telaahan isu-isu strategis bidang desentralisasi dan otonomi...
TRANSCRIPT
TELAAHAN ISU-ISU STRATEGIS
BIDANG DESENTRALISASI DAN
OTONOMI DAERAH
PUSAT KAJIAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
2014
TELAAHAN ISU-ISU STRATEGIS
BIDANG DESENTRALISASI DAN
OTONOMI DAERAH
PUSAT KAJIAN DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH
LEMBAGA ADMINISTRASI NEGARA
2014
ii
Perpustakaan Nasional RI, Data Katalog Dalam Terbitan (KDT)
KATALOG DALAM TERBITAN
Lembaga Administrasi Negara, Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi
Daerah
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi
Daerah
Cetakan I, Jakarta, LAN Press
vi + 49 hlm : 14 x 20 cm
ISBN: 978-979-1301-31-2
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Editor
Ridwan Rajab
Tim Penulis
Edy Sutrisno, Widhi Novianto, Ani Suprihartini, Renny Savitri,
Rita Dwi KU, Maria Dika PS
Tim Support
Tri Murwaningsih, Nurlina, Dewi Prakarti U
Diterbitkan oleh: LAN Press
Jl. Veteran No. 10, Jakarta Pusat
Dilarang Keras memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku
ini tanpa izin dari penerbit
v
DAFTAR ISI
Sambutan Deputi Bidang Kajian Kebijakan ................................ iii
Pengantar Kepala Pusat Kajian Desentralisasi dan
Otonomi Daerah ....................................................................... iv
Daftar Isi ................................................................................ v
Daftar Tabel .............................................................................. vi
Daftar Gambar .......................................................................... vi
PENDAHULUAN ....................................................................... 1
A. Latar Belakang ................................................................. 1
B. Tujuan Kegiatan ............................................................... 5
C. Bentuk Kegiatan ............................................................... 5
POLICY BRIEF .......................................................................... 7
A. Penguatan Pelaksanaan Desentralisasi dan
Otonomi Daerah di Indonesia ............................................ 7
B. Mencari Desain Alternatif Pemilihan Kepala
Daerah di NKRI ................................................................ 13
C. Aransemen Kelembagaan Kemaritiman ............................. 21
D. Pokok-Pokok Pemikiran dalam Mewujudkan
Kedaulatan Pangan ........................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA ................................................................. 45
vi
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Pengaturan/Kewenangan Kemaritiman .................... 26
Tabel 2 Institusi Kemaritiman .............................................. 28
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Aransemen Kelembagaan ......................................... 32
Gambar 2 Kementerian Teknis ................................................. 34
Gambar 3 Kementerian Koordinator ......................................... 35
Gambar 4 Dewan Maritim Nasional .......................................... 36
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada tahun anggaran 2014, Pusat Kajian Desentralisasi dan
Otonomi Daerah melakukan kegiatan untuk membahas dan
mengkaji tentang isu-isu strategis yang berkaitan dengan
penyelenggaraan kebijakan desentralisasi dan otonomi daerah
di Indonesia. Kegiatan ini dilatarbelakangi oleh kondisi bahwa
pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia
berlangsung dengan dinamika yang tinggi baik yang
disebabkan oleh kebijakan dari pemerintah pusat maupun oleh
pemerintahan daerah. UU Nomor 32 Tahun 2004 yang pada
tahun 2014 memasuki masa sepuluh tahun implementasinya
sedang dalam proses revisi di Dewan Perwakilan Rakyat.
Selama sepuluh tahun masa berlakunya undang-undang
tersebut, penyelenggaraan pemerintahan daerah belum
berjalan seperti yang diharapkan. Terdapat banyak persoalan
dan distorsi yang muncul dalam implementasi UU Nomor 32
Tahun 2004 sehingga dalam kegiatan kajian isu-isu strategis ini,
tim PKDOD menyelenggarakan seminar nasional dengan topik:
“Satu Dekade Implementasi UU Nomor 32 Tahun 2004”
dengan mengundang narasumber pakar dan ahli di bidang
desentraslisasi dan otonomi daerah.
Isu strategis lain yang tidak kalah penting memiliki keterkaitan
dengan diterbitkannya UU Nomor 5 Tahun 2014 tentang
2 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Aparatur Sipil Negara dan UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang
Desa. Kedua undang-undang tersebut jelas akan menjadi
instrumen kebijakan pemerintah yang sangat penting karena
akan mempengaruhi kinerja penyelenggaraan pemerintahan
dan pembangunan ke depan. Oleh karena itu, kajian dan
pendalaman terhadap berbagai aspek yang dapat
mempengaruhi ketidakefektifan berjalannya undang-undang
tersebut harus dilakukan. Kegiatan isu-isu strategis pada tahun
2014 memasukkan kedua topik kebijakan tersebut sebagai
bagian dari isu-isu stratetgis yang dibahas. Undang-undang
Aparatur Sipil Negara sebagai kebijakan terkini menyangkut
tata kelola kepegawaian sipil di Indonesia sudah pasti
berhubungan erat dengan penyelenggaraan pemerintahan
daerah. Oleh karena itu, bagaimana manajemen aparatur sipil
negara pada level pemerintahan daerah terkait dengan
kewenangan yang harus dimiliki oleh daerah ini perlu dilakukan
kajian dan pembahasan yang mendalam.
Pada tahun 2014, Pemerintah dan DPR mengesahkan UU
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa. Undang-undang ini
diharapkan menjadi momentum bagi kebangkitan Desa
menuju kesejahteraan dan kehidupan yang lebih baik, sebab
selama ini Desa masih dianggap wilayah yang tertinggal dilihat
dari infrastruktur, kesehatan, pendidikan, dan minimnya
fasilitas publik. Melalui undang-undang Desa, pemerintah akan
menggelontorkan dana Desa yang dapat dimanfaatkan oleh
Desa (perangkat dan masyarakat) untuk meningkatkan dan
mengembangkan kapasitas Desa sesuai dengan kebutuhan dan
karakteristik masing-masing Desa. Indonesia yang memiliki 79
ribu Desa lebih pada dasarnya memang harus memberikan
porsi yang memadai bagi Desa untuk dapat mengembangkan
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 3
kapasitas Desa menuju Desa yang mandiri dan kuat dalam
memenuhi kebutuhan masyarakat Desa, di bidang pelayanan
umum masyarakat, ketersediaan fasilitas publik, dan
infrastruktur Desa yang memadai.
Seiring dengan terpilihnya Joko Widodo sebagai Presiden
Republik Indonesia, terjadi pergeseran paradigma dalam
penyelenggaraan pemerintahan. Berbagai anomali politik yang
mengiringi terpilihnya Joko Widodo tersebut mendorong
lawan-lawan politiknya mengusung pemilihan kepala daerah
tidak lagi dipilih secara langsung, akan tetapi dipilih oleh DPRD.
Segera topik ini menjadi diskusi publik yang hangat dan
menjadi polemik yang ramai dibicarakan oleh berbagai
kalangan dan masyarakat. Pihak yang menolak Pilkada
Langsung berpendapat bahwa Pilkada Langsung mengandung
banyak masalah, pemborosan anggaran, dan memicu korupsi
di daerah. Sementara itu, melalui Pilkada oleh DPRD, anggaran
pemilihan kepala daerah dapat dihemat dan merupakan upaya
mencegah demokrasi Indonesia menuju liberal. Kalangan yang
setuju dengan Pilkada langsung menganggap Pilkada melalui
DPRD tidak demokratis dan menggembosi upaya
pembangunan demokrasi di Indonesia, serta argumentasi lain
yang menyatakan Pilkada melalui DPRD menyuburkan praktek
suap serta kemungkinan terjadinya kooptasi kepala daerah
oleh DPRD.
Segala silang pendapat tentang Pilkada tersebut disebabkan
oleh tidak jelasnya konsep dan sistem Pilkada yang tepat bagi
Indonesia sebagai Negara Kesatuan terdesentralisasi. Apakah
Pilkada langsung lebih tepat digunakan bagi Indonesia atau
sebaliknya belum ada kajian yang komprehensif dan mendalam
4 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
terkait hal itu. Oleh karena itu, kajian terhadap Pilkada perlu
dilakukan untuk mencari dan menemukan desain yang tepat
bagi pelaksanaan pemilihan kepala daerah di Indonesia.
Isu lain yang tidak kalah stratetgis untuk dikaji adalah
sehubungan dengan konstruksi kabinet yang akan disiapkan
oleh Presiden Joko Widodo pada lima tahun ke depan. Joko
Widodo sejak awal telah menyatakan akan membentuk
Kementerian Maritin dan Kementerian Kedaulatan Pangan.
Kedua kementerian ini merupakan instistusi baru dalam sejarah
kebinet yang pernah ada di Indonesia. Berdasarkan kondisi ini,
maka kedua kementerian tersebut perlu disiapkan desain
kelembagaannya berdasarkan atas prinsip-prinsip administrasi
dan tata negara sesuai dengan yang diinginkan oleh
pemerintahan Joko Widodo. Oleh karena itu, dalam rangka
menindaklanjuti hal tersebut, tim PKDOD juga melakukan
diskusi untuk membahas permasalahan tersebut untuk
memberikan sumbang saran kebijakan kepada pemerintah.
