teori pasut
DESCRIPTION
teoriTRANSCRIPT
TEORI PASANG SURUT
Pengertian Pasang Surut
Pasang surut merupakan gerakan naik turunnya muka air laut secara periodik
yang diakibatkan oleh gaya tarik antara benda langit dan pergerakan
benda-benda langit tersebut. Pergerakan yang dimaksud disini, antara lain : rotasi
bumi, pergerakan bulan mengelilingi bumi dan pergerakan bulan-bumi
mengelilingi matahari, masing-masing pada orbitnya. Periode perputaran bumi
pada porosnya (rotasi bumi) adalah 24 jam sedangkan periode pergerakan bulan
mengelilingi bumi adalah 29,5 hari dan periode pergerakan bulan-bumi
mengelilingi matahari adalah 365,24 hari.
Gambar 1 Faktor-faktor astronomis penyebab pasang surut air laut
Selain matahari, bumi dan bulan, didalam sistem tata surya terdapat begitu
banyak benda langit lainnya yang tidak disebutkan disini oleh karena
pengaruhnya terhadap pasang surut di bumi relatif kecil jika dibandingkan
dengan pengaruh bulan dan matahari. Hal ini dapat diterima dengan
pemahamaan tentang hukum Newton. Menurut hukum Newton, besarnya gaya
tarik menarik antara dua buah benda berbanding lurus dengan hasil kali massa
kedua benda tersebut dan berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya.
Secara matematik, hubungan tersebut dapat dinyatakan dengan persamaan :
II- 1
F = G
dimana :
G = konstanta universal {(6,675 ± 0,003) . 10-8} [gr- 1cm3s-2]
m1 = massa benda pertama [gr- 1]
m2 = massa benda kedua [gr- 1]
r = jarak antara benda pertama dan kedua [cm1]
F = gaya tarik menarik antara dua benda [gr1cm1s-2]
Dari pernyataan tersebut jelas bahwa makin besar massa benda makin besar gaya
tariknya dan sebaliknya, makin jauh jarak benda makin kecil gaya tariknya.
Sehubungan dengan sifat zat cair yang mudah berubah bentuk, maka pengaruh
gaya tarik antara bumi-bulan dan bumi-matahari mengakibatkan terjadinya
pergerakan naik turun pada permukaan air di bumi yang dikenal sebagai gerakan
pasang surut.
Pada Gambar 1 diperlihatkan lintasan pergerakan bumi-bulan terhadap
matahari dan lintasan pergerakan bulan terhadap bumi. Dari gambar tersebut
jelas bahwa jarak antara bumi dengan bulan dan bumi dengan matahari, berubah
secara periodik, sehingga gaya tarik bumi-bulan dan bumi-matahari juga berubah
secara periodik.
Akibat dari perubahan gaya tarik tersebut adalah perubahan elevasi pasang
surut secara periodik. Pada saat yang sama, akan terjadi arus pasang surut yaitu
pergerakan air dari lokasi dimana pengaruh gaya tarik lebih kecil ke lokasi yang
pengaruh gaya tariknya lebih besar oleh karena massa air yang ada di bumi
konstan.
II- 2
Jenis Pasang Surut
Pengaruh gravitasi bulan dan matahari terhadap bumi dan terhadap pasang surut
di bumi bergantung kepada posisi geografisnya. Pasang surut yang terjadi di
suatu lokasi/tempat memiliki amplitudo dan frekuensi yang berbeda-beda.
Gambar 2 Pasang Purnama
Gambar 2 memperlihatkan posisi bulan, bumi dan matahari membentuk sudut
180° atau segaris lurus yang akan menyebabkan pasang surut tinggi dikarenakan
gaya tarik terkonsentrasi ke satu arah. Kondisi ini dikenal dengan bulan baru atau
bulan purnama dan pasang surutnya disebut spring tide (pasang surut tinggi).
