terapi ozon.pdf
DESCRIPTION
ozonTRANSCRIPT
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 1/29
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ozon dikenal memiliki peranan dalam melindungi keseimbangan ekologi bumi dan dapat berinteraksi
pada tingkat dasar dengan polutan dari industri. Ozon juga memiliki kemampuan biologi yang khas
sehingga banyak diteliti untuk digunakan dalam dunia medis.1
Efek medis ozon ditemukan pada abad 19 dan digunakan pertama kali oleh A. Wolff di Jerman
pada tahun 1915 (selama Perang Dunia I) sebagai antiseptik.1,2 Penggunaan ozon sudah lama
diperkenalkan di luar negeri seperti Belgia, Italia,
Perancis, Brazil, Rusia, Argentina, Jepang dan Singapura.3
Sebagai molekul yang memiliki energi yang
sangat besar, ozon dapat menginaktivasi bakteri, virus, jamur dan beberapa jenis protozoa, sehingga
dapat digunakan sebagai pilihan terapi dalam
pengobatan beberapa penyakit dan sebagai terapi tambahan pada penyakit lain.4 Penggunaan ozon
dalam bidang medis sangat luas meliputi: bedah, neurologi, gastroenterologi, diabetes dengan
komplikasinya, dermatologi, kosmetologi, obstetri
dan ginekologi, urologi, sistem kardiovaskuler, stomatologi, otorhinolaringologi, locomotor disorder dan sistem respirasi.2 Dari riwayat penggunaannya yang telah cukup panjang, didukung oleh
dokumentasi, terutama dari Rusia, Jerman dan
negara Balkan lainnya, menunjukkan adanya manfaat ozon yang menonjol untuk penyembuhan
pelbagai penyakit, termasuk kanker, diabetes, jantung, hepar dan menghambat proses penuaan.
Menurut Bocci, terapi ozon hanya digunakan untuk melengkapi terapi konvensional atau pada kasus di
mana tidak ada terapi lain yang efektif.5
Walaupun ozon telah digunakan sebagai
desinfektan yang poten selama hampir satu abad, dan telah digunakan sebagai terapi alternatif selama
4 dekade, kegunaannya dalam dunia kedokteran
masih kontroversial. Pihak yang pro meyakini bahwa terapi ozon merupakan pengobatan yang sangat
baik sedangkan pihak yang kontra menyatakan bahwa ozon bersifat toksik dan tidak boleh
digunakan dalam dunia kedokteran. Masalah ini seharusnya tidak dibiarkan begitu saja, karena
setiap tahunnya jumlah pasien di dunia yang
menjalani terapi ozon bertambah terus.5 Negara-negara Eropa kebanyakan mendukung
penggunaannya, sehingga banyak uji klinis yang dilakukan di sini terutama di Rusia dan Jerman.
Negara USA tidak mendukung penggunaannya
(Food and Drug Administration dan pemerintah
Kanada telah melarang penggunaannya karena dianggap toksik, walaupun pendapat ini ditentang
oleh praktisi ozon), tetapi pada kenyataannya 16 negara dan 11 negara bagian di USA telah
melegalkan penggunaan terapi ozon dalam dunia medis. 6
Belum ditemukan penelitian berupa uji klinis mengenai keamanan penggunaan ozon dalam
pengobatan berbagai penyakit dan kondisi yang diklaim dapat diterapi dengan ozon. Pembahasan
toksisitas pada umumnya membahas tentang
toksisitas ozon terhadap paru-paru.
Di Indonesia, pada tanggal 6 April 2003, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Wilayah Jakarta, bekerja
sama dengan Russian Association of Ozone Therapy mengadakan diskusi dan evaluasi ilmiah terbatas,
dengan topik „Apakah teknologi terapi ozon Rusia
dapat dimanfaatkan di Indonesia?‟ di hotel Shangri-La Jakarta, dari hasil diskusi ini dikeluarkan
rekomendasi untuk ijin pengoperasian terapi ozon dalam lingkungan wilayah DKI Jakarta dengan surat
IDI Wilayah Jakarta no. 465/K/IV/03. Sebenarnya
terapi ozon di Indonesia sudah lama digunakan (sejak 1992) sebagai terapi komplementer/alternatif
dan suportif.3
B. Permasalahan
Minat masyarakat Indonesia terhadap
penggunaan terapi alternatif termasuk terhadap terapi ozon saat ini cukup besar. Dengan
karakteristik ozon yang khas, diperlukan pertimbangan dan evaluasi secara hati-hati
untuk penggunaan dalam mengatasi kondisi medis.
Di Indonesia penggunaan terapi ozon sudah
cukup lama dan luas, bahkan sudah berdiri
klinik-klinik yang mengkhususkan diri pada penggunaan terapi ozon untuk penyembuhan
berbagai penyakit. Namun bukti ilmiah manfaat terapi ozon perlu dikaji lebih lanjut.
Biaya yang harus dikeluarkan untuk
mendapatkan terapi ozon ini tidak sedikit, dan
harus dikeluarkan dari kantong masyarakat sendiri (out of pocket).
C. Tujuan
Terwujudnya kajian ilmiah sebagai dasar
rekomendasi bagi pemerintah dalam
menetapkan kebijakan tentang penggunaan terapi ozon di Indonesia.
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 2/29
BAB II METODOLOGI PENILAIAN
A. Strategi Penelusuran Kepustakaan
Penelusuran artikel dilakukan melalui Medline, Blackwell, Highwire, dan jurnal yang berkaitan
seperti: Alimentary Pharmacology and Therapeutics, Undersea Hyperbaric Medicine, Medical Science Monitoring, Journal Altenative Complimentary Medicine, Artificial Organ, International Ozone Association, American Cancer Society, European Journal of Oncology Nursing, European Archieve of Otorhinolaryngology dan Gerodontology dalam 15 tahun terakhir (1989-2003).
Kata kunci yang digunakan: ozone, ozone therapy, antioxidant, cancer, diabetes, burns, AIDS, vascular disease, caries, dental, RCT.
B. Hierarchy of evidence dan Derajat
Rekomendasi
Hierarchy of evidence dan derajat rekomendasi diklasifikasikan berdasarkan definisi dari Scottish Intercollegiate Guidelines Network yang berasal
dari US Agency for Health Care Policy and Research.
Hierarchy of evidence :
Ia. Meta-analysis of randomized controlled trials. Ib. Minimal satu randomized controlled trials IIa. Minimal penelitian non-randomized controlled
trials IIb. Cohort dan Case control studies IIIa. Cross-sectional studies IIIb. Case series dan case report IV. Konsensus dan pendapat ahli
Derajat rekomendasi : A. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat Ia
dan Ib.
B. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIa dan II b.
C. Pembuktian yang termasuk dalam tingkat IIIa, IIIb dan IV.
C. Ruang Lingkup Pembahasan
Terapi ozon yang akan dikaji pada topik ini dibatasi pada (1) kelainan vaskular, (2) luka, (3)
diabetes melitus, (4) kedokteran gigi, dan (5)
infeksi ginekologi. Kelima topik kajian ini dipilih karena digunakan di Indonesia.
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 3/29
BAB III TERAPI OZON
Ozon (O3) adalah gas yang secara alami terdapat di atmosfir bumi, memiliki bau yang spesifik dan kuat,
dan merupakan bentuk alotropik dari oksigen. Ozon merupakan oksidan yang jauh lebih kuat dibanding
oksigen, sehingga dapat mengoksidasi banyak
bahan yang inert terhadap oksigen pada kondisi normal.2
A. Karakteristik Ozon
Atom oksigen di alam terdapat dalam beberapa
bentuk: (1) sebagai partikel atom bebas (O), sangat
reaktif dan tidak stabil (2) oksigen (O2), paling banyak, lebih stabil, dalam bentuk gas tidak
berwarna dan dalam bentuk cair berwarna biru (3) ozon (O3), memiliki berat molekul 48, kepadatan gas
ini satu setengah kali oksigen, memiliki energi yang
sangat besar (3/2 O2 + 143 KJ/mol), dalam bentuk gas berwarna biru dan dalam bentuk padat
berwarna biru tua (4) O4, gas biru pucat nonmagnetik, sangat tidak stabil, jarang terdapat,
biasanya sudah dipecah menjadi 2 molekul oksigen1,4
Ozon adalah oksidan yang sangat kuat, hanya dikalahkan oleh fluorin dalam kemampuan ini. Ozon
juga bereaksi dengan hidrokarbon, amin, kelompok sulfhidril dan senyawa aromatik. Yang berhubungan
penting dengan sistem biologi adalah interaksi ozon
dengan jaringan, termasuk komponen darah.1
Efek Biokimia dan Fisiologis Ozon
Beberapa literatur menyebutkan saat ini diketahui
bahwa ozon dapat larut dalam plasma atau air atau serum atau salin fisiologis dan menghasilkan ROS
(radical oxygen species). Lipid yang ada di plasma menyerupai yang ada di lipoprotein, mengalami
peroksidasi yang prosesnya tergantung pada dosis ozon. Produksi H2O2 (yang berkaitan dengan ozon)
dikatakan penting dalam mengaktivasi tubuh baik
secara biokimia maupun imunologis. Ozon menginduksi sitokin (TNF-alfa, IFN-gamma dan IL-
2) ketika darah secara langsung terpapar ozon. Hal ini terjadi secara konsisten walaupun sedikit.7
Efek biokimia
Ozon, bukanlah radikal oksigen, tetapi merupakan oksidator kuat dan menghasilkan oksidan dari
proses oksidasi tersebut (ROS). Stres oksidasi oleh ozon melibatkan banyak komponen darah, seperti
lipoprotein, protein plasma, limfosit, monosit,
granulosit, trombosit dan eritrosit. Ozon bereaksi pada setiap organ dan permukaan tempat ia
berkontak (misalnya sel endotel).8
Dalam pertahanan terhadap oksidasi dan
terjadinya ROS, berbagai sistem anti-oksidan diaktifkan dan terjadilah produksi enzim anti-oksidan
serta pembersih racun. Karena efek oksidasi ozon hampir berbanding lurus dengan konsentrasinya di
dalam darah maka di atas kadar tertentu, ozon bisa bersifat sangat sitotoksik dan menyebabkan
terjadinya hemolisis. Rentang terapeutik ozon
sempit namun jendela kadar aman telah diketahui dengan jelas saat ini.
Waktu paruh ozon tergolong pendek. Secara
cepat, ozon akan berubah menjadi oksigen melalui
reaksi endotermik dan reaksi ini hanya berlangsung selama 10 menit. Proses stres oksidasi oleh ozon
terjadi dalam waktu singkat, namun reaksi antioksidan yang berlangsung diyakini dapat
bertahan lebih lama dari bentuk awalnya. Berikut reaksi sistem anti-oksidan terhadap stres oksidasi
oleh ozon yang meliputi eritrosit, trombosit, leukosit,
endotel dan hemostasis yang diadaptasi dari Bocci. 8
Tabel 1. Efek Biokimia Ozon dalam Darah8 Eritrosit Trombosit Leukosit Endotel Hemostasis
ATP, EC, 2,3 DPG ↑
TGF ↑ PGE2 ↑ NO ↑ VWF ↑
O2 ↑ PDGF ↑ TNF-α ↑ VEGF ? (t-PA) ↑
SR↓ MF ↑ TXB2 ↑ INF-γ ↑ APTT ↑
PO2 arteri ↑→
IL2, IL6, IL8 ↑
Edema ↓ TT ↑
PO2 vena ↑
BK, histamin ?
ATP (adenosine triphosphate), EC (energy charge), 2,3 DPG (2,3 diphosphoglicerate), TGF(Transforming Growth Factor), PGE2 (prostaglandin E2), NO (nitrit oxide), Vwf (von Willebrand Factor), PDGF (platelet derived growth factor), TNF(tumor necrosis factor), VEGF, t-PA (tissue plasminogen activator), SR (sedimentation rate), MF (membrane fluidity), TXB2, APTT (activated partial thromboplastine time), IL (interleukin), TT (thrombine time), BK
Efek Reologis
Terapi ozon dikatakan merupakan terapi yang
efektif pada beberapa kelainan di mana secara positif bisa mempengaruhi mikrosirkulasi.8 Studi
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 4/29
ozon pada filtrabilitas darah memperlihatkan
adanya peningkatan yang diperkirakan berhubungan dengan meningkatnya membrane fluidity (MF) serta penurunan pada laju endap darah. Efek reologis tersebut diyakini memiliki
peran penting dalam memperbaiki mikrosirkulasi.
Penemuan-penemuan tersebut ditampilkan dalam tabel 2 yang diadaptasi dari Coppola dkk. yang
telah dikolaborasi dengan penemuan dari peneliti lain. 8
Parameter tersebut diperkirakan memiliki
kontribusi dalam penyembuhan ulkus kronik pada
pasien, berdasarkan perbaikan pada mikrosirkulasi, oksigenasi, fasilitasi pelepasan
oksigen dan antioksidan yang juga diperankan oleh eritrosit.
Efek Metabolik
Beberapa studi eksperimental dilakukan terhadap trauma iskemi-reperfusi pada berbagai organ yang
berbeda: ginjal, hati dan otak dan praterapi. Studi tersebut menggunakan darah yang diozonisasi di
mana ditemukan adanya efek proteksi. Selama
iskemi (yang terjadi sebagai konsekuensi akibat degradasi ATP) terdapat peningkatan produksi
adenosin dan xantin yang signifikan. Pada periode reperfusi, adenosin berperan sebagai protektor
dan di pihak lain, produksi ROS melalui jalur
xantin/xantin oksidase berperan sebagai penghancur/perusak.8
Pemberian terapi ozon pada trauma iskemi
memperlihatkan penurunan akumulasi xantin yang
signifikan, sedangkan kadar adenosin tidak terpengaruh. Pada studi yang serupa, dijumpai
peningkatan kadar transaminase dan laktat. Sedangkan kadar glutation dipertahankan dan
superoksid dismutase meningkat. Kadar H2O2 tidak meningkat. Studi lain pada hipoksia otak,
pemberian terapi ozon memperlihatkan
dipertahankannya energy charge (EC) dan ATP serta penghambatan produksi laktat yang pada
akhirnya dapat meningkatkan survival time secara signifikan. Singkatnya, perubahan yang terjadi
pada metabolik tubuh diuraikan pada tabel 3 dan
disertai dengan faktor dan molekul matriks interstisial yang penting dalam proses
penyembuhan luka yang mendapat manfaat dari dipertahankannya/ditingkatkannya metabolisme
sel.
Autohemoterapi memperlihatkan stimulasi
metabolik, preservasi ATP, muatan energi, adenosin dan reduksi kadar laktat selama fase
iskemi. Faktor tersebut akan meminimalkan
trauma lebih lanjut pada periode reperfusi.