Berdasarkan uraian di atas, dari serangkaian kegiatan yang
dilakukan melalui kajian isu-isu strategis, tim PKDOD
menyusun policy brief terhadap isu-isu sebagai berikut:
1. Penguatan desentralisasi dan otonomi daerah di Indonesia
termasuk dalam hal ini adalah implementasi undang-
undang Desa;
2. Pemilihan kepala daerah (Pilkada);
3. Konstruksi Kelembagaan Kementerian Maritim; dan
4. Kedaulatan Pangan.
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 5
Keempat policy brief tersebut akan dikemas dalam laporan
tunggal tentang Isu-Isu Strategis Desentralisasi dan Otonomi
Daerah Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah 2014.
B. Tujuan Kegiatan
Tujuan pelaksanaan kegiatan kajian isu-isu strategis adalah:
1. Merumuskan rekomendasi kebijakan terkait dengan isu-isu
stretegis di bidang desentraslisasi dan otonomi daerah;
2. Menyusun Policy Brief untuk penguatan penyelenggaraan
desentralisasi dan otonomi daerah.
C. Bentuk Kegiatan
Kegiatan yang Dilakukan
1. Seminar Nasional: Satu Dekade Impmentasi UU Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.
2. Diskusi Terbatas: Prospek Implementasi Undang-Undang
Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa.
3. Diskusi Terbatas:
a. Konstruksi Kementerian Kemaritiman
b. Tantangan Kedaulatan Pangan
4. Diskusi Terbatas: Mencari Jalan Tengah Pilkada di
Indonesia, UGM Yogyakarta.
5. Diskusi Terbatas: Mencari Desain Alternatif Pilkada
Indonesia, Unair Surabaya.
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 7
Policy Brief
PENGUATAN PELAKSANAAN
DESENTRALISASI DAN OTONOMI DAERAH DI
INDONESIA
Latar Belakang
Implementasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah memasuki usia satu dekade pada tahun
2014. Berbagai permasalahan mewarnai penyelenggaraan
pemerintahan daerah melalui undang-undang yang
menggantikan UU Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah. Harapan terwujudnya praktek
penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih baik
dibandingkan masa-masa sebelumnya belum sepenuhnya
tercapai, mengingat problematika yang dihadapi dalam
konteks tata kelola pemerintahan baik di Pusat maupun Daerah
semakin kompleks.
Pasang surut penyelenggaraan pemerintahan daerah selama
sepuluh tahun terakhir menyisakan pekerjaan rumah yang tidak
ringan bagi pemerintah pusat. Problematika hubungan
pemerintah pusat - daerah, dan pembagian wewenang antara
pusat - daerah yang belum clear cut hingga saat ini seringkali
menimbulkan ketegangan antara pusat dan daerah. Semangat
reformasi yang diusung UU Nomor 32 Tahun 2004 di satu sisi
memberi harapan akan perbaikan sistem pemerintahan daerah,
8 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
namun di sisi lain juga menciptakan masalah-masalah baru baik
yang berskala lokal maupun nasional.
Pemekaran daerah yang seolah-olah tidak terkontrol,
khususnya pada level kabupaten/kota menimbulkan
permasalahan tersendiri ketika daerah-daerah hasil pemekaran
tersebut hingga 5 tahun penyelenggaraan pemerintahan tidak
mampu menunjukkan kemampuan yang memadai dalam
mengelola potensi di wilayahnya. Pelayanan publik masih
buruk dan tata kelola pemerintahan seringkali memperoleh
rapor merah. Tidak mengherankan jika terdapat laporan
menyatakan 80 persen daerah pemekaran gagal.
Permasalahan krusial lainnya adalah tingginya indeks
prevalensi korupsi di daerah. Persoalan korupsi di daerah
membawa implikasi mendalam bagi pelaksanaan
pemerintahan dan pembangunan, mengingat pelaku korupsi
sebagian besar melibatkan kepala daerah dan pejabat lainnya.
Kelindan permasalahan semakin kompleks dengan maraknya
politik kekerabatan yang memperparah terjadinya praktek
kolusi, nepotisme, dan kroniisme. Di daerah, lahir raja-raja kecil
berikut dinastinya yang menguasai birokrasi dan sumber daya
daerah. Fenomena ini terus tumbuh subur, sedangkan di satu
sisi instrumen pemerintah pusat untuk melakukan kontrol dan
pengawasan sangat terbatas.
Masih terdapat sejumlah isu dan permasalahan strategis
selama pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Di
antaranya adalah: 1) pemilihan kepala daerah langsung yang
hingga saat ini menuai pro kontra mengingat berbagai
permasalahan yang timbul sebagai dampak dari Pilkada
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 9
langsung tersebut; 2) Kedudukan ganda Gubernur sebagai
Wakil Pemerintah dan selaku Kepala Daerah belum
memberikan dampak yang signifikan bagi efektifitas
penyelenggaraan pemerintahan daerah maupun pemerintah
pusat; 3) Kepemimpinan dan inovasi daerah dalam percepatan
pembangunan yang masih lemah. Kepemimpinan dan inovasi
menjadi topik sentral beberapa tahun terakhir sebagai kritik
terhadap kompetensi dan kapasitas pemimpin daerah dalam
menyelenggarakan pemerintahan.
Arah Kebijakan Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Di luar permasalahan yang telah dikemukakan di atas, berbagai
isu strategis terkini yang sedang berkembang adalah: 1) Revisi
UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah; 2)
Pro kontra RUU Pilkada; 3) Implementasi UU Nomor 6 Tahun
2014 tentang Desa; 4) diberlakukannya ASEAN Economic
Community pada 2015; 5) disahkannya UU Nomor 5 Tahun 2014
tentang Aparatur Sipil Negara; 6) Kebijakan Otonomi Khusus;
7) Desentralisasi dan pembangunan wilayah perbatasan; serta
kasus-kasus lain yang seringkali muncul di daerah, seperti
konflik dan ancaman bencana alam.
Mencermati berbagai permasalahan dan isu strategis dalam
penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah di atas,
berikut disampaikan rekomendasi kebijakan untuk
memperkuat penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi
daerah:
10 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
1. Dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah,
perlu harmonisasi dan sinkronisasi terhadap beberapa
undang-undang yang berkait paut, yaitu: Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah,
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa,
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pilkada,
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur
Sipil Negara, dan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014
tentang Administrasi Pemerintahan untuk mewujudkan
sistem pemerintahan daerah yang sinergis, kuat, dinamis,
efektif, dan efisien sesuai dengan cita-cita Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
2. Polemik pilkada apakah dilakukan secara langsung atau
melalui DPRD perlu dicarikan jalan keluar berdasarkan
kajian mendalam untuk melahirkan konsep yang jelas
sebagai dasar pijakan dalam pelaksanaan pemilihan kepala
daerah di negara kesatuan yang terdesentralisasi seperti
Indonesia. Lebih daripada itu, pemerintah perlu me-
redesign konsep dan sistem Pilkada langsung sebagai
sebuah mekanisme demokratis untuk menjawab
kebutuhan lahirnya pemimpin daerah yang legitimate
secara etis dan moral.
3. Pemekaran daerah perlu dievaluasi secara mendalam,
parameter-parameter yang digunakan untuk persyaratan
pemekaran daerah harus jelas, terukur, dan dapat
dipertanggungjawabkan. Selain itu, apabila selama ini
mekanisme pengajuan daerah untuk mekar melalui dua
pintu, yaitu melalui pemerintah dan/atau DPR, maka ke
depan pengajuan pemekaran daerah seharusnya dilakukan
hanya pada satu pintu, yaitu melalui pemerintah. Hal ini
ditujukan untuk mengeliminir banyaknya usulan
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 11
pemekaran daerah yang terkesan tanpa kontrol dan
kendali.
4. Dalam rangka implementasi UU Nomor 6 Tahun 2014
tentang Desa, Pemerintah perlu segera menerbitkan
Peraturan Pemerintah guna mendukung penjabaran UU
dimaksud, serta menyelenggarakan program-program
strategis yang dapat membantu Desa untuk berakselerasi
dalam mengimplementasikan UU Desa.
5. Program-program untuk akselerasi pengembangan
kapasitas Desa dan aparatnya diantaranya seperti:
a. Penyusunan modul pengembangan kapasitas Desa dan
aparatur Desa, meliputi: Pengembangan SDM aparat
Desa, pemanfaatan dana Desa, penguatan kapasitas
kelembagaan Desa, program pengembangan
partisipasi masyarakat Desa, dsb.
b. Pendampingan bagi aparat Desa dalam implementasi
undang-undang Desa;
6. Kebijakan desentralisasi asimetris melalui penyelenggaraan
Otonomi Khusus harus dilakukan melalui pertimbangan
yang jelas, berdasarkan kajian yang mendalam dan
komprehensif sebelum kebijakan tersebut diterapkan pada
daerah tertentu. Pemerintah dalam ini perlu mengeluarkan
kebijakan tentang kriteria dan batasan-batasan yang jelas
mengenai Otonomi Khusus, sebab ke depan kebijakan
Otonomi Khusus sangat mungkin dilaksanakan bukan
semata atas dasar latar belakang politik, namun dapat saja
atas dasar daerah yang memiliki latar belakang ekonomi.
