the imperfect memories

Upload: herry-pottsal

Post on 01-Mar-2016

19 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Enjoy this

TRANSCRIPT

  • 1

    The Imperfect

    Memories

  • 2

  • 3

  • 4

  • 5

    The Imperfect

    Memories Memori yang Tak Sempurna

    Ditulis oleh:

    Christopher Antoni

    NIM: 14140110161

    Ilmu Komunikasi E1

  • 6

  • 7

    Untuk guruku; Ahmadun Yosi Herfanda,

    keluargaku,

    dan 3 sahabat terbaikku;

    Heryanto Salim, Vivilia Sindra, & Sherren

    Novena

  • 8

    The Imperfect Memories Penulis: Christopher Antoni

    Email: [email protected]

    Desain Sampul:

    Christopher Antoni

    Diunduh dari:

    www.weheartit.com

    Percetakan:

    Fast Print

    Jl. Raya Serpong Km 9

    Tangerang Selatan

    ISBN: 14140110161

    Cetakan pertama, Desember 2014

    X + 204 hlm; 14.8 x 21 cm

  • 9

    Pengantar

    Guru saya selalu bilang; Menulis

    adalah skill, bukan bakat. Saya percaya

    dengan pernyataan barusan. Saya terlahir

    bukan sebagai seorang penulis. Saya

    cenderung menikmati posisi saya sebagai

    seorang pembaca yang baik. Dari balita, saya

    tidak dibekali ilmu untuk menulis cerita.

    Tetapi lewat novel ini, saya berusaha

    menjadi novelis yang baik. Saya akan

    berusaha sebaik mungkin menciptakan dunia

    sendiri; dunia Nathan yang penuh konflik,

    mimpi buruk, air mata, cinta, dan kenangan

    yang tak sempurna.

    Untuk Anda yang sedang membuka

    halaman buku ini; selamat membaca!

    Tangerang, 15 November 2014

    Christopher A.

  • 10

    Daftar Isi

    Pengantar . 9 Prolog . 12 Bagian 1 Memori Bab 1 . 15 Bab 2 . 24 Bab 3 . 31 Bab 4 . 40 Bab 5 . 53 Bagian 2 Penyingkapan Bab 6 . 65 Bab 7 . 75 Bab 8 . 82 Bagian 3 Kepalsuan Bab 9 . 91 Bab 10 . 106 Bab 11 . 112 Bab 12 . 123 Bab 13 . 133 Bab 14 . 148 Bagian 4 Kejatuhan Bab 15 . 159 Bab 16 . 164 Bab 17 . 173 Bab 18 . 183 Epilog . 195 Biodata . 203

  • 11

  • 12

    Prolog

    Badanku terasa sakit. Penglihatanku

    menjadi tidak jelas. Yang kulihat hanya

    bayang bayang putih yang melintas tak tentu

    arah. Sekilas aku mendengar sebuah nama

    yang dipanggil terus menerus. Rose,

    nyalakan lampunya. Rose, ambilkan aku

    morfin. Rose, tolong usap keringatnya.

    Persetan dengan nama itu. Sekarang

    yang kubutuhkan hanya waktu untuk

    beristirahat. Aku tidak ingat hal lain selain lima

    menit terakhir di ruangan putih ini. Seketika

    mataku terasa semakin berat. Bayang

    bayang putih yang awalnya kulihat berubah

    menjadi gelap, seakan akan ruangan ini mati

    lampu. Seakan akan Tuhan memberiku

    kesempatan, aku menghela nafas terakhirku.

  • 13

    Bagian 1

    Memori

  • 14

  • 15

    Bab 1

    Ini hari Selasa klasik, dimana aku

    memulai aktifitas sekolahku dengan

    berkendara ke sekolah bersama anak anak

    gaul, belajar di kelas tanpa lupa untuk

    mencorat coret buku dengan tulisan iseng,

    nongkrong di kantin bersama gadis gadis

    populer, bermain basket dengan tim

    kebanggaan sekolah, dan berbagai aktivitas

    anak keren di sekolah senior. Aku sangat

    menikmati hidupku, yang dikerumuni oleh

    anak anak lain yang berharap mereka bisa

    menjadi seperti aku. Tentu saja.

    Aku Nathan Brown, anak dari Nicholas

    Brown, CEO dari Grand Mobile Inc.,

    perusahaan ponsel terbesar di kotaku. Aku

    terlahir dari keluarga berkecukupan. Namun

    aku bukan tipe anak yang hangout di club atau

    yang lainnya. Aku lebih suka berbaur dengan

  • 16

    teman seusiaku, dan menjalani kehidupan

    layaknya remaja lain.

    ***

    Selasa sore. Waktu yang paling pas

    untuk menghabiskan waktu dengan bermain

    basket. Aku mengenakan baju basket merah

    tuaku yang biasa kukenakan setiap selasa

    sore. Disaat aku sedang menggiring bola, aku

    mulai mendengar suara di kepalaku. Rose,

    matikan

    Aku mencoba berkonsentrasi pada bola

    yang sedang kugiring. Namun suara itu tetap

    saja bergaung di kepalaku. Rose,

    ambilkan. Aku bingung bukan main. Obat

    apa yang kuminum siang ini sehingga

    menimbulkan suara suara di kepalaku?

    Rose, usap. Saat suara terakhir

    berkumandang, mataku berkunang kunang,

    rabun, dan semuanya menjadi gelap.

  • 17

    ***

    Saat aku tersadar, yang kurasakan

    hanya nyeri dan pegal di sekujur tubuhku. Aku

    membuka mata, dan melihat Grace, sahabat

    baikku yang duduk di sisi ranjang untuk

    menunggu hingga aku terjaga.

    Hai lelaki lemah. Kau sudah sadar

    rupanya. Grace menceletuk. Aku melihat

    petugas kesehatan di sebelahnya tersenyum

    kecil.

    Dimana aku? jawabku dalam keadaan

    setengah sadar.

    Pertanyaan cliche. Kau sedang dalam

    perjalanan ke rumahmu. Kau pingsan dengan

    cara yang amat dramatis, seperti di sinetron.

    Apakah selama basket tadi ada orang

    yang berteriak nama Rose atau berdiri di

    sampingku selama latihan? tanyaku.

    Tentu saja tidak. Orang gila macam

    apa yang melakukan hal seperti itu?

  • 18

    Omong omong, siapa itu Rose?

    tambah Grace.

    Aku tak tahu.

    Tiga kata itu mengakhiri percakapan

    kami. Sesampainya di rumahku, aku langsung

    berpamitan dengannya dan berterimakasih

    pada tim medis sekolahku. Aku memasuki

    rumah dan menyapa ibu. Aku menaiki tangga

    menuju kamar. Sesampainya di sana, satu

    satunya hal yang terlintas dibenakku hanyalah

    tidur dan beristirahat hingga hari esok

    menyambut.

    ***

    Pagi hari kusambut dengan rasa lelah

    yang masih melekat di badanku. Shower

    mungkin bisa mengurangi rasa nyeri ini,

    pikirku. Dengan malas, aku meraih gagang

    shower dan mandi singkat. Aku segera

  • 19

    berpakaian dan menikmati sarapan pagi yang

    telah disiapkan ibu.

    Kau terlihat tidak sehat, apa yang

    terjadi kemarin? tanya ibu.

    Tidak ada apa apa. Aku hanya terlalu

    lelah saja dengan tugas tugas yang

    diberikan guruku.

    Baiklah. Kau belum meminum jus

    jerukmu, Nat, sahut ibu ketika aku berdiri

    dengan segera dan mengambil tasku di kursi

    terdekat.

    Maaf, bu, tapi aku sedang tidak mood

    untuk minum jeruk, jawabku sambil

    tersenyum. Aku pergi ya, tambahku.

    ***

    Sesampainya di sekolah, gadis gadis

    memandangiku sambil cekikikan dan anak laki

    laki memandangiku dengan tatapan heran

    disertai senyum yang tertahan. Ini pasti ada

  • 20

    kaitannya dengan kejadian kemarin sore. Well,

    aku tak peduli. Hal yang kuinginkan di sekolah

    hari ini hanyalah masuk kelas, melamun

    disana, dan pulang ke rumahku yang nyaman.

    Aku melakukan apa yang aku bilang

    barusan. Melamun di kelas. Pelajaran hari ini

    sejarah, yang tak diragukan lagi, adalah

    pelajaran paling membosankan seumur

    hidupku. Selama dua kali empat puluh lima

    menit, aku menghabiskan waktu dengan

    melamun di balik buku tebal yang kutumpuk

    dihadapanku.

    Di alam bawah sadarku, aku melihat

    bayangan putih yang melintas tak tentu arah

    kesana kemari. Kurasa itu bayangan biarawan

    biarawati yang biasa kutemui di gereja. Aku

    mengamatinya lagi. Sepertinya aku salah.

    Lamunanku terhenti ketika Grace

    menepuk pundakku dengan sangat keras,

    hingga rasa sakitnya masih terasa hingga 5

  • 21

    menit kemudian. Aku tidak marah. Ini hal yang

    lazim bagi kami berdua.

    Lelaki macam apa yang melamun pagi

    pagi begini? Apa yang kau pikirkan? Gadis

    gadis seksi di situs dewasa? cetus Grace.

    Tentu saja tidak. Apakah ada orang

    orang berpakaian putih yang mondar mandir

    di depan kelas kita tadi? tanyaku.

    Ada. Jeremy Haynes. Si maniac video

    game yang duduk paling belakang dan dia

    tidak berdiri. Ia menghabiskan waktu untuk

    memandangi bokong seksi milik Angela.

    Kau ini kenapa sih? tambah Grace.

    Tidak. Aku sehat. Sangat sehat. Aku

    hanya sering melamun saja, efek dari kurang

    tidur tadi malam. Aku berbohong.

    Grace memalingkan wajah dan kembali

    ke topik yang dibahas guru sejarah kami. Ini

    pertama kalinya aku menyadari, bahwa Grace

    adalah gadis yang sangat menawan, manis,

  • 22

    dan seksi. Tapi aku tak mungkin memilikinya

    karena kami sudah berteman dari sekolah

    dasar, dan orangtua kami sudah menjalin

    hubungan bisnis dengan baik selama bertahun

    tahun. Lagi lagi aku melamun. Aku

    mencoba tetap terjaga hingga kelas sejarah ini

    selesai. Pelajaran berakhir dengan satu tugas

    tambahan, yang mau tak mau, harus kucari

    referensinya di perpustakaan.

    Aku ke perpustakaan seorang diri, dan

    tanpa membuang waktu, aku segera mencari

    buku referensi tersebut. Perang Dunia Kedua.

    Tentu saja tak asing bagiku. Kehancuran

    dimana mana, terutama Hiroshima dan

    Nagasaki. Pertumpahan darah. Jenazah

    bertumpukan.

    Ketika semua itu terlintas dibenakku,

    rasa nyeri luar biasa muncul di tengkukku,

    pinggang, dahi, serta betisku. Seperti dipukuli

    dengan tongkat oleh lima orang sekaligus.

  • 23

    Dan kakiku panas, seperti terkena api

    rasanya. Sebelum aku sempat tumbang ke

    lantai, rasa sakit itu menghilang. Ini hal aneh

    yang datangnya berentetan dengan panggilan

    Rose ditelingaku, dan bayang bayang putih

    yang melintas dibenakku. Aku tahu bahwa

    sesuatu tidak beres disini. Aku butuh psikiater.

  • 24

    Bab 2

    Ruang tunggu psikiater hampir mirip

    dengan ruang tunggu kepala sekolahku, yang

    pernah kumasuki sekali karena bertengkar

    dengan anak dari sekolah lain. Suasananya

    sangat tenang, dengan meja resepsionis tepat

    di sisi kanan pintu. Di meja itu terletak papan

    nama bertuliskan: Sarah Mayland: Sekretaris,

    yang tak lama kemudian memanggil namaku

    untuk segera masuk ke ruang psikiater.

    Ini pertama kalinya aku masuk ruang

    praktik psikiater. Ruang itu didominasi warna

    biru muda, dengan hiasan rak buku tinggi di

    sekeliling tembok, dan di tengah ruangan

    terletak satu kursi untuk berbaring, dan satu

    set meja kursi kerja lengkap dengan lelaki

    tua yang duduk di belakangnya yang

    kupastikan adalah dr. Gerald.

    Silahkan duduk, Tuan Nathan, ucap

    Sarah.

  • 25

    Terimakasih.

    Setelah pintu di belakangku tertutup

    yang menandakan Sarah sudah di luar, dr.