Stimulasi metabolik ini membantu terbentuknya faktor matriks interstisial dan mengurangi lipid
yang dapat merusak endotel.8
Efek antipatogen
Meskipun efek letal dan penghambatan ozon
terhadap mikroorganisme patogen telah diamati sejak akhir abad 19, namun penjelasan mengenai
mekanisme kerjanya masih belum memuaskan.1
Ozon merupakan germisida kuat, hanya
dibutuhkan beberapa mikrogram per liter saja untuk bisa membunuh kuman. Pada konsentrasi
H2O 1 g/m3 suhu 10C, ozon dapat menginaktivasi Coliform, Staphylococcus aureus dan Aeromonas
hydrophilia dengan cepat. Kecepatan inaktivasi
enterovirus lebih cepat lagi dibandingkan dengan E. Coli.1
Pada bakteri, ozon mengganggu integritas
kapsul sel bakteri melalui oksidasi fosfolipid dan lipoprotein.1,9 Ozon juga terbukti dapat
berinteraksi dengan protein. Pada suatu studi yang
menyelidiki efek ozon terhadap E. Coli, ditemukan bukti bahwa ozon dapat berpenetrasi ke dalam
membran sel, bereaksi dengan substansi sitoplasma dan mengubah circular plasmid DNA
tertutup menjadi circular DNA terbuka, yang dapat
mengurangi efisiensi proliferasi bakteri.1 Ozon juga dapat berpenetrasi ke kapsul sel bakteri,
mempengaruhi secara langsung integritas cytoplasmic, dan mengganggu beberapa tingkat
kompleksitas metabolik. Bakteri yang rentan
terhadap efek desinfeksi ozon: Salmonella, Streptokokus, Shigela, Legionella pneumophilia,
Pseudomonas aeruginosa, Yersinia enterocilica, Campylobacter jejuni, Mycobacteria, Klebsiella
pneumonia, dan Eschericia coli.4
Pada jamur, mekanisme efek fungisidal ozon
belum dipahami. Ozon dikatakan dapat menghambat pertumbuhan sel pada beberapa
tahap. Pada suatu studi, penghambatan pertumbuhan Candida utilis dengan ozon
tergantung dari fase pertumbuhannya dan adanya
budding cell. Pada studi lain, dosis rendah ozon menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan
Monilia fructagen dan Phytophtora infestans, sedang dosis tinggi menghambatnya.1
Pada virus, kerentanannya terhadap ozon
berbeda-beda, pada percobaan menggunakan
continuous flow mixed reactor pada kondisi laboratorium, resistensi relatif virus dari yang
paling tinggi ke yang paling rendah sebagai
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 5/29
berikut: Polio virus tipe 2, Echovirus tipe 1, Polio
virus tipe 1, Coxsackie virus tipe B5, Echovirus tipe 5, Coxsackie virus tipe A9.1 Pada virus, ozon
merusak kapsid virus dan mengganggu siklus reproduksi dengan menghambat kontak virus ke
sel melalui peroksidasi.9 Kebanyakan penelitian
tentang efek virus difokuskan pada kemampuannya untuk memecah molekul lipid.
Pada suatu studi, polio virus tipe 1 dipaparkan dengan ozon 0,21 mg/liter pada pH 7,2. Setelah
30 detik, 99% dari virus menjadi inaktif (kehilangan kemampuannya untuk bereplikasi
dalam sel host), tapi tetap mempertahankan
integritas strukturalnya. Dari analisa komponen virus terlihat adanya kerusakan pada rantai
polipeptida dan protein kapsul yang dapat mengakibatkan hilangnya kemampuan untuk
mempertahankan struktural dan pecahnya single stranded RNA menjadi dua bagian yang mengakibatkan terjadinya gangguan replikasi.
Peneliti lain pada percobaan yang sama menyimpulkan bahwa terapi ozon dapat merusak
kapsid virus.1
Organisme tingkat tinggi memiliki mekanisme
enzimatik yang dapat menstabilkan kembali DNA dan RNA yang terganggu yang merupakan
penjelasan kenapa terapi ozon pada dosis yang tepat toksik terhadap organisme infeksius dan
tidak terhadap pasien.1
Aktivasi sistem imun
Pemberian ozon pada konsentrasi 50 g/cc
meningkatkan produksi interferon. Tumor necrosis factor (TNF) dilepas dalam jumlah besar pada
konsentrasi 30-55 g/cc. Produksi interleukin 2
memulai seluruh kaskade reaksi imunologi.9
Ozon dalam darah adalah oksidator kuat dan menyebabkan:
1. Stimulasi produksi antioksidan
2. Vasodilatasi dan hiperemi (NO) 3. Mengurangi viskositas darah dan plasma
4. Meningkatkan erythroyte membrane fluidity 5. Hiperoksigenasi dan fasilitasi pelepasan
oksigen di jaringan
6. Stimulasi metabolik
7. Inaktivasi bakteri, virus, dan jamur 8. Produksi interferon dan TNF
B. Produksi ozon medik
Ozon memiliki waktu paruh 45 menit pada suhu 200C (68F), dan konsentrasinya menurun menjadi
16% dari nilai awal dalam 2 jam, sehingga ozon harus diproduksi pada saat akan digunakan untuk
pengobatan. Pada suhu kamar hampir 50% ozon berubah menjadi oksigen murni. 1
Untuk menghasilkan ozon medik secara aman dan dalam dosis yang tepat, dibutuhkan generator
ozon medik dilengkapi sistem penyalurannya.
Generator ozon medik berbeda dengan generator
industri dalam hal kemampuannya untuk
menghasilkan campuran ozon-oksigen paling murni dengan dosis yang tepat.1 Generator dan
sistem penyaluran sebagai sumber oksigen harus memiliki tingkat kemurnian medik sehingga
terhindar dari nitrogen dan kotoran lain karena nitrogen dapat memproduksi NO yang bersifat
toksik terhadap jaringan.4 Generator ozon klinis
yang mengatur aliran ozon medik melalui tabung voltase dengan output bervariasi dari 4000 V
sampai 14000 volt dapat menghasilkan campuran ozon-oksigen dengan rentang konsentrasi sampai
5%, yang tergantung dari 3 variabel: (1) tegangan
yang digunakan (2) kecepatan aliran oksigen dan (3) jarak yang memisahkan elektroda. Kemurnian
sumber oksigen menjadi penting karena nitrogen, dengan adanya energi tinggi, dapat membentuk
nitrit oksida yang toksik.2 Ozon diproduksi pada
saat akan diberikan, karena ozon bukanlah obat yang memiliki shelf life dan dapat ditaruh dalam
waktu lama dan dosis tertentu.4
Dari karakteristiknya tersebut, ozon perlu dianggap sebagai pengobatan dengan complex therapeutic dynamics, yang memerlukan
pertimbangan dan evaluasi secara hati-hati untuk pengobatan kondisi medis.4
Tabel 2. Efek Reologis Ozon dalam Darah 8 Time post
ozone Hematokrit Filterability
whole blood Viskositas
darah Viskositas plasma
Fibrinogen
O
15 menit ↑ ↓ ↑ ↓
60 menit ↑ ↓
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 6/29
Tabel 3. Efek Metabolik Ozon dalam Darah 8 ATP ↑ Asam Hialuronat ?
Energy charge ↑ Fibronektin ?
Kolesterol ↓ FGF-α, EGF, KGF ?
Trigliserida ↓ Kolagen I/III ?
Asam Lemak ↓
Lipid densitas rendah ↓
Xantin ↓
C. Metode Pemberian Terapi Ozon
1. Autohemoterapi mayor
Darah vena ditampung ke dalam tabung khusus yang berisi antikoagulan, kemudian
ditambahkan campuran ozon-oksigen lalu di injeksikan kembali ke pasien secara
intravena.2
2. Injeksi intravena salin yang diozonisasi
Larutan salin diozonisasi dengan campuran ozon-oksigen kemudian diberikan secara
intravena kepada pasien.2
3. Insuflasi rektal
Pemberian campuran ozon-oksigen per rektal dengan peralatan khusus.5
4. Autohemoterapi minor
Darah vena diambil dengan syringe, kemudian
dicampur dengan campuran ozon-oksigen dan diinjeksikan intramuskular.2
5. Injeksi hipodermik, periartikular and
intraartikular2
6. Injeksi langsung intraarterial atau intravena
Ozon-oksigen murni diinjeksikan perlahan langsung ke arteri (biasanya arteri femoralis)
atau ke vena.1 Teknik ini dilarang sejak tahun 1984 karena
dapat menyebabkan emboli paru dan efek
samping lain serta keuntungan terapeutiknya diragukan.5
7. Injeksi intramuskular
Ozon-oksigen murni diinjeksikan ke otot
gluteus maksimus atau deltoid. 1
8. Ozone-acupunctur Menggunakan campuran ozon-oksigen yang
diinjeksikan ke titik akupunktur khusus.2
9. Drinking, gargling atau irigasi
Menggunakan salin yang diozonisasi atau air suling yang diozonisasi.2
10. Aplikasi eksternal campuran ozon-oksigen. Terutama pada lesi seperti ulkus dan gangren
pada ekstrimitas atau bagian tubuh lain.2
11. Penggunaan minyak yang diozonisasi.
Ozonated olive oil memungkinkan pemakaian jangka lama, paparan ozon dosis rendah dan
peroksidasi lipid terhadap jaringan.1
12. Balneotherapy
Menggunakan air yang diozonisasi dalam bentuk gelembung udara dalam air hangat
yang digunakan untuk mandi.1
13. Polyatomic oxygen Apheresis Therapy Darah pasien dikeluarkan melalui salah satu lengan, diozonisasi dan difilter di luar tubuh,
kemudian dikembalikan melalui lengan lainnya. Proses ini berjalan terus menerus
selama 1 jam dengan jumlah total darah yang
diberi ozon mencapai 3-4 liter.3
14. Penggunaan air yang diozonisasi Digunakan pada ekstraksi gigi atau dental surgery dalam bentuk pencuci dan untuk diminum juga.1
D. Penggunaan Medis Ozon
Penggunaan terapi ozon telah diawali sejak beberapa dekade yang lalu sebagai antiseptik.
Seiring dengan mulai ditemukannya penelitian
tentang potensi ozon dalam hal biokimia, reologik dan metabolik, mulai bermunculan penelitian-
penelitian terkait untuk membuktikannya. Sejauh ini, hasil yang didapatkan dari penelitian yang ada
umumnya memberikan hasil positif baik pada studi
in vitro, preklinis dan klinis.
Terapi ozon dalam bidang medis antara lain digunakan untuk mengatasi:
1. Kelainan Vaskular, karena dianggap ozon
dapat memperbaiki distribusi oksigen dan
pelepasan growth factors yang bermanfaat dalam mengurangi iskemi dan memperbaiki
penyembuhan luka.
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 7/29
2. Infark Miokard, karena ozon dianggap memiliki
efek yang baik terhadap profil lipid dan sistem pertahanan antioksidan pada infark miokard.
3. Diabetes Melitus (DM), karena ozon dianggap
berpotensi menghambat dan mengatasi
gejala-gejala diabetes dengan menurunkan kadar glukosa dalam darah dan meningkatkan
suplai oksigen ke dalam jaringan.
4. Luka. Ozon diklaim sebagai alternatif yang potensial untuk dijadikan agen yang
membantu penyembuhan luka selain terapi
konvensional yang sudah ada. Terapi ozon untuk luka umumnya diberikan secara topikal
sebagai antimikroba.
5. Kedokteran gigi. Dalam bidang kedokteran
gigi, terapi ozon telah digunakan sebagai
terapi alternatif untuk pengobatan karies,
untuk mengoptimalkan periode post-operasi pada pasien bedah tulang fasial (bersama
farmaseutikal lain), menyempurnakan metode konvensional terapi konservatif dan mencegah
berkembangnya komplikasi pada fraktur
mandibula, mengoptimalkan higiene oral, dan pengobatan gingivostomatitis, penyakit
paradontium serta alveolitis.
6. Kelainan Ginekologi. Di negara-negara Eropa Timur, ozon banyak digunakan untuk
mengatasi infeksi ginekologik, intrauterin
hingga komplikasi kemoterapi.
Pembuktian ilmiah berbagai penggunaan ozon akan diulas dalam bab selanjutnya.
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 8/29
BAB IV DISKUSI
Terapi ozon dinyatakan memiliki manfaat pada hampir semua penyakit, namun dari penelusuran
kepustakaan yang telah dilakukan, ditemukan sedikit sekali publikasi ilmiah mengenai terapi
ozon. Artikel ilmiah tersebut lebih banyak dimuat
dalam jurnal berbahasa Rusia dan Jerman dan hanya beberapa yang menggunakan bahasa
Inggris. Umumnya artikel ilmiah ini berupa laporan kasus dengan jumlah subyek sedikit, tidak
menyatakan secara jelas metode penelitian dan uji statistik yang digunakan serta tidak menggunakan
kontrol.
Pembahasan yang dilakukan pada bab ini
adalah mengenai indikasi terapi ozon seperti yang termasuk dalam ruang lingkup pembahasan yang
tercantum pada Bab II.
Namun, masih terdapat keterbatasan sumber
informasi berupa artikel ilmiah yang baik untuk pembuktian manfaat dan keamanan
penggunaannya. Berikut akan diuraikan penggunaan terapi ozon dalam berbagai keadaan
klinis.
A. Penggunaan Medis Ozon
1. Kelainan Vaskular
Perbaikan distribusi oksigen dan pelepasan growth factors bermanfaat dalam mengurangi iskemi dan
memperbaiki penyembuhan luka. Beberapa laporan observasi menyebutkan manfaat ozon
terhadap iskemi ekstrimitas bawah kronik, sindrom
Raynaud berat dan kelainan pembuluh darah otak dan jantung. Studi serial telah dilakukan untuk
mengetahui efek biologis ozon terhadap darah selama AHT. Terjadi peningkatan kadar 2,3-
diphosphogliserat (2,3-DPG) sehingga kurva disosasi oksihemoglobin bergeser ke kanan dan
meningkatkan distribusi oksigen ke jaringan
hipoksia dan terdapat peningkatan yang bermakna adenosine triphospat (ATP) intraeritrosit serta
energy charge.
Penelitian juga difokuskan untuk mengetahui
respons sel endotel manusia setelah diberi paparan terhadap ozon secara in vitro sebagai
simulasi dari apa yang terjadi in vivo. Sel endotel secara konsisten melepaskan sejumlah besar NO
yang menstimulasi vasodilatasi sehingga bisa menerangkan hilangnya rasa sakit secara cepat
pada pasien dengan iskemi pada ekstrimitas.
Penelitian klinis mengenai manfaat terapi ozon umumnya menggunakan kontrol oksigen. Publikasi
yang didapat berupa penelitian klinis dan praktis dalam skala kecil. Berikut beberapa studi yang
dilakukan untuk mengetahui efek terapi ozon pada
berbagai kelainan pembuluh darah:
a. Pengaruh terapi ozon pada profil lipid dan endotel
Untuk mengetahui dampak ozon terhadap lipid
serum dan trauma endotel yang merupakan faktor
penting dalam timbulnya lesi aterosklerotik telah dilakukan studi prospektif dengan kontrol oksigen.
Studi diikuti oleh 12 subyek dengan atherosclerotic ischemia of lower limbs (AILL) yang menjalani
hemodialisa. Mereka mendapatkan
autohemoterapi dengan oksigen sebagai kontrol, diikuti pemberian autohemoterapi dengan ozon
dalam konsentrasi 50mcg/ml. Pada penelitian ini dinilai serum lipid dan faktor von Willebrand
(vWF).
Setelah mendapatkan autohemoterapi ozon,
kolesterol total dinyatakan berkurang secara bermakna jika dibandingkan dengan nilai awal.
Nilai kolesterol LDL lebih rendah dibandingkan nilai awal. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada
aktifitas vWF setelah sesi pertama autohemoterapi
ozon.12
b. Penyakit sumbatan arteri perifer
Terapi ozon banyak digunakan untuk mengatasi
gangguan arteri dengan manifestasi hipoksia jaringan terutama pada ekstremitas bawah. Cara
pemberian terapi ozon terpilih untuk keadaan ini adalah dengan autohemoterapi mayor dan hanya
diberikan sebagai tambahan terapi lain yang diindikasikan (terapi standar).
Sebuah studi yang bertujuan untuk membandingkan efek terapi ozon dengan
balneologi klasik pada pasien dengan atheromatosis obliteratif dilakukan melalui
pengukuran aktivitas 3 enzim lisosom serum.