7. Pemerintah pusat dan pemerintahan daerah perlu
melakukan sinergi dalam rangka ASEAN Economic
Community (Masyarakat Ekonomi ASEAN, MEA) yang akan
dilaksanakan pada tahun 2015, baik dalam konteks sinergi
12 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
kebijakan maupun implementasinya sehingga MEA dapat
memberi manfaat yang besar bagi masyarakat. Pada
derajat tertentu kampanye terhadap MEA perlu lebih
digencarkan mengingat nilai strategis dari MEA tersebut.
MEA dapat memberikan nilai tambah bagi bangsa dan
negara, namun pada sisi lain MEA juga dapat menjadi
hambatan bagi bangsa dan negara untuk lebih maju dan
berkembang.
¤¤¤¤¤¤
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 13
Policy Brief
MENCARI DESAIN ALTERNATIF PEMILIHAN KEPALA
DAERAH
DI NEGARA KESATUAN REPUBLIK INDONESIA
Latar Belakang
Pasca disahkannya undang-undang tentang pemilihan kepala
daerah (Pilkada) yang memutuskan untuk kembali dipilih oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), polemik atas
undang-undang tersebut menyeruak ke publik. Sebagian
masyarakat, pengamat politik, aktivis pro demokrasi
berpendapat pemilihan kepala daerah melalui DPRD adalah
kemunduran demokrasi. Pilkada DPRD pada derajat tertentu
hanya akan menyuburkan praktek suap dan korupsi
transaksional antara anggota DPRD, elite partai, dan calon
kepala daerah untuk memenangkan kontestasi pemilihan kursi
kepala daerah, baik pada aras Gubernur, maupun
Bupati/Walikota. Kekhawatiran kubu penolak Pilkada DPRD
menyebutkan bahwa Gubernur, Bupati/Walikota yang dipilih
oleh DPRD akan mudah menjadi sapi perah bagi anggota DPRD
sehingga akan mempengaruhi efisiensi dan efektifitas
penyelenggaraan pemerintahan daerah. Kubu pro Pilkada
DPRD berargumentasi, pelaksanaan Pilkada langsung
merupakan praktek demokrasi liberal yang tidak cocok
diterapkan di Indonesia.
14 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Berdasarkan kondisi tersebut, Pilkada langsung selama ini
ditengarai menimbulkan banyak persoalan, seperti: besarnya
biaya penyelenggaraan Pilkada sehingga menjadi beban APBD,
maraknya money politics di masyarakat pemilih, potensi konflik
yang timbul antar pendukung calon kepala daerah, potensi
korupsi yang dilakukan kepala daerah setelah menduduki
jabatan kepala daerah, dan berbagai pertimbangan lainnya. Pro
kontra tentang pelaksanaan Pilkada langsung sesungguhnya
sudah berlangsung lama, terlepas dari disahkannya undang-
undang pemilihan kepala daerah yang baru. Hal ini terjadi
disebabkan oleh belum mantapnya format pemilihan kepala
daerah yang tepat bagi negara kesatuan terdesentralisasi
dalam hal ini adalah Indonesia. Di samping itu, faktor legal
normatif yang tidak menyebutkan secara eksplisit bahwa
kepala daerah harus dipilih langsung di dalam UUD 1945
menjadi salah satu penyebab terbukanya ruang perdebatan
tentang model pemilihan kepala daerah di Indonesia.
Diskursus tentang format pemilihan kepala daerah yang tepat
bagi Indonesia semakin mendapatkan tempat di ruang-ruang
publik mengingat jika dikaitkan dengan desain pemerintahan
daerah, Indonesia menganut Integrated Prefectoral System
yang menempatkan Gubernur, Bupati/Walikota sebagai kepala
daerah dan wakil pemerintah pusat di daerah. Pada kondisi ini
terjadi dua titik ekstrim, yakni sebagai kepala daerah Gubernur,
Bupati/Walikota dapat dipilih langsung, sedangkan sebagai
wakil pemerintah Gubernur, Bupati/Walikota semestinya dipilih
oleh Pemerintah. Dalam konteks ini sangat dimungkinkan
terjadi penyesuaian format pemilihan kepala daerah
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 15
berdasarkan karakteristik sistem politik dan sistem
pemerintahan yang berlangsung di Indonesia.
Berdasarkan pengalaman dilaksanakannya Pilkada langsung
oleh rakyat, tampaknya mekanisme tersebut belum mampu
menjawab hakekat sesungguhnya dari tujuan
diselenggarakannya pemilihan kepala daerah, yaitu untuk
memilih kepala daerah yang memiliki integritas dan kapabilitas
yang mampu mewujudkan kemajuan dan kesejahteraan rakyat
dan daerah. Kondisi sebaliknya justru terjadi, yaitu kepala
daerah yang tersangkut masalah korupsi jumlahnya ratusan
dan kemajuan daerah serta kesejahteraan masyarakat belum
terwujud secara nyata. Demikian juga Pilkada melalui DPRD,
melalui mekanisme ini politik transaksional membelenggu
kepala daerah sehingga kinerja kepala daerah tidak optimal
sebab terjebak oleh kooptasi politik yang dilakukan oleh
anggota DPRD. Di tengah kondisi kualitas anggota DPRD yang
belum sepenuhnya dapat diandalkan, maka kekhawatiran akan
lahirnya kepala daerah yang tidak memiliki independensi,
integritas, dan kapabilitas semakin kuat jika Pilkada dilakukan
melalui DPRD.
Mencari Kepala Daerah (Pemimpin) yang Legitimate
Melalui Pilkada
Persoalan Pilkada pada dasarnya bukan pada konteks langsung
atau tidak langsung, sebab dua mekanisme tersebut diakui
dalam konstitusi sebagai cara yang demokratis untuk memilih
kepala daerah. Namun demikian, keabsahan pelaksanaan
Pilkada belum berbanding lurus dengan derajat legitimasi
16 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
pemimpin daerah yang terpilih dalam ajang Pilkada (baik
langsung maupun tidak langsung). Pemimpin (kepala daerah)
yang legitimate bersumber dari keterpilihan seorang kepala
daerah yang dapat dipertanggungjawabkan secara etik dan
moral. Dalam konteks Pilkada, saat ini kepala daerah yang
terpilih secara legitimate dan diakui secara etis dan moral
belum sepenuhnya terwujud, bahkan sulit terwujud.
Sumber legitimasi terletak pada keterlibatan masyarakat
dalam menggunakan hak pilihnya. Pada titik ini konsep tentang
representasi menjadi penting untuk didiskusikan, sebab tingkat
keterlibatan masyarakat dalam Pilkada pada sebagian besar
pelaksanaan Pilkada di Indonesia berada dikisaran angka 50-65
persen pemilih dalam suatu kontestasi pemilu lokal. Selain
representasi, legitimasi juga bersumber dari bagaimana hak
pilih yang dimiliki oleh masyarakat dapat dijalankan dengan
pantas dan sebaik-baiknya bagi pencapaian tujuan Pilkada itu
sendiri. Dalam konteks ini, pantas tidaknya hak pilih yang
digunakan jelas dipengaruhi di antaranya oleh sistem politik,
sistem Pilkada, dan kualitas calon kepala daerah yang
mengikuti Pilkada.
Dalam tataran sistem politik, pelaksanaan konsolidasi
demokrasi diwakilkan melalui partai politik (parpol).
Sayangnya, saat ini parpol tidak menjalankan peran dan
fungsinya seperti yang tertulis dalam anggaran dasar dan
anggaran rumah tangga parpol. Parpol saat ini terkesan minim
ideologi, tidak sesuai dengan fungsinya sebagai lembaga
representasi yang mewakili masyarakat yang memiliki hak
politik. Struktur masyarakat tidak kompatibel dengan sistem
politik. Fungsi representasinya tidak jalan. Bagaimana dapat
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 17
membangun legitimasi, sedangkan lembaganya tidak
representatif. Repotnya, demokrasi yang berjalan saat ini
dipercaya prosesnya sudah final. Proses politik hanya dimaknai
sebagai kegiatan rutin 5 tahun, indikatornya hanya damai,
bukan pada legitimasi, hanya benar secara prosedural. Kepala
daerah yang terpilih secara etis dan moral belum tentu
legitimasinya diakui, sebab pelaksanaan Pilkada seringkali
berjalan tidak jujur, money politics dan kecurangan lainnya
mengiringi berjalannya Pilkada.