    Gerald memulai konsultasi kami.

    Pengunjung kami biasanya anak

    anak autis atau lansia yang mulai pikun

    dengan hidup mereka. Ini kejadian Sekali

    Dalam Sepuluh Tahun bahwa seorang pria

    muda gagah sepertimu mau mengunjungi

    kami. Kau boleh menceritakan keluhanmu.

    Kau punya waktu 30 menit.

    Aku tidak butuh waktu 30 menit untuk

    menceritakan kejadian janggal ini. Dalam

    waktu singkat, cerita anehku keluar dengan

    lancar dari mulutku. dr. Gerald sesekali

    mencatat omonganku dengan tatapan heran,

    seperti manusia hutan yang pertama kali

    melihat ponsel.

    Aku mengakhiri ceritaku dengan

    berkata bahwa aku sendirian di perpustakaan

  • 26

    dan aku merasa seperti dipukuli oleh banyak

    orang. Tentu saja yang terlintas di benak

    setiap orang ketika mendengar ceritaku adalah

    bahwa aku sedang diusik setan. Tapi aku tidak

    percaya pada hal semacam itu.

    Begini, nak. Kasus yang biasa

    kuhadapi adalah masalah kejiwaan. Jika kau

    bercerita seperti barusan, aku merasa kau

    mendatangi orang yang salah. Mungkin

    seharusnya kau mengunjungi pastor atau

    orang suci lainnya. ucap dr. Gerald.

    Tapi aku bukanlah tipe remaja yang

    paranoid terhadap hantu dan sebagainya. Aku

    tidak percaya akan hal hal semacam itu.

    Lagipula, perpustakaan sekolahku sudah

    diberkati setiap tahunnya oleh pastor. Mana

    mungkin ada penunggu nakal yang

    mendiaminya, bantahku.

    Kau boleh saja beranggapan demikian.

    Tapi kau tidak tahu fakta apa yang terkandung

  • 27

    di sekolahmu. Menurutku, beberapa arwah

    sesat berusaha merasuki tubuhmu. Mereka

    memasang memori memori buruk untuk

    mengacaukan pikiranmu. Ditambah, kau

    sedang lelah. Kau tahu, setan lebih mudah

    merasuki orang yang kelelahan.

    Setelah 15 menit diceramahi tentang

    setan yang merasuki tubuhku, aku merasa

    kedatanganku ke psikiater ini hanya

    membuang buang waktu dan tenagaku. Aku

    yakin 99% bahwa aku tidak kerasukan. Aku

    masih bisa berpikir jernih, buktinya.

    Setelah keluar dari ruang psikiater gila

    ini, aku segera menelpon Grace, yang kutahu

    rumahnya hanya 2 blok dari sini. Aku minta

    Grace menjemputku dan pergi makan siang

    bersama. Tentu saja ia kebingungan ketika

    kuminta untuk dijemput di praktik psikiater.

    Mungkin saja ia mengira aku kelainan jiwa.

  • 28

    Setelah menunggu beberapa menit,

    Grace akhirnya muncul dengan mobil

    kuningnya yang kecil, tak lupa dengan

    celetukannya yang usil.

    Kau ternyata tidak hanya pria lemah,

    tetapi juga pria dengan kelainan jiwa. Ayo naik

    ke mobil.

    Kami berkendara menuju rumah makan

    favorit kami, yang berada sekitar dua kilometer

    dari rumahku. Sepanjang perjalanan, Grace

    terus menanyai apa yang membuatku pergi

    menemui psikiater, lalu apa yang dikerjakan

    oleh psikiater kepadaku. Aku hanya membalas

    dengan Entahlah, Tidak apa apa atau

    Bukan masalah besar. Jawaban tersebut

    tentu bukanlah tipe jawaban yang dapat

    memuaskan hati wanita. Grace tetap bertanya

    hingga kami makan bersama. Dan jawabanku

    tetap Entahlah. Aku belum siap menceritakan

  • 29

    hal ini pada Grace. Aku belum siap dibilang

    gila.

    Sepulang dari makan siang, Grace

    mengantarku pulang, tentu saja tidak lupa

    dengan celetukannya.

    Ternyata pria tampan yang gila lebih

    memilih untuk diam. Baiklah. Wajar saja kalau

    dia masuk klinik kejiwaan.

    Apakah kau memanggilku tampan

    barusan?

    Entahlah. Balas Grace dengan meniru

    gayaku.

    Ia memutar arah mobilnya dan segera

    meninggalkan halaman rumah. Sekilas aku

    melihat senyum kecil di wajahnya. Mungkin

    aku hanya mengada ada.

    Aku memasuki rumah, menyapa ibu

    yang sedang mencuci piring, dan menaiki

    tangga menuju kamar. Sampai di kamar, aku

    tidak terpikir lagi untuk tidur. Aku segera

  • 30

    mencuci muka dan menyalakan komputer. Hal

    yang terlintas di kepalaku adalah mencari tahu

    siapa itu Rose. Tentu ini bukan pencarian

    mudah. Karena identitas yang kutahu

    tentangnya hanya terdiri dari empat huruf.

    Pencarian ini memakan waktu berjam jam.

    Pencarian ini menyita waktuku dan

    membuatku lupa akan makan malamku.

    Akhirnya mataku lelah. Perutku lapar.

    Aku memberanikan diri untuk melihat jam.

    Pukul sepuluh malam. Pencarian yang luar

    biasa memakan waktu, dan bodohnya, tanpa

    hasil. Aku mencari makanan apa yang tersisa

    di kamarku. Ternyata masih ada sebungkus

    coklat dari Angela, yang sering menyapaku di

    lorong sekolah. Setelah melahapnya, tanpa

    sadar, aku merebahkan badanku dan tertidur

    lelap.

  • 31

    Bab 3

    Aku dibangunkan oleh dering alarm

    bisingku. Dengan malas, aku menarik diri dari

    selimut, dan mencoba berdiri. Aku segera

    mandi dan turun ke dapur untuk sarapan.

    Kau lupa makan malammu, nak, ucap

    Ayah.

    Maaf, yah, tapi tugasku benar benar

    banyak. Padahal sudah kukerjakan dari

    minggu lalu, aku berbohong.

    Lain kali jangan diulangi. Kau bisa

    terserang maag, sahut Ibu.

    Aku meng-iya-kan nasihat Ibu dengan

    tundukan kepala singkat. Sambil menyeruput

    kopi, aku meraih surat kabar di meja makan

    dan membolak balik halamannya seakan

    akan ada hal menarik disana. Dan benar saja.

    Ada hal menarik disana.

    Tertulis judul besar, Rose McBryant

    Ditemukan TEWAS di Kediamannya. Aku

  • 32

    terkejut dan senang pada saat bersamaan.

    Apakah Rose ini yang disebut sebut dalam

    pikiranku? Apakah mungkin keluarganya

    mengetahui sesuatu yang bisa

    menyelamatkan pikiranku dari bayangan

    bayangan gila ini?

    Diam diam aku mengambil halaman

    koran itu dan melipatnya kecil kecil untuk

    dimasukkan ke dalam saku. Dengan cepat aku

    menghabiskan sarapanku dan berpamitan

    dengan ayah & ibu. Aku meminjam mobil ayah

    kali ini, dengan alasan sepulang sekolah aku

    akan mengerjakan tugas di rumah teman.

    Aku segera menuju kediaman Rose

    yang tertera di surat kabar. Bangaley 4th

    Street. Ini kali pertama aku membaca alamat

    ini. Setelah mencarinya di peta, aku cukup

    bersyukur karena lokasi ini hanya berada 5

    kilometer dari Sacred Heart of Jesus

    Kindergarden, sekolah masa kecilku. Aku

  • 33

    mengendarai mobil dengan kecepatan

    standar, sambil mendengarkan musik rock

    favoritku, Simple Plan. Ponselku tiba tiba

    berdering dan menampilkan wajah Grace yang

    sedang tersenyum. Aku menekan tombol hijau

    dan loudspeaker.

    Nat, jika kau tidak datang ke sekolah

    dalam 5 menit, kau bisa ketinggalan pelajaran

    paling penting di abad ini. Dimana kau? seru

    Grace dari telepon.

    Aku, eh Aku sedang tidak enak

    badan, kau tahu. Aku sering pingsan akhir

    akhir ini. Untuk hari ini, aku minta izin kepada

    Mrs. Paula karena tidak bisa menghadiri

    kelasnya. Jawabku.

    Aku mendengar lagu Simple Plan. Kau

    pasti

    Pembicaraan selesai setelah aku

    menekan tombol merah. Semakin sedikit

    informasi yang kuberikan pada Grace,

  • 34

    semakin baik. Setelah 30 menit perjalanan

    membosankan, akhirnya aku sampai di

    Bangaley 4th Street, jalan dimana rumah Rose

    McBryant berada. Dengan cepat aku melihat

    rumah yang halamannya dipenuhi garis kuning

    polisi. Rumah itu terlihat biasa; rumah

    penduduk yang dicat pink dengan bunga

    bunga yang ditanam rapi di halamannya. Aku

    mencoba memasuki rumah itu lewat pintu

    depan yang sayangnya telah terkunci. Aku

    mengelilingi rumah, mencoba satu per satu

    pintu yang ada, dan menemukan satu pintu

    yang tidak terkunci di bagian belakang rumah.

    Aku memutar engsel pintu dengan melapisi

    tanganku dengan saputangan terlebih dahulu.

    Yang jelas terasa dari rumah ini adalah

    nuansa ketiadaan. Di wastafel dapur, tampak

    setumpuk piring kotor. Di sebelah mesin cuci,

    tampak sekeranjang pakaian kotor. Dan yang

    lebih angker lagi, tali tempat leher Rose

  • 35

    McBryant tergantung masih ada di tengah

    tengah dapur. Jenazahnya sudah diamankan.

    Aku mencoba mencari informasi lain di

    ruang tamu. Tampak foto berhias pigura

    terletak di meja tamu. Foto menampilkan

    gambar wanita berpakaian perawat yang

    tersenyum ramah. Lalu ada tiga belas tangkai

    mawar merah segar yang tersusun rapi dalam

    vas. Sepengetahuanku, tiga belas merupakan

    angka kematian. Tetapi mungkin saja ini tidak

    ada kaitannya dengan kematian Rose.

    Lalu, aku memasuki kamar Rose.

    Kamar itu tampak berantakan. Isi lemari baju

    berserakan di lantai, selimut tampak kusut di

    atas ranjang, dan aroma kamar tercium amis

    dan apak. Ini bukan aroma yang wajar untuk

    seorang perawat wanita yang biasanya sangat

    peka terhadap kebersihan.

    Aku juga memasuki kamar mandi yang

    berantakan. Sabun tumpah ke lantai, tisu

  • 36

    jatuh, cermin belepotan, dan keranjang sikat

    gigi jatuh. Lalu aku meninggalkan kamar

    mandi.

    Karena tidak menemukan petunjuk lain

    (dan muak akan aroma apak rumah ini), aku

    keluar rumah dengan jalan yang sama ketika

    aku masuk. Tentu saja aku tidak lupa untuk

    melapisi tanganku dengan sapu tangan ketika

    memegang engsel pintu. Aku mengitari rumah

    ke bagian pekarangan dan menunggu di sana.

    Keadaan rumah lain juga sama matinya

    dengan rumah Rose. Seakan akan penghuni

    lain takut jika rumah Rose berhantu, dan

    mereka menginap di rumah kerabat mereka.

    Seakan akan keberuntungan berpihak

    padaku,seorang polisi yang sedang bertugas

    di sekitar rumah Rose melewatiku.

    Selamat pagi, pak polisi. Aku adalah

    kenalan Rose McBryant yang meninggal, dan

    aku memiliki sedikit hal yang perlu

  • 37

    diperbincangkan kepada keluarganya,

    sapaku.

    Mohon maaf, Anda siapa? jawab polisi

    itu.

    Eh, Nathan Brown, pelajar dari Sunrise

    Academy, ditugaskan untuk mewawancarai

    keluarga dari Rose McBryant. Tugas ini sangat

    penting, pak, sebagai nilai akhir semesterku.

    Apakah Anda mau menolongku dengan

    memberikan alamat dari keluarga Rose?

    bohongku.

    Ini sebenarnya dilarang dalam

    pekerjaanku, untuk memberitahukan informasi

    korban kepada orang lain.

    Aku sangat mohon bantuan Anda, pak.

    Aku tidak tahu harus mencari topik apa lagi

    selain kematian Rose McBryant aku

    mencoba terlihat menyedihkan.