Penelitian ini melibatkan 96 pasien dengan iskemia ekstrimitas bawah (obliterative atheromatosis) yang dibagi menjadi 3 grup. Ytiu grup dengan terapi ozon, terapi balneologi tradisional dan
kontrol. Terapi ozon diberikan dengan infus intravena dan aerosol oxygen-ozone bath selama
30 menit untuk 10 hari. Dilakukan pemeriksaan
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 9/29
aktivitas cathepsin-D, fosfatase asam dan
arylsulphatase serta α-1-antitripsin. Terdapat peningkatan bermakna pada aktivitas hidrolase
lisosom dan kondisi umum pada grup ozon bila dibandingkan kontrol. Sedangkan grup dengan
terapi balneologi tidak memperlihatkan adanya
peningkatan dari aktivitas hidrolase lisosom dan kondisi umum pasien. 11
Sebuah RCT telah dilakukan terhadap 30
pasien yang mengalami peripheral occlusive arterial disease (POAD), yang dipilih secara acak
untuk menjalani terapi oksigen hiperbarik atau
terapi O2-O3.13 Dilakukan penilaian viskositas
darah, erythrocyte filterability, nilai hematokrit,
konsentrasi fibrinogen dan waktu trombin (thrombin time -TT). Terapi O2-O3 memperlihatkan
peningkatan yang bermakna pada erythrocyte filterability dan penurunan yang bermakna pada viskositas darah. Sebaliknya, terapi oksigen
hiperbarik tidak menunjukkan hal tersebut. Peningkatan peroksidasi lipid, dibuktikan dengan
meningkatnya level malonyldialdehyde plasma,
sepertinya merupakan mekanisme yang terlibat dalam efek hemoreologik pada terapi O2-O3.
13
Menurut Dorstewitz, terapi ozon biasanya
diberikan pada keadaan di mana operasi tidak bisa
dilakukan atau tidak terdapat indikasi operasi. Austrian Ozone Specialist (Rokitansky),
memberikan terapi ozon sebagai terapi praoperasi. Menurut Rokitansky (1982), pemberian terapi ozon
pada stadium lanjut dapat menurunkan angka amputasi atas lutut (above knee) hingga 50%.14
Salah satu penelitian dilakukan oleh Austrian Ozone Specialist, melibatkan 152 pasien rumah
sakit Viennese. Hasil penelitian dan kriteria keberhasilan tercantum pada tabel 5 dan 6. 14
Matassi pada tahun 1981 melaporkan hasil penelitian yang dilakukan terhadap 113 pasien
bedah vaskular rumah sakit di Milan, Italia. Ringkasan hasil penelitian tercantum pada tabel 7.
Tabel 5. Hasil Penelitian
Stadium
Fontaine
N Hasil
Sangat baik Perbaikan Tanpa perbaikan
II 62 54 (87.1%) 6 (9.7%) 2 (3.2%)
III 51 36 (70.6%) 11 (21.6%) 4 (7.8%)
IV 39 21 (53.8%) 10 (25.6%) 8 (20.6%)
Tabel 6. Kriteria Hasil Pengobatan
Stadium Fontaine
Sangat baik Perbaikan Tanpa perbaikan
II Berjalan >1000m >400m Tetap atau memburuk
III >800m, tanpa nyeri istirahat >300m, kadang muncul nyeri
Tetap atau memburuk
IV >500m, gangren sembuh sempurna
Amputasi jari kaki dengan penyembuhan yang baik
Tetap atau memburuk
Tabel 7. Hasil Penelitian Matassi (1981)
Stadium Fontaine
N Hasil
Sangat baik Perbaikan Tanpa perbaikan II 48 8 (17%) 28 (58%) 12 (25%)
III 27 2 (7%) 18 (67%) 17 (26%)
IV 38 4 (11%) 16 (42%) 18 (47%)
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 10/29
Penelitian lain oleh Bolgov dkk.15 yang bertujuan
untuk mengetahui manfaat terapi ozon bagi pasien dengan obliterasi pembuluh darah ekstremitas
bawah dilakukan terhadap 40 pasien dengan
aterosklerosis pembuluh ekstremitas bawah. Mereka terdiri dari 38 pria (usia 54-81 tahun) dan 2 wanita
usia 60 dan 73 tahun. Sebanyak 28 pasien menderita insufisiensi kronik arteri grade II dan 12
orang menderita insufisiensi kronik arteri grade III dengan distribusi letak sumbatan bervariasi.
Mereka mendapatkan ozonated saline intravena dan autohemoterapi minor. Hasil positif didapatkan
pada 93.3% kasus, sedangkan 6.2% pasien tidak mendapatkan efek. Perbaikan dinilai dari
berkurangnya nyeri pada otot gastroknemius saat
berjalan, perbaikan sirkulasi darah perifer serta meningkatnya toleransi latihan fisik. Hasil terbaik
terdapat pada pasien dengan insufisiensi kronik arteri grade II. Kesimpulan dari penelitian tersebut
adalah pemberian ozonated saline secara parenteral dikombinasi dengan autohemoterapi minor,
stimulasi bio-active point dan ozonisasi eksternal
dapat memperbaiki sirkulasi perifer dan mikrosirkulasi. 15
Tylicki dkk. mengadakan penelitian untuk
mengetahui efikasi terapi ozon terhadap klaudikasio
intermiten pada pasien hemodialisa. Penelitian ini melibatkan 10 pasien dengan klaudikasio intermiten
(Fontain stadium II) yang mendapatkan AHT ozon dengan konsentrasi ozon 50 microg/mL dengan
kontrol oksigen. Pada akhir penelitian didapatkan
peningkatan kemampuan berjalan yang bermakna setelah AHT jika dibandingkan dengan nilai awal
(30%;P<0.01) dan dengan oksigen (22.7%;P<0.03). Didapatkan pula peningkatan pain free distance setelah AHT jika dibandingkan dengan nilai awal (71.7%;P<0.02) dan dengan oksigen
(62.8%;P<0.03).16
Penelitian mengenai pemberian terapi ozon
dengan autohemoterapi pada gangguan sirkulasi arteri serebri pertama kali dilakukan oleh Wasser
sebagai terapi pelengkap (komplementer) dari terapi
konvensional.14 Penelitian melibatkan 43 pasien stroke akut. Terapi diberikan dengan mengalirkan
ozon pada darah pasien. Hasil penelitian tercantum pada tabel 8.
Tabel 8. Hasil 14
POSTAPOPLETIC SYNDROME TYPOLOGY (n=43)
T1 T2 T3 Restorasi fungsi fisik, termasuk kontrol motorik yang baik
Hambatan fungsi motorik umum, tidak ada kontrol motorik yang baik
Kondisi spastik tipikal yang membutuhkan perawatan khusus, keterbatasan yang berat
n=37 n=6 -
2. Infark Miokard
Penelitian klinis yang bertujuan untuk mengetahui
efek terapi ozon endovenous terhadap profil lipid
dan sistem pertahanan antioksidan pada pasien dengan infark miokard dilakukan terhadap 21 pasien
yang mengalami infark miokard, antara 3 bulan hingga 1 tahun sebelumnya. Pasien dengan infark
miokard menunjukkan penurunan glutathione peroxidase dan aktifitas superoksid dismutase yang
merupakan cikal bakal terbentuknya lipid peroksid
dan superoxide radical. Setelah mendapatkan 15 sesi autohemoterapi ozon terjadi penurunan
bermakna dari total kolesterol dan LDL, serta peningkatan bermakna dari aktifitas erythrocyte glutathione peroxidase dan G6PD. Tidak terjadi
perubahan kadar peroksidase plasma lipid. Dari penelitian ini disimpulkan bahwa autohemoterapi
ozon pada pasien infark miokard bermanfaat dalam metabolisme lipid dan memicu aktifasi sistem
pertahanan antioksidan.17
3. Diabetes Melitus (DM)
Terapi ozon dinyatakan berpotensi menghambat
dan mengatasi gejala-gejala diabetes dengan menurunkan kadar glukosa dalam darah dan
meningkatkan suplai oksigen ke dalam jaringan.
Untuk menurunkan kadar glukosa, ozon berperan dalam dua cara. Pertama, dengan menstimulasi
terjadinya proses enzimatik dalam tubuh, yakni siklus pentosa fosfat dan glikolisis aerob, di mana
kedua proses ini tidak terjadi pada penderita
diabetes. Kedua, dengan memicu glutation, yang berfungsi membentuk glikogen dan lemak dari
glukosa. Sementara itu proses pembentukan glukosa dari protein dan pemecahan glikogen
sendiri dihambat, sehingga seluruh proses ini menurunkan kadar glukosa darah. 18
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 11/29
Selain perannya dalam pengaturan kadar gula
darah, ozon di berbagai literatur dinyatakan memiliki efek potensial dalam mengobati ulkus-gangren
diabetikum. Hal ini dihubungkan dengan sifat ozon sebagai bakterisida, dapat membersihkan luka dan
imunoaktifasi sehingga dapat mempercepat
penyembuhan luka. 18
Manfaat ozon terhadap diabetes melitus ini ditemukan pada hasil penelitian yang banyak
dilakukan terutama di Jerman, Itali dan Rusia. Berikut beberapa penelitian tentang efek terapi ozon
pada diabetes melitus.
Pavlovskaya dkk. dari Rusia melakukan
penelitian mengenai manfaat terapi ozon pada
pasien DM. Penelitian ini melibatkan 20 pasien DM tipe 1, 18 pasien tipe 2 dan tanpa kontrol.
Terapi ozon diberikan dalam bentuk larutan
fisiologis terozonisasi IV. Dinyatakan bahwa terapi ozon memberikan efek positif berupa
penurunan glukosa darah, hilangnya rasa sering haus, perbaikan poliuria, hilangnya gatal-gatal
pada kulit dan badan lemas, serta dapat menurunkan penggunaan obat antidiabetik
hingga 25%.
Telah diketahui bahwa pasien DM mengalami
stres oksidatif. Dalien dkk.19 melakukan
penelitian mengenai efek terapi ozon pada stres oksidatif yang berhubungan dengan DM.
Penelitian ini melibatkan 20 pasien DM dengan
ulkus pada ekstremitas bawah, yang dibagi secara acak dalam 2 grup terapi: (1) grup
kontrol, yang diterapi dengan antibiotika sistemik dan lokal dengan metode konvensional
(2) grup ozon, yang diterapi dengan ozon setiap hari, sebanyak 20 sesi dengan insuflasi rektal
dan aplikasi lokal. Untuk aplikasi lokal, dilakukan
dengan menggunakan kantung plastik yang dipasang pada tungkai dengan lesi, dibuat
kedap udara dan kemudian diisi dengan ozon konsentrasi 80 mg/l selama 1 jam. Setelah itu,
lesi dioles dengan minyak bunga matahari yang
telah diozonisasi. Pada akhir terapi dinyatakan terjadi peningkatan aktifitas katalase dan
penurunan lipid peroksidase yang bermakna.
Kulikov dkk.20 melakukan penelitian mengenai
efikasi berbagai metode terapi ozon pada
komplikasi vaskular pada DM. Penelitian ini melibatkan 21 pasien DM tipe 1 dan 97 pasien
DM tipe 2 yang memiliki komplikasi angiopati ekstrimitas bawah dan retinopati diabetikum.
Mereka menerima obat penurun gula serta terapi ozon-oksigen. Terapi ozon-oksigen
diberikan dalam 3 teknik, metode eksternal,
sistemik dan kombinasi keduanya. Metode
eksternal dan kombinasi dinyatakan memberi hasil yang lebih baik pada kelainan trofik pada
regio distal ekstrimitas bawah. Sedangkan metode sistemik dan kombinasi dinyatakan
memberi hasil yang lebih baik untuk komplikasi
lain diabetes seperti angiopati, retinopati serta parameter fungsional serta biokimia.
4. Luka
Selain digunakan sebagai antiseptik, ozon juga
dinyatakan memiliki efek antivirus, antijamur dan
antiprotozoa. Ozon diklaim sebagai alternatif yang potensial untuk dijadikan agen yang membantu
penyembuhan luka selain terapi konvensional yang sudah ada. Hingga saat ini, penggunaan ozon baik
secara sistemik berupa autohemoterapi maupun
topikal telah diaplikasikan untuk membantu penyembuhan luka seperti luka bakar, luka tembak,
luka terinfeksi, ulkus-gangren diabetikum, ulkus dekubitus, luka post operasi dan lain-lain. Terapi
ozon untuk luka umumnya diberikan secara topikal sebagai antimikroba.
Ozon tekanan rendah dalam sungkup hampa udara (suction cup) diletakkan di tempat lesi.
Metode tekanan rendah ini dikatakan dapat mempercepat penyembuhan karena ozon dalam
tekanan subatmosfir menyebabkan hiperemisasi dan
pelonggaran jaringan, sehingga meningkatkan difusi campuran ozon dan oksigen.21 Selain itu, pemakaian
minyak yang diozonisasi juga dicantumkan dalam beberapa kepustakaan dapat mempercepat proses
penyembuhan luka.
Penelitian untuk hal ini telah dan masih
dilakukan di berbagai penjuru dunia terutama berkaitan dengan efek biologis ozon terhadap
jaringan yang rusak, kombinasi penggunaan yang paling efektif dengan metode dan terapi
konvensional, efek samping yang ditimbulkan dan
efektifitas terapi ozon untuk mempercepat penyembuhan luka. 21
a. Luka bakar dan komplikasinya
Viebahn dalam bukunya menyatakan bahwa penggunaan campuran ozon- oksigen pada luka
bakar dapat memberikan hasil yang baik. Aplikasi yang digunakan berupa ozon konsentrasi tinggi
untuk transcutaneous gas bath, lalu tekanan diturunkan sampai ke konsentrasi ideal untuk
penyembuhan luka. Proses ini bisa dilengkapi
dengan menggunakan kompres air yang telah diozonisasi. Keuntungan metode terapi ini adalah
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 12/29
berkurangnya edema dan rasa nyeri dengan cepat.
Hasil studi peneliti lain diuraikan di bawah.
Untuk mengetahui manfaat terapi ozon terhadap luka bakar, dilakukan sebuah studi dengan
kontrol terhadap 55 pasien luka bakar dengan luas
>20% luas permukaan tubuh dengan kedalaman derajat II-IV.22 Terapi ozon diberikan dengan cara
memberikan larutan salin fisiologis yang telah diozonisasi secara intravena dalam waktu 35 menit.
Satu sesi terapi ozon terdiri dari 10 kali terapi. Untuk mengetahui konsentrasi ozon yang akan
diberikan secara parenteral per individu, dilakukan
ozonisasi in vitro darah pasien dan follow up peroksidasi lipid yang dievaluasi dengan
chemiluminescence. Secara in vitro dibuktikan bahwa konsentrasi ozon yang tidak menyebabkan
ketidakseimbangan sistem antioksidan adalah 2000
mcg/L. Follow up melalui data chemiluminescence menyatakan bahwa terdapat peningkatan aktivitas
antioksidan plasma, resistensi peroksida eritrosit dan normalisasi produksi AOS oleh netrofil.
Rasterayeva dkk.23 melakukan sebuah studi
untuk mengetahui efektifitas terapi ozon pada
neuropati pasien luka bakar. Studi ini melibatkan 20 pasien luka bakar disertai komplikasi kerusakan
saraf (grup I) dengan observasi selama 2 tahun. Luasnya luka bakar berkisar antara 5%-60%.
