, 8, dan 9. Pada
surat yang terakhir ini jelas sekali diterangkan bahwa manusia adalah
makhluk biologis yang mengandung roh Allah. "Demikianlah Tuhan
Yang Mahatahu akan barang-barang yang tidak kelihatan dan yang
59
tampak, Yang Mahaperkasa, Yang Maha Pengasih. Yang membuat
baik segala sesuatu yang la ciptakan, dan la mengawali terciptanya
manusia dari tanah. Lalu la membuat keturunannya dari sari, dari air
yang hina. Lalu la buat itu sempurna, dan ia tiupkan di dalamnya
sebagian roh-Nya, an la berikan kepada kamu pendengaran,
penglihatan, dan al-qalb. Tetapi sedikit sekali apa yang kamu
syukuri."
Penyebutannya sebagai makhluk biologis menurut Rahardjo,
(1987: 215) justru untuk menegaskan bahwa manusia bukan sekadar
itu. "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam susunan
yang paling baik," kata Tuhan dalam surat Al-Thin ayat 4. Yang
dimaksud dengan istilah akhsani taqwim dalam ayat itu adalah "daya
kemampuan yang luar biasa besarnya untuk maju" yang dimiliki
manusia. Atau potensinya untuk berkembang dan mengembangkan
diri. Manusia bisa berkembang karena diberi alat pendengaran dan
penglihatan. Dengan alat itu atau cara itu manusia bisa menangkap
sesuatu. Tetapi Tuhan memberi alat lain yang penting untuk bisa
memahami sesuatu yaitu yang bernama "al-qalb". Penjelasan untuk
istilah itu antara lain diberikan oleh ayat 179, surat Al-A'raaf, yaitu
alat yang dapat dipergunakan manusia untuk memahami sesuatu.
Seseorang bisa mempunyai mata, tetapi tidak "melihat" dengan qalb-
nya, bisa pula mempunyai telinga, tetapi tidak "mendengar" dengan
60
qalb-nya itu. Manusia seperti itu oleh Al-Qur'an diumpamakan hewan
(al-an'aam).
Sebenarnya, Tuhan tidak hanya memberitakan kepada manusia
tentang asal usul kejadiannya. Lebih dari itu la juga menyuruh
manusia memikirkan kejadiannya itu lebih lanjut. "Maka, hendaklah
manusia memperhatikan, dari apakah ia diciptakan", kata Allah dalam
surat At-Thariq ayat 5. Tampaknya Allah mengisyaratkan bahwa pada
diri manusia terdapat suatu rahasia yang perlu diungkapkan dan
manusia disuruh memperhatikannya. Pada surat Adz-Dzaariyat ayat
21, Tuhan menyuruh manusia dalam bentuk pertanyaan: "Dan pada
diri kamu sendiri, mengapa kamu tidak memperhatikan?"
Tampaknya menurut Rahardjo, (1987: 214) bahwa Tuhan
memang mengulang-ulang pertanyaan dan keterangan mengenai
kejadian manusia itu pada berbagai surat dan ayat. Yang menarik
adalah pertanyaan Allah dalam surat 'Abasa ayat 18 yang dijawab
pada ayat berikutnya, "Dari apakah ia (manusia) diciptakan? (Yaitu)
dari benih manusia yang kecil. la menciptakan dia. Lalu ia
menentukan ukurannya." Selanjutnya, pada ayat 24 muncul perintah
Tuhan kepada manusia, "Maka, hendaklah manusia melihat kepada
makanannya." Ayat-ayat berikutnya, tampaknya menjelaskan apa yang
dimaksud oleh Allah itu:
"Bagaimana Kami tuangkan air yang berlimpah-limpah. Lalu
Kami membelah bumi, terbelah. Lalu Kami tumbuhkan biji-bijian,
61
Dan pohon anggur dan sayur-mayur. Dan pohon zaitun dan pohon
kurma, Dart tanam-tanaman yang rimbun, Dan buah-buahan dan
rerumputan. Persediaan makanan bagi kamu dan ternak kamu." (QS.
Abasa :23-32).
Dengan mulai memperhatikan diri manusia (Abasa :23—32)
itu sendiri, Al-Qur'an membawa" manusia untuk memperhatikan
makanannya, yaitu yang menumbuhkan jasmaninya lalu
memperhatikan alam biologis, yaitu flora dan fauna. Di situ Al-Qur'an
menjelaskan bahwa manusia mempunyai kaitan dengan flora dan
fauna. Imbauan ilahi kepada' manusia untuk memperhatikan dan
menyelidiki rahasia alam yang lebih luas lebih tampak pada surat Al-
Fathir ayat 27 dan 28. Di sini Allah menyebut suatu istilah ulama atau
ahli ilmu yang secara langsung dikaitkan dengan kegiatan
penyelidikan:
Apakah engkau tidak melihat bahwa Allah menurunkan hujan
dari awan lalu dengan itu Kami keluarkan buah-buahan yang
bermacam ragam. Dan di gunung-gunung terdapat garis-garis, putih
dan merah, bermacam-macam warnanya, dan yang lain hitam pekat.
Dan di antaranya manusia, dan binatang, dan ternak ada yang berbeda-
beda juga warnanya. Hanya orang-orang yang memiliki ilmulah
(ulama) yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya.
Sesungguhnya Allah itu Yang Mahaperkasa, Yang Maha
Pengampun".
62
Dalam surat dan ayat itu Allah tidak sekadar berbicara tentang
flora dan fauna, tetapi juga tentang manusia, yaitu tentang hamba-
hamba Allah yang takut kepada-Nya. Mereka adalah orang-orang yang
berilmu. Lebih lanjut, pada surat Yasin ayat 72 dan 73, Allah
menjelaskan manfaat ternak, yaitu sebagai sumber bahan makanan dan
minuman, sebagian dapat pula dipakai sebagai kendaraan.
Menurut Rahardjo, (1987: 215) petunjuk bahwa alam semesta
merupakan obyek pengamatan bagi ahli ilmu lebih tegas dinyatakan
dalam surat Al-Rum ayat 20,21, dan 22 yang berbunyi, "Dan di antara
tanda bukti-Nya ialah bahwa ia menciptakan kamu dari tanah, lalu
tiba-tiba kamu menjadi manusia yang bertebaran. Dan di antara tanda
bukti-Nya adalah bahwa la menciptakan untuk kamu jodoh dari jenis
kamu, agar kamu menemukan ketenteraman pada mereka, dan la
membuat di antara kamu cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada
gejala-gejala itu semua terdapat tanda bukti bagi orang-orang yang
berpikir. Dan di antara tanda bukti-Nya ialah terciptanya langit dan
bumi, dan perbedaan bahasa di antara kamu serta warna kulit kamu.
Sesungguhnya pada gejala itu semua merupakan tanda bukti bagi
orang-orang yang berilmu."
Ketiga ayat dalam surat Al-Rum tersebut di atas ringkas dan
padat pengajaran bagi manusia. Pada mulanya, manusia diimbau untuk
mengamati kejadiannya sendiri dan kejadian umat manusia yang
bertebaran di seluruh bumi sebagai kesatuan umat manusia. Pada ayat
63
22, dinyatakan bahwa manusia terdiri dari berbagai macam bahasa dan
warna kulit. Tetapi pada ayat sebelumnya, yaitu ayat ke-20, sudah
dinyatakan bahwa mereka itu pada hakikatnya adalah manusia yang
satu juga. Pada ayat 21, Tuhan menunjukkan adanya unsur cinta dan
kasih sayang (Mawaddah wa rahmah) yang mengikat makhluk laki-
laki dan perempuan. Kesemuanya itu merupakan ayat-ayat, yaitu
tanda-tanda, yang bagi ilmuwan mungkin disebut sebagai data,
jugabagi orang-orang yang berpikir (lil qaumi yata fakkarun) serta
bagi orang-orang yang memiliki ilmu (lil 'alimin). Sebenarnya, pada
ayat-ayat benkutnya dalam surat yang sama, Tuhan menyebut data
yang lain, seperti malam dan siang, mata pencarian manusia, kilat
yang menimbulkan kecemasan 'maupun harapan, hujan dan awan,
bumi yang merupakan sumber kehidupan bagi manusia dan bumi yang
mati (kering), tentang bumi dan langit. yang tunduk kepada hukum-
hukum-Nya, kesemuanya merupakan data bagi pengamatan orang
yang mau berpikir dan memiliki ilmu pengetahuan.
Manusia yang suka merenung dan memikirkan kejadian langit
dan bumi itu dalam surat Az-Zumar ayat 21 disebut dengan istilah ulil
albab. "Apakah engkau tidak melihat", demikian bunyi ayat itu
"bahwa Allah menurunkan air dari awan, lalu air itu dialirkan dalam
perut bumi yang kemudian menciptakan mata air, lalu menumbuhkan
dengan air itu tetumbuhan yang beraneka rona warnanya; lalu menjadi
layu sehingga engkau melihat perubahan warnanya menjadi kekuning-
64
kuningan dan kemudian la membuatnya hancur. Sesungguhnya dalam
gejala itu semua terdapat peringatan bagi ulil albab. Seluruh ayat itu
merupakan definisi ulil albab itu, walaupun identitasnya dijelaskan
secara lebih luas pada ayat-ayat lain.
Menurut Rahardjo, (1987: 215) pada surat dan ayat lain, yaitu
surat Thaaha ayat 54, Al-Qur'an mengemukakan istilah lain dengan
pengertian yang serupa. Mereka yang suka memperhatikan tanda-
tanda kekuasaan Allah di langit dan bumi dan mereka yang mengenai
fungsi-fungsi bumi, jalan-jalan yang membentang, air yang turun dan
awan, hujan yang menumbuhkan tetanaman yang beraneka warna,
serta kegunaan binatang ternak sebagai sumber bahan makanan, oleh
Al-Qur'an disebut ulin nuha atau orang yang berakal dan
mempergunakan akalnya. Tetapi pada ayat 128, istilah itu dikenakan
kepada orang-orang yang pandai mengambisl pelajaran dari sejarah
generasi terdahulu yang telah musnah. Mereka yang memiliki ciri-ciri
yang sama, yaitu yang memperhatikan gejala sejarah, dalam akhir
surat Yusuf, yaitu ayat yang ke-3, disebut juga ulil albab. "Apakah
mereka tidak berkeliling di muka bumi dan memperhatikan bagaimana
kesudahan generasi-generasi sebelum mereka?" demikian Al-Qur'an
pada surat Yusuf ayat 109 yang mengundang pemikiran orang-orang
yang mau mempergunakan akalnya.