    Setelah tawar menawar panjang yang

    berujung pada sekotak rokok (aku tidak

  • 38

    merokok, aku hanya membelinya untuk polisi

    sialan itu), polisi itu berhasil dibujuk. Aku pura

    pura berterima kasih dan naik ke mobil. Aku

    berniat mengunjungi alamat yang diberikan

    polisi tersebut.

    Sayangnya, waktu seakan akan tidak

    mengizinkanku untuk absen lebih lama lagi,

    aku harus kembali ke sekolah. Aku

    meninggalkan rumah Rose dengan kelajuan

    cepat, dan sampai di sekolah dalam waktu 20

    menit. Waktu yang cepat untuk jarak yang

    cukup jauh. Aku segera memarkirkan mobilku,

    dan masuk ke kelas dengan santai, tak lupa

    menyapa anak lain.

    Grace memandangku dengan tajam

    ketika aku melewatinya di kelas, padahal aku

    sudah menyapanya. Ketika aku menanyakan

    Kenapa?, seperti biasa, seorang gadis akan

    menjawab Tidak apa apa, padahal aku

  • 39

    tahu bahwa ia pasti kesal padaku karena

    menutup telponnya.

    Setelah melewatkan pelajaran hari ini

    dengan rasa lelah, aku lekas pulang dan

    membenamkan diriku dalam kasur.

  • 40

    Bab 4

    Yang kulihat hanya kegelapan dimana

    mana. Tapi aku dapat mendengar dengan

    jelas, Ini kesempatan keduamu. Gunakanlah

    dengan baik dan bijak.

    Suara itu menghilang. Dan aku kembali

    melihat kegelapan kosong hingga akhirnya

    terbangun tepat di pagi hari. Suara itu masih

    teringat di kepalaku. Apa maksudnya?

    Kesempatan kedua apa? Apa yang akan

    kumanfaatkan? Setelah lamunan panjang, aku

    putuskan diriku untuk mandi dan turun ke

    dapur untuk sarapan.

    Bu? sapaku.

    Apa, Nat? jawab ibu.

    Apakah Ibu pernah bermimpi tentang

    mendengar suara suara?

    Ketika Ibu bermimpi, tentu ibu juga

    mendengar apa yang orang lain katakan

    dalam mimpi ibu. Memang kenapa?

  • 41

    Aku mendengar sesuatu yang janggal

    tadi malam. Aku tidak bermimpi, hanya

    mendengar suara yang mengatakan aku

    memiliki kesempatan kedua, jawabku.

    Itu hal yang menarik, Nat. Tidak semua

    orang memiliki kesempatan kedua. Yang kita

    miliki adalah masa depan untuk memperbaiki

    kesalahan masa lalu kita. jawab Ibu.

    Aku hanya terdiam. Aku masih teringat

    akan kalimat dalam tidurku itu. Aku segera

    menghabiskan sarapanku dan berpamitan

    dengan ibu. Hari ini, aku memilih untuk

    berjalan kaki ke halte bis terdekat dan

    menunggu bis ke sekolah. Di sepanjang

    perjalanan, kalimat itu terus mengulang di

    kepalaku. Jika hal ini terus berlanjut, aku bisa

    benar benar gila.

    Di kelas, semua pelajaran yang

    dijelaskan terasa memantul dari kepalaku.

    Semuanya tergantikan oleh kalimat

  • 42

    kesempatan kedua. Untuk mengalihkan

    perhatianku, aku mencorat coret kertas

    kosong dihadapanku. Biasanya aku

    menggambar karikatur tokoh terkenal, seperti

    Einstein atau Lincoln. Aku menggerakkan

    pena di atas kertas sembari melamun. Alih

    alih menggambar sosok, aku menulis sebuah

    nama, Evelyn. Ini benar benar gila. Aku

    bahkan tidak pernah membayangkan nama ini,

    dan seketika aku menuliskan namanya.

    Apakah ini hanya lamunan biasa, atau

    memang pertanda bahwa aku tidak baik

    baik saja?

    Tiba tiba Grace yang duduk di

    depanku memalingkan badan dan mengambil

    kertas di hadapanku. Ia melihatnya, dan

    dengan tatapan tajam mengembalikannya. Ia

    terlihat kecewa. Aku tidak mengerti mengapa

    ia melakukannya dengan raut muka yang tidak

  • 43

    menyenangkan. Apakah Ia kesal karena aku

    menulis nama Evelyn?

    ***

    Tiga jam pelajaran berlalu dengan

    lambat, dan aku menghabiskan waktu di

    sekolah dengan memikirkan kesempatan

    kedua dan siapa itu Evelyn?. Bel berbunyi.

    Aku langsung keluar kelas dengan cepat.

    Selama di lorong, aku dipandangi oleh anak

    anak lain. Mereka terlihat bingung, mungkin

    karena sifatku berubah drastis akhir akhir ini.

    Aku terlalu sibuk memikirkan hal hal gila ini.

    Jadi, kuputuskan untuk duduk di taman

    sekolah untuk menarik udara segar. Aku

    meraba raba saku jaketku dan menemukan

    secarik kertas bertuliskan alamat. Aku menjadi

    ingat kembali. Ini alamat keluarga Rose.

    Seketika, aku menjadi bersemangat kembali

    untuk melakukan pencarian ini. Aku segera

  • 44

    mengemas barang barangku dan berlari ke

    halte bis. Untung saja ini waktunya pulang, jadi

    aku tidak akan kena teguran kabur dari

    sekolah. Aku segera menaiki bis dengan

    tujuan halte terdekat rumahku. Setelah

    sampai, aku segera berlari lagi menuju rumah

    dan makan siang, lalu berpamitan dengan ibu

    dan meminjam mobil ayah. Aku segera melaju

    ke alamat yang tertulis.

    Aku tiba di lokasi setelah menempuh

    perjalanan selama 45 menit. Ini adalah sisi

    kota yang jarang aku kunjungi. Tetapi aku

    langsung hafal rutenya dan segera mencari

    rumah keluarga Rose. Rumah tersebut tidak

    sulit ditemukan, karena jumlah rumah yang

    terbilang sedikit di daerah itu, serta rumah

    keluarga Rose adalah satu satunya rumah

    yang dicat warna ungu pucat. Aku segera

    menghampiri rumah itu dan mengetuk

    pintunya. Dengan segera, pintu terbuka, dan

  • 45

    tampak seorang wanita tua dengan pakaian

    rumah sederhana, serta senyum yang

    dipaksakan di wajahnya. Aku melihat kantong

    mata ekstra besar dan hidungnya yang

    berwarna merah, seperti terkena flu selama

    seminggu. Ia berkata,

    Selamat siang, ada yang bisa

    kubantu?

    Selamat siang, aku Nathan Brown,

    siswa Sunrise Academy. Aku diberi tugas oleh

    guruku untuk melakukan sedikit wawancara

    tentang kepergian Rose McBryant. Kuharap

    Anda dapat membantuku.

    Mohon maaf anak muda, tetapi aku

    sedang tidak ingin membicarakan kematian

    keponakanku, jawab wanita itu sembari

    menutup pintu. Aku menahan pintunya seraya

    berkata,

    Nyonya, tolong. Bantulah aku. Ini demi

    tugas akhir semesterku. Aku berjanji tidak

  • 46

    akan bertanya hal hal yang tidak kau

    perkenankan.

    Baiklah, sedikit wawancara tidak akan

    membunuhku. Silahkan masuk.

    Aku melepaskan sepatuku dan duduk di

    ruang kelurga. Ruangan itu sangat hangat dan

    nyaman, sayangnya sedikit berantakan.

    Kau menyukai teh? tanya wanita itu.

    Ya, dengan sedikit gula. Terima kasih.

    Sementara wanita itu membuatkan teh

    di dapur, aku melihat ke sekitar. Banyak foto

    bergantungan di dinding. Terdapat foto Rose

    yang pernah kulihat di rumah mendiang, persis

    dengan seragam putihnya. Lalu aku melihat

    foto wanita tua itu, Rose, dan satu lelaki yang

    tak kukenal. Lalu aku melihat ijazah kelulusan

    Marie McBryant dari sekolah keperawatan.

    Dan seketika wanita tua itu kembali dengan

    membawa senampan teh dan biskuit. Ia

    menyajikannya dan duduk di sofa seberangku.

  • 47

    Baiklah, anak muda. Siapa namamu

    tadi? Jonathan? Nathanael? tanyanya.

    Eh, Nathan saja. Jika aku boleh tahu,

    siapa nama Anda, nyonya? balasku sambil

    mengeluarkan buku catatan dan pena dari tas.

    Marie McBryant. Kau bisa

    memanggilku Marie saja.

    Baiklah, nyonya Marie. Apakah relasi

    Anda dengan Rose?

    Aku kakak perempuan ayahnya. Rose

    dan kakaknya kehilangan kedua orangtua

    mereka ketika masih kanak kanak. Jadi,

    mereka besar bersamaku. Mereka seperti

    anakku sendiri. Oh, ya aku lupa menjelaskan.

    Nama kakak Rose adalah Daniel. Jika kau

    sudah melihat foto di dinding itu, dialah

    orangnya. Dia sedang menjaga jenazah Rose

    di rumah sakit. Marie menunjuk foto yang tadi

    kulihat.

  • 48

    Oke, aku sudah melihatnya. Aku juga

    melihat ijazah kelulusanmu dari Akademi

    Keperawatan.

    Ya. Aku dulunya seorang perawat.

    Rose mengikuti jejakku. Dia bersekolah di

    sekolah yang sama, dan bekerja di rumah

    sakit yang sama sepertiku.

    Baiklah. Apa nama rumah sakit tempat

    ia bekerja dulu? tanyaku.

    Sunny Hill Hospital. Jawabnya.

    Oke. Apakah selama bekerja Rose

    pernah merasa gelisah atau murung yang

    merujuk pada kepergiannya?

    Aku sudah bilang, aku tidak ingin

    membicarakan kematian Rose, ucap Marie

    sambil menatapku tajam.

    Eh, aku sungguh minta maaf, Nyonya,

    jawabku sopan sambil menundukkan kepala.

  • 49

    Tapi kulihat, kau sangat membutuhkan

    hal ini. Baiklah, aku akan bercerita. Ia

    menambahkan,

    Selama 20 tahun ia bekerja disana, ia

    hanya sekali tampak gelisah dan takut.

    Sekitar 17 tahun yang lalu, rumah sakitnya

    kedatangan pasien yang dapat dikatakan

    sangat kritis. Beberapa tulang rusuk, bahu,

    dan punggungnya retak. Tubuhnya memar

    dan ada sedikit luka bakar di kakinya. Darah

    memenuhi wajahnya. Pokoknya benar benar

    parah. Rose merawatnya dan menyaksikan

    lelaki itu menghembuskan nafas terakhirnya.

    Di sisa nyawanya, lelaki itu menggumamkan

    sesuatu. Rose mendengar nama Evelyn,

    ucap Marie sambil mengusap matanya yang

    mulai basah.

    Evelyn. Aku tidak bertanya pada orang

    yang salah. Inilah informasi yang aku

    butuhkan.

  • 50

    Siapa nama lelaki itu? tanyaku sopan.

    Kalau aku tidak salah ingat, namanya

    Matthew. Tapi aku lupa nama belakangnya,

    jawab Nyonya Marie.

    Lalu, adakah usaha Rose untuk

    mencari tahu identitas lelaki kritis itu dan

    Evelyn? tanyaku.

    Sepertinya, Rose tertarik untuk

    menguak masalah lelaki itu. Semenjak hari itu,

    Rose jadi sering telat pulang ke rumah.

    Sesampainya di rumahnya, ia hanya makan

    sebentar, dan langsung naik ke kamarnya.

    Ketika kutanyai, ia sedang sibuk dengan

    komputernya, dan sekilas aku melihat ia

    mengetik nama Evelyn. Waktu itu, Rose masih

    tinggal bersamaku, jadi aku tahu banyak.

    Mohon maaf jika aku menjadi emosial begini,

    aku sangat menyayangi Rose, jelas Marie

    dengan suara serak. Lalu ia mengusap

    matanya kembali.

  • 51

    Apakah kau tahu dimana Evelyn ini

    berada?

    Ia mencari info tentang Evelyn di

    internet, dan ia menemukannya dengan

    sangat susah payah. Evelyn tinggal di

    kawasan konglomerat di pusat kota tetangga,

    Silver Stars Residence. Aku mengetahuinya

    karena Rose pernah sekali meminjam mobilku

    dan berkunjung ke situ. Ia mengatur GPS

    nya ke situ. Tetapi, belakangan ini aku

    mengetahui, jika Evelyn berada di rumah sakit.

