terjemahan journal mata
DESCRIPTION
journalTRANSCRIPT
BAB I
KONGJUNGTIVITIS TRACHOMATIS
I..1 Definisi
Konjungtivitis Trakomatis adalah suatu bentuk keratokonjungtivitis kronis yang disebabkan
olehinfeksi bakteri Chlamydia trachomatis
(Solomon, 2010).
I.2. Etiologi
Konjungtivitis Trakomatis disebabkan oleh Chlamydia trachomatis serotipe A, B, Ba dan
C.Masing- masing serotipe ditemukan di tempat dan komunitas yang berbeda beda.Chlamydia
adalah gram negatif, yang berbiak intraseluler. Spesies C trachomatis menyebabkan trakoma dan
infeksi kelamin ( serotipe D-K) dan limfogranuloma venerum ( serotipe L1-L3). Serotipe D-K
biasanya menyebabkan konjungtivitis folikular kronis yang secara klinis sulit dibedakan dengan
trakoma, termasuk konjungtivitis folikular dengan pannus, dan konjungtiva scar. Namun,
serotipe genital ini tidak memiliki siklus transmisi yang stabil dalam komunitas. Karenaitu, tidak
terlibat dalam penyebab kebutaan karena trakoma
(Solomon et al, 2004).
I.3. Patofisiologi
Infeksi menyebabkan inflamasi, yang predominan limfositik dan infiltrat monosit dengan plasma
sel dan makrofag dalam folikel. Gambaran tipe folikel dengan pusat germinal dangan pulau-
pulau proliferasi sel B yang dikelilingi sebukan sel T. Infeksi konjungtiva yang rekuren
menyebabkan inflamasi yang lama yangmenyebabkan konjungtival scarring . Scarring
diasosiasikan dengan atropi epitel konjungtiva, hilangnya sel goblet, dan pergantian jaringan
normal, longgar dan stroma vaskular subepitel dengan jaringan ikat kolagen tipe IV dan V
(Solomon et al , 2004).
1
I.4. Perjalanan Penyakit dan Tanda Klinis
Secara klinis, trakoma dapat dibagi menjadi fase akut dan fase kronis , tetapi tanda akut
dan kronis dapat muncul dalam waktu yang bersamaan dalam satu individu. Derajat keparahan
dari infeksi mata oleh Chlamydia trachomatis dapat ringan sampai dengan berat. Banyak
infeksinya bersifat asimtomatis. Sesuai dengan masa inkubasinya yaitu 5-10 hari, infeksi
konjungtiva menyebabkan iritasi, mata merah, dan discharge mukopurulen. Keterlibatan kornea
pada proses inflamasi akut dapat menimbulkan nyeri dan fotofobia. Secara umum, gejala
lebihringan dari tampilan mata.Tanda awal infeksi yang kurang spesifik adalah vasodilatasi dari
pembuluh darah konjungtiva. Perubahan spesifik terjadi beberapa minggu setelah infeksi, yaitu
dengan munculnya folikel-folikel pada konjungtiva fornics, konjungtiva tarsal dan limbus.
Folikel adalah adalah limfoid germinal dan ditemukan dibawah lapisan epitel. Folikel terlihat
sebagai massa abu-abu atau creamy dengan diameter 0,2-3,0 mm. Tidaklah normal bila
ditemukan satu atau dua folikel pada mata yang sehat, tertama di canthi lateral atau medial.
Karena lapisan superfisial dari stroma konjungtiva memiliki sedikit jaringan limfoid sampai
kurang lebih 3 bulan setelah lahir, neonatus tidak mampu menahan respon folikular terhadap
infeksi mata oleh Chlamydia. Papil juga dapat terlihat pada fase ini :pada kasus ringan terlihat
titik-titik merah kecil dengan mata telanjang. Dengan bantuan slit lamp, papil terlihat sebagai
pembengkakan kecil konjungtiva, dengan vaskularisasi di tengahnya.Ketika inflamasi bertambah
berat, reaksi papilar pada konjungtiva tarsal diasosiasikan dengan penebalan konjungtiva,
pertambahan vaskularisasi pembuluh tarsal, dan kadang kadang edema palpebra. Bila kornea
terlibat pada proses inflamasi, keratitis punctata superficialis dapat dideteksi dengan
tesflouresensi. Infiltrat superficial atau pannus (infiltrasi subepitel dari jaringan fibrovaskular ke
perifer kornea) mengindikasikan inflamasi kornea. Folikel, papildan tanda kornea lain adalah
tanda dari fase aktif, namun pannus dapat bertahan setelah fase aktif. Resolusi dari folikel
ditandai dengan terjadinya scarring pada sub epitel konjungtiva. Deposisi dari skar biasanya di
konjungtiva tarsal atas, walaupun konjungtiva fornces, konjungtiva bulbi dan daerah atas kornea
dapat terkena. Di daerah endemis trakoma, sikatrik pada daerah tarsal karena episode infeksi
berulang menjadi dapat terlihat secara makroskopis dengan mengeversi palpebra atas, nampak
seperti plester putih dengan latar konjungtiva yang eritematous. Dilimbus, pergantian folikel
2
menjadi scar mengahasilkan formasi depresi translusen pada corneoscleral junction yang disebut
Herbert’s pits
Bila scar pada konjungtiva tarsal cukup banyak berkumpul, menyebabkan kelopak mata atas
menekuk ke dalam dan menyebabkan bulu mata mengenai bola mata,hal ini disebut trikiasis.