Gambar 3 Pasang perbani
Gambar 3 memperlihatkan posisi bulan, bumi dan matahari membentuk sudut
90°, yang akan menyebabkan pasang surut rendah dikarenakan gaya tarik
terpecah ke dua arah tegak lurus. Kondisi ini dikenal dengan posisi bulan mati
dan pasang surutnya disebut neap tide (pasang surut rendah). Posisi bulan tegak
II- 3
lurus poros bumi-matahari akan terulang lagi selang waktu 14 hari atau 1/2
peredaran bulan mengelilingi bumi.
Tipe Pasang Surut
Umumnya periode pasang surut adalah sekitar 12 jam atau dalam satu hari terjadi
dua kali air pasang dan dua kali air surut. Pada beberapa tempat pasang surut
mempunyai periode ulang sekitar 24 jam atau air pasang dan air surut terjadi
hanya satu kali dalam sehari, sehingga dapat dikatakan bahwa pasang surut
adalah suatu gelombang panjang yang mempunyai periode kurang lebih 12 jam
atau 24 jam. Pasang surut menimbulkan gerakan horisontal air laut yang disebut
arus pasang surut.
Pada kenyataannya bentuk pasang surut di setiap tempat di bumi tidak selalu
sama. Hal ini dikarenakan oleh besarnya gaya tarik bulan dan matahari tidak
sama untuk setiap lokasi/tempat yang ada di permukaan bumi. Bentuk pasang
surut yang berbeda-beda ini dinamakan tipe pasang surut. Tipe pasang surut yang
dimaksud dibagi ke dalam tiga golongan, yaitu :
a. Pasang surut setengah harian
Pasang surut setengah harian berarti setiap setengah hari (12 jam) di suatu
tempat tertentu terjadi satu kali air pasang dan satu kali air surut. Dalam satu
hari akan terjadi dua kali pasang dan dua kali surut, disebut juga pasang surut
semi diurnal. Apabila pasang surut ini disebabkan oleh gaya tarik bulan,
maka disebut lunar semi diurnal dan apabila disebabkan gaya tarik matahari
disebut solar semi diurnal.
b. Pasang surut harian
Pasang surut harian terjadi apabila dalam sehari (24 jam) hanya terjadi
satu kali air pasang dan satu kali air surut dan biasanya disebut juga
sebagai pasang surut diurnal.
II- 4
c. Pasang surut campuran
Pasang surut campuran terjadi apabila dalam sehari (24 jam) terjadi air
pasang dan air surut yang tidak beraturan.
Pasang surut campuran ini terbagi menjadi dua, yaitu :
· Pasang surut campuran condong ke setengah harian atau disebut dengan
mixed semi diurnal tide.
· Pasang surut campuran condong ke harian atau disebut dengan mixed
diurnal tide.
Beberapa Definisi Elevasi Muka Air
Akibat adanya pasang surut, maka permukaan air laut selalu berubah setiap saat
seirama dengan pergerakan pasang surut. Oleh karena itu diperlukan suatu
elevasi permukaan laut tertentu yang dapat dipergunakan sebagai referensi.
Sampai saat ini ada berbagai macam permukaan laut yang dapat dipakai sebagai
referensi, diantaranya :
· Mean Highest High Water Level (MHHWL), tinggi rata-rata dari air tinggi
yang terjadi pada saat pasang surut bulan purnama atau bulan mati (spring
tide).
· Mean Lowest Low Water Level (MLLWL), tinggi rata-rata dari air rendah yang
terjadi pada saat pasang surut bulan purnama atau bulan mati (spring tide).
· Mean High Water Level (MHWL), tinggi rata-rata dari air tinggi selama
periode 18,6 tahun.
· Mean Low Water Level (MLWL), tinggi rata-rata dari air rendah selama
periode 18,6 tahun.
II- 5
Gambar 4 Beberapa definisi permukaan air laut
· Mean Sea Level (MSL), tinggi rata-rata dari muka air laut pada setiap tahap
pasang surut selama periode 18,6 tahun, biasanya ditentukan dari pembacaan
jam jaman.
· High Water Level (HWL), elevasi maksimum yang dicapai oleh tiap air
pasang.
