the imperfect memories
DESCRIPTION
Enjoy thisTRANSCRIPT
-
1
The Imperfect
Memories
-
2
-
3
-
4
-
5
The Imperfect
Memories Memori yang Tak Sempurna
Ditulis oleh:
Christopher Antoni
NIM: 14140110161
Ilmu Komunikasi E1
-
6
-
7
Untuk guruku; Ahmadun Yosi Herfanda,
keluargaku,
dan 3 sahabat terbaikku;
Heryanto Salim, Vivilia Sindra, & Sherren
Novena
-
8
The Imperfect Memories Penulis: Christopher Antoni
Email: [email protected]
Desain Sampul:
Christopher Antoni
Diunduh dari:
www.weheartit.com
Percetakan:
Fast Print
Jl. Raya Serpong Km 9
Tangerang Selatan
ISBN: 14140110161
Cetakan pertama, Desember 2014
X + 204 hlm; 14.8 x 21 cm
-
9
Pengantar
Guru saya selalu bilang; Menulis
adalah skill, bukan bakat. Saya percaya
dengan pernyataan barusan. Saya terlahir
bukan sebagai seorang penulis. Saya
cenderung menikmati posisi saya sebagai
seorang pembaca yang baik. Dari balita, saya
tidak dibekali ilmu untuk menulis cerita.
Tetapi lewat novel ini, saya berusaha
menjadi novelis yang baik. Saya akan
berusaha sebaik mungkin menciptakan dunia
sendiri; dunia Nathan yang penuh konflik,
mimpi buruk, air mata, cinta, dan kenangan
yang tak sempurna.
Untuk Anda yang sedang membuka
halaman buku ini; selamat membaca!
Tangerang, 15 November 2014
Christopher A.
-
10
Daftar Isi
Pengantar . 9 Prolog . 12 Bagian 1 Memori Bab 1 . 15 Bab 2 . 24 Bab 3 . 31 Bab 4 . 40 Bab 5 . 53 Bagian 2 Penyingkapan Bab 6 . 65 Bab 7 . 75 Bab 8 . 82 Bagian 3 Kepalsuan Bab 9 . 91 Bab 10 . 106 Bab 11 . 112 Bab 12 . 123 Bab 13 . 133 Bab 14 . 148 Bagian 4 Kejatuhan Bab 15 . 159 Bab 16 . 164 Bab 17 . 173 Bab 18 . 183 Epilog . 195 Biodata . 203
-
11
-
12
Prolog
Badanku terasa sakit. Penglihatanku
menjadi tidak jelas. Yang kulihat hanya
bayang bayang putih yang melintas tak tentu
arah. Sekilas aku mendengar sebuah nama
yang dipanggil terus menerus. Rose,
nyalakan lampunya. Rose, ambilkan aku
morfin. Rose, tolong usap keringatnya.
Persetan dengan nama itu. Sekarang
yang kubutuhkan hanya waktu untuk
beristirahat. Aku tidak ingat hal lain selain lima
menit terakhir di ruangan putih ini. Seketika
mataku terasa semakin berat. Bayang
bayang putih yang awalnya kulihat berubah
menjadi gelap, seakan akan ruangan ini mati
lampu. Seakan akan Tuhan memberiku
kesempatan, aku menghela nafas terakhirku.
-
13
Bagian 1
Memori
-
14
-
15
Bab 1
Ini hari Selasa klasik, dimana aku
memulai aktifitas sekolahku dengan
berkendara ke sekolah bersama anak anak
gaul, belajar di kelas tanpa lupa untuk
mencorat coret buku dengan tulisan iseng,
nongkrong di kantin bersama gadis gadis
populer, bermain basket dengan tim
kebanggaan sekolah, dan berbagai aktivitas
anak keren di sekolah senior. Aku sangat
menikmati hidupku, yang dikerumuni oleh
anak anak lain yang berharap mereka bisa
menjadi seperti aku. Tentu saja.
Aku Nathan Brown, anak dari Nicholas
Brown, CEO dari Grand Mobile Inc.,
perusahaan ponsel terbesar di kotaku. Aku
terlahir dari keluarga berkecukupan. Namun
aku bukan tipe anak yang hangout di club atau
yang lainnya. Aku lebih suka berbaur dengan
-
16
teman seusiaku, dan menjalani kehidupan
layaknya remaja lain.
***
Selasa sore. Waktu yang paling pas
untuk menghabiskan waktu dengan bermain
basket. Aku mengenakan baju basket merah
tuaku yang biasa kukenakan setiap selasa
sore. Disaat aku sedang menggiring bola, aku
mulai mendengar suara di kepalaku. Rose,
matikan
Aku mencoba berkonsentrasi pada bola
yang sedang kugiring. Namun suara itu tetap
saja bergaung di kepalaku. Rose,
ambilkan. Aku bingung bukan main. Obat
apa yang kuminum siang ini sehingga
menimbulkan suara suara di kepalaku?
Rose, usap. Saat suara terakhir
berkumandang, mataku berkunang kunang,
rabun, dan semuanya menjadi gelap.
-
17
***
Saat aku tersadar, yang kurasakan
hanya nyeri dan pegal di sekujur tubuhku. Aku
membuka mata, dan melihat Grace, sahabat
baikku yang duduk di sisi ranjang untuk
menunggu hingga aku terjaga.
Hai lelaki lemah. Kau sudah sadar
rupanya. Grace menceletuk. Aku melihat
petugas kesehatan di sebelahnya tersenyum
kecil.
Dimana aku? jawabku dalam keadaan
setengah sadar.
Pertanyaan cliche. Kau sedang dalam
perjalanan ke rumahmu. Kau pingsan dengan
cara yang amat dramatis, seperti di sinetron.
Apakah selama basket tadi ada orang
yang berteriak nama Rose atau berdiri di
sampingku selama latihan? tanyaku.
Tentu saja tidak. Orang gila macam
apa yang melakukan hal seperti itu?
-
18
Omong omong, siapa itu Rose?
tambah Grace.
Aku tak tahu.
Tiga kata itu mengakhiri percakapan
kami. Sesampainya di rumahku, aku langsung
berpamitan dengannya dan berterimakasih
pada tim medis sekolahku. Aku memasuki
rumah dan menyapa ibu. Aku menaiki tangga
menuju kamar. Sesampainya di sana, satu
satunya hal yang terlintas dibenakku hanyalah
tidur dan beristirahat hingga hari esok
menyambut.
***
Pagi hari kusambut dengan rasa lelah
yang masih melekat di badanku. Shower
mungkin bisa mengurangi rasa nyeri ini,
pikirku. Dengan malas, aku meraih gagang
shower dan mandi singkat. Aku segera
-
19
berpakaian dan menikmati sarapan pagi yang
telah disiapkan ibu.
Kau terlihat tidak sehat, apa yang
terjadi kemarin? tanya ibu.
Tidak ada apa apa. Aku hanya terlalu
lelah saja dengan tugas tugas yang
diberikan guruku.
Baiklah. Kau belum meminum jus
jerukmu, Nat, sahut ibu ketika aku berdiri
dengan segera dan mengambil tasku di kursi
terdekat.
Maaf, bu, tapi aku sedang tidak mood
untuk minum jeruk, jawabku sambil
tersenyum. Aku pergi ya, tambahku.
***
Sesampainya di sekolah, gadis gadis
memandangiku sambil cekikikan dan anak laki
laki memandangiku dengan tatapan heran
disertai senyum yang tertahan. Ini pasti ada
-
20
kaitannya dengan kejadian kemarin sore. Well,
aku tak peduli. Hal yang kuinginkan di sekolah
hari ini hanyalah masuk kelas, melamun
disana, dan pulang ke rumahku yang nyaman.
Aku melakukan apa yang aku bilang
barusan. Melamun di kelas. Pelajaran hari ini
sejarah, yang tak diragukan lagi, adalah
pelajaran paling membosankan seumur
hidupku. Selama dua kali empat puluh lima
menit, aku menghabiskan waktu dengan
melamun di balik buku tebal yang kutumpuk
dihadapanku.
Di alam bawah sadarku, aku melihat
bayangan putih yang melintas tak tentu arah
kesana kemari. Kurasa itu bayangan biarawan
biarawati yang biasa kutemui di gereja. Aku
mengamatinya lagi. Sepertinya aku salah.
Lamunanku terhenti ketika Grace
menepuk pundakku dengan sangat keras,
hingga rasa sakitnya masih terasa hingga 5
-
21
menit kemudian. Aku tidak marah. Ini hal yang
lazim bagi kami berdua.
Lelaki macam apa yang melamun pagi
pagi begini? Apa yang kau pikirkan? Gadis
gadis seksi di situs dewasa? cetus Grace.
Tentu saja tidak. Apakah ada orang
orang berpakaian putih yang mondar mandir
di depan kelas kita tadi? tanyaku.
Ada. Jeremy Haynes. Si maniac video
game yang duduk paling belakang dan dia
tidak berdiri. Ia menghabiskan waktu untuk
memandangi bokong seksi milik Angela.
Kau ini kenapa sih? tambah Grace.
Tidak. Aku sehat. Sangat sehat. Aku
hanya sering melamun saja, efek dari kurang
tidur tadi malam. Aku berbohong.
Grace memalingkan wajah dan kembali
ke topik yang dibahas guru sejarah kami. Ini
pertama kalinya aku menyadari, bahwa Grace
adalah gadis yang sangat menawan, manis,
-
22
dan seksi. Tapi aku tak mungkin memilikinya
karena kami sudah berteman dari sekolah
dasar, dan orangtua kami sudah menjalin
hubungan bisnis dengan baik selama bertahun
tahun. Lagi lagi aku melamun. Aku
mencoba tetap terjaga hingga kelas sejarah ini
selesai. Pelajaran berakhir dengan satu tugas
tambahan, yang mau tak mau, harus kucari
referensinya di perpustakaan.
Aku ke perpustakaan seorang diri, dan
tanpa membuang waktu, aku segera mencari
buku referensi tersebut. Perang Dunia Kedua.
Tentu saja tak asing bagiku. Kehancuran
dimana mana, terutama Hiroshima dan
Nagasaki. Pertumpahan darah. Jenazah
bertumpukan.
Ketika semua itu terlintas dibenakku,
rasa nyeri luar biasa muncul di tengkukku,
pinggang, dahi, serta betisku. Seperti dipukuli
dengan tongkat oleh lima orang sekaligus.
-
23
Dan kakiku panas, seperti terkena api
rasanya. Sebelum aku sempat tumbang ke
lantai, rasa sakit itu menghilang. Ini hal aneh
yang datangnya berentetan dengan panggilan
Rose ditelingaku, dan bayang bayang putih
yang melintas dibenakku. Aku tahu bahwa
sesuatu tidak beres disini. Aku butuh psikiater.
-
24
Bab 2
Ruang tunggu psikiater hampir mirip
dengan ruang tunggu kepala sekolahku, yang
pernah kumasuki sekali karena bertengkar
dengan anak dari sekolah lain. Suasananya
sangat tenang, dengan meja resepsionis tepat
di sisi kanan pintu. Di meja itu terletak papan
nama bertuliskan: Sarah Mayland: Sekretaris,
yang tak lama kemudian memanggil namaku
untuk segera masuk ke ruang psikiater.
Ini pertama kalinya aku masuk ruang
praktik psikiater. Ruang itu didominasi warna
biru muda, dengan hiasan rak buku tinggi di
sekeliling tembok, dan di tengah ruangan
terletak satu kursi untuk berbaring, dan satu
set meja kursi kerja lengkap dengan lelaki
tua yang duduk di belakangnya yang
kupastikan adalah dr. Gerald.
Silahkan duduk, Tuan Nathan, ucap
Sarah.
-
25
Terimakasih.
Setelah pintu di belakangku tertutup
yang menandakan Sarah sudah di luar, dr.
Gerald memulai konsultasi kami.