Ketika semua bagian kelopak mengarah ke dalam disebutentropion. Trikiasis sangat mengiritasi.
Penderita kadang mencabut sendiri bulumata atau memplester kelopak mata agar mengahadap ke
luar.Selain nyeri, trikiasis juga mencederai kornea, sebagai efek abrasi kornea dapat terjadi
infeksi sekunder oleh jamur atau bakteri. Karena sikatrik bersifat opak maka penglihatan dapat
terganggu bila mengenai daerah sentral kornea (Solomon et al, 2004)
I.5. Grading Trakoma
Pembagian menurut McCallan
Stadium Nama Gejala
stadium I Trakoma Insipien Folikel imatur, hipertrofi papilar
minimal
Stadium II Trakoma Folikel matur pada dataran
tarsal atas
Stadium IIA Dengan hipertrofi
papilar yang
menonjol
Keratitis, folikel limbus
Stadium IIB Dengan
hipertrofifolikular
yang menonjol
Aktivitas kuat dengan folikel
matur tertimbun di bawah
hipertrofi papilar yang hebat
Stadium III Trakoma sikatrik Parut pada konjungtiva tarsal
atas, permulaan trikiasis dan
3
entropion
Stadium IV Trakoma sembuh Tak aktif, tak ada hipertrofi
papillar ataufolikular, parut
dalam bermacam derajat deviasi
(Ilyas, S, 2007)
Pembagaian menurut WHO
Simplified Trachoma Grading Scheme
1. Trakoma Folikular (TF)
Trakoma dengan adanya 5 atau lebih folikel dengan diameter 0,5 mm didaerah sentral
konjungtiva tarsal superior
Bentuk ini umumnya ditemukan pada anak-anak, dengan prevalensi puncak pada 3-5
tahun
2. Trakoma Inflamasi berat (TI)
4
Ditandai konjungtiva tarsal superior yang menebal dan pertumbuhanvaskular tarsal.
Papil terlihat dengan pemeriksaan slit lamp
.3. Sikatrik Trakoma (TS)
Ditandai dengan adanya sikatrik yang mudah terlihat pada konjungtivatarsal.
Memiliki resiko trikiasis ke depannya, semakin banyak sikatrik semakin besar resiko
terjadinya trikiasis.
4. Trikiasis (TT)
Ditandai dengan adanya bulu mata yang mengarah ke bola mata.
5
Potensial untuk menyebabkan opasitas kornea
5. Opasitas Kornea (CO)
•Ditandai dengan kekeruhan kornea yang terlihat di atas pupil.
•kekeruhan kornea menandakan prevalensi gangguan visus atau kebutaanakibat trakoma
(Salomon et al, 2010)
I.6. Diagnosa
1. Riwayat Penyakit
Trakoma aktif biasanya ditemukan pada anak anak, dan penduduk pada daerah endemis, hanya
menimbulkan sedikit keluhan. Penderita dengan trikiasis bisasimtomatis. Beratnya keluhan
bergantung pada banyaknya bulu mata yangmenyentuh bola mata, ada atau tidaknya abrasi
kornea, dan ada tidaknya blefarospasme.
2. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan mata untuk tanda-tanda klinis dari trakoma meliputi pemeriksaan yang teliti
terhadap bulu mata, kornea dan limbus, kemudian eversi palpebra atas, dan inspeksi konjungtiva
tarsal. Binocular Loupes (x2,5) dan pencahayaan yang cukup dibutuhkan, bila memungkinkan
slit lamp dapat digunakan.
3. Pemeriksaan laboratorium
Mikroskopis, kultur sel, direct fluorescent antibody, enzyme immunoassay,serology,PCR, direct
hybridization probetest,Ligasse chain reaction, Stranddisplacement assay, quantitative PCR
(Salomon et al, 2004).4.