· Highest High Water Level (HHWL), air tertinggi pada saat pasang surut bulan
purnama atau bulan mati (spring tide).
· Low Water Level (LWL), elevasi minimum yang dicapai oleh tiap air surut.
· Lowest Low Water Level (LLWL), air terendah pada saat pasang surut bulan
purnama atau bulan mati (spring tide).
Zona Lahan Rawa Pasang Surut
Berdasarkan sampainya air pasang surut di musim hujan dan pengaruh air laut di
musim kemarau, lahan rawa dibedakan menjadi tiga zone (lihat Gambar 5),
yaitu :
· Zone I : Rawa pasang surut payau atau salin.
II- 6
· Zone II : Rawa pasang surut air tawar.
· Zone III : Rawa non pasang surut.
Ketiga zone ini kira-kira sepadan dengan pembagian zone dari Sandy dan Nad
Darga (1979) yang membedakan lahan rawa berdasarkan kekuatan arus air
sungai dan air pasang, yaitu :
· Zona A : dimana kekuatan arus air pasang lebih dominan dari air
· Zona B : dimana terjadi keseimbangan kedua arus.
· Zona C : dimana kekuatan arus air sungai lebih dominan dari air
Gambar 5 Penetapan Zona Lahan rawa pasang surut berdasarkan
pengaruh fluktuasi air laut
Konsep Pengembangan Lahan Rawa Pasang Surut
Pengembangan lahan rawa adalah mengubah keadaan rawa sedemikian rupa
sehingga tercipta media yang cocok untuk pertumbuhan tanaman dan permukiman.
Konsep pengembangan lahan rawa pasang surut adalah upaya untuk menghindari
lahan yang tergenang ataupun kekeringan secara terus menerus atau dalam suatu
periode yang cukup lama. Hal ini mengingat karakteristik sumber daya tanah di
lahan rawa pasang surut yang pada umumnya terdiri dari tanah pirit atau/dan
tanah gambut. Jadi pada dasarnya sistem pengelolaan air harus ditunjang oleh
kapasitas pencucian atau penggelontoran lahan yang memadai. Akumulasi bahan
II- 7
beracun bagi tanaman harus dihindari secara maksimal. Disamping itu pada saat
musim kemarau, sistem harus mampu melaksanakan retensi air untuk memenuhi
kebutuhan air bagi tanaman.
Kesesuaian Lahan Rawa Pasang Surut
Faktor Penentu Kesesuaian Lahan
Kesesuaian lahan adalah kondisi tingkat kecocokan lahan untuk penggunaan
tertentu dalam budidaya pertanian.
Kesesuaian lahan rawa pasang surut ditentukan oleh beberapa faktor yaitu
sebagai berikut :
Hidrotopografi
Hidrotopografi perbedaan antara ketinggian lahan terhadap ketinggian muka air
di saluran/sungai pada saat pasang. Perbedaan elevasi ini akan menentukan
kemungkinan lahan dapat terluapi/digenangi dan potensinya untuk
pengembangan persawahan Ketika pertama kali konsep hidrotopografi
diperkenalkan, rencana awalnya adalah untuk mengevaluasi kemungkinan irigasi
pada masa pasang tinggi dimana air akan mengalir secara teratur ke lahan, dan
pada masa surut air akan didrain ke sungai. Fluktuasi pasang surut dari muka air
sungai menjadi berkurang akibat gesekan yang mungkin terjadi di sistem dan
adanya pengoperasian bangunan pengendali.
Kondisi hidrotopografi tergantung dari beberapa faktor sebagai berikut :
a. Elevasi muka air pasang, tergantung dari karakteristik pasang surut yang ada
di muara sungai dan pada aliran sepanjang sungai.
b. Peredaman atau pengaruh dari pasang surut karena karakteristik hidrolik tata
saluran, geometrik dan efek penampungan.
c. Perubahan elevasi lahan (perubahan secara berangsur) dan topografi
(berkurang atau hilangnya lapisan gambut, oksidasi pirit).