Sebagai salah satu elemen penting dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan pembangunan demokrasi, Pilkada
perlu terus disempurnakan untuk mewujudkan proses
kontestasi pemilihan kepala daerah yang lebih baik melalui
kajian-kajian yang serius dan mendalam. Melalui kajian dan
pembahasan tersebut, diharapkan dapat dirumuskan format
yang sesuai dengan konsep yang jelas terhadap sistem Pilkada
untuk memilih kepala daerah di Indonesia. Pertanyaan yang
harus dijawab apabila pilkada langsung ditetapkan secara
permanen sebagai satu-satunya mekanisme untuk mengisi
jabatan kepala daerah adalah bagaimana supaya Pilkada dapat
melahirkan pemimpin daerah yang kredibel, kapabel, dan
memiliki legitimasi yang kuat di masyarakat, serta bagaimana
agar Pilkada langsung tersebut dapat dilaksanakan dengan
jujur, tidak mengeluarkan biaya yang dapat menyedot APBD
melalui sistem Pilkada yang rapi dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan paparan di atas, maka rekomendasi kebijakan
terhadap pemilihan kepala daerah di Indonesia, adalah sebagai
berikut:
18 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
1. Pilkada dilaksanakan secara langsung. Pilkada langsung
adalah pilihan yang paling rasional dan sesuai dengan
kebutuhan pembangunan demokrasi di Indonesia. Pada
konteks derajat legitimasi di mata rakyat, Pilkada langsung
juga memiliki derajat legitimasi yang lebih tinggi
dibandingkan jika pemilihan kepala daerah dilakukan oleh
DPRD.
2. Mengatur ketentuan Pilkada Langsung secara eksplisit di
dalam UUD 1945. Sumber perdebatan antara Pilkada
langsung dan tidak langsung adalah Pasal 18 ayat (4) UUD
1945 yang menyatakan: Gubernur, Bupati dan Walikota
masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah
Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.
Klausul ini tidak tegas, apabila memang Pemerintah, DPR,
dan elemen masyarakat menyepakati bahwa pemilihan
kepala daerah dilaksanakan secara langsung, maka
seharusnya klausul tersebut diatur secara eksplisit di UUD
1945.
3. Merumuskan dan mendesain kembali konsep dan sistem
Pilkada di Indonesia secara jelas berdasarkan kondisi aktual
Indonesia, meliputi pemetaan konteks lokal, sistem politik,
anggaran, kebutuhan akan terpenuhinya legitimasi etis dan
moral, kebutuhan akan lahirnya pemimpin daerah yang
berintegitas dan kapabel, dan variabel-variabel lainnya.
4. Merumuskan aturan yang lebih ketat terhadap dana dan
biaya Pilkada, misalnya melalui Pilkada serentak,
pembatasan modal dan biaya kampanye bagi calon kepala
daerah, transparansi biaya/mahar politik terhadap partai
politik, transparansi dana-dana sponsor, dsb. Hal ini untuk
mewujudkan Pilkada yang murah, menekan cost yang
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 19
tinggi yang dapat memberikan dampak positif bagi kepala
daerah dalam menjalankan tugas dan fungsinya.
5. Perlu merumuskan regulasi Pilkada yang dapat melahirkan
kepala daerah dengan kapabilitas dan integritas yang
tinggi, mengeliminir potensi munculnya dinasti politik yang
dapat menjadi sumber KKN.
6. Mengkaji dan mengembangkan Pilkada asimetris, dengan
mempertimbangkan keberagaman konteks lokal dan
demokratisasi lokal. Indonesia dengan keragaman geografi
dan demografi memungkinkan untuk dilakukan Pilkada
yang tidak seragam secara nasional, melainkan sesuai
dengan kondisi, karakteristik, dan kebutuhan masyarakat
lokal.
7. Melakukan konstruksi ulang terhadap cara kerja
Pemerintah, penyelenggara Pilkada, maupun rakyat dalam
rangka pelaksanaan Pilkada. Demokrasi perlu dibangun
sebagai gerakan bottom up. Sistem harus dibangun
kembali, sistem Pilkada mesti didesain kembali sesuai
dengan kebutuhan pembangunan demokrasi di Indonesia.
¤¤¤¤¤¤
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 21
Policy Brief
ARANSEMEN KELEMBAGAAN KEMARITIMAN
Latar Belakang
Posisi Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia
seharusnya menjadi kekuatan penting yang dapat dimaksimalkan
dalam pembangunan. Limpahan kekayaan yang terkandung di
laut secara utuh, baik di dalam, di dasar, maupun di atas
permukaan laut merupakan potensi ekonomi yang mampu
memberikan kontribusi nyata bagi perekonomian nasional.
Berbagai kekayaan laut ini sebenarnya telah dieksploitasi dan
dimanfaatkan sejak dahulu hingga sekarang baik melalui
metode produksi yang tradisional bahkan berbasis teknologi
dewasa ini.
Sekelompok kalangan meyakini bahwa nilai ekonomis kekayaan
sumber daya alam laut melebihi dari kekayaan serupa yang ada di
daratan. Bahkan ada yang mengatakan kekayaan yang ada di
laut dianggap tidak akan pernah ada habisnya. Tentu saja
kalau pendapat ini benar maka paling tidak dapat menepis
kekhawatiran kita akan kelangkaan atau hampir punahnya
sumber daya yang ada di daratan. Pertanyaannya, apakah
kekayaan laut tersebut telah mampu didayagunakan sebagai
modal pembangunan untuk mencapai kesejahteraan bangsa,
atau kalaupun sudah didayagunakan, sudahkah ia berimplikasi
positif terhadap kemajuan ekonomi masyarakatnya.
22 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Perspektif ekonomi paling sederhana memberikan tuntunan
tentang bagaimana suatu ekonomi bekerja dari tiga kondisi dasar
yaitu, apa yang harus diproduksi, bagaimana berproduksi, dan
untuk siapa produksi tersebut. Jawaban dari kombinasi ketiga
pertanyaan tersebut dapat dikaitkan dengan kemampuan
Indonesia sebagai negara kepulauan, terutama membahas
apakah pembangunan hari ini telah menempatkan sektor
kelautan sebagai modal pembangunan yang unggul. Dalam istilah
lain, memampukan bidang kelautan menjadi sektor pemimpin
(leading sector) dalam kegiatan perekonomian nasional.
Pembangunan identik dengan bagaimana suatu negara dapat
menggunakan kapasitas sumber dayanya secara optimal dalam
berproduksi, atau paling tidak dalam menyediakan iklim yang
kondusif bagi kegiatan-kegiatan ekonomi yang produktif.
Produksi sektor kelautan secara kuantitatif barangkali tidak
mengalami masalah, walaupun kerap ada kesenjangan antara
potensi dan realisasi. Namun demikian, apabila ditelaah lebih
seksama pada isu peruntukan manfaat, maka sektor
kelautan kelihatan mengalami gangguan, terutama pada tataran
bagaimana dan siapa yang berproduksi. Hal ini sedikitnya dapat
menjelaskan kenyataan tentang ketimpangan sosial ekonomi
antara penduduk di wilayah daratan dengan kepulauan, atau
secara makro mengapa kontribusi sektor kelautan masih kurang
signifikan dibandingkan dengan sektor-sektor lain dalam
pembentukan PDB. Dalam skala yang lebih luas, isu peruntukan
manfaat ini juga berkaitan dengan faktor-faktor lain seperti daya
saing domestik dan kapasitas sumber daya manusia (SDM) bidang
kelautan yang rendah.
Kalau harus membuat perbandingan, maka barangkali
Indonesia boleh jadi salah satu dari sedikit negara di dunia yang
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 23
sangat beruntung karena warisan kekayaan alamnya yang
berlimpah ruah, di darat maupun di laut. Kita juga patut bersyukur
berkat warisan perjuangan para diplomat ulung Indonesia, maka
konsepsi negara kepulauan Indonesia diakui secara luas di dunia
internasional melalui Konvensi Hukum Laut Internasional
(UNCLOS). Deklarasi UNCLOS III yang mengukuhkan eksistensi
Indonesia sebagai Negara Kepulauan patut disyukuri karena hal
tersebut secara substansial berdampak pada semakin luasnya
klaim wilayah laut yang dimiliki oleh Indonesia. Saat ini, Indonesia
memiliki luas laut sebesar 5,8 Juta km² yang terdiri dari Laut
Territorial dengan luas 0.8 juta km2, Laut Nusantara seluas 2.3
juta km2 dan Zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta km2. Di
samping itu, Indonesia memiliki pulau sebanyak kurang lebih
17.480 pulau dan garis pantai sepanjang 95.181 km. Dengan
keunggulan sebagai negara kepulauan, wajar sekali jika
pembangunan ekonomi yang diharapkan dapat bertumpu pada
sektor kelautan.
Dengan kekayaan laut yang sangat melimpah, ironisnya
pembangunan ekonomi nasional masih belum mampu
memberikan dampak positif yang kuat terhadap kesejahteraan
masyarakat. Gambaran nyata kondisi ini sejalan dengan
pendapat bahwa pengelolaan sektor kelautan belum digarap
dengan penuh perhatian dan kemauan. Ironisme paling kentara
terlihat pada potret sebagian besar nelayan Indonesia yang
masih bergelut dengan kemiskinan, padahal produksi perikanan
terus mengalami peningkatan. Daya saing domestik lemah
menyebabkan kegiatan pengangkutan (transportasi laut) maupun
eksploitasi sumber daya mineral di wilayah perairan nasional
masih lebih banyak dilakukan oleh pihak asing. Kekalahan
dalam kompetisi ekonomi berbasis maritim juga terjadi di
24 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
sektor industri dan jasa kelautan mulai dari hulu (upstream)
maupun hilir (downstream).