6
Diagnosis Banding
Trakoma Konjungtivitis folikularis Vernalkatarrh
GambaranLes
i
(Dini)papula kecil atau bercak merah
bertaburan dengan bintik-bintik kuning
padakonjungtiva tarsal(Lanjut) Granula dan
parut terutama padakonjungtiva tarsal atas
Penonjolan merah muda pucat
tersusun teratur seperti deretan beads
Nodul lebar
datar dalam
susunan cobble
tone
padakonjungtiva
tarsal atas dan
bawah,diselimuti
lapisan susu
Ukuran Lesi
dan Lokasi
Lesi
Penonjolan besar,lesi konjuntiva tarsal atas
dan teristimewa lipatan retrotarsal kornea-
pannus, bawah infiltrasi abu-abu dan
pembuluh tarsus terlibat
Penonjolan kecil, terutama
konjungtiva tarsal bawah dan forniks
bawah tarsus tidak terlibat
Penonjolan
besar,
tarsus,limbus
dan forniks
dapat terlibat
Tipe sekresi Kotoran air berbusa atau frothy pada stadium
lanjut
Mukoid atau purulen Bergetah,
bertali, seperti
susu
Pulasan Kerokan epitel dari konjungtiva dan kornea
memperlihatkan eksfoliasi, proliferasi dan
inklusi selular
Kerokan tidak karakteristik (Koch-
Weeks, Morax
Axenfeld,mikrokokus,pneumokokus)
Eosinofil
karakteristik dan
konstan pada
sekresi
Penyulit atau
sekuela
Kornea;
Panus,kekeruhankornea,xerosis,Kornea-
Ulkus kornea, Blefaritis Ektropion Infiltrasi kornea
Pseudoptosis
7
Konjungtiva:Simblefaron,Palpebra;Entropion,
trikiasis
(Ilyas, S, 2007)
4. Penegakkan Diagnosa
Diagnosa trakoma ditegakkan berdasarkan:
a. Gejala Klinik :Bila terdapat 2 dari 4 gejala klinik yang khas, sebagai berikut :
1)Adanya prefolikel di konjungtiva tarsalis superior
2)Folikel di konjungtiva forniks superior dan limbus kornea 1/3 bagian ata
3)Panus aktif di 1/3 atas limbus kornea
4)Sikatrik berupa garis-garis atau bintang di konjungtiva palpebra/ fornikssuperior,
Herbert’s pit di limbus korne 1/3 bagian atas
b. Kerokan konjungtiva, yang dengan pewarnaan giemsa dapat ditemukan badaninklusi Halbert
staedter Prowazeki.Diagnosa trakoma juga dapat ditegakkan bila terdapat satu gejala klinis yang
khas ditambah dengan kerokan konjungtiva yang menghasilkan badan inklusi.
c. Biakan kerokan konjungtiva dalam yolk sac, menghasilkan badan inklusi dan badan elementer
dengan pewarnaan giemsa
d. Tes serologis dengan:
1)Tes fiksasi komplemen, untuk menunjukkan adanya antibodi terhadap trakoma,dengan
menggunakan antigen yang murni. Melakukannya mudah,tak memerlukan peralatan
canggih, cukup mempergunkan antigen yang stabil, mudah didapat di pasaran. Mempunyai
nilai diagnostik yang tinggi.
2)Tes mikro-imunofluoresen, menentukan antibodi antichlamydial yang spesifik, beserta
sifat-sifatnya (IgM,IgA,IgG). Lebih sukar dan memerlukan peralatan canggih8
(Wijana N, 1993).
I.7. Penatalaksanaan
Kunci pentalaksanaan trakoma yang dikembangkan WHO adalah strategi SAFE(Surgical care,
Antibiotics, Facial cleanliness, Environmental improvement).
1. Terapi antibiotik
WHO merekomendasikan dua antibiotik untuk trakoma yaitu azitromisisn oral dan salep
mata tetrasiklin.
Azitromisin lebih baik dari tetrasiklin namun lebih mahal.
Program pengontrolan trakoma di beberapa negara terbantu dengan donasiazitromisin.
Konsentrasi azitromisin di plasma rendah, tapi konsentrasi di jaringantinggi,
menguntungkan untuk mengatasi organisme intraselular.
Azitromisin adalah drug of choice karena mudah diberikan dengan single dose
.Pemberiannya dapat langsung dipantau. Karena itu compliancenya lebih tinggi
dibanding tetrasiklin.
Azitromisin memiliki efikasi yang tinggi dan kejadian efek samping yangrendah. Ketika
efek samping muncul, biasanya ringan; gangguan GI danrash adalah efek samping yang
paling sering.
Infeksi Chlamydia trachomatis biasanya terdapat juga di nasofaring, maka bisa terjadi
reinfeksi bila hanya diberi antibiotik topikal.
