teori pltihan kinerja
TRANSCRIPT
BAB 2
LANDASAN TEORI
1.1. Pelatihan Sumberdaya Manusia
1.1. Pengertian Pelatihan
Suatu pelatihan yang dilaksanakan, pada hakikatnya berorientasi atau
memberikan penekanan pada tugas yang harus dilaksanakan oleh seorang karyawan,
selain itu pelatihan juga menekankan kepada kemampuan, pengetahuan, keterampilan
dan sikap karyawan.
Menurut Notoatmodjo (2009:16) ”Pelatihan merupakan upaya yang berkaitan
dengan peningkatan kemampuan atau keterampilan karyawan yang sudah menduduki
suatu pekerjaan atau tugas tertentu.”
Sementara itu, dari Wexley dan Yulk dalam Mangkunegara (2003) memberikan
penjelasan terhadap pengertian pelatihan, yaitu :
”Training and development are terms reffering to planned efforts designed facilitate the acquisition of relevant skill, knowledge and attituteds by organizational members.” Pelatihan dan pengembangan merupakan istilah-istilah yang berhubungan dengan usaha-usaha berencana, yang diselenggarakan untuk mencapai penguasaan skill, pengetahuan, dan sikap-sikap pegawai atau anggota organisasi” (Wexley dan Yulk dalam Mangkunegara, 2003:49).
Oleh Sikula dalam Mangkunegara (2009) menjelaskan bahwa :
”Training is short-terns educational procces utilizing a systematic and organized procedure by which nonmanagerial personnel learn technical knowledge and skills for a definite purpose.” Artinya bahwa pelatihan (training) adalah suatu proses pendidikan jangka pendek yang mempergunakan prosedur sistematis dan terorganisasi, pegawai non manajerial mempelajari pengetahuan dan keterampilan teknis dalam tujuan yang terbatas” (Sikula dalam Mangkunegara, 2009:50).
Dari pengertian tersebut, maka dapat dikatakan bahwa pelatihan lebih ditujukan
kepada pegawai operasional guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan prilaku
dalam menunjang pencapaian tujuan organisasi.
1.2. Tujuan Pelatihan
Menurut Notoatmodjo (2009:22) dalam bukunya yang berjudul ”Pengembangan
Sumber Daya Manusia” menyatakan bahwa ”Terdapat dua macam tujuan pelatihan, yakni
Tujuan umum merupakan rumusan tentang kemampuan umum yang akan dicapai oleh
pelatihan tersebut dan Tujuan khusus merupakan rincian kemampuan yang dirumuskan
dalam kemampuan khusus.”
Sementara itu, menurut Mangkunegara (2003:52) tujuan pelatihan antara lain :a. Meningkatkan penghayatan jiwa dan ideologib. Meningkatkan produktivitas kerjac. Meningkatkan kualitas kerjad. Meningkatkan ketetapan perencanaan sumber daya manusiae. Meningkatkan sikap moral dan semangat kerjaf. Meningkatkan rangsangan agar pegawai mampu berprestasi secara maksimalg. Meningkatkan kesehatan dan keselamatan kerjah. Menghindarkan keusangan (obsolescence)i. Meningkatkan perkembangan pribadi pegawai.
1.3. Analisis Kebutuhan Pelatihan
GoldStein dan Buxton dalam Mangkunegara (2003:53) mengemukakan tiga
analisis kebutuhan pelatihan, yaitu organizational analysis, job or task analysis, and
person analysis.1) Analisis Organisasi. Menganalisis tujuan organisasi, sumber daya yang ada, dan
lingkungan organisasi yang sesuai dengan kenyataan. Wexley dan Latham dalam Mangkunegara (2003:hal.53) mengemukakan bahwa dalam menganalisis organisasi perlu diperhatikan pertanyaan ”Where is training and development needed and where is it likely to be successful within an organization?” hal ini dapat dilakukan dengan cara mengadakan survei sikap pegawai terhadap kepuasan kerja, persepsi pegawai, dan sikap pegawai dalam administrasi. Di samping itu, analisis organisasi dapat menggunakan turnover, absensi, kartu pelatihan, daftar kemajuan pegawai, dan data perencanaan pegawai.
2) Analisis Pekerjaan dan Tugas. Analisis pekerjaan dan tugas merupakan dasar untuk mengembangkan program job-training. Sebagaimana program pelatihan analisis job, dimaksudkkan untuk membantu pegawai meningkatkan pengetahuan, sikll, dan sikap terhadap suatu pekerjaan.