    Ia menjalani rawat inap dari 3 tahun yang lalu.

    Baiklah. Barusan itu adalah

    percakapan yang sangat membantu, Nyonya

    Marie, tanggapku.

    Aku menjelaskan apa saja yang aku

    ingat. Apa saja yang dapat mengungkapkan

    kematian Rose. Aku tidak percaya jika Rose

    bunuh diri. Ia hanya menggubris tentang

    Evelyn & Matthew selama 1 bulan. Akhir

  • 52

    akhir ini dia tidak menunjukkan gejala apapun

    untuk bunuh diri.

    Aku terkejut mendengar pernyataan

    Nyonya Marie. Nyonya Marie yakin bahwa ada

    dalang di balik kematian Rose, namun ia tidak

    dapat membuktikannya karena tidak ada bukti

    yang kuat. Aku tidak dapat

    membayangkannya.

    Dengan sopan, aku menyeruput tehku,

    lalu berdiri dan berpamitan dengan Nyonya

    Marie. Aku segera menaiki mobil dan berniat

    untuk menuju ke Sunny Hill Hospital. Aku

    menghidupkan mesin, mengatur kopling, dan

    meninggalkan rumah itu dengan senyuman.

  • 53

    Bab 5

    Perjalanan ke rumah sakit terasa cepat.

    Dalam dua puluh menit, aku telah tiba di

    Sunny Hill. Aku segera bertanya ke

    resepsionis dan mencari Nyonya Evelyn. Aku

    segera diberitahu nomor kamarnya. Aku

    menuju ke eskalator, dan menekan tombol.

    Ketika eskalator terbuka, aku melihat

    beberapa orang keluar dari dalamnya; dua

    orang perawat, seorang pekerja kebersihan,

    dan seorang lelaki yang kurasa agak tua

    berpakaian mahal dengan wajah yang

    menyerupai moai di Pulai Paskah yang tidak

    pernah tersenyum. Ia mengenakan setelan

    coklat dan ada saputangan biru muda terselip

    di sakunya. Ia berjalan dengan lambat, tanpa

    memalingkan mata kemanapun. Aku sudah

    sering melihat orang seperti pria ini, namun

    aku merasa pernah melihatnya dulu. Tapi

  • 54

    dimana? Dan kapan? Mungkin hanya

    perasaanku.

    Aku segera menekan tombol tiga,

    lantai dimana Evelyn beristirahat. Setelah

    sampai, aku segera menuju ke ruang 322. Aku

    melihat ke dalamnya melalui kaca, dan melihat

    ruangan itu sepi. Aku mengetuk pintu, dan

    mendengar seorang wanita mengatakan

    masuk. Aku memasuki ruang itu.

    Aku melihat wanita itu berbaring di

    ranjangnya sendirian. Sangat kurus, pucat,

    namun tetap cantik. Usianya belum terlalu tua

    kurasa, sekitar empat puluh, namun

    tangannya yang kurus seperti ranting

    menimbulkan kesan Ia sudah tua, namun tetap

    menawan. Dan aku merasa pernah melihatnya

    dahulu, lama sekali. Tetapi aku tidak ingat.

    Ketika Ia melihatku, Ia tersenyum, dan

    bertanya,

    Selamat malam. Anda siapa ya?

  • 55

    Selamat malam. Perkenalkan, aku

    Nathan Brown, siswa Sunrise Academy. Aku

    kesini untuk menjenguk Anda, dan bertanya

    sesuatu. Apakah Anda Evelyn? tanyaku balik.

    Ya. Aku Evelyn Carey. Apa yang ingin

    kau tanyakan, anak muda? Aku belum pernah

    melihatmu sebelumnya.

    Ya, kita belum pernah bertemu. Tetapi

    aku merasa pernah melihatmu dulu, jawabku.

    Ini aneh, tanggapnya sambil

    tersenyum.

    Nyonya Evelyn, aku ingin bercerita

    sedikit. Apa kau keberatan?

    Tidak. Aku senang mendengar cerita

    orang lain. Hidup di dalam kamar ini sungguh

    membosankan, kau tahu.

    Aku menceritakan kejadian dimana aku

    pingsan, aku mendengar suara, kematian

    Rose, aku mencari tahu kepada keluarga

    Rose, hingga aku menulis nama Evelyn di

  • 56

    coretan. Aku juga bercerita tentang Matthew.

    Mata Evelyn seakan akan membelalak. Ia

    terkejut. Evelyn tetap mendengar ceritaku

    dengan seksama. Sambil tersenyum, Ia

    menanggapi ceritaku.

    Kau punya cerita yang sangat aneh.

    Kita belum pernah bertemu sebelumnya, tetapi

    kau menulis namaku di coretan. Baiklah, aku

    belum memiliki tanggapan spesifik terhadap

    ceritamu, tetapi aku juga ingin bercerita

    tentang hidupku, tentang Matthew yang kau

    sebutkan tadi.

    Baiklah, aku senang mendengar

    cerita, jawabku.

    Sembilan belas tahun yang lalu, aku

    bekerja sebagai seorang pengacara. Aku jatuh

    cinta dengan seseorang. Namanya Matthew.

    Ia seorang jurnalis. Kami bertemu di

    pengadilan di suatu sidang. Kami menyukai

    satu sama lain pada pandangan pertama.

  • 57

    Kami mengobrol, jalan bersama, makan

    malam bersama, dan akhirnya kami

    berpacaran. Kami menjalani hubungan kami

    dengan baik selama 2 tahun. Pada 1997, aku

    berniat mengenalkan Matthew pada

    keluargaku. Kelurgaku tahu bahwa Matthew

    adalah seorang jurnalis. Mereka melarangku

    untuk melanjutkan hubungan dengan Matthew.

    Sebagai gantinya, aku akan dijodohkan

    dengan pria kaya raya yang usianya 15 tahun

    lebih tua dariku. Aku marah dan menemui

    Matt. Aku bilang semuanya akan baik baik

    saja. Kami akan menikah, punya rumah dan

    anak yang sehat, serta harta yang cukup.

    Yang paling penting, kami memiliki

    kebahagiaan. Tapi harapan kami tidak

    berlangsung lama.

    Evelyn menghela nafas dan meminum

    air dari gelasnya, lalu melanjutkan bercerita.

  • 58

    Aku dipaksa keluargaku untuk

    menemui pria tua itu di rumahnya. Namanya

    Edmund. Aku sangat marah. Setelah

    mendengar rencana pernikahanku dengan

    Edmund, aku meninggalkan rumahnya dengan

    sangat tidak sopan. Aku segera menuju ke

    rumah Matt dan membicarakan untuk menikah

    diam diam. Matt bingung. Ia tidak mau

    pernikahan kami nantinya diliputi rasa takut.

    Tetapi aku meyakinkannya. Akhirnya dia

    setuju.

    Tetapi, seminggu setelah pertemuan

    kami, aku mendengar berita buruk bahwa Matt

    mengalami kecelakaan berat dan meninggal

    dunia. Aku tidak boleh mengunjunginya di

    rumah sakit. Aku mencoba kabur dari rumah,

    tetapi aku dihalangi oleh penjaga. Aku juga

    tidak diperbolehkan untuk mengunjungi

    makamnya. Aku hanya bisa menangis dan

    meraung di kamarku. Orangtuaku tetap

  • 59

    membujukku untuk menikahi Edmund. Aku

    menolak dan terus menolak, hingga aku

    sampai pada titik jenuhku, dan mencoba untuk

    berpaling kepada Edmund. Pernikahan kami

    berjalan lancar. Semuanya terasa baik,

    sampai ia mengetahui bahwa aku tidak dapat

    memiliki keturunan. Rahimku lemah. Edmund

    sangat kecewa, dan menelantarkanku. Pada

    saat itu, aku sangat benci pada diriku sendiri.

    Aku melampiaskan kemarahanku dengan

    bekerja lebih keras sebagai pengacara. Aku

    bahkan sering lupa makan dan tidur, yang

    membawaku ke rumah sakit ini.

    Aku prihatin mendengarnya. Aku

    memberanikan diri untuk bertanya.

    Apakah kau masih memiliki perasaan

    untuk Matt?

    Tentu saja, nak. Dia lelaki terbaik yang

    pernah kutemui. Ia tidak pernah memarahiku.

    Ia memelukku disaat aku membutuhkannya.

  • 60

    Tetapi, Ia pergi disaat kami akan mengikat

    janji suci kami. Tetapi aku masih tidak percaya

    jika Matt kecelakaan. Setelah mencuri dengar

    tentang kondisi jenazah Matt, hampir mustahil

    jika luka separah itu merupakan hasil

    kecelakaan. Lebih mirip penganiayaan. Tapi

    aku tidak dapat membuktikannya.

    Pernyataan Evelyn barusan

    mengejutkanku. Nyonya Marie tidak percaya

    jika Rose bunuh diri, Evelyn juga tidak percaya

    bahwa Matt kecelakaan, melainkan dibunuh.

    Apakah ini ada kaitannya?

    Perawat mengetuk pintu dan masuk. Ia

    mengatakan bahwa ini saatnya Nyonya Evelyn

    untuk beristirahat. Sebenarnya aku juga sudah

    sangat lelah. Jadi aku memutuskan untuk

    berpamitan dan pulang. Setelah mengucapkan

    terimakasih, aku segera keluar dari kamar dan

    memasuki elevator. Aku berjalan ke parkiran

    dan mengemudikan mobilku dengan memutar

  • 61

    musik rock keras keras agar aku tidak

    tertidur di jalan pulang.

  • 62

  • 63

    Bagian 2

    Penyingkapan

  • 64

  • 65

    Bab 6

    Yang kuingat selanjutnya adalah aku

    dibangunkan oleh sinar matahari pagi yang

    menyilaukan. Aku pasti sangat kelelahan

    sampai sampai tidak bisa mengingat

    kejadian tadi malam. Aku baru tersadar kalau

    hari ini adalah hari Sabtu. Aku terbebas dari

    sekolah, tetapi aku memiliki lebih banyak

    waktu untuk menyelesaikan masalah pribadiku

    ini. Sekarang yang kuinginkan sekarang

    adalah mandi dengan air hangat agar

    pikiranku lebih tenang. Selama mandi, sangat

    banyak hal yang terlintas di benakku. Hidupku

    berubah sejak suara suara itu datang ke

    kepalaku. Aku tidak lagi dikenal sebagai sosok

    yang populer di sekolah, orang menilaiku

    sebagai pribadi yang introvert sekarang.

    Memang benar. Aku menjadi jarang

    berkomunikasi dengan teman teman

  • 66

    sekolahku, termasuk Grace. Grace bahkan

    kesal denganku saat ini.

    Aku berusaha menyingkirkan pikiran itu.

    Kepalaku bisa meledak jika memikirkannya

    terus. Setelah selesai shower, aku keluar

    kamar dan mengenakan pakaian santai

    terbaikku hari ini. Lalu aku menelpon Grace.

    Halo? sahut Grace.

    Grace, apa kau ada waktu hari ini?

    Memangnya kenapa?

    Aku ingin mengajakmu jalan, jawabku.

    Bukannya kau sudah punya pacar?

    Siapa namanya? Evelyn itu?

    Dia bukan pacarku. Bahkan aku tidak

    mengenalnya. Ayolah, Grace, kok kamu jadi

    tidak asik seperti dulu?

    Hah? Siapa bilang. Baiklah, jemput aku

    di rumah setengah jam lagi, jawab Grace.

    Nada suaranya berubah menjadi lebih ceria.

  • 67

    Aku senang Grace tidak marah lagi.

    Aku segera berpamitan dengan ayah & ibu

    dan meminjam mobil ayah untuk menjemput

    Grace. Sesampainya di rumah Grace, ia

    mengenakan kaos dan celana pendek musim

    panas yang sangat seksi menurutku, lengkap

    dengan kacamata hitam menempel di

    hidungnya yang mancung. Ia memohon untuk

    menyetir mobilku. Aku tidak keberatan.

    Kubiarkan ia menyetir mobilku. Aku tidak tahu

    kemana tujuan kami. Grace menyetir dengan

    tenang, sambil memutar lagu dari American

    Authors. Ia tertawa dan tersenyum selama

    perjalanan. Aku mengakui, Grace terlihat

    sangat cantik, di bawah sinar matahari,

    dengan angin yang menyibak rambutnya yang

    ikal, dan kacamata hitam keren yang

    digunakannya. Sebenarnya aku menyimpan

    rasa untuk Grace dari dulu, tapi aku merasa ia

  • 68

    tidak seperasaan denganku. Sampai

    sekarang, kami hanya bertahan di friendzone.