Keuntungan lain pemberian azitromisin termasuk mengobati infeksi digenital, sistem
respirasi, dan kulit.
Resistensi C. trachomatis terhadap azitromisin dan tetrasiklin belum dikemukakan.
Azitromisin : dewasa 1gr per oral sehari; anak anak 20 mg/kgBB per oralsehari
Salep tetrasiklin 1% : mencegah sintesis bakteri protein dengan bindingdengan unit
ribosom 30S dan 50S. Gunakan bila azitromisin tidak ada.Efek samping sistemik
minimal. Gunakan di kedua mata selama 6 minggu
2. Tindakan bedah
9
Pembedahan kelopak mata untuk memperbaiki trikiasis sangat penting pada penderita
dengan trikiasis, yang memiliki resiko tinggi terhadap gangguan visus dan penglihatan.
Rotasi kelopak mata membatasi perlukaan kornea. Pada beberapa kasus,dapat
memperbaiki visus, karena merestorasi permukaan visual dan pengurangan sekresi okular
dan blefarospasme
3. Kebersihan wajah
Studi epidemiologi menunjukkan bahwa kebersihan wajah pada anak-anak menurunkan
resiko dan juga keparahan dari trakoma aktif.
Untuk mensukseskannya, pendidikan dan penyuluhan kesehatan harus berbasis
komunitas dan berkesinambungan
4. Peningkatan sanitasi lingkungan
Penyuluhan peningkatan sanitasi rumah dan sumber air, dan pembuanganfeses manusia
yang baik.
Lalat yang bisa mentransmisikan trakoma bertelur di feses manusia yangada di
permukaan tanah. Mengontrol populasi lalat dengan insektisida cukup sulit.
I.8. Kriteria Kesembuhan
Kriteria kesembuhan berdasarkan pemeriksaan dengan mata telanjang, terutama pada pengobatan
masal adalah :
1)Folikel (-)
2)Infiltrat kornea (-)
3)Panus aktif (-)
4)Hiperemia (-)
5)Konjungtiva, meskipun ada sikatrik, tampak licin.
Pada kasus individual, kriteria penyembuhan harus ditambah :
10
1)Pada pemeriksaan fluoresein, yang dilihat dengan slit lamp, menunjukkantidak ada
keratitis epitelial di kornea.
2)Pada pemeriksaan mikroskopis dan kerokan konjungtiva, tidak menunjukkan adanya
badan inklusi (Wijana N, 1993)
11
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, Sidarta. 2007.Ilmu Penyakit Mata, Cetakan ke-4. Jakarta: Balai PenerbitFakultas
Kedokteran Universitas Indonesia
2. Salomon, Anthony dan Hugh R Taylor. 2010. Trachoma: Treatment and Medication.
3. eMedicine Ophtalmology. 214: 29-38
4. Salomon et al . 2004. Diagnosis and Assesment of Trachoma.Clinical
5. Microbiology Review. 17: 982-1011
6. Wijana, Nana. 1993. Ilmu Penyakit Mata. Jakarta : Abadi Tegal
12
JOURNAL READING
Nama : Adinda Puspita Dewi
NIM : 030.08.006
Pembimbing : dr. Liliek Isyoto, Sp.M
Efek Azitromisin Oral Pada Pengobatan Konjungtivitis Chlamydial
Y-M Chen, F-R Hu, Y-C Hou
ABSTRAK
Tujuan
Untuk menilai tingkat keberhasilan dari Azithromycin Oral dalam Pengobatan Konjungtivitis
Chlamydial
Metode
Kami melakukan penelitian retrospektif pada pasien yang secara klinis dicurigai konjungtivitis
klamidia yang menjalani konjungtiva swab sampling untuk fluoresen (DFA) tes antibodi
langsung Chlamydia antara 1 Januari 2006 dan 31 Desember 2006. Pasien dengan hasil DFA
positif diberikan oral azitromisin sekali seminggu selama 2 minggu berturut-turut. Jika
pemeriksaan DFA masih menunjukkan hasil positif setelah 4 minggu, diberikan azitromisin
tambahan secara oral sekali. Tes DFA diulang 4 minggu kemudian, dan ini dilanjutkan sampai
tes DFA menunjukkan hasil negatif.
Hasil
Di antara 67 pasien yang dicurigai, 45 (67,2%) menunjukkan hasil positif dari tes DFA, 42
diantaranya menerima pengobatan. Setelah 2 minggu pertama, hanya 27 pasien kembali ke
klinik dan menyelesaikan pengobatan. Hasil tes menunujukan 19 pasien (70,4%) menjadi negatif
13
setelah melakukan pengobatan azitromisin oral. Selama 2 minggu. Di antara delapan pasien yang
tersisa, empat (14,8%) diperlukan dosis tambahan azitromisin oral, dan empat lainnya (14,8%)
membutuhkan dua dosis tambahan. Dari semua 27 pasien mentoleransi pengobatan dengan baik,
dengan efek samping gastritis ringan hanya pada satu pasien.