Hidrotopografi tidak selalu seragam dan konstan menurut waktu dan ruang.
II- 8
Bagaimanapun kondisi hidrotopografi menimbulkan masalah bagi petani dalam
pengelolaan pertanian dan tata air di lahan rawa pasang surut.
Berdasarkan hidrotopografinya lahan rawa pasang surut dibedakan menjadi 4
(empat) kategori :
1. Kategori A : Lahan yang selalu terluapi > 4 – 5 kali persiklus pasang
tinggi pada musim hujan dan musim kemarau.
2. Kategori B : Lahan yang selalu terluapi > 4 – 5 kali persiklus pasang
tinggi hanya pada musim hujan saja.
3. Kategori C : Lahan yang tidak terluapi > 4 – 5 kali persiklus pasang
tinggi. Muka air pasang 0,30 – 0,60 m di bawah permukaan
tanah (zone perakaran tanaman padi dan palawija).
4. Kategori D : Lahan yang tidak pernah terluapi walaupun oleh pasang
tinggi. Pengaruh pasang surut relatif kecil, muka air pasang
> 0,60 m di bawah permukaan tanah.
Sumber : Technical Guidelines on Swamp Land Development.
II- 9
Gambar 6 Klasifikasi hidrotopografi
Kedalaman Irigasi Pasang Surut
Berdasarkan kondisi topografi dan hidrolik dari sistem tata air serta penjabaran
lebih lanjut dari kondisi hidrotopografi, kedalaman irigasi pasang surut dapat
dibagi menjadi 3 kelas seperti dapat dilihat pada Tabel 1 berikut ini :
Tabel 1 Klasifikasi Kedalaman irigasi pasang surut (Suryadi, 1995)
Kelas Kriteria
1 Kedalaman irigasi pasang surut lebih dari 0,25 m pada musim hujan maupun musim kemarau
2 Kedalaman irigasi pasang surut antara 0,00 – 0,25 m pada musim hujan maupun musim kemarau
3 Tidak teririgasi pasang surut
Kemampuan Drainase Lahan
Dalam mengevaluasi kesesuaian lahan rawa pasang surut selain irigasi pasang
surut, kemampuan drainase lahan juga merupakan parameter yang sangat
penting. Kemampuan drainase atau drainabilitas mengacu pada tinggi muka air
rata-rata pada saluran-saluran yang membatasi lahan dan penting bagi proses
pencucian tanah. Kondisi kemampuan drainase berperan penting dalam
menetapkan areal pertanian dan penerapan pengelolaan air yang dapat dilakukan
oleh petani.
Berdasarkan kondisi topografi serta muka air rata-rata pada saluran terbuka yang
terdekat serta kemungkinan drainase dari lahan rawa pasang surut, maka dapat
dibagi 5 kelas drainabilitas yang berbeda untuk lahan rawa pasang surut seperti
tampak pada Tabel 2.
II- 10
Tabel 2 Klasifikasi kemampuan drainase lahan (Suryadi, 1995)
Kelas Kemampuan Drainase Lahan
1 Muka air rata-rata diatas permukaan tanah2 Terletak 0,00 – 0,20 m dibawah permukaan tanah3 Terletak 0,20 – 0,40 m dibawah permukaan tanah4 Terletak 0,40 – 0,60 m dibawah permukaan tanah5 Terletak lebih rendah dari 0,6 m dibawah permukaan tanah
Kedalaman Lapisan Pirit (Sulfidik)
Pirit (sulfidik) atau dikenal juga dengan ”acid sulphate soil” adalah lempung di
daerah rawa yang mengandung sulfur, biasanya berbentuk senyawa sulfida atau
pirit (FeS2). Pirit terbentuk dari reduksi sulfat (terutama berasal dari air
laut/payau) oleh bakteri Desulfovibrio sp. dan Desulfomaculum sp. dalam
suasana anaerob. Dalam kondisi tereduksi (anaerob), pirit biasanya stabil dan
tidak membahayakan tanaman. Namun jika teroksidasi (didrainasi), pirit akan
bereaksi melepas ion besi ferro, ferro/ferri oksida, senyawa sulfat larut air (SO4-
2), dan ion H+ yang sangat memasamkan tanah. Pada keadaan aerasi/kering
kemasaman tersebut mengakibatkan meningkatnya kelarutan Al3+ yang bersifat
toksit bagi tanaman.