Dari cuplikan sebagian ayat-ayat Al-Qur'an ini menurut
Rahardjo, (1987: 216) dirasakan adanya imbauan yang menuntun
65
manusia untuk berpikir. Pada surat An-Nahl, secara beruntun sejak
ayat 10 hingga 16, Al-Qur'an membicarakan berbagai gejala alam
serta fungsi dan manfaat berbagai benda alam sejak dari air minum
yang merupakan kebutuhan dasar manusia, tanaman pertanian dan
perkebunan, perikanan laut dan hasil laut untuk perhiasan, transportasi
laut, sungai, dan jalan daratan hingga kepada bintang-bintang di langit
yang bisa memberi petunjuk "perjalanan dan, di tengah-tengah
pembicaraan itu, Allah menandaskan bahwa kesemuanya itu
merupakan data bagi mereka yang suka melakukan pengamatan (li
qaumi yadzakkarun), yang "mempergunakan alat penalaran (li qaumi
ya'qilun) dan yang menganalisa dan merenungkan (li qaumi
yatafakkarun). Kesemuanya itu dilakukan bukan sekadar untuk bisa
mendapatkan petunjuk (la'allakum tahtadun), melainkan juga agar
manusia bisa memperoleh rasa syukur (la 'allakum tasykuruun) atas
segala anugerah Allah yang Pemurah. "Dan jika kamu berusaha
menghitung nikmat Allah," kata Allah pada ayat yang ke-18, "maka
kamu tidak akan mampu menghitungnya."
Menurut Rahardjo, (1987: 24) ungkapan dan pemikiran tentang
insân kamîl bukanlah hanya milik Iqbal. Beberapa pemikir sufi Muslim
sebelumnya sudah membahas masalah insân kamîl . Di antara mereka
adalah Muhyiddin ibnu 'Arabi dan Abdul Karim Al-Jilli. Bagi Ibnu
'Arabi, "insân kamîl " adalah mikrokosmos yang sesungguhnya, sebab
sebenarnyalah dia memanifestasikan semua sifat dan kesempurnaan
66
ilahi, dan manifestasi semacam ini tidaklah sempurna tanpa perwujudan
penuh kesatuan hakiki dengan Tuhan. Insân kamîl adalah miniatur dari
kenyataan.
Menurut Al-Jilli, seperti dikemukakannya dalam bukunya yang
terkemuka 'Al-Insanul Kamîl fi Ma'rifatil Awakhiri wal Awail',
"manusia adalah suatu wujud yang utuh dan merupakan manifestasi ilahi
dan alam semesta. Manusia adalah citra Tuhan dan dalam kenyataannya
ia adalah rantai yang menyatukan Tuhan dengan alam semesta. Manusia
adalah tujuan utama yang ada di balik penciptaan alam, karena tiada
ciptaan lain yang mempunyai sifat-sifat yang diperlukan untuk menjadi
cermin sifat-sifat ilahi yang sesungguhnya dan Nabi Muhammad adalah
contoh yang luhur tentang insân kamîl , dan siapa pun yang
menapaktilasi jalan kehidupan dalam sorotan Nabi tentu akan mencapai
cita kehidupan yang paling tinggi yang mungkin dicapai manusia.
Masih tentang pemikiran Al-Jilli, bisa juga dikutip tulisan Vahid
yang mengatakan, "Manusia adalah citra Tuhan. la adalah cermin yang
merefleksikan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. la adalah mikrokosmos
yang di dalamnya yang mutlak menjadi kesadaran tentang diri sendiri
dalam keseluruhan bagian-bagiannya yang beranekaragam. Bagaimana
manusia mencapai kesempurnaan ini?, Dengan latihan rohani dan
.pendakian mistik. Karena turunnya yang mutlak ke dalam manusia
melalui berbagai tingkat, manusia bermeditasi tentang nama-nama
Tuhan. Pada tingkat kedua ia melangkah masuk ke dalam suasana sifat-
67
sifat Tuhan, dan di sini ia mulai ambil bagian dalam sifat-sifat ilahi dan
mendapat kekuasaan yang luar biasa. Pada tingkat ketiga ia melintasi
daerah nama dan sifat Tuhan, dan masuk ke dalam suasana hakikat
mutlak dan menjadi manusia Tuhan atau insân kamîl . Matanya menjadi
mata Tuhan, kata-katanya menjadi kata-kata Tuhan, dan hidupnya
menjadi hidup Tuhan.
Iqbal tidak sepaham dengan teori para mistikus besar seperti
pemikiran Al-Jilli itu, yang menurut dia membunuh individualitas dan
melemahkan khudi. Iqbal memang mengakui dan memandang
Muhammad sebagai insân kamîl tanpa otak-atik mistik. Insân kamîl
versi Iqbal tidak lain adalah Sang Mukmin yang dalam dirinya terdapat
kekuatan, wawasan, perbuatan, dan kebijaksanaan. Sifat-sifat luhur ini
dalam wujudnya yang tertinggi tergambar dalam akhlak nabawi. Sang
Mukmin menjadi tuan nasibnya sendiri dan secara tahap-temahap
mencapai kesempurnaan, kata Iqbal.
Menurut Rahardjo (1987: 26) bahwa dalam mengemukakan
pandangan Iqbal tentang insân kamîl tentu harus disinggung juga
konsep Superman dari seorang filosof Jerman yang terkenal, Nietzsche,
yang sangat menekankan pada kekuatan. Agaknya Iqbal mendapat
pengaruh dari pemikiran Nietzsche. Terutama mengenai pemikiran
insân kamîl , tetapi sangat jelas bahwa titik berangkat mereka berbeda,
bahkan mungkin bertolak belakang. Iqbal berpangkal dari imannya yang
teguh terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sedang Nietzsche bertolak dari
68
"kematian Tuhan". Namun mereka mempunyai pandangan yang serupa
bahwa kekuatan mempunyai peranan yang vital dalam kehidupan
manusia dan masyarakat. Kata Nietzsche, "Di mana kutemukan
kehidupan di sana kutemukan hasrat untuk berkuasa, dan bahkan dalam
hasrat mereka yang mengawula kutemukan kehendak untuk menjadi
gusti.
Nietzsche sangat gemas dengan orang yang lemah dan manja,
dan tanpa kepalang tanggung ia mengecam semua aspek karakter
manusia yang mengakibatkan kelemahan. Bagi Nietzsche kebaikan dan
kekuatan satu arti, dan hanya kekuatan yang merupakan pintu gerbang
menuju keberhasilan dan kebahagiaan. Tulis Nietzsche: "Apakah
kebaikan? Segala sesuatu yang meningkatkan rasa kuat dalam diri
manusia, hasrat untuk menjadi kuat bahkan kekuatan itu sendiri. Apakah
keburukan? Segala sesuatu yang lahir dari kelemahan. Apakah
kebahagiaan? Perasaan bahwa kekuatan tumbuh hingga perlawanan
mengungguli.
Jalan pikiran Nietzsche di atas dapat dibandingkan dengan
pendapat Iqbal yang menegaskan bahwa:
Cita etik Islam adalah membebaskan manusia dari rasa takut, dan
karena itu memberikan kesadaran berkepribadian, membuatnya sadar
tentang dirinya sebagai sumber kekuatan. Gagasan tentang manusia,
sebagai suatu individualitas dari kekuatan tidak terbatas, menetapkan,
menurut ajaran Islam, keseluruhan nilai tindakan manusia. Hal-hal
yang mempertinggi rasa kepribadian manusia adalah baik, sedangkan
hal-hal yang memperlemah kepribadian adalah buruk. Kebaikan
adalah kekuatan, kekuasaan; kejahatan adalah kelemahan. Berikan
kepada manusia kesadaran menghargai kepribadiannya, biarkan ia
bergerak dengan merdeka tanpa rasa takut di tengah-tengah kebesaran
69
alam Tuhan, pasti ia akan menghargai kepribadian orang lain, dan ia
akan menjadi orang baik (Rahardjo, 1987: 26).
Berbeda dengan Supermannya Nietzsche yang lahir dari
kematian Tuhan, insân kamîl -nya Iqbal adalah Sang Mukmin yang
merupakan makhluk moralis, yang dianugerahi kemampuan rohani dan
agamawi yang untuk menumbuhkan kekuatan dalam dirinya ia
senantiasa meresapi dan menghayati akhlak ilahi.
Memang Iqbal, seperti dikatakan Aziz Ahmad, menerima sifat-
sifat dinamik manusia unggul ala Nietzsche, tetapi sepenuhnya menolak
sifat-sifat tidak bermoral, tidak beragama, dan antisosialnya. Iqbal tidak
mau berdamai dengan tirani, zalim, dan rasionalismenya Nietzsche.
Proses untuk "menjadi" insân kamîl bukanlah terjadi begitu saja.
la harus dilakukan dengan berusaha mengikuti secara teliti kehidupan
nabawi. Manusia, menurut Iqbal, melalui proses mewujud yang terus-
menerus dari dan ini hanya setelah pengejaran yang teliti dari seorang
insân kamîl Nabi "Tuhan hingga ia mencapai tingkat "menjadi" atau
pengukuhan hidup."
Lahirnya insân kamîl , menurut Iqbal melalui tiga tahap, yaitu:
1. ketaatan kepada hukum.
2. penguasaan diri sebagai bentuk tertinggi kesadaran diri tentang
pribadi, dan
3. kekhalifahan Ilahi.
Vahid dalam komentarnya terhadap pendapat Iqbal di atas
mengatakan bahwa ketaatan kepada hukum dan penguasaan diri juga
70
memainkan peranan besar dalam menyuburkan khudi, tetapi Iqbal lebih
memandangnya sebagai batu-batu tonggak dalam perjalanan menanjak
menuju insân kamîl . Bagi khudi yang disiplin secara tepat dapat
diperkuat dengan cara yang cocok, tingkat pertama digambarkan dengan
suatu tahap ketika ketaatan kepada hukum datang tanpa disadari. Khudi
sebegitu jauh tidak mempunyai pertentangan sepanjang menyangkut
hukum. Di pihak lain hukum, bersamaan dengan daya-daya lunak
lainnya, cenderung melatih khudi untuk tahap evolusi kedua ketika
khudi mencapai penguasaan diri yang sempurna. Penguasaan diri pada
gilirannya menyiapkan khudi untuk. tingkat terakhir khalifah ilahi.