Kesimpulan
2 minggu dengan dosis azitromisin oral efektif dan ditoleransi dengan baik dalam pengobatan
konjungtivitis klamidia. Namun, lebih dari satu pengobatan yang diperlukan pada beberapa
pasien.
PENDAHULUAN
Chlamydia trachomatis adalah intraseluler obligat Eubacterium Gram-negatif yang dapat
menyebabkan berbagai macam penyakit dan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
cukup besar. C. trachomatis serotipe A, B, Ba, dan C menyebabkan trachoma, yang endemik di
banyak negara dan juga merupakan penyebab infeksi utama kebutaan di negara berkembang. C.
trachomatis serotipe D-K menyebabkan dewasa atau neonatal konjungtivitis inklusi, dan
merupakan salah satu penyebab utama penyakit menular seksual di negara-negara maju. Inklusi
dari infeksi konjungtivitis C. trachomatis dapat terlihat kemerahan pada mata dengan discharge
yang mukopurulen, ditandai hiperemia, hipertrofi papiler, dan konjungtivitis folikuler yang
predominan. Pada tahun 1950, tetrasiklin dan eritromisin ditemukan efektif terhadap C.
trachomatis dan menggantikan obat sulfa yang kurang memuaskan dalam pengobatan trachoma.
Sejak itu, salep tetrasiklin topikal telah banyak digunakan di banyak negara untuk mengontrol
trachoma. Pengobatan trachoma yang dianjurkan adalah tetrasiklin salep topikal dua kali sehari
selama 4-6 minggu atau oral tetrasiklin / doksisiklin / eritromisin selama beberapa minggu.
Namun, tetrasiklin salep mengiritasi dan sulit untuk digunakan, dan karena itu, kepatuhan
mungkin buruk. Penggunaan tetrasiklin oral, doxycycline, atau pengobatan eritromisin
membutuhkan kursus minimal 7 hari sampai 4 minggu dan, dengan demikian, kepatuhan
mungkin juga menjadi buruk. Sejak awal 1990-an, beberapa studi telah melaporkan bahwa dosis
tunggal azitromisin oral efektif dalam pengobatan trachoma. Organisasi Kesehatan Dunia
14
(WHO) kini juga mendukung penggunaan azitromisin oral yang dalam strategi 'AMAN'
(‘SAFE’) sebagai antibiotik untuk mengontrol trachoma di seluruh dunia. Untuk C. trachomatis
yang menyebabkan konjungtivitis inklusi karena prevalensi yang tinggi dan hubungan dengan
infeksi saluran kelamin, pengobatan sistemik dengan antibiotik oral lebih disukai. Karena
azitromisin, antibiotik, adalah intraseluler aktif dan menunjukkan aktivitas yang sangat baik
terhadap C. trachomatis in vitro, kini juga digunakan untuk pengobatan C. trachomatis yang
menyebabkan konjungtivitis inklusi dan bahkan konjungtivitis pada neonatal. Efektivitas
azitromisin oral telah ditunjukkan dalam pengobatan dari kedua trachoma dan konjungtivitis
inklusi pada dewasa dalam banyak penelitian. Meskipun Taiwan pernah menjadi daerah endemis
trachoma pada 1950-an dan 1960-an, prevalensi trachoma pada anak-anak telah menurun
menjadi 15% pada tahun 1995. Faktor-faktor seperti penggunaan salep antibiotik, pendidikan
kebersihan diri, dan perbaikan lingkungan mungkin telah berkontribusi terhadap penurunan
prevalensi penyakit di Taiwan, tetapi beberapa kasus sporadis konjungtivitis klamidia masih
dilaporkan. Oleh karena itu, kami telah mengevaluasi efektivitas azitromisin oral dalam
pengobatan pasien dengan konjungtivitis klamidia dalam pengaturan klinik kami.