Laode (2005) mencatat adanya beberapa faktor yang
melemahkan pembangunan sektor maritim (kelautan) di
Indonesia. Di antaranya, pertama, belum adanya terobosan
kebijakan yang mampu mengikat dan memayungi instrumen
ekonomi maritim, seperti sektor perikanan, pertambangan
dan energi lepas pantai, pariwisata bahari, transportasi laut dan
kepelabuhanan, serta sumber daya manusia di sektor maritim.
Dampaknya, persepsi tentang ekonomi maritim secara
kelembagaan masih sangat parsial sehingga tolok ukur
ekonomi maritim dilihat hanya dari satu organisasi
kementerian saja, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan.
Padahal dari segi tupoksi dan kewenangan, kapabilitas
kementerian ini sangat terbatas untuk mengakomodir urusan
lintas sektoral dan instansi kelembagaan pemerintah lainnya
dalam mengembangkan ekonomi maritim.
Kedua, kebijakan maritim tidak menjadi payung politik bagi
pembangunan ekonomi sehingga kelembagaan yang terlibat
dalam sektor maritim juga akan mengalami disorientasi.
Padahal, kepentingan kolektif maritim perlu diorganisir secara
terpadu. Untuk itu, negara perlu berani menegaskan kebijakan
maritim sebagai platform pembangunan ekonomi.
Ketiga, terjadinya backwash effect secara massive yang
menempatkan sektor maritime, khususnya perikanan sebagai
sektor pengurasan sebagai akibat dari tingkat kebocoran
sektoral (sectoral leakages) yang terjadi sehingga
menyebabkan sektor perikanan menjadi kerdil dan marjinal.
Kebocoran sektoral ini dimaknai dalam dua hal, yaitu: (1)
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 25
hubungan antara pemilik kapal dengan nelayan, yang cenderung
menempatkan pemilik kapal sebagai pihak yang menikmati
benefit lebih banyak dari pada nelayan yang hanya memenuhi
standar hidup minimum kebutuhannya; dan (2) feedback nilai
ekonomi perikanan terhadap perbaikan infrastruktur publik di
komunitas nelayan sulit terjadi.
Keempat, faktor Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) yang diharapkan menjadi saluran membagi kemakmuran
secara adil nampaknya masih sulit diwujudkan karena wajah
APBN yang continental oriented dan selalu menempatkan sektor
maritime, termasuk provinsi berbasis maritim dan pulau-pulau
kecilnya, termarjinalisasi dalam pembagian sarana dan prasarana
pembangunan.
Selain permasalahan tersebut, pengelolaan kemaritiman tidak
diatur secara khusus dalam undang-undang, tetapi termaktub
dalam berbagai peraturan perundangan, misalnya tentang
pelayaran, perikanan, wilayah negara, pertambangan, pariwisata,
kelautan, kepelautan, kepelabuhanan, dan berbagai peraturan
perundangan lainnya yang terkait hukum laut.
Kebijakan kemaritiman yang diharapkan adalah menjawab
beberapa persoalan terkait kepentingan ekonomi sektoral di
bidang maritim, keutuhan dan kedaulatan wilayah negara,
kelestarian sumber daya dan lingkungan, serta penyelesaian konflik
sosial akibat pemanfaatan ruang laut yang sama dengan
kepentingan yang berbeda. Penanganan berbagai persoalan
tersebut memerlukan kebijakan teritorial yang jelas dan tepat.
26 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Tabel 1. Pengaturan/Kewenangan Kemaritiman
No. Bidang Pengaturan/Kewenangan
1. Perhubungan
Laut
UU No. 1/1973 tentang Landas
Kontinen dan UU No. 17/2008 tentang
Pelayaran
2. Industri
Kelautan
UU No. 17/2008 tentang Pelayaran, UU
No. 31/2004 tentang Perikanan
sebagaimana diubah dengan UU No.
45/2009; dan UU No. 5/1984 tentang
Perindustrian
3. Perikanan UU No. 31/2004 tentang Perikanan
sebagaimana diubah dengan UU No.
45/2009 dan UU No. 27/2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil sebagaimana diubah
dengan UU No. 1/2014
4. Wisata bahari UU No. 10/2009 tentang
Kepariwisataan dan UU No. 27/2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil sebagaimana
diubah dengan UU No. 1/2014
5. Energi dan
Sumber Daya
Mineral
UU No. 22/2001 tentang Minyak dan
Gas Bumi dan UU No. 4/2009 tentang
Mineral dan Batubara
6. Bangunan
Laut
UU N0.17/2008 tentang Pelayaran
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 27
7. Jasa Kelautan UU No. 17/2008 tentang Pelayaran dan
UU No. 5/1992 tentang Benda Cagar
Budaya, UU No. 27/2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
pulau Kecil sebagaimana diubah
dengan UU No. 1/2014
8. Bio Teknologi
dan Bio
Farmakologi
Kelautan
UU No. 18/2002 tentang Sistem
Nasional Penelitian, Pengembangan
dan Penerapan IPTEK dan UU No.
27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-pulau Kecil
sebagaimana diubah dengan UU No.
1/2014
9. Pengawasan
dan
Pemanfaatan
Sumber Daya
Alam Hayati
dan
Ekosistemnya
UU No. 2/2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia, UU No. 3
/2002 tentang Pertahanan Negara, UU
No. 34/2004 tentang TNI, UU No.
17/2008 tentang Pelayaran, UU No.
31/2004 tentang Perikanan
sebagaimana diubah dengan UU No.
45/2009
10 Kelautan UU No... /2014 tentang Kelautan
(belum diundangkan)
Sumber : Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2014
Berbagai peraturan perundangan tersebut telah menjadi landasan
kebijakan pembangunan maritim, tetapi bersifat parsial dan
sektoral. Hal ini menyebabkan kewenangan dalam pengelolaan
kemaritiman terbagi dalam beberapa institusi. Berdasarkan
28 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
identifikasi LAN, lebih dari 20 institusi yang terlibat dalam
penanganan kemaritiman.
Tabel 2. Insitusi Kemaritiman
Sumber : Lembaga Administrasi Negara, 2014
Berdasarkan analisis kelembagaan, terlihat bahwa kelembagaan
yang terlibat dalam penanganan kemaritiman masih
terfragmentasi dan belum tercipta sinergitas. Dilihat dari aspek
integrasi kelembagaan, kondisi empiris menunjukkan bahwa
banyak institusi yang telibat, namun tidak berhubungan satu
dengan lainnya sehingga masih bersifat konfliktif. Kalaupun ada,
hubungan di antara institusi tersebut masih terlihat longgar dan
belum terlihat adanya integrasi yang baik.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya, kondisi saat ini masih
terdapat benturan kebijakan yang satu dengan yang lainnya dan
belum ada norma dan kebijakan dari institusi-institusi yang
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 29
terintegrasi. Implikasi dari kebijakan yang sektoral tersebut adalah
institusi-institusi tersebut hanya berpihak pada kepentingan sektor
dan belum memberi dukungan kepada visi nasional (whole of
government).
Janji Presiden dan Wakil Presiden terpilih Joko Widodo-Jusuf Kalla
berencana menjadikan Indonesia sebagai poros maritim dunia
disambut dan diberikan apresiasi baik oleh banyak kalangan.
Sudah saatnya Indonesia memiliki sistem kemaritiman yang kuat
dan tangguh di tengah problematika pengelolaan dan
pemanfaatan laut yang saat ini jauh dari apa yang diharapkan.
Kepemimpinan dengan visi yang kuat kepada pembangunan
berbasis maritim diyakini dapat menjadi jalan keluar untuk
mempercepat kemajuan ekonomi nasional. Hal ini sejalan
dengan realitas yang mendera sektor sumber daya daratan yang
dari waktu ke waktu dapat mengalami penurunan nilai ekonomi.
Fenomena kompetisi yang semakin padat terhadap perburuan
rente ekonomi di daratan cenderung semakin meningkat seiring
dengan adanya pertambahan penduduk. Konflik kepentingan
yang eksesif terhadap penguasaan sumber daya di daratan juga
telah menyebabkan ketidakseimbangan ekologis yang
mengkhawatirkan, yang berujung pada tingginya intensitas
bencana alam di daratan seperti banjir, longsor, kekeringan,
kebakaran hutan, polusi udara dan wabah penyakit. Oleh karena
itu, tersedianya potensi ekonomi laut yang belum digarap dengan
maksimal menjadi tantangan strategis yang harus dijawab.
30 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Arah Penataan Kelembagaan Kemaritiman
Keprihatinan terhadap sektor kelautan nasional
mengharuskan adanya kebijakan strategis untuk mempercepat
pengembangan keunggulan di berbagai sub- sektor kelautan.
Kesadaran terhadap pergeseran paradigma pembangunan yang
berorientasi kontinental (land-based development) menjadi
berorientasi laut (ocean-based development) semestinya dapat
diwujudkan dalam bentuk dukungan kebijakan yang bersifat
komprehensif dan konkrit, sistematis, tidak parsial apalagi
sporadis. Ekonomi kelautan atau berbasis kemaritiman tidak lagi
dijadikan sektor pinggiran, melainkan sebagai arus utama dalam
kebijakan pembangunan. Pola pikir pembangunan yang selama
ini terlalu dominan secara continental nyata-nyata tidak mampu
membawa kesejahteraan. Oleh karena itu, diperlukan
kepemimpinan yang berani untuk mengaktualisasikan
reorientasi semangat kelautan dalam kebijakan-kebijakan
strategis pembangunan. Dengan demikian, kebangkitan ekonomi
maritim tidak lagi menjadi sekedar jargon di setiap pergantian
pemerintahan.