    Ternyata Grace menyetir ke taman

    hiburan terbesar di kotaku, Crazy Bunny Land,

    dengan rollercoaster tercepatnya, bianglala

    tertinggi di negaraku, arung jeram buatan,

    pantai tropis nan hangat, dan badut badut

    unik di dalamnya. Kami segera memarkirkan

    mobil, dan membeli dua tiket untuk kami. Kami

    menaiki rollercoaster, bianglala, merry go

    round, rumah hantu, dan wahana keren

    lainnya. Grace mampu menyihirku yang

    sedang penat dengan masalahku, menjadi

    pribadi yang menyenangkan ketika berada di

    sisinya.

    Grace lalu mengajakku untuk memasuki

    tenda peramal. Aku tidak percaya ramalan,

    tetapi Grace tetap memaksaku memasukinya.

    Akhirnya aku menurut. Peramal tersebut

    seorang wanita berusia tiga puluhan. Ia

  • 69

    mengenakan gaun gypsy berwarna ungu

    dengan bandana merah tua di kepalanya.

    Rambut ikalnya dibiarkan bergurai di

    punggungnya. Ia menyambut kami di tendanya

    dengan senyuman misterius. Kami lalu duduk

    di dua kursi di hadapan meja peramal itu.

    Dengan biaya murah, Grace mempersilahkan

    peramal membaca garis tangannya, memilih

    kartu Tarot, dan Grace hanya terpana ketika

    peramal menjelaskan tentang masa depan

    dirinya. Ketika selesai, Grace memaksaku

    untuk diramal juga. Setelah membayar, aku

    mempersilahkan peramal membaca garis

    tanganku.

    Ekspresi peramal itu berubah. Ia

    menyipitkan kedua matanya agar dapat lebih

    berkonsentrasi. Dengan tatapan tajam,

    peramal itu berkata kepadaku.

    Aku memang seorang peramal murah

    di taman hiburan ini, tetapi aku memiliki bakat

  • 70

    asli yang diturunkan dari ibuku. Biar kutebak.

    Namamu Matt?

    Bukan. Aku Nathan, jawabku santai.

    Aku tidak salah. Aku melihat sesuatu

    yang buruk di masa lalumu, Matt. Aku juga

    melihat banyak darah di masa depanmu. Kau

    harus lebih bijak dalam menentukan

    pilihanmu. Kau harus bisa terlepas dari masa

    lalumu, Matt.

    Aku tidak mengerti apa maksudmu,

    tanyaku dengan keras kepada peramal itu.

    Aku mungkin terdengar gila, tetapi

    harus kukatakan padamu, kau mengalami

    reinkarnasi secara tidak sempurna. Hal ini

    menyebabkan kau masih mengingat masa

    lalumu secara samar. Jujur saja, kau sangat

    penasaran dengan wanita bernama Evelyn itu.

    Dia adalah calon istrimu di masa lalu, jawab

    peramal itu dengan tenang.

  • 71

    Grace menatapku dengan tatapan Ini

    tidak mungkin. Aku sendiri bingung bukan

    main, sampai sampai dahiku mengeluarkan

    keringat sebesar biji jagung. Lalu peramal itu

    melanjutkan.

    Jangan cemas, Nathan. Kau tidak

    selamanya akan terjebak dalam masa lalumu.

    Aku tahu kau sudah sering terbayang akan

    masalah ini. Kau bisa memperbaikinya. Kau

    bisa menolong dirimu sendiri, Evelyn, Marie,

    dan yang lainnya. Setelah arwah Matt tenang,

    kau pun juga dapat hidup dengan tenang, ujar

    peramal itu.

    Aku masih tidak percaya. Bagaimana

    kau bisa tahu tentang diriku?

    Percayalah. Aku sudah meramal

    ribuan orang seumur hidupku, dan aku sangat

    jarang salah. Pengunjungku banyak yang

    kembali kepadaku dan bercerita betapa

  • 72

    menyesalnya mereka tidak menghiraukan

    ucapanku.

    Aku sudah cukup muak dengan omong

    kosong di tenda ini. Aku pun berkata.

    Maaf, Nyonya Peramal, tetapi aku tidak

    pernah percaya pada ramalan siapapun.

    Terima kasih telah memberikanku sedikit

    pencerahan, kataku seraya keluar dari tenda

    dengan cepat. Grace mengikutiku dari

    belakang. Dia meraih lenganku. Ketika aku

    mengatakan Beri aku waktu, Grace dengan

    tenang melepas genggamannya. Ia

    mengikutiku untuk duduk di tepi pantai.

    ***

    Selama satu jam, aku dan Grace hanya

    terduduk diam disana sambil memandangi laut

    yang beranjak jingga. Akhirnya Grace meraih

    tanganku dan berkata,

  • 73

    Semuanya akan baik baik saja.

    Semua yang dikatakan peramal itu tidak

    benar.

    Tidak, Grace. Dia benar. Dia

    mengetahui segala sesuatu tentang diriku. Dia

    pasti mengatakan yang sebenarnya. Dia

    Grace mencium keningku. Bibirnya

    yang hangat terasa sangat nyaman di

    keningku. Ini pertama kalinya Grace

    menciumku. Ketika ia melepaskan

    kecupannya, pipinya terlihat merah. Dengan

    tatapan paling manis yang pernah kulihat, ia

    menggenggam tanganku dan berkata,

    Jika kau tidak berani menghadapi

    hidupmu, aku mau jadi pendampingmu. Aku

    akan selalu ada di sampingmu untuk

    menemani di masa masa sulitmu, ucap

    Grace. Kata katanya barusan sungguh

    membuatku menemukan kembali semangat

  • 74

    dalam membuka misteri Matt. Dengan

    spontan, aku bertanya pada Grace,

    Grace, kau mau jadi pacarku?

    Grace tertawa. Dia berkata,

    Aku sudah menunggumu menanyakan

    hal ini sejak berbulan bulan yang lalu. Tentu

    saja aku mau.

    Sambil memandangi matahari senja,

    dia menyenderkan kepalanya ke bahuku.

  • 75

    Bab 7

    Selama satu malam, kami bercerita

    lewat telepon sampai pukul 2 malam. Kemarin

    adalah hari terbaik dalam hidupku. Akhirnya

    gadis yang kuanggap sahabatku selama ini

    mau menjadi pasanganku. Memang benar

    kata orang, sahabat adalah awal dari pacaran.

    Pagi harinya, di hari Minggu, aku tidak

    bangun siang seperti biasanya, aku bangun

    awal untuk memasak sarapan untuk diriku

    sendiri, lalu mandi dan menjemput Grace di

    rumahnya. Ketika tiba di rumahnya, Grace

    ternyata juga sudah bangun. Ia langsung

    berganti pakaian ketika aku mengajaknya

    mengunjungi suatu tempat.

    ***

    Aku mengendarai mobilku ke Sunny Hill

    Hospital, untuk menceritakan apa yang aku

    dapat dari peramal Crazy Bunny Land.

  • 76

    Mungkin ini terdengar gila, tapi aku harus

    melakukan yang terbaik demi diriku sendiri.

    Kami tiba di Sunny Hill. Setelah

    memarkir mobil, aku segera menggenggam

    tangan Grace dan mengajaknya berjalan

    setengah berlari ke ruang 322, tempat Evelyn

    beristirahat.

    Di dalam ruangannya, Eve sudah

    terbangun, dan sedang membaca The

    Notebook karangan Nicholas Sparks. Aku dan

    Grace masuk. Eve bertanya dengan lembut,

    Nathan, ada apa pagi pagi kesini?

    Dan siapa gadis manis yang menemanimu?

    Perkenalkan. Nyonya Eve, ini Grace.

    Grace, Nyonya Eve.

    Eve & Grace bersalaman sambil

    tersenyum hangat. Eve memuji gelang Grace

    yang berbentuk bintang. Lalu aku melanjutkan

    omonganku.

  • 77

    Nyonya Eve, aku datang kemari untuk

    menceritakan sesuatu. Mungkin ini terdengar

    sangat gila, tetapi aku benar benar harus

    menceritakannya.

    Tentu saja kau boleh bercerita. Aku

    punya banyak waktu luang, candanya.

    Baiklah. Kemarin aku pergi ke suatu

    taman hiburan. Aku bertemu seorang peramal

    handal. Dia bahkan tahu identitasku sebelum

    aku memberitahukannya. Lalu ia berkata

    sesuatu.

    Aku terdiam sesaat sebelum aku

    memberitahukan fakta yang benar benar

    gila. Setelah menghela nafas pendek, aku

    melanjutkan.

    Ia mengatakan bahwa aku adalah

    reinkarnasi Matt. Aku mengalami reinkarnasi

    yang tidak sempurna, yang menyebabkanku

    sering teringat akan masa lalu Matt secara

  • 78

    samar. Dan sekarang, aku mau membantumu

    untuk mengungkapkan kematian Matt.

    Eve menatapku dengan tatapan yang

    sangat mengherankan, lalu memberikan

    tanggapannya.

    Aku masih tidak percaya. Bagaimana

    seseorang yang sudah mati terlahir kembali

    dengan memori yang tidak sempurna? Semua

    ini tidak masuk akal. Kau harus pulang, Nat.

    Aku tidak mau lagi mendengar omong kosong

    ini, ucap Eve ketus.

    Kau harus percaya. Aku akan

    mengungkapkan kematian Matt dan Rose. Aku

    tidak ingin hidup dibayangi oleh masa lalu

    Matt. Aku bisa berakhir di rumah sakit jiwa.

    Eve, kau harus percaya.

    Grace menggenggam lenganku dan

    berbisik mengajakku meninggalkan ruangan.

    Aku menolak dan berkata,

  • 79

    Nyonya Eve, aku memang terdengar

    gila, tapi inilah faktanya. Aku percaya akan

    omongan peramal itu

    Diam kau! Perawat! Tolong aku!

    Pemuda ini mencoba menakutiku!

    Perkataanku terputus oleh teriakan Eve.

    Ia berteriak menyuruhku pergi dari ruangannya

    sambil melempar benda apapun yang ada di

    sekitarnya ke arahku. Petugas medis pun

    masuk dan menenangkan Eve, dan mengusir

    kami. Dengan gusar, aku meninggalkan

    ruangan. Grace mengikutiku dari belakang.

    Kami berjalan cepat menuju mobilku. Sampai

    di dalamnya, aku baru tersadar bahwa Grace

    terkena lemparan gelas keramik di dahinya. Ia

    terluka dan mengeluarkan sedikit darah.

    Grace, tunggu disini, akan kuambilkan

    plester dan iodin untuk lukamu, kataku sambil

    meninggalkan mobil.

  • 80

    Aku pergi ke apotek terdekat dan

    membeli kedua barang itu. Ketika aku kembali

    ke mobil, Grace mengusap dahinya dengan

    tisu. Aku segera memberinya iodin dan

    menempelkan plester ke dahinya. Setelah

    plester tertempel dengan sempurna, Grace

    bertanya,

    Nat, aku sangat bingung dengan apa

    yang terjadi barusan. Selama ini kau hanya

    diam dan tak bercerita apapun tentangmu.

    Kau menutup dirimu. Kali ini, aku mohon,

    ceritakanlah apa yang terjadi selama ini.

    Aku menghela nafas, dan mulai

    bercerita tentang awal mula aku mendengar

    suara suara, melihat bayangan putih, tiba

    tiba merasa sakit sendiri, lalu percakapanku

    dengan Marie & Eve tentang Rose dan

    Matthew. Setelah kuceritakan semuanya,

    Grace meraih tanganku dan berkata,

  • 81

    Semua orang di dunia boleh

    mengatakan kalau kau gila. Tetapi tidak

    denganku. Aku akan membantumu mengatasi

    semua ini, tidak peduli seberapa pun sulitnya.

    Semua akan kita akhiri bersama. Kita akan

    menemukan pembunuhmu di masa lalu, dan

    menendang bokongnya.

    Aku tertawa. Di saat semuanya terasa

    sulit, satu satunya orang yang berhasil

    membuat hidupku terasa lebih mudah adalah

    Grace.

    Aku sangat beruntung memilikimu,

    ucapku. Grace tersenyum dan memintaku

    untuk meninggalkan parkiran rumah sakit ini.

  • 82

    Bab 8

    Aku mengendarai mobil menuju

    McDonald. Disana kami memesan dua burger

    dan tertawa bersama selama dua jam penuh.