Khusus mengenai tingkat terakhir ini, Iqbal mengatakan bahwa
nabi adalah 'khalifah Tuhan di bumi, Dia adalah khudi yang paling
lengkap, dalam tujuan kemanusiaan, puncak kehidupan, baik rohani
maupun jasmani; pada dirinya kepincangan kehidupan mental kita
mencapai keselarasan. Kemampuan yang tertinggi menyatu dalam
dirinya dengan pengetahuan yang tertinggi. Dalam hidupnya pikiran dan
perbuatan, naluri dan nalar menyatu. la adalah buah terakhir dari pohon
kemanusiaan, dan semua usaha dari evaluasi yang menyakitkan
dibenarkan, karena ia pada akhirnya mestilah menjelma. Dialah
penguasa manusia sejati; kerajaannya adalah kerajaan Tuhan di muka
bumi terhadap insân kamîl seperti itulah Iqbal mengelu-elukan
kedatangannya. Gubahannya:
Datanglah hai Sang Penunggang Kuda nasib
Datanglah hai Sinar dunia perubahan yang gelap gulita
71
Sorotkan cahaya ke tempat keberadaan
Padamkan kegaduhan bangsa-bangsa
Penuhi telinga kami dengan musikmu
Bangkitlah dan petildah kecapi persaudaraan
Berilah kami kembali cawan anggur cinta
Sekali lagi, anugerahi dunia hari-hari damai
Kirimkan pesan perdamaian kepada si gila perang
Umat manusia adalah ladang tempat menyemai
Kaulah Sang Penuai
Kaulah tujuan khalifah kehidupan (Rahardjo, ed., 1987: 28)
3.2.2. Antara Kebebasan dan Keterpaksaan Manusia
Menurut Rahardjo (1987: 51) bahwa masalah kebebasan dan
keterpaksaan manusia berakar pada persoalan-persoalan metafisis yang
menyangkut bagaimana sesungguhnya kedudukan manusia di hadapan
kekuasaan Tuhan dan di tengah lingkungannya. Dengan demikian,
sebenarnya masalah itu berkenaan dengan usaha perumusan yang lebih
tegas tentang etik fitrah kemanusiaan. Dalam hal ini, Jabariyah sampai
kepada perumusan bahwa manusia adalah makhluk yang serba terpaksa
dan hidup sesuai dengan takdir dan kemauan Tuhan. Sebaliknya,
Qadariyah merumuskan manusia dalam kebebasan dan kemerdekaan
untuk berbuat dan berkehendak.
Adanya kedua kutub yang bertolak belakang itu selain
disebabkan nash-nash Al-Qur'an yang kelihatan bertolak belakang
karena hanya dilihat dari satu segi dan terlepas dari konteks keseluruhan
dan perbedaan pengalaman historis, sosiologis, dan kultural juga karena
perbedaan persepsi dalam melihat esensi fitrah manusia itu sendiri.
Kenyataan manusia sebagai makhluk bidjmenisional membuka
kemungkinan untuk melihat manusia sebagai simbol kebebasan dan
72
kemerdekaan sesuai dengan kesempurnaan sifat roh Allah yang
dimilikinya. Atau sebaliknya, sebagai simbol kerendahan, keterpaksaan,
stagnasi, dan pasivitas mutlak seperti lempung busuk yang merupakan
cerminan kedirian setan (iblis).
Kombinasi kedua hal yang berlawanan dalam diri manusia itu
mau tidak mau menimbulkan gerak dialektis dan pergumulan terus-
menerus antara kedua kutub yang berlawanan. Gabungan hal-hal yang
berlawanan dan kontradiksi dalam diri manusia – Allah dan iblis atau
roh dan lempung menjadikan manusia suatu realitas dialektis.
Sebagai realitas dialektis manusia selalu terlibat dalam
pergumulan dengan dirinya sendiri, kekuatan transenden, dan bahkan
dengan realitas sosial yang dihasilkannya. Buah pergumulan itu adalah
pola tindakan atau pikiran yang merupakan usaha mencari perimbangan
yang "tepat" dan "benar" antara keserbautamaan Tuhan dengan
kemungkinan kemerdekaan dan kebebasan manusia. Dinamika Islam
sesungguhnya terletak pada upaya mencari perimbangan itu, sedangkan
sumber stagnasi Islam berpokok pada keyakinan bahwa modus yang ada
abadi sifatnya.
Berdasarkan kenyataan di atas, paham Jabariyah menciptakan
situasi yang berlawanan baik dengan realitas dialektis manusia maupun
realitas sosial yang dihasilkan manusia itu sendiri. Terjadilah pelarutan
eksistensi manusia ke dalam situasi kepasrahan total kepada kekuatan
transenden yang diyakini mutlak dan realitas sosial yang dalam kaca
73
mata paham ini, juga hasil ketentuan dan perbuatan yang transenden.
Dengan kata lain, di sini bukan hanya Tuhan menjadi satu-satunya
kekuatan determinan atas manusia tetapi juga realitas yang ada.
Akibatnya, tidak berkelebihan determinisme sosial dan determinisme
sejarah yang parah. Manusia tidak lagi menciptakan lingkungan dan
sejarahnya sendiri, tetapi justru dialah yang dibentuk oleh lingkungan
dan sejarahnya..
Manusia memang tidak sempurna, tetapi sebagai khalifah Tuhan
di muka bumi ia dituntut dan diberi kesempatan untuk senantiasa
menyempurnakan dirinya. Wahyu Al-Qur'an tidak lain dimaksudkan
untuk memperbaiki kemanusiaan guna mencapai kesempurnaan. Karena
itu, dengan Tuhan dan hanya karena Allah manusia mencapai aktualisasi
dirinya. Aktualisasi dirinya itu pada gilirannya terwujud dalam
hubungannya dengan masyarakat, lingkungan, dan sejarahnya. Di
sinilah fitrah manusia tidak terlepas dari seluruh totalitas semesta dan
Tuhan.
Pada hakikatnya Islam datang untuk membebaskan dan
memerdekakan manusia. Melalui kalimah syahadat sebagai rukun Islam
pertama manusia dituntut untuk melepaskan ketergantungannya kepada
kekuatan lain yang dapat menjadi tuhan-tuhan bagi manusia dan
sekaligus hanya mengikatkan diri satu-satunya kepada Allah. Begitu
juga jika dilihat pada rukun Islam lainnya salat, puasa, zakat, dan haji
semuanya bertujuan membebaskan manusia baik dari kekuatan hawa
74
nafsunya maupun dari materi atau bentuk-bentuk kejasmanian lainnya
guna mendekatkan diri dan mengikatkannya hanya kepada Allah.
Di sinilah manusia itu sesungguhnya terus-menerus melakukan
pembebasan tanpa batas. Pembebasan dari keterpaksaan dalam dirinya
sendiri dan realitas lingkungan yang ada menuju kepada Allah. Dengan
upaya seperti inilah manusia akan mampu menjadi pencipta "diri" dan
sejarahnya.
3.2.3. Insân kamîl : Citra Sufistik
Menurut Rahardjo (1987: 110) berbicara insân kamîl ada dua hal
yang perlu diperhatikan lebih dahulu. Yakni tentang konsep insân kamîl
tersebut. Pertama, insân kamîl adalah suatu tema yang berhubungan
dengan pandangan mengenai sesuatu yang dianggap mutlak Tuhan.
Yang Mutlak tersebut dianggap mempunyai sifat-sifat tertentu yakni
yang baik dan sempurna. Sifat sempurna inilah yang patut ditiru oleh
manusia. Makin seseorang memiripkan diri kepada sifat sempurna dari
yang Mutlak tersebut, makin sempurnalah dirinya. Kedua, anggapan
atau keyakinan adanya yang Mutlak ini mencakup apakah itu
"namanya", "sifatnya", dan apakah itu "hakikat" atau esensinya.
Seterusnya bagaimanakah hal-hal tersebut berhubungan dengan
manusia.
Al-Jilli mengemukakan pengertiannya mengenai yang "ada"
dalam pengelompokan yang terdiri dari 6 pokok bahasan, yakni: (1)
mengenai "esensi", "sifat" dan "nama"; (2) mengenai pancaran (discent)
75
dari yang Absolut; (3) Esensi sebagai Tuhan; (4) Manusia yang surgawi
atau sempurna; (5) mengenai makrokosmos dan (6) Kembali ke esensi.
Untuk tujuan tulisan yang berikut, uraian hanya akan difokuskan pada
pokok gagasan yang keempat, yakni tentang "manusia yang surgawi".
Sedangkan pokok-pokok gagasan yang terdapat dalam nomor-nomor
selain 4 tidak diuraikan secara tersendiri. Semua itu akan berfungsi
menjelaskan gagasan konsep pokok, yaitu tentang "manusia yang
surgawi" tersebut.
Manusia sempurna adalah dia yang berhadapan dengan pencipta
dari pada saat yang sama juga dengan makhluk. Manusia sempurna
merupakan qutb atau axis tempat segala sesuatu berkeliling dari mula
hingga akhir. Oleh karena segala sesuatu menjadi "ada", maka dia
adalah satu (wahid) untuk selamanya. la memiliki berbagai bentuk dan
ia muncul dalam kana'is atau rupa yang bermacam-macam: Untuk
menghormati hal yang demikian, maka namanya dipanggil secara
berbeda dan untuk menghormati selain dari padanya, maka panggilan
nama yang demikian tidak dikenakan pada mereka. Siapakah dia? Nama
sebenarnya adalah Muhammad, nama untuk kehormatannya adalah Abul
Qosim, dan gelarnya adalah Syamsuddin atau "Sang Mentari Agama".
"Sekali waktu saya bertemu dengan dia dalam wujudnya persis seperti
syekh saya, Sharafuddin Ismail al-Jabarti, tetapi saya tidak mengetahui
bahwa dia (syekh) itu sebenarnya nabi, padahal saya mengetahui bahwa
dia (nabi) adalah syekh. Ini adalah salah satu penglihatan yang saya
76
dapati di Zabid pada tahun 796 H. "Makna yang hakiki yang terdapat
dalam peristiwa ini adalah bahwa Nabi memiliki kekuatan untuk
menampilkan diri dalam setiap bentuk. Demikian keadaan Muhammad.
Tetapi manakala ia dalam bentuk yang lain dan diketahui bahwa ia
Muhammad, maka akan ia panggil dengan nama sebagaimana yang
terdapat dalam bentuk tersebut. Nama Muhammad tidaklah bisa
diterapkan kepada sesuatu kecuali kepada "ide tentang Muhammad".
Dengan demikian, ketika ia muncul dalam bentuk Shibli, maka Shibli
berkata kepada kawannya itu; "Saksikanlah bahwa saya adalah utusan
Tuhan"; dan orang tersebut sebagai orang yang telah bersatu dengan roh
Muhammad mengenali Muhammad. Dan ia berkata, "Saya bersaksi
bahwasanya Anda adalah utusan Tuhan."
Bagaimana halnya pertemuan dengan secara mimpi? Adakah
perbedaan antara keduanya? Menurut al-Jilli, terdapat perbedaan antara
mimpi dan pertemuan mistik, yakni bahwa dalam mimpi, Muhammad
masuk ke dalam diri orang tersebut tetapi tidak menciptakan jaga (tidak
tidur) dalam waktu yang cukup lama, sehingga ia tidak memperoleh
Haqiqatul Muhammadiyya. Yang terjadi sekurang-kurangnya adalah
bahwa seseorang yang bermimpi menjumpai Muhammad ketika ia
sadar, maka ia lalu menafsirkan haqiqah tentang Muhammad sebagai
haqiqah yang tingkatnya mimpi saja. Sebaliknya, dalam pertemuan
mistik secara langsung, maka setelah melihatnya di dalam diri, ia tidak
77
bakal bertingkah laku di hadapannya dalam sikapnya yang sama
sebagaimana yang dilakukan sebelumnya.