Pengunjung kami biasanya anak
anak autis atau lansia yang mulai pikun
dengan hidup mereka. Ini kejadian Sekali
Dalam Sepuluh Tahun bahwa seorang pria
muda gagah sepertimu mau mengunjungi
kami. Kau boleh menceritakan keluhanmu.
Kau punya waktu 30 menit.
Aku tidak butuh waktu 30 menit untuk
menceritakan kejadian janggal ini. Dalam
waktu singkat, cerita anehku keluar dengan
lancar dari mulutku. dr. Gerald sesekali
mencatat omonganku dengan tatapan heran,
seperti manusia hutan yang pertama kali
melihat ponsel.
Aku mengakhiri ceritaku dengan
berkata bahwa aku sendirian di perpustakaan
-
26
dan aku merasa seperti dipukuli oleh banyak
orang. Tentu saja yang terlintas di benak
setiap orang ketika mendengar ceritaku adalah
bahwa aku sedang diusik setan. Tapi aku tidak
percaya pada hal semacam itu.
Begini, nak. Kasus yang biasa
kuhadapi adalah masalah kejiwaan. Jika kau
bercerita seperti barusan, aku merasa kau
mendatangi orang yang salah. Mungkin
seharusnya kau mengunjungi pastor atau
orang suci lainnya. ucap dr. Gerald.
Tapi aku bukanlah tipe remaja yang
paranoid terhadap hantu dan sebagainya. Aku
tidak percaya akan hal hal semacam itu.
Lagipula, perpustakaan sekolahku sudah
diberkati setiap tahunnya oleh pastor. Mana
mungkin ada penunggu nakal yang
mendiaminya, bantahku.
Kau boleh saja beranggapan demikian.
Tapi kau tidak tahu fakta apa yang terkandung
-
27
di sekolahmu. Menurutku, beberapa arwah
sesat berusaha merasuki tubuhmu. Mereka
memasang memori memori buruk untuk
mengacaukan pikiranmu. Ditambah, kau
sedang lelah. Kau tahu, setan lebih mudah
merasuki orang yang kelelahan.
Setelah 15 menit diceramahi tentang
setan yang merasuki tubuhku, aku merasa
kedatanganku ke psikiater ini hanya
membuang buang waktu dan tenagaku. Aku
yakin 99% bahwa aku tidak kerasukan. Aku
masih bisa berpikir jernih, buktinya.
Setelah keluar dari ruang psikiater gila
ini, aku segera menelpon Grace, yang kutahu
rumahnya hanya 2 blok dari sini. Aku minta
Grace menjemputku dan pergi makan siang
bersama. Tentu saja ia kebingungan ketika
kuminta untuk dijemput di praktik psikiater.
Mungkin saja ia mengira aku kelainan jiwa.
-
28
Setelah menunggu beberapa menit,
Grace akhirnya muncul dengan mobil
kuningnya yang kecil, tak lupa dengan
celetukannya yang usil.
Kau ternyata tidak hanya pria lemah,
tetapi juga pria dengan kelainan jiwa. Ayo naik
ke mobil.
Kami berkendara menuju rumah makan
favorit kami, yang berada sekitar dua kilometer
dari rumahku. Sepanjang perjalanan, Grace
terus menanyai apa yang membuatku pergi
menemui psikiater, lalu apa yang dikerjakan
oleh psikiater kepadaku. Aku hanya membalas
dengan Entahlah, Tidak apa apa atau
Bukan masalah besar. Jawaban tersebut
tentu bukanlah tipe jawaban yang dapat
memuaskan hati wanita. Grace tetap bertanya
hingga kami makan bersama. Dan jawabanku
tetap Entahlah. Aku belum siap menceritakan
-
29
hal ini pada Grace. Aku belum siap dibilang
gila.
Sepulang dari makan siang, Grace
mengantarku pulang, tentu saja tidak lupa
dengan celetukannya.
Ternyata pria tampan yang gila lebih
memilih untuk diam. Baiklah. Wajar saja kalau
dia masuk klinik kejiwaan.
Apakah kau memanggilku tampan
barusan?
Entahlah. Balas Grace dengan meniru
gayaku.
Ia memutar arah mobilnya dan segera
meninggalkan halaman rumah. Sekilas aku
melihat senyum kecil di wajahnya. Mungkin
aku hanya mengada ada.
Aku memasuki rumah, menyapa ibu
yang sedang mencuci piring, dan menaiki
tangga menuju kamar. Sampai di kamar, aku
tidak terpikir lagi untuk tidur. Aku segera
-
30
mencuci muka dan menyalakan komputer. Hal
yang terlintas di kepalaku adalah mencari tahu
siapa itu Rose. Tentu ini bukan pencarian
mudah. Karena identitas yang kutahu
tentangnya hanya terdiri dari empat huruf.
Pencarian ini memakan waktu berjam jam.
Pencarian ini menyita waktuku dan
membuatku lupa akan makan malamku.
Akhirnya mataku lelah. Perutku lapar.
Aku memberanikan diri untuk melihat jam.
Pukul sepuluh malam. Pencarian yang luar
biasa memakan waktu, dan bodohnya, tanpa
hasil. Aku mencari makanan apa yang tersisa
di kamarku. Ternyata masih ada sebungkus
coklat dari Angela, yang sering menyapaku di
lorong sekolah. Setelah melahapnya, tanpa
sadar, aku merebahkan badanku dan tertidur
lelap.
-
31
Bab 3
Aku dibangunkan oleh dering alarm
bisingku. Dengan malas, aku menarik diri dari
selimut, dan mencoba berdiri. Aku segera
mandi dan turun ke dapur untuk sarapan.
Kau lupa makan malammu, nak, ucap
Ayah.
Maaf, yah, tapi tugasku benar benar
banyak. Padahal sudah kukerjakan dari
minggu lalu, aku berbohong.
Lain kali jangan diulangi. Kau bisa
terserang maag, sahut Ibu.
Aku meng-iya-kan nasihat Ibu dengan
tundukan kepala singkat. Sambil menyeruput
kopi, aku meraih surat kabar di meja makan
dan membolak balik halamannya seakan
akan ada hal menarik disana. Dan benar saja.
Ada hal menarik disana.
Tertulis judul besar, Rose McBryant
Ditemukan TEWAS di Kediamannya. Aku
-
32
terkejut dan senang pada saat bersamaan.
Apakah Rose ini yang disebut sebut dalam
pikiranku? Apakah mungkin keluarganya
mengetahui sesuatu yang bisa
menyelamatkan pikiranku dari bayangan
bayangan gila ini?
Diam diam aku mengambil halaman
koran itu dan melipatnya kecil kecil untuk
dimasukkan ke dalam saku. Dengan cepat aku
menghabiskan sarapanku dan berpamitan
dengan ayah & ibu. Aku meminjam mobil ayah
kali ini, dengan alasan sepulang sekolah aku
akan mengerjakan tugas di rumah teman.
Aku segera menuju kediaman Rose
yang tertera di surat kabar. Bangaley 4th
Street. Ini kali pertama aku membaca alamat
ini. Setelah mencarinya di peta, aku cukup
bersyukur karena lokasi ini hanya berada 5
kilometer dari Sacred Heart of Jesus
Kindergarden, sekolah masa kecilku. Aku
-
33
mengendarai mobil dengan kecepatan
standar, sambil mendengarkan musik rock
favoritku, Simple Plan. Ponselku tiba tiba
berdering dan menampilkan wajah Grace yang
sedang tersenyum. Aku menekan tombol hijau
dan loudspeaker.
Nat, jika kau tidak datang ke sekolah
dalam 5 menit, kau bisa ketinggalan pelajaran
paling penting di abad ini. Dimana kau? seru
Grace dari telepon.
Aku, eh Aku sedang tidak enak
badan, kau tahu. Aku sering pingsan akhir
akhir ini. Untuk hari ini, aku minta izin kepada
Mrs. Paula karena tidak bisa menghadiri
kelasnya. Jawabku.
Aku mendengar lagu Simple Plan. Kau
pasti
Pembicaraan selesai setelah aku
menekan tombol merah. Semakin sedikit
informasi yang kuberikan pada Grace,
-
34
semakin baik. Setelah 30 menit perjalanan
membosankan, akhirnya aku sampai di
Bangaley 4th Street, jalan dimana rumah Rose
McBryant berada. Dengan cepat aku melihat
rumah yang halamannya dipenuhi garis kuning
polisi. Rumah itu terlihat biasa; rumah
penduduk yang dicat pink dengan bunga
bunga yang ditanam rapi di halamannya. Aku
mencoba memasuki rumah itu lewat pintu
depan yang sayangnya telah terkunci. Aku
mengelilingi rumah, mencoba satu per satu
pintu yang ada, dan menemukan satu pintu
yang tidak terkunci di bagian belakang rumah.
Aku memutar engsel pintu dengan melapisi
tanganku dengan saputangan terlebih dahulu.
Yang jelas terasa dari rumah ini adalah
nuansa ketiadaan. Di wastafel dapur, tampak
setumpuk piring kotor. Di sebelah mesin cuci,
tampak sekeranjang pakaian kotor. Dan yang
lebih angker lagi, tali tempat leher Rose
-
35
McBryant tergantung masih ada di tengah
tengah dapur. Jenazahnya sudah diamankan.
Aku mencoba mencari informasi lain di
ruang tamu. Tampak foto berhias pigura
terletak di meja tamu. Foto menampilkan
gambar wanita berpakaian perawat yang
tersenyum ramah. Lalu ada tiga belas tangkai
mawar merah segar yang tersusun rapi dalam
vas. Sepengetahuanku, tiga belas merupakan
angka kematian. Tetapi mungkin saja ini tidak
ada kaitannya dengan kematian Rose.
Lalu, aku memasuki kamar Rose.
Kamar itu tampak berantakan. Isi lemari baju
berserakan di lantai, selimut tampak kusut di
atas ranjang, dan aroma kamar tercium amis
dan apak. Ini bukan aroma yang wajar untuk
seorang perawat wanita yang biasanya sangat
peka terhadap kebersihan.
Aku juga memasuki kamar mandi yang
berantakan. Sabun tumpah ke lantai, tisu
-
36
jatuh, cermin belepotan, dan keranjang sikat
gigi jatuh. Lalu aku meninggalkan kamar
mandi.
Karena tidak menemukan petunjuk lain
(dan muak akan aroma apak rumah ini), aku
keluar rumah dengan jalan yang sama ketika
aku masuk. Tentu saja aku tidak lupa untuk
melapisi tanganku dengan sapu tangan ketika
memegang engsel pintu. Aku mengitari rumah
ke bagian pekarangan dan menunggu di sana.
Keadaan rumah lain juga sama matinya
dengan rumah Rose. Seakan akan penghuni
lain takut jika rumah Rose berhantu, dan
mereka menginap di rumah kerabat mereka.
Seakan akan keberuntungan berpihak
padaku,seorang polisi yang sedang bertugas
di sekitar rumah Rose melewatiku.
Selamat pagi, pak polisi. Aku adalah
kenalan Rose McBryant yang meninggal, dan
aku memiliki sedikit hal yang perlu
-
37
diperbincangkan kepada keluarganya,
sapaku.
Mohon maaf, Anda siapa? jawab polisi
itu.
Eh, Nathan Brown, pelajar dari Sunrise
Academy, ditugaskan untuk mewawancarai
keluarga dari Rose McBryant. Tugas ini sangat
penting, pak, sebagai nilai akhir semesterku.
Apakah Anda mau menolongku dengan
memberikan alamat dari keluarga Rose?
bohongku.
Ini sebenarnya dilarang dalam
pekerjaanku, untuk memberitahukan informasi
korban kepada orang lain.
Aku sangat mohon bantuan Anda, pak.
Aku tidak tahu harus mencari topik apa lagi
selain kematian Rose McBryant aku
mencoba terlihat menyedihkan.