Semua pasien menjalani pemeriksaan neurologis
lengkap, electromyography (EMG) dan motor nerve conduction velocities (MNCV) pada ekstrimitas yang
terkena maupun tidak terkena luka bakar. Grup kontrol terdiri dari 20 orang (grup II) dipilih secara
acak, didiagnosis memiliki neuropati perifer melalui
EMG. Kedua grup mendapatkan terapi ozon yang diberikan melalui aplikasi lokal dengan meletakkan
ekstrimitas dalam kontainer plastik khusus. Pemberian terapi ozon pada kerusakan saraf ulnar
dan median pasien luka bakar dinyatakan memberi hasil positif yang bermakna. Hal ini diperkirakan
karena terapi ozon regional selain mempercepat
penyembuhan luka melalui efek bakterisidalnya, juga memperbaiki trofik serabut syaraf.
Xie dkk.24 melakukan penelitian untuk
mengetahui peran larutan ozon pada debridement
dan sterilisasi pada luka bakar. Hasilnya, semua bakeri yang dites dengan menggunakan larutan
ozon mati. Penggunaan larutan ozon pada luka bakar dinyatakan memberikan clearance rate 95,5%
dan secara klinis memperlihatkan perbaikan sebanyak 97,1%. Dari penelitian ini diambil
kesimpulan bahwa ozon adalah agen desinfektan
yang efektif pada luka bakar.
b. Ulkus
Ozon telah digunakan dalam pengobatan berbagai
macam ulkus. Subjek penelitian penting adalah pasien dengan ulkus yang sulit menyembuh dan
telah diderita dalam waktu lama. Pasien tersebut
sebagian besar penderita diabetes melitus mengingat pada patogenesis terjadinya ulkus,
kelainan metabolik seperti diabetes melitus tidak bisa dipisahkan sebagai faktor risiko. Selain itu
penelitian juga dilakukan pada pasien dengan ulkus dekubitus. Metode pemberian ozon pada ulkus
menggunakan metode autohemoterapi dan topikal.
Ozon diklaim memiliki efek antiseptik, dilatasi
pembuluh darah, aktivasi jaringan granulasi dan neoangiogenesis. Sebuah studi dilakukan terhadap
60 pasien diabetes dengan ulkus pada kaki dan
tungkai yang menjalani perawatan konvensional sesuai Konsensus Internasional Kaki Diabetes.25
Menurut pedoman yang direkomendasi oleh Italian Society of Oxygen-Ozone Therapy, terapi ozon-
oksigen dimulai bila tidak ada penyembuhan setelah terapi konvensional selama 4 minggu. Terapi ozon
diberikan baik dalam bentuk lokal hiperbarik
maupun infiltrasi supersifisial lokal sebanyak 1-3 kali seminggu. Pasien dievaluasi baik klinis maupun
biologis setelah menjalani 8 sesi terapi. Kriteria penyembuhan ulkus diklasifikasikan menurut TWCS.
Selama studi, 58 pasien dengan diabetes tipe 1 dan 2 menjalani 1-42 sesi terapi (rata-rata 12,1).
Sebanyak 21 pasien menjalani terapi lengkap, 8 pasien mengalami banyak perbaikan (penyembuhan
terjadi pada lebih dari 50% permukaan luka), 16
pasien mengalami sedikit perbaikan (penyembuhan kurang dari 50% permukaan luka), 3 pasien tidak
mengalami perubahan dan 6 pasien mengalami perburukan ulkus. Ulkus yang diklasifikasikan
sebagai stadium A dan B dan grade I dan II menurut TWCS memiliki hasil yang lebih baik.
Anichini dkk.26 melakukan sebuah studi yang bertujuan untuk mengetahui efek terapi ozon lokal
pada perawatan ulkus pada kaki diabetik. Studi ini melibatkan 34 pasien DM dengan ulkus kaki kronik.
Umur rata-rata adalah 58+13 tahun dan lama
menderita diabetes rata-rata 20+13 tahun. Ulkus pasien diklasifikasikan menggunakan sistem
klasifikasi luka Texas. Semua pasien berada pada stadium 1 atau lebih tinggi, dengan derajat infeksi
yang berbeda dengan atau tanpa iskemi. Pasien mendapatkan terapi ozon lokal 2-3 kali seminggu.
Dilaporkan hasil 53% pasien yang diterapi dengan terapi ozon mengalami penyembuhan dalam
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 13/29
20 minggu, 34% mengalami pengurangan luas
permukaan luka lebih dari 50%. Pada 18% pasien, terapi ozon tidak memberi pengaruh terhadap
penyembuhan luka, tetapi dalam keseluruhan kasus terdapat penurunan kandungan bakteri,
jumlah eksudat, mengontrol edema dan
mempercepat timbulnya jaringan granulasi.
Untuk menjelaskan peran terapi ozon sebagai bagian dari program multidisiplin dan mengurangi
jumlah amputasi diperlukan studi lebih lanjut.
Untuk mengetahui perbedaan efektifitas
minyak yang telah diozonisasi (ozone oil therapy) dengan terapi konvensional terhadap ulkus
dilakukan sebuah RCT27 dengan sampel 120 pasien ulkus ekstrimitas bawah (post trauma atau karena
insufisiensi vena kronik) dengan diameter 1-4 cm,
mulai dari yang baru sampai yang telah berlangsung selama 3 tahun. Terapi diberikan
selama 30 hari di rumah. Grup kontrol diterapi dengan venous repose, hyposodic diet, analgesik
oral, pembersihan luka dengan benzalconium chloride 1/5000 dan pemberian antibiotika topikal.
Grup ozon mendapatkan terapi yang sama, kecuali
antibiotika topikal yang diganti dengan ozone oil.
Kriteria yang dievaluasi adalah tanda dan gejala
pasien serta sikatrisasi luka.
Semua perbedaan antara kedua grup tersebut
bermakna secara statistik, dengan efektifitas yang lebih tinggi pada grup ozon. Dari hasil penelitian
tersebut disimpulkan bahwa ozone oil lebih efektif dibandingkan dengan terapi konvensional dalam
penyembuhan ulkus ekstrimitas bawah.
Matsumoto dkk.28 melaporkan sebuah studi
tanpa kontrol terhadap 20 orang yang pernah mendapatkan terapi untuk fistula dan luka operasi.
Studi ini bertujuan untuk mengetahui manfaat ozonized olive oil pada diagnosis tersebut. Luka
dan fistula dibersihkan dari pus dan ozone oil dimasukkan melalui jarum suntik, setelah itu luka ditutup longgar dengan kasa. Pada kasus dengan
produksi pus yang sangat banyak, dilakukan pencucian dengan larutan salin serta dilakukan
debridement jaringan yang nekrosis. Antibiotika tidak diberikan dan luka tidak diisi dengan kasa
maupun drain. Pada akhir studi dinyatakan bahwa
pemakaian ozonized oil menyebabkan pemadatan pus, pengeringan luka, epitelisasi dan
pengurangan ukuran abses.
Telah dilakukan sebuah studi perbandingan
efek berbagai antiseptik dengan ozon pada mikrooganisme patogen ulkus kruris.29 Penelitian
ini merupakan penelitian eksperimental in vitro untuk mengetahui efek germisida beberapa
antiseptik termasuk ozon terhadap bakteri dan jamur pada ulkus tungkai. Efek terbaik dicapai
oleh triphenylmethane dyes brilliant green dan
methylrosalinine chloride. Chloramine dan povidone iodine mencapai hasil rata-rata,
sedangkan potassium permanganat dan eosin tidak memperlihatkan efek yang memuaskan.
Dalam hal waktu penyembuhan ulkus, kebanyakan pasien dalam grup ozon (95%)
mengalami penyembuhan dalam 15 hari pertama dan sisanya dalam 5 hari berikutnya (tabel 10).
Tabel 9. Ulkus Ekstrimitas Bawah: Perbaikan tanda dan gejala
Tanda
dan Gejala
Grup Ozon Grup Kontrol
< 15 hari > 15 hari < 15 hari > 15 hari
Jumlah Pasien
(%) Jumlah Pasien
(%) Jumlah Pasien
(%) Jumlah Pasien
(%)
Inflamasi 57 (95) 3 (5) 7 (12) 53 (88)
Fetidness (bau) 60 (100) - - 60 (100) - -
Nyeri 58 (97) 2 (3) 38 (63) 22 (37)
Tabel 10. Ulkus Ekstrimitas Bawah: Periode Penyembuhan
Periode Penyembuhan Grup Ozon Grup Kontrol
Jumlah Pasien % Jumlah Pasien % < 15 hari 57/60 (95) 7/60 (12)
16-20 hari 3/60 (5) 45/60 (75)
21-30 hari - - - -
Tidak sembuh - - 8/60 (13)
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 14/29
Ozon dinyatakan dapat menginaktivasi semua
kuman kecuali Serratia dan Klebsiella.
Gorbunov dkk.30 melaporkan sebuah studi terhadap 42 pasien untuk mengetahui manfaat
terapi ozon pada ulkus tropik pada kaki. Terapi
ozon diberikan pada 8-10 hari pertama, dengan membalut luka menggunakan pembalut yang
diberi antiseptik yang telah diozonisasi serta ozonated olive oil, dengan kantong plastik yang
diisi ozon serta injeksi campuran ozon-oksigen subkutan. Selain itu, pasien juga menerima injeksi
intravena 250 ml ozonated rheopolyglukine setiap
hari. Cara yang diklaim terbukti paling efisien adalah terapi kompleks yang terdiri dari
vulnerosorbtion dengan vakum tekan terapi ozon eksternal dalam hard-frame chamber. Dalam 10-
12 hari terapi, permukaan ulkus menjadi steril,
tingkat epitelisasi tidak lebih dari 4-5% perhari dan mulai minggu ketiga menjadi 11-12% sehari.
Hanya 1 dari 42 pasien yang tidak mengalami penyembuhan lengkap.
Calderon31 melaporkan pengalaman klinisnya
selama 3,5 tahun menggunakan terapi ozon
topikal pada penatalaksanaan ulkus kruris. Sebanyak 81 pasien dengan ulkus kruris
diikutsertakan dalam studi tanpa kontrol yang berlangsung selama rata-rata 8,5 bulan. Mereka
menderita DM, insufisiensi vena atau arteri atau
kombinasi keduanya. Delapan belas diantaranya pernah dianjurkan untuk menjalani amputasi oleh
institusi kesehatan sebelumnya. Perawatan lokal yang diberikan terdiri dari perawatan luka topikal
konvensional dengan tambahan terapi ozon-
oksigen pada ulkus 3 kali seminggu dengan menggunakan microclimate chamber desain baru.
Penyembuhan ulkus dinilai dari foto digital serial dan planimetri dengan sistem komputerisasi serta
hitung bakteri pada ulkus secara kuantitatif. Selama pengamatan tidak ditemukan adanya efek
samping. Jumlah rerata terapi yang dijalani pasien
adalah 28,5/pasien. Sebanyak 62 pasien (termasuk 18 pasien yang pernah dianjurkan
untuk amputasi) mengalami penyembuhan spontan atau dilakukan tandur kulit pada pasien
dengan luka yang memiliki jaringan granulasi yang
baik. Kolonisasi bakteri berat dieradikasi dalam 24 sampai 48 jam. Walaupun pada 19 pasien tidak
terdapat perbaikan pada ulkus, efek bakteriostatik ozon terhadap flora pada ulkus dinyatakan
signifikan.
Van der Zee dan de Monte8 melaporkan 2
kasus ulkus tungkai bawah yang sukar sembuh yang diberi terapi ozon. Seorang diantaranya
menderita diabetes melitus tipe II dan lainnya
kemungkinan menderita vaskulitis. Keduanya telah
menjalani pengobatan dari berbagai spesialisasi seperti kulit, penyakit dalam dan bedah vaskular.
Keadaan klinis kedua pasien terus memburuk terutama untuk rasa nyeri sehingga pasien datang
ke klinik nyeri. Simpatektomi lumbar dan blok
epidural yang dilakukan berhasil mengatasi nyeri, tapi tidak untuk ulkus. Dilakukan terapi ozon
dengan metode autohemoterapi. Terapi ini dilakukan 2 kali seminggu, setelah terjadi
perbaikan pada ulkus, dikurangi menjadi sekali seminggu sampai penyembuhan ulkus. Dengan
autohemoterapi ozon, dinyatakan terjadi perbaikan
pada edema serta intensitas nyeri pada periode awal pemberian autohemoterapi ozon. Proses
penyembuhan berjalan lambat tetapi progresif hingga penyembuhan sempurna dari ulkus.
c. Luka lainnya
Turcic dkk.32 melakukan sebuah RCT terhadap 35 pasien dengan luka akibat perang yang menjalani
split-thickness skin graft untuk mengevaluasi efek ozon terhadap luka tersebut. Setiap pasien
memiliki setidaknya 2 luka tembak, satu di tungkai
bawah atau lengan bawah dan lainnya di tungkai atas atau lengan atas. Selama 10 hari pertama,
luka dikompres dengan larutan NaCl 10% sampai timbul jaringan granulasi pada luka. Selanjutnya,
defek tersebut ditutupi dengan split-thickness skin graft sesuai dengan Thiersch. Tandur kulit pada tungkai atau lengan atas dirawat dengan cara
konvensional dan dijadikan sebagai grup kontrol. Sedangkan tandur kulit pada tungkai atau lengan
bawah sebagai grup ozon, dan mendapatkan
tambahan terapi ozon. Hasil terapi diukur berdasarkan persentase graft yang berhasil
setelah 10 hari dan dibandingkan dengan grup kontrol. Didapatkan lebih dari 74,3% graft yang
diberikan terapi ozon berhasil menutupi lebih dari 75% permukaan luka, sedangkan grup kontrol
hanya sekitar 40%. Perbedaan ini bermakna
secara statistik. Artikel didapatkan dalam bentuk abstrak.
Buynin dkk.34 memperkenalkan metode
perawatan luka dengan aliran larutan ozon
tekanan tinggi. Dasar metode ini adalah pemakaian lokal larutan yang diozonisasi dan
terdispersi halus dengan menggunakan tekanan tinggi. Cairan diozonisasi melalui generator dengan
tekanan 350 ATM. Metode ini diklaim oleh penggunanya dapat membersihkan permukaan
luka secara cepat dari jaringan nekrotik,
merangsang eliminasi infeksi sehingga mengurangi masa rawat pasien.
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 15/29
5. Kedokteran Gigi
Dalam bidang kedokteran gigi, terapi ozon telah
digunakan sebagai terapi alternatif untuk pengobatan karies, untuk mengoptimalkan periode
post-operasi pada pasien bedah tulang fasial
(bersama farmaseutikal lain), menyempurnakan metode konvensional terapi konservatif dan
mencegah berkembangnya komplikasi pada fraktur mandibula, mengoptimalkan higiene oral, dan
pengobatan gingivostomatitis, penyakit paradontium serta alveolitis.
a. Karies gigi
Pada praktek umum dokter gigi, karies gigi di permukaan akar dan oklusal merupakan lesi baru
yang paling sering ditemukan (sampai 70%
kasus), dengan karies inter-dental ditemukan sebanyak 15% dari semua kasus. Pendekatan
tradisional untuk diagnosis dan tatalaksana karies oklusal telah berubah dalam 20 tahun terakhir,
tetapi masih terdiri dari terapi amputasi, yaitu membuang jaringan yang rusak dan digantikan
dengan beberapa jenis bahan pengisi atau
restorasi. Diperlukan terapi alternatif di mana karies gigi dapat dibiarkan untuk remineralisasi
sebelum restorasi dilakukan sehingga kehilangan jaringan dan trauma pada pasien minimal.36
Terapi ozon dianggap sebagai terapi alternatif untuk pengobatan karies gigi dan didukung oleh
penelitian yang semakin banyak jumlahnya. Dari penelitian yang ada dinyatakan bahwa ozon dapat
memecah produk asam dari bakteri kariogenik,
yang diketahui berperan penting sebagai penyebab munculnya karies gigi (Lynch E dkk.