3) Analisis Pegawai. Analisis pegawai difokuskan pada identifikasi khusus kebutuhan pelatihan bagi pegawai yang bekerja pada job-nya. Kebutuhan pelatihan pegawai dapat dianalisis secara individu maupun kelompok.
Sementara itu, oleh Notoatmodjo (2003:20) juga membagi tahapan analisis kebutuhan
pelatihan menjadi tiga tahapan, diantaranya :
1) Analisis Organisasi. Analisis Organisaasi pada hakikatnya menyangkut pertanyaan-pertanyaan di mana atau bagaimana di dalam organiasasi atau institusi ada personel yang memerlukan pelatihan. Setelah itu dipertimbangkan biaya, alat-alat, dan perlengkapan yang dipergunakan. Kemudian dilakukan analisis iklim organisasi, sebab hal ini akan berpengaruh terhadap keberhasilan suatu program pelatihan sebagai hasil dari analisis iklim organisasi dapat diketahui kebutuhan-kebutuhan pelatihan. Aspek lain dari analisis organisasi ialah penentuan berapa banyak karyawan yang perlu dilatih untuk tiap-tiap klasifikasi pekerjaan. Cara-cara untuk memperoleh informasi-informasi ini ialah melalui angket, wawancara atau pengamatan.
2) Analisis Pekerjaan (Job Analysis). Analisis Pekerjaan antara lain menjawab pertanyaan, apa yang harus diajarkan atau diberikan dalam pelatihan agar para karyawan yang bersangkutan mampu melakukan pekerjaan secara efektif. Tujuan utama analisis tugas ialah untuk memperoleh informasi tentang :a) Tugas-tugas yang harus dilakukan oleh karyawanb) Tugas-tugas yang dilakukan pada saat ituc) Tugas-tugas yang seharusnya dilakukan, tetapi belum atau tidak dilakukan
karyawand) Sikap, pengetahuan, dan keterampilan yang diperlukan untuk melakukan
pekerjaan dengan baik, dan sebagainya.3) Analisis Pribadi. Analisis pribadi menjawab akan pertanyaan, siapa membutuhkan
pelatihan dan pelatihan macam apa. Untuk hal ini diperlukan waktu untuk mengadakan diagnosis yang lengkap tentang masing-masing personel mengenai kemampuan-kemampuan mereka. Untuk memperoleh informasi ini dapat dilakukan melalui achievement test, observasi, dan wawancara.
1.4. Metode Pelatihan
Menurut Notoatmodjo (2009:23), ”Metode pelatihan terbagi menjadi dua yaitu
pelatihan di luar pekerjaan (off the job training) dan pelatihan di dalam pekerjaan (on the
job training).”
(1) Pelatihan Di Luar Tugas (Off The Job Training)
Pelatihan dengan menggunakan metode off the job training ini berarti karyawan
sebagai peserta pelatihan ke luar sementara dari pekerjaannya. Kemudian
mengikuti pelatihan guna meningkatkan pengetahuan dan keterampilannya
dengan menggunakan teknik-teknik belajar mengajar sebagaimana lazimnya.
Pada umumnya metode off the job training ini mempunyai dua macam teknik,
yaitu teknik presentasi informasi dan teknik simulasi. Hal ini sebagaimana yang
dirumuskan oleh Notoatmodjo (2009:24) yang memberikan penjelasan pada kedua
macam teknik ini, bahwa :
”Teknik presentasi informasi ialah menyajikan informasi, yang tujuannya mengintroduksikan kemampuan, pengetahuan, sikap dan keterampilan baru kepada para peserta. Harapan akhir dari proses pengetahuan, sikap dan keterampilan perserta diadopsi oleh peserta dalam pekerjaannya nanti. Yang termasuk ke dalam teknik ini adalah :
1) Ceramah biasa, dimana pengajar (pelatih) bertatap muka langsung dengan peserta dan peserta pelatihan pasif mendengarkan
2) Teknik diskusi, dimana informasi yang akan disajikan disusun dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan atau tugas-tugas yang harus dibahas dan didiskusikan oleh para peserta aktif.
3) Teknik permodelan perilaku (behavior modeling), ialah salah satu cara mempelajari atau meniru tindakan (perilaku) dengan mengobservasi dan meniru model-model. Biasanya model-model perilaku yang harus diobservasi dan ditiru diproyeksikan dalamvideo.
4) Teknik magang adalah pengiriman karyawan dari suatu organisasi ke badan-badan atau organisasi lain yang dianggap lebih maju, baik secara kelompok maupun perorangan.