    Kami membicarakan anak anak di kelas

    kami, guru guru kami yang menyebalkan,

    dan tidak sedikit pun menyentuh pembicaraan

    tentang masalahku. Segala masalah di dunia

    terasa sirna ketika Grace berada di dekatku.

    Senyum manisnya mampu menyingkirkan

    semua kebingunganku, dan membuatku

    berani menghadapi kenyataan di depanku.

    Setelah menghabiskan makanan kami,

    aku mengajak Grace untuk ke rumah Marie.

    Grace setuju dan dalam waktu 45 menit, kami

    sudah tiba di rumah Marie. Aku mengetuk

    pintu, dan wajah Marie muncul di pintu

    rumahnya, kali ini dengan ekspresi yang lebih

    ceria. Ia mempersilahkan kami masuk.

  • 83

    Sebelum kami duduk, aku

    memperkenalkan Grace kepada Marie. Lalu

    kami duduk. Marie bertanya apakah kami ingin

    teh, aku menjawab iya. Grace menggenggam

    lenganku yang menandakan Kau tidak perlu

    teh, tetapi Marie sudah pergi ke dapur terlebih

    dahulu.

    Selama kami menunggu, Grace

    menggerakkan kepalanya ke sekeliling

    ruangan dan melihat lihat isi rumah Marie.

    Marie kembali dengan senampan teko teh dan

    dua cangkir bermotif bunga. Marie berkata,

    Oke, Nathan. Apa yang ingin kau

    ceritakan sehingga kau jauh jauh kemari?

    Kuharap ini kabar baik.

    Ini kabar super baik. Aku mau

    membantumu mengungkapkan kematian

    Rose, jawabku.

  • 84

    Marie membelalak, begitu juga Grace.

    Mereka sama sama terlihat bingung. Lalu

    Marie berkata kembali

    Nathan, mengungkapkan kematian

    Rose bukanlah hal mudah. Dan kau masih

    siswa SMA. Aku tidak ingin hal buruk terjadi

    padamu.

    Grace juga menambahkan, Nat,

    Nyonya Marie benar. Membongkar kematian

    seseorang sama saja dengan berhadapan

    dengan pembunuhnya. Kau mau mati konyol

    di tangan seorang pembunuh berdarah

    dingin?

    Aku sudah berpikir matang matang

    tentang hal ini. Aku akan membongkar

    kematian Rose dan Matthew, calon suami

    Evelyn, jawabku. Aku memilih untuk tidak

    bercerita tentang reinkarnasiku. Jika aku

    melakukannya, aku pasti sudah diusir dari

    rumah ini.

  • 85

    Tapi, apa alasanmu untuk

    membantuku? Maksudku, kita baru kenal, dan

    kau mau membantuku membongkar kasus ini,

    tanya Marie.

    Nyonya Marie, aku tidak tega melihat

    betapa banyak nyawa tak bersalah yang mati

    di tangan orang orang jahat, bohongku. Ini

    alasan yang benar benar bodoh dan tidak

    masuk akal.

    Nat, aku berterima kasih padamu

    karena sudah peduli pada kematian Rose.

    Tapi, semua orang akan mati pada akhirnya,

    entah bagaimana caranya. Aku sudah cukup

    kehilangan Rose, dan aku tidak mau nyawa

    lain berjatuhan karena hal ini, ujar Marie

    dengan lelah.

    Bibi, biarkan dia membantuku

    menyelesaikan masalah Rose, ucap seorang

    pria muda yang keluar dari pintu kamarnya.

    Wajahnya tampak lelah, tampak dari besarnya

  • 86

    kantong mata yang tergantung di bawah

    matanya. Wajahnya tampak kusam, yang

    setelah kupikir pikir mungkin dia belum

    mandi.

    Nathan, perkenalkan, ini Ryan, kakak

    kandung Rose. Ryan, ini Nathan, ujar Marie.

    Ryan menyalamiku dengan tegas. Lalu

    ia bertanya padaku,

    Berapa usiamu?

    Tujuh belas.

    Oke. Kau sudah cukup umur. Kau akan

    ikut denganku untuk membongkar kasus ini,

    ucap Ryan.

    Ryan, Nathan tidak berhak

    membongkar kematian Rose. Ia bisa

    omongan Marie terputus oleh perkataan Ryan.

    Bibi, aku sudah cukup muak untuk

    tutup mulut tentang kematian adikku. Aku tidak

    rela jika kematian Rose yang tidak diketahui

    sebabnya dibiarkan saja. Aku harus

  • 87

    menyelesaikannya. Beruntung Nathan mau

    membantuku.

    Nyonya Marie tidak dapat berkata apa

    apa lagi. Ia akhirnya membiarkan kami

    melakukan apa yang seharusnya kami

    lakukan.

    Baiklah. Tapi, Ryan, tolong jaga

    Nathan baik baik. Jangan sampai hal buruk

    terjadi padanya, Marie memberi pesan pada

    Ryan.

    Ryan menanggapinya dengan

    mengangguk pelan, lalu Marie meninggalkan

    ruang keluarga tersebut. Grace hanya bisa

    diam. Ia tidak tahu apa lagi yang dapat ia

    lakukan untuk mencegahku. Akhirnya Ryan

    duduk di sofa seberang kami dan berkata,

    Jadi, mari kita susun rencana.

  • 88

  • 89

    Bagian 3

    Kepalsuan

  • 90

  • 91

    Bab 9

    Ryan mengantar kami sampai ke pintu

    depan rumahnya. Sebelum kami naik ke mobil,

    ia berkata kepada kami,

    Pembongkaran kasus ini tidak akan

    memakan waktu sebentar, otomatis waktu

    istirahatmu sedikit berkurang. Aku tidak akan

    memintamu untuk bolos sekolah. Kau bisa

    mencari waktu luang untuk menjalankan

    rencana kita.

    Baiklah. Aku mengerti. Akan kuhubungi

    lagi jika masih ada yang perlu kutanyakan,

    jawabku.

    Oh, ya. Kau punya kamera? tanya

    Ryan.

    Ya. Untuk apa? tanyaku balik.

    Pokoknya bawa saja. Kita akan

    membutuhkannya, jawab Ryan.

    Sebelum mobil kami jalan, Ryan

    berbisik di telingaku,

  • 92

    Nat, kurasa Grace tidak perlu ikut

    dalam masalah ini. Kau pasti tak ingin dia

    terluka kan?

    Aku menyetujui perkataannya dengan

    sebuah anggukan. Akhirnya kami pulang ke

    rumah kami. Grace memutar lagu Imagine

    Dragons di radio dengan volume sedang.

    Selama perjalanan, kami hanya diam satu

    sama lain. Tak ada hal yang perlu kami

    bicarakan. Sampai akhirnya kami sampai ke

    rumah Grace, ia membuka mulutnya.

    Nat, aku setuju akan pilihanmu untuk

    membuka kasus Rose & Matt. Tapi aku

    mohon, jangan lakukan sesuatu yang bodoh.

    Grace keluar dari mobil dan

    meninggalkanku untuk berpikir. Grace benar.

    Apakah aku terlalu gegabah untuk mengambil

    keputusan ini? Tapi jika aku tidak

    mengakhirinya, apakah aku bisa hidup tenang

    dengan suara - suara ini?

  • 93

    ***

    Sesampainya aku di rumah, aku

    menyadari, ini adalah hari Minggu yang berat.

    Aku menghabiskan makananku sambil

    berpikir. Jika bisa dilihat, otakku pasti sudah

    basah kuyup oleh keringat. Setelah makan,

    aku mulai menyiapkan materi untuk aksiku

    besok.

    ***

    Esok harinya, aku memasukkan segala

    sesuatu yang kuperlukan untuk penyelidikan-

    kami. Setelah mandi dan sarapan, aku

    berangkat ke sekolah menggunakan sepeda

    motor ayah (kendaraanku banyak, ya?). Aku

    menjalani hari Senin dengan berpura pura

    bersemangat. Grace tidak berkata apa apa

    hari ini. Setelah bel pulang sekolah berbunyi,

    aku segera ke parkiran dan pergi secepat

  • 94

    mungkin ke kantor Ryan menggunakan

    motorku.

    Sesampainya di sana, aku menelpon

    Ryan dan dia segera keluar dari kantornya. Ia

    telah menggunakan jaket dan helm nya

    sendiri. Ia memintaku untuk pergi ke Galaxy

    City Office Building, yang letaknya cukup jauh

    dari kantor Ryan. Aku menurut dan pergi

    kesana.

    Sesampainya disana, sudah banyak

    wartawan yang menunggu. Aku segera

    memarkirkan motor dan Ryan bergabung

    dengan wartawan tersebut. Setelah menunggu

    10 menit, seorang lelaki berjas hitam dengan

    tampang yang sepertinya kukenal keluar dari

    pintu utama gedung itu. Tak salah lagi, pria itu

    adalah Edmund Carey, suami Eve yang

    pernah kujumpai di lift Sunny Hill.

    Kulihat Ryan terus mengejarnya sambil

    bertanya keras keras kepada Edmund, tetapi

  • 95

    ia tidak menghiraukan. Edmund naik ke mobil

    merahnya dan pergi dengan mobilnya dengan

    cepat. Ryan kembali ke motorku dan berkata,

    Sial. Aku belum mendapatkan apapun

    darinya. Ikuti dia!

    Tanpa berkomentar apapun, aku

    menurut dan mengendarai motorku dengan

    cepat menyusul mobil Edmund. Sopir Edmund

    ternyata orang yang sangat mahir dalam

    mengendarai mobil. Aku sedikit kewalahan

    mengikutinya, tapi aku tetap berhasil ke

    tempat tujuan Edmund.

    Ia berhenti di depan sebuah caf

    modern. Ia turun sendirian, tanpa ditemani

    bodyguard nya. Sementara aku dan Ryan

    masih menunggu di motor kami, ia memesan

    segelas minuman, sambil sibuk memainkan

    ponselnya. Setelah sepuluh menit menunggu,

    kami turun dari motor dan menghampiri

  • 96

    Edmund. Ia tampak kesal dan berkata kepada

    kami,

    Aku sangat membenci reporter

    reporter bodoh yang selalu mengejarku dan

    tidak memberiku waktu untuk sendirian.

    Kami bukan reporter bodoh, pak. Ini

    kartu pengenal kami. Kami jurnalis handal

    yang ingin mengabadikan kesuksesan Anda

    lewat buku yang akan kami tulis. Kami telah

    melakukan berbagai riset tentang Anda.

    Sekarang kami hanya butuh wawancara

    khusus dengan Anda, bohong Ryan. Aku

    berpura pura memegang kamera seakan

    akan aku seorang fotografer.

    Aku tidak perlu biografi, bantah

    Edmund. Ia meneguk minumannya yang

    kutebak pasti kopi, lalu ia berkata dengan

    kasar, Pergi sana.

    Di luar caf, bodyguard Edmund turun

    dari mobil dan berdiri di depan kaca sambil

  • 97

    memperhatikan kami. Ryan belum menyerah

    rupanya. Ia balas berkata,

    Tuan Edmund, Anda pasti sadar bukan

    jika perusahaan real estate yang Anda pimpin

    sedang mengalami resesi karena

    berkurangnya penjualan Anda selama tiga

    tahun terakhir. Pemegang saham mulai

    kecewa akan perusahaan Anda. Reputasi real

    estate Anda juga mulai menurun karena

    kurangnya dana yang masuk untuk

    perawatannya.

    Dengan nada suara yang berat,

    Edmund menjawab,

    Apa maumu?

    Kami hanya ingin membantu Anda

    untuk membangun kembali citra Anda di mata

    masyarakat. Anda tentu dapat

    melaksanakannya dengan bantuan kecil dari

    kami. Dan untungnya, Anda tidak perlu

    membayar.

  • 98

    Edmund menyerah. Ia melambaikan

    tangan kepada bodyguard nya dan berkata,

    Baiklah. Kau boleh bertanya. Aku

    punya lima belas menit.

    Ryan mengeluarkan catatannya dan

    mulai melakukan aksinya.

    Baiklah. Pertanyaan pertama. Masa

    kecilmu kau lalui sebagai anak yang

    berkekurangan, namun sekarang kau adalah

    seorang milyader. Bagaimana kau

    membangun bisnis ini?

    Aku meminjam uang bank, sampai

    sampai rumahku disita. Aku meminjam uang

    dari banyak orang. Aku menjalin hubungan

    baik dengan Barry Heathrow, ayah Evelyn;

    istriku. Dengan perekrutan pekerja yang baik,

    aku berhasil membangun usaha ini.

    Sejauh mana kau mengenal Barry?