BAHAN DAN METODE
Kami melakukan penelitian retrospektif dan tidak-secara acak untuk mengevaluasi efektivitas
azitromisin oral dalam pengobatan konjungtivitis klamidia. Kami meninjau catatan medis dari
semua pasien dengan secara klinis dicurigai konjungtivitis klamidia di klinik rawat jalan Dr Hou
di National Taiwan University Hospital (ntuh) antara 1 Januari 2006 dan 31 Desember 2006. Jika
pasien memiliki gejala kemerahan mata, discharge, dan iritasi dengan presentasi konjungtivitis
folikular, jaringan parut konjungtiva, dan pembentukan pannus kornea, diagnosis untuk
konjungtivitis klamidia telah dianggap. Kami melakukan fluoresen (DFA) tes antibodi langsung
untuk Chlamydia dengan pengambilan hapusan di bawah dan atas konjungtiva tarsal empat kali
setelah aplikasi topikal 0,5% proparacaine. Chlamydia DFA reagen (bioMe'rieux, Marcy I'Etoile,
Prancis) telah digunakan untuk tes DFA di laboratorium pusat rumah sakit kami. Semua tes DFA
diperiksa oleh ahli mikrobiologi yang berpengalaman dengan identitas dan kondisi klinis pasien
disembunyikan. Setiap slide DFA dibacakan di bawah mikroskop fluoresen dan diamati untuk
diskrit fluoresen badan SD klamidia (EBS).
15
Tabel 1. Data pasien baseline
Uji DFA telah dianggap positif jika ≥ 10 EBS dihitung per bidang daya tinggi. Semua pasien
dengan hasil DFA positif diberikan oral azithromycin, kecuali mereka yang sedang hamil,
menyusui, atau memiliki riwayat alergi terhadap makrolid. Pasien diberikan oral azitromisin
(1000mg atau 20 mg / kg) sekali seminggu selama 2 minggu berturut-turut, dan tes DFA diulang
4 minggu setelah pengobatan. Jika tes DFA masih menunjukkan hasil positif, berikan dosis
tambahan azitromisin secara oral, dan uji DFA lain dilakukan lagi 4 minggu kemudian.
Penambahan pengobatan dengan azitromisin oral (pemberian satu dosis oral diikuti dengan
pengujian DFA 4 minggu kemudian) dilanjutkan sampai tes DFA menunjukkan hasil negatif.
Efek samping yang tercatat dalam grafik medis ditinjau juga. Studi ini disetujui oleh dewan
peninjau kelembagaan ntuh, dan mengikuti pedoman dari Deklarasi dari Prinsip Helsinki.
HASIL
Sebanyak 67 pasien (rentang usia, 3-82 tahun) memiliki gejala dan tanda sugestif konjungtivitis
klamidia. Di antara 67 pasien, 45 (67,2%, 95% CI, 55,9-78,4) memiliki hasil positif tes DFA.
Dari jumlah tersebut 45 pasien, 42 dengan hasil positif menerima pengobatan, dan 3 pasien
lainnya pergi ke luar negeri dan tidak menerima pengobatan. Data pasien dasar ditunjukkan pada
Tabel 1. Setelah 2 minggu pertama pengobatan dengan azitromisin oral, hanya 27 (64,3%, 95%
16
CI, 49,8-78,8) dari 42 pasien kembali ke klinik dan menyelesaikan pengobatan. Kami teringat 15
pasien yang hilang untuk menindaklanjuti setelah 2 minggu pertama pengobatan, dan 9 pasien
menyatakan bahwa mereka tidak kembali ke klinik karena gejala mata mereka meningkat secara
signifikan. Sisa enam pasien tidak bisa dihubungi. Setelah 2 minggu pertama pengobatan
azitromisin oral, tes DFA dari 19 (70,4%, 95% CI, 53,2-87,6) dari 27 pasien yang negatif, dan 8
lainnya (29,6%, 95% CI, 12,4-46,9) pasien yang tes DFA tetap positif menerima pengobatan
augmented tambahan sebelum hasil tes DFA menjadi negatif (Tabel 2).
Tabel 2. Efektivitas pengobatan oral azitromisin
Di antara delapan pasien dengan hasil positif DFA terus-menerus, empat diperlukan pengobatan
augmented tunggal dan empat lainnya yang diperlukan dua pengobatan augmented untuk
mencapai hasil DFA negatif. Dari 45 pasien dengan hasil tes positif DFA, 3 (82, 76, dan 63
tahun, masing-masing) memiliki jaringan parut konjungtiva tarsal superior, opacity kornea, dan
pembentukan pannus, yang sesuai dengan presentasi trachoma lanjutan. Ketiga pasien
menyelesaikan pengobatan azitromisin oral , dua dari tiga pasien membutuhkan pengobatan
augmented tunggal, sedangkan pasien ketiga (berusia 82 tahun) diperlukan dua pengobatan
augmented. Semua pasien yang tersisa (termasuk pasien yang tidak dapat di follow-up) memiliki
folikel translucent pada kedua superior dan inferior konjungtiva tarsal tanpa jaringan parut
konjungtiva yang jelas dan pembentukan pannus kornea. Karena C. trachomatis serotipe tidak
rutin diperiksa di laboratorium sentral kita, hal itu sulit untuk membedakan trachoma dari
konjungtivitis inklusi dewasa dengan presentasi klinis pada pasien ini, kecuali pada tiga pasien
dengan trachoma lanjut. Dalam penelitian kami, kami juga menganalisis hubungan antara usia
17
dan efek pengobatan azitromisin oral. Pasien yang lebih tua memiliki kecenderungan untuk
memerlukan perawatan augmented lebih (Gambar 1). Pengobatan azitromisin oral ditoleransi
dengan baik oleh semua pasien. Hanya satu pasien memiliki episode gastritis ringan sementara,
dan tidak ada efek samping yang parah yang diamati.