Demikianlah yang dimaksud dengan pernyataan bahwa Nabi
bisa menyerupai bentuk apa saja yang ia kehendaki. Dalam hal ini,
sunah sendiri menegaskan bahwa dalam setiap waktu dia mengandalkan
bentuk mereka yang menduduki tingkat (spiritual) yang hampir
sempurna; hal yang demikian itu adalah untuk menempatkan diri
Muhammad lebih tinggi dari mereka dan meluruskan kemencengan
mereka. Dari luar, maka mereka yang "hampir sempurna" itu tampak
sebagai duta Muhammad, sedangkan dari dalam Muhammad tampak
sebagai esensi haqiqah.
Manusia sempurna dalam dirinya berhadapan dengan semua
individualisasi eksistensi. Dengan spiritualitasnya, dia berhadapan
dengan individualisasi yang lebih tinggi; dengan jasadnya dia
berhadapan dengan individualisasi yang lebih rendah. Hatinya
berhadapan dengan "Obor Tuhan" (al-Arsh), jiwanya berhadapan
dengan Pena (al-Qalam), rohnya berhadapan dengan Lauh Mahfudz.
Menurut al-Jilli, nama esensial dan sifat-sifat ilahi tersebut pada
dasarnya menjadi milik manusia sempurna oleh adanya hak
fundamental, yakni sebagai suatu keniscayaan yang inheren dalam
esensi dirinya. Demikianlah, dengan ungkapan yang sering kita dengar
bahwa Tuhan berfungsi sebagai kaca bagi manusia, juga demikian
halnya manusia menjadi kaca tempat Tuhan melihat dirinya. Sebagai
78
kaca yang dipakai seseorang melihat bentuk dirinya dan tidak bisa
melihat dirinya itu tanpa adanya kaca tersebut, maka sedemikianlah
hubungan yang berlangsung antara Tuhan dan manusia sempurna.
Manusia sempurna jadinya tidak mungkin dapat melihat bentuknya
sendiri kecuali melalui kaca Allah; sama halnya, dia juga menjadi kaca
bagi Tuhan, karena Tuhan ingin agar dirinya melihat dia sendiri dan
dikenali. Dan agar dikenali itulah manusia sempurna diciptakan
sehingga dengan kaca manusia, Tuhan akan melihat Diri-Nya.
Al-Jilli termasuk mereka yang menyakini bahwa walau
bagaimanapun manusia bisa menjadi mirip dengan Tuhan bisa
"memasuki" Tuhan dengan sepenuhnya, ia tidak akan pernah sampai
kepada mengidentifikasi bahwa dirinya adalah sepenuhnya Tuhan.
Dalam bait di antara syair-syair sufisnya di bawah ini, ditemukan
gagasan mengenai ketidakmungkinan tersebut.
Lihatlah, Akulah yang seluruhnya, dan seluruhnya itu adalah
panggungku: Akulah ini, bukannya dia, yang ditampilkan dalam
realitas.
Sungguh, Akulah sang Pemelihara, dan sang Putra Mahkota
bagi manusia: keseluruhan ciptaan adalah sebuah nama, dan
esensiku itulah obyek yang diberi nama.
Dunia indriawi adalah milikku dan dunia meta adalah bagian
dari gelombang dan bentukku; Dunia-tak-nyata (oleh) indria
adalah duniaku dan dunia abadi muncul di hadapanku.
Tandailah. Dalam segala yang Aku sebut, Aku hanyalah budak,
yang kembali dari Esensi ke hadapan Tuannya yang papa,
rendah, sarat dosa, dalam penjara kemegahannya.
Menurut Rahardjo (1987: 124) bahwa gagasan mengenai insân
kamîl ternyata berujuk kepada diri Nabi Muhammad saw., sebagai tipe
ideal bagi manusia. la mempunyai kemungkinan untuk berubah bentuk,
79
termasuk dalam hal ini memasuki jasad seseorang yang telah
menyucikan hatinya dan melalui lidah orang tersebut terungkaplah kata-
kata "saya adalah utusan Tuhan", dan sebagainya. Upaya untuk
membedakan insân kamîl Muhammad dengan manusia lain dilakukan
antara lain dengan penegasan bahwa nama Muhammad tidaklah dapat
diterapkan kepada sesuatu kecuali kepada ide "tentang Muhammad";
Dalam hubungan ini pribadi Muhammad sebagai contoh yang terbaik
buat manusia telah diusahakan oleh para pengikut, hingga mereka
mewujudkan suatu kebudayaan spiritual yang unik di kalangan sufi.
Yakni kerinduan mereka untuk bisa 'bertemu' dengan Muhammad.
Pencapaian atas "perjumpaan" dengan Muhammad telah berwujud
dalam berbagai tingkat dan cara yang berbeda. Perjumpaan demikian
dimungkinkan, sekali lagi, oleh keyakinan atau pengetahuan bahwa
Muhammad memiliki berbagai bentuk, dan kedua oleh gagasan dasariah
tentang hakikat yang ada adalah esensi.
80
BAB IV
ANALISIS INSÂN KAMÎL DALAM BUKU "KONSEPSI MANUSIA
MENURUT ISLAM" DALAM PERSPEKTIF DAKWAH
4.1 Konsep Insân kamîl dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam"
Dalam buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam" ada uraian atau
kajian yang berisi tentang insan kamil. Dalam buku itu terdapat berbagai
pendapat tentang insan kamil, di antaranya menurut Dawam Rahardjo (ed),
1987: 24) bahwa Nabi Muhammad Saw adalah contoh yang luhur tentang
insan kamil. Sejalan dengan itu menurut Dawam Rahardjo (ed), 1987: 45)
manusia merupakan obyek yang selalu menarik untuk dibicarakan. Bukan
saja ia menjadi pokok permasalahan, tetapi segala peristiwa besar yang
terjadi di dunia ini selalu berkaitan dengan manusia.
Dalam konteks buku tersebut, buku ini memuat pikiran M. Dawam
Rahardo juga pemikiran beberapa ahli yaitu Azyumardi Azra yang berjudul
Antara Kebebasan dan Keterpaksaan Manusia; Arief Mudatsir yang
berjudul Makhluk Pencari Kebenaran; Bahtiar Effendi yang berjudul Antara
Roh dan Jasad; Hari Zamharir yang berjudul Insân kamîl ; Ahmadi Rifa'i
Hasan yang berjudul Manusia Serba Dimensi; Fachri Ali yang berjudul:
Realitas Manusia; Hadimulyo yang berjudul Manusia dalam Perspektif
Humanisme Agama; Komaruddin Hidayat yang berjudul Upaya
Pembebasan Manusia.
81
Posisi Dawam Rahardjo dalam buku yang berjudul Konsepsi
Manusia Menurut Islam" adalah sebagai penyunting. Sebagai penyunting,
tulisan Dawam Rahardjo dapat dilihat dalam buku itu: pertama, tulisan yang
berjudul: Dari Iqbal Hingga Nasr; kedua, Bumi Manusia dalam al-Qur'an.
Apabila memperhatikan dan menelaah konsep insân kamîl dalam
buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam", maka penulis menganalisis dan
mengomentari pikiran dan pendapat dari para ahli tersebut sebagai berikut:
Menurut penulis bahwasanya manusia merupakan sasaran kajian
yang selalu menarik untuk dibicarakan. Pembicaraan dan penelitian tentang
manusia, sejak zaman klasik hingga sekarang ini belum pernah mengenal
kata "berhenti". Ketertarikan para ahli untuk meneliti manusia, karena
manusia adalah makhluk Allah yang memiliki kesempurnaan dan
keunggulan ketimbang makhluk lain. Kesempurnaan manusia dari sisi
penciptaannya telah dilegitimasi dalam beberapa ayat Al-Quran, misalnya:
�� ������� �� ��� ��� ���� ���������� ���������� ���� � ����!�"#�� ��)%&'�:)*(
Artinya: "Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya
dan telah meniupkan ke dalamnya roh (ciptaan)-Ku, maka
tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud'' (QS. Al-
Hijr: 29) (Depag RI, 1978: 393).
�,#�-�� ��� #�.��/�0 �!��� 12����3 ���-� �4 �� )5��� :6( Artinya: "Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dalam
bentuk yang sebaik-baiknya (QS. At-Tiin: 4) (Depag RI,
1978: 1076).
82
Kesempurnaan dan keunggulan manusia itulah yang membuatnya
begitu unik untuk dibicarakan, baik dalam sosiologi, antropologi, filsafat
psikologi maupun tasawuf. Salah satu pembicaraan tentang manusia dalam
pandangan tasawuf yang sampai sekarang masih banyak diminati oleh para
pengkaji tasawuf adalah pemikiran Insân kamîl (manusia sempurna).
Pemikiran ini pernah dikemukakan oleh Al-Jilli.
Secara umum, istilah "insan kamil" sering dimaknai orang sebagai
manusia sempurna. Pengertian Insân kamîl menurut Al-Jilli dirumuskan
sebagai berikut: "Insân kamîl pertama sejak adanya wujud hingga akhir
lamanya, yang mengkristal pada setiap zaman" "Dan Insân kamîl adalah
Nabi Muhammad SAW." "Maka Insân kamîl merupakan asalnya wujud,
atau menjadi poros yang kemudian berkembang atasnya roh wujud dari
awal hingga akhirnya.
Pengertian akhir dari Insân kamîl adalah Roh Nabi Muhammad
SAW. yang mengkristal dalam diri para Nabi sejak Nabi Adam hingga
Nabi Muhammad, lalu para wali dan orang-orang saleh, sebagai cermin
Tuhan yang diciptakan atas nama-Nya dan refleksi gambaran nama-nama
dan sifat-sifat-Nya.
Syeikh Nuruddin Ar-Raniri, seorang sufi yang hidup pada abad ke-
16 memberikan pengertian yang sama terhadap konsep tersebut di atas,
yakni, Insân kamîl adalah manusia yang memiliki dalam dirinya hakikat
Muhammad, atau juga disebut Nur Muhammad yang merupakan makhluk
83
pertama kali diciptakan oleh Allah, dan juga sebagai sebab bagi
dijadikannya alam semesta ini.
Al-Jilli melihat bahwa Insân kamîl (manusia sempurna) merupakan
nuskhah atau kopi Tuhan, seperti disebutkan dalam hadis (artinya), "Allah
menciptakan Adam dalam bentuk yang Maharahman." Hadis lain
menyebutkan (artinya), "Allah menciptakan Adam dalam bentuk diri-Nya."