Setelah tawar menawar panjang yang
berujung pada sekotak rokok (aku tidak
-
38
merokok, aku hanya membelinya untuk polisi
sialan itu), polisi itu berhasil dibujuk. Aku pura
pura berterima kasih dan naik ke mobil. Aku
berniat mengunjungi alamat yang diberikan
polisi tersebut.
Sayangnya, waktu seakan akan tidak
mengizinkanku untuk absen lebih lama lagi,
aku harus kembali ke sekolah. Aku
meninggalkan rumah Rose dengan kelajuan
cepat, dan sampai di sekolah dalam waktu 20
menit. Waktu yang cepat untuk jarak yang
cukup jauh. Aku segera memarkirkan mobilku,
dan masuk ke kelas dengan santai, tak lupa
menyapa anak lain.
Grace memandangku dengan tajam
ketika aku melewatinya di kelas, padahal aku
sudah menyapanya. Ketika aku menanyakan
Kenapa?, seperti biasa, seorang gadis akan
menjawab Tidak apa apa, padahal aku
-
39
tahu bahwa ia pasti kesal padaku karena
menutup telponnya.
Setelah melewatkan pelajaran hari ini
dengan rasa lelah, aku lekas pulang dan
membenamkan diriku dalam kasur.
-
40
Bab 4
Yang kulihat hanya kegelapan dimana
mana. Tapi aku dapat mendengar dengan
jelas, Ini kesempatan keduamu. Gunakanlah
dengan baik dan bijak.
Suara itu menghilang. Dan aku kembali
melihat kegelapan kosong hingga akhirnya
terbangun tepat di pagi hari. Suara itu masih
teringat di kepalaku. Apa maksudnya?
Kesempatan kedua apa? Apa yang akan
kumanfaatkan? Setelah lamunan panjang, aku
putuskan diriku untuk mandi dan turun ke
dapur untuk sarapan.
Bu? sapaku.
Apa, Nat? jawab ibu.
Apakah Ibu pernah bermimpi tentang
mendengar suara suara?
Ketika Ibu bermimpi, tentu ibu juga
mendengar apa yang orang lain katakan
dalam mimpi ibu. Memang kenapa?
-
41
Aku mendengar sesuatu yang janggal
tadi malam. Aku tidak bermimpi, hanya
mendengar suara yang mengatakan aku
memiliki kesempatan kedua, jawabku.
Itu hal yang menarik, Nat. Tidak semua
orang memiliki kesempatan kedua. Yang kita
miliki adalah masa depan untuk memperbaiki
kesalahan masa lalu kita. jawab Ibu.
Aku hanya terdiam. Aku masih teringat
akan kalimat dalam tidurku itu. Aku segera
menghabiskan sarapanku dan berpamitan
dengan ibu. Hari ini, aku memilih untuk
berjalan kaki ke halte bis terdekat dan
menunggu bis ke sekolah. Di sepanjang
perjalanan, kalimat itu terus mengulang di
kepalaku. Jika hal ini terus berlanjut, aku bisa
benar benar gila.
Di kelas, semua pelajaran yang
dijelaskan terasa memantul dari kepalaku.
Semuanya tergantikan oleh kalimat
-
42
kesempatan kedua. Untuk mengalihkan
perhatianku, aku mencorat coret kertas
kosong dihadapanku. Biasanya aku
menggambar karikatur tokoh terkenal, seperti
Einstein atau Lincoln. Aku menggerakkan
pena di atas kertas sembari melamun. Alih
alih menggambar sosok, aku menulis sebuah
nama, Evelyn. Ini benar benar gila. Aku
bahkan tidak pernah membayangkan nama ini,
dan seketika aku menuliskan namanya.
Apakah ini hanya lamunan biasa, atau
memang pertanda bahwa aku tidak baik
baik saja?
Tiba tiba Grace yang duduk di
depanku memalingkan badan dan mengambil
kertas di hadapanku. Ia melihatnya, dan
dengan tatapan tajam mengembalikannya. Ia
terlihat kecewa. Aku tidak mengerti mengapa
ia melakukannya dengan raut muka yang tidak
-
43
menyenangkan. Apakah Ia kesal karena aku
menulis nama Evelyn?
***
Tiga jam pelajaran berlalu dengan
lambat, dan aku menghabiskan waktu di
sekolah dengan memikirkan kesempatan
kedua dan siapa itu Evelyn?. Bel berbunyi.
Aku langsung keluar kelas dengan cepat.
Selama di lorong, aku dipandangi oleh anak
anak lain. Mereka terlihat bingung, mungkin
karena sifatku berubah drastis akhir akhir ini.
Aku terlalu sibuk memikirkan hal hal gila ini.
Jadi, kuputuskan untuk duduk di taman
sekolah untuk menarik udara segar. Aku
meraba raba saku jaketku dan menemukan
secarik kertas bertuliskan alamat. Aku menjadi
ingat kembali. Ini alamat keluarga Rose.
Seketika, aku menjadi bersemangat kembali
untuk melakukan pencarian ini. Aku segera
-
44
mengemas barang barangku dan berlari ke
halte bis. Untung saja ini waktunya pulang, jadi
aku tidak akan kena teguran kabur dari
sekolah. Aku segera menaiki bis dengan
tujuan halte terdekat rumahku. Setelah
sampai, aku segera berlari lagi menuju rumah
dan makan siang, lalu berpamitan dengan ibu
dan meminjam mobil ayah. Aku segera melaju
ke alamat yang tertulis.
Aku tiba di lokasi setelah menempuh
perjalanan selama 45 menit. Ini adalah sisi
kota yang jarang aku kunjungi. Tetapi aku
langsung hafal rutenya dan segera mencari
rumah keluarga Rose. Rumah tersebut tidak
sulit ditemukan, karena jumlah rumah yang
terbilang sedikit di daerah itu, serta rumah
keluarga Rose adalah satu satunya rumah
yang dicat warna ungu pucat. Aku segera
menghampiri rumah itu dan mengetuk
pintunya. Dengan segera, pintu terbuka, dan
-
45
tampak seorang wanita tua dengan pakaian
rumah sederhana, serta senyum yang
dipaksakan di wajahnya. Aku melihat kantong
mata ekstra besar dan hidungnya yang
berwarna merah, seperti terkena flu selama
seminggu. Ia berkata,
Selamat siang, ada yang bisa
kubantu?
Selamat siang, aku Nathan Brown,
siswa Sunrise Academy. Aku diberi tugas oleh
guruku untuk melakukan sedikit wawancara
tentang kepergian Rose McBryant. Kuharap
Anda dapat membantuku.
Mohon maaf anak muda, tetapi aku
sedang tidak ingin membicarakan kematian
keponakanku, jawab wanita itu sembari
menutup pintu. Aku menahan pintunya seraya
berkata,
Nyonya, tolong. Bantulah aku. Ini demi
tugas akhir semesterku. Aku berjanji tidak
-
46
akan bertanya hal hal yang tidak kau
perkenankan.
Baiklah, sedikit wawancara tidak akan
membunuhku. Silahkan masuk.
Aku melepaskan sepatuku dan duduk di
ruang kelurga. Ruangan itu sangat hangat dan
nyaman, sayangnya sedikit berantakan.
Kau menyukai teh? tanya wanita itu.
Ya, dengan sedikit gula. Terima kasih.
Sementara wanita itu membuatkan teh
di dapur, aku melihat ke sekitar. Banyak foto
bergantungan di dinding. Terdapat foto Rose
yang pernah kulihat di rumah mendiang, persis
dengan seragam putihnya. Lalu aku melihat
foto wanita tua itu, Rose, dan satu lelaki yang
tak kukenal. Lalu aku melihat ijazah kelulusan
Marie McBryant dari sekolah keperawatan.
Dan seketika wanita tua itu kembali dengan
membawa senampan teh dan biskuit. Ia
menyajikannya dan duduk di sofa seberangku.
-
47
Baiklah, anak muda. Siapa namamu
tadi? Jonathan? Nathanael? tanyanya.
Eh, Nathan saja. Jika aku boleh tahu,
siapa nama Anda, nyonya? balasku sambil
mengeluarkan buku catatan dan pena dari tas.
Marie McBryant. Kau bisa
memanggilku Marie saja.
Baiklah, nyonya Marie. Apakah relasi
Anda dengan Rose?
Aku kakak perempuan ayahnya. Rose
dan kakaknya kehilangan kedua orangtua
mereka ketika masih kanak kanak. Jadi,
mereka besar bersamaku. Mereka seperti
anakku sendiri. Oh, ya aku lupa menjelaskan.
Nama kakak Rose adalah Daniel. Jika kau
sudah melihat foto di dinding itu, dialah
orangnya. Dia sedang menjaga jenazah Rose
di rumah sakit. Marie menunjuk foto yang tadi
kulihat.
-
48
Oke, aku sudah melihatnya. Aku juga
melihat ijazah kelulusanmu dari Akademi
Keperawatan.
Ya. Aku dulunya seorang perawat.
Rose mengikuti jejakku. Dia bersekolah di
sekolah yang sama, dan bekerja di rumah
sakit yang sama sepertiku.
Baiklah. Apa nama rumah sakit tempat
ia bekerja dulu? tanyaku.
Sunny Hill Hospital. Jawabnya.
Oke. Apakah selama bekerja Rose
pernah merasa gelisah atau murung yang
merujuk pada kepergiannya?
Aku sudah bilang, aku tidak ingin
membicarakan kematian Rose, ucap Marie
sambil menatapku tajam.
Eh, aku sungguh minta maaf, Nyonya,
jawabku sopan sambil menundukkan kepala.
-
49
Tapi kulihat, kau sangat membutuhkan
hal ini. Baiklah, aku akan bercerita. Ia
menambahkan,
Selama 20 tahun ia bekerja disana, ia
hanya sekali tampak gelisah dan takut.
Sekitar 17 tahun yang lalu, rumah sakitnya
kedatangan pasien yang dapat dikatakan
sangat kritis. Beberapa tulang rusuk, bahu,
dan punggungnya retak. Tubuhnya memar
dan ada sedikit luka bakar di kakinya. Darah
memenuhi wajahnya. Pokoknya benar benar
parah. Rose merawatnya dan menyaksikan
lelaki itu menghembuskan nafas terakhirnya.
Di sisa nyawanya, lelaki itu menggumamkan
sesuatu. Rose mendengar nama Evelyn,
ucap Marie sambil mengusap matanya yang
mulai basah.
Evelyn. Aku tidak bertanya pada orang
yang salah. Inilah informasi yang aku
butuhkan.
-
50
Siapa nama lelaki itu? tanyaku sopan.
Kalau aku tidak salah ingat, namanya
Matthew. Tapi aku lupa nama belakangnya,
jawab Nyonya Marie.
Lalu, adakah usaha Rose untuk
mencari tahu identitas lelaki kritis itu dan
Evelyn? tanyaku.
Sepertinya, Rose tertarik untuk
menguak masalah lelaki itu. Semenjak hari itu,
Rose jadi sering telat pulang ke rumah.
Sesampainya di rumahnya, ia hanya makan
sebentar, dan langsung naik ke kamarnya.
Ketika kutanyai, ia sedang sibuk dengan
komputernya, dan sekilas aku melihat ia
mengetik nama Evelyn. Waktu itu, Rose masih
tinggal bersamaku, jadi aku tahu banyak.
Mohon maaf jika aku menjadi emosial begini,
aku sangat menyayangi Rose, jelas Marie
dengan suara serak. Lalu ia mengusap
matanya kembali.
-
51
Apakah kau tahu dimana Evelyn ini
berada?
Ia mencari info tentang Evelyn di
internet, dan ia menemukannya dengan
sangat susah payah. Evelyn tinggal di
kawasan konglomerat di pusat kota tetangga,
Silver Stars Residence. Aku mengetahuinya
karena Rose pernah sekali meminjam mobilku
dan berkunjung ke situ. Ia mengatur GPS
nya ke situ. Tetapi, belakangan ini aku
mengetahui, jika Evelyn berada di rumah sakit.