Jika lahan didrainasi, pirit dapat beroksidasi dan menghasilkan SO4 -2, oksida
ferri, serta asam (menjadi lahan sulfat-masam) melalui reaksi :
FeS2 + 2¾O2 + 3½H2O Fe(OH)3 + 2 SO4-2 + 4 H+.................... (1)
Namun, pada berbagai keadaan dimana terdapat K+ atau Na+ di dalam tanah,
maka oksidasi pirit akan membentuk jarosit atau natrojarosit yang berwarna
kekuning-kuningan.
FeS2 + 3¾ O2 + 2½ H2O + 1/3 K 1/3 KFe3(SO4)2(OH)6 + 11/3 SO4-2 + 3 H+
..............................................................................................................................(2)
Lama kelamaan jarosit juga terhidrolisis membentuk oksida ferri dan kemasaman
II- 11
tambahan akan dilepaskan :
KFe3(SO4)2(OH)6 + 2 H2O K+ + 2 SO4-2 + 3 Fe(OH)3 + 2 H– ...........(3)
Berdasarkan reaksi (1) atau (2) dan (3) dihasilkan H+ dan SO4-2
. Ion H+
menyebabkan pH tanah turun sampai dibawah 3,5, terutama bila tidak ada bahan
lain yang dapat menetralkannya, misalnya kapur (CaCO3). Jika terdapat CaCO3
maka kapur tersebut melarut dan membentuk CaSO4. Jika tidak terdapat kapur,
maka silikat (penyusun utama bahan padatan tanah) akan bereaksi dangan H+
membentuk asam lemah Si(OH)4 yang larut. Hancurnya senyawa silikat akan
menyebabkan berkurangnya mineral-mineral tanah penyumbang hara, karena
bersamaan dengan hancurnya silikat maka kation-kation lain seperti K+, Na+,
Ca2+, Mg2-, Al3+, Fe2+, dan Fe3+ akan dilepaskan dan tercuci.
Dalam kondisi kering atau aerasi, munculnya Al3+ yang berlebihan dapat
menimbulkan keracunan tanaman. Disamping itu, Al dan Fe dapat memfiksasi
fosfat, sehingga unsur tersebut sukar tersedia bagi tanaman. Kecuali Al dan Fe,
keracunan juga dapat disebabkan oleh tingginya kadar SO4-2 melalui proses
oksidasi pirit. Kondisi masam (pH rendah) yang terjadi juga mempercepat proses
pertukaran kation-kation yang ada dalam kompleks jerapan dengan ion H+ dalam
larutan tanah. Hal tersebut menyebabkan semakin banyaknya kation hara yang
tercuci, sehingga memiskinkan tanah.
Apabila lahan yang sudah didrainasi tersebut kemudian digenangi (saat musim
hujan) atau disawahkan, permasalahan yang timbul dapat semakin kompleks.
Meskipun kemasaman dan resiko keracunan Al mungkin agak menurun, namun
reduksi ferri oksida dapat menimbulkan akumulasi ion ferro (Fe2+) pada
tingkat yang meracuni tanaman rendah. Keracunan Fe2+ umumnya lebih parah
pada areal-areal yang lebih rendah, walaupun pada petakan lahan yang
sama. Sebagaimana diketahui bahwa Fe2+ terlarut dalam air dan akan
mengumpul di areal yang rendah (cekungan).
Apabila penggenangan ini berkelanjutan dalam waktu yang lama serta terdapat
cukup bahan organik maka akan terjadi reduksi SO4-2 menjadi S-2. Pada tanah-
II- 12
tanah demikian, H2S dapat meracuni tanaman, dan umumnya berupa
pembusukan akar padi yang berwarna hitam. Jika hal ini terjadi maka upaya-
upaya untuk mengeluarkan H2S perlu segera dilakukan, yakni dengan cara
membuang air genangan. Klasifikasi kedalaman lapisan pirit seperti tampak pada
Tabel 3.