1997). Baysan A dkk. (2000) melaporkan bahwa penggunaan ozon selama 10-20 detik efektif
membunuh 99% atau lebih (99,9% setelah 20 detik) mikroorganisme pada karies akar primer
secara in vitro dan in vivo, dan pemberian selama
10 detik dapat menurunkan jumlah Streptococcus mutans dan S. sobrinus secara in vitro. Penelitian
oleh Abu-Salem dkk. (2002) melaporkan bahwa karies oklusal pada gigi desidua dapat dikontrol
efektif dengan terapi ozon. Penelitian oleh Domingo dkk. (2001), melaporkan penerimaan
modalitas terapi ini oleh pasien.36
Beberapa penelitian yang ditemukan dalam
penggunaan terapi ozon untuk pengobatan karies gigi:
Penelitian oleh Holmes36 (dari UKSmiles Dental Practice, United Kingdom) tentang perubahan
klinis Primary Occlusal Fissure Carious Lesions (POFCLs) pada penggunaan ozon. Penilaian
dilakukan dengan menggunakan DIAGNOdent untuk menilai perburukan dan keamanan serta
efikasi sistem pemberian ozon untuk
penatalaksanaan POFCLs dengan atau tanpa restorasi akhir. Data diambil dari 579 POFCLs pada
173 pasien yang mengunjungi praktek gigi UKSmiles selama periode 4 bulan, Desember
2001-Maret 2002. Pasien yang memiliki 2 atau lebih POFCLs dialokasikan secara acak kedalam 2
kelompok (mendapat O3 dan tidak). Kelompok O3
kemudian diberikan terapi ozon. Pemeriksaan ulang dilakukan rata-rata 2 bulan kemudian. Dan
terapi ozon diberikan kembali pada kelompok O3. Pasien pada kedua kelompok menggunakan pasta
gigi standar dan pencuci mulut sodium fluoride
yang sama, selama sekurangnya 4 minggu setelah pemberian terapi ozon pertama.
Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa
penggunaan ozon dapat memperbaiki gejala klinis
POFCLs dan dapat dianggap sebagai alternatif baru terhadap terapi konvensional “drilling and filling” atau “amputation” pada penatalaksanaan karies. Perubahan pembacaan DIAGNOdent dari
penilaian lesi awal dan pengkajian ulang 2 bulan kemudian dapat dianggap sebagai “healing index” atau “remineralisation index”.
Tabel 11. Clinical Severity Index36
Indeks Penilaian Kebutuhan Pengobatan Waktu 1 Lesi yang memerlukan drilling dan filling 40 detik dengan O3
2 Lesi mungkin memerlukan drilling dan filling 30 detik dengan O3
3 Lesi yang memerlukan obat-obatan, tidak drilling dan
filling
20 detik dengan O3
4 Lesion arrested 10 detik dengan O3
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 16/29
Holmes41 juga melakukan penelitian double-blind, randomised, controlled 18-month trial tentang perubahan klinis karies akar gigi pada penggunaan
ozon. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui efek sistem pemberian ozon yang dikombinasikan
dengan penggunaan peralatan remineralisasi harian
pada non-cavitated leathery Primary Root Carious Lesions (PRCL‟s) pada kelompok populasi yang
berumur lebih tua. Penelitian diikuti oleh 89 partisipan (usia berkisar 60-82 tahun), masing-
masing memiliki 2 lesi yang secara acak dan double-blind, salah satu diberikan terapi dengan ozon dan
lainnya dengan udara. Penilaian dilakukan
menggunakan Clinical Severity Index. Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa leathery non-cavitated primary root caries bisa ditangani tidak dengan operasi, tetapi dengan ozon dan produk
remineralisasi. Rejimen terapi ini merupakan sebuah
alternatif yang efektif daripada teknik konvensional “drilling and filling”.
Penelitian oleh Naba‟a dkk.39 (dari School of
Dentistry, Queen‟s University United Kingdom)
yang memantau remineralisasi, perburukan atau perbaikan Primary Occlusal Pit and Fissure Caries (POPFC) dengan atau tanpa penggunaan
terapi ozon. Penilaian dilakukan dengan menggunakan Clinical Severity Index (CSI). Penelitian ini melibatkan 258 lesi non-cavitated, yang dinilai skor klinisnya, dan kemudian diacak
kedalam 2 kelompok (sebagian diterapi dengan
ozon selama 10 detik dan sebagiannya lagi sebagai kelompok kontrol). Prosedur diulangi
pada bulan ke 1, 3, 6, 9 dan 12. Dari hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa perubahan
klinis bermakna pada kedua kelompok di mana
lesi yang diterapi dengan ozon stabil selama 6 bulan sedangkan lesi pada kelompok kontrol
memburuk terus.
Naba‟a dkk.40 juga melaporkan longitudinal controlled clinical trial 12 months review untuk
memantau remineralisasi, perbaikan atau
perburukan primary occlusal pit dan fissure (PFC) dengan atau tanpa terapi ozon. Penelitian
ini melibatkan gigi tetap dengan PFC tanpa cavitated pada 89 pasien. Setelah pengacakan,
total 195 lesi diterapi dengan ozon selama 10
detik dan setengah lainnya sebagai kontrol. Sejumlah 66 pada kelompok pengobatan dan 66
pada kelompok kontrol kemudian mendapat fissure sealant. Dilakukan pencatatan clinical severity, pembacaan DIAGNOdent, dan Electrical Caries Monitor (ECM). Untuk gigi yang
tidak ditutup, prosedur diulangi pada bulan ke
1, 3, 6, 9 dan 12, sedang yang ditutup, diperiksa kualitas sealantnya. Dari hasil
penelitian ini didapatkan bahwa terapi ozon
bermakna dalam remineralisasi lesi tanpa memandang lokasi ataupun tipe lesi dan gigi.
Lesi pada kelompok yang tidak mendapat ozon kandungan mineralnya semakin berkurang.
Sealing setelah terapi ozon paling baik setelah 3
bulan pengobatan.
Penelitian oleh Abu-salem dkk.42 (dari Oral Health Care Research Centre, School of Dentistry, Queen‟s University United Kingdom)
yang mengkaji dan memantau perbaikan karies oklusal pada gigi susu efikasi dengan ozon.
Penilaian dilakukan dengan menggunakan
DIAGNOdent dan Electrical Caries Monitor (ECM). Sejumlah 17 pasien dengan 50 lesi
karies non-cavitated dilibatkan dalam penelitian ini. Dilakukan pembacaan DIAGNOdent, ECM
dan penentuan klasifikasi klinis awal. Setelah
pengacakan, setengah lesi diterapi dengan ozon selama 10 detik, sedangkan setengah yang lain
sebagai kelompok kontrol. Pembacaan ulang DIAGNOdent, ECM dan klasifikasi klinis setelah 3
bulan. Pembacaan ECM meningkat bermakna (p<0,05) dan DIAGNOdent menurun bermakna
(p<0,01) pada kelompok ozon dibanding
kelompok kontrol. Penurunan nilai DIAGNOdent berhubungan dengan penurunan keparahan lesi
sedangkan nilai ECM yang tinggi berhubungan dengan penyerapan yang makin berkurang
dalam lesi, sehingga menggambarkan
penurunan tingkat keparahan.
Penelitian Lynch dkk.43 (dari Queen‟s University United Kingdom) yang menilai keamanan dan efikasi sistem pemberian ozon untuk
penanganan soft primary root caries dan juga cavitated leathery primary root caries yang
tingkat keparahannya paling rendah. Penelitian
ini diikuti oleh 260 partisipan, masing-masing memilki 2 primary root caries lesions (PRCLs).
Didapatkan hasil bahwa Leathery non cavitated primary root caries dapat diperbaiki tanpa
operasi dengan ozon. Pengobatan dengan ozon
merupakan alternatif yang efektif dari terapi konvensional yang menggunakan drilling dan filling.
b. Bedah tulang maksilofasial37
Operasi pada tulang facial berhubungan dengan
traumatisasi dan hipoksia progresif baik lokal maupun umum. Lokasi yang dekat dengan rongga
mulut, nasofaring, dan sinus paranasal (yang memiliki kontaminasi bakteri yang besar) dan
perburukan higiene oral karena tindakan bedah,
menciptakan kondisi yang memudahkan penetrasi
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 17/29
mikroorganisme kedaerah operasi. Munculnya
komplikasi infeksi, keterlambatan atau perubahan kualitatif pada proses konsolidasi dan nekrotisasi
jaringan lunak dan tulang pada lokasi operasi, menyebabkan fungsi dan estetik yang tidak
diharapkan dari hasil operasi. Pada keadaan ini
peranan terapi ozon ditujukan untuk menciptakan kondisi post-operasi yang optimal untuk regenerasi
dan pencegahan berkembangnya komplikasi.
Malanchuk dan Kopchak dari Department of Oral and Maxillo-Facial Surgery, National Medical University Ukraine, melaporkan penelitian untuk
menilai efisiensi klinis dari terapi ozon-oksigen dalam penatalaksanaan kompleks pasien yang
menjalani operasi rekonstruktif tulang maksilofasial. Penelitian ini diikuti oleh 75 pasien yang menjalani
bedah plastik dan rekonstruksi tulang fasial dalam
tahun 1996-2000. Kelompok kontrol terdiri dari 35 orang sukarelawan sehat.
Semua pasien mendapatkan terapi ozon lokal
dengan ozonisasi air suling, yang diberikan dalam bentuk bilasan mulut dan irigasi (konsentrasi ozon
0,1-0,3 mg/l). Bila ditemukan disfungsi sistem imun
atau kondisi patologi dan operasi sangat traumatik, diberikan infus intravena ozonisasi salin 400 ml pada
tiap prosedur (konsentrasi ozon 1-1,5 mg/l), 2 kali/minggu mulai hari ke 3 setelah operasi. Pada
kasus terdapat edema pascaoperasi dan eksfoliasi di
jaringan lunak selama operasi, 1-3 prosedur injeksi ozone-oksigen subkutan (konsentrasi ozon 3 mg/l)
diindikasikan.
Dilakukan penilaian sistem imun dan antioksidan
praoperatif, status imun lokal pada hari 1, 3, 5, 7 postoperasi, produk akhir dari peroksidasi lipid
(MDA-Malon dialdehid) dan aktivitas antioksidan pada darah dan saliva pada hari 1 dan 7, higiene
oral, dan intensitas peradangan gingival dan periodontal. Edema pascaoperasi dan perubahan
nyeri diamati selama periode pengobatan.
Hasil penelitian menyatakan terapi ozon
bermanfaat untuk rehabilitasi pascaoperasi pada pasien yang menjalani intervensi bedah pada tulang
facial. Hasil positif ini berdasarkan efek modulasi
ozon terhadap sistem imunitas (yang paling menonjol terhadap imunitas sel dan perlindungan
lokal) dan antioksidan. Normalisasi indeks imun lokal dapat dicapai dengan penggunaan ozon lokal saja,
bahkan dengan konsentrasi yang rendah. Pada pasien dengan kelainan maksilofasial yang berat,
kombinasi terapi ozon lokal dan intravena dapat
digunakan. Terapi ozon terbukti tidak memiliki efek toksik pada dosis yang digunakan dalam penelitian
ini. Aksi positif ozon terhadap proses metabolik dan
imun dapat memperbaiki gejala klinis (menurunkan
edema, gejala nyeri, dan peningkatan higiene oral).
c. Fraktur mandibula38
Pengobatan dan pencegahan komplikasi inflamasi
fraktur terbuka mandibula menjadi permasalahan dalam traumatologi maksilofasial. Sampai 40%
pasien menderita komplikasi peradangan setelah fraktur akibat keterlambatan mencari pengobatan.
Beberapa faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur mandibula antara lain penurunan sirkulasi
regional, proses inflamasi dan hipoksia jaringan
pada lokasi fraktur, dan gangguan imunitas oral lokal. Lokasi garis fraktur dalam denture limits menyebabkan terjadinya infeksi oleh mikroflora patogen dalam rongga mulut. Keadaan ini
menyebabkan perubahan proses radikal bebas
normal pada membran sel, perubahan faktor pertahanan lokal, peningkatan proses Lipid Peroxidation (LP) dan Antioxidant Activity (AOA) dari cairan oral. Peranan terapi ozon pada fraktur
mandibula untuk mengoptimalkan osteogenesis dan mencegah munculnya komplikasi peradangan
pascatraumatik.
Homutinnikova dan Durnovo dari Nizhny
Novgorod State Medical Academy, Department of Surgical Dentistry and Maxilofacial Surgery, Russia,
melaporkan penelitian tentang efek ozon terhadap
proses LP pada kasus fraktur mandibula. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan efisiensi terapi ozon
dalam penatalaksanaan kompleks fraktur terbuka mandibula dan pencegahan komplikasi inflamasi
pascatrauma. Penelitian melibatkan 60 pasien,
terdiri dari 52 orang laki-laki (86,6%) dan 8 orang perempuan (13,4%) yang berumur 18-60 tahun
(rata-rata 36 tahun), dengan fraktur terbuka body dan angle mandibula. Pasien dibagi dalam 2
kelompok, kelompok uji 32 orang (mendapatkan terapi konservatif kompleks dan terapi ozon tanpa
antibiotika) dan kelompok kontrol 28 orang
(mendapatkan terapi konvensional konservatif kompleks). Dilakukan evaluasi dengan indeks yang
menunjukkan LP dan AOA serum dan cairan oral.
Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa terapi
ozon dapat menyempurnakan terapi konvensional fraktur terbuka mandibula dan mencegah komplikasi
inflamasi melalui stabilisasi proses LP membran di tubuh dan juga rongga mulut. Gangguan sistem
pertahanan antioksidan selama terapi konvensional, menimbulkan oksidasi radikal bebas yang tidak
terkontrol, sehingga muncul komplikasi inflamasi
pada fraktur terbuka mandibula. Stabilisasi dini proses lipid peroxidation bersama peningkatan
efisiensi sistem pertahanan antioksidan merupakan
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 18/29
komponen patogenik paling efektif dari terapi
konservatif kompleks pada pasien dengan fraktur mandibula.
d. Penyembuhan luka epitelial pada rongga
mulut44
Ozonisasi air yang diberikan tiap hari dapat
mempercepat proses penyembuhan mukosa oral. Efeknya dapat dilihat pada 2 hari pertama
postoperasi. Antara hari ke 2 dan 7 postoperasi, tidak ada efek lanjut yang bermakna. Efek yang
diamati dalam 48 jam pertama memodifikasi
penyembuhan akhir luka di mana dibawah pengaruh ozon kebanyakan luka menutup setelah 7 hari dan
proliferasi sel terjadi lebih awal. Tetapi masih belum jelas kenapa ozonisasi air memiliki efek
percepatan pada penyembuhan luka. Modifikasi
penyembuhan luka dengan pemberian oksigen diketahui melalui: perpendekan waktu inisial
penyembuhan luka, peningkatan aktivitas fagositosis, percepatan migrasi sel epitel, dan
aktivasi fibroblas. Ozon juga meningkatkan ekspresi sitokin terutama TGF-B1 yang penting untuk
penyembuhan luka.