Gambar 1. Hubungan antara kelompok usia dan durasi yang diperlukan pengobatan azitromisin
oral.
KESIMPULAN
C. trachomatis adalah salah satu agen infeksi yang paling sering ditemukan yang menyebabkan
konjungtivitis kronis, dan dapat dibagi menjadi 15 serovar. Meskipun berbagai kelompok
serovars menunjukkan tropisme jaringan yang unik, mereka tidak jaringan selektif. Secara klinis,
sulit untuk mendiagnosa tahap awal trachoma atau inklusi konjungtivitis body kecuali dengan tes
laboratorium yang disesuaikan dan konfirmasi. Karena serotipe tidak rutin dilakukan di rumah
sakit kami, kami tidak mampu untuk membedakan serovars C. trachomatis pada pasien kami.
18
Dalam penelitian kami, kami menggunakan tes DFA karena merupakan metode cepat, sensitif,
dan sederhana untuk diagnosis infeksi Chlamydia. Meskipun tes DFA mungkin agak kurang
spesifik dengan lebih hasil positif palsu dibandingkan dengan kultur C. trachomatis untuk
analisis uji-dari -penyembuhan, DFA mungkin berguna dalam pengujian awal pasien setelah
terapi antimikroba. Dalam studi sebelumnya oleh Schachter dkk 8, penurunan ditandai dalam
infeksi trachomatis C. di daerah endemik dicapai dengan menggunakan azitromisin oral sekali
seminggu selama 3 minggu. Di klinik rawat jalan, kami awalnya berusaha untuk mengobati
pasien kami dengan azitromisin oral sekali seminggu selama 2 minggu, setelah diagnosis
dikonfirmasi positif oleh hasil DFA. Tinjauan terhadap catatan medis mengungkapkan bahwa
tingkat pemberantasan bakteriologis cukup tinggi setelah 2-minggu pertama pengobatan
azitromisin oral (70,4%, 95% CI, 53,2-87,6), tapi tidak setinggi seperti yang dilaporkan di
tempat lain. Misalnya, Katusic dkk melaporkan tingkat pemberantasan C. trachomatis setinggi
92% dengan hanya dosis tunggal azitromisin oral. Mereka mengevaluasi tingkat pemberantasan
C. trachomatis 10-12 hari setelah pengobatan awal, yang 2-3 minggu lebih awal dari pada
penelitian kami. Dengan demikian, kemungkinan re-infeksi dan kambuh penyakit dapat
menjelaskan tingkat pemberantasan yang berbeda pada pasien kami. Selain itu, pasien dengan
infeksi persisten dan gejala klinis cenderung untuk kembali untuk perawatan tindak lanjut dan
lebih lanjut. Dalam penelitian kami, kami memiliki tingkat yang tinggi dari pasien yang hilang
untuk menindaklanjuti (35,7%, 95% CI, 21,2-50,2) setelah pengobatan pertama. Ini mungkin
juga menjelaskan tingkat yang relatif rendah pemberantasan Chlamydia setelah pengobatan
pertama pada pasien kami. Dalam studi ini, kami berusaha untuk mengingat 15 pasien yang
hilang untuk menindaklanjuti setelah 2 minggu pertama pengobatan dan tidak dilibatkan dari
penelitian kami untuk memeriksa hasil akhir mereka DFA sebelum analisis data penelitian.
Tidak ada satupun dari mereka kembali untuk pemeriksaan, kami tidak dapat mengetahui status
DFA akhir dari pasien. Selanjutnya, karena sebagian besar pasien hilang untuk menindaklanjuti
selama lebih dari 6 bulan, beberapa potensi bias yang terkait dengan lag ini, termasuk kambuh
penyakit, infeksi ulang, atau kurangnya perawatan augmented memadai, mungkin juga
mempengaruhi hasil akhir DFA dari pasien tersebut. Seperti 15 pasien hilang untuk tindak lanjut
setelah pengobatan pertama azitromisin oral pada penelitian kami, analisis sensitivitas skenario
terburuk dilakukan dengan asumsi bahwa semua 15 pasien masih memiliki hasil DFA positif
19
setelah pengobatan pertama. Hal ini menghasilkan sebuah efektivitas pengobatan 45,2% (95%
CI, 30,2-60,3) setelah 2 minggu pertama azitromisin oral. Sebaliknya, jika hasil DFA untuk
semua 15 pasien telah negatif setelah pengobatan pertama azitromisin oral, analisis sensitivitas
skenario terbaik akan menghasilkan sebuah efektivitas pengobatan 81,0% (95% CI, 69,1-92,8).