Pembangunan ekonomi maritim dapat dimaknai secara paralel
dengan tinjauan perspektif yang diberikan di atas. Dalam definisi
yang lebih kontekstual, pembangunan ekonomi maritim ingin
menjadikan kekayaan potensi kemaritiman sebagai landasan
untuk mengadakan ketersediaan infrastruktur yang berkualitas,
terutama di sektor kemaritiman sehingga iklim bisnis dan
investasi maritim yang baik akan berkembang. Dengan
sendirinya, pembangunan ekonomi maritim juga akan membawa
industri pada kebutuhan akan sumber daya manusia
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 31
kemaritiman dan inovasi teknologi yang berbasis pada
pendidikan kemaritiman yang unggul dan modern. Jika proses ini
dapat berlangsung, maka pembangunan ekonomi maritim
dipastikan akan dapat membawa masyarakat ke arah
kemakmuran.
Secara normatif, pembangunan ekonomi maritim harus pula
diartikulasikan sebagai pendekatan kebijakan pembangunan
yang di-implementasikan oleh negara secara sistematis dan
komprehensif dengan mendayagunakan seluruh potensi laut
baik dengan kekayaan sumber daya hayati, sumber daya non
hayati, energi kelautan, maupun jasa lingkungan yang dimilikinya.
Menempatkan ekonomi maritim sebagai arus utama dalam
kegiatan ekonomi pembangunan juga mengharuskan
kepemimpinan negara ini berani melakukan terobosan walaupun
boleh jadi membawa tensi perubahan yang drastis, progresif, dan
jika perlu radikal.
Sebagai perbandingan, negara-negara yang berhasil menjadikan
sektor maritimnya sebagai tulang punggung ekonomi nasional
kini justru berhasil menjadi negara yang (mendekati) maju.
Contoh terdekat adalah Singapura, Malaysia, dan banyak
negara Eropa yang unggul dalam memanfaatkan sektor kelautan
sebagai basis perekonomiannya.
Referensi lain tentang pendekatan kebijakan maritim yang
progresif bahkan radikal ditempuh oleh Korea Selatan. Negara ini
diakui sebagai salah satu negara maritim terkuat di Asia hari ini
karena berani melakukan terobosan kebijakan kemaritimannya,
terutama pada tataran kelembagaan yang dianggap sebagai
faktor elementer pembangunan. Dalam Seung-Jun Kwak,. et al
(2004), Korea Selatan sejak tahun 1996 telah melebur berbagai
32 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
fungsi di sektor kemaritiman yang selama ini terpencar di tiga
belas kementerian di bawah satu lembaga kementerian yang
diberi nama Kementerian Urusan Maritim dan Perikanan (the
Korean Ministry of Maritime Affairs and Fisheries (MOMAF).
Hasilnya, sejak tahun 1998, industri maritim Korea telah
menjadi yang terbaik ke-10 di dunia, dengan prestasi terbaik di
dunia dalam hal volume kapasitas pesanan pada industri galangan
kapal, tercatat sebagai yang ke-6 di dunia dalam perdagangan
kargo di laut, dan kapasitas kapal terbesar ke-8 serta produsen
perikanan terbesar ke-11 di dunia.
Paradigma pengelolaan maritim saat ini, paling tidak meliputi
empat aspek penting (business process), yaitu keamanan,
keselamatan, pengusahaan, dan konservasi. Berkaitan dengan hal
tersebut, maka aransemen kelembagaan dalam pengelolaan
maritim seharusnya mengacu pada 4 aspek tersebut (Gambar 1).
Gambar 1. Aransemen Kelembagaan
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 33
Dalam rangka penataan kelembagaan, diusulkan beberapa
alternatif arasemen kelembagaan dalam pengelolaan maritim
adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengoptimalkan kontribusi sumberdaya
kelautan/maritim dan perikanan dalam perekonomian
nasional disarankan memperkuat dan merevitalisasi
kelembagaan Kementerian teknis/lembaga yang sudah ada
:
Revitalisasi fungsi-fungsi terkait pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil, tata ruang dan zonasi pesisir
dan laut, perikanan tangkap, perikanan budidaya,
peningkatan nilai tambah (pengolahan dan pemasaran)
hasil kelautan dan perikan-an dan pengembangan
sumberdaya laut non-konvensional
Merespon kebutuhan nasional yang mendesak, seperti
tingginya biaya logistik dan transportasi laut dan
konektivitas antar pulau, sebagian fungsi terkait
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, tata
ruang dan zonasi pesisir dan laut, perikanan tangkap,
perikanan budidaya, peningkatan nilai tambah (pengolahan
dan pemasaran) hasil kelautan dan perikanan dan
pengembangan sumberdaya laut non-konvensional.
34 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
Gambar 2. Kementerian Teknis
2. Pembangunan kemaritiman harus dikelola secara multi
sektor. Perlu sinergi dan penguatan koordinasi, sehingga
dipandang perlu membentuk Kementerian Koordinator
Bidang Maritim. Adapun tujuan pebentukan Kementerian
Koordinator Bidang Maritim antara lain :
a. Menguatkan kelembagaan maritim untuk
memperkokoh sistem pembangunan berbasis
konsep Negara kepulauan
b. Meningkatkan efektivitas koordinasi kebijakan,
program, dan kegiatan di bidang maritime lintas
sektoral, antar Negara dan dengan lembaga
internasional
c. Mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya laut,
yang meliputi ruang, sumber daya alam, dan jasa
untuk mendorong pertumbuhan ekonomi yang
tinggi, pemerataan dan kesejahteraan rakyat
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 35
d. Memperkuat Indonesia sebagai Negara maritim
dan perannya dalam hubungan internasional
Gambar 3. Kementerian Koordinator
3. Membentuk suatu badan yang langsung dipimpin Presiden,
misalnya merevitalisasi Dewan Kelautan Indonesia (DEKIN)
yang telah ada menjadi Dewan Maritim Nasional yang
langsung dipimpin Presiden yang bertugas menyusun dan
menetapkan kebijakan kemaritiman nasional 25 tahun ke
depan dan peta-jalan pembangunan maritim. Keputusan
Dewan dilaksanakan oleh masing-masing kementerian
teknis. Dewan ini bertugas :
a. Merumuskan visi pembangunan dan kebijakan
jangka panjang dalam pembangunan Maritim dan
Kelautan
36 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
b. Melakukan review dan harmonisasi peraturan
perundangan agar sesuai dengan visi dan kebijakan
c. Melakukan penataan kelembagaan maritim untuk
memastikan terciptanya lembaga pengalolaan
maritim yang solid, efisien, dan efektif
d. Menyelesaikan konflik kepentingan antar pelaku
kemaritiman
e. Keanggotaan dewan terdiri dari Menteri dan
Kepala LPNK yang terlibat dalam pengelolaan
fungsi kemaritiman, dan stakeholders strategis
(pelaku usaha, masyarakat sipil) dan didukung oleh
tanki pemikir kebijakan
Gambar 4. Dewan Maritim Nasional
¤¤¤¤¤¤
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 37
Policy Brief
POKOK-POKOK PEMIKIRAN
DALAM MEWUJUDKAN KEDAULATAN PANGAN
Latar Belakang
Pada masa kampanye Pemilihan Umum Presiden 2014, persoalan
kedaulatan pangan lantang disuarakan oleh kedua calon presiden
yang sedang bersaing. Sampai hari ini tidak ada satupun yang bisa
menyangkal komitmen presiden terpilih dalam soal kedaulatan
pangan. Isu mengenai pangan yang mencakup sektor-sektor
pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan menjadi jargon
politik yang mereka suarakan untuk menarik perhatian rakyat.
Kedaulatan Pangan juga mempunyai tantangan dan persoalan
penyediaan pangan masa depan yang harus menjadi perhatian
pokok di tengah impor pangan yang tak terkontrol. Pada titik ini,
isu kedaulatan pangan telah menjadi kebenaran publik yang
mampu masuk dan terserap dalam pemikiran dan agenda elite
politik.
Soal pangan adalah soal politik karena menyangkut urusan asasi
dari manusia untuk bisa hidup dan bekerja. Ketidakmampuan
sebuah rezim dalam mengelola urusan pangan rakyatnya,
berpotensi menjadi sumber instabilitas nasional. Oleh karena itu,
memberikan perhatian yang lebih besar pada persoalan pangan
38 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
bukan saja dapat mendorong kesejahteraan rakyat, tetapi juga
memastikan salah satu faktor instabilitas itu tidak berkembang.
Atas dasar itulah, isu pangan layak dijadikan sebagai isu strategis
lintas kelembagaan, lintas instansi negara dan kementerian.
Maksud dari isu strategis lintas kelembagaan adalah bahwa sebagai
sebuah gagasan, diskursus tentang kedaulatan pangan harus
bersifat hegemonik. Dalam artian gagasan tersebut harus bisa
mengatasi problem-problem struktural yang biasa dihadapi dalam
sistem birokrasi modern dan juga struktur sosial masyarakat.