Tabel 3 Klasifikasi kedalaman lapisan pirit (Suryadi, 1995)
Kelas Kedalaman Lapisan Pirit
1 Terletak < 0,25 m diatas permukaan tanah
2 Terletak 0,26 – 0,50 m diatas permukaan tanah
3 Terletak 0,51 – 0,70 m diatas permukaan tanah
4 Terletak > 0,75 m dibawah permukaan tanah
Ketebalan Lapisan Gambut
Lahan gambut adalah tanah yang mempunyai lapisan bahan organik setebal 40
cm dan kandungan bahan organik 30 %. Kesuburannya sangat ditentukan oleh
lapisan tanah mineral dibawahnya. Gambut yang terbentuk di atas endapan
mineral lebih subur dibandingkan gambut yang terbentuk di atas lapisan pasir.
Pada tanah gambut seringkali dijumpai tanaman kekurangan unsur mikro seperti
Cu dan Zn. Menurut Widjaja-Adhi (1986), kesuburan tanah gambut cukup baik,
kandungan N rendah, P potensial sedang, P tersedia sangat tinggi dan K potensial
tinggi. Dengan pengelolaan yang baik tanah sangat potensial untuk tanaman
semusim. Klasifikasi ketebalan lapisan gambut seperti tampak pada Tabel 4.
II- 13
Tabel 4 Klasifikasi ketebalan lapisan gambut (Widjaja-Adhi, 1988)
Kelas Klasifikasi Lahan Gambut Ketebalan Gambut
1 Lahan bergambut < 50 cm
2 Gambut dangkal 50 – 100 cm
3 Gambut sedang 100 – 200 cm
4 Gambut dalam 200 – 300 cm
5 Gambut sangat dalam > 300 cm
Intrusi Salinitas
Pengaruh pasang surut tidak hanya dirasakan di daerah yang berbatasan langsung
dengan laut, tetapi juga di daerah-daerah yang jauhnya dapat mencapai beberapa
ratus kilometer dari pantai ke arah daratan, yaitu melalui sungai-sungai yang
mengalir di daerah rawa pasang surut, misalnya di pesisir timur Sumatera, pesisir
barat dan selatan Kalimantan serta pesisir selatan Irian Jaya.
Perambatan gelombang pasang surut dari laut ke dalam sungai merupakan
fenomena yang kompleks, terutama karena pengaruh dari debit run off sungai itu
sendiri dan bentuk penampang sungai yang tidak beraturan. Jangkauan
perambatan gelombang pasang surut ini bervariasi dalam musiman. Pada musim
penghujan, dimana debit run off besar, pengaruh (jangkauan perambatan
gelombang) pasang surut menjadi pendek dan peredaman tenggang pasang
surutnya menjadi efektif. Sebaliknya pada musim kemarau, dimana debit run off
menjadi kecil, pengaruh pasang surut semakin jauh ke hulu.
Parameter salinitas dinyatakan dengan lama intrusi salinitas yang mungkin
terjadi dalam satu tahun. Dalam hal ini batas nilai salinitas yang dipergunakan
adalah perioda dimana kadar salinitas (daya hantar listrik/DHL > 5 mS/cm). Hal
ini erat hubungannya dengan kemungkinan pemanfaatan lahan untuk budidaya
pertanian pada musim hujan maupun musim kemarau. Intrusi salinitas dibedakan
menjadi 4 (empat) kelas seperti tampak pada Tabel.5.
II- 14
Tabel 5 Klasifikasi intrusi salinitas (Suryadi, 1995)
Kelas Lama Intrusi Salinitas
1 0,0– 2,0 bulan dalam setahun2 2,0– 3,0 bulan dalam setahun3 3,0– 4,0 bulan dalam setahun4 4,0– 5,0 bulan dalam setahun
Gambar 7 Pengaruh pasang surut di sungai
Intrusi salinitas adalah suatu fenomena alam berupa penetrasi air laut yang asin
ke sungai, saluran atau ke air tanah. Gambar berikut menunjukkan sketsa dari
fenomena ini.