Sebagaimana diketahui, Tuhan memiliki sifat-sifat seperti hidup,
pandai, berkehendak, mendengar, dan sebagainya, manusia (Adam) pun
memiliki sifat-sifat seperti itu. Proses-proses yang terjadi setelah ini adalah
setelah Tuhan menciptakan substansi, Huwiyah Tuhan dihadapkan dengan
Huzuiyah Adam, aniyah-Nya disandingkan dengan aniyah Adam, dan
Dzat-Nya dihadapkan pada Dzat Adam, dan akhirnya Adam berhadapan
dengan Tuhan dalam segala hakikat-Nya. Melalui konsep ini, kita
memahami bahwa Adam dilihat dari sisi penciptanya merupakan salah
seorang Insân kamîl dengan segala kesempurnaannya sebab pada dirinya
terdapat sifat dan nama Ilahiah.
Al-Jilli berpendapat bahwa nama-nama dan sifat-sifat Ilahiyah itu
pada dasarnya merupakan milik Insân kamîl sebagai suatu kemestian yang
tidak bisa dipisahkan dengan esensinya (intinya). Sebab, sifat-sifat dan
nama-nama tersebut tidak memiliki tempat berwujud, melainkan pada insan
kamil. Lebih lanjut, Al-Jilli mengemukakan bahwa perumpamaan hubungan
Tuhan dengan Insân kamîl adalah bagaikan cermin yang seseorang tidak
akan dapat melihat bentuk dirinya, kecuali melalui cermin itu.
84
Demikian pula halnya dengan insan kamil, ia tidak dapat melihat
dirinya, kecuali dengan cermin nama Tuhan, sebagaimana Tuhan tidak
dapat melihat diri-Nya, kecuali melalui cermin insan kamil. Lebih lanjut, ia
berkata bahwa duplikasi al-Kamal (kesempurnaan) adalah sama dengan
yang dimiliki oleh manusia, bagaikan cermin yang saling berhadapan.
Ketidaksempurnaan manusia disebabkan oleh hal-hal yang bersifat 'ardhi
(bumi), termasuk manusia berada dalam kandungan ibunya. Al-Kamal
dalam konsep Al-Jilli mungkin dimiliki oleh manusia secara profesional (bi
al-quwwah) dan mungkin pula secara aktual (bi al-fi'il), seperti yang
terdapat dalam wali-wali dan nabi-nabi meskipun dalam intensitas yang
berbeda. Intensitas al-Kamal yang paling tinggi terdapat dalam diri Nabi
Muhammad SAW., sehingga manusia lain, baik nabi-nabi maupun wali-
wali, bila dibandingkan dengan Muhammad bagaikan al-kamil dengan al-
akmal atau al-fadhil dengan al-afdhal. Insân kamîl menurut konsep Al-Jilli
ialah perencanaan Dzat Allah (Nuktah Al-Haqa) melalui proses empat tajalli
seperti tersebut di atas sekaligus sebagai proses maujudat yang terhimpun
dalam diri Muhammad SAW.
Konsep Insân kamîl Al-Jilli dekat dengan konsep hulul Al-Hallaj
dan konsep ittihad Ibn Arabi, yaitu integrasi sifat Lahut (Ketuhanan) dan
Nasut (Kemanusiaan) dalam suatu pribadi sebagai pancaran dari Nur
Muhammad. Adapun Ibn 'Arabi mentransfer konsep hulul Al-Hallaj dalam
paham ittihad ketika menggambarkan Insân kamîl sebagai wali-wali Allah,
yaitu diliputi oleh Nur Muhammad SAW.
85
Meskipun Al-Jilli dianggap sebagai tokoh yang memopulerkan
konsep insan kamilnya, sesungguhnya konsep Insân kamîl ini sudah
disinggung sebelumnya oleh Ibnu 'Arabi. Menurut Ibnu 'Arabi, Insân kamîl
adalah mikrokosmos yang sesungguhnya, sebab Dia memanifestasikan
semua sifat dan kesempurnaan Ilahi, dan manifestasi semacam ini tidaklah
sempurna tanpa perwujudan penuh kesatuan hakiki dengan Tuhan. Insân
kamîl adalah miniatur dari kenyataan. Oleh karena itu, konsepsi yang
disodorkan oleh Al-Jilli merupakan pelengkap dari konsep yang ada
sebelumnya walaupun dalam pemaparannya terdapat juga perbedaannya.
Dalam konsep Insân kamîl dari sudut pandang manusia, Tuhan merupakan
cermin bagi manusia untuk melihat diri-Nya. la tidak mungkin melihat
dirinya tanpa cermin itu. Sebaliknya, karena Tuhan mengharuskan diri-Nya
agar sifat-sifat dan nama-nama-Nya tidak dilihat, Tuhan menciptakan Insân
kamîl sebagai cermin bagi diri-Nya. Dari sini tampak bahwa ada hubungan
antara Tuhan dan insan kamil.
Insân kamîl bagi Al-Jilli merupakan proses tempat beredarnya
segala yang wujud (aflak al-wujud) dari awal sampai akhir. Dia adalah satu
(wahid) sejak wujud dan untuk selamanya. Di samping itu Insân kamîl
dapat muncul dan menampakkan dirinya dalam berbagai macam. la diberi
nama dengan nama yang tidak diberikan kepada orang lain; nama aslinya
adalah Muhammad, nama kehormatannya Abu Al-Qasim, dan gelarnya
Syamsu Ad-Din.
86
Dari uraian di atas, Al-Jilli menunjukkan penghargaan dan
penghormatan yang tinggi kepada Nabi Muhammad sebagai insan kamil
yang paling sempurna. Sebab, meskipun beliau telah wafat, nur-nya akan
tetap abadi dan mengambil bentuk pada diri orang-orang yang masih hidup.
Dengan demikian, ketika Nur Muhammad itu mengambil bentuk
menampakkan diri pada seseorang, ia dipanggil dengan nama yang sesuai
dengan bentuk itu. Untuk memenuhi hal ini, Al-Jilli mengungkapkan
pengalamannya sendiri sebagai berikut, "Suatu ketika saya bertemu dengan
Nabi Muhammad dalam bentuk Syekh saya, yaitu Syarar Ad-Din Ismail Al-
Jabarti. Saya tidak tahu bahwa dia adalah Nabi Muhammad dan yang saya
ketahui bahwa dia itu adalah Syekh saya.
Inilah salah satu penglihatan yang saya dapati di Zabid pada tahun
796 H). Makna yang terkandung dari peristiwa di atas bahwa Nabi
Muhammad memiliki kemampuan mengambil bentuk dalam berbagai
bentuk. Apabila Nabi dalam bentuk aslinya sebagaimana saat hidupnya,
beliau dipanggil dengan nama Muhammad. Akan tetapi, bila muncul dalam
bentuk lain dan diketahui bahwa ia adalah Muhammad, ia dipanggil dengan
nama yang sesuai dengan nama bentuk itu. Nama yang dimaksud dalam
konteks kedua ini adalah hakikat Muhammad.
Peristiwa lain yang dapat menjelaskan makna di atas adalah suatu
ketika Nabi Muhammad muncul dalam bentuk Syibli yang berkata kepada
muridnya, "Bersaksilah bahwa aku adalah utusan Allah." Kebetulan murid
87
tersebut memiliki ilmu kasyaf sehmgga dengan mudah dapat mengenalinya
sebagai nabi, lalu ia menjawab, "Saya bersaksi bahwa Engkau utusan Allah.
Bagaimana halnya pertemuan lewat mimpi? Apakah ada perbedaan
antara keduanya, yaitu antara pertemuan lewat mimpi dan pertemuan lewat
mistik, yakni pendekatan tasawuf. Menurut Al-Jilli ada perbedaan antara
mimpi dan pertemuan mistik. Dalam mimpi, Muhammad masuk dalam diri
seseorang yang sedang tidur. Hal ini tentu akan membuatnya sadar terhadap
hakikat Muhammad sehingga ia tidak dapat memperolehnya dan ketika
orang itu bangun (sadar), ia menafsirkan hakikat Muhammad itu sebagai
hakikat yang tingkatannya sebatas mimpi saja. Sebaliknya, dalam pertemuan
mistik langsung, setelah melihatnya dalam diri, ia tidak boleh bertingkah
laku di hadapan-nya sebagai tingkah sebelumnya.
Demikianlah, yang dimaksud dalam pernyataan bahwa hati dapat
menyerupai bentuk apa saja yang dikehendaki. Dalam hal ini, sunnah
berlaku bahwa nabi akan mengandalkan bentuk mereka dan hampir
mencapai derajat kesempurnaan. Hal ini dimaksudkan untuk menempatkan
Muhammad pada derajat yang tinggi di antara mereka dan dapat meluruskan
kekeliruan mereka. Ini artinya dari luar, mereka yang hampir sempurna,
tampak sebagai duta Muhammad, sedangkan dari dalam Muhammad
sebagai esensi hakikat mereka.
88
Apabila memperhatikan uraian di atas, maka menurut analisis
penulis bahwa insan kamil tidak bisa terjadi dengan sendirinya, melainkan
harus dusahakan. Disebut insan kamil karena pengaktualisasian tujuan
pendptaannya, yakni untuk mendekatkan diri kepada Allah dan mencari
keridhaan-Nya. Mengkaji karakteristik insan kamil berarti mencari suatu
bentuk atau ciri khas dari watak (karakter) insan kamil itu sendiri. Adapun
ciri-cin (karakteristik) insan kamil di antaranya adalah:
1. Manusia yang telah dilengkapi Tuhan dengan berbagai daya tangkap
sepeiti: serapan indra, rasio, dan intuisi dalam kadar yang sangat tinggi,
sehingga dapat merebut masa dan mang, serta menguasai dunia.
2. Manusia adalah teman kerja Tuhan di bumi. Iqbal, mengartikan kata
"teman Tuhan" sebagai hubungan yang dinamis. Aitinya, dengan potensi
kedua belah pihak (insan kamil dan Tuhan), maka akan mewujudkan
sebuah penyempurnaan ciptaan Tuhan yang belum selesai secara
dialektik untuk kemudian diolah manusia menjadi barang konsumtif.
3. Iradah (kehendak) manusia utama adalah se-iradah Tuhan.
4. Ilmu dan kekuasaan Tuhan menjadi kembar dengan ilmu dan kekuasaan
manusia utama.
5. Insan kamil adalah orang yang tidak dikendalikan qadha. 'dan qadar,
melainkan mampu mengarahkan ke mana harus terjadi.
Karakteristik insan kamil yang dikemukakan di atas merupakan
konsepsi yang mendasarkan manusia sebagai pengolah, penyempuma dan
pengatur seluruh ciptaan Tuhan yang ada di bumi.