Sedangkan simulasi adalah suatu peniruan karakteristik atau perilaku tertentu dari dunia riil sedemikian rupa, sehingga para peserta pelatihan dapat merealisasikan seperti keadaan sebenarnya. Dengan demikian, maka apabila para peserta pelatihan kembali ke tempat pekerjaan semula akan mampu melakukan pekerjaan yang disimulasikan tersebut. Metode-metode simulasi ini mencakup :
1) Studi kasus (case study), di mana para peserta pelatihan diberikan suatu studi kasus, kemudian dipelajari dan didiskusikan antara para peserta pelatihan. Metode ini sangat cocok untuk para peserta manajer dan administrator yang akan mengembangkan keterampilan dalam memecahkan masalah-masalah.
2) Permainan peran (role playing). Dalam cara ini para peserta diminta untuk memainkan (berperan), bagian-bagian dari berbagai karakter (watak) dalam kasus. Para peserta diminta untuk membayangkan diri sendiri tentang tindakan (peranan) tertentu yang diciptakan bagi mereka oleh pelatih. Peserta harus mengambil alih peranan dan sikap-sikap dari orang-orang yang ditokohkan itu.
3) Teknik di dalam keranjang (in basket). Metode ini dilakukan dengan memberi bermacam-macam persoalan kepada para peserta pelatihan. Dengan kata lain, peserta pelatihan diberi suatu ”Basket” atau keranjang yang penuh dengan bermacam-macam persoalan yang harus diatasi.
(2) Pelatihan Di Dalam Tugas (On The Job Training)
Pelatihan ini berbentuk penugasan-penugasan pegawai-pegawai di bawah bimbingan
supervisor yang telah berpengalaman (pegawai senior). Para pegawai senior yang
bertugas untuk membimbing pegawai baru diharapkan memperlihatkan contoh-contoh
pekerjaan yang baik, dan memperlihatkan penanganan suatu pekerjaan yang jelas dan
konkret, yang akan dikerjakan oleh pegawai baru tersebut segera setelah pelatihan
berakhir.
Oleh Notoatmodjo (2009:26) menjelaskan beberapa keuntungan yang diperoleh dari
penerapan metode on the job training antara lain :1) sangat ekonomis, karena tidak perlu membiayai para trainersdan trainee, tidak
perlu menyediakan peralatan dan ruang khusus2) Para trainee sekaligus berada dalam situasi kerja yang aktual dan konkret.3) Memberikan praktek aktif bagi para trinee terhadap pengetahuan yang dipelajari.4) Para trainee belajar sambil berbuat atau bekerja dan dengan segera dapat
mengetahui apakah yang dikerjakan itu benar atau salah.
Menurut Mangkunegara (2003:62) ”Hampir 90 persen dari pengetahuan pekerjaan
diperoleh melalui metode on the job training. Prosedur metode ini infomal, observasi
sederhana dan mudah serta praktis.”
Hal ini mengindikasikan bahwa pegawai baru hanya mengamati pekerjan lain yang
sedang dikerjakan oleh pegawai lama sebagai supervisor yang memberikan pelatihan,
dan kemudian mengobservasi perilakunya. Sehingga memberikan pengetahuan secara
praktis akan pekerjaan dan tanggung jawab yang akan diemban. Selain itu, terlihat bahwa
aspek lain dari on the job trainingadalah lebih formal dalam formatnya.
1.5. Evaluasi Pelatihan
McCormick dalam Mangkunegara (2003) mengemukakan bahwa :
”As Goldstein and Buxton point out, the evaluation of training centers arround two interacting concerns : 1) The establishment of measures of succes (criteria); and 2) The experimental designs used in the evaluation.” Goldstein dan Buxton berpendapat bahwa evaluasi pelatihan dapat didasarkan pada kriteria (pedoman dari ukuran kesuksesan) dan rancangan percobaan” (McCormick dalam Mangkunegara, 2003:69)
Sedangkan menurut Mangkunegara (2003:69) ”Kriteria dalam evaluasi pelatihan yang
dapat digunakan sebagai pedoman dari ukuran kesuksesan pelatihan, yaitu kriteria
pendapat, kriteria belajar, kriteria perilaku, dan Kriteria Hasil.”1) Kriteria Pendapat. Kriteria ini didasarkan pada pendapat peserta pelatihan
mengenai program pelatihan yang telah dilakukan. Hal ini dapat diungkapkan dengan menggunakan kuesioner mengenai pelaksanaan pelatihan. Bagaimana
pendapat peserta mengenai materi yang diberikan, pelatih, metode yang digunakan, dan situasi pelatihan.
2) Kriteria Belajar. Kriteria belajar dapat diperoleh dengan menggunakan tes pengetahuan, tes keterampilan yang mengukurskill, dan kemampuan peserta.