    Dia rekan bisnisku, dan ayah

    mertuaku. Kami saling mendukung. Dia adalah

  • 99

    orang yang sangat kaya, kau tahu. Aku tidak

    tahu dari mana ia mendapat kekayaannya.

    Edmund mengeluarkan sekotak rokok dari

    sakunya. Ia menawari aku dan Ryan. Kami

    menolak dengan sopan. Ia memasukkan

    rokoknya dan menyalakan satu untuk dirinya.

    Apa kau sudah puas dengan apa yang

    kau miliki sekarang?

    Tidak. Aku belum mampu memuaskan

    diriku sendiri. Dengan seorang istri yang

    mandul dan sakit - sakitan? Ayolah. Lelaki

    mana yang tidak ingin mendapatkan seks

    yang baik dari pasangannya?

    Pria ini benar benar bangsat pikirku.

    Kalimat itu hampir keluar dari mulutku, tapi aku

    menjaganya dengan baik.

    Lalu, apa yang kau lakukan untuk

    memenuhi keinginanmu?

    Club penuh dengan wanita bugil yang

    muda dan cantik. Aku mudah saja menyewa

  • 100

    mereka dan memuaskan diriku sendiri.

    Kepalaku terasa berat. Sepertinya aku butuh

    air mineral.

    Biar kuambilkan, kata Ryan. Ia pergi

    sesaat dan kembali dengan segelas air

    mineral di tangannya. Ia memberikannya

    kepada Edmund. Edmund meneguknya.

    Aku bahkan lupa kalau air mineral

    dapat berasa sangat aneh seperti ini, hehe,

    kata Edmund sambil memegangi kepalanya. Ia

    mabuk.

    Astaga. Akhirnya kusadari bahwa Ryan

    berusaha membuat Edmund mabuk agar ia

    tidak sadar akan perkataannya.

    Ryan melanjutkan pertanyaannya,

    Tuan Edmund, apakah Anda pernah

    merasa dirugikan oleh Barry Heathrow?

    Ya, terkadang. Ia sering lupa

    mengurus izin tanah kantorku, dan sering lupa

    mengurus berkas - berkas perusahaan. Dia itu

  • 101

    pria bodoh. Ia menjadi kaya begitu karena

    menikah dengan ibu Eve.

    Perkataannya barusan membuka

    kesadaranku. Pria mesum ini menggerogoti

    ayah mertuanya sendiri. Ia melanjutkan

    omongannya.

    Aku menikahi Eve karena aku

    menyukainya. Tapi itu bukan tujuan utamaku.

    Edmund berhenti untuk batuk sejenak, lalu

    melanjutkan, Kau pasti tahu tujuan utamaku

    kan?

    Ryan memancing Edmund dengan

    menjawab,

    Tidak, Pak. Kami tak tahu.

    Kalian memang jurnalis yang kurang

    cerdas ya. Kalian tentunya bisa menangkap

    omonganku dari tadi. Bisnis. Uang. Barry

    adalah penjamin finansial perusahaanku.

    Untung si tua goblok itu sudah mati, he, he,

  • 102

    Edmund menjawab dengan linglung karena

    efek obat Ryan.

    Lalu, apa yang kau lakukan untuk

    semakin menjamin kesuksesan

    perusahaanmu?

    Apa kau perlu tahu? Aku tidak mau

    jawab, jawab Edmund.

    Wah, ternyata ia masih bisa

    menyangkal. Masih sadar dia rupanya.

    Lalu, apakah kau mengenal Rose

    McBryant? Ryan kembali bertanya.

    Rose? Perawat yang rutin

    mengunjungi istriku? Ya. Ehem. Aku

    mengenalnya. Ia tak punya kerjaan lain ya

    selain mengunjungi Eve? Maksudku, ayolah.

    Ia terlalu sibuk mengurusi Eve dan kematian

    Matt sialan itu.

    Apakah kau tahu sesuatu yang

    berkenaan dengan kematian Rose? tanya

    Ryan kembali.

  • 103

    Dia bunuh diri. Kan sudah jelas tertulis

    di koran, jawab Edmund.

    Kau bohong, aku berkata dengan

    suara kecil karena refleks. Ryan menginjak

    sepatuku, yang memberikan kode Diam,

    jangan berkomentar! Aku kembali ke

    kameraku. Sepertinya Edmund tidak

    mendengar omonganku barusan. Ia sibuk

    mengusap matanya. Ryan lanjut bertanya,

    Apa yang menyebabkanmu berpikir

    bahwa Rose bunuh diri?

    Itu semua sudah jelas. Tali yang

    tergantung di dapurnya, lalu kamar yang

    berantakan. Ia pasti sangat stress ketika itu,

    makanya ia mengacaukan seisi rumahnya.

    Lalu, apa yang kau ketahui tentang

    Matthew? tanya Ryan.

    Matt? Dia dulunya calon suami Eve.

    Tapi dia mati karena kecelakaan, jadi, batal

    deh. Dia tidak pantas mendampingi Eve.

  • 104

    Jurnalis kan uang nya sedikit, heh heh, jawab

    Edmund.

    Apakah kau tahu bagaimana kondisi

    jenazah Matt? Apakah ia benar benar

    meninggal karena tertabrak mobil? tanya

    Ryan lagi.

    Mana kutahu. Memangnya aku

    petugas otopsi mayat?

    Jawabannya tidak masuk akal, semakin

    lama semakin melantur. Kami butuh bukti lebih

    banyak, tetapi tidak dari lelaki mabuk ini.

    Tuan Edmund, kami sudah merasa

    cukup dengan informasi yang kami dapatkan

    barusan. Kami masih harus meliput hal lainnya

    di lokasi berbeda. Kami mohon pamit, ucap

    Ryan.

    Ya, ayo kita selesaikan percakapan ini.

    Aku juga sudah muak dengan pertanyaan

    bodoh kalian. Memangnya siapa yang peduli

    pada kematian Rose dan Matt? Ha ha.

  • 105

    ***

    Brengsek benar si Edmund itu,

    ucapku dalam perjalanan kami ke lokasi

    selanjutnya.

    Omong omong, mau kemana lagi

    kita? tanyaku pada Ryan.

    Kantor catatan kriminal. Autumn Oak

    Boulevard 3 no. 28. Kita akan mengotopsi

    beberapa jenazah, jawab Ryan.

    Memangnya kita punya surat izin?

    tanyaku lagi.

    Tenang, semuanya sudah kuatur.

    Jadi aku hanya diam dan menambah

    kecepatanku menuju kantor tersebut.

  • 106

    Bab 10

    Kantor yang kami tuju ternyata sebuah

    bangunan yang cukup tua. Temboknya kuning

    pucat. Jendelanya terlihat kusam. Bangunan

    itu bertingkat dua. Luasnya sedang sedang

    saja. Di atas pintu depannya tertulis Kantor

    Catatan Kriminal. Kami memasukinya.

    Kami langsung disambut pemandangan

    yang sepi. Di ruang tamu hanya terdapat

    sebuah meja resepsionis lengkap dengan

    petugasnya yang masih muda. Di kanan kiri

    ruangan itu terdapat pintu kayu yang menuju

    ke ruang berbeda. Kami tidak

    menghiraukannya. Kami menuju ke meja

    resepsionis itu.

    Ada yang bisa kubantu? tanya

    petugas itu ramah.

    Aku ingin melihat catatan otopsi Rose

    McBryant. Dia adikku, jawab Ryan.

  • 107

    Oke. Lalu siapa pria muda yang ikut

    denganmu ini?

    Dia sepupuku yang baru datang dari

    luar kota. Ia juga ingin mengetahui kondisi

    jenazah Rose, bohong Ryan.

    Baiklah. Boleh kupinjam Kartu

    Penduduk mu?

    Ryan menyerahkan kartunya. Setelah

    petugas itu mengecek di komputernya, ia

    berkata,

    Mari, ikuti aku.

    Kami mengikutinya ke pintu yang

    terletak di sebelah kiri ruang tamu. Setelah

    pintu itu terbuka, tampak suatu ruang kecil lagi

    dan dua buah pintu yang berjejer. Pintu kiri

    bertuliskan Catatan Tindak Kriminal Ringan,

    pintu kanan tertulis Catatan Otopsi. Petugas

    tersebut mengantar kami ke ruang sebelah

    kanan. Kami memasukinya.

  • 108

    Ruangan tersebut juga sama tuanya

    dengan tampak depan gedung ini. Ruangan ini

    tinggi, dan cukup luas. Isinya hanya rak rak

    dokumen yang tersusun rapi. Petugas

    mengantar kami ke rak berlabel M. Dari Rak

    tersebut terdapat laci laci kecil yang diberi

    label huruf. Petugas bertanya pada Ryan,

    Namamu MacBryant atau McBryant?

    McBryant, tanpa A, jawab Ryan.

    Petugas itu mencari laci berlabel C.

    Setelah menemukannya, ia membukanya dan

    dengan mudah mencari data Rose McBryant.

    Ini, kau boleh mengeceknya. Aku akan

    menunggu disini, kata petugas itu.

    Ryan menggumamkan terima kasih

    dan membuka dokumen itu. Ia membacanya

    sebentar dan menyerahkan dokumen itu

    kepadaku. Ia menunjuk kepada sesuatu yang

    tertulis: Tidak ada luka. Hanya lebam di

    sekitar leher yang disebabkan oleh cekikan

  • 109

    tambang. Jenazah ditemukan pukul 3 sore

    oleh tetangganya yang melihat bayangan

    korban dari jendela. Ketika ditemukan, korban

    masih mengenakan seragam perawat lengkap

    dengan sepatunya.

    Ini membingungkan, kataku.

    Ada yang lain. Disini tertulis bahwa

    ruangan lain di rumah kami terlihat

    berantakan. Diduga bahwa korban mencari

    sesuatu yang sangat penting baginya sebelum

    bunuh diri, kata Ryan kembali.

    Tapi, benda apa itu?

    Aku tak tahu. Hari hari sebelum Rose

    bunuh diri terlihat baik baik saja. Ia pulang

    tepat waktu. Ia tidak terlihat sedih atau yang

    lainnya. Jadi, hampir mustahil jika adikku mati

    bunuh diri, jawab Ryan.

    Lalu aku mengusulkan Ryan untuk

    melihat catatan kematian Matt. Petugas

    mengantar kami menuju rak tempat dokumen

  • 110

    Matt berada. Ia membuka lacinya dan mencari

    dokumen otopsi Matt. Ia menyerahkannya

    pada kami. Kami membacanya dan

    menemukan fakta bahwa Matt memang

    meninggal karena tertabrak mobil. Jenazahnya

    ditemukan pada pukul lima pagi di suatu

    daerah terpencil bernama Janovsky Ville. Ia

    ditabrak oleh seorang supir yang mengantuk

    saat tengah malam, dan tidak ada saksi mata.

    Supir itu sendiri juga meninggal karena

    serangan jantung yang terjadi setelah ia

    menabrak Matt. Tim otopsi menyatakan bahwa

    tubuh Matt dipenuhi luka lebam dan lecet,

    seperti pada korban kecelakaan lalu lintas

    lainnya. Tetapi pertanyaanku adalah: Apa

    yang Matt lakukan pada tengah malam begitu?

    Dari mana dia? Mau kemana dia?

    Aku mengucapkan hal serupa yang

    terlintas di benakku kepada Ryan. Ia tampak

    sama bingungnya denganku. Dia juga

  • 111

    bertanya balik: Mengapa ia tidak membawa

    kendaraannya sendiri di malam hari seperti

    itu?

    Semua pertanyaan ini membangkitkan

    kembali semangat kami untuk

    mengungkapkan kematian kedua orang ini.

    Lalu dengan spontan aku bertanya pada Ryan,

    Apakah kau pernah mencoba mencari

    informasi kepada rumah sakit tempat Rose

    bekerja?

    Ryan tampak terkejut dan menepuk

    dahinya.

    Astaga, mengapa tidak pernah terpikir

    olehku!

  • 112

    Bab 11

    Penyelidikan kami berlanjut esok

    harinya setelah jam sekolahku dan jam kerja

    Ryan sudah berakhir. Kali ini Ryan yang

    menjemputku di sekolah. Kami meninggalkan

    sekolah dan menuju ke rumah sakit tempat

    Rose bekerja dulu, Autumn Breeze Hospital.

    Setelah tiga puluh menit perjalanan, kami tiba

    di sebuah rumah sakit tua yang dicat coklat

    pucat. Rumah sakit ini bertingkat 3, dan dari

    luar terlihat lebih mirip asrama. Kami

    memasukinya. Seorang perawat menyapa

    Ryan.