89
Karakteristik insan kamil melalui hasil empirik yang diperoleh dan
kedekatannya dengan Tuhan, yang didapat setelah mendapatkan keridhaan-
Nya, yaitu:
a. Rahmat material. Apabila seseorang menaati Allah dan mendapatkan
keridhaan-Nya, maka ia akan semakin banyak menerima anugerah.
b. Keadilan sosial. Apabila seseorang menaati Allah dan mengikuti
hukum-hukum-Nya, maka tidak akan ada kezaliman dari padanya.
c. Kedamaian dan percaya diri. Bila seseorang dekat kepada Allah, maka
segala hal menjadi tampak ringan dan kecil baginya. Ia merasa berada di
bawah perlindungan-Nya sehingga tidak ada yang dapat merugikannya.
4.2 Relevansi Konsep Insân kamîl dalam Buku "Konsepsi Manusia
Menurut Islam" dengan dakwah
Problematika masyarakat sekarang ini bukan saja menyangkut
masalah materi, tetapi juga menyangkut masalah-masalah psikologis. Hal ini
disebabkan karena semakin modern suatu masyarakat maka semakin
bertambah intensitas dan eksistensitas dari berbagai disorganisasi dan
disintegrasi sosial masyarakat (Ahyadi, 1991: 177). Kondisi ini telah
mengakibatkan makin sulitnya manusia untuk menjadi insan kamil. Atas
dasar itu manusia merasakan pentingnya siraman dakwah.
Itulah sebabnya, Umary (1980: 52) merumuskan bahwa dakwah
adalah mengajak orang kepada kebenaran, mengerjakan perintah, menjauhi
larangan agar memperoleh kebahagiaan di masa sekarang dan yang akan
90
datang. Sejalan dengan itu, Sanusi (1980: 11) menyatakan, dakwah adalah
usaha-usaha perbaikan dan pembangunan masyarakat, memperbaiki
kerusakan-kerusakan, melenyapkan kebatilan, kemaksiatan dan ketidak
wajaran dalam masyarakat. Dengan demikian, dakwah berarti
memperjuangkan yang ma'ruf atas yang munkar, memenangkan yang hak atas
yang batil. Esensi dakwah adalah terletak pada ajakan, dorongan (motivasi),
rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran
agama dengan penuh kesadaran demi untuk keuntungan pribadinya sendiri,
bukan untuk kepentingan juru dakwah/juru penerang (Arifin, 2000: 6).
Nilai idealis atau cita-cita mulia yang hendak dicapai dalam aktivitas
dakwah adalah tujuan dakwah. Tujuan dakwah, harus diketahui oleh setiap
juru dakwah atau da'i. Karena seseorang yang melakukan aktivitas dakwah
pada dasarnya harus mengetahui tujuan apa yang dilakukannya itu. Tanpa
mengetahui tujuan dari aktivitas dakwah tersebut, maka dakwah tidak akan
mempunyai makna apa-apa.
Proses penyelenggaraan dakwah terdiri dari berbagai aktivitas dalam
rangka mencapai nilai tertentu. Nilai tertentu yang diharapkan dapat dicapai
dan diperoleh dengan jalan melakukan penyelenggaraan dakwah disebut
tuJ'uan dakwah. Setiap penyelenggaraan dakwah harus mempunyai tujuan.
Tanpa adanya tujuan tertentu yang harus diwujudkan, maka
penyelenggaraan dakwah ridak mempunyai arti apa-apa. Bahkan hanya
merupakan pekerjaan sia-sia yang akan menghamburkan pikiran tenaga dan
biaya saja.
91
Dakwah merupakan suatu rangkaian kegiatan atau proses, dalam
rangka mencapai suatu tujuan tertentu. Tujuan ini dimaksudkan untuk
memberi arah atau pedoman bagi gerak langkah kegiatan dakwah. Apalagi
ditinjau dari segi pendekatan sistem (sistem approach), tujuan dakwah
merupakan salah satu unsur dakwah. Di mana antara unsur dakwah yang
satu dengan yang lain saling membantu, saling mempengaruhi, dan saling
berhubungan.
Dengan demikian tujuan dakwah sebagai bagian dari seluruh
aktivitas dakwah sama pentingnya dengan unsur-unsur lain, seperti subjek
dan obyek dakwah, metode dan sebagainya. Bahkan lebih dari itu tujuan
dakwah sangat menentukan dan berpengaruh terhadap penggunaan metode
dan media dakwah, sasaran dakwah sekaligus strategi dakwah juga
berpengaruh olehnya (tujuan dakwah). Ini disebabkan karena tujuan
merupakan arah gerak yang hendak dituju seluruh aktivitas dakwah.
Secara umum tujuan dakwah adalah terwujudnya kebahagiaan dan
kesejahteraan hidup manusia di dunia dan di akhirat yang diridhai oleh
Allah. Adapun tujuan dakwah, pada dasarnya dapat dibedakan dalam dua
macam tujuan, yaitu:
1. Tujuan Umum Dakwah (Mayor Objective).
2. Tujuan Khusus Dakwah (Minor Objective)
1. Tujuan Umum Dakwah (Mayor Objective)
Tujuan umum dakwah (mayor objective) merupakan sesuatu yang
hendak dicapai dalam seluruh aktivitas dakwah. Ini berarti tujuan dakwah
92
yang masih bersifat umum dan utama, di mana seluruh gerak langkahnya
proses dakwah harus ditujukan dan diarahkan kepadanya.
Tujuan utama dakwah adalah nilai-nilai atau hasil akhir yang ingin
dicapai atau diperoleh oleh keseluruhan aktivitas dakwah. Untuk
tercapainya tujuan utama inilah maka semua penyusunan rencana dan
tindakan dakwah harus mengarah ke sana.
Tujuan dakwah di atas masih bersifat global atau umum, oleh karena
itu masih juga memerlukan perumusan-perumusan secara terperinci pada
bagian lain. Sebab menurut anggapan sementara ini tujuan dakwah yang
utama itu menunjukkan pengertian bahwa dakwah kepada seluruh umat,
baik yang sudah memeluk agama maupun yang masih dalam keadaan kafir
atau musyrik. Arti uinat di sini menunjukkan pengertian seluruh alam.
Sedangkan yang berkewajiban berdakwah ke seluruh umat adalah
Rasulullah dan utusan-utusan yang lain.
Firman Allah:
���78/�9 #�:� �;�����3 �<8� ,�=�� �>?9�� ��� �>�����= �@�A�B4 #�� �CD/�9 B@����%�� #�E���4 #�� �� �F ��G/�� 8,�= �H#�.�� ���� �>�:�I���� ��G/���� ������#���� ����%�#�J��� �K������ L�!�E
)M!N#O� :PQ( Artinya: Hai Rasul, sampaikanlah apa yang diturunkan dari
Tuhanmu. Dan jika tidak kamu kerjakan (apa yang tidak
diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan
amanat-Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan)
manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk
bagi orang yang kafir. (QS. Al-Maidah (5); 67).
Firman Allah:
93
MR#���:�" �<BJ�����= ��G/�� B@����� �?��= �H#�.�� #�E���4 #�� �;BS)T�%UV� :WXY(
Artinya; Katakanlah (Muhammad); wahai manusia, sesungguhnya
aku ini diutus Allah kepada kamu sekalian. (QS. Al-A'raf
(7): 158).
Firman Allah:
�5�:��#���/D� RZ�:� �� #8��= �[#�.�/�����4 #����)\#�]�V� :W^Q(
Artinya: Dan tidaklah Kami utus engkau, melainkan jadi rahmat bagi
seluruh alam. (QS. Al-Anbiya (121): 107).
Allah bersifat rahman mengasihi makhluk-Nya di dunia, mengutus
rasul demi makhluk-Nya (manusia), pembawa kabar bahagia dan ancaman,
pembawa ajaran menuju ke jalan Allah agar seluruh kaumnya dapat hidup
bahagia sejahtera di dunia maupun di akhirat. Akan tetapi, kadang banyak
manusia yang tidak menerima ajakannya. Dalam hal ini, Rasulullah H
menganjurkan kepada umatnya untuk berdoa:
Wahai Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di
akhirat serta jauhkanlah kami dari siksa api neraka.
Kebahagiaan di dunia maupun di akhirat merupakan titik kulminasi
tujuan hidup manusia, begitu pula dengan tujuan dakwah. Sebab hidup
bahagia di dunia dan di akhirat- tidaklah semudah yang diucapkan dan
diinginkan, tidak cukup dengan berdoa, tetapi perlu juga disertai dengan
berbagai usaha. Ini berarti bahwa usaha dakwah, baik dalam bentuk
menyeru atau mengajak umat manusia agar bersedia menerima dan
memeluk Islam, maupun dalam bentuk amar ma'ruf dan nahi munkar,
94
tujuannya adalah terwujudnya kebahagiaan dan kesejahteraan hidup di dunia
dan di akhirat yang diridhai oleh Allah.
Manusia memiliki akal dan nafsu, akal senantiasa mengajak ke arah
jalan kebahagiaan dan sebaliknya nafsu selalu mengajak ke arah yang
menyesatkan. Di sinilah dakwah berfungsi memberikan peringatan
kepadanya, melalui amar ma'ruf nahi munkar kebahagiaan hidup di dunia
maupun di akhirat tercapai. Kesejajaran kebahagiaan hidup di dunia dan
akhirat itulah tujuan hidup dan cita-cita sesungguhnya dari dakwah Islam.
2. Tujuan Khusus Dakwah (Minor Objective)
Tujuan khusus dakwah merupakan perumusan tujuan dan penjabaran
dari tujuan umum dakwah. Tujuan ini dimaksudkan agar dalam pelaksanaan
seluruh aktivitas dakwah dapat jelas diketahui ke mana arahnya, ataupun
jenis kegiatan apa yang hendak dikerjakan, kepada siapa berdakwah, dengan
cara apa, bagaimana, dan sebagainya secara terperinci. Sehingga tidak
terjadi overlapping antar juru dakwah yang satu dengan lainnya hanya
karena masih umumnya tujuan yang hendak dicapai.
Proses dakwah untuk mencapai dan mewujudkan tujuan utama,
sangatlah luas cakupannya. Segenap aspek atau bidang kehidupan tidak ada
satu pun yang terlepas dari aktivitas dakwah. Maka agar usaha atau aktivitas
dakwah dalam setiap bidang kehidupan itu dapat efektif, perlu ditetapkan
dan dirumuskan nila-nilai atau hasil-hasil apa yang harus dicapai oleh
aktivitas dakwah pada masing-masing aspek tersebut.