Filippi dari Clinic of Oral Surgery, Radiology and
Oral Medicine University of Basel, Switzerland melaporkan randomized, double blind, placebo-controlled study tentang pengaruh ozonisasi air
terhadap poses penyembuhan luka epitelial pada rongga mulut. Penelitian ini melibatkan 30 partisipan
dengan 3 luka epitelial pada mukosa palatal (diameter 2,5 mm). Tiga luka pada tiap partisipan
diacak untuk mendapatkan salah satu dari terapi
berikut: yang pertama dicuci dengan ozonisasi air (konsentrasi ozon dalam air 11-12 µg/l), kedua
dengan air (kelompok kontrol 1), ketiga tanpa terapi (kelompok kontrol 2). Terapi diberikan segera
setelah pembedahan dan dilakukan tiap hari pada waktu yang sama. Setelah 2, 4 dan 7 hari, pinggir
luka dari semua luka dibuang dengan bedah pada
10 partisipan.
Dari hasil penelitian ini didapatkan bahwa pengobatan dari hari ke 2 sampai 7 pascaoperasi
tidak mempengaruhi pengecilan permukaan luka
(p=0,16). Tetapi, pada hari kedua post-operasi luka yang diterapi dengan ozonisasi air terbukti lebih
kecil dibandingkan kelompok kontrol (p=0,02).
e. Gingivostomatitis45
Sebuah penelitian tentang penggunaan minyak yang diozonisasi (ozone oil) untuk pengobatan
gingivostomatitis pada anak dilakukan di Central Pediatric Hospital and National Center for Scientific
Research. Penelitian diikuti oleh 120 anak, yang
berumur maksimal 15 tahun (terbanyak usia 1-5 tahun) dengan diagnosa klinis aphtouse gingivostomatitis dan tidak mendapat terapi sebelumnya. Pasien dibagi kedalam dua kelompok
secara acak, kelompok kontrol terdiri dari 60 pasien
yang mendapat Iodoxuridine yang diberikan secara topikal dan kelompok uji terdiri dari 60 pasien yang
mendapat ozonised oil secara topikal.
Pengobatan diberikan secara topikal, 2 kali sehari selama 20 hari, pada setiap luka. Evaluasi
menggunakan kriteria: remisi gejala klinis
(penurunan demam, hilangnya nyeri gingival, dapat makan, dan perbaikan kondisi umum) dan
penyembuhan (menghilangnya luka, nilai test darah normal). Hasilnya, dari kultur awal luka didapatkan
mikroorganisme berikut: Herpes simplex,
Staphylococcus aureus, Streptococcus haemoliticus, Candida albicans dan Fuso spirilus. Pemeriksaan
darah awal menunjukkan perubahan pada 70% leukogram dan 40% eritrosedimentasi. Pada akhir
pengobatan nilai kedua test menjadi normal.
Tercatat terdapat perbedaan bermakna di mana
kelompok kontrol memiliki waktu yang lebih cepat dalam waktu remisi gejala klinis dan penyembuhan
luka daripada kontrol.
Tidak ada reaksi simpang sekunder muncul
pada pasien yang diterapi dengan ozone oil. Disimpulkan bahwa penggunaan ozone oil lebih
efektif untuk pengobatan gingivostomatitis pada anak dibanding Iodoxuridine.
f. Penyakit periodontium46
Gingivitis dan periodontitis ditandai oleh adanya hipoksia lokal jaringan dan terdapatnya berbagai
mikroorganisme (yang dominan mikroorganisme asporogenik dan anaerob fakultatif). Plak
merupakan bagian dari mikroflora di rongga mulut,
peningkatan ketebalan deposit dental menyebabkan perubahan ekologi di rongga mulut dan peningkatan
bakteri anaerob. Perubahan ekologi tersebut menyebabkan gingivitis dan paradontitis.
Sorokina S, dan Lukinych dari The Medical Academy of Nizhni Novgorod Rusia melaporkan
penggunaan terapi ozon sebagai bagian dari penatalaksanaan kompleks pada Penyakit
Periodontium. Penggunaan berbagai larutan yang diozonisasi menunjukkan efek terapeutik yang baik.
Kemampuan oksidasi dari larutan tersebut dapat
memicu disolusi deposit soft dental, mukus dan sisa makanan yang dinilai dengan indeks higiene Green-
Vermillion. Sebelum pengobatan nilai indeks ini 2,8
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 19/29
dan setelah pengobatan menurun 1,2. Terapi ozon
lokal juga menunjukkan efek antiinflamasi terhadap penyakit periodontium, yang dikonfirmasikan
dengan indeks PMA. Setelah pengobatan dengan irigasi kantong periodontal, indeks PMA berubah dan
menurun 2 kali. Pengobatan ini tidak menyebabkan
efek samping.
g. Alveolitis47
Septical alveolitis atau septical osteitis dari rongga alveolar setelah ekstraksi merupakan komplikasi
paling sering dan penyebab nyeri dari eksodontia.
Keadaan ini dapat muncul pada hari ke 3 atau 4 pascaoperasi yang ditandai oleh nyeri dalam dan
bau nekrosis. Etiologi alveolitis masih belum diketahui, tetapi keadaan berikut meningkatkan
insidennya: trauma, infeksi, penurunan suplai darah
pada tulang sekitar dan kondisi sistemik umum. Etiologi dapat berhubungan dengan nutrisi yang
tidak tepat akibat bekuan yang dibentuk di alveolus.
Cruz O dan Menéndez dari Ozone Research Center Cuba serta Martínez dan Clavera T dari
Siboney Stomatological Clinic Cuba melaporkan
penggunaan ozonized Oil pada pengobatan alveolitis. Penelitian ini melibatkan 100 pasien
dewasa yang dibagi secara random kedalam 2 kelompok, masing-masing 50 pasien. Sebelum
pengobatan, bekuan jaringan nekrotik dan lainnya
dibersihkan dengan larutan salin yang dialirkan ke rongga alveolar secara hati-hati dan dikeringkan
dengan lap steril. Kelompok terapi mendapat oleozon setiap hari. Kelompok kontrol diterapi
dengan Alvogil topikal, setiap hari, sebagai
tambahan dari antibiotik oral. Kriteria penyembuhan dinilai melalui pembentukan sikatriks jaringan dan
hilangnya nyeri.
Dari hasil penelitian didapatkan bahwa pasien yang diterapi dengan oleozon sembuh lebih cepat
dibanding Alvogil dengan perbedaan bermakna
antara keduanya. Oleozon dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien dan tidak menimbulkan efek
samping. Oleozon dianggap sebagai pengobatan efektif untuk alveolitis.
6. Kelainan Ginekologi
a. Infeksi-inflamasi
1) Infeksi ginekologi
Gretchkanev dkk.48 melakukan penelitian yang
melibatkan 60 pasien dengan kolpitis nonspesifik dan vaginosis bakterialis. Mereka dibagi menjadi
kelompok uji dan kelompok kontrol. Kelompok uji
terdiri dari 40 pasien yang mendapatkan terapi ozon
melalui insuflasi vagina dengan campuran ozon-oksigen, sedangkan kelompok kontrol terdiri dari 20
pasien yang mendapatkan pengobatan dengan larutan antiseptik.
Pada akhir terapi, pemeriksaan bakteriologi menunjukan 76% pasien kelompok uji tidak
mengalami infeksi oportunistik (yeast) dan terjadi penurunan kolonisasi bakteri oportunistik pada 74
% pasien. Sedangkan pada kelompok kontrol sebanyak 50% pasien gambaran bakteriologinya
kembali normal, 25% tidak ada perbaikan dan 25%
lagi memburuk.
Dari pemeriksaan imunitas lokal vagina, pada kelompok uji didapatkan peningkatan aktifitas
lisozim sebesar 25% (P<0.05), peningkatan kadar
IgA sebesar 37% (P<0.05) dan peningkatan mieloperoksidase lendir serviks disertai penurunan
IgM 40% dan IgG 45% (P<0.05). Ketiganya berperan dalam mempertahankan stabilitas faktor
kekebalan lokal. Dari hasil tersebut dinyatakan bahwa terapi ozon bermanfaat dalam mengatasi
infeksi genital pada wanita dan dapat memperbaiki
status kekebalan tubuh melalui imunitas lokal vagina.
2) Infeksi fetus intrauterus
Kachalina dkk.49 melakukan penelitian klinis terhadap 105 wanita hamil dengan usia kehamilan
22-36 minggu yang memiliki risiko infeksi intrauterin (IIU). Mereka dibagi menjadi 2 grup, berdasarkan
lokasi fokus infeksi, yaitu genital dan ekstra genital
yang dibagi lagi menjadi kelompok kontrol dan uji.
Kelompok kontrol menerima terapi standar, berupa antibiotik golongan makrolid, interferon
rekombinan dan imunoglobulin intravena (kasus infeksi virus), antioksidan dan obat-obatan lain
untuk memperbaiki sirkulasi uteroplasental.
Sedangkan kelompok uji mendapatkan terapi antibiotik dikombinasikan dengan terapi ozon
berupa pemberian infus NaCl 9% steril terozonisasi intravena dengan konsentrasi ozon 800mcg/l,
selama 3-5 hari.
Manfaat terapi ozon lebih tampak pada grup
infeksi genital. Terapi ozon dinyatakan menurunkan angka anemia, insiden gestosis, angka persalinan
lama dan kejadian ensefalopati perinatal akibat hipoksia. Namun penelitian ini tidak mencantumkan
analisa statistik.
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 20/29
b. Vulvovaginitis 50
Sebuah penelitian dilaksanakan di C.G. Central Clinic
& National Centre for Scientific Research. Penelitian ini melibatkan 280 pasien vulvovaginitis dengan
hasil kultur vagina positif. Pasien secara random
dibagi menjadi 2 kelompok, kontrol dan uji yang masing-masing terdiri dari 140 pasien.
Kelompok kontrol mendapatkan pengobatan
setiap hari dengan antibiotika dan atau antimikotika terpilih sesuai hasil kultur dalam bentuk ovula.
Kelompok uji diobati dengan ovula berisi ozone oil. Penilaian berdasarkan perkembangan gejala dan hasil kultur pada akhir terapi. Gejala yang
dikeluhkan adalah pruritus dan leukorea, sedang mikroorganisme yang diperoleh dari hasil kultur
bervariasi.
Angka kesembuhan dan hilangnya gejala pada
kelompok uji lebih baik, dibandingkan dengan kelompok kontrol. Dari hasil penelitian ini
dinyatakan bahwa ozonized ovula efektif untuk hampir semua mikroorganisme penyebab infeksi,
sehingga pemberiannya tidak membutuhkan
pemeriksaan kultur dan resistensi terlebih dahulu.
c. Mengatasi Komplikasi Kemoterapi51
Gretchkanev dkk. melakukan penelitian terhadap 55
wanita yang mendapatkan kemoterapi adjuvan setelah menjalani operasi non-radikal karena kanker
ovarium untuk mengetahui manfaat pemberian insuflasi ozon dalam mengatasi komplikasi
kemoterapi. Mereka dibagi dalam 2 kelompok,
kontrol dan uji. Kelompok kontrol (n=20), mendapatkan terapi metabolik berupa vitamin B, C,
metionin, asam folat dan asam lipoic sedangkan kelompok uji (n=35) mendapatkan terapi ozon.
Terapi ozon diberikan melalui insuflasi rektal
dengan memberikan 0.5-1 L campuran ozon-oksigen
dengan konsentrasi ozon 1000-2000 mcg/L yang dilakukan setiap hari, 2-3 hari sebelum dan 5-8 hari
sesudah kemoterapi. Terapi ozon tidak diberikan bersamaan dengan kemoterapi untuk menghindari
kemungkinan terjadinya interaksi antara ozon
dengan obat kemoterapi.
Terapi ozon dinyatakan menunjukan efek klinis dalam mengatasi komplikasi kemoterapi, terutama
mual dan muntah, menstabilkan jumlah eritrosit dan leukosit darah. Hal ini tidak muncul pada kelompok
kontrol. Tidak ada pasien kelompok uji yang
menghentikan kemoterapi karena efek samping sitostatik. Sedangkan pada kelompok kontrol 40%
pasien menghentikan pengobatan.
d. Infertilitas 52
Pada laporan kasus ini terapi ozon diberikan pada
56 pasien dengan penyakit inflamasi genital yang telah menjalani pengobatan dan tidak berhasil. Dari
50 pasien infertil, 27 mengalami infertilitas primer
dan 23 mengalami infertilitas sekunder. Hasil pemeriksaan menunjukan adanya variasi infeksi
genito-urinari, berupa chlamydiosis, mycoplasmosis, ureaplasmosis, gardnerellesis, toxoplasmosis, herpes
simpleks dan infeksi CMV (cytomegalo virus).
Prosedur terapi ozon yang diberikan dengan
beberapa tahap. Semua pasien menjalani pemeriksaan mikroskopik sekret vagina, kultur lendir
serviks, metode imunofluoresens, analisa imunoenzimatik dan PCR (polymerase chain reaction) sebelum dan pada akhir terapi.
Dari studi ini dilaporkan, terapi ozon dianggap
memiliki efek kuratif pada infeksi bakteri, chlamydia, mycoplasma, ureaplasma dan gardnerella. Pada
kasus infertilitas yang didasari inflamasi pelvik, ozon dinyatakan dapat meredakan inflamasi sehingga
memfasilitasi jalan yang mudah bagi sperma untuk
melalui tuba falopii.
B. Dosis
Ozon memiliki rentang aksi terapeutik, yang dalam
terminologi farmakokinetik disebut therapeutic window. Pemakaian ozon dalam konsentrasi yang
terlalu rendah hanya menghasilkan efek terapeutik yang kecil, dan yang lebih penting, bila digunakan
dalam konsentrasi yang terlalu tinggi menimbulkan
efek toksik. Karena adanya batasan tersebut, konsentrasi ozon yang diberikan pada pasien harus
dikalibrasi dan dikontrol secara hati-hati. Campuran ozon-oksigen terapeutik memerlukan kontrol secara
kuantitatif (dosis, konsentrasi) dan kualitatif (kemurnian).2
Pertanyaan tentang dosis ozon merupakan yang paling sering diperdebatkan sehingga akan sangat
bermanfaat adanya suatu panduan (guidelines).5
Berbasis pengetahuan saat ini, kisaran
therapeutic window adalah 20-80 ug/mL ozon per gram darah. Dalam kisaran ini, toksisitas minimal
atau tidak ada, walaupun status antioksidan total plasma hanya 1,2 mmol/L. Saat ini, belum bisa
ditentukan dosis spesifik untuk masing-masing kelainan patologis karena belum adanya controlled clinical studies untuk masalah ini.5 Namun,
berdasarkan biokimia dan hasil empiris, anjuran
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 21/29
dosis untuk masing-masing kelainan dapat dilihat
pada tabel 16.
Dalam rangka menghindari toksisitas dan memberikan kesempatan untuk adaptasi stres
oksidasi berlangsung, strategi teraman adalah
dengan memulai pada dosis yang sangat rendah, lalu ditingkatkan bertahap 5 ug/mL per gram
darah sampai ke dosis tertinggi. Karena terapi hanya dilakukan selama satu hari di rumah sakit,
maka untuk kepraktisan, AHT dua kali seminggu sudah cukup untuk mencapai respons klinis. Bila
diperlukan, dapat dinaikkan menjadi 4 kali
seminggu, dengan adapatasi pada tiga minggu pertama.
Pada pasien usia lanjut yang kurang gizi
atau tidak mendapatkan diet yang cukup,
multivitamin bisa diberikan secara oral pada hari sebelum dilakukannya O3-AHT. Dosis harian 0,5 g
vitamin C bersama N-acetylcysteine 0,6 g sebagai prekursor GSH sudah optimal. Jumlah yang lebih
besar sudah terbukti tidak bermanfaat atau memiliki efek yang merugikan.