Dalam penelitian kami, sekitar 30% dari pasien masih memiliki hasil DFA positif bahkan setelah
program 2 minggu pengobatan azitromisin oral mingguan, menunjukkan bahwa pasien yang
memerlukan perawatan augmented. perawatan Augmented azitromisin oral diperlukan pada
beberapa pasien karena beberapa alasan. Pertama, kepatuhan pasien yang buruk mungkin
dipertimbangkan, tetapi tampaknya tidak mungkin karena ini pasien diberikan azitromisin oral
sekali seminggu saja. Kedua, kemungkinan kambuh atau re-infeksi pada pasien ini tidak bisa
sepenuhnya dikesampingkan. Seperti C. trachomatis adalah contact ditransmisikan, setiap
anggota keluarga yang terinfeksi mungkin telah menjadi sumber infeksi ulang jika mereka tidak
diobati. Menurut pendapat kami, semua pasien harus disarankan untuk menginformasikan
anggota keluarga mereka untuk menjalani diagnostik dan pengobatan untuk kemungkinan infeksi
klamidia. Ketiga, dalam pengobatan trachoma di seluruh dunia, penelitian telah menemukan
bahwa putaran pengobatan massal dengan azitromisin dosis tunggal di daerah hiperendemik -
trachoma tidak dapat menghilangkan trachoma atau okular C. trachomatis tetapi dapat
menurunkan kejadian infeksi dalam jangka panjang. Dalam penelitian kami, ada juga mungkin
beberapa pasien dengan loads C. trachomatis yang sangat tinggi program 2 minggu azitromisin
mingguan mungkin cukup untuk membasmi infeksi. Untuk pasien ini, augmented azitromisin
dapat membantu menghilangkan infeksi. Keempat, dalam penelitian ini, kami menggunakan
reagen Chlamydia (genus) khusus (bioMe'rieux) untuk tes DFA daripada reagen utama C.
trachomatis-spesifik protein membran luar untuk mendeteksi infeksi klamidia di laboratorium
pusat rumah sakit kami. Artinya trachomatis dan non-Chlamydia trachomatis (yaitu, C.
pneumoniae dan C. psittaci) sulit untuk dibedakan dengan tes DFA kami. Ada kemungkinan
bahwa beberapa pasien kami yang membutuhkan perawatan augmented mungkin disebabkan
karena infeksi non- Chlamydia trachomatis, sebagai konjungtivitis non- klamidia trachomatis
dianggap lebih umum daripada yang dipahami sebelumnya, dan program lebih lama pengobatan
antibiotik dari infeksi trachomatis C. itu dianggap perlu untuk membasmi organisme. Dalam
studi ini, kami juga mengamati bahwa pasien yang lebih tua memiliki kecenderungan untuk
20
memerlukan perawatan lebih, namun jumlah pasien terlalu kecil untuk menarik kesimpulan yang
pasti. Studi klinis lebih lanjut dengan sejumlah besar peserta diwajibkan untuk mengkonfirmasi
hubungan ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam pengobatan pengobatan
azitromisin oral konjungtivitis klamidia efektif dan ditoleransi dengan baik. Bagaimanapun,
augmented pengobatan azitromisin oral mungkin diperlukan pada beberapa pasien sebelum
konjungtivitis klamidia dapat diobati.
RINGKASAN
Apa yang diketahui sebelumnya
Penggunaan salep tetrasiklin topikal atau oral tetrasiklin / doksisiklin / eritromisin
adalah pengobatan untuk trachoma, tetapi kepatuhan mungkin menjadi buruk.
The azitromisin oral efektif dalam pengobatan kedua trachoma dan konjungtivitis
inklusi dewasa.
Apa penelitian ini menambahkan
Dua dosis mingguan azitromisin oral efektif dan ditoleransi dengan baik dalam
pengobatan konjungtivitis klamidia.
Pasien yang lebih tua memiliki kecenderungan untuk memerlukan perawatan lebih pada
penelitian kami.
KONFLIK KEPENTINGAN
Para penulis menyatakan tidak ada konflik kepentingan.
21