95
Tujuan khusus dakwah sebagai terjemahan dari tujuan umum
dakwah dapat disebutkan antara lain sebagai berikut.
a. Mengajak umat manusia yang telah memeluk agama Islam untuk selalu
meningkatkan taqwanya kepada Allah. Dengan tujuan ini penerima
dakwah diharapkan agar senantiasa mengerjakan segala perintah Allah
dan selalu mencegah atau meninggalkan perkara yang dilarang-Nya.
Firman Allah;
��G/�� ���B�3��� �,����!������� �<�_�̀ � a�/�U �������#���3 �F�� b��������� ?c��� a�/�U �������#���3����G/�� 8,�=�d#������ �!��!�e ) M!N#O� :)(
Artinya: Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kewajiban
dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan
pelanggaran. Dan bertaqwalah kamu kepada Allah, sesungguhnya
berat siksaannya (bagi orang yang tolong menolong dalam
kejahatan). (QS. Al-Ma'idah (5): 2).
Tujuan khusus dakwah (minor objective) ini secara operasional dapat
dibagi menjadi beberapa tujuan lebih khusus, yakni
1) Menganjurkan dan menunjukkan perintah-perintah Allah.
Perintah Allah secara garis besar ada dua, yakni Islam dan Iman.
2) Menunjukkan larangan-larangan Allah. Larangan ini meliputi larangan-
larangan yang bersifat perbuatan (amaliyyah) dan perkataan (qauliyyah).
3) Menunjukkan keuntungan-keuntungan bagi kaum yang mau bertaqwa
kepada Allah.
4) Menunjukkan ancaman Allah bagi kaum yang ingkar kepada-Nya.
b. Membina mental agama (Islam) bagi kaum yang masih muallaf.
96
Muallaf artinya orang yang baru masuk Islam atau masih lemah keislaman
dan keimanannya dikarenakan baru beriman. Penanganan terhadap
masyarakat yang masih muallaf jauh berbeda dengan kaum yang sudah
beriman kepada Allah (berilmu agama), sehingga rumusan tujuannya tak
sama. Artinya disesuaikan dengan kemampuan dan keadaan.
Sebagaimana tujuan khusus yang lain, pada bagian ini dibagi pula
beberapa tujuan yang lebih khusus, antara lain:
1) Menunjukkan bukti-bukti ke-Esaan Allah dengan beberapa ciptaan-Nya.
2) Menunjukkan keuntungan bagi orang yang beriman dan bertakwa kepada
Allah.
3) Menunjukkan ancaman Allah bagi orang yang ingkar kepada-Nya.
4) Menganjurkan untuk berbuat baik dan mencegah berbuat kejahatan.
5) Mengajarkan syariat Allah berbuat dengan cara bijaksana.
6) Memberikan beberapa tauladan dan contoh yang baik kepada mereka
(mualaf).
c. Mengajak manusia agar beriman kepada Allah (memeluk Agama Islam).
Tujuan ini berdasarkan atas firman Allah:
�� ����f8���� �<BJ��/�0 L�f8�� �<BJ�9�� ����!�]�U� �H#�.�� #�E���4 #�� �,�B���3 �<BJ8/���� �<BJ�/�]�S �)M%]�� :)W(
Artinya: Hai sekalian manusia, sembahlah Tuhanmu yang telah
menciptakanmu dan orang-orang sebelum kamu, agar
kamu bertaqwa. (QS. Al-Baqarah (2): 21).
Juga firman Allah Swt:
�̀ � ��G/�� �!.�U ���?!�� 8,�= �K�g��)W*(
97
Artinya: Sesungguhnya agama yang benar di sisi Allah ialah Islam.
(QS. Ali 'Imran (3): 19).
d. Mendidik dan mengajar anak-anak agar tidak menyimpang dari fitrahnya.
Anak-anak adalah penerus generasi masa depan. Mendidik dan
mengajar anak-anak adalah suatu amal nyata bagi masa depan umat.
Dalam Al-Quran dan Hadis telah disebutkan bahwa manusia sejak lahir
membawa fitrahnya yakni beragama Islam (agama tauhid. Firman Allah:
���8�� ��8/�� �M�%�h� R#���.� ���?!/�� �>�E�"�� �<�S�i� �;��!�]�3 #�� #�E���/�U �H#�.�� �%�h� �,��:�/���� #�� �H#�.�� �%�j�k�4 ���J���� �<?����� ���?!�� �>���� ��8/�� �l�/����)K�%�� :m^(
Artinya: Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
(Allah); (tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan
manusia menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada
fitrah Allah. Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahuinya. (QS. Ar-Rum (30):30).
Kemudian tujuan ini bisa dijabarkan lagi menjadi beberapa tujuan
khusus atau lebih khusus lagi, yaitu
1) menanamkan rasa keagamaan kepada anak;
2) memperkenalkan ajaran-ajaran Islam;
3) melatih untuk menjalankan ajaran-ajaran Islam;
4) membiasakan berakhlak mulia;
5) mengajarkan dan mengamalkan Al-Quran;
6) berbakti kepada kedua orang tua;
7) aspek-aspek lain yang intinya mengajarkan ajaran Islam kepada anak.
Tujuan utama dakwah adalah nilai atau hasil akhir yang ingin
dicapai atau diperoleh oleh keseluruhan tindakan dakwah. Untuk
98
tercapainya tujuan utama inilah maka semua penyusunan rencana dan
tindakan dakwah harus ditujukan dan diarahkan. Tujuan utama dakwah
adalah terwujudnya kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat yang
diridhai Allah Swt. Tujuan utama ini, masih bersifat umum memerlukan
penjabaran agar kebahagiaan manusia di dunia dan akhirat ini bisa tercapai
dan terwujud.
Tujuan dakwah adalah untuk membentuk insân kamîl atau manusia
sempurna. Istilah Insân kamîl muncul pada mulanya di kalangan orang-
orang tasawuf dan kemudian beredar secara luas pada segenap lapisan
masyarakat Islam. la dipahami pada umumnya sebagai sebutan untuk
manusia tertentu, yakni untuk mereka yang memiliki keutamaan jiwa yang
sempurna. Para nabi atau rasul disepakati memiliki keutamaan jiwa paling
sempurna, dan karena itu dipandang paling layak disebut Insan Kamil. Oleh
kaum Syi'ah Imamiyah, para imam mereka dimasukkan ke dalam kategori
Insan Kamil. Demikian juga oleh orang-orang tasawuf, para wali atau sufi
dimasukkan ke dalam kategori tersebut. Hanya para nabi atau rasul saja
yang memiliki keutamaan jiwa yang paling sempurna, tanpa melalui latihan
atau pembinaan yang keras.
Mereka lahir dengan potensi istimewa, sehingga mereka secara
alamiah saja dapat tumbuh menjadi Insan Kamil. Jiwa mereka penuh
dengan sifat-sifat terpuji atau akhlak ketuhanan, dan bersih dari sifat-sifat-
tercela. Manusia yang bukan nabi atau rasul tidak demikian; mereka,
menurut orang-orang tasawuf, haruslah berjuang keras mengikuti latihan-
99
latihan dalam rangka mengosongkan jiwa mereka dari sifat-sifat tercela dan
berhias dengan sifat atau akhlak terpuji. Mereka yang berjuang keras untuk
mencapai derajat atau maqam makrifat (mengenal Tuhan secara langsung
melalui mata hati nurani) pada hakikatnya berjuang untuk mencapai derajat
Insan Kamil, kendati mereka tetap berada di bawah derajat para nabi atau
rasul Tuhan.
Berdasarkan uraian di atas, pertanyaan yang muncul, apa
relevansinya konsep Insân kamîl dalam buku "Konsepsi Manusia Menurut
Islam" dengan dakwah. Relevansinya adalah dakwah sangat erat kaitannya
dengan konsep Insân kamîl karena dakwah pada hakikatnya mengandung
ajakan kepada manusia dan objeknya adalah manusia. Ajakan tersebut
bertujuan agar rohani manusia menjadi sempurna yaitu berisi iman dan
taqwa. Melalui iman dan taqwa ini maka manusia bisa menghampiri
predikat insan kamil.
Salah satu tugas pokok dari Rasulullah adalah membawa amanah
suci berupa menyempurnakan akhlak yang mulia bagi manusia. Dan akhlak
yang dimaksudkan ini tidak lain adalah al-Qur'an itu sendiri sebab hanya
kepada al-Qur'an-lah setiap pribadi muslim itu akan berpedoman. Atas dasar
ini tujuan dakwah secara luas, dengan sendirinya adalah menegakkan ajaran
Islam kepada setiap insan baik individu maupun masyarakat, sehingga
ajaran tersebut mampu mendorong suatu perbuatan sesuai dengan ajaran
tersebut (Tasmara, 1997: 47).
100
Apabila tujuan dakwah yang digambarkan di atas tercapai maka
bukan mustahil bahwa dakwah dapat membangun mad'u yang insan kamil,
setidaknya menghampiri predikat tersebut.
Insân kamîl lebih ditujukan kepada manusia yang sempurna dari segi
pengembangan potensi intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat,
fitrah dan lainnya yang bersifat batin lainnya, dan bukan pada manusia dari
dimensi basyâriah-nya. Pembinaan kesempurnaan basyariah bukan menjadi
bidang garapan tasawuf, tetapi menjadi garapan fikih. Dengan perpaduan fikih
dan tasawuf inilah insân kamîl akan lebih terbina lagi. Namun insân kamîl
lebih ditekankan pada manusia yang sempurna dari segi insaniyahnya, atau
segi potensi intelektual, rohaniah dan lainnya itu. Insân kamîl juga berarti
manusia yang sehat dan terbina potensi rohaniahnya sehingga dapat berfungsi
secara optimal dan dapat berhubungan dengan Allah dan dengan makhluk
lainnya secara benar menurut akhlak Islami. Manusia yang selamat rohaniah
itulah yang diharapkan dari manusia insân kamîl. Manusia yang demikian
inilah yang akan selamat hidupnya di dunia dan akhirat. Hal ini sejalan
dengan firman Allah SWT.:
.�� #�� �K���� �,��.�9 #���� n@#�� �o��}YY { 1<��/�� 1r�/��9 ��8/�� a�3�4 ���� #8��=)\�%�s�� :YYtY*(
Artinya: (yaitu) di hari harta dan anak-anak tidak berguna lagi, kecuali
orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.
(QS-Asy'-Syu'ara, 26:88-89) (Depaq, 1978: 580).
Ayat di atas menunjukkan bahwa yang akan membawa keselamatan
manusia adalah batin, rohani, hati dan perbuatan yang baik. Orang yang
101
demikian itulah yang dapat disebut sebagai insân kamîl. Pada ayat lain di
dalam al-Qur'an banyak dijumpai bahwa yang kelak akan dipanggil masuk
surga adalah jiwa yang tenang (nafsu muthmainnah).