1. Dosis Terapi Sistemik 5
Tabel 16. Dosis yang digunakan dalam autohemoterapi
Patologi Dosis O3 (ug/mL per gram of blood)
Inisial Akhir
Penyakit Vaskular 20 40
Penyakit Degeneratif 20 40
Penyakit Infeksi 25 70
Penyakit Respirasi 20 40
Penyakit autoimun 20 ?
Kanker Metastatik 25 80
2. Dosis Terapi Topikal 53
Tabel 17. Dosis pemakaian terapi ozon topikal
Indikasi Bentuk
aplikasi
Konsentrasi
ozon (ug/ml)
Lama (menit) Frekuensi
Ulkus dekubitus Low pressure suction cup
Mulai: 80-100 --> 40 --> 20
2-10 Awal: tiap hari 1-2 x /minggu
Gangren diabetes Low pressure boot
Mulai: 80-100 --> 40 --> 20
10-20 Awal: tiap hari 1-2 x/minggu
Ulkus kruris - Pembersihan luka - Penyembuhan luka
Plastic bag Kompres
dengan air yang telah diozonisasi
80-100
20
10-20
20 1-2
Setiap hari, dilanjutkan dengan 1-
2x/minggu Beberapa kali sehari
Luka bakar stadium I atau II
Plastic bag atau kompres dengan air yang telah diozonisasi
20-30 10-20 1-2
1-2 kali per hari beberapa kali sehari
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 22/29
C. Toksisitas
Saluran Napas
Kontroversi mengenai penggunaan terapi ozon
antara lain disebabkan adanya pendapat yang
menyatakan bahwa ozon memiliki efek toksik. Dari kepustakaan yang didapat, efek toksik ozon pada
saluran napas terjadi melalui paparan udara. Efek yang muncul berhubungan dengan gejala-gejala
respiratorik dan toksisitasnya dipotensiasi oleh komponen lain seperti CO, NO2 dan H2SO4 (polutan).
Pajanan akut dan kronik terhadap polutan tersebut
berbahaya untuk paru karena mukosa saluran pernapasan tidak memiliki kemampuan netralisasi
yang cukup untuk mengoreksi pH yang asam dan menghambat oksidator sehingga terjadilah
kerusakan sel. Untuk menghindari toksisitas pada
paru, penggunaan ozon melalui inhalasi dihindari.
Dari penelitian baik in vitro dan in vivo, didapatkan bukti bahwa paparan singkat ozon
dalam konsentrasi tertentu dapat menimbulkan efek buruk pada fungsi paru dan merangsang inflamasi
pada saluran napas. Terbukti pula adanya
peningkatan leukosit PMN, albumin, prostaglandin E2, fibronektin, interleukin (IL)-6, IL-8, granulocyte macrophage colony stimulating factor, laktat dehidrogenase, triptase, C3a, faktor jaringan lain,
urokinase-type plasminogen activator, faktor VII
dan a1-antitripsin pada bilas bronkus akibat paparan ozon dalam waktu tertentu.54
Sebuah penelitian mengenai pengaruh ozon
pada saluran pernapasan manusia dilakukan oleh
Schierhorn dkk. Penelitian ini bertujuan (1) untuk mengetahui pengaruh O3 dan NO2 pada mukosa
nasal manusia secara in vitro; (2) untuk menentukan apakah teknik histokultur ini dapat
menunjukan efek yang sama secara in vivo seperti pada BALF (bronchoalveolar lavage fluid) dan NALF
(nasal lavage fluid) atau pada hewan percobaan; (3)
untuk menentukan apakah teknik ini dapat digunakan sebagai skrining nilai ambang bahan
tertentu (mis. polusi udara). 54
Dinilai kadar histamin, degranulasi sel mast dan
sitokin (IL-Ib, IL-6, IL-8, dan TNF-a). Kadar histamin yang meningkat bermakna terdapat pada jaringan
yang diberi paparan ozon 0.2ppm (p<0.001); 0.15ppm (p<0.05); 0.1ppm (p<0.001) dan 0.08ppm
(p<0.01) dibandingkan dengan kontrol. Dengan pewarnaan Giemsa dibedakan sel mast granulated dan degranulated dari masing-masing kelompok
sediaan. Pada sediaan yang terpapar ozon (0.1ppm) selama 24 jam 57.7% mengalami degranulasi,
sedangkan pada sediaan kontrol 40.1% sel mast
yang mengalami degranulasi. Paparan ozon
mengakibatkan peningkatan bermakna (p<0.001) jumlah sel mast yang mengalami degranulasi, serta
menurunkan jumlah sel mast bergranulasi (p<0.01). Pada sediaan yang terpapar ozon 0.1ppm selama 24
jam terjadi peningkatan sitokin yang bermakna yaitu
IL-1b (p<0.05), IL-6 (p<0.01), IL-8 (p<0.001) serta TNF-a (p<0.05). 54
Pada penelitian oleh Gong dkk. (1986), manusia
yang diberi paparan ozon, mengalami penurunan fungsi paru dan beban kerja. Penelitian ini dilakukan
terhadap atlet dewasa (19-30 tahun) yang diberi
paparan ozon 0.2 ppm (0.4 mg/m3) selama 1 jam. Terjadi penurunan volume ekspirasi paksa detik 1
(FEV1) post exercise sebesar 21.6%, sedangkan penurunan FEV1 sebesar 5.6% terdapat pada atlet
yang terpapar ozon 0.12 ppm (0.24 mg/m3).
Penurunan yang bermakna pada peak minute ventilation, ambilan oksigen dan volume tidal terjadi
pada atlet yang terpapar ozon 0.2 ppm. 55
Pada sekelompok pria dewasa sehat (19-30 tahun) yang terpapar ozon 0.12 ppm selama 2.5
jam terjadi penurunan yang bermakna dari
kapasitas vital paksa (FVC), FEV1 dan mengalami batuk (McDonnell,1983). Pada pemaparan ozon 0.24
ppm (0.47 mg/m3) terjadi peningkatan spesific airway resistance (SRaw) dan pemendekan napas
(shortness of breath) dan timbulnya rasa sakit saat
menarik napas panjang.55
Studi lain (McDonnell, 1991), menunjukan adanya penurunan FVC dan FEV1, peningkatan
SRaw dan timbulnya gejala respiratorik pada 38 pria
dewasa muda yang mendapat paparan ozon 0.08 ppm (0.2 mg/m3) selama 6.6 jam dengan beban
latihan. Paparan ozon sebesar 9 ppm dilaporkan dapat menimbulkan edema paru (Kleinfeld 1957).
Laporan lain menyebutkan bahwa paparan 15-20 ppm ozon selama 2 jam mematikan bagi hewan
kecil. 56
Berdasarkan data pada hewan, American
International Health Alliance (AIHA) menyatakan bahwa paparan ozon 50 ppm selama 60 menit dapat
berakibat fatal bagi manusia. US Environmental Protection Agency (EPA) pada tahun 1975 menyatakan bahwa konsentrasi paparan ozon yang
dapat menimbulkan keluhan adalah 0.6 ppm (1.2 mg/m3). Nilai ini ditetapkan berdasarkan penelitian
oleh Bates 1975 di mana dari 10 subyek yang diteliti 6 orang mengalami serak, 8 orang mengalami batuk
dan pemendekan napas yang bermakna pada
pemaparan ozon 0.75 ppm (1.5 mg/m3) dengan pembebanan latihan.
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 23/29
National Research Council 1984 menetapkan
Emergency Exposure Guidance Level untuk paparan ozon sebagai berikut :
Paparan selama 1 jam : 1 ppm Paparan selama 24 jam : 0.1 ppm
Kerusakan jaringan secara akut dan kronik akibat paparan ozon dapat memicu terjadinya
keganasan melalui proses karsinogenesis. Ozon meningkatkan terjadinya protein cross-linkage pada
jaringan paru yang mempermudah terjadinya karsinogenesis. Hingga kini belum terbukti bahwa
paparan ozon pada konsentrasi rendah
menyebabkan keganasan atau kelainan kongenital pada manusia.
Pemaparan ozon dosis rendah pada tikus
meningkatkan kerentanan terhadap terjadinya
infeksi. Dosis minimum yang dapat menimbulkan mortalitas yang bermakna adalah 0.08 ppm selama
3 jam. Pada keadaan normal, apabila tikus diberi Streptococcus grup C, maka setelah 4 jam hanya
terdapat kurang dari 4% bakteri yang masih hidup. Ketika tikus dipaparkan pada ozon 1 ppm atau lebih
ternyata jumlah bakteri yang hidup lebih besar.
Besarnya efek bergantung pada dosis yang diberikan. Hingga kini hasil penelitian ini belum
dibuktikan pada manusia.
Darah 5
Ozon merupakan salah satu oksidator terkuat
sehingga nampaknya tidak mungkin mendukung konsep kegunaannya sebagai modalitas
pengobatan. Namun konsep bahwa obat juga
memiliki toksisitas intrinsik telah diterima, sehingga penggunaan ozon dalam pengobatan harus
dipertimbangkan secara hati-hati antara manfaat dan toksisitas.5
Sistem antioksidan tubuh dalam keadaan normal
berfungsi sangat efektif sehingga proses oksidasi
dapat dihentikan. Melalui aktivasi jalur bio-kimia, sistem ini dapat melakukan regenerasi antioksidan
seperti tokoferol-α, asam askorbat dan glutation (GSH). Dengan sistem antioksidan yang ada,
pemberian campuran 97% O2 dan 3% O3 terhadap
darah manusia secara hati-hati, tidaklah berbahaya. 5
Pada penelitian yang dilakukan Bocchi 57,
didapatkan sel mononuklear darah yang diisolasi dalam media kultur jaringan jauh lebih sensitif
terhadap oksidasi oleh ozon. Hal ini ditandai dengan
berkurangnya proliferasi pada konsentrasi ozon yang lebih rendah. Kesimpulan yang didapat dari
studi ini adalah toksisitas ozon sebagian besar telah
dinetralkan oleh sistem antioksidan darah.
Reaktivitas ozon dihambat oleh komponen plasma dan tidak membahayakan sel darah. Hal ini
dibuktikan dengan penggunaan hingga 80 ug/mL
ozon per gram darah yang tidak meningkatkan terjadinya methemoglobin dan hemolisis. Ketika
darah diberi pajanan dengan ozon dalam konsentrasi antara 100 dan 250 ug/mL per gram
darah, hemolisis secara progresif meningkat sampai 34%. Hemolisis minimal dijumpai pada paparan
darah yang diheparinisasi terhadap ozon walaupun
dalam konsentrasi 40 mcg/ml. Sehingga sebaiknya autohemoterapi ozon tidak diberikan pada pasien
dengan heparinisasi.
D. Efek Samping
Belum ada bukti ilmiah yang menyatakan bahwa
autohemoterapi ozon memiliki efek samping akut dan kronik, bahkan setelah melalui 60 sesi terapi.
Kebanyakan pasien mengaku mengalami perbaikan sense of well-being. Hanya saja belum diketahui
penyebabnya, apakah karena perbaikan oksigenasi
dan metabolisme respons hormonal yang dirangsang oleh reinfusi darah terozonisasi atau
faktor psikologis.
Di Jerman, Jacobs menganalisa efek samping
yang ditemukan pada pemberian 5 juta sesi terapi pada 384 775 pasien. Kesalahan teknis yang
menyebabkan masalah minor (ekstravasasi darah dari akses vena, tremor pada bibir yang bersifat
sementara dan mual) ditemukan pada 0,0007%
pasien, sebuah nilai yang sangat rendah untuk pengobatan alternatif. Bagaimanapun juga, tercatat
4 kematian akibat emboli paru setelah injeksi intra vena O2-O3 secara langsung sehingga teknik ini
sekarang dilarang. Dua kematian akibat emboli paru pada pasien AHT ozon yang ditemukan di Italia
pada tahun 1997 dan 1998 terjadi akibat malpraktik.
E. Kontraindikasi
Kontraindikasi untuk terapi ozon meliputi intoksikasi
akut alkohol, infark miokard akut, perdarahan dari
berbagai organ, kehamilan, hipertiroid, trombositopenia, alergi ozon serta pasien yang
menjalani heparinisasi.1
Telaah kritis yang dilakukan terhadap artikel ilmiah yang ada menyimpulkan bahwa secara
laboratoris ozon memberikan efek menguntungkan
terhadap darah dilihat dari segi biokimia, reologis dan metabolik.
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 24/29
Di mana ozon dapat meningkatkan konsentrasi
dan fungsi agen-agen terkait sistem antioksidan, sel darah, hemostasis dan imunitas. Temuan ini
selanjutnya menjadikan ozon sebagai agen potensial untuk dimanfaatkan sebagai terapi berbagai
penyakit.
Dalam pembuktian secara klinis, penelusuran
artikel dilakukan pada penggunaan terapi ozon untuk kelainan vaskular, infark miokard, diabetes
melitus, luka, kedokteran gigi dan kelainan ginekologi. Artikel-artikel yang ada tidak memenuhi
kualifikasi sebagai bukti ilmiah yang baik karena
memiliki kelemahan sebagaimana yang disebutkan di atas. Sehingga tidak dapat dijadikan dasar dalam
membuktikan dugaan potensi ozon sebagai terapi untuk berbagai keadaan/penyakit tersebut.
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 25/29
BAB V BIAYA
Terapi ozon di Indonesia sudah mulai dikenal secara luas melalui berbagai media yang
menginformasikan keuntungan terapi ozon dalam
mengobati beberapa keadaan medik. Banyak pusat kesehatan, kebugaran atau klinik khusus
terapi ozon didirikan untuk menyediakan terapi ozon khususnya di kota besar seperti Jakarta,
Surabaya dan Semarang. Sampai saat ini belum ada data resmi yang menyebutkan jumlah klinik
atau pusat kesehatan yang menyediakan terapi
ozon di kota-kota tersebut maupun jumlah penggunaannya oleh masyarakat serta biaya yang
dikeluarkan masyarakat untuk memperoleh pelayanan terapi ozon.
Kajian tentang manfaat terapi ozon dalam bidang kedokteran secara evidence based ini tidak
menemukan adanya bukti ilmiah yang kuat untuk mendukung penggunaannya, termasuk untuk
analisis biaya. Sehingga dalam bab ini hanya akan
diberikan data mengenai tarif dan perkiraan pengeluaran masyarakat yang diwakili oleh 2 klinik
ozon di Jakarta. Data tersebut mencakup jumlah pengguna terapi ozon, tarif dan jenis terapi ozon
yang diberikan pada periode 2003-2004.
Secara umum, jenis terapi ozon yang
disediakan klinik tersebut tidak jauh berbeda. Masing-masing memberikan terapi ozon dalam
bentuk sistemik dan lokal walau terdapat perbedaan dalam penamaan jenis terapi. Terapi
mayor di klinik A dan apheresis di klinik B
merupakan jenis autohemoterapi. Tarif ditetapkan
berdasarkan jenis dan jumlah terapi. Biasanya terapi dilakukan tidak hanya sekali, namun dalam
bentuk serial yang terdiri dari 5-10 kali terapi
bahkan lebih bila masih diperlukan sesuai kondisi pasien.
Dari dua klinik tersebut, jumlah pasien yang
berkunjung selama tahun 2003 dan 2004 (sampai bulan Juni 2004) adalah sebanyak 495 orang.
Adapun kasus terbanyak yang ditangani di kedua klinik berikut dari yang paling banyak
adalah: diabetes melitus, penyakit jantung koroner, hiperkolesterolemia, pasca stroke,
hipertensi, alergi, luka, hiperurisemia,
mempertahankan kebugaran dan lain-lain. Pemberian terapi dilaksanakan di bawah supervisi
dokter yang telah menjalani pelatihan terapi ozon berdasarkan standard operation procedure
masing-masing klinik untuk terapi berbagai
diagnosis.