II- 15
Gambar 8 Intrusi Salinitas
Masuk dan bercampurnya air laut dengan air sungai atau saluran menjadikan air
sungai atau saluran tersebut tidak lagi memenuhi syarat untuk pertanian maupun
kebutuhan sehari-hari bagi manusia tetapi bermanfaat misalnya bagi tambak.
Intrusi salinitas ini disebabkan oleh dua hal, yaitu :
· Adanya pasang surut akan menimbulkan aliran masuk dan keluar muara
sungai. Bersama dengan air pasang, maka air laut mengalir masuk ke sungai
dan dapat terus ke saluran atau bahkan ke lahan pasang surut.
· Adanya perbedaan kerapatan antara air laut (1.025 kg/m3) dan kerapatan air
sungai (1.000 kg/m3). Dengan perbedaan kerapatan ini, maka air laut akan
mendesak masuk ke sungai. Karena kerapatan yang lebih besar, maka air laut
akan berada di lapisan sebelah bawah.
Berdasarkan tingkat pencampuran antara air laut dan air sungai, maka intrusi air
laut ke sungai dapat dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu :
· Intrusi berlapis
· Intrusi bercampur sebagian
· Intrusi bercampur sempurna
Pencampuran antara air laut dan air sungai disebabkan oleh turbulensi pada
aliran. Turbulensi ini dapat ditimbulkan oleh aliran pasang surut, aliran run off
II- 16
maupun aliran kerapatan. Turbulensi suatu aliran biasanya diukur dengan
bilangan Reynolds :
Re =
dimana :
v = kecepatan aliran (m/dt)
R = jari jari hidrolik (m)
υ = kekentalan kinematik (m2/dt)
Aliran disebut laminer bila Re < 400, dan disebut turbulen bila Re > 800. Apakah
intrusi tersebut berlapis atau bercampur sempurna tergantung pada hubungan
antara tenggang pasang surut dan debit hulu.
Keadaan ini dinyatakan oleh apa yang disebut dengan bilangan muara (estuary
number) :
Es = Fr2
dimana :
V = prisma pasang surut (m3)
T = periode pasang surut (dt)
Q = debit hulu (m3/dt)
F r = bilangan Froude = v/
v = kecepatan aliran (m/dt)
d = kedalaman air (m)
g = percepatan gravitasi (m/dt2)
Berikut adalah pembagian jenis intrusi berdasarkan bilangan muaranya :
Berlapis Bercampur Sebagian Bercampur Sempurna
II- 17
Pada muara sungai yang debit hulunya besar tetapi tenggang pasang surutnya
kecil, biasanya terjadi intrusi berlapis. Sebaliknya kalau debit hulunya kecil dan
tenggang pasang surutnya besar akan terjadi intrusi bercampur sempurna.
Jauhnya intrusi salinitas ditentukan oleh beberapa faktor, yaitu :
· Debit hulu.
· Kedalaman air di sungai yang bersangkutan; konsentrasi air asin terbesar ada
di bawah, jadi kalau muara dangkal, air asin terhalang, sementara air asin
yang ada di atas, terbawa oleh debit hulu.
· Luas penampang sungai atau saluran penampang besar, maka kecepatan kecil
sehingga penetrasi salinitas makin masuk jauh.
· Tenggang pasang surut.
· Kemiringan dasar sungai.
Pada musim hujan, dimana hulu sungai menjadi besar, intrusi air asin tidak jauh.
Sebaliknya pada musim kemarau intrusinya bisa jauh hingga mencapai puluhan
kilometer dari muara sungai tersebut. Kedalaman air di muara yang dangkal akan
mengurangi penetrasi air laut. Demikian pula dengan penampang sungai atau
saluran yang kecil dan tenggang pasang surut yang kecil.
II- 18