Batin, rohani, hati dan perbuatan yang baik merupakan karakteristik
insân kamîl. Manusia yang selamat rohaniah itulah yang diharapkan dari
manusia insân kamîl. Hal ini sejalan dengan dakwah yang bertujuan agar
manusia kembali di jalan yang benar sebagaimana pendapat Umary (1980:
52) bahwa dakwah adalah mengajak orang kepada kebenaran, mengerjakan
perintah, menjauhi larangan agar memperoleh kebahagiaan di masa sekarang
dan yang akan datang. Sejalan dengan itu, Sanusi (1980: 11) menyatakan,
dakwah adalah usaha-usaha perbaikan dan pembangunan masyarakat,
memperbaiki kerusakan-kerusakan, melenyapkan kebatilan, kemaksiatan dan
ketidak wajaran dalam masyarakat. Dengan demikian, dakwah berarti
memperjuangkan yang ma'ruf atas yang munkar, memenangkan yang hak atas
yang batil. Esensi dakwah adalah terletak pada ajakan, dorongan (motivasi),
rangsangan serta bimbingan terhadap orang lain untuk menerima ajaran
agama dengan penuh kesadaran demi untuk keuntungan pribadinya sendiri,
bukan untuk kepentingan juru dakwah/juru penerang (Arifin, 2000: 6).
102
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
5.1.1. Konsep insan kamil dalam Buku "Konsepsi Manusia Menurut Islam"
adalah manusia yang sempurna dari segi pengembangan potensi
intelektual, rohaniah, intuisi, kata hati, akal sehat, fitrah dan lainnya
yang bersifat batin lainnya, dan bukan pada manusia dari dimensi
fisiknya. Pembinaan kesempurnaan basyariah bukan menjadi bidang
garapan tasawuf, tetapi menjadi garapan fikih. Insân kamîl juga berarti
manusia yang sehat dan terbina potensi rohaniahnya sehingga dapat
berfungsi secara optimal dan dapat berhubungan dengan Allah dan
dengan makhluk lainnya secara benar menurut akhlak Islami. Manusia
yang selamat rohaniah itulah yang diharapkan dari manusia insân
kamîl. Manusia yang demikian inilah yang akan selamat hidupnya di
dunia dan akhirat.
5.1.2. Adapun hubungan insan kamil dalam Buku "Konsepsi Manusia
Menurut Islam" dengan dakwah adalah dakwah sangat erat kaitannya
dengan konsep insan kamil karena dakwah pada hakikatnya
mengandung ajakan kepada manusia. Ajakan tersebut bertujuan agar
rohani manusia menjadi sempurna yaitu berisi iman dan taqwa.
Melalui iman dan taqwa ini maka manusia bisa menghampiri predikat
insan kamil.
103
Dakwah yang berisi ajakan pada manusia bisa berisi masalah
akidah, syari'ah dan akhlak. Ketiga komponen sendi-sendi Islam itu
manakala diamalkan oleh mad'u niscaya bisa menghampiri predikat
insan kamil. Satu contoh jika mad'u mencontoh perilaku Rasulullah
SAW maka bisa dikatakan bahwa mad'u itu menjadi insan kamil.
5.2 Saran-saran
Meskipun konsep insan kamil merupakan konsep yang klasik, namun
hal itu penting diteliti karena insan kamil merupakan harapan dan dambaan
setiap orang beragama, khususnya beragama Islam. Berdasarkan hal tersebut
maka konsep insan kamil perlu diteliti lebih dalam. Karena itu hendaknya
dibuka dan diberi kesempatan pada peneliti lain untuk membuka misteri yang
terkandung dari esensi insan kamil.
5.3 Penutup
Seiring dengan karunia dan limpahan rahmat yang diberikan kepada
segenap makhluk manusia, maka tiada puji dan puja yang patut
dipersembahkan melainkan hanya kepada Allah SWT. Dengan hidayahnya
pula tulisan sederhana ini dapat diangkat dalam skripsi yang tidak luput dari
kekurangan dan kekeliruan. Menyadari akan hal itu, bukan suatu kepura-
puraan bila penulis mengharap kritik dan saran menuju kesempurnaan tulisan
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad, Amrullah. 1983. Dakwah Islam dan Perubahan Sosial. Yogyakarta:
Primaduta.
Ahyadi, Abdul Aziz, 1991. Psikologi Agama, Kepribadian Muslim Pancasila,
Bandung: Sinar Baru al-Gesindo
Al-Hufiy, Ahmad Muhammad, 2000. Keteladanan Akhlaq Nabi Muhammad SAW,
terj. Abdullah Zakiy Al-Kaaf, Bandung: CV.Pustaka Setia.
Ali, Yunasril. 1997. Manusia Citra Ilahi, Pengembangan Konsep Insân kamîl Ibn
Arabi oleh al-Jili, Jakarta: Paramadina.
Anshari, Hafi, 1993, Pemahaman dan Pengamalan Dakwah, Surabaya: al-Ikhlas.
Arifin, M. 2000, Psikologi Dakwah Suatu Pengantar, Jakarta: PT Bumi Aksara.
Arikunto, Suharsimi, 1990. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek.
Jakarta: Rineka Cipta.
Asy’ari, Musa, 1992. Manusia Pembentuk Kebudayaan dalam Al-Qur’an,
(Yogyakarta: Lembaga Studi Filsafat Islam.
-------. 2002. Filsafat Islam Sunnah Nabi dalam Berpikir, Yogyakarta: LESFI.
Aziz, Ali Moh. 2004. Ilmu Dakwah. Jakarta: Prenada Media.
Azra, Azyumardi (penyunting), 1987. Islam dan Masalah-Masalah
Kemasyarakatan, Jakarta: Pustaka Panjimas.
Bachtiar, Wardi. 1997. Metodologi Penelitian. Dakwah, Jakarta: Logos Wacana
Ilmu.
Baharuddin. 2004. Paradigma Psikologi Islam, Studi Tentang Elemen Psikologi
dari Al-Qur’an, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Daud Ali, Muhammad, 1997. Pendidikan Agama Islam, Jakarta: PT.Raja
Grafindo Persada.
Farida. 2005. Konsep Insan kamil Menurut Murtadha Muthahhari dan
Relevansinya dalam Tujuan Pendidikan Islam (Skripsi: Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo).
Hafidhuddin, Didin, 2000, Dakwah Aktual, Jakarta: Gema Insani.
Hasymi, A, 1984, Dustur Dakwah Menurut Al-Qur'an, Jakarta: Bulan Bintang.
Helmy, H. Masdar. 1973. Problematika Dakwah Islam dan Pedoman Mubaligh.
Semarang: Thoha Putra.
Hidayat, Komaruddin, dan Muhammad Wahyudi Nafis. 2005. Agama Masa
depan Perspektif Filsafat Perenial. Jakarta; PT.Gramedia Pustaka Utama.
Jilli, Abd al-Karim bin Ibrahim. Tth. Al-insân al-Kamîl fi Ma’rifat al-Awakhir wa
al-Awa’il, Kairo: Dar al-Fikr, juz 2.
Kahmad, Dadang. 2000. Metode Penelitian Agama Perspektif Ilmu Perbandingan
Agama, Bandung: CV Pustaka Setia.
Moleong, Lexi. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Rosda
Karya.
Muhadjir, Noeng. 2004. Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Rake
Sarasin.
Munsyi, Abdul Kadir, 1981, Metode Diskusi Dalam Da’wah, Surabaya: al-Ikhlas
Muriah, Siti, 2000. Metodologi Dakwah Kontemporer, Yogyakarta: Mitra
Pustaka.
Nasution, Harun dkk, 2002. Ensiklopedi Islam , Jakarta: Penerbit Djambatan.
--------, 1983. Filsafat dan Mistisisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang.
Nata, Abuddin. 2003. Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT;Raja Grafindo.
Natsir, M. tth. Fiqhud Dakwah. Jakarta: Islamiah Indonesia.
Nicholson, Reynold .A., 1998. Mistik Dalam Islam, alih bahasa, Tim Penerjemah
BA, Jakarta: Bumi Aksara.
Noer, Kautsar Azhari, 1995.Ibn al-Arabi Wahdat al-Wujud dalam Perdebatan,
Jakarta: Paramadina.
Kutaratna, Nyoman. 2004. Teori, Metode dan Teknik Penelitian Sastra.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Partanto, Pius A. dan M. Dahlan Al Barri. 1994. Kamus Ilmiah Populer.
Surabaya: Arloka.
Pimay, Awaludin, 2005, Paradigma Dakwah Humanis, Semarang: Rasail
Rahardjo, Dawam (ed), 1987. Insân kamîl Konsepsi Manusia Menurut Islam ,
Jakarta: Grafiti Press.
Rais, Amien, 1999, Cakrawala Islam Antara Cita dan Fakta, Bandung: Mizan
Sobirin, Ahmad. 2007. Konsep Ahmad Tafsir tentang Pendidikan Islam sebagai
Usaha Membentuk Insan kamil. (Skripsi: Fakultas Dakwah IAIN
Walisongo).
Sanusi, Salahuddin, 1980, Pembahasan Sekitar Prinsip-prinsip Dakwah Islam ,
Semarang: CV. Ramadhani
Solihin, M., 2003. Tasawuf Tematik Membedah Tema-Tema Penting Tasawuf,
Bandung: CV.Pustaka Setia.
Sugi Hartono. 2006. Insan kamil Menurut Murtadha Muthahhari dalam
Hubungannya dengan Kesehatan Mental (Analisis Bimbingan dan
Konseling Islam). (Skripsi: Fakultas Dakwah IAIN Walisongo).
Sulthon, Muhammad. 2003. Desain Ilmu dakwah, Kajian Ontologis,
Epistimologis dan Aksiologis. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Sumaryono. 1999. Hermeneutik Sebuah Metode Filsafat. Yogyakarta: Kanisius
Syaibani, Al Toumy. 1979. Umar Muhammad, Filsafat Pendidikan Islam, alih
bahasa: Hasan Langgulung, Surabaya: Bulan Bintang.
Syukir, Asmuni, 1983, Dasar-Dasar Strategi Dakwah Islam, Surabaya: al-Ikhlas
Syukur, Amin, 2002. Menggugat Tasawuf, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Tasmara, Toto. 1997. Komunikasi Dakwah. Jakarta: Gaya Media Pertama.
Umary, Barmawie. 1980. Azas-Azas Ilmu Dakwah. Semarang: CV Ramadhani
Yaqub, Hamzah. 1973, Publisistik Islam, Seni dan Teknik Dakwah, Bandung: CV
Diponegoro
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Pentafsir al-Qur’an. 1986. Al-Qur'an dan
Terjemahnya. Jakarta: Depaq RI.
Yunus, Mahmud, 1990. Kamus Arab Indonesia, Jakarta: Hidakarya.
Zahrah, Abu, 1994, Dakwah Islamiah, Bandung: PT Remaja Rosdakarya