    Hai Ryan. Ada apa sehingga kau

    mengunjungi rumah sakit tua ini?

    Aku butuh sedikit informasi tentang

    Rose, jawab Ryan.

    Perawat itu tampak bingung. Ia

    memalingkan pandangannya ke arahku. Lalu

    ia bertanya,

  • 113

    Lalu, siapa pria muda ini?

    Aku Nathan. Sepupu Ryan. Dari luar

    kota, jawabku. Sekilas aku melihat Ryan

    menahan senyum dari sudut mataku. Lalu

    perawat itu menjawab,

    Oh. Rose tidak pernah bercerita

    tentang kau. Baiklah, Ryan, apa yang ingin

    kau ketahui?

    Aku ingin tahu apa yang dilakukan

    adikku di sini sehari sebelum kematiannya dan

    pagi hari sebelum kematiannya, jawab Ryan

    tegas.

    Baiklah. Aku akan menceritakannya

    sebisaku. Ayo ikut aku. Kebetulan ini jam

    istirahat.

    ***

    Perawat itu mengantar kami ke ruang

    konsultasi kosong. Ia duduk di kursi besar

    yang biasanya ditujukan untuk dokter. Kami

  • 114

    berdua menduduki kursi pasien. Lalu perawat

    itu membuka mulutnya.

    Sehari sebelum kematiannya, Rose

    tampak baik baik saja. Itu paginya. Di siang

    hari, ia mendapat kiriman tiga belas tangkai

    bunga mawar merah dari orang tak dikenal. Di

    bunga itu terdapat sepucuk surat. Aku tidak

    tahu apa isinya. Setelah membacanya, Rose

    tampak lemas. Tetapi ia berusaha

    menyembunyikan perasaannya. Tidak satu

    orang pun di rumah sakit tahu apa yang ia

    rasakan, termasuk aku. Ia membawa pulang

    mawar itu. Ia pulang berjalan kaki.

    Aku tidak melihat Rose membawa

    pulang mawar itu, ucap Ryan.

    Entahlah, aku tak tahu dikemanakan

    mawar itu. Tapi aku ingat benar bahwa Ia

    membawanya pulang, jelas perawat itu.

    Lalu, ceritakan padaku pagi hari

    sebelum Rose meninggal, pintaku sopan.

  • 115

    Ia datang ke rumah sakit dengan wajah

    kelelahan. Tapi ia tetap menyapa seisi rumah

    sakit. Sekitar pukul sepuluh pagi, ia menerima

    sebuah panggilan di ponselnya. Ia

    menjawabnya sebentar, lalu menutupnya. Ia

    terlihat panik.

    Sebentar. Apakah kau tahu siapa yang

    menelponnya? tanyaku.

    Tidak. Ia segera menyembunyikan

    ponselnya. Kutebak bahwa penelpon itu

    menghubungi Rose terus menerus. Hingga

    pada pukul satu siang, seseorang

    menelponnya kembali, kali ini lewat telepon

    rumah sakit. Rose mengangkatnya, dan

    percakapan di telepon tersebut merubah raut

    wajahnya menjadi sangat cemas. Ia pucat dan

    penuh keringat. Ia segera mengambil tasnya

    dan pulang. Ketika kutanyai ada apa, ia

    menjawab bahwa tetangganya menelpon,

  • 116

    Rose lupa mematikan kompor di rumahnya. Ia

    pulang menaiki bis kota.

    Cerita berakhir disana. Kami sudah

    tahu kelanjutannya. Suatu akhir yang pahit

    bagi Rose. Aku bertanya lagi.

    Apakah Rose menggunakan tas yang

    sama selama dua hari terakhir tersebut?

    Tidak. Sehari sebelum kematiannya, ia

    mengenakan sebuah tas hitam kulit. Pagi hari

    sebelum kejadian itu, ia mengenakan tas kulit

    cokelat muda, jawab perawat itu.

    Aku bertanya kepada perawat itu,

    Satu hal lagi. Apakah kau masih ingat

    dengan Matthew? Pasien yang kau rawat

    dengan Rose, yang tewas karena kecelakaan

    mobil tujuh belas tahun lalu?

    Apakah kalian memiliki relasi dengan

    orang ini? tanya si perawat.

  • 117

    Kami teman dekatnya. Percayalah,

    kematian Rose ada kaitan eratnya dengan

    kematian Matt, jawab Ryan.

    Perawat itu diam sejenak, lalu

    menjawab,

    Sepertinya aku mengingatnya.

    Kondisinya sangat parah pada saat itu.

    Apakah kau ingat sesuatu yang

    diucapkannya kepada Rose? Atau

    kepadamu?

    Tidak. Ia tidak mengatakan apapun. Ia

    hanya mengerang kesakitan. Aku sangat

    kasihan padanya saat itu, jawab si perawat.

    Apakah kau ingat persis bagaimana

    kondisi Matt saat itu?

    Ia diam sejenak, mengeluarkan

    saputangan dari kantongnya dan mengusap

    keringat di dahinya. Lalu ia melanjutkan,

    Kucoba ingat sebisaku. Tubuhnya luka

    parah, goresan aspal. Di wajahnya banyak

  • 118

    terdapat baret dan lebam. Pergelangan

    tangannya sedikit lebam kebiruan. Matanya

    juga lebam, ya, yang sebelah kiri jika tak

    salah.

    Aku dan Ryan terdiam untuk berpikir

    sejenak. Ini membingungkan. Kondisi jenazah

    Matt menunjukkan ia sempat terluka sebelum

    ditabrak truk itu. Namun, apa yang

    dilakukannya malam malam begitu sehingga

    menyebabkan kondisi yang demikian?

    Lalu perawat itu mengalihkan topik,

    Apa kau pernah bertanya pada

    tetanggamu, Ryan? Mengenai Rose

    Ya. Mereka tidak tahu apa apa. Yang

    mereka ingat hanya melihat bayangan hitam

    menggantung di dapur. Mereka menggedor

    gedor pintu rumah kami, dan mendobraknya.

    Mereka ke dapur dan melihat jenazah Rose

    sudah tergantung.

    Dengan spontan aku berkata,

  • 119

    Ryan, ayo kita ke rumah Rose lagi.

    Aku teringat sesuatu. Nyonya perawat, terima

    kasih atas penjelasanmu yang sangat

    membantu.

    Sama sama, nak. Aku berharap

    kasus kematian Rose dapat terselesaikan

    dengan baik. Dia adalah orang yang sangat

    baik, jawab perawat itu.

    ***

    Kami meninggalkan Autumn Breeze

    dan menuju ke Bangaley 4th Street, rumah

    masa lalu Ryan dan Rose. Sesampainya kami

    disana, aku langsung turun dari motorku dan

    masuk lewat pintu belakang rumah yang tidak

    disegel. Rasa lapar di perutku tidak lagi aku

    hiraukan. Aku membuka pintu dan hipotesisku

    benar. Ada yang janggal di ruangan itu.

    Jika Rose memang gantung diri,

    mengapa tidak ada bangku terguling di bawah

  • 120

    tali tambang? Tidak mungkin seseorang

    gantung diri tanpa memanjat bangku terlebih

    dahulu.

    Lalu, aku mengeluarkan saputanganku

    dan melihat alat pengukur kadar gas. Jarum

    menunjukkan ke indikator maksimum, yang

    menandakan bahwa gas tidak bocor dan

    kompor tidak dibiarkan menyala pagi hari itu.

    Aku beranjak ke ruang tamu, dimana

    terdapat tiga belas tangkai mawar merah di

    dalam vas. Tetapi tidak ada surat disana.

    Kamar Ryan tidak tersentuh sama

    sekali. Ketika kumasuki, kamar itu sangat rapi.

    Tentunya hal ini sangat janggal dibandingkan

    dengan kamar Rose yang seperti kapal pecah.

    Aku juga memeriksa kembali kamar

    tidur Rose. Laci mejanya jatuh ke lantai,

    semua isinya berhamburan. Meja buffet

    berantakan, dan ujung cerminnya sedikit retak.

    Aku mendorong meja buffet itu sedikit untuk

  • 121

    melihat sebuah benda berkilau di

    belakangnya. Selapis silet tergeletak di balik

    meja buffet itu. Silet itu sedikit terkena noda

    darah. Aku mengambilnya dengan tisu dan

    menyelipkannya, lalu memasukkannya ke

    sakuku.

    Aku beranjak menuju lemari yang

    berada di samping meja buffet. Pintu lemari

    terbuka lebar. Aku melihat ke dalamnya.

    Aku melihat tas hitam kulit yang

    dibicarakan perawat itu. Dengan hati hati,

    aku membongkar isinya. Aku melihat secarik

    kertas bertuliskan Sebuah rahasia dapat

    membunuh dirimu sendiri. Kutebak itu adalah

    kertas dari bunga mawar yang dikirimkan

    tersebut. Aku mengantonginya dan mengamati

    lemari kembali.

    Di atas tumpukan baju terdapat

    cekungan seperti seakan akan ada yang

  • 122

    pernah duduk di dalam lemari itu untuk waktu

    yang cukup lama.

    Itu dia. Ada yang pernah duduk di

    dalam lemari itu, bersembunyi, sambil

    menunggu Rose pulang. Seorang pembunuh

    menunggu di dalam lemari itu.

  • 123

    Bab 12

    Yang kulihat selanjutnya adalah tatapan

    penuh amarah di mata Ryan. Aku

    menceritakan semua penemuanku di

    rumahnya. Ditambah lagi, penemuan silet di

    balik meja buffet dan secarik kertas di dalam

    tas hitam Rose. Semua hal ini menjadi lebih

    jelas. Rose tidak bunuh diri. Ia dibunuh. Tapi

    pertanyaan kami adalah: siapa pembunuhnya?

    Kami hening sejenak selama 10 menit.

    Kami terlalu sibuk memikirkan kaitan dari hal

    hal janggal yang kami temukan di rumah ini.

    Lalu, Ryan bertanya,

    Darah siapa yang ada di silet itu?

    Bukan darah Rose. Kau ingat, catatan

    otopsi menyebutkan bahwa tubuh Rose tidak

    terluka sama sekali, jawabku.

    Percakapan kami terputus setelah

    peryataanku tadi. Kami keluar dari rumah itu.

    Langit sudah gelap. Aku harus pulang. Aku

  • 124

    meninggalkan rumah itu bersama Ryan. Aku

    mengantarnya pulang, dan ia berpesan

    padaku untuk selalu berhati hati, dan

    gunakan waktu untuk beristirahat.

    Aku meninggalkan rumahnya dan

    pulang. Sesampainya di rumah, aku disambut

    ibu yang sangat cemas akan kepulanganku

    yang terlalu telat. Aku berusaha

    menyembunyikan kelelahanku dengan

    menghibur ibu yang panik bukan main. Aku

    makan banyak malam itu, agar ibuku tidak

    cemas lagi jika aku kelaparan.

    Sesudah kenyang, aku naik ke loteng,

    merebahkan tubuhku di kasur, dan

    memejamkan mata. Sial. Aku teringat akan

    tugasku yang menumpuk. Aku bangun, cuci

    muka, dan mengerjakan tugasku. Dua jam

    kemudian, aku tidak tersadar dan tertidur

    pulas.

  • 125

    ***

    Pagi harinya, aku terbangun dengan

    posisi kepala yang terkulai di meja. Untungnya

    pagi itu aku tidak telat, hanya, tugasku menjadi

    kusut. Namun apa boleh buat, aku segera

    mandi, membereskan meja belajar,

    memasukkan segala yang ada ke tasku, dan

    turun. Aku sarapan dengan cepat, dan pergi.

    Aku sampai di sekolah. Grace sudah

    menunggu di bangku depan kelas. Ia

    tersenyum padaku. Aku duduk di sampingnya.

    Ia bertanya,

    Bagaimana kemarin?

    Aku merasa seperti detektif paling

    keren di kota ini, jawabku.

    Yang serius, Nat, tegurnya.

    Baiklah. Sangat banyak hal yang

    kutemukan kemarin, bisa sampai sore bila

    kuceritakan.

    Ceritakan sedikit saja, please?

  • 126

    Aku menceritakan pada Grace

    bagaimana semua ini begitu ruwet. Aku

    bercerita bagaimana aku dan Ryan menipu

    Edmund, kunjungan kami ke Kantor Catatan

    Kriminal, pembicaraan kami dengan perawat

    di rumah sakit, dan penemuan penemuan

    janggal kami di rumah lama Rose. Grace

    menanggapinya dengan mengelus

    punggungku.