3) Kriteria Perilaku. Kriteria perilaku dapat diperoleh dengan menggunakan tes keterampilan kerja. Sejauh mana ada perubahan perilaku peserta sebelum pelatihan dan setelah pelatihan.
4) Kriteria Hasil. Kriteria hasil dapat dihubungkan dengan hasil yang diperoleh seperti menekan turnover, berkurangnya tingkat absen, meningkatnya produktivitas, meningkatnya penjualan, dan meningkatnya kualitas kerja dan produksi (Mangkunegara 2003:69).
DAFTAR PUSTAKA
1. Barthos, Basir. 1990. Manajemen Sumber Daya Manusia Suatu Pendekatan Makro. Jakarta : PT. Bumi Aksara.
2. Dessler, Gary. 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jogjakarta : Gramedia.
3. Ekawati, Dian. 2003. Pengaruh Pelatihan Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan Dinas Luar Pada AJB Bumi Putera 1912 Rayon Muda Selong. Skripsi. Mataram : Fakultas Ekonomi Universitas Mataram.
4. Mangkunegara, Anwar Prabu. 2003. Perencanaan & Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung : PT Refika Aditama.
5. Manullang dan Marihot Manullang. 1998. Manajemen Sumber Daya Manusia. Yogyakarta : BPFE.
6. Notoatmodjo, Soekidjo. 2009. Pengembangan Sumber Daya Manusia. Jakarta : PT. Rineka Cipta.
2.2. Teori Dasar
2.1.1. Pengertian Performance ( Kinerja )
Menurut TheSage English Dictionary & Thesaurus, WordWeb Dictionary & Thesaurus,
pengertian performance ( kata benda ) adalah
1. Any recognized accomplishment. ( pencapaian atau prestasi yang diakui ).
2. The act of performing; of doing something successfully; using knowledge as distinguished
from merely possessing it. ( tindakan melakukan; khususnya melakukan sesuatu dengan
sukses, berhasil menggunakan pengetahuan yang membedakannya dari hanya
“memiliki”nya).
3. Process or manner of functioning or operating. ( proses atau cara/gaya/sikap kerja
dalam memfungsikan atau mengoperasikan sesuatu ).
Menurut Robin dalam buku Perencanaan Sumber Daya Manusia Untuk Organisasi
Profit yang Kompetitif (Nawawi, 2003 : p65), kinerja adalah jawaban atas pertanyaan
”Hasil apa yang akan dicapai di masa depan setelah seseorang mengerjakan sesuatu”.
Sedangkan menurut Schermerson, Hunt dan Osborn (Nawawi, 2003: p65)
menyatakan kinerja adalah kuantitas dan kualitas pencapaian tugas, baik yang
dilakukan secara individu, kelompok maupun satu organisasi.
9
10
Pengertian kinerja yang dikemukakan menurut Judith Gordon (Nawawi, 2006
: p65) adalah suatu fungsi kemampuan pekerja dalam menerima tujuan pekerjaan,
tingkat pencapaian tujuan dan interaksi antara tujuan dan kemampuan pekerja. Pengertian ini
terlihat sedikit rumit karena mengenali kinerja sebagai fungsi kemampuan yang
dimiliki pekerja dengan tujuan pekerjaan yang akan dilaksanakan.
Menurut ( http://id.wikipedia.org/wiki/Kinerja ) Kinerja adalah sebuah kata
dalam bahasa Indonesia dari kata dasar “kerja” yang menterjemahkan kata dari bahasa asing
prestasi. Bisa pula berarti hasil kerja.
Pengertian kinerja dalam organisasi ( perusahaan ) merupakan jawaban dari berhasil atau
tidaknya tujuan organisasi yang telah ditetapkan.
Kinerja menurut Mangkunegara (2000,p67) “Kinerja ( prestasi kerja ) adalah hasil kerja
secara kualitas dan kuantitas yang dicapai oleh seorang pegawai dalam melaksanakan
tugasnya sesuai dengan tanggung jawab yang diberikan kepadanya.”
Sementara menurut Sulistiyani (2003, p223) “Kinerja seseorang merupakan kombinasi dari
kemampuan, usaha dan kesempatan yang dapat dinilai dari hasil kerjanya”. Menurut
Maluyu S.P. Hasibuan (2007,p34) kinerja ( prestasi kerja ) adalah suatu hasil kerja yang
dicapai seseorang dalam melaksanakan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang
didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu.