Ia menjalani rawat inap dari 3 tahun yang lalu.
Baiklah. Barusan itu adalah
percakapan yang sangat membantu, Nyonya
Marie, tanggapku.
Aku menjelaskan apa saja yang aku
ingat. Apa saja yang dapat mengungkapkan
kematian Rose. Aku tidak percaya jika Rose
bunuh diri. Ia hanya menggubris tentang
Evelyn & Matthew selama 1 bulan. Akhir
-
52
akhir ini dia tidak menunjukkan gejala apapun
untuk bunuh diri.
Aku terkejut mendengar pernyataan
Nyonya Marie. Nyonya Marie yakin bahwa ada
dalang di balik kematian Rose, namun ia tidak
dapat membuktikannya karena tidak ada bukti
yang kuat. Aku tidak dapat
membayangkannya.
Dengan sopan, aku menyeruput tehku,
lalu berdiri dan berpamitan dengan Nyonya
Marie. Aku segera menaiki mobil dan berniat
untuk menuju ke Sunny Hill Hospital. Aku
menghidupkan mesin, mengatur kopling, dan
meninggalkan rumah itu dengan senyuman.
-
53
Bab 5
Perjalanan ke rumah sakit terasa cepat.
Dalam dua puluh menit, aku telah tiba di
Sunny Hill. Aku segera bertanya ke
resepsionis dan mencari Nyonya Evelyn. Aku
segera diberitahu nomor kamarnya. Aku
menuju ke eskalator, dan menekan tombol.
Ketika eskalator terbuka, aku melihat
beberapa orang keluar dari dalamnya; dua
orang perawat, seorang pekerja kebersihan,
dan seorang lelaki yang kurasa agak tua
berpakaian mahal dengan wajah yang
menyerupai moai di Pulai Paskah yang tidak
pernah tersenyum. Ia mengenakan setelan
coklat dan ada saputangan biru muda terselip
di sakunya. Ia berjalan dengan lambat, tanpa
memalingkan mata kemanapun. Aku sudah
sering melihat orang seperti pria ini, namun
aku merasa pernah melihatnya dulu. Tapi
-
54
dimana? Dan kapan? Mungkin hanya
perasaanku.
Aku segera menekan tombol tiga,
lantai dimana Evelyn beristirahat. Setelah
sampai, aku segera menuju ke ruang 322. Aku
melihat ke dalamnya melalui kaca, dan melihat
ruangan itu sepi. Aku mengetuk pintu, dan
mendengar seorang wanita mengatakan
masuk. Aku memasuki ruang itu.
Aku melihat wanita itu berbaring di
ranjangnya sendirian. Sangat kurus, pucat,
namun tetap cantik. Usianya belum terlalu tua
kurasa, sekitar empat puluh, namun
tangannya yang kurus seperti ranting
menimbulkan kesan Ia sudah tua, namun tetap
menawan. Dan aku merasa pernah melihatnya
dahulu, lama sekali. Tetapi aku tidak ingat.
Ketika Ia melihatku, Ia tersenyum, dan
bertanya,
Selamat malam. Anda siapa ya?
-
55
Selamat malam. Perkenalkan, aku
Nathan Brown, siswa Sunrise Academy. Aku
kesini untuk menjenguk Anda, dan bertanya
sesuatu. Apakah Anda Evelyn? tanyaku balik.
Ya. Aku Evelyn Carey. Apa yang ingin
kau tanyakan, anak muda? Aku belum pernah
melihatmu sebelumnya.
Ya, kita belum pernah bertemu. Tetapi
aku merasa pernah melihatmu dulu, jawabku.
Ini aneh, tanggapnya sambil
tersenyum.
Nyonya Evelyn, aku ingin bercerita
sedikit. Apa kau keberatan?
Tidak. Aku senang mendengar cerita
orang lain. Hidup di dalam kamar ini sungguh
membosankan, kau tahu.
Aku menceritakan kejadian dimana aku
pingsan, aku mendengar suara, kematian
Rose, aku mencari tahu kepada keluarga
Rose, hingga aku menulis nama Evelyn di
-
56
coretan. Aku juga bercerita tentang Matthew.
Mata Evelyn seakan akan membelalak. Ia
terkejut. Evelyn tetap mendengar ceritaku
dengan seksama. Sambil tersenyum, Ia
menanggapi ceritaku.
Kau punya cerita yang sangat aneh.
Kita belum pernah bertemu sebelumnya, tetapi
kau menulis namaku di coretan. Baiklah, aku
belum memiliki tanggapan spesifik terhadap
ceritamu, tetapi aku juga ingin bercerita
tentang hidupku, tentang Matthew yang kau
sebutkan tadi.
Baiklah, aku senang mendengar
cerita, jawabku.
Sembilan belas tahun yang lalu, aku
bekerja sebagai seorang pengacara. Aku jatuh
cinta dengan seseorang. Namanya Matthew.
Ia seorang jurnalis. Kami bertemu di
pengadilan di suatu sidang. Kami menyukai
satu sama lain pada pandangan pertama.
-
57
Kami mengobrol, jalan bersama, makan
malam bersama, dan akhirnya kami
berpacaran. Kami menjalani hubungan kami
dengan baik selama 2 tahun. Pada 1997, aku
berniat mengenalkan Matthew pada
keluargaku. Kelurgaku tahu bahwa Matthew
adalah seorang jurnalis. Mereka melarangku
untuk melanjutkan hubungan dengan Matthew.
Sebagai gantinya, aku akan dijodohkan
dengan pria kaya raya yang usianya 15 tahun
lebih tua dariku. Aku marah dan menemui
Matt. Aku bilang semuanya akan baik baik
saja. Kami akan menikah, punya rumah dan
anak yang sehat, serta harta yang cukup.
Yang paling penting, kami memiliki
kebahagiaan. Tapi harapan kami tidak
berlangsung lama.
Evelyn menghela nafas dan meminum
air dari gelasnya, lalu melanjutkan bercerita.
-
58
Aku dipaksa keluargaku untuk
menemui pria tua itu di rumahnya. Namanya
Edmund. Aku sangat marah. Setelah
mendengar rencana pernikahanku dengan
Edmund, aku meninggalkan rumahnya dengan
sangat tidak sopan. Aku segera menuju ke
rumah Matt dan membicarakan untuk menikah
diam diam. Matt bingung. Ia tidak mau
pernikahan kami nantinya diliputi rasa takut.
Tetapi aku meyakinkannya. Akhirnya dia
setuju.
Tetapi, seminggu setelah pertemuan
kami, aku mendengar berita buruk bahwa Matt
mengalami kecelakaan berat dan meninggal
dunia. Aku tidak boleh mengunjunginya di
rumah sakit. Aku mencoba kabur dari rumah,
tetapi aku dihalangi oleh penjaga. Aku juga
tidak diperbolehkan untuk mengunjungi
makamnya. Aku hanya bisa menangis dan
meraung di kamarku. Orangtuaku tetap
-
59
membujukku untuk menikahi Edmund. Aku
menolak dan terus menolak, hingga aku
sampai pada titik jenuhku, dan mencoba untuk
berpaling kepada Edmund. Pernikahan kami
berjalan lancar. Semuanya terasa baik,
sampai ia mengetahui bahwa aku tidak dapat
memiliki keturunan. Rahimku lemah. Edmund
sangat kecewa, dan menelantarkanku. Pada
saat itu, aku sangat benci pada diriku sendiri.
Aku melampiaskan kemarahanku dengan
bekerja lebih keras sebagai pengacara. Aku
bahkan sering lupa makan dan tidur, yang
membawaku ke rumah sakit ini.
Aku prihatin mendengarnya. Aku
memberanikan diri untuk bertanya.
Apakah kau masih memiliki perasaan
untuk Matt?
Tentu saja, nak. Dia lelaki terbaik yang
pernah kutemui. Ia tidak pernah memarahiku.
Ia memelukku disaat aku membutuhkannya.
-
60
Tetapi, Ia pergi disaat kami akan mengikat
janji suci kami. Tetapi aku masih tidak percaya
jika Matt kecelakaan. Setelah mencuri dengar
tentang kondisi jenazah Matt, hampir mustahil
jika luka separah itu merupakan hasil
kecelakaan. Lebih mirip penganiayaan. Tapi
aku tidak dapat membuktikannya.
Pernyataan Evelyn barusan
mengejutkanku. Nyonya Marie tidak percaya
jika Rose bunuh diri, Evelyn juga tidak percaya
bahwa Matt kecelakaan, melainkan dibunuh.
Apakah ini ada kaitannya?
Perawat mengetuk pintu dan masuk. Ia
mengatakan bahwa ini saatnya Nyonya Evelyn
untuk beristirahat. Sebenarnya aku juga sudah
sangat lelah. Jadi aku memutuskan untuk
berpamitan dan pulang. Setelah mengucapkan
terimakasih, aku segera keluar dari kamar dan
memasuki elevator. Aku berjalan ke parkiran
dan mengemudikan mobilku dengan memutar
-
61
musik rock keras keras agar aku tidak
tertidur di jalan pulang.
-
62
-
63
Bagian 2
Penyingkapan
-
64
-
65
Bab 6
Yang kuingat selanjutnya adalah aku
dibangunkan oleh sinar matahari pagi yang
menyilaukan. Aku pasti sangat kelelahan
sampai sampai tidak bisa mengingat
kejadian tadi malam. Aku baru tersadar kalau
hari ini adalah hari Sabtu. Aku terbebas dari
sekolah, tetapi aku memiliki lebih banyak
waktu untuk menyelesaikan masalah pribadiku
ini. Sekarang yang kuinginkan sekarang
adalah mandi dengan air hangat agar
pikiranku lebih tenang. Selama mandi, sangat
banyak hal yang terlintas di benakku. Hidupku
berubah sejak suara suara itu datang ke
kepalaku. Aku tidak lagi dikenal sebagai sosok
yang populer di sekolah, orang menilaiku
sebagai pribadi yang introvert sekarang.
Memang benar. Aku menjadi jarang
berkomunikasi dengan teman teman
-
66
sekolahku, termasuk Grace. Grace bahkan
kesal denganku saat ini.
Aku berusaha menyingkirkan pikiran itu.
Kepalaku bisa meledak jika memikirkannya
terus. Setelah selesai shower, aku keluar
kamar dan mengenakan pakaian santai
terbaikku hari ini. Lalu aku menelpon Grace.
Halo? sahut Grace.
Grace, apa kau ada waktu hari ini?
Memangnya kenapa?
Aku ingin mengajakmu jalan, jawabku.
Bukannya kau sudah punya pacar?
Siapa namanya? Evelyn itu?
Dia bukan pacarku. Bahkan aku tidak
mengenalnya. Ayolah, Grace, kok kamu jadi
tidak asik seperti dulu?
Hah? Siapa bilang. Baiklah, jemput aku
di rumah setengah jam lagi, jawab Grace.
Nada suaranya berubah menjadi lebih ceria.
-
67
Aku senang Grace tidak marah lagi.
Aku segera berpamitan dengan ayah & ibu
dan meminjam mobil ayah untuk menjemput
Grace. Sesampainya di rumah Grace, ia
mengenakan kaos dan celana pendek musim
panas yang sangat seksi menurutku, lengkap
dengan kacamata hitam menempel di
hidungnya yang mancung. Ia memohon untuk
menyetir mobilku. Aku tidak keberatan.
Kubiarkan ia menyetir mobilku. Aku tidak tahu
kemana tujuan kami. Grace menyetir dengan
tenang, sambil memutar lagu dari American
Authors. Ia tertawa dan tersenyum selama
perjalanan. Aku mengakui, Grace terlihat
sangat cantik, di bawah sinar matahari,
dengan angin yang menyibak rambutnya yang
ikal, dan kacamata hitam keren yang
digunakannya. Sebenarnya aku menyimpan
rasa untuk Grace dari dulu, tapi aku merasa ia
-
68
tidak seperasaan denganku. Sampai
sekarang, kami hanya bertahan di friendzone.