Biaya terapi yang ditetapkan bervariasi antar klinik. Untuk terapi ozon mayor biaya yang
diperlukan berkisar antara Rp 1.750.000,00 sampai Rp 13.500.000,00 untuk 10 sesi.
Sedangkan untuk terapi ozon minor Rp750.000,00
untuk 10 sesi. Pada pemakaian lokal seperti pada luka, pasien dikenakan biaya Rp750.000,00 per 10
sesi sampai Rp 450.000,00 per kali. Minyak ozon juga disediakan dengan harga Rp120.000,00 per
35 gram. Semua biaya peralatan sudah tercakup
dalam biaya pelayanan di atas.
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 26/29
BAB VI REKOMENDASI
1. Ozon (O3) adalah gas yang secara alami
terdapat di atmosfir bumi, memiliki bau yang
spesifik dan kuat, merupakan bentuk alotropik dari oksigen. Ozon merupakan oksidan yang
jauh lebih kuat dibanding oksigen, sehingga dapat mengoksidasi banyak bahan yang inert
terhadap oksigen pada kondisi normal.
2. Belum ada bukti ilmiah yang cukup kuat dalam
penggunaan terapi ozon pada penyakit kardiovaskular. (Rekomendasi C )
3. Belum ada bukti ilmiah yang cukup kuat dalam
penggunaan terapi ozon pada penyakit
diabetes melitus. (Rekomendasi C )
4. Belum ada bukti ilmiah yang cukup kuat dalam penggunaan terapi ozon untuk penyembuhan
berbagai jenis luka. (Rekomendasi C )
5. Belum ada bukti ilmiah yang cukup kuat dalam
penggunaan terapi ozon pada bidang
kedokteran gigi. (Rekomendasi C )
6. Belum ada bukti ilmiah yang cukup kuat dalam penggunaan terapi ozon pada penyakit dan
kelainan ginekologi. (Rekomendasi C )
7. Diperlukan penelitian dengan desain yang
lebih baik untuk membuktikan efek terapi dan keamanan ozon secara klinis pada manusia
mengingat ozon memiliki potensi membahayakan manusia dan lingkungan
hidup.
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 27/29
DAFTAR PUSTAKA
1. Sunnen GV. Ozone in medicine: Overview and future
direction. Available at: www.triroc.com/sunnen/topics/ozonemed.htm
2. Application of ozone in medicine: General ideas. Available at: www.rusmedserv.com/medozone/pages/english/applic_of_ozone
3. Ozon: „The silent healer‟. Available at: www.stanfordcenter.com/artikel/ozonthe%20silent%20healer.pdf
4. Sunnen GV. The utilization of ozone for external medical
applications. 1998. Available at: www.triroc.com/sunnen/topics/utilization.htm
5. Bocci V. Biological and clinical effects of ozone. Has ozone therapy a future in medicine? British J of Biomedical Science 1999;56:270-9
6. Is Medical Ozone Therapy Legal? Available at: www.terra.es
7. Bocci V, Valacchi G, Corradeschi F, Aldinucci C, Silvestri S, Paccagnini E, Gerli R. Studies on the biological effects of ozone: 7. generation of reactive oxygen species (ROS) after exposure of human blood ozone. J Biol Regul Homeost Agents 1998;12:67-75[abstract]. Italy
8. Van der zee H, De Monte A. Ozone auto-hemotherapy in lower limb ulcerations. Available at: www.oxyplus.com
9. Ozone Therapy-The Healing Power of Ozone. Available
at: www.caringmedical.com/therapies/ozonetherapy.asp 10. Ozone Therapy. In: Complementary & Alternative
Medicine by Natural Standard and the Faculty of the Harvard Medical School. Available at: www.intelihealth.com
11. Wozniak A, Klawe MT, Drewa T, Ponikowska I, Drewa J, Drewa G, et al. Ozone therapy and the activity of selected lysosomal enzymes in blood serum of patients with lower limb ischaemia associated with obliterative atheromatosis. Med Sci Monit 2002;8:CR520-5.
12. Tylicki L, Biedunkiewicz B, Nieweglowski T, Chamienia A, Debska S, Luty J, et al. Ozonated autohemotherapy in patients on maintenance hemodialysis: influence on lipid profile and endothelium. Int J Artif Organs 2004;28:234 [abstract].
13. Verazzo G, Coppola L, Luongo C, Sammartino A, Giunta R, Grassia A, et al. Hyperbaric oxygen, oxygen-ozone therapy, and rheologic parameters of blood in patients with peripheral occlusive arterial disease. Undersea Hyperb Med 1995;22:17-22 [abstract].
14. Indications for ozone therapy. In: Viebahn R. The use of ozone in medicine. 4th English edition. Germany; 2002:69-71.
15. Bolgov V, Sultanova I. Nizhni Novgorod Russia. Ozone therapy in Obliterating Arterial Diseases of lower Extremities. Available at: www.oxyplus.net
16. Biedunkiewicz B, Tylicki L, Nieweglowski T, Burakowski S, Rutkowski B. Clinical Efficacy of ozonated autohemotherapy in hemodialyzed patients with intermittent claudication: an oxygen-controlled study. Int J Artif Organs 2004;27:29-34 [abstract]
17. Hernández F, Menéndez S, Wong R. Ozone Research Center, National Center for Scientific Research, Havana, Cuba. Decrease of blood cholesterol and stimulation of
antioxidative in cardiopathy patients treated with endovenous ozone therapy. Free Radical Biology and Medicine 1995;19(1):115-9 [abstract].
18. Terapi ozon: teknologi baru menangani diabetes. Available at: www.stanfordcenter.com
19. Dalien SM, Menendez S, Maritnez G, Montequin JIF, Candelario EJ, Leon OS. Ozone therapy effects in the oxidative stress associated to diabetes mellitus.
Available at: www.oxyplus.net. 20. Kulikov AG, Turova EA, Shcherbina TM, Kisileva OM.
Efikasi berbagai metode terapi ozon pada
komplikasi vaskular diabetes mellitus. Vopr Kurortol Fizioter Lech Fiz Kult. 2002;5:17-20 [Article in Russian]
21. Indications for ozone therapy. In: Viebahn R. The use of ozone in medicine. 4th english edition. Germany; 2002:72-6,78-80
22. Peretyagin SP, Kostina OV, Strutchkov AA, Vilkov SA, Borisevitch AL, Dmitriev DG, Schichragimov VA. Methodology of using ozone in the early complex treatment of burn disease at early stage. Available at: www.oxyplus.net
23. Rasterayeva M, Struchkov S, Belova A, Peretaygin S, Khroulev S. Ozonethrapy in complex treatment of neuropathy in burn patients. Available at: www.oxyplus.net
24. Xie W, Zhang L, Yang R. Peran larutan ozon pada debridement dan sterilisasi luka bakar. Zhonghua Shao Shang Za Zhi. 2000;16:163-5. China. [abstract] [Article in Chinese]
25. Vaiano F, Franzini M. O2-O3-therapy of non-healing foot and leg ulcers in diabetic patients. ESCI 2003: 37th Annual Scientific Meeting of the European Society for Clinical Investigation Verona, Italy, 2-5 April 2003 "The Pathophysiology of Diseases: from bench to bedside".
26. Anichini R, De Bellis A, Butelli L, Gioffredi M, Gori R, Picchiafuochi R, Nannelli S, Rossetti R, Alviggi L. Ozone Therapy in treatment of diabetic foot ulcers: a suggestive approach in wound bed preparation. ESCI 2003: 37th Annual Scientific Meeting of the European Society for Clinical Investigation Verona, Italy, 2-5 April 2003 "The Pathophysiology of Diseases: from bench to bedside"
27. Lower limb ulcers: ozone oil therapy. Performed in: Louis Pasteur Policlinic & National Center for Scientific Research www.o3zone.com
28. Matsumoto A, Sakurai S, Shinriki N, Suzuki S, Miura T. Therapeutic effects of ozonized olive oil in the treatment of intractable fistula and wound after surgical operation. Available at www.oxyplus.com
29. Gehring W, Glutsch J, Schonisan U, Gehse M, Gloor M. Comparative study of the effect of various antiseptics and ozone gs on pathogens of ulcus cruris. Z Hautkr 1990;65:746-50 [abstract]
30. Gorbunov S, Gorbunova L, Dmitriev V, Isaev V. Total ozone therapy of trophic ulcers of lower extrimities in elderly patients. [abstract] article in Russian.
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 28/29
31. Calderon NA, Kaufman T. Topical treatment of long-enduring leg ulcers with ozone and oxygen: experience during the past 3,5 years. Bnai-Zion University Medical Center, Haifa, Israel [abstract]
32. Turcic J, Hancevic J, Antoljak T, Zic R, Alfirevic I. Effects of ozone on how well split-thickness skin grafts according to Thiersch take in war wounds. Results of prospective study. Clinical Hospital Center Rebro, Croatia [abstract]
33. Lipatov KV, Sopromadze MA, Shekhter AB, Rudenko TG, Emel'ianov AIu. Ozone-ultrasonic therapy in the treatment of purulent wounds. Khirurgiia (Mosk). 2002;(1):36-9.[abstract] [Article in Russian]
34. Buynin VI, Ermakova AI, Glukhov AA, Mozhurov IP. Wound treatment using the flow of an ozonized solution
under high pressure. Khirurgiia (Mosk) 1998;8:23-4. [abstract] [Article in Russian]
35. Holmes J. Clinical Reversal of Primary Occlusal Fissure Carious Lesions (POFCLs) Using Ozone in General Dental Practice. Available at: www.uksmile.co.uk
36. Malanchuk VA, Kopchak AV. Ozone-oxygen therapy in maxillo-facial bone surgery. Department of Oral and Maxillo-facial Surgery, National Medical University. Ukraine. Available at: www.oxyplus.net
37. Homutinnikova NE, Durnovo EA. The effect of ozone on the lipid peroxidation processes in case of mandible fractures. Nizhny Novgorod State Medical Academy, Department of Surgical Dentistry and Maxillofacial Surgery. Russia. Available at: www.oxyplus.net
38. Naba‟a AL, Shorman HAI, Lynch E. Ozone treatment of Primary Occlusal Pit and Fissure caries (POPFC): 12 months clinical severity changes. School of Denstistry, Queen‟s University, Belfast, Northern Ireland, UK. Available at: www.dentalozone.co.uk
39. Naba‟a AL, Shorman HAI, Lynch E. Ozone management of Occlusal Pit and Fissure caries (PFC): 12 months review. Oral Health Research Centre, School of Dentistry, Queen‟s University Belfast, Northern Ireland, UK. Available at: www.dentalozone.co.uk
40. Holmes J. Clinical reversal of root caries using ozone, double-blind, randomised, controlled 18-month trial. Gerodontology 2003;20:106-14 [abstract]
41. Salem A, Marashdeh MM, Lynch E. Ozone efficacy in treatment of occlusal caries in primary teeth. Oral Health Care Research Centre, School of Dentistry, Queen‟s University Belfast, Northern Ireland, UK. Available at: www.dentalozone.co.uk
42. Lynch E, Johnson N, Johnson J. Clinical reversal of root caries using ozone. Queen‟s University of Belfast, United Kingdom. Available at: www.dentalozone.co.uk
43. Filippi A. The influence of ozonised water on the epithelial wound healing process in the oral cavity. Clinic of Oral Surgery, Radiology and Oral Medicine, University of Basel, Switzerland. Available at: www.oxyplus.net
44. Gingivostomatitis. Ozone oil for treatment in children. Available at: www.naturozone.com
45. Sorokina S, Lukinych L. Ozone therapy as a part of complex treatment of a paradontium disease. 2nd International Symposium on Ozone Applications, Cuba, 24-26 Maret 1997. "Ozone in Medicine". [abstract]
46. Cruz O, Menendez S, Martinez ME, Clavera T. Application of ozonized oil in the treatment of alveolitis. 2nd International Symposium on Ozone
Applications, Cuba, 24-26 Maret 1997. "Ozone in Medicine".[abstract].
47. Gretchkanev GO, Katchalina TS, Katchalina OV, Husein E. The new method of treatment of inflamatory disease of lower female genital organs. Department of Obstetrics and Gynecology, Medical Academy of Nizhny Novgorod, Russia. Available at: www.oxyplus.net
48. Kachalina TS, Katkova NY, Gretchkanev GO. Aplication of ozone in prevention and treatment of intrauterine fetus infection. Department of Obstetrics and Gynecology, Nizhny Novgorod, Russia. Available at: www.oxyplus.net
49. Vulvovaginitis. Ozonised ovules application. C.G. Central clinic and National Centre for Scientific
Research. Available at: www.naturozone.com/ingles/clitesti.htm
50. Gretchkanev GO, Kachalina TS, Palkina EY, Kontorchikova CN, Husein E. medical ozone for prophylaxis and treatment of complications associated by chemotherapy of ovary cancer. Department of Obstetrics and Gynecology, Nizhny Novgorod, Russia. Available at: www.oxyplus.net
51. D‟Mello RC, D‟Mello R. Ozone therapy in female infertility. Institute of Obstetrics and Gynecology, Baku, Azerbaijan. Available at: www.oxyplus.net
52. Recommended dosages and treatment frequencies depending on indication and application method. In: Viebahn R. The use of ozone in medicine. 4th english edition. Germany; 2002:143
53. Schierhorn K, Zhang M, Matthias C, Kunkel G. Influence of ozone and nitrogen dioxide on histamine and interleukin formation in human nasal mucosa culture system. Department of Clinical Immunology and Asthma-OPD and Department of Otorhinolaryngology, Virchow-Klinikum, Humboldt-University, Berlin, Germany. Am J Respir Cell Mol Biol 1999;20:1013-9
54. Acute Toxicity Summary. Ozone. Determination of acute reference exposure levels for airborne toxicants March 1999. Available at: www.oehha.ca.gov/air/acute_rels/pdf/10028156A.pdf
55. Ozone. Documentation for immediately dangerous
to life or health concentrations. Available at: www.cdc.gov/niosh/idlh/10028156.html
56. Watson DE. Lawrence Radiation Laboratory University of California Livermore. The risk of carcinogenesis from long-termlow-dose exposure to pollution emitted by fossilfueled power plants. Available at: www.enformy.com/!lrl1.html
57. Bocci V, Valacchi G, Corradeschi F, Aldinucci C, Silvestri S, Paccagnini E, Gerli R. Studies on the biological effects of ozone: 7. generation of reactive oxygen species (ROS) after exposure of human blood ozone. J Biol Regul Homeost Agents 1998;12:67-75. [abstract] Italy.
HTA Indonesia_2004_Terapi Ozon_hlm 29/29
PANEL AHLI Prof. Dr.dr. Sarwono Waspadji, SpPD, KEMD Divisi Endokrinologi Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof.dr. Sjukri Karim, SpJP(K) RS Jantung Pusat Harapan Kita Jakarta dr. Wresti Indriatmi, SpKK Departemen Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof.dr. Oen Liang Hie, MSc Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia drg. Gus Permana Subita, SpPM, PhD Departemen Ilmu Penyakit Mulut Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia Prof.dr. Bambang Soetrisna, MHSc Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia TIM TEKNIS Ketua : Prof.Dr.dr. Sudigdo Sastroasmoro, SpA(K) Anggota : dr. Untung Suseno, MKes dr. N. Soebijanto, SpPD dr. Ratna Mardiati, SpKJ dr. Wuwuh Utami N., MKes dr. Monalisa Nasrul dr. Mutiara Arcan dr. Nastiti Rahajeng