Menurut ( Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi ke III ( Februari 2008 ))
,menyatakan bahwa pengertian kinerja adalah sesuatu yang dicapai, prestasi yang
diperlihatkan, dan kemampuan kerja ( tentang peralatan ). Kinerja adalah
11
pengalihbahasaan dari kata bahasa Inggris “ performance “. Pengukuran ( dalam artian
pengukuran kinerja ) berarti suatu proses atau aktivitas perbandingan objek- objek
tertentu dengan memberikan bobot kepada objek tersebut dengan menggunakan cara - cara
tertentu.
Menurut Febryani (2003,p42), Kinerja merupakan hal penting yang harus
dicapai oleh setiap perusahaan dimanapun, karena kinerja merupakan cerminan dari
kemampuan perusahaan dalam mengelola dan mengalokasikan sumber dayanya. Selain itu
tujuan pokok penilaian kinerja adalah untuk memotivasi karyawan dalam mencapai sasaran
organisasi dan dalam mematuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya, agar
membuahkan tindakan dan hasil yang diharapkan.
Menurut Mathis (2002, p78) dalam bukunya Human Resource Management,
menyatakan bahwa “kinerja pada dasarnya adalah apa yang dilakukan atau tidak dilakukan
karyawan”.
Menurut Rivai (2004, p309) kinerja adalah perilaku yang nyata yang
ditampilkan setiap orang sebagai prestasi kerja yang dihasilkan oleh karyawan sesuai dengan
perannya dalam perusahaan.
2.1.2 Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kinerja
Menurut Mathis, Robert L. dan Jackson, John H.(2002,p82), faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja individu tenaga kerja yaitu :
1. Kemampuan mereka ( individual )
2. Motivasi
3. Dukungan yang diterima
12
4. Keberadaan pekerjaan yang mereka lakukan
5. Hubungan mereka dengan organisasi
Berdasarkan pengertian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kinerja merupakan
kualitas dan kuantitas dari suatu hasil kerja ( output ) individu maupun kelompok dalam suatu
aktivitas tertentu yang diakibatkan oleh kemampuan alami atau kemampuan yang diperoleh
dari proses belajar serta keinginan untuk berprestasi, dan untuk mengetahui tinggi-rendahnya
kinerja seseorang, perlu dilakukan penilaian kinerja.
Menurut Mangkunegara ( 2000, p67-68 ), ia menyatakan bahwa faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja seseorang ialah :
(1) Faktor kemampuan, secara umum kemampuan ini terbagi menjadi 2 yaitu kemampuan
potensi ( IQ – Intelligence Quotient) dan kemampuan reality ( knowledge dan skill ).
Misal : Seorang dosen seharusnya memiliki kedua kemampuan tersebut agar dapat
menyelesaikan jenjang pendidikan formal minimal S2 dan memiliki kemampuan
mengajar dalam mata kuliah ampuannya.
(2) Faktor motivasi, motivasi terbentuk dari sikap karyawan dalam menghadapi situasi
kerja. Misal : Motivasi bagi dosen sangat penting untuk mencapai visi dan misi
institusi pendidikan. Menjadi dosen hendaknya merupakan motivasi yang
terbentuk dari awal ( by plan ), bukan karena keterpaksaan atau kebetulan ( by
accident ).
13
Sedangkan menurut Nawawi (2003,p65), faktor yang mempengaruhi kinerja merupakan
gabungan dari tiga faktor, dimana ketiga faktor tersebut meliputi :
PENGETAHUANPENGALAMAN
KINERJA
KEPRIBADIAN
Gambar 2.1.Faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
Sumber : Haradi Nawawi (2003 : p65)
(a) Pengetahuan
Khususnya yang berhubungan dengan pekerjaan yang menjadi tanggung jawab
dalam bekerja. Dalam faktor ini mencakup jenis dan jenjang pendidikan serta pelatihan yang
pernah diikuti di bidangnya.
(b) Pengalaman
Memiliki pengalaman yang tidak sekedar saja melainkan memiliki jumlah waktu
atau lamanya dalam bekerja, tetapi berkenan juga dengan substansi yang dikerjakan yang jika
dilaksanakan dalam waktu yang cukup lama akan meningkatkan kemampuan dalam
mengerjakan suatu bidang tertentu.
14
(c) Kepribadian
Kondisi didalam diri seseorang dalam menghadapi bidang pekerjaannya, sepeti minat,
bakat, kemampuan kerjasama/keterbukaan, ketekunan, kejujuran, motivasi kerja, dan sikap
terhadap pekerjaan.