Ternyata Grace menyetir ke taman
hiburan terbesar di kotaku, Crazy Bunny Land,
dengan rollercoaster tercepatnya, bianglala
tertinggi di negaraku, arung jeram buatan,
pantai tropis nan hangat, dan badut badut
unik di dalamnya. Kami segera memarkirkan
mobil, dan membeli dua tiket untuk kami. Kami
menaiki rollercoaster, bianglala, merry go
round, rumah hantu, dan wahana keren
lainnya. Grace mampu menyihirku yang
sedang penat dengan masalahku, menjadi
pribadi yang menyenangkan ketika berada di
sisinya.
Grace lalu mengajakku untuk memasuki
tenda peramal. Aku tidak percaya ramalan,
tetapi Grace tetap memaksaku memasukinya.
Akhirnya aku menurut. Peramal tersebut
seorang wanita berusia tiga puluhan. Ia
-
69
mengenakan gaun gypsy berwarna ungu
dengan bandana merah tua di kepalanya.
Rambut ikalnya dibiarkan bergurai di
punggungnya. Ia menyambut kami di tendanya
dengan senyuman misterius. Kami lalu duduk
di dua kursi di hadapan meja peramal itu.
Dengan biaya murah, Grace mempersilahkan
peramal membaca garis tangannya, memilih
kartu Tarot, dan Grace hanya terpana ketika
peramal menjelaskan tentang masa depan
dirinya. Ketika selesai, Grace memaksaku
untuk diramal juga. Setelah membayar, aku
mempersilahkan peramal membaca garis
tanganku.
Ekspresi peramal itu berubah. Ia
menyipitkan kedua matanya agar dapat lebih
berkonsentrasi. Dengan tatapan tajam,
peramal itu berkata kepadaku.
Aku memang seorang peramal murah
di taman hiburan ini, tetapi aku memiliki bakat
-
70
asli yang diturunkan dari ibuku. Biar kutebak.
Namamu Matt?
Bukan. Aku Nathan, jawabku santai.
Aku tidak salah. Aku melihat sesuatu
yang buruk di masa lalumu, Matt. Aku juga
melihat banyak darah di masa depanmu. Kau
harus lebih bijak dalam menentukan
pilihanmu. Kau harus bisa terlepas dari masa
lalumu, Matt.
Aku tidak mengerti apa maksudmu,
tanyaku dengan keras kepada peramal itu.
Aku mungkin terdengar gila, tetapi
harus kukatakan padamu, kau mengalami
reinkarnasi secara tidak sempurna. Hal ini
menyebabkan kau masih mengingat masa
lalumu secara samar. Jujur saja, kau sangat
penasaran dengan wanita bernama Evelyn itu.
Dia adalah calon istrimu di masa lalu, jawab
peramal itu dengan tenang.
-
71
Grace menatapku dengan tatapan Ini
tidak mungkin. Aku sendiri bingung bukan
main, sampai sampai dahiku mengeluarkan
keringat sebesar biji jagung. Lalu peramal itu
melanjutkan.
Jangan cemas, Nathan. Kau tidak
selamanya akan terjebak dalam masa lalumu.
Aku tahu kau sudah sering terbayang akan
masalah ini. Kau bisa memperbaikinya. Kau
bisa menolong dirimu sendiri, Evelyn, Marie,
dan yang lainnya. Setelah arwah Matt tenang,
kau pun juga dapat hidup dengan tenang, ujar
peramal itu.
Aku masih tidak percaya. Bagaimana
kau bisa tahu tentang diriku?
Percayalah. Aku sudah meramal
ribuan orang seumur hidupku, dan aku sangat
jarang salah. Pengunjungku banyak yang
kembali kepadaku dan bercerita betapa
-
72
menyesalnya mereka tidak menghiraukan
ucapanku.
Aku sudah cukup muak dengan omong
kosong di tenda ini. Aku pun berkata.
Maaf, Nyonya Peramal, tetapi aku tidak
pernah percaya pada ramalan siapapun.
Terima kasih telah memberikanku sedikit
pencerahan, kataku seraya keluar dari tenda
dengan cepat. Grace mengikutiku dari
belakang. Dia meraih lenganku. Ketika aku
mengatakan Beri aku waktu, Grace dengan
tenang melepas genggamannya. Ia
mengikutiku untuk duduk di tepi pantai.
***
Selama satu jam, aku dan Grace hanya
terduduk diam disana sambil memandangi laut
yang beranjak jingga. Akhirnya Grace meraih
tanganku dan berkata,
-
73
Semuanya akan baik baik saja.
Semua yang dikatakan peramal itu tidak
benar.
Tidak, Grace. Dia benar. Dia
mengetahui segala sesuatu tentang diriku. Dia
pasti mengatakan yang sebenarnya. Dia
Grace mencium keningku. Bibirnya
yang hangat terasa sangat nyaman di
keningku. Ini pertama kalinya Grace
menciumku. Ketika ia melepaskan
kecupannya, pipinya terlihat merah. Dengan
tatapan paling manis yang pernah kulihat, ia
menggenggam tanganku dan berkata,
Jika kau tidak berani menghadapi
hidupmu, aku mau jadi pendampingmu. Aku
akan selalu ada di sampingmu untuk
menemani di masa masa sulitmu, ucap
Grace. Kata katanya barusan sungguh
membuatku menemukan kembali semangat
-
74
dalam membuka misteri Matt. Dengan
spontan, aku bertanya pada Grace,
Grace, kau mau jadi pacarku?
Grace tertawa. Dia berkata,
Aku sudah menunggumu menanyakan
hal ini sejak berbulan bulan yang lalu. Tentu
saja aku mau.
Sambil memandangi matahari senja,
dia menyenderkan kepalanya ke bahuku.
-
75
Bab 7
Selama satu malam, kami bercerita
lewat telepon sampai pukul 2 malam. Kemarin
adalah hari terbaik dalam hidupku. Akhirnya
gadis yang kuanggap sahabatku selama ini
mau menjadi pasanganku. Memang benar
kata orang, sahabat adalah awal dari pacaran.
Pagi harinya, di hari Minggu, aku tidak
bangun siang seperti biasanya, aku bangun
awal untuk memasak sarapan untuk diriku
sendiri, lalu mandi dan menjemput Grace di
rumahnya. Ketika tiba di rumahnya, Grace
ternyata juga sudah bangun. Ia langsung
berganti pakaian ketika aku mengajaknya
mengunjungi suatu tempat.
***
Aku mengendarai mobilku ke Sunny Hill
Hospital, untuk menceritakan apa yang aku
dapat dari peramal Crazy Bunny Land.
-
76
Mungkin ini terdengar gila, tapi aku harus
melakukan yang terbaik demi diriku sendiri.
Kami tiba di Sunny Hill. Setelah
memarkir mobil, aku segera menggenggam
tangan Grace dan mengajaknya berjalan
setengah berlari ke ruang 322, tempat Evelyn
beristirahat.
Di dalam ruangannya, Eve sudah
terbangun, dan sedang membaca The
Notebook karangan Nicholas Sparks. Aku dan
Grace masuk. Eve bertanya dengan lembut,
Nathan, ada apa pagi pagi kesini?
Dan siapa gadis manis yang menemanimu?
Perkenalkan. Nyonya Eve, ini Grace.
Grace, Nyonya Eve.
Eve & Grace bersalaman sambil
tersenyum hangat. Eve memuji gelang Grace
yang berbentuk bintang. Lalu aku melanjutkan
omonganku.
-
77
Nyonya Eve, aku datang kemari untuk
menceritakan sesuatu. Mungkin ini terdengar
sangat gila, tetapi aku benar benar harus
menceritakannya.
Tentu saja kau boleh bercerita. Aku
punya banyak waktu luang, candanya.
Baiklah. Kemarin aku pergi ke suatu
taman hiburan. Aku bertemu seorang peramal
handal. Dia bahkan tahu identitasku sebelum
aku memberitahukannya. Lalu ia berkata
sesuatu.
Aku terdiam sesaat sebelum aku
memberitahukan fakta yang benar benar
gila. Setelah menghela nafas pendek, aku
melanjutkan.
Ia mengatakan bahwa aku adalah
reinkarnasi Matt. Aku mengalami reinkarnasi
yang tidak sempurna, yang menyebabkanku
sering teringat akan masa lalu Matt secara
-
78
samar. Dan sekarang, aku mau membantumu
untuk mengungkapkan kematian Matt.
Eve menatapku dengan tatapan yang
sangat mengherankan, lalu memberikan
tanggapannya.
Aku masih tidak percaya. Bagaimana
seseorang yang sudah mati terlahir kembali
dengan memori yang tidak sempurna? Semua
ini tidak masuk akal. Kau harus pulang, Nat.
Aku tidak mau lagi mendengar omong kosong
ini, ucap Eve ketus.
Kau harus percaya. Aku akan
mengungkapkan kematian Matt dan Rose. Aku
tidak ingin hidup dibayangi oleh masa lalu
Matt. Aku bisa berakhir di rumah sakit jiwa.
Eve, kau harus percaya.
Grace menggenggam lenganku dan
berbisik mengajakku meninggalkan ruangan.
Aku menolak dan berkata,
-
79
Nyonya Eve, aku memang terdengar
gila, tapi inilah faktanya. Aku percaya akan
omongan peramal itu
Diam kau! Perawat! Tolong aku!
Pemuda ini mencoba menakutiku!
Perkataanku terputus oleh teriakan Eve.
Ia berteriak menyuruhku pergi dari ruangannya
sambil melempar benda apapun yang ada di
sekitarnya ke arahku. Petugas medis pun
masuk dan menenangkan Eve, dan mengusir
kami. Dengan gusar, aku meninggalkan
ruangan. Grace mengikutiku dari belakang.
Kami berjalan cepat menuju mobilku. Sampai
di dalamnya, aku baru tersadar bahwa Grace
terkena lemparan gelas keramik di dahinya. Ia
terluka dan mengeluarkan sedikit darah.
Grace, tunggu disini, akan kuambilkan
plester dan iodin untuk lukamu, kataku sambil
meninggalkan mobil.
-
80
Aku pergi ke apotek terdekat dan
membeli kedua barang itu. Ketika aku kembali
ke mobil, Grace mengusap dahinya dengan
tisu. Aku segera memberinya iodin dan
menempelkan plester ke dahinya. Setelah
plester tertempel dengan sempurna, Grace
bertanya,
Nat, aku sangat bingung dengan apa
yang terjadi barusan. Selama ini kau hanya
diam dan tak bercerita apapun tentangmu.
Kau menutup dirimu. Kali ini, aku mohon,
ceritakanlah apa yang terjadi selama ini.
Aku menghela nafas, dan mulai
bercerita tentang awal mula aku mendengar
suara suara, melihat bayangan putih, tiba
tiba merasa sakit sendiri, lalu percakapanku
dengan Marie & Eve tentang Rose dan
Matthew. Setelah kuceritakan semuanya,
Grace meraih tanganku dan berkata,
-
81
Semua orang di dunia boleh
mengatakan kalau kau gila. Tetapi tidak
denganku. Aku akan membantumu mengatasi
semua ini, tidak peduli seberapa pun sulitnya.
Semua akan kita akhiri bersama. Kita akan
menemukan pembunuhmu di masa lalu, dan
menendang bokongnya.
Aku tertawa. Di saat semuanya terasa
sulit, satu satunya orang yang berhasil
membuat hidupku terasa lebih mudah adalah
Grace.
Aku sangat beruntung memilikimu,
ucapku. Grace tersenyum dan memintaku
untuk meninggalkan parkiran rumah sakit ini.
-
82
Bab 8
Aku mengendarai mobil menuju
McDonald. Disana kami memesan dua burger
dan tertawa bersama selama dua jam penuh.