Sebuah cara, dengan mana gagasan bisa dimaknai dan dimengerti
oleh berbagai pihak, lintas kepentingan, lintas kelas sosial, lintas
identitas. Dengan dipahaminya gagasan tersebut, harapannya akan
muncul suasana batin kolektif yang dapat memicu munculnya
sebuah tindakan nyata untuk menyelesaikan sebuah persoalan.
Pada titik inilah, gagasan kedaulatan pangan mesti dapat
diletakkan agar tidak hanya menjadi jargon semata. Persoalannya,
bagaimana dapat memastikan bahwa presiden yang baru, dapat
meletakkan gagasan tentang kedaulatan pangan jadi arus utama
atau jadi hegemonik. Dalam konteks tersebut, yang jauh lebih
esensial adalah sejauhmana gagasan tentang kedaulatan pangan
menjadi kesadaran setiap pihak yang memiliki wewenang dan
kapasitas untuk menangani kebijakan tersebut. Singkatnya, jika
presiden benar-benar ingin menciptakan kedaulatan pangan, maka
harus dipastikan terlebih dahulu agar yang terlibat dalam
menjalankan agenda kekuasaan, mengerti dan memahami apa
yang dimaksud dengan kedaulatan pangan tersebut.
Selanjutnya, Presiden juga harus memastikan bahwa setiap
lembaga atau kementerian yang nantinya berhubungan dengan
persoalan kedaulatan pangan, baik yang langsung ataupun tidak
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 39
langsung memiliki strategi yang terintegrasi untuk bersama-sama
mencapai target-target yang telah ditentukan. Presiden baru harus
menjadi dirigen yang andal dalam menciptakan kedaulatan
pangan. Karena persoalan pangan itu sendiri bersifat lintas
klasifikasi sosial di dalam masyarakat, maka upaya untuk
menyelesaikan permasalahannya juga semestinya lintas sektoral.
Pada titik ini, selain orang-orang yang berintegritas, Presiden juga
harus memastikan bahwa struktur kementerian teknis yang secara
langsung berhubungan dengan persoalan pangan dan pertanian
dalam arti luas, seperti pertanian, perkebunan, peternakan,
perikanan dan kelautan, mesti dikoordinir oleh orang yang juga
memahami dan mengerti aspek-aspek strategis dalam mencapai
agenda kedaulatan pangan.
Selain itu, instansi dan lembaga lain yang tidak secara langsung
berkaitan dengan persoalan pangan dan pertanian, tetapi kerap
menjadi kunci dalam memajukan sektor pertanian juga mesti
didukung oleh orang-orang yang paham tentang kedaulatan
pangan itu sendiri. Sebut saja Kementerian Pekerjaan Umum,
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil, Kementerian BUMN,
Kementerian Lingkungan Hidup, Kementerian Perhubungan,
Kementerian Perdagangan, Bank Indonesia, BPN, BULOG, BPS dan
instansi lainnya, harus dipastikan memahami jargon-jargon politik
presiden tentang kedaulatan pangan pada saat pemilu kemarin.
Meskipun mereka tidak secara langsung bersentuhan dengan
persoalan pangan dan pertanian, tetapi gugus tugas mereka
menentukan keberhasilan pencapaian agenda kedaulatan pangan
itu sendiri. Hanya dengan jalan itu, upaya pencapaian kedaulatan
pangan mendapat dukungan yang optimal dari semua instansi
pemerintah. Di sisi lain, posisi organisasi-organisasi masyarakat
yang selama ini telah konsisten dalam mendorong agenda
40 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
kedaulatan pangan menjadi semakin penting di era pemerintahan
baru nanti. Selain menjadi mitra strategis, mereka juga bisa
menjadi kelompok penekan untuk memastikan bahwa kedaulatan
pangan adalah harga mati yang harus diperjuangkan secara
konsisten oleh presiden baru. Setiap kementerian dan lembaga
mesti didorong untuk terlibat secara optimal dalam mendukung
agenda tersebut.
Terdapat tujuh prasyarat utama untuk menegakkan kedaulatan
pangan menurut Serikat Petani Indonesia, antara lain adalah:
1) Pembaruan Agraria
2) Adanya hak akses rakyat terhadap pangan
3) Penggunaan sumber daya alam secara berkelanjutan
4) Pangan untuk pangan dan tidak sekadar komoditas yang
diperdagangkan
5) Pembatasan penguasaan pangan oleh korporasi
6) Melarang penggunaan pangan sebagai senjata
Pada prinsipnya kedaulatan pangan adalah kemandirian petani
untuk memenuhi kebutuhan pangan (nasional), tanpa ada campur
tangan pemenuhan pangan dari pihak luar negeri. Pentingnya
peningkatan produksi rakyat dan persaingannya di tingkat dunia
mendorong rakyat untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas
produksi pertanian termasuk kedaulatan pangan demi pemenuhan
kebutuhan dalam negeri sendiri. Untuk mewujudkan hal tersebut
perlu dukungan dari berbagai pihak, diantaranya :
1. Kebijakan Pemerintah di bidang pendayagunaan dan
kepemilikan tanah yang lebih pro petani.
2. Kebijakan pendampingan bagi petani supaya dapat
mendayagunakan hasil pertanian lebih inovatif, efektif, efisien.
3. Penyediaan tempat bagi pemasaran hasil pertanian.
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 41
4. Kebijakan subsidi pupuk, benih, dan akses untuk mendapat
kredit serta penyediaan pupuk dan benih tersebut di lokasi
pertanian.
5. Kebijakan ini harus disosialisasikan dan didukung berbagai
elemen pemerintah dan masyarakat supaya hasilnya bagus dan
maksimal.
Prinsip Kedaulatan Pangan :
1. Fokus pada orang dan Hak atas Pangan, dari pada komoditas
ekspor.
2. Menghormati hak petani dan melindunginya, bukan membuat
miskin dan mengusir dari lahan pertaniannya.
3. Sistem pangan berbasis lokal, bukan mempromosikan
perdagangan global yang tidak fair.
4. Dikuasai oleh petani lokal, bukan perusahaan agribisnis
multinasional dari negara lain.
5. Membangun dan melestarikan pengetahuan dan ketrampilan
lokal, bukan teknologi industrial kapitalistik seperti GMOs.
6. Bekerja dengan metabolisme alam, bukan menggunakan
metode yang merusak fungsi berharga ekosistem (seperti
energy intensive monocultures and livestock factories)
Data dan isu tentang permasalahan dalam kedaulatan pangan :
1. Kedaulatan pangan merupakan visi, cita-cita, dan harapan yang
sarat dengan nilai luhur, budaya, kehormatan, merupakan
sebuah kelembagaan yang seharusnya mempengaruhi,
membentuk sikap dan perilaku orang untuk mencapai visi
tersebut.
2. Jika kedaulatan pangan belum menjadi visi, cita-cita atau
harapan kebanyakan orang maka upaya mencapai kedaulatan
42 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
pangan akan terasa sangat berat; sekalipun sudah ada
Kementerian Kedaulatan Pangan (pada kenyataannya, tidak
ada kementerian khusus menangani kedaulatan pangan pada
Kabinet Kerja), tetapi tetap menjadi urusan Kementerian
Pertanian.
3. Apalah arti sebuah wadah bernama “kedaulatan pangan” jika
orang yang menahkodai dan para aktor yang memainkan peran
dalam wadah tersebut tidak mengerti, tidak memahami, dan
tidak memiliki cita-cita untuk mewujudkan kedaulatan pangan.
4. Value “kedaulatan pangan” tidak akan mewarnai dan
mempengaruhi tindakan para aktor tersebut.
5. Bahkan, bisa jadi kedaulatan pangan disalahmaknai sehingga
menjauh dari value kedaulatan pangan itu sendiri.
Berdasarkan pernyataan tersebut perlu kita perhatikan lebih lanjut,
ternyata harapan rakyat akan adanya perhatian lebih kepada petani
khususnya untuk mendukung kesuksesan program kedaulatan
pangan sangat diharapkan, ada Kementerian Khusus yang
menangani hal ini. Namun demikian, ternyata dalam Kabinet baru
tidak ada Kementerian Kedaulatan Pangan, melainkan tugas dan
fungsinya melekat pada Kementerian Pertanian Dirjen di
Kementerian Pertanian yang mengurusi Kedaulatan Pangan turut
diharapkan punya peran untuk mendukung program ini.
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 43
Mekanisme membangun kedaulatan pangan
Sehubungan dengan kondisi yang ada dan rencana ke depan
supaya perhatian mengarah pada Kedaulatan Pangan, maka
beberapa hal yang direkomendasikan antara lain:
1. Pemanfaatan lahan pertanian semaksimal mungkin untuk
penyediaan pangan dalam negeri dengan tidak
mengalihfungsikan lahan untuk keperluan di luar pertanian.
2. Penggalakan konsumsi makanan lokal kepada masyarakat
sehingga makanan lokal menjadi tuan rumah di negara sendiri.