2.1.3 Pengertian Pengukuran Kinerja
Menurut Kaplan, Young dan Anthony serta Banker sebagaimana dikutip oleh Yuwono
(2002,p23), pengukuran kinerja adalah “ the activity of measuring the performance of an
activity or the entire value chain. “
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa pengukuran kinerja adalah tindakan
pengukuran yang dilakukan terhadap berbagai aktivitas dalam rantai nilai yang ada pada
perusahaan. Hasil pengukuran tersebut kemudian digunakan sebagai umpan balik yang akan
memberikan informasi tentang prestasi pelaksanaan suatu rencana dan titik di mana
perusahaan memerlukan penyesuaian-penyesuaian atas aktivitas perencanaan dan
pengendalian.
Menurut Anderson dan Clancy 2001) sebagaimana dikutip Yuwono
( 2002,p21 ) mendefinisikan pengukuran kinerja sebagai :
“ feedback from the accountant to management that provides information about how well
the actions represent the plans; it also identifies where managers may need to make
corrections or adjustment in future planning and controlling activities. “
Dalam situasi yang normal seharusnya performance driver yang jitu akan menghasilkan
outcome measures terbaik.
15
Menurut penulis, pengukuran kinerja adalah suatu tindakan untuk mengetahui seberapa
besar kemajuan atau kemunduran dari suatu usaha yang telah dilakukan sesuai dengan fungsi
dan tanggungjawabnya dengan menggunakan seluruh sumber daya yang tersedia.
2.1.4. Indikator Kinerja
Menurut perusahaan, Indikator kinerja adalah ukuran kuantitatif maupun kualitatif untuk
dapat mengembangkan tingkat pencapaian sasaran dan tujuan organisasi, baik pada tahap
perencanaan, pelaksanaan, maupun tahap setelah kegiatan selesai. Selain itu, indikator kinerja
juga dapat digunakan untuk meyakinkan bahwa kinerja hari demi hari menunjukan kemajuan
dalam rangka menuju sasaran maupun tujuan organisasi yang bersangkutan.
Menurut Akdon dalam bukunya “Strategic Management for Educational
Management” (2006,p56) syarat-syarat yang harus di penuhi dalam ukuran kinerja adalah
sebagai berikut :
(a). Spesifik dan jelas untuk menghindari kesulitan integrasi sistem penilaian kinerja
(b). Dapat diukur secara obyektif baik dengan cara kualitatif maupun kuntitatif
(c). Menangani aspek-aspek yang relevan
(d). Fleksibel dan sensitif terhadap perubahan
(e). Efektif dalam arti mudah dicari atau dianalisis.
16
Menurut Vincent Gaspersz (2006, p57), dalam buku ”Perencanaan Strategis untuk
Peningkatan Kinerja”, indikator kinerja secara keseluruhan harus berkaitan dengan misi,
atau sasaran dan tujuan yang akan dicapai. Dengan mengandalkan kemampuan dalam
mengukur hasil dan perbaikan-perbaikan prioritas yang berguna untuk pelanggan internal dan
external stakeholders dan pembuatan kebijakan.
Secara praktis hal ini berarti indikator kinerja dalam melaksanakan pekerjaan
dilingkungan sebuah organisasi atau perusahaan mencakup lima unsur sebagai berikut :
(Nawawi 2001,p65)
(a). Kuantitas hasil kinerja yang dicapai
(b). Kualitas hasil kinerja yang dicapai
(c). Jangka waktu mencapai hasil kinerja tersebut
(d). Kehadiran dan kegiatan selama hadir ditempat kerja
(e). Kemampuan bekerjasama
Berdasarkan uraian-uraian diatas berarti kinerja seseorang dilingkungan suatu
organisasi atau perusahaan dapat dilihat dari dua orientasi, yaitu : (Nawawi 2001,p65)
1. Orientasi proses yang menyangkut efektifitas dan efesiensi pelaksanaan
pekerjaan dari sudut metode / cara kerja yakni yang mudah/tidak sulit, sedikit
menggunakan tenaga dan pikiran ( ringan ), hemat dan tepat waktu /cepat, hemat bahan
dan rendah biaya (cost)
17
2. Orientasi hasil dalam arti dengan proses seperti tersebut diatas dicapai hasil dengan
kriteria produktivitas tinggi baik dari segi kuantitas maupun kualitas yang sesuai
keinginan konsumen. [ namun dalam perusahaan yang penulis teliti,
orientasi lebih kepada proses ]
Pelaksaan pekerjaan Kegiatan evaluasi
Hasil evaluasi
Pengukuran/penilaian
Standar pekerjaan
Umpan balik
Manajemen kinerja
Keputusan-keputusan mengenai karyawan
Gambar 2.2.