Kami membicarakan anak anak di kelas
kami, guru guru kami yang menyebalkan,
dan tidak sedikit pun menyentuh pembicaraan
tentang masalahku. Segala masalah di dunia
terasa sirna ketika Grace berada di dekatku.
Senyum manisnya mampu menyingkirkan
semua kebingunganku, dan membuatku
berani menghadapi kenyataan di depanku.
Setelah menghabiskan makanan kami,
aku mengajak Grace untuk ke rumah Marie.
Grace setuju dan dalam waktu 45 menit, kami
sudah tiba di rumah Marie. Aku mengetuk
pintu, dan wajah Marie muncul di pintu
rumahnya, kali ini dengan ekspresi yang lebih
ceria. Ia mempersilahkan kami masuk.
-
83
Sebelum kami duduk, aku
memperkenalkan Grace kepada Marie. Lalu
kami duduk. Marie bertanya apakah kami ingin
teh, aku menjawab iya. Grace menggenggam
lenganku yang menandakan Kau tidak perlu
teh, tetapi Marie sudah pergi ke dapur terlebih
dahulu.
Selama kami menunggu, Grace
menggerakkan kepalanya ke sekeliling
ruangan dan melihat lihat isi rumah Marie.
Marie kembali dengan senampan teko teh dan
dua cangkir bermotif bunga. Marie berkata,
Oke, Nathan. Apa yang ingin kau
ceritakan sehingga kau jauh jauh kemari?
Kuharap ini kabar baik.
Ini kabar super baik. Aku mau
membantumu mengungkapkan kematian
Rose, jawabku.
-
84
Marie membelalak, begitu juga Grace.
Mereka sama sama terlihat bingung. Lalu
Marie berkata kembali
Nathan, mengungkapkan kematian
Rose bukanlah hal mudah. Dan kau masih
siswa SMA. Aku tidak ingin hal buruk terjadi
padamu.
Grace juga menambahkan, Nat,
Nyonya Marie benar. Membongkar kematian
seseorang sama saja dengan berhadapan
dengan pembunuhnya. Kau mau mati konyol
di tangan seorang pembunuh berdarah
dingin?
Aku sudah berpikir matang matang
tentang hal ini. Aku akan membongkar
kematian Rose dan Matthew, calon suami
Evelyn, jawabku. Aku memilih untuk tidak
bercerita tentang reinkarnasiku. Jika aku
melakukannya, aku pasti sudah diusir dari
rumah ini.
-
85
Tapi, apa alasanmu untuk
membantuku? Maksudku, kita baru kenal, dan
kau mau membantuku membongkar kasus ini,
tanya Marie.
Nyonya Marie, aku tidak tega melihat
betapa banyak nyawa tak bersalah yang mati
di tangan orang orang jahat, bohongku. Ini
alasan yang benar benar bodoh dan tidak
masuk akal.
Nat, aku berterima kasih padamu
karena sudah peduli pada kematian Rose.
Tapi, semua orang akan mati pada akhirnya,
entah bagaimana caranya. Aku sudah cukup
kehilangan Rose, dan aku tidak mau nyawa
lain berjatuhan karena hal ini, ujar Marie
dengan lelah.
Bibi, biarkan dia membantuku
menyelesaikan masalah Rose, ucap seorang
pria muda yang keluar dari pintu kamarnya.
Wajahnya tampak lelah, tampak dari besarnya
-
86
kantong mata yang tergantung di bawah
matanya. Wajahnya tampak kusam, yang
setelah kupikir pikir mungkin dia belum
mandi.
Nathan, perkenalkan, ini Ryan, kakak
kandung Rose. Ryan, ini Nathan, ujar Marie.
Ryan menyalamiku dengan tegas. Lalu
ia bertanya padaku,
Berapa usiamu?
Tujuh belas.
Oke. Kau sudah cukup umur. Kau akan
ikut denganku untuk membongkar kasus ini,
ucap Ryan.
Ryan, Nathan tidak berhak
membongkar kematian Rose. Ia bisa
omongan Marie terputus oleh perkataan Ryan.
Bibi, aku sudah cukup muak untuk
tutup mulut tentang kematian adikku. Aku tidak
rela jika kematian Rose yang tidak diketahui
sebabnya dibiarkan saja. Aku harus
-
87
menyelesaikannya. Beruntung Nathan mau
membantuku.
Nyonya Marie tidak dapat berkata apa
apa lagi. Ia akhirnya membiarkan kami
melakukan apa yang seharusnya kami
lakukan.
Baiklah. Tapi, Ryan, tolong jaga
Nathan baik baik. Jangan sampai hal buruk
terjadi padanya, Marie memberi pesan pada
Ryan.
Ryan menanggapinya dengan
mengangguk pelan, lalu Marie meninggalkan
ruang keluarga tersebut. Grace hanya bisa
diam. Ia tidak tahu apa lagi yang dapat ia
lakukan untuk mencegahku. Akhirnya Ryan
duduk di sofa seberang kami dan berkata,
Jadi, mari kita susun rencana.
-
88
-
89
Bagian 3
Kepalsuan
-
90
-
91
Bab 9
Ryan mengantar kami sampai ke pintu
depan rumahnya. Sebelum kami naik ke mobil,
ia berkata kepada kami,
Pembongkaran kasus ini tidak akan
memakan waktu sebentar, otomatis waktu
istirahatmu sedikit berkurang. Aku tidak akan
memintamu untuk bolos sekolah. Kau bisa
mencari waktu luang untuk menjalankan
rencana kita.
Baiklah. Aku mengerti. Akan kuhubungi
lagi jika masih ada yang perlu kutanyakan,
jawabku.
Oh, ya. Kau punya kamera? tanya
Ryan.
Ya. Untuk apa? tanyaku balik.
Pokoknya bawa saja. Kita akan
membutuhkannya, jawab Ryan.
Sebelum mobil kami jalan, Ryan
berbisik di telingaku,
-
92
Nat, kurasa Grace tidak perlu ikut
dalam masalah ini. Kau pasti tak ingin dia
terluka kan?
Aku menyetujui perkataannya dengan
sebuah anggukan. Akhirnya kami pulang ke
rumah kami. Grace memutar lagu Imagine
Dragons di radio dengan volume sedang.
Selama perjalanan, kami hanya diam satu
sama lain. Tak ada hal yang perlu kami
bicarakan. Sampai akhirnya kami sampai ke
rumah Grace, ia membuka mulutnya.
Nat, aku setuju akan pilihanmu untuk
membuka kasus Rose & Matt. Tapi aku
mohon, jangan lakukan sesuatu yang bodoh.
Grace keluar dari mobil dan
meninggalkanku untuk berpikir. Grace benar.
Apakah aku terlalu gegabah untuk mengambil
keputusan ini? Tapi jika aku tidak
mengakhirinya, apakah aku bisa hidup tenang
dengan suara - suara ini?
-
93
***
Sesampainya aku di rumah, aku
menyadari, ini adalah hari Minggu yang berat.
Aku menghabiskan makananku sambil
berpikir. Jika bisa dilihat, otakku pasti sudah
basah kuyup oleh keringat. Setelah makan,
aku mulai menyiapkan materi untuk aksiku
besok.
***
Esok harinya, aku memasukkan segala
sesuatu yang kuperlukan untuk penyelidikan-
kami. Setelah mandi dan sarapan, aku
berangkat ke sekolah menggunakan sepeda
motor ayah (kendaraanku banyak, ya?). Aku
menjalani hari Senin dengan berpura pura
bersemangat. Grace tidak berkata apa apa
hari ini. Setelah bel pulang sekolah berbunyi,
aku segera ke parkiran dan pergi secepat
-
94
mungkin ke kantor Ryan menggunakan
motorku.
Sesampainya di sana, aku menelpon
Ryan dan dia segera keluar dari kantornya. Ia
telah menggunakan jaket dan helm nya
sendiri. Ia memintaku untuk pergi ke Galaxy
City Office Building, yang letaknya cukup jauh
dari kantor Ryan. Aku menurut dan pergi
kesana.
Sesampainya disana, sudah banyak
wartawan yang menunggu. Aku segera
memarkirkan motor dan Ryan bergabung
dengan wartawan tersebut. Setelah menunggu
10 menit, seorang lelaki berjas hitam dengan
tampang yang sepertinya kukenal keluar dari
pintu utama gedung itu. Tak salah lagi, pria itu
adalah Edmund Carey, suami Eve yang
pernah kujumpai di lift Sunny Hill.
Kulihat Ryan terus mengejarnya sambil
bertanya keras keras kepada Edmund, tetapi
-
95
ia tidak menghiraukan. Edmund naik ke mobil
merahnya dan pergi dengan mobilnya dengan
cepat. Ryan kembali ke motorku dan berkata,
Sial. Aku belum mendapatkan apapun
darinya. Ikuti dia!
Tanpa berkomentar apapun, aku
menurut dan mengendarai motorku dengan
cepat menyusul mobil Edmund. Sopir Edmund
ternyata orang yang sangat mahir dalam
mengendarai mobil. Aku sedikit kewalahan
mengikutinya, tapi aku tetap berhasil ke
tempat tujuan Edmund.
Ia berhenti di depan sebuah caf
modern. Ia turun sendirian, tanpa ditemani
bodyguard nya. Sementara aku dan Ryan
masih menunggu di motor kami, ia memesan
segelas minuman, sambil sibuk memainkan
ponselnya. Setelah sepuluh menit menunggu,
kami turun dari motor dan menghampiri
-
96
Edmund. Ia tampak kesal dan berkata kepada
kami,
Aku sangat membenci reporter
reporter bodoh yang selalu mengejarku dan
tidak memberiku waktu untuk sendirian.
Kami bukan reporter bodoh, pak. Ini
kartu pengenal kami. Kami jurnalis handal
yang ingin mengabadikan kesuksesan Anda
lewat buku yang akan kami tulis. Kami telah
melakukan berbagai riset tentang Anda.
Sekarang kami hanya butuh wawancara
khusus dengan Anda, bohong Ryan. Aku
berpura pura memegang kamera seakan
akan aku seorang fotografer.
Aku tidak perlu biografi, bantah
Edmund. Ia meneguk minumannya yang
kutebak pasti kopi, lalu ia berkata dengan
kasar, Pergi sana.
Di luar caf, bodyguard Edmund turun
dari mobil dan berdiri di depan kaca sambil
-
97
memperhatikan kami. Ryan belum menyerah
rupanya. Ia balas berkata,
Tuan Edmund, Anda pasti sadar bukan
jika perusahaan real estate yang Anda pimpin
sedang mengalami resesi karena
berkurangnya penjualan Anda selama tiga
tahun terakhir. Pemegang saham mulai
kecewa akan perusahaan Anda. Reputasi real
estate Anda juga mulai menurun karena
kurangnya dana yang masuk untuk
perawatannya.
Dengan nada suara yang berat,
Edmund menjawab,
Apa maumu?
Kami hanya ingin membantu Anda
untuk membangun kembali citra Anda di mata
masyarakat. Anda tentu dapat
melaksanakannya dengan bantuan kecil dari
kami. Dan untungnya, Anda tidak perlu
membayar.
-
98
Edmund menyerah. Ia melambaikan
tangan kepada bodyguard nya dan berkata,
Baiklah. Kau boleh bertanya. Aku
punya lima belas menit.
Ryan mengeluarkan catatannya dan
mulai melakukan aksinya.
Baiklah. Pertanyaan pertama. Masa
kecilmu kau lalui sebagai anak yang
berkekurangan, namun sekarang kau adalah
seorang milyader. Bagaimana kau
membangun bisnis ini?
Aku meminjam uang bank, sampai
sampai rumahku disita. Aku meminjam uang
dari banyak orang. Aku menjalin hubungan
baik dengan Barry Heathrow, ayah Evelyn;
istriku. Dengan perekrutan pekerja yang baik,
aku berhasil membangun usaha ini.
Sejauh mana kau mengenal Barry?