3. Memberi arahan ke petani agar melakukan intensifikasi dan
diversifikasi pertanian dengan melakukan pendampingan (oleh
penyuluh pertanian di masing-masing Desa binaan) kepada
petani supaya memanfaatkan teknologi sehingga hasil
pertanian lebih bagus, baik dari segi kualitas maupun kuantitas.
4. Pemerintah perlu mengeluarkan kebijakan pembatasan impor
bahan pangan/hortikultura, serta memaksimalkan hasil
pertanian sendiri. Contohnya, buah lokal dipromosikan serta
ditingkatkan kualitasnya dan mengurangi import buah.
5. Pemerintah harus membuat aturan serta dikawal pihak yang
berwenang untuk membuat kebijakan yang pro petani dalam
hal kepemilikan dan pendayagunaan lahan untuk pertanian.
6. Perlu diperhatikan juga peningkatan kualitas dan kuantitas
pasar tradisional sebagai tempat terdekat dengan rakyat dalam
melakukan proses jual beli sehingga akses untuk mendapatkan
bahan makanan (lokal) yang dibutuhkan lebih mudah.
7. Manajemen pasar tradisional perlu ditingkatkan.
8. Kemasan bahan makanan yang dipasarkan dibuat menarik
sehingga membuat rakyat tertarik untuk membeli.
44 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
9. Penguatan koordinasi antara Pemerintah Pusat dan Daerah
(provinsi, kabupaten/kota) dan koordinasi antar instansi yang
terlibat secara langsung ataupun tidak dalam kedaulatan
pangan
10. Peraturan yang dibuat pemerintah (Pusat, Daerah) tentang
kedaulatan pangan, baik yang sudah dibuat maupun belum,
sebisa mungkin tetap dilakukan koordinasi:
- Kebijakan yang sudah terlanjur dibuat bisa dilakukan
koordinasi antar Instansi sehingga yang bertentangan bisa
dikomunikasikan lagi sehingga hasilnya sama-sama
mendukung program peningkatan kualitas dan kuantitas
kedaulatan rakyat
- Kebijakan Pusat serta Daerah (provinsi, kabupaten/kota)
yang bertentangan perlu dikoordinasikan lagi sehingga
saling menguatkan demi kesuksesan program kedaulatan
pangan dan menghindari tumpang tindih peran masing-
masing pihak
¤¤¤¤¤¤
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 45
DAFTAR PUSTAKA
I. Isu Aktual : Pemerintah Daerah
1. UU No. 32 Tahu 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
2. Naskah dari Narasumber pada kegiatan Seminar Nasional:
Satu Dekade implementasi UU No. 32 Tahun 2004
Tentang Pemerintahan Daerah.
a. Gamawan Fauzi ( Menteri Dalam Negeri )
“ Implementasi Kebijakan Desentralisasi dan
Otonomi Daerah di Indonesia “
b. Prof. Dr. Irfan Ridwan maksum M.Si (Dosen
Universitas Indonesia)
“Perkembangan Penyelenggaraan Pemerintah
Daerah di Indonesia”.
c. Drs. Agun Gunanjar Sudarsa (Ketua Komisi II DPR RI)
“Membangun Inndonesia Sejahtera”
d. Dr. Eko Prasetyanto, PP, M.Si, MA (Kementrian
Dalam Negeri)
“Implementasi Undang-undang No. 6 Tahun 2014
tentang Desa dan Implikasinya bagi Penyelenggaraan
pemerintahan Daerah”.
e. Pof. (Ris) Ikrar Nusa Bhakti Ph.D (Lembaga Ilmu
Pengetahun Indonesia)
“Korupsi dan Politik Kekerabatan di Daerah”
f. Prof. Dr. Agus Dwiyanto, MPS (Kepala Lembaga
Adminstrasi Negara)
“:ASN, Netralisasi Birokrasi, dan Otonomi Daerah”
46 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
II. Isu Aktual : Prospek Implementasi UU No. 6 Tahun 2014
entang Desa
1. UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa
2. Naskah dari Narasumber pada kegiatan Focus Group
Discussion Prospek implementai UU No. 6 Tahun 2014
Tentang Desa :
a. Dr. Eko Prasetyanto, PP, M.Si, MA (Kemnetrian
Dalam Negeri)
“Permaslahan dan Tantangan Aparatur dan
Masyarakat Desa dalam Implementasi Undan-
undang Desa”
b. Dr. Hanid Nurcholis, M.Si (Universitas Terbuka)
“Pemernintahan Desa : Unit Pemerintahan Palsu
Dalam Sistem Adminsitrasi NKRI”
c. Robert Endi Jaweng, M.Si (KPPOD)
“Keuangan Desa dalam UU No. 6 Tahun 2014 –
Beberapa Isu Krusial dan Masukan”
III. Isu Aktual : Pemilihan Kepala Daerah
1. Naskah dari Narasumber pada Kegiatan Focus Group
Discussion : “Mencari Jalan Tengah Pemilihan Kepala
Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”,
Yogyakarta, 29 Oktober 2014.
a. Prof. Dr. Purwo Santoso (Dosen Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Univesitas Gajah Mada/Fisipol UGM)
“Memperdalam Demokrasi Melalui Reformulasi
Skema Pemilihan Kepala Daerah”
b. Ari Sujito, M.Si (Dosen Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Univesitas Gajah Mada/Fisipol UGM)
“Parpol dan Pemilu dalam Sistem Demokrasi”
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 47
2. Naskah dari Narasumber pada kegiatan Focus Group
Discussion : Mencari Desain Alternatif Pemilihan Kepala
Daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)”,
Surabaya, 29 November 2014 :
a. Prof. Ramlan Surbakti (Dosen Universitas Airlangga)
b. Drs. Haryadi, M.Si (Dosen Universita Airlangga)
“Desain Pilkada dalam konteks NKRI”
IV. Isu Aktual : Aransemen Kelembagaan Dalam Mewujudkan
Kedaulatan Pangan
1. Undang-undang Pokok Agraria (UUPA), Pasal 3 ayat (1)
dan Pasal 3d PP No. 224 /1961 jo. PP No. 41/1964
2. Bahan dari internet :
a. Kompas.com, Desember 2014, berita : Kunjungan
Wakil Presiden Jusuf Kalla ke Pabrik Gula (PG)
Subang milik PT PG Rajawali, anakusaha PT RNI
Persero di kecamatan Purwodadi, kabupaten Subang
b. Neraca, jumat, 31 Oktober 2014, berita : Regulasi
Sektor Peretanian Masih Belum Sinergis,
Produktivitas Petani Terhambat
c. Vivanews, September 2013, berita : Kepala Bdan
Pusat Statistik (BPS). Suryamin , Sabtu 7 September
2013 , menyampaikan bahwa dalam satu daekade
terakhir jumlah rumha tangga petani turun hingga 5
juta orang. “Jumlah rumah tangga petani turun
sebesar 5,05 juta orang, yaitu dari 31,17 juta orang
pada 2003 menjadi 26,13 juta orang pada 2013. Rata-
rata penurunannya sebesar 1,75 persen per tahun,”
ujar Suryamin di Bogor, Jawa Barat.
48 Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah
3. Naskah dari Narasumber pada kegiatan Focus Group
Discussion (FGD) Hari/tanggal : Rabu/1 Oktober 2014 yang
diselengarakan oleh Lembaga Administrasi Negara (Pusat
Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah) bertempat di
hotel Sahira Bogor :
a. Aceng Hidayat (Dept. Ekonomi Sumberdaya dan
Lingkungan IPB)
“Kelembagaan Kedaulatan Pangan”
b. Tejo Pramono (Serikat Petani Indonesia)
“Transformasi Kelembagaan dalam Melaksanakan
Kedaulatan Pangan”
V. Isu Aktual : Potennsi, Permasalahan, dan Tantangan
Kemaritiman Indonseia
1. Naskah dari Narasumber pada kegiatan Focus Group
Discussion (FGD), Hari/tanggal : Rabu/ 1 Oktober 2014
yang diselenggarakan oleh Lembaga Administrasi Negara
(Pusat Kajian Desentralisasi dan Otonomi Daerah)
bertempat di Hotel Sahira, Bogor :
a. Ir. Saut P. Hutagalung, M.Sc (Direktur jenderah
Penngolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan
Kementrian Kelautan dan Perikanan)
“Potensi, Permasalahan, dan Tantangan
Kemaritiman”
b. Prof. Dr. Indra Jaya (Dosen Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan IPB)
Potensi
Telaahan Isu-Isu Strategis Bidang Desentralisasi dan Otonomi Daerah 49
2. Naskah dari Narasumber pada kegiatan Dialog Maritim di
Jakarta, September 2014 :
a. Radial Huda (Praktisi Maritim) “Penguatan Sektor
Maritime”
b. Sri Hadiati WK (Lembaga Administrasi Negara) “Arah
dan Startegi Kelembagaan Maritim”
3. Naskah dari Narasumber pada kegiatan yang diadakandi
Universitas Nasional (Unas) , 9 Oktober 2014 :
a. Agus Dwiyanto (Lembaga Administrasi Negara)
“Mengembangkan Kelembagaan Kementrian
Maritim yang Solid, Efisien dan Efektif”
b. Naskah dari Laksamana TNI Dr. Marsetio (Kepala Staf
Angkatan Laut), “Membangun Kedaulatan Maritim
Nusantara”