Data / InformasiTentang karyawan
Unsur-Unsur dalam Pengevaluasian KinerjaSumber : Haradi Nawawi (2003 : p69)
Dilingkungan sebuah organisasi / perusahaan tiap-tiap dan semua karyawan perlu
dievaluasi kinerjanya untuk mengetahui kontribusinya dalam pencapaian tujuan, baik tujuan
operasioanal maupun tujuan ideal / strategik yang telah ditetapkan. (Nawawi
2003,p69)
Unsur-unsur dalam evaluasi kinerja terdiri dari: (a).
Pelaksanaan pekerjaan oleh pekerja
(b). Kegiatan evaluasi kinerja
18
(c). Hasil evaluasi kinerja
(d). Umpan balik untuk melaksakan manajemen kinerja
(e). Data dan informasi tentang karyawan
(f). Pengukuran/penilaian atau kegiatan evaluasi
Berdasarkan gambar / kinerja diatas berarti evaluasi kinerja meliputi langkah-langkah atau
kegiatan sebagai berikut : (Nawawi 2003,p70)
a.) Pelaksanaan pekerjaan
b.) Karyawan melaksanakan pekerjaannya untuk jangka waktu periode tertentu, atau
lama waktu dalam mengerjakan pekerjaannya dalam masing-masing bidang.
c.) Menetapkan standart pekerjaan sebagai tolak ukur pelaksanaan pekerjaan yang efektif
atau tidak efektif dan yang berhasil atau gagal.
d.) Melakukan Observasi ( jika mungkin ), monitoring atau pemantauan
pelaksanaan pekerjaan dengan menggunakan metode penilaian yang paling tepat.
e.) Membandingkan hasil observasi atau monitoring dengan standar pekerjaan masing-
masing. Standar pekerjaan sebagai tolak ukur kinerja seperti dikatakan diatas harus
dipersiapkan sebelum evaluasi kinerja dilakukan, yang cara membuat dan
substansinya masih akan dibahas dalam uraian-uraian berikut.
f.) Hasil evaluasi berupa skala nol / nilai setiap atau satu per satu aspek yang dinilai
merupakan informasi tentang kinerja pekerja / karyawan yang dinilai.
19
g.) Hasil tersebut dipergunakan sebagai umpan balik ( feed back ) yang harus
ditindaklanjuti dengan melaksanakan manajemen kinerja dan untuk membuat
keputusan-keputusan mengenai buruh / karyawan seperti pemberian insentif
berdasarkan prestasi
2.1.5 Persyaratan sistem pengukuran kinerja
Dengan munculnya berbagai paradigma baru di mana bisnis harus digerakkan oleh
customer-focused, menurut Yuwono (2002,p28), suatu sistem pengukuran kinerja yang
efektif, paling tidak harus memiliki syarat-syarat sebagai berikut :
a) Didasarkan pada masing-masing aktivitas dan karakteristik organisasi itu sendiri
sesuai perspektif pelanggan;
b) Evaluasi atas berbagai aktivitas, menggunakan ukuran-ukuran kinerja yang
customer-validated;
c) Sesuai dengan seluruh aspek kinerja aktivitas yang mempengaruhi
pelanggan, sehingga menghasilkan penilaian yang komprehensif;
d) Memberikan umpan balik untuk membantu seluruh anggota organisasi mengenali
masalah-masalah yang ada kemungkinan perbaikan.
2.1.6 Manfaat Pengukuran Kinerja
Menurut Lynch dan Cross ( 1993 ) sebagaimana dikutip oleh Yuwono (2002,p29),
manfaat sistem pengukuran kinerja yang baik adalah sebagai berikut :
a) Menelusuri kinerja terhadap harapan pelanggan sehingga akan membawa
perusahaan lebih dekat pada pelanggannya dan membuat seluruh orang dalam organisasi
terlibat dalam upaya memberi kepuasan kepada pelanggan;
20
b) Memotivasi pegawai untuk melakukan pelayanan sebagai bagian dari mata-rantai
pelanggan dan pemasok internal;
c) Mengidentifikasi berbagai pemborosan sekaligus mendorong upaya-upaya
pengurangan terhadap pemborosan tersebut ( reduction of waste );
d) Membuat suatu tujuan strategis yang biasanya masih kabur menjadi lebih konkret
sehingga mempercepat proses pembelajaran organisasi;
e) Membangun konsensus untuk melakukan suatu perubahan dengan memberi “
reward” atas perilaku yang diharapkan tersebut.