Dia rekan bisnisku, dan ayah
mertuaku. Kami saling mendukung. Dia adalah
-
99
orang yang sangat kaya, kau tahu. Aku tidak
tahu dari mana ia mendapat kekayaannya.
Edmund mengeluarkan sekotak rokok dari
sakunya. Ia menawari aku dan Ryan. Kami
menolak dengan sopan. Ia memasukkan
rokoknya dan menyalakan satu untuk dirinya.
Apa kau sudah puas dengan apa yang
kau miliki sekarang?
Tidak. Aku belum mampu memuaskan
diriku sendiri. Dengan seorang istri yang
mandul dan sakit - sakitan? Ayolah. Lelaki
mana yang tidak ingin mendapatkan seks
yang baik dari pasangannya?
Pria ini benar benar bangsat pikirku.
Kalimat itu hampir keluar dari mulutku, tapi aku
menjaganya dengan baik.
Lalu, apa yang kau lakukan untuk
memenuhi keinginanmu?
Club penuh dengan wanita bugil yang
muda dan cantik. Aku mudah saja menyewa
-
100
mereka dan memuaskan diriku sendiri.
Kepalaku terasa berat. Sepertinya aku butuh
air mineral.
Biar kuambilkan, kata Ryan. Ia pergi
sesaat dan kembali dengan segelas air
mineral di tangannya. Ia memberikannya
kepada Edmund. Edmund meneguknya.
Aku bahkan lupa kalau air mineral
dapat berasa sangat aneh seperti ini, hehe,
kata Edmund sambil memegangi kepalanya. Ia
mabuk.
Astaga. Akhirnya kusadari bahwa Ryan
berusaha membuat Edmund mabuk agar ia
tidak sadar akan perkataannya.
Ryan melanjutkan pertanyaannya,
Tuan Edmund, apakah Anda pernah
merasa dirugikan oleh Barry Heathrow?
Ya, terkadang. Ia sering lupa
mengurus izin tanah kantorku, dan sering lupa
mengurus berkas - berkas perusahaan. Dia itu
-
101
pria bodoh. Ia menjadi kaya begitu karena
menikah dengan ibu Eve.
Perkataannya barusan membuka
kesadaranku. Pria mesum ini menggerogoti
ayah mertuanya sendiri. Ia melanjutkan
omongannya.
Aku menikahi Eve karena aku
menyukainya. Tapi itu bukan tujuan utamaku.
Edmund berhenti untuk batuk sejenak, lalu
melanjutkan, Kau pasti tahu tujuan utamaku
kan?
Ryan memancing Edmund dengan
menjawab,
Tidak, Pak. Kami tak tahu.
Kalian memang jurnalis yang kurang
cerdas ya. Kalian tentunya bisa menangkap
omonganku dari tadi. Bisnis. Uang. Barry
adalah penjamin finansial perusahaanku.
Untung si tua goblok itu sudah mati, he, he,
-
102
Edmund menjawab dengan linglung karena
efek obat Ryan.
Lalu, apa yang kau lakukan untuk
semakin menjamin kesuksesan
perusahaanmu?
Apa kau perlu tahu? Aku tidak mau
jawab, jawab Edmund.
Wah, ternyata ia masih bisa
menyangkal. Masih sadar dia rupanya.
Lalu, apakah kau mengenal Rose
McBryant? Ryan kembali bertanya.
Rose? Perawat yang rutin
mengunjungi istriku? Ya. Ehem. Aku
mengenalnya. Ia tak punya kerjaan lain ya
selain mengunjungi Eve? Maksudku, ayolah.
Ia terlalu sibuk mengurusi Eve dan kematian
Matt sialan itu.
Apakah kau tahu sesuatu yang
berkenaan dengan kematian Rose? tanya
Ryan kembali.
-
103
Dia bunuh diri. Kan sudah jelas tertulis
di koran, jawab Edmund.
Kau bohong, aku berkata dengan
suara kecil karena refleks. Ryan menginjak
sepatuku, yang memberikan kode Diam,
jangan berkomentar! Aku kembali ke
kameraku. Sepertinya Edmund tidak
mendengar omonganku barusan. Ia sibuk
mengusap matanya. Ryan lanjut bertanya,
Apa yang menyebabkanmu berpikir
bahwa Rose bunuh diri?
Itu semua sudah jelas. Tali yang
tergantung di dapurnya, lalu kamar yang
berantakan. Ia pasti sangat stress ketika itu,
makanya ia mengacaukan seisi rumahnya.
Lalu, apa yang kau ketahui tentang
Matthew? tanya Ryan.
Matt? Dia dulunya calon suami Eve.
Tapi dia mati karena kecelakaan, jadi, batal
deh. Dia tidak pantas mendampingi Eve.
-
104
Jurnalis kan uang nya sedikit, heh heh, jawab
Edmund.
Apakah kau tahu bagaimana kondisi
jenazah Matt? Apakah ia benar benar
meninggal karena tertabrak mobil? tanya
Ryan lagi.
Mana kutahu. Memangnya aku
petugas otopsi mayat?
Jawabannya tidak masuk akal, semakin
lama semakin melantur. Kami butuh bukti lebih
banyak, tetapi tidak dari lelaki mabuk ini.
Tuan Edmund, kami sudah merasa
cukup dengan informasi yang kami dapatkan
barusan. Kami masih harus meliput hal lainnya
di lokasi berbeda. Kami mohon pamit, ucap
Ryan.
Ya, ayo kita selesaikan percakapan ini.
Aku juga sudah muak dengan pertanyaan
bodoh kalian. Memangnya siapa yang peduli
pada kematian Rose dan Matt? Ha ha.
-
105
***
Brengsek benar si Edmund itu,
ucapku dalam perjalanan kami ke lokasi
selanjutnya.
Omong omong, mau kemana lagi
kita? tanyaku pada Ryan.
Kantor catatan kriminal. Autumn Oak
Boulevard 3 no. 28. Kita akan mengotopsi
beberapa jenazah, jawab Ryan.
Memangnya kita punya surat izin?
tanyaku lagi.
Tenang, semuanya sudah kuatur.
Jadi aku hanya diam dan menambah
kecepatanku menuju kantor tersebut.
-
106
Bab 10
Kantor yang kami tuju ternyata sebuah
bangunan yang cukup tua. Temboknya kuning
pucat. Jendelanya terlihat kusam. Bangunan
itu bertingkat dua. Luasnya sedang sedang
saja. Di atas pintu depannya tertulis Kantor
Catatan Kriminal. Kami memasukinya.
Kami langsung disambut pemandangan
yang sepi. Di ruang tamu hanya terdapat
sebuah meja resepsionis lengkap dengan
petugasnya yang masih muda. Di kanan kiri
ruangan itu terdapat pintu kayu yang menuju
ke ruang berbeda. Kami tidak
menghiraukannya. Kami menuju ke meja
resepsionis itu.
Ada yang bisa kubantu? tanya
petugas itu ramah.
Aku ingin melihat catatan otopsi Rose
McBryant. Dia adikku, jawab Ryan.
-
107
Oke. Lalu siapa pria muda yang ikut
denganmu ini?
Dia sepupuku yang baru datang dari
luar kota. Ia juga ingin mengetahui kondisi
jenazah Rose, bohong Ryan.
Baiklah. Boleh kupinjam Kartu
Penduduk mu?
Ryan menyerahkan kartunya. Setelah
petugas itu mengecek di komputernya, ia
berkata,
Mari, ikuti aku.
Kami mengikutinya ke pintu yang
terletak di sebelah kiri ruang tamu. Setelah
pintu itu terbuka, tampak suatu ruang kecil lagi
dan dua buah pintu yang berjejer. Pintu kiri
bertuliskan Catatan Tindak Kriminal Ringan,
pintu kanan tertulis Catatan Otopsi. Petugas
tersebut mengantar kami ke ruang sebelah
kanan. Kami memasukinya.
-
108
Ruangan tersebut juga sama tuanya
dengan tampak depan gedung ini. Ruangan ini
tinggi, dan cukup luas. Isinya hanya rak rak
dokumen yang tersusun rapi. Petugas
mengantar kami ke rak berlabel M. Dari Rak
tersebut terdapat laci laci kecil yang diberi
label huruf. Petugas bertanya pada Ryan,
Namamu MacBryant atau McBryant?
McBryant, tanpa A, jawab Ryan.
Petugas itu mencari laci berlabel C.
Setelah menemukannya, ia membukanya dan
dengan mudah mencari data Rose McBryant.
Ini, kau boleh mengeceknya. Aku akan
menunggu disini, kata petugas itu.
Ryan menggumamkan terima kasih
dan membuka dokumen itu. Ia membacanya
sebentar dan menyerahkan dokumen itu
kepadaku. Ia menunjuk kepada sesuatu yang
tertulis: Tidak ada luka. Hanya lebam di
sekitar leher yang disebabkan oleh cekikan
-
109
tambang. Jenazah ditemukan pukul 3 sore
oleh tetangganya yang melihat bayangan
korban dari jendela. Ketika ditemukan, korban
masih mengenakan seragam perawat lengkap
dengan sepatunya.
Ini membingungkan, kataku.
Ada yang lain. Disini tertulis bahwa
ruangan lain di rumah kami terlihat
berantakan. Diduga bahwa korban mencari
sesuatu yang sangat penting baginya sebelum
bunuh diri, kata Ryan kembali.
Tapi, benda apa itu?
Aku tak tahu. Hari hari sebelum Rose
bunuh diri terlihat baik baik saja. Ia pulang
tepat waktu. Ia tidak terlihat sedih atau yang
lainnya. Jadi, hampir mustahil jika adikku mati
bunuh diri, jawab Ryan.
Lalu aku mengusulkan Ryan untuk
melihat catatan kematian Matt. Petugas
mengantar kami menuju rak tempat dokumen
-
110
Matt berada. Ia membuka lacinya dan mencari
dokumen otopsi Matt. Ia menyerahkannya
pada kami. Kami membacanya dan
menemukan fakta bahwa Matt memang
meninggal karena tertabrak mobil. Jenazahnya
ditemukan pada pukul lima pagi di suatu
daerah terpencil bernama Janovsky Ville. Ia
ditabrak oleh seorang supir yang mengantuk
saat tengah malam, dan tidak ada saksi mata.
Supir itu sendiri juga meninggal karena
serangan jantung yang terjadi setelah ia
menabrak Matt. Tim otopsi menyatakan bahwa
tubuh Matt dipenuhi luka lebam dan lecet,
seperti pada korban kecelakaan lalu lintas
lainnya. Tetapi pertanyaanku adalah: Apa
yang Matt lakukan pada tengah malam begitu?
Dari mana dia? Mau kemana dia?
Aku mengucapkan hal serupa yang
terlintas di benakku kepada Ryan. Ia tampak
sama bingungnya denganku. Dia juga
-
111
bertanya balik: Mengapa ia tidak membawa
kendaraannya sendiri di malam hari seperti
itu?
Semua pertanyaan ini membangkitkan
kembali semangat kami untuk
mengungkapkan kematian kedua orang ini.
Lalu dengan spontan aku bertanya pada Ryan,
Apakah kau pernah mencoba mencari
informasi kepada rumah sakit tempat Rose
bekerja?
Ryan tampak terkejut dan menepuk
dahinya.
Astaga, mengapa tidak pernah terpikir
olehku!
-
112
Bab 11
Penyelidikan kami berlanjut esok
harinya setelah jam sekolahku dan jam kerja
Ryan sudah berakhir. Kali ini Ryan yang
menjemputku di sekolah. Kami meninggalkan
sekolah dan menuju ke rumah sakit tempat
Rose bekerja dulu, Autumn Breeze Hospital.
Setelah tiga puluh menit perjalanan, kami tiba
di sebuah rumah sakit tua yang dicat coklat
pucat. Rumah sakit ini bertingkat 3, dan dari
luar terlihat lebih mirip asrama. Kami
memasukinya. Seorang perawat menyapa
Ryan.