2.1.7 Tujuan Pengukuran Kinerja
Berdasarkan tulisan dalam www.duniaesai.co m /ekono m i / eko32.ht m , tujuan utama
dari penilaian kinerja adalah untuk memotivasi personil dalam mencapai sasaran organisasi
dan dalam memenuhi standar perilaku yang telah ditetapkan sebelumnya, sehingga
membuahkan tindakan dan hasil yang diinginkan oleh organisasi.
Penilaian kinerja dapat digunakan untuk menekan perilaku yang tidak
semestinya dan untuk merangsang serta menegakkan perilaku yang semestinya diinginkan.
Dengan adanya penilaian kinerja, manajer puncak dapat memperoleh dasar yang obyektif
untuk memberikan kompensasi sesuai dengan prestasi yang disumbangkan masing-masing
pusat pertanggungjawaban kepada perusahaan secara keseluruhan. Semua ini diharapkan
dapat membentuk motivasi dan rangsangan pada masing-masing bagian untuk bekerja lebih
efektif dan efisien.
21
2.1.8 Standar Kinerja
Standar kinerja adalah ukuran tingkat kinerja yang diharapkan dan yang telah
ditentukan dan yang dinyatakan dalam suatu pernyataan kuantitatif (Mulyadi,
2001,p154). Penetapan standar kinerja dapat bersumber dari peraturan dan perundang-
undangan yang berlaku dan keputusan manajemen serta pendapat para ahli, atau atas dasar
pengalaman dari pekerjaan yang sama pada tahun-tahun sebelumnya.
Menurut Akdon, persyaratan standar kinerja yang baik adalah : (Akdon, 2006,p170)
• Attainable, dapat dicapai dalam kondisi yang ada.
• Economic atau ekonomis.
• Applicable, mudah diterapkan.
• Understandable mudah dimengarti.
• Measureable, dapat diukur dgn presisi
• Stabil, dalam kurun waktu yang cukup lama
• Adapted,dapat diadaptasi dalam berbagai keadaan
• Legitimate, didukung dengan ketentuan yang berlaku
• Focus, dikhususkan bagi pelanggan.
• Accepted,dapat diterima sebagai suatu ukuran yang membandingkan oleh pihak yang
terkait.
22
2.1.9 Atribut Pengukur Kinerja
Tabel 2.1.
Berbagai Atribut Pengukur Kinerja yang Baik
BERBAGAI ATRIBUT TOLOK UKUR KINERJA YANG BAIKSecara umum, suatu sistem pengukuran yang baik harus terdiri dari sekumpulan tolok ukur yang mengkombinasikan antara matriks keuangan dan non-keuangan dengan 24 atribut berikut:
1. Mendukung dan konsisten dengan tujuan, tindakan, budaya, dan faktor-faktor kunci keberhasilan perusahaan;
2. Relevan dan mendukung strategi;3. Sederhana untuk diimplementasikan;4. Tidak kompleks ( sederhana );5. Digerakkan oleh pelanggan;6. Integral dengan seluruh fungsi dalam
organisasi;7. Sesuai dengan keseluruhan tingkatan
organisasi;8. Sesuai dengan lingkungan eksternal;9. Mendorong kerjasama dalam organisasi
baik secara horizontal maupun vertikal;10. Hasil pengukurannya dapat
dipertanggungjawabkan;11. Jika memungkinkan, dikembangkan
dengan menggabungkan pendekatantop-down dan bottom-up ;
12. Dikomunikasikan ke seluruh bagian yang relevan dalam organisasi;
13. Dapat dipahami;14. Disepakati bersama;
15. Realistik;16. Berhubungan dengan faktor-faktor yang
berhubungan dan membuat sebuah perbedaan;17. Terhubung dengan aktivitas sehingga
hubungan yang jelas terlihat antara sebab danakibat;
18. Difokuskan lebih pada pengelolaan sumber daya, ketimbang biaya yang sederhana;
19. Dimanfaatkan untuk memberi “ real-time feedback “ ;
20. Digunakan untuk memberi “ action orientedfeedback “ ;
21. Jika diperlukan, suatu tolok ukur bisa ditambahkan lintas fungsional dan lintas level manajemen;
22. Mendukung bagi pembelajaran individu dan organisasi;
23. Mendorong perbaikan secara kontinyu dan tiada henti;
24. Secara kontinyu dinilai relevansinya terhadap23 atribut diatas dan dibuang jika kegunaannya hilang atau ada tolok ukur yang baru atau lebih relevan ditemukan.
Jika suatu sistem tolok ukur organisasi jauh dari karakteristik atau atribut di atas maka saatnya untukmenguji kembali kegunaan tolok ukur kinerja yang ada dan mencari tolok ukur yang baru.
Sumber : Yuwono ( 2002, p30 )