Hai Ryan. Ada apa sehingga kau
mengunjungi rumah sakit tua ini?
Aku butuh sedikit informasi tentang
Rose, jawab Ryan.
Perawat itu tampak bingung. Ia
memalingkan pandangannya ke arahku. Lalu
ia bertanya,
-
113
Lalu, siapa pria muda ini?
Aku Nathan. Sepupu Ryan. Dari luar
kota, jawabku. Sekilas aku melihat Ryan
menahan senyum dari sudut mataku. Lalu
perawat itu menjawab,
Oh. Rose tidak pernah bercerita
tentang kau. Baiklah, Ryan, apa yang ingin
kau ketahui?
Aku ingin tahu apa yang dilakukan
adikku di sini sehari sebelum kematiannya dan
pagi hari sebelum kematiannya, jawab Ryan
tegas.
Baiklah. Aku akan menceritakannya
sebisaku. Ayo ikut aku. Kebetulan ini jam
istirahat.
***
Perawat itu mengantar kami ke ruang
konsultasi kosong. Ia duduk di kursi besar
yang biasanya ditujukan untuk dokter. Kami
-
114
berdua menduduki kursi pasien. Lalu perawat
itu membuka mulutnya.
Sehari sebelum kematiannya, Rose
tampak baik baik saja. Itu paginya. Di siang
hari, ia mendapat kiriman tiga belas tangkai
bunga mawar merah dari orang tak dikenal. Di
bunga itu terdapat sepucuk surat. Aku tidak
tahu apa isinya. Setelah membacanya, Rose
tampak lemas. Tetapi ia berusaha
menyembunyikan perasaannya. Tidak satu
orang pun di rumah sakit tahu apa yang ia
rasakan, termasuk aku. Ia membawa pulang
mawar itu. Ia pulang berjalan kaki.
Aku tidak melihat Rose membawa
pulang mawar itu, ucap Ryan.
Entahlah, aku tak tahu dikemanakan
mawar itu. Tapi aku ingat benar bahwa Ia
membawanya pulang, jelas perawat itu.
Lalu, ceritakan padaku pagi hari
sebelum Rose meninggal, pintaku sopan.
-
115
Ia datang ke rumah sakit dengan wajah
kelelahan. Tapi ia tetap menyapa seisi rumah
sakit. Sekitar pukul sepuluh pagi, ia menerima
sebuah panggilan di ponselnya. Ia
menjawabnya sebentar, lalu menutupnya. Ia
terlihat panik.
Sebentar. Apakah kau tahu siapa yang
menelponnya? tanyaku.
Tidak. Ia segera menyembunyikan
ponselnya. Kutebak bahwa penelpon itu
menghubungi Rose terus menerus. Hingga
pada pukul satu siang, seseorang
menelponnya kembali, kali ini lewat telepon
rumah sakit. Rose mengangkatnya, dan
percakapan di telepon tersebut merubah raut
wajahnya menjadi sangat cemas. Ia pucat dan
penuh keringat. Ia segera mengambil tasnya
dan pulang. Ketika kutanyai ada apa, ia
menjawab bahwa tetangganya menelpon,
-
116
Rose lupa mematikan kompor di rumahnya. Ia
pulang menaiki bis kota.
Cerita berakhir disana. Kami sudah
tahu kelanjutannya. Suatu akhir yang pahit
bagi Rose. Aku bertanya lagi.
Apakah Rose menggunakan tas yang
sama selama dua hari terakhir tersebut?
Tidak. Sehari sebelum kematiannya, ia
mengenakan sebuah tas hitam kulit. Pagi hari
sebelum kejadian itu, ia mengenakan tas kulit
cokelat muda, jawab perawat itu.
Aku bertanya kepada perawat itu,
Satu hal lagi. Apakah kau masih ingat
dengan Matthew? Pasien yang kau rawat
dengan Rose, yang tewas karena kecelakaan
mobil tujuh belas tahun lalu?
Apakah kalian memiliki relasi dengan
orang ini? tanya si perawat.
-
117
Kami teman dekatnya. Percayalah,
kematian Rose ada kaitan eratnya dengan
kematian Matt, jawab Ryan.
Perawat itu diam sejenak, lalu
menjawab,
Sepertinya aku mengingatnya.
Kondisinya sangat parah pada saat itu.
Apakah kau ingat sesuatu yang
diucapkannya kepada Rose? Atau
kepadamu?
Tidak. Ia tidak mengatakan apapun. Ia
hanya mengerang kesakitan. Aku sangat
kasihan padanya saat itu, jawab si perawat.
Apakah kau ingat persis bagaimana
kondisi Matt saat itu?
Ia diam sejenak, mengeluarkan
saputangan dari kantongnya dan mengusap
keringat di dahinya. Lalu ia melanjutkan,
Kucoba ingat sebisaku. Tubuhnya luka
parah, goresan aspal. Di wajahnya banyak
-
118
terdapat baret dan lebam. Pergelangan
tangannya sedikit lebam kebiruan. Matanya
juga lebam, ya, yang sebelah kiri jika tak
salah.
Aku dan Ryan terdiam untuk berpikir
sejenak. Ini membingungkan. Kondisi jenazah
Matt menunjukkan ia sempat terluka sebelum
ditabrak truk itu. Namun, apa yang
dilakukannya malam malam begitu sehingga
menyebabkan kondisi yang demikian?
Lalu perawat itu mengalihkan topik,
Apa kau pernah bertanya pada
tetanggamu, Ryan? Mengenai Rose
Ya. Mereka tidak tahu apa apa. Yang
mereka ingat hanya melihat bayangan hitam
menggantung di dapur. Mereka menggedor
gedor pintu rumah kami, dan mendobraknya.
Mereka ke dapur dan melihat jenazah Rose
sudah tergantung.
Dengan spontan aku berkata,
-
119
Ryan, ayo kita ke rumah Rose lagi.
Aku teringat sesuatu. Nyonya perawat, terima
kasih atas penjelasanmu yang sangat
membantu.
Sama sama, nak. Aku berharap
kasus kematian Rose dapat terselesaikan
dengan baik. Dia adalah orang yang sangat
baik, jawab perawat itu.
***
Kami meninggalkan Autumn Breeze
dan menuju ke Bangaley 4th Street, rumah
masa lalu Ryan dan Rose. Sesampainya kami
disana, aku langsung turun dari motorku dan
masuk lewat pintu belakang rumah yang tidak
disegel. Rasa lapar di perutku tidak lagi aku
hiraukan. Aku membuka pintu dan hipotesisku
benar. Ada yang janggal di ruangan itu.
Jika Rose memang gantung diri,
mengapa tidak ada bangku terguling di bawah
-
120
tali tambang? Tidak mungkin seseorang
gantung diri tanpa memanjat bangku terlebih
dahulu.
Lalu, aku mengeluarkan saputanganku
dan melihat alat pengukur kadar gas. Jarum
menunjukkan ke indikator maksimum, yang
menandakan bahwa gas tidak bocor dan
kompor tidak dibiarkan menyala pagi hari itu.
Aku beranjak ke ruang tamu, dimana
terdapat tiga belas tangkai mawar merah di
dalam vas. Tetapi tidak ada surat disana.
Kamar Ryan tidak tersentuh sama
sekali. Ketika kumasuki, kamar itu sangat rapi.
Tentunya hal ini sangat janggal dibandingkan
dengan kamar Rose yang seperti kapal pecah.
Aku juga memeriksa kembali kamar
tidur Rose. Laci mejanya jatuh ke lantai,
semua isinya berhamburan. Meja buffet
berantakan, dan ujung cerminnya sedikit retak.
Aku mendorong meja buffet itu sedikit untuk
-
121
melihat sebuah benda berkilau di
belakangnya. Selapis silet tergeletak di balik
meja buffet itu. Silet itu sedikit terkena noda
darah. Aku mengambilnya dengan tisu dan
menyelipkannya, lalu memasukkannya ke
sakuku.
Aku beranjak menuju lemari yang
berada di samping meja buffet. Pintu lemari
terbuka lebar. Aku melihat ke dalamnya.
Aku melihat tas hitam kulit yang
dibicarakan perawat itu. Dengan hati hati,
aku membongkar isinya. Aku melihat secarik
kertas bertuliskan Sebuah rahasia dapat
membunuh dirimu sendiri. Kutebak itu adalah
kertas dari bunga mawar yang dikirimkan
tersebut. Aku mengantonginya dan mengamati
lemari kembali.
Di atas tumpukan baju terdapat
cekungan seperti seakan akan ada yang
-
122
pernah duduk di dalam lemari itu untuk waktu
yang cukup lama.
Itu dia. Ada yang pernah duduk di
dalam lemari itu, bersembunyi, sambil
menunggu Rose pulang. Seorang pembunuh
menunggu di dalam lemari itu.
-
123
Bab 12
Yang kulihat selanjutnya adalah tatapan
penuh amarah di mata Ryan. Aku
menceritakan semua penemuanku di
rumahnya. Ditambah lagi, penemuan silet di
balik meja buffet dan secarik kertas di dalam
tas hitam Rose. Semua hal ini menjadi lebih
jelas. Rose tidak bunuh diri. Ia dibunuh. Tapi
pertanyaan kami adalah: siapa pembunuhnya?
Kami hening sejenak selama 10 menit.
Kami terlalu sibuk memikirkan kaitan dari hal
hal janggal yang kami temukan di rumah ini.
Lalu, Ryan bertanya,
Darah siapa yang ada di silet itu?
Bukan darah Rose. Kau ingat, catatan
otopsi menyebutkan bahwa tubuh Rose tidak
terluka sama sekali, jawabku.
Percakapan kami terputus setelah
peryataanku tadi. Kami keluar dari rumah itu.
Langit sudah gelap. Aku harus pulang. Aku
-
124
meninggalkan rumah itu bersama Ryan. Aku
mengantarnya pulang, dan ia berpesan
padaku untuk selalu berhati hati, dan
gunakan waktu untuk beristirahat.
Aku meninggalkan rumahnya dan
pulang. Sesampainya di rumah, aku disambut
ibu yang sangat cemas akan kepulanganku
yang terlalu telat. Aku berusaha
menyembunyikan kelelahanku dengan
menghibur ibu yang panik bukan main. Aku
makan banyak malam itu, agar ibuku tidak
cemas lagi jika aku kelaparan.
Sesudah kenyang, aku naik ke loteng,
merebahkan tubuhku di kasur, dan
memejamkan mata. Sial. Aku teringat akan
tugasku yang menumpuk. Aku bangun, cuci
muka, dan mengerjakan tugasku. Dua jam
kemudian, aku tidak tersadar dan tertidur
pulas.
-
125
***
Pagi harinya, aku terbangun dengan
posisi kepala yang terkulai di meja. Untungnya
pagi itu aku tidak telat, hanya, tugasku menjadi
kusut. Namun apa boleh buat, aku segera
mandi, membereskan meja belajar,
memasukkan segala yang ada ke tasku, dan
turun. Aku sarapan dengan cepat, dan pergi.
Aku sampai di sekolah. Grace sudah
menunggu di bangku depan kelas. Ia
tersenyum padaku. Aku duduk di sampingnya.
Ia bertanya,
Bagaimana kemarin?
Aku merasa seperti detektif paling
keren di kota ini, jawabku.
Yang serius, Nat, tegurnya.
Baiklah. Sangat banyak hal yang
kutemukan kemarin, bisa sampai sore bila
kuceritakan.
Ceritakan sedikit saja, please?
-
126
Aku menceritakan pada Grace
bagaimana semua ini begitu ruwet. Aku
bercerita bagaimana aku dan Ryan menipu
Edmund, kunjungan kami ke Kantor Catatan
Kriminal, pembicaraan kami dengan perawat
di rumah sakit, dan penemuan penemuan
janggal kami di rumah lama Rose. Grace
menanggapinya dengan mengelus
punggungku.